Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc
Click here to load reader
Transcript of Psikologi Belajar Matematika (Diktat).doc
BAB IPENGANTAR PSIKOLOGI BELAJAR
Salah satu ciri dari pembelajaran matematika masa kini adalah penyajiannya
didasarkan pada teori psikologi pembelajaran. Sesuai dengan ciri tersebut, pada
matakuliah psikologi belajar matematika akan dibahas mengenai konsep dasar psikologi
belajar, perkembangan berbagai teori pembelajaran dan penerapannya dalam
pengajaran matematika.
Pembicaraan mengenai matematika sekolah dan pembelajarannya tidak akan lepas
dari teori psikologi yang mendasarinya. Ibarat gula denggan manisnya yang tidak akan
terlepas. Jika lepas manisnya, maka namanya bukan gula lagi dan sebaliknya. Pada
pembicaraan mengenai pembelajaran matematika di sekolah, jika terlepas dari psikologi
pembelajaran yang mendasarinya, maka bukan lagi disebut dengan pembelajaran. Hai
ini dikarenakan, proses pembelajaran adalah pembentukan diri siswa untuk menuju pada
pembangunan manusia seutuhnya, jadi tidak melalui “trial and error”. Siswa adalah
manusia yang sedang mengembangkan diri secara utuh dan tidak boleh dianggap
sebagai kelinci percobaan. Dengan kata lain instrumental inputnya dalam pembelajaran
harus dijamin keberhasilannya.
A. Pengertian dan Klasifikasi Psikologi
Psikologi berasal dari kata Yunani psyche = jiwa dan logos = ilmu, sehingga
psikologi dapat didefinisikan: ilmu yang mempelajari gejala-gejala kejiwaan berupa
tingkah laku manusia. Gejala kejiwaan diklasifikasikan:
1. Gejala pengenalan (kognitif)
Meliputi:
a. Pengamatan: usaha manusia untuk mengenal dunia riil, baik mengenal diri
sendiri, maupun mengenal dunia sekitarnya melalui panca inderanya, yaitu
dengan: melihat, mendengar, membau, meraba, dan mengecap.
Agar orientasi pengamatan dapat berhasil dengan baik, maka diperlukan aspek
pengaturan terhadap objek yang diamati, yaitu:
1) Aspek pengaturan menurut sudut pandang ruang.
Dunia pengamatan dilukiskan dalam pengertian-pengertian: atas-bawah,
kanan-kiri, jauh-dekat, tinggi-rendah.
2) Aspek pengaturan menurut sudut pandang waktu.
Dunia pengamatan dilukiskan dalam pengertian-pengertian: masa lampau,
masa kini, dan masa yang akan datang.
3) Aspek pengaturan menurut sudut pandang Gestalt.
Obyek yang diamati diberi arti sebagai suatu kesatuan yang utuh, bukan
sebagai bagian yang terlepas-lepas. Misal: dalam melihat rumah dipandang
sebagai suatu bangunan secara utuh, bukan dipandang sebagai pakunya atau
batu batanya.
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 1
4) Aspek pengaturan menurut sudut pandang arti.
Obyek yang diamati diberi arti menurut artinya bagi kita. Misal: sebuah pabrik
dan sebuah sekolah dipandang dari segi bangunan banyak menunjukkan
persamaan, tetapi dipandang dari segi artinya menunjukkan hal yang sangat
berbeda.
b. Tanggapan: bayangan atau kesan yang tertinggal di dalam diri kita setelah kita
melakukan pengamatan terhadap suatu objek.
Tanggapan tidak hanya dapat menghidupkan kembali apa yang telah diamati
(masa lampau), tetapi juga dapat mengantisipasikan sesuatu yang akan datang,
atau yang mewakili saat ini. Sehubungan dengan hal tersebut, maka tanggapan
dibedakan menjadi 3 macam:
1) Tanggapan masa lampau/ tanggapan ingatan.
2) Tanggapan masa yang akan datang/ tanggapan mengantisipasikan.
3) Tanggapan masa kini/ tanggapan representatif.
Berdasarkan indera yang dipergunakan untuk melakukan pengamatan,
tanggapan dapat dibedakan menjadi:
1) Tanggapan visual – hasil pengamatan yang dilakukan dengan indera mata.
2) Tanggapan auditif – hasil pengamatan yang dilakukan dengan indera telinga.
3) Tanggapan olfaktorik – hasil pengamatan yang dilakukan dengan indera
hidung.
4) Tanggapan gustatif – hasil pengamatan yang dilakukan dengan indera
pengecap.
5) Tanggapan taktil – hasil pengamatan yang dilakukan dengan indera raba.
Tanggapan mempunyai peranan yang penting dalam proses belajar, terutama
dalam proses memperoleh pengertian. Proses tersebut melalui urutan sebagai
berikut:
1) Pengamatan
2) Bayangan pengiring – bayangan yang timbul setelah kita melihat sesuatu
warna untuk beberapa saat, kemudian mengalihkan pandangan ke suatu latar
belakang yang putih.
3) Bayangan eidetik – bayangan yang sangat jelas dan hidup, sehingga orang
yang memiliki tanggapan seolah-olah mengamati kembali obyek atau
peristiwanya.
4) Tanggapan
5) Pengertian.
c. Ingatan: kemampuan rohaniah untuk mencamkan, menyimpan, dan
mereproduksi kesan-kesan.
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 2
d. Fantasi: kemampuan jiwa untuk membentuk tanggapan-tanggapan baru dengan
pertolongan tanggapan-tanggapan yang telah ada, dan tanggapan yang baru
tidak harus sama atau sesuai dengan benda-benda yang ada.
Fantasi dibedakan menjadi:
1) Fantasi yang tidak disadari: melamun.
2) Fantasi yang disadari: fantasi mencipta (mengarang lagu, tarian), dan fantasi
terpimpin/ tuntunan (mendengarkan sandiwara radio).
Kegunaan fantasi:1) Fantasi merupakan sarana memahami orang lain.2) Fantasi memungkinkan subyek melepaskan diri dari keterikatannya terhadap
tempat dan waktu, sehingga memungkinkan bagi subyek untuk mempelajari ilmu bumi dan sejarah.
3) Fantasi dapat membantu subyek untuk bercita-cita.4) Fantasi memungkinkan orang untuk melepaskan diri dari kesukaran yang
dihadapi di alam riil.
Faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya fantasi:1) Adanya waktu yang kosong.2) Tidak adanya kesibukan yang menentu.3) Adanya harapan-harapan (cita-cita) yang besar.4) Adanya berbagai kesulitan pemecahan masalah.5) Adanya berbagai macam kelemahan pribadi yang menyebabkan yang
bersangkutan lari ke fantasi untuk membuat ego defence.6) Sedang dirundung asmara, dll.
e. Asosiasi: hubungan antara tanggapan yang satu dengan tanggapan yang lain.
Misal: jika kita menyebut tikus, maka kita akan teringat kucing.
Asosiasi terjadi berdasarkan hukum asosiasi sebagai berikut:
1) Hukum berurutan: beberapa tanggapan yang dialami seseorang secara
berturutan, akan membentuk asosiasi.
2) Hukum serentak: beberapa tanggapan yang dialami secara serentak/ dalam
waktu yang bersamaan, cenderung berasosiasi satu dengan yang lain.
3) Hukum kesamaan/ kesesuaian: beberapa tanggapan yang serupa, atau mirip,
atau identik satu dengan yang lain akan berasosiasi.
4) Hukum berlawanan: tanggapan yang berlawanan satu dengan yang lain
cenderung berasosiasi.
f. Berpikir: proses dinamis dimana subjek membuat hubungan antara objek
dengan bagian-bagian pengetahuan yang sudah dimiliki.
Berpikir dibedakan menjadi:
1) Berpikir reflektif: kemampuan individu dalam menyeleksi pengetahuan (yang
revelan dengan tujuan masalah) yang pernah diperoleh.
Proses-proses mental yang menyertai dalam berpikir reflektif adalah sebagai berikut:a) Direction – perhatian dan minat yang diarahkan pada tujuan.b) Interpretation – interpretasi terhadap hubungan-hubungan yang terdapat
pada tujuan yang akan dicapai.
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 3
c) Selection – mengingat kembali dan memilih pengetahuan-pengetahuan yang sudah pernah diperoleh.
d) Insight – adanya pengertian individu tentang hubungan antara pengetahuan-pengetahuan dengan tujuan yang akan dicapai.
e) Creation – pembentukan pola-pola mental baru.f) Criticism – Penilaian terhadap kesanggupan menyelesaikan permasalahan.
Langkah-langkah berpikir reflektif:a) Individu merasakan adanya problem.b) Individu melokalisasi/ memberi batasan kesukaran pemahaman terhadap
problem.c) Individu menemukan hubungan-hubungan (memformulasikan hipotesis-
hipotesis).d) Individu mengevaluasi hipotesis-hipotesis.e) Individu menerapkan cara pemecahan persoalan kemudian
menyimpulkannya.2) Berpikir kreatif: proses berpikir melalui prosedur dengan cara-cara baru dan
tak dapat dikira-kira sebelumnya sehingga memperoleh hasil yang orisinil.
Langkah-langkah berpikir kreatif:
a) Tahap persiapan – bahan-bahan atau pengetahuan dikumpulkan dan disusun secara integral dan terus-menerus.
b) Tahap inkubasi – kemungkinan besar aspek-aspek pernyataan yang kreatif bersifat samar-samar.
c) Tahap insight/ pemahaman – hasil proses berpikir yang kontinu sehingga individu sadar akan hubungan-hubungan yang sebelumnya tidak diketahui hingga menemukan pemahaman baru.
g. Kecerdasan/ intelegensi: kemampuan mengendalikan aktivitas-aktivitas
dengan ciri-ciri sukar, kompleks, abstrak, ekonomis (tepat), bertujuan, bernilai
sosial, dan menampakkan adanya keaslian, serta kemampuan untuk
mempertahankan kegiatan-kegiatan seperti itu dalam kondisi yang memerlukan
konsentrasi energi dan berlawanan dengan kekuatan-kekuatan emosional.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan:
1) Faktor bawaan/ warisan: orang tua2) Faktor lingkungan: gizi yang dikonsumsi dan rangsangan-rangsangan yang
bersifat kognitif emosional.
2. Gejala perasaan (afektif)
Gejala psikis yang bersifat subyektif, berhubungan dengan gejala-gejala
mengenal, dialami dalam kualitas senang atau tidak senang dalam berbagai taraf.
Perasaan dibedakan sebagai berikut:
a. Perasaan jasmaniah:
1) Perasaan indriah: sedap, asin, pahit, dll.
2) Perasaan vital: segar, lemah, tak berdaya, dll.
b. Perasaan rohaniah: perasaan keagamaan, intelektual, kesusilaan, keindahan,
sosial dan harga diri.
3. Gejala kehendak/ psikomotorik/ motif (konatif)
keadaan dalam pribadi manusia yang mendorong untuk melakukan kegiatan-
kegiatan tertentu guna mencapai suatu tujuan.
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 4
Berdasarkan bentuknya, motif digolongkan sebagai berikut:
a. Motif bawaan: motif yang dibawa sejak lahir tanpa dipelajari. Misal: makan, tidur,
dll.
b. Motif yang dipelajari: motif yang ditimbulkan karena dipelajari. Misal: berteman,
bersahabat.
Berdasarkan sumber rangsangan, motif dibedakan sebagai berikut:
a. Motif ekstrinsik: motif yang terjadi karena pengaruh rangsangan dari luar.
b. Motif instrinsik: motif yang terjadi karena pengaruh rangsangan dari dalam diri
sendiri.
Berdasarkan isi, motif dibedakan sebagai berikut:
a. Motif jasmaniah. Misal: refleks, insting, nafsu, dan hasrat.
b. Motif rohaniah yaitu kemauan.
4. Gejala campuran (kombinasi)
campuran dari kognitif, afektif, dan konatif. Ada 3 macam gejala campuran yaitu:
a. Perhatian
Ada 2 macam arti perhatian:
1) Perhatian merupakan pemusatan tenaga psikis yang tertuju pada sesuatu
obyek.
2) Perhatian adalah pendayagunaan kesadaran untuk menyertai suatu aktivitas.
Berdasarkan cara kerjanya, perhatian dibedakan sebagai berikut:
1) Perhatian spontan: perhatian yang tidak disengaja atau tidak sekehendak
subyek.
2) Perhatian refleksif: perhatian yang disengaja atau sekehendak subyek.
Berdasarkan intensitasnya, perhatian dibedakan sebagai berikut:
1) Perhatian intensif: perhatian yang banyak menyertakan aspek kesadarannya.
2) Perhatian tidak intensif: perhatian yang tidak banyak menyertakan aspek
kesadarannya.
Berdasarkan luasnya, perhatian dibedakan sebagai berikut:
1) Perhatian terpusat: perhatian yang tertuju pada lingkup obyek yang sangat
terbatas.
2) Perhatian terpencar: perhatian yang tertuju pada lingkup obyek yang luas
atau tertuju kepada bermacam-macam obyek.
b. Sugesti – pengaruh yang diterima oleh seseorang yang datangnya dari luar atau
dalam diri sendiri yang mengesampingkan pikiran, perasaan, dan kemauan.
Oto sugesti: pengaruh yang datangnya dari dalam diri sendiri.
c. Kelelahan
Kelelahan terjadi jika orang melakukan banyak kegiatan, baik fisik yang bersifat
jasmani atau rohani, sedangkan energi yang dipakai untuk melakukan kegiatan
tersebut terbatas.
Kelelahan ada 2 macam:
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 5
1) Kelelahan jasmani: kelelahan karena akibat kegiatan fisik.
2) Kelelahan rohani: kelelahan sebagai akibat aktivitas otak.
Psikologi dibedakan menjadi:
Psikologi khusus diklasifikasikan menjadi:
1. Psikologi perkembangan – psikologi yang mempelajari perubahan-perubahan tingkah
laku yang sejalan dengan umur (kehidupan sebelum lahir hingga usia tua).
2. Psikologi anak – psikologi yang mempelajari perkembangan masa anak-anak.
3. Psikologi sosial – psikologi yang mempelajari tingkah laku individu dalam
hubungannya dengan kelompok, terutama bagaimana tingkah laku individu
dipengaruhi kelompoknya.
4. Psikologi klinis – psikologi yang mempelajari kelainan-kelainan tingkah laku,
mengadakan diagnosis psikologik, serta psikoterapi, di samping mengadakan
penelitian-penelitian dan pengetesan dalam bidang tersebut.
5. Psikologi industri – psikologi yang mempelajari masalah-masalah perusahaan atau
industri.
6. Psikologi pendidikan – psikologi yang mempelajari penggunaan psikologi dalam
masalah pendidikan.
7. Psikologi kepribadian – psikologi yang mempelajari sifat dan watak manusia.
8. Psikologi abnormal – psikologi yang mempelajari perilaku-perilaku menyimpang dari
orang-orang yang mengalami gangguan atau kelainan mental.
9. Psikometri – psikologi yang mempelajari pengukuran dan mengembangkan tes.
B. Kedudukan Psikologi Pendidikan di Sekolah
Psikologi pendidikan merupakan ilmu pengetahuan yang menyelidiki segi-segi
psikologi dalam situasi pendidikan (sekolah). Psikologi pendidikan sebagai bagian dari
studi psikologi, berusaha sejauh mungkin untuk lebih berhasil dalam memformulasikan
tujuan pendidikan, penyususunan kurikulum dan pengorganisasian proses belajar
mengajar.
Psikologi pendidikan di sekolah berusaha memecahkan masalah-masalah, antara
lain:
1. Pengaruh pembawaan dan lingkungan atas belajar.
2. Teori dan proses belajar.
3. Hubungan antara taraf kematangan dengan taraf kematangan dengan taraf kesiapan
belajar.
4. Perbedaan individu dan pengaruhnya terhadap hasil pendidikan.
5. Perubahan batiniah yang terjadi selama belajar.
6. Hubungan antara teknik mengajar dan hasil belajar.
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 6
7. Teknik evaluasi yang efektif atas kemajuan yang dicapai anak didik.
8. Perbandingan hasil pendidikan formal dan pendidikan informal atas individu.
9. Nilai sikap ilmiah terhadap pendidikan yang dimiliki para petugas pendidikan (guru).
10. Pengasuh kondisi sosial anak didik atas pendidikan yang diterima.
Mengingat pentingnya peran psikologi pendidikan di sekolah tersebut, maka
kedudukan psikologi pendidikan merupakan bagian yang tak terpisahkan dengan tujuan
pendidikan dan tujuan proses belajar mengajar.
C. Manfaat Psikologi Pendidikan sebagai Calon Guru
Calon guru yang sedang menjalankan pre-service training dan guru yang menjalani
in-service training perlu memiliki pengetahuan tentang psikologik pendidikan, mengingat
syarat-syarat mengajar yang efektif bagi tercapainya tujuan. Berikut ini dikemukaan
persiapan psikologis sebelum menjadi guru:
1. Calon guru harus mempunyai pengetahuan dan pemahaman tentang dasar-dasar
psikologi perkembangan dan perilaku manusia.
2. Mempunyai keterampilan minimal dalam menggunakan teknik-teknik yang tepat
untuk mempelajari kemampuan, minat dan tingkat kesiapan belajar siswanya.
3. Mampu mempertimbangkan nilai-nilai psikologik dari bermacam-macam prosedur
mengajar.
4. Dalam menganalisis dan meneliti cara belajar, kekuatan dan kelemahan belajarnya
sendiri setelah mempelajari aspek-aspek psikologik dari pendidikan.
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 7
BAB IIPERBEDAAN INDIVIDUAL
A. Pendahuluan
Setiap individu adalah unik. Artinya setiap individu memiliki perbedaan antara yang
satu dengan yang lain. Perbedaan tersebut bermacam-macam, mulai dari perbedaan
fisik, pola berpikir dan cara merespon atau mempelajari hal-hal baru. Dalam hal belajar,
masing-masing individu memiliki kelebihan dan kekurangan dalam menyerap pelajaran
yang diberikan. Oleh karena itu, dalam dunia pendidikan dikenal berbagai metode untuk
dapat memenuhi tuntutan perbedaan individu tersebut. Di negara-negara maju sistem
pendidikan bahkan dibuat sedemikian rupa sehingga individu dapat dengan bebas
memilih pola pendidikan yang sesuai dengan karakteristik dirinya.
Di Indonesia seringkali kita mendengar keluhan dari orangtua yang merasa sudah
melakukan berbagai cara untuk membuat anaknya menjadi “pintar”. Orangtua
berlomba-lomba menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah-sekolah terbaik. Selain itu
anak diikutkan dalam berbagai kursus maupun les privat yang terkadang menyita habis
waktu yang seharusnya bisa dipergunakan anak atau remaja untuk bermain atau
bersosialisasi dengan teman-teman sebayanya. Namun demikian usaha-usaha tersebut
seringkali tidak membuahkan hasil seperti yang diharapkan, bahkan ada yang justru
menimbulkan masalah bagi anak dan remaja.
Apa sebenarnya yang terjadi? Mengapa anak-anak tersebut tidak kunjung pintar?
Salah satu faktor yang dapat menjadi penyebabnya adalah ketidaksesuaian cara belajar
yang dimiliki oleh sang anak dengan metode belajar yang diterapkan dalam pendidikan
yang dijalaninya termasuk kursus atau les privat. Cara belajar yang dimaksudkan disini
adalah kombinasi dari bagaimana individu menyerap, lalu mengatur dan mengelola
informasi.
Otak Sebagai Pusat Belajar
Otak manusia adalah kumpulan massa protoplasma yang paling kompleks yang
ada di alam semesta. Satu-satunya organ yang dapat mempelajari dirinya sendiri dan
jika dirawat dengan baik dalam lingkungan yang menimbulkan rangsangan yang
memadai, otak dapat berfungsi secara aktif dan reaktif selama lebih dari seratus tahun.
Otak inilah yang menjadi pusat belajar sehingga harus dijaga dengan baik sampai
seumur hidup agar terhindar dari kerusakan.
Menurut Mac Lean, otak manusia memiliki tiga bagian dasar yang seluruhnya
dikenal sebagai triune brain/ three in one brain (dalam DePorter & Hernacki). Bagian
pertama adalah batang otak, bagian kedua adalah sistem limbik, dan yang ketiga adalah
neokorteks.
Batang otak memiliki kesamaan struktur dengan otak reptil, bagian otak ini
bertanggungjawab atas fungsi-fungsi motorik-sensorik-pengetahuan fisik yang berasal
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 8
dari panca indera. Perilaku yang dikembangkan pada bagian ini adalah perilaku untuk
mempertahankan hidup, dan dorongan untuk mempertahankan spesies.
Di sekeliling batang otak terdapat sistem limbik yang sangat kompleks dan luas.
Sistem ini berada di bagian tengah otak manusia. Fungsinya bersifat emosional dan
kognitif yaitu menyimpan perasaan, pengalaman yang menyenangkan, memori dan
kemampuan belajar. Selain itu, sistem ini mengatur bioritme tubuh seperti pola tidur,
lapar, haus, tekanan darah, jantung, gairah seksual, temperatur, kimia tubuh,
metabolisme dan sistem kekebalan. Sistem limbik adalah panel kontrol dalam
penggunaan informasi dari indra penglihatan, pendengaran, sensasi tubuh, perabaan,
penciuman sebagai input yang kemudian informasi ini disampaikan ke pemikir dalam
otak yaitu neokorteks.
Neokorteks terbungkus di sekitar sisi sistem limbik, yang merupakan 80% dari
seluruh materi otak. Bagian ini merupakan tempat bersemayamnya “pusat kecerdasan
manusia”. Bagian inilah yang mengatur pesan-pesan yang diterima melalui penglihatan,
pendengaran dan sensasi tubuh manusia. Proses yang berasal dari pengaturan ini adalah
penalaran, berpikir intelektual, pembuatan keputusan, perilaku normal, bahasa, kendali
motorik sadar, dan gagasan non verbal. Dalam neokorteks ini pula kecerdasan yang
lebih tinggi berada, diantaranya adalah: kecerdasan linguistik, matematika, spasial/
visual, kinestetik/ perasa, musikal, interpersonal, intrapersonal dan intuisi.
B. Perbedaan Karakteristik Cara Belajar Individu
Berdasarkan kemampuan yang dimiliki otak dalam menyerap, mengelola dan
menyampaikan informasi, maka cara belajar individu dapat dibagi dalam tiga kategori.
Ketiga kategori tersebut adalah cara belajar visual, auditorial dan kinestetik yang
ditandai dengan ciri-ciri perilaku tertentu. Pengkategorian ini tidak berarti bahwa individu
hanya memiliki salah satu karakteristik cara belajar tertentu sehingga tidak memiliki
karakteristik cara belajar yang lain. Pengkategorian ini hanya merupakan pedoman
bahwa individu memiliki salah satu karakteristik yang paling menonjol, sehingga jika ia
mendapatkan rangsangan yang sesuai dalam belajar maka akan memudahkannya untuk
menyerap pelajaran. Dengan kata lain jika individu menemukan metode belajar yang
sesuai dengan karakteristik cara belajar dirinya maka akan cepat ia menjadi “pintar”
sehingga kursus-kursus atau pun les privat secara intensif mungkin tidak diperlukan lagi.
Adapun ciri-ciri perilaku individu dengan karakteristik cara belajar seperti
disebutkan diatas, menurut De Porter & Hernacki, adalah sebagai berikut:
1. Karakteristik perilaku individu dengan cara belajar visual
Individu yang memiliki kemampuan belajar visual yang baik ditandai dengan ciri-ciri
perilaku sebagai berikut:
a. Rapi dan teratur.b. Berbicara dengan cepat.c. Mampu membuat rencana jangka pendek dengan baik.d. Teliti dan rinci.
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 9
e. Mementingkan penampilan.f. Lebih mudah mengingat apa yang dilihat daripada apa yang didengar.g. Mengingat sesuatu berdasarkan asosiasi visual.h. Memiliki kemampuan mengeja huruf dengan sangat baik.i. Biasanya tidak mudah terganggu oleh keributan atau suara berisik ketika
sedang belajar.j. Sulit menerima instruksi verbal (oleh karena itu seringkali ia minta
instruksi secara tertulis).k. Merupakan pembaca yang cepat dan tekun.l. Lebih suka membaca daripada dibacakan.m. Lupa menyampaikan pesan verbal kepada orang lain. n. Dalam memberikan respon terhadap segala sesuatu, ia selalu bersikap
waspada, membutuhkan penjelasan menyeluruh tentang tujuan dan berbagai hal lain yang berkaitan.
o. Jika sedang berbicara di telpon ia suka membuat coretan-coretan tanpa arti selama berbicara.
p. Sering menjawab pertanyaan dengan jawaban singkat “ya” atau “tidak”.q. Lebih suka mendemonstrasikan sesuatu daripada berpidato/ berceramah.r. Lebih tertarik pada bidang seni (lukis, pahat, gambar) daripada musik.s. Seringkali tahu apa yang harus dikatakan, tetapi tidak pandai menuliskan
dalam kata-kata.
2. Karakteristik perilaku individu dengan cara belajar auditorial
Individu yang memiliki kemampuan belajar auditorial yang baik ditandai dengan ciri-
ciri perilaku sebagai berikut:
a. Sering berbicara sendiri ketika sedang bekerja.b. Mudah terganggu oleh keributan atau suara berisik.c. Lebih senang mendengarkan (dibacakan) daripada membaca.d. Jika membaca maka lebih senang membaca dengan suara keras.e. Dapat mengulangi atau menirukan nada, irama dan warna suara.f. Mengalami kesulitan untuk menuliskan sesuatu, tetapi sangat pandai
dalam bercerita.g. Berbicara dalam irama yang terpola dengan baik.h. Berbicara dengan sangat fasih. i. Lebih menyukai seni musik dibandingkan seni yang lainnya.j. Belajar dengan mendengarkan dan mengingat apa yang didiskusikan
daripada apa yang dilihat.k. Senang berbicara, berdiskusi dan menjelaskan sesuatu secara panjang
lebar.l. Mengalami kesulitan jika harus dihadapkan pada tugas-tugas yang
berhubungan dengan visualisasi.m. Lebih pandai mengeja atau mengucapkan kata-kata dengan keras
daripada menuliskannya.n. Lebih suka humor atau gurauan lisan daripada membaca buku humor/
komik.
3. Karakteristik perilaku individu dengan cara belajar kinestetik
Individu yang memiliki kemampuan belajar kinestetik yang baik ditandai dengan ciri-
ciri perilaku sebagai berikut:
a. Berbicara dengan perlahan.b. Menanggapi perhatian fisik.c. Menyentuh orang lain untuk mendapatkan perhatian mereka.d. Berdiri dekat ketika sedang berbicara dengan orang lain.e. Banyak gerak fisik.
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 10
f. Memiliki perkembangan otot yang baik.g. Belajar melalui praktek langsung atau manipulasi.h. Menghafalkan sesuatu dengan cara berjalan atau melihat langsung.i. Menggunakan jari untuk menunjuk kata yang dibaca ketika sedang
membaca.j. Banyak menggunakan bahasa tubuh (non verbal).k. Tidak dapat duduk diam di suatu tempat untuk waktu yang lama.l. Sulit membaca peta kecuali ia memang pernah ke tempat tersebut.m. Menggunakan kata-kata yang mengandung aksi.n. Pada umumnya tulisannya jelek.o. Menyukai kegiatan atau permainan yang menyibukkan (secara fisik).p. Ingin melakukan segala sesuatu
Dengan mempertimbangkan dan melihat cara belajar apa yang paling menonjol
dari diri seseorang maka orangtua atau individu yang bersangkutan (yang sudah
memiliki pemahaman yang cukup tentang karakter cara belajar dirinya) diharapkan
dapat bertindak secara arif dan bijaksana dalam memilih metode belajar yang sesuai.
C. Perbedaan Jenis Kelamin dalam Kemampuan Spesifik
Pria dan wanita memiliki nilai yang kira-kira sama pada tes inteligensia. (seperti
Stanford-Binet dan Wechsler Intelligence Scales). Sebagian besar tes inteligensia disusun
untuk meminimalkan perbedaan jenis kelamin dengan menghapus soal yang
menunjukkan perbedaan jenis kelamin atau dengan menyeimbangkan soal yang
menguntungkan pria dengan yang menguntungkan wanita.
Tetapi, sampai sekarang, tes kemampuan spesifik telah menunjukkan suatu
perbedaan antara pria dan wanita. Wanita rata-ratanya memiliki nilai yang lebih tinggi
dibandingkan pria pada kemampuan verbal. Pria rata-ratanya memiliki nilai yang lebih
tinggi dibandingkan wanita pada penalaran kecakapan matematika dan visual-spasial.
Kecakapan visual spasial diperlukan untuk tugas seperti mengkonseptualisasikan
bagaimana suatu benda di dalam ruang terlihat dari sudut pandang yang berbeda dan
membaca peta atau cetak biru.
Perbedaan jenis kelamin dalam kemampuan kognitif itu, yang telah diamati hampir
sejak awal pengujian sistematik, tampaknya semakin menghilang. Analisis selama lebih
dari 3 dasawarsa (dari 1947 sampai 1980) terhadap nilai tes kemampuan spesifik yang
diberikan kepada siswa sekolah lanjutan di seluruh Amerika menemukan bahwa
perbedaan antara anak pria dan wanita menurun secara progresif selama periode
tersebut.
Analisis terakhir yang meninjau ratusan penelitian perbedaan jenis kelamin pada
kemampuan yang dilakukan selama 20 tahun terakhir mencapai kesimpulan yang sama:
kecakapan verbal pria semakin meningkat dari tahun ke tahun sehingga menyamai
wanita, sedangkan kecakapan wanita pada tes penalaran matematika telah meningkat
sehingga menyamai pria. Satu-satunya tes yang terus menunjukkan perbedaan pada
kemampuan tersebut adalah SAT (Scholastic Aptitude Test); pria dan wanita memiliki
nilai yang kira-kira sama pada bagian verbal tetapi pria memiliki nilai yang lebih tinggi
secara bermakna pada bagian matematika.
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 11
Fakta bahwa perbedaan jenis kelamin telah menurun selama tahun demi tahun
menyatakan bahwa perbedaan nilai tes dahulu mencerminkan perbedaan latihan dan
harapan sosial: sampai belum lama ini, anak perempuan didorong untuk
mengembangkan minat dalam puisi dan literatur; anak laki-laki diharapkan lebih
memperhatikan hal-hal ilmiah dan mekanika. Walaupun masyarakat semakin mengakui
kesederajatan antara pria dan wanita, dan orangtua serta guru semakin tidak stereotipe
terhadap kemampuan yang mereka dorongkan, masih terdapat perbedaan dalam cara
bagaimana anak laki-laki dan perempuan diperlakukan sehingga banyak anak
perempuan kurang percaya diri dalam bidang matematika.
Orangtua masih percaya ilmu pengetahuan dan matematika kurang penting bagi
anak perempuan dibandingkan bagi anak laki-laki; mereka cenderung membesar-
besarkan kemampuan anak laki-laki mereka di dalam bidang tersebut dan meremehkan
kemampuan anak perempuannya. Dan mereka lebih sering membeli komputer dan
permainan ilmiah untuk anak laki-laki dibandingkan anak untuk perempuan. Guru
pelajaran ilmiah dan matematika juga cenderung memberikan lebih banyak dorongan
dan penguatan bagi anak laki-laki dibandingkan untuk anak perempuan.
Jadi, perbedaan pada tes matematika SAT mungkin mencerminkan perbedaan
percaya diri pada laki-laki dan perempuan. Tampaknya pula pertanyaan matematika
menunjukkan bias ke arah pria. Sebagai contohnya, soal mengambil situasi dari olahraga
di mana laki-laki lebih mengenalnya.
Satu bidang kemampuan kognitif yang terus menunjukkan perbedaan jenis kelamin
yang konsisten adalah hubungan visual-spasial. Tes masih menunjukkan nilai yang lebih
tinggi untuk pria, terutama jika tugas itu ditentukan waktunya dan mengharuskan rotasi
mental terhadap objek. Perbedaan jenis kelamin pada kemampuan spasial mungkin turut
menyebabkan perbedaan jenis kelamin dalam kemampuan matematika, karena
visualisasi spasial adalah salah satu strategi untuk memecahkan soal matematika.
Akan menarik mencari tahu apakah perbedaan jenis kelamin di kemampuan spasial
akan berkurang tahun demi tahun kemudian, saat lingkungan untuk wanita berubah.
Sebagian peneliti berpendapat hal itu akan terjadi. Peneliti lain berpendapat bahwa
perbedaan jenis kelamin dalam kemampuan visual-spasial berakar dari pengaruh
hormon seks pada perkembangan otak selama periode janin. Mereka menyatakan bahwa
kemampuan memvisualisasikan objek secara mental berhubungan dengan kecepatan
pertumbuhan kedua hemisfer serebral; hormon pria, testosteron, mungkin
memperlambat perkembangan hemisfer kiri, yang menyebabkan hemisfer kanan yang
sangat terspesialisasi pada pria.
D. Pengaruh Faktor Keturunan dan Lingkungan
1. Pengaruh faktor keturunan (heriditer)
Menurut ahli biologi, terjadinya individu adalah akibat bertemunya sel jantan dan
sel betina. Baik sel jantan maupun sel betina terdiri dari chromosome-chromosome yang
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 12
berupa benang-benang protoplasma yang berpasangan. Pada setiap species (jenis
makhluk) jumlah dan bentuk chromosome-nya selalu sama. Dan bila speciesnya
berbeda, akan berbeda pula jumlah dan bentuk chromosome-nya. Tiap chromosome
mengandung unsur-unsur yang mengandung gene-gene, berupa bintik-bintik dan
letaknya menyerupai mata kalung yang tersusun secara linier dan terikat pada
pasangan-pasangan chromosome. Gene yang berasal dari chromosome sel jantan saling
berpasangan dengan gene yang berasal dari chromosome sel betina.dengan cara yang
berbeda-beda. Cara yang berbeda-beda inilah yang menyebabkan perbedaan sifat
individu. Dan perbedaan sifat individu inilah yang akhirnya menjadi penyebab terjadinya
perbedaan individu manusia berdasarkan faktor keturunan.
2. Pengaruh faktor lingkungan (melieu)
Lingkungan membawa pengaruh pada individu yang berada di lingkungan tersebut.
Lingkungan meliputi:
a. Lingkungan Statis (keadaan tempat dan alam)
Orang yang tinggal di daerah pegunungan tentu akan beda dengan orang yang
tinggal di daerah ngarai. Dari segi jasmani, orang yang tinggal di daerah pegunungan
badannya akan lebih kuat, paru-parunya lebih bersih daripada orang yang tinggal di
daerah ngarai. Sebaliknya dari segi rohani, orang yang tinggal di daerah ngarai pada
umumnya lebih bisa menggunakan akalnya daripada orang yang tinggal di daerah
pegunungan. Jadi lingkungan statis berpengaruh terhadap perbedaan individu baik
dari segi jasmani maupun rohani.
b. Lingkungan Dinamis (keadaan sosial atau manusia)
Dari segi jasmani, orang yang tinggal di daerah perkampungan orang yang suka
olahraga untuk kesehatan, besar kemungkinan akan ikut-ikutan yang akhirnya
menjadi kebiasaan dan mendatangkan kesehatan bagi dirinya. Dari segi rohani,
orang yang tinggal di lingkungan atau daerah “hitam” besar kemungkinan akan
terpengaruh menjadi orang jahat. Sebaliknya orang yang tinggal di lingkungan orang-
orang yang “tekun beragama” sedikit banyak tentu akan mempengaruhinya, dan
besar kemungkinan dia akan menjadi orang baik-baik meskipun semula termasuk
orang jahat.
E. Pengaruh Faktor Kognitif, Afektif, Psikomotor dan Campuran
Kognitif, afektif, dan psikomotor adalah aspek-aspek kepribadian yang sering
disama-artikan dengan aspek cipta, karsa, dan karya. Ketiga istilah ini berasal dari ahli
yang berbeda. Kognitif (aspek penalaran) dikembangkan oleh Bloom; afektif (aspek budi
pekerti) dikembangkan oleh Krathwohl; psikomotor (aspek keterampilan psikomotor)
dikembangkan oleh Simpson.
