RANCANGAN PENGENDALIAN MUTU DENGAN...

103
RANCANGAN PENGENDALIAN MUTU DENGAN METODE SIX SIGMA PADA DIVISI SPINNING PT UNITEX Tbk BOGOR Oleh NENNY IKA CENDRAWATI H24103073 DEPARTEMEN MANAJEMEN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007

Transcript of RANCANGAN PENGENDALIAN MUTU DENGAN...

RANCANGAN PENGENDALIAN MUTU

DENGAN METODE SIX SIGMA

PADA DIVISI SPINNING PT UNITEX Tbk BOGOR

Oleh

NENNY IKA CENDRAWATI

H24103073

DEPARTEMEN MANAJEMEN

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2007

ABSTRAK Nenny Ika Cendrawati. H24103073. Perancangan Pengendalian Mutu dengan Menerapkan Metode Six Sigma pada Divisi Spinning PT Unitex Tbk, Bogor. Dibawah bimbingan Heti Mulyati. Six sigma merupakan salah satu cara yang digunakan untuk memperbaiki kualitas produksi dengan konsep dasar DMAIC (Define, Measurement, Analyze, Improvement dan Control). Perbaikan dengan menggunakan six sigma diharapkan dapat menekan biaya produksi dan meningkatkan kualitas produk sehingga dapat bertahan dalam persaingan. Perusahaan tekstil merupakan perusahaan yang juga harus mengendalikan kualitas produk, terutama di Bagian Spinning.Tujuan dari penelitian ini adalah (1) Mengkaji proses produksi pada Divisi Spinning (2) Mengkaji faktor penyebab timbulnya cacat produk pada Divisi Spinning berdasarkan tahapan six sigma yaitu define, measure, dan analyze, dan (3) Menetapkan solusi yang dapat diambil untuk mengurangi jumlah produk cacat pada Divisi Spinning berdasarkan tahapan six sigma yaitu improvement dan control.

Penentuan responden dan sampel produk (benang) dilakukan dengan metode purposive sampling. Pada fase define ditemukan bahwa salah satu permasalahan yang dihadapi oleh Divisi Spinning adalah adanya produk cacat yang tertangkap oleh mesin pada tahap finishing. Kriteria produk cacat yang tertangkap mesin tersebut adalah slub, thick dan thin. Fase measurement dilakukan untuk mengetahui kualitas produksi Divisi Spinning. Hasil yang diperoleh untuk benang yang terpotong oleh mesin adalah Defect Per Opportunity (DPO) sebesar 0,000502208; Defect Per Million Opportunity (DPMO) sebesar 502,208 dan nilai sigma sebesar 4,81. Apabila pengukuran dilakukan pada keseluruhan benang yang cacat, maka nilai DPO yang dihasilkan adalah 0,00504; nilai DPMO sebesar 5.040 dan nilai sigma sebesar 4,07. Pada fase analyze bahwa produk gagal yang dihasilkan oleh Divisi Spinning disebabkan oleh beberapa faktor. Penyebab produk cacat tersebut adalah faktor manusia, metode, mesin, bahan baku dan lingkungan.

Pada fase improvement ditetapkan beberapa solusi perbaikan, yaitu (1) Faktor manusia, antara lain memberikan pendidikan dan pelatihan kepada karyawan dan memberikan sanksi yang tegas terhadap karyawan yang mengabaikan peraturan, (2) Faktor bahan baku, antara lain pemilihan bahan baku dengan kualitas bagus dan kombinasi bahan baku yang benar, (3) Faktor metode, antara lain mensosialisasikan standar kerja dan standar kualitas kepada karyawan, (4) Faktor mesin, antara lain melakukan pemeliharaan mesin dengan perawatan secara rutin, memeriksa setting pada setiap mesin dan melakukan perbaikan dengan segera pada mesin yang mengalami kerusakan, (5) Faktor lingkungan, antara lain membersihkan lingkungan secara teratur, menetapkan standar kebersihan untuk mesin dan lingkungan sekitar, menjaga suhu ruangan, menjaga pencahayaan pada ruang tes benang dan menjaga kelembaban ruangan.

Fase control bertujuan untuk mengevaluasi dan memonitor hasil implementasi di lapangan. Alat yang digunakan pada fase ini adalah control chart. Agar dapat mencapai tingkatan enam sigma, Divisi Spinning harus dapat menekan produk cacatnya sebesar 4,86 cm pada tiap 100 km benang yang dihasilkannya.

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tuban pada tanggal 03 juni 1985, merupakan anak

pertama dari dua bersaudara dari pasangan Kisnaniadi dan Indahwati. Penulis

menyelesaikan pendidikan di TK Santo Paulus Bojonegoro (1990 -1991), SDK

Santo Paulus Bojonegoro (1991-1993), SDN Kadipaten II Bojonegoro (1993-

1997), SLTPN I Bojonegoro (1997-2000), SMUN I Bojonegoro (2000-2003) dan

kemudian penulis diterima di Departemen Manajemen, Fakultas Ekonomi dan

Manajemen, Institut Pertanian Bogor Melalui jalur USMI pada tahun 2003.

Selama menjalani pendidikan di departemen Manajemen penulis

bergabung dengan SESC (Syariah Ekonomi Student Club) sebagai sekretaris

Divisi Kerjasama dan Usaha Mandiri (2005) serta staf Divisi Usaha Mandiri

(2006). Selain itu penulis juga bergabung sebagai anggota muda KAREMATA

(Keluarga Ekonomi dan Manajemen Pecinta Alam).

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas rahmat dan

karunia-Nya akhirnya skripsi ini dapat diselesaikan. Skripsi ini disusun sebagai

salah satu syarat untuk meraih gelar sarjana pada Departemen Manajemen,

Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Skripsi ini membahas tentang Rancangan Pengendalian Mutu dengan

Metode Six Sigma. Penelitian dilakukan pada Divisi Spinnging PT Unitex Tbk

Bogor. Pengendalian mutu merupakan sesuau yang sangat penting bagi

keberlangsungan hidup perusahaan. Six sigma merupakan suatu metode

pengendalian mutu dengan target 3,4 DPMO (Defect Per Million Opportunity).

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada :

1. Ibu Heti Mulyati S.TP., MT sebagai dosen pembimbing yang telah

membimbing penulis dalam penyusunan skripsi ini.

2. Bapak Prof.Dr.Ir.H.Musa Hubeis.Dipl.Ing.DEA dan Bapak Eko Rudy

Cahyady,S.Hut.MM selaku dosen penguji dalam ujian sidang penulis.

3. Bpk. Mukhammad Nadjib S.TP., MM selaku satgas dan moderator pada

seminar

4. Seluruh dosen Departemen Manajemen yang telah membagikan ilmunya

kepada penulis.

5. Seluruh staf TU Departemen Manajemen yang telah membantu penulis

untuk mengurus berbagai keperluan surat menyurat.

6. Bapak Lukman, Bapak Syahrul, Bapak Nandang, mbak Desi serta bapak

satpam PT Unitex yang telah banyak membantu penulis selama

melakukan penelitian.

7. Mama dan adekku yang selalu memberi semangat dan do’a untuk

penulis.

8. Elfarista Hantalis Victory atas semua cinta, semangat dan dukungannya.

9. Evi, Irma, Lely, Yan, Melly, Tatha, Tina dan Lucia (TIN 40) yang telah

memberikan banyak masukan kepada penulis.

iii

10. Seluruh teman seperjuangan dalam MeneDeForty, KAREMATA dan

SES-C.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini belum sempurna, oleh karena itu

kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan. Semoga skripsi ini

dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Bogor, Mei 2007

Penulis

RANCANGAN PENGENDALIAN MUTU

DENGAN METODE SIX SIGMA

PADA DIVISI SPINNING PT UNITEX Tbk BOGOR

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk meraih

gelar SARJANA pada Departemen Manajemen

Fakultas Ekonomi dan Manajemen

Institut Pertanian Bogor

Oleh

Nenny Ika Cendrawati

H24103073

DEPARTEMEN MANAJEMEN

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2007

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ……………………………………… i

KATA PENGANTAR ......................................................................... ii

DAFTAR ISI …………………………………………………………. iv

DAFTAR TABEL …………………………………………………… vi

DAFTAR GAMBAR ………………………………………………... vii

DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................... viii

I. PENDAHULUAN ………………………………………….... 1

1.1. Latar belakang ………………………………………... 1 1.2. Rumusan Masalah ……………………………………. 4 1.3. Tujuan Penelitian …………………………………….. 4 1.4. Manfaat Penelitian ........................................................ 5

II. TINJAUAN PUSTAKA …………………………………….. 6

2.1. Definisi Mutu …………………………………............ 6 2.2. Pentingnya Mutu …………………………………....... 8 2.3. Dimensi Mutu ………………………………............... 11 2.4. Biaya Mutu …………………………………………... 11 2.5. Six Sigma ....................................................................... 14 2.6. Peran dalam six sigma ................................................... 19 2.7. Fase dalam six sigma ..................................................... 23 2.8. Seven Basic Quality Tools ….………………………….. 25 2.9 Statistical Process Control …………………………… 29

2.10. Penelitian Terdahulu ...................................................... 30

III METODOLOGI PENELITIAN ……………........................ 33

3.1. Kerangka Pemikiran ………………………………….. 33 3.2. Tahapan Penelitian …………………………………… 35 3.3. Jenis dan Sumber Data ……………………………….. 36 3.4. Metode Pengambilan Data ....................................... 36 3.5. Metode Analisis Data .................................................... 36

3.5.1. Analisis Data Kuantitatif ...................................... 37 3.5.2. Analisis Data Kualitatif ………………………… 38

IV HASIL DAN PEMBAHASAN ……………………………… 39

4.1. Gambaran Umum Perusahaan ………………………… 39 4.1.1. Sejarah, Visi dan Misi Perusahaan ……………. 39 4.1.2. Struktur Perusahaan ........................................... 40 4.1.3. Proses Produksi ................................................... 42

v

4.2. Proses Produksi pada Divisi Spinning ........................... 45 4.2.1. Hasil Produksi Divisi Spinning ............................. 45 4.2.2. Proses Produksi Divisi Spinning ......................... 48 4.2.3. Standar Mutu Produk ...................................... 50

4.3. Faktor- Faktor Penyebab Produk Cacat pada Divisi Spinning ........................................................................... 50 4.3.1. Define .................................................................. 51 4.3.2. Measure ............................................................... 53 4.3.3. Analyze ................................................................ 58

4.4. Solusi untuk Mengurangi Jumlah Produk Cacat pada Divisi Spinning ............................................................... 65

4.4.1. Improvement ........................................................ 66 4.4.2. Control ................................................................. 71 4.4.3. Rancangan Pengendalian Mutu dengan

Mengunakan Metode six sigma .......................... 73

KESIMPULAN DAN SARAN

1. Kesimpulan ....................................................................... 77 2. Saran ............................................................................... 78

DAFTAR PUSTAKA ……………………...…………………………. 79

LAMPIRAN …………………………………………..……………… 81

DAFTAR TABEL

No Hal

1. Mesin dan kapasitas produksi PT Unitex Tbk........................... 3

2. Konversi level sigma yang disederhanakan ............................. 19

3. Penelitian Terdahulu ……………………………………….. 31

4. Teknik Analisis yang Digunakan pada Fase Six Sigma ……… 38

5. Data Produksi Divisi Spinning PT Unitex Tbk Tahun 2005 .. 47

6. Deskripsi CTQ ....................................................................... 52

7. Kegagalan yang terjadi pada EC 45S ……………………..... 54

8. Kegagalan yang terjadi pada AC 40S .................................... 54

9. Kegagalan yang terjadi pada CVC 45/55 45S ....................... 55

10. Kegagalan yang rata-rata terjadi pada Divisi Spinning ......... 55

11. Langkah-langkah perbaikan Divisi Spinning ........................ 67

12. Rancangan Pengendalian Mutu dengan menggunakan

Metode Six Sigma ................................................................ 73

DAFTAR GAMBAR

No Hal

1. Cara mutu untuk memperbaiki kemampuan memperoleh laba ….. 9

2. Hubungan sistem kualitas ……………………………………… 10

3. Lima fase six sigma dalam proyek peningkatan kualitas ………. 24

4. Kerangka pemikiran ……………………………………………. 34

5. Tahapan penelitian ……………………………………………… 35

6. Struktur Organisasi PT Unitex Tbk ………………………............ 40

7. Proses Produksi PT Unitex ........................................................... 42

8. Komposisi Hasil Produksi Divisi Spinnng 2005 ........................... 46

9. Diagram Hasil Produksi Divisi Spinning Selama Tahun 2005 ..... 47

10. Proses Produksi Divisi Spinning ……………………………….. 49

11. IPO Graph ................................................................................... 51

12. CTQ Tree ..................................................................................... 52

13. Diagram Pareto Rata-Rata Kesalahan yang terjadi pada benang

EC 45S ………………………………………………………… 59

14. Diagram Pareto Rata-Rata Kesalahan yang terjadi pada benang

AC 40 S ......................................................................................... 60

15. Diagram Pareto Rata-Rata Kesalahan yang terjadi pada benang

CVC 45/55 45S ............................................................................ 60

16. Diagram Pareto Rataan Kesalahan yang terjadi pada Divisi

Spinning ....................................................................................... 61

17. Fishbone Diagram Penyebab Produk Cacat ............................... 63

18 Control Chart dari Sampel Produk benang Divisi Spinning ....... 72

DAFTAR LAMPIRAN

No Hal

1. Tabel konversi sigma ...................................................................... 81

2. Daftar pertanyaan wawancara ......................................................... 82

3 Data Produksi PT Unitex 2005 ........................................................ 83

4. Standar mutu Divisi Spinning PT Unitex ...................................... 92

5. Suhu dan Kelembaban untuk Produksi ........................................... 94

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang

Era globalisasi yang ditandai dengan adanya kesepakatan perdagangan

bebas oleh beberapa negara seperti ASEAN Free Trade Area (AFTA),

North America Free Trade Area (NAFTA), Asia Pacific Economic

Cooperation (APEC) dan World Trade Organization (WTO) menyebabkan

persaingan bisnis menjadi semakin ketat. Pola ekonomi berubah dari pola

ekonomi pengendalian pasar menjadi pola ekonomi berdasarkan kekuatan

pasar dimana permintaan konsumen lebih berperan dalam pasar. Oleh karena

itu, perusahaan harus fokus pada kepuasan konsumen dengan meningkatkan

mutu produk sehingga mampu bertahan dalam persaingan.

Pentingnya mutu dapat dilihat dari dua sudut, yaitu dari sudut

manajemen operasional dan manajemen pemasaran. Dilihat dari manajemen

operasional, mutu produk merupakan salah satu kebijakan penting dalam

meningkatkan daya saing produk. Produk dengan mutu bagus mampu

bersaing dibandingkan dengan produk lainnya sehingga dapat bertahan di

pasar. Dilihat dari sudut manajemen pemasaran, mutu produk merupakan

salah satu unsur utama dalam bauran pemasaran yang dapat meningkatkan

volume penjualan dan memperluas pangsa pasar perusahaan. Hal itu

disebabkan oleh ketertarikan konsumen untuk memilih produk dengan mutu

yang lebih baik.

Para pelaku bisnis dituntut untuk selalu berusaha memperbaiki mutu

pada proses yang dilakukannya. Hal ini bertujuan agar dapat memberikan

produk atau layanan sesuai dengan tuntutan pelanggan dan efisiensi biaya.

Mutu suatu produk mempengaruhi preferensi, persepsi dan perilaku

konsumen terhadap produk tersebut. Produk dengan mutu rendah akan

menyebabkan konsumen berpaling pada produk yang lebih bermutu.

Sebaliknya, bila mutu yang dimiliki suatu produk lebih tinggi dari

perusahaan pesaing, konsumen akan lebih memilih untuk menggunakan

produk tersebut.

2

Dalam suatu proses produksi terdapat peluang dihasilkan produk yang

tidak sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh perusahaan. Produk yang

tidak sesuai dengan standar tersebut dapat dianggap sebagai produk cacat

yang tidak dapat langsung disalurkan ke pasar tetapi harus diperbaiki

terlebih dahulu. Perbaikan tersebut menimbulkan biaya baru yang

digolongkan dalam biaya mutu. Perbaikan mutu produksi dengan menekan

jumlah produk cacat merupakan salah satu langkah penting untuk mencapai

tujuan perusahaan, karena biaya tersembunyi yang muncul dari adanya

produk cacat tersebut memiliki dampak yang cukup besar pada keuangan

perusahaan.

Industri tekstil adalah salah satu industri yang harus memiliki mutu

tinggi agar memenangkan persaingan. Oleh karena itu, produsen harus terus

meningkatkan mutu dari produk yang dihasilkannya. Salah satu perusahaan

tekstil yang masih bertahan adalah PT Unitex, sebuah perusahaan patungan

Indonesia-Jepang yang bergerak dalam bidang tekstil terpadu (Fully

Integrated Textile Manufacture) yang mengolah bahan baku kapas dan

polyester menjadi benang dan bahan jadi kain. PT Unitex didirikan

berdasarkan Undang-Undang Penanaman Modal Asing (PMA) No. 1/1967.

Perusahaan dituntut untuk terus mempertahankan dan meningkatkan mutu

produk agar dapat mempertahankan loyalitas dan meningkatkan kepuasan

konsumen. PT Unitex berusaha meningkatkan ekspor langsung dan tidak

langsung secara intensif sebesar 80 persen. Ekspor langsung berjumlah 65

persen dari jumlah produksi dengan tujuan Australia, Jepang, Amerika

Serikat, Eropa dan lain-lain. Ekspor tidak langsung melalui industri pakaian

jadi (garmen) berjumlah sekitar 15 persen ke Amerika dan Eropa.

Masing-masing divisi pada PT Unitex menghasilkan produk dengan

jenis yang berbeda. Mesin dan kapasitas produksi pada masing-masing

divisi pada PT Unitex dapat dilihat pada Tabel 1.

3

Tabel 1. Mesin dan kapasitas produksi PT Unitex Tbk Divisi Mesin Hasil

Spinning 31.920 Spindels 1.450 bal/ bulan Weaving AJL184, ISL 116, Toyoda

80 (Conventional) 1.800.000 meter/ bulan

Dyeing Finishing Machine 1 Lot Yarn Dyed 19 Sets

2.000.000 meter/ bulan 130 ton / bulan

Utility Generators PLN Boiler Waste Water Treatment Water Purifying System

8.475 KVA 4330 KVA 30 ton/H 180.000 ton/bulan 120.000 ton/ bulan

Sumber : www. Unitex.co.id , 2006

Proses produksi di PT Unitex terdiri dari pemintalan (spinning),

penenunan (weaving), pencelupan (dyeing finishing) dan pencelupan

benang (yarn dyeing). Proses produksi pada PT Unitex diawali dari Divisi

Spinning yang mengolah bahan baku kapas menjadi benang. Divisi Spinning

merupakan divisi yang berperan sangat penting dalam menghasilkan benang

yang bermutu. Benang yang dihasilkan oleh Divisi Spinning sangat

berpengaruh pada mutu kain yang dihasilkan oleh PT Unitex. Hal itu

disebabkan karena benang tersebut akan digunakan sebagai bahan untuk

membuat kain dengan melewati beberapa proses lanjutan. Apabila benang

yang dihasilkan mengalami cacat, tetap diolah dalam tahap proses yang lain

dengan harapan cacat tersebut dapat ditutup dan disempurnakan dalam

proses-proses selanjutnya. Tetapi akan lebih baik jika cacat tersebut dapat

diantisipasi di Divisi Spinning sesuai dengan standar, sehingga mutu kain

yang akan dihasilkan menjadi lebih baik.

Berbagai jenis metode dikembangkan dan diterapkan oleh masyarakat

industri untuk menghasilkan produk dengan mutu yang lebih baik. Six sigma

merupakan suatu metode pengendalian dan peningkatan mutu yang

diterapkan oleh perusahaan Motorola sejak tahun 1986 dan merupakan

terobosan baru dalam bidang manajemen mutu. Banyak ahli manajemen

mutu menyatakan bahwa metode six sigma dapat dikembangkan dan

diterima secara luas oleh dunia industri. Metode six sigma mampu

melakukan peningkatan mutu sampai ke tingkat kegagalan nol (zero defect).

4

Six sigma dapat mengidentifikasi masalah dalam proses produksi dan

menguraikan cacat yang membebani dalam hal waktu, uang, pelanggan dan

peluang. Six sigma dapat digunakan untuk menemukan karakteristik-

karakteristik yang penting untuk pelanggan, mengidentifikasi faktor-faktor

yang mempengaruhi karakterisitik dan mengurangi variasi pada faktor-

faktor kunci tersebut. Meskipun PT Unitex telah memiliki sertifikasi ISO

9001 : 2000, namun penerapan six sigma belum dilakukan. Oleh karena itu,

penelitian mengenai six sigma di PT Unitex perlu dikaji dalam rangka

perbaikan yang terus menerus (continuous improvement).

1.2. Perumusan masalah

Perbaikan mutu produksi merupakan salah satu langkah penting untuk

mencapai tujuan perusahaan dan perbaikan mutu produksi dapat menjadi

suatu cara yang ditempuh oleh perusahaan agar dapat bertahan dalam suatu

industri. Tingginya jumlah produk cacat dapat menjadi suatu indikator

rendahnya mutu produksi perusahaan tersebut. Biaya yang timbul akibat dari

adanya produk cacat tersebut akan menyebabkan terjadinya peningkatan

pada biaya operasional perusahaan. Divisi Spinning merupakan salah satu

divisi dalam industri tekstil yang sangat mempengaruhi mutu kain. Pada

divisi Spinning diindikasikan banyak cacat yang ditimbulkan.

Berdasarkan uraian tersebut, permasalahan yang dirumuskan adalah :

1. Bagaimana proses produksi pada Divisi Spinning ?

2. Apa faktor penyebab timbulnya cacat produk pada Divisi Spinning

berdasarkan tahapan six sigma yaitu define, measure, dan analyze ?

3. Bagaimana cara mengurangi jumlah produk cacat pada Divisi Spinning

berdasarkan tahapan six sigma yaitu improvement dan control ?

