Refarat THT

31
1 BAB I PENDAHULUAN Alergi merupakan kelainan umum yang dapat melibatkan pula hidung dan sinus. Kelainan ini dijelaskan sebagai reaksi imun yang tidak di harapkan. Atopi adalah suatu tipe alergi yang diperantarai antibodi tipe-reagin. IgE merupakan sistem imunoglobulin yang terutama terlibat dalam pembentukan kelainan atopik, walaupun mekanisme imun lain dapat ikut terlibat. Kelainan alergi yang sering dijumpai adalah rinitis alergi, asma alergi, dan eksema. 1 Rinitis adalah peradangan lapisan mukosa hidung. Gejala rinitis alergi berupa bersin (5-10 kali berturut-turut) rasa gatal (pada mata, telinga, hidung, tenggorok, dan palatum), hidung berair, mata berair, hidung tersumbat, post nasal drip, tekanan pada sinus dan rasa lelah. 2 Rinitis alergi menjadi masalah kesehatan global yang menyerang 5-50% penduduk. Kasus rinitis alergi tampil

Transcript of Refarat THT

Page 1: Refarat THT

1

BAB I

PENDAHULUAN

Alergi merupakan kelainan umum yang dapat melibatkan pula hidung dan

sinus. Kelainan ini dijelaskan sebagai reaksi imun yang tidak di harapkan. Atopi

adalah suatu tipe alergi yang diperantarai antibodi tipe-reagin. IgE merupakan

sistem imunoglobulin yang terutama terlibat dalam pembentukan kelainan

atopik, walaupun mekanisme imun lain dapat ikut terlibat. Kelainan alergi yang

sering dijumpai adalah rinitis alergi, asma alergi, dan eksema.1

Rinitis adalah peradangan lapisan mukosa hidung. Gejala rinitis alergi berupa

bersin (5-10 kali berturut-turut) rasa gatal (pada mata, telinga, hidung,

tenggorok, dan palatum), hidung berair, mata berair, hidung tersumbat, post

nasal drip, tekanan pada sinus dan rasa lelah.2

Rinitis alergi menjadi masalah kesehatan global yang menyerang 5-50%

penduduk. Kasus rinitis alergi tampil terutama pada usia 10-25 tahun. Kurang

lebih 25% penderita asma mempuyai rinitis alergi, sedang pasien rinitis alergi

20% menderita asma.2,3

Page 2: Refarat THT

2

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

I. ANATOMI

a. Hidung luar

Dari luar, hidung berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya yaitu

pangkal hidung (bridge), dorsum nasi, puncak hidung, ala nasi, kolumela,

dan nares anterior. Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan

kartilago yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat, dan beberapa otot kecil

yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung.

Kerangka tulang terdiri dari os.nasalis, procesus frontalis os maksila dan

procesus nasalis os. Frontal. Kerangka tulang rawan terdiri dari sepasang

kartilago nasalis lateralis superior, sepasang kartilago nasalis lateralis

inferior (kartilago ala mayor), beberapa pasang kartilago ala minor dan

tepi anterior kartilago septum.1,3,4,5

Gambar 1: anatomi kerangka hidung5

Page 3: Refarat THT

3

b. Kavum Nasi

Kavum nasi berbentuk terowongan dimulai dari vestibulum anterior

ke posterior nasofaring, yang dihubungkan oleh nares posterior (koana),

dan dipisahkan oleh septum.3,4,5,6

Septum nasi dilapisi oleh perikondrium pada bagian kartilago dan

periosteum pada bagian tulang, sedangkan diluar dilapisi oleh mukosa

hidung. Bagian tulang adalah 1) lamina perpendikularis os.etmoid, 2)

vomer, 3) krista nasalis os maksilla dan 4) krista nasalis os.palatina.

bagian tulang rawan adalah 1)kartilago septum (lamina kuadrangularis)

dan 2) kolumella.3,4,7

Gambar 2: Anatomi septum nasi3

Batas kavum nasi, pada bagian lateral yaitu dibentuk oleh

os.etmoidalis dan os. maksila. Dinding posterior dibatasi oleh os.palatum

dan prosesus pterygoid os.sphenoidalis. Dinding superior atau atap

hidung, dibentuk oleh lamina kribiformis yang berasal dari os etmoidal.

