Referat ADR

42
BAB 1 PENDAHULUAN Cholelithiasis di Indonesia merupakan penyakit yang sering menyerang saluran pencernaan. Namun penyakit ini sering tidak mendapat perhatian dari penderitanya karena minimnya gejala yang tampak pada penderitanya. Pasien-pasien yang memiliki cholelithiasis jarang mengalami komplikasi. Walaupun demikian, bila cholelithiasis telah menimbulkan serangan nyeri kolik yang spesifik maka risiko untuk mengalami masalah dan penyulit akan terus meningkat. Cholelithiasis umumnya ditemukan di dalam kandung empedu, tetapi batu tersebut dapat bermigrasi melalui duktus sistikus ke dalam saluran empedu menjadi batu saluran empedu dan disebut sebagai batu saluran empedu sekunder. Sekitar 10-15% pasien dengan batu kandung empedu juga disertai batu saluran empedu. Pada beberapa keadaan, batu saluran empedu dapat terbentuk primer di dalam saluran empedu intra-atau-ekstrahepatik tanpa 3

description

Referat Mata

Transcript of Referat ADR

Page 1: Referat ADR

BAB 1

PENDAHULUAN

Cholelithiasis di Indonesia merupakan penyakit yang sering menyerang saluran

pencernaan. Namun penyakit ini sering tidak mendapat perhatian dari

penderitanya karena minimnya gejala yang tampak pada penderitanya. Pasien-

pasien yang memiliki cholelithiasis jarang mengalami komplikasi. Walaupun

demikian, bila cholelithiasis telah menimbulkan serangan nyeri kolik yang

spesifik maka risiko untuk mengalami masalah dan penyulit akan terus

meningkat. Cholelithiasis umumnya ditemukan di dalam kandung empedu, tetapi

batu tersebut dapat bermigrasi melalui duktus sistikus ke dalam saluran empedu

menjadi batu saluran empedu dan disebut sebagai batu saluran empedu sekunder.

Sekitar 10-15% pasien dengan batu kandung empedu juga disertai batu saluran

empedu. Pada beberapa keadaan, batu saluran empedu dapat terbentuk primer di

dalam saluran empedu intra-atau-ekstrahepatik tanpa melibatkan kandung

empedu. Perjalanan cholelithiasis belum sekunder belum jelas benar, tetapi

komplikasi akan lebih sering dan berat dibandingkan batu kandung empedu

asimptomatik.(1)

Penyakit cholelithiasis adalah salah satu penyakit yang sering mengenai

traktus digestivus. Dari autopsi didapatkan prevalensi dari cholelithiasis adalah

11-36%. Prevalensi cholelithiasis berhubungan dengan banyak faktor termasuk

umur, jenis kelamin, dan latar belakang etnik. Beberapa kondisi yang merupakan

predisposisi berkembangnya cholelithiasis adalah obesitas, kehamilan, faktor

3

Page 2: Referat ADR

makanan, rendahnya konsumsi kopi, penyakit Crohn, reseksi ileum terminal,

operasi gaster, hereditary spherocytosis, sickle cell disease, dan thalassemia.

Semua ini akan meningkatkan resiko terjadinya cholelithiasis. Wanita 3 kali lebih

sering terjadi cholelithiasis di bandingkan laki-laki dan insidensinya meningkat

sesuai dengan usia(1,2)

Sementara ini di dapat kesan bahwa meskipun batu kolesterol di Indonesia

lebih umum, angka kejadian batu pigmen lebih tinggi di bandingkan dengan

angka yang terdapat di negara barat, dan sesuai dengan angka di negara tetangga

seperti Singapura, Malaysia, Muangthai, dan Filipina. Hal ini menunjukan bahwa

faktor infeksi empedu oleh kuman gram negatif E.coli ikut berperan penting

dalam timbulnya batu pigmen. Di wilayah ini insiden batu primer saluran empedu

adalah 40-50% dari penyakit batu empedu sedangkan di dunia barat sekitar 5%. 2

Batu empedu terbanyak di temukan di dalam kandung empedu tetapi sepertiga

dari batu empedu merupakan batu ductus choledochus. (2)

4

Page 3: Referat ADR

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Batu empedu atau cholelithiasis adalah timbunan kristal di dalam kandung

empedu atau di dalam saluran empedu atau pada kedua-duanya. Batu kandung

empedu merupakan gabungan beberapa unsur dari cairan empedu yang

mengendap dan membentuk suatu material mirip batu di dalam kandung empedu

atau saluran empedu. Komponen utama dari cairan empedu adalah bilirubin,

garam empedu, fosfolipid dan kolestrol. Batu yang ditemukan di dalam kandung

empedu bisa berupa batu kolestrol, batu pigmen yaitu pigmen coklat atau pigmen

hitam, atau batu campuran. (1).

B. Faktor Risiko

Pada dasarnya semua penyakit kronik memiliki riwayat alamiah yang yang

bersifat multifaktorial termasuk disini adalah Cholelithiasis yang diakibatkan dari

interaksi antara faktor genetik dan lingkungan. Faktor lingkungan akhir-akhir ini

dianggap berakibat dari tumbuhnya gaya hidup yang modern, termasuk disini

adalah tingginya asupan karbohidrat, prevalensi tinggi timbulnya obesitas dan

non-insulin dependent diabetes mellitus, dan gaya hidup yang cenderung sedenter

Hipotesis genetik mendukung teori colelithiasis berkembang dari

hubungan keluaga, survey epidemiologi yang telah ada memberikan kesan bahwa

ras amerika dan bangsa indian memiliki gen lithogenik lebih tinggi. Karena

5

Page 4: Referat ADR

kolesterol dalam empedu kebanyakan berasal dari kolesterol yang dibentuk dari

lipoprotein plasma, beberapa studi dan penelitian memfokuskan pada gen yang

terkait dengan transport dari kolesterol tersebut, termasuk ekspresi dari apoprotein

E, B dan A-I dan cholesterol ester transfer protein. Pada percobaan dengan

menggunakan tikus dan hamster telah ditemukan memang ada suatu gen yang

dapat membantu terbentuknya batu empedu kolesterol (1)

Faktor-faktor yang mendasari terjadinya batu empedu pada beberapa

penelitian adalah jenis kelamin, usia, kolesterol HDL yang rendah, BMI yang

tinggi, persentase lemak tubuh, kadar glokosa serum yang yang lebih tinggi

terutama pada wanita (dengan atau tanpa NIDDM), paritas dan hiperinsulinemia.

