Referat Appendicitis

39
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2012 REFERAT – ILMU PENYAKIT BEDAH BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Penulisan Apendisitis infiltrat merupakan tahap patologi apendisitis yang dimulai di mukosa dan melibatkan seluruh lapisan dinding apendiks dalam waktu 24-48 jam pertama, ini merupakan usaha pertahanan tubuh dengan membatasi proses radang dengan menutup apendiks dengan omentum, usus halus, atau adneksa sehingga terbentuk massa periapendikular (1) Apendisitis infiltrate sering terjadi pada usia tertentu dengan range 22-30 tahun. Pada wanita dan laki-laki insidensinya sama kecuali pada usia pubertas dan usia 25 tahun wanita lebih banyak dari laki-laki dengan perbandingan 3:2. Angka kematian berkisar 2-6%, 19 % kematian jika terjadi pada wanita hamil, dan pada anak usia kurang dari 2 tahun meningkat hingga 20%. (2,3) Morbiditas meningkat dengan bertambahnya usia, keterlambatan diagnosis, bila apendiks tidak diangkat yang dapat menimbulkan serangan berulang. Sedangkan mortalitas adalah 0,1% jika apendisitis akut tidak pecah dan 5% jika pecah. Keterlambatan dalam mendiagnosis juga berpengaruh pada angka mortalitas jika terjadi komplikasi. (4) Komplikasi utamanya menurut Junaidi;1982 adalah perforasi apendiks, yang dapat berkembang menjadi Appendicitis Infiltrat, Kepaniteraan Klinik Rumah Sakit Jogja, Kota Yogyakarta Hal. 1

description

Bedah

Transcript of Referat Appendicitis

Page 1: Referat Appendicitis

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2012

REFERAT – ILMU PENYAKIT BEDAH

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang Penulisan

Apendisitis infiltrat merupakan tahap patologi apendisitis yang dimulai di

mukosa dan melibatkan seluruh lapisan dinding apendiks dalam waktu 24-48 jam

pertama, ini merupakan usaha pertahanan tubuh dengan membatasi proses radang

dengan menutup apendiks dengan omentum, usus halus, atau adneksa sehingga

terbentuk massa periapendikular (1)

Apendisitis infiltrate sering terjadi pada usia tertentu dengan range 22-30

tahun. Pada wanita dan laki-laki insidensinya sama kecuali pada usia pubertas dan

usia 25 tahun wanita lebih banyak dari laki-laki dengan perbandingan 3:2. Angka

kematian berkisar 2-6%, 19 % kematian jika terjadi pada wanita hamil, dan pada

anak usia kurang dari 2 tahun meningkat hingga 20%.(2,3)

Morbiditas meningkat dengan bertambahnya usia, keterlambatan

diagnosis, bila apendiks tidak diangkat yang dapat menimbulkan serangan

berulang. Sedangkan mortalitas adalah 0,1% jika apendisitis akut tidak pecah dan

5% jika pecah. Keterlambatan dalam mendiagnosis juga berpengaruh pada angka

mortalitas jika terjadi komplikasi. (4)

Komplikasi utamanya menurut Junaidi;1982 adalah perforasi apendiks,

yang dapat berkembang menjadi peritonitis atau abses. Insiden perforasi adalah

10% sampai 32%. Insiden lebih tinggi pada anak kecil dan lansia. Perforasi secara

umum terjadi 24 jam setelah awitan nyeri. Gejala mencakup demam dengan suhu

37,70 C atau lebih tinggi, nyeri tekan abdomen yang kontinu.

Apendektomi direncanakan pada apendisitis infiltrate tanpa pus yang sudah

ditenangkan. Dimana sekitar 6-8 minggu sebelumnya diberikan antibiotik kombinasi

yang aktif terhadap kuman aerob dan anaerob. Pada anak kecil, wanita hamil , dan usia

lanjut, jika secara konservatif tidak membaik atau berkembang menjadi abses dianjurkan

drainase saja dan apendektomi setelah 6-8 minggu kemudian. Jika ternyata tidak ada

keluhan atau gejala apapun, dan pemeriksaan jasmani dan laborayorium tidak

menunjukkan tanda radang atau abses, dapat dipertimbangkan pembatalan tindakan

bedah.(1) Menurut sumber lain mengatakan bila massa apendiks dengan proses radang

Appendicitis Infiltrat, Kepaniteraan Klinik Rumah Sakit Jogja, Kota Yogyakarta

Hal. 1

Page 2: Referat Appendicitis

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2012

REFERAT – ILMU PENYAKIT BEDAH

yang masih aktif sebaiknya dilakukan tindakan pembedahan segera setelah pasien

dipersiapkan, karena dikuatirkan akan terjadi abses apendiks dan peritonitis umum.

Persiapan dan pembedahan harus dilakukan sebaik-baiknya mengingat penyulit infeksi

luka lebih tinggi daripada pembedahan pada apendisitis sederhana tanpa perforasi.(2)

Pencegahan pada apendisitis infiltrat dapat dilakukan dengan cara

menurunkan resiko obstruksi atau peradangan pada lumen apendik atau dengan

penanganan secara tuntas pada penderita apendisitis akut. Pola eliminasi klien

harus dikaji, sebab obstruksi oleh fecalit dapat terjadi karena tidak adekuatnya diit

serat, diit tinggi serat. Perawatan dan pengobatan penyakit cacing juga

meminimalkan resiko. Pengenalan yang cepat terhadap gejala dan tanda

apendisitis dan apendisitis infiltrat meminimalkan resiko terjadinya gangren,

perforasi, dan peritonitis.(1)

I.2 Ruang lingkup pembahasan

Pada kesempatan ini penulis berusaha membahas mengenai apendisitis

infiltrat dan penanganannya. Hal-hal yang akan dibahas dalam referat ini meliputi

anatomi apendiks, definisi, insidensi, patofisiologi, pemeriksaan fisik,

pemeriksaan penunjang, komplikasi dan penanganannya.

I.3 Tujuan penulisan

Referat ini disusun untuk melengkapi tugas kepaniteraan klinik ilmu bedah

dan diharapkan dapat menambah pengetahuan penulis juga sebagai bahan

informasi bagi para pembaca, khususnya kalangan medis agar dapat membuat

diagnosa, membuat perencanaan perioperatif appendektomi, mampu

mengevaluasi tindakan yang telah dilakukan pada pasien post operatif

appendektomi.