1. Pengaruh faktor kognitif
Faktor kognitif secara garis besar dapat dijabarkan sebagai berikut:
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 13
a. Mengetahui Mengenali kembali hal-hal yang umum dan khas,
mengenali kembali metode dan proses, mengenali kembali pola, struktur, dan
perangkat.
b. Mengerti Memahami
c. Mengaplikasikan Kemampuan menggunakan abstraksi di
dalam situasi-situasi konkrit.
d. Menganalisis Menjabarkan sesuatu ke dalam unsur-unsur,
bagian-bagian atau komponen-komponen sedemikian rupa, sehingga tampak
jelas susunan atau hirarki gagasan yang ada di dalamnya, atau tampak jelas
hubungan antara berbagai gagasan yang dinyatakan dalam sesuatu komunikasi.
e. Mensintesiskan Kemampuan untuk menyatukan unsur-unsur
atau bagian-bagian sedemikian rupa sehingga membentuk suatu keseluruhan
yang utuh.
f. Mengevaluasi Kemampuan untuk menetapkan nilai/ harga dari
suatu bahan dan metode komunikasi untuk tujuan-tujuan tertentu.
Cara penalaran (kognitif) seseorang terhadap sesuatu obyek selalu berbeda
dengan orang lain. Artinya, obyekyang sama, mungkin akan mendapat penalaran
yang berbeda dari dua orang atau lebih. Jadi karena berbeda dalam penalaran
(kognitif) berbeda pula dalam kepribadian maka terjadilah perbedaan
individu.
2. Pengaruh faktor afektif
Faktor afektif secara garis besar dapat dijabarkan sebagai berikut:
a. Menerima atau memperhatikan Kepekaan terhadap kehadiran
gejala dan perangsang tertentu.
b. Merespon Mereaksi perangsang atau gejala tertentu.
c. Menghargai, berikut pengertian bahwa suatu hal, gejala atau
tingkah laku mempunyai harga atau nilai tertentu.
d. Mengorganisasikan nilai, mencakup mengatur nilai-nilai menjadi
suatu sistem nilai, menyusun jalinan nilai-nilai itu dan menetapkan berlakunya
nilai-nilai yang dominan.
e. Mewatak suatu kondisi di mana nilai-nilai dari sistem nilai yang
diyakini telah benar-benar merasuk di dalam pribadi seseorang. Orang seperti itu
dapat dikatakan sebagai orang yang budipekertinya mendekati kesempurnaan.
Orang yang berbudipekerti luhur akan sangat berbeda dengan orang yang tidak
berbudi hapir dalam segala sepak terjang, tingkah laku, sifat-sifat dan
kepribadiannya. Jadi dengan kata lain, faktor afektif sangat besar pengaruhnya
terhadap terjadinya perbedaan individual.
3. Pengaruh faktor psikomotor
Faktor keterampilan psikomotor secara garis besar dapat dijabarkan sebagai berikut:
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 14
a. Mengindera Kegiatan keterampilan psikomotor yang dilakukan
dengan alat-alat indera.
b. Menyiagakan diri Mengatur kesiapan diri sebelum melakukan
sesuatu tindakan dalam rangka mencapai suatu tujuan.
c. Bertindak secara terpimpin Melakukan tindakan-tindakan
dengan mengikuti prosedur tertentu.
d. Bertindak secara mekanik Bertindak mengikuti prosedur baku.
e. Bertindak secara kompleks Bertindak secara teknologi yang
didukung oleh kompetensi. Di dalamnya tercakup semua tindakan keahlian dari
berbagai bidang profesi. Ciri khas dari orang yang mampu bertindak secara
kompleks adalah mampu menyusun mekanisme kerja sesuai dengan situasi dan
kondisi yang dihadapinya dan mampu menciptakan teknologi baru.
Orang yang telah sampai pada tingkat puncak keterampilan psikomotor dalam
menanggapi sesuatu bisa sampai pada penciptaan teknologi baru. Jadi
keterampilan psikomotor berpengaruh terhadap perbedaan individual.
4. Pengaruh campuran (dari faktor kognitif, afektif, dan psikomotor)
Dari uraian di atas, faktor kognitif, afektif, dan psikomotor sangat besar pengaruhnya
terhadap perbedaan individual secara terpisah. Tetapi sebenarnya baik secara
sendiri-sendiri (terpisah) maupun secara bersama-sama (campuran), maka ketiga
faktor tersebut sangat besar pengaruhnya terhadap perbedaan individual.
Ada 4 kemungkinan campuran, yaitu:
a. Percampuran antara faktor kognitif, afektif, dan psikomotor.
b. Percampuran antara faktor kognitif dan afektif.
c. Percampuran antara faktor kognitif dan psikomotor.
d. Percampuran antara faktor afektif dan psikomotor.
Bagaimanapun variasi campurannya, semua berpengaruh terhadap perbedaan
individual.
F. Pengaruh dalam Aspek Kecakapan
Perbedaan dalam aspek ini, nampak pada diri seseorang untuk dapat bertindak
secara cepat (waktunya singkat) dan tepat (hasilnya sesuai dengan harapan) dan
dengan mudah tanpa menghadapi banyak hambatan maupun kesulitan. Berdasarkan
cepat-lambatnya atau tepat-tidaknya dalam bertindak, siswa dapat diklasifikasikan
sebagai berikut:
1. Ada siswa yang cepat dan tepat dalam bertindak, penuh kemudahan.2. Ada siswa yang cepat, tetapi tidak tepat.3. Ada siswa yang tidak cepat tetapi tepat.4. Ada siswa yang tidak cepat dan tidak tepat, bahkan banyak kesulitan dan
hambatan.
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 15
Masalah cepat dan tepatnya seseorang dalam bertindak ini lazimnya disebut orang
yang cakap. Dalam bidang psikologi, orang yang cakap disebut orang yang berperilaku
inteligen. Pengertian perilaku intelegen ada kaitannya dengan konsep intelegensi.
Intelegensi adalah kemampuan untuk memecahkan segala jenis masalah dalam segala
situasi. Seseorang yang memiliki kecakapan tertentu bukan semata-mata karena
kelahirannya saja melainkan juga karena perkembangan dan pengalamannya.
Kecakapan individu atau yang sering disebut abilitas (ability), dapat dibedakan
menjadi:
1. Kecakapan nyata aktual (actual ability)
Kecakapan yang segera dapat didemonstrasikan pada setiap saat, karena
merupakan hasil usaha belajar yang telah dijalaninya (prestasi belajar).
2. Kecakapan potensi (potensial ability)
Kecakapan yang masih terpendam dalam diri seseorang,
yang bersifat laten dan diperoleh melalui keturunan (pembawaan) yang meliputi
abilitas dasar umum (general, intelegence) dan abilitas dasar khusus dalam
bidang tertentu (bakat, talent, aptitudes).
Kedua macam kecakapan potensi ini dapat dideteksi dengan cara mengidentifikasi
perilakunya. Menurut Witherington, manifestasi dari indikator perilaku inteligen adalah:
a. Kecakapan dalam menggunakan bilangan.b. Ketepatan menggunakan bahasa.c. Kecepatan dalam persepsi.d. Kecakapan dalam mengingat.e. Kecakapan dalam memahami hubungan.f. Berimajinasi.
Dengan mengetahui indikator-indikator perilaku inteligen tersebut, para ahli telah
mengembangkan alat ukur yang telah dibakukan (standardized test) baik untuk
kecakapan dasar umum (general intelegence test) maupun kecakapan dasar khusus
(aptitude test). Kecakapan dasar umum dikategorikan sebagai berikut:
a. Orang yang superior atau genius orang yang dapat bertindak jauh lebih cepat, tepat dan penuh kemudahan.
b. Orang normal orang yang bertindak biasa-biasa saja kecepatan maupun ketepatannya, seperti yang tampak pada sebagian besar orang menurut batasan-batasan waktu dan tingkat kesukaran yang telah ditetapkan.
c. Orang sub normal atau mentally defective atau mentally retarded orang yang jauh lebih lambat kecepatannya dan jauh tidak tepat serta lebih banyak mengalami kesulitan.
Kecakapan dasar khusus dikategorikan sebagai berikut:
a. Bidang bilangan (numerical abilities).b. Bidang bahasa (verbal abilities).c. Bidang hubungan sosial (social abilities).d. Bidang gerak motorik (motorical abilities).
Dari uraian di atas, menunjukkan bahwa perbedaan dari segi kecakapan akan
mempengaruhi prestasi belajar siswa. Hal ini tampak, meskipun guru sudah bersungguh-
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 16
sungguh dalam mengajar tetapi siswa tidak dapat memperoleh prestasi yang optimal
karena perbedaan pada kecakapan.
G. Pengaruh dalam Aspek Kepribadian (Personality)
Perbedaan pada aspek kepribadian akan tampak pada kualitas total perilaku
individu dalam melakukan penyesuaian diri terhadap lingkungan secara unik. Unik
maksudnya menunjukkan bahwa totalitas perilaku seseorang bersifat khas, artinya
kualitas perilaku antara individu yang satu dengan yang lain berbeda. Keunikannya
tersebut didukung oleh struktur organisasi ciri-ciri jiwa dan raga, yang terbentuk secara
dinamis. Ciri-ciri jiwa dan raga tersebut meliputi konstitusi dan kondisi fisik, tampang dan
penampilan, kondisi dan proporsi horman, cairan dalam tubuh, keadaan emosionalnya,
aspek kognitif, afektif, psikomotornya, dll. Hal-hal tersebut mempengaruhi kualitas
perilaku seseorang, yang akan tampak dalam interaksinya dengan lingkungan, berupa
karakter, temperamen, sikap, stabilitas, emosional, tanggung jawab maupun sosiobilitas.
Dari keseluruhan indikator kepribadian inilah yang sangat mempengaruhi seseorang
dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungan, baik lingkungan sekolah, masyarakat
ataupun keluarga.
H. Teori Tentang Perbedaan Individu dari Hippocrates-Galenus
Kepribadian seseorang ditentukan oleh proporsi cairan tubuh yang
mendominasinya, sehingga pribadi seseorang kan berbeda dengan orang lain, karena
pribadi yang berbeda-beda inilah yang menimbulkan terjadinya perbedaan individual.
Ada 4 tipe golongan manusia berdasarkan temperamen atau wataknya, sebagai berikut:
No.Cairan tubuh
yang dominan
Prinsip Tipe Sifat-sifat khas
1. Chole Tegangan (tension)
Choleris Besar semangat, daya juang besar, hatinya mudah terbakar, optimistis.
2. Melanchole Penegaran (regidity)
Melancholis Mudah kecewa, daya juang kecil, mudah dipengaruhi, setia.
3. Phlegma Ilastisita Phlegmatis
Tidak suka terburu-buru, tdak mudah dipengaruhi, setia.
4. Sanguis Ekspansivita
Sanguisis Hidup, mudah berganti haluan, mudah lekas bertindak namun juga lekas berhenti.
Tipologi yang menerangkan perbedaan individu atas dasar cairan yang ada dalam
tubuh ini belum dapat menerangkan keadaan yang terjadi dalam masyarakat, sebab
cairan dalam tubuh dibawa sejak lahir; sedangkan sifat kejiwaan tertentu tidak hanya
dipengaruhi oleh cairan yang mengalir dalam tubuhnya saja, tetapi pengaruh lingkungan
yaitu sesuatu yang berada di luar dirinya memilki pengaruh yang besar pula.
I. Teori Tentang Perbedaan Individu dari Kretschmer
Perbedaan individu ditinjau dari segi struktur badaniah. Ada 4 tipe golongan manusia
berdasarkan bentuk tubuhnya, sebagai berikut:
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 17
No.
Struktur badan
Sifat-sifat khas
1. Athletis Ukuran-ukran tubuh seimbang, kokoh, kuat, tulang-tulang otot kuat, bahu lebar dan kuat, tengkorak besar, kepala dan leher tegak, muka bulat telur, mudah menyesuaikan diri.
2. Leptosom/ asthenis
Badan kurus jangkung, lengan dan kaki kurus, perut kecil, bahu sempit, muka bulat telur, berat badan kurang, mudah terkena kritik.
3. Pyknis Badan gemuk pendek, perut besar, leher pendek dan kuat, lengan dan kaki lemah, mudah bergaul.
4. Dysplastis Tipe ini merupakan penyimpangan dari ketiga tipe di atas, bentuk badannya tidak normal, tidak memiliki ciri-ciri yang khas.
J. Teori Tentang Perbedaan Individu dari C.G. Jung
Perbedaan-perbedaan individu ditinjau dari segi perkembangan sosial. Kepribadian
manusia didasarkan pada perkembangan sosial seseorang dalam masyarakatnya. Dan
perkembangan kepribadian itulah yang menjadi dasar, yang menyebabkan individu yang
satu berbeda dengan individu yang lain.
Ada 2 tipe kepribadian manusia yang penggolongannya didasarkan pada
perkembangan sosial, sebagai berikut:
1. Type introvert.
Memiliki sifat khas: menarik diri, pemalu, sukar bergaul, senang berangan-angan,
mendapat kepuasan dalam perasaaan dan angan-angan, menutup diri.
2. Type extrovert.
Memiliki sifat khas: mudah bergaul, mudah menyesuaikan diri, menaruh minat pada
orang lain serta kegiatan-kegiatan sosial, ramah, banyak teman.
Dari kenyataan yang ada, sesungguhnya orang berkeyakinan bahwa perilaku
manusia menunjuk pada sifat introvert dan extrovert secara bersama-sama, atau
termasuk campuran antara introvert dan extrovert dimana dalam hal ini mereka
termasuk dalam golongan ambivert.
K. Teori Tentang Perbedaan Individu dari E. Spranger
Perbedaan-perbedaan individu ditinjau dari nilai-nilai kebudayaan yang ada pada tiap
individu, yang dalam kenyataannya bahwa biasanya hanya salah satu nilai saja yang dominan
dan nilai yang dominan inilah yang memberi corak atau bentuk kepada kepribadian
seseorang. Manusia dikelompokkan ke dalam tipe-tipe, sebagai berikut:
No.
Nilai kebudayaan yang dominan
Tipe Tingkah laku manusia
1. Ilmu pengetahuan Manusia teori Berpikir2. Ekonomi Manusia
ekonomiBekerja
3. Kesenian Manusia esthetis
Menikmati keindahan
4. Keagamaan Manusia agama
Memuja
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 18
5. Kemasyarakatan Manusia sosial Berbakti/ berkorban6. Politik Manusia kuasa (Ingin) memerintah
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 19
BAB IIIKONSTRUKTIVISME DALAM PEMBELAJARAN
A. Gagasan Dasar Konstruktivisme
1. Dunia (alam semesta) dan ilmu pengetahuan
Popper membedakan tiga pengertian tentang alam semesta: a) dunia fisik atau
keadaan fisik, b) dunia kesadaran atau mental atau disposisi tingkah laku, dan c) dunia
dari isi objektif pemikiran manusia, khususnya pemikiran ilmiah, puitis, dan seni. Dunia
oleh Popper dipandang secara ontologis.
Menurut Driver dan Bell, ilmu pengetahuan bukanlah hanya kumpulan hukum atau
daftar fakta. IImu pengetahuan, terutama sains, adalah ciptaan pikiran manusia dengan
semua gagasan dan konsepnya yang ditemuan secara bebas. Menurut Einstein dan
Infeld, konsep atau teori tidak menuruti pengamatan induktif yang sederhana. Hal ini
terbukti dengan adanya banyak siswa yang mengalami kesulitan untuk
mengabstraksikan kenyataan-kenyataan yang mereka peroleh dari percobaan-
percobaan mereka. Abstraksi dan teorisasi itu melalui proses penemuan yang imaginatif,
tidak cukup hanya dengan mengamati objek yang ada. Ada dua dunia yang berbeda,
dunia kenyataan dan dunia pengertian. Untuk menjembatani keduanya, diperlukan
proses konstruksi imaginatif.
2. Hakikat pengetahuan
Cukup lama diterima bahwa pengetahuan harus merupakan representasi
(gambaran atau ungkapan) kenyataan dunia yang terlepas dari pengamat
(objektivisme). Pengetahuan dianggap sebagai kumpulan fakta. Namun akhir-akhir ini,
terlebih dalam bidang sains, diterima bahwa pengetahuan tidak lepas dari subjek yang
sedang belajar mengerti. Pengetahuan lebih dianggap sebagai suatu proses
pembentukan (konstruksi) yang terus-menerus, terus berkembang dan berubah. Konsep-
konsep yang dulu dianggap sudah tetap dan kuat, seperti Hukum Newton dalam ilmu
fisika, ternyata harus diubah karena tidak dapat lagi memberikan penjelasan yang
memadai. Menurut Piaget, sejarah revolusi sains menunjukkan perubahan konsep-
konsep pengetahuan yang penting.
Konstruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa
pengetahuan kita adalah konstruksi (bentukan) kita sendiri. Von Glasersfeld menegaskan
bahwa pengetahuan bukanlah suatu tiruan dari kenyataan (realitas). Pengetahuan
bukanlah gambaran dari dunia kenyataan yang ada. Pengetahuan selalu merupakan
akibat dari suatu konstruksi kognitif kenyataan melalui kegiatan seseorang. Seseorang
membentuk skema, kategori, konsep dan struktur pengetahuan yang diperlukan untuk
pengetahuan. Maka pengetahuan bukanlah tentang dunia lepas dari pengamat tetapi
merupakan ciptaan manusia yang dikonstruksikan dari pengalaman atau dunia sejauh
dialaminya. Proses pembentukan ini berjalan terus menerus dengan setiap kali
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 20
mengadakan reorganisasi karena adanya suatu pemahaman yang baru.
Para konstruktivis menjelaskan bahwa satu-satunya alat/ sarana yang tersedia bagi
seseorang untuk mengetahui sesuatu adalah indranya. Seseorang berinteraksi dengan
objek dan lingkungan dengan melihat, mendengar, menjamah, mencium, dan
merasakannya. Dari sentuhan indrawi itu seseorang membangun gambaran dunianya.
Misalnya, dengan mengamati air, bermain dengan air, mencecap air, dan menimbang
air, seseorang membangun gambaran pengetahuan tentang air. Para konstruktivis
percaya bahwa pengetahuan itu ada dalam diri seseorang yang sedang mengetahui.
Pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari otak seseorang (guru) ke kepala
orang lain (siswa). Siswa sendirilah yang harus mengartikan apa yang telah diajarkan
dengan menyesuaikan terhadap pengalarnan-pengalaman mereka.
Tampak bahwa pengetahuan lebih menunjuk pada pengalaman seseorang akan
dunia daripada dunia itu sendiri. Tanpa pengalaman itu, seseorang tidak dapat
membentuk pengetahuan. Pengalaman tidak harus diartikan sebagai pengalaman fisik,
tetapi juga dapat diartikan sebagai pengalaman kognitif dan mental.
Menurut Von Glasersfeld, pengetahuan itu dibentuk oleh struktur konsepsi
seseorang sewaktu dia berinteraksi dengan lingkungannya. Lingkungan dapat berarti
dua macam. Pertama, bila kita berbicara tentang diri kita sendiri, lingkungan menunjuk
pada keseluruhan objek dan semua relasinya yang kita abstraksikan dari pengalaman.
Kedua, bila kita memfokuskan diri pada suatu hal tertentu, lingkungan menunjuk pada
sekeliling hal itu yang telah kita isolasikan. Dalam hal ini, baik hal itu maupun
sekelilingnya merupakan lingkup pengalaman kita sendiri, bukan dunia objektif yang
lepas dari pengamat.
Struktur konsepsi tersebut membentuk pengetahuan bila struktur itu dapat
digunakan dalam menghadapi pengalaman-pengalaman mereka ataupun dalam
menghadapi persoalan-persoalan mereka yang berkaitan dengan konsepsi tersebut. Bila
konsep ataupun abstraksi seseorang terhadap sesuatu dapat menjelaskan macam-
macam persoalan yang berkaitan, maka konsep itu membentuk pengetahuan seseorang
akan hal itu. Misalnya, konsepsi seseorang akan ciri-ciri seorang wanita dibandingkan
dengan seorang lelaki akan menjadi suatu pengetahuan tentang "ciri-ciri wanita" bila
konsepsi itu dapat digunakan dalam menganalisis wanita-wanita lain yang dijumpainya
dan dapat membedakan antara wanita dan lelaki yang dijumpainya.
Bagi para konstruktivis, pengetahuan bukanlah tertentu dan deterministik, tetapi
suatu proses menjadi tahu. Misalnya saja, pengetahuan kita akan “kucing” tidak sekali
jadi, tetapi merupakan proses untuk semakin tahu. Pada waktu kecil dengan melihat
kucing, menjamah, dan bergaul dengan kucing di rumah, kita membangun pengertian
akan “kucing” sejauh dapat ditangkap dari kucing kita sendiri yang terbatas. Dalam
perjalanan selanjutnya, kita bertemu dengan jenis kucing-kucing lain dengan segala
macam bentuk dan sifatnya. Interaksi dengan macam-macam kucing ini menjadikan
pengetahuan kita akan kucing lebih lengkap dan rinci daripada gambaran waktu kita
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 21
kecil.
Konstruktivis menyatakan bahwa semua pengetahuan yang kita peroleh adalah
konstruksi kita sendiri, maka mereka menolak kemungkinan transfer pengetahuan dari
seseorang kepada yang lain bahkan secara prinsipil. Tidak mungkinlah mentransfer
pengetahuan karena setiap orang membangun pengetahuan pada dirinya.
Pengetahuan bukanlah suatu barang yang dapat ditransfer begitu saja dari pikiran
yang mempunyai pengetahuan ke pikiran orang yang belum mempunyai pengetahuan.
Bahkan bila seorang guru bermaksud mentransfer konsep, ide, dan pengertiannya
kepada seorang siswa, pemindahan itu harus diinterpretasikan dan dikonstruksikan oleh
si siswa lewat perrgalamannya. Banyaknya siswa yang salah menangkap apa yang
diajarkan oleh gurunya menunjukkan bahwa pengetahuan itu tidak dapat begitu saja
dipindahkan, melainkan harus dikonstruksikan atau paling sedikit diinterpretasikan
sendiri oleh siswa.
Dalam proses konstruksi itu, menurut Von Glasersfeld, diperlukan beberapa
kemampuan, yaitu: a) kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali
pengalaman, b) kemampuan membandingkan, mengambil keputusan (justitifikasi)
mengenai persamaan dan perbedaan, dan c) kemampuan untuk lebih menyukai
pengalaman yang satu daripada yang lain. Kemampuan mengingat dan mengungkapkan
kembali pengalaman sangat penting karena pengetahuan dibentuk berdasarkan
interaksi dengan pengalaman-pengalaman tersebut. Kemampuan membandingkan
sangat penting untuk dapat menarik sifat yang lebih umum dari pengalaman-
pengalaman khusus serta melihat kesamaan dan perbedaannya untuk dapat membuat
klasifikasi dan membangun suatu pengetahuan. Karena kadang seseorang lebih
menyukai pengalaman tertentu daripada yang lain, maka muncullah soal nilai dari
pengetahuan yang kita bentuk.
Piaget membedakan dua aspek berpikir dalam pembentukan pengetahuan ini,
yaitu: a) aspek figuratif dan b) aspek operatif. Aspek berpikir figuratif adalah imaginasi
keadaan sesaat dan statis. Ini mencakup persepsi, imaginasi, dan gambaran mental
seseorang terhadap sesuatu objek atau fenomena. Aspek berpikir operatif lebih
berkaitan dengan transformasi dari satu level ke level lain. Ini menyangkut operasi
intelektual atau sistem transformasi. Setiap level keadaan dapat dimengerti sebagai
akibat dari transformasi tertentu atau sebagai titik tolak bagi transformasi lain. Dengan
kata lain, aspek yang lebih esential dari berpikir adalah aspek operatif. Berpikir operatif
inilah yang memungkinkan seseorang untuk mengembangkan pengetahuannya dari
suatu level tertentu ke level yang lebih tinggi.
Tujuan mengetahui sesuatu bukanlah untuk menemukan realitas. Tujuannya lebih
adaptif, yaitu untuk mengorganisasikan “pengetahuan” yang cocok dengan pengalaman
hidup manusia, sehingga dapat digunakan bila berhadapan dengan tantangan dan
pengalaman-pengalaman baru. Secara ringkas gagasan konstruktivisme mengenai
pengetahuan dapat dirangkum sebagai berikut:
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 22
a. Pengetahuan bukanlah merupakan gambaran dunia kenyataan belaka, tetapi selalu
merupakan konstruksi kenyataan melalui kegiatan subjek.
b. Subjek membentuk skema kognitif, kategori, konsep, dan struktur yang perlu untuk
pengetahuan.
c. Pengetahuan dibentuk dalam struktur konsepsi seseorang.
Struktur konsepsi membentuk pengetahuan bila konsepsi tersebut berlaku dalam
berhadapan dengan pengalaman-pengalaman seseorang.
3. Realitas dan kebenaran
Pengetahuan kita bukanlah realitas dalam arti umum. Konstruktivisme menyatakan
bahwa kita tidak pernah dapat mengerti realitas yang sesungguhnya secara ontologis.
Yang kita mengerti adalah struktur konstruksi kita akan sesuatu objek. Menurut
Bettencourt, memang konstruktivisme tidak bertujuan mengerti realitas, tetapi lebih
hendak melihat bagaimana kita menjadi tahu akan sesuatu. Boleh juga dikatakan bahwa
“realitas” bagi konstruktivisme tidak pernah ada secara terpisah dari pengamat. Yang
diketahui bukan suatu realitas “di sana” yang berdiri sendiri, melainkan kenyataan
sejauh dipahami oleh orang yang menangkapnya. Menurut Shapiro, ada banyak bentuk
kenyataan dan masing-masing tergantung pada kerangka dan interaksi pengamat
dengan objek yang diamati. Dalam kerangka pemikiran ini, bila kita bertanya, “Apakah
yang kita ketahui itu memang sungguh kenyataan yang ada?”, kaum konstruktivis akan
menjawab, “Kami tidak tahu, itu bukan urusan kami.”
Lalu, bagaimana halnya dengan kebenaran? Bagaimana orang tahu bahwa
pengetahuan yang kita konstruksikan itu benar? Beberapa paham ilmu pengetahuan
mengatakan bahwa suatu pengetahuan itu diangap benar bila pengetahuan itu sesuai
dengan kenyataannya. Misalnya, pengetahuan seseorang bahwa “angsa itu putih”
adalah benar bila dalam kenyataannya memang angsa itu putih dan tidak berwarna lain.
Dengan kata lain, orang membuktikan pengetahuannya dengan membandingkannya
dengan realitas ontologisnya. Bagi kaum konstruktivis, kebenaran diletakkan pada
viabilitas, yaitu kemampuan suatu konsep atau pengetahuan dalam beroperasi. Artinya,
pengetahuan yang kita konstruksikan itu dapat digunakan dalam menghadapi macam-
macam fenomena dan persoalan yang berkaitan dengan pengetahuan tersebut.
Misalnya, pengetahuan kita akan hukum gerak Newton dianggap benar karena dengan
hukum itu kita dapat memecahkan banyak persoalan tentang gerak. Dalam kaitan
dengan ini, maka kita dapat menangkap bahwa pengetahuan kita ada taraf-tarafnya:
dari yang cocok atau berlaku untuk banyak persoalan sampai dengan yang hanya cocok
untuk beberapa persoalan. Sekali lagi tampak bahwa pengetahuan itu bukan barang
mati yang sekali jadi, melainkan suatu proses yang terus berkembang.
4. Hal yang membatasi konstruksi pengetahuan
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 23
Bettencourt menyebutkan beberapa hal yang dapat membatasi proses konstruksi
pengetahuan manusia, antara lain: a) konstruksi kita yang lama, b) domain pengalaman
kita, dan c) jaringan struktur kognitif kita. Hasil dan proses konstruksi pengetahuan kita
yang lampau dapat menjadi pembatas konstruksi pengetahuan kita yang mendatang.
Unsur-unsur yang kita abstraksikan dari pengalaman yang lampau, cara kita
mengabstraksi dan mengorganisasikan konsep-konsep, aturan main yang kita gunakan
untuk mengerti sesuatu, semuanya punya pengaruh terhadap pembentukan penge-
tahuan berikutnya. Misalnya, pengetahuan kita akan hukum Newton akan selalu
membatasi kita dalam menganalisis suatu gerak. Pandangan kita mengenai suatu objek,
misalnya tikus, akan mewarnai dan dapat membatasi pengertian kita akan binatang lain
yang mirip dengan tikus. Pengalaman yang sudah kita abstraksikan, yang telah menjadi
suatu konsep, dalam banyak hal akan membatasi pengertian kita tentang sesuatu yang
ada kaitannya dengan konsep tersebut. Bahkan ini terjadi juga dalam pengertian kita
mengenai orang. Misalnya, pengalaman bentrok kita dengan seorang teman yang telah
kita jadikan suatu konsep “bahwa teman itu tidak baik”, akan dapat mempengaruhi
pandangan dan gagasan kita tentang orang itu selanjutnya, meskipun mungkin orang itu
sudah berubah.
Pengalaman kita yang terbatas akan sangat membatasi perkembangan
pembentukan pengetahuan kita pula. Pengalaman akan fenomena yang baru akan
menjadi unsur yang sangat penting dalam pengembangan pengetahuan kita dan
kekurangan dalam hal ini akan membatasi pengetahuan kita pula. Dalam bidang ilmu
fisika, biologi, kimia, geologi, atau astronomi sangat jelas peranan pengalaman ataupun
percobaan-percobaan dalam perkembangan hukum, teori, maupun konsep-konsep ilmu
tersebut. Dalam bidang ilmu matematikapun pengalaman mengkonsepsi maupun
memecahkan persoalan-persoalan baru, akan sangat mempengaruhi perkembangan
pengetahuan seseorang tentang matematika sendiri. Dalam bidang pengetahuan sosial,
pengalaman berinteraksi dengan masyarakat dan lingkungan yang semakin luas akan
juga memperluas pemahaman pengetahuan sosial seseorang.
Struktur kognitif merupakan suatu sistem yang saling berkaitan. Konsep, gagasan,
gambaran, teori, dan sebagainya yang membentuk struktur kognitif saling berhubungan
satu dengan yang lain. Inilah yang oleh Toulmin disebut ekologi konseptual. Setiap
pengetahuan yang baru harus juga cocok dengan ekologi konseptual tersebut, karena
manusia cenderung untuk menjaga stabilitas ekologi sistem tersebut. Kecenderungan ini
dapat menghambat perkembangan pengetahuan.
5. Faktor yang memungkinkan perubahan pengetahuan
Banyak situasi yang memaksa atau membantu seseorang untuk mengadakan
perubahan dalam pengetahuannya. Perubahan ini mengembangkan pengetahuan
seseorang. Bettencourt menyebutkan beberapa situasi atau konteks yang membantu
perubahan, yaitu: a) konteks tindakan, b) konteks membuat masuk akal, c) konteks
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 24
penjelasan, dan d) konteks pembenaran (justifikasi).
Bila seseorang harus cepat bertindak atau memecahkan sesuatu secara terencana,
ia akan terdorong untuk menganalisis situasi dan persoalan yang dihadapi. Dalam situasi
seperti itu ia dapat bertindak secara efisien dan membentuk pengetahuan atau konsep
yang baru. Juga bila seseorang berhadapan dengan suatu persoalan atau kejadian baru
yang tidak disangka-sangka, ia ditantang untuk mencari arti dan makna hal itu dengan
menggunakan gagasan, ide-ide, maupun konsep-konsep yang telah ia punyai. Bila
konsepnya tidak cocok, lalu ia terpaksa harus mengubah konsepnya. Dengan demikian ia
mengembangkan pengetahuan yang baru.
Pertanyaan “Apa yang kamu maksudkan dengan ini, bagaimana kamu dapat
menjelaskan hal ini?” memacu orang untuk mengkonstruksi sesuatu dan mengerti
sesuatu. Juga bila seseorang harus mempertahankan dan membenarkan gagasannya
terhadap kritikan orang lain, ia didorong untuk menciptakan konstruksi yang baru.
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa situasi atau konteks yang memaksa seseorang
untuk menyadari “sesuatu”, dapat membantu orang itu mengubah atau paling sedikit
memperkembangkan pengetahuannya. Dalam bidang pengajaran sains dan matematika,
kadang perlu ditunjukkan persoalan atau gejala yang berlawanan dengan yang telah
dipikirkan siswa. Gejala tersebut, yang dinamakan gejala anomali, dapat memacu siswa
mengubah dan memperkembangkan pengetahuan mereka. Misalnya, bila kebanyakan
siswa beranggapan bahwa benda padat selalu akan tenggelam dalam zat cair, tunjukkan
kepada mereka gabus yang tidak tenggelam dalam air.
B. Asal-Usul Konstruktivisme
Pemikiran awal konstruktivisme dikemukakan oleh Giambatissta Vico (1668–1774)
seorang ahli filsafat ilmu pengetahuan pada tahun 1710 dalam De Antiquissima Italorum
Sapientia, mengungkapkan “Tuhan adalah pencipta alam semesta dan manusia adalah
tuan dari ciptaan”. Dijelaskan bahwa “mengetahui” berarti “mengetahui bagaimana
membuat sesuatu”. Ini berarti bahwa seseorang baru mengetahui sesuatu jika jika ia
dapat menjelaskan unsur-unsur apa yang membangun sesuatu itu. Hanya Tuhan sajalah
yang dapat mengerti alam raya ini karena hanya Dia yang tahu bagaimana membuatnya
dan dari apa Ia membuatnya. Sementara orang hanya dapat mengetahui sesuatu yang
telah dikonstruksikannya. Bagi Vico, pengetahuan selalu menunjuk kepada struktur
konsep yang dibentuk. Ini berbeda dengan kaum empirisme yang menyatakan bahwa
pengetahuan itu harus menunjuk kepada kenyataan luar. Menurut Vico, pengetahuan
tidak lepas dari orang (subjek) yang tahu. Pengetahuan merupakan struktur konsep dari
pengamat yang berlaku. Sayangnya, menurut banyak pengamat, Vico tidak
membuktikan teorinya.
Berdasarkan identifikasi “mengetahui sesuatu” dengan “membuat sesuatu”, Vico
mengatakan bahwa matematika adalah cabang pengetahuan yang paling tinggi.
Alasannya, dalam matematika orang menciptakan dalam pikirannya semua unsur dan
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 25
aturan-aturan yang secara lengkap dipakai untuk mengerti matematika. Orang sendirilah
yang menciptakan matematika, sehingga orang dapat mengerti secara penuh.
Sedangkan dalam pengetahuan fisika dan terlebih humaniora, manusia tidak dapat
mengerti secara penuh dan hanya Tuhan yang dapat mengerti secara penuh karena
Tuhanlah yang menciptakan mereka. Karena itu bagi Vico, mekanika kurang pasti
daripada matematika, fisika kurang pasti daripada mekanika, dan kegiatan-kegiatan
manusiawi kurang pasti daripada fisika. Dengan cara ini Vico membedakan taraf-taraf
pengetahuan manusia.
Rorty menilai konstruktivisme sebagai salah satu bentuk pragmatisme, terlebih
dalam soal pengetahuan dan kebenaran, karena hanya mementingkan bahwa suatu
konsep itu berlaku atau dapat digunakan. Para konstruktivis sekarang melihat
kesesuaian Vico dengan model ilmiah yang digunakan untuk menganalisis dan mengerti
pengalaman fenomena baru.
Cukup lama gagasan Vico tidak diketahui orang dan seakan dipendam. Piaget
menuliskan gagasan konstruktivisme dalam teori tentang perkembangan kognitif dan
juga dalam epistemologi genetiknya Piaget mengungkapkan teori adaptasi kognitifnya,
yaitu bahwa pengetahuan kita diperoleh dari adaptasi struktur kognitif kita terhadap
lingkungannya, seperti suatu organisme harus beradaptasi dengan lingkungannya untuk
dapat melanjutkan kehidupan. Gagasan Piaget ini lebih cepat tersebar, melebihi gagasan
Vico.
C. Macam Konstruktivisme
Von Glasersfeld membedakan adanya tiga taraf konstruktivisme, yaitu:
1. Konstruktivisme radikal
Kaum konstruktivis radikal mengesampingkan hubungan antara pengetahuan dan
kenyataan sebagai suatu kriteria kebenaran. Bagi konstruktivis radikal, pengetahuan
tidak merefleksikan suatu kenyataan ontologis objektif, tetapi merupakan suatu
pengaturan dan organisasi dari suatu dunia yang dibentuk oleh pengalaman seseorang.
