referat ANGIOFIBROMA NASOFARING

12
ANGIOFIBROMA NASOFARING I. DEFINISI Angiofibroma nasofaring yang sering juga disebut dengan angiofibroma nasofaring belia (juvenile nasopharyngeal angiofibroma) merupakan tumor jinak yang sering ditemukan di nasofaring, 1,2 dan secara histologis bersifat ganas, karena mempunyai kemampuan mendestruksi tulang dan meluas ke jaringan sekitarnya, seperti ke sinus paranasal, pipi, mata dan tengkorak, serta sangat mudah berdarah yang sulit dihentikan. 2,3,4 II. PREVALENSI Insidens angiofibroma nasofaring belia (ANB) sebesar 0,05-0,5% dari seluruh tumor kepala- leher. 2,5,6 Lesi ini hampir selalu ditemukan pada pasien laki-laki remaja, dalam kisaran usia 9- 19 tahun. 5 Jarang terjadi pada usia lebih dari 25 tahun. 2 Dilaporkan insidennya antara 1 : 5.000 – 1 : 60.000 pada pasien THT. Di RSUP. H. Adam Malik dari Januari 2001 – November 2002 dijumpai 11 kasus angiofibroma nasofaring. 7 III. ETIOLOGI Etiologi angiofibroma nasofaring masih belum jelas, namun secara garis besar dibagi menjadi teori jaringan asal, 1,2,4,6,7 yaitu lesi berasal dari perlekatan bagian posterior konka media 1

description

REFERAT DEWI SASMITA KUMALA SARI

Transcript of referat ANGIOFIBROMA NASOFARING

Page 1: referat ANGIOFIBROMA NASOFARING

ANGIOFIBROMA NASOFARING

I. DEFINISI

Angiofibroma nasofaring yang sering juga disebut dengan

angiofibroma nasofaring belia (juvenile nasopharyngeal angiofibroma)

merupakan tumor jinak yang sering ditemukan di nasofaring,1,2 dan

secara histologis bersifat ganas, karena mempunyai kemampuan

mendestruksi tulang dan meluas ke jaringan sekitarnya, seperti ke

sinus paranasal, pipi, mata dan tengkorak, serta sangat mudah berdarah

yang sulit dihentikan.2,3,4

II. PREVALENSI

Insidens angiofibroma nasofaring belia (ANB) sebesar 0,05-0,5%

dari seluruh tumor kepala-leher.2,5,6 Lesi ini hampir selalu ditemukan

pada pasien laki-laki remaja, dalam kisaran usia 9-19 tahun.5 Jarang

terjadi pada usia lebih dari 25 tahun.2 Dilaporkan insidennya antara 1 :

