refarat anak
Transcript of refarat anak
HIPOTIROID KONGENITAL
I. Latar Belakang
Hipotiroid kongenital adalah kurangnya produksi hormon tiroid pada bayi
baru lahir. Hal ini dapat terjadi karena cacat anatomis kelenjar tiroid, kesalahan
metabolisme tiroid, atau kekurangan iodium.
Hipotiroid kongenital merupakan salah satu penyebab retardasi mental.
Hipotiroid kongenital yang tidak diobati sejak dini dapat mengakibatkan retardasi
mental yang berat. Hormon tiroid sudah diproduksi dan diperlukan oleh janin
sejak usia kehamilan 12 minggu, mempengaruhi metabolisme sel di seluruh tubuh
sehingga berperan penting pada pertumbuhan dan perkembangan.
Gejala hipotiroid pada bayi baru lahir biasanya tidak terlalu jelas, oleh
sebab itu sangat diperlukan skrining hipotiroid pada neonatus. Program skrining
memungkinkan bayi mendapatkan terapi dini dan memiliki prognosis yang lebih
baik, terutama dalam perkembangan sistem neurologis.
Pengobatan secara dini dengan hormon tiroid dapat mencegah terjadinya
morbiditas fisik maupun mental. Pemantauan tetap diperlukan untuk mendapatkan
hasil pengobatan dan tumbuh kembang anak yang optimal.
Hipotiroid kongenital yang terlambat diketahui dan diobati, dapat
menyebabkan retardasi mental dan akan berdampak pada kualitas sumber daya
manusia.
II. Definisi
1
Hipotiroid kongenital adalah gangguan pada bayi sejak lahir yang
disebabkan kekurangan hormon tiroid, hilangnya fungsi tiroid akibat kegagalan
perkembangan kelenjar tiroid. Akibatnya kelenjar tiroid tidak menghasilkan
thyroxine (T4) yang cukup sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan tubuh
yang dapat menyebabkan timbulnya abnormalitas perkembangan dan fungsi
mental yang terhambat. 4
III. Anatomi dan Fisiologi
Kelenjar tiroid terdiri dari dua lobus jaringan endokrin yang menyatu di
bagian tengah oleh bagian sempit kelenjar, sehingga kelenjar ini tampak seperti
dasi kupu-kupu. Kelenjar ini bahkan terletak di posisi yang tepat untuk
pemasangan dasi kupu-kupu, yaitu berada di atas trakea, tepat di bawah laring.
sel-sel sekretorik utama tiroid tersusun menjadi gelembung-gelembung berongga,
yang masing-masing membentuk unit fungsional yang disebut folikel. Dengan
demikian sel-sel sekretorik ini sering disebut sebagai sel folikel. Pada potongan
mikroskopik, folikel tampak sebagai cincin-cincin sel folikel yang meliputi lumen
bagian dalam yang dipenuhi koloid, suatu bahan yang berfungsi sebagai tempat
penyimpanan untuk hormon tiroid.
Konstituen utama koloid adalah molekul besar dan kompleks yang dikenal
sebagai tiroglobulin, yang didalamnya berisi hormon-hormon tiroid dalam
berbagai tahap pembentukannya. Sel-sel folikel menghasilkan dua hormon yang
mengandung iodium, yang berasal dari asam amino tirosin, yaitu tetraiodotironin
(T4 atau tiroksin) dan triiodotironin (T3). Kedua hormon ini yang secara kolektif
disebut sebagai hormon tiroid, merupakan regulator penting bagi laju metabolisme
basal keseluruhan.
Sintesis hormon tiroid berlangsung di molekul tiroglobulin di dalam
koloid. Tiroglobulin itu sendiri dihasilkan oleh kompleks golgi/ retikulum
endoplasma sel folikel tiroid. Tirosin menyatu ke dalam molekul tiroglobulin
sewaktu molekul besar ini diproduksi. Setelah diproduksi, tiroglobulin yang
2
mengandung tirosin dikeluarkan dari sel folikel ke dalam koloid melaluui
eksositosis. Tiroid menangkap Iodium dari darah dan memindahkannya ke dalam
koloid melalui suatu “pompa Iodium” yang sangat aktif atau “Iodine trapping
mechanism” protein pembawa yang sangat kuat dan memerlukan energi yang
terletak di membran luar sel folikel. Hampir semua Iodium di tubuh dipindahkan
melawan gradien konsentrasinya ke kelenjar tiroid untuk mensintesis hormon
tiroid. Selain untuk sintesis hormon tiroid, Iodium tidak memiliki manfaat lain di
tubuh.
