refarat nutrisi
-
Upload
eman-arif-rahman -
Category
Documents
-
view
157 -
download
1
Transcript of refarat nutrisi
NUTRITIONAL SUPPORT OF THE BURNED PATIENT
(PENATALAKSANAAN NUTRISI PADA PASIEN LUKA BAKAR)
PENDAHULUAN
Luka bakar adalah suatu bentuk kerusakan dan atau kehilangan jaringan yang
disebabkan kontak dengan sumber yang memiliki suhu yang sangat tinggi (misalnya
api, air panas, bahan kimia, listrik dan radiasi) atau suhu yang sangat rendah.1,2
Pada jaringan, saat terjadi kontak dengan sumber baik suhu tinggi maupun
rendah berlangsung reaksi kimiawi yang dapat mengakibatkan jaringan akan
mengalami kerusakan. Dengan kerusakan jaringan yang terjadi, demikian kompleks
permasalahan yang timbul, sehingga luka bakar merupakan suatu bentuk seberat-
berat trauma dengan morbiditas dan mortalitas tinggi yang memerlukan
penatalaksanaan khusus sejak awal (fase syok) sampai fase lanjut secara
berkesinambungan, termasuk didalamnya pemberian nutrisi untuk mengatasi
perubahan metabolisme yang disebabkan luka bakar.1
Permasalahan pada luka bakar demikian kompleks. Untuk dapat menjelaskan,
maka permasalahan yang ada dipilah menurut fase atau tahapan perjalanan
penyakitnya yang dibedakan atas 3 fase pada luka bakar yaitu :
1. Fase awal, fase akut, fase syok
Permasalahan utama pada fase ini berkisar pada gangguan yang berupa
respons tubuh yang terjadi pada suatu trauma, dimana berat trauma dapat menjadi
kondisi yang mengancam jiwa yang dapat berakhir dengan kematian. Berbagai
1
kondisi yang menyebabkan gangguan asupan, distribusi dan utilisasi oksigen
merupakan ancaman bagi kehidupan. Gangguan ini dapat meliputi gangguan
Airway (A), Breathing (B) dan Circulation (C), gangguan yang timbul tidak saja
terjadi di tingkat sel, atau local dan regional, namun bersifat sistemik, semua
system tubuh terganggu, termasuk gangguan metabolisme protein-karbohidrat-
lemak dan gangguan pada saluran pernapasan.1,2
2. Fase setelah shock berakhir, fase flow
Masalah yang umum pada fase ini adalah suatu entitas klinik yang disebut
Systemic Inflammatory Respons Syndrom (SIRS) diikuti Multi-system Organ
Dysfunction Syndrom (MODS). Keduanya merupakan kelanjutan dari fase
pertama, kedua fase ini tidak dapat dipisahkan karena erat kaitannya satu sama
lain. Kedua fase ini masuk ke dalam kategori Acute Burn Injury.1,2
3. Fase lanjut
Fase ini berlangsung sejak proses epithelialisasi sempurna hingga
terjadinya maturasi jaringan. Masalah pada fase ini adalah timbulnya penyulit dari
luka bakar berupa kecacatan tubuh: parut hipertropik, kontraktur dan deformitas
lain yang terjadi karena kerapuhan jaringan atau struktur organ.1,2
Luka bakar dibedakan menjadi beberapa jenis menurut kedalaman dan
kerusakan jaringan yang perlu dicantumkan dalam diagnosis yaitu :
- Derajat I (superficial), hanya mengenai permukaan paling luar (epidermis).
Penampakannya seperti luka bakar sinar matahari, sangat nyeri dan tidak ada
gelembung berisi cairan (vesikel atau bula). Bila penanganannya kurang baik,
2
gelembung (blister) bisa muncul setelah 24 jam.1,2
- Derajat II (partial thickness), mengenai epidermis dan sebagian dermis dan
dibedakan menjadi dua. Derajat II superfisial (superficial partial thickness)
ditandai oleh adanya gelembung berisi cairan yang terbentuk beberapa menit
setelah trauma panas. Kulit berwarna kemerahan atau merah muda dengan
pengisian kapiler (capillary refill) yang baik, sangat nyeri dan penyembuhan
terjadi 10 - 14 hari. Derajat II dalam (deep partial thickness) ditandai oleh tidak
adanya bulla, warna kemerahan, tidak ada capillary refill dan tidak nyeri.
