refera demensia.doc

41
BAB I PENDAHULUAN Demensia merupakan masalah besar dan serius yang dihadapi oleh negara-negara maju, dan telah pula menjadi masalah kesehatan yang mulai muncul di negara berkembang seperti Indonesia. Hal ini disebabkan oleh makin mengemukanya penyakit-penyakit degenerative (yang beberapa di antaranya merupakan faktor resiko timbulnya demensia) serta makin meningkatnya usia harapan hidup di hampir seluruh belahan dunia. Secara klinis munculnya demensia pada seorang usia lanjut sering tidak disadari karena awitannya yang tidak jelas dan perjalanan penyakitnya yang progresif namun perlahan. Selain itu, pasien dan keluarga juga sering menganggap bahwa penurunan fungsi kognitif yang terjadi pada awal demensia (biasanya ditandai dengan berkurangnya fungsi memori) merupakan suatu hal yang wajar pada seorang yang sudah menua. Akibatnya penurunan fungsi kognitif akan terus berlanjut sampai akhirnya mempengaruhi status fungsional pasien dan pasien akan jatuh pada ketergantungan kepada lingkungan sekitarnya. Saat ini telah disadari bahwa diperlukan deteksi dini terhadap munculnya demensia, karena ternyatanya berbagai penelitian telah menunjukkan bila gejala-gejala penurunan fungsi kognitif dikenali sejak awal maka dapat dilakukan upaya-upaya 1

Transcript of refera demensia.doc

Page 1: refera demensia.doc

BAB I

PENDAHULUAN

Demensia merupakan masalah besar dan serius yang dihadapi oleh negara-negara maju,

dan telah pula menjadi masalah kesehatan yang mulai muncul di negara berkembang seperti

Indonesia. Hal ini disebabkan oleh makin mengemukanya penyakit-penyakit degenerative (yang

beberapa di antaranya merupakan faktor resiko timbulnya demensia) serta makin meningkatnya

usia harapan hidup di hampir seluruh belahan dunia.

Secara klinis munculnya demensia pada seorang usia lanjut sering tidak disadari karena

awitannya yang tidak jelas dan perjalanan penyakitnya yang progresif namun perlahan. Selain

itu, pasien dan keluarga juga sering menganggap bahwa penurunan fungsi kognitif yang terjadi

pada awal demensia (biasanya ditandai dengan berkurangnya fungsi memori) merupakan suatu

hal yang wajar pada seorang yang sudah menua. Akibatnya penurunan fungsi kognitif akan terus

berlanjut sampai akhirnya mempengaruhi status fungsional pasien dan pasien akan jatuh pada

ketergantungan kepada lingkungan sekitarnya.

Saat ini telah disadari bahwa diperlukan deteksi dini terhadap munculnya demensia,

karena ternyatanya berbagai penelitian telah menunjukkan bila gejala-gejala penurunan fungsi

kognitif dikenali sejak awal maka dapat dilakukan upaya-upaya meningkatkan atau paling tidak

mempertahankan fungsi kognitif agar tidak jatuh pada keadaan demensia.

Selain peran pasien dan keluarga dalam pengenalan gejala-gejala penurunan fungsi

kognitif dan demensia awal, dokter dan tenaga kesehatan lain juga ,mempunyai peran yang besar

dalam deteksi dini dan terutama dalam pengelolaan pasien dengan penurunan fungsi kognitif

ringan.

Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders edisi keempat (DSM-IV)

mengharuskan bahwa gejala menyebabkan gangguan fungsi sosial atau pekerjaan yang berat dan

merupakan suatu penurunan dari tingkat fungsi sebelumnya. Da r i a spek med ik , demens i a

me rupakan masa l ah yang t ak ka l ah rumi tnya dengan masa l ah yang t e rdapa t

pada penyak i t k ron i s l a i nnya (  stroke, diabetes mellitus, hipertensi,keganasan).

Ilmu kedokteran dan kesehatan mengemban misi untuk meningkatkan kualitas hidup manusia. 1

Page 2: refera demensia.doc

Seseorang yang mengalami demensia pasti akan mengalami penurunan kualitas hidup.

Keberadaannya dalam lingkungan keluarga dan masyarakat menjadi beban bagi lingkungannya,

tidak dapat mandiri lagi. Keberhasilan pembangunan kesehatan dalam upaya

menurunkan angka kematian umumdan bayi, sangatlah membantu peningkatan umur

harapan hidup (UHH). Pada tahun 2000 umur harapan hidup antara 65-70 tahun meningkat

menjadi 9,37 persen dari tahun sebelumnya. Dalam istilah demografi, penduduk Indonesia

sedang bergerak ke arah struktur penduduk yang semakin menua ( aging population).

Dengan diketahuinya berbagai faktor resiko (seperti hipertensi, diabetes mellitus, stroke,

riwayat keluarga, dan lain-lain) berhubungan dengan penurunan fungsi kognitif yang lebih cepat

pada sebagian orang usai lanjut, maka dari itu diperlukan upaya pencegahan timbulnya demensia

pada pasien, khususnya pada pasien lanjut usia.

Hipertensi merupakan predisposisi seseorang terhadap penyakit. Pada tahun 1970

Tomlinson dkk, melalui penelitian klinis-patologik, mendapatkan bahwa bila demensia

disebabkan oleh penyakit vaskular, hal ini biasanya terjadi karena adanya infark diotak, dan hal

ini melahirkan konsep “demensia multi-infark”. Untuk menegakkan diagnosis

d e m e n s i a j u g a d i b u t u h k a n a d a n y a g a n g g u a n m e m o r i s e b a g a i s u a t u

s y a r a t . H a l i n i d a p a t dibenarkan pada penyakit Alzheimer, karena gangguan

memori merupakan gejala dini. Namun pada demensia vaskular syarat ini kurang tepat.

2

Page 3: refera demensia.doc

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi

Menurut bahasa Latin, demensia berasal dari kata demens = gila dan ia = patologis.

Demensia adalah gangguan fungsi intelektual dan memori didapatkan yang disebabkan oleh

penyakit otak, yang tidak berhubungan dengan gangguan tingkat kesadaran.

Demensia merupakan kondisi keruntuhan kemampuan intelek yang progresif setelah

mencapai pertumbuhan & perkembangan tertinggi (umur 15 tahun) karena gangguan otak

organik, diikuti keruntuhan perilaku dan kepribadian, dimanifestasikan dalam bentuk

gangguan fungsi kognitif seperti memori, orientasi, rasa hati dan pembentukan pikiran

konseptual. Biasanya kondisi ini irreversibel, sebaliknya progresif.

Demensia merujuk pada sindrom klinis yang mempunyai bermacam penyebab.Pasien

dengan demensia harus mempunyai gangguan memori selain kemampuan mental, seperti

berpikir abstrak, penilaian, kepribadian, bahasa, praksis, dan visuospasial. Defisit yang

terjadi pun harus cukup berat sehingga mempengaruhi aktivitas kerja dan social secara

bermakna.