Dalam koloid, Iodium dengan cepat melekat ke sebuah tirosin di dalam
molekul tiroglobulin. Perlekatan sebuah Iodium ke tirosin menghasilkan
monoiodotirosin (MIT). Perlekatan dua Iodium ke tirosin menghasilkan
diiodotirosin (DIT). Kemudian, terjadi proses penggabungan antara molekul-
molekul tirosin beriodium untuk membentuk hormon tiroid. Penggabungan dua
DIT (masing-masing mengandung dua atom iodium) menghasilkan (T4 atau
tiroksin), yaitu bentuk hormon tiroid dengan empat Iodium. Penggabungan satu
MIT (dengan satu iodium) dan satu DIT (dengan dua iodium) menghasilkan
triiodotironin atau T3 (dengan tiga iodium). Penggabungan tidak terjadi antara dua
molekul MIT. Karena reaksi-reaksi ini berlangsung di dalam molekul tiroglobulin,
semua produk tetap melekat ke protein besar tersebut. Hormon-hormon tiroid
tetap disimpan dalam bentuk ini di koloid sampai mereka dipecah dan
disekresikan. Diperkirakan bahwa jumlah hormon tiroid yang secara normal
disimpan di koloid cukup untuk memasok kebutuhan tubuh untuk beberapa bulan.
Pengeluaran hormon-hormon tiroid ke dalam sirkulasi sistemik memerlukan
proses yang agak rumit karena dua alasan. Pertama, sebelum dikeluarkan T4 dan
T3 tetap terikat ke molekul tiroglobulin. Kedua, hormon-hormon ini disimpan di
luar lumen folikel, sebelum dapat memasuki pembuluh darah yang berjalan di
ruang interstisium, mereka harus diangkut menembus sel folikel. Proses sekresi
hormon tiroid pada dasarnya melibatkan pemecahan sepotong koloid oleh sel
folikel, sehingga molekul tiroglobulin terpecah menjadi bagian-bagiannya, dan
pelepasan T4 dan T3 bebas ke dalam darah. Apabila terdapat rangsangan yang
3
sesuai untuk mengeluarakan hormon tiroid, sel-sel folikel memasukkkan sebagian
dari kompleks hormon-tiroglobulin dengan memfagositosis sekeping koloid.
Di dalam sel, butir-butir koloid terbungkus membran menyatu dengan
lisosom, yang enzim-enzimnya kemudian memisahkan hormon tiroid yang aktif
secara biologis, T4 dan T3, serta iodotirosin yang nonaktif, MIT dan DIT.
Hormon-hormon tiroid, karena sangat lipofilik, dengan mudah melewati membran
luar sel folikel dan masuk kedalam darah. MIT dan DIT tidak memiliki nilai
endokrin. Sel-sel folikel mengandung suatu enzim yang dengan cepat
mengeluarkan Iodium dari MIT dan DIT, sehingga Iodium yang dibebaskan dapat
didaur ulang untuk sintesis lebih banyak hormon. Enzim yang sangat spesifik ini
akan mengeluarkan Iodium hanya dari MIT dan DIT yang tidak berguna, bukan
dari T4 dan T3.
Sekitar 90 % produk sekretorik yang dikeluarkan dari kelenjar tiroid
adalah dalam bentuk T4, walaupun T3 memiliki aktivitas biologis sekitar empat
kali lebih baik daripada T4. Namun sebagian besar T4 yang disekresikan
kemudian diubah menjadi T3, atau diaktifkan melalui proses pengeluaran satu
Iodium di hati dan ginjal. Sekitar 80% T3 dalam darah berasal dari sekresi T4
yang mengalami proses pengeluaran Iodium di jaringan perifer. Dengan demikian
T3 adalah bentuk hormon tiroid yang secara biologis aktif di tingkat sel, walaupun
tiroid lebih banyak mengeluarkan T4.
Setelah dikeluarkan ke dalam darah hormon tiroid yang sangat lipofilik
dengan cepat berikatan dengan beberapa protein plasma. Kurang dari 1 % T3 dan
kurang dari 0,1% T4 tetap berada pada bentuk tidak terikat (bebas). Keadaan ini
memang luar biasa mengingat bahwa hanya hormon bebas dari keseluruhan
hormon tiroid memiliki akses ke reseptor sel sasaran dan mampu menimbulkan
suatu efek.