Hilangnya rasa nyeri karena ujung-ujung saraf mengalami kerusakan. Begitu
pula folikel rambut, kelenjar sebasea dan kelenjar minyak yang merupakan
sumber keratinosit ikut rusak sehingga pembentukan epitel sulit terjadi, sehingga
penyembuhannya lebih lama, dalam waktu lebih dari 1 bulan.
- Derajat III: mengenai seluruh ketebalan kulit, warna coklat kehitaman atau putih
kering terlihat vena-vena mengalami trombosis (penyumbatan), tidak ada bulla
dan tidak nyeri, kulit yang terbakar warna abu-abu, pucat dan kering serta
letaknya lebih rendah dibandingkan dengan kulit sekitarnya.1,2
- Derajat IV: mengenai struktur di bawah kulit (lemak, fasia, otot dan tulang).3
Untuk menentukan berat dan penanganan pada luka bakar perlu diketahui luas
luka bakar yang terjadi, luas luka bakar pada dewasa dihitung menggunakan rumus
Sembilan (Rule Of Nine)yang diprovokasi oleh Wallace didasari atas perhitungan
kelipatan 9, dimana 1% luas permukaan tubuh adalah luas telapak tangan penderita.
Pada anak-anak menggunakan table dari Lund dan Browder yang mengacu pada
3
seorang bayi/anak (yaitu kepala).1
(A) Rule of nines (untuk dewasa) dan (B) tabel Lund-Browder (pada anak-anak)
Gambar 1. Perhitungan Luas luka bakar 4
Kategori penderita1
4
LB Ringan LB 20 dan 30 < 10% pada kelompok usia <10 th / >50 th LB 20 dan 30 < 15% pada kelompok usia lain LB 20 dan 30 < 10% pada semua kelompok usia; tanpa cedera
pada tangan, kaki dan perineum
Penderita luka bakar, membutuhkan kuantitas dan kualitas nutrisi yang
berbeda dengan orang yang normal karena umumnya penderita luka bakar mengalami
keadaan hipermetabolik dimana terjadi peningkatan pemakaian energi yang disertai
kehilangan panas melalui proses penguapan (evaporative hat lost). Dimana respon
hipermetabolik ditandai dengan keadaan sirkulasi yang hiperdinamik, perubahan
metabolism glukosa, dan pemecahan protein otot.1,2
Keadaan hipermetabolisme inilah yang memerlukan bantuan nutrisi yang
adekuat untuk mendapatkan hasil akhir yang optimal. Tujuan dari pemberian nutrisi
adalah menyediakan zat-zat gizi yang cukup untuk memenuhi kebutuhan kalori dan
nitrogen pasien yang meningkat serta untuk menekan erosi massa tubuh dan
menghindari risiko dsfungsi system organ yang berhubungan dengan nutrisi yang
berlebihan atau tidak adekuat.5,6
5
LB Sedang (Moderate) LB 20 dan 30 10-20% pada kelompok usia <10 th / >50 th LB 20 dan 30 15-25% pada kelompok usia lain, dengan LB 30
<10% LB 30 < 10% pada semua kelompok usia; tanpa cedera pada
tangan, kaki dan perineum
LB Kritis, LB Berat, LB Masif LB 20 dan 30 >20% pada kelompok usia <10 th / >50 th LB 20 dan 30 >25% pada kelompok usia lain Trauma Inhalasi LB Multiple LB pada populasi resiko tinggi LB listrik tegangan tinggi LB tangan, kaki dan perineum
Prinsip dasar dalam pemberian nutrisi pendukung setelah luka bakar dalam
mempertahankan gizi yang optimal adalah :
1. Pertama, penilaian kebutuhan energi dan protein harus ditentukan sehingga
campuran yang sesuai dan jumlah nutrisi dapat disediakan. Karena kebutuhan,
terutama energi, perubahan selama cedera, penilaian sering sangat penting.
2. Kedua, pemberian dukungan nutrisi harus segera dimulai, lebih cepat lebih baik.
3. Ketiga, jalur pemberian nutrisi yang tepat harus dipilih. Jalur enteral adalah jalur
disukai dan teraman.
4. Keempat, kecukupan dukungan nutrisi harus ditentukan serta menjaga
keseimbangan elektrolit yang diperlukan dan menghindari komplikasi akibat gizi.
