Putusan Mahkamah Konstitusi No. 68/PUU-XII/2014 Tentang...
Transcript of Putusan Mahkamah Konstitusi No. 68/PUU-XII/2014 Tentang...
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 68/PUU-XII/2014 Tentang Pernikahan
Beda Agama Dalam Perspektif Hukum Islam
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan
Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
ACHMAD TURMUZI
NIM 1110043200035
KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2015M / 1436 H
v
ABSTRAK
ACHMAD TURMUZI NIM 1110043200035. PUTUSAN MAHKAMAH
KONSTITUSI NO. 68/PUU-XII/2014 TENTANG PERNIKAHAN BEDA
AGAMA MENURUT PERSPEKTIF HUKUM ISLAM. Program studi
Perbandingan Madzhab Hukum Konsentrasi Perbandingan Hukum, Fakultas
Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1436H/ 2015M. xiii+55
halaman.
Penelitian ini menganalisis tentang Putusan Mahkamah Konstitusi No.
68/PUU-XII/2014 yang mana terdapat para pemohon yang ingin melakukan uji
materil ke Mahkamah Konstitusi dalam hal bertentangannya UU Perkawinan
No. 1 Tahun 1974 dengan Undang-Undang Dasar 1945. Putusan akhir dari
kasus ini adalah Penolakan Keseluruhan dari permohonan para pemohon yang
dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara ilmiah
akni dalam studi Perbandingan Madzhab Hukum, dan secara praktis maupun
akademis sebagai masukan bagi penulis bagi semua pihak yang tertarik untuk
mendalami atau menganalisis Pernikahan Beda Agama yang terdapat didalam
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 68/PUU-XII/2014.
Metode penelitian hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah
penelitian kepustakaan yang bersifat yuridis normative, yaitu penelitian yang
mengacu kepada konflik norma hukum yang terjadi pada peraturan perundang-
undangan. Kemudian dibantu dairi bahan-bahan hukum seperti buku, jurnal,
tesis dan artikel yang mendukung pembahasan penelitian.
Dari hasil analisis dan berbagai tinjauan dapat disimpulkan bahwa
Pernikahan Beda Agama tidak diakui di Negri ini maka sebab itu Mahkamah
Konstitusi menolak segala permohonan yang diajukan oleh para pemohon.
Kata Kunci : Putusan, Mahkamah Konstitusi, Pernikahan Beda Agama
Pembimbing : Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag.
Daftar Pustaka : Tahun 1981 s.d. Tahun 2010
vi
vii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah penyusun panjatkan atas kehadirat Allah swt, yang telah
melimpahkan berkah, rahmat, hidayah, dan inayah-Nya, sehingga penyusun dapat
menyelesaikan skripsi ini. Salawat dan salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada
Baginda besar Nabi Muhammad saw, untuk keluarga, para sahabat dan seluruh umat di
segala penjuru dunia, khusunya kita semua. Amin.
Peyusun merasa bahwa skripsi dengan judul “Putusan Mahkamah Konstitusi
No. 68/PUU-XII/2014 Tentang Pernikahan Beda Agama Dalam Perspektif Hukum
Islam” ini bukan merupakan karya penyusun semata, tetapi juga merupakan hasil dari
bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak. Penyusun juga merasa bahwa dalam skripsi
ini terdapat banyak kekurangan, terutama disebabkan karena keterbatasan penulis
sebagai manusia biasa, untuk itu saran dan kritikan yang membangun sangat penyusun
harapkan. Selanjutnya tidak lupa penyusun haturkan banyak terima kasih kepada semua
pihak atas segala bimbingan dan bantuan sehingga terselesaikan skripsi ini, semoga
amal baik tersebut mendapat balasan dari Allah swt. Amin Ya Robbal alamin.
viii
Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan
terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada:
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas
Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Fahmi Muhammad Ahmadi, MSi, Ketua Program Studi Perbandingan Madzhab
Hukum Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3. Hj. Siti Hanna, S.Ag, Lc.,MA, Sekretaris Jurusan Perbandingan Madzhab Hukum
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Ahmad Bisyri Abd. Somad. M, Penasehat Akademik penulis.
5. Dr. H. Muhammad Taufiki, M.ag, selaku Dosen Pembimbing skripsi yang selalu
meluangkan waktu dan perhatiannya dalam membimbing, serta memberikan
motivasi dan masukan pada penulis.
6. Dr. H. Supriyadi Ahmad, M.A dan Ahmad Bisyri Abd. Somad, M. Selaku penguji
skripsi, yang menguji dengan sangat teliti dan penuh keramahan.
7. Seluruh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negri Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu dan pengetahuannya kepada
penulis, semoga ilmu yang diberikan bermanfaat.
8. Kepala perpustakaan UIN Jakarta beserta stafnya.
9. Orang tua tercinta Papa H. Ma’muri Hasan dan Mama Hj. Ade Sylvia, yang telah
merawat dan membesarkan penulis, yang selalu memotivasi dengan penuh
ix
keikhlasan membantu penulis baik moril maupun materil, kakak-kakak dan adik
tercinta Siti Aisyah, Farah Muthia, Muhammad Idris, dan Achmad Baidowi serta
kakak-kakak ipar Bang Iam dan Bang Akmal. Yang telah memberikan motivasi dan
bimbingan selama menjalani pendidikan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
10. Arianne Meddina Syuhada, Ketulusan dan perhatiannya yang menemani penulis
saat menyusun skripsi ini tidak pernah berhenti, ketulusan memberikan motivasi dan
dukungan agar penulis tetap semangat dalam mengerjakan skripsi ini selalu ia
curahkan lewat kasih sayangnya kepada penulis. Thanks for everything my dear.
11. Sahabat-sahabat penulis Apriyanto F.W., M. Aidzbillah, Laka Ramadhan M,
Ilyas Fadhillah, Rany Putri Larasati, Ahmad Sandi, Fatimah Fajrin, Wiwin Winata,
Ramadhani, Bambang dll. Teman-teman Perbandingan Hukum. Anak-anak Bece
Kelvin, Benjo, Boby, Rejaw, Nanda, Eja, Risang, Ridho dll. Warsong Family, Beyo,
Emil, Kemal, Irvan, Edo, Bondan, Aldi, Bocil dll. Yang tidak pernah henti-hentinya
selalu memberikan semangat dan bimbingan kepada penulis dalam mengerjakan
skripsi ini.
Akhirnya penulis hanya bisa berdoa dan berharap semoga skripsi ini dapat
bermanfaat bagi penulis dan para pembaca dan semoga amal baik mereka diterima
oleh Allah swt. Amin
Jakarta, 8 Oktober 2015
Penulis
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL............……………………………..............................................i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING........…………………………………....ii
LEMBAR PERNYATAAN..…………………………………………………………iii
ABSTRAK..…………………………………………………………………………..iv
KATA PENGANTAR..................................................................................................v
DAFTAR ISI...............................................................................................................viii
BAB I:
PENDAHULUAN...............................................................................................1
A. Latar belakang Masalah...……………………………………………1
B. Perumusan dan Pembatasn Masalah......……………………………..4
C. Tujuan
penelitian..…………………………………………………………...4
D. Review Studi Terdahulu....…………………………………………..5
E. Metode penelitian….………………………………………………...6
F. Sistematika penulisan.……………………………………………….9
BAB II: TINJAUAN UMUM PERNIKAHAN BEDA AGAMA..…………...13
xi
A. Pengertian Pernikahan beda agama menurut hukum Islam...............13
B. Pengertian Pernikahan beda agama menurut hukum positif….……20
BAB III: PERNIKAHAN BEDA AGAMA DALAM PERUNDANG-
UNDANGAN INDONESIA PUTUSAN MAHKAMAH
KONSTITUSI NO. 68/PUU-XII/2014…………………………….....23
A. Kedudukan pernikahan beda agama dalam hukum Islam..………...23
B. Kedudukan pasal 2 ayat 1 UU No. 1 tahun 1974 menurut undang-
undang 1945….…………………………………………………….29
BAB IV: ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO. 68/PUU-
XII/2014 MENURUT PERSPEKTIF HUKUM ISLAM...................34
A. Gugatan Pemohon dalam perkara No. 68/PUU-XII/2014…..……...35
B. Analisis Putusan dalam perkara No. 68/PUU-XII/2014…..………..40
C. Pelarangan Nikah Beda Agama dalam tinjauan konsep maslahat….50
BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN……………………………………….52
A. Kesimpulan…..……………………………………………………..52
B. Saran..………………………………………………………………53
Lampiran
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Islam sebagai agama memandang pernikahan sebagai suatu yang sakral,
dimana sebuah pernikahan merupakan sunnah Nabi Muhammad SAW. Dalam
abad kemajuan teknologi komunikasi modern dewasa ini pergaulan manusia
tidak lagi dapat dibatasi hanya dalam suatu lingkungan masyarakat yang kecil
dan sempit seperti golongan, suku, agama dan rasnya saja, tetapi hubungan
manusia telah berkembang dengan begitu pesatnya satu dengan yang lain
sehingga menembus dinding-dinding batas golongan, suku, ras dan agamanya.
Dalam kondisi pergaulan seperti itu, maka terjadinya perkawinan antar suku,
antar ras, antar golongan, dan antar agama, bukanlah sesuatu yang mustahil
untuk terjadi.Perkawinan yang terjadi di antara seorang laki-laki dan seorang
perempuan yang masing-masing berbeda agama di Indonesia sudah sering
terjadi, terutama sekali pada masyarakat perkotaan yang heterogen.Dan
ternyata, perkawinan itu sejak dahulu sampai sekarang selalu menimbulkan
persoalan baik di bidang sosial, maupun di bidang hukum khususnya hukum
Islam.1
Dalam pandangan para ulama banyak terdapat perbedaan pendapat tentang
pernikahan beda agama. Dari madzhab Imam Malik dan Hanafiah berpendapat
1 Asmin. Status perkawinan Antar Agama Ditinjau Dari Undang-Undang Perkawinan
No. 1/1974,( Jakarta: PT Dian Rakyat 1986) h. 65
2
pernikahan beda agama haram untuk dilakukan. Pendapat itu sangat berbeda
dengan apa yang telah di kemukakan oleh Madzhab Imam Syafi‟i bahwa
wanita-wanita Ahli Kitab yang merdeka dan boleh dinikahi adalah pengikut
dua kitab yang masyhur (yakniTaurat dan Injil), dan mereka adalah Yahudi
dan Nasrani. Adapun Majusi tidak termasuk dalam golongan yang dihalal
itu.2Tetapi jika kita lihat pada masa kini sudah tidak ada ahlul kitab yang
berpegang pada kepercaya sebelumnya sebab sudah banyak pembaruan-
pembaruan yang di lakukan pada kitab injil tersebut.