Pada penelitian yang secara konsisten dan sering ditemukan adalah hubungan

antara konsentrasi kolesterol HDL serum dengan terjadinya batu empedu, yang

memberikan kesan bahwa abnormalitas dari metabolisme kolesterol HDL yang

mendasari terjadinya batu empedu. (1)

C. Epidemiologi

Cholelithiasis umumnya ditemukan di dalam kandung empedu, tetapi batu

tersebut dapat bermigrasi melalui duktus sistikus ke dalam saluran empedu

menjadi batu saluran empedu dan disebut sebagai batu saluran empedu sekunder.

Sekitar 10-15% pasien dengan batu kandung empedu juga disertai batu saluran

empedu. Pada beberapa keadaan, batu saluran empedu dapat terbentuk primer di

dalam saluran empedu intra-atau-ekstrahepatik tanpa melibatkan kandung

6

Page 5: Referat ADR

empedu. Perjalanan cholelithiasis belum sekunder belum jelas benar, tetapi

komplikasi akan lebih sering dan berat dibandingkan batu kandung empedu

asimptomatik.(2,3)

Penyakit cholelithiasis adalah salah satu penyakit yang sering mengenai

traktus digestivus. Dari autopsi didapatkan prevalensi dari cholelithiasis adalah

11-36%. Prevalensi cholelithiasis berhubungan dengan banyak faktor termasuk

umur, jenis kelamin, dan latar belakang etnik. Beberapa kondisi yang merupakan

predisposisi berkembangnya cholelithiasis adalah obesitas, kehamilan, faktor

makanan, rendahnya konsumsi kopi, penyakit Crohn, reseksi ileum terminal,

operasi gaster, hereditary spherocytosis, sickle cell disease, dan thalassemia.

Semua ini akan meningkatkan resiko terjadinya cholelithiasis. Wanita 3 kali lebih

sering terjadi cholelithiasis di bandingkan laki-laki dan insidensinya meningkat

sesuai dengan usia(1,2)

Sementara ini di dapat kesan bahwa meskipun batu kolesterol di Indonesia

lebih umum, angka kejadian batu pigmen lebih tinggi di bandingkan dengan

angka yang terdapat di negara barat, dan sesuai dengan angka di negara tetangga

seperti Singapura, Malaysia, Muangthai, dan Filipina. Hal ini menunjukan bahwa

faktor infeksi empedu oleh kuman gram negatif E.coli ikut berperan penting

dalam timbulnya batu pigmen. Di wilayah ini insiden batu primer saluran empedu

adalah 40-50% dari penyakit batu empedu sedangkan di dunia barat sekitar 5%. 2

Batu empedu terbanyak di temukan di dalam kandung empedu tetapi sepertiga

dari batu empedu merupakan batu ductus choledochus(1).

D. Etiologi

7

Page 6: Referat ADR

1. Batu kolesterol

Batu kolesterol murni jarang di dapatkan dan terdapat hanya kurang dari 10%.

Batu ini biasanya multipel, ukurannya bervariasi, bila keras berbentuk ireguler,

bila lunak berbentuk mulberi. Warnanya bervariasi dari kuning, hijau, dan hitam.

Batu kolesterol biasanya radiolusen, kurang dari 10% radioopak. Baik batu

kolesterol murni atau campuran, proses pembentukan batu kolesterol yang

terutama adalah supersaturasi empedu dengan kolesterol. Kolesterol adalah

nonpolar dan tidak larut dalam air dan empedu. Kelarutan kolesterol bergantung

pada konsentrasi dari kolesterol, garam empedu, dan lesitin (fosfolipid utama pada

empedu). Supersaturasi hampir selalu disebabkan oleh hipersekresi kolesterol di

bandingkan pengurangan sekresi dari fosfolipid atau garam empedu.(4,5)

2. Batu pigmen

Batu pigmen di klasifikasikan menjadi batu pigmen coklat dan hitam.(a). Batu

pigmen hitam biasanya di hubungkan dengan kondisi hemolitik atau sirosis. Pada

keadaan hemolitik beban bilirubin dan konsentrasi dari bilirubin tidak

terkonjugasi meningkat. Batu ini biasanya tidak berhubungan dengan empedu

yang tidak terinfeksi dan lokasinya selalu di kandung empedu.Batu pigmen hitam

bersifat radioopak,(b.) batu pigmen coklat mempunyai struktur yang sederhana

dan biasanya di temukan pada duktus biliaris dan terutama pada populasi Asia.