5.000 – 1 : 60.000 pada pasien THT. Di RSUP. H. Adam Malik dari

Januari 2001 – November 2002 dijumpai 11 kasus angiofibroma

nasofaring.7

III. ETIOLOGI

Etiologi angiofibroma nasofaring masih belum jelas, namun secara

garis besar dibagi menjadi teori jaringan asal,1,2,4,6,7 yaitu lesi berasal

dari perlekatan bagian posterior konka media dan dekat perbatasan

superior foramen sfenopalatina.6 Dan faktor ketidakseimbangan

hormonal juga banyak dikemukakan sebagai penyebab adanya

kekurangan androgen atau kelebihan estrogen. Anggapan ini

didasarkan juga atas adanya hubungan erat antara tumor dengan jenis

kelamin dan umur.2,4 Oleh karena tumor banyak ditemukan pada laki-

laki remaja yang diduga karena adanya reseptor hormon seks.6

IV. HISTOPATALOGI

a. Makroskopis

1

Page 2: referat ANGIOFIBROMA NASOFARING

Angifibroma nasofaring tampak sebagai massa yang tidak

teratur, warna kemerah – merahan, permukaan licin. Ia berbentuk

nodular, kokoh, tidak memiliki kapsul dengan dasar yang biasanya

bertangkai.4

b. Mikroskopis

Angiofibroma nasofaring terdiri dari komponen pembuluh

darah di dalam stroma yang fibrous. Pada pertumbuhan tumor yang

aktif, komponen pembuluh darah menjadi predominan. Dinding

pembuluh darah secara umum terdiri dari endothelial tunggal yang

melapisi stromafibrous. Ini membantu untuk menyebabkan

pendarahan yang masif. Pembuluh darah dalam bisa memiliki

suatu lapisan muskular. Stroma terbuat dari fibril kolagen yang

halus dan kasar yang memiliki ciri – ciri jaringan ikat berbentuk

bintang pada daerah tertentu. Jaringan angiomatous cenderung

surut seiring dengan waktu. Karena karakteristik histologis internal

dapat dilihat, maka biopsi permukaan bisa menimbulkan salah

penafsiran.4

V. PATOGENESIS

Tumor pertama kali tumbuh di bawah mukosa di tepi sebelah

posterior dan lateral koana di atap nasofaring. Tumor akan tumbuh

besar dan meluas di bawah mukosa, sepanjang atap nasofaring,

mencapai tepi posterior septum dan meluas ke arah bawah membentuk

tonjolan massa di atap rongga posterior. Perluasan ke arah anterior

akan mengisi rongga hidung, mendorong septum ke sisi kontralateral

dan memipihkan konka. Pada perluasan ke arah lateral, tumor melebar

ke arah foramen sflenopalatina, masuk ke fisura pterigomaksila dan

akan mendesak dinding posterior sinus maksila. Bila meluas terus,

akan masuk ke fosa intratemporal yang akan menimbulkan benjolan di

pipi, dan “rasa penuh” di wajah. Apabila tumor telah mendorong salah

satu atau kedua bola mata maka tampak gejala yang khas pada wajah,

yang disebut “muka kodok”.2

2

Page 3: referat ANGIOFIBROMA NASOFARING

Perluasan ke intrakranial dapat terjadi melalui fosa infratemporal

dan pterigomaksila masuk ke fosa serebri media. Dari sinus etmoid

masuk ke fosa serebri anterior atau dari sinus sfenoid ke sinus

kavernosus dan fosa hipofise.2

VI. MANIFESTASI KLINIS

Sumbatan hidung merupakan keluhan yang paling sering (80 –

90%), sumbatan ini bersifat progresif disertai epistaksis yang berulang

(45 – 60%), sehingga penderita datang dengan keadaan umum yang

lemah dan anemia. Gejala lain adalah sakit kepala, rinorea, anosmia,

hiposmia, rinolalia, tuli, otalgia, pembengkakan palatum dan

deformitas pipi.1,4

VII. DIAGNOSIS

Diagnosis biasanya ditegakkan berdasarkan anamnesis,

pemeriksaan fisik secara rinoskopi posterior dan pemeriksaan

radiologis.2,4

Pada anamnesis gejala yang paling sering ditemukan (lebih dari

80%) ialah hidung tersumbat yang progresif dan epistaksis berulang

yang masif. Adanya obstruksi hidung memudahkan terjadinya

penimbunan sekret, sehingga timbul rinorea kronis yang diikuti oleh

gangguan penciuman. Tuba eustachius akan menimbulkan ketulian

atau otalgia. Sefalgia hebat biasanya menunjukkan bahwa tumor sudah

meluas ke intrakranial.2

Dan pada pemeriksaan fisik secara rinoskopi posterior akan terlihat

massa tumor yang konsistensinya kenyal, warnanya bervariasi dari

abu-abu sampai merah muda. Bagian tumor yang terlihat di nasofaring

biasanya diliputi oleh selaput lendir berwarna keunguan, sedangkan

bagian yang meluas ke luar nasofaring berwarna putih atau abu-abu.

Pada usia muda warnanya merah muda, pada usia yang lebih tua

warnanya kebiruan, karena lebih banyak komponen fibromanya.