4. Bagaimana rancangan pengawasan mutu berdasarkan metode six sigma

yang dapat diterapkan pada Divisi Spinning PT Unitex ?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan permasalahan yang telah diuraikan, maka tujuan

dari penelitian ini adalah :

1. Mengetahui proses produksi pada Divisi Spinning.

5

2. Mengkaji faktor penyebab timbulnya cacat produk pada Divisi

Spinning berdasarkan tahapan six sigma yaitu define, measure, dan

analyze.

3. Menetapkan solusi yang dapat diambil untuk mengurangi jumlah

produk cacat pada Divisi Spinning berdasarkan tahapan six sigma yaitu

improvement dan control.

4. Merancang sistem pengawasan mutu yang dapat diterapkan pada

Divisi Spinning PT Unitex.

1.4. Manfaat penelitian

Manfaat penelitian ini adalah :

1. Bahan masukan bagi perusahaan dalam meningkatkan kualitas

produksinya dengan cara menekan jumlah produk cacat.

2. Bagi peneliti mengetahui karakteristik produk cacat dan proses

produksi pada Divisi Spinning PT Unitex serta menemukan solusi

untuk mengurangi produk cacat tersebut dengan menggunakan metode

six sigma.

3. Menambah wawasan dan bahan rujukan bagi peneliti selanjutnya

tentang kualitas produksi dengan menekan jumlah produk cacat.

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Mutu

American Society for Quality Control dalam Heizer dan Render (2001)

menyatakan, bahwa mutu adalah totalitas bentuk dan karakteristik barang

atau jasa yang menunjukkan kemampuannya untuk memuaskan kebutuhan-

kebutuhan yang tampak jelas maupun yang tersembunyi.

Meskipun demikian, pendapat lain menyatakan bahwa definisi mutu

menyangkut berbagai kategori. Beberapa dari definisi tersebut berorientasi

pada pengguna atau pemakainya. Pendapat ini mengatakan bahwa mutu

tergantung pada anggapan pemakai produk dan jasa tersebut. Orang-orang

yang berkecimpung dalam bidang pemasaran menyukai pendekatan ini,

demikian pula para konsumen. Bagi mereka, mutu yang lebih tinggi berarti

memiliki kemampuan pemuasan kebutuhan yang lebih baik, bentuk produk

yang lebih menarik dan kelebihan lainnya (terkadang memakan biaya). Bagi

manajer produksi, mutu tergantung pada pengerjaan, karena mutu berarti

keharusan menyesuaikan dengan lebih baik pada standar yang berlaku dan

membuatnya dengan benar pada waktu pertama. Namun, pendekatan yang

ketiga bersifat berorientasi pada produk, yang menganggap mutu sebagai

variabel tertentu dan dapat diukur (Heizer dan Render, 2001)

Definisi mutu yang dikemukakan oleh beberapa ahli, dirangkum

sebagai berikut :

- Juran dalam Ariani (2002) menyatakan, bahwa mutu adalah kesesuaian

dengan tujuan atau manfaatnya.

- Scherkenbach dalam Ariani (2002) menyatakan, bahwa mutu

ditentukan oleh pelanggan. Pelanggan menginginkan produk yang

sesuai dengan kebutuhan dan harapannya pada suatu tingkat harga

tertentu yang menunjukkan nilai dari produk tersebut.

7

- Elliot dalam Ariani (2002) menyatakan, bahwa mutu adalah sesuatu

yang berbeda untuk orang yang berbeda dan tergantung pada waktu

dan tempat atau dikatakan sesuai dengan tujuan.

- Standar Nasional Indonesia dalam Ariani (2002) mendefinisikan mutu

sebagai keseluruhan ciri dan karakteristik produk atau jasa yang

kemampuannya dapat memuaskan kebutuhan, baik yang dinyatakan

secara tegas maupun tersamar.

- Crosby dalam Nasution (2004) menyatakan, bahwa mutu adalah

conformance to requirement, yaitu sesuai dengan yang disyaratkan

atau distandarkan. Suatu produk memiliki mutu apabila sesuai dengan

standar mutu yang telah ditentukan. Standar mutu meliputi bahan

baku, proses produksi dan produk jadi.

- Deming dalam Nasution (2004) menyatakan, bahwa mutu adalah

kesesuaian dengan kebutuhan pasar atau konsumen. Perusahaan harus

benar-benar dapat memahami apa yang dibutuhkan konsumen atas

suatu produk yang akan dihasilkan.

- Feigenbaum dalam Nasution (2004) menyatakan, bahwa mutu adalah

kepuasan pelanggan sepenuhnya (full customer satisfaction). Suatu

produk bermutu apabila dapat memberikan kepuasan sepenuhnya

kepada konsumen, yaitu sesuai dengan apa yang diharapkan konsumen

atas suatu produk.

- Garvin dan Daviz dalam Nasution (2004) menyatakan, bahwa mutu

adalah suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk,

manusia/tenaga kerja, proses dan tugas serta lingkungan yang

memenuhi atau melebihi harapan pelanggan atau konsumen.

Selera dan harapan konsumen terhadap suatu produk selalu berubah,

sehingga mutu produk juga harus berubah atau disesuaikan. Dengan

perubahan mutu produk tersebut, diperlukan perubahan atau peningkatan

keterampilan tenaga kerja, perubahan proses produksi dan tugas, serta

perubahan lingkungan perusahaan agar produk dapat memenuhi atau

melebihi harapan konsumen.

8

Nasution (2004) menyatakan bahwa walaupun tidak ada definisi

mengenai mutu yang diterima secara universal, tetapi dari beberapa definisi

tersebut terdapat beberapa persamaan, yaitu dalam elemen-elemen berikut :

1. Mutu mencakup usaha memenuhi atau melebihi harapan pelanggan.

2. Mutu mencakup produk, jasa manusia, proses dan lingkungan.

3. Mutu merupakan kondisi yang selalu berubah (misalnya apa yang

dianggap merupakan mutu saat ini mungkin dianggap kurang bermutu

pada masa mendatang).

2. 2. Pentingnya Mutu

Menurut Heizer dan Render (2001), produk dan jasa yang bermutu

secara strategis penting bagi perusahan dan negara yang diwakilinya. Mutu

dan produk suatu perusahaan, harga yang ditetapkan oleh perusahaan dan

pemasokan barang yang membuat produk itu tersedia bagi konsumen

merupakan faktor yang menentukan permintaan. Mutu terutama

mempengaruhi perusahaan dalam empat cara yaitu :

1. Biaya dan pangsa pasar.

Gambar 1 menunjukkan bahwa mutu yang ditingkatkan dapat

mengarah pada peningkatan pangsa pasar dan penghematan biaya,

yang mempengaruhi profitabilitas. Demikian pula usaha perbaikan

keandalan dan standar berarti penurunan kerusakan pada produk dan

biaya suatu jasa.

9

Perbaikan Mutu Peningkatan Laba

Gambar 1. Cara mutu untuk memperbaiki kemampuan meraih laba

(Heizer dan Render, 2001)

2. Reputasi perusahaan.

Reputasi perusahaan mengikuti reputasi mutu yang dihasilkan

apakah baik atau buruk. Mutu akan muncul bersamaan dengan persepsi

mengenai produk baru perusahaan, praktik-praktik penanganan

pegawai dan hubungannya dengan pemasok. Mutu produk tidak dapat

digantikan oleh promosi perusahaan.

3. Pertanggungjawaban produk.

Dalam kasus-kasus yang berkaitan dengan produk yang beredar

di pasar, pengadilan kini menganggap bahwa pihak-pihak yang harus

memikul tanggung jawab adalah seluruh pihak yang tercakup dalam

rantai distribusi. Dapat ditambahkan, perusahaan yang merancang dan

memproduksi barang atau jasa yang cacat dapat dianggap bertanggung

jawab atas kerusakan dan kecelakaan yang diakibatkan pemakaian

barang dan jasa tersebut.

4. Implikasi internasional.

Mutu merupakan perhatian internasional dan operasi dalam era

teknologi. Perusahaan dan negara dapat bersaing secara efektif dalam

perekonomian global apabila produknya memenuhi standar mutu dan

harga yang diinginkan. Produk yang bermutu rendah dapat

Hasil yang diperoleh dari pasar

• Perbaikan reputasi • Peningkatan volume • Peningkatan harga

Biaya yang dapat ditekan

• Peningkatan produktivitas • Penurunan biaya pengerjaan

ulang dan sisa material • Penurunan biaya garansi

10

membahayakan perusahaan dan mengakibatkan implikasi yang negatif

bagi neraca pembayaran.

Menurut Heizer dan Render (2001), perspektif lain dari mutu

mencakup empat hal yaitu :

1. Kemampuan memenuhi harapan konsumen,

2. Wujud dari produk tersebut,

3. Keandalan,

4. Mutu yang diterima.

Bounds dalam Nasution (2004) menyatakan bahwa pada dasarnya

sistem mutu modern dapat dibagi ke dalam tiga bagian yaitu:

1. Disain, yaitu memenuhi keinginan dan harapan dari pelanggan serta

secara ekonomis layak untuk diproduksi

2. Konformasi (conformance), yaitu memenuhi spesifikasi yang telah

ditentukan

3. Pemasaran dan pelayanan purna jual

Hubungan ketiga sistem mutu tersebut digambarkan pada Gambar 2.

Gambar 2. Hubungan Sistem Mutu (Nasution, 2004)

Mutu konformitas

Mutu desain

Mutu pemasaran dan pelayanan purna jual

Produk dalam masa pemakaian

Pemasaran, pelayanan purna jual

Produksi

Sertifikasi

Desain produk

Permintaan pasar

11

2.3. Dimensi Mutu

Garvin dalam Ariani (2002) menyatakan bahwa terdapat beberapa

dimensi mutu dalam industri manufaktur, antara lain :

1. Performance, yaitu kesesuaian produk dengan fungsi utama produk itu

sendiri atau karakteristik operasi dari suatu produk.

2. Feature, yaitu ciri khas produk yang membedakan dengan produk

lainnya dan merupakan karakteristik pelengkap dan mampu

menimbulkan kesan yang baik bagi pelanggan.

3. Reliability, yaitu kepercayaan pelanggan terhadap produk karena

kehandalannya atau kemungkinan rusaknya rendah.

4. Conformance, yaitu kesesuaian produk dengan syarat atau ukuran

tertentu atau sejauh mana karakteristik desain dan operasi memenuhi

standar yang telah ditetapkan.

5. Durability, yaitu tingkat keawetan produk atau lama umur produk

6. Serviceability, yaitu kemudahan produk bila akan diperbaiki atau

kemudahan memperoleh komponen produk tersebut.

7. Aesthetic,yaitu keindahan atau daya tarik produk.

8. Perception, yaitu fanatisme konsumen akan merk suatu produk

tertentu karena citra atau reputasi produk itu sendiri

2.4. Biaya Mutu

Ada dua golongan besar biaya mutu, yaitu biaya untuk menghasilkan

produk yang bermutu dan biaya yang harus dikeluarkan karena

menghasilkan produk cacat. Menurut Russel dalam Ariani (2002) secara

keseluruhan biaya kualias tersebut meliputi :

1. Biaya untuk menghasilkan produk yang bermutu (cost of achieving

good quality), yaitu biaya yang harus dikeluarkan perusahaan untuk

membuat produk yang bermutu sesuai dengan yang diinginkan

pelanggan, meliputi :

a. Biaya pencegahan (prevention costs), yaitu biaya untuk

mencegah kerusakan atau cacat produk yang terdiri dari:

12

i. Biaya perencanan mutu (quality planning costs), yaitu biaya

yang harus dikeluarkan untuk membuat perencanaan

produk yang bermutu.

ii. Biaya perancangan produksi (production design costs),

yaitu biaya yang harus dikeluarkan untuk merancang

produk sehingga produk yang dihasilkan bermutu tinggi.

iii. Biaya pemrosesan (process costs), yaitu biaya yang harus

dikeluarkan untuk menjalankan proses produksi sehingga

menghasilkan produk yang bermutu.

iv. Biaya pelatihan (training costs), yaitu biaya yang harus

dikeluarkan untuk mengadakan pelatihan bagi karyawan

sehingga karyawan bertanggung jawab untuk selalu

membuat produk yang baik.

v. Biaya informasi akan mutu produk yang diharapkan oleh

pelanggan (information costs), yaitu biaya yang harus

dikeluarkan untuk mengadakan survey pelanggan tentang

mutu produk yang diharapkan oleh pelanggan.

b. Biaya penilaian (appraisal costs), yaitu biaya yang harus

dikeluarkan untuk mengadakan pengujian terhadap produk yang

dihasilkan, meliputi :

i. Biaya untuk mengadakan inspeksi dan pengujian

(inspection and testing costs), yaitu biaya yang harus

dikeluarkan untuk mengadakan pengujian terhadap produk

yang dihasilkan.

ii. Biaya peralatan pengujian (test equipment costs), yaitu

biaya yang harus dikeluarkan untuk pengadaan alat untuk

pengujian terhadap mutu.

iii. Biaya operator (operator costs), yaitu biaya yang

dikeluarkan untuk memberikan upah pada orang yang

bertanggung jawab dalam pengendalian mutu.

13

2. Biaya yang harus dikeluarkan karena perusahaan menghasilkan produk

cacat (cost of poor quality), meliputi :

a. Biaya kegagalan internal (internal failure costs), yaitu biaya yang

harus dikeluarkan karena perusahaan telah menghasilkan produk

yang cacat tetapi cacat produk tersebut telah diketahui sebelum

produk tersebut sampai kepada pelanggan. Biaya ini meliputi :

i. Biaya yang dikeluarkan karena produk harus dibuang (scrap

costs), yaitu biaya yang telah dikeluarkan perusahaan tetapi

produk yang dihasilkan ternyata produk cacat sehingga

harus dibuang dan adanya biaya untuk membuang produk

tersebut.

ii. Biaya pengerjaan ulang (rework costs), yaitu biaya untuk

memperbaiki produk yang cacat.

iii. Biaya kegagalan proses (process failure costs), yaitu biaya

yang harus dikeluarkan dalam proses produksi tetapi

ternyata produk yang dihasilkan adalah produk cacat.

iv. Biaya yang dikeluarkan karena proses produksi tidak dapat

berjalan sebagaimana mestinya (process downtime costs).

v. Biaya yang harus dikeluarkan karena perusahaan menjual

produk di bawah harga patokannya karena produk yang

dihasilkan cacat (price down grading costs)

b. Biaya kegagalan eksternal (external failure costs), yaitu biaya

yang harus dikeluarkan karena menghasilkan produk cacat dan

produk ini telah diterima oleh konsumen, meliputi :

i. Biaya untuk memberikan pelayanan terhadap keluhan

pelanggan (customer complain costs).

ii. Biaya yang harus dikeluarkan karena produk yang telah

disampaikan kepada konsumen dikembalikan karena

produk tersebut cacat (product return costs).

iii. Biaya yang harus dikeluarkan untuk menangani tuntutan

konsumen terhadap adanya jaminan mutu produk

(warranty claims costs).

14

iv. Biaya yang harus dikeluarkan karena perusahaan harus

memberikan jaminan atau garansi bagi konsumen bahwa

produk yang dihasilkan adalah baik (product liability costs)

v. Biaya yang harus dikeluarkan karena perusahaan tidak

dipercaya oleh konsumen sehingga konsumen tidak mau

lagi membeli produk ke perusahaan tersebut (lost sales

cost).

2.5. Six Sigma

Six sigma adalah metode untuk meningkatkan produktivitas dan

profitabilitas. Six sigma adalah penerapan metodik dari alat penyelesaian

masalah statistik untuk mengidentifikasi dan mengukur pemborosan dan

menunjukkan langkah-langkah untuk perbaikan (Brue, 2005). Metode ini

diterapkan perusahaan Motorola sejak tahun 1986 dan merupakan terobosan

baru dalam bidang manajemen mutu (Gaspersz, 2003). Six sigma merupakan

suatu target 3,4 Defect Per Million Opportunities (DPMO) yang

memungkinkan karakteristik mutu diukur dari perspektif jumlah cacat yang

sebenarnya dibanding total peluang terjadinya cacat (Muslim, 2005).

Nama “Six sigma” berasal dari tingkatan mutu : performa pada

tingkatan enam sigma yang berarti hanya 3,4 DPMO. Abjad Yunani Sigma

adalah lambang dalam statistik untuk deviasi standar, suatu ukuran variasi

(Brue, 2005).

Sigma mengukur kemampuan proses untuk menghasilkan produk

tanpa cacat. Indeks pengukuran yang sering digunakan adalah “defect per

unit”. Nilai sigma mengindikasikan seberapa sering kecacatan terjadi.

Semakin meningkat nilai sigma, jumlah cacat semakin sedikit sehingga

biaya dan cycle time menurun. Selain itu tingkat kepuasan pelanggan akan

semakin meningkat (Muslim, 2005)

Menurut Breyfogle dalam Rahardjo (2003), sigma merupakan tingkat

variabilitas yang menyatakan performance dari suatu proses. Tingkat mutu

enam sigma merupakan tingkat mutu dimana proses dengan penyebaran

enam sigma terhadap rataan proses masih memenuhi spesifikasi. Six sigma

15

juga diartikan sebagai tingkat mutu, dimana 3,4 kecacatan dihasilkan dari

satu juta kesempatan terjadinya.

General Electric (GE) sebagai salah satu perusahaan yang sukses

menerapakan six sigma menyatakan bahwa six sigma merupakan proses

disiplin tinggi yang membantu mengembangkan dan menghantarkan produk

mendekati sempurna. Six sigma bukan hanya merupakan inisiatif kualitas,

tetapi juga merupakan inisiatif bisnis unutk mendapatkan dan

menghilangkan penyebab kesalahan atau cacat pada output proses bisnis

yang penting di mata pelanggan. Six sigma dapat dijelaskan dalam dua

perspektif, yaitu perspektif statistik dan perspektif metodologi (Hendradi,

2006).

Pada perspektif statistik, sigma (σ) merupakan huruf Yunani yang

dikenal sebagai standar deviasi yang menyatakan nilai simpanganterhadap

nilai tengah dalam statistik. Suatu proses dikatakan berjalan baik apabila

berjalan pada suatu rentang yang telah disepakati. Rentang tersebut memiliki

batas atas atau USL (Upper Spesification Limit) dan batas bawah atau LSL

(Lower Spesification Limit). Proses yang terjadi di luar rentang disebut

cacat (defect). Proses 6 σ adalah proses yang hanya menghasilkan 3,4

DPMO (Defect Per Million Opportunity). DPMO tidak hanya sekedar cacat

saja tapi juga merupakan rasio cacat dibandingkan dengan peluang jumlah

kemungkinan cacat yang terjadi (Hendradi, 2006).

Pada perspektif metodologi, six sigma merupakan pendekatan

menyeluruh untuk menyelesaikan masalah dan peningkatan proses melalui

fase DMAIC (Define, Measure, Analyze, Improvement dan Control).

DMAIC merupakan jantung analisis six sigma yang menjamin Voice of

Customer berjalan dalam keseluruhan proses sehingga produk yang

diinginkan memuaskan keinginan pelanggan (Hendradi, 2006)

Ada banyak pengertian mengenai six sigma. Six sigma diartikan

sebagai metode berteknologi canggih yang digunakan oleh para insinyur dan

statistikawan dalam memperbaiki atau mengembangkan proses atau produk.

Six sigma diartikan demikian karena kunci utama perbaikan six sigma

16

menggunakan metode-metode statistik, meskipun tidak secara keseluruhan

membicarakan tentang statistik (Miranda dan Tunggal, 2002).

Pengertian six sigma lainnya adalah tujuan mendekati kesempurnaan

dalam mencapai kebutuhan pelanggan. Ada juga yang mengartikan six

sigma sebagai usaha mengubah budaya perusahaan untuk mencapai

kepuasan pelanggan, keuntungan dan persaingan yang jauh lebih baik.

Kunci utama pengertian di atas adalah pengukuran, tujuan dan budaya

perusahaan (Miranda dan Tunggal, 2002).

Definisi secara lebih lengkap dan jelas adalah six sigma merupakan

suatu sistem yang komprehensif dan fleksibel untuk mencapai, memberikan

dukungan dan memaksimalkan proses usaha, yang berfokus pada

pemahaman akan kebutuhan pelanggan dengan menggunakan fakta, data

dan analisis statistik secara terus-menerus memperhatikan pengaturan,

perbaikan dan mengkaji ulang proses usaha (Miranda dan Tunggal, 2002).

Menurut Gaspersz (2005), beberapa keberhasilan Motorola yang perlu

dicatat dari aplikasi program six sigma adalah sebagai berikut:

1. Peningkatan produktivitas rataan 12,3 persen per tahun

2. Penurunan Cost of Poor Quality (COPQ) lebih daripada 84 persen

3. Eliminasi kegagalan dalam proses sekitar 99,7 persen

4. Penghematan biaya manufakturing lebih dari $11 milyar

5. Peningkatan tingkat pertumbuhan rataan tahunan 17 persen dalam

penerimaan, keuntungan dan harga saham Motorola.

Keuntungan penerapan six sigma menurut Miranda dan Tunggal

(2002) adalah :

1. Dimulai dari pihak pelanggan. Six sigma mengukur permintaan dalam

arti yang sebenarnya dari apa yang dibutuhkan oleh pelanggan. Hal ini

menguntungkan kedua belah pihak dan memikirkan apa-apa saja yang

benar-benar penting.

2. Menyediakan pengukuran yang bersifat konsisten. Dengan berfokus

pada cacat atau kemungkinan terjadinya cacat, pengukuran six sigma

dapat digunakan untuk mengukur dan membendingkan proses yang

benar-benar berbeda di dalam organisasi atau antar organisasi.

17

3. Menyatukan tujuan yang penuh ambisi. Dengan memusatkan perhatian

seluruh organisasi pada tujuan kinerja 99,9997 persen dapat membuat

perbaikan yang cukup nyata.

Blakeslee dalam Gaspersz (2003) menyatakan bahwa untuk

menciptakan iklim organisasi yang mampu mendukung usaha-usaha six

sigma, manajemen organisasi perlu memperhatikan tujuh prinsip berikut :

1. Keberhasilan usaha implementasi six sigma harus diarahkan oleh para

pemimpin yang memiliki komitmen kuat. Tujuan six sigma yang

terfokus dan energi yang dibutuhkan untuk mengarahkan proses six

sigma dalam organisasi membutuhkan kepemimpinan manajemen para

pemimpin puncak organisasi.