Batu coklat lebih sering terdiri dari kolesterol dan kalsium palmitat dan terjadi

sebagai batu primer pada pasien di negara barat dengan gangguan motilitas bilier

dan berhubungan dengan infeksi bakteri. Dalam hal ini bakteri memproduksi

8

Page 7: Referat ADR

slime dimana berisi enzim glukuronidase. Batu pigmen cokelat bersifat

radiolusen(5)

3. Batu Campuran

Batu campuran antara kolestrol dan pigmen dimana mengandung 20 – 50%

kolesterol. (5)

E. Patogenesis

Patogenesis dari batu kolesterol multifaktorial, tetapi intinya terdiri dari 3

tahap. (1) supersaturasi kolesterol pada empedu (2) nukleasi kristal dan (3)

pertumbuhan batu. Mukosa kandung empedu dan fungsi motorik juga berperan

pada pembentukan batu empedu. Kunci untuk mempertahankan kolesterol dalam

bentuk cairan adalah pembentukan micelles (kompleks garam empedu-kolesterol-

fosfolipid) dan vesikel kolesterol-fosfolipid. Teori mengatakan dalam keadaan

produksi kolesterol berlebih vesikel ini juga akan meningkatkan kemampuannya

untuk mentransport kolesterol, dan pembentukan kristal dapat terjadi. Kelarutan

kolesterol bergantung pada konsentrasi kolesterol, garam empedu dan fosfolipid.

Dengan memperhatikan persentasi masing-masing komponen koordinat pada

segitiga zona micellar dimana kolesterol benar-benar larut dapat terlihat pada area

bagian atas empedu mengalami supersaturasi kolesterol dan pembentukan kristal

kolesterol dapat terjadi.(5)

Proses nukleasi adalah proses dimana terbentuk kristal kolesterol

monohidrat padat. Proses nukleasi terjadi lebih cepat pada empedu di kandung

empedu pada pasien dengan batu kolesterol di bandingkan pada pasien dengan

9

Page 8: Referat ADR

empedu yang jenuh kolesterol tanpa batu. Batu empedu untuk bisa menimbulkan

gejala klinis harus mencapai ukuran yang cukup yang dapat menyebabkan trauma

mekanik pada kandung empedu atau obstruksi dari traktus biliaris. Pertumbuhan

batu dapat terjadi lewat 2 jalan: Pembesaran progresif kristal atau batu oleh

endapan dari presipitat yang tidak larut pada batas sekitar batu empedu. Penyatuan

kristal atau batu dan membentuk gumpalan yang lebih besar. Sebagai tambahan

defek pada motilitas kandung empedu menyebabkan waktu empedu berada lebih

lama di kandung empedu, dengan demikian akan memainkan peran dalam

pembentukan batu. Pembentukan batu juga dapat terjadi pada keadaan klinis

dimana terdapat stasis kandung empedu seperti puasa dalam jangka waktu lama,

pengunaan nutrisi parenteral dalam jangka waktu lama, setelah vagotomy dan

pada pasien dengan tumor yang memproduksi somatostatin atau mendapatkan

trapi stomatotatin jangka panjang.(5)

F. Patofisiologi

Batu Kolesterol

Empedu yang disupersaturasi oleh kolesterol bertanggung jawab bagi lebih dari

90 persen batu empedu di negara barat. Sebagian besar batu ini merupakan batu

kolesterol campuran yang mengandung paling sedikit 75 persen kolesterol

berdasarkan berat serta dalam variasi jumlah fosfolipid, pigmen empedu, senyawa

organik dan inorganik lain. Batu kolesterol murni terdapat dalam sekitar 10 persen

dari semua batu kolesterol. Sifat fisikomia empedu bervariasi sesuai konsentrasi

relatif garam empedu, lesitin dan kolesterol. Kolestrol dilarutkan dalam empedu

dalam daerah hidrofobik micelle, sehingga kelarutannya tergantung pada jumlah

10

Page 9: Referat ADR

relatif garam empedu dan lesitin. Hubungan antara kolesterol lesitin dan garam

empedu ini dapat dilihat dalam grafik segitiga. Yang koordinatnya merupakan

persentasi konsentrasi molar garam empedu, lesitin dan kolesterol. Empedu yang

mengandung kolesterol seluruhnya di dalam micelles digambarkan oleh area di

bawah garis lengkung ABC (cairan micelle) ; tetapi bila konsentrasi relatif garam

empedu, lesitin dan kolesterol turun ke area di atas garis ABC, maka ada

kolesterol di dalam dua fase atau lebih (cairan micelle dan kristal kolesterol).(4)

Pembentukan batu kolesterol merupakan proses yang terdiri atas 4 defek utama

yang dapat terjadi secara berurutan atau bersamaan:

1. Supersaturasi kolesterol empedu.

2. Hipomotilitas kantung empedu.

3. Peningkatan aktivitas nukleasi kolesterol.

4. Hipersekresi mukus di kantung empedu

1. Supersaturasi Kolesterol empedu

Kolesterol merupakan komponen utama dalam batu kolesterol. Pada

metabolisme kolesterol yang normal, kolesterol yang disekresi ke dalam empedu

akan terlarut oleh komponen empedu yang memiliki aktivitas detergenik seperti

garam empedu dan fosfolipid (khususnya lesitin). Konformasi kolesterol dalam

empedu dapat berbentuk misel, vesikel, campuran misel dan vesikel atau kristal.