BAB II

Appendicitis Infiltrat, Kepaniteraan Klinik Rumah Sakit Jogja, Kota Yogyakarta

Hal. 2

Page 3: Referat Appendicitis

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2012

REFERAT – ILMU PENYAKIT BEDAH

PEMBAHASAN

II.1 Anatomi

Appendiks merupakan organ berbentuk tabung. Pada orang dewasa

panjang dari apendiks sekitar 10 cm, diameter terluar bervariasi antara 3 sampai 8

mm dan diameter dalam lumennya berukuran antara 1 sampai 3 mm, dan

berpangkal pada sekum. Lumen appendiks sempit dibagian proksimal dan

melebar di bagian distal. Namun pada bayi appendiks berbentuk kerucut dengan

pangkal yang lebar dan menyempit ke bagian ujungnya. Bagian ujung dari

appendiks dapat berlokasi dimana saja pada kuadran kanan bawah dari abdomen

atau pelvis. Basis dari appendisitis dapat ditemukan dengan menelusuri taenia coli

yang berjalan longitudinal dan berkonfluensi pada caecum.

Appendiks menerima suplai darah dari cabang appendikular arteri

ileocolica. Arteri ini terletak posterior dari ileum terminalis, masuk ke

mesoapendiks dekat dari basis appendiks. Percabangan arteri kecil terbentuk pada

titik tersebut dan meneruskan diri sebagai arteri caecal. Perdarahan appendiks

berasal dari arteri appendikularis yang merupakan arteri tanpa kolateral. Jika arteri

ini tersumbat, misalnya karena thrombosis pada infeksi, appendiks akan

mengalami gangren.

Appendicitis Infiltrat, Kepaniteraan Klinik Rumah Sakit Jogja, Kota Yogyakarta

Hal. 3

Page 4: Referat Appendicitis

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2012

REFERAT – ILMU PENYAKIT BEDAH

Suplai darah ileum terminalis, caecum, dan appendiks

Pengaliran aliran limfatik dari appendiks menuju nodus limfatikus yang

terletak sepanjang perjalanan arteri ileocolica. Inervasi dari appendiks berasal dari

elemen simpatis pleksus mesenteric superior (T10-L1), oleh karena itu nyeri

visceral pada appendisitis bermula di sekitar umbilicus. Serabut afferentnya

berasal dari elemen parasimpatis nervus vagus.

Gambaran histologis dari appendiks termasuk diantaranya: pertama,

lapisan muskularis yang tidak tersebar secara merata dan mungkin terdapat

defisiensi pada beberapa lokasi. Kedua, submukosa, dimana terdapat agregasi

jaringan limfoid dengan atau tanpa disertai struktur tipikal dari centrum

germinativum. Pembuluh limfe lebih prominen pada regio dibawah agregasi

limfoid. Ketiga, mukosa yang menyerupai dari usus besar kecuali terdapat

perbedaan densitas dari folikel limfoid. Kripta pada appendiks memiliki

iregularitas baik dari ukuran dan bentuk, berbeda dengan kripta pada colon yang

memiliki gambaran uniform.

Kompleks neuroendokrin dari appendiks yang terdiri dari sel ganglion,

sel Schwann, serat neural, dan sel-sel neurosekretorik terletak tepat dibawah dari

kripta-kripta pada appendiks. Serotonin merupakan produk sekretorik utama dan

dihubungkan dengan nyeri yang muncul pada appendiks non-inflamasi.

Appendicitis Infiltrat, Kepaniteraan Klinik Rumah Sakit Jogja, Kota Yogyakarta

Hal. 4

Page 5: Referat Appendicitis

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2012

REFERAT – ILMU PENYAKIT BEDAH

Kompleks ini diduga sebagai sumber dari tumor-tumor karsinoid, dan oleh

karenanya appendiks dikenal sebagai tempat asal utama tumor-tumor karsinoid.

II.2 Fisiologi

Appendiks tidak memiliki fungsi yang sesuai dengan bentuk

anatomisnya sebagai organ berongga, dimana fungsi dari appendiks ini tidak

diketahui dengan pasti. Imunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (gut

associated lymphoid tissue) yang terdapat disepanjang saluran cerna termasuk

appendiks, ialah IgA. Imunoglobulin ini sangat efektif sebagai pelindung terdapat

infeksi. Namun demikian, pengangkatan appendiks tidak mempengaruhi system

imun tubuh karena jumlah jaringan limfe di sini kecil sekali jika dibandingkan

dengan jumlahnya di saluran cerna dan di seluruh tubuh.

Mukosa appendiks memiliki kemampuan yang sama dalam

memproduksi cairan, musin, dan enzim-enzim proteolitik, Appendiks dapat

menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir tersebut normalnya dicurahkan ke

dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke caecum.

II.3 Insidensi

Terdapat sekitar 250.000 kasus appendicitis yang terjadi di Amerika

Serikat setiap tahunnya dan terutama terjadi pada anak usia 6-10 tahun.

Appendicitis lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan dengan

perbandingan 3:2. Bangsa Caucasia lebih sering terkena dibandingkan dengan

kelompok ras lainnya. Appendicitis akut lebih sering terjadi selama musim panas. 1

Insidensi Appendicitis acuta di negara maju lebih tinggi daripada di negara

berkembang, tetapi beberapa tahun terakhir angka kejadiannya menurun secara

bermakna. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya penggunaan makanan berserat

dalam menu sehari-hari. Appendicitis dapat ditemukan pada semua umur, hanya

pada anak kurang dari satu tahun jarang dilaporkan. Insidensi tertinggi pada

kelompok umur 20-30 tahun, setelah itu menurun. Insidensi pada laki-laki dan

Appendicitis Infiltrat, Kepaniteraan Klinik Rumah Sakit Jogja, Kota Yogyakarta

Hal. 5

Page 6: Referat Appendicitis

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2012

REFERAT – ILMU PENYAKIT BEDAH

perempuan umumnya sebanding, kecuali pada umur 20-30 tahun, insidensi lelaki

lebih tinggi6.

II.4 Etiologi dan faktor resiko

Obstruksi lumen merupakan penyebab paling sering terjadinya

appendisitis akut. Fekalit adalah penyebab paling sering terjadinya obstruksi

appendiks. Penyebab lainnya adalah hipertrofi jaringan limfe, tumor, sayuran dan

biji buah, serta parasit usus yang menyebabkan erosi mukosa seperti E.

histolytica. Frekuensi obstruksi meningkat dengan adanya proses inflamasi.

Fekalit ditemukan pada 40% kasus appendisitis akut sederhana, 65% kasus

adalah appendisitis gangrenosa tanpa disertai ruptur, dan hampir 90% kasus

adalah appendisitis gangrenosa dengan ruptur.

Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan

rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya appendisitis. Sedangkan

serat diperkirakan menurunkan viskositas dari feses, menurunkan waktu transit di

usus, dan melunakkan formasi dari fekalit. Konstipasi akan menaikkan tekanan

intracaecal, yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional appendiks dan

meningkatnya pertumbuhan kuman flora colon.

II.5 Patogenesis

Obstruksi proksimal dari lumen appendiks merupakan close-loop

obstruction, dan produksi sekresi normal yang terus menerus dari mukosa

appendiks menyebabkan distensi. Normalnya kapasitas lumen appendiks hanya

0,1 mL. Sekresi sebanyak 0,5 mL meningkatkan tekanan intraluminal menjadi 60

cm H2O. Distensi appendiks menstimulasi saraf visceral afferen sehingga

menyebabkan rasa tidak enak, rasa nyeri yang tumpul dan merata pada mid-

abdomen atau epigastrium bawah. Peristaltik juga distimulasi sehingga rasa

seperti kram perut sering menyertai. Distensi terus bertambah akibat sekresi

mukosa yang terus menerus dan multiplikasi dari bakteri appendiks yang cepat.

Distensi yang besar ini biasanya menimbulkan reflek mual dan muntah. Dengan

meningkatnya tekanan dalam rongga appendiks, tekanan vena menjadi besar.

Appendicitis Infiltrat, Kepaniteraan Klinik Rumah Sakit Jogja, Kota Yogyakarta

Hal. 6

Page 7: Referat Appendicitis

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2012

REFERAT – ILMU PENYAKIT BEDAH

Kapiler dan venula tertutup, tapi aliran masuk arteriola tetap sehingga

menghasilkan pembesaran dan kongesti. Proses inflamasi ini akan mengenai

lapisan serosa appendiks sampai peritoneum parietalis. Hal ini dikarakteristikan

dengan adanya perpindahan rasa sakit ke kuadran kanan bawah, dan terjadi dalam

24 – 48 jam pertama.

Mukosa traktus gastrointestinal, termasuk appendiks, mudah terpengaruh

akibat kerusakan aliran darah. Hal ini mengakibatkan mudah terjadinya invasi

bakteri. Karena pertumbuhan bakteri yang berlebihan dan reaksi inflamsi (edem),

dapat menyebabkan appendiks menjadi semakin edem dan iskemi. Nekrosis dari

dinding appendiks dapat menyebabkan translokasi dari bakteri. Hal ini yang

disebut sebagai appendisitis gangrenosa. Bila tidak ditangani, appendiks yang

mengalami gangren tersebut akan pecah (appendisitis perforasi) dan

mengeluarkan isi appendiks ke cavum peritoneal.

Usaha pertahanan tubuh adalah membatasi proses radang dengan menutup

appendiks dengan omentum, usus halus, atau adneksa sehingga terbentuk massa

periappendikular yang secara salah dikenal dengan istilah infiltrat appendiks. Di

dalamnya dapat terjadi nekrosis jaringan berupa abses (appendiceal abses) yang

dapat mengalami perforasi. Jika tidak terbentuk abses, appendicitis akan sembuh

dan massa periappendikular akan menjadi tenang untuk selanjutnya mengurai diri

secara lambat.

Appendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna, tetapi

akan membentuk jaringan parut yang menyebabkan perlengketan dengan jaringan

sekitarnya. Perlengketan ini dapat menimbulkan keluhan berulang di perut kanan

bawah. Pada suatu ketika, organ ini dapat meradang akut lagi dan dinyatakan

sebagai mengalami eksaserbasi akut (appendicitis kronik eksaserbasi akut).

Appendicitis Infiltrat, Kepaniteraan Klinik Rumah Sakit Jogja, Kota Yogyakarta

Hal. 7

Page 8: Referat Appendicitis

Sembelit Katup ileocaecal kompeten

Tekanan ↑ dalam caecum

Flora kuman colon ↑

Appendicitis mukosa

Erosi selaput lendir

(E. histolytica)

Appendicitis komplit

Pengosongan isi appendiks terhambat :StenosisGangguan motilitasMesoappendiks pendek

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2012

REFERAT – ILMU PENYAKIT BEDAH

Patofisiologi Terjadinya Appendicitis

Sumber :

Sjamsuhidajat, 1997

Appendicitis Infiltrat, Kepaniteraan Klinik Rumah Sakit Jogja, Kota Yogyakarta

Hal. 8

Page 9: Referat Appendicitis

Obstruksi

Distensi

↑ tekanan intraluminal

Obstruksi limfatik Kongesti vena

Edem

Diapedesis bakteri

Ulserasi mukosa

Invasi bakteri

Inflamasi lapisan serosa yang berhubungan dengan peritoneum parietal

Trombosis vena

Gangren

Perforasi

Bakteri keluar

Peritonitis

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2012

REFERAT – ILMU PENYAKIT BEDAH

Perjalanan Penyakit Akibat Close Loop Obstruction dari Lumen

Sumber : Stead, 2004

Perjalanan Alami Appendicitis Akut

Appendicitis Infiltrat, Kepaniteraan Klinik Rumah Sakit Jogja, Kota Yogyakarta

Hal. 9

Page 10: Referat Appendicitis

Perforasi

Sembuh

Appendicitis mukosa

Appendicitis flegmonosa

Appendicitis dengan Nekrosis setempat

Appendicitis supurativa

Appendicitis gangrenosa

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2012

REFERAT – ILMU PENYAKIT BEDAH

Sumber : Sjamsuhidajat, 1997

II.6 Gambaran klinis

Nyeri abdomen adalah gejala utama pada appendisitis akut. Secara klasik,

nyeri tersebut tersebar merata pada epigastrium bawah atau daerah umbilical,

nyerinya berat dan menetap, kadang-kadang disertai dengan rasa seperti kram

perut. Setelah 1 – 12 jam (rata-rata 4 – 6 jam) rasa nyeri tersebut dirasakan di

perut kanan bawah. Tetapi pada beberapa pasien, rasa sakit appendisitis mulai di

perut kanan bawah dan menetap. Variasi lokasi anatomi menentukan pula variasi

dari lokasi rasa nyeri, contohnya, appendiks yang panjang dengan inflamasi pada

ujung tepi di perut kiri bawah menyebabkan rasa nyeri di daerah tersebut;

appendiks retrocaecal dapat menyebabkan rasa seperti sakit pinggang; appendiks

pelvis menyebabkan nyeri dearah suprapubik; dan appendiks retroileal dapat

menyebabkan nyeri testikular, yang sering dikira sebagai iritasi dari a. Spermatica

dan ureter.