2. EPIDEMIOLOGI

Prevalensi demensia semakin meningkat dengan bertambahnya usia. Prevalensi

demensia sedang hingga berat bervariasi pada tiap kelompok usia. Pada kelompok usia diatas

65 tahun prevalensi demensia sedang hingga berat mencapai 5 persen, sedangkan pada

kelompok usia diatas 85 tahun prevalensinya mencapai 20 hingga 40 persen.

Dari seluruh pasien yang menderita demensia, 50 hingga 60 persen diantaranya

menderita jenis demensia yang paling sering dijumpai, yaitu demensia tipe Alzheimer

(Alzheimer’s diseases). Prevalensi demensia tipe Alzheimer meningkat seiring bertambahnya

usia. Untuk seseorang yang berusia 65 tahun prevalensinya adalah 0,6 persen pada pria dan

0,8 persen pada wanita. Pada usia 90 tahun, prevalensinya mencapai 21 persen. Pasien

dengan demensia tipe Alzheimer membutuhkan lebih dari 50 persen perawatan rumah

(nursing home bed).

3

Page 4: refera demensia.doc

Jenis demensia yang paling lazim ditemui berikutnya adalah demensia vaskuler, yang

secara kausatif dikaitkan dengan penyakit serebrovaskuler. Hipertensi merupakan faktor

predisposisi bagi seseorang untuk menderita demensia. Demensia vaskuler meliputi 15

hingga 30 persen dari seluruh kasus demensia. Demensia vaskuler paling sering ditemui pada

seseorang yang berusia antara 60 hingga 70 tahun dan lebih sering pada laki-laki daripada

wanita. Sekitar 10 hingga 15 persen pasien menderita kedua jenis demensia tersebut.

Penyebab demensia paling sering lainnya, masing-masing mencerminkan 1 hingga 5

persen kasus adalah trauma kepala, demensia yang berhubungan dengan alkohol, dan

berbagai jenis demensia yang berhubungan dengan gangguan pergerakan, misalnya penyakit

Huntington dan penyakit Parkinson.

Karena demensia adalah suatu sindrom yang umum, dan mempunyai banyak

penyebab, dokter harus melakukan pemeriksaan klinis dengan cermat pada seorang pasien

dengan demensia untuk menegakkan penyebab demensia pada pasien tertentu.

3. KLASIFIKASI

Demensia dapat diklasifikasikan berdasarkan umur, perjalanan penyakit, kerusakan

struktur otak,sifat klinisnya dan menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan

Jiwa di Indonesia III (PPDGJ III).

(a) Menurut Umur:

o Demensia senilis (>65th)

o Demensia prasenilis (<65th)

(b) Menurut perjalanan penyakit:

o Reversibel

o Ireversibel (Normal pressure hydrocephalus, subdural hematoma, Defisiensi vitamin

B, Hipotiroidism, intoksikasi Pb)

(c) Menurut kerusakan struktur otak

o Tipe Alzheimer

o Tipe non-Alzheimer

4

Page 5: refera demensia.doc

o Demensia vaskular

o Demensia Jisim Lewy (Lewy Body dementia)

o Demensia Lobus frontal-temporal

o Demensia terkait dengan HIV-AIDS

o Morbus Parkinson

o Morbus Huntington

o Morbus Pick

o Morbus Jakob-Creutzfeldt

o Sindrom Gerstmann-Sträussler-Scheinker

o Prion disease

o Palsi Supranuklear progresif

o Multiple sklerosis

o Neurosifilis

o Tipe campuran

(d) Menurut sifat klinis:

o Demensia proprius

o Pseudo-demensia

Berdasarkan PPDGJ III demensia termasuk dalam F00-F03 yang merupakan gangguan

mental organik dengan klasifikasinya sebagai berikut ;

F 00 Demensia pada penyakit Alzheimer

F00.0 Demensia pada penyakit Alzheimer dengan onset dini

F00.1 Demensia pada penyakit Alzheimer dengan Onset Lambat

F00.2 Demensia pada penyakit Alzheimer dengan, tipe tidak khas atau tipe campuran

F00.9 Demensia pada penyakit Alzheimer YTT (Yang Tidak Tergolongkan)

F 01 Demensia Vaskular

F01.0 Demensia Vaskular Onset akut

F01.1 Demensia Vaskular Multi-Infark

F01.2 Demensia Vaskular Sub Kortikal

F01.3 Demensia Vaskular campuran kortikal dan subkortikal

5

Page 6: refera demensia.doc

F01.8 Demensia Vaskular lainnya

F01.9 Demensia Vaskular YTT

F02 Demensia pada penyakit lain

F02.0 Demensia pada penyakit PICK

F02.1 Demensia pada penyakit Creutzfeldt-Jakob

F02.2 Demensia pada penyakit Huntington

F02.3 Demensia pada penyakit parkinson

F02.4 Demensia pada penyakit HIV

F02.8 Demensia pada penyakit lain YDT –YDK (Yang Di-Tentukan-Yang Di-

Klasifikasikan ditempat lain)

F03 Demensia YTT

Karakter kelima dapat digunakan untuk menentukan demensia pada F00-F03 sebagai

berikut :

1.X0 Tanpa gejala tambahan

2.X1 Gejala lain, terutama waham

3.X2 Gejala lain, terutama halusinasi

4.X3 Gejala lain, terutama depresi

5.X4 Gejala campuran lain

4. ETIOLOGI

Penyebab demensia yang paling sering pada individu yang berusia diatas 65 tahun adalah

(1) penyakit Alzheimer,

(2) demensia vaskuler, dan

(3) campuran antara keduanya.

Penyebab lain yang mencapai kira-kira 10 persen diantaranya adalah demensia jisim

Lewy (Lewy body dementia), penyakit Pick, demensia frontotemporal, hidrosefalus tekanan

normal, demensia alkoholik, demensia infeksiosa (misalnya human immunodeficiency virus

(HIV) atau sifilis) dan penyakit Parkinson.

Banyak jenis demensia yang melalui evaluasi dan penatalaksanaan klinis berhubungan

dengan penyebab yang reversibel seperti kelaianan metabolik (misalnya hipotiroidisme),

6

Page 7: refera demensia.doc

defisiensi nutrisi (misalnya defisiensi vitamin B12 atau defisiensi asam folat), atau sindrom

demensia akibat depresi.