Pada masa kini fenomena pernikahan beda agama atau pernikahan lintas
agama sering kita jumpai dalam masyarakat.Dan pernikahan beda agama itu
sendiri adalah perkawinan antara dua orang, pria dan wanita, yang tunduk
pada hukum yang berlainan karena beda agama.
Padahal peristiwa pernikahan sudah diatur didalam undang-undang no. 1
tahun 1974 dimana tepatnya pada pasal 2 ayat 1 mengatakan bahwa sebuah
perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya. Jika mengacu pada pasal 2 ayat 1 undang-
undang no. 1 tahun 1974 tidak ditemukan aturan yang mengatur tentang
pernikahan beda agama sehingga pernikahan yang dilakukan di Indonesia
harus dilaksanakan menurut agamanya masing-masing.
Di dalam undang tersebut memang tidak mengatur bagaimana perkawinan
beda agama, akan tetapi pada pasal 2 ayat (1) yang berbunyi perkawinan
adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
2Imam Syafi‟I Abu Abdullah Muhammad bin Idris, Ringkasan Kitab Al UMM Buku 2
(jilid 3-6)Jakart: (Pustaka Azzam Anggota IKAPI DKI Jakarta). h. 351
3
kepercayaannya.Dalam kasus yang akan di teliti penulis ini berdasarkan kasus
pada tanggal 4 september 2014 dengan perkara No. 68/PUU-XII/2014 berikut
nama-nama pemohon yang mengajukan gugatan ke mahkamah kosntitusi
sebagai berikut:
1. Damian Agata Yuvens, sebagai Pemohon I;
2. Rangga Sujud Widigda, sebagai Pemohon II;
3. Varida Megawati Simarmata, sebagai Pemohon III;
4. Anbar Jayadi, sebagai Pemohon IV;
5. Luthfi Saputra, sebagai Pemohon V.
Di dalam isi permohonan tersebut pemohon bermaksud untuk mengadakan
pengujian materiil undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan
terhadap UUD 1945.Gugatan tersebut diajukan dengan alasan sebagai berikut:
1. Pasal 2 ayat 1 undang-undang no 1 tahun 1974 melanggar hak kebebaasn
beragama selain itu pasal tersebut telah membatasi hak untuk
melangsungkan perkawinan shingga bertentangan dengan ketentuan pasal
28 B ayat 1 UUD 1945.
2. Penggugat melihat bahwa norma yang terkandung dalam pasal tersebut
dapat menimbulkan multitafsir sehingga ditakutkan akan terjadi
pertentangan antar norma yang berdampak tidak terpenuhinya hak atas
kepastian hukum yang adil.
3. Adannya sifat pemaksaan yang dilakukan oleh Negara agar tiap Negara
melangsungkan perkawinan sesuai dengan agamanya dan kepercayaannya
masing-masing.
4
Bedasarkan latar belakang diatas, maka penulis tertarik untuk mencermati dan
meneliti kasus pernikahan beda agama dengan menggunakan konsep
perbandingan dari berbagai sumber dan undang-undang yang ada. Dimana penulis
ingin mengkaji hal tertersebut dalam sebuah karya ilmiah dan kemuadian dikemas
dalam judul “Putusan Mahkamah Konstitusi No. 68/PUU-XII/2014
Tentang Pernikahan Beda Agama Dalam Perspektif Hukum Islam”
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, tema yang akan dibahas akan sangat
luas apabila dipaparkan keseluruahan di dalam skripsi ini. Maka dari itu
penulis membatasi pembahasan dalam skripsi ini. Dalam skripsi ini penulis
merumuskan masalahnya sebagai berikut :
1. Bagaimana Pandangan Hukum Islam terhadap Putusan Mahkamah
Konstitusi No. 68/ PUU-XII/2014 Tentang Pernikahan Beda Agama?
2. Bagaimana pendapat para ulama madzhab fiqih tentang pernikahan beda
agama?
Penulis juga memberikan Pembatasan Masalah sebagai berikut:
1. Nikah Beda Agama yang dibatasi hanya pada pendapat para ulama
madzhab fiqih dan kelembagaan Islam di Indonesia.
2. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 68/PUU-XII/2014 Tentang Pernikahan
Beda Agama yang berisi penolakan pernikahan beda agama
3. Hukum Islam yang berdasarkan Nash Al-Qur'an, Sunnah dan Pendapat
para Ulama Fiqih.
5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Dari rumusan masalah yang di atas, maka ada tujuan–tujuan yang hendak
di capai dari penulisan ini. Tujuan dari penulisan ini diantaranya adalah :
1. Untuk megidentifikasi alasan – alasan yang digunakan oleh pemohon
dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 68/PUU-PUU/2014
2. Untuk menjelaskan alasan–alasan yang digunakan hukum positif dan
hukum Islam dalam menyelesaikan perkara Pernikahan Beda Agama.
Adapun manfaat yang dapat diambil dari penulisan ini ialah
sebagai berikut :
a. Bagi masyarakat, adanya penelitian ini dapat memperluas wawasan
dan khazanah dalam bidang hukum yang terutama dalam bidang
penyelesaian kasus pernikahan beda agama.
b. Dengan penelitian ini kiranya bisa memberikan informasi dan
pengetahuan yang lebih bagi akademisi umum terutama dalam bidang
hukum penikahan bagaimana penerapan UU. No. 1 Tahun 1974 di
terapkan dalam sistem hukum positif maupun hukum Islam.
D. Review Studi Terdahulu
Dalam penelitian ini, penulis mencoba review (kajian) terdahulu, beberapa
hasil penelitian yang kiranya berkaitan dengan judul dan tema yang penulis
angkat untuk dijadikan penelitian. Dari beberapa hasil penelitian yang telah
penulis baca maka ada beberapa yang penulis anggap bisa di jadikan review
6
(kajian) antara lain:
1. Dalam skripsi yang berjudul “Analisis Kritis Terhadap Konsep Pemikiran
Feminis Tentang Perkawinan Beda Agama” yang ditulis oleh Anih
Robbani pada tahun 2011 prodi Ahwal Al-syakhsiyyah konsentrasi
peradilan agama. Dalam tulisannya di bahas bagaimana perkawinan beda
agama dalam Islam serta derkripsi umum tentang feminism dan yang
terakhir tentang kritik dan apresiasi terhadap perkawinan beda agama.
Tentunya di skripsi ini tidak membahas tentang analisis kasusnya.
2. Dalam skripsi yang berjudul “Perkawinan Beda Agama Implikasinya
Terhadap Keberagaman Anak” yang ditulis oleh Dalman. CAS pada tahun
2013 Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Jurusan Pendidikan Agama. Dalam
tulisannya dibahas tentang bagaimana penjelasan perkawinan beda agama
dan bagaimana pengertian dan faktor-faktor yang menentukan
perkembangan anak serta yang terakhir bagaimana bagaimana implikasi
beda agama terhadap keberagaman anak. Dalam skripsi ini tidak
dijelaskan pandangan para madzhab tentang pernikahan beda agama.
3. Dalam skripsi “Penyelundupan Hukum Dalam Praktik Pernikahan Beda
Agama (Studi Kasus di ICRP dan DKCS Provinsi DKI Jakarta)” yang
ditulis oleh Maya Ulfahsari pada tahun 2011. Program Studi Ahwal As-
Syakhsiyyah konsentrasi Peradilan Agama. Dalam tulisannya dibahas
pengertian perkawinan menurut fiqh dan hukum positif dan pengertian
beda agama menurut hukum Islam dan hukum positif serta tentang profil
yayasan Indonesia Conference on Religion and Peace.
7
Dari sekian banyak studi terdahulu yang telah penulis baca, tulisan
tersebut membahas masalah tindak pernikahan beda agama. Akan tetapi
penulis mempunyai judul dan isi yang jelas berbeda dengan studi review yang
telah dibaca oleh penulis sebelumnya. Penulis mencoba meneliti pernikahan
beda agama (analisis Putusan MK No.68/PUU-XII/2014).
E. Metode Penelitian
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata Metode mempunyai
definisi cara teratur yang digunakan untuk melaksanakan suatu pekerjaan agar
tercapai sesuai dengan yang dikehendaki. Kata penelitian secara ilmiah,
dilakukan oleh manusia, untuk menyalurkan hasrat ingin tahu yang telah
mencapai taraf ilmiah, yang disertai dengan suatu keyakinan bahwa setiap
gejala akan dapat ditelaah dan dicari hubungan sebab-akibatnya, atau
kecenderungan–kecenderungan yang timbul.3
Dalam penelitian ini, penulis mempunyai beberapa metode antara lain:
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian dengan menggunakan kajian pendekatan hukum
normatif yaitu mengumpulkan peraturan perundang–undangan dari
bidang-bidang tertentu, yang menjadi pusat perhatian dari
peneliti.Klasifikasi dapat dibuat atas dasar kronologi, bagian-bagian yang
diatur oleh peraturan tersebut, dan seterusnya.Kemudian diadakan suatu
analisa, dengan mempergunakan pengertian-pengertian dasar dari sistem
3 Soerjono soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta , cetakan ke-3, 1984, h. 3
8
hukum, analisa hanya dilakukan terhadap pasal-pasal yang isinya
merupakan kaedah (hukum).4 Penelitian hukum normatif mencakup:
5
a. Penelitian terhadap azas-azas hukum,
b. Penelitian terhadap sistematika hukum,
c. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum.
d. Penelitian perbandingan hukum.
Pada skripsi ini, penulis melakukan penelitian terhadap azas-azas
hukum, yaitu penelitian terhadap unsur-unsur hukum yang dilakukan
dengan cara hukum. Baik unsur ideal yang menghasilkan kaidah-kaidah
hukum melalui filsafat hukum, maupun dan unsur nyata yang terjadi
dimasyarakat yang menghasilkan tata hukum tertentu.6 Dalam skripsi ini
yang menjadi tumpuannya adalah peraturan perundang-undangan dan
ditopang oleh pendapat-pendapat para ahli terkait penerapan Pernikahan
beda agama.