Mukosanya mengalami hipervaskularisasi dan tidak jarang ditemukan

adanya ulserasi.2,6

3

Page 4: referat ANGIOFIBROMA NASOFARING

Karena tumor sangat mudah berdarah, sebagai pemeriksaan

penunjang diagnosis dilakukan pemeriksaan radiologik konvensional

CT scan serta pemeriksaan arteriografi. Pada pemeriksaan radiologik

konvensional ( foto kepala potongan antero-posterior, lateral, dan

posisi Waters) akan terlihat gambaran klasik yang disebut sebagai

tanda “Holman Miller” yaitu pendorongan prosessus pterygoideus ke

belakang, sehingga fisura pterigo-palatina melebar. Akan terlihat juga

adanya massa jaringa lunak di daerah nasofaring yang dapat mengerosi

dinding orbita, arkus zigoma dan tulang disekitar nasofaring. Pada

pemeriksaan CT scan dengan zat kontras akan tampak secara tepat

perluasan massa tumor serta destruksi tulang ke jaringan sekitarnya.2,5,8

Pemeriksaan Magnetik Resonansi Imaging (MRI) dilakukan untuk

menentukan batas tumor terutama yang telah meluas ke

intrakranial.2,5,8

Pada pemeriksaan arteriografi arteri karotis eksterna akan

memperlihatkan vaskularisasi tumor yang biasanya berasal dari cabang

a.maksila interna homolateral. Arteri maksilaris interna terdorong ke

depan sebagai akibat dari pertumbuhan tumor dari posterior ke anterior

dan dari nasofaring ke arah fosa pterigimaksila. Selain itu, masa tumor

akan terisi oleh kontras pada fase kapiler dan akan mencapai

maksimum setelah 3-6 detik zat kontras disuntikkan.2

Kadang – kadang juga sekaligus dilakukan embolisasi agar terjadi

trombosis intravaskular, sehingga vaskularisasi berkurang dan akan

mempermudah pengangkatan tumor.2

Pemeriksaan kadar hormonal dan pemeriksaan immunohistokimia

terhadap reseptor esterogen, progesteron dan androgen sebaiknya

dilakukan untuk melihat adanya gangguan hormonal.2

Pemeriksaan patologi anato mi tidak dapat dilakukan, karena

biopsi merupakan kontraindikasi, sebab akan mengakibatkan

perdarahan yang masif.2

Untuk menentukan derajat atau stadium tumor umunya saat ini

menggunakan klasifikasi Session dan Fisch.2,7

4

Page 5: referat ANGIOFIBROMA NASOFARING

Tabel 1. Klasifikasi menurut Session sebagai berikut :1,2,4,5,7,8

Stadium

IA Tumor terbatas di nares posterior dan atau

nasofaringeal voult

IB Tumor meliputi nares posterior atau nasofaringeal

voult dengan meluas sedikitnya 1 sinus paranasal

IIA Tumor meluas sedikit ke fossa pterigomaksila

IIB Tumor memenuhi fossa pterigomaksila tanpa

mengerosi tulang orbita

IIIA Tumor telah mengerosi dasar tulang tengkorak dan

meluas sedikit ke intrakranial

IIIB Tumor telah meluas ke intrakranial dengan atau tanpa

meluas ke sinus kavernosus

Tabel 2. Klasifikasi menurut Fisch sebagai berikut : 2,5,7

VIII. PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan angiofibroma nasofaring dapat dilakukan dengan

berbagai cara seperti : (1) terapi hormonal; (2) radioterapi; dan (3)