5. PATOFISIOLOGI

a. Demensia Alzheimer

Walaupun penyebab demensia tipe Alzheimer masih belum diketahui, telah terjadi

kemajuan dalam molekular dari deposit amiloid yang merupakan tanda utama neuropatologi

gangguan. Beberapa peneliti menyatakan bahwa 40 % dari pasien demensia mempunyai riwayat

keluarga menderita demensia tipe Alzheimer, jadi setidaknya pada beberapa kasus, faktor

genetik dianggap berperan dalam perkembangan demensia tipe Alzheimer tersebut. Dukungan

tambahan tentang peranan genetik adalah bahwa terdapat angka persesuaian untuk kembar

monozigotik, dimana angka kejadian demensia tipe Alzheimer lebih tinggi daripada angka

kejadian pada kembar dizigotik. Dalam beberapa kasus yang telah tercatat dengan baik,

gangguan ditransmisikan dalam keluarga melalui satu gen autosomal dominan, walau transmisi

tersebut jarang terjadi.

Komponen utama patologi pada penyakit Alzheimer adalah plak senilis dan neuritik,

neurofibrillary tangles, hilangnya neuron atau sinaps, degenerasi granulovakuolar, dan Hirano

bodies.

7

Page 8: refera demensia.doc

Plak neuritik mengandung banyak b-amyloid ekstraseluler yang dikelilingi neuritis

distrofik, sementara plak difus adalah istilah yang kadang digunakan untuk deposisi amyloid

tanpa abnormalitas neuron.

Gen untuk protein prekusor amyloid terletak pada lengan panjang kromosom 21,

menunjukkan hubunan potensial patologi penyakit Alzheimer dengan Sindrom Down . Melalui

proses penyambungan diferensial, dihasilkan empat bentuk protein prekusor amyloid. Protein

beta/A4, yang merupakan konstituen utama dari plak senilis, adalah suatu peptida dengan 42-

asam amino yang merupakan hasil pemecahan dari protein prekusor amiloid.

Pada kasus sindrom Down (trisomi kromosom 21) ditemukan tiga cetakan gen protein

prekusor amiloid, dan pada kelainan dengan mutasi yang terjadi pada kodon 717 dalam gen

protein prekusor amiloid, suatu proses patologis yang menghasilkan deposit protein beta/A4

yang berlebihan.

Bagaimana proses yang terjadi pada protein prekusor amiloid dalam perannya sebagai

penyebab utama penyakit Alzheimer masih belum diketahui, akan tetapi banyak kelompok studi

yang meneliti baik proses metabolisme yang normal dari protein prekusor amiloid maupun

proses metabolisme yang terjadi pada pasien dengan demensia tipe Alzheimer untuk menjawab

pertanyaan tersebut.

8

Page 9: refera demensia.doc

Gen E4 multipel

Sebuah penelitian menunjukkan peran gen E4 dalam perjalanan penyakit Alzheimer.

Individu yang memiliki satu kopi gen tersebut memiliki kemungkinan tiga kali lebih besar

daripada individu yang tidak memiliki gen E4 tersebut, dan individu yang memiliki dua kopi gen

E4 memiliki kemungkinan delapan kali lebih besar daripada yang tidak memiliki gen tersebut.

Pemeriksaan diagnostik terhadap gen ini tidak direkomendasikan untuk saat ini, karena

gen tersebut ditemukan juga pada individu tanpa demensia dan juga belum tentu ditemukan pada

seluruh penderita demensia.

Neuropatologi

Penelitian neuroanatomi otak klasik pada pasien dengan penyakit Alzheimer

menunjukkan adanya atrofi dengan pendataran sulkus kortikalis dan pelebaran ventrikel

serebri.Gambaran mikroskopis klasik dan patognomonik dari demensia tipe Alzheimer adalah

plak senilis, kekusutan serabut neuron, neuronal loss (biasanya ditemukan pada korteks dan

hipokampus), dan degenerasi granulovaskuler pada sel saraf. Kekusutan serabut neuron

(neurofibrillary tangles) terdiri dari elemen sitoskletal dan protein primer terfosforilasi, meskipun

jenis protein sitoskletal lainnya dapat juga terjadi. Kekusutan serabut neuron tersebut tidak khas

ditemukan pada penyakit Alzheimer, fenomena tersebut juga ditemukan pada sindrom Down,

demensia pugilistika (punch-drunk syndrome) kompleks Parkinson-demensia Guam, penyakit

Hallervon-Spatz, dan otak yang normal pada seseorang dengan usia lanjut. Kekusutan serabut

neuron biasanya ditemukan di daerah korteks, hipokampus, substansia nigra, dan lokus sereleus.

9

Prekusor beta-amyloid di sel otak

Page 10: refera demensia.doc

Plak senilis (disebut juga plak amiloid), lebih kuat mendukung untuk diagnosis penyakit

Alzheimer meskipun plak senilis tersebut juga ditemukan pada sindrom Down dan dalam

beberapa kasus ditemukan pada proses penuaan yang normal.

Neurofibrillary tangles merupakan struktur intraneuron yang mengandung tau yang

terhiperfosforilasi pada pasangan filament helix. Individu lanjut usia yang normal juga diketahui

mempunyai neurofibrillary tangles di beberapa lapisan hipokampus dan korteks entorhinal,

tetapi struktur ini jarang ditemukan di neokorteks seseorang tanpa demensia. Tetapi

neurofibrillary tangles ini tidak spesifik untuk penyakit Alzheimer, karena juga terdapat pada

penyakit lain, seperti SSPE, Boxer’s dementia, the parkinsonian dementia complex of Guam.

b. Demensia Vaskular

Pada dementia vascular patologi yang dominan adalah adanya infark multiple dan

abnormalitas substantia alba (white matter). Infark jaringan otak yang terjadi pasaca stroke dapat

menyebabkan demensia bergantung pada volume total korteks yang rusak dan bagian / hemisfer

mana yang terkena.

Umumnya dementia muncul pada stroke yang mengenai beberapa bagian otak (multi-

infarct dementia) atau hemisfer kiri otak. Sementara abnormalitas substantia alba (diffuse white

matter atau leukoaraiosis atau Penyakit Binswanger) biasanya terjadi dengan infark lakunar.

Abnormalitas substantia alba ini dapat ditemukan pada pemeriksaan MRI pada daerah

subkorteks bilateral, berupa gambaran hiperdens abnormal yang umumnya tampak pada

beberapa tempat.

10

Page 11: refera demensia.doc

c. FTD (Fronto Temporal Dementia)

Petanda anatomis pada FTD (Fronto-temporal Dementia) adalah terjadinya atrofi yang

jelas pada lobus temporal dan atau frontal yang dapat dilihat pada pemeriksaan pencitraan saraf

(neuroimaging) seperti MRI dan CT. Atrofi yang terjadi terkadang sangat tidak simetris.

Secara mikroskopis didapatkan selalu didapatkan gliosis dan hiangnya neuron, serta pada

beberapa kasus terjadi pembengkakan dan penggelembungan neuron yang yang berisi

cytoplasmic inclusion.

d. Dementia Lewy Body

Penyakit Jisim Lewy adalah suatu demensia yang secara klinis mirip dengan penyakit

Alzheimer dan sering ditandai oleh adanya halusinasi, gambaran Parkinsonisme, dan gejala

ekstrapiramidal.