2. Jenis dan Sumber Data
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan dua jenis
data.Data yang digunakan yaitu data Primer dan data Sekunder.Untuk
penelitian normatif data primer yang digunakan adalah undang-undang
yang di terapkan atau berlaku di Indonesia yang berkaitan dengan masalah
yang penulis kaji.Sedangkan sumber sekundernya adalah berupa komentar
dan buku-buku, dokumen-dokumen, serta artikel-artikel yang terkait.
4 Soerjono soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta , cetakan ke-3, 1984, h.. 255.
5 Ibid, h.. 51
6 Fahmi Muhammad Ahmadi dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta,
Lembaga Penelitian UIN Syarief Hidayatullah Jakarta, Desember 2010), h..31.
9
3. Teknik Pengumpulan Data
Untuk pendekatan penelitian normatif dilakukan dengan cara studi
kepustakaan. Yaitu dengan menelusuri bahan–bahan tertulis atau pustaka
yang terkait dengan judul dan masalah yang penulis teliti.Baik berupa
putusan ataupun dokumen-dokumen resmi yang di keluarkan yang terkait
dengan skripsi ini.
4. Analisis Data
Penelitian ini menggunakan content analysis, yaitu menganalisa
dengan mendeskripsikan putusan Terhadap Pernikahan Beda Agamayang
dipadukan dengan komentar-komentar dan studi kepustakaan yang terkait.
5. Teknik Penulisan
Penulisan skripsi ini menggunakan acuan dari Buku Pedoman
Penulisan Skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2012.
F. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah penulisan dalam membahas permasalahan,
penulis menyusun dengan sistematika sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Pada Bab ini penulis membahas tentang latar belakang masalah,
batasan masalah dan perumusan masalah, tujuan serta maanfaat
penelitian, review (kajian) studi terdahulu, metode penelitian, serta
10
sistematika penulisan.
BAB II PERNIKAHAN BEDA AGAMA
Pada Bab ini penulis membahas bagaimana penjelasan tentang
pernikahan beda agama menurut pandangan hukum positif dan
hukum Islam.
BAB III PERNIKAHAN BEDA AGAMA DALAM PERUNDANG-
UNDANGAN INDONESIA PUTUSAN MAHKAMAH
KONSTITUSI NO. 68/PUU-XII/2014
Kedudukan pasal 2 ayat 1 UU No. 1 tahun 1974 menurut undang-
undang 1945. Dan Kedudukan pernikahan beda agama dalam
hukum Islam
BAB IV ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO.
68/PUU-XII/2014 MENURUT PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
Pada bab ini penulis akan menganalisis gugatan yang digunakan
para pemohon dalam perkara No. 68/PUU-XII/2014 menurut
hukum Islam.
BAB V PENUTUP
Berisi tentang kesimpulan dan saran
11
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERNIKAHAN BEDA AGAMA
A. Pengertian dan Ruang lingkup Pernikahan Beda Agama Menurut
Hukum Islam
Pada hakikatnya manusia diciptakan di dunia ini berpasang-pasangan dan
membuat keturunan merupakan salah satu tujuan pernikahan, dengan melakukan
pernikahan bagi umat muslim telah melakukan salah satu sunnah Rasul-Nya.
Tujuan pernikahan itu sendiri adalah untuk membangun ikatan tali persaudaraan
keluarga juga untuk mencapai keluarga yang sakinah dan mawaddah.
Kata „nikah‟ atau „zawaj‟ yang berasal dari bahasa Arab dilihat dari makna
etimologinya (bahasa) berarti “berkumpul atau mendidih”, atau dengan ungkapan
lain bermakna “akad dan setubuh” yang secara syara‟ berarti akad pernikahan.
Secara terminologi (istilah) „nikah‟ atau „zawaj‟ adalah :
1. Akad yang mengandung kebolehan memperoleh kenikmatan biologis
dari seorang wanita dengan jalan ciuman, pelukan dan bersetubuh.
2. Akad yang ditetapkan Allah bagi seorang lelaki atas diri seorang
perempuan atau sebaliknya untuk dapat menikmati secara biologis
antara keduanya.7
Sedangkan menurut ahli ushul ada tiga golongan:
7 Ahmad Sudirman Abbas, Pengantar Pernikahan Analisa Perbandingan Antar
Madzhab. (Jakarta: PT. Prima Heza Lestari) h.1
12
1. Golongan pertama yaitu ahli ushul Hanafi mengartikan arti aslinya
bersetubuh, sedangkan arti majazi adalah akad, dimana dengannya
menjadi halal hubungan kelamin antara pria dengan wanita.
2. Golongan kedua yaitu ahli ushul Syafi‟iyah mengartikan sebaliknya,
yakni arti asalnya akad dan sedang arti majazinya bersetubuh.
3. Golongan ketiga yaitu ahli ushul Abu Hanifah mengartikan nikah itu
berkumpul antara akad dan bersetubuh.8
Dalam Kompilasi Hukum Islam dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan
perkawinan menurut hokum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat
atau Mitsaqan Ghalizan, untuk mentaati perintah Allah daln melaksanakannya
merupakan ibadah.9
Dari berbagai pengertian pernikahan diatas dapat kita simpulkan bahwa
pengertian pernikahan itu sendiri adalah intinya terjadi Akad, suatu pernikahan
harus disahkan oleh Akad. Apabila sudah terjadi Akad maka sudah berhak dari
masing-masing pasangan pria dan wanita untuk bersetubuh, karena agama sudah
menghalakan hubungan tersebut dengan melangsungkan pernikahan. Dalil atas
dasar-dasar perintah untuk melangsung pernikahan terdapat di dalam Al-qur‟an
Q.S. An-Nisa Ayat 3 dan Q.S An-Nur ayat 32 :
8 A. Basiq Djalil, Pernikahan Lintas Agama dalam perpektif fiqih dan kompilasi hokum
islam, Cet.I (Jakarta; Qalbun Salim, 2005), h.34 9 Kompilasi Hukum Islam (Hukum Perkawinan, Kewarisan dan Perwakafan). h.2
13
Artinya:
"Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim
(bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua,
tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah)
seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada
tidak berbuat aniaya". (Q.S. AN-Nisa : 3)
Artinya:
"Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak
(berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang
perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah
Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui". (Q.S. An-Nur : 32)
Pernikahan beda Agama merupakan masalah khilafiyah dalam agama
Islam, dimana terdapat macam-macam perbedaan pendapat mengenai pernikahan
beda agama tersebut. Terlepas dari itu kita sebagai umat Islam harus mentolerir
beragam berbedaan pendapat tersebut dengan cukup mencermati dan menganalisis
pendapat para ulama. Pernikahan beda agama apabila dilihat cara atau sudut
pandang fiqh terdapat riwayat dimana ada seorang sahabat Rasul yaitu Utsman bin
Affan yang mengawini wanita Yahudi Nailah binti Al-Fara Fisah yang akhirnya
wanita tersebut masuk Islam demikian juga Talhah dan Jarut bin Al-Ula. Riwayat-
14
riwayat tersebut yang dipakai alasan bagi golongan yang membolehkan laki-laki
muslim mengawini wanita ahli kitab.10
Disamping itu ada juga sahabat nabi yang
menentang kebolehan tersebut, seperti khalifah Umar bin Khattab yang mana pada
saat sahabat Rasul Talhah bin Ubaidillah dan Hudzaifah bin Al-Yamami
menta‟wilkan salah satu ayat Al-quran surat Al-maidah ayat 5 yang artinya
“Dihalalkan mengawini wanita beriman yang baik-baik dan ahl Al-Kitab yang
baik-baik”, Khalifah Umar bin Khattab marah atas takwil yang dibacakan oleh
Ubaidillah karena dianggap tidak sesuai dengan pengertian umum dari ayat dalam
surat Al-Mujadilah : 4 yang artinya “Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang
menjadikan suatu kaum yang dimurkai Allah sebagai teman/ orang-orang itu
bukan dari golongan kamu”. Dalam riwayat tersebut dinyatakan bahwa Umar
hendak memberi ganjaran kepada mereka akan tetapi mereka berdua berkata
kepada Umar “Janganlah bersedih wahai Amirul Mu‟minin kami telah
menceraikannya”. Umar berkata “Kalau halal menceraikan wanita ahli kitab
tentunya halal pula mengawininya oleh sebab itu aku akan lepaskan mereka dari
kamu sekalian.”11
Terdapat banyak kemungkinan yang dapat kita pahami dari
pernyataan Umar bin Khattab antara lain Umar melarang pernikahan beda agama
karena dalam kapasitasnya sebagai seorang Khalifah. Dan kemungkinan lainnya
Umar melarang pernikahan beda agama adalah bertujuan sebagai tindakan
preventif agar jangan sampai ada lagi orang Islam yang mengawini wanita non-
muslim atau ahl Al-Kitab.
10
A. Basiq Djalil, Pernikahan Lintas Agama dalam perpektif fiqih dan kompilasi hokum
islam, Cet.I (Jakarta; Qalbun Salim, 2005), h.38 11
A. Basiq Djalil, Pernikahan Lintas Agama dalam perpektif fiqih dan kompilasi hokum
islam, Cet.I (Jakarta; Qalbun Salim, 2005), h.40
15
Perbedaan pendapat tentang pernikahan beda agama juga terjadi di
kalangan para Imam madzhab yakni madzhab Imam Abu Hanifah, Imam Syafi‟I,
Imam Maliki, Imam Hambali yaitu sebagai berikut :
1. Mazhab Hanafi
Iman Abu Hanifah berpendapat bahwa perkawinan antara pria muslim
dengan wanita musyrik hukumnya adalah mutlak haram, tetapi membolehkan
mengawini wanitaahlu al-kitab (Yahudi dan Nasrani), yang terpenting adalah ahlu
alkitab tersebut memiliki kitab samawi. Menurut mazhab ini yang dimaksud
dengan ahlu al-kitabadalah siapa saja yang mempercayai seorang Nabi dan kitab
yang pernah diturunkan Allah SWT, termasuk juga orang yang percaya kepada
Nabi Ibrahim As dan Suhufnya dan orang yang percaya kepada nabi Musa AS dan
kitab Zaburnya, maka wanitanya boleh dikawini.