5. Kelima, salah satu harus terus-menerus menilai status hidrasi untuk menjaga
hidrasi yang optimal.7
PEMBERIAN NUTRISI PADA LUKA BAKAR
Pada fase akut, berlangsung suatu kondisi hipometabolisme, yang berdampak
hipoperfusi splangnikus yang diikuti terjadinya disrupsi mukosa usus. Pemberian
nutrisi pada fase ini sangat membahayakan karena akan diikuti meningkatnya
mortalitas. Nutrisi Enteral Dini (NED) merupakan tindakan preventif yang menjadi
acuan. Penerapan NED bertujuan gut feeding yang terbukti mencegah terjadinya
atrofi vili-vili mukosa. Pemberiannya dimulai dalam delapan jam pasca trauma
dengan dosis kecil yang ditingkatkan secara bertahap sesuai toleransi penderita,
demikian pula dengan osmolalitas kualitas nutrien yang diberikan.
6
Pada kasus luka bakar terjadi peningkatan kebutuhan kalori, untuk kebutuhan
terapi pemeliharaan (wanita 22 kcal/kg/d, laki-laki 25 kcl/kg/d), mereka memerlukan
tambahan 40 kcal persen dari total permukaan tubuh yang terbakar, dan pasien
tersebut memerlukan 40 - 60 kcal per kg berat badan. Selama fase hipermetabolik
pada luka bakar (0-14 hari), kemampuan metabolisme lemak dibatasi sehingga diet
yang menjadikan karbohidrat sebagai sumber kalori lebih diinginkan. Selama fase
hipermetabolik, metabolisme lemak menjadi normal. Pada pasien luka bakar juga
perlu diberikasn suplemen arginin, nekleotida dan omega 3 poliunsaturated untuk
pemeliharaan dan stimulus imunokompitensi.3,8
Dikenal beberapa metode untuk menentukan kebutuhan kalori basal penderita,
antara lain :
a. Indirect Calorimetry
Merupakan metode yang paling ideal dengan mengukur kebutuhan kalori secara
langsung, dimana alat ini telah memperhitungkan beberapa faktor seperti berat
badan, jenis kelamin, luas luka bakar, luas permukaan tubuh, adanya infeksi dll.
Untuk itu menghitung kalori total maka harus ditambahkan faktor stres 20-30%.
Penggunaan indirect calorimetry juga berguna untuk menilai respiratory qoutient
(RQ) yaitu efektifitas utilisasi zat gizi yang diberikan, sehingga dapat
menghindari kalori yang terlalu sedikit atau terlalu banyak.1
b. Dengan cara lain, menggunakan persamaan matematika yang dapat digunakan
untuk memperkirakan kebutuhan kalori penderita.
7
- Salah satunya yang direkomendasikan adalah perhitungan kebutuhan kalori
basal dengan formula Harris Benedict yang melibatkan faktor berat badan
(BB), tinggi badan (TB), dan umur (U).
Ekuasi Harris Benedict
Pria : 66,5 + (13,7 x BB) + (5 x TB) - (6,76 x U)
Wanita : 66,5 + (9,6 x BB) + (1,85 x TB) - (4,68 x U)1,9
Pada sumber lain, untuk memenuhi kebutuhan total kalori, perlu
diperhitungkan beberapa faktor antara lain faktor aktivitas fisik (AF), dan
faktor stress (FS), karenanya pada ekuasi ini dilakukan modifikasi formula
dengan menambahkan kedua faktor tersebut.
Ekuasi Harris Benedict1
Pria : 66,5 + (13,7 x BB) + (5 x TB) - (6,8 x U) x AF x FS
Wanita : 66,5 + (9,6 x BB) + (1,8 x TB) - (4,7 x U) x AF x FS
Ekuasi Harris Benedict10
Pria : 66,5 + (13,7 x BB) + (5 x TB) - (6,8 x U) x AF x IF
Wanita : 66,5 + (9,6 x BB) + (1,8 x TB) - (4,7 x U) x AF x IF
Faktor aktivitas : 1,2 untuk tirah baring. 1,3 untuk aktivitas biasa
8
Faktor Luka (Injury faktor):
%TBSA Injury Faktor20 1.4
20-25 1.625-30 1.730-35 1.835-40 1.940-45 2.0>45 2.1
- Selain itu, juga terdapat berbagai metode perhitungan kebutuhan kalori yang
dapat digunakan antara lain :
Formula Curreri :9,11
Dewasa : (25 kcal x kg BB) + 40 kcal x % TBSA
Anak-anak : (60 kcal x kg BB) + 35 kcal x % TBSA
Shriner's (galveston): 1800 kcal/m2 BSA + 2200 kcal/m2 of Burn11
- Rule of Thumb
Merupakan suatu metode perhitungan yang praktis. Penerapannya
menghindari kemungkinan terjadinya over feeding.
