REFARAT PERTUSIS

25
REFARAT Januari 2016 “ PERTUSIS “ Nama : Ihwan Ukhrawi Aly No. Stambuk : N 111 15 033 Pembimbing : dr. Kartin Akune, Sp.A 1

description

mmm

Transcript of REFARAT PERTUSIS

Page 1: REFARAT PERTUSIS

REFARAT Januari 2016

“ PERTUSIS “

Nama : Ihwan Ukhrawi Aly

No. Stambuk : N 111 15 033

Pembimbing : dr. Kartin Akune, Sp.A

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TADULAKO

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH UNDATA

PALU

2015

1

Page 2: REFARAT PERTUSIS

BAB I

PENDAHULUAN

Pertusis (batuk rejan) disebut juga whooping cough, tussis quinta, violent

cough, dan di Cina disebut batuk seratus hari. Pertusis adalah penyakit infeksi

akut yang menyerang saluran pernapasan yang disebabkan oleh Bordetella

pertussis, bakteri Gram-negatif berbentuk kokobasilus. Organisme ini

menghasilkan toksin yang merusak epitel saluran pernapasan dan memberikan

efek sistemik berupa sindrom yang terdiri dari batuk yang spasmodik dan

paroksismal disertai nada mengi karena pasien berupaya keras untuk menarik

napas, sehingga pada akhir batuk disertai bunyi yang khas.1,4

Pertusis dapat diderita oleh orang dari semua kelompok usia, namun

insidensi pertusis banyak didapatkan pada bayi dan anak kurang dari 5 tahun.

Insidensi terutama terjadi pada bayi atau anak yang belum diimunisasi.1

Dahulu pertusis adalah penyakit yang sangat epidemik karena menyerang

bukan hanya negara-negara berkembang namun juga beberapa bagian dari negara

maju. Namun setelah digalakkannya vaksinasi untuk pertusis, angka kematian

dapat ditekan, dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi

pertusis diharapkan tidak ditemukan lagi, meskipun ada kasusnya namun tidak

signifikan.1,2

Menurut salah satu lembaga penelitian kesehatan dunia Communicable

Disease Control (CDC) 2010 Annual Morbidity Report mengatakan bahwa

insiden pertusis meningkat setiap 3 sampai 5 tahun sekali. Pada 2010 peningkatan

kembali terjadi, seperti di Los Angeles terjadi peningkatan kasus sejak 50 tahun

terakhir yaitu 972 kasus saat ini (696 diagnosa pasti, 276 suspect) dengan angka

kejadian 9.91 kasus per 100.000 jiwa. Sedangkan di California angka kejadian

pertusis yaitu 23,3 kasus per 100.000 jiwa.3

Dengan mendiagnosa secara dini kasus pertusis, dari anamnesis,

pemeriksaan fisik, manifestasi klinis, foto roentgen, dan pemeriksaan penunjang

lainnya, diharapkan para klinisi mampu memberikan penanganan yang tepat dan

2

Page 3: REFARAT PERTUSIS

cepat sehingga derajat penyakit pertusis tidak menimbulkan komplikasi yang

lebih lanjut.

3

Page 4: REFARAT PERTUSIS

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Pertusis (batuk rejan) disebut juga whooping cough, tussis quinta, violent

cough, dan di Cina disebut batuk seratus hari. Pertusis adalah penyakit infeksi

akut yang menyerang saluran pernapasan yang disebabkan oleh Bordetella

pertussis, bakteri Gram-negatif berbentuk kokobasilus.1

Pertusis masih merupakan penyebab terbesar kesakitan dan kematian

pada anak, terutama di negara berkembang. WHO memperkirakan lebih kurang

600.000 kematian disebabkan pertussis setiap tahunnya terutama pada bayi yang

tidak diimunisasi. Dengan kemajuan perkembangan antibiotik dan program

imunisasi maka mortalitas dan morbiditas penyakit ini mulai menurun.5

2.2 Epidemiologi

Pertusis adalah penyakit paling menular yang dapat menimbulkan attack

rate 80-100% pada penduduk yang rentan. Sampai saat ini manusia merupakan

satu-satunya host. Pertusis dapat ditularkan melalui udara secara kontak langsung