Menurut Von Glasersfeld, Piaget termasuk konstruktivis radikal. Konstruktivisme radikal
berpegang bahwa kita hanya dapat mengetahui apa yang dibentuk/ dikonstruksi oleh
pikiran kita. Bentukan itu harus “jalan” dan tidak harus selalu merupakan representasi
dunia nyata. Adalah suatu ilusi bila percaya bahwa apa yang kita ketahui itu memberikan
gambaran akan dunia nyata.
Pengetahuan selalu merupakan konstruksi dari seseorang yang mengetahui, maka
tidak dapat ditransfer kepada penerima yang pasif. Penerima sendiri yang harus
mengkonstruksi pengetahuan itu. Semua yang lain, entah objek maupun lingkungan,
hanyalah sarana untuk terjadinya konstruksi tersebut.
Dalam pandangan konstruktivisme radikal sebenarnya tidak ada konstruksi sosial,
di mana pengetahuan itu dikonstruksikan bersama karena masing-masing orang harus
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 26
menyimpulkan dan menangkap sendiri makna terakhir. Pandangan orang lain adalah
bahan untuk dikonstruksikan dan diorganisasikan dalam pengetahuan yang sudah
dipunyai orang itu sendiri.
Konstruktivisme ini tidak pernah mengklaim objektivitas. Menurut mereka, kita
tidak dapat melihat dunia pengalaman kita dari luar. Kita membentuknya dari dalam
dan hidup dengannya lama sebelum kita mulai bertanya dan mana dan apa itu
sebenarnya.
2. Realisme hipotetis
Menurut realisme hipotetis, pengetahuan (ilmiah) kita dipandang sebagai suatu
hipotesis dan suatu struktur kenyataan dan berkembang menuju suatu pengetahuan
yang sejati, yang dekat dengan realitas. Menurut Manuvar, pengetahuan kita
mempunyai relasi dengan kenyataan tetapi tidak sempurna. Menurutnya pula, Lorenz
dan Popper dan banyak epistemolog evolusioner dapat dikatakan termasuk realisme
hipotetis.
3. Konstruktivisme yang biasa
Aliran ini tidak mengambil semua konsekuensi konstruktivisme. Pengetahuan kita
merupakan gambaran dari realitas itu. Pengetahuan kita dipandang sebagai suatu
gambaran yang dibentuk dari kenyataan suatu objek dalam dirinya sendiri.
D. Konstruktivisme Piaget
Piaget memandang pembelajaran berlangsung dalam situasi kolaborasi yang
difasilitasi oleh konflik kognitif secara kontinu diantara bentuk-bentuk berpikir
antagosnistik. Pendapat Piaget ini dilengkapi oleh pendapat Vygotsky yang memandang
bahwa pengetahuan dikonstruksi secara kolaborasi antarindividu dan selanjutnya
keadaan tersebut dapat disesuaikan oleh individu. Proses penyesuaian itu ekivalen
dengan penkonstruksian secara individual.
Secara implisit terkandung pengertian bahwa pembelajaran dengan
konstruktivisme adalah membantu siswa membangun pengetahuan dan
mengembangkan kemampuan belajar siswa melalui pendekatan interaksi. Dengan dasar
ini, pembelajaran harus dikemas menjadi proses penkonstruksian bukan menerima
pengetahuan. Dalam pembelajaran, siswa membangun sendiri pengetahuannya melalui
keterlibatan aktif dalam proses belajar dan mengajar dimana siswa menjadi pusat
kegiatan bukan guru.
Untuk memahami teori Piaget, kita perlu mengerti beberapa istilah baku yang
digunakan untuk menjelaskan proses seseorang mencapai pengertian.
1. Skema/ skemata
Sebagaimana tubuh kita mempunyai struktur tertentu agar dapat berfungsi,
pikiran kita juga mempunyai struktur yang disebut skema atau skemata (jamak). Skema
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 27
adalah suatu stuktur mental atau kognitif yang dengannya seseorang secara intelektual
beradaptasi dan mengkoordinasi lingkungan sekitarnya. Skemata itu akan beradaptasi
dan berubah selama perkembangan mental anak. Skemata bukanlah benda nyata yang
dapat dilihat, melainkan suatu rangkaian proses dalam sistem kesadaran orang, maka
tidak memiliki bentuk fisik dan tidak dapat dilihat. Skemata adalah hasil kesimpulan
atau bentukan mental, konstruksi hipotetis, seperti intelek, kreativitas, kemampuan, dan
naluri.
Skema juga dapat dipikirkan sebagai suatu konsep atau kategori. Orang dewasa
mempunyai banyak skema. Skema ini digunakan untuk memproses dan
mengidentifikasi rangsangan yang datang. Seorang anak yang baru lahir punya sedikit
skema, yang dalam perkembangannya kemudian menjadi lebih umum, lebih terperinci,
dan lebih lengkap.
Skema tidak pernah berhenti berubah atau menjadi lebih rinci. Skemata seorang
anak berkembang menjadi skemata orang dewasa. Gambaran dalam pikiran anak
menjadi semakin berkembang dan lengkap. Misalnya, anak yang sedang berjalan dengan
ayahnya melihat seekor lembu. Ayahnya bertanya, “Nak, lihat binatang itu? Apa itu?”
Anak itu melihat. Andaikan saja anak itu belum pernah melihat lembu tetapi sudah
pernah melihat kambing, maka dia sudah mempunyai skema dalam pikirannya tentang
kambing. Anak itu lalu menjawab, “itukambing”. Anak itu melihat ada sesuatu yang
sama antara lembu dengan konsep kambing yang ia punyai. Misalnya, berkaki empat,
bermata dua, berjalan merangkak, dan bertelinga dua. Anak itu belum dapat melihat
perbedaannya, melainkan melihat kesamaan antara kambing dan lembu. Bila si anak
mampu melihat perbedaan-perbedaannya, ia akan memperkembangkan skemanya
tentang lembu, tidak sebagai kambing lagi.
2. Asimilasi
Asimilasi adalah proses kognitif yang dengannya seseorang mengintegrasikan
persepsi, konsep, ataupun pengalaman baru ke dalam skema atau pola yang sudah ada
di dalam pikirannya. Asimilasi dapat dipandang sebagai suatu proses kognitif yang
menempatkan dan mengklasifikasikan kejadian atau rangsangan yang baru dalam
skema yang telah ada. Proses asimilasi ini berjalan terus. Setiap orang selalu secara
terus-menerus mengembangkan proses ini. Menurut Wadsworth, asimilasi tidak
menyebabkan perubahan/ pergantian skemata, melainkan memperkembangkan
skemata. Misalnya, seseorang yang baru mengenal konsep balon. Dalam pikiran orang
itu, ia punya skema “balon”. Kalau ia meniup balon itu atau mengisinya dengan air
sampai besar atau malah memecahkan balon itu, ia tetap mempunyai skema yang sama
tentang balon. Perbedaannya adalah bahwa skemanya tentang balon diperluas dan
diperinci lebih lengkap, bukan hanya sebagai balon yang kempes belum tertiup,
melainkan balon dengan macam-macam sifatnya. Asimilasi adalah salah satu proses
individu dalam mengadaptasikan dan mengorganisasikan diri dengan lingkungan baru
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 28
sehingga pengertian orang itu berkembang.
3. Akomodasi
Dapat terjadi bahwa dalam menghadapi rangsangan atau pengalaman yang baru,
seseorang tidak dapat mengasimilasikan pengalaman yang baru itu dengan skema yang
telah ia punyai. Pengalaman yang baru itu bisa jadi sama sekali tidak cocok dengan
skema yang telah ada. Dalam keadaan seperti ini orang itu akan mengadakan
akomodasi, yaitu: a) membentuk skema baru yang cocok dengan rangsangan yang baru
atau b) memodifikasi skema yang ada sehingga cocok dengan rangsangan itu. Misalnya,
seorang anak mempunyai skema bahwa semua binatang harus berkaki dua atau empat.
Skema ini didapat dari abstraksinya terhadap binatang-binatang yang pernah
dijumpainya. Pada suatu hari ia berjalan ke sawah dan menemukan banyak binatang
yang kakinya lebih dari empat. Anak tadi mengalami bahwa skema lamanya tidak cocok
lagi; terjadi konflik dalam pikirannya. Ia harus mengadakan perubahan terhadap skema
lamanya. Ia mengadakan akomodasi dengan membentuk skema baru bahwa binatang
dapat berkaki dua, empat, dan lebih dari empat.
Skemata seseorang dibentuk dengan pengalaman sepanjang waktu. Skemata
menunjukkan taraf pengertian dan pengetahuan seseorang sekarang tentang dunia
sekitarnya. Karena skema ini suatu konstruksi, maka bukan tiruan dari kenyataan dunia
yang ada. Menurut Piaget, proses asimilasi dan akomodasi ini terus berjalan dalam diri
seseorang. Dalam contoh anak di atas, ia akan terus mengembangkan skemanya
tentang kaki binatang bila dijumpainya pengalaman-pengalaman yang berbeda,
misalnya bahwa ada pula binatang yang tak berkaki.
4. Equilibration
Proses asimilasi dan akomodasi perlu untuk perkembangan kognitif seseorang.
Dalam perkembangan intelek seseorang, diperlukan keseimbangan antara asimilasi dan
akomodasi. Proses itu disebut equilibrium, yakni pengaturan diri secara mekanis untuk
mengatur keseimbangan proses asimilasi dan akomodasi. Disequilibrium adalah keadaan
tidak seimbang antara asimilasi dan akomodasi. Equilibration adalah proses dari
disequilibrium ke equilibrium. Proses tersebut berjalan terus dalam diri orang melalui
asimilasi dari akomodasi. Equilibration membuat seseorang dapat menyatukan peng-
alaman luar dengan struktur dalamnya (skemata). Bila terjadi ketidakseimbangan, maka
seseorang dipacu untuk mencari keseimbangan dengan jalan asimilasi atau akomodasi.
5. Teori adaptasi intelek
Bagi Piaget, mengerti adalah suatu proses adaptasi intelektual yang dengannya
pengalaman-pengalaman dan ide-ide baru diinteraksikan dengan apa yang sudah
diketahui oleh seseorang yang sedang belajar untuk membentuk struktur pengertian
yang baru. Menurut Piaget, dalam pikiran seseorang ada struktur pengetahuan awal
(skemata). Setiap skema berperan sebagai suatu filter dan fasilitator bagi ide-ide dan
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 29
pengalaman-pengalaman yang baru. Skemata mengatur, mengkoordinasi, dan
mengintensifkan prinsip-prinsip dasar. Melalui kontak dengan pengalaman baru, skema
dapat dikembangkan dan diubah, yaitu dengan proses asimilasi dan akomodasi. Bila
pengalaman baru itu masih bersesuaian dengan skema yang dipunyai seseorang, maka
skema itu hanya dikembangkan melalui proses asimilasi. Bila pengalaman baru itu
sungguh berbeda dengan skema yang ada, sehingga skema yang lama tidak cocok lagi
untuk menghadapi pengalaman yang baru, skema yang lama diubah sampai ada
keseimbangan lagi. Inilah proses akomodasi.
Contoh:
a. Seorang siswa mempunyai skema dalam pikirannya bahwa air mendidih pada suhu 100℃. Dalam percobaan dan juga pengalaman memanaskan beberapa macam air, ia menemukan bahwa ada yang mendidih pada suhu 90℃ dan ada yang 110℃ dan ada pula yang 80℃. Setelah mengamati keadaan airnya, ia menemukan bahwa beberapa macam air tidak murni, tercampur dengan beberapa zat lain. Akhirnya siswa itu mengembangkan skemanya dengan menyatakan bahwa air yang murni mendidih pada suhu 100℃. Siswa ini masih tetap menggunakan skema yang lama tetapi dengan lebih merincikan syarat-syaratnya, yaitu bahwa air itu harus murni. Skema lama dikembangkan lebih rinci sehingga dapat digunakan untuk menjawab beberapa perbedaan pengalaman yang ada.
b. Seseorang mempunyai gambaran bahwa semua ikan bertelur dalam perkembangbiakannya. Pada suatu hari ia pergi ke akuarium laut dan melihat dengan mata kepala sendiri bahwa ikan paus beranak dan tidak bertelur. Orang ini menjadi bingung dan mengalami proses ketidakseimbangan dalam pikirannya. Ia mulai tidak yakin akan gambaran awalnya. Ia mengalami bahwa gambarannya tentang “semua ikan bertelur” tidak sejalan lagi berhadapan dengan pengalaman baru ini. Orang ini akhirnya mengubah gambaran awalnya dengan menyatakan “tidak semua ikan bertelur”. Orang ini sekarang membentuk pengetahuan yang baru. Ia telah mengubah skema lama dan membentuk skema baru yang lebih cocok dengan pengalamannya yang baru.
Menurut Piaget, skema berkembang sejalan dengan perkembangan intelektual,
khususnya dalam taraf operasional formal. Piaget membedakan empat taraf
perkembangan kognitif seseorang, yaitu: a) taraf sensori-motor (0 – 2 tahun), b) pra-
operasional (2 – 7 tahun), c) taraf operasional konkret (7 – 11 tahun), dan d) taraf
operasional formal (11 – 15 tahun). Selama taraf sensori-motor, seorang anak belum
berpikir dan menggambarkan suatu kejadian atau objek secara konseptual meskipun
perkembangan kognitif sudah mulai ada, yaitu mulai dibentuknya skemata. Pada taraf
pra-operasional, mulailah berkembang kemampuan berbahasa dan beberapa bentuk
pengungkapan. Penalaran pra-logika juga mulai berkembang. Pada taraf operasional
konkret, anak mengembangkan kemampuan menggunakan permikiran logis dalam
berhadapan dengan persoalan-persoalan yang konkret. Pada taraf operasional formal,
anak sudah mengembangkan pemikiran abstrak, dan penalaran logis untuk macam-
macarn persoalan. Dalam ketiga taraf kognitif di atas skema seseorang berkembang.
Karena skema berkembang dalam taraf perkembangan kognitif, maka dapat
dimengerti bahwa skema seorang anak mengenai suatu kejadian atau objek mungkin
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 30
tidak seirama dengan skema yang dimiliki orang tua. Dalam hal ini, skema anak itu tidak
salah karena skemanya merupakan pemahamannya akan suatu kejadian sesuai dengan
perkembangan pemikirannya saat itu. Oleh karena itu, tidak ada “salah” dalam skema
anak, tetapi mungkin itu “tidak cocok” untuk taraf pemikiran yang lebih tinggi.
Secara konseptual perkembangan kognitif berjalan dalam semua level
perkembangan pemikiran seseorang dari lahir sampai dewasa. Pengetahuan dibentuk
oleh individu terus-menerus dan skemata dewasa dibangun dari skemata anak. Dengan
asimilasi seseorang mencocokkan rangsangan dengan skemata yang ada, dan dengan
akomodasi ia mengubah skema yang ada agar menjadi cocok dengan rangsangan yang
dihadapi. Equilibration adalah mekanisme internal yang mengatur kedua proses itu.
Bagi Piaget, kenyataan bukanlah sesuatu yang eksternal dan sudah jadi, bukan
melainkan diperoleh melalui kegiatan konstruksi yang menghasilkan skemata baru.
Kenyataan adalah fenomena yang kita alami melalui konstruksi.
Menurut Piaget, perkembangan kognitif seseorang mempunyai tiga unsur: isi,
fungsi, dan struktur. Isi adalah apa yang diketahui oleh seseorang. Ini menunjuk kepada
tingkah laku yang dapat diamati – sensori motor dan konsep yang mengungkapkan
aktivitas intelek. Isi inteligensi berbeda-beda dari umur ke umur dan dari anak ke anak.
Fungsi menunjuk kepada sifat dari aktivitas intelektual – asimilasi dan akomodasi – yang
tetap dan terus menerus dikembangkan sepanjang perkembangan kognitif. Struktur
menunjuk pada sifat organisatoris yang dibentuk (skemata) yang menjelaskan terjadinya
perilaku khusus.
Sistem pemikiran Piaget di atas menuntut seorang anak itu bertindak aktif terhadap
lingkungannya jika perkembangan kognitifnya jalan. Perkembangan struktur kognitif
hanya berjalan bila anak itu mengasimilasikan dan mengakomodasikan rangsangan
dalam lingkungannya. Ini hanya mungkin bila nalar anak dibawa ke situasi lingkungan
tertentu. Baru bila seseorang bertindak terhadap lingkungannya; bergerak dalam ruang,
berinteraksi dengan objek, mengamati dan meneliti, serta berpikir, ia berasimilasi dan
berakomodasi terhadap alam. Perbuatannya itu mengakibatkan perkembangan skemata
dan juga pengetahuannya.
Dari sini dapat dimengerti bahwa bagi Piaget, belajar adalah merupakan proses
perubahan konsep. Dalam proses tersebut, si siswa membangun konsep baru melalui
asimilasi dan akomodasi skema mereka. Oleh sebab itu, belajar merupakan proses yang
terus-menerus, tidak berkesudahan.
Bila anak menjadi besar, kegiatan fisik yang menyebabkan perubahan kognitif
dapat berkurang. Namun, perbuatan yang perlu untuk perkembangan kognitif bukan
hanya perbuatan secara fisik, melainkan termasuk juga setiap tingkah laku non-fisik
yang merangsang struktur intelektual anak. Tingkah laku itu menciptakan disequilibrium
dan membiarkan asimilasi dan akomodasi terjadi. Kegiatan fisik dan mental dalam
lingkungan adalah perlu tetapi tidak cukup untuk perkembangan kognitif. Pengalaman
sendiri tidak menjamin perkembangan, tetapi perkembangan tidak dapat terjadi tanpa
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 31
pengalaman. Perlulah dalam perkembangan itu proses asimilasi dan akomodasi.
E. Teori Pengetahuan Menurut Piaget
Bagi Piaget semua pengetahuan adalah suatu konstruksi (bentukan) dari kegiatan/
tindakan seseorang. Pengetahuan ilmiah itu berevolusi, berubah dari waktu ke waktu.
Pemikiran ilmiah adalah sementara, tidak statis, dan merupakan proses. Pemikiran ilmiah
merupakan proses konstruksi dan reorganisasi yang terus menerus. Pengetahuan
bukanlah sesuatu yang ada di luar, tetapi ada dalam diri seseorang yang
membentuknya. Setiap pengetahuan mengandaikan suatu interaksi dengan
pengalaman. Tanpa interaksi dengan objek, seorang anak tidak dapat mengkonstruksi
gambaran korespondensi satu-satu dalam matematika untuk memahami pengertian
akan bilangan.
Piaget membedakan adanya tiga macam pengetahuan, yaitu:
1. Pengetahuan fisis
Pengetahuan fisis adalah pengetahuan akan sifat-sifat fisis dari suatu objek/
kejadian seperti bentuk, besar, kekasaran, berat, serta bagaimana objek-objek-itu
berinteraksi satu dengan yang lain. Anak memperoleh pengetahuan fisis tentang suatu
objek dengan mengerjakan/ bertindak terhadap objek itu melalui indranya. Pengetahuan
fisik ini didapat dari abstraksi langsung akan suatu objek. Misalnya, anak yang bermain
pasir dapat menuang pasir dari tempat yang satu ke tempat yang lain, memegang-
megang pasir, merasakan kekerasannya, meletakkan di mulut, dll. Dari tindakan-
tindakan itu ia membentuk dan membangun pengetahuannya akan pasir. Dalam
pembentukan pengetahuan fisis, bendanya sendiri (pasir) memberitahukan kepada si
anak apa yang dapat ia buat dan yang tidak dapat ia buat. Si anak tidak dapat
membentuk skema yang akurat tentang pasir kecuali ia bertindak aktif terhadap pasir.
Pengetahuan yang akurat akan suatu objek tidak dapat diperoleh dari membaca, melihat
gambar, mendengarkan orang bicara, tetapi hanya dapat diperoleh melalui campur
tangan si anak terhadap benda itu. Benda itu sendirilah akan membiarkan kita untuk
mengerti sifat -sifatnya.
2. Matematis-logis
Pengetahuan matematis-logis adalah pengetahuan yang dibentuk dengan berpikir
tentang pengalaman dengan suatu objek atau kejadian tertentu. Pengetahuan ini
didapatkan dari abstraksi berdasarkan koordinasi, relasi ataupun penggunaan objek.
Pengetahuan matematis-logis dapat berkembang hanya bila si anak bertindak terhadap
benda itu. Tetapi peran dari tindakan dan benda itu berbeda. Anak itu membentuk/
menciptakan pengetahuan matematis logis karena pengetahuan itu tidak ada dalam
objek sendiri seperti pengetahuan fisis. Pengetahuan itu harus dibentuk dari perbuatan
berpikir si anak terhadap benda itu. Benda di sini hanya menjadi medium untuk
membiarkan konstruksi itu terjadi. Misalnya, pengetahuan tentang konsep bilangan. Si
anak dapat bermain dengan himpunan 10 keping uang. Ia mengatur uang itu berderet
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 32
dan menghitungnya sepuluh. Ia meletakkan keping-keping itu di gelas, ia dapat
menyusunnya vertikal, ia dalam meletakkannya dalam bakul. Waktu ia menghitungnya,
selalu didapatkan 10. Melalui berbagai kegiatan itu, si anak membentuk konsep akan
bilangan 10 yang tetap, meskipun keping-keping itu diletakkan di tempat yang berbeda-
beda bentuknya. Konsep 10 itu sendiri tidak terdapat dalam keping uang itu, tetapi
diciptakan oleh si anak. Pengetahuan ini tidak dapat diperoleh dari membaca atau
mendengarkan orang bicara tetapi dibentuk dari tindakan seseorang terhadap suatu
objek.
Pada taraf tertentu, abstraksi pengalaman matematis tersebut dapat disimbolkan
menjadi suatu logika dan matematika yang murni. Dari sini dapat dimengerti bahwa
logika murni dan matematika murni dapat mengatasi pengalaman karena tidak terbatas
kepada sifat-sifat fisis objek itu sendiri. Sementara itu, pengetahuan fisis tidak menjadi
murni karena didasarkan kepada sifat-sifat langsung objek atau pengalaman yang
diamati. Namun, pada taraf tertentu pengetahuan fisis ini dapat digabungkan dengan
konsep-konsep matematis logis untuk menemukan suatu persepsi yang lebih tinggi.
3. Pengetahuan sosial
Pengetahuan sosial adalah pengetahuan yang didapat dari kelompok budaya dan
sosial yang secara bersama menyetujui sesuatu. Contohnya adalah aturan, hukum,
moral, nilai, sistem bahasa, dll. Pengetahuan ini muncul dalam kebudayaan tertentu
maka dapat berbeda antara kelompok yang satu dengan yang lain. Pengetahuan sosial
tidak dapat dibentuk dari suatu tindakan seseorang terhadap suatu objek, tetapi
dibentuk dari interaksi seseorang dengan orang lain. Ketika anak berinteraksi dengan
orang lain, kesempatan untuk membangun pengetahuan sosial dikembangkan.
Hal yang terpenting dari pembentukan pengetahuan itu adalah tindakan/ kegiatan
anak terhadap suatu benda dan interaksi dengan orang lain. Pengetahuan yang akurat
tidak dapat diturunkan langsung dari membaca atau dari mendengarkan orang bicara.
Pengetahuan si anak akan dunia bukanlah tiruan dari dunia yang nyata. Setiap individu,
sepanjang perkembangannya, membentuk pengetahuan dan kenyataan melalui
asimilasi dan akomodasi. Pengetahuan fisis, matematis, dan sosial itu diperoleh
langsung dari konstruksi oleh anak itu sendiri.
Dalam The Psychology of Intelligence, Piaget menyatakan bahwa struktur yang
sangat diperlukan dalam pemikiran orang dewasa, seperti struktur matematis-logis,
bukanlah sesuatu yang menetap pada anak, melainkan sesuatu yang mereka bentuk
pelan-pelan. Setiap struktur dibentuk pelan-pelan dari konstruksi awal dan
dikembangkan dalam konstruksi-konstruksi berikutnya.
Meski kelihatannya banyak anak mempunyai konsepsi sama tentang sesuatu hal,
tidak berarti bahwa konstruksi pribadi tidak ada. Dunia ini penuh dengan benda-benda
fisis dan sosial yang bermacam-macam. Setiap anak membentuk pengetahuan mereka
akan hal-hal itu melalui asimilasi dan akomodasi. Semua benda yang ada itu
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 33
memungkinkan anak membentuk pengetahuan fisis dan matematis-logis mereka. Bila
benda-benda dan lingkungan yang mereka hadapi sama, ada kemungkinan bahwa
konstruksi anak-anak itu ada kesamaannya. Misalnya, anak-anak menghadapi pohon
cemara yang sama dalam tempat dan lingkungan yang sama. Dapat diharapkan bahwa
anak-anak itu akan mempunyai skema yang mirip. Anak-anak yang melihat pohon
cemara di tempat lain dalam lingkungan yang lain mungkin membentuk persepsi yang
lain tentang pohon cemara. Dari sini dapat dimengerti peran lingkungan, situasi, dan
prasarana yang membantu persepsi anak.
Perkembangan struktur kognitif dan pengetahuan adalah proses yang evolusioner
dalam diri setiap individu. Ini terjadi dalam skemata individu yang setiap kali berubah
atau berkembang. Proses asimilasi menunjukkan bahwa skemata bukanlah tiruan dari
kenyataan (realitas). Akomodasi menjelaskan bahwa konstruksi itu berelasi dengan
dunia nyata.
F. Konstruktivisme Personal dan Sosial
Matthews membedakan dua tradisi besar dari konstruktivisme, yaitu
konstruktivisme psikologis dan sosiologis. Kostruktivisme psikologis bertitik tolak dari
perkembangan psikologis anak dalam membangun pengetahuannya, sedangkan
konstruktivisme sosial lebih mendasarkan pada masyarakatlah yang membangun
pengetahuan. Konstruktivisme psikologis bercabang dua, yaitu yang lebih personal
(Piaget) dan yang lebih sosial (Vygotsky); sedangkan konstruktivisme sosiologis berdiri
sendiri. Berdasarkan pembedaan itu, maka ada tiga konstruktivisme dalam kaitannya
dengan pembentukan pengetahuan, yaitu yang lebih pribadi, sosial, ataupun yang
menyangkut keduanya.
1. Konstruktivisme psikologis personal
Konstruktivisme psikologis dimulai dari karya Piaget mengenai bagaimana seorang
anak membangun pengetahuan kognitifnya. Piaget menyebut dirinya sendiri epistemolog
genetik. Epistemologi genetik menjelaskan pengetahuan dengan melihat sejarah
pembentukannya dan khususnya dasar psikologis dari pengertian dan operasi yang
digunakan dalarn mendapatkan pengetahuan itu. Tetapi juga tetap memperhatikan
formalisasi logis yang digunakan dalam struktur pemikiran serta transformasi pemikiran
dari satu taraf ke taraf yang berikutnya dalam perkembangan pemikiran manusia.
Dengan kata lain, epistemologi genetik menggunakan psikologi sebagai dasar penjelasan
pembentukan dan perkembangan pengetahuan seseorang. Dalam teori pengetahuan
Piaget, psikologi mengambil peranan penting dalam analisa.
Epistemologi genetik memikirkan pengetahuan dan validitas pengetahuan itu.
Epistemologi harus bersifat interdisipliner karena menyangkut soal fakta dan validitas.
Bila hanya menekankan soal validitas epistemologi akan menjadi logika saja. Bila hanya
memperhatikan soal fakta, epistemologi akan menjadi psikologi belaka. Jadi, perlu ada
kerja sama antara keduanya. Model pendekatan inilah yang digunakan Piaget dalam
epistemologi genetiknya. Yang juga menarik dari metode Piaget adalah bahwa dia
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 34
membatasi epistemologinya agar tidak terlalu menjadi general. Dia membatasi diri
dengan persoalan yang positif seperti bagaimana pengetahuan itu berkembang dari taraf
seorang anak dan bagaimana seorang anak mulai mengerti sesuatu, membentuk
pengetahuannya, dan mengembangkannya. Karena itu, Piaget tidak bicara soal
“pengetahuan manusia” secara umum, melainkan secara nyata “bagaimana
pengetahuan seorang anak berkembang”. Itulah sebabnya banyak penelitiannya
dilakukan dalam lingkup anak.
Konstruktivisme psikologis bercabang dua, yaitu: a) yang lebih personal, individual,
dan subjektif seperti Piaget dan pengikut-pengikutnya; b) yang lebih sosial seperti
Vygotsky (socioculturaiism). Piaget menekankan aktivitas individual dalam pembentukan
pengetahuan, sedangkan Vygotsky menekankan pentingnya masyarakat bahasa.
Piaget menyoroti bagaimana seorang anak pelan-pelan membentuk skema,
mengembangkan skema, dan mengubah skema. Ia lebih menekankan bagaimana
individu sendiri mengkonstruksi pengetahuan dari berinteraksi dengan pengalaman dan
objek yang dihadapi. Ia menekankan bagaimana seorang anak mengadakan abstraksi,
baik secara sederhana maupun secara refleksi, dalam membentuk pengetahuan fisis dan
matematisnya. Tampak bahwa tekanan perhatian Piaget lebih pada keaktifan individu
dalam membentuk pengetahuan. Bagi Piaget, pengetahuan lebih dibentuk oleh si anak
itu sendiri yang sedang belajar.
Memang Piaget juga bicara soal pengaruh lingkungan sosial terhadap
perkembangan pemikiran anak, tetapi tidak secara jelas memberikan model bagaimana
hal itu terjadi. Bagi Piaget, dalam taraf-taraf perkembangan kognitif yang lebih rendah
(sensori-motor dan pra-operasional), pengaruh lingkungan sosial lebih dipahami oleh
anak sebagai sarana dengan objek-objek yang sedang diamati anak. Anak belum dapat
menangkap ide-ide dari masyarakatnya. Baru pada taraf perkembangan yang lebih tinggi
(operasional konkret, terlebih operasional formal), pengaruh lingkungan sosial menjadi
lebih jelas. Dalam taraf ini, bertukar gagasan dengan teman-teman, mendiskusikan
bersama pendirian masing-masing, dan mengambil konsensus sosial sudah lebih
dimungkinkan. Namun, tekanan Piaget memang lebih pada pembentukan pengetahuan
anak secara individual.
2. Sosiokulturalisme
Vygotsky juga mulai meneliti pembentukan dan perkembangan pengetahuan anak
secara psikologis. Namun Vygotsky lebih memfokuskan perhatian kepada hubungan
dialektik antara individu dan masyarakat dalam pembentukan pengetahuan tersebut. Dia
memperhatikan akibat interaksi sosial, terlebih bahasa dan budaya pada proses belajar
anak. Menurut Vygotsky, belajar merupakan suatu perkembangan pengertian. Dia
membedakan adanya dua pengertian, yang spontan dan yang ilmiah. Pengertian
spontan adalah pengertian yang didapatkan dari pengalaman anak sehari-hari.
Pengertian ini tidak terdefinisikan dan terangkai secara sistematis logis. Pengertian
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 35
ilmiah adalah pengertian yang didapat dari kelas. Pengertian ini adalah pengertian
formal yang terdefinisikan secara logis dalam suatu sistem yang lebih luas. Dalam proses
belajar terjadi perkembangan dari pengertian yang spontan ke yang lebih ilmiah.
Menurut Vygotsky, pengertian ilmiah itu tidak datang dalam bentuk yang jadi pada
seorang anak. Pengertian itu mengalami perkembangan. Ini tergantung kepada tingkat
kemampuan anak untuk menangkap suatu model pengertian yang lebih ilmiah. Dalam
proses belajar, kedua pengertian tersebut saling berelasi dan saling mempengaruhi.
Pengertian ilmiah seakan bekerja ke bawah, yaitu menekankan logika kepada pikiran
anak, sehingga pengertian yang spontan diangkat atau dianalisis secara lebih ilmiah.
Sedangkan pengertian spontan seakan bekerja ke atas, yaitu berusaha bertemu dengan
pengertian yang lebih ilmiah dan membiarkan diri menerima segi logis formal dari
pengertian ilmiah tersebut. Dengan demikian semakin seseorang belajar, ia akan
semakin mengangkat pengertiannya menjadi pengertian yang ilmiah.
Vygotsky menggunakan istilah “zo-ped” yaitu suatu wilayah tempat bertemu antara
pengertian spontan anak dengan pengertian sistematis logis orang dewasa. Wilayah ini
berbeda dari setiap anak dan ini menunjukkan kemampuan anak dalam menangkap
logika dari pengertian ilmiah.
Dalam meneliti bahasa anak-anak, Piaget menyimpulkan bahwa bahasa anak
adalah egosentris sifatnya. Mereka berbicara keras kepada diri sendiri, daripada kepada
orang lain. Menurut Vygostky, bahasa merupakan aspek sosial sejak awalnya.
Menurutnya, pembicaraan egosentrik adalah permulaan dari pembentukan inner speech
(kemampuan bicara yang pokok) yang akan digunakan sebagai alat dalam berpikir.
Menurut Vygostky, inner speech berperan dalam pembentukan pengertian spontan.
Pengertian spontan mempunyai dua segi, yaitu: suatu pengertian dalam dirinya sendiri
dan pengertian untuk yang lain. Pengertian yang terakhir ini menjelaskan pengertian
yang diletakkan dalam pembicaraan untuk dapat berkomunikasi dengan orang lain. Dua
pengertian itu membentuk ketegangan dialektik sejak awal. Anak terus berusaha untuk
mengungkapkan pengertian mereka dengan simbol yang sesuai untuk berkomunikasi
dengan orang lain.
ltulah sebabnya Vygotsky menekankan pentingnya interaksi sosial dengan orang-
orang lain terlebih yang punya pengetahuan lebih baik dan sistem yang secara kultural
telah berkembang dengan baik. Ia menekankan dialog dan komunikasi verbal dengan
orang dewasa dalam perkembangan pengertian anak. Dalam interaksi verbal dengan
“orang dewasa”, anak ditantang untuk lebih mengerti pengertian ilmiah dan
mengembangkan pengertian spontan mereka. ltulah sebabnya banyak implikasi
pendidikan yang membuat siswa berpartisipasi dalam aktivitas para ahli. Dalam interaksi
dengan mereka itulah, para siswa ditantang untuk mengkonstruksikan pengetahuannya
lebih sesuai dengan konstruksi para ahli.
Dengan diilhami oleh karya Vygotsky, sosiokulturalisme lebih menekankan praktek-
praktek kultural dan sosial dalam lingkungan pelajar. Menurut para sosiokulturalis,
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 36
aktivitas mengerti selalu dipengaruhi oleh partisipasi seseorang dalam praktek-praktek
sosial dan kultural yang ada, yaitu: situasi sekolah, masyarakat, teman, dll. Misalnya
Minick mempertanyakan apakah belajar matematika itu proses pembentukan pengertian
yang aktif atau proses inkulturasi dalam suatu praktek masyarakat. Bagi Minick,
sosiokulturalisme meneliti seseorang dalam kegiatan sosialnya. Mereka menerapkan
partisipasi individu dalam praktek dan kegiatan yang diorganisasikan secara kultural,
misalnya dalam interaksi di kelas.
Cobern menyatakan bahwa konstruktivisme bersifat kontekstual. Siswa selalu
membentuk pengetahuan mereka dalam situasi dan konteks yang khusus. Misalnya,
dalam situasi tekanan udara yang rendah seseorang akan menemukan bahwa titik didih
air berlainan dengan situasi tekanan udara sangat tinggi. Dalam situasi masyarakat yang
berbeda, pengertian tentang kesehatan pun dapat berbeda.
Cukup lama dirasakan seperti ada konflik antara sosiokulturalisme dan
konstruktivisme kognitif personal. Ada perdebatan tentang apakah pikiran itu terletak di
kepala seseorang yang sedang berpikir atau dalam pribadi seseorang yang sedang
berinteraksi dengan lingkungan dan situasi sekitarnya, apakah belajar itu merupakan
suatu proses pengaturan kognitif seseorang sendiri atau lebih merupakan proses
inkulturasi dalam masyarakat. Apakah proses konstruksi pengetahuan terjadi secara
pribadi atau lebih bersifat sosial-kultural? Menurut Cobb, kedua perspektif itu sama-sama
mengimplikasikan pentingnya keaktifan siswa dalam belajar, hanya saja yang satu lebih
menekankan pentingnya keaktifan individu, sedangkan yang lain lebih menekankan
pentingnya lingkungan sosial-kultural. Sehubungan dengan pendidikan matematika,
Cobb menyarankan agar konstruktivisme personal dikombinasikan dengan perspektif
sosiokultural. Bagi Cobb, dua perpektif itu saling melengkapi, yaitu bahwa belajar
matematika harus dilihat sebagai baik suatu proses pembentukan individual yang aktif
dan proses inkulturasi dalam praktek masyarakat matematika yang lebih luas.