Page 4: Refarat THT

4

Dan merupakan tempat masuknya serabut-serabut saraf olfaktorius. Dasar

kavum nasi dibentuk os.palatum durum.3,4,5

Kavum nasi pada bagian lateral terdapat 4 buah konka yang terbesar

dan letaknya paling bawah adalah konka nasalis inferior, kemudian yang

lebih kecil adalah konka nasalis media, dan lebih kecil lagi ialah konka

nasalis superior. Diantara konka-konka terdapat rongga sempit yang

disebut meatus. Terdapat tiga meatus yaitu meatus inferior, medius, dan

superior.4

Meatus inferior terletak diantara konka inferior dengan dasar hidung

dan dinding lateral cavum nasi. Pada metaus nasi inferior terdapat muara

duktus nasolakrimalis. Meatus media terletak diantara konka media dan

dinding lateral rongga hidung. Pada meatus media terdapat bula etmoid,

prosesus urisinatus, hiatus semilunaris, dan infundibulum etmoid. Hiatus

semilunaris merupakan suatu celah sempit melengkung dimana terdapat

muara sinus frontalis, sinus maksilaris dan sinus ethmoidalis anterior.

Pada meatus nasi superior yang merupakan ruang diantara konka superior

dan konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus

sfenoidalis.4

Page 5: Refarat THT

5

Gambar 3: anatomi lateral kavum nasi6

c. Vaskularisasi

Cabang a. sfenopalatina dari a.maksilaris interna menyuplai konka,

meatus, dan septum. Cabang etmoidalis anterior dan posterior dari

a.oftalmika menyuplai sinus frontalis dan etmoidalis serta atap hidung.

Sedangkan maksilaris diperdarahi oleh suatu cabang a.labialis superior

dan cabang a.infraorbitalis serta alveolaris dari a.maksillaris interna, dan

cabang faringealis dari a.maksilaris interna disebarkan ke membrana

mukosa. Pada bagian septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang

a.sfenopalatina, a.etmoid anterior, a.labialis superior dan a.palatina

mayor, yang disebut pleksus Kiesselbach. Vena-vena membentuk suatu

pleksus kavernosus yang rapat di bawah membrana mukosa. Drainase

vena melalui v.fasialis dan v.opthalmika ke sinus kavernosus. 1,4,5,6

Page 6: Refarat THT

6

Gambar 4:

(a) anatomi vaskularisasi hidung (b) anatomi pleksus Kiesselbach1

d. Inervasi

Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris

dari n.etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang

berasal dari n.oftalmikus. Rongga hidung lainnya, sebagian besar

mendapat persarafan sensoris dari n.maksila melalui ganglion

sfenopalatina. Ganglion sfenopalatina, selain memberikan persarafan

sensoris juga memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk

mokosa hidung, guna mengontrol diameter vena dan arteri hidung, dan

juga memproduksi mukus. Ganglion ini menerima serabut-serabut sensoris

dari n.maksila, serabut parasimpatis dari n.Petrosus superfisialis mayor

dan serabut serabut simpatis dari n.petrosus profundus. Fungsi penghidu

berasal dari N.olfaktorius. saraf ini turun melalui lamina kribosa dari

permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel

reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas

hidung.1,4,5

Page 7: Refarat THT

7

Gambar 5: anatomi inervasi hidung1

e. Mukosa hidung

Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan

fungsional dibagi atas mukosa respiratorik dan mukosa olfaktorius.