Kebutuhan kalori : 25 – 30 kal/KgBB1
JALUR PEMBERIAN NUTRISI
Penatalaksanaan nutrisi penderita luka bakar dapat dilakukan dengan berbagai
metode yaitu : pemberian nutrisi melalui oral/enteral, dan parentreal.1,2,3
9
Bila tidak didapatkan gangguan gastrointestinal seperti retensi lambung, ileus,
mual atau muntah, maka dapat segera dipersiapkan pemberian nutrisi baik melalui
oral atau enteral, Hubungan langsung makanan dengan lumen usus akan
meningkatkan aliran darah, merangsang sistem saraf otonom, pengeluaran hormon
dan enzim traktus gastrointestinal, yang akan menjaga keutuhan fungsi dan mukosa
traktus gastrointestinal serta mencegah translokasi bakteri.1,2
1. Pemberian melalui oral
Pemberian melalui oral dapat diberikan bila penderita kooperatif dan dapat
menghabiskan porsi makanannya, bila pasien kesulitan menghabiskannnya maka
seyogyanya segera dipasang pipa nasogatrik untuk pemberian nutrisi enteral agar
dapat menjamin asupan makanannya sesuai dengan rencana.
2. Nutrisi Enteral
Nutrisi Enteral adalah pemberian nutrisi menggunakan pipa ke saluran cerna (tube
feeding) sehingga langsung dapat dicerna maupun melalui proses digesti
sebelumnya. Sebagai upaya menjamin makanan sesuai program/rencana terutama
pada penderita yang tidak kooperatif atau tidak mungkin memperoleh asupan
makanan melalui jalur oral (misalnya fase akut).
- Fase akut, pasca syok, untuk program gut feeding sebagai upaya menjaga
integritas mukosa.
- Fase selanjutnya, untuk menjamin asupan kebutuhan kalori.
Pemberian Nutrisi Enteral dapat dilakukan melalui beberapa cara yaitu pipa
nasogastrik, gastrostomi dan jejunostomi.
10
3. Nutrisi Parenteral
Pada prinsipnya, pemberian Nutrisi Parenteral (NP) dilakukan bila fungsi
gastrointestinal tidak memungkinkan lagi untuk pemberian nutrisi melalui enteral.
Dalam pemberian NP, perlu diperhatikan kelengkapan komposisi zat gizi dan
osmolalitas cairan yang akan diberikan.
Karena alasan osmolalitasnya (umumnya > 800 mmol), pemberian NP
direkomendasikan untuk tidak menggunakan jalur perifer namun melalui jalur
sentral. Bila ada indikasi melakukan pemberiannya, direkomendasikan
penggunaaan triple lumen catheter. Resiko pemberian NP antara lain, phlebitis
(bertalian dengan osmolalitas), atrofi mukosa saluran cerna (karena dipuasakan),
respons inflamasi..
PEMBERIAN NUTRISI DINI
Nutrisi dini adalah pemberian nutrisi baik oral/enteral maupun parenteral,
sesegera mungkin pasca terjadinya luka bakar. Konsensus mengenai terminologi dini
yang disepakati adalah < 24 jam pasca trauma, pasca bedah, atau seseorang penderita
masuk ke rumah sakit. Khusus untuk luka bakar, penelitian-penelitian yang dilakukan
untuk menentukan waktu inisial pemberian nutrisi dini pada penderita luka bakar
menunjukkan waktu yang sangat bervariasi, yaitu empat sampai dengan empat puluh
delapan jam pasca trauma. Dari beberapa penelitian berupa review istimatis dari
meta-analisis membuktikan bahwa makin cepat nutrisi diberikan, semakin terlihat
keuntungan klinik.1
11
Pada pasien luka bakar yang membutuhkan nutrisi enteral maka, bahan
makanan yang diberikan dapat berupa makanan cair Rumah sakit atau formula
komersial dengan viskoditas 1 kalori/mL. Lamanya makanan enteral didalam botol
tidak boleh lebih dari 4 jam. Pada anak 3 tahun dengan luka bakar besar dianjurkan
pemberian nutrisi enteral 5 mL/jam dan, anak 3 tahun 10-20 mL/jam, sedangkan pada
dewasa diberikan 45 mL/jam. Nutrisi enteral diberikan melalui pipa nasogastrik,
secara drips dengan tetasan 15-20 tetes/menit. Kecepatan tetesan ini sangat sulit
dilakukan bila hanya mengendalikan efek grafitasi, tetapi dimungkinkan dengan
menggunakan pompa infus. Pemberian nutrisi enteral pada pasien luka bakar harus
terus menerus dimonitor, khususnya toleransi gastrointestinal.
