Realistic mathematics education

43
Realistic Mathematics Education (RME) Disusun Oleh: KELOMPOK VII THIN RATULANGI DEWI LAKKIRAN SYAMSUDDIN BONE PRODI PENDIDIKAN MATEMATIKA PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR

Transcript of Realistic mathematics education

Realistic Mathematics Education

(RME)

Disusun Oleh:

KELOMPOK VII

THIN RATULANGI DEWI LAKKIRAN SYAMSUDDIN BONE

PRODI PENDIDIKAN MATEMATIKA

PROGRAM PASCA SARJANA

UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR

2014

KATA PENGANTAR

Puji Syukur kepada Tuhan yang Maha Kuasa yang telah memberikan

kesehatan dan kesempatan sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini

semaksimal mungkin.

Dalam makalah ini kami mencoba mengkaji tentang Realistic Mathematics

Education (RME) mulai dari sejarah dicetuskanya sampai dengan penerapannya

dalam pembelajaran matematika. Apa yang kami uraikan tentu terbatas pada literatur-

literatur yang menjadi rujukan kami. Adanya keterbatasan tersebut tentu tidak akan

bisa mengupas RME secara lengkap. Oleh karena itu kami sangat mengharapkan

kontribusi positif dari para pembaca yang budiman utamanya dari bapak dosen

strategi belajar matematika.

Akhir kata, semoga makalah yang kami susun ini dapat memberikan manfaat

bagi para pembaca yang budiman.

Wassalam…

PENYUSUN

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................................ii

DAFTAR ISI...............................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................1

A. Latar Belakang.........................................................................................1

B. Rumusan Masalah....................................................................................2

C. Tujuan......................................................................................................3

D. Manfaat....................................................................................................3

BAB II PEMBAHASAN.............................................................................................4

A. Filosofi Lahirnya Realistic Mathematics Education (RME)...................4

B. Karakteristik Realistic Mathematics Education (RME)..........................5

C. Pembelajaran Matematika dengan Menggunakan Pendekatan

Realistic Mathematics Education (RME)..............................................10

D. Kelebihan dan Kekurangan Pembelajaran Matematika dengan

Pendekatan Realistic Mathematics Education (RME)..........................13

E. Teori yang Relevan dengan Realistic Mathematics Education

(RME)....................................................................................................15

BAB III PENUTUP....................................................................................................20

A. Kesimpulan............................................................................................20

B. Saran......................................................................................................21

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................22

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembelajaran yang ideal adalah pembelajaran yang menjadikan para

pembelajarnya memperoleh penguasaan konsep tentang apa yang diajarkan.

Ketika para pembelajar atau katakanlah peserta didik tersebut menguasai konsep

yang diajarkan, maka pelajaran yang diperolehnya akan bermakna baginya dan

bahkan berefek bagi orang lain. Semua pembelajaran di setiap jenjang pendidikan

formal mulai dari jenjang pendidikan dasar sampai perguruan tinggi berorientasi

pada hal tersebut, termasuk pembelajaran matematika.

Mengajarkan materi matematika berbeda dengan mengajarkan materi dari

ilmu-ilmu lain. Matematika memiliki karakteristik khusus dimana objek kajiannya

bersifat abstrak dan tidak dapat diindera secara langsung. Objek abstrak tersebut

biasa disebut juga objek mental atau pikiran (Sumardyono, 2004). Keberadaan

objek mental tersebut menjadi tantangan bagi para pengajar atau guru dalam

mengajarkan matematika. Sudah tentu, mengajarkan sesuatu yang tidak dapat

diindera akan lebih sulit daripada mengajarkan sesuatu yang dapat diindera.

Kesulitan tersebut berdampak pada pengajaran matematika yang hanya terpaku

pada rumus-rumus dan penggunaannya pada soal matematika yang sedikit sekali

keterkaitannya dengan realitas. Kurangnya keterkaitan antara materi matematika

1

2

dengan realitas peserta didik yang kemudian membuat kebanyakan peserta

didik/siswa memiliki minat yang rendah untuk mempelajari matematika.