Anoreksia biasanya sering dialami pada penderita appendisitis. Walaupun

muntah ada pada 75% pasien, tetapi biasanya tidak menetap dan sebagian besar

Appendicitis Infiltrat, Kepaniteraan Klinik Rumah Sakit Jogja, Kota Yogyakarta

Hal. 10

Page 11: Referat Appendicitis

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2012

REFERAT – ILMU PENYAKIT BEDAH

pasien hanya muntah 1 atau 2 kali. Muntah disebabkan karena stimulasi neural

dan adanya ileus.

Kebanyakan pasien ada riwayat obstipasi sebelum timbulnya nyeri. Tetapi

pada sebagian pasien, terutama anak-anak terjadi diare. Urutan kemunculan

gejala mempunyai perbedaan yang signifikan dalam mendiagnosis banding.

Lebih dari 95% pasien appendisitis akut, anoreksia merupakan gejala yang

pertama muncul, diikuti dengan nyeri perut, serta muntah (bila ada). Bila muntah

merupakan gejala yang pertama kali dirasakan, diagnosa appendicitis masih harus

dipertanyakan.

Gejala appendisitis akut pada anak tidak spesifik. Gejala awalnya sering

hanya rewel dan tidak mau makan. Anak sering tidak bisa melukiskan rasa

nyerinya. Dalam beberapa jam kemudian akan timbul muntah-muntah dan anak

menjadi lemah dan letargik. Karena gejala yang tidak khas tadi, sering

appendisitis diketahui setelah terjadi perforasi. Pada bayi, 80 – 90% appendisitis

baru diketahui setelah terjadi perforasi.

Pada orang berusia lanjut, gejalanya juga sering samar-samar saja. Tidak

jarang terlambat didiagnosis. Akibatnya lebih dari ½ penderita baru dapat

didiagnosis setelah perforasi.

Pada pasien-pasien khusus, seperti pasien yang dalam penggunaan

imunosupresan, pasien yang menerima transplantasi organ, pasien dengan HIV,

pasien dengan diabetes melitus, pasien yang mengidap kanker atau yang sedang

menerima kemoterapi, dan pada pasien-pasien yang obesitas, gejala yang

dirasakan hanyalah rasa tidak enak secara umum.

II.7 Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik menentukan posisi anatomik dari appendiks dan apakah

appendiks sudah mengalami ruptur ketika pasien pertama kali di periksa. Tanda-

tanda vital hanya mengalami sedikit perubahan pada appendicitis tanpa

komplikasi. Kenaikan suhu jarang melebihi 1oC (sekitar 37,5 – 38,5oC) dan nadi

normal atau sedikit meningkat. Perubahan tanda-tanda vital yang bermakna

biasanya mengindikasikan adanya komplikasi atau adanya penyakit lain.

Appendicitis Infiltrat, Kepaniteraan Klinik Rumah Sakit Jogja, Kota Yogyakarta

Hal. 11

Page 12: Referat Appendicitis

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2012

REFERAT – ILMU PENYAKIT BEDAH

Pasien dengan appendisitis biasanya lebih enak dengan posisi supine

(telentang) dengan tungkai atas ditarik, karena adanya gerakan meningkatkan rasa

nyeri. Apabila diperintahkan untuk bergerak, mereka akan melakukannya dengan

perlahan-lahan dan dengan hati-hati.

Tanda ”klasik” kuadran kanan bawah muncul bila appendiks terdapat pada

posisi anterior. Rasa nyeri terutama pada titik Mc Burney atau sekitar Mc Burney.

Hal ini mengindikasikan adanya iritasi lokal peritoneum.

Rovsing’s sign : Nyeri di kuadran kanan bawah ketika di tekan pada kuadran kiri

bawah (daerah kontralateralnya). Hal ini mengindikasikan

adanya iritasi peritoneum.

Blumberg sign : Nyeri di kuadran kanan bawah ketika tekanan pada kuadran kiri

bawah (daerah kontralateralnya) dilepaskan. Hal ini

mengindikasikan adanya iritasi peritoneum.

Psoas sign : Mengindikasikan adanya fokus iritatif yang dekat dengan otot

tersebut. Pasien berbaring pada sisi kiri, pemeriksa pelan-pelan

mengekstensikan paha kanan yang mengakibatkan peregangan

dari m. Iliopsoas. Test (+) bila ekstensi menimbulkan rasa

sakit karena appendiks yang meradang menempel di m. Psoas.

Obturator sign : Mengindikasikan iritasi pada pelvis. Prinsipnya dengan

meregangkan m. Obturator internus, dan melihat apakah

appendiks yang meradang kontak dengan muskulus tersebut.

Pasien dalam posisi telentang, paha kanan dalam posisi fleksi

lalu dilakukan rotasi interna secara pasif.

Dunphy’s sign : Adanya rasa nyeri yang tajam pada kuadran kanan bawah bila

sengaja dibatukkan (cough sign).

Cutaneus hiperestesi sering menyertai. Dipersarafi oleh n. Spinalis bagian

kanan dari Th 10, 11, dan 12. Tahanan muskuler dinding abdomen berjalan sesuai

dengan proses inflamasinya. Adanya defans muskular ini menunjukkan

rangsangan peritoneum parietale. Variasi posisi anatomik dari appendiks

Appendicitis Infiltrat, Kepaniteraan Klinik Rumah Sakit Jogja, Kota Yogyakarta

Hal. 12

Page 13: Referat Appendicitis

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2012

REFERAT – ILMU PENYAKIT BEDAH

menyebabkan gejala yang berbeda pula. Pada appendiks retrocaecal, rasa nyeri

pada abdomen anterior jarang, dan pasien lebih banyak mengeluhkan rasa nyeri

pada pinggang kanan sampai ke belakang. Pada appendiks letak pelvik, tanda-

tanda pada abdomen bisa tidak ada sama sekali dan bisa tidak terdiagnosis bila

Rectal Touche (RT) tidak dilakukan. Rectal touche juga untuk membedakan ada

atau tidaknya suatu massa.