Bahkan menurut mazhab ini mengawini wanita ahlu al-kitab dzimmi atau
wanita kitabiyah yang ada di Daaral-Harbi boleh hukmnya, hanya saja menurut
mazhab ini, perkawinan dengan wanita kitabiyah yang ada di Daar al-Harbi
hukumnya makruh tahrim, karena akan membuka pintu fitnah, dan
mengandung mafasid (kerusakan-kerusakan) yang besar, sedangkan perkawinan
dengan wanita ahlu al-kitabzimmi hukumnya makruh tanzih, alasan mereka
adalah karena wanita ahlu al-kitab dzimmi ini menghalalkan minuman arak dan
menghalalkan daging babi.
2. Mazhab Maliki
Pandangan mazhab Maliki tentang hukum perkawinan beda agama ini
mempunyai dua pendapat yaitu:
16
a. Menikah dengan kitabiyah hukumnya makruh mutlak baik dzimmiyah
(wanita-wanita non muslim yang berada di wilayah atau negeri yang
tunduk pada hukum Islam) maupun harbiyah, namun makruh menikahi
wanita harbiyah lebih besar. Aka tetapi jika dikhawatirkan bahwa si isteri
yang kitabiyah ini akan mempengaruhi anak-anaknya dan meninggalkan
agama ayahnya, maka hukumnya haram.
b. Menikah dengan kitabiyah tidak makruh mutlak karena ayat tersebut tidak
melarang secara mutlak. Metodologi berpikir mazhab Maliki ini
menggunakan pendektan Sad al-Zarai‟ (menutup jalan yang mengarah
kepada kemafsadatan). Jika dikhawatirkan kemafsadatan yang akan
muncul dalam perkawinan beda agama, maka diharamkan.
3. Mazhab Syafi’i
Demikian halnya dengan mazhab Syafi‟i, juga berpendapat bahwa boleh
menikahi wanita ahlu al-kitab.Yang termasuk golongan wanita ahlu al-
kitab menurut mazhab Syafi‟i adalah wanita-wanita Yahudi dan Nasrani
keturunan orang-orang bangsa Israel dan tidak termasuk bangsa lainnya, sekalipun
termasuk penganut Yahudi dan Nasrani. Alasan yang dikemukakan mazhab ini
adalah :
a. Karena Nabi Musa AS dan Nabi Isa AS hanya diutus untuk bangsa Israel,
dan bukan bangsa lainnya.
b. Lafal min qoblikum (umat sebelum kamu) pada surat Al-Maidah ayat 5
menunjukkan kepada dua kelompok golongan Yahudi dan Nasrani bangsa
Israel.
17
Menurut mazhab ini yang termasuk Yahudi dan Nasrani adalah wanita-
wanita yang menganut agama tersebut sejak Nabi Muhammad sebelum diutus
menjadi Rasul, yaitu semenjak sebelum Al-Qur‟an diturunkan, tegasnya orang-
orang yang menganut Yahudi dan Nasrani sesudah Al-Qur‟an diturunkan tidak
termasuk Yahudi dan Nasrani kategori ahlu al-kitab, karena tidak sesuai dengan
bunyi ayat min qoblikum tersebut.
4. Mazhab Hambali.
Mazhab Hambali mengemukakan bahwa haram menikahi wanita-wanita
musyrik, dan boleh menikahi wanita Yahudi dan Narani. Mazhab ini lebih
kebanyakan pengikutnya cenderung mendukung pendapat guru Ahmad bin
Hambal, yaitu Imam Syafi‟i. Tetapi tidak membatasi, bahwa yang
termasuk ahlual-kitab adalah Yahudi dan Nasrani dari Bangsa Israel saja, tetapi
menyatakan bahwa wanita-wanita yang menganut agama Yahudi dan Nasrani
sejak saat Nabi Muhammad belum diutus menjadi Rasul.12
Dari berbagai pendapat yang dikemukakan oleh para imam madzhab dapat
kita lihat perbedaan-perbedaan yang terjadi bagaimana haram atau tidaknya
pernikahan beda agama itu sendiri, sikap kita terhadap perbedaan pendapat para
imam madzhab cukup dengan mentolerir dari masing-masing pendapat yang
dikemukakan oleh para imam tersebut.
Pandangan-pandangan lain tentang pernikahan beda agama menurut
ulama-ulama kontemporer contoh nya seperti apa yang di kemukan oleh Yusuf
Qardawi, dengan merujuk kepada pendapat jumhur bahwa hukum asal mengawini
12
Diakses pada tanggal 28 Desember 2013 dari
http://makalahhukumislamlengkap.blogspot.com/2013/12/nikah-beda-agama.html
18
wainta ahl al-kitab adalah mubah. Menurutnya, hal ini sesuai dengan Q.S. al-
Maidah (5): ayat yang membolehkannya. Setelah mengurai beberapa pendapat
para ulama tentang perkawinan ini, ia berkesimpulan bahwa pendapat jumhur
tentang kebolehan pria muslim mengawini wanita ahl al-kitab itulah yang tepat.
Qardhawi mengemukakan tiga alasan, Pertama, Q.S. al-Maidah (5): ayat 5 ini
turun belakangan daripada Q.S. al-Baqarah (2): ayat 221, oleh karena tidak
mungkin Q.S. al-Maidah (5) ayat 5 dinasakh kan oleh Q.S. al-Baqarah (2): ayat
221 kedua, Q.S. al-Mumtahanah(60); ayat10 adalah umum untuk ditakhsis oleh
Q.S. al-Maidah (5): ayat 5, ketiga, lafaz musyrik dalam Q.S. al-Baqarah (2):ayat
221 tidak mencakup lafaz ahl al-kitab sama sekali dalam bahasa al-Qur‟an. Untuk
menguatkan pendapatnya yang ketiga ini ini, ia mengemukakakan dalil dalam al-
Qur‟an yang memang membedakan keduanya seperti Q.S. al-Bayyinah (98): ayat
1. Akan tetapi, meskipun Yusuf Qardhawi membolehkan bentuk perkawinan ini,
ia kemudian memberikan syarat-syarat yang sangat ketat. Diantaranya ialah
dipastikan tidak terdapat fitnah dan madarat akibat dari perkawinan ini.
Menurutnya, apabila dapat menimbulakn madarat bagi umum, maka perkawinan
itu terlarang secara umum, dan apabila menimbulkan madarat secara khusus pada
orang atau kondisi tertentu, maka ia juga terlarang untuk orang atau kondisi
tertentu.13
B. Pernikahan Beda Agama Menurut Pandangan Hukum Positif di
Indonesia.
13
Yusuf Qardhawi, Fatwa-fatwa Mutakhir. H. 592
19
Pada dasarnya, agama-agama yang secara hukum diakui di negara
Republik Indonesia, dalam ajaran-ajarannya tidak membenarkan perkawinan
beda agama secara sah.14
Hukum perkawinan di Indonesia tidak mengatur
secara khusus mengenai perkawinan pasangan beda agama. Sah nya suatu
perkawinan diatur di dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan dimana diterangkan di dalam pasal 2 UU perkawinan sebagai
berikut:
1. Apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan
kepercayaan. Dalam penjelasan pasal 2 ayat (1) UU perkawinan
dinyatakan bahwa tidak ada perkawinan di luar hukum agamanya dan
kepercayaannya itu.
2. Perkawinan tersebut dicatat menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Ketentuan mengenai pencatatan perkawinan diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang
pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (PP
No.9/1975). Apabila perkawinan dilakukan oleh orang Islam maka
pencatatan dilakukan pleh pegawai pencatat sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 1954. Sedangkan, bagi mereka
yang melangsungkan perkawinan menurut agama dan kepercayaan di
luar agama Islam, maka pencatatan dilakukan pada Kantor Catatan
Sipil (lihat Pasal 2 PP No. 9/1975).
14
Usman Suparman, Perkawinan antar Agama dan Problematika Hukum di
Indonesia,cet.Pertama, (Semarang: Saudara, 1995), h. 50
20
Di dalam Undang-Undang tersebut memang tidak mengatur larangan
perkawinan beda agama. Tetapi, secara implisit undang-undang dengan secara
tidak langsung menyerahkan urusan perkawinan kepada masing-masing agama.
Ketidak tegasan undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan ini banyak
menjadi perdebatan bagi kalangan pakar hukum di Indonesia, diantarnya menurut
Bismar Siregar, Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tidak secara tegas mengatur
tentang Perkawinan Beda Agama, menurutnya perkawinan Beda Agama tidak
dibenarkan.15
Dan diantara yang berpendapat bahwa Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 mengatur tentang sahnya Perkawinan Beda Agama perkawinan ini
sah karena telah tercakup dalam perkawinan campuran.16
15
Bismar Siregar, Perkawinan Beda Agama Tidak Dibenarkan, (Jakarta; Pelita,1992), h.4 16
Budi Handrianto, Perkawinan Beda Agama Dalam Syariat Islam, h. 142
21
BAB III
PERNIKAHAN BEDA AGAMA DALAM PERUNDANG-UNDANGAN
INDONESIA
ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO. 68/PUU-XII/2014
A. Kedudukan Pernikahan Beda Agama Dalam Hukum Islam
Islam sebagai agama yang membawa rahmat bagi seluruh alam,
tidak hanya memuat ajaran-ajaran mengenai masalah akidah atau akhlak
semata. Tetapi, juga mengatur aspek kehidupan umat manusia yang lain
seperti hukum Islam, dalam konteks ini hukum pernikahan. Tidak semua
konteks perkawinan sudah diketahui dan dipahami dengan baik oleh setiap
umat muslim di Indonesia, contoh nya dalam kasus perkawinan beda
agama.
Perkawinan campuran atau perkawinan beda agama yang dimaksud
disini adalah perkawinan antara seorang yang beragama Islam (muslim,
muslimah) dengan non-muslim. Non-muslim (orang yang tidak beragama
Islam) secara garis besar dikelompokkan ke dalam musyrik dan Ahlu
kitab.17
Dalam konteks hukum perkawinan, ada beberapa golongan yang
status hukumnya dipandang sama dengan orang musyrik; antara lain
mulhid (atheis), murtad (orang yang keluar dari agama Islam), dan majusi
(penyembah api).18
Sedangkan Ahlu kitab yang mana kebanyakan dari
17
Maria Ulfa Anshor & Martin Lukito Sinaga, Tafsir Ulang Perkawinan Lintas Agama
Perspektif Perempuan dan Pluralisme, Jakarta; KAPAL perempuan, 2004, h. 40 18
Ibid
22
kaum wanita, sudah pernah dibahas di bab sebelumnya dimana yang
dimaksud mereka yang menganut agama samawi yang disampaikan oleh
para Nabi sebelum Muhammad SAW, serta memiliki kitab suci. Dalam
ajaran Islam (al-Qur‟an) yang dimaksud dengan Ahlu-kitab adalah
pemeluk agama Yahudi dan Nasrani.