Menyikapi fenomena tersebut, tentu diperlukan suatu pendekatan

pembelajaran matematika yang mengaitkan materi-materi matematika dengan

realitas yang dihadapi peserta didik. Salah satunya adalah Realistic Mathematics

Education (RME) yang dipopulerkan oleh Prof. Hans Freudenthal. Beliau

berpandangan bahwa matematika adalah aktivitas manusia oleh karena itu

matematika harus dikaitkan dengan realitas. RME menggabungkan pandangan

tentang apa itu matematika, bagaimana siswa belajar matematika, dan bagaimana

seharusnya mengajarkan matematika. Pembahasan lebih lanjut mengenai RME

akan diuraikan dalam makalah ini.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang, maka rumusan masalah dalam makalah ini

adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana filosofi lahirnya Realistic Mathematics Education (RME)?

2. Bagaimana karakteristik RME?

3. Bagaimana langkah-langkah pembelajaran matematika dengan pendekatan

RME?

4. Apa kelebihan dan kekurangan pembelajaran matematika dengan pendekatan

RME?

5. Teori-teori belajar apa saja yang relevan dengan RME?

3

C. Tujuan

Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan penyusunan makalah ini adalah

sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui filosofi lahirnya Realistic Mathematics Education (RME)?

2. Untuk mengetahui karakteristik RME

3. Untuk mengetahui langkah-langkah pembelajaran matematika dengan

pendekatan RME

4. Untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan pembelajaran matematika

dengan pendekatan RME

5. Untuk mengetahui teori-teori belajar apa saja yang relevan dengan RME

D. Manfaat

Makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

1. Memberikan informasi kepada para tenaga pendidik khususnya guru

matematika mengenai pendekatan RME sebagai alternatif dalam melakukan

pembelajaran matematika.

2. Menambah wawasan guru matematika untuk menciptakan suatu pembelajaran

matematika yang menarik bagi siswa.

3. Menambah pengetahuan akan makna matematika yang terkait erat dengan

realitas yang dihadapi manusia.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Filosofi Lahirnya Realistic Mathematics Education (RME)

Realistic Mathematics Education (RME) pertama kali dicetuskan pada

tahun 1971 lewat Freudenthal Institute yang merupakan bagian dari Faculty of

Mathematics and Computer Science di Utrect University. Pendiri dari institute

tersebut adalah Prof. Hans Freudenthal seorang yang berkebangsaan Jerman lalu

bermukim di Amsterdam, Belanda. Beliau adalah ahli matematika dan ahli

pendidikan. Institute yang didirikannya tersebut bergerak dalam pelaksanaan

berbagai riset tentang pendidikan matematika dan bagaimana seharusnya

mengajarkan matematika. Freudenthal menyatakan bahwa matematika adalah

“human activity” (aktivitas manusia), dan dari ide inilah RME dikembangkan

(Abdussakir, 2010).

Dalam teorinya, Freudenthal mengemukakan bahwa bahwa siswa tidak

boleh dipandang sebagai passive receivers of ready-made mathematics (penerima

pasif yang menerima matematika sebagai barang jadi). Menurutnya, pembelajaran

matematika harus diarahkan agar siswa dapat menggunakan berbagai macam

situasi dan kesempatan untuk menemukan kembali konsep-konsep matematika

dengan cara mereka sendiri (Abdussakir, 2010). Oleh karena itu, guru matematika

harus berupaya mengangkat persoalan-persoalan terkait konsep-konsep

matematika yang diajarkan.

4

5

Upaya ini dilakukan melalui penjelajahan berbagai situasi dan persoalan-

persoalan “realistik”. Realistik dalam hal ini dimaksudkan tidak mengacu pada

realitas tetapi pada sesuatu yang dapat dibayangkan oleh siswa (Slettenhaar dalam

Nufus, 2010: 1).

Alasan mengapa orang Belanda menggunakan istilah “realistic” bukan

berarti berkaitan dengan dunia nyata (real world) secara langsung, tetapi lebih

kepada penggunaan masalah yang dapat dibayangkan oleh siswa. Membayangkan

dalam bahasa belanda adalah “zich realiseren”. Penekanannya adalah membuat

sesuatu menjadi nyata dalam pikiran (Abdussakir, 2010). Ini berarti bahwa RME

tidak harus selalu menggunakan masalah kehidupan nyata, akan tetapi masalah

matematika yang bersifat abstrak dapat dibuat menjadi nyata dalam benak

(pikiran) siswa. Sehingga materi matematika yang diajarkan perlu bersifat real

bagi siswa. Inilah yang mendasari sehingga disebut Realistic Mathematics

Education.