11

Page 10: Referat ADR

Umumnya pada keadaan normal dengan saturasi kolesterol yang rendah,

kolesterol wujud dalam bentuk misel yaitu agregasi lipid dengan komponen

berpolar lipid seperti senyawa fosfat dan hidroksil terarah keluar dari inti misel

dan tersusun berbatasan dengan fase berair sementara komponen rantaian

hidrofobik bertumpuk di bagian dalam misel. emakin meningkat saturasi

kolesterol, maka bentuk komposisi kolesterol yang akan ditemukan terdiri atas

campuran dua fase yaitu misel dan vesikel. Vesikel kolesterol dianggarkan sekitar

10 kali lipat lebih besar daripada misel dan memiliki fosfolipid bilayer tanpa

mengandung garam empedu. Seperti misel, komponen berpolar vesikel turut

diatur mengarah ke luar vesikel dan berbatasan dengan fase berair ekstenal

sementara rantaian hidrokarbon yang hidrofobik membentuk bagian dalam dari

lipid dwilapis. Diduga <30% kolesterol bilier diangkut dalam bentuk misel, yang

mana selebihnya berada dalam bentuk vesikel. Umumnya, konformasi vesikel

berpredisposisi terhadap pembentukan batu empedu karena lebih cenderung untuk

beragregasi dan bernukleasi untuk membentuk konformasi kristal. Small dkk

(1968) menggambarkan batas solubilitas kolesterol empedu sebagai faktor yang

terkait dengan kadar fosfolipid dan garam empedu dalam bentuk diagram segitiga,

keseimbangan titik P mewakili empedu dengan komposisi 80% garam empedu,

5% kolesterol dan 15% lesitin. Garis ABC mewakili solubilitas maksimal

kolesterol dalam berbagai campuran komposisi garam empedu dan lesitin. Oleh

karena titik P berada di bawah garis ABC serta berada dalam zona yang terdiri

atas fase tunggal cairan misel maka empedu disifatkan sebagai tidak tersaturasi

dengan kolesterol.

12

Page 11: Referat ADR

Empedu dengan campuran komposisi yang berada atas garis ABC akan

mengandung konsentrasi kolesterol yang melampau dalam sehingga empedu

disebut sebagai mengalami supersaturasi kolesterol. Empedu yang tersupersaturasi

dengan kolesterol akan wujud dalam keadaan lebih daripada satu fase yaitu dapat

dalam bentuk campuran fase misel, vesikel maupun kristal dan cenderung

mengalami presipitasi membentuk kristal yang selanjutnya akan berkembang

menjadi batu empedu. Dalam arti kata lain, diagram keseimbangan fase turut

memudahkan prediksi komposisi kolesterol dalam empedu (fase misel, vesikel,

campuran misel dan vesikel atau kristal). (4,5)

Selain itu, diagram keseimbangan turut menfasilitasi penentuan indeks

saturasi kolesterol (CSI) sebagai indikator tingkat saturasi kolesterol dalam

empedu. CSI didefinisikan sebagai rasio konsentrasi sebenar kolesterol bilier

dibanding konsentrasi maksimal yang wujud dalam bentuk terlarut pada fase

keseimbangan pada model empedu. Pada CSI >1.0, empedu dianggap

tersupersaturasi dengan kolesterol yaitu keadaan di mana peningkatan konsentrasi

kolesterol bebas yang melampaui kapasitas solubilitas empedu. Pada keadaan

supersaturasi, molekul kolesterol cenderung berada dalam bentuk vesikel

unilamelar yang secara perlahan-lahan akan mengalami fusi dan agregasi hingga

membentuk vesikel multilamelar (kristal cairan) yang bersifat metastabil.

Agregasi dan fusi yang berlanjutan akan menghasilkan kristal kolesterol

monohidrat menerusi proses nukleasi. Teori terbaru pada saat ini mengusulkan

bahwa keseimbangan fase fisikokimia pada fase vesikel merupakan faktor utama

yang menentukan kecenderungan kristal cairan untuk membentuk batu empedu.

13

Page 12: Referat ADR

Tingkat supersaturasi kolesterol disebut sebagai faktor paling utama yang

menentukan litogenisitas empedu. Berdasarkan diagram fase, faktor-faktor yang

mendukung supersaturasi kolesterol empedu termasuk: (5)

1. Hipersekresi kolesterol.

Hipersekresi kolesterol merupakan penyebab paling utama supersaturasi

kolesterol empedu. Hipersekresi kolesterol dapat disebabkan oleh:

1. peningkatan uptake kolesterol hepatik

2. peningkatan sintesis kolesterol

3. penurunan sintesis garam empedu hepatik

4. penurunan sintesis ester kolestril hepatik

Penelitian mendapatkan penderita batu empedu umumnya memiliki

aktivitas koenzim A reduktase 3-hidroksi-3-metilglutarat (HMG-CoA) yang lebih

tinggi dibanding kontrol.Aktivitas HMG-CoA yang tinggi akan memacu

biosintesis kolesterol hepatik yang menyebabkan hipersekresi kolesterol empedu.

Konsentrasi kolesterol yang tinggi dalam empedu supersaturasi kolesterol

pembentukan kristal kolesterol.

2. Hiposintesis garam empedu/perubahan komposisi relatif cadangan asam

empedu. Garam empedu dapat mempengaruhi litogenisitas empedu sesuai dengan

perannya sebagai pelarut kolesterol empedu. Hiposintesis garam empedu misalnya

pada keadaan mutasi pada molekul protein transpor yang terlibat dalam sekresi

14

Page 13: Referat ADR

asam empedu ke dalam kanalikulus (disebut protein ABCB11) akan menfasilitasi

supersaturasi kolesterol yang berlanjut dengan litogenesis empedu. Komposisi

dasar garam empedu merupakan asam empedu di mana terdapat tiga kelompok

asam empedu utama yakni : (5)

1. Asam empedu primer yang terdiri atas asam kolik dan asam kenodeoksikolik.

2. Asam empedu sekunder yang terdiri atas asam deoksikolik dan asam litokolik.

3. Asam empedu tertier yang terdiri atas asam ursodeoksikolik.

Ketiga kelompok ini membentuk cadangan asam empedu tubuh (bile acid

pool) dan masing-masing mempunyai sifat hidrofobisitas yang berbeda. Sifat

hidrofobisitas yang berbeda ini akan mempengaruhi litogenisitas empedu.