2. Usaha-usaha six sigma harus diintegrasikan dengan inisiatif-inisiatif,

strategi bisnis dan ukuran kinerja kunci. Organisasi yang berhasil

dengan six sigma adalah yang mampu mengintegrasikan implementasi

six sigma dengan inisiatif organisasi, strategi bisnis dan matriks kinerja

kunci.

3. Keberhasilan usaha six sigma didukung oleh suatu kerangka kerja

pemikiran proses. Six sigma tidak dapat diimplementasikan secara

efektif dalam suatu organisasi tanpa pemetaan yang tepat dari proses

bisnis yang ada. Pihak-pihak yang terlibat dalam six sigma harus

mengetahui dan menyetujui proses-proses yang akan dilibatkan, apa

yang diinginkan pelanggan terhadap output yang dihasilkan serta

mendefinisikan kemampuan proses dalam nilai sigma pada saat

sekarang maupun targetnya di masa yang akan datang.

4. Six sigma membutuhkan kedisiplinan pengumpulan informasi dari

pelanggan dan pasar. Agar usaha-usaha six sigma dapat berhasil,

dibutuhkan kedisiplinan pengumpulan informasi berkaitan dengan

tingkat kepuasan dan loyalitas pelanggan sepanjang waktu. Informasi

berbentuk cerita tentang apa yang diinginkan oleh pelanggan dan pasar

tidak akan efektif dalam six sigma karena six sigma membutuhkan

informasi yang spesifik, dapat diamati dan diukur.

18

5. Proyek-proyek six sigma harus menghasilkan manfaat atau hasil-hasil

nyata bagi organisasi.

6. Usaha-usaha six sigma dipimpin oleh pemimpin tim yang terlatih dan

bekerja penuh waktu. Six sigma sebagi pendekatan intensif dalam

peningkatan kualitas membutuhkan disiplin dan komitmen orang-

orang yang terlibat dalam proyek itu.

7. Six sigma dilaksanakan secara terus-menerus melalui keberlangsungan

penguatan langsung (direct reinforcement) dan balas jasa dari

pemimpin organisasi yang selalu mendukung inisiatif dan tim

peningkatan mutu yang melaksanakan proyek-proyek six sigma.

Mengingat six sigma berbeda dengan program peningkatan mutu yang

lain, insentif-insentif baru harus dibagi kepada orang-orang yang

terlibat dalam proyek six sigma agar organisasi six sigma dapat

bergerak ke arah yang benar. Sistem kompensasi harus dirumuskan

secara adil dalam proyek-proyek six sigma.

Menurut Hendradi (2006), secara sederhana pengukuran tingkat six

sigma dapat digambarkan sebagai berikut :

1. Tetapkan apa yang diinginkan oleh pelanggan (voice of customer)

terhadap suatu produk.

2. Ubahlah keinginan pelanggan dalam suatu ukuran, hal ini disebut

Critical to Quality atau Y.

3. Mencai hubungan hasil (Y) dengan proses-proses yang menyertai (X).

Hubungan Y dan X dinyatakan dalam sistem Closed Loop, Y=f(X) .

Level sigma dari kinerja sering diekspresikan dalam kesalahan per

sejuta peluang DPMO. DPMO mengindikasikan berapa banyak cacat yang

akan muncul jika sebuah aktivitas diulang satu juta kali. Dalam melakukan

kalkulasi dengan memfaktorkan peluang-peluang dalam defect yang telah

ditentukan dalam quality control, perusahaan dituntut untuk lebih realistis

dalam menyamakan kinerja dan proses-proses yang berbeda. DPMO juga

menggambarkan secara sederhana mutu dan kapabilitas dari sebuah proses

seperti ditunjukkan dalam Tabel 2. Tabel konversi nilai sigma dapat dilihat

pada Lampiran 1.

19

Tabel 2. Konversi level sigma yang disederhanakan.

COPQ DPMO Level

Sigma

Tidak dapat dihitung 691.462,00 (sangat tidak kompetitif) 1,0

Tidak dapat dihitung 308.538,00 (rataan industri Indonesia) 2,0

25-40%dari penjualan 66.807,00 3,0

15-25 % dari penjualan 6.210,00 (rataan industri USA) 4,0

5-15 % dari penjualan 233,00 5,0

<1% dari penjualan 3,40 (industri kelas dunia) 6,0

Setiap peningkatan atau pergeseran 1-sigma akan memberikan peningkatan

keuntungan sekitar 10% dari penjualan.

Sumber : Gaspersz , 2003.

Sejak dimulainya prakarsa six sigma, komitmen dan komunikasi

merupakan hal yang krusial. Para pemimpin eksekutif harus mendukung dan

mempromosikan prakarsa itu dan memberi informasi mengenai six sigma

serta semua perkembangannya. Prakarsa itu juga tergantung pada orang-

orang yang memainkan peran utama, yaitu yang bertanggung jawab untuk

menggunakan teknik dan perangkat six sigma demi mencapai hasil (Brue,

2005).

2.6. Peran dalam six sigma

Menurut Miranda dan Tunggal (2002) ada sejumlah peran yang harus

diambil oleh orang yang berbeda-beda saat menerapkan prakarsa six sigma

pada suatu organisasi, yaitu :

1. Kelompok Leadership atau Council

”Tim Leadership six sigma” atau “Dewan Mutu” hampir sama

dengan tim manajemen puncak.

Tanggung jawab manajemen puncak ini adalah :

- Menentukan peran dan infrastruktur six sigma

- Memilih proyek yang spesifik dan alokasi sumber daya

- Meninjau ulang perkembangan proyek dan menyumbangkan ide atau

bantuan secara berkala

20

- Menganggap diri sendiri sebagai sponsor

- Membantu dalam perhitungan dari pengaruh usaha six sigma

terhadap perusahaan

- Menilai perkembangan dan mengidentifikasi kelemahan/kekuatan

usaha

- Membagi praktik-praktik terbaik pada organisasi, termasuk juga

pemasok dan pelanggan inti

- Bertindak sebagai ”pemindah batu karang” bila tim menemukan

hambatan

2. Sponsor atau Champion.

Sponsor adalah manajer senior yang mengawasi perbaikan proyek.

Tim memerlukan kebebasan memutuskan masalah tetapi juga

memerlukan pedoman dari pemimpin dalam mencapai tujuan usaha.

Tanggung jawab sponsor adalah :

- Menetapkan tujuan perbaikan proyek, termasuk pembuatan Project

Rationale dan menjamin untuk menjalankannya sesuai dengan

prioritas usaha

- Memimpin dan menyetujui perubahan arah atau jangkauan proyek

bila perlu

- Menemukan sumber daya untuk proyek

- Mewakili tim Kelompok Kepemimpinan (leadership) dan bertindak

sebagai penasehat

- Membantu menjernihkan permasalahan dan menyesuaikannya

dengan tim lain atau di luar tim

- Bekerja sama dengan process owner untuk menjamin kelancaran

menyimpulkan proyek perbaikan

- Menerapkan ilmu mengenai perbaikan proses dan tugas-tugas

manajemen.

21

3. Pemimpin pelaksana (Implementation Leader)

Tanggung jawab dari pemimpin pelaksana adalah :

- Mendukung Kelompok Kepemimpinan (Leadership) yang meliputi

kegiatan mereka, termasuk komunikasi, pemilihan proyek dan tinjau

ulang proyek

- Identifikasi dan rekomendasi individu atau kelompok untuk

memenuhi peranan inti termasuk konsultasi eksternal dan dukungan

pelatihan

- Mempersiapkan dan menjalankan rencana pelatihan termasuk

pemilihan kurikulum, penjadwalan dan logistik

- Membantu sponsor memenuhi peran mereka sebagai pendukung,

penasehat dan pembangkit semangat tim

- Mencatat keseluruhan perkembangan dan memfokuskan kepada

permasalahan yang memerlukan perhatian lebih

- Membuat rencana pemasaran.

4. Pelatih six sigma (Coach)

Pelatih ahli secara teknis dan benar-benar bertindak sebagai

konsultan. Seorang pelatih menyediakan :

- Hubungan antara sponsor dengan kelompok kepemimpinan

(Leadership)

- Menetapkan jadwal proyek perusahaan

- Menghadapi perselisihan atau kurangnya kerjasama antar tim

dalam organisasi

- Memperkirakan potensi dan validasi hasil aktual

- Menyelesaikan ketidaksetujuan dan konflik anggota tim

- Mengumpulkan dan analisis data mengenai aktivitas tim

- Membantu promosi tim dan menyatakan keberhasilan mereka

5. Pemimpin tim (Team Leader) atau Pemimpin Proyek (Project Leader)

Team Leader memegang tanggung jawab utama pekerjaan dan

hasil six sigma. Biasanya berfokus pada proses atau desain ulang, tetapi

juga menangani sistem Voice of The Customer, pengukuran atau

manajemen proses.

22

Tanggung jawab pemimpin tim adalah :

- Meninjau ulang/mengklarifikasi project rationale dengan sponsor

- Mengembangkan dan memutakhirkan Project Charter dan rencana

implementasi

- Memilih anggota-anggota tim proyek

- Memperkenalkan dan mencari sumber daya dan informasi

- Memberi pengertian dan membantu anggota tim lainnya

menggunakan alat-alat six sigma yang tepat, juga tim dan teknik

manajemen pertemuan

- Membuat jadwal proyek dan terus menuju ke solusi dan hasil akhir

- Mendukung transfer solusi atau proses baru untuk meneruskan

proses operasional ketika bekerja sama dengan manajer lainnya,

juga Process Owner

- Mencatat hasil akhir dan membuat ”story board” proyek.

6. Anggota tim (Team Member)

Anggota tim kebanyakan diumpamakan sebagai kendaraan untuk

mencapai usaha perbaikan. Anggota tim menggunakan pikiran dan

tenaga yang lebih di samping pengukuran, analisis dan perbaikan proses.

7. Pemilik proses (Process Owner)

Pemilik proses merupakan orang yang bertanggung jawab secara

cross-functional untuk mengatur sekumpulan langkah ”end-to-end”, baik

untuk pelanggan internal maupun eksternal. Pemilik proses menerima

pedoman dari tim perbaikan atau menjadi pemilik baru dari proses yang

baru didesain.

8. Black Belts,Master Black Belts dan struktur peranannya.

Black Belts adalah orang-orang yang memiliki keterampilan dan

kedisiplinan, disamping itu Grenn, Black dan Master lebih cenderung

dilatih lebih mendalam dan berpengalaman.

Definisi Black Belts tergantung dari empat faktor utama berikut :

a. Jenis proyek atau proses yang ditangani

Bila proses dan produk cenderung bersifat teknik, Black Belts

memerlukan keterampilan teknis yang lebih. Di bidang jasa

23

misalnya, bila data yang diambil lebih sederhana dan persoalan

tidak begitu teknis, keterampilan dasar lainnya seperti definisi

proses, mengembangkan definisi operasional, mengumpulkan dan

analisis data, keterampilan tim lebih diutamakan.

b. Struktur Black Belts dalam organisasi

Bila Black belts ditujukan sebagai Coaches perhatiannya

akan cenderung lebih teknis. Bila diberi peringkat dari segi

manajemen dan akan menuntun ke tim perbaikan, keterampilan

seperti definisi masalah, kepemimpinan dan manajemen proyek

akan lebih penting daripada analisis statistik

c. Tujuan dari inisiatif six sigma

Tidak semua perusahaan yang menerapkan six sigma

dijamin menjadi pemimpin sistem. Banyak perusahaan yang

menerapkan secara mendasar hanya berupa pengukuran dan

skill/tools statistik. Bedanya, perusahaan six sigma

mengembangkan dan berfokus pada statistik, analisis data dan

metode rekayasa lainnya.

d. Konsultan atau penasehat yang dipilih

Konsultan ada yang menitikberatkan pada teknis/statistik,

ada yang cenderung ke perubahan bisnis dan perbaikan proses.

Selain itu menawarkan program yang kaku, ada yang mencoba

menyelesaikan dengan organisasi dan rencana kebutuhan/

implementasinya.

2.7. Fase dalam six sigma

Pendekatan six sigma yang digunakan dalam proyek peningkatan

mutu terdiri dari lima fase yaitu Define, Measure, Analyze, Improve dan

Control (DMAIC). DMAIC merupakan sebuah tahapan proses sistematis

dan mengacu pada fakta untuk melakukan perbaikan terus menerus (Muslim,

2005). Kelima fase tersebut ditunjukkan pada Gambar 4.

24

Gambar 3. Lima Fase Six Sigma dalam Proyek Peningkatan Mutu (Muslim, 2005)

1. Define

Fase define berkaitan dengan pendefinisian tujuan dan latar

belakang serta identifikasi permasalahan yang harus diberi perhatian

untuk dapat mencapai kinerja mutu yang lebih baik. Aktivitas yang

dilakukan adalah merumuskan masalah (problem statement)

menentukan ruang lingkup dan mendefinisikan proses bisnis yang akan

diteliti dengan mengenali hubungan antara variabel input dan

responnya.

2. Measure

Fase measure berkaitan dengan pengumpulan informasi mengenai

kondisi saat ini dan melakukan pengukuran atau studi kemampuan

proses yang ada saat ini. Hasil pengukuran menghasilkan nilai metrik

yang menunjukkan kemampuan proses saat ini dan dijadikan tolok ukur

perusahaan dalam melakukan tindakan perbaikan.

3. Analyze

Fase analyze bertujuan untuk menemukan penyebab permasalahan

yang tepat dari masalah mutu dengan menggunakan alat analisis yang

sesuai, yaitu diagram sebab akibat. Tujuannya adalah untuk mengerti

lebih jauh tentang proses dan mengidentifikasi alternatif solusi yang

dilakukan untuk melakukan perbaikan.

Define Mulai proyek baru

Measurement

Control Improvement

Analyze Proyek selesai dan memulai langkah baru untuk proyek

selanjutnya

25

4. Improvement

Fase improvement berkaitan dengan penentuan dan implementasi

solusi-solusi berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan pada tahap

sebelumnya.

5. Control

Fase control bertujuan untuk terus mengevaluasi dan memonitor

hasil-hasil tahap sebelumnya atau hasil implementasi yang telah

dilakukan. Tahap ini bertujuan untuk memastikan bahwa kondisi yang

diperbaiki dapat berkesinambungan dan tidak berjalan dalam waktu yang

singkat. (Muslim, 2005)

2.8. Seven Basic Quality Tools

Alat bantu yang dapat digunakan secara mudah dalam persoalan

pemberian jaminan mutu produk adalah seven basic quality tools. Seven

basic quality tools terdiri dari (1) Lembar Periksa (Check Sheet),(2)

Diagram Pareto, (3) Diagram Sebab Akibat, (4) Histogram, (5) Diagram

Stratifikasi, (6) Scatter Diagram dan (7) Bagan Kendali Mutu (Control

Chart) (Sulistyadi dam Susanti , 2003). Alat-alat tersebut merupakan alat

analisis dalam pengawasan mutu (quality control) yang paling mendasar.

(http://en.wikipedia.org/ wiki/Seven Basic Quality Tools).

1. Lembar Periksa (Check Sheet)

Lembar periksa merupakan suatu bagan terstruktur yang

dipersiapkan untuk mengumpulkan dan menganlisis data. Alat ini

merupakan suatu alat yang umum sehingga dapat digunakan untuk

berbagai jenis tujuan (http://en.wikipedia.org/wiki/Seven Basic Quality

Tools).

Muhandri dan Kadarisman (2007) menyatakan bahwa check

sheet merupakan alat bantu untuk memudahkan pengumpulan data. Data

sendiri merupakan unsur penting dalam pelaksanaan pengendalian dan

perbaikan mutu. Data berguna untuk membantu memahami situasi yang

sebenarnya, menganalisis persoalan, mengendalikan proses, mengambil

keputusan dan membuat rencana. Jenis data yang ada adalah :

a. Data hasil pengukuran : panjang, berat, waktu, dan lain-lain..

26

b. Data hasil penghitungan : jumlah copy, jumlah kerusakan dan lain-

lain.

c. Data dalam urutan : pertama, kedua dan lain-lain.

d. Data dalam derajat tingkat persoalannya : nilai 1, nilai 2 dan lain-

lain.

e. Data dalam hubungan kepentingan relatif : ya/tidak, 1/0 dan lain-

lain.

Lembar periksa terdiri atas daftar-daftar item dan petunjuk

mengenai hal-hal yang sering terjadi. Selain itu juga sebagai pengingat

yang langsung menunjukkan pada data yang penting. Biasanya disebut

Confirmation Check Sheet (Miranda dan Tunggal, 2002). Tujuan utama

dari lembar periksa adalah memudahkan proses pengumpulan data,

memilah data ke dalam kategori yang berbeda seperti penyebab dan

masalah, menyusun data secara otomatis serta memisahkan antara opini

dan fakta (Trisyulianti, 2005)

2. Diagram Pareto

Diagram pareto merupakan diagram yang terdiri atas grafik balok

dan grafik garis yang menggambarkan perbandingan masing-masing

jenis data terhadap keseluruhan. Diagram pareto dapat memperlihatkan

masalah mana yang dominan (vital few) dan masalah yang banyak tapi

kurang dominan (trivial many) (Muhandri dan Kadarisman, 2006).

Diagram pareto dapat digunakan untuk memprioritaskan masalah

yang harus ditangani dengan aturan pengelompokan 80/20 (Hendradi,

2006). Diagram ini cocok digunakan pada tingkatan bervariasi dalam

program perbaikan mutu untuk menentukan langkah apa yang harus

diambil selanjutnya (Miranda dan Tunggal, 2002).

3. Diagram Sebab Akibat

Ishikawa membuat diagram sebab akibat atau sering disebut

diagram Ishikawa (fishbone diagram) yang merupakan alat untuk

menunjukkan semua hal yang berhubungan dengan masalah (Miranda

dan Tunggal, 2002). Diagram sebab akibat berguna untuk mengetahui

faktor-faktor yang mungkin menjadi penyebab munculnya masalah

27

berpengaruh terhadap hasil), penyusunannya dilakukan dengan teknik

brainstorming (Muhandri dan Kadarisman, 2006). Diagram sebab akibat

mengidentifikasi semua penyebab yang mungkin terjadi untuk suatu

akibat atau masalah ke dalam kategori yang berguna

(http://en.wikipedia.org/wiki/Seven Basic Quality Tool). Penyebab

masalah minor biasanya dikelompokkan dalam empat sampai lima

kategori dasar (http://en.wikipedia.org/wiki/Process Improvement

Tools).

Kategori itu antara lain :

1. Bahan, metode, manusia dan mesin

2. Peralatan, kebijakan, prosedur dan manusia

3. Penanganan, metode, manusia, perancangan dan peralatan

4. Histogram

Histogram merupakan diagram yang terdiri dari grafik balok dan

menggambarkan penyebabarn (distibusi) data-data yang ada (Muhandri,

2006). Histogram merupakan alat yang paling umum digunakan untuk

menunjukkan penyebaran frekuensi atau seberapa sering masing-masing

variabel terjadi pada suatu data (http://en.wikipedia.org/wiki/Seven

Basic Quality Tools). Melalui histogram, dispersi dan kecenderungan

terpusat serta perbandingan distribusi yang dibutuhkan dapat terlihat

dengan jelas (Miranda dan Tunggal, 2002).

Histogram merupakan salah satu bagian dari diagram batang. Pada

histogram, variabel dletakkan pada sumbu x dan dibandingkan dengan

nilai yang diletakkan pada sumbu y.

(http://en.wikipedia.org/wiki/Process Improvement Tools).

5. Diagram Stratifikasi

Suatu teknik yang digunakan untuk memisahkan kumpulan data

dari berbagai jenis sumber sehingga polanya dapat dilihat. Pada beberapa

daftar, diagram stratifikasi digantikan dengan flowchart atau run chart

(http://en.wikipedia.org/wiki/Seven Basic Quality Tools).

Stratifikasi merupakan kegiatan yang ditujukan untuk mengurai

atau mengklasifikasi data dan masalah menjadi kelompok atau golongan

28

sejenis yang lebih kecil atau menjadi unsur-unsur tunggal dari data atau

masalah sehingga menjadi lebih jelas (Muhandri, 2006).

6. Scatter Diagram

Scatter diagram atau diagram tebar merupakan plot satu variabel

atau lebih. Satu variabel disebut variabel independen biasanya diletakaan

pada sumbu horizontal. Variabel lainnya disebut dengan variabel

dependen yang ditunjukkan dengan sumbu vertikal (Miranda dan

Tunggal, 2002). Scatter diagram merupakan suatu diagram yang

menggambarkan hubungan antara dua faktor atau data. Diagram ini

dapat melihat apakah dua faktor yang diuji memiliki hubungan atau tidak

(Muhandri dan Kadarisman, 2006).

Manfaat dari scatter diagram adalah dapat mengevaluasi hubungan

sebab akibat. Asumsi yang digunakan adalah variabel independen

menyebabkan perubahan pada variabel dependen (Miranda dan Tunggal,

2002).

7. Bagan Kendali Mutu (Control Chart)

Control chart merupakan grafik yang digunakan untuk

mempelajari perubahan proses dari waktu ke waktu.

(http://en.wikipedia.org/wiki/Seven Basic Quality Tools). Definisi lain

menyebutkan bahwa control chart merupakan grafik tren dengan batas

atas dan batas bawah yang ditentukan secara statistik pada rataan proses

(http://en.wikipedia.org/wiki/Process Improvement Tools).

Bagan kendali merupakan grafik garis yang mencantumkan batas

maksimum dan batas minimum yang merupakan daerah batas

pengendalian. Bagan ini menunjukkan perubahan data dari waktu ke

waktu tetapi tidak menunjukkan penyebab munculnya penyimpangan

(Muhandri dan Kadarisman, 2006).