yang berasal dari droplet penderita selama batuk. Pertusis adalah penyakit

endemik. Penyebaran pertusis di seluruh dunia dapat menyerang semua golongan

umur, yang terbanyak adalah anak umur dibawah 1 tahun. Makin muda usianya,

makin berbahaya penyakitnya, lebih sering mengenai anak perempuan daripada

anak laki-laki.1,2

Mulai tahun 1980 ditemukan peningkatan kejadian pertusis pada bayi, usia

11-18 tahun, dan dewasa, dengan cakupan imunisasi pertusis rutin yang luas. Di

Amerika Serikat kurang lebih 355 kasus terjadi pada usia <6 bulan, termasuk bayi

yang berumur 3 bulan. Kurang lebih 45% penyakit terjadi pada usia < 1 tahun dan

66% < 5 tahun. Kematian dan jumlah kasus yang dirawat tertinggi terjadi pada

usia 6 bulan pertama kehidupan.1,2

4

Page 5: REFARAT PERTUSIS

Centers of Disease Control and Prevention (CDC) pada tahun 2010,

melaporkan kasus pertusis di Amerika Serikat adalah 27.550 kasus dan 27 kasus

kematian. Sedangkan pada tahun 2011, kasus pertusis terbanyak pada usia 11

sampai 19 tahun yaitu sebanyak 47% dan pada anak-anak usia 7-10 tahun sekitar

18% kasus.1,2,3

Antibodi dari ibu (transplasental) selama kehamilan tidaklah cukup untuk

mencegah bayi baru lahir terhadap pertussis. Pertussis yang berat pada neonatus

dapat ditemukan dari ibu dengan gejala pertussis ringan. Kematian sangat

menurun setelah diketahui bahwa dengan pengobatan eritromicyn dapat

menurunkan tingkat penularan pertussis karena biakan nasofaring akan negatif

setelah 5 hari pengobatan. Tanpa reinfeksi alamiah dengan B.pertussis atau

vaksinasi booster berulang, anak yang lebih tua dan orang dewasa lebih rentan

terhadap penyakit ini jika terpajan.1

2.3 Etiologi

Genus bordetella mempunyai empat spesies yaitu Bordetella pertusis,

Bordetella parapertusis, Bordetella bronkiseptika dan Bordetella avium.

Penyebab pertusis adalah bordetella pertusis dan perlu dibedakan dengan

bordetella parapertusis dan adenovirus type 1,2,3 dan 5.1,2,3

Bordetella pertusis termasuk kokobasilus, gram negatif, kecil, ovoid,

ukuran panjang 0,5-1 µm dan diameter 0,2-0,3 µm, tidak bergerak, tidak berspora

dengan pewarnaan toloidin biru, dapat dilihat granul bipolar makromatik dan

mempunyai kapsul. Untuk melakukan biakan Bordetella pertusis, diperlukan suatu

media pembenihan yang disebut bordet genggou (Potato-blood glycerol agar)

yang ditambah penicillin G 0,5 µg/ml untuk menghambat organism lain.1,3,4

5

Page 6: REFARAT PERTUSIS

Gambar 1. Bordetella pertusis6

2.4 Patofisiologi

Bordetella pertussis ditansmisikan melalui sekresi udara pernafasan, dan

kemudian melekat pada silia epitel saluran pernafasan. Mekanisme patogenesis

infeksi oleh Bordetella pertussis terjadi melalui 4 tahap yaitu perlekatan,

perlawanan terhadap mekanisme pertahanan pejamu, kerusakan lokal, dan

akhirnya timbul penyakit sistemik.1,2,4

Filamentous hemaglutinin (FHA), Lymphositosis promoting factor (LPF)/

pertusis toxin (PT) dan protein 69-Kd berperan dalam perlekatan Bordetella

pertussis pada silia. Setelah terjadi perlekatan Bordetella pertusis, kemudian

bermultiplikasi dan menyebar keseluruh permukaan epitel saluran pernafasan.