Hubungan Patofisiologi dengan Manifestasi Klinik

Kelainan patologi Gejala dan tanda

Peradangan awal Kurang enak ulu hati, mungkin kolik

Appendicitis mukosa Nyeri tekan kanan bawah (rangsangan

otonomik)

Radang di seluruh ketebalan dinding Nyeri sentral pindah ke kanan bawah,

mual, dan muntah

Appendicitis komplit / radang peritoneum

parietal appendiks

Rangsangan peritoneum lokal (somatik),

nyeri pada gerak aktif dan pasif, defans

muskular lokal

Radang jaringan yang menempel pada

appendiks

Genitalia interna, ureter, m. Psoas, vesica

urinaria, rectum

Appendicitis gangrenosa Demam, takikardi, leukositosis

Perforasi Nyeri dan defans muskular seluruh perut

Pendindingan :

Tidak berhasil

Berhasil

Abses

Sda + demam tinggi, dehidrasi, syok,

toksik

Massa perut kanan bawah, keadaan umum

berangsur membaik

Demam remiten, KU toksik, keluhan dan

tanda setempat

Sumber : Sjamsuhidajat, 1997

II.8 PEMERIKSAAN PENUNJANG

LABORATORIUM

Appendicitis Infiltrat, Kepaniteraan Klinik Rumah Sakit Jogja, Kota Yogyakarta

Hal. 13

Page 14: Referat Appendicitis

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2012

REFERAT – ILMU PENYAKIT BEDAH

Pada laboratorium darah terdapat leukositosis ringan (10.000 – 18.000 /

mm3) yang didominasi > 75% oleh sel polimorfonuklear (PMN), netrofil (shift to

the left) pada 90% pasien. Hal ini biasanya terdapat pada pasien dengan akut

appendicitis dan appendicitis tanpa komplikasi. Sedangkan leukosit > 18.000 /

mm3 meningkatkan kemungkinan terjadinya perforasi appendiks dengan / tanpa

abses. Pemeriksaan laboratorium lain yang mendukung diagnosa appendicitis

adalah C-reaktif protein. CRP merupakan reaktan fase akut terhadap infeksi

bakteri yang dibentuk di hepar. Kadar serum mulai meningkat pada 6 – 12 jam

setelah inflamasi jaringan. Tetapi pada umumnya, pemeriksaan ini jarang

digunakan karena tidak spesifik. Spesifisitasnya hanya mencapai 50 – 87% dan

hasil dari CRP tidak dapat membedakan tipe dari infeksi bakteri.

Pemeriksaan urinalisa sering dilakukan dalam mengevaluasi pasien dengan

keluhan nyeri perut. Hal ini dilakukan untuk menghilangkan kemungkinan

adanya infeksi saluran kemih (ISK).

RADIOLOGI

Foto Polos Abdomen

Foto polos abdomen dapat digunakan untuk

menyingkirkan diagnosa banding. Pada appendicitis

akut dapat terlihat abnormal ”gas pattern” dari usus, tapi

hal ini tidak spesifik. Ditemukannya fekalit dapat

mendukung diagnosa. Dapat ditemukan pula adanya

local air fluid level, peningkatan densitas jaringan lunak

pada kuadran kanan bawah, perubahan bayangan psoas

line, dan free air (jarang) bila terjadi perforasi.

Pemeriksaan ini mungkin berguna pada pasien dengan gejala dan tanda-tanda

yang tidak khas. Walaupun demikian, foto polos abdomen bukanlah sesuatu yang

rutin atau harus dikerjakan dalam mengevaluasi pasien dengan nyeri abdomen

yang akut.

Ultrasonografi

Appendicitis Infiltrat, Kepaniteraan Klinik Rumah Sakit Jogja, Kota Yogyakarta

Hal. 14

Page 15: Referat Appendicitis

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2012

REFERAT – ILMU PENYAKIT BEDAH

Merupakan pemeriksaan yang akurat untuk mendiagnosis appendicitis.

Tekniknya tidak mahal, dapat dilakukan dengan cepat, tidak invasif, tidak

membutuhkan kontras dan dapat digunakan pada pasien yang sedang hamil karena

tidak menggunakan paparan radiasi. Secara sonografi, appendiks diidentifikasi

sebagai ”blind end”, tanpa peristaltik usus. Kriteria sonografi untuk mendiagnosis

appendicitis akut adalah adanya noncompressible appendiks sebesar 7 mm atau

lebih pada diameter anteroposterior, adanya appendicolith, interupsi pada

kontinuitas jaringan submukosa, dan cairan atau massa periappendiceal.

Sensitivitas sonografi dalam mendiagnosis appendicitis sebesar 55 – 96%

dan spesifisitas 85 – 98%. False (+) dapat ditemukan pada adanya dilatasi tuba

falopii dan pada pasien yang obese hasilnya bisa tidak akurat. Sedangkan false (-)

didapat pada appendiks letak retrocaecal dan appendiks yang membesar. Hal ini

tergantung kemahiran operator.

Gambaran sagital graded compression yang

menunjukkan inlamasi akut dari appendiks.

Struktur tubular noncompressible, kurangnya

gerakan peristaltik, diameter >6 mm, dan adanya

cairan periappendiceal.

Gambaran transverse graded compression yang

menunjukkan inflamasi akut dari appendiks.

Adanya gambaran target like appearance karena

penebalan dari dinding appendiks dan cairan pada sekelilingnya.

Computed Tomography

Appendicitis Infiltrat, Kepaniteraan Klinik Rumah Sakit Jogja, Kota Yogyakarta

Hal. 15

Page 16: Referat Appendicitis

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2012

REFERAT – ILMU PENYAKIT BEDAH

CT-scan sangat berguna pada pasien yang dicurigai mengalami proses

inflamasi pada abdomen dan adanya gejala tidak khas untuk appendicitis.

Appendiks normal akan terlihat sebagai struktur tubular tipis pada kuadran kanan

bawah yang dapat menjadi opak dengan kontras. Appendicolith terlihat sebagai

kalsifikasi homogenus berbentuk cincin, dan terlihat pada 25% populasi.

Appendicitis akut dapat didiagnosa berdasarkan CT-scan apabila

didapatkan appendiks yang abnormal dengan inflamasi pada periappendiceal.

Appendiks dikatakan abnormal apabila terdistensi atau menebal dan membesar >

5 – 7 mm. Sedangkan yang termasuk inflamasi periappendiceal antara lain adalah

abses, kumpulan cairan, edem, dan phlegmon. Inflamsi periappendiceal atau

edem terlihat sebagai perkaburan dari lemak mesenterium (”dirty fat”), penebalan

fascia lokalis, dan peningkatan densitas jaringan lunak pada kuadran kanan

bawah. CT-scan khususnya digunakan pada pasien yang mengalami penanganan

gejala klinis yang telat (48 – 72 jam) sehingga dapat berkembang menjadi

phlegmon atau abses.