Terdapat tiga protein plasma yang penting dalam pengikatan hormon
tiroid: globulin pengikat tiroksin (TBG) yang secara selektif mengikat hormon
tiroid—55% dari T4 dan 65% dari T3 dalam sirkulasi—walaupun namanya hanya
menyebutkan secara khusus “tiroksin” (T4) albumin yang secara nonselektif
4
mengikat banyak hormon lipofilik, termasuk 10% dari T4 dan 35% dari T3 dan
thyroxine-binding prealbumin yang mengikat sisa 35% T4.
IV. Epidemiologi
Insiden hipotiroid kongenital bervariasi antar negara, umumnya sebesar 1 :
2000 hingga 1 : 4000 kelahiran hidup. Dengan penyebab tersering adalah,
disgenesis tiroid yang mencakup 85% kasus. Insiden hipotiroid kongenital
didiagnosis setelah manifestasi klinis muncul, umumny sebesar 1 : 7000 hingga 1
: 10.000. Dengan skrining terlebih dahulu, dilaporkan sebesar 1 : 3000 hingga 1 :
4000. Lebih sering ditemukan pada anak perempuan daripada laki-laki dengan
perbandingan 2:1. Usia ibu yang tua (>39 tahun) memiliki insiden yang lebih
tinggi 1 : 1328. 1 Insiden hipotiroid di Indonesia diperkirakan jauh lebih tinggi
yaitu sebesar 1:1500 kelahiran hidup.
V. Etiologi dan Patogenesis
Disgenesis Tiroid
Disgenesis tiroid merupakan 85% dari bayi yang terdeteksi hipotiroidisme.
Pada sekitar sepertiga bayi tidak ditemukan adanya sisa jaringan tiroid (aplasia),
sedangkan duapertiga lainnya jaringan tiroid yang tidak sempurna ditemukan pada
lokasi ektopik, dari dasar lidah sampai posisi normalnya di leher.
Kebanyakan bayi dengan hipotiroidisme kongenital pada saat lahir tidak
bergejala walaupun ada agenesis total kelenjar tiroid. Situasi ini dianggap berasal
dari perpindahan transplasenta sejumlah sedang tiroksin ibu (T4) yang
memberikan kadar janin 25-50% normal pada saat lahir. Kadar T4 serum yang
rendah ini dan secara bersamaan kadar TSH meningkat memungkinkan
pendeteksian neonatus dengan hipotiroid.
Defisiensi Iodium
Defisiensi iodium berat menyebabkan sintesis dan sekresi hormon tiroid
menurun, sehingga hipofisis non sekresi mengeluarkan TSH lebih banyak untuk
5
memacu kelenjar tiroid mensintesis dan mensekresi hormon tiroid agar sesuai
dengan kebutuhan. Akibatnya kadar TSH meningkat dan kelenjer tiroid membesar
(stadium kompensasi). Walaupun pada stadium ini terdapat struma difusa dan
peningkatan kadar TSH, tetapi kadar tiroid tetap normal. Bila kompensasi ini
gagal, maka akan terjadi stadium dekompensasi, yaitu terdapatnya struma difusa,
peningktan kadar TSH, dan kadar hormon tiroid rendah. 3
Dishormogenesis Tiroid
Semua hal yang terjadi pada kelenjer tiroid dapat mengganggu atau
menurunkan sintesis hormon tiroid (bahan/ obat goitrogenik, tiroiditis, pasca
tiroidektomi, pasca terapi dengan iodium radioaktif, dan adanya kelainan enzim
didalam jalur sintesis hormon tiroid) disebut dishormogenesis yang
mengakibatkan sekresi hormon tiroid menurun, sehingga terjadi hipotiroid dengan
kadar TSH tinggi, dengan/tanpa struma tergantung pada penyebabnya. 1
IV. Diagnosis
Diagnosis dibuat berdasarkan anamnesis, gejala klinis, pemeriksaan
laboratorium, pemeriksaan radiologis dan skrining.
Anamnesis
Anamnesis yang cermat pada keluarga dapat membantu menegakkan
diagnosis dengan menanyakan apakah ibu berasal dari daerah gondok endemik,
riwayat struma pada ibu, riwayat pengobatan anti tiroid waktu hamil atau tidak,
riwayat struma pada keluarga dan perkembangan anak.