Mukosa respiratorik terdapat pada sebagian besar rongga hidung dan

permukaannya dilapisi epitel berlapis torak bersilia yang diantaranya

terdapat sel-sel goblet. Pada bagian yang lebih terkena aliran udara

mukosanya lebih tebal dan kadang mengalami metaplasia menjadi epitel

sel squamosa. Dalam keadaan normal mukosa berwarna merah muda dan

selalu basah karena dilapisi oleh mukus.4

II. FISIOLOGI

a. Fungsi Respirasi

Fungsi respirasi adalah mengatur kondisi udara yang dihirup dan

mengatur tahanan pernapasan. Fungsi mengatur kondisi udara meliputi

pemanasan, kelembaban, dan pembersihan. Pemanasan tercapai melalui

Page 8: Refarat THT

8

kontak udara yang di hirup dengan permukaan dalam yang luas dan

pleksus pembuluh darah di dalam submukosa hidung. Pembersihan terjadi

karena rambut di dalam vestibulum menahan debu dan karena percikan

debu tertahan didalam lendir, oleh gerakan rambut getar selaput lendir,

dan lendir dialirkan ke faring.3,4

b. Fungsi penghidu

Hidung memiliki fungsi penghidu karena adanya mukosa olfaktorius

pada atap rongga hidung, konka superior, dan sepertiga bagian atas

septum. Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan

palut lendir atau bila menarik nafas dengan kuat. Apakah suatu bahan

dapat tercium atau tidak tergantung pada beberapa syarat. Molekulnya

harus dapat larut dalam air, karena epitel tertutup oleh lendir. Dan dalam

lemak untuk dapat\ berhubungan dengan membran sel.1,3,4

c. Fungsi fonetik

Pada waktu berbicara hidung berperan sebagai rongga suara yaitu

rongga resonansi, apibala nasofaring tertutup dan sebagian dikeluarkan

melalui hidung. Dengan resonansi ini, dapat dihasilkan suara hidung (m,

n, ng).3,4

d. Refleks nasal

Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan

saluran cerna, kardiovaskuler, dan pernapasan. Iritasi mukosa hidung akan

menyebabkan refleks bersin dan napas berhenti. Rangsang bau tertentu

akan menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung, dan pankreas.4

Page 9: Refarat THT

9

BAB III

PEMBAHASAN

I. DEFENISI

Rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi

alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitasi dengan alergen

yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan

ulangan dengan alergen spesifik tersebut. Defenisi menurut WHO ARIA

(Allergic rhinitis and its impact on asthma) adalah kelainan pada hidung

dengan gejala bersin-bersin rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa

hidung terpapar allergen yang diperantarai oleh Ig E.4

II. ETIOLOGI

Rinitis alergi secara umum disebabkan oleh interaksi dari pasien yang

secara genetik memiliki potensi alergi dengan lingkungan. Peran lingkungan

dalam rinitis alergi yaitu alergen, yang terdapat di seluruh lingkungan.

Terpapar dan merangsang respon imun yang secara genetik telah memiliki

kecenderungan alergi. Alergen dapat dibagi berdasarkan cara masuknya: 4,5,6

1. Alergen inhalan : masuk bersama dengan udara pernapasan. Misalnya,

tungau debu rumah, serpihan epitel kulit binatang, rerumputan, serta

jamur.

2. Alergen ingestan : masuk ke saluran cerna berupa makanan. Misalnya,

susu sapi, coklat, ikan laut, udang kepiting, dan kacang-kacangan.

Page 10: Refarat THT

10

3. Alergen injektan : masuk melalui suntikan atau tusukan. Misalnya,

injeksi penisilin dan sengata lebah.

4. Alergen kontaktan : masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa,

misalnya bahan kosmetik, perhiasan.

III. KLASIFIKASI

Awalnya rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat

berlangsungnya yaitu :1,3,4,5

1. Rhinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis). Di Indonesia

tidak dikenal rhinitis alergi musiman, hanya ada di Negara yang

mempunyai 4 musim. Alergen penyebabnya spesifik, yaitu serbuk

(pollen) dan spora jamur.