Sesuai dengan namanya, gambaran neuropatologinya adalah adanya Lewy Body di

seluruh korteks, amygdala, cingulated cortex, substantia nigra. Lewy Body adalah cytoplasmic

inclusion interneuron yang terwarnai dengan PAS (periodic acid-Schiff) dan ubiquitin, yang

terdiri dari neurofilamen lurus sepanjang 7 sampai 20 nm yang dikelilingi material amorfik.

Pasien dengan penyakit Jisim Lewy ini menunjukkan efek yang menyimpang (adverse effect)

ketika diberi pengobatan dengan antipsikotik.

11

Page 12: refera demensia.doc

e. Demensia pada Penyakit Parkinson

Parkinsonisme merupakan penyakit pada ganglia basalis yang biasanya dikaitkan dengan

demensia dan depresi. Diperkirakan 20 hingga 30 persen pasien dengan penyakit Parkinson mengalami

gangguan kemampuan kognitif. Gerakan lambat pada pasien dengan penyakit Parkinson sejajar dengan

perlambatan berpikir pada beberapa pasien, suatu gambaran yang sering disebut oleh para klinis sebagai

bradifrenia.

6. GAMBARAN KLINIS

a. Kepribadian

Perubahan kepribadian pada seseorang yang menderita demensia biasanya akan

mengganggu bagi keluarganya. Ciri kepribadiaan sebelum sakit mungkin dapat menonjol selama

perkembangan demensia. Pasien dengan demensia juga menjadi tertutup serta menjadi kurang

perhatian dibandingkan sebelumnya. Seseorang dengan demensia yang memiliki waham

paranoid umumnya lebih cenderung memusuhi anggota keluarganya dan pengasuhnya. Pasien

yang mengalami kelainan pada lobus frontalis dan temporalis biasanya mengalami perubahan

kepribadian dan mungkin lebih iritabel dan eksplosif.

b. Halusinasi dan Waham

Diperkirakan sekitar 20 hingga 30 persen dengan demensia (terutama pasien dengan

demensia tipe Alzheimer) memiliki halusinasi, dan 30 hingga 40 persen memiliki waham,

terutama waham paranoid yang bersifat tidak sistematis, meskipun waham yang sistematis juga

dilaporkan pada pasien tersebut. Agresi fisik dan bentuk-bentuk kekerasan lainnya lazim

ditemukan pada pasien dengan demensia yang juga memiliki gejala-gejala psikotik.

c. Mood

Pada pasien dengan gejala psikosis dan perubahan kepribadian, depresi dan kecemasan

merupakan gejala utama yang ditemukan pada 40 hingga 50 persen pasien dengan demensia,

meskipun sindrom depresif secara utuh hanya tampak pada 10 hingga 20 persen pasien. Pasien

12

Page 13: refera demensia.doc

dengan demensia juga dapat menujukkan perubahan emosi yang ekstrim tanpa provokasi yang

nyata (misalnya tertawa dan menangis yang patologis).

d. Perubahan Kognitif

Pada pasien demensia yang disertai afasia lazim ditemukan adanya apraksia dan agnosia

dimana gejala-gejala tersebut masuk dalam kriteria DSM IV. Tanda-tanda neurologis lainnya

yang dikaitkan dengan demensia adalah bangkitan yaitu ditemukan kira-kira pada 10 persen

pasien dengan demensia tipe Alzheimer serta 20 persen pada pasien dengan demensia vaskuler.

Refleks primitif seperti refleks menggenggam, refleks moncong (snout), refleks

mengisap, refleks tonus kaki serta refleks palmomental dapat ditemukan melalui pemeriksaan

neurologis pada 5 hingga 10 persen pasien. Untuk menilai fungsi kognitif pada pasien demensia

dapat digunakan The Mini Mental State Exam (MMSE).

13

Page 14: refera demensia.doc

Test menggambar jam pada penilaian MMSE.

Pasien dengan demensia vaskuler mungkin mempunyai gejala-gejala neurologis

tambahan seperti sakit kepala, pusing, kepala terasa ringan, kelemahan, tanda defisit neurologis

fokal terutama yang terkait dengan penyakit serebro-vaskuler, pseudobulber palsy, disartria, dan

disfagia yang lebih menonjol dibandingkan dengan gejala-gejala diatas pada jenis-jenis demensia

lainnya.

e. Reaksi Katastrofik

14

Page 15: refera demensia.doc

Pasien dengan demensia juga menunjukkan penurunan kemampuan yang oleh Kurt

Goldstein disebut “perilaku abstrak”. Pasien mengalami kesulitan untuk memahami suatu konsep

dan menjelaskan perbedaan konsep-konsep tersebut. Lebih jauh lagi, kemampuan untuk

menyelesaikan masalah-masalah, berpikir logis, dan kemampuan menilai suara juga terganggu.

Goldstein juga menggambarkan reaksi katastrofik berupa agitasi terhadap kesadaran

subyektif dari defisit intelektual dalam kondisi yang penuh tekanan. Pasien biasanya

mengkompensasi defek yang dialami dengan cara menghindari kegagalan dalam kemampuan

intelektualnya, misalnya dengan cara bercanda atau dengan mengalihkan pembicaraannya

dengan pemeriksa.

Buruknya penilaian dan kemampuan mengendalikan impuls adalah lazim, biasanya

ditemukan pada demensia yang secara primer mengenai daerah lobus frontalis. Contoh dari

kelainan ini adalah penggunaan kata-kata yang kasar, bercanda dengan tidak wajar,

ketidakpedulian terhadap penampilan dan kebersihan diri, serta sikap acuh tak acuh dalam

hubungan sosialnya.

f. Sindrom Sundowner

Sindrom sundowner ditandai dengan keadaan mengantuk, bingung, ataksia dan terjatuh

secara tiba-tiba. Gejala-gejala tersebut muncul pada pasien yang berumur lebih tua yang

mengalami sedasi yang berlebihan dan penderita demensia yang bereaksi secara berlebihan

terhadap obat-obat psikoaktif bahkan dengan dosis yang kecli sekalipun. Sindrom tersebut juga

muncul pada pasien demensia saat stimulus eksternal seperti cahaya dan isyarat interpersonal

dihilangkan.

7. DIAGNOSIS

Syarat utama untuk penegakan diagnosis ialah bukti adanya penurunan kemampuan baik dalam

daya ingat maupun daya pikir seseorang sehingga menggangu kegiatan sehari-hari. Hendaya daya ingat

secara khas mempengaruhi proses registrasi, penyimpanan, dan memperoleh kembali informasi baru,

tetapi ingatan yang biasa dan sudah dipelajari sebelumnya dapat juga hilang, khususnya dalam stadium

akhir.