Mengingat jumlah asupan yang masih sangat sedikit pada hari-hari pertama,
dan belum mencapai kebutuhan kalori total, maka biasanya kebutuhan kalori total ini
baru dapat tercapai pada hari ke tiga dan seterusnya.1
Komposisi makronutrien
1. Karbohidrat
Kondisi yang umum dijumpai pada kasus luka bakar berat adalah
hiperglikemia. Hiperglikemia merupakam refleksi dari kondisi anaerob pada fase
syok. Namun, tidak hanya terjadi pada fase syok (fase ebb), intoleransi glukosa
ini tetap dijumpai pada fase flow. Manifestasi klinisnya serupa dengan resistensi
insulin di pada diabetes melitus.1,10
12
Ada beberapa teori yang menjelaskan mekanisme terjadinya hiperglikemia
pada luka bakar fase akut, antara lain :
a. Reseptor insulin (membran sel) tidak memberi respon terhadap sinyal yang
berasal dari kadar gula darah pada kondisi hipoksia.
b. Akibat efektivitas karbohidrat, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan energi
dari sumber lain, dalam hal ini protein yang tersimpan pada massa tubuh non-
lemak (lean body mass).
c. Pada saat tersebut, terjadi perubahan rasio glukagon/insulin yang berpengaruh
pada proses glukoneogenesis yang berasal dari protein.1
Pasca trauma terjadi peningkatan rasio glukagon/insulin yang akan
mengaktifkan glukoneogenesis. Proses tersebut dipicu oleh pelepasan hormon
stres, mediator inflamasi (sitokin, eikosanoid), dan resistensi insulin, proses
glukoneogenesis sendiri sebenarnya merupakan upaya kompensasi tubuh untuk
menyediakan sumber energi bagi kelangsungan hidup penderita, dimana glukosa
yang terbentuk sangat dibutuhkan sebagai bahan bakar utama bagi jaringan luka,
hemopoitik dan otak.
Asam amino alanin dan asam amino lain akan diarahkan untuk mamasuki
jalur glukogenik sehingga terjadi kegagalan sintesis protein, deplesi yang
progresif dari protein tubuh akan merangsang terjadinya peningkatan kadar gula
darah. Area yang terkena luka bakar membutuhkan sejumlah besar glukosa, hal
tersebut ditunjukkan oleh adanya peningkatan sirkulasi disekitar area tersebut dan
terjadi peningkatan metabolisme glukosa. Pada daerah luka terjadi peningkatan
13
aliran darah setempat uptake glukosa tanpa disertai peningkatan konsumsi
oksigen, hal ini akan menyebabkan terjadinya metabolisme glukosa dalam
suasana anaerob, yang menghasilkan asam laktat. Asam laktat yang terbentuk ini
bersama-sama asam amino alanin, glutamin yang merupakan hasil dari proteolisis
otot dan gliseril serta asam lemak dari hasil lipolisis jaringan adipose akan
dikembalikan ke hati untuk mengalami glukoneogenesis.1,2,3,5,12
Pada pasien hipermetabolik berat, pemberian nutrisi berupa asam amino
dan karbohidrat ternyata akan menurunkan ekskresi nitrogen, sedangkan
pemberian lemak dalam jumlah setara, tidak berhasil membuktikan hasil yang
sama, pemberian karbohidrat akan menstimulasi hormon insulin serta diharapkan
dapat melindungi protein otot dan glikogen hati.13
Walaupun karbohidrat merupakan sumber energi utama, namun
pemberian karbohidrat yang terlalu tinggi berhubungan dengan hiperglikemia
hiperosmolalitas, diuresis osmotik yang dapat menyebabkan dehidrasi dan
hipovolemia, meningkatkan lipogenesis, perlemakan hati dan retensi
karbondioksida.
