PUSAT Gd. SETJEN dan Badan Keahlian DPR RI Lantai VI...
Transcript of PUSAT Gd. SETJEN dan Badan Keahlian DPR RI Lantai VI...
PUSAT KAJIAN ANGGARAN - BADAN KEAHLIAN DPR-RI
Gd. SETJEN dan Badan Keahlian DPR RI Lantai VI, Ruang 602 dan 611 Telp. (021) 5715.269/656/635, Fax. (021) 5715. 635 Jl. Jenderal Gatot Subroto – Jakarta 10270
1
PERMASALAHAN/DAMPAK KEBIJAKAN DAU DINAMIS
Sistem otonomi daerah yang diterapkan di Indonesia menyebabkan adanya
desentralisasi atau pemberian kewenangan ke daerah-daerah termasuk di dalamnya
desentralisasi fiskal (keuangan) dimana daerah membutuhkan sumber-sumber pendapatan
baru dan perimbangan keuangan untuk menjalankan fungsi yang ada (money follows function).
Untuk membantu mendanai kebutuhan tersebut, pemerintah pusat melaksanaan transfer
belanja dari pusat ke daerah melalui dana perimbangan. Dana perimbangan yang meliputi Dana
Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK), merupakan dana
yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai
kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi sesuai amanat Undang-Undang
Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintahan
Daerah. Dari ketiga dana tersebut, sejak tahun 2010-2018 proporsi alokasi DAU merupakan
yang terbesar dibanding dengan dana lainnya dimana hampir 60 persen transfer ke daerah di
dominasi oleh DAU. DAU bertujuan secara umum untuk memperkecil ketimpangan vertikal dan
horizontal serta bersifat block grant, sehingga dalam penggunaannya diserahkan sepenuhnya
kepada daerah sesuai dengan prioritas dan kebutuhan daerah untuk peningkatan pelayanan
kepada masyarakat.
A. Sekilas tentang DAU
DAU diterapkan pertama kali sejak tahun 2001. Dari tahun 2010 sampai tahun 2017
realisasi DAU selalu mengalami peningkatan dengan rata-rata pertumbuhan mencapai 10,09
persen. Pertumbuhan tertinggi DAU terjadi di tahun 2012 yang disebabkan adanya peningkatan
kapasitas fiskal yang signifikan.
Gambar 1. Realisasi DAU Tahun 2010-2017
Sumber: Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK), Kementerian Keuangan, Diolah
PUSAT KAJIAN ANGGARAN - BADAN KEAHLIAN DPR-RI
Gd. SETJEN dan Badan Keahlian DPR RI Lantai VI, Ruang 602 dan 611 Telp. (021) 5715.269/656/635, Fax. (021) 5715. 635 Jl. Jenderal Gatot Subroto – Jakarta 10270
2
Secara proporsi, besaran DAU untuk daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota
masing-masing sebesar 10 persen dan 90 persen. Namun, mulai tahun 2017 porsi DAU provinsi
meningkat menjadi 14,1 persen dan DAU kabupaten/kota turun menjadi 85,9 persen. Hal ini
disesuaikan dengan adanya kebijakan pengalihan kewenangan urusan pemerintahan
kabupaten/kota ke provinsi.
Dalam pengalokasiannya, DAU menggunakan formula yang meliputi unsur Alokasi Dasar
(AD) dan Celah Fiskal (CF) yang merupakan selisih antara Kebutuhan Fiskal (KbF) dengan
Kapasitas Fiskal (KpF) sesuai dengan fungsinya sebagai instrumen pemerataan kemampuan
keuangan antardaerah. AD dihitung atas dasar persentase jumlah gaji pegawai negeri sipil
daerah (PNSD), yang mencakup gaji pokok ditambah dengan tunjangan keluarga, dan tunjangan
jabatan sesuai dengan peraturan penggajian pegawai negeri sipil, serta mempertimbangkan
penggajian dan pengangkatan calon PNSD. Sementara CF dihitung dari selisih antara kebutuhan
fiskal dengan kapasitas fiskal masing-masing daerah. Dalam menentukan besaran Kebutuhan
Fiskal dan Kapasitas Fiskal didasarkan atas beberapa variabel yang digunakan.