B. Karakteristik Realistic Mathematics Education (RME)

1. Paradigma Matematika dalam RME

Dalam bahasa Belanda oleh Simon Stevin, matematika disebut

Wiskunde, ilmu pasti. Wis artinya pasti atau yakin dan tidak menyerah pada

keraguan; dan Kunde berarti ilmu. Di sisi lain Stevin juga mengemukakan

matematika sebagai seni dikenal dengan istilah Wiskunst, mental art to be

sure (seni mental untuk memperoleh kepastian) (Freudenthal, 2002: 2).

6

Sebagai suatu proses mental, tentu matematika akan terkait dengan

akal sehat manusia. Dalam perjalanan hidup, akal sehat menghasilkan

kebiasaan-kebiasaan yang umum, berupa fakta-fakta yang terkait dengan

aritmetika, algoritma dan pola pikir untuk menyelesaikan suatu permasalahan.

Menurut Freudenthal (2002: 9), “Mathematics was more easily invented, as it

was simply a question of common sense -- only better organised” (Matematika

lebih mudah ditemukan, karena hanya terkait pada persoalan akal sehat secara

terorganisir).

Keterkaitan matematika dengan persoalan-persoalan akal sehat

menjadikannya sebagai aktivitas, sehingga orang menggunakan matematika

sehari-hari tanpa disadari. Dengan demikian, matematika seharusnya sesuai

dengan realitas. Freudenthal (2002: 17-18) mengemukakan bahwa

“Mathematics starting and staying in reality / Matematika bermula dan

tinggal dalam realitas”. Realitas yang dimaksud disini adalah terkait tentang

pengalaman-pengalaman akal sehat (common sense experiences) yang nyata

dalam pikiran, walaupun terkadang hal-hal tersebut terkadang tidak dapat

digambarkan secara kasat mata.

Telah dipahami bahwa objek kajian matematika berupa objek-objek

abstrak yang biasa disebut sebagai objek mental. Objek mental tersebut dapat

berupa fakta, konsep, operasi (relasi), dan prinsip (Sumardyono, 2004: 33).

Keabstrakan inilah yang mesti diupayakan agar menjadi lebih konkret bagi

siswa dan dibimbing agar dapat menemukan ide-ide atau konsep-konsep

7

matematika dengan cara mereka sendiri. Penemuan kembali ide-ide atau

konsep-konsep matematika tersebut dilakukan melalui proses matematisasi.

Treffers dalam Nufus (2010 : 1) memformulasikan matematisasi

menjadi dua jenis, yaitu matematisasi horisontal dan vertikal. Contoh

matematisasi horisontal adalah pengidentifikasian, perumusan, dan

penvisualisasi masalah dalam cara-cara yang berbeda, dan pentransformasian

masalah dunia real ke masalah matematika. Contoh matematisasi vertikal

adalah representasi hubungan-hubungan dalam rumus, perbaikan dan

penyesuaian model matematik, penggunaan model-model yang berbeda, dan

penggeneralisasian.

Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa dalam RME

matematika dipandang sebagai aktivitas manusia sehingga dalam

pengajarannya haruslah dikaitkan dengan realitas. Ini berarti bahwa

matematika harus dekat dan relevan dengan kehidupan yang dialami siswa

sehari-hari. Di samping itu, siswa harus dibimbing untuk menemukan kembali

ide-ide atau konsep-konsep matematika berdasarkan pengalaman mereka

sendiri melalui proses matematisasi horisontal dan vertikal.

2. Prinsip-prinsip Realistic Mathematics Education (RME)

Gravemeijer (Mustika, 2012:124) merumuskan tiga prinsip RME,

yaitu: (a) Penemuan terbimbing dan matematisasi berkelanjutan (guided

reinvention and progressive mathematization), (b) fenomenologi didaktis

8

(didactical phenomenology), dan (c) dari informal ke formal (from informal to

formal mathematics).

Melalui prinsip pertama siswa dihadapkan dengan masalah kontekstual

atau realistik yang mempunyai berbagai kemungkinan solusi sehingga terjadi

perbedaan penyelesaian atau prosedur dalam pemecahan masalah.

Pembelajaran matematika berdasarkan prinsip kedua dilakukan dengan

menyediakan situasi masalah-masalah khusus yang dapat digeneralisasi dan

digunakan sebagai dasar untuk matematisasi vertikal. Proses ini lebih

menuntut penggunaan penalaran dalam memperoleh generalisasi konsep

matematika.