Fekalit dapat dengan mudah terlihat, tetapi adanya fekalit bukan

patognomonik adanya appendicitis. Temuan penting adalah arrowhead sign yang

disebabkan penebalan dari caecum. Tingkat sensitivitas 92 – 97%, spesifisitas 85

– 94%, keakuratan 90 – 98%, positive predictive value 75 – 95%, negative

predictive value 95 – 99%. Kerugiannya mahal, menggunakan radiasi, dan tidak

dapat digunakan saat hamil.

Gambaran pelebaran appendiks dengan

penebalan pada dindingnya, tidak terisi

dengan kontras.

Barium Enema

Appendicitis Infiltrat, Kepaniteraan Klinik Rumah Sakit Jogja, Kota Yogyakarta

Hal. 16

Page 17: Referat Appendicitis

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2012

REFERAT – ILMU PENYAKIT BEDAH

Pemeriksaan tambahan lain yang berguna adalah barium enema.

Pemeriksaan ini dikatakan positif bila menunjukkan appendiks yang non-filling

dengan indentasi dari caecum. Hal ini menunjukkan adanya inflamasi pericaecal.

False negative (partial filling) didapatkan pada 10% kasus. Barium enema ini

sudah tidak lagi digunakan secara rutin dalam mengevaluasi pasien yang dicurigai

menderita appendicitis akut.

Dalam rangka meningkatkan tingkat akurasi dari diagnosis apendisitis,

maka telah disusun sebuah system penilaian yang dibuat berdasarkan penelitian

secara retrospektif oleh Alvarado. Sistem penilaian ini meliputi gejala-gejala

(nyeri yang berpindah dari periumbilikal ke perut kanan bawah, mual dan

penurunan nafsu makan), tanda-tanda (nyeri tekan pada perut kanan bawah, nyeri

lepas, dan demam), dan pemeriksaan laboratorium (leukositosis dan pergeseran ke

kiri).

Alvarado Score

Symptoms

Migratory right iliac fossa pain 1 point

Anorexia 1 point

Nausea and vomiting 1 point

Signs

Right iliac fossa tenderness 2 points

Rebound tenderness 1 point

Fever 1 point

Laboratory

Leucocytosis 2 points

Shift to left (segmented neutrophils) 1 point

Total score 10 points

A score of 7 or more is strongly predictive of acute appendicitis.

In patients with an equivocal score of 5-6, CT scan further reduces the rate of

negative appendicectomy

Appendicitis Infiltrat, Kepaniteraan Klinik Rumah Sakit Jogja, Kota Yogyakarta

Hal. 17

Page 18: Referat Appendicitis

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2012

REFERAT – ILMU PENYAKIT BEDAH

II.9 DIAGNOSIS BANDING

Pada keadaan tertentu, beberapa penyakit perlu dipertimbangkan sebagai

diagnosis banding. Inflamasi dari diverticulum Meckel’s jarang ditemukan,

namun penyakit ini memiliki pathogenesis dan perjalanan penyakit yang

menyerupai appendicitis.

Apabila gejala-gejala gastrointestinal seperti mual dan muntah lebih

dominan, perlu dipertimbangkan gastroenteritis sebagai diagnosis banding,

terutama apabila gejala-gejala gastrointestinal tersebut mendahului gejala nyeri

perut, namun nyeri perut lebih ringan dan tidak berbatas tegas. Hiperperistaltik

lebih sering ditemukan. Demam dan leukositosis kurang menonjol dibandingkan

apendisitis akut.

Urolitiasis pielum atau ureter kanan (batu ureter atau batu ginjal kanan).

Adanya riwayat kolik dari pinggang ke perut menjalar ke inguinal kanan

merupakan gambaran yang khas. Eritrosituria sering ditemukan. Foto polos

abdomen atau urografi intravena dapat memastikan penyakit tersebut. Pielonefritis

sering disertai dengan demam tinggi, menggigil, nyeri costovertebral di sebelah

kanan dan piuria.

Kasus-kasus keganasan juga harus menjadi bahan pertimbangan.

Karsinoma dengan perforasi ke dalam sekum maupun kolon ascendens akan

memberikan gejala nyeri yang akut disertai tanda-tanda perangsangan peritoneum.

Pada kasus yang jarang ditemui, dapat terjadi apendisitis sekunder akibat

obstruksi lumen sekum oleh karena karsinoma. Limfoma pada ileum terminal juga

dapat memberikan gejala-gejala yang menyerupai appendicitis. Secara umum

pada kasus-kasus keganasan abdominal dapat ditemukan tinja dengan test guaiac

yang positif, anemia, riwayat penurunan berat badan, perubahan kronis dari pola

defekasi.

Pada wanita usia muda , penyebab dari nyeri perut kanan bawah

termasuk yang telah disebutkan diatas dan ditambah dengan kelainan-kelainan

seperti: rupture dari kista maupun folikel ovarii, torsio ovarii, kehamilan ektopik,

Appendicitis Infiltrat, Kepaniteraan Klinik Rumah Sakit Jogja, Kota Yogyakarta

Hal. 18

Page 19: Referat Appendicitis

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2012

REFERAT – ILMU PENYAKIT BEDAH

juga salpingitis akut. Pada wanita usia premenopause, endometriosis merupakan

salah satu penyebab dari nyeri perut bawah kronik, yang pada keadaan akut sering

menyerupai apendisitis. Mengingat bahwa terdapat berbagai kelainan ginekologis

yang dapat menyerupai apendisitis maka perlu ditanyakan riwayat ginekologis

pasien dan pola siklus menstruasinya.

Sumber : Soybel DI, 2003

II.10 PENATALAKSANAAN

Indikasi Operasi

Apabila diagnosis apendisitis telah ditegakkan dengan berbagai

pemeriksaan yang mendukung, hal tersebut sudah merupakan suatu indikasi

operasi (apendektomi), kecuali pada kasus-kasus tertentu seperti halnya pada

keadaan dimana masa akut telah dilewati namun muncul komplikasi dengan

terbentuknya abses. Pada beberapa kasus dapat digunakan antibiotik sebagai

terapi tunggal untuk mengurangi massa abses tersebut. Bila massa abses telah

terbentuk di ekitar apendiks maka basis dari sekum akan sulit untuk ditemukan,

selain itu tindakan operatif secara aman akan sulit untuk dikerjakan.

Appendicitis Infiltrat, Kepaniteraan Klinik Rumah Sakit Jogja, Kota Yogyakarta

Hal. 19

Page 20: Referat Appendicitis

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2012

REFERAT – ILMU PENYAKIT BEDAH

Persiapan pre-operasi

Analgetik dapat diberikan pada pasien setelah diagnosis dari apendisitis

sudah dapat ditegakkan dan manajemen operatif telah direncanakan. Status cairan

harus dipantau dengan ketat menggunakan indikator klinis seperti nadi, tekanan

darah, dan jumlah pengeluaran urine.