Besaran DAU ditetapkan minimal berdasarkan persentase tertentu dari PDN
(Penerimaan Dalam Negeri) Netto. Dalam perkembangannya, kebijakan dan persentase DAU
terhadap PDN Netto mengalami perubahan mengikuti dinamika kemampuan keuangan negara
maupun kebutuhan fiskal daerah secara keseluruhan. Terkait dengan hal tersebut, rumusan
formula perhitungan DAU dalam perkembangannya pun mengalami beberapa kali penyesuaian
sebagaimana tercantum pada tabel berikut ini.
Tabel 1. Perkembangan Formula DAU
Periode Perkembangan Formula
2001 - 2003 ▪ Formula perhitungan DAU ditetapkan sekurang-kurangnya sebesar 25
persen dari PDN Netto sesuai Pasal 7 UU No.25 tahun 1999. PDN Netto
Gambar 2. Formula Perhitungan DAU
Sumber: Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, Kementerian Keuangan
(DJPK)
PUSAT KAJIAN ANGGARAN - BADAN KEAHLIAN DPR-RI
Gd. SETJEN dan Badan Keahlian DPR RI Lantai VI, Ruang 602 dan 611 Telp. (021) 5715.269/656/635, Fax. (021) 5715. 635 Jl. Jenderal Gatot Subroto – Jakarta 10270
3
merupakan jumlah penerimaan dalam negeri bersih setelah dikurangi
dengan dana bagi hasil dan DAK yang bersumber dari dana reboisasi.
▪ DAU dihitung dengan formula kesenjangan fiskal, yaitu dengan
memperhitungkan antara kebutuhan daerah dan potensi daerah.
▪ Kebijakan hold harmless, dengan kebijakan hold harmless maka daerah-
daerah yang memiliki kapasitas fiskal tinggi dibandingkan dengan
kebutuhan fiskalnya seperti diberi semacam “insentif” untuk menutupi
penurunan DAU-nya, sementara daerah-daerah yang mengalami
peningkatan DAU memperoleh “disinsentif” karena kenaikan DAU-nya
harus dikurangi untuk menutupi penurunan DAU pada daerah lain.
2004 - 2005 ▪ Formula perhitungan DAU ditetapkan sebesar 25,5 persen dari PDN Netto.
2006 ▪ Formula perhitungan DAU dalam APBN didasarkan kepada UU No.33 tahun
2004, yaitu ditetapkan sekurang-kurangnya 26 persen dari PDN Netto yang
ditetapkan dalam APBN.
▪ Komponen kapasitas fiskal disempurnakan menjadi alokasi dasar (AD) dan
celah fiskal (CF). Alokasi DAU berdasarkan CF tersebut merupakan
komponen ekualisasi kemampuan keuangan antardaerah, dengan
mempertimbangkan selisih kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal masing-
masing daerah.
2007 ▪ PDN Netto yang digunakan dalam formulasi DAU merupakan hasil
pengurangan antara pendapatan dalam negeri yang merupakan hasil
penjumlahan antara penerimaan perpajakan dan penerimaan negara bukan
pajak dikurangi dengan penerimaan negara yang dibagihasilkan kepada
daerah yaitu DBH, serta belanja yang sifatnya earmarked dan anggaran yang
sifatnya in-out.
2008 ▪ Kebijakan hold harmless dihapuskan dan diberlakukan kebijakan non hold
harmless. Dengan demikian, maka dimungkinkan suatu daerah menerima
DAU lebih kecil dari DAU yang diterima tahun sebelumnya karena kapasitas
fiskal yang meningkat signifikan. Hal ini dilakukan untuk menyempurnakan
tingkat ekualisasi antar daerah sehingga dapat memperkecil ketimpangan
fiskal antar daerah.
▪ Perhitungan alokasi DAU berdasarkan formula mulai dilaksanakan secara
penuh. Dengan demikian, maka perhitungan DAU akan menghasilkan
alternatif alokasi sebesar nol, lebih kecil, sama dengan, dan lebih besar dari
DAU tahun sebelumnya.