Sesungguhnya seorang dilahirkan dalam suatu lingkungan sosial dan kultural di
mana semua objek dan kejadian yang ditemukan mempunyai arti yang khusus yang juga
dikonstruksikan. Melalui interaksi dengan unsur-unsur yang hidup dan yang tidak hidup
dalam lingkungan semua cara belajar berlangsung secara sosial. Dengan cara seperti itu,
dalam pengetahuan ada komponen sosial dan tidak dapat dilihat sebagai konstruksi
individual melulu. Karena tidak mungkin seseorang memisahkan unsur-unsur
sosiokultural dari apa yang ia ketahui, konstruktivisme tidak dapat dipikirkan sebagai
suatu keyakinan yang lepas dari unsur sosial dan kultural. Oleh karena itu, studi tentang
belajar dan mengajar perlu juga memperhatikan segi sosial dalam pembentukan arti.
3. Konstruktivisme sosiologis
Konstruktivisme sosiologis berpandangan bahwa pengetahuan itu merupakan hasil
penemuan sosial dan sekaligus juga merupakan faktor dalam perubahan sosial.
Kenyataan dibentuk secara sosial dan ditentukan secara sosial. Berger mendasarkan
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 37
pengetahuannya pada kenyataan sehari-hari. Dia melihat bahwa kenyataan hidup sehari-
hari merupakan dunia yang dialami bersama dengan orang lain. Dunia ini nyata bagi
“saya” dan bagi orang lain. “Saya” tidak dapat berhenti berkomunikasi dengan yang lain.
Pengetahuan sosial dibentuk dan ditransmisikan dari generasi ke generasi yang lain.
Validitas pengetahuan hidup sehari-hari diterima begitu saja oleh “saya” dan yang lain,
sampai terjadi konflik. Organisme manusia berkembang secara biologis dalam relasi
dengan lingkungan. Jelas bahwa proses menjadi manusia ada dalam konteks interelasi
dengan lingkungannya, baik yang alamiah maupun manusiawi. Dalam pengertian itu
dapat dikatakan bahwa manusia ada hanya dalam relasi dengan manusia lain.
Konstruktivisme sosiologis menekankan bahwa pengetahuan ilmiah merupakan
konstruksi sosial, bukan konstruksi individual. Kelompok ini menekankan lingkungan,
masyarakat, dan dinamika pembentukan ilmu pengetahuan. Mereka cenderung
mengambil fungsi dan peran masyarakat begitu saja dalam pembentukan pengetahuan
manusia. Tentu ini bertentangan dengan konstruktivisme radikal, yang beranggapan
bahwa pengetahuan seseorang itu merupakan konstruksi orang itu sendiri sehingga tidak
dapat bahwa masyarakat menentukan konstruksi pengetahuan seseorang, melainkan
orang itu sendiri yang tetap harus menginterpretasikan dan mengambil makna.
Konstruktivisme sosiologis mempertahankan bahwa pengetahuan ilmiah dibentuk
dan dibenarkan secara sosial. Suasana, lingkungan, dan dinamika pembentukan ilmu
pengetahuan adalah sangat penting. Mekanisme psikologis individu dikesampingkan.
Sebaliknya, mereka lebih menekankan bahwa lingkungan sosial yang menentukan
kepercayaan individu.
G. Hubungan Konstruktivisme dengan Beberapa Teori Belajar
Selama dua puluh tahun terakhir ini konstruktivisme telah banyak mempengaruhi
pendidikan sains dan matematika di banyak negara Amerika, Eropa, dan Australia.
Secara garis besar, prinsip-prinsip konstruktivisme yang diambil adalah: 1) pengetahuan
dibangun oleh siswa sendiri, baik secara personal maupun sosial; 2) pengetahuan tidak
dapat dipindahkan dari guru ke siswa, kecuali hanya dengan keaktifan siswa sendiri
untuk menalar; 3) siswa aktif mengkonstruksi terus menerus, sehingga selalu terjadi
perubahan konsep menuju ke konsep yang lebih rinci, lengkap, serta sesuai dengan
konsep ilmiah; dan 4) guru sekadar membantu menyediakan sarana dan situasi agar
proses konstruksi siswa berjalan mulus. Inti teori ini berkaitan dengan beberapa teori
belajar seperti Teori Perubahan Konsep, Teori-Belajar-Bermakna Ausubel, dan Teori
Skema. Berikut ini akan diuraikan isi ketiga teori tersebut dan juga perbedaan
konstruktivisme sebagai teori belajar behaviorisme dan maturasionisme.
1. Teori perubahan konsep
Kuhn dalam buku The Structure of Scientific Revolutions menyatakan bahwa sains
lebih dicirikan oleh paradigma para ilmuwan. Paradigma adalah suatu skema konseptual
yang dengannya seorang ilmuwan memandang persoalan-persoalan dalam suatu disiplin
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 38
tertentu. Persoalan yang diteliti dan metode yang digunakan untuk memecahkan
persoalan itu terutama ditentukan oleh paradigma mereka yang relevan. Menurut Kuhn,
secara historis paradigma-paradigma itu selalu berubah dan perubahannya kadang
sangat tiba-tiba dan mencolok. Kuhn menguraikan dua kegiatan ilmiah: puzzle solving
dan penemuan paradigma baru. Dalam puzzle solving, para ilmuwan membuat
percobaan dan mengadakan observasi. Bila paradigmanya tidak dapat digunakan untuk
memecahkan persoalan penting atau malah mengakibatkan konflik, suatu paradigma
baru harus diciptakan. Paradigma baru inilah yang mencetuskan perubahan besar dalam
ilmu pengetahuan.
Toulmin menguraikan bahwa bagian terpenting dari pemahaman manusia adalah
perkembangan konsep secara evolutif. Dalam perkembangan konsep itu seseorang
mengubah ide-idenya. Menurutnya, seseorang itu mengungkapkan rasionalitasnya, tidak
melalui komitmennya terhadap suatu ide yang sudah mantap, prosedur yang stereotip,
atau konsep yang sudah tidak terubahkan, melainkan melalui suatu cara dan
kesempatan di mana ia mengubah gagasan, prosedur, dan konsepnya.
Gertzog menjelaskan adanya dua langkah yang tidak dapat dipisahkan dari filsafat
sains, yaitu: a) central commitments dan b) perubahan central commitments. Dalam
central commitments, para ilmuwan menelaah dan mendefmisikan persoalan, strategi
untuk memecahkan persoalan itu, dan kriteria pemecahannya. Dalam langkah kedua,
mereka perlu mengubah central commitment bila mereka berhadapan dengan tantangan
baru yang berlawanan dengan asumsi dasar mereka.
Menurut Posner dkk, dalam proses belajar ada proses perubahan konsep yang mirip
dengan yang ada dalam filsafat sains tersebut. Tahap pertama perubahan konsep itu
disebut asimilasi dan tahap kedua disebut akomodasi. Dengan asimilasi siswa
menggunakan konsep-konsep yang telah mereka punyai untuk berhadapan dengan
fenomena yang baru. Dengan akomodasi siswa mengubah konsepnya yang tidak cocok
lagi dengan fenomena baru yang mereka hadapi. Akomodasi disebut juga perubahan
konsep secara radikal.
Agar terjadi akomodasi, dibutuhkan beberapa keadaan dan syarat seperti berikut:
a. Harus ada ketidakpuasan terhadap konsep yang telah ada. Siswa mengubah
konsepnya jika mereka yakin bahwa konsep mereka yang lama tidak dapat
digunakan lagi untuk menelaah situasi, pengalaman, dan gejala yang baru.
b. Konsep yang baru harus dapat dimengerti, rasional, dan dapat memecahkan
persoalan atau fenomena yang baru
c. Konsep yang baru harus masuk akal, dapat memecahkan dan menjawab persoalan
yang terdahulu, dan juga konsisten dengan teori-teori atau pengetahuan yang sudah
ada sebelumnya.
d. Konsep baru harus berdaya guna bagi perkembangan penelitian dan penemuan yang
baru.
Menurut Posner dkk, salah satu penyebab terbesar ketidakpuasan terhadap konsep
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 39
lama adalah adanya peristiwa anomali. Suatu peristiwa yang bertentangan dengan yang
dipikirkan siswa. Suatu peristiwa di mana siswa tidak dapat mengasimilasikan
pengetahuannya untuk memahami fenomena yang baru. Misalnya, bagi siswa yang
berpikir bahwa percepatan benda jatuh bebas tergantung pada masa benda itu, akan
menjadi bingung bila mereka mengamati bahwa benda yang jatuh bebas punya
percepatan yang sama. Bagi siswa yang berpikiran bahwa reaksi kimia yang mereka
buat pasti akan menghasilkan warna merah dan bersuhu tinggi, mengamati bahwa
ternyata warna reaksi tersebut hijau dan bersuhu tetap akan menjadi peristiwa anomali.
Peristiwa seperti itu akan menantang siswa untuk lebih berpikir dan mempersoalkan
mengapa pemikiran awal mereka tidak benar.
Banyak pendidik sains menggunakan data anomali untuk memacu perubahan
konsep pada anak. Mereka menyediakan data-data dan percobaan-percobaan yang
memberikan data berbeda dengan keyakinan anak atau prediksi anak. Misalnya, bagi
anak-anak yang yakin bahwa massa jenis benda padat selalu lebih besar daripada massa
jenis air, seorang pendidik dapat memberikan beberapa benda padat yang massa
jenisnya lebih kecil daripada air. Data anomali juga ternyata berperan besar dalam
perubahan konsep dalam sejarah sains. Namun, data anomali kadang juga gagal
mendorong perubahan konsep karena para ilmuwan dan siswa kadang menemukan cara
untuk mengabaikan data-data yang berlawanan tersebut. Menurut Chinn, ada beberapa
cara orang bereaksi terhadap data anomali: a) mengabaikan dan menolaknya; b)
mengecualikan data itu dari teori yang telah ada; c) mengartikan kembali data itu; d)
mengartikan kembali data itu dengan sedikit perubahan; dan e) menerima data itu dan
mengubah teori atau konsep sebelumnya.
Carey menguraikan adanya dua perubahan konsep, yaitu: restruktunsasi kuat dan
restrukturisasi lemah. Dalam restrukturisasi kuat seseorang mengubah konsep lama
yang telah mereka punyai, sedangkan dalam proses restrukturisasi lemah seseorang
tidak mengubah konsep lama mereka, melainkan hanya memperluasnya. Restrukturisasi
kuat mirip dengan proses akomodasi sedangkan restrukturisasi lemah mirip dengan
asimilasi. Banyak peneliti menerapkan strategi mengajar yang mempercepat perubahan
konsep. Mereka menekankan agar siswa dibiasakan mempertanyakan keyakinan dan
konsepnya. Mereka membuat strategi yang menimbulkan ketidakseimbangan dalam
pikiran siswa, yang menimbulkan konflik dalam pikiran siswa, sehingga ia tertantang
untuk mengubah konsep yang telah dipunyai.
Dalam penelitiannya, Vygotsky membedakan dua macam konsep, yaitu: konsep
spontan dan konsep ilmiah. Konsep spontan diperoleh siswa dari kehidupan sehari-hari
dan konsep ilmiah diperoleh dari pelajaran di sekolah. Kedua konsep itu saling
berhubungan terus-menerus. Apa yang dipelajari siswa dalam sekolah mempengaruhi
perkembangan konsep yang diperoleh dalam kehidupan sehari-hari dan sebaliknya.
Perbedaan yang mencolok dari kedua konsep itu adalah ada atau tidak adanya sistem.
Konsep spontan didasarkan pada kejadian khusus dan tidak merupakan bagian yang
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 40
bertalian secara logis dari suatu sistem pemikiran, sedangkan konsep ilmiah disajikan
sebagai suatu bagian dari suatu sistem. Dengan menggunakan teori Vygotsky, Howe
menyarankan agar guru atau pendidik tidak mengatakan bahwa suatu konsep spontan
siswa itu “salah”. Pendidik sebaiknya tidak menolak konsep spontan siswa, melainkan
membantunya agar konsep itu diintegrasikan dengan konsep yang ilmiah. Menurut
Howe, konsep spontan itu meski tidak cocok sebagai penjelasan atas persoalan yang
lebih luas, kerap kali cocok untuk penalaran siswa dalam persoalan yang lebih sempit.
Misalnya, seorang anak beranggapan bahwa matahari itu mengitari bumi. Konsep ini
diperoleh dari pengamatan sehari-hari bahwa mataharilah yang seakan berjalan
mengitari bumi, sedangkan bumi diam. Konsep ini meski tidak sesuai dengan konsep
ilmiah tata angkasa, menjelaskan dan juga memecahkan beberapa persoalan sehari-hari
yang dihadapi siswa. Misalnya, ia dapat berkomunikasi dengan tetangga yang
mengatakan matahari terbit di timur dan terbenam di barat, ia dapat juga menjelaskan
bagaimana membuat jam matahari.
Kalau kita yakin bahwa konsep dan pengetahuan seseorang itu terus berkembang
mulai dari kanak-kanak sampai dewasa dan setiap saat seseorang itu mempunyai
pemahaman tertentu akan sesuatu hal, maka tidak dapat dikatakan bahwa pemahaman
seorang anak salah, melainkan bahwa pemahaman mereka itu terbatas. Tugas seorang
pendidik dalam hal ini adalah membantu agar pemahaman mereka berkembang semakin
mendekati pemahaman para ilmuwan.
Teori perubahan konsep cukup banyak senada dengan teori konstruktivis dalam arti
bahwa dalam proses pengetahuan seseorang mengalami perubahan konsep.
Pengetahuan seseorang itu tidak sekali jadi, melainkan merupakan proses
perkembangan yang terus-menerus. Dalam perkembangan itu ada yang mengalami
perubahan besar dengan mengubah konsep lama melalui akomodasi, ada pula yang
hanya mengembangkan dan memperluas konsep yang sudah ada melalui asimilasi.
Proses perubahan terjadi bila si siswa aktif berinteraksi dengan lingkungannya.
Dalam banyak penelitian diungkapkan bahwa teori perubahan konsep dipengaruhi
atau didasari oleh filsafat konstruktivisme. Konstruktivisme menekankan bahwa
pengetahuan dibentuk oleh siswa yang sedang belajar. Teori perubahan konsep
menjelaskan bahwa siswa mengalami perubahan konsep terus-menerus yang sangat
berperanan dalam menjelaskan mengapa seorang siswa bisa salah mengerti dalam
menangkap suatu konsep yang ia pelajari. Konstruktivisme membantu untuk mengerti
bagaimana siswa membentuk pengetahuan yang tidak tepat. Dengan demikian, seorang
pendidik dibantu untuk mengarahkan siswa dalam pembentukan pengetahuan yang
lebih tepat. Teori perubahan konsep sangat membantu karena mendorong pendidik agar
menciptakan suasana dan keadaan yang memungkinkan perubahan konsep yang kuat
pada siswa sehingga pemahaman mereka lebih sesuai dengan pemahaman ilmuwan.
Konstruktivisme dan teori perubahan konsep memberikan pengertian bahwa setiap
orang dapat membentuk pengertian yang berbeda dengan pengertian ilmuwan. Namun
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 41
pengertian yang berbeda tersebut bukanlah akhir perkembangan karena setiap kali
mereka masih dapat mengubah pengertiannya sehingga lebih sesuai dengan pengertian
ilmuwan. Menurut teori konstruktivisme dan teori perubahan konsep, “Salah pengertian”
bukanlah akhir dari segala-galanya, melainkan justru menjadi awal untuk perkembangan
yang lebih baik.
2. Teori belajar bermakna Ausubel
Menurut Ausubel ada dua jenis belajar, yaitu: a) belajar bermakna (meaningful
learning) dan b) belajar menghafal (rote learning). Belajar bermakna adalah suatu
proses belajar di mana informasi baru dihubungkan dengan struktur pengertian yang
sudah dipunyai seseorang yang sedang belajar. Belajar bermakna terjadi bila siswa
mencoba menghubungkan fenomena baru ke dalam struktur pengetahuan mereka. Ini
terjadi melalui belajar konsep, dan perubahan konsep yang telah ada, yang akan
mengakibatkan pertumbuhan dan perubahan struktur konsep yang telah dipunyai si
pelajar.
Bila konsep yang cocok dengan fenomena baru itu belum ada dalam struktur
kognitif seseorang, informasi baru harus dipelajari lewat belajar menghafal. Dalam
proses ini informasi yang baru tidak diasosiasikan dengan konsep yang telah ada dalam
struktur kognitif. Belajar menghafal ini perlu bila seseorang memperoleh infonnasi baru
dalam dunia pengetahuan yang sama sekali tidak berhubungan dengan apa yang telah
ia ketahui.
Menurut Ausubel, seseorang belajar dengan mengasosiasikan fenomena baru ke
dalam skema yang telah ia punyai. Dalam proses itu seseorang dapat
memperkembangkan skema yang ada atau dapat mengubahnya. Dalam proses belajar
ini siswa mengkonstruksi apa yang ia pelajari sendiri.
Teori belajar bermakna Ausubel ini sangat dekat dengan inti pokok konstruktivisme.
Keduanya menekankan pentingnya siswa mengasosiasikan pengalaman, fenomena, dan
fakta-fakta baru ke dalam sistem pengertian yang telah dipunyai. Keduanya menekankan
pentingnya asimilasi pengalaman baru ke dalam konsep atau pengertian yang sudah
dipunyai siswa. Keduanya mengandaikan bahwa dalam proses belajar itu siswa aktif.
3. Teori skema
Pengetahuan disimpan dalam suatu paket informasi, atau skema, yang terdiri dari
konstruksi mental gagasan kita. Skema suatu objek, kejadian, atau ide terdiri dari suatu
set atribut yang menjelaskan objek tersebut, maka dari itu membantu kita untuk
mengenal objek atau kejadian itu. Atribut ini memuat juga hubungan dengan skema
yang lain. Hubungan antara skema inilah yang memberikan makna dan arti kepada
gagasan kita. Misalnya, skema tentang pesawat terbang akan memuat macam-macam
atribut seperti sayap, mesin jet, jendela, badan, tempat duduk, terbang, dll. Sedangkan
skema “pesawat terbang” ini akan berkaitan dengan skema yang lebih luas seperti
skema “transportasi”. Setiap orang dalam pikirannya punya macam-macam skema
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 42
mengenai macam-macam hal, dan skema-skema itu ada yang saling berkaitan dan
membentuk suatu kerangka pemikiran seseorang akan sesuatu hal. Skema itu
mempunyai macam-macam jenis, ada yang sangat konkret seperti skema tentang
pesawat terbang, tetapi juga dapat sangat abstrak seperti skema tentang perasaan hati
ataupun teori matematika yang abstrak.
Skema adalah abstraksi mental seseorang yang digunakan untuk mengerti sesuatu
hal, menemukan jalan keluar, ataupun memecahkan persoalan. Orang harus mengisi
atribut skemanya dengan informasi yang benar agar dapat membentuk kerangka
pemikiran yang benar. Kerangka pemikiran inilah yang akan membentuk pengetahuan
struktural seseorang, di mana pengetahuan struktural tersebut terdiri dari skema-skema
yang dipunyai dan hubungan antara skema-skema itu.
Bagaimana seseorang membentuk dan mengubah skema adalah merupakan proses
belajar. Orang dapat membentuk skema baru dari suatu pengalaman baru. Orang dapat
menambah atribut baru dalam skemanya yang lama. Orang dapat melengkapi dan
memperluas skema yang telah dipunyainya dalam berhadapan dengan pengalaman,
persoalan, dan juga pemikiran yang baru. Biasanya seseorang bila menghadapi
pengalaman baru yang tidak cocok dengan skema yang dipunyainya, ia akan mengubah
skema lamanya. Dalam proses belajar, siswa mengadakan perubahan skemanya baik
dengan menambah atribut, memperhalus, memperluas, ataupun mengubah sama sekali
skema lama.
Menurut Jonassen dkk., dasar teori skema adalah bahwa ingatan seseorang itu
dianalisis secara semantik. Skemata disusun dalam suatu jaringan hubungan konsep-
konsep. Jaringan ini dikenal sebagai jaringan semantik kita. Jaringan ini menguraikan apa
yang diketahui seseorang dan menyediakan dasar untuk mempelajari konsep-konsep
yang baru, serta memperkembangkan dan rnengubah jaringan semantik yang telah ada.
Pengetahuan struktural seseorang, yang terdiri dari macam-macam skemata dan
hubungan antarskema itu, didasarkan pada teori skema. Pengetahuan struktural adalah
pengetahuan akan bagaimana konsep-konsep dalam suatu domain saling terkait.
Menurut Jonassen dkk., pengetahuan struktural menjembatani perubahan dari
pengetahuan deklaratif ke prosedural. Menurut Ryle, pengetahuan deklaratif
mengungkapkan suatu pengertian atau kesadaran akan objek, kejadian, atau ide. Ini
adalah suatu pengetahuan akan “mengerti sesuatu (mengerti apanya)”.
Dalam pengetahuan ini seseorang dapat menjelaskan apa yang ia ketahui tetapi ia
tidak menggunakan apa yang ia ketahui itu. Pengetahuan prosedural mengungkapkan
bagaimana seseorang menggunakan pengetahuan deklaratifnya. Ini adalah pengetahuan
akan “mengerti bagaimananya”. Tidak cukuplah orang mengerti “apa” untuk “mengerti
bagaimananya”. Diperlukan pengertian akan sebabnya, mengerti “mengapanya”. Inilah
peran pengetahuan struktural yang menyediakan konsep dasar untuk mengerti
keterkaitan antarkonsep.
Teori pengetahuan struktural punya keterbatasan. Clancy mengatakan bahwa teori
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 43
network semantik didasarkan kepada pandangan tradisional tentang ingatan. Diandaikan
bahwa ingatan manusia itu terdiri dari fakta-fakta dan prosedur yang tersimpan di otak.
Para ahli network semantik melihat jaringan ini sebagai representansi isomorfik akan apa
yang disimpan dalam ingatan. Struktur ingatan ada sebagai representasi dalam pikiran.
Sematik yang menyimpan informasi dalam manusia dapat dipetakan secara kognitif.
Menurut Clancy, ingatan tidaklah statis, tetapi berubah menurut konteks di mana
kejadian itu terjadi.
Seseorang belajar dengan mengadakan restrukturisasi atas skema yang ada, baik
dengan menambah maupun dengan mengganti skema itu. Ini mirip dengan
konstruktivisme Piaget yang menggunakan asimilasi dan akomodasi. Perbedaannya
adalah bahwa teori skema tidak menjelaskan proses pengetahuan, tetapi lebih
bagaimana pengetahuan manusia itu tersimpan dan tersusun.
Salah satu alat yang dapat digunakan untuk mengungkapkan skema pemikiran
maupun kerangka pemikiran seseorang akan sesuatu hal, adalah dengan menuliskan
skema pemikirannya dalam suatu peta konsep (concept maps). Menurut Novak dan
Gowin dalam Learning how to learn, peta konsep adalah suatu bagan skematis untuk
menggambarkan suatu pengertian konseptual seseorang dalam suatu rangkaian
pernyataan. Peta konsep menggambarkan hubungan antara konsep-konsep dan terdiri
atas kumpulan konsep-konsep serta pernyataan-pernyataan. Pernyataan biasanya terdiri
atas minimal dua konsep yang dihubungkan dengan “kata penghubung”, sehingga
punya arti yang lengkap. Misalnya, konsep “ayah” dan konsep “anak” dihubungkan
dengan kata penghubung “mencintai”, sehingga menjadi suatu pernyataan “Ayah
mencintai anak”, yang merupakan suatu kalimat yang punya arti tersendiri dan lengkap.
Peta konsep biasanya disusun secara hierarkis, konsep yang lebih umum diletakkan di
atas atau di pusat, dan konsep yang lebih khusus diletakkan di bawahnya atau lebih di
samping.
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 44
Gambar 1. Peta konsep tentang fraktal dari seorang anak
Dalam Gambar 1 diberikan contoh suatu peta konsep dari seorang anak tentang
fraktal, suatu bentuk yang punya dimensi tidak utuh dan kesamaan dalam dirinya
sendiri. Dapat dilihat bagaimana seorang siswa menggambarkan pengertiannya tentang
fraktal. Bagi siswa tersebut, fraktal itu punya dua sifat, yaitu: berdimensi tidak utuh dan
punya kesamaan pada dirinya sendiri (self-similarity) bila diadakan transformasi. Fraktal
dapat dibedakan dua macam, yaitu: fraktal alamiah dan fraktal matematis. Fraktal
matematis tidak finite sedangkan yang alamiah finite. Juga diungkapkan macam-macam
contoh tentang fraktal alamiah dan matematis.
Dengan melihat peta konsep itu, seorang pendidik dapat melihat pemikiran seorang
siswa dalam memahami sesuatu hal yang sedang dipelajari. Sekaligus dengan melihat
peta itu dapat dilihat salah pengertian ataupun pengertian alternatif siswa tentang suatu
hal. Bila peta konsep itu dibuat beberapa kali selama proses belajar, maka juga akan
dapat dianalisis bagaimana seorang siswa itu mengembangkan dan mengubah skema
pemikirannya. Itulah sebabnya bahwa peta konsep banyak digunakan dalam studi salah
pengertian, perubahan konsep, dan juga bagaimana mengembangkan konsep anak
didik.
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 45
4. Konstruktivisme versus behaviorisme dan maturasionisme
Kaum behavioris memandang psikologi sebagai suatu studi penting tingkah laku
dan menjelaskan belajar sebagai suatu sistem respons tingkah laku terhadap
rangsangan fisik. Para psikolog yang menggunakan paradigma ini tertarik pada akibat
dari suatu penguatan (reinforcement), praktek, dan motivasi eksternal. Pendidik yang
menggunakan kerangka behavioris biasanya merencanakan suatu kurikulum dengan
menyusun isi pengetahuan menjadi bagian-bagian kecil yang ditandai dengan suatu
keterampilan tertentu. Lalu, bagian-bagian ini disusun secara hierarki, dari yang
sederhana sampai ke yang kompleks. Siswa dipandang sebagai pasif, butuh motivasi
luar, dan dipengaruhi oleh reinforcement. Karena itu, para pendidik mengembangkan
suatu kurikulum yang terstruktur baik dan menentukan bagaimana siswa harus
dimotivasi, dirangsang, dan dievaluasi. Kemajuan belajar siswa diukur dengan hasil yang
dapat diamati.
Maturasionisme berbeda dengan behaviorisme. Maturasionisme adalah suatu teori
yang menjelaskan bahwa pengetahuan konseptual tergantung pada tingkat
perkembangan biologis seseorang. Siswa menginterpretasikan pengalaman dengan
struktur kognitif yang merupakan hasil perkembangannya. Karena itu, umur menjadi
norma yang penting bagi perkembangan pengetahuan seseorang. Psikolog yang bekerja
dalam paradigma ini memusatkan diri pada pembagian langkah-langkah perkembangan
dan sifat-sifat setiap langkah. Pendidik dalam perspektif ini berperan sebagai orang yang
menyiapkan suatu lingkungan yang sesuai dan memperkaya perkembangan mental
anak. Siswa dinilai dalam kaitannya dengan tonggak-tonggak perkembangan. Kurikulum
dianalisis apakah memiliki syarat-syarat kognitif bagi siswa dan apakah sesuai dengan
tingkat perkembangan siswa. Teor perkembangan kognitif Piaget pernah disalah artikan
sebagai teori maturasionisme.
Konstruktivisme berbeda dengan behaviorisme dan maturasionisme. Bila
behaviorisme menekankan keterampilan sebagai suatu tujuan pengajaran,
konstruktivisme lebih menekankan perkembangan konsep dan pengertian yang
mendalam. Bila maturasionisme lebih menekankan pengetahuan yang berkembang
sesuai dengan langkah-langkah perkembangan kedewasaan, konstruktivisme lebih
menekankan pengetahuan sebagai konstrukti aktif si pelajar. Dalam pengertian
maturasionisme, bila seseorang mengikuti langkah-langkah perkembangan yang ada,
dengan sendirinya ia akan menemukan pengetahuan yang makin lengkap. Menurut
konstruktivisme, bila seseorang tidak mengkonstruksikan pengetahuannya sendiri secara
aktif, meskipun ia berumur tua, akan tetap tidak berkembang pengetahuannya.
H. Implikasi Konstruktivisme terhadap Proses Belajar
1. Makna belajar
Belajar merupakan proses aktif siswa mengkonstruksi arti entah teks, dialog,
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 46
pengalaman fisis, dll. Belajar juga merupakan proses mengasimilasikan dan
menghubungkan pengalaman atas informasi yang dipelajari dengan pengertian yang
sudah dimiliki siswa sehingga pengetahuannya berkembang. Proses tersebut bercirikan
sebagai berikut:
a. Belajar berarti membentuk makna. Makna diciptakan
oleh siswa dari apa yang mereka lihat, dengar, rasakan, dan alami. Konstruksi arti
dipengaruhi oleh pengertian yang telah dimiliki.
b. Konstruksi arti merupakan proses terus menerus. Setiap kali
berhadapan dengan fenomena atau persoalan yang baru, siswa akan selalu
mengadakan rekonstruksi.
c. Belajar bukanlah kegiatan mengumpulkan fakta, melainkan lebih
merupakan suatu proses pengembangan pemikiran dengan membuat pengertian
yang baru. Belajar bukanlah hasil perkembangan, melainkan merupakan
perkembangan itu sendiri, suatu perkembangan yang menuntut penemuan dan
pengaturan kembali pemikiran seseorang.
d. Proses belajar yang sebenarnya terjadi pada waktu skema seseorang
dalam kesenjangan yang merangsang pemikiran lebih lanjut. Situasi ke-
tidakseimbangan (disequilibrium) adalah situasi yang baik untuk memacu belajar.
e. Hasil belajar dipengaruhi oleh pengalaman siswa dengan dunia fisik
dan lingkungannya.
f. Hasil belajar siswa tergantung pada apa yang telah diketahui siswa
berupa konsep-konsep, tujuan, dan motivasi yang mempengaruhi interaksi dengan
bahan yang dipelajari.
2. Peran pelajar
Kegiatan belajar adalah kegiatan yang aktif, di mana siswa membangun sendiri
pengetahuannya. Siswa mencari arti sendiri dari yang mereka pelajari. Ini merupakan
proses menyesuaikan konsep dan ide-ide baru dengan kerangka berpikir yang telah ada
dalam pikiran mereka. Siswa sendirilah yang bertanggung jawab atas hasil belajarnya.
Mereka membawa pengertiannya yang lama dalam situasi belajar yang baru. Mereka
sendiri yang membuat penalaran atas apa yang dipelajarinya dengan cara mencari
makna, membandingkannya dengan apa yang telah ia ketahui serta menyelesaikan
ketegangan antara apa yang telah ia ketahui dengan apa yang ia perlukan dalam
pengalaman yang baru.
Bagi kaum konstruktivis, belajar adalah suatu proses organik untuk menemukan
sesuatu, bukan suatu proses mekanik untuk mengumpulkan fakta. Belajar itu suatu
perkembangan pemikiran dengan membuat kerangka pengertian yang berbeda. Siswa
harus punya pengalaman dengan membuat hipotesis, mengetes hipotesis, memanipulasi
objek, memecahkan persoalan, mencari jawaban, menggambarkan, meneliti, berdialog,
mengadakan refleksi, mengungkapkan pertanyaan, mengekspresikan gagasan, dll untuk
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 47
membentuk konstruksi yang baru. Siswa harus membentuk pengetahuan mereka sendiri
dan guru membantu sebagai mediator dalam proses pembentukan itu. “Belajar yang
berarti” terjadi melalui refleksi, pemecahan konflik pengertian, dan dalam proses selalu
memperbarui tingkat pemikiran yang tidak lengkap.
Ada perbedaan antara kaum behavioris dan konstruktivis dalam hal pengetahuan,
belajar, dan mengajar. Menurut kaum behavioris, pengetahuan itu pengumpulan pasif
dari subjek dan objek yang diperkuat oleh lingkungannya, sedangkan bagi kaum kon-
struktivis, pengetahuan itu adalah kegiatan aktif siswa yang meneliti lingkungannya.
Bagi behavioris, pengetahuan itu statis dan sudah jadi; bagi konstruktivis, pengetahuan
itu suatu proses menjadi. Bagi kaum behavioris, mengajar adalah mengatur lingkungan
agar dapat membantu belajar. Bagi konstruktivis, mengajar berarti partisipasi dengan
siswa dalam membentuk pengetahuan, membuat makna, mempertanyakan kejelasan,
bersikap kritis, mengadakan justifikasi. Jadi, mengajar adalah suatu bentuk belajar
sendiri.
Setiap siswa mempunyai cara sendiri untuk mengerti. Maka penting bahwa setiap
siswa mengerti kekhasannya, juga keunggulan dan kelemahannya dalam mengerti
sesuatu. Mereka perlu menemukan cara belajar yang tepat bagi mereka sendiri. Setiap
siswa mempunyai cara yang cocok untuk mengkonstruksikan pengetahuannya yang
kadang sangat berbeda dengan teman-teman yang lain. Karena itu, mengerti
kekhususannya sendiri sangat penting dalam memajukan belajar seseorang. Dalam
kerangka ini, sangat penting bahwa siswa dimungkinkan untuk mencoba bermacam-
macam cara belajar yang cocok dan juga penting bahwa pengajar menciptakan
bermacam-macam situasi dan metode yang membantu pelajar. Satu model belajar
mengajar saja tidak akan banyak membantu siswa.
Waktu pertama kali datang ke kelas, siswa sudah membawa makna tertentu
tentang dunianya. Inilah pengetahuan dasar mereka untuk dapat mengembangkan
pengetahuan yang baru. Juga mereka membawa perbedaan tingkat intelektual, personal,
sosial, emosional, dan kultural. Ini semua mempengaruhi pemahaman mereka. Latar
belakang dan pengertian awal yang dibawa siswa tersebut sangat penting dimengerti
oleh pengajar agar dapat membantu memajukan dan memperkembangkannya sesuai
dengan pengetahuan yang lebih ilmiah.
3. Belajar dalam kelompok
Karena pengetahuan dibentuk baik secara individual maupun sosial, kelompok
belajar dapat dikembangkan. Menurut Von Glasersfeld, dalam kelompok belajar siswa
harus mengungkapkan bagaimana ia melihat persoalan dan apa yang akan dibuatnya
dengan persoalan itu. Inilah salah satu jalan menciptakan refleksi yang menuntut
kesadaran akan apa yang sedang dipikirkan dan dilakukan. Selanjutnya, ini akan
memberikan kesempatan kepada seseorang untuk secara aktif membuat abstraksi.
Usaha menjelaskan sesuatu kepada kawan-kawan justru membantunya untuk melihat
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 48
sesuatu dengan lebih jelas dan bahkan melihat inkonsistensi pandangan mereka sendiri.
Mengerti bahwa teman lainnya belum memiliki jawaban yang siap, akan
meningkatkan keberanian siswa untuk mencoba dan mencari jalan. Sekaligus, jika ia
menemukan jawaban, itu akan mendorong yang lain untuk menemukannya juga.
Ketidakkonsistenan dan kesalahan yang ditunjukkan oleh teman dianggap kurang
meyakinkan dibandingkan bila ditunjukkan oleh guru. Ini akan meningkatkan harga diri
mereka.
Menurut Driver dkk., konstruktivisme sosial menekankan bahwa belajar berarti
dimasukkannya seseorang ke dalam suatu dunia simbolik. Pengetahuan dan pengertian
dikonstruksi bila seseorang terlibat secara sosial dalam dialog dan aktif dalam
percobaan-percobaan dan pengalaman. Pembentukan makna adalah dialog antarpribadi.