Semakin hidrofobik asam empedu, semakin besar kemampuannya untuk

menginduksi sekresi kolesterol dan mensupresi sintesis asam empedu.

Konsentrasi relatif tiap asam empedu yang membentuk cadangan asam empedu

tubuh akan mempengaruhi CSI karena memiliki sifat hidrofobisitas yang berbeda.

Asam empedu primer dan tertier bersifat hidrofilik sementara asam empedu

sekunder bersifat hidrofobik. Penderita batu empedu umumnya mempunyai

cadangan asam kolik yang kecil dan cadangan asam deoksikolik yang lebih

besar.Asam deoksikolik bersifat hidrofobik dan mampu meningkatkan CSI

dengan meninggikan sekresi kolesterol dan mengurangi waktu nukleasi.

Sebaliknya, asam ursodeoksikolik dan kenodeoksikolik merupakan asam empedu

hidrofilik yang berperan mencegah pembentukan batu kolesterol dengan

mengurangi sintesis dan sekresi kolesterol. Asam ursodeoksikolik turut

15

Page 14: Referat ADR

menurunkan CSI dan memperpanjang waktu nukleasi, diduga dengan cara

melemahkan aktivitas protein pronukleasi dalam empedu.

3. Defek sekresi atau hiposintesis fosfolipid

95% daripada fosfolipid empedu terdiri atas lesitin. Sebagai komponen utama

fosfolipid empedu, lesitin berperan penting dalam membantu solubilisasi

kolesterol. Mutasi pada molekul protein transpor fosfolipid (disebut protein

ABCB4) yang berperan dalam sekresi molekul fosfolipid (termasuk lesitin) ke

dalam empedu terkait dengan perkembangan kolelitiasis pada golongan dewasa

muda.

2. Hipomotilitas kantung empedu.

Motilitas kantung empedu merupakan satu proses fisiologik yang mencegah

litogenesis dengan memastikan evakuasi empedu dari kantung empedu ke dalam

usus sebelum terjadinya proses litogenik.

Hipomotilitas kantung empedu memperlambat evakuasi empedu ke dalam usus

proses absorpsi air dari empedu oleh dinding mukosa lebih cepat dari evakuasi

empedu peningkatan konsentrasi empedu proses litogenesis empedu.

Hipomotilitas kantung empedu dapat terjadi akibat : Kelainan intrinsik dinding

muskuler yang meliputi: Perubahan tingkat hormon seperti menurunnya

kolesistokinin (CCK), meningkatnya somatostatin dan estrogen. Perubahan

kontrol neural (tonus vagus). Kontraksi sfingter melampau hingga menghambat

evakuasi empedu normal. Patofisiologi yang mendasari fenomena hipomotilitas

16

Page 15: Referat ADR

kantung empedu pada batu empedu masih belum dapat dipastikan. Namun begitu,

diduga hipomotilitas kantung empedu merupakan akibat efek toksik kolesterol

berlebihan yang menumpuk di sel otot polos dinding kantung yang menganggu

transduksi sinyal yang dimediasi oleh protein G. Kesannya, terjadi pengerasan

membran sarkolema sel otot tersebut. Secara klinis,penderita batu empedu dengan

defek pada motilitas kantung empedu cenderung bermanifestasi sebagai gangguan

pola makan terutamanya penurunan selera makan serta sering ditemukan volume

residual kantung empedu yang lebih besar. Selain itu, hipomotilitas kantung

empedu dapat menyebabkan stasis kantung empedu.Stasis merupakan faktor

resiko pembentukan batu empedu karena gel musn akan terakumulasi sesuai

dengan perpanjangan waktu penyimpanan empedu. Stasis menyebabkan gangguan

aliran empedu ke dalam usus dan ini berlanjut dengan gangguan pada sirkulasi

enterohepatik. Akibatnya, output garam empedu dan fosfolipid berkurang dan ini

memudahkan kejadian supersaturasi.Stasis yang berlangsung lama menginduksi

pembentukan lumpur bilier (biliary sludge) terutamanya pada penderita dengan

kecederaan medula spinalis, pemberian TPN untuk periode lama, terapi oktreotida

yang lama, kehamilan dan pada keadaan penurunan berat badan mendadak.

Lumpur bilier yang turut dikenal dengan nama mikrolitiasis atau pseudolitiasis ini

terjadi akibat presipitasi empedu yang terdiri atas kristal kolesterol monohidrat,

granul kalsium bilirubinat dan mukus. Patofisiologi lumpur bilier persis proses

yang mendasari pembentukan batu empedu. Kristal kolesterol dalam lumpur

bilierakan mengalami aglomerasi berterusan untuk membentuk batu makroskopik

17

Page 16: Referat ADR

hingga dikatakan lumpur bilier merupakan prekursor dalam litogenesis batu

empedu.

3. Peningkatan aktivitas nukleasi kolesterol.

Empedu yang supersaturasi dengan kolesterol cenderung untuk mengalami proses

nukleasi. Nukleasi merupakan proses kondensasi atau agregasi yang menghasilkan

kristal kolesterol monohidrat mikroskopik atau partikel kolesterol amorfus

daripada empedu supersaturasi. Nukleasi kolesterol merupakan proses yang

dipengaruhi oleh keseimbangan unsur antinukleasi dan pronukleasi yang

merupakan senyawa protein tertentu yang dikandung oleh empedu, faktor

pronukleasi berinteraksi dengan vesikel kolesterol sementara faktor antinukleasi

berinteraksi dengan kristal solid kolesterol. Antara faktor pronukleasi yang paling