2009 - 2018 ▪ PDN Netto juga memperhitungkan antara lain besaran subsidi BBM, listrik,
pupuk, pangan, benih yang dihitung berdasarkan bobot/persentase tertentu
PUSAT KAJIAN ANGGARAN - BADAN KEAHLIAN DPR-RI
Gd. SETJEN dan Badan Keahlian DPR RI Lantai VI, Ruang 602 dan 611 Telp. (021) 5715.269/656/635, Fax. (021) 5715. 635 Jl. Jenderal Gatot Subroto – Jakarta 10270
4
sebagai faktor pengurang dalam rangka antisipasi dampak kenaikan harga
minyak, penciptaan stabilisasi APBN dan APBD, dengan tetap menjaga
peningkatan secara riil alokasi DAU setiap tahun.
Sumber: Nota Keuangan, Kementerian Keuangan, Diolah
Di sisi lain, dalam perkembangannya, Dana Perimbangan khususnya Dana Alokasi Umum
selalu memegang proporsi yang paling besar dalam pendapatan daerah. Proporsi Dana
Perimbangan dalam postur pendapatan daerah dari tahun 2010-2017 selalu diatas 50 persen
dengan rata-rata 61,32 persen. Sementara rata-rata proporsi DAU dalam pendapatan daerah
selama tahun 2010-2017 sebesar 41 persen (gambar 3).
B. Kontribusi DAU dalam Struktur APBD
Berdasarkan data realisasi pendapatan daerah Kabupaten/Kota tahun 2006 – 2016, DAU
merupakan komponen terbesar dalam membentuk struktur pendapatan daerah pemerintah
Kabupaten/kota dengan kontribusi rata-rata mencapai 54 persen. Kondisi yang berbeda
terlihat di pemerintah Provinsi. Rata-rata kontribusi DAU terhadap pendapatan daerah
pemerintah Provinsi hanya sebesar 16,8 persen, sementara rata-rata kontribusi PAD mencapai
48,3 persen.
Gambar 3. Realisasi Penerimaan Daerah Kab/Kota, tahun 2006-2016 (dlm triliun Rp)
Sumber: BPS, data diolah
Gambar 4. Realisasi Penerimaan Daerah Provinsi, tahun 2006-2016 (dlm triliun Rp)
PUSAT KAJIAN ANGGARAN - BADAN KEAHLIAN DPR-RI
Gd. SETJEN dan Badan Keahlian DPR RI Lantai VI, Ruang 602 dan 611 Telp. (021) 5715.269/656/635, Fax. (021) 5715. 635 Jl. Jenderal Gatot Subroto – Jakarta 10270
5
Bagi pemerintah Kabupaten/kota, DAU menjadi penopang atau tumpuan utama bagi daerah
dalam membiayai pos-pos belanjanya. Keuangan daerah menjadi sangat tergantung dari alokasi
DAU yang diberikan pemerintah pusat (Tasri, 2018). Hal ini dapat menjadi permasalahan
manakala daerah memiliki program atau kegiatan yang memang diperlukan namun alokasi DAU
yang diperoleh tidak sesuai dengan yang diharapkan. Terlebih karena pengalokasian DAU yang
menerapkan pola dinamis, sehingga besaran alokasi DAU yang akan diterima oleh daerah tidak
dapat dipastikan karena bergantung pada perkembangan PDN Netto dan kondisi keuangan
pemerintah pusat. Apalagi jika ternyata realisasi PDN Netto di bawah angka target sebagaimana
kondisi di tahun-tahun sebelumnya. Sehingga daerah perlu didorong agar dapat lebih
meningkatkan kemandirian keuangannya dalam pemenuhan kebutuhan belanjanya sehingga
proses pembangunan daerah tidak terjebak pada dinamika keuangan pemerintah pusat.