Belajar merupakan proses masuknya seseorang ke dalam kultur orang-orang yang
terdidik. Dalam hal ini, siswa tidak hanya memerlukan akses ke pengalaman fisik, tetapi
juga ke konsep-konsep dan model-model ilmu pengetahuan konvensional. Oleh sebab
itu, guru berperan penting karena mereka menyediakan kesempatan yang cocok dan
prasarana masyarakat ilmiah bagi siswa. Dalam konteks ini kegiatan-kegiatan yang
memungkinkan siswa berdialog dan berinteraksi dengan para ahli, dengan lembaga-
lembaga penelitian, dengan sejarah penemuan ilmiah, dan dengan masyarakat
pengguna hasil ilmiah akan sangat membantu dan merangsang mereka untuk
mengkonstruksi pengetahuan mereka.
I. Implikasi Konstruktivisme terhadap Proses Mengajar
1. Makna mengajar
Mengajar bukanlah kegiatan memindahkan pengetahuan dari guru ke siswa,
melainkan suatu kegiatan yang memungkinkan siswa membangun sendiri
pengetahuannya. Mengajar berarti partisipasi dengan siswa dalam membentuk
pengetahuan, membuat makna, mencari kejelasan, bersikap kritis, dan mengadakan
justifikasi. Jadi, mengajar adalah suatu bentuk belajar sendiri.
Berpikir yang baik adalah lebih penting daripada mempunyai jawaban yang benar
atas suatu persoalan yang sedang dipelajari. Seseorang yang mempunyai cara berpikir
yang baik, dalam arti bahwa cara berpikirnya dapat digunakan untuk menghadapi suatu
fenomena baru, akan dapat menemukan pemecahan dalam menghadapi persoalan yang
lain. Sementara itu, seorang siswa yang sekadar menemukan jawaban benar belum pasti
dapat memecahkan persoalan yang baru karena mungkin ia tidak mengerti bagaimana
menemukan jawaban itu. Bila cara berpikir itu berdasarkan pengandaian yang salah atau
tidak dapat diterima pada saat itu, ia masih dapat memperkembangkannya. Mengajar
adalah membantu seseorang berpikir secara benar dengan membiarkannya berpikir
sendiri.
2. Fungsi dan peran pengajar/ guru
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 49
a. Pengajar sebagai mediator dan fasilitator
Seorang pengajar/ guru berperan sebagai mediator dan fasilitator yang membantu
agar proses belajar siswa berjalan dengan baik. Tekanan ada pada siswa yang belajar
dan bukan pada disiplin ataupun guru yang mengajar. Fungsi mediator dan fasilitator
dapat dijabarkan dalam beberapa tugas sebagai berikut:
1) Menyediakan pengalaman belajar yang memungkinkan siswa bertanggung jawab
dalam membuat rancangan, proses, dan penelitian. Karena itu, jelas memberi kuliah
atau ceramah bukanlah tugas utama seorang guru.
2) Menyediakan atau memberikan kegiatan-kegiatan yang merangsang keingintahuan
siswa dan membantu mereka untuk mengekspresikan gagasan-gagasannya dan
mengkomunikasikan ide ilmiah mereka. Menyediakan sarana yang merangsang siswa
berpikir secara produktif. Menyediakan kesempatan dan pengalaman yang paling
mendukung proses belajar siswa.
3) Memonitor, mengevaluasi, dan menunjukkan apakah pemikiran siswa jalan atau
tidak. Guru menunjukkan dan mempertanyakan apakah pengetahuan siswa itu
berlaku untuk menghadapi persoalan baru yang berkaitan. Guru membantu
mengevaluasi hipotesis dan kesimpulan siswa.
Agar peran dan tugas tersebut berjalan dengan optimal, diperlukan beberapa
kegiatan yang perlu dikerjakan dan juga beberapa pemikiran yang perlu disadari oleh
pengajar, yaitu:
1) Guru perlu banyak berinteraksi dengan siswa untuk lebih mengerti apa yang sudah
mereka ketahui dan pikirkan.
2) Tujuan dan apa yang akan dibuat di kelas sebaiknya dibicarakan bersama sehingga
siswa sungguh terlibat.
3) Guru perlu mengerti pengalaman belajar mana yang lebih sesuai dengan kebutuhan
siswa. Ini dapat dilakukan dengan berpartisipasi sebagai siswa juga di tengah pelajar.
4) Diperlukan keterlibatan dengan siswa yang sedang berjuang dan kepercayaan
terhadap siswa bahwa mereka dapat belajar.
5) Guru perlu mempunyai pemikiran yang fleksibel untuk dapat mengerti dan
menghargai pemikiran siswa, karena kadang siswa berpikir berdasarkan pengandaian
yang tidak diterima guru.
Karena siswa harus membangun sendiri pengetahuan mereka, seorang guru harus
melihat mereka bukan sebagai lembaran kertas putih kosong. Bahkan, anak kelas 1 SD
pun telah hidup beberapa tahun dan menemukan suatu cara yang berlaku dalam
berhadapan dengan lingkungan hidup mereka. Mereka sudah membawa “pengetahuan
awal”. Pengetahuan yang mereka punyai adalah dasar untuk membangun pengetahuan
selanjutnya. Karena itu, guru perlu mengerti pada taraf manakah pengetahuan mereka.
Apapun yang dikatakan seorang siswa dalam menjawab suatu persoalan adalah
jawaban yang masuk akal bagi mereka pada saat itu. Ini perlu ditanggapi serius, apapun
“salah” mereka seperti yang dilihat guru. Bagi siswa, dinilai salah merupakan suatu yang
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 50
mengecewakan dan mengganggu. Berikan jalan kepada mereka untuk
menginterpretasikan pertanyaan. Dengan demikian, diharapkan jawabannya akan lebih
baik. Jangan pernah mengandaikan bahwa cara berpikir siswa itu sederhana atau jelas.
Guru perlu belajar mengerti cara berpikir mereka sehingga dapat membantu
memodifikasinya. Baik dilihat bagaimana jalan berpikir mereka itu mengenai persoalan
yang ada. Tanyakan kepada mereka bagaimana mereka mendapatkan jawaban itu. Ini
cara yang baik untuk menemukan pemikiran mereka dan membuka jalan untuk
menjelaskan mengapa suatu jawaban tidak berlaku untuk keadaan tertentu.
Guru konstruktivis tidak pernah akan membenarkan ajarannya dengan mengklaim
bahwa “ini satu-satunya yang benar”. Di dalam matematika mereka dapat menunjukkan
bahwa cara tertentu diturunkan dari operasi tertentu. Di dalam sains mereka tidak dapat
berkata lebih daripada “ini adalah jalan terbaik untuk situasi ini, dan ini adalah jalan
yang terefektif untuk soal ini”.
Perlu diciptakan suasana yang membuat siswa antusias terhadap persoalan yang
ada sehingga mereka mau mencoba memecahkan persoalannya. Guru perlu membantu
mengaktifkan siswa untuk berpikir. Hal ini dilakukan dengan membiarkan mereka
berjuang dengan persoalan yang ada dan membantu mereka hanya sejauh mereka
bertanya dan minta tolong. Guru dapat memberikan orientasi dan arah tetapi tidak boleh
memaksakan arah itu. Tentu ini akan memakan waktu lama tetapi siswa yang
menemukan sendiri suatu pemecahan dan pemikiran akan siap untuk menghadapi
persoalan-persoalan yang baru.
Pengajar perlu membiarkan siswa menemukan cara yang paling menyenangkan
dalam pemecahan persoalan. Tidaklah menarik bila setiap kali guru menyuruh siswa
memakai jalan tertentu. Siswa kadang suka mengambil jalan yang tidak disangka atau
yang tidak konvensional untuk memecahkan suatu soal. Bila seorang guru tidak
menghargai cara penemuan mereka, ini berarti menyalahi sejarah perkembangan sains
yang juga dimulai dari kesalahan-kesalahan.
Sangat penting bahwa guru tidak mengajukan jawaban satu-satunya sebagai yang
benar, terlebih dalam persoalan yang berdasarkan suatu pengalaman. Dalam sejarah
sains kita melihat bahwa teori-teori yang lama tidaklah salah dalam perkembangannya,
tetapi lebih dikatakan sebagai tidak dapat menjawab persoalan-persoalan baru. Teori-
teori itu tetap dapat menjawab persoalan lama yang dihadapinya pada waktu
menemukannya. Teori Newton tentang gerak tidaklah salah tetapi tidak mencukupi lagi
untuk menjawab gerak dalam dimensi mikro. Lalu ditemukan teori baru yang dapat
menjawabnya. Namun, sampai sekarangpun teori Newton tetap dapat digunakan untuk
menjawab persoalan-persoalan dalam dunia makro.
Guru perlu mengerti sifat kesalahan siswa. Perkembangan intelektual dan
matematis penuh dengan kesalahan dan kekeliruan. Ini adalah bagian dari konstruksi
semua bidang yang tidak bisa dihindarkan. Guru perlu melihat kesalahan sebagai suatu
sumber informasi tentang penalaran dan sifat skemata anak.
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 51
Julyan dan Duckworth merangkum hal-hal yang penting dikerjakan oleh seorang
guru konstruktivis, yaitu guru perlu: 1) mendengarkan secara sungguh-sungguh
interpretasi siswa terhadap data yang ditemukan sambil menaruh perhatian khusus
kepada keraguan, kesulitan, dan kebingungan setiap siswa; 2) memperhatikan
perbedaan pendapat dalam kelas; dan 3) memberikan penghargaan kepada setiap siswa.
Dengan memfokuskan diri pada hal-hal yang kontradiktif dan membingungkan siswa,
guru akan menemukan bahwa konsep yang dipelajari itu mungkin sulit dan
membutuhkan waktu lebih banyak untuk mengkonstruksikannya. Guru perlu tahu bahwa
“tidak mengerti” adalah langkah yang penting untuk mulai menekuninya. Ketidaktahuan
siswa bukanlah suatu tanda yang jelek dalam proses belajar, melainkan merupakan
langkah awal untuk mulai.
b. Penguasaan bahan
Peran guru sangat menuntut penguasaan bahan yang luas dan mendalam. Guru
perlu mempunyai pandangan yang sangat luas mengenai pengetahuan tentang bahan
yang akan diajarkan. Pengetahuan yang luas dan mendalam memungkinkan seorang
guru menerima pandangan dan gagasan yang berbeda dari siswa dan juga
memungkinkan untuk menunjukkan apakah gagasan itu jalan atau tidak. Penguasaan
bahan memungkinkan seorang guru mengerti macam-macam jalan dan model untuk
sampai pada suatu pemecahan persoalan tanpa terpaku pada satu model.
Dari pengalaman mengajar cukup jelas bahwa ada beberapa guru yang menjadi
“diktator” dengan mengklaim bahwa jalan yang ia berikan adalah satu-satunya yang
benar. Akibatnya, mereka menganggap salah semua pemikiran dan jalan yang
digunakan siswa bila tidak cocok dengan pemecahan guru. Cara tersebut akan
mematikan kreativitas dan pemikiran siswa dan ini tentu berlawanan dengan prinsip
konstruktivisme.
Sangat perlu bahwa seorang guru, selain menguasai bahan, juga mengerti konteks
bahan itu. Seorang guru, misalnya guru fisika, perlu mengerti bagaimana suatu teori
fisika berkembang dalam sejarah. Pemahaman historis ini akan meletakkan suatu
pengetahuan dalam konteks yang lebih mudah dipahami daripada bila terlepas begitu
saja. Guru konstruktivis diharapkan juga mengerti proses belajar yang baik. Mereka perlu
mengerti proses asimilasi dan akomodasi yang diperlukan oleh siswa dalam
memperkembangkan pengetahuan mereka.
c. Strategi mengajar
Tugas guru adalah membantu agar siswa mampu mengkonstruksi pengetahuannya
sesuai dengan situasinya yang konkret maka strategi mengajar perlu juga disesuaikan
dengan kebutuhan dan situasi siswa. Oleh karena itu, tidak ada suatu strategi mengajar
yang satu-satunya yang dapat digunakan di mana pun dan dalam situasi apa pun.
Strategi yang disusun selalu hanya menjadi tawaran dan saran, bukan suatu menu yang
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 52
sudah jadi. Setiap guru yang baik akan mengembangkan caranya sendiri. Mengajar
adalah suatu seni yang menuntut bukan hanya penguasaan teknik, melainkan juga
intuisi.
Menurut Driver dan Oldham karakteristik mengajar konstruktivis sebagai berikut:
1) Orientasi. Siswa diberi kesempatan untuk
mengembangkan motivasi dalam mempelajari suatu topik dan mengadakan
observasi terhadap topik apa yang hendak dipelajari.
2) Elicitasi. Siswa dibantu untuk mengungkapkan idenya
secara jelas dengan berdiskusi, menulis, membuat poster,dll. Siswa diberi
kesempatan untuk mendiskusikan apa yang diobservasikan, dalam wujud tulisan,
gambar ataupun poster.
3) Restrukturisasi ide. Dalam hal ini ada tiga hal:
a) Klarifikasi ide yang dikontraskan dengan ide-ide orang lain atau teman lewat
diskusi ataupun lewat pengumpulan ide. Berhadapan dengan ide-ide lain,
seseorang dapat terangsang untuk merekonstruksi gagasannya kalau tidak cocok
atau sebaliknya menjadi lebih yakin bila gagasannya cocok.
b) Mengembangkan ide yang baru. Ini terjadi bila dalam diskusi itu idenya
bertentangan dengan ide lain atau idenya tidak dapat menjawab pertanyaan-
pertanyaan yang diajukan teman-teman.
c) Mengevaluasi ide barunya dengan eksperimen. Kalau dimungkinkan, ada baiknya
bila gagasan yang baru dibentuk itu diuji dengan suatu percobaan atau persoalan
yang baru.
4) Penggunaan ide dalam banyak situasi. Ide atau
pengetahuan yang telah dibentuk oleh siswa perlu diaplikasikan pada bermacam-
macam situasi yang dihadapi. Hal ini akan membuat pengetahuan siswa lebih
lengkap dan bahkan lebih rinci dengan segala macam pengecualiannya.
5) Review bagaimana ide itu berubah. Dapat terjadi
bahwa dalam aplikasi pengetahuannya pada situasi yang dihadapi sehari-hari,
seseorang perlu merevisi gagasannya entah dengan menambah suatu keterangan
ataupun mungkin dengan mengubahnya menjadi lebih lengkap.
De Vries dan Kohlberg mengikhtisarkan beberapa prinsip konstruktivisme Piaget
yang perlu diperhatikan dalam mengajar matematika, yaitu:
1) Struktur psikologis harus dikembangkan dulu sebelum persoalan bilangan
diperkenalkan. Bila siswa mencoba menalarkan bilangan sebelum mereka menerima
struktur logika matematis yang cocok dengan persoalannya, maka tidak akan jalan.
2) Struktur psikologis (skemata) harus dikembangkan dulu sebelum simbol formal
diajarkan. Simbol adalah bahasa matematis, suatu bilangan tertulis yang merupakan
representasi suatu konsep, tapi bukan konsepnya sendiri.
3) Siswa harus mendapat kesempatan untuk menemukan (membentuk) relasi
matematis sendiri, jangan hanya selalu dihadapkan kepada pemikiran orang dewasa
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 53
yang sudah jadi.
4) Suasana berpikir harus diciptakan. Sering pengajaran matematika hanya mentransfer
apa yang dipunyai guru kepada siswa dalam wujud pelimpahan fakta matematis dan
prosedur perhitungan kepada siswa, sehingga siswa menjadi pasif. Banyak guru
menekankan perhitungan dan bukan penalaran sehingga banyak siswa menghafal
belaka.
d. Mengevaluasi proses belajar siswa
Menurut Von Glasersfeld, sebenarnya seorang guru tidak dapat mengevaluasi apa
yang sedang dibuat siswa atau apa yang mereka katakan. Yang harus dikerjakan guru
adalah menunjukkan kepada siswa bahwa yang mereka pikirkan itu tidak cocok atau
tidak sesuai untuk persoalan yang dihadapi. Guru konstruktivis tidak menekankan
kebenaran, tetapi berhasilnya suatu proses. Tidak ada gunanya mengatakan siswa itu
salah karena hanya merendahkan motivasi belajar.
Perlu ditentukan apakah kita ingin agar siswa memperkembangkan kemampuan
berpikirnya atau sekadar dapat menangani prosedur standar dan memberikan jawaban
standar yang terbatas. Berikan kepada siswa suatu persoalan yang belum pernah
ditemui sebelumnya, amati bagaimana mereka mengkonseptualisasikannya, dan teliti
bagaimana mereka menyelesaikan persoalan itu. Pendekatan siswa terhadap persoalan
itu lebih penting daripada jawaban akhir yang diberikannya. Dengan mengamati cara
konseptual yang siswa gunakan, kita dapat menangkap bagaimana jalannya konsep
mereka. Berikan kepada siswa suatu persoalan yang belum ada pemecahannya yang
baku.
3. Hubungan guru dan siswa
Dalam aliran konstruktivisme, guru bukanlah seseorang yang mahatahu dan siswa
bukanlah yang belum tahu dan karena itu harus diberi tahu. Dalam proses belajar, siswa
aktif mencari tahu dengan membentuk pengetahuannya, sedangkan guru membantu
agar pencarian itu berjalan baik. Dalam banyak hal guru dan siswa bersama-sama
membangun pengetahuan, artinya inilah hubungan guru dan siswa lebih sebagai mitra
yang bersama-sama membangun pengetahuan.
J. Implikasi Konstruktivisme terhadap Persekolahan
1. Peran konstruktivisme secara umum
Prinsip-prinsip konstruktivisme telah banyak digunakan dalam pendidikan sains dan
matematika. Secara umum prinsip-prinsip itu berperan sebagai referensi dan alat refleksi
kritis terhadap praktek, pembaruan, dan perencanaan pendidikan sains dan matematika.
Prinsip-prinsip yang sering diambil dari konstruktivisme antara lain:
a. Pengetahuan dibangun oleh siswa secara aktif.b. Tekanan dalam proses belajar terletak pada siswa.c. Mengajar adalah membantu siswa belajar.
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 54
d. Tekanan dalam proses belajar lebih pada proses bukan pada hasil akhir.
e. Kurikulum menekankan partisipasi siswa.f. Guru adalah fasilitator.
Prinsip tersebut banyak diambil untuk membuat perencanaan proses belajar mengajar
yang sesuai, pembaruan kurikulum, perencanaan program persiapan guru, dan untuk
mengevaluasi praktek belajar mengajar yang sudah berjalan.
Sebagai referensi, sekelompok guru mengambil prinsip konstruktivisme untuk
menyusun metode mengajar yang lebih menekankan keaktifan siswa baik dalam belajar
sendiri maupun bersama dalam kelompok. Guru-guru mencari cara untuk lebih mengerti
apa yang dipikirkan dan dialami siswa dalam proses belajar. Mereka memikirkan
beberapa kegiatan dan aktivitas yang dapat merangsang siswa berpikir. Interaksi
antarsiswa di kelas dihidupkan, siswa diberi kebebasan mengungkapkan gagasan dan
pemikiran mereka.
Wheatley menyusun kurikulum yang berpusat pada “belajar persoalan”. Siswa
bekerja bersama dalam kelompok, mengartikan persoalan yang diberikan, dan mencoba
memecahkan persoalan yang rumit. Di sini guru berperan sebagai mediator, meyakinkan
apa yang siswa ketahui, dan merangkai tugas-tugas sehingga mereka dapat membangun
pengetahuan. Siswa mencari arti dalam kelompok kecil, lalu mengadakan persetujuan
dalam kelompok besar/ kelas. Tugas guru memonitor pengertian siswa, membimbing
diskusi sehingga setiap siswa aktif dan mendapat kesempatan untuk mengungkapkan
pengertiannya. Guru juga aktif dalam kegiatan seperti mencari penjelasan, menanyakan
kebenaran, dan mengevaluasi alternatif yang ada. Bagi siswa, guru berfungsi sebagai
mediator, pemandu, dan sekaligus teman belajar.
Sebagai alat refleksi, konstruktivisme dapat digunakan untuk meneliti mengapa
siswa tertentu dapat belajar lebih baik dalam konteks dengan teman dan mengapa siswa
tertentu salah tangkap terhadap yang ia pelajari. Selain itu, untuk menilai dan
mengevaluasi apakah praktek belajar dan mengajar sudah sesuai dengan prinsip
konstruktivisme atau belum.
2. Konstruktivisme dan kurikulum
Duit dan Confrey merangkumkan beberapa prinsip penting teori konstruktivis
sebagai arah pembaruan kurikulum pendidikan sains dan matematika sebagai berikut:
a. Pendekatan yang menekankan penggunaan matematika dan sains dalam situasi
yang sesuai dengan minat siswa. Ditekankan pengetahuan berdasarkan pengalaman
dalam kehidupan sehari-hari. Pengalaman sehari-hari sesungguhnya penuh dengan
prinsip yang menggunakan matematika dan sains. Pendekatan dengan menganalisis
pengalaman sehari-hari, terlebih yang sesuai dengan situasi siswa, akan
memudahkan siswa mengkonstruksikan pengetahuannya.
b. Meta-pengetahuan, artinya bukan hanya menekankan isi matematika dan sains,
tetapi juga konteks dan prinsip-prinsipnya. Dalam hal ini penting bagi pengajar
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 55
mengerti bagaimana latar belakang penemuan-penemuan dalam bidang sains dan
matematika. Sejarah sains menunjukkan bahwa penemuan-penemuan baru sering
dilatarbelakangi oleh situasi yang memang sungguh menantang untuk memunculkan
penemuan tersebut. Bila siswa mengerti latar belakangnya, mereka akan lebih
mudah menangkap isi penemuan dan pengetahuannya. Jadi, pengetahuan tidak
dipelajari lepas dari konteksnya.
c. Tekanan lebih pada konstruksi, interpretasi, koordinasi, dan juga multiple idea.
Tekanan proses belajar-mengajar lebih pada bagaimana membentuk pengetahuan,
menginterpretasikan yang dipelajari, dan konstruksi yang bermacam-macam dapat
terjadi dalam mempelajari satu hal tertentu. Munculnya banyak ide dalam suatu kelas
terhadap bahan yang sama justru akan lebih merangsang siswa untuk
mengkonstruksikan pengetahuannya dengan lebih rinci dan lengkap, bahkan juga
menyadari keterbatasannya.
d. Menekankan agar siswa aktif. Bahan lebih dipandang sebagai sarana interaksi siswa
dalam pembentukan pengetahuan mereka. Jelas tekanan bukan pada guru yang aktif
“mengdrill” atau berceramah, tetapi pada siswa yang menggeluti bahan.
e. Penting diperhatikan adanya perspektif alternatif dalam kelas. Diusahakan agar ada
peluang dan rangsangan bagi munculnya alternatif, terlebih dalam gagasan dan
interpretasi mengenai bahan pelajaran. Kelas sebaiknya tidak diatur hanya dengan
satu cara, tetapi dengan beraneka cara sehingga lebih cocok untuk lebih banyak
siswa. Baik juga diadakan konsensus tentang bagaimana kelas akan diatur sehingga
siswa aktif dan berminat.
Banyak guru dalam pendidikan sains dan matematika mempunyai gambaran
kurikulum sebagai suatu set bahan yang tercetak yang dapat dibawa dan dipakai di
mana-mana, seperti sebuah menu tetap yang dapat digunakan di mana pun dan kapan
pun. Dalam pengertian ini, kurikulum jadi terpisah dari siswa dan lingkungannya.
Kurikulum yang seperti ini sama sekali bertentangan dengan prinsip konstruktivis yang
menekankan peran dan partisipasi siswa serta lingkungannya dalam pembentukan
pengetahuan selama proses belajar.
Menurut Grundy, kurikulum merupakan kumpulan semua pengalaman belajar,
termasuk siswa, bahan, guru, prasarana, masyarakat, sistem sekolah, dll. Ini lebih cocok
dengan konstruktivisme yang memandang kurikulum tidak lepas dari siswa yang belajar
dan lingkungan tempat dia belajar. Bagi konstruktivis, kurikulum tidak dapat dilepaskan
dari siswa, kultur atau kebudayaan, pengetahuan, kebiasaan, sejarah, dll. Kurikulum
harus ditempatkan dalam kerangka yang luas yang menyangkut konteks historis
ekonomi, politik, orang tua, administrator, dan guru.
Siswa harus membuat arti dari sains melalui struktur konsep yang ada. Hasil
pengetahuan sains adalah interpretasi atas pengalaman dalam pengetahuan yang lebih
luas. Dua pertanyaan menjadi penting diajukan untuk kurikulum sains, yaitu: a)
pengalaman-pengalaman apa yang harus disediakan bagi para siswa supaya
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 56
memperlancar belajar dan b) bagaimana siswa dapat mengungkapkan/ menyajikan apa
yang telah mereka ketahui untuk memberi arti pada pengalaman-pengalaman itu.
Pengetahuan harus dibentuk secara personal, maka tidaklah masuk akal berpikir
hanya tentang mata pelajaran sains tanpa kehadiran siswa atau sebaliknya. Berdebat
tentang mana yang lebih dipentingkan, konsep ataukah proses dalam belajar, tidak
banyak artinya karena mencari arti dalam sains adalah proses dialektik yang
menyangkut isi dan proses. Keduanya tidak terpisahkan.
Driver dan Oldham menyatakan bahwa perencana kurikulum konstruktivis tidak
dapat begitu saja mengambil kurikulum standar yang menekankan siswa pasif dan guru
aktif, sebagai cara mentransfer pengetahuan dari guru ke siswa. Kurikulum bukan
sebagai tubuh pengetahuan atau kumpulan keterampilan (skill), melainkan lebih sebagai
program aktivitas di mana pengetahuan dan keterampilan dapat dikonstruksi. Kurikulum
bukan kumpulan bahan yang sudah ditentukan sebelumnya untuk mengajar, melainkan
lebih sebagai suatu persoalan yang perlu dipecahkan oleh para siswa untuk lebih
mengerti.
3. Konstruktivisme dan persiapan pendidikan guru
Northfield, Gunstone, dan Erickson memberikan catatan mengenai persiapan
pendidikan guru dan calon pengajar. Pendidikan guru harus mengadakan pembaruan
dengan mengevaluasi konsep-konsep yang ada sampai sekarang, apakah sudah sesuai
dengan prinsip konstruktivisme. Ini berarti bahwa tekanan pendidikan calon guru harus
terletak pada keaktifan para calon guru dalam mengkonstruksi pengetahuan mereka.
Para pengajar perlu memberikan kesempatan kepada calon-calon guru untuk berperan
aktif dalam penemuan dan pengembangan pikiran mereka.
Calon-calon guru harus aktif menekuni pengetahuan mereka, aktif mencari makna
dari yang mereka pelajari, dan belajar terus-menerus. Sistem pengajaran yang
menekankan mahasiswa pasif dan dosen aktif atau sistem pengerdilan bahan yang tidak
memungkinkan mahasiswa berpikir tentang hal itu sangat bertentangan dengan
konstruktivis. Sistem pendidikan guru seperti itu hanya akan menghasilkan guru-guru
yang memasifkan siswa dan mematikan kreativitas siswa. Guru-guru yang dihasilkan
adalah guru-guru yang juga tidak kreatif dan tidak dapat mengerti dan memahami
kreativitas siswa.
Untuk membantu karier pendidik, para calon guru perlu memperhatikan hal-hal
sebagai berikut:
a. Belajar bagaimana mengajar secara konstruktivis. Ini berarti mereka harus mengerti
makna belajar dan mengajar secara konstruktivis. Mereka perlu mengerti sifat-sifat
dan hal-hal yang diperlukan bagi seorang guru konstruktivis dan siswa konstruktivis.
b. Mendalami bahan dan bidang ilmunya secara mendalam dan luas. Pemahaman
bahan dan bidang ilmu sangat penting bagi guru konstruktivis, karena mereka harus
dapat memahami macam-macam interpretasi siswa dalam membentuk
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 57
pengetahuannya akan suatu hal. Mereka perlu mengerti latar belakang
perkembangan ilmu yang ditekuninya sehingga dapat membantu siswa
mengkonstruksi pengetahuan dengan lebih baik. Kepicikan dan kurangnya
penguasaan atas ilmu, akan membuat guru cenderung main “diktator” sehingga
akan sulit membantu siswa yang mengalami kesulitan dalam menangkap
pengetahuannya.
c. Belajar tentang diri mereka sendiri sebagai jembatan untuk terjun menjadi guru.
Mereka perlu belajar tentang fungsi, tugas, dan profesi sebagai guru, juga perlu
mengerti kelebihan dan kelemahan dirinya sendiri dalam kaitannya berprofesi
sebagai guru.
d. Pentingnya berinteraksi dengan guru maupun dosen sehingga akan membuat
mereka lebih mantap tentang karier yang akan dijalani dan dapat belajar dari
pengalaman mereka sehingga bermanfaat untuk memperkembangkan pengetahuan
mereka.
4. Konstruktivisme dan penelitian
Konstruktivisme dapat sangat membantu penelitian tentang proses belajar dan juga
tentang kesulitan yang dialami siswa ketika belajar. Karena siswa mengkonstruksi
pengetahuannya sendiri, tidak jarang bahwa hasil konstruksi itu tidak cocok dengan hasil
konstruksi para ilmuwan. Inilah yang memunculkan salah pengertian/ misconceptions.
Berdasarkan prinsip konstruktivis, dapat ditelusuri di mana siswa punya konsep alternatif
dan mengapa mereka berpandangan demikian. Dari sini penelitian dapat membantu
menemukan sarana untuk mengembangkan konsep siswa. Penelitian konsep tersebut
juga dapat dilakukan untuk para guru, mahasiswa, dan orang yang sedang belajar.
Penelitian mengenai praktek mengajar, praktek belajar, dan kurikulum yang sedang
berlaku, juga dapat dibantu dengan prinsip konstruktivis. Artinya penelitian lebih untuk
melihat apakah praktek belajar-mengajar suatu kelompok mencerminkan prinsip
konstruktivis atau tidak, unsur-unsur mana yang masih perlu dikembangkan dan
dimajukan. Penelitian ini juga dapat melihat apakah praktek belajar-mengajar
konstruktivis memang ada kelebihannya dibandingkan sistem belajar-mengajar yang
tradisional.
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 58
BAB IVKONSTRUKTIVISME DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA
A. Belajar Matematika Menurut Konstruktivisme
Konsep pembelajaran konstruktivis didasarkan kepada kerja akademik para ahli
psikologi dan peneliti yang peduli dengan konstruktivisme. Para ahli konstruktivisme
mengatakan bahwa ketika siswa mencoba menyelesaikan tugas-tugas di kelas, maka
pengetahuan matematika dikonstruksi secara aktif. Para ahli konstruktivis yang lain
mengatakan bahwa dari perspektifnya konstruktivis, belajar matematika bukanlah suatu
proses “pengepakan” pengetahuan secara hati-hati, melainkan tentang mengorganisir
aktivitas, di mana kegiatan ini diinterpretasikan secara luas termasuk aktivitas dan
berfikir konseptual. Didefinisikan oleh Cobb bahwa belajar matematika merupakan
proses dimana siswa secara aktif mengkonstruksi pengetahuan matematika.
Para ahli konstruktivis setuju bahwa belajar matematika melibatkan manipulasi
aktif dari pemaknaan bukan hanya bilangan dan rumus-rumus saja. Mereka menolak
paham bahwa matematika dipelajari dalam satu koleksi yang berpola linear. Setiap
tahap dari pembelajaran melibatkan suatu proses penelitian terhadap makna dan
penyampaian keterampilan hafalan dengan cara yang tidak ada jaminan bahwa siswa
akan menggunakan keterampilan intelegennya dalam setting matematika.
Lebih jauh lagi para ahli konstruktivis merekomendasi untuk menyediakan
lingkungan belajar di mana siswa dapat mencapai konsep dasar, keterampilan algoritma,
proses heuristic dan kebiasaan bekerja sama dan berefleksi. Dalam kaitannya dengan
belajar, Cobb menguraikan bahwa belajar dipandang sebagai proses aktif dan konstruktif
di mana siswa mencoba untuk menyelesaikan masalah yang muncul sebagaimana
mereka berpartisipasi secara aktif dalam latihan matematika di kelas.
Confrey, yang juga banyak bicara dalam konstruktivisme menawarkan suatu
powerful construction dalam matematika. Dalam mengkonstruksi pengertian matematika
melalui pengalaman, ia mengidentifikasi 10 karakteristik dari powerful constructions
berfikir siswa. Lebih jauh ia mengatakan bahwa powerful constructions ditandai oleh:
1. Sebuah struktur dengan ukuran
kekonsistenan internal.
2. Suatu keterpaduan antar
bermacam-macam konsep.
3. Suatu kekonvergenan di antara
aneka bentuk dan konteks.
4. Kemampuan untuk merefleksi
dan menjelaskan.
5. Sebuah kesinambungan
sejarah.
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 59
6. Terikatan pada bermacam-
macam sistem simbol.
7. Suatu yang cocok dengan
pendapat experts (ahli).
8. Suatu yang potensial untuk
bertindak sebagai alat untuk konstruksi lebih lanjut.
9. Sebagai petunjuk untuk
tindakan berikutnya.
10. Suatu kemampuan untuk
menjustifikasi dan mempertahankan.
Semua ciri-ciri powerful di atas dapat digunakan secara efektif dalam proses belajar
mengajar di kelas. Menurut Confrey, siswa-siswa yang belajar matematika sering kali
hanya menerapkan satu kriteria evaluasi mereka dari yang mereka konstruksi misalkan
dengan bertanya “Apakah ini disetujui para ahli?” atau dalam istilah konstruktivis
“Apakah itu benar?”. Akibatnya, pengetahuan matematika menjadi terisolasi dari sisa
pengalaman mereka yang dikonstruksi dari aksi mereka di dunia dalam pola yang
spontan dan interaktif. Oleh karena itu pandangan siswa tentang “kebenaran” ketika
siswa belajar matematika perlu mendapat pengawasan ahli dan masyarakat menjadi
tidak lengkap. Dalam kasus ini peranan guru dan peranan siswa lain adalah
menjustifikasi berfikirnya siswa dalam matematika. Salah satu yang mendasar dalam
pembelajaran matematika adalah suatu pendekatan dengan jawab tak terduga
sebelumnya dengan suatu ketertarikan yang cerdik dalam mempelajari karakter,
keaslian, eerita, dan implikasinya.
Secara substantif, belajar matematika adalah proses pemecahan masalah.
Konstruktivisme telah memfokuskan secara eksklusif pada proses di mana siswa secara
individual aktif mengkonstruksi realitas matematika mereka sendiri.
B. Pembelajaran Konstruktivis dalam Matematika
Beberapa ahli konstruktivis menguraikan indikator belajar mengajar berdasarkan
konstruktivisme. Confrey menyatakan: “... sebagai seorang konstruktivis, ketika saya
mengajarkan matematika, saya tidak mengajarkan siswa tentang struktur matematika
yang obyeknya ada di dunia ini. Saya mengajar mereka, bagaimana mengembangkan
kognisi mereka, bagaimana melihat dunia melalui sekumpulan lensa kuantitatif yang
saya percaya akan menyediakan suatu cara yang powerfull untuk memahami dunia,
bagaimana merefleksikan lensa-lesa itu untuk menciptakan lensa-lesa yang lebih kuat,
dan bagaimana mengapresiasi peranana dari lensa dalam memaminkan pengembangan
kultur mereka. Saya mencoba untuk mengajarkan mereka untu mengembangkan satu
alat intelektual yaitu matematika”.
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 60
Hal ini mencerminkan bahwa matematika hanyalah sebagai alat untuk berfikir,
fokus utama belajar matematika adalah memberdayakan siswa untuk berfikir
mengkonstruksi pengetahuan matematika yang pernah ditemukan oleh ahli-ahli
sebelumnya.
C. Implementasi Konstruktivisme dalam Pembelajaran Matematika
Dari sudut pandang konstruktivis, Koehler and Grouws menyatakan bahwa
pembelajaran telah dipandang sebagai suatu garis kontinum antara negosiasi dan
imposition pada ujung-ujungnya. Lebih jauh lagi, Cobb and Steffe menambahkan bahwa “
... dalam pandangan konstruktivisme guru harus secara terus menerus menyadarkan
untuk mencoba melihat keduanya aksi siswa dengan dirinya dari sudut pandang siswa”.