Control chart membantu untuk memisahkan antara penyebab

umum dari penyebab khusus. Alat ini digunakan untuk mengawasi

stabilitas sistem sehingga penyebab khusus dapat segera diketahui. Data

yang digunakan dalam control chart berasal dari

(http://en.wikipedia.org/wiki/Process Improvement Tools) :

29

1. Data pengukuran, seperti panjang, suhu, volume dan tekanan.

2. Data penghitungan, seperti cacat produk, barang yang belum diberi

label dan kejadian.

2.9. Statistical Process Control

Pengendalian proses secara statistik dan sampling penerimaan

merupakan alat statistik yang terpenting dalam mengendalikan mutu. Proses

pengendalian secara statistik merupakan teknik statistik yang secara luas

digunakan untuk memastikan bahwa proses yang sedang berjalan telah

memenuhi standar. Tujuan sistem pengendalian proses adalah untuk

memberikan informasi awal secara statistik di tempat timbulnya sebab-sebab

khusus (variasi yang ditimbulkan oleh gangguan pada proses) yang

mempengaruhi variasi. Tanda awal seperti itu dapat mempercepat

pengambilan keputusan yang tepat untuk menghapus sebab-sebab khusus

tersebut (Heizer dan Render, 2001).

Alat sederhana yang digunakan untuk memisahkan variasi alami

dengan variasi khusus adalah peta kendali proses. Peta tersebut digunakan

untuk mengukur kinerja proses. Suatu proses dikatakan terkendali secara

statistik jika sumber variasi satu-satunya adalah sebab-sebab yang alami.

Proses tersebut harus digambarkan dalam peta kendali proses melalui

pendeteksian dan penghapusan sebab-sebab variasi yang khusus. Setelah itu,

barulah dapat diprediksi kinerjanya dan dapat ditentukan kemampuannya

untuk memenuhi apa yang diharapkan oleh konsumen. Tujuan dari

pembuatan peta kendali adalah untuk membantu membedakan mana variasi

yang alami dan variasi yang dipengaruhi oleh sistem penyebab tertentu

(Heizer dan Render, 2001).

Terdapat dua variasi dalam hasil proses yaitu variasi alami dan variasi

khusus. Variasi alami merupakan variasi yang secara alami mempengaruhi

hampir setiap proses produksi dan pasti selalu ada. Variasi alami adalah

sumber-sumber variasi dalam proses yang secara statistik berada dalam

batas-batas kendali. Variasi khusus adalah variasi yang ditimbulkan oleh

gangguan-gangguan dalam proses. Variasi yang timbul akibat gangguan

pada sebuah proses dapat dilacak penyebabnya. Faktor-faktor seperti

30

peralatan mesin, peralatan yang distel salah atau karyawan yang lelah dan

tidak terlatih dapat menjadi sumber-sumber terjadinya variasi yang dapat

dihilangkan (assignable variations).

Sampling penerimaan adalah bentuk pengujian yang mencakup

kegiatan yang mengambil sampel acak dari kumpulan atau ”lot” produk

yang telah selesai diproduksi dan mengukurnya sesuai dengan standar yang

telah ditetapkan sebelumnya. Sampling lebih ekonomis daripada melakukan

inspeksi 100%. Mutu sampel digunakan untuk menilai mutu setiap barang

yang ada di kumpulan tersebut. Kurva Karakteristik Operasi (Operating

Characteristic) membantu sampling penerimaan dan memberikan manajer

suatu teknik untuk mengevaluasi mutu produksi atau kiriman barang. Kurva

Karakteristik Operasi menjelaskan seberapa baik suatu rencana penerimaan

membedakan antara lot yang baik dengan lot yang buruk. Kurva tersebut

menggambarkan rencana tertentu yaitu kombinasi dari n (ukuran sampel)

dan c (tingkat penerimaan). Kurva itu digunakan untuk menunjukkan

kemungkinan rencana tersebut menerima lot dengan tingkat mutu yang

beragam (Heizer dan Render, 2001).

2.10. Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu yang telah dilakukan berkaitan dengan metode six

sigma dapat dilihat pada Tabel 3.

31

Tabel 3 : Penelitian terdahulu

No Nama Penulis Judul Hasil Penelitian

1 Anto Dilana, Departemen Sosial Ekonomi Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, 2005

Analisis Manajemen Mutu Perspektif Six Sigma pada Sub Divisi Es Balok dan Perbekalan Divisi Usaha Pelayanan Kapal Perum Prasarana Perikanan Samudera Cabang Jakarta

Perum PPS Cabang Jakarta khususnya Sub Divisi Es Balok memiliki permasalahan dalam hal produksi. Hal ini terbukti dari persentase kecacatan yang masih tinggi. Pemborosan yang terjadi di Divis Es Balok dan perbekalan jika dikonversikan dalam level sigma adalah sebesar 2,58. Sehingga dapat diartikan bahwa nilai tersebut masih memiliki kapabilitas proses yang rendah. Perum memiliki delapan titik kritis permasalahan (CTQ) yang menjadi penyebab es menjadi cacat. Proses perbaikan pada sistem produksi es balok dan CTQ harus dilakukan secara berkelanjutan sehingga kekurangan yang terjadi dijadikan sebagai bahan evaluasi untuk perbaikan mendatang. Target yang dijadikan sasaran perbaikan perlu diformulasikan sehingga tepat pada sasaran.

2 Intan Idul Fitri Yunindari Solichin, Departemen Sosial Ekonomi Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, 2006

Analisis Manajemen Mutu Perspektif Six Sigma pada divisi Produksi Bagian Fish Fillet PT Dharma Samudera Fishing Industries Tbk Tanjung Priok Jakarta Utara.

Kinerja Divisi Produksi PT Dharma Samudera Fishing Industries Tbk komoditi fish fillet berdasarkan perspektif six sigma berada pada level 4,53 sigma untuk periode Januari 2004 hingga Juni 2005. Ini berarti kinerja produksi fish fillet dapat dikatakan cukup tinggi, terbukti dari perolehan nilai DPMO yang rendah sebesar 1.227,60 DPMO. Dengan metode DMAIC terdapat 17 CTQ pada proses pembuatan fish fillet yang dapat mempengaruhi mutu dan kuantitas fish fillet. Proses perbaikan dilakukan pada 17 CTQ yang telah ditentukan. Perbaikan berupa target kinerja yang dijadikan sasaran perbaikan sehingga apa yang dilaksanakan tepat pada sasaran. Target kinerja tersebut merupakan upaya

32

Lanjutan Tabel 3.

perbaikan yang sedang dilakukan perusahaan terutama pada divisi produksi karena pada umumnya kesalahan yang terjadi lebih bersifat teknis atau human error. Proses perbaikan bersifat berkelanjutan sehingga setiap kekurangan yang ada dapat dipahami dan dipelajari untuk perbaikan dimasa yang akan datang.

III. METODE PENELITIAN

3.1. Kerangka Pemikiran

Persaingan yang terjadi pada dunia bisnis saat ini semakin ketat

termasuk persaingan pada industri tekstil. Untuk dapat bertahan dalam

kondisi tersebut, setiap perusahaan harus memperbaiki mutu produksinya.

Perbaikan mutu produksi dapat dilakukan dengan menekan jumlah produk

yang cacat sehingga terjadi penghematan biaya produksi. Biaya yang berasal

dari produk cacat tersebut cukup besar karena produk yang cacat tersebut

tidak dapat langsung dijual ke pasar melainkan harus diperbaiki.

PT Unitex Tbk merupakan salah satu perusahaan yang terlibat dalam

persaingan yang ada pada industri tekstil. Pada tahun 2003 PT Unitex Tbk

menerima sertifikasi ISO 9001 : 2000. Hal ini menandakan bahwa mutu atau

mutu produk yang dihasilkan oleh PT Unitex Tbk sudah bagus. Namun,

perusahaan harus tetap melakukan perbaikan secara terus menerus agar mutu

produknya semakin meningkat. Salah satu cara perbaikan tersebut adalah

dengan menekan jumlah produk cacat dengan memperbaiki mutu

produksinya. Alternatif dalam pengawasan mutu adalah merancang atau

mendesain berdasarkan metode six sigma yang belum dilakuakn oleh PT

Unitex.

Six sigma merupakan salah satu cara yang dapat digunakan untuk

memperbaiki mutu produksi dengan konsep dasar DMAIC (Define, Measure,

Analyze, Improvement dan Control). Fase define digunakan untuk

menemukan permasalahan yang dihadapi oleh perusahaan. Dalam hal ini

masalah yang diangkat adalah jumlah produk cacat. Fase measure adalah

fase dimana pengukuran dilakukan dengan menghitung peluang terjadinya

kegagalan pada tiap unit (DPO/Defect Per Opportunity), kesempatan

terjadinya kegagalan pada tiap satu juta unit (DPMO/Defect Per Million

Opportunity) dan nilai sigma. Pada fase analyze dilakukan analisa terhadap

faktor-faktor penyebab masalah. Pada fase improvement dilakukan perbaikan

34

pada faktor-faktor penyebab terjadinya masalah. Fase control bertujuan

untuk mengawasi pelaksanaan perbaikan di lapangan.

Rancangan pengendalian mutu dengan menggunakan six sigma di PT

Unitex Tbk diharapakan dapat menekan biaya produksinya dan

meningkatkan mutu produknya sehingga dapat bertahan dalam persaingan.

Kerangka pemikiran disajikan dalam Gambar 4.

Gambar 4. Kerangka pemikiran penelitian

Persaingan pada industri tekstil

Peningkatan dan pengendalian mutu produksi

Penghematan biaya produksi

Peningkatan mutu produk

Keunggulan bersaing

Metode Six sigma

Kepuasan konsumen

35

Pengumpulan Dan Pengolahan Data

3.2. Tahapan Penelitian

Tahapan penelitian disajikan dalam Gambar 5.

Gambar 5. Tahapan penelitian

Analisis Data

Studi Pustaka dan Diskusi

Pra Penelitian

Identifikasi Minat Penelitian

Pemilihan Topik Penelitian

Penentuan Obyek Penelitian

Gagasan-gagasan

Rancangan Pengumpulan Data : Identifikasi kebutuhan Data, Metode Pengumpulan Data dan Pemilihan Teknik Analisis

Studi Pendahuluan

Tujuan Penelitian 1. Mengkaji karakteristik produk yang digolongkan dalam produk cacat dan penyebabnya 2. Mengkaji faktor yang berpengaruh terhadap timbulnya cacat. 3. Menetapkan solusi yang dapat diambil untuk mengurangi jumlah produk cacat pada Divisi

Spinning

Perumusan Masalah 1. Bagaimana karakteristik produk yang dikategorikan dalam produk cacat dan penyebabnya

pada Divisi Spinning? 2. Apa faktor penyebab timbulnya cacat produk pada Divisi Spinning ? 3. Bagaimana solusi yang dapat diambil untuk mengurangi jumlah produk cacat pada Divisi

Spinning ?

Pengumpulan Data Lapangan: Observasi dan Wawancara

Pengolahan data: Pengolahan Data dan Informasi

Analisis data: Analisis Data Kuantitatif dan Analisis Data Kualitatif

(berdasarkan tahapan define, measure dan analyze dalam six sigma)

Rekomendasi Solusi Pemecahan Masalah (berdasarkan tahapan improvement dan control dalam six sigma)

Kesimpulan dan Saran

36

3.3. Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data

sekunder. Data primer diperoleh dari hasil pengamatan di lapangan dan

wawancara langsung dengan responden. Responden yang dipilih berjumlah

tiga orang, yaitu : satu orang kepala Divisi Spinning, satu orang bagian

quality control yang ada pada Divisi Spinning dan satu orang karyawan yang

menangani bahan baku. Data sekunder diperoleh dari literatur yang

berkaitan dan mendukung penelitian. Data sekunder diperoleh melalui buku,

jurnal dan informasi dari internet.

3.4. Metode Pengambilan Data

Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan metode

purposive sampling. Melalui metode ini pemilihan responden (sampel)

didasarkan atas pengetahuan responden mengenai bidang pekerjaan yang

dijalankannya. Metode wawancara dilakukan dengan memberikan

pertanyaan kepada responden sesuai dengan data yang dibutuhkan.

Wawancara dilakukan untuk memperoleh penjelasan tentang sistem

perbaikan kinerja yang digunakan oleh perusahaan. Daftar pertanyaan dapat

dilihat pada Lampiran 2.

Metode purposive sampling juga digunakan untuk pengambilan sampel

benang. Benang yang digunakan sebagai sampel adalah benang tipe EC 45S

yang terbuat dari campuran 65 persen kapas dan 35 persen polyester, AC 40S

yang terbuat dari 100 persen kapas dan CVC 45/55 45S yang terbuat dari

campuran 55 persen kapas dan 45 persen polyester. Pertimbangan yang

digunakan dalam pengambilan sampel adalah waktu produksi ketiga sampel

yang berdekatan. Panjang sampel yang digunakan adalah 100 km untuk

masing-masing sampel dengan potongan benang oleh mesin yang digunakan

sebagai penghitung sepanjang 8 cm.

3.5. Metode Analisis Data

Analisis data adalah proses mengelompokkan, membuat suatu urutan,

memanipulasi data serta meningkatkan data sehingga mudah untuk dibaca.

Analisis data yang digunakan pada penelitian ini adalah analisis data

37

kualitatif dan analisis kuantitatif. Pengolahan data menggunakan program

Excel dan Minitab.

3.5.1. Analisis Data Kuantitatif

Analisis kuantitatif digunakan dengan tujuan untuk menilai

efektifitas kinerja PT Unitex melalui evaluasi terhadap kinerja

perusahaan. Analisis ini akan difokuskan pada produksi benang oleh

Divisi Spinning.

1. Analisis Defect per Opportunity (DPO)

DPO merupakan salah satu analisis yang digunakan untuk

mengukur proporsi produk cacat (defect) atas jumlah total peluang

dalam sebuah kelompok.

DPO = (Jumlah defect x Peluang cacat atau Critical to Quality) (1)

Jumlah Sampel

2. Analisis Defect per Million Opportunity (DPMO)

Ukuran-ukuran yang sering digunakan dalam menerjemahkan

defect yaitu dengan format DPMO, yang mengindikasikan berapa

banyak defect yang akan muncul dalam satu juta peluang

DPMO = DPO x 1.000.000 ………........................................…(2)

3. Ukuran sigma

Ukuran sigma merupakan ukuran yang menunjukkan

penyimpangan standar, suatu indikator dari tingkat variasi dalam

seperangkat pengukuran atau proses dengan mengkonversi nilai

dari DPMO ke dalam tabel sigma. Dengan demikian perusahaan

dapat mengetahui posisi perusahaan berada.

4. Diagram Pareto

Diagram Pareto digunakan untuk menstratifikasi data ke dalam

kelompok-kelompok dari yang paling besar sampai yang paling

kecil dan berbentuk diagram batang. Diagram Pareto membantu

perusahaan mengidentifikasi kejadian-kejadian atau penyebab

masalah secara umum.

38

5. Control chart

Pembuatan control chart secara manual menggunakan form yang

dilengkapi dengan petunjuk pemakaian dan cara penghitungan

dengan jelas sehingga dapat dengan mudah dimengerti oleh pemakai.

Data yang ada dapat digunakan untuk mengukur performa proses

kembali. Jika performa proses tidak meningkat, analisis yang

dilakukan tidak tepat dan harus didiskusikan kembali.

3.5.2. Analisis Data Kualitatif

Analisis data kualitatif yang digunakan, yaitu :

1. Input-Process-Output (IPO) Graph

IPO Graph dibuat untuk mendefinisikan proses bisnis yang

diteliti dengan mengenali hubungan variabel input dan responnya.

Dengan demikian dapat diidentifikasi dengan jelas input yang

dibutuhkan untuk menghasilkan output yang diharapkan.

2. Diagram sebab-akibat

Diagram sebab akibat dibuat untuk mengidentifikasi akar

penyebab timbulnya masalah. Dalam diagram sebab akibat yang

akan digunakan, penyebab cacat dibagi dalam empat kategori,

yaitu : manusia, mesin, bahan baku, lingkungan dan metode kerja.

Teknik yang digunakan pada masing-masing fase six sigma dalam

penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 4

Tabel 4. Teknik Analisis yang Digunakan pada Fase Six Sigma

Fase Teknik Analisis yang digunakan

Define 1. IPO Graph

2. CTQ Tree

Measure 1. DPO

2. DPMO

3. Nilai sigma

Analyze 1. Diagram Pareto

2. Diagram Ishikawa

Improvement Brainstorming

Control Control Chart

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Gambaran Umum Perusahaan

4.1.1. Sejarah, Visi dan Misi PT Unitex

PT Unitex didirikan dalam rangka Undang-Undang Penanaman

Modal Asing No. 1/1967 berdasarkan akta notaris Eliza Pondang SH,

No. 25 Tanggal 14 Mei 1971. Akta pendirian ini disahkan oleh

Menteri Kehakiman dengan Surat Keputusan No. JA.5/128/14 Tanggal

30 Juli 1971. PT Unitex mulai berproduksi secara komersil satu tahun

setelah mengalami beberapa kali perubahan, terakhir dengan akta

notaris Sulaimansyah SH, No. 50 Tanggal 15 April 1997 mengenai

perubahan anggaran dasar dan penambahan modal dasar, yang telah

mendapat persetujuan dari Menteri Kehakiman dengan Surat

Keputusan No. C2-6203.HT.01.Th 1997 Tanggal 14 Juli 1997.

PT Unitex menjadi perusahaan go public tanggal 12 Mei 1982 dan

merupakan perusahaan ke-11 yang memasuki Bursa Efek Indonesia.

Pada tanggal 26 Maret 1997 Perseroan telah mencatatkan sahamnya di

Bursa Efek Surabaya (BES) sebanyak 1.584.360 lembar atau 43,20

persen dari seluruh modal ditempatkan dan disetor penuh. Persentase

pemegang saham perusahaan adalah Unitika 44,15 persen, Marubeni

25,23 persen, Henry Onggo 9,40 persen, Tuty Angwidjaja 5,82 persen

dan Public 15,40 persen.

Visi dari PT Unitex adalah menguasai pangsa pasar kain kemeja

formal khususnya untuk yarn dyed fabric. Misi dari PT Unitex adalah

menciptakan produk unggulan kelas dunia. Lokasi pabrik dan kantor

PT Unitex berada di Bogor di Jl. Raya Tajur No.1 PO BOX 103 Bogor

16001. Luas pabrik PT Unitex di Bogor adalah seluas 150.700 m2’

PT Unitex membangun Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) di

atas tanah seluas 4000 m2 dan mampu mengelola limbah cair sebesar

5000 m3 per hari (maksimum). PT Unitex mendapat penghargaan

Program Kali Bersih (Prokasih) No. 1 di Indonesia pada tahun 1991.

40

Selain itu, PT Unitex juga mendapatkan penghargaan "Sahwali

Award" untuk tingkat Asia Pasifik sebagai penghargaan terhadap

pengusaha yang berwawasan lingkungan. Pada saat ini PT Unitex telah

mendapatkan Peringkat Hijau pada penilaian Proper Prokasih yang

dilakukan oleh Bapedal.

Proses produksi dimulai dari pemintalan (Spinning), penenunan

(Weaving), pencelupan (Dyeing Finishing). Bagian pemintalan adalah

bagian dari produksi yang melakukan proses pembuatan benang dari

bahan baku kapas dan polyester. Bagian penenunan adalah bagian

produksi yang melakukan proses pertenunan benang hingga menjadi

kain. Akan tetapi kain yang dihasilkan oleh bagian pertenunan ini

masih berupa kain mentah (Grey Cloth). Sedangkan bagian pencelupan

adalah bagian yang melakukan proses pencelupan dan penyempurnaan

dari kain mentah menjadi kain jadi (Finish Goods). Hasil produksi

perusahaan yang utama adalah Yard, Dyed dan Piece Dyed.

4.1.2. Struktur Perusahaan

Struktur Perusahaan PT Unitex dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Struktur Organisasi PT Unitex Tbk.

Direktur Pemasaran

PT Unitex Tbk

Direktur Administrasi

Bagian Umum

Kabag Departemen Produksi

Direktur Departemen Umum

Kabag Departemen Keuangan

Direktur Departemen Personalia

Divisi Spinning

Divisi Weaving

Biro Koordinasi Pusat

Divisi Dyeing

Divisi Celup Benang

Divisi Garansi Mutu

Divisi Utility

Bagian Keamanan

Bagian Kesehatan

Bagian Kendaraan

Bagian Kantin

Bagian Koperasi

Bagian Emplasement

Bagian Penjualan

41

Departemen Personalia

Departemen Personalia adalah bagian ketenagakerjaan dan

karyawan, mulai dari perekrutan karyawan, pelatihan sampai pada

pelayanan kesejahteraan karyawan. Departemen Personalia memiliki

enam bagian, yaitu bagian keamanan, kesehatan, kendaraan, kantin,

koperasi dan emplasement.

Departemen Umum

Departemen Umum mencakup kegiatan pembelian bahan baku,

peralatan maupun perlengkapan baik lokal atau impor, perijinan,

keimigrasian dan keperluan lainnya. Departemen Umum tersebut

sangat erat kaitannya dengan Departemen Keuangan terutama dalam

kegiatan pembelian. Pembelian lokal adalah pembelian untuk

kebutuhan masing-masing departemen baik yang sifatnya konsumtif,

seperti alat tulis kantor (ATK) maupun yang bersifat produktif seperti

bahan baku untuk produksi . Beberapa barang yang dibutuhkan oleh

masing-masing Departemen dapat dipesan dengan membuat Purchase

Order (P/O) yang diketahui oleh Pengawas, Kepala Bagian dan Kepala

Bagian. Pembelian impor dilakukan terutama terhadap barang-barang

berupa mesin-mesin produksi atau sparepart yang belum dapat

diproduksi dalam negeri.

Departemen Keuangan

Departemen Keuangan mencakup kegiatan pencatatan dan

akuntansi, pembayaran dan pengelolaan dokumen. Pencatatan

keuangan dan akuntansi yaitu mencatat arus kas keuangan perusahaan,

berupa arus masuk dan keluar, laporan laba/rugi dan neraca. Laporan

keuangan tersebut berguna dalam menganalisis perkembangan dan

kondisi perusahaan. Pembayaran meliputi pembayaran atas pembelian

barang-barang dan pembayaran gaji karyawan. Sedangkan pengelolaan

dokumen yaitu terutama dokumen-dokumen pembelian dan penjualan

yang akan berguna dalam pemeriksaan atau pengecekan kembali baik

oleh pihak internal atau eksternal.