Pada pasien luka bakar berat sangat diperlukan pemantauan terhadap
hiperglikemia dan glikosuria. Pemberian insulin kadang-kadang diperlukan untuk
meningkatkan glukosa serum dan memaksimalkan utilisasi glukosa. Anjuran
pemberian karbohidrat pada fase akut adalah 30 - 50 % kalori total atau tidak
melebihi 5mg.kgBB/menit.1
2. Protein
14
Pasca luka bakar, katabolisme protein terjadi demikian cepat, dimana pada
fase akut, asam amino akan dijadikan sumber energi. Asam amino alanin dan
glutamin akan dibebaskan dari strukturnya untuk dimetabolisme dalam siklus
glukoneogenesis dihati. Jumlah protein yang dibutuhkan sangat dipengaruhi oleh
beberapa hal, antara lain :
a. Derajat kerusakan jaringan yang dikaitkan dengan luas dan dalamnya luka
bakar.
b. Ekskresi nitrogen melalui urin dan eksudat luka.
c. Kemampuan hati untuk mensistesis protein, dan
d. Adekuasi terapi nutrisi.1
Pelepasan hormon strees dan mediator sel radang (ILi, TNF, IL2, dam IL6)
menyebabkan perubahan metabolisme protein pada penderita luka bakar, yang
ditandai oleh terjadinya proteolisis protein otot dan peningkatan ekskresi nitrogen
melalui urin, sehingga menyebabkan terjadinya imbang nitrogen negatif.13
Peningkatan proteolisis protein otot bertujuan untuk membentuk protein
fase akut, penyembuhan luka, peningkatan aktifitas imunologi, proses
glukoneogenesis dan mengganti hilangnya protein melalui eksudat luka, pada
degradasi protein otot akan dilepaskan alanin dan glutamin. Alanin adalah
perkursor utama untuk glukoneogenesis, sedangkan glutamin merupakan bahan
bakar untuk epitel usus, sel imunitas dan pembentukan amonia di ginjal. Akibat
perubahan metabolisme protein tersebut, akan menyebabkan status protein
15
penderita luka bakar menurun drastis, sehingga dibutuhkan asupan protein yang
adekuat sebagai pengganti protein yang hilang.6,13
Dalam usaha untuk meningkatkan sintesis protein viseral, menjaga
keseimbangan nitrogen postif dan meningkatkan mekanisme pertahanan tubuh
maka pada luka bakar berat dianjurkan pemberian protein sebesar 23-25% kalori
total dengan perbandingan kalori : nitrogen = 80 :1 atau 2,5 - 4 g protein/kgBB,
perlu juga diperhatikan jenis protein yang diberikan, sebaiknya protein yang
bernilai biologik tinggi. Pemberian diet protein tinggi dapat menyebabkan beban
bagi ginjal, oleh karena itu dibutuhkan pemantauan seperti status cairan, kadar
ureum dan kreatinin serum.1
Asam amino glutamin dan arginin merupakan conditionally essential
amino acid, yaitu asam amino yang tergolong non esensial, namun pada keadaan
trauma seperti luka bakar, hiperkatabolik atau stres berat, akan terjadi deplesi dari
kedua asam amino tersebut, sehingga dibutuhkan suplementasi. Suplementasi ini
sesuai dengan manfaatnya diharapkan akan menurunkan angka morbiditas dan
mortalitas, walaupun untuk hasil yang optimal masih diperlukan penelitian klinik
lebih lanjut.
Arginin merupakan prekursor poliamin untuk sintesis kolagen dalam
penyembuhan luka yang juga dapat merangsang pertumbuhan dll. Peranan arginin
terhadap sistem imunitas tubuh terutama diperantarai oleh metabolik nitrit oxcide.
Suplementasi arginin 2 % dari total kalori terhadap binatang percobaan dengan
luka bakar, ternyata meningkatkan survival secara signifikan.
16
Glutamin dipercaya merupakan sumber energi bagi sel bereplikasi dengan
cepat seperti eritrosit dan limfosit. Pada keadaan luka bakar berat, fungsi GLAT
(gastrointestinal associate limphoid tissue) yang menunjang sistem imunitas tubuh
akan berubah dan fungsinya menurun. Suplementasi glutamin dapat membantu
perbaikan mukosa usus sekaligus meningkatkan fungsi sel imunitas sehingga
dapat memperbaiki intergitas dan fungsi barier imunitas.1,2,6
3. Lipid
Pemberian lipid bertujuan untuk memenuhi kebutuhan energi,
pemberiannya memperkecil katabolisme protein endogen. Lipid akan
menyediakan kalori tanpa disertai peningkatan osmolalitas. Hal ini jelas
mengntungkan terutama bila dibutuhkan energi dalam jumlah besar. Lipid juga
diperlukan untuk memenuhi kebutuhan akan asam lemak esensial, karena
diketahui lipid merupakan media pembawa vitamin larut lemak dengan perkiraan
kebutuhan 15-25 g/hari.