15

Page 16: refera demensia.doc

Pemahaman informasi yang baru terganggu, karenanya ia merasa makin sukar untuk member

perhatian terhadap lebih dari satu rangsangan pada saat yang sama, seperti ikut serta percakapan beberapa

orang.

Gejala dan hendaya di atas harus sudah nyata untuk setidak-tidaknya 6 bulan untuk membuat

diagnosis demensia yang mantap.

Kriteria diagnosis demensia (menurut DSM-IV) sebagai berikut :

1. Munculnya defisit kognitif multiple yang bermanifestasi pada kedua keadaan berikut

a. Gangguan memori(ketidakmampuan untuk mempelajari informasi baru atau untuk mengingat

informasi yang baru saja dipelajari)

b. Satu (atau lebih) gangguan kognitif berikut:

i. Afasia

ii. Apraksia

iii. Agnosia

iv. Gangguan fungsi eksekutif

2. Defisit kognitif yang terdapat pada kriteria 1a dan 1b menyebabkan gangguan bermakna pada fungsi

sosial dan okupasi serta menunjukkan penurunan yang bermakna dari fungsi sebelumnya. Defisit yang

terjadi bukan terjadi khusus saat timbulnya delirium.

Berdasarkan PPDGJ III Demensia dapat ditegakkan apabila ditemukan :

(1) Penurunan kemampuan daya ingat dan daya pikir yang sampai mengganggu kegiatan harian

seseorang (personal activities of daily living) seperti: mandi, berpakaian, makan, kebersihan diri,

buang air besar, dan kecil

(2) Tidak adanya gangguan kesadaran (clear conciousness)

(3) gejala dan disabilitas sudah nyata untuk paling sedikit 6 bulan.

Pedoman diagnostik F00 Demensia pada penyakit alzheimer adalah sebagai berikut;

(1) Terdapatnya gejala demensia16

Page 17: refera demensia.doc

(2) Onset bertahap (insidious onset) dengan deteriorasi lambat. Onset biasanya sulit ditentukan

waktunya yang persis, tiba-tiba orang lain sudah menyadari adanya kelainan tersebut. Dalam

perjalanan penyakitnya dapat terjadi suatu taraf yang stabil (plateau) secara nyata

(3) Tidak adanya bukti klinis, atau temuan dari pemeriksaan khusus yang menyatakan bahwa

kondisi mental itu dapat disebabkan oleh penyakit otak atau sistemik lain yang dapat

menimbulkan demensia (misalnya hipotiroidisme, hiperkalsemia, defisiensi vitamin B 12,

Defisiensi niasin, neurosifilis, hidrosefalus bertekanan normal, atau hematom subdural)

(4) Tidak adanya serangan apoplektik mendadak, atau gejala neurologik kerusakan otak fokal

Seperti hemiparesis, hilangnya daya sensorik, defek lapangan pandang mata, dan inkoordinasi

yang terjadi dalam masa dini dari gangguan itu (walaupun fenomena ini dikemudian hari dapat

bertumpang tindih)

Pedoman diagnostik F00.0 Demensia pada penyakit alzheimer Onset Dini adalah

sebagai berikut;

(1) Demensia yang onsetnya sebelum usia 65 tahun

(2) Perkembangan gejala cepat dan progresif (deteriorasi)

(3) Adanya riwayat keluarga yang berpenyakit alzheimer merupakan faktor yang menyokong

diagnosis tetapi tidak harus dipenuhi

Pedoman diagnostik F01 Demensia vaskular adalah sebagai berikut

(1) Terdapatnya gejala demensia

(2) Hendaya fungsi kognitif biasanya tidak merata (mungkin terdapat hilangnya daya ingat,

gangguan daya pikir, gejala neurologis fokal). Daya tilikan diri (insight) dan daya nilai

(judgment) secara relatif tetap baik

(3) Suatu onset yang mendadak atau deteriorasi yang bertahap disertai adanya gejala neurologis

fokal meningkatkan kemungkinan diagnosis demensia vaskuler. Pada beberapa kasus, penetapan

hanya dapat dilakukan dengan pemeriksaan CT-Scan atau pemeriksaan neuropatologis.

17

Page 18: refera demensia.doc

Pedoman diagnostik F01.0 Demensia Vaskuler Onset Akut adalah sebagai berikut;

Biasanya terjadi secara cepat sesudah seranngkaian “stroke” akibat trombosis serebrovaskuler,

embolisme atau perdarahan.

Pedoman diagnostik F01.1 Demensia multi infark adalah sebagai berikut; Onsetnya

lebih lambat, biasanya setelah serangkaian episode iskhemik minor yang menimbulkan

akumulasi dari infark parenkim otak.

Pedoman diagnostik F01.2 Demensia Vaskuler subkortikal adalah sebagai berikut;

fokus kerusakan akibat iskemia pada subtansia alba di hemisfer serebral, yang dapat diduga

secara klinis dan dibuktikan dengan CT-Scan. Korteks serebri tetap baik walaupun demikian

gambaran klinis masih mirip demensia pada penyakit alzheimer.

Pedoman diagnostik F01.3 Demensia Vaskular campuran kortikal dan subkortikal

adalah sebagai berikut; Komponen campuran kortikal dan subkortikal dapat diduga dari

gambaran klinis, Hasil pemeriksaan (termasuk autopsi) atau keduanya.

Pedoman diagnostik F02.0 Demensia pada penyakit PICK adalah sebagai berikut:

(1) Adanya gejala demensia yang progresif

(2) Gambaran neuropatologis berupa atrofi selektif dari lobus frontalis yang menonjol, disertai

euphoria, emosi tumpul, dan perilaku social yang kasar, disinhibisi, dan apatis atau gelisah

(3) Manifestasi gangguan perilaku pada umumnya mendahului gangguan daya ingat

Pedoman diagnostik F02.1 Penyakit Creutzfeldt-Jakob adalah sebagai berikut

Trias :

(1) Demensia progresif merusak

(2) Penyakit piramidal dan ekstra pyramidal dengan mioklonus

(3) EEG yang khas (Trifasik).

Pedoman diagnostik F02.2 Penyakit Huntington adalah sebagai berikut:

18

Page 19: refera demensia.doc

(1) Ada kaitan antara gangguan gerakan koreiform (Choeriform), demensia, dan riwayat

keluarga dengan penyakit Hungtington

(2) Gerakan koreiform yang involunter, terutama pada wajah, tangan, bahu,atau cara berjalan

khas merupakan manifestasi dini dari gangguan ini. Gejala ini biasanya mendahului gejala

demensia, dan jarang sekali gejala dini tersebut tak muncul sampai demensia menjadi sangat

lanjut

(3) Gejala demensia ditandai dengan gangguan fungsi lobus frontalis pada tahap dini, dengan

adanya daya ingat relative masih terpelihara, sampai saat selanjutnya

Pedoman diagnostik F02.3 Demensia pada penyakit parkinson adalah sebagai berikut;

Demensia berkembang pada seseorang dengan penyakit parkinson yang sudah parah, tidak ada

gambaran klinis khusus yang dapat ditampilkan.