42

4.1.3. Proses Produksi

Proses produksi pada PT Unitex diawali dari Divisi Spinning yang

menghasilkan benang. Kemudian diikuti oleh proses selanjutnya yaitu

Weaving (penenunan), Dyeing (pencelupan) dan Yarn Dyeing

(pencelupan benang). Gambar 7 menyajikan proses produksi

pembuatan kain pada PT Unitex.

Gambar 7. Proses Produksi PT Unitex

A. Divisi Spinning

Divisi Spinning (pemintalan) adalah bagian yang memproses

bahan baku kapas dan polyester menjadi benang. Dalam Divisi

Spinning terdapat beberapa bagian dengan tugas masing-masing,

yaitu :

1. Bagian Blowing dan Carding

Tugas bagian ini adalah memproses pembuatan benang,

Sarashi

Pencelupan

Resin/Finish

Blowing dan Carding

Combing, Drawing dan Finishing

Ring Spinning dan Finishing

Persiapan (Jumbi)

Pertenunan (Shokki)

celup benang

soft winder

Dyeing

Weaving

Celup benang

Spinning

43

Bahan baku kapas atau polyester dimasukkan dalam mesin

blowing untuk diuraikan gumpalan-gumpalan seratnya,

dibersihkan kotoran-kotorannya, dan diaduk sehingga

terjadi pencampuran yang merata antara beberapa jenis

kapas. Dari proses ini dihasilkan lap yang selanjutnya

diproses dalam mesin Carding dan menghasilkan sliver.

2. Bagian Combing, Drawing dan Finishing

Tugas bagian ini adalah melanjutkan bagian

sebelumnya yaitu melalui proses pre drawing yang

berfungsi meluruskan dan mensejajarkan serat,

memperbaiki kerataan serat dan membuat sliver dengan

berat per satuan panjang tertentu. Tugas bagian ini juga

membuat campuran antara polyester dengan kapas melalui

proses Drawing.

3. Bagian Ring Spinning dan Finishing

Tugas dari bagian ini adalah menyiapkan benang dari

hasil pemintalan dalam bentuk "Cones" dengan mesin

Mach Conner.

B. Divisi Weaving

Divisi Weaving (penenunan) adalah bagian yang memproses

benang menjadi kain. Proses ini diawali dari mempersiapkan

benang dalam bagian persiapan hingga terbentuk anyaman

benang tate yang siap masuk mesin tenun, selanjutnya diproses

dalam mesin tenun.

1. Bagian Persiapan (Jumbi)

Tugas bagian ini adalah menggulung ulang dari bentuk

Cones menjadi bentuk Hank (relling), melakukan proses

pengkajian untuk benang-benang tertentu yang perlu

dikanji, mempersiapkan benang tate pada mesin warper

dan pengkanjian benang tate yang telah tergulung pada

beam dalam mesin zising, dan membuat anyaman benang

tate pada dropper, herdo dan osa sesuai dengan desain dan

44

jenis anyaman yang diinginkan.

2. Bagian Pertenunan (Shokki)

Tugas bagian ini adalah melakukan proses pertenunan

hingga menghasilkan kain sesuai dengan yang diinginkan.

Mesin yang digunakan adalah mesin Toyoda, ISL dan AJL.

C. Divisi Dyeing

Divisi Dyeing adalah bagian pemolesan kain terhadap warna,

penampilan dan pegangan (handling). Departemen ini merupakan

bagian pemrosesan kain yang terakhir mulai dari bahan baku

kapas dan polyester sampai pada produk kain yang siap

dipasarkan.

1. Bagian Sarashi

Bagian ini merupakan gabungan unit kerja yang

mempersiapkan kain mentah (grey cloth) sampai kain

tersebut siap untuk dicelup warna sesuai dengan order.

2. Bagian Pencelupan

Tugas bagian ini adalah kain yang berasal dari bagian

persiapan (sarashi) diproses kembali melalui proses heat

setting (berfungsi untuk menstabilkan serat ester dan

menghilangkan garis-garis lipatan), Pencelupan, Resin

Finish (berfungsi untuk memperbaiki kehalusan kain) dan

Sanforized (berfungsi untuk mengurangi penyusutan kain

pada saat dibuat baju atau dicuci).

3. Bagian Resin/Finish

Tugas bagian ini adalah untuk menyempurnakan hasil

proses pencelupan dengan memberikan cairan Chemical

Resin dan proses penyusutan dengan menggunakan mesin

Sanforized

4. Bagian Hozen

Tugas bagian ini adalah mendukung kelancaran proses

produksi dibagian Dyeing dan celup benang dalam hal

memastikan bahwa semua mesin produksi dapat beroperasi

45

dengan baik. Bagian ini juga bertugas untuk melakukan

perbaikan apabila terdapat kerusakan pada mesin atau

sarana produksi lainya.

5. Bagian Laborat

Tugas bagian ini adalah untuk mencari resep-resep

pencelupan, pengujian warna dan pengujian terhadap sifat

fisik kain sesuai standar internasional.

D. Divisi Celup Benang

Divisi ini pada dasarnya merupakan bagian yang berdiri

sendiri dalam departemen Dyeing. Seluruh aktifitas mulai dari

persiapan sampai dengan pengeringan dilakukan dalam bagian

ini dan tidak terkait secara langsung dengan bagian-bagian lain.

Pada bagian celup benang ini terdapat dua bagian yaitu bagian

celup benang sendiri dan bagian soft winder.

Proses yang dilakukan pada bagian celup benang adalah

proses pencelupan benang hasil produksi bagian Spinning yang

sebelum ditenun harus dicelup terlebih dahulu. Sedangkan proses

yang dilakukan pada bagian soft winder adalah proses

penggulungan benang kembali dari hasil Spinning sehingga dapat

dilakukan proses celup pada bagian celup benang.

4.2. Proses produksi pada Divisi Spinning

4.2.1. Hasil Produksi Divisi Spinning

Divisi Spinning pada PT Unitex Tbk bertugas untuk mengolah bahan

baku kapas menjadi benang melalui proses pemintalan. Kapas yang

digunakan terdiri dari beberapa jenis yaitu kapas jenis Suplima, China,

Zimbabwe, Australia, Mesir, Ultima dan America Hotco. Selain kapas,

bahan baku lain yang digunakan adalah polyester yang merupakan

senyawa kimia. Benang yang dihasilkan oleh Divisi Spinning terbagi

menjadi dua bagian yaitu benang yang akan diolah menjadi kain dan

benang yang akan langsung dijual kepada konsumen. Benang yang akan

diolah menjadi kain tersebut melalui beberapa proses selanjutnya yaitu

proses Weaving atau penenunan dan proses Dyeing yang memoles kain

46

terhadap warna, penampilan dan pegangan (handling). Sedangkan

benang yang langsung dijual kepada konsumen melewati proses yarn

dyeing atau pencelupan benang untuk memberikan warna pada benang

yang akan dijual. Produk berupa benang umumnya dijual kepada

perusahaan tekstil dan kemudian akan diolah lagi menjadi kain oleh

perusahaan tersebut. Atau dengan kata lain benang tersebut menjadi

bahan mentah bagi perusahaan tekstil itu.

Benang yang dihasilkan oleh Divisi Spinning terbagi menjadi tiga

jenis, yaitu jenis T/C, jenis CVC dan jenis Cotton. Perbedaan antara

ketiga jenis benang ini adalah komposisi bahan yang digunakan dalam

pembuatannya. Benang jenis T/C dibuat dengan campuran 65 persen

kapas dan 35 persen polyester. Benang jenis CVC dibuat dengan

campuran 45 persen polyester dengan 55 persen kapas dan benang jenis

Cotton dibuat dari kapas 100 persen tanpa campuran polyester.

Sepanjang tahun 2005 Divisi Spinning PT Unitex Tbk telah

menghasilkan benang sebanyak 3.544.504 lbs (satuan produksi benang)

yang setara dengan 3.544.504 pon. Jumlah komposisi jenis benang yang

dihasilkan adalah 1.375.372 lbs benang jenis T/C atau sekitar 38,80

persen dari total produksi, 697.424 lbs benang jenis CVC atau sekitar

19,68 persen dari total produksi dan 1,471,708 lbs benang jenis cotton

atau sekitar 41,52 persen dari total produksi. Gambar 8 menunjukkan

komposisi hasil produksi Divisi Spinning tahun 2005.

Gambar 8. Komposisi Hasil Produksi Divisi Spinning 2005

Cotton41,52%

CVC 19,68%

T/C 38,80%

47

Hasil produksi Divisi Spinning selama satu tahun yaitu selama tahun

2005 secara detail disajikan dalam Tabel 5 dan diagram yang

menunjukkan hasil produksi digambarkan pada Gambar 10.

Tabel 5. Data Produksi Divisi Spinning PT Unitex Tbk Tahun 2005

Jenis Benang No Bulan T/C

(Lbs) CVC (Lbs)

Cotton (Lbs)

Total

1 Januari 172.632 27.036 86.088 285.7562 Februari 85.236 69.736 73.364 228.3363 Maret 81.024 68.652 134.860 284.5364 April 118.496 80.528 140.664 339.6885 Mei 92.396 80.356 91.696 264.4486 Juni 88.824 87.180 74.352 250.3567 Juli 67.676 85.040 131.684 284.4008 Agustus 142.416 34.632 138.660 315.7089 September 158.208 10.272 180.076 348.556

10 Oktober 123.060 40.052 169.124 332.23611 November 111.056 54.236 112.252 277.54412 Desember 134.348 59.704 138.888 332.940

Total Produksi 1.375.372 697.424 1.471.708 3.544.504

0

50,000

100,000

150,000

200,000

250,000

300,000

350,000

400,000

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Bulan

Jum

lah

prod

uksi

Gambar 9. Diagram Hasil Produksi Divisi Spinning Selama Tahun 2005.

Pada Gambar 9, tampak bahwa jumlah produksi Divisi Spinning

mengalami perubahan pada setiap bulan. Hal ini disebabkan oleh

perbedaan jumlah hari kerja. Selain itu juga adanya perubahan

48

permintaan produk benang yang diterima oleh Divisi Spinning. Hasil

produksi PT Unitex secara keseluruhan dapat dilihat pada Lampiran 3.

4.2.2. Proses Produksi Divisi Spinning

Produksi yang dilakukan oleh Divisi Spinning menggunakan dua

bahan baku yaitu kapas (cotton) dan polyester. Pada dasarnya proses dari

masing-masing jenis benang tidak berbeda jauh. Perbedaannya terletak

pada proses yang melalui mesin Super Lub dan Comber. Benang yang

terbuat dari polyester tidak melalui kedua mesin tersebut. Setelah

melalui mesin Pre Drawing, polyester langsung menuju ke mesin DF

Mixing.

Pada setiap mesin menghasilkan olahan yang berbeda, yaitu sliver,

lap, shinomaki yarn dan benang. Sliver adalah serat kapas yang dibentuk

gumpalan memanjang, sedangkan lap adalah gumpalan serat kapas yang

dibentuk persegi. Shinomaki yarn adalah benang mentah. Proses

produksi Divisi Spinning dapat dilihat pada Gambar 10.

49

Gambar 10. Proses Produksi Divisi Spinning

Gambar 10. Proses Produksi Divisi Spinning

Carding Carding Carding

Pre Drawing

Pre Drawing

Lap Former

Lap Former

Combing Combing

Blowing Blowing

Kapas Kapas

Pemintalan 1 Pemintalan 2

Drawing 1st, 2nd, 3rd

Drawing 1st, 2nd, 3rd

Simplex Frame

Simplex Frame

Ring Spinning

Ring Spinning

Winding Winding

Benang kapas/polyester

Benang kapas

Fungsi

• Mencampur serat • Membuka gumpalan • Membersihkan serat

• Membersihkan serat • Memisahkan serat pendek • Membentuk sliver

• Mensejajarkan serat ke arah sliver • Merangkap sliver

• Mempersiapkan bahan untuk proses pada mein comber

• Penyisiran serat • Pemisahan serat pendek dan kotoran • Pelurusan serat

• Meluruskan dan mensejajarkan serat dalam sliver ke arah sumbu

• Memperbaiki kerataan : berat/panjang, campuran dengan perangkapan

• Menyesuaikan berat sliver

• Peregangan sliver menjadi roving • Memberikan sedikit antihan (twist) • Menggulung benang pada bobin tegak

• Peregangan lanjut • Antihan lebih lanjut • Menggulung pada bobbin miring

• Menggulung benang pada cones

Polyester

Blowing

50

4.2.3. Standar Mutu Produk

PT Unitex menetapkan standar mutu untuk produk yang

dihasilkannya agar dapat memenuhi kebutuhan konsumen. Standar mutu

tersebut harus terpenuhi sebelum produk diluncurkan ke pasar. Pada

tahap finishing dilakukan pengecekan terhadap mutu produk yang

dihasilkan dan disesuaikan dengan standar.

Standar mutu masing-masing jenis benang berbeda. Penentu yang

digunakan dalam standar mutu adalah strength, U persen, E long, thin,

thick, neps dan classifault. Strength adalah kekuatan benang, E long

adalah panjang putus benang, U persen adalah kerataan benang, thin

adalah tipis benang, thick adalah tebal benang, neps adalah cacat dari

bahan baku dan classifault adalah slub dengan tingkat rendah, sedang

hingga tingkat tinggi. Lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel standar

mutu masing-masing jenis benang yang terdapat pada Lampiran 4.

Pada tahap finishing yang dilakukan dengan mesin, cacat yang

tertangkap adalah slub dengan tingkat Kegagalan rendah hingga tinggi,

thin dan thick. Hal ini terjadi karena standar mutu yang lain ditentukan

oleh ketiga jenis kegagalan tersebut, kecuali untuk penentu kekuatan.

Kegagalan dengan penentu kekuatan sangat jarang terjadi. Jenis

kegagalan dengan penentu kekutan benang tidak tertangkap mesin tetapi

terlihat pada saat benang telah digulung. Pada gulungan benang yang

kekuatannya tidak sesuai standar permukaannya tidak rata.

Suatu poduk dinyatakan cacat apabila produk tersebut tidak

memenuhi standar mutu yang telah dibuat oleh PT Unitex Tbk. Produk

yang dinyatakan cacat akan dibuang dan tidak akan diluncurkan ke pasar

ataupun diolah kembali. Hal ini disebabkan karena benang akan diputus

secara otomatis oleh mesin jika benang tersebut cacat.

4.3. Faktor- Faktor Penyebab Produk Cacat pada Divisi Spinning

Fase pada six sigma dapat digunakan untuk mengetahui faktor-faktor

penyebab produk cacat pada Divisi Spinning. Penyebab cacat dapat

diketahui dengan menggunakan fase define, measure dan analyze.

51

4.3.1. Define

Pada umumnya hampir keseluruhan proses produksi pada

PT Unitex Tbk khususnya pada Divisi Spinning dilakukan dengan

menggunakan mesin. Mulai dari proses pemintalan, pemeriksaan

produk gagal hingga penggulungan benang semuanya dilakukan

dengan mesin. Namun, pada tahap awal yaitu pada tahap pemeriksaan

dan pembersihan bahan baku dilakukan secara manual. Bahan baku

kapas diperiksa dan dibersihkan dari kotoran yang menempel serta

madu kapas karena akan mempengaruhi hasil produksi. Kotoran yang

menempel pada kapas dapat merusak benang yang dihasilkan karena

benang menjadi kotor, menggumpal atau putus. Madu kapas atau yang

biasa disebut dengan honey dew membuat kapas menggumpal dan

harus dibuang.

IPO Graph dibuat untuk mendefinisikan proses bisnis yang diteliti

dengan mengenali hubungan variabel input dan responnya. Dengan

demikian dapat diidentifikasi dengan jelas apa input yang dibutuhkan

untuk menghasilkan output yang diharapkan. IPO Graph dapat dilihat

pada Gambar 11

Gambar 11. IPO Graph

INPUT PROCESS OUTPUT

Mutu bahan baku yang baik

Pekerja yang terampil dan teliti

INPUT

Kondisi mesin dan peralatan yang baik

Setting mesin yang tepat

Metode kerja yang baik

Standar mutu yang jelas

Keseluruhan proses produksi dalam Divisi Spinning

Produk yang bebas cacat dan sesuai dengan standar mutu

52

Fase ini menggambarkan masalah yang dialami oleh perusahaan

khususnya pada Divisi Spinning. Masalah yang dihadapi oleh Divisi

Spinning adalah adanya sejumlah produk cacat yang tertangkap oleh

mesin pada tahap finishing. Kriteria produk cacat yang tertangkap

oleh mesin meliputi slub, thin dan thick. Dari kriteria tersebut terdapat

beberapa kriteria yang lebih spesifik yang mempengaruhi mutu yang

biasa disebut titik kritis mutu atau Critical To Quality (CTQ). Untuk

lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 12.

Gambar 12. CTQ Tree

Deskripsi secara jelas tentang masing-masing CTQ dapat dilihat

pada Tabel 6.

Tabel 6. Deskripsi CTQ

Kriteria CTQ Deskripsi

Small faults Terjadi Kegagalan kecil pada benang (tidak dipotong oleh mesin)

Medium faults Kegagalan tingkat sedang (dipotong oleh mesin) Slub

Big faults Benang kotor atau menggumpal (dipotong oleh mesin) + 30 % Ketebalan benang melebihi standar sebesar 30 persen Thick + 45 % Ketebalan benang melebihi standar sebesar 45 persen - 30 % Ketebalan benang kurang dari standar sebesar 30 persen Thin - 45 % Ketebalan benang kurang dari standar sebesar 45 persen

Thick

Slub

- 30 %

+ 45 %

Big faults

Medium faults

Small faults

Produk bebas cacat

TARGET CTQ PENENTU

+ 30 %

- 45 % Thin

53

Slub dengan small fault adalah benang cacat dengan sedikit

gumpalan. Benang dengan cacat ini tidak terpotong oleh mesin karena

masih berada dalam batas toleransi. Slub dengan medium dan big fault

adalah benang yang kotor dan menggumpal yang secara otomatis akan

terpotong oleh mesin. Thick 30 persen artinya adalah benang yang

ketebalannya melebihi standar ketebalan benang sebesar 30 persen.

Thick 45 persen artinya tidak jauh beda dengan thick 30 persen hanya

saja ketebalan benang tersebut melebihi standar ketebalan sebesar 45

persen. Thin 30 persen maksudnya adalah benang tersebut

ketebalannya kurang dari standar ketebalan yang telah ditentukan

sebesar 30 persen. Thin 45 persen maksudnya adalah benang tersebut

ketebalannya kurang dari standar ketebalan yang telah ditentukan

sebesar 45 persen.

4.3.2. Measures

Fase pengukuran dilakukan untuk mengetahui kinerja Divisi

Spinning PT Unitex. Pengukuran ini dilakukan dengan menghitung

jumlah produk yang cacat dan disubstitusikan ke dalam rumus six

sigma yaitu :

DPO = (jumlah produk cacat x peluang cacat atau CTQ) Jumlah sample

DPMO = DPO x 1.000.000

Jumlah produk cacat yang dihasilkan dapat diketahui dengan

mengalikan berapa kali mesin memotong benang yang cacat dengan

panjang potongan benang. Panjang potongan benang yang digunakan

adalah 8 cm. Pengambilan sampel dilakukan pada produk benang jenis

EC 45S, AC 40S serta CVC 45/55 45S masing-masing sebanyak tiga

kali.

Kegagalan yang terjadi pada benang jenis EC 45S dapat dilihat

pada Tabel 7.

54

Tabel 7. Kegagalan yang terjadi pada benang EC 45S

Kriteria Jenis Sampel

I Sampel

II Sampel

III µ Slub Small fault 866 689 794 783,0 Medium fault 9 3 8 6,7 Big fault 1 2 0 1,0Thick + 30 % 247 129 78 151,3 + 45 % 2 4 1 2,3Thin - 30 % 9 5 3 5,7 - 45 % 1 0 0 0,3

Tabel 7 menunjukkan bahwa pada rataan mesin memotong benang

EC 45S yang cacat sebanyak 6,7 kali pada slub dengan tingkat medium

fault, 1 kali pada tingkat big fault, 151,3 kali pada kegagalan thick

yang melibihi 30 persen, 2,3 kali pada kegagalan thick yang melebihi

45 persen, 5,7 kali pada thin yang kurang dari 30 persen dan 0,3 kali

pada kegagalan thin kurang dari 45 persen. Pada kegagalan slub

dengan tingkat small fault, benang tidak diputus oleh mesin karena

masih berada dalam batas toleransi. Sehingga keseluruhan mesin

memotong benang EC 445S yang cacat adalah sebanyak 167,3 kali.

Kegagalan yang terjadi pada benang jenis AC 40S dapat dilihat

pada Tabel 8.

Tabel 8. Kegagalan yang terjadi pada benang AC 40S

Tabel 8 menunjukkan bahwa pada rataan mesin memotong benang

AC 40S yang cacat sebanyak 3,6 kali pada slub dengan tingkat medium

fault, 8,6 kali pada kegagalan thick yang melibihi 30 persen, 0,3 kali

pada kegagalan thick yang melebihi 45 persen dan 0,3 kali pada thin

yang kurang dari 30 persen. Pada kegagalan slub dengan tingkat small

Kriteria Jenis Sampel

I Sampel

II Sampel

III µ Slub Small fault 428 750 486 554,66 Medium fault 2 4 4 3,6 Big fault 0 0 0 0Thick + 30 % 3 21 2 8,6 + 45 % 0 1 0 0,3Thin - 30 % 0 1 0 0,3 - 45 % 0 0 0 0

55

fault, benang tidak diputus oleh mesin karena masih berada dalam

batas toleransi.