Proses ini tidak invasif, oleh karena itu pada pertusis tidak terjadi bakteremia.

Selama pertumbuhan Bordetella pertussis, maka akan menghasilkan toksin yang

akan menyebabkan penyakit yang kita kenal dengan whooping cough. Toksin

terpenting yang dapat menyebabkan penyakit disebabkan oleh karena pertussis

toxin. Toksin pertussis mempunyai 2 sub unit yaitu A dan B. Toksin sub unit B

selanjutnya berikatan dengan reseptor sel target, kemudian menghasilkan sel unit

A yang aktif pada daerah aktifasi enzim membran sel. Efek LPF menghambat

migrasi limfosit dan magrofag ke daerah infeksi.1,2,3,4

6

Page 7: REFARAT PERTUSIS

Toxin mediated adenosine disphosphate (ADP) mempunyai efek pengatur

sintesis protein di dalam membran sitoplasma, berakibat terjadi perubahan fungsi

fisiologis dari sel target termasuk limfosit (menjadi lemah dan mati),

meningkatkan pengeluaran histamin dan serotonin, efek memblokir beta

adrenergik dan meningkatkan aktifitas insulin, sehingga akan menurunkan

konsentrasi gula darah..1,3,4

Toksin menyebabkan peradangan ringan dengan hyperplasia jaringan

limfoid peribronchial dan meningkatkan jumlah mukos pada permukaan silia,

maka fungsi silia sebagai pembersih akan terganggu, sehingga mudah terjadi

infeksi sekunder (tersering oleh Streptococcus pneumoniae, H. influenza dan

Staphylococcus aureus). Penumpukan mukus akan menimbulkan plug yang dapat

menyebabkan obstruksi dan kolaps paru. Hipoksemia dan sianosis disebabkan

oleh gangguan pertukaran oksigenisasi pada saat ventilasi dan timbulnya apnue

saat terserang batuk. Terdapat perbedaan pendapat mengenai kerusakan susunan

saraf pusat, apakah akibat pengaruh toksin langsung atakah sekunder akibat

anoksia. Terjadi perubahan fungsi sel yang reversible, pemulihan tampak bila sel

mengalami regenerasi, hal ini dapat menerangkan mengapa kurangnya efek

antibiotik terhadap proses penyakit.1,3,4

Dermonecrotic toxin adalah heat labile cystoplasmic toxin menyebabkan

kontraksi otot polos pembuluh darah dinding trakea sehingga menyebabkan

iskemia dan nekrosis trakea. Sitotoksin bersifat menghambat sintesis DNA,

menyebabkan siliostasis, dan diakhiri dengan kematian sel. Pertussis

lipopolysacharida (endotoksin) tidak terlalu penting dalam hal patogenesis

penyakit ini. Kadang – kadang Bordetella pertussis hanya menyebakan infeksi

yang ringan, karena tidak menghasilkan toksin pertusis.1,3,4

7

Page 8: REFARAT PERTUSIS

Gambar 2. Patogenesis pertusis6

2.5 Gambaran Klinik

Masa inkubasi pertusis adalah 6 sampai 20 hari, rata-rata 7 hari, sedangkan

perjalanan penyakit ini berlangsung antara 6 sampai 8 minggu atau lebih.

Perjalanan klinis penyakit ini dapat berlangsung dalam tiga stadium, yaitu stadium

kataralis (prodromal,pra paroksismal), stadium akut paroksismal (spasmodik), dan

stadium konvalesens. Manifestasi klinis tergantung dari etiologi spesifik, usia, dan

status imunisasi. Pertusis pada remaja dapat dikenali dengan gejala sebagai

berikut: 72-100% batuk paroksismal, susah tidur dan sesak, 50-70% muntah

setelah batuk, 30-65% mengalami whoop, 1-2% rawat inap karena pneumonia

atau fraktur tulang iga, dan 0,2-1% kejang atau penurunan kesadaran.1,3,4

a. Stadium kataralis (1-2 minggu)