Seseorang yang memandang bahwa belajar adalah suatu transmisi, maka proses
mengetahui akan mengikuti model imposition (pembebanan). Sedangkan yang
berpandangan bahwa mengajar adalah suatu proses yang memfasilitasi suatu
konstruksi, maka ia akan mengikuti model negosiasi. Aktivitas guru di kelas dipengaruhi
oleh paham mereka tentang pembelajaran.
Perbedaan individu di kelas berimplikasi bahwa guru disyaratkan untuk
mempertimbangkan bagaimana menerapkan pembelajaran matematika agar dapat
melayani secara cukup perbedaan-perbedaan individu siswa.
Berkenaan dengan perbedaan individu, Board of Studies menyatakan bahwa siswa
akan mencapai prestasi belajar dalam kecepatan yang berbeda dan secara kualitatif
dalam cara-cara yang berbeda-beda. Lovitt and Clarke juga menambahkan bahwa
kualitas pembelajaran ditandai dengan berapa luas dalam lingkungan belajar:
1. mulai dari mana siswa ini berada.
2. mengenali bahwa siswa belajar dengan kecepatan yang berbeda, dan cara yang
berbeda.
3. melibatkan siswa secara fisik dalam proses belajar.
4. meminta siswa untuk memvisualkan yang imajiner.
Dengan demikian ada suatu perbedaan yang sangat berarti antara pembelajaran
matematika menggunakan paradigma konstruktivisme dan pendekatan tradisional. Di
dalam konstruktivisme peranan guru bukan pemberi jawaban akhir atas pertanyaan
siswa, melainkan mengarahkan mereka untuk membentuk (mengkonstruksi)
pengetahuan matematika sehingga diperoleh struktur matematika. Sedangkan dalam
paradigma tradisional, guru mendominasi pembelajaran dan guru senantiasa menjawab
dengan segera terhadap pertanyaan-pertanyaan siswa.
Implikasi dari perbedaan-perbedaan di atas menjadikan posisi guru dalam
pembelajaran matematika untuk bernegosiasi dengan siswa, bukan memberikan
jawaban akhir yang telah jadi. Negosiasi yang dimaksudkan di sini adalah berupa
pengajuan pertanyaan-pertanyaan kembali, atau pernyataan-pernyataan yang
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 61
menantang siswa untuk berfikir lebih lanjut yang dapat mendorong mereka sehingga
penguasaan konsepnya semakin kuat.
D. Evaluasi Pembelajaran Matematika Menurut Konstruktivisme
Untuk mendeskripsikan evaluasi pembelajaran, perlu diklarifikasi seberapa bedakah
antara assesmen dan evaluasi. Menurut Webb, evaluasi dalam pendidikan adalah suatu
investigasi sistematis tentang nilai suatu tujuan. Termasuk di dalam evaluasi adalah
kumpulan bukti-bukti secara sistematis untuk membantu membuat keputusan tentang:
1) siswa belajar; 2) pengembangan materi; dan 3) program. Wood memberikan
definisi umum tentang assesmen sebagai berikut: “assesmen dianggap sebagai
penyediaan suatu pertimbangan menyeluruh dari suatu fungsi individu di dalam
melukiskan rasa paling luas dalam berbagai bukti baik kualitatif maupun kuantitatif dan
karenanya sampai kepada pengujian keterampilan kognitif dengan teknik paper-pencil
untuk sejumlah orang.”
Webb and Briars menambahkan bahwa: “assesmen dalam matematika adalah
proses penentuan apakah siswa tahu. Merupakan suatu bagian dari aktivitas pengajaran
matematika, yaitu pengecekan apakah siswa memahami, mendapatkan umpan balik dari
siswa, kemudian menggunakan informasi itu untuk membimbing pengembangan
pengalaman belajarnya.”
Meskipun ada perbedaan pengertian antara evaluasi dan assesmen yang
dimaksudkan di sini adalah cara guru mengases (menilai) prestasi siswa dalam belajar
matematika. Jacobsen dkk mengidentifikasi tahap ketiga dari pembelajaran adalah
evaluasi. Di sini guru mencoba mengumpulkan informasi yang dapat digunakan untuk
menentukan apakah pembelajarannya telah sukses? Apa yang semestinya guru lakukan
untuk mengukur pemahaman konsep matematika? Bagaimana guru akan mengetahui
bahwa siswanya telah mengetahui matematika? Dalam memberikan assesmen
pengetahuan matematika siswa, mestinya diperoleh data kemampuan siswa dalam
matematika; harus memasukkan tentang pengetahuan siswa pada konsep matematika,
prosedur matematika, dan kemampuan problem solving, reasoning, dan komunikasi.
Evaluasi dalam pembelajaran matematika menggunakan pendekatan konstruktivis
terjadi sepanjang proses pembelajaran berlangsung (on going assessment). Dari awal
sampai akhir guru memantau perkembangan siswa, pemahaman siswa terhadap suatu
konsep matematika, ikut membentuk dan mengawasi proses konstruksi pengetahuan
(matematika) yang dibuat oleh siswa.
E. Posisi Pengajaran Konstruktivis di antara Pendekatan Lain
Brady menawarkan lima model dan metoda pembelajaran, yaitu: 1) Model
eksposisi; 2) Model behavioristik; 3) Model kognitif; 4) Model interaksional; dan 5) Model
transaksional. Apabila kelima model-model di atas diletakkan pada garis kontinum, dari
pendekatan yang berpusat kepada guru di satu sisi, dan pendekatan yang berpusat pada
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 62
siswa di sisi lain, maka kelimanya berada di antara titik-titik ekstrim ujung-ujungnya.
Adalah tidak sederhana untuk mengatakan bahwa suatu pendekatan lebih mudah
daripada pendekatan lain. Seperti telah dikatakan oleh Nisbet bahwa “Tak ada cara
tunggal yang tepat untuk belajar dan tak ada cara terbaik untuk mengajar”. Namun
demikian seorang guru dapat menerapkan salah satu pendekatan yang cocok dengan
mempertimbangkan kondisi siswa. Dalam pendekatan konstruktivis siswa menjadi pusat
perhatian. Siswa diharapkan mengkonstruksi pengetahuannya menurut diri mereka
sendiri. Karenanya peranan guru cenderung sebagai fasilitator ketimbang penyedia
informasi.
Menurut Burton pandangan tradisional memandang matematika sebagai
pengetahuan dan keterampilan yang terdefinisi secara ketat yaitu: 1) belajar melalui
transmisi; 2) belajar dengan sikap yang compliant (selalu mengalah); dan 3) menilai
siswa melalui tes menggunakan kertas dan pensil tanpa perlu terlihat. Sebaliknya
pandangan konstruktivisme menolak pembelajaran yang dilakukan oleh pandangan
tradisional dan meletakkan tanggung jawab belajar dari guru kepada siswa. Tanggung
jawab guru dalam proses belajar adalah untuk: 1) menstimulasi dan memotivasi siswa;
2) menyediakan pengalaman untuk menumbuhkan pemahaman; 3) mendiagnosa dan
mengatasi kesulitan siswa; dan 4) mengevaluasi.
Kamii menambahkan bahwa “kenyataan anak mengkonstruksi pengetahuan logika
matematikanya sendiri tidak lantas menyebabkan bahwa peranan guru hanya duduk dan
tidak mengerjakan apa-apa, sebaliknya peranan guru menjadi tidak langsung dan lebih
sulit dibandingkan dengan kelas tradisional. Memperhatikan uraian di atas, maka
pembelajaran matematika dengan menggunakan pendekatan konstruktivis tujuannya
dapat dirumuskan sebagai berikut: “Seorang guru matematika hendaknya
mempromosikan dan mendorong pengembangan setiap individu di dalam kelas untuk
menguatkan konstruksi matematika, untuk pengajuan pertanyaan (posing),
pengkonstruksian, pengeksplorasian, pemecahan, dan pembenaran masalah-masalah
matematika serta konsep-konsep matematika. Guru juga diharapkan mencoba berusaha
mengembangkan kemampuan siswa untuk merefleksikan dan mengevaluasi kualitas
konstruksi mereka (para siswa).
F. Contoh Setting Pembelajaran Matematika Menurut Konstruktivisme
“Pengukuran Menurut Paradigma Konstruktivisme”
Anne Hendry seorang guru berpengalaman di daerah pedalaman sebelah barat
Massachusetts, USA menjelaskan cara ia mengajarkan konsep “pengukuran” dengan
menggunakan pendekatan konstruktivisme saat sebelum musim Thanksgiving tiba.
Sebelum kelas dimulai saya pindah-pindahkan kursi dan dengan menggunakan pita, saya membuat outline berbentuk kapal laut di lantai kelas berukuran 16 kaki x 6 kaki, yang merupakan kapal yang akan digunakan untuk berlayar ke rumah Raja. Saya juga menyiapkan gulungan surat untuk dibaca oleh para siswa serta menempelkannya di papan buletin dengan topik pembicaraan tentang pengukuran.
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 63
Saya memilih salah seorang siswa dan menginstruksikan kepadanya bahwa dalam pembelajaran matematika ia harus menjadi utusan raja membawa maklumat (Edict) dan diminta mengumumkannya “Kapal pesiar ini tak akan berangkat berlayar ke rumah sang Raja, sampai kamu dapat menceritakan seberapa besar kapal itu”.Kemudian para siswa berteka-teki. Saya mengatakan kepada para siswa: “Baiklah, apa yang harus kita kerjakan? Siapa yang punya ide?”Dengan demikian diskusi tentang pengukuran dimulai, atau saya pikir ini akan bermula. Namun ternyata, mereka diam cukup lama. Bagaimana seorang anak kecil akan mengetahui tentang pengukuran? Apakah telah ada yang hadir dalam pengalaman hidup mereka yang dapat mereka hubungkan dengan masalah ini? Saya lihat mereka saling berpandangan satu dengan yang lainnya, saya dapat saksikan bahwa mereka tidak punya ide dari mana harus dimulai. Tentu saya pikir harus ada sesuatu yang mereka dapat gunakan sebagai titik pangkal, rujukan untuk memperluasnya. Seseorang selalu memiliki ide. Namun periode diam terlalu lama menjadikan pelajaran semakin vakum. Kata Anne Hendry: “Mereka saling berpandangan, kadang memandang Zeb, kadang pandangan ke arah saya”.
Untuk kebanyakan pendidik, tindakan Hendry menghubungkan rencana
pelajarannya di kelas dengan masa liburan mendatang merupakan hal yang tak dapat
dikecualikan. Namun mereka benar-benar heran pada pilihan seorang guru yang sudah
sangat berpengalaman ternyata kelasnya diam begitu lama, serta heningnya kelompok
siswa yang kebingungan di kelas.
Mengapa ia telah berikan tugas kepada kelas I (Sekolah Dasar) tanpa menunjukkan
bagaimana menyelesaikannya? Mengapa bertanya terlebih dahulu sebelum
menceritakan kepada seseorang apa yang mereka perlu ketahui sebelum bisa
menjawabnya? Bagaimana bisa seorang guru berpengalaman membiarkan siswa dalam
pelajarannya menjadi bimbang dengan cara seperti ini.
Kembali ke Hendry lagi:
Saya memiliki pikiran yang kedua tentang luasnya masalah untuk kelas 1, manakala dengan malu-malu Cindy mengacungkan tangan dan berkomentar: “Saya kira kapal itu panjangnya 3 kaki”. Saya bertanya: “Mengapa?”. Cindy menjawab: “Sebab surat dari raja mengatakan demikian”. Saya berkata: “Saya tak mengerti. Dapatkah kamu ceritakan kenapa kapal itu panjangnya 3 kaki?” Cindy member alasan: “Sebab surat dari Raja mengatakan demikian. Lihat! Saya akan tunjukkan padamu. Ketika surat itu diangkat, diterawangkan menembus cahaya, memuat huruf E yang telah ditulis untuk kata Edict, tampak seperti angka 3”. Saya mengklarifikasi jawaban Cindy, untuk Cindy dan kawan-kawannya yang setuju bahwa yang dilihat di kertas raja adalah 3. Kalau begitu Raja telah mengetahui jawabnya.Kemudian kelas kembali ke periode diam.
Untuk mencari jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan guru, beberapa siswa
mencari-cari suatu bilangan, mencari sebarang bilangan untuk dikaitkan dengan konteks
yang sedang dibicarakan. Namun kebingungan Cindy telah dipecahkan. Tingkah laku
Anne Hendry tidak membingungkan para pembaca yang membayangkan bahwa
pengajaran diturunkan dari kelas matematika di mana mereka duduk sebagai siswa.
Guru menjelaskan kepada siswanya prosedur untuk mendapatkan jawaban yang benar,
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 64
kemudian memonitor kepada siswa bagaimana memproduksi prosedur tersebut.
Menanyakan pertanyaan tanpa sebelumnya menunjukkan kepada mereka bagaimana
menjawabnya, sebenarnya dipandang sebagai “tak adil”. Namun pembelajaran ini terjadi
dengan latar belakang pandangan konstruktivisme. Bagaimana belajar itu semestinya
terjadi? Apa makna dari matematika dan bagaimana implikasinya pada proses
pembelajaran matematika?
Sekarang perilaku Hendry menjadi dapat dipahami. Sungguh suatu gambaran yang
pertama, memperkenankan kita pada peluncuran suatu pengujian beberapa aspek
tentang praktek-praktek pembelajaran matematika yang diinformasikan melalui
perspektif ini; kedua pengujian tentang pengalaman guru untuk mengkonstruksi praktek
yang demikian.
Kita buat suatu ringkasan pengajaran Hendry tentang pengukuran. Penjelasan
bahwa yang mereka pikirkan sebagai angka 3 adalah benar-benar huruf E dalam kata
Edict yang artinya maklumat.
Kemudian Tom mengangkat tangannya dan berkata: “Ibu Hendry, saya tahu bahwa ukuran kapal ini tak mungkin 3 kaki. Sebab seorang perawat baru saja mengukur tinggi badanku minggu yang lalu dan mengatakan bahwa tinggiku adalah 4 kaki, dan kapal itu jauh lebih besar daripada badanku.”
Dari awal pengamatan Tom, diskusi kita tentang pengukuran sebenarnya telah
berlangsung. Sekarang para siswa menyadari bahwa mereka mengetahui sedikit tentang
pengukuran, secara khusus dalam kaitannya tentang ukuran dirinya dan seberapa tinggi dan
mereka masing-masing.
Seseorang menyarankan: “Mari kita lihat berapa kali panjang Tom-kah kapal kita ini?”. Kemudian Tom mengukur menggunakan badan sendiri. Dia berbaring dan berdiri untuk membandingkan berapa panjang kapal itu. Akhirnya siswa-siswa sampai kepada suatu kesimpulan bahwa panjang kapal adalah 4 kali panjang Tom. Anne bertanya: “Bagaimana kita dapat menceritakan kepada Sang Raja? Padahal raja tidak mengetahui tingginya Tom. Mengirim Tom ke rumah Raja adalah suatu penyelesaian yang mudah. Sementara anak-anak yang lain protes bahwa mereka menghendaki agar Tom harus bersama-sama mereka di atas Kapal untuk mengikuti Wisata.
Sebenarnya Anne Hendry sangat berharap agar mereka dapat menghubungkan
informasi yang telah disampaikan kepada kita tentang ukuran-ukuran yang ada. Saya
berfikir barang kali ada siswa yang menambahkan 4 kaki sebanyak empat kali dan
menyajikannya kepada kita sebagai penyelesaian yang cepat dan tepat. Namun ternyata
bukan itu yang mereka ambil.
Mark mengacungkan tangannya dan menyarankan bahwa kita dapat mengukur panjang kapal menggunakan tangan kita sebagaimana ia lakukan terhadap seekor kuda. Tetangga Mark mempunyai kuda yang tingginya 15 tangan (minggu sebelumnya ia mengukur tinggi kuda tetangga). Sehingga kita dapat bercerita kepada Raja bahwa kapal ini sekian “tangan”. Para siswa setuju ini mungkin cara yang terbaik. Saya mengatakan: “Baiklah. Karena ini adalah ide Mark, maka Mark diminta mengukur
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 65
besarnya kapal itu menggunakan tangan Mark. Perlu diingat bahwa Mark adalah anak yang terbesar di kelas”. Mula-mula Mark secara acak menempatkan tangannya di atas pita (desain kapal itu) dari satu ujung ke ujung lainnya, namun ketika ia mengecek ulang terdapat perbedaan hasil. Para siswa berteka-teki kenapa ini terjadi. Ini memerlukan beberapa kali dan banyak diskusi sebelum sampai kepada suatu kesimpulan penting. Para siswa menetapkan bahwa perlu bagi Mark untuk menyakinkan bahwa ia telah memulai mengukur tepat pada ujung kapal dan jangan sampai ada celah ataupun tumpang tindih setiap kali ia ukur antara jempol dan kelingking yang ia tempatkan pada pita. Menggunakan cara ini ia dapatkan bahwa panjang kapal adalah 36 tangan. Saya berkata: “Bagus! Kita pikirkan untuk menceritakan kepada sang Raja. Namun harus diingat bahwa kita mempunyai siswa terkecil yaitu Susi di kelas ini. Susi diminta mengukur kapal untuk sisi kapal yang lain dan diperoleh ukuran 44 tangan.”Sekarang mereka menjadi bingung kenapa hasilnya berbeda-beda? Saya bertanya: “Dapatkah kita menggunakan tangan untuk mengukur?”Siswa menjawab: “Tidak.”Para siswa memutuskan: “Ini tak akan bisa bekerja sebab ukuran tangan setiap anak berbeda-beda.”Ali menyarankan untuk menggunakan kaki. Kita coba sekali lagi menggunakan kaki mereka. Ternyata kita temukan dua ukuran yang berbeda. Saat ini mereka mulai sedikit menyimpang untuk membandingkan panjang tangan seseorang dengan tangan orang lain di antara mereka, panjang kaki seseorang dengan panjang kaki orang lain. Kaki siapa yang terbesar dan kaki siapa yang terkecil, tangan siapa yang terpendek dan tangan siapa yang terpanjang?
Akhirnya diskusi kita lanjutkan sementara para siswa mengeksplorasi bermacam-
macam konsep dan ide Joan duduk dan memegang penggaris, namun untuk suatu alasan
tidak disarankan menggunakan penggaris. Barangkali pengalaman menggunakan
penggaris terbatas dan rupanya kurang yakin bagaimana memakainya. Dilema ini
berlangsung sampai hari berikutnya ketika para siswa “merakit” lagi diskusi masalah itu
dengan pandangan baru.
Seorang anak menyarankan bahwa karena Zeb diketahui Raja dan setiap orang di sini mengetahui Zeb, kita harus gunakan kaki Zeb. “Ukurkan kaki Zeb di atas kertas dari ukurlah segala sesuatu menggunakan kaki Zeb ini.”Menggunakan bentuk ukuran ini para siswa mengkaitkan dengan Raja bahwa kapal ini panjangnya 24 kaki Zeb dan lebarnya 9 kaki Zeb.
Keingintahuan bermula untuk mendapatkan cara yang paling baik dan para siswa
melanjutkan untuk mengeksplorasi bentuk pengukuran ini dan menetapkan untuk saling
mengukur, mengukur kelas, mengukur meja, mengukur karpet menggunakan model
“Kaki Zeb”. Saya biarkan mereka meneliti ide mereka dengan melakukan aktivitas--
aktivitas pengukuran pada sisa jam pelajaran hari itu. Sampai pada hari ketiga saya
menanyakan kepada siswa mengapa mereka berfikir bahwa ini penting untuk
mengembangkan bentuk standar dari pengukuran.
Seperti halnya penggunaan “Hanya dengan kaki Zeb” untuk rnengukur segala
sesuatu. Melalui diskusi beberapa hari siswa dapat menginternalisasikan dan
memverbalkan suatu keperluan atau kepentingan untuk setiap orang dalam mengukur
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 66
menggunakan instrumen yang sama. Mereka melihat kebingungan menggunakan tangan
yang berbeda-beda, badan atau kaki yang berbeda-beda menyebabkan hasil yang beda-
beda pula, dikarenakan ukuran yang tidak konsisten.
Hendry melanjutkan dalam menjelaskan bagaimana ia sampai kepada sebuah
eksplorasi memakai penggaris dengan mengadopsi satuan-satuan pengukuran yang
konvensional. Namun beberapa aspek penting dari pembelajarannya telah ada pada kita.
Di sini kita tidak melihat bagaimana Hendry terikat pada tingkah laku pembelajaran
tradisional yang paling umum, yaitu: memberikan pengarahan dan menawarkan
penjelasan, melainkan kita amati pertanyaannya kepada siswa dan pertanyaan-
pertanyaan yang kadang-kadang merupakan pertanyaan kecil. Ketika mereka sampai
kepada suatu kesimpulan, lebih sering mereka tidak mendapat penjelasan, ketimbang
penerangan atau suatu ramalan dan kebingungan.
Hal penting dari pandangan ini bahwa: Maternatika adalah suatu temuan manusia
dalam koridor sejarah yang panjang, secara budaya terpancang di sekolah-sekolah
dalam lomba “berfikir” perubahan pola-pola dan beberapa pertanyaan mungkin tak
terpecahkan.
Pertanyaan-pertanyaan atau pernyataan-pernyataan penting yang “menyetir”
pembelajaran Anne Hendry menggunakan pendekatan konstruktivisme antara lain:
a. Apa yang harus kita kerjakan?
b. Siapa yang punya ide?
c. Mengapa?
d. Saya tidak tahu.
e. Dapatkah kamu ceritakan mengapa panjang kapal itu 3 kaki?
f. Bagaimana kita ceritakan itu kepada Raja, padahal Raja tidak mengetahui Tom?
g. .............
dan semacamnya.
Jelas sekali bahwa yang menjadi pusat pembelajaran dari Hendry bukanlah masalah
yang ia ajukan kepada siswa, bukan pula pertanyaan spesifik yang ia berikan, namun
sifat-sifat mencari keterikatan para siswa dalam diskusi dan kelihaian membimbing para
siswa. Praktek dari Hendry tidak dapat ditulis atau dibuat skripnya (naskahnya).
Tergantung kepada kemampuan guru menjawab secara spontan terhadap kebingungan
dan penemuan siswa. Evaluasi pembelajaran terjadi sepanjang proses negosiasi dan
sepanjang proses pembelajaran berlangsung.
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 67
BAB VMASALAH BELAJAR
A. Pengertian Belajar
Belajar didefinisikan:
1. Sebagai modifikator atau pengukuhan tingkah laku melalui perolehan pengalaman
(learning is defined as the modificator or strengthening of behavior through
experiencing), sehingga lebih tepat jika dikatakan bahwa belajar bukan sekedar
hanya mengingat atau menghafal, namun lebih luas daripada itu yaitu mengalami
(Oemar Hamalik, 2003: 27).
2. Suatu aktivitas mental atau psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan
lingkungan yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan,
pemahaman, keterampilan dan nilai sikap yang bersifat relatif konstan dan berbekas
(Winkel, 1996: 53).
3. Suatu proses perubahan tingkah laku individu atau seseorang melalui interaksi
dengan lingkungan yang mencakup perubahan dalam kebiasaan (habit), kecakapan
(skill), atau dalam tiga aspek yaitu pengetahuan, sikap dan keterampilan (Oemar
Hamalik, 2003: 28).
Ciri-ciri belajar sebagai berikut:
1. Ada perubahan tingkah laku,
baik tingkah laku yang dapat diamati maupan tingkah laku yang tidak dapat diamati
secara langsung.
2. Perubahan tingkah laku meliputi
tingkah laku kognitif, afektif, psikomotorik, dan campuran.
3. Perubahan terjadi melalui
pengalaman atau latihan.
4. Perubahan tingkah laku menjadi
sesuatu yang relatif menetap.
5. Belajar merupakan suatu proses
usaha, yang artinya belajar berlangsung dalam kurun waktu cukup lama.
6. Belajar terjadi karena ada
interaksi dengan lingkungan.
Seseorang dikatakan belajar matematika apabila pada diri orang tersebut terjadi
suatu kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan tingkah laku yang berkaitan
dengan matematika. Perubahan tersebut terjadi dari tidak tahu menjadi tahu konsep
tersebut, dan mampu menggunakannya dalam materi lanjut atau dalam kehidupan
sehari-hari (Herman Hudoyo, 1988: 4).
Beberapa hal yang perlu diperhatikan agar belajar menjadi efektif (Slameto, 2003:
73–92):
1. Adanya bimbingan dari guru.
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 68
2. Kondisi internal (kondisi yang ada dalam diri siswa), kondisi eksternal (kondisi
yang ada di luar diri siswa), dan strategi belajar siswa.
3. Metode belajar siswa.
Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa belajar matematika yang
efektif adalah terjadinya perubahan tingkah laku (kebiasaan, pengetahuan, sikap, dan
keterampilan) relatif konstan dan berbekas pada diri seseorang yang diperoleh melalui
pengalaman dan latihan dalam matematika yang melibatkan aktivitas mental yang
berlangsung dalam interaksi aktif seseorang dengan lingkungannya yang dapat memberi
pengaruh yang positif dan berguna.
B. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Proses dan Hasil Belajar
Proses belajar dan hasil belajar dipengaruhi oleh 2 faktor:
1. Faktor yang berasal dari diri individu yang sedang
belajar merupakan keadaan yang ditentukan oleh faktor keturunan, lingkungan, dan
keduanya.
a. Faktor psikis terdiri dari: kognitif, afektif,
psikomotorik, campuran, dan kepribadian.
Individu yang mempunyai gangguan salah satu faktor psikis, misalnya tingkat
kecerdasan terlalu rendah tentu sukar menelaah materi pelajaran walaupun
materi pelajaran tersebut sangat sederhana. Individu dengan gangguan psikis
lain, misalnya sukar mengingat, daya fantasi lemah, jika ingin peningkatan dalam
prestasi belajarnya maka dibutuhkan proses belajar yang disesuaikan dengan
kelemahannya.
Belajar dipengaruhi oleh peranan:
1) Arousal: suatu peningkatkan kesiap-siagaan dan ketegangan otot.
Agar individu dapat belajar secara efisien maka harus dalam keadaan arousal,
yang artinya harus bangun, sadar, dan memperhatikan lingkungan secara
tajam.
2) Motivasi: kondisi psikis yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu.
Motivasi diperlukan bagi “reinforcement” yaitu stimulus yang memperkuat
dan mempertahankan tingkah laku yang dikehendaki, yang merupakan
kondisi mutlak bagi proses belajar.
b. Faktor fisik terdiri dari: indera, anggota badan,
tubuh, kelenjar, syaraf, dan organ-organ dalam tubuh.
2. Faktor yang berasal dari luar diri individu yang sedang
belajar, yaitu: faktor lingkungan alam, faktor sosial-ekonomi, guru, metode mengajar,
kurikulum, program, materi pelajaran, sarana dan prasarana.
C. Kiat Belajar Efektif
Beberapa kiat belajar efektif bagi siswa sebagai berikut:
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 69
1. Sebelum pembelajaran, seharusnya
siswa telah siap pikiran dan mental bahwa dalam belajar nanti akan bertemu dengan
guru dan teman-teman yang mempunyai karakter berbeda satu sama lain.
2. Selama pembelajaran, usahakan
berpartisipasi aktif (proaktif dan reaktif) dalam setiap kegiatan, misalnya berusaha
mengajukan pertanyaan, mengemukakan pendapat, berkomentar, menjawab
pertanyaan dalam setiap tatap muka dengan guru.
3. Sesudah pembelajaran, apabila
guru memberikan tugas, alangkah baiknya jika siswa paham betul apa yang menjadi
tugas, sehingga tidak bingung setelah sampai di rumah.
4. Khusus untuk kegiatan membaca
bahan pelajaran, usahakan mencermati arti bacaan tersebut yaitu dengan cara
membaca sampai memahami arti bacaan serta berimprovisasi terhadap materi
bacaan tersebut, bukan membaca hanya sekedar membaca tanpa makna.
D. Teori Belajar
Untuk lebih mengenal masalah belajar, maka perlu memahami teori belajar. Teori
belajar dapat digolongkan menjadi 2 aliran, yaitu teori behavioristik dan teori kognitif.
Perbedaan karakteristik teori belajar yang termasuk dalam aliran psikologi tingkah laku dan
aliran psikologi kognitif:
No
Aliran psikologi tingkah laku Aliran psikologi kognitif
1. Mementingkan peranan faktor lingkungan.
Mementingkan apa yang ada pada diri siswa.
2. Mementingkan bagian-bagian (elemen). Mementingkan keseluruhan.3. Mementingkan peranan reaksi. Mementingkan peranan fungsi kognitif.4. Mementingkan mekanisme terbentuknya
hasil belajar.Mementingkan keseimbangan dalam diri siswa (dynamis equilibrium).
5. Mementingkan sebab-sebab di waktu yang lalu.
Mementingkan kondisi yang ada pada waktu ini (sekarang).
6. Mementingkan pembentukan kebiasaan. Mementingkan pemmbentukan struktur kognitif.
7. Dalam pemecahan masalah bercirikan “trial and error”. Maksudnya, untuk mencapai hubungan antara stimulus dan respons, perlu adanya kemampuan untuk memilih respons yang tepat, serta melalui usaha-usaha atau percobaan-percobaan (trials) dan kegagalan-kegagalan (errors) terlebih dahulu.
Dalam pemecahan masalah bercirikan “insight”, artinya pemahaman.
8. Contoh: Teori Edward Lee Thorndike. Teori Burrhus Frederic Skinner.
Contoh: Teori Jean Piaget. Teori Jerome Bruner.
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 70
Teori David Paul Ausubel. Teori Robert Mills Gagne. Teori Ivan Petrovich Pavlov. Teori Albert Bandura. Teori Joy Paulus Guilford.
Teori Gestalt. Teori William Arthur Brownell. Teori Zoltan Paul Dienes Teori Van Hiele.
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 71
BAB VIRINGKASAN TEORI PSIKOLOGI BELAJAR
A. Teori Belajar Tingkah Laku
1. Teori Edward Lee Thorndike
Edward Lee Thorndike (1874 – 1949) mengemukakan beberapa hukum belajar yang
dikenal dengan sebutan Law of effect. Belajar akan lebih berhasil bila respon siswa
terhadap suatu stimulus segera diikuti dengan rasa senang atau kepuasan. Rasa senang
atau kepuasan ini bisa timbul sebagai akibat anak mendapatkan pujian atau ganjaran
lainnya. Stimulus ini termasuk reinforcement. Setelah anak berhasil melaksanakan
tugasnya dengan tepat dan cepat, pada diri anak muncul kepuasan diri sebagai akibat
sukses yang diraihnya. Anak memperoleh suatu kesuksesan yang pada gilirannya akan
mengantarkan dirinya ke jenjang kesuksesan berikutnya.
Teori belajar stimulus-respon yang dikemukakan oleh Thorndike ini disebut juga
koneksionisme. Teori ini menyatakan bahwa pada hakikatnya belajar merupakan proses
pembentukan hubungan antara stimulus dan respon. Terdapat beberapa dalil atau
hukum kesiapan (law of readiness), hukum latihan (law of exercise) dan hukum akibat
(law of effect).
Hukum kesiapan menerangkan bagaimana kesiapan seorang anak dalam
melakukan suatu kegiatan. Seorang anak yang mempunyai kecenderungan untuk
bertindak atau melakukan kegiatan tertentu dan kemudian dia benar melakukan
kegiatan tersebut, maka tindakannya akan melahirkan kepuasan bagi dirinya. Tindakan-
tindakan lain yang dia lakukan tidak menimbulkan kepuasan bagi dirinya.
Seorang anak yang mempunyai kecenderungan untuk bertindak dan kemudian
bertindak, sedangkan tindakannya itu mengakibatkan ketidakpuasan bagi dirinya, akan
selalu menghindarkan dirinya dari tindakan-tindakan yang melahirkan ketidakpuasan itu.
Seorang anak yang tidak mernpunyai kecenderungan untuk bertindak atau melakukan
kegiatan tertentu, sedangkan anak tersebut ternyata melakukan tindakan, maka apa
yang dilakukannya itu akan menimbulkan rasa tidak puas bagi dirinya. Dia akan
melakukan tindakan lain untuk menghilangkan ketidakpuasan tersebut. Dari ciri-ciri di
atas dapat disimpulkan bahwa seorang anak akan lebih berhasil belajarnya, jika ia telah
siap untuk melakukan kegiatan belajar.
Hukum latihan menyatakan bahwa jika hubungan stimulus-respon sering terjadi,
akibatnya hubungan akan semakin kuat, sedangkan makin jarang hubungan stimulus--
respon dipergunakan, maka makin lemah hubungan yang terjadi. Hukum latihan pada
dasarnya menggunakan dasar bahwa stimulus dan respon akan memiliki hubungan satu
sama lain secara kuat, jika proses pengulangan sering terjadi, makin banyak kegiatan ini
dilakukan maka hubungan yang terjadi akan bersifat otomatis. Seorang anak yang
dihadapkan pada suatu persoalan yang sering ditemuinya akan segera melakukan
tanggapan secara cepat sesuai dengan pengalamannya pada waktu sebelumnya.
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 72
Kenyataan menunjukkan bahwa pengulangan yang akan memberikan dampak
positif adalah pengulangan yang frekuensinya teratur, bentuk pengulangan yang tidak
membosankan, dan kegiatan disajikan dengan cara yang menarik.
Sebagai contoh untuk mengajarkan konsep pemetaan pada anak, guru menjelaskan
pengertian pemetaan yang diikuti dengan contoh-contoh relasi. Guru menguji apakah
anak sudah benar-benar menguasai konsep pemetaan. Untuk itu guru menanyakan
apakah semua relasi yang diperlihatkannya itu termasuk pemetaan atau tidak. Jika tidak,
anak diminta untuk menjelaskan alasan atau sebab-sebab kriteria pemetaan tidak
terpenuhi. Penguatan konsep lewat cara ini dilakukan dengan pengulangan. Namun tidak
berarti bahwa pengulangan dilakukan dengan bentuk pertanyaan atau informasi yang
sama, melainkan dalam bentuk informasi yang dimodifikasi, sehingga anak tidak merasa
bosan.
Dalam hukum akibat dijelaskan bahwa kepuasan yang terlahir dari adanya ganjaran
dari guru akan memberikan kepuasan bagi anak, dan anak cenderung untuk berusaha
melakukan atau meningkatkan apa yang telah dicapainya itu. Guru yang memberi
senyuman wajar terhadap jawaban anak, akan semakin menguatkan konsep yang
tertanam pada diri anak. Kata-kata “Bagus”, “Hebat”, “Kau sangat teliti” dan
semacamnya akan merupakan hadiah bagi anak yang kelak akan meningkatkan dirinya
dalam menguasai pelajaran.
Sebaliknya guru juga harus tanggap terhadap respon anak yang salah. Jika
kekeliruan anak dibiarkan tanpa penjelasan yang benar dari guru, ada kernungkinan
anak akan menganggap benar dan kemudian mengulanginya. Anak yang menyelesaikan
tugas atau pekerjaan rumah, namun hasil kerjanya itu tidak diperiksa oleh gurunya, ada
kemungkinan beranggapan bahwa jawaban yang dia berikan adalah benar. Anggapan ini
akan mengakibatkan jawaban yang tetap salah di saat anak mengikuti tes.
Demikian pula anak yang telah mengikuti ulangan dan mendapat nilai jelek, perlu
diberitahukan kekeliruan yang dilakukannya pada saat melakukan tes. Tidaklah
mengherankan, kiranya, jika ada anak yang diberi tes berulang, namun hasilnya masih
tetap buruk. Ada kemungkinan konsep yang dipegangnya itu dianggap sebagai jawaban
yang benar. Penguatan seperti ini akan sangat merugikan anak. Oleh karena itu perlu
dihilangkan.
Dari hukum akibat ini dapat disimpulkan bahwa jika terdapat asosiasi yang kuat
antara pertanyaan dan jawaban, maka bahan yang disajikan akan tertanam lebih lama
dalam ingatan anak. Selain itu, banyaknya pengulangan akan sangat menentukan
lamanya konsep diingat anak. Makin sering pengulangan dilakukan akan makin kuat
konsep tertanam dalam ingatan anak.
Di samping itu, Thorndike mengemukakan pula bahwa kualitas dan kuantitas hasil
belajar siswa tergantung dari kualitas dan kuantitas Stimulus-Respon (S-R) dalam
pelaksanaan kegiatan belajar mengajar. Makin banyak dan makin baik kualitas S-R yang
diberikan guru, maka makin banyak dan makin baik pula hasil belajar siswa.