2. Rhinitis alergi sepanjang tahun (parennial). Gejala pada penyakit ini

timbul intermiten Terus-menerus, tanpa variais musim. Penyebab yang

paling sering ialah alergen inhalan dan alergen ingestan.

Saat ini digunakan klasifikasi rhinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari

WHO Initiative ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) yaitu

berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi : 2,8

1. Intermiten (kadang-kadang) : bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau

kurang dari 4 minggu

2. Persisten/menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan lebih dari 4

minggu

Sedangkan untuk berat ringannya penyakit, rhinitis alergi dibagi menjadi :

Page 11: Refarat THT

11

1. Ringan bila tidak ditemukan gangguang tidur, gangguan aktivitas harian,

bersantai, berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang menganggu

2. Sedang-berat bila terdapat suatu atau lebih dari gangguan tersebut diatas.

Gambar 6: klasifiksi rinitis alergi menurut ARIA8

IV. PATOGENESIS

Rhinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali

dengan tahap sensitisasi yang diikuti dengan tahap provokasi/reaksi alergi.

Kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau

monosit yang berperan sebagai sel penyaji (antigen presenting Cell/APC)

akan menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung.

Antigen akan membentuk fragmen pendek peptide dan bergabung dengan

molekul HLA kelas II membentuk komplek peptide MHC kelas II (Major

Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T

Helper (Th0). Sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL1)

Page 12: Refarat THT

12

yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2.

Th2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL3, IL4, IL5, dan IL13.

IL4, dan IL13 dapat diikat oleh reseptornya dipermukaan sel lomfosit B,

sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi IgE. IgE di

sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE

dipermukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini

menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator

yang tersensitisasi.4,8,9,10

Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu immediate phase allergic reaction

atau reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan

alergen sampai satu jam setelahnya dan late phase allergenic reaction atau

reaksi alergi fase lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak

6-8 jam (fase hiper-reaktifitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung

sampai 24-48 jam.4

Mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar dengan alergen yang sama,

maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi

degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan bisofil dengan akibat

terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk ( Preformed Mediator)

terutama histamine. Selain itu juga dikeluarkan Newly formed mediators

antara lain prostaglandin D2 ( PGD 2), leukotrien D4 ( LTD4) , leukotrien

C4 ( LTC4), Bradikinin, Platelet Aktivating Factor ( PAF) dan berbagai

sitokin. Inilah yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC). 4,8,9

Page 13: Refarat THT

13

Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus

sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamine

juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet hipersekresi dan

permebilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah

hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain Histamin merangsang

ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung

sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM

1). 4

Pada RAFC, Sel mastosit juga akan me;epaskan molekul kemotaktik

yang menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target.

Respons ini tidak berhenti sampai disini saja, tetapi gejala ini akan berlanjut

dan mencapai puncak 6 – 8 jam setelah pemaparan. Tahap RAFL ini

ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti,

eosinofil, limfosit, netrofil, basofil, dan mastosit di mukosa hidung serta

peningkatan sitokin dan ICAM 1 pada skcret hidung. Gejala hiperaktif atau

hipperesponsif hidung timbul akibat peranan eosinofil dengan mediator

inflamasi dari granulnya seperti Eosiniphilic Cationic Protein (ECP),

Eosiniphlic Derived Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP) dan

Eosinophilic Perixodase (EPO). Gejala iritasi pada fase ini oleh faktor

spesifik (alergen), dapat diperberat oleh faktor non spesifik seperti asap

rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca dan kelmbapan udara yang