Adapun kedudukan hukum dari masing-masing permasalahan
diatas dimulai dari perkawinan laki-laki muslim dengan wanita musyrik
atau sebaliknya, agama Islam sangat tegas melarang apabila terjadi hal
tersebut. Tercantum didalam al-Qur‟an surat al-Baqarah (2) : 221:
Artinya:
"Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya
wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. dan
janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum
mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun Dia
menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan
dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia
supaya mereka mengambil pelajaran". (Q.S. Al-Baqarah : 221)
Berdasarkan keterangan ayat diatas, perkawinan antara laki-laki
muslim dengan wanita musyrik atau sebaliknya dalam hukum Islam
hukumnya haram dan batal perkawinannya. Keharaman perkawinan ini
termasuk dalam kategori syari‟ah, bersifat mutlak, berlaku sepanjang
23
zaman dan sepanjang masa, dan tidak ada perbedaan pendapat di kalangan
para ahli hukum Islam (fuqaha). Jika perkawinan tersebut masih terjadi
dan masih tetap dilaksanakan, perkawinan tersebut tidak sah dan
dipandang tidak pernah terjadi (wujuduh ka‟adamihi), serta tidak pula
menimbulkan akibat akibat-akibat hukum perkawinan, seperti kehalalan
hubungan seksual, kewarisan, dan sebagainya.19
Sementara itu, kedudukan hukum dari perkawinan antara laki-laki
muslim dengan wanita kitabiyah (Ahlu-kitab) yang mana itu pemeluk
agama Yahudi dan Nasrani pada dasarnya adalah boleh atau sah dan
dihalalkan. Pernyataan ini berdasarkan pada firman Allah surat al-Ma‟idah
(5): 5 :
Artinya:
"Pada hari ini Dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang yang
diberi Al kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan Dihalalkan
mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-
wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al kitab sebelum kamu, bila
kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud
berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman
19
Maria Ulfa Anshor & Martin Lukito Sinaga, Tafsir Ulang Perkawinan Lintas Agama
Perspektif Perempuan dan Pluralisme, Jakarta; KAPAL perempuan, 2004, h. 42
24
(tidak menerima hukum-hukum Islam) Maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat Termasuk
orang-orang merugi". (Q.S. Al-Maidah : 5)
Pada prinsipnya pandangan para ulama mengenai hal ini terpola
kepada tiga pendapat:
a. Pertama, melarang secara mutlak. Sebagian ulama melarang secara
mutlak pernikahan antara muslim dan non-Muslim, baik yang
dikategorikan musyrik maupun ahlu kitab dan larangan itu berlaku
baik bagi perempuan maupun muslim maupun laki-laki muslim.
b. Kedua, membolehkan secara bersyarat. Sejumlah ulama membolehkan
pernikahan laki-laki muslim dan perempuan non-muslim dengan syarat
perempuan non-muslim itu dari kelompok ahlu kitab, tetapi tidak
sebaliknya.
c. Ketiga, membolehkan pernikahan antara muslim dan non-muslim dan
kebolehan itu berlaku untuk laki-laki dan perempuan. Dalam al-Fiqh
al-Islamy wa Adillatuh, Wahbah al-Zuhaili menulis “ Ulama sepakat
atas bolehnya perkawinan laki-laki muslim dengan perempuan „ahli
kitab‟. Dasarnya adalah surah Al-Maidah ayat 4. Beberapa orang
sahabat Nabi menikahi perempuan ahl al-kita contohnya Utsman bin
Affan menikahi Nailah binti al Farafishah yang Nasrani.20
Dari ketiga pendapat tersebut yang menjadi bahan perdebatan
adalah pendapat ketiga dimana perndapat tersebut dengan jelas
membolehkan tanpa syarat pernikahan beda agama dan atas dasar nash
20
Ahmad Baso & Ahmad Nurcholish, Pernikahan Beda Agama kesaksian, Argumendan
analisis kebijakan, Jakarta, KOMNAS HAM, h. 204.
25
al-Qur‟an. Mengenai soal ini, al-Juzairi punya pandangan sendiri,
sebagai mana dikemukakan dalam karyanya, al-Fiqh ala al-Madzahib
al-Arba‟ah. Menurutnya, “Ayat ini menunjukkan halalnya laki-laki
muslim menikahi perempuan ahlu kitab berdasarkan „nash‟ (teks
eksplisit), meskipun perempuan tersebut mengatakan, „Al-Masih (Isa)
adalah „ilah (tuhan‟ atau „tsalitsu tsalatsah‟ (satu dari tiga oknum),
padahal itu musyrik, Allah membolehkannya karena mereka
(perempuan) menganut agama langit dan mempunyai kitab suci”.21
Nilai yang tersirat dari pendapat al-Juzairi yang berpendapat
pernikahan itu boleh karena ada sejumlah persamaan prinsip antara dua
agama itu; pengakuan akan adanya Tuhan, keimanan kepada para
utusan Tuhan, dan kepercayaan pada hari akhir. Beberapa prinsip ini
menurutnya dapat menjamin “istiqomah” (stabilnya) kehidupan
pernikahan mereka.
Kompilasi Hukum Islam menjelaskan bagaimana Perkawinan Beda
Agama sebaiknya dihindarkan diatur didalam pasal 40 huruf c dan
pasal 44 secara eksplisit mengatur tentang larangan perkawinan antara
laki-laki muslim dengan wanita non-muslim dan wanita muslim
dengan laki-laki non-muslim. Pasal 40 huruf c Kompilasi Hukum
Islam menyatakan sebagai berikut:
Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan
seorang wanita karena keadaan tertentu;
21
Ibid
26
a) karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan
denganpria lain;
b) seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria
lain;
c) seorang wanita yang tidak beragama Islam.
Pasal 40 huruf c di atas secara eksplisit melarang terjadinya
perkawinan antara laki-laki (muslim) dengan wanita non-muslim
(baik Ahl al-Kitab maupun non Ahl al-Kitab). Jadi pasal ini
memberikan penjelasan bahwa wanita non-muslim apapun agama yang
dianutnya tidak boleh dinikahi oleh laki-laki yang beragama Islam.
Sedangkan pasal 44 menyatakan sebagai berikut:
Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan
seorang pria yang tidak beragama Islam.22
Sementara itu dikalangan ulama-ulama Indonesia termasuk
didalamnya yaitu salah satu fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI)
sangat tegas memberikan argumen tentang pernikahan beda agama.
Melalui fatwanya yang dikeluarkan pada 1 Juni 1980 MUI (Majelis
Ulama Indonesia) yaitu sebagai berikut :
1. Perkawinan wanita muslimah dengan pria non-Muslim adalah
haram hukumnya;
2. Seorang laki-laki Muslim di haramkan mengawini wanita
bukan Muslim.
22
Kompilasi Hukum Islam (Hukum Perkawinan, Kewarisan dan Perwakafan). h. 8
27
Tentang antara laki-laki dengan wanita ahli kitab terdapat
perbedaan pendapat. Setelah mempertimbangkan bahwa mafsadat-nya
lebih besar daripada maslahatnya, Majelis Ulama Indonesia (MUI)
memfatwakan perkawinan tersebut hukumnya haram.23
Selanjutnya
dalam MUNAS MUI tahun 2005 Majelis Ulama Indonesia
menegaskan kembali pelarangan pernikahan beda agam yang berisi:
“Perkawinan Beda Agama adalah haram dan tidak sah.”
“Perkawinan laki-laki Muslim dengan wanita Ahlu Kitab, menurut
qaul mu‟tamad adalah haram [dan] tidak sah.”24
B. Kedudukan pasal 2 ayat 1 UU No. 1 tahun 1974 menurut undang-
undang 1945.
Bagi suatu Negara dan Bangsa seperti Indonesia adalah mutlak
adanya Undang-Undang Perkawinan Nasional yang sekaligus menampung
prinsip-prinsip dan memberikan landasan hukum perkawinan yang selama
ini menjadi pegangan dan telah berlaku bagi berbagai golongan dalam
masyarakat kita. Dalam undang-undang ini ditentukan prinsip-prinsip atau
azas-azas mengenai perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan
dengan perkawinan yang telah disesuaikan dengan perkembangan dan
tuntutan zaman.
Adapun penjelasan azas-azas atau prinsip yang tercantum dalam
undang-undang ini adalah sebagai berikut :
23
Majelis Ulama Indonesia, Himpunan dan Keputusan Fatwa Majlis Ulama Indonesia
(Jakarta: Sekertariat Majelis Ulama Indonesia Masjid Istiqlal,1995), h. 91 24
Fatwa MUI nomor 4/MUNAS VII/MUI/8/2005 tentang Perkawinan Beda Agama.
28
a. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan
kekal, untuk itu suami dan istri perlu saling membantu dan
melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan
kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan
materiil.
b. Dalam undang-undang ini dinyatakan, bahwa suatu perkawinan adalah
sah bilamana dilakukan menurut hukum agamanya dan kepercayaan
masing-masing. Dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan tiap-
tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-
peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, missal nya kelahiran,
kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akte
resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan.
c. Undang-undang ini menganut azas monogami. Hanya apabila
dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari
yang bersangkutan mengizinkannya, seorang suami dapat beristeri
lebih dari seorang. Namun demikian perkawinan seorang suami
dengan lebih dari seorang istri, meskipun hal itu dikehendaki oleh
pihak-pihak yang bersangkutan, hanya dapat dilakukan apabila
dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh pengadilan.
d. Undang-undang ini menganut prinsip, bahwa calon suami istri itu
harus matang jiwa dan raganya untuk dapat melangsungkan
perkawinan agar supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara
29
baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik
dan sehat.
e. Karena tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia
kekal dan sejahtera, maka undang-undang ini menganut prinsip untuk
mempersukar terjadinya perceraian.
f. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan han dan kedudukan
suami baik dalam kehidupan rumah-tangga maupun dalam pergaulan
masyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga
dapat dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami.25
Dari azas-azas diatas yang paling menjadi perbincangan bagi
kalangan ahli-ahli hukum yaitu point dimana syarat sah nya perkawinan
bila dilangsungkan menurut agama dan kepercayaannya masing-masing,
itu merupakan isi dari UU No.1 tahun 1974 pasal 2 ayat 1. Selanujutanya
kita menilik lebih jauh makna dari pasal 2 ayat 1 dalam Undang-Undang
Perkawinan No. 1 Tahun 1974. Menurut Soenarto Soerodibroto S.H.