Pemberian antibiotik dapat dimulai, umumnya diberikan cephalosporine

generasi 2 secara tunggal atau dikombinasikan dengan antibiotik spectrum luas

yang melingkupi bakteri gram negatif aerob (e.coli) dan anaerob (bacteroides

spp.). Perlu diingat bahwa tujuan utama dari pemberian antibiotik bukan untuk

memberantas apendisitis itu sendiri. Pada kasus yang tidak disertai dengan

komplikasi, antibiotik umumnya diberikan untuk mengurangi insidens infeksi dari

luka dan peritoneum bagian dalam setelah operasi dan melindungi terhadap

kemungkinan terjadinya bakteremia.

Pada kasus-kasus dimana telah terjadi komplikasi berupa pembentukan

abses maupun bakteremia, maka pemberian antibiotik ditujukan untuk mengobati

komplikasi tersebut. Terdapat beragam pendapat tentang pemberian antibiotik

profilaksis, namun terdapat konsensus bahwa:

1. Pemberian cephalosporin generasi 2 efektif dalam mengurangi

komplikasi yang dapat timbul oleh karena luka pada kasus non-komplikata

2. Waktu yang tepat dalam memberikan antibiotik adalah sesaat sebelum

pembedahan atau pada saat pembedahan dilakukan agar tercapai kadar yang

optimal pada saat akan dilakukan incise

3. Pada kasus non-komplikata, pemberian antibiotik cukup dengan dosis

tunggal. Penambahan dosis setelah operasi tidak berguna dalam menurunkan

resiko infeksi lebih lanjut.

Pertimbangan Operatif

Perlu ditentukan apakah prosedur operasi akan dilaksanakan melalui

pendekatan secara tradisional (terbuka) atau dengan bantuan laparoskopi.

Terdapat berbagai penelitian yang membandingkan antara pendekatan secara

terbuka maupun dengan laparoskopi. Berdasarkan informasi terkini dapat

disimpulkan bahwa pada kasus apendisitis tanpa disertai komplikasi, pendekatan

Appendicitis Infiltrat, Kepaniteraan Klinik Rumah Sakit Jogja, Kota Yogyakarta

Hal. 20

Page 21: Referat Appendicitis

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2012

REFERAT – ILMU PENYAKIT BEDAH

secara laparoskopik dapat mengurangi nyeri, kebutuhan untuk dirawat dan juga

menurunkan insidens infeksi pada luka setelah operasi. Pasien juga dapat kembali

bekerja lebih awal.

Perbandingan Antara Laparotomy dan Laparoskopi

Dilakukan pengangkatan apendiks apabila pada saat operasi ditemukan

gambaran inflamasi. Hal penting yang harus diingat adalah untuk melakukan

disseksi apendiks sampai ke basis, yaitu pada pertemuan taenia di dinding sekum.

Kegagalan dalam mengangkat seluruh apendiks sampai ke basis-nya dapat

mengingkatkan resiko terjadinya apendisitis rekuren. Mengingat bahwa terdapat

beberapa laporan terjadinya appendicitis rekuren, maka penting untuk tetap

berwaspada terhadap kemungkinan munculnya apendisitis rekuren meski terdapat

riwayat operasi apendiks dan bukti jaringan parut yang nyata. Apabila diseksi

secara aman tidak dimungkinkan oleh karena adanya inflamasi ataupun

pembentukan abses, sebuah closed suction drain dapat diletakan kedalam kavum

peritoneum. Tindakan ini bermanfaat untuk mengalirkan materi fekal maupun pus

keluar sehingga mencegah tertimbunnya materi-materi tersebut kedalam kavum

peritoneum.

Pasca Operasi

Kasus-kasus apendisitis tanpa komplikasi, pasien dapat mulai minum dan

makan segera setelah mereka merasa mampu, dan defekasi dievaluasi dalam 24-

48 jam. Pemberian antibiotik dan dekompresi dengan nasogastric tube pasca

Appendicitis Infiltrat, Kepaniteraan Klinik Rumah Sakit Jogja, Kota Yogyakarta

Hal. 21

Page 22: Referat Appendicitis

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2012

REFERAT – ILMU PENYAKIT BEDAH

operasi tidak rutin dikerjakan pada pasien apendisitis tanpa komplikasi. Pada

kasus-kasus yang disertai dengan peritonitis, pemberian antibiotik diberikan

hingga 5-7 hari setelah operasi.

II.11 KOMPLIKASI

Komplikasi yang paling sering ditemukan adalah perforasi, baik berupa

perforasi bebas maupun perforasi pada appendiks yang telah mengalami wall-off

sehingga berupa massa yang terdiri dari kumpulan apendiks, sekum dan lekuk

usus halus.

Apendisitis adalah penyakit yang jarang mereda dengan spontan, tetapi

penyakit ini tidak dapat diramalkan dan mempunyai kecenderungan menjadi

progresif dan mengalami perforasi. Karena perforasi jarang terjadi dalam 8 jam

pertama, observasi aman untuk dilakukan dalam masa tersebut.

Tanda-tanda perforasi meliputi meningkatnya nyeri, spasme otot dinding

perut kuadran kanan bawah dengan tanda peritonitis umum atau abses yang

terlokalisasi, ileus, demam, malaise, dan leukositosis semakin jelas. Bila perforasi

dengan peritonitis umum atau pembentukan abses telah terjadi sejak pasien

pertama kali datang, diagnosis dapat ditegakan dengan pasti.

Bila terjadi peritonitis umum terapi spesifik yang dilakukan adalah

operasi untuk menutup asal perforasi. Sedangkan tindakan lain sebagai

penunjang : tirah baring dalam posisi fowler medium (setengah duduk),

pemasangan NGT, puasa, koreksi cairan dan elektrolit, pemberian penenang,

pemberian antibiotik spektrum luas dilanjutkan dengan pemberian antibiotik yang

sesuai dengan hasil kultur, transfuse untuk mengatasi anemia, dan penanganan

syok septik secara intensif, bila ada.

Bila terbentuk abses apendik akan teraba massa di kuadran kanan bawah

yang cenderung mengelembung ke arah rectum atau vagina. Terapi dini dapat

diberikan kombinasi antibiotik (ampisilin, gentamisin, metronidazol atau

klindamisin). Dengan sediaan ini abses akan segera menghilang, dan apendektomi

dapat dilakukan 6-12 minggu kemudian. Pada abses yang tetap progresif harus

Appendicitis Infiltrat, Kepaniteraan Klinik Rumah Sakit Jogja, Kota Yogyakarta

Hal. 22

Page 23: Referat Appendicitis

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2012

REFERAT – ILMU PENYAKIT BEDAH

segera dilakukan drainase. Abses daerah pelvis yang menonjol ke arah rectum

atau vagina dengan fluktuasi positif juga perlu dilakukan drainase.