tinggi.4,8,9

Page 14: Refarat THT

14

Gambar 7: patomekanisme rinitis alergi

V. DIAGNOSIS

a. Anamnesis

Gejala klinis pada rinitis alergi adalah bersin berulang pada pagi hari,

keluar sekret (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung,

dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak keluar air

mata (lakrimasi). Ditemukan riwayat penyakit terdahulu yang

berhubungan dengan rinitis alergi seperti asma, eksema, dermatitis

alergi.1,3,4,5,6

b. Pemeriksaan fisik

Page 15: Refarat THT

15

Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna

pucat atau livid disertai adanya sekret encer yang banyak. Bila gejala

persisten, mukosa inferior tampak hipertropi. Gejala spesifik lain pada

anak adalah terdapatnya bayangan gelap di daerah bawah mata yang

terjadi karena statis vena sekunder akibat obstruksi hidung. Gejala ini

disebut allergic shiner.4

Selain itu sering juga tampak anak mengosok-gosok hidung,

karena gatal, dengan punggung tangan. Keadaan ini disebut allergic

salute. Keadaan menggosok ini lama kelamaan akan mengakibatkan

timbulnya garis melintang didorsumsisi bagian sepertiga bawah, yang

disebut allergic crease.2,11

Mulut sering terbuka dengan legkung langit-langit yang tinggi,

sehingga akan menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi geligi facies

adenoid. Dinding posterior faring tampak granuler dan edema

(cobblestone appereance), serta dinding lateral faring menebal. Lidah

tampak seperti gambaran peta geographic tongue.4

c. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk mendukung

diagnosis rinitis alergi adalah pemeriksaan laboraturium, yang dapat

dilakukan dalam 2 bentuk, yaitu:

1. In vitro

Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat.

Pemeriksaan IgE total sering kali menunjukkan nilai normal, kecuali

Page 16: Refarat THT

16

bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit,

misalnya selain rinitis alergi juga menderita asma bronkhial atau

urtikaria. Pemeriksan RAST (Radio Immuno Sorbent Test) atau

ELISA (Enzym Linked Immuno Sorbent Test) lebih bermakna.

Dapat juga dilakukan pemeriksaan sitologi hidung walaupun tidak

dapat memastikan diagnosis.1,4,11

2. In vivo

Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit

kulit, uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (skin

end point titration/ SET). SET dilakuka untuk aleren inhalan dengan

menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat

kepekatannya. Keuntungan SET, selain alergen penyebab juga

menilai derajat alergi serta dosis inisial untuk desensitasi dapat

diketahui. Untuk alergi makanan, ditegakkan dengan diet eliminasi

dan provokasi (Challenge Test). Alergen ingestan secara tuntas

lenyap dari tubuh dalam waktu lima hari. Karena itu pada chalenge

test makanan yang dicurigai diberikan setelah berpantang selama 5

hari, selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet eliminasi, jenis

makanan setiap kali dihilangkan dari menu makanan sampai suatu

ketika gejala menghilang dengan meniadakan suatu jenis makanan.4

VI. DIAGNOSIS BANDING

1. Rhinitis non-alergik

Page 17: Refarat THT

17

Rhinitis non-alergik adalah suatu keadaan inflamasi hidung yang

disebabkan oleh selain alergi. Keadaan ini tidak dapat diidentifikasi

dengan pemeriksaan alergi yang sesuai (anamnesis, tes cukit kulit,

kadar antibodi IgE spesifik serum). Kelainan ini dapat bermacam-

macam bergantung dari penyebabnya, antara lain rinitis vasomotor,

rinitis gustator, rinitis medikamentosa, rinitis hormonal.4

2. Immotile cilia syndrome (ciliary dyskinesis)

Diskinesia silia primer (PCD, juga disebut sindrom immotile-silia)

ditandai oleh penurunan nilai bawaan dari clearence mukosiliar.

Manifestasi klinis termasuk batuk kronis, rinitis kronis, dan sinusitis

kronis. Otitis dan otosalpingitis yang umum di masa kanak-kanak,

seperti juga poliposis hidung dan agenesis sinus frontalis.