Gejala awal menyerupai gejala infeksi saluran napas bagian atas

yaitu timbulnya rinore dengan lendir yang cair dan jernih, injeksi pada

konjungtiva, lakrimasi, batuk ringan, dan panas tidak begitu tinggi. Pada

8

Page 9: REFARAT PERTUSIS

stadium ini biasanya diagnosis pertusis belum dapat ditegakkan karena

sukar dibedakan dengan common cold. Sejumlah besar organisme tersebar

dalam droplet dan anak sangat infeksius, pada tahap ini kuman mudah

diisolasi.1,3,4

b. Stadium paroksismal/stadium spasmodik

Frekuensi dan derajat batuk bertambah, terdapat pengulangan 5-10

kali batuk kuat selama ekspirasi yang diikuti oleh usaha inspirasi masif

yang mendadak dan menimbulkan bunyi melengking (whoop), udara yang

dihisap melalui glotis yang menyempit. Pada remaja, bunyi whoop sering

tidak terdengar. Selama serangan wajah merah dan sianosis, mata

menonjol, lidah menjulur, lakrimasi, salivasi, dan distensi vena leher

bahkan sampai terjadi petekia di wajah (terutama di konjungtiva bulbi).

Episode batuk paroksismal dapat terjadi lagi sampai mucous plug pada

saluran napas menghilang. Muntah sesudah batuk paroksismal cukup khas,

sehingga seringkali menjadi kecurigaan apakah anak menderita pertusis

walaupun tidak disertai bunyi whoop.1,2,3,4

c. Stadium konvalesens ( 1-2 minggu)

Stadium penyembuhan ditandai dengan berhentinya whoop dan

muntah dengan puncak serangan paroksismal yang berangsur-angsur

menurun. Batuk biasanya masih menetap untuk beberapa waktu dan akan

menghilang sekitar 2-3 minggu. Pada beberapa pasien akan timbul

serangan batuk paroksismal kembali. Episode ini terjadi berulang-ulang

untuk beberapa bulan dan sering dihubungkan dengan infeksi saluran

napas bagian atas yang berulang.1,2,3,4

2.6 Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan atas anamnesis, pemeriksaan fisis, dan

pemeriksaan laboratorium.1,4,5

9

Page 10: REFARAT PERTUSIS

a. Anamnesis

Ditanyakan adanya riwayat kontak dengan pasien pertusis, adakah

serangan khas yaitu paroksismal dan bunyi whoop yang jelas. Perlu pula

ditanyakan mengenai riwayat imunisasi

b. Pemeriksaan Fisis

Gejala klinis yang didapat pada pemeriksaan fisis tergantung dari stadium

saat pasien diperiksa.