(dalam tulisannya di salah satu surat kabar Harian Kompas 1 Oktober
1975) berpendapat “ kata “dan” dalam pasal 2 ayat 1 UUP itu berarti
kumulatif”, maksudnya perkawinan adalah sah apabila dilaksanankan
menurut agama dan kepercayaan, yang berarti bahwa apabila hanya
dilakukan menurut agamanya saja perkawinan itu belum sah.26
Penafsiarnnya berdasarkan gramatikal dari bunyi pasal tersebut . Pendapat
25
Drs. H. Saidus Syahar, S.H., Undang-undang Perkawinan dan Masalah
Pelaksanaannya,Bandung, Alumni, 1981, h. 135-136 26
Drs. H. Saidus Syahar, S.H., Undang-undang Perkawinan dan Masalah
Pelaksanaannya,Bandung, Alumni, 1981, h. 25
30
tersebut di bahas dan ditentang oleh Drs. K.H. Hasbullah Bakry S.H.(juga
dalam surat kabar yang sama pada tanggal 29 Oktober 1975) berpendapat
“ kata “dan” dalam pasal 2 ayat 1 UUP itu tidak berarti kumulatif
melainkan alternatif. Maksudnya pernikahan sah apabila memenuhi syarat-
syarat rukun Hukum Perkawinan Fiqih Islam, tanpa tatacara adat apapun
telah dianggap sah.27
Pada dasarnya, hukum perkawinan di Indonesia tidak mengatur
secara khusus mengenai perkawinan pasangan beda agama. Perkawinan
yang sah adalah perkawinan yang dilakukan sesuai agama dan
kepercayaannya sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU
Perkawinan. Hal ini berarti UU Perkawinan telah menyerahkan
sepenuhnya pada ajaran dari agama masing-masing. Namun,
permasalahannya apakah agama yang dianut oleh masing-masing pihak
tersebut memperbolehkan untuk dilakukannya perkawinan beda agama.
Misalnya, dalam ajaran Islam wanita tidak boleh menikah dengan laki-laki
yang tidak Bergama Islam (al-Baqarah (2):221). selain itu, juga dalam
ajaran Kristen Perkawinan beda agama dilarang (II Korintus 6: 14-18).
Tetapi acuan lain dari larangan perkawinan beda agama terdapat
dalam pasal 66 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 yang
berbunyi:
“Untuk perkawinandan segala sesuatu yang berhubungan dengan
perkawinan berdasarkan atas Undang-Undang ini, maka dengan
27
Ibid
31
berlakunya Undang-Undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam
kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek), Ordonansi
Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonantie Christen
Indonesiers S. 1933 No. 74), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling
op de gemengde Huwelijken S.1898 No. 158), dan peraturan-peraturan lain
yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-
Undang ini, dinyatakan tidak berlaku.”28
Undang-Undang Perkawinan sebagai UU Perkawinan nasional
bermaksud mengadakan unifikasi dalam bidang hukum perkawinan tanpa
menghilangkan kebhinekaan (nuances) yang masih harus dipertahankan
dan masih harus di tolerir karena masih berlakunya hukum perdata positif
yang beraneka ragam dalam masyarakat. Dengan kata lain Undang-
Undang Perkawinan hanyalah merupakan suatu batasan yang mana hukum
dari agama itu sendiri yang menentukan sah atau tidaknya perkawinan
tersebut.
28
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 66
32
BAB IV
ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO.
68/PUUXII/2014 MENURUT PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
Perkawinan sebagai jembatan untuk mencapai tujuan yaitu
keluarga sungguh sangat lekat dengan adanya unsur agama dan adat.
Dalam hal ini di Indonesia, Perkawinan diatur pada UU Perkawinan No. 1
Tahun 1974. Pada bab ini penulis akan menganalisis bagaimana alasan-
alasan yang digunakan pemohon dalam perkara yang diajukan ke
Mahkamah Konstitusi. Sebelumnya kita perlu mengetahui apa saja latar
belakang yang menjadikan pernikahan beda agama ini mejadi polemik
bagi masyarakat Indonesia. Sebagai contoh kasus dimana putusan MA
1400K/Pdt/1986 menyatakan bahwa Kantor Catatan Sipil saat itu
memperkenankan untuk melangsungkan perkawinan beda agama. Kasus
ini bermula dari perkawinan yang hendak di catatkan oleh Andy
VonnyGani P. (perempuan/ Islam) dengan Andrianus Petrus Hendrik
Nelwan (laki-laki/ Kristen). Dalam putusannya, MA menyatakan bahwa
dengan pengajuan pencatatan pernikahan di Kantor Catatan Sipil, maka
33
Andy Vonny telah memilih untuk perkawinannya tidak dilangsungkan
menurut hukum Islam. Dengan demikian, Andi Vonny memilih untuk
mengikuti agama Andrianus, maka Kantor Catatan Sipil harus
melangsungkan dan mencatatatkan perkawinan tersebut.
Kasus diatas menjadi salah satu contoh bagaimana polemic
perkawinan beda agama yang saat ini sering kita temui di kalangan
masyarakat, dan pada akhirnya harus ada yang mengalah dan memutuskan
untuk berpindah agama dan mengikuti agama dari pihak yang lain untuk
tetap melangsungkan pernikahan. Sebab dari masing-masing agama yang
ada di Indonesia tidak ada aturan yang mejelaskan dengan spesifik tentang
perkawinan beda agama, cara lain untuk tetap melangsungkan perkawinan
tersebut yaitu dengan sebagaimana yang terjadi pada contoh kasus diatas.
A. Pokok Gugatan dalam Perkara No. 68/PUU-XII/2014
Kronologi terjadinya perkara yang telah diajukan oleh beberapa
kelompok alumnus dan mahasiswa dari Universitas Indonesia berawal dari
maraknya perkawinan beda agama yang terjadi di negeri ini dan juga
masih belum ada keterangan yang jelas dari UU perkawinan tersebut.
Maka dari itu mereka mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi
terkait uji materiil dari UU Perkawinan No.1 Tahun 1974 terhadap
Undang-Undang Dasar 1945. Terdapat nama-nama dari para pemohon
sebagai berikut :
1. Damian Agata Yuvens, sebagaiPemohon I;
34
2. Rangga Sujud Widigda, sebagaiPemohon II;
3. Varida Megawati Simarmata, sebagai Pemohon III;
4. Anbar Jayadi, sebagai Pemohon IV;
5. Luthfi Saputra, sebagai Pemohon V;
Yang manapadatanggal 4 September 2014 permohonan diajukan ke
Mahkamah Konstitusi terkait uji materiil dari UU Perkawinan No. 1
Tahun 1974 terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Dan adapun
kedudukan hukum dari sang pemohon adalah perseorangan warga Negara
Indonesia yang merasa berpotensi dirugikan hak-hak konstitusionalnya
atas Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan.
Dalam pokok gugatan yang dimaksud penggugat dalam hal ini ingin
melakukan uji materil terhadap Undang-undang No 1 tahu 1974 tentang
perkawinan pada pasal 2 ayat 1 yang berbunyi:
“Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu”.
Namun dalam hal ini penggugat merasa dirugikan hak-hak
konstitusionalnya atas pasal diatas, untuk itu pengugat memilki alasan
untuk melakukan uji materil ke Mahkamah Konstitusi yang isinya :
1. Pemaksaan yang dilakuan oleh Negara agar tiap warga negara
melangsungkan perkawinan sesuai dengan agamanya dan
kepercayaannya melalui Pasal 2 ayat(1) Undang-Undang Nomor 1
35
Tahun 1974 merupakan pelanggaran terhadap hakatas kebebasan
beragama yang diakui melalui Pasal 28E ayat (1) dan ayat (2),Pasal
28I ayat (1) dan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945;
2. Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 telah
membatasi hak untuk melangsungkan perkawinan sehingga
bertentangan degnan ketentuan Pasal 28Bayat (1) UUD 1945;
3. Norma dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974
membuka ruang penafsiran yang amat luas dan menimbulkan
pertentangan antar norma sehingga tidak dapat menjamin terpenuhinya
hak atas kepastian hukum yang adil sebagaimana diatur dalam Pasal
28D ayat (1) UUD 1945;
4. Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 bertentangan
dengan ketentuan dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD
1945 mengenai hak atas persamaan di hadapan hukum karena
menyebabkan negara melalui aparaturnya memperlakukan warga
negaranya secara berbeda;
5. Pembatasan yang ditentukan melalui Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 1tahun 1974 tidak sesuai dengan konsep pembatasan terhadap
hak dan kebebasan yang ditentukan dalam Pasal 28J ayat (2) UUD
1945;
6. Keberlakuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
menyebabkan terjadinya berbagai macam penyelundupan hukum
36
dalam bidanghukum perkawinan dan merupakan norma yang tidak
memenuhi standar sebagai peraturan perundang-undangan;
7. Keberadaan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
justru bertentangan dengan tujuannya sendiri, yaitu agar tiap
perkawinan didasari padahukum agamanya masing-masing, selain itu
ketentuan a quo tersebut menyebabkan permasalahan dalam hubungan
suami-istri dan orang tua-anak.
Adapun norma-norma yang diajukan untuk di uji oleh para
pemohon adalah sebagai berikut:
A. Norma Materiil
Norma yang diajukan, yaitu :
Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaan nya itu…
B. Norma Undang-UndangDasar 1945
Norma yang dijadikan sebagai dasar pengujian, yaitu :
Pasal 27 ayat (1) UUD 1945
Segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam
hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum
dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
Pasal 28B ayat (1) UUD 1945
37
Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan
keturunan melalui perkawinan yang sah.
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945
Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama dihadapan hukum.
Pasal 28E ayat (1) danayat (2) UUD 1945
1. Setiap orang bebas memeluk dan beribadat menurut
agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran,
memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih
tempattinggal di wilayah Negara dan meninggalkannya,
serta berhak kembali.
2. Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini
kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai
dengan hati nuraninya.
Pasal 28I ayat (1) UUD 1945
Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin
,bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup
yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan
kesehatan.