VII. PENATALAKSAAN

1. Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak alergen

penyebabnya (avoidance) dan eliminasi.4

2. Medikamentosa

a. Antihistamin

Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamin H-1, yang

bekerja secara inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target, dan

merupakan preparat farmakologik yang paling sering dipakai

sebagai lini pertama pengobatan rinitis alergi. Pemberian dapat

dalam kombinasi atau tanpa kombinasi dengan dekongestan secara

peroral.4,5,6

Page 18: Refarat THT

18

Anti histamin H1 menghambat efek histamin pada pembuluh darah,

bronkus, dan bermacam-macam otot polos. Selain itu AH1

bermanfaat untuk mengobati reaksi hipersensitifitas atau keadaan

lain yang disertai dengan pelepasan histamin endogen yang

berlebihan.12

b. Dekongestan

Golongan obat ini tersedia dalam bentuk topikal maupun

sistemik. Onset topikal jauh lebih cepat daripada preparat sistemik,

namun dapat menyebabkan rinitis medikamentosa bila digunakan

dalam jangka waktu lama. Obat dekongestan sistemik yang sering

digunakan adalah pseudoephedrine HCL dan phenylpropanolamin

HCL. 4

c. Kortikosteroid

Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala terutama sumbatan

hidung akibat respon lambat tidak berhasil dengn obat lain. 4

d. Antikolinergik

Preparat antikolinergik topikal adalah ipratropium bromida,

bermanfaat untuk mengatasi rinorea, karena aktivasi inhibisi

reseptor kolinergik pada permukaan sel efektor.4

3. Operatif

Tindakan konkotomi parsial, konkoplasti atau multiple outfractured

inferior turbinoplasty perlu dipikirkanbila konka inferior hipertrofi

Page 19: Refarat THT

19

berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai

AgNO3 25% dan triklor asetat.4,9

4. Imunoterapi

Pengobatan ini dilakukan untuk alergi inhalan denga gejala yang berat

dan sudah berlangsung lama serta dengan pengobatan cara lain tidak

memberikan hasil.4,9

VIII. KOMPLIKASI

Komplikasi rinitis alergi yang paling sering, yaitu: 4

1. Polip hidung

2. Otitis media

3. Sinusitis paranasalis

4. Gangguan fungsi tuba eustachius

IX. PROGNOSIS

Kebanyakan gejala rinitis alergi dapat diobati. Pada kasus yang lebih

parah dapat memerlukan imunoterapi. Beberapa orang (terutama anak-anak)

semakin dewasa akan semakin kurang sensitif terhadap alergennya. Namun

sebagai aturan umum, jika suatu zat menjadi penyebab alergi bagi seorang

individu, maka zat tersebut dapat terus menerus mempengaruhi orang itu

dalam jangka waktu panjang.13

BAB IV

PENUTUP

Page 20: Refarat THT

20

Rinitis alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin,

rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang

diperantarai oleh IgE. Alergen dapat berupa alergen inhalan misalnya tungau

debu rumah, serpihan epitel kulit binatang, rerumputan, serta jamur. Alergen

ingestan yang masuk ke saluran cerna melalui makanan. Alergen injektan,

misalnya suntikan penisilin, sengatan lebah. Dan alergen kontaktan seperti bahan

kosmetik dan perhiasan.

Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan

fisis, dan pemeriksaan laboraturium. Anamnesis dijumpai keluhan dan gejala

berupa bersin, keluar ingus (rinore), yang encer dan banyak, hidung tersumbat,

hidung da mata gatal kadang-kadang disertai banyak keluar airmata. Pada

pemeriksaan fisis dengan rinoskopi anterior ditemukan mukosa edema basah,

berwarna pucat disertai adanya sekret encer yang banyak.

Penatalaksanaan dari rinitis alergi adalah menghindari kontak dengan

alergen, medikamentosa, operatif, dan imunoterapi. Komplikasi yang sering

terjadi pada rinitis alergi adalah polip hidung, otitis media, gangguan fungsi tuba

dan sinusitis paranasalis.