Pembelajaran matematika juga dilakukan dengan memanfaatkan

pengetahuan informal yang telah dimiliki siswa sehingga siswa mempunyai

kesadaran bahwa pengetahuan informalnya tersebut berguna dan penting

untuk mencapai pengetahuan matematika formal.

Ketiga prinsip tersebut menekankan pada siswa untuk berperan aktif

dalam memecahkan masalah-masalah yang dimunculkan oleh guru. Siswa

dituntut untuk menggunakan pengetahuan informalnya agar menghasilkan

modelnya sendiri dan secara bertahap diarahkan untuk menemukan kembali

konsep-konsep matematika, sebagaimana dahulu konsep tersebut ditemukan.

9

3. Karakteristik Realistic Mathematics Education (RME)

Menurut Treffers (dalam Soviati, 2011: 82) karakteristik RME:

a. Menggunakan masalah kontekstual (the use of context). Pembelajaran

diawali dengan menggunakan masalah kontekstual, tidak dimulai dari

system formal. Masalah kontekstual yang diangkat sebagai topik awal

pembelajaran harus merupakan masalah sederhana yang dikenali oleh

siswa.

b. Menggunakan model-model (use model, bridging by vertical instruments).

Istilah model berkaitan dengan model situasi dan model matematika yang

dikembangkan oleh siswa. Model tersebut digunakan sebagai jembatan

bagi siswa dari situasi real ke situasi abstrak atau dari matematika

informal ke matematika formal.

c. Menggunakan kontribusi siswa (student contribution). Kontribusi yang

besar pada proses belajar mengajar diharapkan datang dari siswa, artinya

semua pikiran (konstruksi dan produksi) siswa diperhatikan.

d. Menggunakan interaksi (interactivity), Interaksi antar siswa dan guru,

siswa dengan siswa, serta siswa dengan sarana prasarana merupakan hal

yang sangat penting dalam RME. Bentuk-bentuk interaksi seperti

negosiasi, penjelasan, pembenaran, persetujuan, pertanyaan atau refleksi

digunakan untuk mencapai bentuk pengetahuan matematika formal dari

bentuk-bentuk pengetahuan matematika informal yang ditemukan sendiri

oleh siswa.

10

e. Menggunakan keterkaitan (intertwinment). Struktur dan konsep

matematika saling terkait. Oleh karena itu, keterkaitan antar topik (unit

pelajaran) harus dieksploitasi untuk mendukung proses belajar yang lebih

bermakna.

C. Pembelajaran Matematika dengan Menggunakan Pendekatan Realistic

Mathematics Education (RME)

Pendekatan pembelajaran dapat diartikan sebagai titik tolak atau sudut

pandang kita terhadap proses pembelajaran, yang merujuk pada pandangan

tentang terjadinya suatu proses yang sifatnya masih sangat umum, di dalamnya

mewadahi, menginsiprasi, menguatkan, dan melatari metode pembelajaran

dengan cakupan teoretis tertentu (http:// file.upi.edu / Direktori/FIP / JUR._

PEND._LUAR_SEKOLAH/195404021980112001IHAT_HATIMAH/Pengertian

_ \Pendekatan,_strategi,_metode,_teknik,_taktik_dan.pdf).

Berdasarkan pengertian tersebut, Realistic Mathematics Education (RME)

memenuhi kriteria sebagai pendekatan pembelajaran. Sehingga dalam

penerapannya, RME terkadang diposisikan sebagai pendekatan pembelajaran

matematika. Berikut langkah-langkah pembelajaran matematika dengan

pendekatan RME (dalam http://kelompok11-3d.blogspot.com/2013/01/realistic-

mathematic-education.html).

11

1. Memahami masalah kontekstual.

Guru memberikan masalah (soal) kontekstual dan siswa diminta untuk

memahami masalah tersebut. Guru menjelaskan soal atau masalah dengan

memeberikan petunjuk/saran seperlunya (terbatas) terhadap bagian-bagian

tertentu yang dipahami siswa. Pada langkah ini karakteristik RME yang

diterapkan adalah karakteristik pertama. Selain itu pemberian masalah

kontekstual berarti memberi peluang terlaksananya prinsip pertama dari RME.