penting termasuk glikoprotein musin, yaitu satu-satunya komponen empedu yang

terbukti menginduksi pembentukan batupada keadaan in vivo. Inti dari

glikoprotein musin terdiri atas daerah hidrofobik yang mampu mengikat

kolesterol, fosfolipid dan bilirubin. Pengikatan vesikel yang kaya dengan

kolesterol kepada regio hidrofilik glikoprotein musin ini diduga memacu proses

nukleasi. Faktor pronukleasi lain yang berhasil diisolasi daripada model sistem

empedu termasuk imunoglobulin (IgG dan M), aminopeptidase N, haptoglobin

dan glikoprotein asam -1. Penelitian terbaru menganjurkan peran infeksi intestinal

distal oleh spesies Helicobacter (kecuali H. pylori) menfasilitasi nukleasi

kolesterol empedu. Proses nukleasi turut dapat diinduksi oleh adanya

mikropresipitat garam kalsium inorganik maupun organik. Faktor antinukleasi

18

Page 17: Referat ADR

termasuk protein seperti imunoglobulin A (IgA), apoA-I dan apoA ±II.

Mekanisme fisiologik yang mendasari efek untuk sebagian besar daripada faktor-

faktor ini masih belum dapat dipastikan. Nukleasi yang berlangsung lama

selanjutnya akan menyebabkan terjadinya proses kristalisasi yang menghasilkan

kristal kolesterol monohidrat. Waktu nukleasi pada empedu penderita batu

empedu telah terbukti lebih pendek dibanding empedu kontrol pada orang normal.

Waktu nukleasi yang pendek mempergiat kristalisasi kolesterol dan menfasilitasi

proses litogenesis empedu.

4. Hipersekresi mukus di kantung empedu

Hipersekresi mukus kantung empedu dikatakan merupakan kejadian prekursor

yang universal pada beberapa penelitian menggunakan model empedu hewan.

Mukus yang eksesif menfasilitasi pembentukan konkresi kolesterol makroskopik

karena mukus dalam kuantitas melampau ini berperan dalam memerangkap kristal

kolesterol dengan memperpanjang waktu evakuasi empedu dari kantung empedu.

Komponen glikoprotein musin dalam mukus ditunjuk sebagai faktor utama yang

bertindak sebagai agen perekat yang menfasilitasi aglomerasi kristal dalam

patofisiologi batu empedu. Saat ini, stimulus yang menyebabkan hipersekresi

mukus belum dapat dipastikan namun prostaglandin diduga mempunyai peran

penting dalam hal ini. Sebagian besar pasien batu kolesterol mensekresi empedu

hati litogenik. Kelompok tertentu mempunyai kumpulan garam empedu total yang

berkontraksi (1,5 sampai 2g) yang merupakan separuh ukuran orang normal. Bisa

timbul akibat hubungan umpan balik garam empedu abnormal dengan penurunan

19

Page 18: Referat ADR

sintesis hati bagi garam empedu atau hilangnya garam empedu secara berlebihan

melalui feses akibat malabsorpsi ileum primer atau setelah reseksi atau pintas

ileum. Kelompok lain, terutama orang yang gemuk, mensekresi kolesterol dalam

jumlah yang berlebihan. Beberapa bukti menggambarkan bahwa masukan diet

kolesterol dan atau kandungan kalori diet bisa mempengaruhi sekresi kolesterol

juga. Mekanisme lain yang diusulkan bagi pembentukan batu, melibatkan

disfungsi vesika biliaris. Stasis akibat obstruksi mekanik atau fungsional, bisa

menyebabkan stagnasi empedu di dalam vesika biliaris dengan resorpsi air

berlebihan dan merubah kelarutan unsur empedu Penelitian percobaan

menggambarkan bahwa peradangan dinding kandung empedu bisa menyebabkan

resorpsi garam empedu berlebihan, perubahan dalam rasio lesitin/garam empedu

serta sekresi garam kalsium, mukoprotein dan debris organik sel; perubahan ini

bisa merubah empedu hati normal menjadi empdu litogenik di dalam vesika

biliaris. Peranan infeksi dalam patogenesis pembentukan batu kolesterol bersifat

kontroversial. Walaupun organisme usus tertentu bisa dibiak dari inti batu

kolesterol atau dari dinding vesika biiaris, namun sebagian besar batu kolesterol

terbntuk tanpa adanya infeksi.

H. Diagnosis

1. Gambaran Klinis

Pasien dengan batu empedu, dapat dibagi menjadi 3 kelompok : pasien dengan

batu asimptomatik, pasien dengan batu dengan batu empedu simptomatik, dan

pasien dengan komplikasi batu empedu (kolesistitis akut, ikterus, kolangitis dan

pankreatitis). Sebagian besar (80%) pasien dengan batu empedu tanpa gejala baik

20

Page 19: Referat ADR

waktu dengan diagnosis maupun selama pemantauan. Hampir selama 20 tahun

perjalanan penyakit, sebanyak 50% pasien tetap asimptomatik, 30% mengalami

kolik bilier dan 20% mendapat komplikasi. Pada penderita batu kandung empedu

yang asimtomatik keluhan yang mungkin bisa timbul berupa dispepsia yang

kadang disertai intoleransi pada makanan-makanan yang berlemak. Gejala batu

empedu yang khas adalah kolik bilier, keluhan ini didefinisikan sebagai nyeri di

perut atas berlangsung lebih dari 30 menit dan kurang dari 12 jam, biasanya lokasi

nyeri di perut atas atau epigastrium tetapi bisa juga di kiri dan prekordial.

Timbulnya nyeri kebanyakan perlahan-lahan, tetapi pada sepertiga kasus timbul

tiba tiba.

Gejala kolik ini terjadi jika terdapat batu yang menyumbat duktus sistikus

atau duktus biliaris komunis untuk sementara waktu, tekanan di duktus biliaris

akan meningkat dan peningkatan kontraksi peristaltik di tempat penyumbatan

mengakibatkan nyeri viscera di daerah epigastrium, mungkin dengan penjalara ke

punggung yang disertai muntah.