Di samping itu, daerah juga dihadapkan pada ketidakpastian akan sumber pendapatan
lainnya baik PAD maupun Dana Transfer ke Daerah yang lainnya (DBH dan DAK) yang berbasis
pada kinerja. Hal ini mengakibatkan program/kegiatan daerah yang telah dilaksanakan ataupun
yang sudah dilelang berpotensi tertunda atau diperbaiki. Karakteristik DAU merupakan block
grant sehingga penggunaannya diserahkan kepada daerah. Namun pemda perlu mengantisipasi
kemungkinan tidak tercapainya pendapatan yang bersumber dari DAU.
C. Perkembangan Kebijakan DAU
Dalam 3 tahun terakhir, mulai tahun 2017, pemerintah melakukan kebijakan terkait dengan
Dana Transfer Umum (DAU dan DBH).
Gambar 5. Kebijakan DAU tahun 2017-2019
PUSAT KAJIAN ANGGARAN - BADAN KEAHLIAN DPR-RI
Gd. SETJEN dan Badan Keahlian DPR RI Lantai VI, Ruang 602 dan 611 Telp. (021) 5715.269/656/635, Fax. (021) 5715. 635 Jl. Jenderal Gatot Subroto – Jakarta 10270
6
1. Konversi DAU non Tunai
Pola pelaksanaan anggaran yang seringkali menumpuk di akhir tahun dan masih besarnya
simpanan pemerintah daerah di perbankan dalam jumlah yang besar dapat menimbulkan
dampak yang kurang menguntungkan bagi kualitas pelayanan publik. Hal tersebut dapat
berpotensi pada perlambatan kegiatan ekonomi di daerah sehingga menghambat tercapainya
kesejahteraan sosial. Untuk mengurangi simpanan yang besar pad akas pemerintah daerah
maka mulai tahun 2017 pemerintah mulai melaksanakan kebijakan konversi penyaluran
DAU/DBH dalam bentuk non tunai bagi daerah yang memiliki posisi kas dan/atau simpanan di
bank dalam jumlah yang tidak wajar. Secara umum pelaksanaan kebijakan konversi penyaluran
DAU dalam bentuk non tunai dilakukan kepada daera-daerah yang memiliki posisi kas pada
periode tertentu yang melebihi kebutuhan perkiraan operasi belanja dan belanja modal tiga
bulan ke depan. Kebijakan konversi tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan volume
APBD, alokasi DBH, dana atau DAU serta faktor lainnya yang terkait dengan kemampuan
keuangan di masing-masing daerah. Bagi daerah-daerah dengan kondisi tersebut maka
penyaluran DAU dikonversikan dalam bentuk Surat BErharga Negara (SBN). Kebijakan tersebut
merupakan upaya pemerintah agar pemerintah daerah dapat lebih optimal dalam
memanfaatkan anggaran dalam rangka percepatan pembangunan daerah.
2. Kewajiban Alokasi minimal 25% DAU dan DBH untuk belanja infrastruktur
Dana Transfer Umum yang terdiri atas Dana Bagi Hasil dan Dana Alokasi Umum bersifat block
grant, yang penggunaannya menjadi kewenangan daerah sesuai dengan prioritas dan
2017
2018
2019
PUSAT KAJIAN ANGGARAN - BADAN KEAHLIAN DPR-RI
Gd. SETJEN dan Badan Keahlian DPR RI Lantai VI, Ruang 602 dan 611 Telp. (021) 5715.269/656/635, Fax. (021) 5715. 635 Jl. Jenderal Gatot Subroto – Jakarta 10270
7
kebutuhan daerah. Pada tahun 2017 terdapat perubahan kebijakan terhadap penggunaan Dana
Transfer Umum, yang bertujuan agar penggunaan Dana Transfer Umum tersebut lebih terarah.
Perubahan kebijakan tersebut adalah dengan mengarahkan penggunaan Dana Transfer Umum
sekurang-kurangnya 25 persen untuk belanja infrastruktur daerah yang langsung terkait dengan
percepatan pembangunan fasilitas pelayanan publik dan ekonomi dalam rangka meningkatkan
kesempatan kerja, mengurangi kemiskinan, dan mengurangi kesenjangan penyediaan layanan
publik antar daerah.