2. Menyelesaikan masalah kontekstual.

Siswa secara individual disuruh menyelesaikan masalah kontekstual

pada Buku Siswa atau LKS dengan caranya sendiri. Cara pemecahan dan

jawaban masalah yang berbeda lebih diutamakan. Guru memotivasi siswa

untuk menyelesaikan masalah tersebut dengan memberikan pertanyaan-

pertanyaan penuntun untuk mengarahkan siswa memperoleh penyelesaian

soal tersebut. Misalnya: bagaimana kamu tahu itu, bagaimana caranya,

mengapa kamu berpikir seperti itu dan lain-lain. Pada tahap ini siswa

dibimbing untuk menemukan kembali tentang idea atau konsep atau definisi

dari soal matematika. Di samping itu pada tahap ini siswa juga diarahkan

untuk membentuk dan menggunakan model sendiri untuk membentuk dan

menggunakan model sendiri untuk memudahkan menyelesaikan masalah

(soal). Guru diharapkan tidak memberi tahu penyelesaian soal atau masalah

tersebut, sebelum siswa memperoleh penyelesaiannya sendiri. Pada langkah

12

ini semua prinsip RME muncul, sedangkan karakteristik RME yang muncul

adalah karakteristik ke-2, menggunakan model.

3. Membandingkan dan mendiskusikan jawaban

Siswa diminta untuk membandingkan dan mendiskusikan jawaban

mereka dalam kelompok kecil. Setelah itu hasil dari diskusi itu dibandingkan

pada diskusi kelas yang dipimpin oleh guru. Pada tahap ini dapat digunakan

siswa untuk melatih keberanian mengemukakan pendapat, meskipun berbeda

dengan teman lain atau bahkan dengan gurunya. Karakteristik RME yang

muncul pada tahap ini adalah penggunaan idea tau kontribusi siswa, sebagai

upaya untuk mengaktifkan siswa melalui optimalisasi interaksi antara siswa

dengan siswa, antara guru dengan siswa dan antara siswa dengan sumber

belajar.

4. Menarik Kesimpulan

Berdasarkan hasil diskusi kelompok dan diskusi kelas yang dilakukan,

guru mengarahkan siswa untuk menarik kesimpulan tentang konsep, definisi,

teorema, prinsip atau prosedur matematika yang terkait dengan masalah

kontekstual yang baru diselesaikan. Karakteristik RME yang muncul pada

langkah ini adalah menggunakan interaksi antara guru dengan siswa.

13

D. Kelebihan dan Kekurangan Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan

Realistic Mathematics Education (RME)

Kelebihan dalam pembelajaran matematika dengan pendekatan RME

adalah sebagai berikut:

1. Memberikan pengertian yang jelas kepada siswa tentang kehidupan sehari-

hari dan kegunaan pada umumnya bagi manusia.

2. Memberikan pengertian yang jelas kepada siswa bahwa matematika adalah

suatu bidang kajian yang dapat dikonstruksi dan dikembangkan sendiri oleh

siswa tidak hanya oleh mereka yang disebut pakar dalam bidang tersebut.

3. Memberikan pengertian yang jelas kepada siswa mengenai cara penyelesaian

suatu soal atau masalah yang tidak harus tunggal dan tidak harus sama antara

yang satu dengan yang lain. Setiap orang bisa menemukan atau menggunakan

cara sendiri, asalkan orang itu sungguh-sungguh dalam mengerjakan soal atau

masalah tersebut. Selanjutnya dengan membandingkan cara penyelesaian

yang satu dengan cara penyelesaian yang lain, akan bisa diperoleh cara

penyelesaian yang tepat, sesuai dengan tujuan dari proses penyelesaian

masalah tersebut.

4. Memberikan pengertian yang jelas kepada siswa bahwa dalam mempelajari

matematika, proses pembelajaran merupakan sesuatu yang utama dan orang

harus menjalani proses itu dan berusaha untuk menemukan sendiri konsep-

konsep matematika dengan bantuan pihak lain yang sudah lebih tahu

14

(misalnya guru). Tanpa kemauan untuk menjalani sendiri proses tersebut,

pembelajaran yang bermakna tidak akan tercapai.

Kelemahan pembelajaran matematika dengan pendekatan RME nampak

pada kesulitan-kesulitan yang dihadapi saat menerapkan pendekatan RME.