Gambar 3. Contoh gambaran pasien Pertusis

c.Pemeriksaan Laboratorium

Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan leukositosis 20.000-

50.000/μL dengan limfosistosis absolut khas pada akhir stadium kataral dan

selama stadium paroksismal. Pada bayi jumlah lekositosis tidak menolong

untuk diagnosis, oleh karena respons limfositosis juga terjadi pada infeksi

lain. Isolasi B. pertussis dari sekret nasofaring dipakai untuk membuat

diagnosis pertusis pada media khusus Bordet-gengou. Biakan positif pada

stadium kataral 95-100%, stadium paroksismal 94% pada minggu ke-3,

dan menurun sampai 20% untuk waktu berikutnya. 1,4,5

10

Page 11: REFARAT PERTUSIS

Dengan metode PCR yang lebih sensitif dibanding pemeriksaan

kultur untuk mendeteksi B. pertussis, terutama setelah 3-4 minggu setelah

batuk dan sudah diberikan pengobatan antibiotik. PCR saat ini merupakan

pilihan yang paling tepat karena nilai sensitivitas yang tinggi, namun belum

tersedia. Tes serologi berguna pada stadium lanjut penyakit dan untuk

menentukan adanya infeksi pada individu dengan biakan. Cara ELISA

dapat dipakai untuk menentukan IgM, IgG, dan IgA serum terhadap FHA

dan PT. Nilai IgM serum FHA dan PT menggambarkan respons imun

primer baik disebabkan oleh penyakit atau vaksinasi.IgG toksin pertusis

merupakan tes yang paling sensitif dan spesifik untuk mengetahui infeksi

alami dan tidak tampak setelah imunisasi pertusis.1, 4,5

d. Radiologi

Fototoraks dapat memperlihatkan infiltrat perihiler, atelektasis,

atau empisema.

Gambar 4. Manifestasi klinis, temuan laboratorium dan komplikasi dari pertusis10

2.7 Penatalaksanaan

11

Page 12: REFARAT PERTUSIS

Pemberian antibiotik tidak memperpendek stadium paroksismal. Pemberian

eritomisin, klaritromisin, atau azitromisin telah menjadi pilihan pertama untuk

pengobatan dan profilaksis. Eritromisin (40-50 mg/kgbb/hari dibadi dalam 4 dosis

peroral, maksimum 2 gram per hari) dapat mengeleminasi organisme dari

nasofaring dalam 3-4 hari. Eritromisin dapat mengeleminasi pertusis bila

diberikan pada pasien dalam stadium kataral sehingga memperpendek periode

penularan. Penelitian membuktikan bahwa golongan makrolid terbaru yaitu

azitromisin (10-12 mg/kgbb/hari, sekali sehari selama 5 hari, maksimal 500

mg/hari) atau klaritromisin (15-20 mg/kgbb/hari dibagi dalam 2 dosis peroral,

maksimum 1 gram perhari selama 7 hari) sama efektif dengan eritromisin, namun

memiliki efek samping lebih sedikit.

Terapi suportif terutama untuk menghindari faktor yang menimbulkan

serangan batuk, mengatur hidrasi dan nutrisi. Oksigen hendaknya diberikan pada

distres pernapasan yang akut dan kronik.1,2,4,5

2.8 Pencegahan

Cara terbaik untuk mengontrol penyakit ini adalah dengan imunisasi.

Banyak laporan mengemukakan bahwa terdapat penurunan angka kejadian

pertusis dengan adanya pelaksanaan program imunisasi. Pencegahan dapat

dilakukan melalui imunisasi aktif dan pasif. ,2,4,5,7

a. Imunisasi pasif

Dalam imunisasi pasif dapat diberikan human hyperimmune globulin, ternyata

berdasarkan beberapa penelitian di klinik terbukti tidak efektif sehingga akhir-

akhir ini tidak lagi digunakan untuk pencegahan.4,5

b. Imunisasi aktif

Diberikan vaksin pertusis dari kuman Bordetella pertusis yang telah dimatikan

untuk mendapatkan kekebalan aktif. Imunisasi pertusis diberikan bersama-

sama dengan vaksin difteria dan tetanus. Dosis imunisasi dasar yang

dianjurkan 12 UI dan diberikan tiga kali sejak umur 2 bulan, dengan jarak 8

12

Page 13: REFARAT PERTUSIS

minggu. Vaksin pertusis monovalen 90,25 ml, i.m)telah dipakai untuk

mengontrol epidemi diantara orang dewasa yang terpapar. Salah satu efek

samping imunisasi adalah demam. Kontraindikasi bila terdapat riwayat reaksi

anafilaksis terhadap komponen vaksin dan ensefalopati (koma, kejang lama)

dalam 7 hari pemberian vaksin pertusis, kejang tanpa demam dalam 3 hari

sebelum imunisasi, menangis > 3 jam, hihg pitch cry dalam 2 hari, kolaps atau

hipotensi hiporesponsif dalam dua hari, suhu yang tidak dapat diterangkan >

40,5 ºC dalam 2 hari. 4,5

Pencegahan penyebarluasan penyakit dilakukan dengan cara:,3,4,8

Isolasi: Mencegah kontak dengan individu yang terinfeksi, diutamakan bagi

bayi dan anak usia muda, sampai pasien setidaknya mendapatkan antibiotik

sekurang-kurangnya 5 hari dari 14 hari pemberian secara lengkap. Atau 3

minggu setelah batuk paroksismal reda bilamana pasien tidak mendapatkan

antibiotik.