Gejala Klinis
Kebanyakan anak dengan hipotiroid kongenital, gejala klinis pada periode
neonatal sangatlah jarang atau ringan dan tidak spesifik, meskipun terdapat
agenesis kelenjar tiroid komplit.
Berat badan dan panjang lahir adalah normal, tetapi ukuran kepala dapat
sedikit meningkat karena miksedema otak. Ikterus fisiologis yang
6
berkepanjangan, yang disebabkan oleh maturasi glukoronid konjugasi yang
terlambat, mungkin merupakan gejala paling awal. Kesulitan memberi makan,
terutama kelambanan, kurang minat, somnolen, dan serangan tersedak saat
dirawat, sering muncul selama umur bulan pertama. Kesulitan bernapas, sebagian
karena lidah yang besar, termasuk episode apnea, pernapasan berbunyi, dan
hidung tersumbat. Sindrom distres pernapasan yang khas juga dapat terjadi.
Bayang terkena sedikit menangis, banyak tidur, tidak selera makan, dan biasanya
lamban. Mungkin ada konstipasi yang biasanya tidak berespon terhadap
pengobatan. Perut besar dan biasanya ada hernia umbilikalis. Suhu badan
subnormal, sering dibawah 350C, dan kulit terutama tungkai, mungkin dingin dan
burik (mottled). Edema genital dan tungkai mungkin ada. Nadi lambat, bising
jantung, kardiomegali, dan efusi perikardium asimptomatik biasanya ada. Anemia
makrositik sering ada dan refrakter terhadap pengobatan dengan hematinik.
Karena gejala-gejala muncul secara bertahap, diagnosis sering kali terlambat. 1
Manifestasi ini terus berkembang. Retardasi perkembangan fisik dan
mental menjadi lebih besar selama bulan-bulan berikutnya, dan pada usia 3-6
bulan, gambaran klinis berkembang sepenuhnya.
Pertumbuhan anak tersendat, ekstremitas pendek, dan ukuran kepala
normal atau bahkan meningkat. Fontanella anterior dan posterior terbuka lebar.
Pengamatan tanda ini pada saat lahir dapat berperan sebagai pedoman awal untuk
mengenali hipotiroidisme kongenital. Hanya 3% bayi baru lahir normal memiliki
fontanella posterior yang lebih besar dari 0,5cm. Matanya tampak terpisah lebar,
dan jembatan hidung yang lebar terlihat cekung. Fisura palpebra sempit dan
kelopak mata membengkak. Mulut terbuka, dan lidah yang tebal serta lebar
terjulur ke luar. Pertumbuhan gigi terlambat. Leher pendek dan tebal, terdapat
endapan lemak di atas klavikula dan diantara leher dan bahu. Tangan lebar dan
jari pendek. Kulit kering dan bersisik, dan sedikit keringat. Miksedema tampak,
terutama pada kulit kelopak mata, punggung tangan, dan genitalia eksterna.
Karotenemia dapat menyebabkan warna kulit menjadi kuning, tetapi skleranya
tetap putih. Kulit kepala tebal dan rambut kasar, mudah patah dan tipis. Garis
7
rambut menurun jauh ke bagian bawah dahi, yang biasanya tampak mengerut,
terutama ketika bayi menangis. 1,6
Tabel 1. Gejala Hipotiroid Kongenital
Sistem organ Manifestasi Klinis Kulit dan jaringan ikat Kulit dingin, kering dan pucat, rambut kasar, kering
dan rapuh, kuku tebal, lambat tumbuh.
8
Miksedema, carotenemia, Puffy face, makroglosi,
erupsi gigi lambat, hipoplasia enamel.
Kardiovaskuler Bradikardi, efusi perikardial, kardiomegali, tekanan
darah rendah.
Neuromuskuler Lamban (mental dan fisik), gangguan neurologis dan
fisik, refleks tendon lambat, hipotonia, hernia
umbilikalis, retardasi ental, disfungsi serebelum (pada
bayi), tuli.
Pernafasan Efusi pleura, sindrom sleep apnoe (obstruksi saluran
nafas karena lidah besar, hipotoni otot faring),
sindrom distress nafas.