Pedoman diagnostik F02.4 Demensia pada penyakit HIV adalah sebagai berikut; Sering

lupa, lamban,kurang konsentrasi, sulit membaca dan mengatasi suatu masalah. Apati,

spontanitas, penarikan diri secara sosial.

Pedoman diagnostik F02.8 Demensia pada penyakit lain YDT –YDK (Yang Di-

Tentukan-Yang Di-Klasifikasikan ditempat lain) adalah sebagai berikut; demensia yang terjadi

sebagai manifestasi atau konsekuensi beberapa macam kondisi somatik dan serebral lain.

Pedoman diagnostik F03 Demensia YTT adalah sebagai berikut; Demensia yang terjadi

bila kriteria umum untuk diagnosis demensia terpenuhi, tetapi tidak mungkin diidentifikasi pada

salah satu tipe.

8. PERJALANAN PENYAKIT DAN PROGNOSIS

Perjalanan penyakit yang klasik pada demensia adalah awitan (onset) yang dimulai pada

usia 50 atau 60-an dengan perburukan yang bertahap dalam 5 atau 10 tahun, yang sering berakhir

dengan kematian. Usia awitan dan kecepatan perburukan bervariasi diantara jenis-jenis demensia

dan kategori diagnostik masing-masing individu. Usia harapan hidup pada pasien dengan

demensia tipe Alzheimer adalah sekitar 8 tahun, dengan rentang 1 hingga 20 tahun.

19

Page 20: refera demensia.doc

Data penelitian menunjukkan bahwa penderita demensia dengan awitan yang dini atau

dengan riwayat keluarga menderita demensia memiliki kemungkinan perjalanan penyakit yang

lebih cepat. Dari suatu penelitian terbaru terhadap 821 penderita penyakit Alzheimer, rata-rata

angka harapan hidup adalah 3,5 tahun. Sekali demensia didiagnosis, pasien harus menjalani

pemeriksaan medis dan neurologis lengkap, karena 10 hingga 15 persen pasien dengan demensia

potensial mengalami perbaikan (reversible) jika terapi yang diberikan telah dimulai sebelum

kerusakan otak yang permanen terjadi.

Perjalanan penyakit yang paling umum diawali dengan beberapa tanda yang samar yang

mungkin diabaikan baik oleh pasien sendiri maupun oleh orang-orang yang paling dekat dengan

pasien. Awitan yang bertahap biasanya merupakan gejala-gejala yang paling sering dikaitkan

dengan demensia tipe Alzheimer, demensia vaskuler, endokrinopati, tumor otak, dan gangguan

metabolisme. Sebaliknya, awitan pada demensia akibat trauma, serangan jantung dengan

hipoksia serebri, atau ensefalitis dapat terjadi secara mendadak. Meskipun gejala-gejala pada

fase awal tidak jelas, akan tetapi dalam perkembangannya dapat menjadi nyata dan keluarga

pasien biasanya akan membawa pasien untuk pergi berobat.

Individu dengan demensia dapat menjadi sensitif terhadap penggunaan benzodiazepin

atau alkohol, dimana penggunaan zat-zat tersebut dapat memicu agitasi, sifat agresif, atau

perilaku psikotik. Pada stadium terminal dari demensia pasien dapat menjadi ibarat “cangkang

kosong” dalam diri mereka sendiri, pasien mengalami disorientasi, inkoheren, amnestik, dan

inkontinensia urin dan inkontinensia alvi.

Dengan terapi psikososial dan farmakologis dan mungkin juga oleh karena perbaikan

bagian-bagian otak (self-healing), gejala-gejala pada demensia dapat berlangsung lambat untuk

beberapa waktu atau dapat juga berkurang sedikit. Regresi gejala dapat terjadi pada demensia

yang reversibel (misalnya demensia akibat hipotiroidisme, hidrosefalus tekanan normal, dan

tumor otak) setelah dilakukan terapi. Perjalanan penyakit pada demensia bervariasi dari progresi

yang stabil (biasanya terlihat pada demensia tipe Alzheimer) hingga demensia dengan

perburukan (biasanya terlihat pada demensia vaskuler) menjadi demensia yang stabil (seperti

terlihat pada demensia yang terkait dengan trauma kepala).

20

Page 21: refera demensia.doc

Derajat keparahan dan perjalanan penyakit demensia dapat dipengaruhi oleh faktor

psikososial. Semakin tinggi intelegensia dan pendidikan pasien sebelum sakit maka semakin

tinggi juga kemampuan untuk mengkompensasi deficit intelektual. Pasien dengan awitan

demensia yang cepat (rapid onset) menggunakan pertahanan diri yang lebih sedikit daripada

pasien yang mengalami awitan yang bertahap. Kecemasan dan depresi dapat memperkuat dan

memperburuk gejala. Pseudodemensia dapat terjadi pada individu yang mengalami depresi dan

mengeluhkan gangguan memori, akan tetapi pada kenyataannya ia mengalami gangguan depresi.

Ketika depresinya berhasil ditanggulangi, maka defek kognitifnya akan menghilang.

9. DIAGNOSIS BANDING

a. Delirium

Perbedaan antara delirium dan demensia adalah sebagai berikut:

Delirium Dementia

Fase Akut Kronik

Onset Cepat Lambat

Causa Penyakit lain (infeksi,dehidrasi, putus obat)

Penyakit otak kronik (Alzheimer, d.vaskuler)

Lama penyakit Berhari-hari atau minggu Berbulan-bulan atau tahun

Perjalanan penyakit

Naik turun Kronik progresif

Kesadaran Naik turun Normal

Orientasi Terganggu, periodik Intak awalnya

Afek Cemas dan iritable Labil tapi tak cemas

Alam Pikiran Sering terganggu Turun jumlahnya

Bahasa Lamban, inkoheren,inadekuat Sulit menemukan istilah yang tepat

21

Page 22: refera demensia.doc

b. Depresi

Beberapa pasien dengan depresi memiliki gejala gangguan fungsi kognitif yang sukar

dibedakan dengan gejala pada demensia. Gambaran klinis kadang-kadang menyerupai

psuedodemensia, meskipun istilah disfungsi kognitif terkait depresi (depression-related cognitive

dysfunction) lebih disukai dan lebih dapat menggambarkan secara klinis. Pasien dengan disfungsi

kognitif terkait depresi secara umum memiliki gejala-gejala depresi yang menyolok, lebih

menyadari akan gejala-gejala yang mereka alami daripada pasien dengan demensia serta sering

memiliki riwayat episode depresi.

c. Skizofrenia

Meskipun skizofrenia dapat dikaitkan dengan kerusakan fungsi intelektual yang didapat

(acquired), gejalanya lebih ringan daripada gejala yang terkait dengan gejala-gejala psikosis dan

gangguan pikiran seperti yang terdapat pada demensia.