3. Alokasi DAU Tambahan dalam APBN tahun 2019
Dalam DAU tahun 2019, terdapat komponen DAU tambahan yang dialokasikan untuk dukungan
pendanaan kelurahan sebesar Rp3.000,0 miliar. DAU tambahan ini diperuntukkan bagi sekitar
8.212 kelurahan di seluruh kabupaten/kota, yang pengalokasiannya berdasarkan kinerja
pelayanan dasar publik. DAU tambahan tersebut berasal dari pengurangan alokasi pada Dana
Desa. Dengan adanya dukungan pendanaan kelurahan dari APBN melalui DAU dan juga dari
sumber pendapatan APBD lainnya, maka akan memberikan dampak positif bagi percepatan
penanganan permasalahan pembangunan di perkotaan pada umumnya, dan di kelurahan pada
khususnya, melalui pembangunan sarana dan prasarana dasar dan penguatan pemberdayaan
masyarakat kelurahan.
4. Pagu DAU tidak bersifat Final (Dinamis)
Pagu DAU nasional dalam APBN 2017 dan 2018 tidak bersifat final (dinamis), atau dapat
berubah sesuai perubahan PDN neto dalam APBN perubahan tahun berjalan. Dengan demikian,
maka pagu DAU dapat berubah sesuai dengan dinamika penerimaan pendapatan negara.
Pendapatan negara tergantung dari penerimaan perpajakan, maupun dari asumsi
lainnya seperti harga minyak dan kurs. Harga minyak yang bergerak dan kurs yang bergerak
akan mempengaruhi penerimaan perpajakan yang tidak selalu sama dengan yang ditargetkan.
Besaran PDN itu akan lebih kecil atau tidak selalu sama dengan yang ditetapkan di
Undang-Undang APBN. DAU yang ditransfer secara berkalan ke daerah akan bergantung dari
berbagai asumsi dan realisasi dari penerimaan perpajakannya. Apabila terjadi potensi
kekurangan penerimaan negara, DAU yang dibagikan ke daerah bisa dilakukan pemotongan.
Hal ini akan berimplikasi terhadap besaran alokasi DAU pada APBN-Perubahan dan
APBD-Perubahan, yaitu:
Apabila PDN Neto naik, maka pagu DAU nasional akan naik dan alokasi
perdaerah akan bertambah. Untuk itu, pemerintah daerah perlu mengidentifikasi
program/kegiatan yang urgent dan menjadi prioritas daerah untuk dapat di danai dari kenaikan
DAU, sepanjang dapat diselesaikan dalam sisa akhir tahun anggaran. Jika tidak ada
program/kegiatan yang bersifat urgent dan prioritas daerah, maka tambahan DAU dapat
digunakan untuk membentuk Dana Cadangan atau Dana Darurat.
PUSAT KAJIAN ANGGARAN - BADAN KEAHLIAN DPR-RI
Gd. SETJEN dan Badan Keahlian DPR RI Lantai VI, Ruang 602 dan 611 Telp. (021) 5715.269/656/635, Fax. (021) 5715. 635 Jl. Jenderal Gatot Subroto – Jakarta 10270
8
Sebaliknya, apabila PDN Neto turun, maka pagu DAU nasional akan turun dan alokasi
per daerah akan berkurang. Untuk itu, pemerintah daerah perlu melakukan identifikasi
dan efisiensi program/kegiatan yang tidak urgent, bukan prioritas dan tidak produktif (misal:
biaya perjalanan dinas, rapat dinas, konsinyering, honorarium); membuka ruang fleksibilitas
kontrak proyek dengan klausul yang relatif fleksibel serta memperkuat perencanaan kas (cash
flow management).