Ginjal dan metabolisme elektrolit Retensi air, edema, hiponatremia, hipokalsemia
Metabolisme karbohidrat,
lemak dan protein Gemuk, intoleransi terhadap dingin, absorbsi glukosa
lambat, hiperlipidemia, sintesis proteolipid dan
protein pada susunan saraf bayi menurun.
Saluran cerna dan hepar Obstpasi (menurunnya gerakan usus), ikterus
berkepanjangan (fungsi konjugasi hepar menurun)
Hematopoetik Anemia karena menurunnya eritropoesis, kemampuan
absorbsi zat besi rendah.
Skelet/somatik Produksi GH dan IGF 1 menurun, menyebabkan
hambatan pertumbuhan, pusat osifikasi sekunder
terhambat, maturitas dan aktifitas sel-sel tulang
menurun.
Reproduksi Pubertas terlambat, pubertas precoks, gangguan haid.
Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan hipotiroid kongenital ditemukan nilai TSH meningkat,
dan T3 serta T4 menurun. Kadar T4 serum rendah, kadar T3 serum dapat normal
dan tidak bermanfaat pada diagnosis. Jika defeknya terutama pada tiroid, kadar
TSH meningkat, sering diatas 100µU/mL. Kadar prolaktin serum meningkat,
9
berkorelasi dengan kadar TSH serum. Kadar Tg serum biasanya rendah pada bayi
dengan disgenesis tiroid atau defek sintesis atau sekresi Tg. Kadar Tg yang tidak
dapat dideteksi biasanya menunjukkan aplasia tiroid. 3
Pemeriksaan Radiologis
Retardasi perkembangan tulang dapat ditunjukkan dengan roentgenographi
saat lahir dan sekitar 60% bayi hipotiroid kongenital menunjukkan kekurangan
hormon tiroid selama kehidupan intrauterine. Contohnya, distal femoral epiphysis,
yang biasanya ada saat lahir, sering tidak ada. Pada pasien yang tidak diobati,
ketidaksesuaian antara umur kronologis dan umur osseus meningkat. Epifisis
sering memiliki beberapa fokus penulangan, deformitas (retak) dari vertebra
thorakalis 12 atau ruas lumbal 1 atau 2 sering ditemukan. 1
Foto tengkorak menunjukkan fontanela besar dan sutura lebar, tulang antar
sutura biasanya ada. Sella tursica sering besar dan bulat, dalam kasus-kasus
langka mungkin ada erosi dan menipis. Keterlambatan pada pembentukan dan
erupsi gigi dapat terjadi. Pembesaran jantung atau efusi perikardial mungkin ada.
Skintigrafi dapat membantu menentukan penyebab pada bayi dengan
hipotiroid bawaan, tetapi pengobatan tidak boleh ditunda karena pemeriksaan ini.
Ultrasonografi tiroid menunjukkan atrofi kelenjar. 5
Elektrokardiogram, untuk mendeteksi komplikasi dari hipotiroid. Seperti,
hasil yang menunjukkan gelombang P dan T voltase rendah dengan amplitudo
kompleks QRS yang berkurang dan menunjukkan fungsi ventrikel kiri jelek dan
efusi perikardial. 6
VI. Penatalaksanaan
Medikamentosa
Prinsip terapi ialah replacement therapy bisa seumur hidup karena tubuh
tidak dapat mencukupi kebutuhan hormon tiroid. Preparat L-tiroksin (Na-L
10
tiroksin) diberikan dengan dosis sesuai. Dosis awal akan diberikan tinggi,
terutama pada usia periode perkembangan otak (usia 0-3 tahun). 6
Dosis tiroksin
Pada umumnya dosis bervariasi tergantung dari berat badan dan
disesuaikan dengan respons masing-masing anak dalam menormalkan kadar T4.
Sebagai pedoman, dosis yang umum digunakan adalah :
0 – 3 bulan 10-15 g/kg/hari
3 – 6 bulan 8-10 g/kg/hari
6 – 12 bulan 6-8 g/kg/hari
1 – 5 tahun 4-6 g/kg/hari
6 -12 tahun 3-5 g/kg/hari
>12 tahun 2-4 g/kg/hari
Monitoring
Untuk menentukan dosis pengobatan yang diberikan, harus dilakukan
pemantauan kemajuan klinis maupun kimiawi secara berkala karena terapi setiap
kasus bersifat individual.