Karantina: Kasus kontak erat terhadap kasus yang berusia <7 tahun, tidak

diimunisasi, atau imunisasi tidak lengkap, tidak boleh berada di tempat publik

selama 14 hari atau setidaknya mendapat antibiotic eritromisin selama 5 hari

dari 14 hari pemberian secara lengkap.

Disinfeksi: Direkomendasikan untuk melakukan pada alat atau ruangan yang

terkontaminasi sekret pernapasan dari pasien pertusis

2.9 Komplikasi

Komplikasi terutama terjadi pada sistem nafas dan saraf pusat. Pneumonia

adalah komplikasi paling sering ditemukan, menyebabkan 90% kematian pada

anak < 3 tahun. Pneumonia dapat disebabkan karena Bordetella pertusis tetapi

lebih sering disebabkan oleh infeksi bakteri sekunder (Haemophilus influenzae, S.

pneumonia, S.aureus dan S. pyogenes). Tuberculosis laten dapat menjadi aktif.

Atelektasis terjadi sekunder terhadap sumbatan mucus yang kental. Aspirasi

mucus atau muntah dapat menyebabkan pneumomia. Panas tinggi merupakan

13

Page 14: REFARAT PERTUSIS

tanda infeksi sekunder dari bakteri. Batuk dengan tekanan tinggi dapat

menimbulkanruptur alveoli, emfisema, interstisiel/subkutan dan pneumotoraks,

termasuk perdarahan subkonjungtiva.4,9

Komplikasi pada susunan saraf pusat yaitu kejang, koma, ensefalitis,

hiponatremia sekunder terhadap SIADH (Syndrome of inappropriate diuretic

hormone).kejang tetanik dihubungkan dengan alkalosis yang disebabkan muntah

persisten.4,9

2.10 Prognosis

Prognosis tergantung usia anak, anak yang lebih tua mempunyai prognosis

yang lebih baik. Pada bayi risiko kematian (0,5-1%) disebabkan ensefalopati.

Pada penelitian jangka panjang, apnea atau kejang akan menyebabkan gangguan

intelektual di kemudian hari.10

BAB III

14

Page 15: REFARAT PERTUSIS

KESIMPULAN

Pertusis di tandai oleh suatu sindrom yang terdiri dari batuk yang sangat

spasmodik dan paroksimal disertai nada yang meninggi. Penyakit ini dapat

ditemukan pada semua umur, mulai dari bayi sampai dewasa. Penyebabnya adalah

Bordetella pertusis. Pertusis merupakan penyakit menular dengan tingkat

penularan yang tinggi, dimana penularan ini terjadi pada kelompok masyarakat

yang padat penduduknya dengan tingkat penularannya mencapai 99%, dapat

ditularkan melalui udara secara droplet, bahan droplet, memegang benda yang

terkontaminasi dengan sekret nasofaring.

Penularan terutama melalui saluran pernapasan dimana Bordetella Pertusis

akan terikat pada silia epitel saluran pernapasan, kemudian kuman ini akan

mengalami multiplikasi disertai pengeluaran toksin, sehingga menyebabkan

inflamasi dan nekrose trakea dan bronkus. Mekanisme patogenesis infeksi oleh

Bordetella pertusis terjadi melalui 4 tingkatan yaitu perlekatan, perlawanan

terhadap mekanisme pertahanan pejamu, kerusakan lokal, dan akhirnya timbul

penyakit sistemik. Masa inkubasi pertusis 6 – 10 hari (rata – rata 7 hari), dimana

perlangsungan penyakit ini 6 – 8 minggu atau lebih. Perjalanan klinis penyakit ini

dapat berlangsung 3 stadium yaitu stadium kataralis (prodromal, preparoksimal),

stadium akut paroksismal (paroksismal, spasmodik), dan stadium konvalesens.