Perubahan PDN netto dapat terjadi karena adanya perubahan pada asumsi dasar
ekonomi makro diantaranya pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi, nilai tukar rupiah (kurs),
harga ICP serta lifting minyak. Dampak dari perubahan asumsi dasar ekonomi makro terhadap
penerimaan negara dapat digambarkan sebagai berikut. Perubahan pertumbuhan ekonomi
antara lain memengaruhi penerimaan perpajakan, terutama PPh nonmigas, PPN, PBB, cukai,
pajak lainnya, dan bea masuk. Selanjutnya, perubahan pada penerimaan perpajakan tersebut
akan memengaruhi belanja negara antara lain anggaran transfer ke daerah, terutama dana bagi
hasil (DBH) pajak. Tingkat inflasi akan berpengaruh terhadap produk domestik bruto (PDB)
nominal. Perubahan PDB nominal berdampak pada perubahan penerimaan perpajakan
terutama PPh nonmigas, PPN, PBB, dan pajak lainnya. Pada sisi belanja negara, perubahan
penerimaan perpajakan tersebut akan diikuti oleh perubahan DBH pajak. Fluktuasi nilai tukar
rupiah pada sisi pendapatan negara akan memengaruhi penerimaan yang terkait dengan
aktivitas perdagangan internasional seperti PPh pasal 22 impor, PPN dan PPnBM impor, bea
masuk, dan bea keluar. Selain itu, perubahan nilai tukar rupiah juga akan berdampak pada
penerimaan PPh migas dan PNBP SDA migas. Pada sisi belanja negara, perubahan nilai tukar
rupiah terhadap dolar Amerika Serikat akan berpengaruh terhadap subsidi energi, DAU, serta
DBH migas akibat perubahan PNBP SDA migas. Harga minyak mentah Indonesia (ICP) akan
memengaruhi besaran APBN terutama pada anggaran yang menggunakan harga minyak
mentah sebagai komponen penghitungan. Pada sisi pendapatan negara, perubahan harga
minyak mentah akan berdampak terhadap penerimaan PPh migas dan PNBP SDA migas. Pada
sisi belanja negara, perubahan harga minyak mentah Indonesia antara lain akan memengaruhi
belanja subsidi energi, DBH migas ke daerah akibat perubahan PNBP SDA. Selanjutnya,
perubahan lifting minyak dan lifting gas akan memengaruhi besaran penerimaan PPh migas,
PNBP SDA migas, DBH migas, DAU.
Meskipun telah diterapkan sejak tahun tahun 2017, kebijakan pagu DAU nasional
kembali menjadi bersifat final dalam tahun 2019.
Ada beberapa pertimbangan, antara lain:
1. Ketergantungan pemerintah daerah masih besar terhadap dana transfer, khususnya
DAU dalam membiayai belanja daerah. Kebijakan DAU dinamis akan mempersulit
pemerintah daerah karena, seiring dengan perubahan alokasi DAU, pemerintah harus
PUSAT KAJIAN ANGGARAN - BADAN KEAHLIAN DPR-RI
Gd. SETJEN dan Badan Keahlian DPR RI Lantai VI, Ruang 602 dan 611 Telp. (021) 5715.269/656/635, Fax. (021) 5715. 635 Jl. Jenderal Gatot Subroto – Jakarta 10270
9
mengidentifikasi/mereview kembali program prioritas daerah dalam tahun anggaran
berjalan.
2. DAU menjadi satu-satunya komponen yang memberikan kepastian alokasi, yang
sepanjang pengalokasiannya relative tidak mengalami perubahan signifikan, meskipun
Asumsi dasar ekonomi makro mengalami perubahan. Merosotnya harga minyak dunia di
tahun 2016 jauh melampaui harga yang ditetapkan dalam APBN mengakibatkan
dilakukannya penundaan DAU. Kepastian alokasi ini tentunya akan menjadi dasar dalam
penyusunan/pembahasan APBD.
3. Kebijakan pemerintah pusat untuk meningkatkan kualitas dana transfer ke daerah
dilakukan melalui kebijakan yang affirmatif baik untuk dana-dana yang sifatnya specific
grant maupun block grant. DAU yang pada dasarnya bersifat block grant, menjadi semi
block grant karena adanya kewajiban mengalokasikan minimal 25% untuk membiayai
belanja infrastruktur dalam rangka mendorong percepatan pembangunan fasilitas
pelayanan publik dan perekonomian daerah. Kebijakan DAU yang bersifat dinamis tentu
saja dapat mengurangi kemampuan daerah dalam melaksanakan mandat ini karena
terbatasnya pendapatan daerah.