10. PENATALAKSANAAN

Walaupun penyembuhan total pada berbagai bentuk demensia biasanya tidak mungkin, dengan

penatalaksanaan yang optimal dapat dicapai perbaikan hidup sehari-hari dari penderita (dan juga dari

keluarga atau yang merawat). Prinsip utama penatalaksaannya sebagai berikut :

PRINSIP UTAMA PENATALAKSAAN PENDERITA DEMENTIA

Optimalkan fungsi dari penderita

Obati penyakit yang mendasarinya (Hipertensi, penyakit Parkinson)

Hindari pemakaian obat yang memberikan efek samping pada SSP (kecuali dibutuhkan

untuk penatalaksanaan gangguan psikologik atau perilaku)

Ases keadaan lingkungan, kalau perlu untuk perubahan

Upayakan aktivitas mental dan fisik

Hindari situasi yang menekan kemampuan mental, gunakan alat memori dimana mungkin

Persiapkan penderita bila akan berpindah tempat

22

Page 23: refera demensia.doc

Tekankan perbaikan gizi

Kenali dan obati komplikasi

Mengembara dan berbagai perilaku merusak

Gangguan perilaku lain

Depresi

Agitasi atau aggresivitas

Inkontinensia

Upayakan perumatan berkesinambungan

Re-ases keadaan kognitif dan fisik

Pengobatan gangguan medic

Upayakan informasi medis bagi penderita dan keluarga

Berbagai hal tentang penyakitnya

Kemungkinan gangguan atau kelainan yang bisa terjadi

Upayakan informasi pelayanan sosial yang ada pada penderita dan keluarganya

Berbagai pelayanan kesehatan masyarakat

Nasihat hukum dan atau keuangan

Upayakan nasihat keluarga untuk

Pengenalan dan cara atasi konflik keluarga

Penanganan dan rasa marah atau bersalah

Pengambilan keputusan untuk perumayan respite atau di institusi

23

Page 24: refera demensia.doc

Kepentingan-kepentingan hukum atau masalah etik

1. Terapi Psikososial

Kemerosotan status mental memiliki makna yang signifikan pada pasien dengan

demensia. Keinginan untuk melanjutkan hidup tergantung pada memori. Memori jangka pendek

hilang sebelum hilangnya memori jangka panjang pada kebanyakan kasus demensia, dan banyak

pasien biasanya mengalami distres akibat memikirkan bagaimana mereka menggunakan lagi

fungsi memorinya disamping memikirkan penyakit yang sedang dialaminya. Identitas pasien

menjadi pudar seiring perjalanan penyakitnya, dan mereka hanya dapat sedikit dan semakin

sedikit menggunakan daya ingatnya. Reaksi emosional bervariasi mulai dari depresi hingga

kecemasan yang berat dan teror katastrofik yang berakar dari kesadaran bahwa pemahaman akan

dirinya (sense of self) menghilang.

Pasien biasanya akan mendapatkan manfaat dari psikoterapi suportif dan edukatif

sehingga mereka dapat memahami perjalanan dan sifat alamiah dari penyakit yang dideritanya.

Mereka juga bisa mendapatkan dukungan dalam kesedihannya dan penerimaan akan perburukan

disabilitas serta perhatian akan masalah-masalah harga dirinya. Banyak fungsi yang masih utuh

dapat dimaksimalkan dengan membantu pasien mengidentifikasi aktivitas yang masih dapat

dikerjakannya. Suatu pendekatan psikodinamik terhadap defek fungsi ego dan keterbatasan

fungsi kognitif juga dapat bermanfaat. Dokter dapat membantu pasien untuk menemukan cara

“berdamai” dengan defek fungsi ego, seperti menyimpan kalender untuk pasien dengan masalah

orientasi, membuat jadwal untuk membantu menata struktur aktivitasnya, serta membuat catatan

untuk masalah-masalah daya ingat.

Intervensi psikodinamik dengan melibatkan keluarga pasien dapat sangat membantu. Hal

tersebut membantu pasien untuk melawan perasaan bersalah, kesedihan, kemarahan, dan

keputusasaan karena ia merasa perlahan-lahan dijauhi oleh keluarganya.

2. Farmakoterapi

24

Page 25: refera demensia.doc

Dokter dapat meresepkan benzodiazepine untuk insomnia dan kecemasan, antidepresi

untuk depresi, dan obat-obat antipsikotik untuk waham dan halusinasi, akan tetapi dokter juga

harus mewaspadai efek idiosinkrasi obat yang mungkin terjadi pada pasien usia lanjut (misalnya

kegembiraan paradoksikal, kebingungan, dan peningkatan efek sedasi). Secara umum, obat-

obatan dengan aktivitas antikolinergik yang tinggi sebaiknya dihindarkan.

Donezepil, rivastigmin, galantamin, dan takrin adalah penghambat kolinesterase yang

digunakan untuk mengobati gangguan kognitif ringan hingga sedang pada penyakit Alzheimer.

Obat-obat tersebut menurunkan inaktivasi dari neurotransmitter asetilkolin sehingga

meningkatkan potensi neurotransmitter kolinergik yang pada gilirannya menimbulkan perbaikan

memori. Obat-obatan tersebut sangat bermanfaat untuk seseorang dengan kehilangan memori

ringan hingga sedang yang memiliki neuron kolinergik basal yang masih baik melalui penguatan

neurotransmisi kolinergik.

Donezepil ditoleransi dengan baik dan digunakan secara luas. Takrin jarang digunakan

karena potensial menimbulkan hepatotoksisitas. Sedikit data klinis yang tersedia mengenai

rivastigmin dan galantamin, yang sepertinya menimbulkan efek gastrointestinal (GI) dan efek

samping neuropsikiatrik yang lebih tinggi daripada donezepil. Tidak satupun dari obat-obatan

tersebut dapat mencegah degenerasi neuron progresif.