38
Pasal 29 ayat (2) UUD 1945
Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk
memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat
menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Jika kita lihat dari norma-norma yang diujikan tersebut sangat jelas
bahwasanya para pemohon ingin mengklarifikasi masalah yang
menimbulkan pertentangan antara UU No.1 Tahun 1974 dengan UUD
1945. Pada hari kamis 4 September 2014 bertempat di Ruang Sidang
Gedung Mahkamah Konstitusi RI yang beralamat, Jl. Medan Merdeka
Barat No. 6, Jakarta Pusat.
B. Analisi Putusan dalam Perkara No. 68/PUU-XII/2014
Amar putusan dari perkara No. 68/PUU-XII/2014 menyatakan
bahwa Mahkamah Konstitusi dengan tegas menolak permohonan para
Pemohon untuk keseluruhannya. Keputusan tersebut diputuskan dalam
Rapat Permusyawaratan Hakim yang dihadiri oleh sembilan hakim
konstitusi yaitu Hamdan Zoelva selaku ketua merangkap anggota, Arief
Hidayat, Anwar Usman, Aswanto, Wahiduddin Adams, Ahmad Fadlil
Sumadi, Patrialis Akbar, Muhammad Alim, dan Maria Farida Indrati,
masing-masing sebagai anggota, pada hari senin, tanggal 15 Desember
2014.
39
Dalam hal ini penulis mempunyai pandangan berbeda yang
menjadikan pernikahan beda agama memang tidaka dapat
dilangsungkan dikarenakan dilarang oleh agama. Berpedoman dari
Nash Al-qur'an dan Hadits juga pandangan para ulama yang tidak
membolehkan pernikahan beda agama dilaksanakan. Yang mana sudah
pernah dijelaskan ayat yang menjadi dasar larangan pernikahan beda
agama terdapat di Q.S. Al-Baqarah : 221, Q.S. Al-Maidah : 5, Q.S. Al-
Mumthanah : 10 sebagai berikut:
Artinya:
"Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya
wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. dan
janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum
mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun Dia
menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan
dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia
supaya mereka mengambil pelajaran". (Q.S. Al-Baqarah : 221)
40
Artinya:
"Pada hari ini Dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang yang
diberi Al kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan Dihalalkan
mangawini) wanita yang menjaga kehormatan[402] diantara wanita-wanita yang beriman dan
wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al kitab sebelum
kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan
maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah
beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) Maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat
Termasuk orang-orang merugi". (Q.S. Al-Maidah : 5)
Artinya:
"Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan
yang beriman, Maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang
keimanan mereka;maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman Maka
janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. mereka
tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. dan
berikanlah kepada (suami suami) mereka, mahar yang telah mereka bayar. dan tiada dosa atasmu
mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. dan janganlah kamu tetap
berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu
minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka
bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkanNya di antara kamu. dan Allah Maha
mengetahui lagi Maha Bijaksana". (Q.S. Al-Mumthahanah :10)
Penjelasan ayat diatas sudah cukup jelas bahwasanya pernikahan
beda agama tidak diperbolehkan menurut agama Islam. Berikut adalah
41
asbabun nuzul dari ayat diatas, surat Al-Baqarah ayat 221 ini adalah
ayat pertama yang sering menjadi awal pembahasan, dimana dalam ayat
ini ada pesan larangan untuk menikah dengan yang bukan seagama,
walaupun masih belum jelas apakah pelarangan itu bersifat mutlak
haram, atau ada penjelasan lainnya. Setidaknya ada dua riwayat
masyhur yang sering dikutip oleh ulama tafsir dalam banyak kitabnya:
a) Riwayat Pertama
Ibnu Abbas ra. Meriwayatkan bahwa salah seorang sahabat nabi
bernama Abdullah bin Rawahah mempunyai budak perempuan hitam,
lalu kemudian karena kejadian tertentu akhirnya Abdullah bin Rawahah
marah besar dengan budaknya, lalu beliau menamparnya. Kejadian ini
akhirnya diceritakan kepada Rasulullah SAW, lalu kemudian
Rasulullah SAW bertanya: “Bagaimana keadaan budakmu itu, wahai
Abdullah?” Lalu dijawab: “Dia berpuasa, shalat, berwudhu‟, dan dia
juga bersyahat bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Engkau adalah
utusan Allah. Maka seketika Rasul mengatakan bahwa dia adalah
muslimah.
Kemudian Abdullah bin Rawahah bersumpah untuk
memerdekannya dan menikahinya, dan begitu beliau memerdekakannya
dengan berani beliau juga menikahinya. Masyarakat setempat pada
waktu itu ramai memberitakan pernikahan Abdullah bin Rawahah
42
dengan mantan budak perempuannya, seakan itu adalah pernikahan
yang hina, sehingga mereka menyayangkan hal itu terjadi.
Ramainya pemberitaan negatif ini disebabkan karena pada waktu
yang bersamaan ada fenomena yang lagi nge-trend dimasyarakat Arab
dimana mereka senang menikahi perempuan musyrik karena biasanya
perempuan-permpuan itu mempunyai jabatan bagus dimasyarakatnya,
atau dengan kata lain mereka adalah perempuan yang berpangkat.
Dengan kejadian seperti ini, maka turunlah QS. Al-baqarah: 221,
sebagai jawaban bahwa apa yang dilakukan oleh Abdullah bin Rawahah
bukan sebuah hal yang buruk.
b) Riwayat Kedua
Ayat ini turun terkait dengan cerita Martsad Al-Ghanawi yang
meminta idzin kepada Rasulullah SAW untuk menikahi seorang
perempuan musyrik yang mempunyai starata sosial yang bagus pada
kabilahnya bernama „Anaq. Martsad berkata: “Ya Rasulullah, sungguh
aku tertarik (untuk menikahi) perempuan „Anaq itu”. Lalu Allah
menurunkan ayat ini sebagai jawaban atas pertanyaan sahabat Martsad
Al-Ghanawi.29
29
Diakses pada tanggal 11 September 2014 dari
http://www.rumahfiqih.com/tafsir/x.php?id=3&=nikah-beda-agama.htm
43
Sekalipun mayoritas ulama pada dasarnya sepakat membolehkan
laki-laki muslim menikahi wanita ahli kitab, namun dalam kebolehan
tersebut juga terdapat perbedaan pendapat:
1. Menurut sebagian mazhab Hanafi, Maliki, Syafi‟i, dan Hanbali
memandang bahwa hukum pernikahan tersebut adalah makruh;
2. Menurut pandangan sebagian pengikut mazhab Maliki, seperti Ibnu
Qasim dan Khalil, menyatakan bahwa pernikahan tersebut
diperbolehkan secara mutlak;
3. Al-Zarkasyi (mazhab Syafi‟i) berpendapat bahwa pernikahan tersebut
disunatkan apabila wanita ahli kitab tersebut diharapkan dapat masuk
Islam, seperti pernikahan „Usman bin „Affan dengan Nailah.30
Adapun golongan yang tidak membolehkan laki-laki muslim
dengan ahli kitab diantaranya golongan Syi‟ah Imamiyah dan Sayyid
Quthub. Mereka berargumentasi dengan surat al-Baqarah ayat 221 di
atas. Menurut golongan ini ahli kitab termasuk ke dalam golongan
musyrik berdasarkan riwayat Ibnu „Umar ketika beliau ditanya tentang
hukum mengawini wanita-wanita Yahudi dan Nashrani. Beliau
menjawab dengan ayat di atas dan menambahkan: “saya tidak
mengetahui kemusyrikan yang lebih besar dan pada anggapan seorang
wanita (Nashrani), bahwa Tuhannya „Isa padahal „Isa hanya seorang
30
M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah al-Haditsah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1998), h. 13
44
manusia dan hamba Allah”.31
Para ulama yang melarang pernikahan
beda agama melandaskan pendapatnya kepada beberapa dalil dan
penafsiran berikut ini. Pertama, Allah SWT melarang pernikahan antara
seorang muslimataumuslimah dan musyrik atau musyrikah,
sebagaimana firman-Nya dalam surat al-Baqarah ayat 221.
Ayat tersebut secara jelas dan tegas melarang pernikahan antara
muslim, baik laki-laki maupun wanita, dengan orang-orang musyrik.
Dalam pandangan para ulama kelompok pertama ini,
term musyrik diartikan sebagai orang yang menyekutukan Allah dengan
yang lain. Dengan demikian, penganut agama selain Islam adalah orang
musyrik, sebab hanya Islam-lah satu-satunya agama yang memelihara
kepercayaan tauhid secara murni.
Kedua, penganut agama Yahudi dan Nashrani juga melakukan
kemusyrikan sehingga tidak boleh menikah atau dinikahi oleh orang
Islam. Di dalam al-Qur‟an, penganut agama Yahudi dan Nashrani
memang diberi label khusus dengan sebutan ahl al-kitab dan para
wanitanya boleh dinikahi berdasarkan surat al-Ma‟idah ayat 5, namun
kebolehan menikahi wanita kitabiyah sebagaimana termaktub pada ayat
tersebut telah digugurkan oleh ketentuan yang terdapat di dalam surat
al-Baqarah ayat 221.32
Hal ini disebabkan konsep kepercayaan yang
31
Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur‟an al-„Azhim, (Beirut: Dar al-Fikr, 1992), Jilid II, h. 28 32
M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur‟an: Tafsir Maudhu‟i atas Berbagai Persoalan
Umat, (Jakarta: Mizan, 1996), cet. ke-3, h. 196
45
dimiliki penganut Yahudi dan Nashrani mengandung kemusyrikan yang
nyata. Argumentasi rasional yang sering dikutip dalam konteks ini
adalah pernyataan sahabat Nabi Muhammad SAW, „Abdullah bin
„Umar bin al-Khaththab: “Saya tidak mengetahui kemusyrikan yang
lebih besar dari keyakinan seseorang (perempuan) bahwa Tuhannya
adalah „Isa atau salah seorang hamba Allah”. Pendapat kelompok
pertama yang mengharamkan pernikahan beda agama secara mutlak
antara lain dikemukakan oleh sahabat Nabi SAW „Abdullah bin „Umar
dan Sekte Syi‟ah Imamiyah. Pendapat ini juga banyak dianut oleh
kalangan Syafi‟iyah seperti di Indonesia sebagaimana tercermin dalam
pandangan umum ulama dan masyarakat. Majelis Ulama Indonesia
(MUI), dalam fatwanya tertanggal 8 Juni 1980, telah mengharamkan
pernikahan antara laki-laki muslim dan wanita musyrik atau wanita ahli
kitab dan demikian pula sebaliknya. Hal ini kembali ditegaskan melalui
Keputusan Fatwa MUI Nomor: 4/MUNAS VII/MUI/8/2005 yang
ditetapkan pada tanggal 29 Juli 2005 bersamaan dengan Musyawarah
Nasional VII MUI tahun 2005. Pendapat umum ini pula yang kemudian
diadopsi dan diikuti oleh hukum dan peraturan perundang-undangan
yang berlaku di Indonesia, seperti Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan dan Instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun
1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.