Kesulitan-kesulitan tersebut yaitu :

1. Tidak mudah untuk merubah pandangan yang mendasar tentang berbagai hal,

misalnya mengenai siswa, guru, dan peranan sosial atau masalah kontekstual,

sedang perubahan itu merupakan syarat untuk dapat diterapkan RME.

2. Pencarian soal-soal kontekstual yang memenuhi syarat-syarat yang dituntut

dalam RME tidak selalu mudah untuk setiap pokok bahasan matematika yang

dipelajari siswa, terlebih-lebih karena soal-soal tersebut harus bisa

diselesaikan dengan bermacam-macam cara.

3. Tidak mudah bagi guru untuk mendorong siswa agar bisa menemukan

berbagai cara dalam menyelesaikan soal atau memecahkan masalah.

4. Tidak mudah bagi guru untuk memberi bantuan kepada siswa agar dapat

melakukan penemuan kembali konsep-konsep atau prinsip-prinsip matematika

yang dipelajari.

15

E. Teori-teori yang Relevan dengan Realistic Mathematics Education (RME)

1. Teori Piaget

Piaget berpandangan bahwa, anak-anak memiliki potensi untuk

mengembangkan intelektualnya. Pengembangan intelektual mereka bertolak

dari rasa ingin tahu dan memahami dunia di sekitarnya. Pemahaman dan

penghayatan tentang dunia sekitarnya akan mendorong pikiran mereka untuk

membangun tampilan tentang dunia tersebut dalam otaknya. Tampilan yang

merupakan struktur mental itu disebut skema atau skemata / jamak (http://

ironerozanie.wordpress.com/2010/03/03/realistic-mathematic-education-rme-

atau-pembelajaran-matematika-realistik-pmr/).

Dengan menggunakan skemanya, seseorang dapat memproses dan

mengidentifikasi suatu rangsangan yang diterimanya sehingga ia dapat

menempatkannya pada kategori / konsep yang sesuai. Lebih lanjut Piaget

menyatakan bahwa prinsip dasar dari pengembangan pengetahuan seseorang

adalah berlangsungnya adaptasi pikiran seseorang ke dalam realitas di

sekitarnya.

RME sejalan dengan pandangan Piaget di atas. RME yang

dikembangkan dengan berlandaskan pada filsafat konstruktivis, memandang

pengetahuan dalam matematika bukanlah sebagai sesuatu yang sudah jadi dan

siap diberikan kepada siswa, namun sebagai hasil konstruksi siswa yang

sedang belajar. Karena itu, dalam RME siswa merupakan pusat dari proses

pembelajaran itu sendiri, sedangkan guru berperan lebih sebagai fasilitator.

16

2. Teori Vygotsky

Vygotsky berpendapat bahwa proses pembentukan dan pengembangan

pengetahuan anak tidak terlepas dari faktor interaksi sosialnya. Melalui

interaksi dengan teman dan lingkungannya, seorang anak terbantu

perkembangan intelektualnya. Implikasi yang muncul atas pandangan

Vygotsky dalam pendidikan anak adalah perlu adanya suatu dorongan kepada

siswa untuk berinteraksi dengan orang di sekitarnya yang punya pengetahuan

lebih baik yang dapat memberikan bantuan dalam pengembangan

intelektualnya (http:// ironerozanie.wordpress.com/2010/03/03/realistic-

mathematic-education-rme-atau-pembelajaran-matematika-realistik-pmr/).

Salah satu karakteristik dalam RME adalah penemuan konsep dan

pemecahan masalah sebagai hasil sumbangan gagasan dari para siswa.

Kontribusi gagasan tersebut dapat diwujudkan melalui proses pembelajaran

yang di dalamnya terdapat interaksi antara siswa dengan siswa, antara siswa

dengan guru atau antara siswa dengan lingkungannya. Melalui interaksi sosial

tersebut siswa yang lebih mampu berkesempatan menyampaikan pemahaman

yang dimilikinya pada siswa lain yang lebih lemah. Hal ini memungkinkan

bagi siswa yang lebih lemah tersebut memperoleh peningkatan dari

perkembangan aktual ke perkembangan potensial atas bantuan siswa yang

lebih mampu. Sedangkan di sisi lain guru mempunyai peran dalam membantu

siswa yang mengalami kesulitan dengan memberi arah, petunjuk, peringatan

dan dorongan. Dengan demikian tampak bahwa proses pembelajaran dengan

17

pendekatan RME sejalan dengan teori Vygotsky yang memberi tekanan pada

pentingnya interaksi sosial dalam perkembangan intelektual anak.