Pemberian lemak berlebihan diikuti timbulnya komplikasi antara lain
terjadinya akumlasi lemak di dalam darah, gangguan pembekuan, penekanan
sistem imunitas tubuh, dan lain sebagainya. Lemak tidak merangsang pengeluaran
hormon insulin dan tidak melindungi protein tubuh terhadap degradasi, sehingga
perlu dipertimbangkan untuk pemberian ang adekuat. Rekomendasi pemberian
lipid pada kasus trauma adalah 5-15% dari total kalori.
Asam lemak omega 3 dan omega 6 tergolong asam lemak rantai panjang
tak jeduh ganda (polyunsaturated fatty acids/PUFA). PUFA merupakan penyusun
17
strukur membran sel dan menghasilkan eikosanoid yang berperan pada
diferensiasi dan fungsi dari sel-sel imunitas tubuh.
Asam linoleat atau asam lemak omega 6 banyak terdapat dalam bahan
makanan di alam, merupakan prekursor asam arakidonat yang akan
dimotabolisme menjadi eikosanoid prastatglandin seri 1 dan 2 (PGEi dan
PGE2), tromboksan, prostasiklin dan leukotrien seri 4. Eikosanoid turunan
arakidonat ini dapat menyebabkan inflamasi, imunosepresi dan meningkatkan
degredasi protein otot. Sesuai dengan hal ini mengkomsumsi diet tinggi asam
linoleat merupakan kontraindikasi untuk pasien sakit berat.1,2,6
Asam lemak omega 3 khususnya asam eikosapentonoat (EPA) yang dapat
diperoleh dari minyak ikan, merupakan prekursor dari prastatglandin seri 3
(PGE3) dan leukotrien seri 5. keduanya berefek anti inflamasi dan
meningkatkan sistem imunitas tubuh demikian pula PGE3 berpotensi sebagai
vasodilator, omega 3 akan berkompetisi dan menginhibisi pembentukan PGEi dan
PGE2 dari asam linoleat, sehingga omega 3 ini sangat dianjurkan pada pasien luka
bakar.
Penelitian menunjukan dalam usaha meningkatkan sistem imunitas tubuh
maka pemberian omega 6 dan omega 3 dalam perbandingan yang ideal (2-3:1)
akan berefek mengurangi kondisi imunosupresi pasca luka bakar. Disisi lain perlu
disadari bahwa rantai panjang dari minyak ikan yang mengandung asam lemak
tak jenuh ganda, sangat peka terhadap auto-oksidasi, sehingga berpotensi
18
menyebabkan kerusakan sel akibat terbetuknya radikal bebas. Untuk mengatasi
hal itu, perlu kiranya dipertimbangkan pemberian antioksidan.1,2
Suplementasi mikronutrien
Mikronutrien diperlukan sebagai koenzim dan kofaktor untuk reaksi fisiologis
dalam sel, metabolisme makronutrien dan energi. Dengan meningkatnya kebutuhan
energi dan protein, kehilangan melalui luka, perubahan metabolisme, absorbsi,
eksresi dan utilisasi maka kebutuhan mikronutrien ini jelas perlu ditingkatkan.
Vitamin berpotensi untuk sintesis protein, penyembuhan luka meningkatkan
fungsi imunitas dan antioksidan. Pada penderita luka bakar dalam kondisi sakit berat
dan hipermetabolisme, maka kebutuhan vitamin akan meningkat. Dianjurkan
peningkatan suplemetasi 50 - 100 kali recommended daily alawance (RDA) untuk
vitamin larut air dan vitamin E, dan dosis aman untuk vitamin larut lemak dan
vitamin B6 sampai sepuluh kali RDA. Mineral juga memainkan peranan penting
dalam penyembuhan luka, fungsi imunitas, antioksidan dan lain-lain. Seng diperlukan
dalam metabolisme protein. Selenium-dependent glultation peroksidase melindungi
sel dari kerusakan akibat hidrogen perioksidase. Pada penderita luka bakar,
kebutuhan mineral juga meningkat.1
Komplikasi
Proses kimiawi, sepsis, dan komplikasi metabolik yang dikaitkan dengan
pemberian nutrisi secara enteral dan parenteral pada pasien luka bakar, yang mana
19
penaganannya sama dengan pada pasien dalam kondisi krisis pada umumnya, dimana
jumlah dan lamanya pemberian nutrisi pada pasien luka bakar memerlukan perhatian
lebih dari segi jumlah, komposisi, dan tingkat keamanan, guna menghindari
terjadinya komplikasi.1,2,11
Pemantauan dan evaluasi
Selama dalam proses perawatan, diperlukan pemantauan asupan nutrisi,
perhitungan kalori sesuai kondisi penderita, bentuk dan cara pemberian nutrisi.