Kegagalan yang terjadi pada benang jenis CVC 45/55 45S dapat

dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Kegagalan yang terjadi pada benang CVC 45/55 45S

T

Tabel 9 menunjukkan bahwa pada rataan mesin memotong benang

CVC 45/55 45S yang cacat sebanyak 4,3 kali pada slub dengan tingkat

medium fault, 3,3 kali pada tingkat big fault, 69,6 kali pada kegagalan

thick yang melebihi 30 persen, 5,6 kali pada kegagalan thick yang

melebihi 45 persen, 5,6 kali pada thin yang kurang dari 30 persen dan

0,6 kali pada kegagalan thin kurang dari 45 persen. Pada kegagalan

slub dengan tingkat small fault, benang tidak diputus oleh mesin

karena masih berada dalam batas toleransi.

Kegagalan rataan pada Divisi Spinning terlihat pada Tabel 10

Tabel 10. Kegagalan Rataan pada Divisi Spinning

T

Tabel 10 menunjukkan bahwa pada rataan mesin memotong

benang yang cacat pada Divisi Spinning sebanyak 4,86 kali pada slub

dengan tingkat medium fault, 1,43 kali pada tingkat big fault, 76,5 kali

Kriteria Jenis Sampel

I Sampel

II Sampel

III µ Slub Small fault 1129 1176 975 1093,3 Medium fault 4 7 2 4,3 Big fault 8 1 1 3,3Thick + 30 % 82 37 90 69,6 + 45 % 14 1 2 5,6Thin - 30 % 10 1 6 5,6 - 45 % 2 0 0 0,6

Kriteria Jenis EC 45 S AC 40S CVC45/55

445S µ Slub Small fault 783,0 554.66 1093,3 810,32 Medium fault 6,7 3,6 4,3 4,86 Big fault 1,0 0 3,3 1,43Thick + 30 % 151,3 8,6 69,6 76,5 + 45 % 2,3 0,3 5,6 2,73Thin - 30 % 5,7 0,3 5,6 3,86 - 45 % 0,3 0 0,6 0,3

56

pada kegagalan thick yang melebihi 30 persen, 2,73 kali pada

kegagalan thick yang melebihi 45 persen, 3,86 kali pada thin yang

kurang dari 30 persen dan 0,3 kali pada kegagalan thin kurang dari 45

persen. Pada kegagalan slub dengan tingkat small fault, benang tidak

diputus oleh mesin karena masih berada dalam batas toleransi.

Dari tabel dapat dilihat bahwa kegagalan sering terjadi pada

benang tipe CVC 45/55 45S. Semakin besar campuran polyester,

semakin besar frekuensi cacat yang terjadi. Pengukuran yang

dilakukan pada benang EC 45S, AC 40S dan CVC 45/55 45S dengan

menghitung hanya pada jumlah benang terpotong adalah sebanyak

89,68 kali sehingga benang yang terpotong adalah 717,44 cm atau

7,1744 m. Namun, apabila pengukuran dilakukan pada keseluruhan

benang yang cacat, maka mesin memotong benang sebanyak 900 kali.

Ini berarti bahwa panjang benang yang terbuang adalah sebanyak

7.200 cm atau 72 m.

Panjang potongan ini kemudian disubstitusikan pada rumus six

sigma dengan peluang kegagalan yang terjadi sebanyak 7 peluang

yang diperoleh dari Critical to Quality (CTQ). Maka hasil yang

diperoleh untuk benang yang terpotong oleh mesin pada Divisi

Spinning adalah

DPO = ( 7,1744 m X 7)/100.000 m

DPO = 0,000502208

Sehingga nilai DPMO yang dihasilkan adalah sebesar :

DPMO = 0.000502208 x 1.000.000

DPMO = 502,208

Dari nilai DPMO yang dihasilkan dikonversikan ke dalam nilai

sigma. Nilai sigma digunakan untuk mengukur kinerja dari Divisi

Spinning PT Unitex. Nilai sigma yang dihasilkan berada diantara nilai

sigma 400 dan 600 DPMO yaitu sebesar :

600 - 400 = 502,208 – 600 4,75 - 4,875 x – 4.75

200 = - 97.792 - 0,125 x- 4,75

57

200x – 950 = 12,224

200x = 962.224

x = 4,81

Dari hasil ini menunjukkan bahwa kinerja PT Unitex cukup bagus.

Nilai sigma 4.81 berarti bahwa kinerja PT Unitex dapat disejajarkan

dengan rataan industri di Amerika Serikat.

Apabila pengukuran dilakukan pada keseluruhan benang yang

cacat maka hasil yang diperoleh adalah :

DPO = (72 m x 7)/100.000 m

DPO = 0,00504

Sehingga nilai DPMO yang dihasilkan adalah sebesar :

DPMO = 0,00504 x 1.000.000

DPMO = 5.040

Nilai sigma yang dihasilkan berada diantara nilai sigma dengan

4.350 dan 6.200 DPMO. Nilai sigma yang dihasilkan adalah :

6.200 - 4.350 = 5.040 – 6.200

4 – 4,125 x - 4

1850 = -1160 - 0,125 x – 4

1850x – 7.400 = 145

1.850x = 7.525

x = 4,07

Apabila pengukuran dilakukan dengan menghitung keseluruhan

benang yang terpotong maka posisi Divisi Spinning PT Unitex berada

pada nilai sigma 4,07. Nilai sigma ini menunjukkan bahwa kinerja

Divisi Spinning telah berada sejajar dengan rataan industri di Amerika

Serikat dan lebih baik dari kinerja rataan industri di Indonesia.

Namun demikian, Divisi Spinning PT Unitex Tbk harus menekan

jumlah produk cacat yang dihasilkannya untuk mencapai nilai enam

sigma. Hal ini berarti perusahaan harus menekan DPMO hingga

mencapai nilai 3,4. Penghitungan dilakukan dengan mensubstitusikan

58

nilai DPMO sebesar 3,4 pada rumus DPMO.

DPMO = DPO x 1.000.000

3,4 = DPO x 1.000.000

DPO = 0,0000034

Nilai DPO sebesar 0,0000034 ini dapat digunakan untuk mencari

jumlah produk cacat yang dihasilkan untuk mencapai posisi enam

sigma. Nilai DPO ini kemudian disubstitusikan ke dalam rumus DPO

hingga diperoleh jumlah produk cacat.

DPO = ( jumlah produk cacat x peluang kegagalan ) / jumlah sampel

0,0000034 = ( jumlah produk cacat x 7 ) / 100.000 m

Jumlah produk cacat = (0,0000034 x 100.000 m) / 7

Jumlah produk cacat = 0,0486 m

Berdasarkan perhitungan jumlah produk cacat yang dihasilkannya

harus ditekan sampai mencapai 4,86 cm pada tiap 100 km produk

benang yang dihasilkannya. Apabila Divisi Spinning mampu menekan

jumlah produk cacat yang dihasilkan sesuai dengan nilai tersebut maka

Divisi Spinning PT Unitex Tbk akan berada pada posisi enam sigma.

Hal ini berarti PT Unitex akan mampu menjadi industri kelas dunia.

4.3.3. Analyze

Pada Divisi Spinning terdapat beberapa kriteria kegagalan yang

terjadi, yaitu slub, thick (ketebalan) dan thin (ketipisan).Dari kriteria

tersebut dapat dibagi lagi menjadi beberapa tingkat kegagalan. Pada

kriteria slub terdapat tiga tingkat kegagalan yaitu small fault

(kesalahan kecil), medium fault (kesalahan sedang) dan big fault

(kesalahan besar). Pada kriteria thick (ketebalan) terdapat dua tingkat

kegagalan umum yaitu produk yang dihasilkan memiliki ketebalan

lebih dari standar yang ditetapkan sebesar 30 persen dan 45 persen.

Pada kriteria thin (ketipisan) terdapat dua tingkat kegagalan umum

yaitu produk yang dihasilkan memiliki ketebalan kurang dari standar

yang ditetapkan sebesar 30 persen dan 45 persen.

Berdasarkan Tabel 7 yang menggambarkan kegagalan pada benang

EC 45S dapat digambarkan diagram pareto pada Gambar 13.

59

Jum

lah

caca

t (k

ali)

Perc

ent

ke ca ca ta nC ount

82 .4 98 .3 100 .0

783 .0 151 .3 16 .0Pe rcent 82 .4 15 .9 1 .7C um %

O the rT h ick +30%S m a ll fa u lt

1000

800

600

400

200

0

100

80

60

40

20

0

Gambar 13. Diagram Pareto Rataan Kegagalan pada Benang EC 45S

Pada Gambar 13 dapat dilihat bahwa kegagalan yang umumnya

terjadi pada benang EC 45S adalah slub pada tingkat rendah (small

fault) dan benang ini tidak dipotong oleh mesin karena masih berada

dalam batas toleransi. Kegagalan jenis small fault mendominasi

sebesar 82,4 persen. Kegagalan kedua yang sering terjadi adalah thick

30 persen yaitu benang yang ketebalannya melebihi standar sebesar 30

persen. Kegagalan jenis ini terjadi sebanyak 15,9 persen dari total

kegagalan. Persentase kumulatif dari kedua jenis kegagalan tersebut

adalah sebesar 98,3 persen. Kegagalan jenis lain hanya terjadi

sebanyak 1,7 persen.

Berdasarkan Tabel 8 yang menggambarkan kegagalan pada benang

AC 40S dapat digambarkan diagram pareto yang dapat dilihat pada

Gambar 14.

60

Jum

lah

caca

t (k

ali)

Perc

ent

kecacatanCount 554.7 12.8

Percent 97.7 2.3Cum % 97.7 100.0

OtherS m all fault

600

500

400

300

200

100

0

100

80

60

40

20

0

Gambar 14. Diagram Pareto Rataan Kegagalan pada Benang AC 40 S

Pada Gambar 14 dapat dilihat bahwa kegagalan yang pada

umumnya terjadi pada benang AC 40S adalah slub pada tingkat

rendah (small fault). Kegagalan jenis small fault terjadi sebanyak 97,7

persen dari keseluruhan kegagalan yang terjadi. Ini berarti bahwa jenis

kegagalan yang lain hanya terjadi sebanya 2,3 persen dari keseluruhan

kegagalan

Berdasarkan Tabel 9 yang menggambarkan kegagalan pada benang

CVC45/55 45S dapat digambarkan diagram pareto pada Gambar 15

Jum

lah

caca

t (k

ali)

Perc

ent

ke ca ca tanC ount

92 .5 98.4 100 .0

1093 70 19Pe rcent 92 .5 5 .9 1 .6C um %

O the rT hick +30%S m a ll fau lt

1200

1000

800

600

400

200

0

100

80

60

40

20

0

Gambar 15. Diagram Pareto Rataan Kegagalan pada benang CVC 45/55 45S

61

Pada Gambar 15 dapat dilihat bahwa kegagalan yang pada

umumnya terjadi pada benang CVC 45/55 45S adalah slub pada

tingkat rendah (small fault) dan benang ini tidak dipotong oleh mesin

karena masih berada dalam batas toleransi. Kegagalan jenis small fault

terjadi sebanyak 92,5 persen dari keseluruhan kegagalan yang terjadi.

Kegagalan kedua yang sering terjadi adalah thick 30 persen yaitu

benang yang ketebalannya melebihi standar sebesar 30 persen.

Berdasarkan Tabel 10 yang menggambarkan kegagalan rataan pada

benang yang dihasilkan oleh Divisi Spinning dapat dilihat pada

diagram pareto pada Gambar 16.

Jum

lah

caca

t (k

ali)

Perc

ent

kecaca tanCount

90.0 98.5 100.0

810.3 76.5 13.2Percent 90.0 8.5 1.5Cum %

OtherT hick +30%S m a ll fault

900

800

700

600

500

400

300

200

100

0

100

80

60

40

20

0

Gambar 16. Diagram Pareto Rataan Kegagalan pada Divisi Spinning

Diagram tersebut menggambarkan bahwa rataan kegagalan yang

dialami oleh Divisi Spinning adalah berupa slub pada tingkat rendah

(small fault) sebesar 90 persen dari keseluruhan kegagalan. Thick 30

persen atau ketebalan benang melebihi standar yang ditetapkan sebesar

30 persen yang terjadi sbesar 8,5 persen dari keseluruhan kegagalan.

Persentase kumulatif dari kedua kegagalan ini adalah sebesar 98,5

persen dan berarti kegagalan jenis lain hanya terjadi sebanyak 1,5

persen.

Kegagalan yang paling sering terjadi adalah berupa slub pada

tingkat rendah. Benang dengan kegagalan ini akan tetap diolah

62

menjadi kain. Proses lanjutan yang dilakukan terhadap benang tersebut

diharapkan dapat menutupi cacat yang ada. Kegagalan jenis lain terjadi

dengan persentase yang sangat kecil, tetapi berpengaruh terhadap biaya

produksi pada umumnya. Benang dengan kegagalan jenis lain harus

dipotong dan tidak dapat diolah lagi sehingga akan meningkatkan

biaya mutu yang harus dikeluarkan oleh perusahaan.

Produk gagal yang dihasilkan oleh Divisi Spinning PT Unitex

disebabkan oleh beberapa hal. Sebab-sebab kegagalan tersebut dapat

dijelaskan dalam diagram sebab akibat yang ada pada Gambar 17.

63

64

Berdasar diagram tulang ikan pada Gambar 17 dapat dilihat bahwa

penyebab produk cacat pada Divisi Spinning antara lain adalah :

1. Faktor manusia

Pada faktor manusia, penyebab produk cacat adalah :

a. Adanya karyawan yang tidak mengikuti standar kerja

b. Kurang terampilnya karyawan dalam bekerja

c. Adanya kekurangtelitian karyawan saat bekerja

d. Keceroboh karyawan dalam bekerja

e. Kurangnya pengalaman yang dimiliki oleh karyawan

Faktor dominan yang menjadi penyebab produk cacat adalah

kecerobohan dan kekurang telitian karyawan dalam bekerja

2. Faktor metode

Pada faktor metode, penyebab produk cacat antara lain adalah :

a. Ketidaksempurnaan proses plan drawing

b. Ketidaksempurnaan proses plan roving

c. Metode yang digunakan dalam proses produksi salah

d. Standar kerja diabaikan oleh karyawan dalam berproduksi

Faktor dominan yang menjadi penyebab produk cacat adalah

standar kerja yang diabaikan karyawan dalam berproduksi.

3. Faktor mesin

Pada faktor mesin, penyebab produk cacat antara lain adalah :

a. Setting kurang tepat sehingga proses produksi tidak

berjalan sesuai standard

b. Wire tumpul

c. Carding top plate speed

d. Top roll aus atau bengkok

e. Roll bengkok

Faktor dominan yang menjadi penyebab produk cacat adalah

setting mesin yang kurang tepat.

4. Faktor bahan baku

Pada faktor bahan baku, penyebab produk cacat adalah :

a. Kapas kotor yang menyebabkan benang hasil produksi

65

mengalami penggumpalan

b. Madu kapas yang juga menyebabkan benang mengalami

penggumpalan

Faktor dominan yang menjadi penyebab produk cacat adalah

kapas yang masih kotor

5. Faktor lingkungan

Pada faktor lingkungan, penyebab produk cacat adalah :

a. Kebersihan mesin kurang sehingga kotoran pada mesin

akan menempel pada kapas dan menybabkan benang hasil

produksi mengalami kecacatan

b. Kelembaban ruangan yang tidak sesuai standar yang akan

berpengaruh pada kekuatan benang

c. Lingkungan kerja kurang bersih yang dapat

mengakibatkan cacat benang hasil produksi dan dapat

mengganggu kesehatan karyawan

d. Suhu lingkungan yang berpengaruh pada kekuatan

benang

e. Pencahayaan ruang tes benang.

Faktor dominan yang menjadi penyebab produk cacat adalah

lingkungan kera yang kurang bersih.

4.4. Solusi Untuk Mengurangi Jumlah Produk Cacat Pada Divisi Spinning

Fase dalam six sigma yang dapat digunakan untuk menentukan solusi

pemecahan masalah adalah fase improvement dan control. Fase

improvement dapat menetapkan tindakan-tindakan untuk mengatasi masalah

yang ada dan dalam hal ini adalah adanya produk cacat yang dihasilkan oleh

Divisi Spinning PT Unitex. Sedangkan fase control digunakan untuk

memantau kegiatan yang telah dirumuskan dalam fase improvement di

lapangan. Fase control dilakukan agar hasil yang diperoleh di lapangan

sesuai dengan harapan perusahaan.

66

4.4.1. Improvement

Fase improvement berkaitan dengan penentuan dan implementasi

solusi-solusi berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan pada

tahap sebelumnya. Perbaikan dilakukan secara menyeluruh pada

setiap penyebab terjadinya masalah yaitu terjadinya produk gagal.

Perbaikan-perbaikan tersebut dilakukan pada aspek manusia, metode,

mesin, bahan baku serta lingkungan.

Aspek manusia yang dimaksudkan meliputi seluruh karyawan

baik itu pelaksana maupun penaggung jawab pada Divisi Spinning.

Aspek metode meliputi keseluruhan metode yang digunakan pada

proses produksi Divisi Spinning. Aspek mesin meliputi keseluruhan

masalah yang berhubungan dengan mesin dan peralatan yang

digunakan dalam proses produksi Divisi Spinning. Aspek material

meliputi bahan baku proses produksi yaitu kapas. Aspek lingkungan

yang dimaksud bukan hanya lingkungan kerja karyawan tetapi juga

kebersihan mesin.

Langkah-langkah perbaikan yang dilakukan oleh Divisi Spinning

dapat dilihat pada Tabel 11.

67

Tabel 11. Langkah-langkah perbaikan Divisi Spinning

Aspek Perbaikan yang Dapat Dilakukan Memberikan pendidikan dan pelatihan kepada karyawan Mengatur jadwal kerja atau shift dengan benar Manusia Memberikan sanksi yang tegas terhadap karyawan yang mengabaikan peraturan Mensosialisasikan metode kepada seluruh karyawan Mensosialisasikan standar kerja dan standar mutu kepada karyawan Melakukan inspeksi secara rutin Setiap langkah proses diteliti kembali dan dicari yang terbaik

Metode

Memberikan sanksi kepada karyawan yang mengabaikan metode dan standar kerja Melakukan pemeliharaan mesin dengan perawatan secara rutin Melakukan perbaikan dengan segera pada mesin yang mengalami kerusakan Mesin

Memeriksa setting pada setiap mesin Pemilihan material dengan mutu bagus Kombinasi bahan baku yang benar Pemisahan kotoran dilakukan dengan teliti

Bahan baku

Mengajukan klaim kepada produsen bahan baku. Membersihkan lingkungan secara teratur Menetapkan standar kebersihan untuk mesin dan lingkungan sekitar Menjaga suhu ruangan Menjaga kelembaban ruangan

Lingkungan

Menjaga pencahayaan pada ruang tes benang

1. Manusia

Pada aspek manusia perbaikan yang telah dilakukan adalah:

a. Memberikan pendidikan dan pelatihan kepada karyawan.

PT Unitex Tbk telah memiliki program pendidikan dan

pelatihan bagi karyawan secara rutin. Pelatihan dilakukan

dengan mengumpulkan karyawan untuk mempelajari

tentang produksi pada umumnya baik secara teori maupun

praktek lapangan. Program pelatihan dilakukan di dalam

dan di luar negeri secara berkelompok. Pelatihan ini

diharapkan mampu meningkatkan kinerja dan prestasi

karyawan.

b. Mengatur jadwal kerja dengan baik. Penyusunan jadwal

kerja yang benar dapat membuat karyawan bekerja dengan

68

baik, karena karyawan tidak mengalami kelelahan yang

berlebih sehingga mengurangi risiko kecerobohan dalam

bekerja.

c. Memberikan sanksi kepada karyawan yang melanggar

peraturan. Pemberian sanksi ini diharapkan dapat

mengurangi peluang karyawan melakukan kesalahan.

Sanksi dilakukan dengan memberikan Surat Peringatan

(SP) kepada karyawan yang melakukan pelanggaran.

2. Metode

Perbaikan yang dilakukan pada aspek metode antara lain adalah :

a. Mensosialisasikan metode dan standar kerja kepada seluruh

karyawan. Sosialisasi metode dan standar kerja diharapkan

karyawan lebih memperhatikan dan melaksanakan metode

dan standar kerja, sehingga mutu produk yang dihasilkan

sesuai dengan standar mutu yang diharapkan. Sosialisasi

dilakukan dengan memberikan pengarahan kepada

karyawan baru dan menempelkan metode dan standar kerja

tersebut pada papan pengumuman dan di tempat lain yang

sering dikunjungi karyawan.

b. Melakukan inspeksi secara rutin. Inspeksi secara rutin

diharapkan dapat mempertahankan kinerja yang baik dari

karyawan sehingga mutu produk yang dihasilkan dapat

terus meningkat. Inspeksi ini dilakukan oleh kepala bagian

maupun oleh kepala divisi.

c. Setiap langkah proses diteliti kembali dan dicari yang

terbaik. Pemeriksaan kembali setiap langkah produksi dan

dicari yang terbaik dapat membantu perusahaan untuk

menemukan metode baru yang dapat meningkatkan mutu

dan menekan biaya produksi.

d. Memberikan sanksi kepada karyawan yang mengabaikan

metode dan standar kerja. Pemberian sanksi kepada

karyawan yang mengabaikan metode dan standar kerja

69

dapat membantu perusahaan untuk mengurangi peluang

terjadinya pelanggaran metode dan standar kerja yang pada

akhirnya berpengaruh terhadap mutu produk yang

dihasilkan oleh perusahaan. Sanksi yang diberikan berupa

teguran dengan menggunakan Surat Peringatan.

3. Mesin

Pada aspek mesin, langkah-langkah perbaikan yang dilakukan

adalah :

a. Melakukan pemeliharaan mesin dengan perawatan secara

rutin biasanya satu bulan sekali. Pemeliharaan mesin

dengan perawatan secara rutin bertujuan untuk mengurangi

resiko kerusakan pada mesin.

b. Melakukan perbaikan dengan segera pada mesin yang

mengalami kerusakan. Perbaikan dengan segera dilakukan

terhadap mesin yang mengalami kerusakan karena

kerusakan mesin akan sangat menghambat proses produksi

c. Memeriksa setting pada setiap mesin. Pemeriksaan terhadap

setting mesin juga dilakukan karena setting yang kurang

tepat dapat mangganggu kelancaran proses produksi.