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 73
Selanjutnya Thorndike mengemukakan hukum tambahan sebagai berikut:
a. Hukum reaksi bervariasi
(law of multiple response)
Individu diawali dengan proses trial and error yang menunjukkan bermacam-macam
respon sebelum memperoleh respon yang tepat dalam memecahkan masalah yang
dihadapi.
b. Hukum sikap (law of
attitude)
Perilaku belajar seseorang tidak hanya ditentukan oleh hubungan stimulus dan
respon saja, tetapi juga ditentukan oleh keadaan yang ada dalam diri individu baik
kognitif, emosi, sosial, maupun psikomotornya.
c. Hukum aktivitas berat
sebelah (law of prepotency element)
Individu dalam proses belajar memberikan respons pada stimulus tertentu saja sesuai
dengan persepsinya terhadap keseluruhan situasi (respon selektif).
d. Hukum respon melalui
analogi (law of response by analogy)
Individu dapat melakukan respons pada situasi yang belum pernah dialami karena
individu sesungguhnya dapat menghubungkan situasi yang belum pernah dialami
dengan situasi lama yang pernah dialami sehingga terjadi transfer atau perpindahan
unsur-unsur yang telah dikenal ke situasi baru. Semakin banyak unsur yang sama,
maka transfer akan semakin mudah.
e. Hukum perpindahan asosiasi
(law of associative shifting)
Proses peralihan dari situasi yang dikenal ke situasi yang belum dikenal dilakukan
secara bertahap dengan cara menambahkan sedikit demi sedikit unsur lama.
Selain menambahkan hukum-hukum baru, dalam perjalanan penyampaian teorinya,
Thorndike mengemukakan revisi hukum belajar antara lain:
a. Hukum latihan ditinggalkan karena ditemukan pengulangan saja tidak cukup untuk
memperkuat hubungan stimulus-respons, sebaliknya tanpa pengulangan belum tentu
akan memperlemah hubungan stimulus-respons.
b. Hukum akibat (law of effect) direvisi, karena dalam penelitiannya lebih lanjut
ditemukan bahwa hanya sebagian saja dari hukum ini yang benar. Jika diberikan
hadiah (reward) maka akan meningkatkan hubungan stimulus-respons, sedangkan
jika diberikan hukuman (punishment) tidak berakibat apa-apa.
c. Syarat utama terjadinya hubungan stimulus-respons bukan kedekatan, tetapi adanya
saling sesuai antara stimulus dan respons.
d. Akibat suatu perbuatan dapat menular baik pada bidang lain maupun pada individu
lain.
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 74
Implikasi dari aliran pengaitan ini dalam kegiatan belajar mengajar sehari-hari
adalah bahwa:
a. Dalam menjelaskan suatu konsep tertentu, guru sebaiknya mengambil contoh yang
sekiranya sudah sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Alat peraga dari alam
sekitar akan lebih dihayati.
b. Metode pemberian tugas, metode latihan (drill dan practice) akan lebih cocok untuk
penguatan dan hafalan. Dengan penerapan metode tersebut siswa akan lebih banyak
mendapatkan stimulus sehingga respon yang diberikan pun akan lebih banyak.
c. Dalam kurikulum, materi disusun dari materi yang mudah, sedang, dan sukar sesuai
dengan tingkat kelas, dan tingkat sekolah. Penguasaan materi yang lebih mudah
sebagai akibat untuk dapat menguasai materi yang lebih sukar. Dengan kata lain
topik (konsep) prasyarat harus dikuasai dulu agar dapat memahami topik berikutnya.
2. Teori Burhus Frederic Skinner
Burhus Frederic Skinner menyatakan bahwa ganjaran atau penguatan mempunyai
peranan yang amat penting dalam proses belajar. Terdapat perbedaan antara ganjaran
dan penguatan. Ganjaran merupakan respon yang sifatnya menggembirakan dan
merupakan tingkah laku yang sifatnya subjektif, sedangkan penguatan merupakan
sesuatu yang mengakibatkan meningkatnya kemungkinan suatu respon dan lebih
mengarah kepada hal-hal yang sifatnya dapat diamati dan diukur.
Dalam teorinya, Skinner menyatakan bahwa penguatan terdiri atas penguatan
positif dan penguatan negatif. Penguatan dapat dianggap sebagai stimulus positif, jika
penguatan tersebut seiring dengan meningkatnya perilaku anak dalam melakukan
pengulangan perilakunya itu. Dalam hal ini penguatan yang diberikan pada anak
memperkuat tindakan anak, sehingga anak semakin sering melakukannya. Yang
termasuk contoh penguatan positif diantaranya adalah pujian yang diberikan pada anak.
Sikap guru yang bergembira pada saat anak menjawab pertanyaan, merupakan
penguatan positif pula. Untuk mengubah tingkah laku anak dari negatif menjadi positif,
guru perlu mengetahui psikologi yang dapat digunakan untuk memperkirakan
(memprediksi) dan mengendalikan tingkah laku anak. Guru di dalam kelas mempunyai
tugas untuk mengarahkan anak dalam aktivitas belajar, karena pada saat tersebut,
kontrol berada pada guru, yang berwenang memberikan instruksi ataupun larangan pada
anak didiknya.
Penguatan akan berbekas pada diri anak. Mereka yang mendapat pujian setelah
berhasil menyelesaikan tugas atau menjawab pertanyaan biasanya akan berusaha
memenuhi tugas berikutnya dengan penuh semangat. Penguatan yang berbentuk hadiah
atau pujian akan memotivasi anak untuk rajin belajar dan mempertahankan prestasi
yang diraihnya. Penguatan seperti ini sebaiknya segera diberikan dan tak perlu ditunda--
tunda. Karena penguatan akan berbekas pada anak, sedangkan hasil penguatan
diharapkan positif, maka penguatan yang diberikan tentu harus diarahkan pada respon
anak yang benar. Janganlah memberikan penguatan atas respon anak jika respon
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 75
tersebut sebenarnya tidak diperlukan.
Skinner menambahkan bahwa jika respon siswa baik (menunjang efektivitas
pencapaian tujuan) harus segera diberi penguatan positif agar respon tersebut lebih baik
lagi, atau minimal perbuatan baik itu dipertahankan. Misalnya dengan mengatakan
“bagus, pertahankan prestasimu” untuk siswa yang mendapat nilai tes yang
memuaskan. Sebaliknya jika respon siswa kurang atau tidak diharapkan sehingga tidak
menunjang tujuan pengajaran, harus segera diberi penguatan negatif agar respon
tersebut tidak diulangi lagi dan berubah menjadi respon yang sifatnya positif. Penguatan
negatif ini bisa berupa teguran, peringatan, atau sangsi (hukuman edukatif).
3. Teori David Paul Ausubel
Teori ini terkenal dengan belajar bermaknanya dan pentingnya pengulangan
sebelum belajar dimulai. Belajar bermakna (meaningful learning) adalah proses
mengaitkan dalam informasi baru dengan konsep-konsep yang relevan dan
terdapat dalam struktur kognitif seseorang. Ia membedakan antara belajar
menemukan dengan belajar menerima. Pada belajar menerima siswa hanya menerima,
jadi tinggal menghapalkannya, tetapi pada belajar menemukan konsep ditemukan oleh
siswa, jadi tidak menerima pelajaran begitu saja. Selain itu untuk dapat membedakan
antara belajar menghafal dengan belajar bermakna. Pada belajar menghafal, siswa
menghafalkan materi yang sudah diperolehnya, tetapi pada belajar bermakna materi
yang telah diperoleh itu dikembangkan dengan keadaan lain sehingga belajarnya lebih
dimengerti.
Bedasarkan belajar bermakna, Ausabel mengajukan lima prinsip pembelajaran
sebagai berikut:
a. Subsumption
Proses penggabungan ide atau pengalaman terhadap pola-pola ide yang telah lalu
yang sudah dimiliki.
b. Advance organizer
Pengatur awal (advance organizer) dapat digunakan guru dalam membantu
mengaitkan konsep lama dengan konsep baru yang lebih tinggi maknanya.
Penggunaan pengatur awal tepat dapat meningkatkan pemahaman berbagai macam
materi, terutama materi pelajaran yang telah mempunyai struktur yang teratur. Pada
saat mengawali pembelajaran suatu pokok bahasan sebaiknya menggunakan
advance organizer, sehingga pembelajaran akan lebih bermakna.
c. Progressive differentiation
Dalam proses belajar bermakna perlu ada pengembangan dan kolaborasi konsep-
konsep. Caranya unsur yang paling umum dan inklusif dipekenalkan dahulu
kemudian baru yang lebih mendetail, sehingga proses pembelajaran dari umum ke
khusus disertai dengan contoh-contoh.
d. Consolidation
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 76
Materi harus lebih dahulu dikuasai sebelum melanjutkan ke materi yang lebih lanjut
apabila materi tersebut menjadi dasar untuk materi selanjutnya. Pemantapan materi
disajikan lebih banyak contoh atau latihan sehingga siswa bisa lebih paham dan
selanjutnya siap menerima materi baru.
e. Integrative reconciliation
Pada suatu saat siswa kemungkinan akan menghadapi kenyataan bahwa dua
atau lebih nama konsep digunakan untuk menyatakan konsep yang sama atau bila
nama yang sama diterapkan pada lebih satu konsep. Untuk mengatasi pertentangan
kognitif itu, Ausabel mengajukan konsep pembelajaran penyesuaian integrative.
Caranya materi pelajaran disusun sedemikian rupa, sehingga guru dapat
menggunakan hierarki-hierarki konseptual ke atas dan ke bawah selama informasi
disajikan.
Secara umum teori Ausubel dalam praktek sebagai berikut:
a. Menentukan tujuan-tujuan pembelajaran.
b. Mengukur kesiapan siswa (minat, kemampuan, struktur kognitif) baik melalui tes
awal, interview, review, pertanyaan, dan lain-lain.
c. Memilih materi pelajaran dan mengaturnya dalam bentuk penyajian konsep-konsep
kunci.
d. Mengidentifikasi prinsip-prinsip yang harus dikuasai siswa dari materi tersebut.
e. Menyajikan suatu pandangan secara menyeluruh tentang apa yang harus dipelajari.
f. Membuat rangkuman terhadap materi yang baru saja diberikan, dilengkapi dengan
uraian singkat yang menunjukkan relevansi (keterkaitan) materi yang sudah
diberikan dengan materi baru yang akan diberikan.
g. Mengajar siswa memahami konsep-konsep dan prinsip-prinsip yang sudah ditentukan
dengan memberi fokus pada hubungan yang terjalin antara konsep-konsep yang ada.
h. Mengevaluasi proses dan hasil belajar.
Sewaktu metode menemukan dianggap sebagai suatu metode mengajar yang baik
karena bermakna, dan sebaliknya metode ceramah adalah metode yang merupakan
belajar menerima, Ausubel menentang pendapat itu. Ia berpendapat bahwa dengan
metode penemuan maupun dengan metode ceramah bisa menjadi belajar menerima
atau belajar bermakna, tergantung dari situasinya.
Ausubel mengemukakan bahwa metode ekspositori adalah metode mengajar yang
paling baik dan bermakna. Hal ini ia kemukakan berdasarkan hasil penelitiannya. Belajar
menerima maupun menemukan sama-sama dapat berupa belajar menghafal atau
bermakna. Misalnya dalam mempelajari konsep Pythagoras tentang segitiga siku-siku.
Rumus c2 = b2 + a2 sudah disajikan (belajar menerima), tetapi jika siswa dalam memahami
rumus itu selalu dikaitkan dengan sisi-sisi sebuah segitiga siku-siku akan merupakan
belajar bermakna. Siswa lain memahami rumus itu dengan cara melalui pencarian tetapi
bila kemudian ia menghafalkannya tanpa dikaitkan dengan sisi sebuah segitiga siku-siku
menjadi menghafal.
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 77
4. Teori Robert Mills Gagne
Menurut Gagne, dalam belajar matematika ada dua objek yang dapat diperoleh
siswa, yaitu objek langsung dan objek tak langsung. Objek tak langsung antara lain
kemampuan menyelidiki dan memecahkan masalah, belajar mandiri, bersikap positif
terhadap matematika, dan tahu bagaimana semestinya belajar. Sedangkan objek
langsung berupa fakta, keterampilan, konsep, dan aturan.
Fakta adalah objek matematika yang tinggal menerimanya, seperti lambang
bilangan, sudut, dan notasi-notasi matematika lainnya. Keterampilan berupa
kemampuan memberikan jawaban dengan tepat dan cepat, misalnya melakukan
pembagian bilangan yang cukup besar dengan bagi kurung, menjumlahkan pecahan,
melukis sumbu sebuah ruas garis. Konsep adalah ide abstrak yang memungkinkan kita
dapat mengelompokkan objek ke dalam contoh dan non contoh. Misalkan, konsep
bujursangkar, bilangan prima, himpunan, dan vektor. Aturan ialah objek yang paling
abstrak yang berupa sifat atau teorema.
Menurut Gagne, belajar dapat dikelompokkan menjadi 8 tipe belajar, yaitu: a)
belajar isyarat, b) stimulus respon, c) rangkaian gerak, d) rangkaian verbal, e)
membedakan, f) pembentukan konsep, g) pembentukan aturan, dan h) pemecahan
masalah. Kedelapan tipe belajar itu terurut menurut taraf kesukarannya dari belajar
isyarat sampai ke belajar pemecahan masalah.
Belajar isyarat adalah belajar yang tingkatnya paling rendah, karena tidak ada niat
atau spontanitas. Contohnya menyenangi atau menghindari pelajaran karena akibat
perilaku gurunya. Stimulus-respon merupakan kondisi belajar yang ada niat diniati dan
responnya jasmaniah. Misalnya siswa meniru tulisan guru di papan tulis. Rangkaian
gerak adalah perbuatan jasmaniah terurut dari dua kegiatan atau lebih dalam rangka
stimulus-respon. Rangkaian verbal adalah perbuatan lisan terurut dari dua kegiatan atau
lebih dalam rangka stimulus-respon. Contohnya adalah mengemukakan pendapat,
menjawab pertanyaan guru secara lisan. Belajar membedakan adalah belajar memisah--
misah rangkaian yang bervariasi. Pembentukan konsep disebut juga tipe belajar
pengelompokan, yaitu belajar melihat sifat bersama benda-benda konkrit atau peristiwa
untuk dijadikan suatu kelompok. Dalam hal tertentu diperlukan tipe belajar yang
mengharapkan siswa untuk mampu memberikan respon terhadap stimulus dengan
segala macam perbuatan. Kemampuan di sini terutama adalah kemampuan
menggunakannya. Misalnya pemahaman terhadap rumus kuadrat dan
menggunakannya dalam menyelesaikan persamaaan kuadrat. Belajar pemecahan
masalah adalah tipe belajar yang paling tinggi karena lebih kompleks dari pembentukan
aturan.
Dalam pemecahan masalah, biasanya ada lima langkah yang harus dilakukan,
yaitu:
a. Menyajikan masalah dalam bentuk yang jelas.
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 78
b. Menyatakan masalah dalam bentuk yang operasional.
c. Menyusun hipotesis-hipotesis alternatif dan prosedur kerja yang diperkirakan baik.
d. Mengetes hipotesis dan melakukan kerja untuk memperoleh hasilnya.
e. Mengecek kembali hasil yang sudah diperoleh.
Lebih jauh Gagne mengemukakan bahwa hasil belajar harus didasarkan pada
pengamatan tingkah laku, melalui stimulus-respon dan belajar bersyarat. Alasannya
adalah bahwa manusia itu organisme pasif yang bisa dikontrol melalui imbalan dan
hukuman
5. Teori Ivan Petrovich Pavlov
Pavlov terkenal dengan teori belajar klasik. Ia melakukan percobaan terhadap
seekor anjing. Anjing itu dikurung, dalam suatu kandang dengan waktu tertentu dan
diberi makan. Setiap akan diberi makan, Pavlov membunyikan bel. Ia memperhatikan
bahwa setiap dibunyikan bel pada jangka waktu tertentu anjing itu mengeluarkan air
liurnya, meskipun tidak diberi makanan.
Pavlov mengemukakan konsep pembiasaan (conditioning). Dalam hubungannya
dengan kegiatan belajar mengajar, agar siswa belajar dengan baik maka harus
dibiasakan. Misalnya, agar siswa mengerjakan soal pekerjaan rumah dengan baik,
biasakanlah dengan memeriksanya, menjelaskannya, atau memberi nilai terhadap hasil
pekerjaannya.
6. Teori Albert Bandura
Bandura mengemukakan bahwa siswa belajar melalui meniru. Pengertian meniru di
sini bukan berarti menyontek, tetapi meniru hal-hal yang dilakukan oleh orang lain,
terutama guru. Jika tulisan guru baik, guru berbicara sopan santun dengan menggunakan
bahasa yang baik dan benar, tingkah laku yang terpuji, menerangkan dengan jelas dan
sistematik, maka siswa akan menirunya. Jika contoh-contoh yang dilihatnya kurang baik
ia pun menirunya. Dengan demikian guru harus menjadi manusia model yang
profesional.
Bandura memandang tingkah laku manusia bukan semata-mata refleks otomatis
atas stimulus, melainkan juga akibat reaksi yang timbul sebagai hasil interaksi antara
lingkungan dengan skema kognitif manusia itu sendiri. Teori belajar sosial dari Bandura
ini merupakan gabungan antara teori belajar behavioristik dengan penguatan dan
psikologi kognitif, dengan prinsip modifikasi perilaku.
Teori Belajar Sosial (Social Learing Theory) dari Bandura didasarkan pada tiga
konsep, yaitu:
a. Reciprocal determinism
Pendekatan yang menjelaskan tingkah laku manusia dalam bentuk interaksi timbal-
balik yang terus menerus antara kognitif, tingkah laku dan lingkungan. Orang
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 79
menentukan/ mempengaruhi tingkahlakunya dengan mengontrol lingkungan, tetapi
orang itu juga dikontrol oleh kekuatan lingkungan itu.
b. Beyond reinforcement
Bandura memandang teori Skinner dan Hull terlalu bergantung pada reinforcement.
Jika setiap unit respon sosial yang kompleks harus dipilah-pilah untuk direforse satu
persatu, bisa jadi orang malah tidak belajar apapun. Menurutnya, reinforcement
penting dalam menentukan apakah suatu tingkah laku akan terus terjadi atau tidak,
tetapi itu bukan satu-satunya pembentuk tingkah laku. Orang dapat belajar
melakukan sesuatu hanya dengan mengamati dan kemudian mengulang apa yang
dilihatnya. Belajar melalui observasi tanpa ada reinforcement yang terlibat, berarti
tingkah laku ditentukan oleh antisipasi konsekuensi.
c. Self-regulation/ cognition
Teori belajar tradisional sering terhalang oleh ketidaksenangan atau
ketidakmampuan mereka untuk menjelaskan proses kognitif. Konsep bandura
menempatkan manusia sebagai pribadi yang dapat mengatur diri sendiri (self
regulation), mempengaruhi tingkah laku dengan cara mengatur lingkungan,
menciptakan dukungan kognitif, mengadakan konsekuensi bagi bagi tingkah lakunya
sendiri.
Prinsip dasar belajar sosial (social learning) adalah:
a. Sebagian besar dari yang dipelajari manusia terjadi melalui peniruan (imitation), dan
penyajian contoh perilaku (modeling).
b. Dalam hal ini, seorang siswa mengubah perilaku sendiri melalui penyaksian cara
orang/ sekelompok orang yang mereaksi/ merespon sebuah stimulus tertentu.
c. Siswa dapat mempelajari respons-respons baru dengan cara pengamatan terhadap
perilaku contoh dari orang lain, misalnya: guru/ orang tuanya. Pendekatan teori
belajar sosial terhadap proses perkembangan sosial dan moral siswa ditekankan pada
perlunya pembiasaan merespons (conditioning) dan peniruan (imitation).
Langkah-langkah belajar sosial (social learning) adalah:
a. Conditioning.
Dalam belajar mengembangkan perilaku sosial dan moral pada dasarnya sama
dengan belajar untuk mengembangkan perilaku-perilaku lainnya, yakni perlunya
hadiah/ ganjaran (reward), dan hukuman (punishment).
b. Imitation.
Orang tua dan guru seyogyanya memainkan peranan penting sebagai seorang
model/ tokoh yang dijadikan contoh berperilaku sosial dan moral bagi siswa. Contoh:
mula-mula seorang siswa mengamati model gurunya sendiri yang sedang melakukan
sebuah aktivitas sosial, umpamanya menerima tamu, lalu perbuatan menjawab
salam, berjabat tangan, beramah-tamah, dan seterusnya yang dilakukan model itu
diserap oleh memori siswa tersebut. Diharapkan, cepat/ lambat siswa tersebut
mampu meniru sebaik-baiknya perbuatan sosial yang dicontohkan oleh model itu.
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 80
Kualitas kemampuan siswa dalam melakukan perilaku sosial hasil pengamatan
terhadap model tersebut, antara lain bergantung pada ketajaman persepsinya
mengenai ganjaran dan hukuman yang berkaitan dengan benar dan salahnya
perilaku yang ia tiru dari model tadi.
Prinsip-prinsip dari faktor model atau teladan sebagai berikut:
a. Tingkat tertinggi belajar dari pengamatan diperoleh dengan cara mengorganisasikan
sejak awal dan mengulangi perilaku secara simbolik kemudian melakukannya. Proses
mengingat akan lebih baik dengan cara mengkodekan perilaku yang ditiru kedalam
kata-kata, tanda atau gambar dari pada hanya observasi sederhana (hanya melihat
saja). Contohnya: belajar gerakan tari dari instruktur membutuhkan pengamatan dari
berbagai sudut yang dibantu cermin dan langsung ditirukan oleh siswa pada saat itu
juga. Proses meniru akan lebih terbantu jika gerakan tadi juga didukung dengan
penayangan video, gambar atau instruksi yang ditulis dalam buku panduan.
b. Individu lebih menyukai perilaku yang ditiru jika sesuai dengan nilai yang dimilikinya.
c. Individu akan menyukai perilaku yang ditiru jika model atau panutan tersebut disukai
dan dihargai serta perilakunya mempunyai nilai yang bermanfaat.
Teori belajar sosial memiliki banyak implikasi untuk penggunaan di dalam kelas,
yaitu:
a. Siswa sering belajar banyak hanya dengan mengamati orang lain, yaitu guru.
b. Menggambarkan konsekuensi perilaku yang dapat secara efektif meningkatkan
perilaku yang sesuai dan menurunkan yang tidak pantas. Hal ini dapat melibatkan
berdiskusi dengan pelajar tentang imbalan dan konsekuensi dari berbagai perilaku.
c. Modeling menyediakan alternatif untuk membentuk perilaku baru untuk mengajar.
Untuk mempromosikan model yang efektif, seorang guru harus memastikan bahwa
empat kondisi esensial ada, yaitu perhatian, retensi, motor reproduksi, dan motivasi,
d. Guru dan orangtua harus menjadi model perilaku yang sesuai dan berhati-hati agar
mereka tidak meniru perilaku yang tidak pantas,
e. Siswa harus percaya bahwa mereka mampu menyelesaikan tugas-tugas sekolah.
Sehingga sangat penting untuk mengembangkan rasa efektivitas diri untuk siswa.
Guru dapat meningkatkan efektivitas diri seperti itu dengan memiliki rasa percaya
diri siswa memperlihatkan pengalaman orang lain menjadi sukses, dan pengalaman
sukses mereka sendiri.
f. Guru harus membantu siswa menetapkan harapan yang realistis untuk prestasi
akademiknya. Pada umumnya di kelas yang berarti memastikan bahwa harapan tidak
diatur terlalu rendah.
g. Teknik pengaturan diri menyediakan metode yang efektif untuk meningkatkan
perilaku siswa.
Bandura mengusulkan tiga macam pendekatan treatmen sebagai berikut:
a. Latihan penguasaan (desensitisasi modeling).
Mengajari klien menguasai tingkah laku yang sebelumnya tidak bisa dilakukan
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 81
(misalnya karena takut). Treatmen konseling dimulai dengan membantu klien
mencapai relaksasi yang mendalam. Kemudian konselor meminta klien
membayangkan hal yang menakutkannya secara bertahap. Misalnya, dibayangkan
melihat ular mainan di etalase toko. Kalau klien dapat membayangkan kejadian itu
tanpa rasa takut, mereka diminta membayangkan bermain-main dengan ular
mainan, kemudian melihat ular dikandang kebun binatang, kemudian menyentuh
ular, sampai akhirnya menggendong ular. Ini adalah model desensitisasi sistemik
yang pada paradigma behaviorisme dilakukan dengan memanfaatkan variasi
penguatan. Bandura memakai desesitisasi sistematik itu dalam pikiran tanpa
memakai penguatan yang nyata.
b. Modeling terbuka (modeling partisipan)
Klien melihat model nyata, biasanya diikuti dengan klien berpartisipasi dalam
kegiatan model, dibantu oleh modelnya meniru tingkah laku yang dikehendaki,
sampai akhirnya mampu melakukan sendiri tanpa bantuan.
c. Modeling simbolik.
Klien melihat model dalam film, atau gambar/ cerita.
Bandura mengusulkan untuk mengembangkan strategi proses pembelajaran
sebagai berikut:
a. Analisis tingkah laku yang akan dijadikan model, terdiri dari:
1) Apakah karakter dari tingkah laku yang akan dijadikan model itu berupa konsep,
motor-skill atau efektif?
2) Bagaimanakah urutan dari tingkah laku tersebut?
3) Dimanakah letak hal-hal yang penting (key point) dalam urutan tersebut?
b. Tetapkan fungsi nilai dari tingkah laku dan pilihlah tingkah laku tersebut sebagai
model.
1) Apakah tingkah laku (kemampuan yang dipelajari) merupakan hal yang penting
dalam kehidupan dimasa datang?
2) Bila tingkah laku yang dipelajari kurang memberi manfaat (tidak begitu penting),
maka model manakah yang lebih penting?
3) Apakah model harus disimbolkan?
4) Apakah reinforcement yang akan didapat melalui model yang dipilih?
c. Pengembangan urutan pengajaran
1) Untuk mengajarkan motor-skill, bagaimana cara mengerjakan pekerjaan.
2) Langkah-langkah manakah yang menurut urutan harus dipresentasikan perlahan-
lahan.
d. Implementasi pengajaran untuk menurut motor-skill dan proses kognitif.
1) Motor-skill: a) hadirkan model; b) beri kesempatan kepada tiap-tiap pembelajar
untuk latihan secara simbolik; dan c) beri kesempatan kepada pembelajar untuk
latihan dengan umpan-balik visual.
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 82
2) Proses kognitif: a) tampilkan model, baik yang didukung oleh kode-kode verbal
atau petunjuk untuk mencari konsistensi pada berbagai contoh; b) beri
kesempatan kepada pembelajar untuk membuat ikhtisar; c) jika yang dipelajari
adalah pemecahan masalah atau strategi penerapan beri kesempatan pembelajar
untuk berpartisipasi seeara aktif; dan d) beri kesempatan pembelajar untuk
membuat generalisasi ke berbagai situasi.
7. Teori Joy Paulus Guilford
Menurut teori Guilford's, Structure of Intellect kinerja seseorang pada tes
kecerdasan dapat ditelusuri kembali ke dasar kemampuan mental atau faktor
kecerdasan. Structure of Intellect terdiri dari teori hingga 150 kemampuan intelektual
yang berbeda yang diselenggarakan sepanjang tiga dimensi, yaitu operasi, isi, dan
produk.
Structure of Intellect mencakup enam operasi atau proses intelektual umum, antara
lain:
a. Kognisi yaitu kemampuan untuk mengerti, memahami, menemukan, dan menjadi
sadar akan informasi.
b. Memori rekaman yaitu kemampuan untuk mengkodekan informasi.
c. Memori retensi yaitu kemampuan untuk mengingat informasi.
d. Produksi yang berbeda yaitu kemampuan untuk menghasilkan beberapa solusi untuk
masalah kreativitas.
e. Produksi konvergen yaitu kemampuan untuk menyimpulkan satu solusi untuk
masalah.
f. Evaluasi yaitu kemampuan untuk menilai apakah informasi akurat, konsisten, atau
valid.
Structure of Intellect meliputi lima bidang luas informasi/ isi yang intelek, antara
lain:
a. Visual yaitu informasi dipersepsikan melalui melihat.
b. Auditori yaitu informasi dirasakan melalui pendengaran.
c. Simbolis yaitu informasi dianggap sebagai simbol atau tanda-tanda.
d. Semantik yaitu informasi yang dipersepsikan dalam kata-kata atau kalimat, baik
secara lisan, tertulis, atau diam-diam da1am pikiran seseorang.
e. Informasi perilaku yaitu perbuatan seorang individu.
Model Structure of Intellect mencakup enam produk dalam meningkatkan
kompleksitas yaitu:
a. Unit yaitu item single pengetahuan
b. Kelas yaitu sets unit berbagi atribut umum.
c. Hubungan yaitu unit terkait sebagai pertentangan, asosiasi, urutan, atau analogi.
d. Beberapa sistem yaitu hubungan yang saling terkait untuk membentuk struktur atau
jaringan.
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 83
e. Transformasi yaitu perubahan, perspektif, konversi, atau mutasi untuk pengetahuan.
f. Implikasi yaitu prediksi, kesimpulan, konsekuensi, atau antisipasi pengetahuan.
Oleh karena itu, menurut Guilford terdapat 6 x 5 x 6 = 180 faktor kemampuan
intelektual. Kemampuan masing-masing adalah singkatan dari operasi tertentu di
wilayah konten tertentu dan menghasilkan suatu produk tertentu, yaitu: pemahaman
figural evaluasi satuan atau semantik implikasi.
Model asli Guilford terdiri dari 120 komponen karena ia tidak memisahkan menjadi
beberapa konten figural auditori dan visual isi, atau ia telah memisahkan ke dalam
memori perekaman dan penyimpanan. Ketika ia memisahkan figural ke auditori dan
visual isi, modelnya meningkat menjadi 5 x 5 x 6 = 150 kategori. Ketika Guilford
memisahkan fungsi memori, modelnya akhimya meningkat menjadi 180 akhir faktor.
Beberapa perubahan dalam struktur model intelek dalam Pendidikan dan Psikologis
Pengukuran, yaitu teori Structure of Intellect dipandang sebagai operasi yang terdiri dari
operasi, isi, dan produk, yang isinya ada 5 jenis operasi (kognisi, memori, produksi
divergen, konvergen produksi, evaluasi), 6 jenis produk (unit, kelas, hubungan, sistem,
transformasi, dan implikasi), dan 5 jenis isi (visual, auditori, simbolis , semantik,
perilaku). Karena masing-masing dimensi ini adalah independen, ada 150 komponen
teori kecerdasan.
Implikasi teori belajar Guilford dalam pembelajaran sebagai berikut:
a. Dalam menyelesaikan soal pembelajaran matematika dapat menerapkan soal-soal
open-ended kepada siswa, dari jawaban yang diberikan siswa dapat dibuktikan
bahwa kemampuan untuk memberikan berbagai alternatif jawaban adalah
berdasarkan informasi yang diberikan oleh guru maupun pengalaman pribadinya.
a. Kreatifitas seorang siswa dapat dilihat dari kemampuannya untuk menyelesaikan
suatu persoalan dengan ide kreatif tanpa bersumber pada satu teori saja, sehingga
memunculkan banyak ide dari berpikir kreatifnya.
b. Pada kinerja seseorang pada tes kecerdasan dapat ditelusuri kembali ke dasar
kemampuan mental atau faktor kecerdasan seseorang itu sendiri.
c. Berfikir kreatif yang terjadi pada siswa tergantung pada kemampuan dirinya untuk
mewujudkan ide/ gagasannya yang timbul pada hati nurani untuk mewujudkan
kemampuan untuk melihat bermacam-macam kemungkinan penyelesaian terhadap
suatu masalah.
B. Teori Belajar Kognitif
1. Teori Jean Piaget
Jean Piaget menyebut bahwa struktur kognitif sebagai skemata (schemas), yaitu
kumpulan dari skema-skema. Seorang individu dapat mengikat, memahami, dan
memberikan respon terhadap stimulus disebabkan karena bekerjanya skemata ini.
Skemata ini berkembang secara kronologis, sebagai hasil interaksi antara individu
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 84
dengan lingkungannya. Dengan demikian seorang individu yang lebih dewasa memiliki
struktur kognitif yang lebih lengkap daripada ketika ia masih kecil. Karena masih
terbatasnya skema pada anak, seorang anak yang baru pertama kali melihat buaya ia
menyebutnya sebagai cecak besar, karena ia baru memiliki konsep cecak yang sering
dilihat di rumahnya. Ia baru memiliki konsep cecak dalam skemanya dan ketika ia
melihat buaya untuk pertama kalinya, konsep cecaklah yang paling dekat dengan
stimulus. Peristiwa seperti ini seringkali berlanjut pada orang dewasa. Hal ini terjadi
karena kurangnya perbendaharaan kata atau dalam kehidupan sehari-harinya konsep
tersebut jarang ditemui. Misalnya, seringkali orang menyebut kuda laut atau singa laut,
padahal kedua binatang itu jauh berbeda cara hidupnya, lingkungan kehidupan, maupun
bentuk tubuhnya dengan kuda ataupun singa. Asosiasi tersebut hanya berdasarkan
sebagian bentuk tubuhnya yang hampir sama.
Perkembangan skemata ini berlangsung terus-menerus melalui adaptasi dengan
lingkungannya. Skemata tersebut membentuk suatu pola penalaran tertentu dalam
pikiran anak. Makin baik kualitas skema ini, makin baik pulalah pola penalaran anak
tersebut. Proses terjadinya adaptasi dari skemata yang telah terbentuk dengan stimulus
baru dilakukan dengan dua cara, yaitu asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah proses
pengintegrasian secara langsung stimulus baru ke dalam skemata yang telah terbentuk.
Akomodasi adalah proses pengintegrasian stimulus baru ke dalam skema yang telah
terbentuk secara tidak langsung. Hal ini terjadi karena stimulus baru tidak dapat
diasimilasi, karena tidak ada skema yang sesuai yang telah dimilikinya. Pada proses
akomodasi skema yang ada memodifikasi diri atau menciptakan skema baru, sehingga
sesuai dengan stimulus baru itu. Setelah itu asimilasi berlangsung kembali. Dengan
demikian pada proses asimilasi tidak menghasilkan perubahan skemata, melainkan
hanya menunjang pertumbuhan skemata secara kuantitas. Sedangkan pada akomodasi
menghasilkan perubahan skemata secara kualitas. Pada contoh di atas,
seorang anak menyebut cecak besar untuk buaya pada dasarnya anak tersebut
mengasimilasi stimulus buaya ke dalam skema cecak.
Dalam struktur kognitif setiap individu mesti ada keseimbangan antara asimilasi
dengan akomodasi. Keseimbangan ini dimaksudkan agar dapat mendeteksi persamaan
dan perbedaan yang terdapat pada stimulus-stimulus yang dihadapi. Perkembangan
kognitif pada dasarnya adalah perubahan dari keseimbangan yang telah dimiliki ke
keseimbangan baru yang diperolehnya.
Selanjutnya Piaget mengemukakan tentang perkembangan kognitif yang dialami
oleh setiap individu secara lebih rinci, dari mulai bayi hingga dewasa. Teori ini disusun
berdasarkan studi klinis terhadap anak-anak dari berbagai usia golongan menengah di
Swiss. Kesimpulannya adalah bahwa pola berfikir anak tidak sama dengan pola berfikir
orang dewasa. Tahap perkembangan kognitif atau taraf kemampuan berfikir seorang
individu sesuai dengan usianya. Makin dewasa seorang individu, maka makin meningkat
pula kemampuan berfikirnya. Jadi, dalam memandang anak keliru kalau beranggapan
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 85
bahwa kemampuan anak sama dengan kemampuan orang dewasa, sebab anak bukanlah
miniatur orang dewasa.
Selain daripada itu, perkembangan kognitif seorang individu dipengaruhi pula oleh
lingkungan dan transmisi sosialnya. Jadi, karena efektivitas hubungan antara setiap
individu dengan lingkungan dan kehidupan sosialnya berbeda satu sama lain, maka
tahap perkembangan kognitif yang dicapai oleh setiap individu berbeda pula. Oleh
karena itu, agar perkembangan kognitif seorang anak berjalan secara maksimal,
sebaiknya diperkaya dengan banyak pengalaman edukatif.