3. Teori Ausubel

Ausubel, Noval dan Hanesian menggolongkan belajar atas dua jenis

yaitu belajar menghafal dan belajar bermakna. Belajar menghafal mengacu

pada penghafalan fakta-fakta atau hubungan-hubungan, misal tabel perkalian

dan lambang-lambang atom kimia. Sedangkan menurut Ausubel belajar

dikatakan bermakna jika informasi yang akan dipelajari siswa disusun sesuai

dengan struktur kognitifnya sehingga siswa tersebut mengkaitkan informasi

barunya dengan struktur kognitif yang dimilikinya (http://

ironerozanie.wordpress.com/2010/03/03/realistic-mathematic-education-rme-

atau-pembelajaran-matematika-realistik-pmr/).

Salah satu karakteristik RME adalah penggunaan konteks. Penggunaan

konteks dalam RME berarti bahwa lingkungan keseharian atau pengetahuan

yang telah dimiliki siswa dapat dijadikan sebagai bagian materi belajar bagi

siswa. Apa yang terjadi di sekitar siswa maupun pengetahuan yang dimiliki

siswa merupakan bahan yang berharga untuk dijadikan sebagai permasalahan

kontekstual yang menjadi titik tolak aktivitas berfikir siswa. Permasalahan

yang demikian lebih bermakna bagi siswa karena masih berada dalam

jangkauan pengetahuan yang telah dimiliki siswa sebelumnya. Oleh sebab itu,

untuk memecahkan masalah kontekstual seorang siswa harus dapat

mengkaitkan pengetahuan yang telah dimilikinya dengan permasalahan

18

tersebut. Dengan demikian seorang siswa akan berhasil memecahkan masalah

kontekstual jika ia mempunyai cukup pengetahuan yang terkait dengan

masalah tersebut. Selain itu siswa juga harus dapat menerapkan pengetahuan

yang telah dimilikinya untuk menyelesaikan masalah kontekstual tersebut.

Dengan demikian penyajian masalah kontekstual untuk siswa dalam RME

sejalan dengan teori belajar bermakna Ausubel.

4. Teori Bruner

Bruner berpendapat bahwa belajar matematika adalah belajar tentang

konsep-konsep dan struktur-struktur serta mencari hubungan antara konsep-

konsep dan struktur-struktur tersebut. Menurut Bruner pemahaman atas suatu

konsep beserta strukturnya menjadikan materi itu lebih mudah diingat dan

dapat dipahami lebih komprehensif.

Mirip dengan seperti apa yang dikemukakan Piaget, Bruner

berpendapat adanya tiga tahap perkembangan mental yang dilalui peserta

didik dalam proses belajar. Namun ketiga tahap berpikir menurut Bruner ini

tidak dikaitkan dengan usia peserta didik. Tiga tahap perkembangan mental

menurut Bruner tersebut adalah: (a) Enactive, dimana dalam tahap ini

seseorang mempelajari suatu pengetahuan secara aktif dengan menggunakan/

memanipulasi benda-benda konkrit atau situasi nyata secara langsung; (b)

Ikonic, dalam tahap ini kegiatan belajar sesorang sudah mulai menyangkut

mental yang merupakan gambaran dari objek-objek; (c) Simbolic, tahap

terakhir ini adalah tahap memanipulasi simbol-simbol secara langsung dan

19

tidak lagi terkait dengan objek maupun gambaran objek (http://

ironerozanie.wordpress.com/2010/03/03/realistic-mathematic-education-rme-

atau-pembelajaran-matematika-realistik-pmr/).

Selain teori tentang tahap perkembangan mental di atas, pendapat

Bruner yang lain yang sesuai dengan RME adalah teorema konstruksi

(construction theorem) dan teorema notasi (notation theorem). Melalui

teorema konstruksi, Bruner (dalam Pudjohartono, 2003: 23) berpendapat

bahwa cara terbaik bagi siswa untuk mempelajari konsep atau prinsip

matematika adalah dengan mengkonstruksi konsep atau prinsip tersebut.