Pemantauan pada pasien dengan hipotiroid kongenital antara lain:
1. Pertumbuhan dan perkembangan
2. Skrining pendengaran saat diagnosis
3. Pemantauan kadar T4 dan TSH:
- Dua minggu setelah inisial terapi dengan L-tiroksin
- Empat minggu setelah inisial terapi dengan L-tiroksin
- Setiap 1-2 bulan selama 6 bulan pertama kehidupan
- Setiap 3-4 bulan pada usia 6 bulan-3 tahun
- Selanjtnyya setiap usia 6-12 bulan
4. Pemeriksaan bone age setiap tahun
5. Pemantauan uji intelegensi sebelum sekolah. 3,6
Suportif
11
Selain pengobatan hormonal juga diperlukan beberapa pengobatan suportif
lainnya. Anemia berat diobati sesuai dengan protokol anemia berat. Rehabilitasi
atau fisioterapi diperlukan untuk mengatasi retardasi perkembangan motorik yang
sudah terjadi. Penilaian intelegensi dilakukan menjelang usia sekolah untuk
mengetahui jenis sekolah yang dapat diikuti, sekolah biasa atau luar biasa. 6.
Skrining
Di negara maju program skrining hipotiroid kongenital pada neonatus
sudah dilakukan. Sedangkan untuk negara berkembang seperti Indonesia masih
menjadi kebijakan nasional. Tujuannya adalah untuk mencegah retardasi mental
akibat hipotirod kongenital.
Skrining dilakukan dengan mengukur kadar TSH neonatus yang dilakukan
pada usia 48 jam- 4 hari. Kadar TSH awal > 50 µU/mL memiliki kemungkinan
sangat besar untuk menderita hipotiroid kongenital permanen, sedangkan kadar
TSH 20-49 µU/mL dikonfirmasi dan periksa ulang sebelum diterapi.
Karena di Indonesia belum ada program skrining nasional, maka diagnosis
banding hipotiroid kongenital harus dipikirkan pada setiap kasus delayed
development. 6
VII. Prognosis
Dengan adanya program skrining neonatus untuk mendeteksi hipotiorid
kongenital, prognosis bayi hipotiroid kongenital lebih baik dari sebelumnya.
Diagnosis awal dan pengobatan adekuat sebelum usia 1-3 bulan memiliki
prognosis yang baik terhadap tumbuh kembang anak, termasuk kecerdasan IQ. 6
PENUTUP
VIII. Kesimpulan
12
Hipotiroid kongenital merupakan gangguan pertumbuhan kelenjar tiroid
secara kongenital. Gejala klinis Hipotiroid kongenital tidak begitu jelas. Diagnosis
Hipotiroid kongenital ditegakkan berdasarkan anamnesis, gejala klinis,
pemeriksaan fisik, laboratorium, dan skrining. Skrining pada hipotiroid kongenital
dilakukan pada minggu pertama bayi lahir, untuk mencegah komplikasi lanjut/
untuk prognosis yang baik terhadap tumbuh kembang bayi
IX. Saran
Perlu deteksi dini kasus hipotiroid kongenital dan pemberian
penatalaksanaan yang tepat demi tercapainya pertumbuhan fisik dan
perkembangan mental yang optimal bagi penderita hipotiroid kongenital
DAFTAR PUSTAKA
1. Maynika V Rastogi, Stephen H LaFranchi. Conginetal hypothyroidsm.
Orphanet Journal of Rare Disease. 2010; 5;17.
13
2. Setila Dalili, dkk. Congenital Hypothyroidism: etiology and growth-
development outcome. Eye Research Center, Amiralmomenin Hospital,
Faculty of Medicine, Guilan University of Medical Science, Rasht, Iran.
2013.
3. Susan R Rose. Update of Newborn Screening and Therapy for Congenital
Hypothyroidism. Pediatrics Official Journal of The American Academy of
Pediatrics. 2007.
4. Elvi Andiani Yusuf, Zulkarnain. Masalah Emosi dan Perilaku pada Anak
Penderita Hipotiroid Kongenital. Fakultas Kedokteran, Universitas
Sumatera Utara. 2006.
5. Murat Tutanc, dkk. Case Report: Pituitary Apoplexy Due to Thyroxine
Therapy in a Patient with Congenital Hypothyroidsm. The Indonesian
Journal of Internal Medicine
6. Chris Tanto, dkk. Kapita Selekta Kedokteran. Media Aescuapius. 2014
14