pembedahan (tindakan operasi).1,2,4

5

Stadium

I Tumor terbatas di rongga hidung , nasofaring tanpa

mendestruksi tulang

II Tumor menginvasi fossa pterigomaksila, sinus

paranasal dengan destruksi tulang

III Tumor menginvasi fossa infratemporal, orbita dengan

atau regio paraselar

IV Tumor meninvasi sinus kafernosus, regio chiasma

optik dan atau fossa pituitary

Page 6: referat ANGIOFIBROMA NASOFARING

Tindakan operasi merupakan pilihan utama angiofibroma

nasofaring. Operasi harus dilakukan di rumah sakit dengan fasilitas

cukup, karena risiko perdarahan yang hebat. Berbagai pendekatan

operasi dilakukan sesuai dengan lokasi tumor dan perluasannya,

seperti melalui transpalatal, rinotomi lateral, rinotomi sublabial

(sublabial mid-facial degloving) atau kombinasi dengan kraniotomi

frontotemporal bila sudah meluas ke intrakranial. Selain itu operasi

melalui bedah endoskopi transnasal juga dapat dilakukan dengan

dipandu CT scan 3 dimensi dan pengangkatan tumor dapat dibantu

dengan laser.2,4

Sebelum dilakukan operasi pengangkatan tumor selain embolisasi

untuk mengurangi pendarahan yang banyak dapat dilakukan ligasi

arteri karotis eksterna dan anestesi dengan teknik hipotensi.2

Pengobatan hormonal diberikan pada pasien dengan stadium I dan

II dengan preparat testosteron reseptor bloker (flutamid).2

Pengobatan radioterapi dapat dilakukan dengan stereotaktik

radioterapi (Gama knife) atau jika tumor meluas ke intrakranial dengan

radioterapi konformal 3 dimensi.2 Terapi radiasi juga biasanya

digunakan sebagai terapi paliatif untuk mengurangi perdarahan pada

saat operasi, sebagai terapi tambahan pada tumor yang rekuren, dan

pada tumor dengan pertumbuhan intrakranial. Radiasi pada usia remaja

dapat mengganggu pertumbuhan tulang wajah, radionekrosis dan

perubahan tumor menjadi ganas. Terapi ini dilakukan juga pada pasien

yang menolak operasi dan pada tumor yang tidak mungkin untuk

dioperasi lagi.1

Untuk tumor yang sudah meluas ke jaringan sekitarnya dan

mendestruksi dasar tengkorak sebaiknya diberikan radioterapi

prabedah atau dapat pula diberikan terapi hormonal dengan preparat

testosteron reseptor bloker (flutamid) 6 minggu sebelum operasi,

meskipun hasilnya tidak sebaik radioterapi.2

6

Page 7: referat ANGIOFIBROMA NASOFARING

Gambar 1. Massa tumor yang telah diangkat1

IX. PROGNOSIS

Angka kekambuhan pada angiofibroma nasofaring ini berkisar 30-

40%. Besarnya angka kekambuhan sangat tergantung kepada luasnya

tumor, teknik pembedahan yang digunakan dan pengalaman ahli

bedahnya sendiri.1,6 Pada teknik operasi dengan pendekatan transpalatal

angka kekambuhan menjadi 23 %. Kontrol berkala dilakukan 3-6

bulan untuk evaluasi kekambuhan massa tumor. Faktor risiko yang

berkaitan dengan kekambuhan angiofibroma nasofaring adalah

perluasan tumor di fosa pterigoideus dan basis sfenoid, perluasan

intrakranial, suplai makanan dari arteri karotis interna, usia muda, dan

adanya sisa tumor. Beberapa kondisi dengan gejala dan tanda yang

serupa dengan angiofibroma adalah polip kavum nasi, polip

antrokoanal, encephalocele, inverting papilloma, karsinoma

nasofaring.6

DAFTAR PUSTAKA

7

Page 8: referat ANGIOFIBROMA NASOFARING

1. Rahman S, Budiman BJ, Azani S. Angiofibroma Nasofaring pada Dewasa.

Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher (THT-KL)

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas Padang. Hal : 1-6

2. Arsyad Soepardi, Efiaty; Nurbaiti Iskandar, Jenny Bashiruddin, Ratna Dwi

Resuti. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala &

Leher; Edisi keenam. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. 2007. Hal :188-190

3. Anggreani L, Adham M, Zanil M, Lisnawati, Bardosono S. Gambaran

Ekspresi Reseptor Estrogen Pada Angiofibroma Nasofaring Belia dengan

Menggunakan Pemeriksaan Imunohistokimia. Departemen Ilmu Penyakit

Telinga Hidung Tenggorok Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Jakarta – Indonesia. Hal : 2

4. Siti Hajar T, Hafni. Angiofibroma Nasofaring Belia. Departemen Ilmu

Penyakit THT-KL Fakultas Kedokteran USU/RSUP H. Adam Malik,

Medan. Majalah Kedokteran Nusantara Volume 38. No 3. 2005; hal 251-

253

5. Wardani RS, Mayangsari IK, Lisnawati, Pandelaki J, Prameswati K,

Mangunkusumo E. Bedah sinonasal endoskopik angiofibroma nasofaring

belia: laporan seri kasus berbasis bukti (evidence based). ORLI Vol 42 No.

2 Tahun 2012. Jakarta. Hal 134

6. Yudianto SA, Tjekeg M, Nuaba AG. Angiofibroma Nasofaring pada

Pasien Usia Lanjut. Jurnal Ilmiah Kedokteran. Medicina. Volume 44 No.

2. Tahun 2013. Hal 105-107

7. Asroel, HA. Angiofibroma Nasofaring Belia . Fakultas Kedokteran Bagian

Tenggorokan Hidung danTelinga Universitas Sumatera Utara. Medan.

2002. Hal : 1

8. Atalar M, MD; Solak O, MD; Muderris S, MD. Juvenile Nasopharyngeal

Angiofibroma: Radiologic Evaluation And Pre-Operative Embolization.

Cumhuriyet University Faculty of Medicine, Department of

Otorhinolaryngology, Sivas, Turkey. 2006. Page : 58

8