Tromboflebitis supuratif dari sistem portal jarang terjadi, tetapi

merupakan komplikasi yang letal. Hal ini harus kita curigai bila ditemukan

demam sepsis, menggigil, hepatomegali dan ikterus setelah terjadi perforasi

apendik. Pada kedaan ini diindikasikan pemberian antibiotik kombinasi dengan

drainase.

Komplikasi lain yang dapat terjadi berupa abses subfrenikus dan fokal

sepsis intraabdominal lain. Obstruksi intestinal juga dapat terjadi akibat

perlengketan.

Sumber : Soybel DI, 2003

II.11 PROGNOSIS

Appendicitis Infiltrat, Kepaniteraan Klinik Rumah Sakit Jogja, Kota Yogyakarta

Hal. 23

Page 24: Referat Appendicitis

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2012

REFERAT – ILMU PENYAKIT BEDAH

Sebagian besar pasien apendisitis sembuh dengan mudah melalui terapi

operatif, namun komplikasi dapat muncul apabila terjadi keterlambatan dalam

penatalaksanaan atau bila sudah terjadi peritonitis. Waktu yang diperlukan untuk

penyembuhan sangat bergantung pada usia, kondisi fisik, komplikasi, dan

keadaan-keadaan lainnya, termasuk konsumsi alcohol, namun biasanya untuk

penyembuhan memerlukan waktu sekitar 10 dan 28 hari. Pada anak-anak (usia

kurang lebih 10 tahun), penyembuhan memerlukan waktu sekitar tiga minggu.

Peritonitis yang mengancam nyawa merupakan alasan mengapa

apendisitis akut memerlukan evaluasi dan penatalaksanaan secara cepat.

Apendisitis tipikal memberikan respon yang sangat baik dengan apendektomi, dan

terkadang dapat sembuh dengan spontan. Apabila apendisitis sembuh dengan

spontan, masih merupakan kontroversi mengenai perlu tidaknya tindakan

apendektomi elektif untuk mencegah apendisitis rekuren.

Apendisitis atipikal (dihubungkan dengan apendisitis supuratif) lebih sulit

untuk didiagnosis dan lebih cenderung untuk terjadi komplikasi meskipun telah

dilakukan operasi secara dini. Pada kedua keadaan diatas diagnosis secara tepat

dan apendektomi memberikan hasil yang baik, dan penyembuhan penuh terjadi

antara dua sampai empat minggu. Mortalitas dan komplikasi berat umumnya

jarang ditemui, namun dapat terjadi apabila peritonitis berlanjut dan tidak

mendapat terapi. Terdapat pula topic pembahasan yang sering mendapat perhatian

mengenai massa apendikular, yaitu terbentuknya suatu massa yang terdiri dari

omentum dan usus yang saling melekat, hal ini terjadi apabila apendiks tidak

segera dipindahkan dengan segera selama terjadinya infeksi. Selama masa ini,

tindakan apendektomi akan sangat beresiko kecuali bila didapatkan pembentukan

pus yang dibuktikan dengan adanya demam dan toksisitas atau dengan USG.

Stump appendicitis, merupakan suatu komplikasi yang jarang ditemui,

yaitu terjadinya inflamasi pada sisa apendiks yang tertinggal setelah apendektomi

yang tidak komplit.

BAB III

Appendicitis Infiltrat, Kepaniteraan Klinik Rumah Sakit Jogja, Kota Yogyakarta

Hal. 24

Page 25: Referat Appendicitis

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2012

REFERAT – ILMU PENYAKIT BEDAH

KESIMPULAN

Appendicitis inflitrat sebenarnya adalah istilah yang salah, seharusnya

disebut dengan massa periappendikular. Massa appendiks ini terjadi bila

appendicitis gangrenosa atau mikroperforasi ditutupi oleh pendindingan oleh

omentum dan / atau lekuk usus. Umumnya massa appendiks terbentuk pada hari

ke-4 sejak peradangan mulai apabila tidak terjadi peritonitis umum. Massa

appendiks lebih sering dijumpai pada pasien berumur > 5 tahun karena daya tahan

tubuh telah berkembang dengan baik dan omentum telah cukup panjang dan tebal

untuk membungkus proses radang.

GEJALA DAN TANDA

Gejala klinisnya sama dengan gejala appendicitis ditambah dengan

terabanya massa pada kuadran kanan bawah.

TERAPI

Pada massa periappendikular yang pendindingannya belum sempurna,

dapat terjadi penyebaran pus ke seluruh rongga peritoneum jika perforasi diikuti

peritonitis purulenta generalisata. Oleh karena itu, disarankan massa

periappendikular yang masih mobile di operasi segera untuk mencegah penyulit

tersebut. Disamping itu, operasi masih mudah.

Pada massa periappendikular yang terfiksir dan pendindingan sempurna,

dirawat dulu dan diberi antibiotik. Hal-hal yang perlu diperhatikan antara lain :

Suhu tubuh

Ukuran massa

Luasnya peritonitis

Leukosit

Bila sudah tidak ada demam, massa periappendikular hilang, dan leukosit

normal, penderita boleh pulang dan appendektomi elektif dapat dikerjakan 2 – 3

bulan kemudian agar perdarahan akibat perlengketan dapat ditekan sekecil

mungkin (interval appendektomi).

REFERENSI

Appendicitis Infiltrat, Kepaniteraan Klinik Rumah Sakit Jogja, Kota Yogyakarta

Hal. 25

Page 26: Referat Appendicitis

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2012

REFERAT – ILMU PENYAKIT BEDAH

1. De Jong,.W., Sjamsuhidajat, R., 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2

2. Addis DG, Shaffer N, Fowler BS,et al :The epidemiology of appendicitis and appendectomy in United States. Am J Epidemiol 132:910,1990

3. Flum DR, Morris A, Koepsell T,et al: Has misdiagnosis of appendicitis decreased over time? A population-based analysis. JAMA 286:1748,2001

4. Harken. H Alden, Moore. E,Ernest.,2009. Aberanathy’s Surgical Edisi 6;188

Appendicitis Infiltrat, Kepaniteraan Klinik Rumah Sakit Jogja, Kota Yogyakarta

Hal. 26