Alasannya adalah jika para siswa mengkonstruksi sendiri representasi dari

suatu konsep atau prinsip maa mereka akan lebih mudah menemukan sendiri

konsep atau prinsip yang terkandung dalam representasi itu. Selanjutnya

mereka lebih mudah mengingat pengetahuan itu serta lebih mudah

menerapkannya dalam konteks yang lain yang sesuai. Hal ini sesuai dengan

prinsip RME dimana siswa dituntut untuk menggunakan pengetahuan

informalnya agar menghasilkan modelnya sendiri dan secara bertahap

diarahkan untuk menemukan kembali konsep-konsep matematika.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Realistic Mathematics Education (RME) merupakan pendekatan pembelajaran

matematika yang berawal dari pandangan Hans Freudenthal yang

menganggap matematika sebagai aktivitas manusia sehingga dalam

pengajarannya harus dikaitkan dengan realitas. Realitas yang dimaksud disini

adalah upaya menjadikan ide-ide atau konsep-konsep matematika nyata dalam

benak atau pikiran siswa.

2. Prinsip-prinsip RME terdiri dari: (a) Penemuan terbimbing dan matematisasi

berkelanjutan (b) fenomenologi didaktis, dan (c) dari informal ke formal.

Ketiga prinsip tersebut menekankan agar siswa berperan aktif dalam

memecahkan masalah-masalah yang dimunculkan oleh guru. Siswa dituntut

untuk menggunakan pengetahuan informalnya agar menghasilkan modelnya

sendiri dan secara bertahap diarahkan untuk menemukan kembali konsep-

konsep matematika, sebagaimana dahulu konsep tersebut ditemukan.

3. Karakteristik RME yaitu: adanya penggunaan masalah-masalah kontekstual;

penggunaan model-model; adanya kontribusi siswa; adanya interaksi; adanya

keterkaitan.

20

21

4. Langkah-langkah pembelajaran menggunakan pendekatan RME meliputi:

Memahami masalah kontekstual, Menyelesaikan masalah kontekstual.

Membandingkan / mendiskusikan jawaban, dan Menarik Kesimpulan.

5. Pembelajaran matematika dengan menggunakan pendekatan RME dapat

memberikan pengertian yang jelas kepada siswa bahwa matematika memiliki

keterkaitan dengan realitas yang mereka alami, dalam mempelajari

matematika, proses pembelajaran merupakan sesuatu yang utama dan orang

harus menjalani proses itu dan berusaha untuk menemukan sendiri konsep-

konsep matematika dengan bantuan pihak lain yang sudah lebih tahu

(misalnya guru).

B. Saran

Adapun saran-saran yang dapat kami sampaikan adalah sebagai berikut:

1. Sebagai tenaga pendidik di bidang matematika, sudah semestinya kita lebih

berupaya untuk menambah wawasan mengenai berbagai macam pendekatan-

pendekatan pembelajaran yang dapat membantu siswa untuk memahami

konsep-konsep matematika.

2. Pendekatan RME mestinya dapat diterapkan dan dimaksimalkan dalam proses

pembelajaran matematika.

DAFTAR PUSTAKA

Abdussakir. 2010. Realistic Mathematics Education (RME) dan Penerapannya di MI. https://abdussakir.wordpress.com/2010/11/23/realistic-mathematics-education-rme-dan-penerapannya-di-mi/.

Freudenthal, Hans. 2002. Revisting Mathematics Education. ISBN : 0-306-47202-3. Kluwer Academic Publishers

http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PEND._LUAR_SEKOLAH/195404021980112001IHAT_HATIMAH/Pengertian_ \Pendekatan,_strategi,_metode,_teknik,_taktik_dan.pdf

http://ironerozanie.wordpress.com/2010/03/03/realistic-mathematic-education-rme-atau-pembelajaran-matematika-realistik-pmr/

http://kelompok11-3d.blogspot.com/2013/01/realistic-mathematic-education.html

Mustika, Aulia Musla. 2012. Penerapan PMRI dalam Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar Untuk Menumbuhkembangkan Pendidikan Karakter. ISBN : 978-979-16353-8-7

Nufus, Hayatun. 2010. Pembelajaran Matematika Realistik Indonesia (PMRI). Program Studi Pendidikan Matematika Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia Bandung.

Soviati, Evi. 2011. Pendekatan Matematika Realistik (PMR) Untuk Meningkatkan Kemampuan Berfikir Siswa Di Tingkat Sekolah Dasar. Jurnal. ISSN : 1412-565X.

Sumardyono. 2004. Karakteristik Matematika dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Matematika. Yogyakarta : Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah PPPM.

22