Penyebaran nyeri dapat ke punggung bagian tengah, skapula, atau ke

puncak bahu, disertai mual dan muntah. Jika terjadi kolesistitis, keluhan nyeri

menetap dan bertambah pada waktu menarik napas dalam dan sewaktu kandung

empedu tersentuh ujung jari tangan sehingga pasien berhenti menarik napas, yang

merupakan tanda rangsangan peritoneum setempat.(2,)

2. Pemeriksaan fisik

Kalau ditemukan kelainan, biasanya berhubungan dengan komplikasi, seperti

kolesistitis akut dengan peritonitis lokal atau umum, hidrops kandung empedu,

21

Page 20: Referat ADR

empiema kandung empedu, atau pankreatitis.2 Pada pemeriksaan ditemukan nyeri

tekan dengan punktum maksimum di daerah letak anatomi kandung empedu.

Tanda Murphy postitif apabila nyeri tekan bertambah sewaktu penderita menarik

napas panjang karena kandung empedu yang meradang tersentuh ujung jari tangan

pemeriksa dan pasien berhenti menarik napas.(2)

3. Pemeriksaan Penunjang

a) Laboratorium Biasanya, jika sudah terjadi infeksi, maka akan ditemukan

leukositosis (12.000-15.000/mm3). Jika terjadi obstruksi pada duktus komunikus

maka serum bilurubin total akan meningkat 1-4 mg/dL. Serum aminotransferase

dan alkali fosfatase juga meningkat (>300 U/mL). Alkali fosfatase merupakan

enzim yang disintesis dalam sel epitel saluran empedu. Pada obstruksi saluran

empedu, aktivitas serum meningkat karena sel duktus meningkatkan sintesis

enzim ini. Kadar yang sangat tinggi, menggambarkan obstruksi saluran empedu.

USG Merupakan teknik yang cepat, tidak invasive, dan tanpa pemaparan

radiologi. Ultrasonografi mempunyai derajat spesifitas dan sensitivitas yang tinggi

untuk mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran empedu

intrahepatik maupun ekstrahepatik. Dengan ultrasonografi juga dapat dilihat

dinding kandung empedu yang menebal karena fibrosis atau udem karena

peradangan maupun sebab lain. Batu yang terdapat pada duktus koledokus distal

kadang sulit dideteksi karena terhalang udara di dalam usus. ERCP (Endoscopic

Retrograde Cholangiopancreatography) Tes invasive ini melibatkan langsung

saluran empedu dengan kanulasi endoskopi Ampulla Vateri dan disuntikan

retrogad zat kontras. Selain pada kelainan pancreas, ERCP digunakan dalam

22

Page 21: Referat ADR

pasien ikterus ringan atau bila lesi tidak menyumbat seperti batu duktus

koledokus. Keuntungan ERCP yaitu kadang-kadang terapi sfingterotomi

endoskopi dapat dilakukan serentak untuk memungkinkan lewatnya batu duktus

koledokus secara spontan atau untuk memungkinkan pembuangan batu dengan

instrumentasi retrograde duktus biliaris. PTC (Percutaneous Transhepatik

Cholangiography) Merupakan tindakan invasive yang melibatkan pungsi

transhepatik perkutis pada susunan duktus biliaris intrahepatik yang menggunakan

jarum Chiba dan suntikan prograd zat kontras. Teknik ini memungkinkan

dekompresi saluran empedu non bedah pada pasien kolangitis akut toksik,

sehingga mencegah pembedahan gawat darurat. Drainage empedu per kutis dapat

digunakan untuk menyiapkan pasien ikterus obstruktif untuk pembedahan dengan

menghilangkan ikterusnya dan memperbaiki fungsi hati. Foto polos perut

biasanya tidak memberikan gambaran yang khas karena hanya sekitar 10-15%

batu kandung empedu yang bersifat radioopak. Kadang kandung empedu yang

mengandung cairan empedu berkadar kalsium tinggi dapat dilihat pada foto polos.

Pada peradangan akut dengan kandung empedu yang membesar atau hidrops,

kandung empedu kadang terlihat sebagai massa jaringan lunak di kuadran kanan

atas yang menekan gambaran udara dalam usus besar, di fleksura hepatika.(5)

I. Tatalaksana

1. Penatalaksanaan kandung empedu

Penanganan profilaktik untuk batu empedu asimptomatik tidak dianjurkan.

Sebagian besar pasien dengan batu asimptomatik adalah tidak akan mengalami

keluhan dan jumlah, besar dan komposisi batu tidak berhubungan dengan

23

Page 22: Referat ADR

timbulnya keluhan selama pemantauan. Untuk batu empedu simptomatik, dapat

digunakan teknik kolesistektomi laparoskopik, yaitu suatu teknik pembedahan

invasive minimal di dalam rongga abdomen dengan menggunakan

pneumoperitoneum, sistem endokamera dan instrument khusus melalui layar

monitor tanpa menyentuh dan melihat langsung kandung empedu. Kolesistektomi

laparoskopik telah menjadi prosedur baku untuk pengangkatan kandung empedu

simptomatik. Keuntungan kolesistektomi laparoskopik ini yaitu dengan teknik ini

hanya meliputi operasi kecil (2-10 mm) sehingga nyeri pasca bedah minimal

2. Penatalaksanaan batu saluran empedu

ERCP theurapeutik dengan melakukan sfingterotomi endoskopi untuk

mengeluarkan batu empedu. Saat ini teknik ini telah berkembang pesat menjadi

standard baku terapi non operatif untuk batu saluran empedu. Selanjutnya batu di

dalam saluran empedu dikeluarkan dengan basket kawat atau balon ekstraksi

melalui muara yang sudah besar menuju lumen duodenum sehingga batu dapat

keluar bersama tinja atau dikeluarkan melalui mulut bersama skopnya. Pada

kebanyakan kasus, ekstraksi batu dapat mencapai 80-90% dengan komplikasi dini

7-10%. Komplikasi penting dari sfingterotomi dan ekstraksi batu meliputi

pankreatitis akut, perdarahan dan perforasi.(5,6)