4. Bahan Baku

Langkah perbaikan yang dilakukan pada aspek bahan baku

adalah :

a. Pemilihan bahan baku dengan mutu tinggi. Hal ini

dilakukan agar mutu produk yang dihasilkan juga bagus.

b. Kombinasi bahan baku yang benar. Kombinasi bahan baku

yang benar dapat menekan biaya dan meningkatkan mutu

produk yang dihasilkan.

c. Pemisahan kotoran dilakukan dengan teliti. Langkah ini

dilakukan karena bahan yang masih kotor dapat

menurunkan mutu.

d. Mengajukan klaim kepada produsen bahan baku. Hal ini

dilakukan agar bahan baku yang diterima PT Unitex

70

memiliki mutu yang lebih baik daripada bahan baku yang

sebelumnya.

5. Lingkungan

Langkah perbaikan yang dilakukan pada aspek lingkungan

adalah :

a. Membersihkan lingkungan secara teratur. Lingkungan

dibersihkan dari debu dan kotoran, karena debu dan kotoran

berpengaruh pada benang yang dihasilkan. Kotoran yang

menempel dapat membuat benang menjadi menggumpal.

b. Menetapkan standar kebersihan untuk mesin dan

lingkungan sekitar. Standar kebersihan tersebut dapat

berguna untuk mengurangi polusi lingkungan oleh sampah

yang dapat merusak produk benang yang dihasilkan.

Standar kebersihan dapat dibuat dengan menyusun jadwal

membersihkan lingkungan beserta tugas yang harus

dilakukan, seperti menyapu ruangan dan membuang

sampah. Selain itu, karyawan yang sedang bertugas

diwajibkan untuk membuang sampah pada tempatnya agar

dapat mengurangi polusi di ruang tersebut.

c. Menjaga suhu ruangan agar tetap stabil sesuai dengan

kebutuhan produksi, yaitu 28 - 32ºC, karena suhu ruangan

yang terlalu panas atau terlalu dingin akan membuat produk

benang yang dihasilkan mutunya buruk atau bahkan rusak.

Suhu standar yang digunakan dalam proses produksi Divisi

Spinning dapat dilihat pada Lampiran 5.

d. Menjaga kelembaban ruangan sesuai standar kelembaban

yang diperlukan dalam proses produksi atau relatif humidity

yaitu sekitar 60 persen. Hal ini dilakukan karena

kelembaban ruangan sangat berpengaruh pada kekuatan

benang yang dihasilkan. Kelembaban standar yang

digunakan dalam proses produksi Divisi Spinning dapat

dilihat pada Lampiran 5.

71

e. Menjaga pencahayaan pada ruang tes benang. Pada ruang

tes tersebut dijaga agar tetap gelap dan hanya ada satu

lampu yang digunakan untuk proses pengecekan.

Pengecekan dilakukan dengan menyorot benang dengan

menggunakan lampu dalam ruang gelap. Benang yang tidak

sesuai dengan standar komposisi bahan baku akan

memantulkan warna putih yang berbeda.

Penerapan langkah-langkah perbaikan yang sedang maupun akan

dilakukan oleh PT Unitex diharapkan kinerja PT Unitex akan

semakin meningkat. Tujuan akhir yang diharapkan dapat dicapai

adalah meningkatkan kinerja hingga mencapai tingkatan enam

sigma. Langkah-langkah perbaikan ini harus terus dilakukan dan

dikembangkan agar mutu hasil produksi berupa benang yang

dihasilkan PT Unitex Tbk terus meningkat. Peningkatan mutu ini

diharapkan dapat memenuhi keinginan dan kebutuhan konsumen

sehingga loyalitas konsumen dapat dipertahankan dan pada akhirnya

akan membuat PT Unitex Tbk mampu bertahan dalam persaingan

pasar.

4.4.2. Control

Fase control bertujuan untuk terus mengevaluasi dan memonitor

hasil-hasil tahap sebelumnya atau hasil implementasi yang telah

dilakukan. Tahap ini bertujuan untuk memastikan bahwa kondisi

yang diperbaiki dapat berkesinambungan dan tidak berjalan dalam

waktu yang singkat saja.

Pada fase ini alat yang dapat digunakan adalah control chart.

Penggunaan control chart bertujuan untuk memastikan proses

terkendali dan melakukan pengukuran kinerja. Control chart dapat

digunakan untuk memonitor output proses produksi dengan

melakukan pengambilan sample pada selang waktu tertentu. Control

chart akan membantu untuk mengidentifikasi adanya variasi

penyebab khusus yang harus segera dieliminasi. Control chart yang

terbentuk dari sampel yang diambil dapat dilihat pada Gambar 18

72

Sample

Sa

mp

le M

ea

n

321

12000

9000

6000

3000

__X=7201

UC L=12085

LC L=2317

Sample

Sa

mp

le R

an

ge

321

12000

9000

6000

3000

0

_R=4774

UC L=12289

LC L=0

Xbar-R Chart of Cacat EC 45s, ..., Cacat CVC 45/55 45s

Gambar 18. Control Chart dari Sampel Produk Benang Divisi Spinning

Berdasarkan grafik di atas, terlihat bahwa benang yang

dihasilkan oleh Divisi Spinning berada dalam batas kendali. Hal ini

tampak pada titik yang berada dalam batas kendali. X Chart

memiliki garis pusat (x) sebesar 7.201 cm dengan batas atas (UCL)

12.085 cm dan batas bawah (LCL) sebesar 2.317 cm. Sedangkan R

Chart memiliki garis pusat (R) sebesar 4.774 cm dengan batas atas

(UCL) sebesar 12.289 cm dan batas bawah (LCL) sebesar 0.

Apabila sampel berada dalam batas kendali maka berarti proses

produksi terkendali dan solusi perbaikan yang telah ditetapkan dapat

terus dilanjutkan. Namun, bila sampel berada di luar batas kendali

maka pihak manajemen harus memeriksa kembali solusi perbaikan

yang ditetapkan. Penyimpangan terjadi karena solusi yang

diterapkan belum sesuai, baik itu pada aspek manusia, metode,

mesin, bahan baku maupun lingkungan.

73

4.5. Rancangan Pengendalian Mutu dengan Menggunakan Metode Six Sigma

Metode six sigma dapat digunakan untuk melakukan pengawasan mutu.

Pada PT Unitex sendiri khususnya pada Divisi Spinning belum menerapkan

metode ini untuk melakukan pengawasan pada kegiatan produksinya.

Penerapan metode six sigma pada Divisi Spinning atau pada PT Unitex pada

umumnya diharapkan dapat meningkatkan mutu produk yang dihasilkan dan

membawa dampak positif bagi keuangan perusahaan. Tabel 12 memaparkan

suatu reta perjalanan pengendalian mutu dengan menggunakan metode six

sigma yang dapat diterapkan pada Divisi Spinning atau pada divisi lainnya.

Tabel 12. Rancangan Pengawasan Mutu dengan Menggunakan Metode Six

Sigma di Divisi Spinning

Tahapan Kegiatan Penanggung Jawab Waktu Penetapan latar belakang dan tujuan umum pelaksanaan six sigma Direktur Utama 1 bulan

Sosialisasi pelaksanaan six sigma kepada seluruh karyawan Kepala divisi 3 bulan Pra/Persiapan

Pelatihan tentang six sigma kepada karyawan Kepala Divisi 3 bulan

Pembentukan kelompok kecil untuk menyelesaikan masalah (gugus kendali mutu)

Kepala Divisi 1 bulan

Identifikasi suatu masalah yang dihadapi yang dapat digunakan sebagai contoh

Ketua Kelompok Pelaksana

Penetapan tujuan akhir dan target dari penyelesaian masalah

Ketua Kelompok Pelaksana

Analisa penyebab timbulnya masalah yang sedang dihadapi

Ketua Kelompok Pelaksana

Penetapan solusi dari masalah yang dihadapi

Ketua Kelompok Pelaksana

3 bulan

Uji Coba Pelaksanaan Metode Six Sigma

Pelaksanaan solusi yang telah ditetapkan

Ketua Kelompok Pelaksana 1 tahun

Evaluasi

Penilaian dari hasil pelaksanaan solusi yang telah ditetapkan dengan dibandingkan dengan hasil yang telah ada sebelumnya

Ketua kelompok pelaksana 1 bulan

Aplikasi Penerapan metode six sigma untuk pengawasan mutu pada Divisi Spinning

Kepala Divisi -

74

Rancangan tahapan pengendalian mutu dengan menggunakan six

sigma pada Divisi Spinning adalah :

1. Tahap persiapan

Kegiatan yang dilakukan pada tahap persiapan antara lain :

a. Penetapan latar belakang dan tujuan umum pelaksanaan six

sigma

Sebelum six sigma diterapkan, terlebih dahulu ditentukan

tujuan penerapan metode tersebut beserta latar belakang

penerapannya. Penerapan metode ini memerlukan persetujuan

dari seluruh pihak dalam manajemen peusahaan. Hal ini

dilakukan agar dapat mendukung keberhasilan penerapan

metode ini dalam perusahaan..

b. Sosialisasi pelaksanaan six sigma kepada seluruh karyawan.

Six sigma memerlukan suatu dukungan dan komitmen dari

semua pihak agar dapat berjalan dengan baik. Karyawan yang

merupakan pelaksana kegiatan perusahaan harus mengetahui

metode yang dijalankan perusahaan. Sosialisasi ini dilakukan

dengan memberikan penjelasan kepada karyawan tentang six

sigma melalui seminar yang diadakan oleh pihak perusahaan.

c. Pelatihan tentang six sigma kepada karyawan.

Pelatihan kepada karyawan dilakukan dengan menugaskan

beberapa perwakilan karyawan untuk dilatih secara mendalam

tentang six sigma. Pelatihan dapat dilakukan dengan

mendatangkan trainer ke perusahaan atau mengirimkan

karyawan ke lembaga tertentu yang akan melatih mereka.

Karyawan yang akan dilatih sebaiknya dipilih karyawan yang

masih muda dan berprestasi sehingga masih memiliki banyak

peluang untuk mengembangkan ilmu yang didapatnya untuk

perusahan.

Pelatihan tidak hanya dilakukan kepada beberapa karyawan

yang terpilih saja tetapi pada seluruh karyawan. Cara yang

dapat dilakukan adalah mengirimkan karyawan untuk dilatih

75

secara bergiliran atau mendatangkan trainer secara rutin untuk

melatih karyawan yang lain.

2. Tahap uji coba

Pada tahap ini dilakukan suatu uji coba penerapan six sigma dalam

Divisi Spinning. Kegiatan yang dilakukan antara lain adalah :

a. Pembentukan kelompok kecil untuk menyelesaikan masalah.

Kelompok kecil yang biasa disebut dengan gugus kendali

mutu ini bertugas untuk menyelesaikan suatu masalah

menggunakan metode six sigma. Kelompok ini dipilih dari

beberapa orang dengan keahlian berbeda. Sehingga mereka

dapat menyelesaikan masalah dengan menggunakan beberapa

cara dan diharapkan dapat memberikan hasil terbaik bagi

perusahaan.

b. Identifikasi suatu masalah yang dihadapi yang dapat digunakan

sebagai contoh.

Langkah pertama yang dapat dilakukan kelompok kecil

yang telah terbentuk (gugus kendali mutu) adalah

mengidentifikasi masalah yang sedang dihadapi dan harus

segera diselesaikan. Misalnya, masalah yang dihadapi oleh

Divisi Spinning adalah masih ditemukannya produk cacat

dalam proses produksinya.

c. Penetapan tujuan akhir dan target dari penyelesaian masalah.

Setelah masalah diketahui, ditetapkan target dan tujuan

akhir yang diharapkan dalam penyelesaian masalah tersebut.

Kemudian setelah itu dilakukan penghitungan kemampuan

proses yang ada saat ini. Misalnya, target yang akan dicapai

adalah tingkatan enam sigma, tetapi saat ini posisi perusahaan

masih berada pada tingkatan empat sigma.

d. Analisa penyebab timbulnya masalah yang sedang dihadapi.

Masalah yang dihadapi oleh Divisi Spinning disebabkan

oleh faktor-faktor tertentu. Pada tahapan ini dilakukan analisa

terhadap keseluruhan penyebab timbulnya masalah pada Divisi

76

Spinning. Setelah itu, penyebab masalah tersebut

dikelompokkan berdasarkan beberapa kategori yang

memudahkan untuk menetapkan solusi perbaikannya.

e. Penetapan solusi dari masalah yang dihadapi.

Setelah penyebab masalah ditemukan, ditetapkan solusi

perbaikan yang dapat mengatasi masalah tersebut. Solusi

perbaikan masalah ditetapkan bagi seluruh aspek penyebab

timbulnya masalah.

f. Pelaksanaan solusi yang telah ditetapkan.

Solusi yang dihasilkan pada tahap sebelumnya diterapkan

di lapangan. Pelaksanaan ini harus terus diawasi agar selalu

sesuai dengan yang telah ditetapkan dan tidak terjadi

penyimpangan. Pelaksanaan solusi ini dilakukan selama kurang

lebih satu tahun agar hasilnya dapat terlihat.

3. Tahap evaluasi.

Tahap evaluasi dilakukan dengan menilai kapabilitas proses

setelah penerapan solusi perbaikan. Hasil yang diperoleh kemudian

dibandingkan dengan kapabilitas proses yang ada sebelum penerapan

solusi perbaikan tersebut. Apabila terjadi peningkatan kapabilitas

proses , maka solusi yang dihasilkan untuk menyelesaikan masalah

telah sesuai dan secara umum six sigma berhasil diterapkan.

4. Tahap aplikasi

Apabila tahap uji coba memberikan hasil yang baik dan sesuai

dengan harapan perusahaan, serta persiapan perusahaan untuk

menerapkan six sigma telah cukup, maka metode six sigma dapat

diterapkan untuk mengendalikan mutu produk yang dihasilkan.

Dalam pelaksanaannya, sebaiknya peusahaan memiliki konsultan

yang dapat membantu apabila perusahaan mengalami suatu kesulitan

yang berhubungan dengan penerapan metode tersebut.

KESIMPULAN DAN SARAN

1. KESIMPULAN

1. Suatu produk dinyatakan cacat apabila produk tersebut tidak sesuai

dengan standar mutu yang dimiliki perusahaan. Standar mutu masing-

masing jenis benang berbeda-beda. Suatu produk dinyatakan bebas cacat

apabila strength, U persen, E long, thin, thick, neps dan classifault dari

benang tersebut sesuai dengan standar yang ada.

2. Faktor dominan yang menyebabkan adanya produk cacat adalah faktor

manusia yang kurang teliti dan faktor bahan baku yaitu adanya madu

kapas dan kapas kotor.

3. Solusi yang digunakan untuk mengatasi masalah produk cacat pada

Divisi Spinning diterapkan pada keseluruhan faktor yang menyebabkan

produk cacat tersebut.

a. Faktor manusia : memberikan pendidikan dan pelatihan kepada

karyawan, mengatur jadwal kerja atau shift dengan benar dan

memberikan sanksi yang tegas terhadap karyawan yang

mengabaikan peraturan.

b. Faktor bahan baku : pemilihan material dengan kualitas bagus,

kombinasi bahan baku yang benar, pemisahan kotoran dilakukan

dengan teliti dan mengajukan klaim kepada produsen bahan baku.

c. Faktor metode : mensosialisasikan metode kepada seluruh

karyawan, mensosialisasikan standar kerja dan standar kualitas

kepada karyawan, melakukan inspeksi secara rutin, setiap langkah

proses diteliti kembali dan dicari yang terbaik dan memberikan

sanksi kepada karyawan yang mengabaikan metode dan standar

kerja

d. Faktor mesin : melakukan pemeliharaan mesin dengan perawatan

secara rutin, memeriksa setting pada setiap mesin dan melakukan

perbaikan dengan segera pada mesin yang mengalami kerusakan.

78

e. Faktor lingkungan : membersihkan lingkungan secara teratur,

menetapkan standar kebersihan untuk mesin dan lingkungan

sekitar, menjaga suhu ruangan, menjaga pencahayaan pada ruang

tes benang dan menjaga kelembaban ruangan.

4. Apabila sampel berada dalam batas kendali pada Control Chart maka

berarti proses produksi terkendali dan solusi perbaikan yang telah

ditetapkan dapat terus dilanjutkan. Namun, bila sampel berada di luar

batas kendali maka pihak manajemen harus memeriksa kembali solusi

perbaikan yang ditetapkan. Penyimpangan terjadi karena solusi yang

diterapkan belum sesuai, baik itu pada aspek manusia, metode, mesin,

bahan baku maupun lingkungan

2. SARAN

Saran yang dapat diberikan adalah :

1. Divisi Spining harus dapat menekan jumlah produk cacatnya mencapai

4,86 cm pada tiap 100 km produk. Apabila nilai produk cacat tersebut

dapat dicapai maka kinerja Divisi Spinning PT Unitex dapat

digolongkan pada industri kelas dunia.

2. Pelatihan yang diberikan pada karyawan baru hendaknya dilakukan

dengan memberikan pelatihan teori secara intensif terlebih dahulu baru

kemudian terjun ke lapangan. Hal ini dilakukan untuk menghindari

kecelakan kerja atau kegagalan produk karena rendahnya pengetahuan

karyawan baru terhadap teori produksi Divisi Spinning.

3. Penelitian selanjutnya hendaknya menganalisis seluruh divisi produksi

pada PT Unitex agar dapat mengetahui posisi PT Unitex dalam sigma

yang sebenarnya.

4. Uji coba pengendalian mutu dengan metode six sigma yang sudah

dirancang dan sertifikasi ISO dlakukan secara periodik.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2006. Process Improvement Tools. http://en.wikipedia.org/wiki/ Process Improvement Tools. [03 April 2007].

Anonim. 2006. Seven Basic Quality Tools. http://en.wikipedia.org/wiki/Seven

Basic Quality Tools. [03 April 2007] Anonim.2006. Statistical ProcessControl. http://en.wikipedia.org/wiki/ Statistical

process control. [24 Desember 2006] Ariani, DW. 2002. Manajemen Kualitas : Pendekatan Sisi Kualitatif. Proyek Peningkatan Penelitian Pendidikan Tinggi Direktorat Jenderal

Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional. Yogyakarta. Brue,G. 2005. Six Sigma For Managers. PT Media Global Edukasi. Jakarta. Dilana,A. 2005. Analisis Manajemen Kualitas Perspektif Six Sigma Pada Sub

Divisi Es Balok dan Perbekalan Divisi Usaha Pelayanan Kapal PerumPrasarana Perikanan Samudera Cabang Jakarta. Skripsi pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Gazpersz,V. 2003. Sistem Manajemen Kinerja Terintegrasi Balanced Scorecard

dengan Six Sigma untuk Organisasi bisnis dan Pemerintah.PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta

Goetsch,D.L and B.S.Davis. 2000.Quality Management Third Edition. Prentice

Hall. USA. Hendradi, C,T. 2006. Statistik Six Sigma dengan Minitab Panduan Cerdas Inisiatif

Kualitas. Andi. Yogyakarta. Miranda dan A.W. Tunggal. 2006. Six Sigma Gambaran Umum, Penerapan Proses

dan Metode-Metode Yang Digunakan untuk Perbaikan GE dan Motorola. Harvarindo. Jakarta

Muhandri, T dan Kadarisman,D. 2006. Sistem Jaminan Mutu Industri Pangan.

IPB Press. Bogor. Muslim, E dan E.Budiarti. 2005. Usulan Penerapan Six Sigma untuk Mengurangi

Cacat Appearance dan Tingkat Pengerjaan Ulang produk Pakaian Jadi di PT.X, Jurnal Teknologi, Edisi No.1 Tahun XIX :

Nasution, M,N. 2004. Manajemen Mutu Terpadu (Total Quality Management).

Ghalia Indonesia. Jakarta.

80

Rahardjo, J.,dkk. 2003 Peningkatan Kualitas Melalui Implementasi Filosofi Six Sigma, Jurnal Teknik Industri, Volume 5 no 2 :

Heizer and Render. 2001.Prinsip-Prinsip Manajemen Operasi. Salemba Empat.

Jakarta Russell and Taylor. 2003. Operation Management Fourth Edition. Prentice Hall,

New Jersey. Solichin, Intan.2006. Analisis Manajemen Kualitas Perspektif Six Sigma pada

divisi Produksi Bagian Fish Fillet PT Dharma Samudera Fishing Industries Tbk Tanjung Priok Jakarta Utara. Skripsi pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Sulistyadi dan S,L, Susanti. 2003. Perancangan Sistem Kerja dan Ergonomi.