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis , pemeriksaan fisik dan

pemeriksaan laboratorium. Diagnosis banding pertusis adalah bordetella

parapertusis, bordetella bronchoseptica, infeksi oleh klamidia, infeksi oleh adeno

virus tipe 1,2,3,5. Komplikasi – komplikasi dari pertusis yaitu pada saluran

pernapasan : bronkopneumoinia, otitis media, bronchitis, atelektasis, emfisema

pulmonum, bronkiektasis, kolaps alveoli paru. Pada sistem saraf pusat : kejang.

Komplikasi – komplikasi yang lain : hemoptisis, epitaksis, hernia, prolaps rekti,

malnutirsi karena anoreksia dan infeksi sekunder.

15

Page 16: REFARAT PERTUSIS

Pengobatan pertusis terdiri dari, terapi kausal : antimikroba, eritromisin

merupakan antimikroba yang lebih efektif dibanding kloramfenikol maupun

tetrasiklin. Terapi suportif yaitu lingkungan perawatan yang tenang, pemberian

makanan, hindari makanan yang sulit ditelan, sebaiknya diberikan makanan yang

berbentuk cair.

Pencegahan dan kontrol adalah Imunisasi pasif dapat diberikan Human

Hiperimmune Globulin, Imunisasi aktif diberikan vaksin pertusis yang terdiri dari

kuman Bordetella Pertusis yang telah dimatikan unrtuk mendapatkan imunisasi

aktif. Vaksinasi pertusis diberikan bersama– sama dengan vaksin difteri dan

tetanus. Dosis pada imunisasi dasar dianjurkan 12 IU dan diberikan tiga kali sejak

umur 2 bulan, dengan jarak 8 minggu. Prognosis tergantung usia, anak yang lebih

tua mempunyai prognosis yang lebih baik. Pada bayi resiko kematian (0,5 – 1 %)

disebabkan enselopati. Pada observasi jangka panjang, apneu atau kejang akan

menyebabkan gangguan intelektual dikemudian hari.

16

Page 17: REFARAT PERTUSIS

DAFTAR PUSTAKA

1. S. Long, Sarah. Pertusis. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Vol II. Jakarta :

EGC. 2005

2. Cherry JD. Comparison of the epidemiology of the disease pertussis with

the epidemiology of Bordetella pertussis infection. 2005. Pediatrics :

Diakses 26 Januari 2016 dari

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15867059

3. Turner, B, Lewis, NE. Annnual Morbidity Report of Pertusis. Journal of

Communicable Disease Control. 2010. Diakses pada 26 Januari 2016 dari

http://www.cdc.gov/mmwr/mmwr_nd/index.html.

4. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Buku ajar infeksi dan pediatric tropis.

Ed.2. Badan penerbit IDAI; Jakarta: 2010

5. Heininger, U. Update on pertussis in children. Expert review of anti-

infective therapy 8 (2): 163–73. 2010

6. Wertheim H, Horby P, Woodall PJ. Atlas of human infectious disease.

Wiley Blackwell; USA: 2012.

7. Central for disease control and prevention. Pertussis (whooping cough).8

agustus 2013. [serial online]. Diakses 26 Januari 2016 dari URL:

http://www.cdc.gov/pertussis/clinical/disease-specifics.html

8. Bocka J. Pertussis. Emedicine-Medscape. 2014. [serial online]. Diakses 26

Januari 2016 dari URL: http://emedicine.medscape.com/article/967268-

overview

9. World health organization. Country office for Indonesia. Dalam pedoman

pelayanan kesehatan anak di rumah sakit rujukan tingkat pertama

kabupaten/kota. Ed.1 bahasa Indonesia; Jakarta: 2009.

10. Todar, Kenneth. Bordetella pertussis and Whooping Cough. 2014. Diakses

26 Januari 2016 dari http://textbookofbacteriology.net/pertussis_2.html.

17