Kompilasi Hukum Islam menjelaskan bagaimana
Perkawinan Beda Agama sebaiknya dihindarkan diatur didalam pasal
46
40 huruf c dan pasal 44 secara eksplisit mengatur tentang larangan
perkawinan antara laki-laki muslim dengan wanita non-muslim dan
wanita muslim dengan laki-laki non-muslim. Pasal 40 huruf c
Kompilasi Hukum Islam menyatakan sebagai berikut:
Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan
seorang wanita karena keadaan tertentu;
d) karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan
denganpria lain;
e) seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria
lain;
f) seorang wanita yang tidak beragama Islam.
Pasal 40 huruf c di atas secara eksplisit melarang terjadinya
perkawinan antara laki-laki (muslim) dengan wanita non-muslim
(baik Ahl al-Kitab maupun non Ahl al-Kitab). Jadi pasal ini
memberikan penjelasan bahwa wanita non-muslim apapun agama yang
dianutnya tidak boleh dinikahi oleh laki-laki yang beragama Islam.
Sedangkan pasal 44 menyatakan sebagai berikut:
Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan
seorang pria yang tidak beragama Islam.33
Sementara itu dikalangan ulama-ulama Indonesia termasuk
didalamnya yaitu salah satu fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI)
sangat tegas memberikan argumen tentang pernikahan beda agama.
33
Kompilasi Hukum Islam (Hukum Perkawinan, Kewarisan dan Perwakafan). h. 8
47
Melalui fatwanya yang dikeluarkan pada 1 Juni 1980 MUI (Majelis
Ulama Indonesia) yaitu sebagai berikut :
3. Perkawinan wanita muslimah dengan pria non-Muslim adalah
haram hukumnya;
4. Seorang laki-laki Muslim di haramkan mengawini wanita
bukan Muslim.
Tentang antara laki-laki dengan wanita ahli kitab terdapat
perbedaan pendapat. Setelah mempertimbangkan bahwa mafsadatnya
lebih besar daripada maslahatnya, Majelis Ulama Indonesia (MUI)
memfatwakan perkawinan tersebut hukumnya haram.34
Selanjutnya
dalam MUNAS MUI tahun 2005 Majelis Ulama Indonesia
menegaskan kembali pelarangan pernikahan beda agam yang berisi:
“Perkawinan Beda Agama adalah haram dan tidak sah.”
“Perkawinan laki-laki Muslim dengan wanita Ahlu Kitab, menurut
qaul mu‟tamad adalah haram [dan] tidak sah.”35
Sementara Muktamar Majlis Tarjih dan Tajdid PP
Muhammadiyah ke XXII, tanggal 12-16 Februari 1989 di Malang
Jawa Timur, menetapkan beberapa keputusan, antara lain tentang
Tuntunan Keluarga Sakinah dan Nikah Antar Agama.
Menurut keputusan Muktamar tersebut, nikah antar agama
34
Majelis Ulama Indonesia, Himpunan dan Keputusan Fatwa Majlis Ulama Indonesia
(Jakarta: Sekertariat Majelis Ulama Indonesia Masjid Istiqlal,1995), h. 91 35
Fatwa MUI nomor 4/MUNAS VII/MUI/8/2005 tentang Perkawinan Beda Agama.
48
hukumnya haram.36
Kedua institusi keagamaan di atas baik MUI
maupun Majlis tarjih dalam menetapkan status hukum perkawinan
beda agama menggunakan landasan hukum yang hampir sama,
yaitu berdasarkan pada Al-Quran, As-Sunnah dan Qawaid
Fiqhiyah.
Dari berbagai pandangan dan pendapat dari masing-masing
individu atau institusi dapat kita simpulkan bahwa agama sangat
melarang pelaksanaan pernikahan beda agama, bukan karena maksud
mencederai kebhinekaan tunggal ika Indonesia, lebih kepada
mengurangi mudharat dari masalah sosial yang dapat timbul dari
pernikahan beda agama.
C. Pelarangan Nikah Beda Agama dalam tinjauan konsep al-
Maslahah al-Mursalah
Status hukum bagi seorang Muslim menikah dengan Ahl al-Kitāb
pada dasarnya boleh sebagaimana yang pernah dilakukan oleh
Rasulullah Saw. ketika menikahi seorang wanita Nasrani (Mariyah al-
Qibṭiyyah), „Uthmān bin „Affān yang menikahi Nāilah binti al-
Gharāmiḍah, seorang wanita Nasrani, dan Ḥudhaifah yang menikahi
seorang wanita Yahudi yang berasal dari Madāin yang kemudian
diperintahkan oleh „Umar bin Khaṭṭāb untuk menceraikannya. Fakta
historis tersebut merupakan ijtihad di masa Rasulullah Saw. dan masa
36
Keputusan Muktamar Tarjih ke: XXII, h 301-308
49
Sahabat yang sekaligus merupakan salah satu alternatif dalam
memahami ayat-ayat yang terkait dengan wanita Ahl al-Kitāb, boleh
tidaknya dinikahi oleh pria Muslim. Penerapan konsep al-maṣlaḥah al-
mursalah didasarkan atas pertimbangan pencegahan mudarat dan
memilih yang mengandung maslahat lebih besar atau yang lebih ringan
mudaratnya.
Fatwa MUI tentang pelarangan seorang Muslim dan atau
Muslimah menikah dengan non Muslim adalah bentuk tanggung
jawabnya sebagai institusi dan sebagai pelayan masyarakat (khādim
al-ummah) yang mewakili orang banyak, sehingga pertimbangannya
didasarkan pada mashlahat ḍarūriyyat al-„āmmat. Jika MUI
mengeluarkan fatwa berdasarkan hal-hal yang bersifat kasuistik, justru
akan menimbulkan mafsadat yang sejatinya diantisipasi oleh syariat.
Mafsadat itu bisa dalam bentuk rusaknya tatanan masyarakat,
kacaunya lembaga perkawinan dan terjadinya pemurtadan melalui
perkawinan.
Dapat dipahami bahwa pernikahan seorang Muslim dan non
Muslimah, khususnya Ahl al-Kitāb pada awalnya boleh dan legal,
tetapi karena suatu pertimbangan siyāsah shar„iyyah, dan demi
menutup pintu munculnya fitnah dan bahaya yang lebih besar yang
bertentangan dengan maqāṣid al-syar‟iyyah, maka kebolehan itu
diperketat, bahkan ditutup. Bagi pihak tertentu yang mempunyai
pemahaman dan komitmen keIslaman yang lebih baik dan atas dasar
50
pertimbangan maslahat yang lebih besar serta langkah preventif
terhadap mafsadat, maka hal itu tetap dibolehkan dengan syarat yang
ketat. Akan tetapi demi maslahat pula, MUI tidak patut menfatwakan
kebolehan tersebut. Fatwa pelarangannya dapat dipahami, yaitu karena
posisinya sebagai lembaga yang tidak hanya mewakili individu atau
kasus tertentu saja, melainkan sebagai pelayan masyarakat (khādim al-
ummah) Muslim Indonesia.37
37
Muhammad Yusuf, Jurnal Pendekatan Al-Maslahah Al-Mursalah dalam Fatwa MUI
Tentang Pernikahan Beda Agama.
51
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari hasil pemaparan yang dikemukakan oleh penulis dapat kita
simpulka, Pernikahan merupakan suatu yang sakral bagi agama Islam,
harus dilakukan sebagai mana menurut aturan yang berlaku. Tidak di
lencengkan atau dipermainkan. Dan pernikahan juga merupakan suatu
symbol bersatunya dua insan manusia yang di ikat dengan janji suci.
Pertama, dikalangan ulama fuqoha banyak terjadi perbedaan pendapat
tentang pernikahan beda agama, mereka berargumen berdasarkan dalil –
dalil Al-qur‟an yang mana ada satu sisi yang membolehkan dan sisi yang
lain mengharamkan per nikahan beda agama tersebut. Perbedaan
pendapat tersebut wajar terjadi sebab masih ada golongan yang menjadi
pusat perdebatan boleh atau tidaknya pernikahan beda agama
dilangsungkan, yaitu golongan Ahl al-Kitab. Golongan ini merupakan
golongan Yahudi Nasrani yang berpegang teguh terhadap kitab samawi.
Adapun ulama fuqoha yang membolehkan yaitu Imam Syafi‟I, Imam
Hambali dan Imam Hanafi, dan yang lain mengharamkannya. Terlepas
52
dibolehkannya masih harus memperhatikan batasa-batasan dari masing-
masing ulama.
Kedua, hukum Islam di Indonesia kedudukan pernikahan beda
agama tentunya sangat dilarang keputusan ini dikeluarkan dari fatwa
MUI yang mengharamkan pernikahan beda agama. Dan juga dalam
Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyarankan agar pernikahan beda
agama sebaiknya dihindari, ditur dalam pasal 40 huruf C.
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 68/PUU-XII/2014 yang
menolak semua permohonan para pemohon dengan melalui
pertimbangan yang sangat spesifik terhadap uji materil Undang-Undang
Perkawinan No. 1 Tahun 1974 terhadap UUD 1945. Dengan Amar
putusan Menolak keseluruhan Alasan pemohon.
B. Saran-saran
Adapun saran dari penulis untuk masyarakat, khususnya yang
beragama Islam yaitu:
1. Menurut keyakina saya pernikahan beda agama tidak dilakukan bagi
setiap muslim, karena lebih banyak mafsadat nya daripada maslahat
nya. Dan juga lebih bertujuan untuk melindungi Aqidah umat Muslim.
2. Dalam menanggapi aturan yang melarang pernikahan beda agama
sebaiknya dipertimbangkan dan dikaji terlebih dahulu kemaslahatnnya
dalam hukum Islam. Dan jangan sampai mudah terprovokasi dengan
53
pembicaraan-pembicaraan mengenai kultur agama Islam yang
bertentangan deng Hak Asasi Manusia (HAM).