Pemeriksaan fisik dan laboratorium untuk menilai perbaikan dan efektivitas terapi
termasuk terapi nutrisi.
Asupan kalori dan kecenderungan berat badan digunakan untuk pengukuran
sehari-hari kemajuan bantuan nutrisi. Pasien harus ditimbang dalam cara yang
konsisten sehingga kesalahan penimbangan berat badan karena pakaian dan bidai
dapat dihilangkan.1,2
Pemeriksaan keseimbangan nitrogen yang berkala menawarkan informasi
objektif lebih lanjut tentang keadekuatan bantuan nutrisi. Keseimbangan nitrogen
negatif menyatakan perlunya memberikan nutrisi tambahan, dan penyesuaian regimen
bantuan nutrisi harus dilakukan semestinya. Pemeriksaan berkala dilakukan dengan
kalorimetri indirek atau pemeriksaan ulang yang berdasarkan luka bakar yang masih
belum tertutup. Ini terutama penting untuk menghindari pemberian makanan yang
berlebihan (overfeed-ing) saat penutupan luka bakar tercapai.5
20
DAFTAR PUSTAKA
1. Oetoro Samuel, Permadhi inge, Wijoksono Fiastuti. Tatalaksana Nutrisi Pada
Luka bakar. Editor Moenadjat yefta. Dalam Luka Bakar, Masalah dan
Tatalaksana edisi kedua. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta 2009. 285-97
2. Oetoro Samuel, Permadhi inge, Wijoksono Fiastuti. Perubahan Metabolisme Pada
luka bakar. Editor Moenadjat yefta. Dalam Luka Bakar Pengatahuan Klinis
Praktis edisi kedua. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Jakarta 2003. 95-9
3. Tawnsend. M Courtney, Beauchamp Daniel.R, Evers Mark.B, Mattox.L Kanneth
Sabiston TextBook of Sutgery. The Bioligical Bsis of Modern Surgical
Practice. 17th edition. Elsevir Sunders.Philadelphia 2004. 588-9
4. Anonym. Rule Of Nine. 2008. http://www.clinicaledu.com/clinician_training_
guides.html. Accessed on Maret 2012.
5. Cemeron Jhon, Saputra Lyndon ed, Penatalaksanaan Cairan dan Nutrisi
Untuk Pasien dengan iuka bakar dalam Terapi Bedah Mutakhir, Edisi IV,
Binarupa Aksara. Jakarta, 2000. 502-10
6. Schwatz Seymour, M.D, Luka Bakar dalam Intisari Prinsip-prinsip Ilmu
Bedah, edisi IV. EGC. Jakarta. 96-121.
7. H. Demling. R, DeSanti L, Etc. The Burn Nutrition Module Section I. www.
burnsurgery. com. Accessed on Maret 2012
8. Way.w Lawrence, Doherty M Gerrad. Current Surgical Diagnosis &
Traetment. 11th Edition. Surgical Metabolisme & Nutrition. Mc Graw Hill.
Boston 2003. 185-6
21
9. Charles HT. Robert WB. Reconstruction of the Penis. Grabb and Smith
Plastic’s Surgery. 6th Edition. New York: Lippincot Williams & Wilkins. 2007.
140.
10. Chiarelli A, Enzi.G, Casadei A, Baggio B, Valerio A, Mazzoleni F. Etc. Chapter
7: Nutrition www. burnsurgery. com. Accessed on Maret 2012
11. Bongard s. Frederic, Sue y. Darryl. Current Critical Care Diagnosis &
Treatmen. Second edition. McGraw-Hill. New York. 2003. 822-3
12. Jeffry A, Norton MD, etc. Burns in Surgery Basic Scienci and Clinical
Evidence. Springer. United State, 1997. 327-36
13. Argenta C. Laouis. Basic Science For Surgeons. Saunders. Philadelphia. 2004.
415-7
22