Fakultas Teknik Universitas Sahid. Jakarta. Trisyulianti, E. 2005. Teknik Manajemen Kualitas [ Modul Mata Kuliah

Manajemen Mutu]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Unitex, PT. 2006. www.unitex.co.id. [24 Desember 2006]

Lampiran 1. Konversi Nilai Sigma

TABEL KONVERSI SIX SIGMA

YIELD (%)

DPMO SIGMA

94.79 52100 3.125 95.99 40100 3.25 96.96 30400 3.375 97.73 22700 3.5 98.32 16800 3.625 98.78 12200 3.75 99.12 8800 3.875 99.38 6200 4 99.565 4350 4.125 99.7 3000 4.25

99.795 2050 4.375 99.87 1300 4.5 99.91 900 4.625 99.94 600 4.75 99.96 400 4.875 99.977 230 5 99.982 180 5.125 99.987 130 5.25 99.992 80 5.375 99.997 30 5.5

99.99767 23.35 5.625 99.99833 16.7 5.75 99.999 10.05 5.875

99.99966 3.4 6

YIELD (%)

DPMO SIGMA

6.68 933200 0 8.455 915450 0.125 10.56 894400 0.25 13.03 869700 0.375 15.87 841300 0.5 19.08 809200 0.625 22.66 773400 0.75 26.595 734050 0.875 30.85 691500 1 35.435 645650 1.125 40.13 598700 1.25 45.025 549750 1.375

50 500000 1.5 54.975 450250 1.625 59.87 401300 1.75 64.565 354350 1.875 69.15 308500 2 73.405 265950 2.125 77.34 226600 2.25 80.92 190800 2.375 84.13 158700 2.5 86.97 130300 2.625 89.44 105600 2.75 91.545 84550 2.875 93.32 66800 3

Lampiran 2. Pertanyaan Wawancara

Daftar Pertanyaan Wawancara

1. Apa produk yang dihasilkan oleh Divisi Spinning ?

2. Bahan baku apa saja yang digunakan dalam proses produksi Divisi Spinning ?

3. Bagaimana pemasaran produk yang dihasilkan oleh Divisi Spining ?

4. Bagaimana proses produksi pada Divisi Spinning ?

5. Adakah standar mutu pada Divisi Spinning ?

6. Bagaimana karakteristik produk yang digolongkan sebagai produk cacat ?

7. Apakah faktor penyebab produk cacat tersebut ?

Bagaimana solusi yang diambil untuk mengurangi produk

Data Produksi PT Unitex Tbk

Tahun 2005

Jan Lbs Rp Feb Lbs Rp Mar Lbs Rp Apr Lbs Rp T/C 172.632 2.004.337.982 T/C 85.236 1.034.206.130 T/C 81.024 948.095.507 T/C 118.496 1.245.437.228 CVC 27.036 357.332.2662 CVC 69.736 938.997.764 CVC 68.652 911.013.699 CVC 80.528 966.253.617 Cotton 86.088 1.382.954.148 Cotton 73.364 1.219.557.200 Cotton 134.860 1.992.481.748 Cotton 140.664 1.884.617.083

SPINNING

Total 285.756 3.744.624.392 Total 228.336 3.192.761.094 Total 284.536 3.851.590.954 Total 339.688 4.096.308.258 WEAVING Mtr Rp Mtr Rp Mtr Rp Mtr Rp

T/C 185.404 1.147.068.198 T/C 137.374 1.007.944.151 T/C 104.207 652.008.729 T/C 61.248 355.572.598 CVC 239.524 1.721.303.538 CVC 176.336 1.373.923.915 CVC 148.704 1.061.124.645 CVC 126.144 833.336.691 Cotton 84.521 784.085.989 Cotton 81.278 822.748.523 Cotton 127.906 1.201.123.380 Cotton 105.108 819.220.975 Cotton 80/2 0 0

Cotton 80/2 0 0

Cotton 80/2 0 0

Cotton 80/2 1.403 27.711.020

PD

PD/Total 509.448 3.652.457.725 PD/Total 395.438 3.204.616.589 PD/Total 380.816 2.194.256.754 PD/Total 293.903 2.035.841.284 T/C 240.545 1.842.599.552 T/C 36.176 344.785.600 T/C 143.063 1.152.105.488 T/C 158.388 1.261.268.253 CVC 196.567 1.713.246.996 CVC 80.758 837.936.037 CVC 230.573 2.078.404.943 CVC 314.83 2.524.371.717 Cotton 61.178 759.330.421 Cotton 130.464 1.566.824.784 Cotton 171.065 1.831.058.589 Cotton 209.718 2.210.732.365 Cotton 80/2 220.000 3.834.255

Cotton 80/2 6.293 109.445.970

Cotton 80/2 19.444 303.187.595

Cotton 80/2 11.533 171.354.329

YD

YD/Total 498.510 4.319.011.224 YD/Total 253.691 2.858.992.391 YD/Total 564.144 5.364.765.615 YD/Total 694.469 6.167.726.664 Total 1.007.958 7.971.468.949 Total 649.129 6.063.608.980 Total 944.960 8.279.013.369 Total 988.37 8.203.567.948

FINISHING Jan Mtr Rp Feb Mtr Rp Mar Mtr Rp Apr Mtr Rp T/C 66.431 577.022.727 T/C 23.036 202.977.281 T/C 70.263 603.420.212 T/C 71.226 678.492.174 CVC 111.586 1.064.777.178 CVC 236.229 2.419.026.498 CVC 228.604 2.253.302.939 CVC 96.004 884.254.313 Cotton 7.575 79.739.490 Cotton 130.026 1.561.219.164 Cotton 38.392 445.833.093 Cotton 70.413 745.839.498 Cotton 80/2 0 0 Cotton 80/2 0.000 0

Cotton 80/2 0 0

Cotton 80/2 3 78.317

PD

PD/Total 185.592 1.721.53.395 PD/Total 389.292 4.183.222.943 PD/Total 337.259 3.302.556.244 PD/Total 237.645 2.308.664.302 T/C 288.289 2.577.589.120. T/C 36.461 359.977.111 T/C 137.867 1.335.903.681 T/C 157.265 1.438.566.136 CVC 139.299 1.369.500.123 CVC 136.007 1.501.495.510 CVC 190.944 1.998.283.391 CVC 338.036 3.195.975.897 Cotton 104.053 1.389.456.216 Cotton 83.186 1.180.900.684 Cotton 165.304 2.106.210.850 Cotton 236.701 2.936.337.607 Cotton 80/2 158 3.910.676 Cotton 80/2 3.848 76.845.472

Cotton 80/2 14.990 279.620.138

Cotton 80/2 13.309 223.085.087

YD

YD/Total 531.798 5.367.456.135 YD/Total 259.502 3.119.218.777 YD/Total 509.105 5.720.018.060 YD/Total 745.041 7.793.964.727 Total 717.390 7.088.995.530 Total 648.793 7.302.441.720 Total 846.364 9.022.574.304 Total 982.687 10.102.629.029

Lbs Rp Lbs Rp Lbs Rp Lbs Rp T/C 27.967 466.921.403 T/C 28.679 533.637.279 T/C 35.880 625.403.073 T/C 74.392 1.186.973.137 CVC 61.925 1.193.390.008 CVC 22.077 469.587.824 CVC 101.138 1.949.222.436 CVC 72.692 1.275.889.133 Cotton 17.769 518.684.130 Cotton 84.104 1.860.248.777 Cotton 86.784 1.866.856.945 Cotton 114.554 2.094.769.082 Cotton 80/2 581 23.548.319 Cotton 80/2 11.845 443.563.747

Cotton 80/2 7.000 263.001.749

Cotton 80/2 4.489 147.724.336

YARN DYED

Total 108.242 2.202.543.860 Total 146.705 3.307.037.627 Total 230.801 4.704.484.203 Total 266.126 4.705.382.688

Mei Lbs Rp Jun Lbs Rp Jul Lbs Rp Aug Lbs Rp T/C 92.396 1.102.043.625 T/C 88.824 1.079.264.424 T/C 67.676 751.818.312 T/C 142.416 1.481.346.521 CVC 80.356 1.083.831.986 CVC 87.180 1.203.423.529 CVC 85.040 1.090.386.518 CVC 34.632 435.806.191 Cotton 91.696 1.438.985.222 Cotton 74.352 1.255.751.393 Cotton 131.684 2.035.720.339 Cotton 138.660 2.167.509.498

SPINNING

Total 264.448 3.624.860.833 Total 250.356 3.538.439.346 Total 284.400 3.877.925.169 Total 315.708 4.084.662.210 WEAVING Mtr Rp Mtr Rp Mtr Rp Mtr Rp

T/C 32.486 190.659.381 T/C 24.410 154.637.196 T/C 39.389 228.826.634 T/C 77.096 485.047.757 CVC 109.882 817.310.401 CVC 75.606 576.313.850 CVC 322.705 2.267.794.385 CVC 300.167 2.278.245.517 Cotton 15.071 152.777.804 Cotton 60.380 552.076.870 Cotton 129.247 1.083.041.895 Cotton 51.546 454.431.839 Cotton 80/2 0 0 Cotton 80/2 0 0

Cotton 80/2 5 70.970

Cotton 80/2 0 0

PD

PD/Total 157.439 1.160.747.586 PD/Total 160.397 1.283.027.916 PD/Total 491.346 3.579.733.884 PD/Total 428.809 3.217.725.113 T/C 215.000 1.814.264.534 T/C 286.039 2.419.554.140 T/C 154.252 1.168.576.460 T/C 111.287 977.588.845 CVC 210.550 2.072.324.548 CVC 155.099 1.567.128.457 CVC 213.046 1.847.1127.410 CVC 106.207 1.024.737.316 Cotton 260.086 2.647.851.738 Cotton 215.776 2.832.116.763 Cotton 124.580 1.271.397.749 Cotton 201.264 2.233.454.030 Cotton 80/2 11.707 200.000.589 Cotton 80/2 21.510 347.392.949

Cotton 80/2 26.431 732.773.462

Cotton 80/2 3.769 73.511.233

YD

YD/Total 697.343 6.734.741.409 YD/Total 678.424 6.716.192.309 YD/Total 518.309 4.719.875.081 YD/Total 422.527 4.309.291.424 Total 854.782 7.895.488.995 Total 838.820 7.999.220.225 Total 1.009.655 8.299.608.965 Total 851.336 7.527.016.537

FINISHING Mei Mtr Rp Jun Mtr Rp Jul Mtr Rp Aug Mtr Rp

T/C 23.545 223.848.455 T/C 61.683 522.269.147 T/C 60.792 505.037.998 T/C 5.605 54.529.196 CVC 126.603 1.303.846.089 CVC 175.672 1.760.297.210 CVC 254.172 2.429.831.648 CVC 243.898 2.457.601.786 Cotton 74.635 930.054.272 Cotton 31.743 370.877.428 Cotton 100.703 1.132.054.105 Cotton 93.571 1.078.544.938 Cotton 80/2 1.358 32.077.936 Cotton 80/2 0 0

Cotton 80/2 5 83.666

Cotton 80/2 0 0

PD

PD/Total 226.141 2.489.826.752 PD/Total 269.098 2.653.443.785 PD/Total 415.673 4.067.007.417 PD/Total 343.074 3.590.675.920 T/C 193.934 1.948.593.458 T/C 309.201 3.040.240.968 T/C 163.048 1.458.562.019 T/C 108.955 1.101.442.575 CVC 184.452 2.006.751.182 CVC 192.552 2.212.241.050 CVC 220.690 2.229.467.214 CVC 111.128 1.227.082.258 Cotton 262.179 3.237.160.540 Cotton 213.874 2.725.812.378 Cotton 139.248 1.671.726.898 Cotton 185.540 2.409.967.648 Cotton 80/2 13.766 261.966.604 Cotton 80/2 9.689 184.985.171

Cotton 80/2 34.760 634.306.546

Cotton 80/2 4.200 92.421.546

YD

YD/Total 654.331 7.454.471.784 YD/Total 725.317 8.163.279.587 YD/Total 557.747 5.994.062.677 YD/Total 409.823 4.830.914.027 Total 880.472 9.944.298.536 Total 994.415 10.816.723.372 Total 973.419 10.061.070.094 Total 752.897 8.421.589.947

Lbs Rp Lbs Rp Lbs Rp Lbs Rp T/C 69.378 1.278.646.023 T/C 111.580 2.020.601.426 T/C 25.849 490.188.836 T/C 37.857 670.605.069 CVC 58.205 1.186.324.211 CVC 48.967 1.017.607.354 CVC 61.758 1.222.112.310 CVC 19.352 391.264.210 Cotton 73.156 1.590.964.554 Cotton 47.379 1.100.579.133 Cotton 55.591 1.277.312.223 Cotton 77.282 1.810.200.264 Cotton 80/2 5.946 229.109.691 Cotton 80/2 16.210 528.974.577

Cotton 80/2 5.022 176.348.136

Cotton 80/2 9.096 327.390.817

YARN DYED

Total 206.685 4.285.044.479 Total 224.137 4.667.762.490 Total 148.220 3.165.961.505 Total 143.588 3.199.460.360

Sep Lbs Rp Okt Lbs Rp Nov Lbs Rp Des Lbs Rp T/C 158.208 1.691.516.507 T/C 123.060 1.415.324.510 T/C 111.056 1.389.636.862 T/C 134.348 1.496.314.383 CVC 10.227 129.267.235 CVC 40.052 539.184.757 CVC 54.236 770.069.102 CVC 59.704 742.647.569 Cotton 180.076 2.700.879.931 Cotton 169.124 2.611.861.695 Cotton 112.252 1.796.395.379 Cotton 138.888 2.149.672.489

SPINNING

Total 348.556 4.521.663.673 Total 332.236 4.566.370.962 Total 277.544 3.956.101.343 Total 332.940 4.388.634.441 WEAVING Mtr Rp Mtr Rp Mtr Rp Mtr Rp

T/C 38.509 270.250.811 T/C 42.000 299.022.478 T/C 20.262 144.194.090 T/C 65.411 438.486.507CVC 102.805 741.245.877 CVC 125.266 891.815.011 CVC 69.568 526.746.474 CVC 71.012 516.763.238 Cotton 72.065 711.497.604 Cotton 114.143 1.061.161.625 Cotton 95.310 782.788.965 Cotton 130.489 1.183.597.474 Cotton 80/2 0 0 Cotton 80/2 1.452 21.596.417

Cotton 80/2 0 0

Cotton 80/2 0 0

PD

PD/Total 213.379 1.733.994.292 PD/Total 282.860 2.273.595.531 PD/Total 185.140 1.453.729.529 PD/Total 266.912 2.138.847.219 T/C 313.030 2.456.554.222 T/C 254.280 2.039.245.750 T/C 223.884 1.839.399.199 T/C 254.728 2.046.751.190 CVC 115.930 1.038.338.195 CVC 206.471 1.838.662.718 CVC 102.530 1.090.708.205 CVC 125.946 1.346.038.384 Cotton 230.725 2.409.190.102 Cotton 147.079 1.549.264.626 Cotton 212.825 2.274.101.154 Cotton 227.176 2.356.450.383 Cotton 80/2 39.984 490.012.350 Cotton 80/2 11.719 226.338.113

Cotton 80/2 26.376 491.036.931

Cotton 80/2 11.558 222.557.582

YD

YD/Total 699.668 6.394.094.869 YD/Total 619.549 5.653.511.207 YD/Total 565.615 5.695.245.489 YD/Total 619.408 5.971.797.539 Total 913.048 8.117.089.161 Total 902.410 7.927.106.738 Total 750.755 7.148.975.018 Total 886.32 8.110.644.758

FINISHING Sep Mtr Rp Okt Mtr Rp Nov Mtr Rp Des Mtr Rp T/C 125.61 1.218.198.304 T/C 69.526 639.061.024 T/C 31.368 332.484.793 T/C 146.551 1.413.037.829 CVC 69.477 736.344.128 CVC 79.681 814.320.572 CVC 30.717 329.471.105 CVC 185.966 1.889.084.738 Cotton 22.276 258.514.739 Cotton 42.284 533.752.670 Cotton 170.865 2.207.040.435 Cotton 61.436 662.469.997 Cotton 80/2 0.000 0 Cotton 80/2 1.416 25.718.742

Cotton 80/2 0 0

Cotton 80/2 0 0

PD

PD/Total 217.365 2.213.057.171 PD/Total 192.906 2.012.853.008 PD/Total 232.950 2.868.996.333 PD/Total 393.954 3.694.592.564 T/C 299.708 2.857.578.704 T/C 267.763 2.544.757.221 T/C 181.519 1.791.573.969 T/C 271.274 2.570.021.137 CVC 108.878 1.167.825.813 CVC 185.769 1.906.937.678 CVC 118.609 1.416.784.375 CVC 122.144 1.451.806.133 Cotton 237.844 3.043.772.695 Cotton 142.736 1.808.045.954 Cotton 201.046 2.588.418.591 Cotton 196.205 2.374.311.126 Cotton 80/2 20.311 300.296.513 Cotton 80/2 27.971 497.671.350

Cotton 80/2 21.466 448.526.231

Cotton 80/2 16.575 348.788.694

YD

YD/Total 666.741 7.369.473.725 YD/Total 624.239 6.757.412.203 YD/Total 522.641 6.245.303.166 YD/Total 606.198 6.744.927.090 Total 884.105 9.852.530.896 Total 817.145 8.770.265.211 Total 755.591 9.114.299.499 Total 1.000.151 10.709.519.564

Lbs Rp Lbs Rp Lbs Rp Lbs Rp T/C 109.203 1.861.708.295 T/C 68.810 1.248.099.117 T/C 72.412 1.423.718.914 T/C 94.357 2.096.438.999 CVC 32.972 650.091.033 CVC 43.387 847.094.295 CVC 13.263 246.665.477 CVC 48.802 928.736.554 Cotton 58.739 1.295.352.423 Cotton 94.039 1.990.509.187 Cotton 81.524 1.810.013.944 Cotton 66.206 1.401.611.547 Cotton 80/2 10.653 372.657.997 Cotton 80/2 15.944 580.345.886

Cotton 80/2 3.569 142.747.856

Cotton 80/2 3.929 147.115.170

YARN DYED

Total 211.567 4.179.809.748 Total 222.180 4.666.048.485 Total 170.795 3.623.146.191 Total 213.294 4.573.902.270

87

Lampiran 3 (lanjutan)

Total Lbs Rp T/C 1.375.372 15.639.342.320 CVC 697.424 9.168.214.229 Cotton 1.471.708 22.636.386.125

SPINNING

Total 3.544.504 47.443.942.674 WEAVING Mtr Rp

T/C 827.796 5.373.718.530 CVC 1.867.718 13.6005.923.542 Cotton 1.067.514 9.608.552.943 Cotton 80/2 2.860 49.378.407

PD

PD/Total 3.765.888 28.637.573.422 T/C 2.390.671 19.362.693.233 CVC 2.058.505 18.979.324.926 Cotton 2.191.936 23.491.772.704 Cotton 80/2 190.544 3.071.445.358

YD

YD/Total 6.831.656 64.905.236.221 Total 10.597.544 93.542.809.643

FINISHING Mtr Rp T/C 755.639 6.970.379.140 CVC 1.838.610 18.342.158.204 Cotton 843.918 10.005.939.829 Cotton 80/2 2.782 57.958.661

PD

PD/Total 3.440.949 35.376.435.834 T/C 2.415.287 23.024.806.119 CVC 2.048.506 21.711.150.624 Cotton 2.167.915 27.472.121.187 Cotton 80/2 180.773 3.352.424.028

YD

YD/Total 6.812.481 75.560.501.958 Total 10.253.430 110.936.937.792

Lbs Rp T/C 756.365 13.9002.941.571 CVC 584.535 11.377.984.845 Cotton 857.128 18.617.129.209 Cotton 80/2 94.310 3.382.528.281

YARN DYED

Total 2.292.338 47.280.583.906

Standar mutu Divisi Spinning PT Unitex Tbk tahun 2005

Strenght E Long U% Thin Thick Neps Classifault Jenis STD MIN STD MIN STD MAX STD MAX STD MAX STD MAX STD MAX

E/C 45's 265.0 238.5 8.0 7.0 12.5 13.0 15.0 20.0 35.0 55.0 76.0 99.0 427.0 595.0 6-MIN 225.0 207.0 45'STT 275.0 247.5 8.0 7.0 12.5 13.0 15.0 20.0 35.0 55.0 76.0 99.0 427.0 595.0 6-MIN 225.0 207.0 34's 360.0 324.0 9.0 8.0 11.0 11.7 4.0 7.0 10.0 21.0 47.0 62.0 315.0 375.0 6-MIN 310.0 298.0 20'S 675.0 607.5 11.0 10.0 9.3 10.0 1.0 4.0 6.0 28.0 38.0 90.0 125.0 6-MIN 610.0 579.5 17'S 800.0 720.0 12.0 11.0 8.3 8.7 1.0 1.0 3.0 10.0 15.0 81.0 125.0 6-MIN 725.0 580.0 CVC 45/55 45 240.0 216.0 7.0 6.0 12.5 13.0 10.0 15.0 35.0 45.0 80.0 99.0 450.0 595.0 6-MIN 210.0 199.5 CVC 70/30 45 220.0 198.0 6.0 5.0 12.5 12.8 15.0 20.0 45.0 50.0 80.0 99.0 495.0 595.0 6-MIN 200.0 190.0

Standar mutu Divisi Spinning PT Unitex Tbk tahun 2005

AC

50's 230.0 220.0 5.0 4.5 11.5 12.0 2.0 5.0 35.0 45.0 76.0 93.0 427.0 765.0 6MIN 210.0 200.0 40 s 230.0 207.0 5.5 4.5 11.5 12.0 3.0 5.0 25.0 30.0 76.0 90.0 405.0 637.0 6MIN 206.0 199.8 50's EGP 235.0 211.5 5.5 4.5 11.1 11.7 3.0 5.0 18.0 27.0 45.0 54.0 224.0 271.0 6MIN 210.0 200.0 40's DX 300.0 270.0 6.0 5.0 10.5 11.0 3.0 6.0 10.0 15.0 66.0 76.0 337.0 425.0 6MIN 260.0 234.0 30's 310.0 279.0 5.5 4.5 10.5 11.5 2.0 5.0 10.0 15.0 55.0 60.0 202.0 255.0 6MIN 260.0 234.0 20's 450.0 405.0 6.5 6.0 9.5 10.0 2.0 2.0 4.0 19.0 30.0 135.0 212.0 6MIN 400.0 360.0 16's 610.0 549.0 7.5 6.0 7.5 8.5 2.0 2.0 4.0 16.0 26.0 63.0 127.0 6MIN 580.0 522.0 10's 1,095.0 1,000.0 7.0 6.0 6.5 7.0 2.0 2.0 4.0 9.0 15.0 50.0 75.0 6MIN 40's PE 425.0 382.5 12.0 10.0 11.0 11.5 3.0 6.0 5.0 10.0 8.0 14.0 72.0 85.0 6MIN 375.0 337.5

90

Lampiran 5.

Suhu dan Kelembaban Standar untuk Produksi

Relatif Humidity (RH%) Suhu No Lokasi

LCL CL UCL Toleransi

1

Blowing ester

55

60

65

28-32

2

Blowing cotton

antara carding cotton no 3

55

60

65

28-32

3

Mesin comber

no 5 antara no 6

50

55 60

28-32

4

Depan mesin DF 10

belakang mesin roving no 5

55

60

65

28-32

5

Mesin roving

no 21A antara no 22A

55

60

65 28-32

6

Mesin roving

no 10A antara no 11A

55

60

65 28-32

7

Mesin roving

no 4B antara no 5B

55

60

65 28-32

8

Mesin roving

no 18 antara no 19

55

60

65

28-32

9

Mesin roving

no 6 antara no 7

55

60

65 28-32

10

Mesin comber

no 3 antara no 4

55

60

65 28-32