Menurut Witjaksana Roan terapi farmakologi pada pasien demensia berupa:

Antipsikotika tipik: Haloperidol 0,25 - 0,5 atau 1 - 2 mg

Antipsikotika atipik:

o Clozaril 1 x 12.5 - 25 mg

o Risperidone 0,25 - 0,5 mg atau 0,75 - 1,75 mg

o Olanzapine 2,5 - 5,0 mg atau 5 - 10 mg

o Quetiapine 100 - 200 mg atau 400 - 600 mg

o Abilify 1 x 10 - 15 mg

Anxiolitika

o Clobazam 1 x 10 mg

o Lorazepam 0,5 - 1.0 mg atau 1,5 - 2 mg

o Bromazepam 1,5 mg - 6 mg

o Buspirone HCI 10 - 30 mg

25

Page 26: refera demensia.doc

o Trazodone 25 - 10 mg atau 50 - 100 mg

o Rivotril 2 mg (1 x 0,5mg - 2mg)

Antidepresif

o Amitriptyline 25 - 50 mg

o Tofranil 25 - 30 mg

o Asendin 1 x 25 - 3 x 100 mg (hati2, cukup keras)

o SSRI spt Zoloft 1x 50 mg, Seroxat 1x20 mg, Luvox 1 x 50 -100 mg, Citalopram 1 x

10 - 20 mg, Cipralex, Efexor-XR 1 x 75 mg, Cymbalta 1 x 60 mg.

o Mirtazapine (Remeron) 7,5 mg - 30 mg (hati2)

Mood stabilizers

o Carbamazepine 100 - 200 mg atau 400 - 600 mg

o Divalproex 125 - 250 mg atau 500 - 750 mg

o Topamate 1 x 50 mg

o Tnileptal 1 x 300 mg - 3 x mg

o Neurontin 1 x 100 - 3 x 300 mg bisa naik hingga 1800 mg

o Lamictal 1 x 50 mg 2 x 50 mg

o Priadel 2 - 3 x 400 mg

Obat anti-demensia pada kasus demensia stadium lanjut sebenarnya sudah tak berguna

lagi, namun bila diberikan dapat mengefektifkan obat terhadap BPSD (Behavioural and

Psychological Symptoms of Dementia):

Nootropika:

o Pyritinol (Encephabol) 1 x100 - 3 x 200 mg

o Piracetam(Nootropil) 1 x 400 - 3 x 1200 mg

o Sabeluzole (Reminyl)

Ca-antagonist:

o Nimodipine (Nimotop 1 - 3 x 30 mg)

o Citicholine (Nicholin) 1 - 2 x 100 - 300 mg i.v / i.m.

o Cinnarizine(Stugeron) 1 - 3 x 25 mg

o Pentoxifylline (Trental) 2 - 3 x 400 mg (oral), 200 - 300 mg infuse

26

Page 27: refera demensia.doc

o Pantoyl-GABA

Acetylcholinesterase inhibitors

o Tacrine 10 mg dinaikkan lambat laun hingga 80 mg. Hepatotoxik

o Donepezil (Aricept) centrally active reversible cholinesterase inhibitor, 5 mg 1x/hari

o Galantamine (Riminil) 1 - 3 x 5 mg

o Rivastigmin (Exelon) 1,5, 3, 4, 5, 6 mg

o Memantine 2 x 5 - 10 mg

3. Terapi dengan Menggunakan Pendekatan Lain

Obat-obatan lain telah diuji untuk meningkatkan aktivitas kognitif termasuk penguat

metabolisme serebral umum, penghambat kanal kalsium, dan agen serotonergik. Beberapa

penelitian menunjukkan bahwa slegilin (suatu penghambat monoamine oksidase tipe B), dapat

memperlambat perkembangan penyakit ini. Terapi pengganti Estrogen dapat menginduksi risiko

penurunan fungsi kognitif pada wanita pasca menopause, walau demikian masih diperlukan

penelitian lebih lanjut mengenai hal tersebut. Terapi komplemen dan alternatif menggunakan

ginkgo biloba dan fitoterapi lainnya bertujuan untuk melihat efek positif terhadap fungsi kognisi.

Laporan mengenai penggunaan obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS) memiliki efek lebih

rendah terhadap perkembangan penyakit Alzheimer. Vitamin E tidak menunjukkan manfaat

dalam pencegahan penyakit.

27

Page 28: refera demensia.doc

BAB III

KESIMPULAN

Dengan meningkatnya populasi usia lanjut di Indonesia, berbagai masalah kesehatan dan

penyakit yang khas yang terdapat pada usia lanjut akan meningkat. Salah satu masalah kesehatan

yang akan banyak dihadapi adaalah gangguan kognitifyang bermanifestasi secara akut berupa

konfusio(gagal otak akut) dan kronis berupa dementia (gagal otak kronis).

Peranan assessment geriatri dalam diagnosis kedua masalah tersebut sangat besar, karena

meningkatkan ketepatan diagnosis pada konfusio dan menyingkirkan diagnosis jenis dementia

yang reversible.

Penatalaksanaan konfusio tergantung dari diagnosis yang didapatkan. Pada jenis

dementia primer terutama penyakit Alzheimer atau demensia senilis tipe Alzheimer, walaupun

pengobatan untuk penyakit primer sekarang belom dimungkinkan, penatalaksanaan berbagai

aspek perilaku baik dengan atau tanpa obat masih dimungkinkan.

Berbagai obat yang bersifat penghambat anti-kolinesterase, yang bertujuan untuk

meningkatkan kadar asetilkolin sesuai dengan pathogenesis penyakit Alzheimer, antara lain

inhibitor kholin esterase dan inhibitor N-meti D-aspartat, saat ini sudah ada di pasaran, walaupun

terhambat oleh factor penggunaannya harus seumur hidup.

Penelitian-penelitian masih intensif dilakukan dalam upaya pencegahan demensia. Suatu

panel ahli geriatris dan psikogeriatris Australia membuat rekomendasi berbagai strategi

perubahan gaya hidup untuk pencegahan demensia. Berbagai macam terapi antara lain terapi

gen, vaksinasi untuk terapi dan pencegahan demensia saat ini masih berjalan.

28

Page 29: refera demensia.doc

DAFTAR PUSTAKA

Roan Witjaksana. Delirium dan Demensia. Diakses dari :

http://www.idijakbar.com/prosiding/delirium.htm. 7 Oktober 2008.

Sadock, Benjamin James; Sadock, Virginia Alcott. Delirium, dementia, amnestic and

cognitive disorders. Kaplan & Sadock's Synopsis of Psychiatry: Behavioral Sciences/Clinical

Psychiatry, 10th Edition. Lippincott Williams & Wilkins.

Direktorat Kesehatan Jiwa Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman

Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III. Jakarta: Departemen Kesehatan RI

Direktorat Jenderal Pelayanan Medik, 1993. 49-67

Dementia. Diakses dari : http://www.medicinenet.com/dementia/ article. htm. 7 Oktober

2008

Maslim R.Buku saku Diagnosis Gangguan Jiwa rujukan ringkas dari PPDGJ III.2001,

Jakarta; PT Nuh Jaya. 20- 26

Memory Disoders. Diakses dari : http://www.gabehavioral.com/Memory

%20Disorders.htm

Information about dementia. Diakses dari

http://www.umsl.edu/~homecare/dementia.htm.

Dementia. Diakses dari : http://www.geriatricsandaging.ca/fmi/xsl/article

Sandoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,dkk. Demensia Geriatric. In:Ilmu Penyakit Dalam. 5th ed.

Jakarta:Interna Publishing. 2009. Pp.837-43.

29