Penatalaksanaan non bedah

Pada orang dewasa alternatif terapi non bedah meliputi penghancuran

batu dengan obat-obatan seperti chenode-oxycholic atau ursodeoxycholic acid,

extracorporeal shock-wave lithotripsy dengan pemberian kontinyu obat-obatan,

penanaman obat secara langsung di kandung empedu. Oral Dissolution Therapy

24

Page 23: Referat ADR

adalah cara penghancuran batu dengan pemberian obat-obatan oral.

Ursodeoxycholic acid lebih dipilih dalam pengobatan daripada chenodeoxy-

cholic karena efek samping yang lebih banyak pada penggunaan

chenodeoxycholic seperti terjadinya diare, peningkatan aminotransfrase dan

hiperkolesterolemia sedang. Pemberian obat-obatan ini dapat menghancurkan batu

pada 60% pasien dengan kolelitiasis, terutama batu yang kecil. Angka

kekambuhan mencapai lebih kurang 10%, terjadi dalam 3-5 tahun setelah terapi.

Ursodeoxycholic acid adalah asam empedu tersier yang memiliki potensi untuk

mengurangi tingkat kejenuhan asam empedu, sehingga akan menekan

pembentukan batu kolesterol dan memperbaiki gangguan pada aliran asam

empedu. Ursodeoxycholic acid menekan sintesis dan sekresi kolesterol dari hati

dan juga menghambat penyerapan kolesterol pada usus. Ursodeoxycholic

acid juga memiliki aktivitas penghambatan kecil pada sintesis dan sekresi asam

empedu endogen, tanpa mempengaruhi sekresi fosfolipid ke dalam empedu.

Indikasinya untuk pasien dengan batu empedu radiolusen tanpa kalsifikasi

(diameter < 20 mm) sebelum dilakukannya tindakan cholecystectomy elektif,

kecuali pada pasien dengan penyakit sistemik, pasien lanjut usia, reaksi

idiosinkrasi terhadap anestesi umum, atau pasien yang menolak tindakan

pembedahan.

Terapi contact dissolution adalah suatu cara untuk menghancurkan batu

kolesterol dengan memasukan suatu cairan pelarut ke dalam kandung empedu

melalui kateter perkutaneus melalui hepar atau alternatif lain melalui kateter

nasobilier. Larutan yang dipakai adalah methyl terbutyl eter. Larutan ini

25

Page 24: Referat ADR

dimasukkan dengan suatu alat khusus ke dalam kandung empedu dan biasanya

mampu menghancurkan batu kandung empedu dalam 24 jam. Kelemahan teknik

ini hanya mampu digunakan untuk kasus dengan batu yang kolesterol yang

radiolusen. Larutan yang digunakan dapat menyebabkan iritasi mukosa, sedasi

ringan dan adanya kekambuhan terbentuknya kembali batu kandung empedu.

Extracorporeal Shock-Wave Lithotripsy (ESWL) menggunakan gelombang suara

dengan amplitudo tinggi untuk menghancurkan batu pada kandung empedu.

Pasien dengan batu yang soliter merupakan indikasi terbaik untuk dilaskukan

metode ini. Namun pada anak-anak penggunaan metode ini tidak

direkomendasikan, mungkin karena angka kekambuhan yang tinggi.

L. Prognosis

Semakn cepat ditangani maka akan semakin baik prognoasisnya dan

tergantung penyebab yang mendasarinya,pada dasarnya progonosisnya akan baik

apabila belum terjadi komplikasi yang berat dan sampai merusak kantong epedu.

26

Page 25: Referat ADR

BAB 3

PENUTUP

Batu empedu atau cholelithiasis adalah timbunan kristal di dalam

kandung empedu atau di dalam saluran empedu atau pada kedua-duanya. Batu

kandung empedu merupakan gabungan beberapa unsur dari cairan empedu yang

mengendap dan membentuk suatu material mirip batu di dalam kandung empedu

atau saluran empedu. Komponen utama dari cairan empedu adalah bilirubin,

garam empedu, fosfolipid dan kolestrol. Batu yang ditemukan di dalam kandung

empedu bisa berupa batu kolestrol, batu pigmen yaitu pigmen coklat atau pigmen

hitam, atau batu campuran.

Cholelithiasis merupakan penyakit yang memiliki prognosis yang baik

apabila penanganan yang cepat berdasarkan penyebab terjadinya.

27

Page 26: Referat ADR

DAFTAR PUSTAKA

1. Sjamsuhidayat R, de Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta:

Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2005. 570-9.

2. Sabiston David C. Jr.. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta:EGC.2010.115-128

3. Shaffer EA. Epidemiology and risk factors for gallstone disease: Has the

paradigm changed in the 21st century. Curr Gastroenterol Rep.

2005;7(2):132-40.

4. Marschall H-U, Einarsson C . Gallstone disease. J Intern Med 2007; 261:

529–542.

5. Tjandra J. J. A.J. Gordon. Dkk. Textbook Of Surgery.Third Edition.New

Delhi:Blackwell Publishing.2006.

6. Bansal Arpit, Akhtar Murtaza, Bansal Ashwani Kumar. A clinical study:

prevalence and management of cholelithiasis. Int Surg J. 2014; 1(3): 134-

139.

28