Berdasarkan hasil penelitian di Negeri Swiss pada tahun 1950-an, Piaget
mengemukakan bahwa ada empat tahap perkembangan kognitif dari setiap individual
yang berkembang secara kronologis (menurut usia kalender). Sebaran umur pada setiap
tahap tersebut adalah rata-rata (sekitar) dan mungkin pula terdapat perbedaan antara
masyarakat yang satu dengan masyarakat lainnya, antara individu yang satu dengan
individu lainnya.
a. Tahap Sensori Motor (Sensory Motoric Stage)
Bagi anak yang berada pada tahap ini, pengalaman diperoleh melalui perbuatan
fisik (gerakan anggota tubuh) dan sensori (koordinasi alat indera). Pada mulanya
pengalaman itu bersatu dengan dirinya, ini berarti bahwa suatu objek itu ada bila ada
pada penglihatannya. Perkembangan selanjutnya, ia mulai berusaha untuk mencari
objek yang asalnya terlihat kemudian menghilang dari pandangannya, asal
perpindahannya terlihat. Akhir dari tahap ini, ia mulai mencari objek yang hilang bila
benda tersebut tidak terlihat perpindahannya. Objek mulai terpisah dari dirinya dan
bersamaan dengan itu konsep objek dalam struktur kognitifnya mulai matang. Ia
mulai mampu untuk melambangkan objek fisik ke dalam simbol-simbol, misalnya
mulai bisa berbicara meniru suara kendaraan.
b. Tahap Pra Operasi (Pre Operasional Stage)
Tahap ini adalah tahap persiapan untuk pengorganisasian operasi konkrit. Istilah
operasi yang digunakan berupa tindakan-tindakan kognitif, seperti:
mengklasrifikasikan sekelompok objek (classifying), menata letak benda-benda
menurut urutan tertentu (seriations), dan membilang (counting). Pada tahap ini
pemikiran anak lebih banyak berdasarkan pada pengalaman konkrit daripada
pemikiran logis, sehingga jika ia melihat obyek-obyek yang kelihatannya berbeda,
maka ia mengatakannya berbeda pula.
Contoh:
1) Perlihatkan 5 (lima) buah kelereng yang sama besar di atas meja. Kemudian ubahlah letak kelereng itu menjadi agak berjauhan. Apabila ditanyakan kepada anak yang masih pada tahap ini. Ia akan menjawab kelereng yang letaknya berjauhan lebih banyak.
2) Perlihatkan segumpal plastisin (lilin lunak) berbentuk bola. Kemudian ubahlah (sambil diperlihatkan) menjadi bentuk pipih sehingga tampak lebih besar. Apabila ditanyakan mana yang lebih banyak plastisin itu. Ia akan
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 86
menjawab plastisin yang bentuknya pipih. 3) Perlihatkan kepada anak dua bejana dari gelas yang bentuk dan
ukurannya sama dengan dua bejana lainnya berbeda ukurannya. Kemudian kedua bejana gelas yang sama tadi kita isi dengan cairan berwarna sama banyak. Sambil diperlihatkan kepada siswa cairan pada kedua gelas yang sama tadi masing-masing dipindahkan pada kedua gelas yang berbeda. Setelah semuanya dipindahkan lalu tanyakan apakah kedua cairan tersebut sama banyak. Anak pada tahap perkembangan pra operasi akan menjawab banyak kedua cairan itu berbeda.
4) Dua utas tali sama panjang diletakkan di atas meja, kemudian rentangannya diubah. Hasilnya, anak-anak akan mengatakan bahwa kedua tali tersebut menjadi berbeda panjangnya.
5) Apabila anak dihadapkan pada suatu daerah bidang datar (terbuat dari kertas berwarna-warni) yang menyatakan luas, kemudian kertas itu dipotong-potong dan dikumpulkan kembali dengan susunan yang berbeda, anak mengatakan bahwa luas gambar akan berbeda.
Dari contoh-contoh di atas, tampak bahwa anak masih berada pada tahap pra
operasional belum memahami konsep kekekalan (conservation), yaitu kekekalan
banyak, kekekalan materi, kekekalan volum, kekekalan panjang, dan kekekalan luas.
Selain dari itu, ciri-ciri anak pada tahap ini belum memahami operasi yang sifatnya
reversible, belum dapat memikirkan dua aspek atau lebih secara bersamaan, belum
memahami operasi transformasi.
c. Tahap Operasi Konkrit (Concrete Operational Stage)
Anak-anak yang berada pada tahap ini umumnya sudah berada di Sekolah
Dasar. Umumnya mereka telah memahami operasi logis dengan bantuan benda-
benda konkrit. Kemampuan ini terwujud dalam memahami konsep kekekalan,
kemampuan untuk mengklasifikasi dan serasi, mampu memandang suatu objek dari
sudut pandang yang berbeda secara objektif, dan mampu berfikir reversibel.
Piaget mengidentifikasi adanya enam jenis konsep kekekalan yang berkembang
selama anak berada pada tahap operasi konkrit, yaitu: 1) kekekalan banyak (6–7
tahun), 2) kekekalan materi (7–8 tahun), 3) kekekalan panjang (7–8 tahun), 4)
kekekalan luas (8–9 tahun), 5) kekekalan berat (9–10 tahun), dan 6)
kekekalan volum (11–12 tahun).
Kemampuan mengurutkan objek (serasi) yang dipahami oleh anak pada tahap
ini berkembang sesuai dengan pemahaman konsep kekekalan. Kemampuan
mengurutkan objek berdasarkan panjang dipahami pada usia sekitar 7 tahun,
mengurutkan objek yang besarnya sama tetapi beratnya berlainan dicapai pada
umur sekitar 9 tahun, dan mengurutkan benda menurut volumnya dicapainya pada
sekitar 12 tahun.
Sejalan dengan kedua hal tersebut di atas, anak pada tahap ini memahami
pula konsep ekuivalensi dan klasifikasi. Piaget membuktikannya dengan eksperimen
sebagai berikut: seorang anak diberi 20 bola kayu, 15 buah di antaranya berwama
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 87
merah. Apabila ditanyakan manakah yang lebih banyak, bola kayu atau bola
berwarna merah? Anak pada tahap pra operasional menjawab bahwa bola merah
lebih banyak, sedangkan anak pada tahap operasi konkret menjawab bahwa bola
kayu lebih banyak dari pada bola berwama merah. Eksperimen tersebut
menunjukkan kepada kita bahwa anak pada tahap operasi konkrit telah mampu
memperhatikan sekaligus dua macam kelompok yang berbeda. Ia telah dapat
mengelompokkan benda-benda yang memiliki beberapa karakteristik ke dalam
himpunan dan himpunan bagian dengan karakteristik khusus, dan dapat melihat
beberapa karakteristik suatu benda secara serentak.
Anak pada tahap ini baru mampu mengikat definisi yang telah ada dan
mengungkapkannya kembali, akan tetapi belum mampu untuk merumuskan sendiri
definisi-definisi tersebut secara tepat, belum mampu menguasai simbol verbal dan
ide-ide abstrak.
d. Tahap Operasi Formal (Formal Operation Stage)
Tahap operasi formal merupakan tahap akhir dari perkembangan kognitif secara
kualitas. Anak pada tahap ini sudah mampu melakukan penalaran dengan
menggunakan hal-hal yang abstrak. Penggunaan benda-benda konkret tidak
diperlukan lagi. Anak mampu bernalar tanpa harus berhadapan dengan objek atau
peristiwanya langsung. Penalaran yang terjadi dalam struktur kognitifnya telah
mampu hanya dengan menggunakan simbol-simbol, ide-ide, abstraksi dan
generalisasi. Ia telah memiliki kemampuan-kemampuan untuk melakukan operasi-
operasi yang menyatakan hubungan di antara hubungan-hubungan, memahami
konsep promosi.
Sebagai contoh, kita perhatikan eksperimen Piaget sebagai berikut: seorang
anak pada tahap ini dihadapkan pada gambar “Pak Pendek” dan untaian klip
(penjepit kertas) untuk mengukur tinggi “Pak Pendek” itu. Kemudian ditambahkan
penjelasan dalam bentuk verbal bahwa “Pak Pendek” itu mempunyai teman “Pak
Tinggi”. Lebih lanjut dikatakan bahwa apabila diukur dengan batang korek api tinggi
“Pak Pendek” empat batang, sedangkan tinggi “Pak Tinggi” enam batang korek api.
Berapakah tinggi “Pak Tinggi” bila diukur dengan klip? Dalam memecahkan masalah
di atas, anak harus melakukan operasi terhadap operasi.
Karakteristik lain dari anak pada tahap ini adalah telah memiliki kemampuan
untuk melakukan penalaran hipotetik-deduktif, yaitu kemampuan untuk menyusun
serangkaian hipotesis dan mengujinya.
Suatu eksperimen beliau lakukan terhadap anaknya sendiri bernama Paul (9,5
tahun). Child memberikan bandul yang terbuat dari plastisin sehingga berat bandul
dapat diubah-ubah dan tali bandul itu pun dapat diubah-ubah panjang-pendeknya.
Setelah melalui percobaan berulang-kali, Paul diminta untuk menemukan faktor-
faktor apa sajakah yang mempengaruhi waktunya ayunan bandul tersebut? Anaknya
mengemukakan bahwa faktor-faktor itu adalah berat bandul, panjang tali, dan cara
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 88
melepas bandul. Kemudian Child mengemukakan bahwa dari ketiga hal tersebut
hanya satu hal yang mempengaruhi waktu ayunan. Setelah Paul melakukan kembali
percobaan tadi berulang-kali, ia tidak bisa menemukannya. Dengan demikian dari
ketiga hipotesis yang dikemukakan itu, ia belum mampu untuk mengujinya.
Selain itu, karakteristik lain dari anak pada tahap ini adalah telah memiliki
kemampuan berfikir kornbinatorial (combinatorial thought), yaitu kemampuan
menyusun kombinasi-kombinasi yang mungkin dari unsur-unsur dalam suatu sistem.
Misalnya kombinasi warna, kombinasi beberapa bilangan, dan kombinasi beberapa
huruf. Jadi, anak pada operasi formal tidak lagi berhubungan dengan ada-tidaknya
benda-benda konkrit, tetapi berhubungan dengan tipe berfikir. Apakah situasinya
disertai oleh benda-benda konkret atau tidak, bagi anak pada tahap berfikir formal
tidak menjadi masalah.
2. Teori Jerome Seymour Bruner
(Akan diuraikan di bagian lain).
3. Teori Gestalt
Gestalt adalah sebuah teori yang menjelaskan proses persepsi melalui
pengorganisasian komponen-komponen sensasi yang memiliki hubungan, pola, ataupun
kemiripan menjadi kesatuan. Teori gestalt beroposisi terhadap teori strukturalisme. Teori
gestalt cenderung berupaya mengurangi pembagian sensasi menjadi bagian-bagian
kecil. Istilah “Gestalt” mengacu pada sebuah objek/ figur yang utuh dan berbeda dari
penjumlahan bagian-bagiannya. Tokoh aliran ini adalah John Dewey. Ia mengemukakan
bahwa pelaksanaan kegiatan belajar mengajar yang diselenggarakan oleh guru harus
memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. Penyajian konsep harus lebih mengutamakan pengertian.
b. Pelaksanaan kegiatan belajar mengajar harus memperhatikan kesiapan intelektual
siswa.
c. Mengatur suasana kelas agar siswa siap belajar.
Dari ketiga hal di atas, dalam menyajikan materi guru jangan memberikan konsep
yang harus diterima begitu saja, melainkan harus lebih mementingkan pemahaman
terhadap proses terbentuknya konsep tersebut daripada hasil akhir. Untuk hal ini guru
bertindak sebagai pembimbing dan pendekatan yang digunakan adalah pendekatan
proses melalui metode induktif.
Pendekatan dan metode yang digunakan tersebut haruslah disesuaikan pula
dengan kesiapan intelektual siswa. Siswa SMP masih ada pada tahap operasi konkret,
artinya jika ia akan memahami konsep abstrak matematika harus dibantu dengan
menggunakan benda konkret. Oleh karena itu dalam pelaksanaan kegiatan belajar
mengajar mulailah dengan menyajikan contoh-contoh konkret yang beraneka ragam,
kemudian mengarah pada konsep abstrak tersebut. Dengan cara seperti ini diharapkan
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 89
kegiatan belajar mengajar bisa berjalan secara bermakna.
Kita ketahui bahwa faktor eksternal bisa mempengaruhi pelaksanaan dan hasil
belajar siswa. Oleh karena itu, sebelum, selama, dan sesudah mengajar guru harus
pandai-pandai (berusaha) untuk menciptakan kondisi agar siswa siap untuk belajar
dengan perasaan senang, tidak merasa terpaksa.
Psikologi Gestalt bermula pada pengamatan di lapangan. Ketika para ahli psikologi
Gestalt beralih dari masalah pengamatan ke masalah belajar, maka hasil-hasil yang telah
kuat/ sukses dalam penelitian mengenai pengamatan itu dibawanya dalam studi
mengenai belajar. Karena asumsi bahwa hukum-hukum atau prinsip-prinsip yang berlaku
pada proses pengamatan dapat ditransfer kepada hal belajar, maka untuk memahami
proses belajar orang perlu memahami hukum-hukum yang menguasai proses
pengamatan itu.
Pada pengamatan itu menekankan perhatian pada bentuk yang terorganisasi
(organized form) dan pola persepsi manusia. Psikologi Gestalt terkenal dengan teori
medan (field) atau lazim disebut cognitive field theory. Kelompok pemikiran ini
sependapat pada suatu hal yakni suatu prinsip dasar bahwa pengalaman manusia
memiliki kekayaan medan yang memuat fenomena keseluruhan lebih daripada bagian-
bagiannya. Keseluruhan ini memberikan beberapa prinsip belajar yang penting, antara
lain:
a. Manusia bereaksi dengan lingkunganya secara keseluruhan, tidak hanya secara
intelektual, tetapi juga secara fisik, emosional,sosial dan sebagainya.
b. Belajar adalah penyesuaian diri dengan lingkungan.
c. Manusia berkembang secara keseluruhan sejak dari kecil sampai dewasa, lengkap
dengan segala aspek-aspeknya.
d. Belajar adalah perkembangan kearah diferensiasi yang lebih luas.
e. Belajar hanya berhasil, apabila tercapai kematangan untuk memperoleh insight.
f. Tidak mungkin ada belajar tanpa ada kemauan untuk belajar, motivasi memberi
dorongan yang menggerakan seluruh organisme.
g. Belajar akan berhasil kalau ada tujuan.
h. Belajar merupakan suatu proses bila seseorang itu aktif, bukan ibarat suatu bejana
yang diisi.
Belajar sangat menguntungkan untuk kegiatan memecahakan masalah. Hal ini
nampaknya juga relevan dengan konsep teori belajar yang diawali dengan suatu
pengamatan. Belajar memecahkan masalah diperlukan suatu pengamatan secara cermat
dan lengkap. Menurut John Dewey ada lima upaya pemecahan masalah sebagai berikut:
a. Realisasi adanya masalah, yaitu memahami apa masalahnya dan juga harus dapat
merumuskan.
b. Mengajukan hipotesa, sebagai suatu jalan yang mungkin memberi arah pemecahan
masalah.
c. Mengumpulkan data atau informasi, dengan bacaan atau sumber-sumber lain.
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 90
d. Menilai dan mencobakan usaha pembuktian hipotesa dengan keterangan-keterangan
yang diperoleh.
e. Mengambil kesimpulan, membuat laporan atau membuat sesuatu dengan hasil
pemecahan.
4. Teori William Arthur Brownell
Brownell mengemukakan bahwa belajar matematika harus merupakan belajar
bermakna dan belajar pengertian. Dia menegaskan bahwa belajar pada hakikatnya
merupakan suatu proses yang bermakna. Bila kita perhatikan, teori yang dikemukakan
Brownell ini sesuai dengan teori belajar-mengajar Gestalt, yang muncul di pertengahan
tahun 1930. Menurut teori belajar-mengajar Gestalt, latihan hafal atau yang dikenal
dengan sebutan drill adalah sangat penting dalam kegiatan pengajaran. Cara ini
ditetapkan setelah tertanamnya pengertian.
Aritmetika atau berhitung yang diberikan pada anak-anak SD dulu lebih
menitikberatkan hafalan dan mengasah otak. Aplikasi dari bahan yang diajarkan dan
bagaimana kaitannya dengan pelajaran-pelajaran lainnya sedikit sekali dikupas. Menurut
Brownell anak-anak yang berhasil dalam mengikuti pelajaran pada waktu itu memiliki
kemampuan berhitung yang jauh melebihi anak-anak sekarang. Banyaknya latihan yang
diterapkan pada anak dan latihan mengasah otak dengan soal-soal yang panjang dan
sangat rumit merupakan pengaruh dari doktrin disiplin formal.
Terdapat perkembangan yang menunjukkan bahwa doktrin formal itu memiliki
kekeliruan yang cukup mendasar. Dari penelitian yang dilaksanakan pada abad 19
terdapat hasil yang menunjukkan bahwa belajar tidak melalui latihan hafalan dan
mengasah otak, namun diperoleh anak melalui bagaimana anak berbuat, berfikir,
memperoleh persepsi, dll.
Implikasi teori perkembangan kognitif Brownell dalam pembelajaran sebagai
berikut:
a. Bahasa dan cara berfikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu, guru
mengajar dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berfikir anak.
b. Anak-anak akan belajar lebih baik apabila dapat menghadapi lingkungan dengan
baik. Guru harus membantu anak agar dapat berinteraksi dengan lingkungan sebaik-
baiknya.
c. Bahan yang harus dipelajari anak hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing.
d. Berikan peluang agar anak belajar sesuai tahap perkembangannya.
e. Siswa hendaknya diberi peluang untuk saling berbicara dan diskusi dengan siswa
lain.
Pengaplikasian teori kognitif Brownell dalam belajar bergantung pada akomodasi.
Kepada siswa harus diberikan suatu area yang belum diketahui agar ia dapat belajar,
karena ia tidak dapat belajar dari apa yang telah diketahui saja dengan adanya area
baru, siswa akan mengadakan usaha untuk dapat mengakomodasikan.
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 91
5. Teori Zoltan Paul Dienes
Dienes adalah seorang matematikawan yang memusatkan perhatiannya pada cara-
cara pengajaran terhadap anak-anak. Dasar teorinya bertumpu pada teori Piaget, dan
pengembangannya diorientasikan pada anak-anak, sedemikian rupa sehingga sistem
yang dikembangkannya itu menarik bagi anak yang mempelajari matematika.
Dienes berpendapat bahwa pada dasarnya matematika dapat dianggap sebagai
studi tentang struktur, memisah-misahkan hubungan-hubungan di antara struktur--
struktur dan mengkategorikan hubungan-hubungan di antara struktur-struktur. Dienes
mengemukakan bahwa tiap-tiap konsep atau prinsip dalam matematika yang disajikan
dalam bentuk yang konkret akan dapat dipahami dengan baik. Ini mengandung arti
bahwa benda-benda atau objek-objek dalam bentuk permainan akan sangat berperan
bila dimanipulasi dengan baik dalam pengajaran matematika.
Permainan bebas merupakan tahap belajar konsep yang aktivitasnya tidak
berstruktur dan tidak diarahkan. Aktivitas ini memungkinkan anak mengadakan
percobaan dan mengotak-atik (memanipulasi) benda-benda konkret dan abstrak dari
unsur-unsur yang sedang dipelajarinya itu. Dalam tahap permainan bebas, anak-anak
berhadapan dengan unsur-unsur dalam interaksinya dengan lingkungan belajarnya atau
alam sekitar. Dalam tahap ini anak tidak hanya belajar membentuk struktur mental,
namun juga belajar membentuk struktur sikap untuk mempersiapkan diri dalam
pemahaman konsep.
Dalam penggunaan alat peraga matematika, anak-anak dapat dihadapkan pada
balok-balok logik yang membantu anak-anak dalam mempelajari konsep-konsep abstrak.
Dalam kegiatan belajar dengan menggunakan alat peraga ini anak-anak belajar
mengenal warna, tebal tipisnya benda, yang merupakan ciri atau sifat dari benda yang
dimanipulasinya itu.
Dalam permainan yang disertai aturan, anak-anak sudah mulai meneliti pola-pola
dan keteraturan yang terdapat dalam konsep tertentu. Keteraturan ini mungkin terdapat
dalam konsep tertentu tapi tidak terdapat dalam konsep yang lainnya. Anak yang telah
memahami aturan-aturan yang terdapat dalam konsep akan dapat mulai melakukan
permainan tadi. Jelaslah, dengan melalui permainan anak-anak diajak untuk mulai
mengenal dan memikirkan bagaimana struktur matematika itu. Makin banyak bentuk-
bentuk yang berlainan yang diberikan dalam konsep-konsep tertentu, maka akan makin
jelas konsep yang dipahami anak, karena anak-anak akan memperoleh hal-hal yang
bersifat logis dan matematis dalam konsep yang dipelajarinya itu.
Dalam mencari kesamaan sifat, anak-anak mulai diarahkan dalam kegiatan
menemukan sifat-sifat kesamaan dalam permainan yang sedang diikuti. Untuk melatih
anak-anak dalam mencari kesamaan sifat-sifat ini, guru perlu mengarahkan mereka
dengan mentranslasikan kesamaan struktur dari bentuk permainan yang satu ke bentuk
permainan lainnya. Translasi ini tentu tidak boleh mengubah sifat-sifat abstrak yang ada
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 92
dalam permainan semula.
Representasi adalah tahap pengambilan kesamaan sifat dari beberapa situasi yang
sejenis. Anak-anak menentukan representasi dari konsep-konsep tertentu, setelah
mereka berhasil menyimpulkan kesamaan sifat yang terdapat dalam situasi-situasi yang
dihadapinya itu. Representasi yang diperolehnya ini bersifat abstrak. Dengan demikian,
anak-anak telah mengarah pada pengertian struktur matematika yang sifatnya abstrak
yang terdapat dalam konsep yang sedang dipelajari.
Simbolisasi termasuk tahap belajar konsep yang membutuhkan kemampuan
merumuskan representasi dari setiap konsep-konsep dengan menggunakan simbol
matematika atau melalui perumusan verbal.
6. Teori Van Hiele
Dalam pengajaran geometri terdapat teori belajar yang dikemukakan oleh Van
Hiele, yang menguraikan tahap-tahap perkembangan mental anak dalam geometri. Van
Hiele adalah seorang guru bangsa Belanda yang mengadakan penelitian dalam
pengajaran geometri. Menurut Van Hiele, tiga unsur utama dalam pembelajaran
geometri yaitu waktu, materi pengajaran dan metode pengajaran yang diterapkan, jika
ditata secara terpadu akan dapat meningkatkan kemampuan berfikir anak kepada
tingkatan berfikir yang lebih tinggi.
Van Hiele menyatakan bahwa terdapat lima tahap belajar anak dalam belajar
geometri, yaitu tahap pengenalan, tahap analisis, tahap pengurutan, tahap deduksi,
tahap akurasi yang akan diuraikan sebagai berikut:
a. Tahap pengenalan (Visualisasi)
Dalam tahap ini anak mulai belajar mengenali suatu bentuk geometri secara
keseluruhan, namun belum mampu belajar mengetahui adanya sifat-sifat dari bentuk
geometri yang dilihatnya itu. Contohnya, jika seorang anak diperlihatkan sebuah
kubus, maka ia belum mengetahui sifat-sifat yang dimiliki oleh kubus tersebut. Anak
belum menyadari bahwa kubus mempunyai 6 sisi yang berbentuk bujur sangkar,
mempunyai 12 rusuk, dll.
b. Tahap analisis
Pada tahap ini anak sudah mulai mengenal sifat-sifat yang dimiliki benda
geometri yang diamatinya seperti segitiga, persegi dan persegi panjang. Anak sudah
mampu menyebutkan keteraturan yang terdapat pada benda geometri itu. Misalnya,
ketika anak mengamati persegi panjang, ia telah mengetahui bahwa terdapat 2
pasang sisi yang berhadapan, dan kedua pasang sisi tersebut saling sejajar. Dalam
tahap ini anak belum mampu mengetahui hubungan yang terkait antara suatu benda
geometri dengan benda geometri lainnya. Misalnya, anak belum mengetahui bahwa
bujursangkar adalah persegipanjang, bahwa bujursangkar adalah belah ketupat dan
sebagainya.
c. Tahap pengurutan (deduksi informal)
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 93
Pada tahap ini anak sudah mulai mampu melaksanakan penarikan kesimpulan,
yang dikenal dengan sebutan berfikir dedukif. Namun kemampuan ini belum
berkembang secara penuh. Satu hal yang perlu diketahui adalah, anak pada tahap ini
sudah mulai mampu mengurutkan. Misalnya, anak sudah mengenali bahwa belah
ketupat juga merupakan layang-layang. Dalam pengenalan benda-benda ruang, anak
sudah mampu memahami bahwa kubus adalah balok. Pola pikir anak pada tahap ini
masih belum mampu menerangkan mengapa diagonal suatu persegi panjang sama
panjang.
d. Tahap deduksi
Dalam tahap ini anak sudah mampu menarik kesimpulan secara deduktif, yaitu
menarik kesimpulan dari hal-hal yang bersifat umum menuju hal-hal yang bersifat
khusus. Anak juga telah mengerti betapa pentingnya peranan unsur-unsur yang tidak
didefinisikan, di sampaing unsur-unsur yang didefinisikan. Misalnya anak sudah mulai
memahami dalil. Selain itu, pada tahap ini anak sudah mulai mampu menggunakan
aksioma atau postulat yang digunakan dalam pembuktian.
Postulat dalam pembuktikan segitiga yang sama dan sebangun, seperti postulat
sudut-sudut-sudut, sisi-sisi-sisi atau sudut-sisi-sudut, dapat dipahaminya, namun
belum mengerti mengapa postulat tersebut benar dan mengapa dapat dijadikan
sebagai postulat dalam cara-cara pembuktian dua segitiga yang sama dan sebangun
(kongruen).
e. Tahap akurasi
Dalam tahap ini anak sudah mulai menyadari betapa pentingnya ketepatan dari
prinsip-prinsip dasar yang melandasi suatu pembuktian. Tahap akurasi merupakan
tahap berfikir yang tinggi, rumit dan kompleks.
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 94
BAB VIITEORI PSIKOLOGI BELAJAR TINGKAH LAKU
ROBERT MILLS GAGNÉ (21 Agustus 1916 – 28 April 2002)"Learning is Something that Takes Place Inside A Person's Head- in The Brain"
A. Riwayat Hidup
Robert Mills Gagné (nama panggilan Mr. Gagné) lahir di North Andover,
Massachusetts, Amerika Serikat pada tanggal 21 Agustus 1916. Ia meninggal pada
tanggal 28 April 2002.
Pada tahun 1937, Ia menyelesaikan pendidikan setara S-2 dari Universitas Yale, dan
pada tahun 1940, ia menyelesaikan program setara S-3 bidang psikologi dari Universitas
Brown. Dari Universitas Brown, pada 1940-1949 Ia menjabat sebagai professor psikologi
dan psikologi pendidikan pada akademi untuk kaum wanita (Connecticut College for
Women), dan pada 1945-1946, aa mengajar di Universitas Negeri Pennsylvania, tahun
1958-1962 di Universitas Princeton, and tahun 1966-1969 di Barkeley _ Universitas
California. Dan sejak tahun 1969 telah menjadi professor pada Departemen Riset
Penelitian di Tallehassee-Universitas Negeri Florida. Tahun 1949-1958 Gagné juga
sebagai direktur penelitian untuk militer Angkatan Udara Amerika di Lackland, Texas,
Lowry, dan Colorado. Tahun 1958-1961 ia menjabat sebagai konsultan untuk
Departemen Defense dan pada tahun 1964-1966 ia sebagai konsultan untuk
Departemen Pendidikan Amerika Serikat (United States Office of Education).
Antara 1949-1958, Gagné menjadi direktur penelitian pada laboratorium “kognitif
dan keterampilan motorik”, sekaligus mengajar dan melatih persoalan-persoalan
psikologi untuk militer Angkata Udara (Air force) di Amerika Serikat (USA). Ia juga banyak
melayani konsultasi psikologi pada United States Department of Defense. Pada
kesempatan itu, ia memulai mengembangkan beberapa ide tentang teori belajar yang
dinamakan "Conditions of Learning".
Sampai tahun 2000, ia menjabat sebagai Professor pada Departemen Riset
Pendidikan, Universitas Negeri di Tallahassee. Selama 25 tahun yang silam, ia
menterjemahkan serta menggunakan penemuan-penemuan atau teori-teorinya terutama
menyangkut pembelajaran di sekolah.
Gagné yakin dengan filosofisnya bahwa pengajaran yang efektif akan tercapai
melalui kebiasaan dari luar lingkungan. Ia mendukung pengajaran secara komulatif,
yaitu peralihan dari keterampilan yang sederhana (simple) ke keterampilan yang lebih
besar (complex) akan memberi hasil yang efektif. Hirarki kerangka ini sangat luas
penggunaannya dalam banyak lingkungan pengajaran
Gagné telah memberi kontrubusi yang besar pada bidang pendidikan dan desain
pengajaran. Gagné telah menulis beberapa buku tentang teori belajar, yang mana lebih
dikenal dengan “The Conditions of Learning”. Sampai meninggal, ia masih menjabat
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 95
sebagai professor pada Departemen Riset Pendidikan, Universitas Negeri Florida, yang
mana sejak tahun 1969 ia telah mengajar di Universitas ini.
Kerangka teori Gagne seluruhnya berkisar pada aspek belajar, dengan fokus teori
pada Keterampilan Intelektual. Mulanya teori belajar Gagne berkembang ketika mengajar
pada pelatihan militer Angkatan Udara Amerika serikat.
Ringkasan:
1. Pendidikan
Yale, A.B. 1937
Brown, Ph.D. 1940
2. Karier
a. Professor, Connecticut College for Woman (1940-49)
b. Professor, Penn State University (1945-46)
c. Director of Perceptual and Motor Skills Laboratory, U.S. Air Force (1949-58)
d. Professor, Florida State University (2002)
3. Kontribusi terbesar dalam pengembangan pemebelajaran
a. co-developer of "Instructional Systems Design"
b. wrote The Conditions of Learning, 1965
c. co-wrote Principles of Instructional Design
B. Ringkasan Teori Psikologi Belajar Gagne
1. Kondisi belajar
Buku tentang teori belajar Gagné yang berjudul “The Conditions of Learning”,
diterbitkan pertama kali tahun 1965, yang banyak berisi tentang identifikasi kondisi
mental untuk belajar. Hal ini didasarkan pada model proses informasi dari kejadian-
kejadian mental ketika diberikan berbagai macam stimulus pada orang dewasa. Gagné
menghasilkan sembilan langkah proses pengajaran, yang mana menghubungkan ke
alamat kondisi belajar.
Gagne mengidentifikasi lima kategori besar dalam belajar: 1) informasi verbal, 2)
keterampilan intelektual, 3) strategi kognitif, 4) keterampilan motorik, dan 5) sikap.
Perbedaan kondisi internal dan eksternal dapat memberi kebutuhan untuk setiap tipe
belajar.
2. Sembilan kejadian pengajaran
Sembilan fase kejadian dalam pengajaran adalah: 1) fase motivasi, 2) fase
pengenalan, 3) fase perolehan, 4) fase retensi, 5) fase pemanggilan, 6) fase generalisasi,
7) fase penampilan, 8) fase umpan balik, dan 9) fase generalisasi. Sembilan kejadian
pengajaran oleh Gagne disebutkan juga sebagai hirarki belajar. Sembilan kejadian
pengajaran akan berdampak pada proses mental internal pembelajar. Secara singkat
akan dijelaskan sebagai berikut:
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 96
a. Memberi Perhatian (reception); menyangkut minat pembelajar terhadap suatu
materi pelajaran.
Misal: pengajar menunjukkan sebuah bola, katakan bagaimana yang bagus tentang
bola tersebut.
b. Menyampaikan pembelajar yang objektif (expectancy); biarkan pembelajar
mengetahui apa yang mereka akan belajar.
Misal: hari ini, kita akan belajar bagaimana membuat sebuah bentuk bola.
c. Mengingatkan pengetahuan terdahulu (retrieval); menampilkan kepada
pembelajar untuk berpikir tentang apa yang mereka telah ketahui.
Misal: apakah seseorang pernah mempunyai sebuah bola? Di mana? Kapan? Untuk
apa?
d. Bahan terbaru (selective perception); mengajar sesuai topik yang terbaru
Misal: menunjukkan pembelajar untuk membuat sebuah bola.
e. Sediakan penuntun belajar (semantic encoding); menolong pembelajar untuk
mengikuti suatu topik yang sedang dibahas.
Misal: menyediakan poster gambar yang berisi langkah-langkah dalam membuat
sebuah bola.
f. Mengeluarkan penampilan (responding); menanyakan kepada pembelajar
untuk melakukan apa yang diajarkan.
Misal: memberi pembelajar komponen untuk membuat suatu bentuk bola.
g. Memberi umpan balik (reinforcement); memberitahu pembelajar tentang
penampilan mereka.
Misal: berputar-putar mengelilingi di dalam ruang kelas, mengobservasi dan
membantu pembelajar.
h. Menampilkan tugas (retrieval); mengevaluasi pembelajar pada pengetahuan
mereka tentang topik yang telah dibahas.
Misal: latihan pembelajar membuat bola, jika sudah berhasil benar, mereka diijinkan
untuk pergi makan.
i. Menambah ingatan dan transfer (generalization).; membantu pembelajar
dalam mengingat dan menggunakan keterampilan baru.
Misal: selama pembelajar membuat bola sambil snack, rekreasi (karyawisata) dan
sebgainnya.
3. Model pemrosesan informasi
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 97
LINGKUNGAN
Efektor
Reseptor
Registor Pengindera
an
Generator
Respon
Kontrol Eksekutif
Harapan
Memori JangkaPendek
Memori Jangka
Panjang
(Sumber: Teori-teori Belajar, R. Gagne, 1985 dalam R.W. Dahar, 1988)
Informasi dalam memori kerja dapat dikode, kemudian disimpan dalam memori
jangka-panjang. Pengkodean merupakan suatu proses transformasi, di mana informasi
baru diintegrasikan pada infromasi lama dengan berbagai cara. Memori jangka-panjang
menyimpan informasi yang akan digunakan di kemudian hari. Berlawanan dengan
memori kerja, memori jangka-panjang bertahan sangat lama.
Informasi yang telah disimpan di memori jangka-panjang, bila akan digunakan lagi
harus dipanggil. Informasi yang telah dipanggil merupakan dasar generasi respons.
Dalam pikiran sadar informasi mengalir dari memori jangka-panjang ke memori jangka-
pendek, dan kemudian ke generator respons. Tetapi untuk proses otomatis, informasi
mengalir langsung dari memori jangka-panjang ke generator respons selama
pemanggilan.
Generator respons mengatur urutan respons, dan membimbing efektor-efektor.
Efektor-efektor meliputi semua otot dan kelenjar, tetapi untuk tugas-tugas sekolah,
efektor-efektor yang utama ialah tangan untuk menulis dan alat suara untuk berbicara.
Aliran informasi dalam sistem manusia ternyata bertujuan, dan diatur oleh kotak-
kotak yang disebut harapan dan kontrol eksekutif. Khususnya harapan-harapan tentang
hasil kegiatan mental mempengaruhi pemrosesan informasi, seperti prosedur
pengontrolan dan strategi-strategi mempengaruhi pencapaian tujuan-tujuan.
Sebagai ilustrasi, dalam pembelajaran matematika, seorang guru SMA bertanya
pada siswanya Renstha. Bagaimana rumus deret-aritmetika, Renstha menjawab “tidak
tahu pak”. Pada waktu yang sama Renstha sudah mempunyai harapan bahwa ia akan
belajar rumus deret-aritmetika, yang menyebabkan ia memberikan perhatian pada
pelajaran yang akan diberikan. Guru kemudian berkata; “rumus deret-aritmatika adalah
……… Telinga Renstha menerima pesan ini bersama dengan suara-suara lainnya,
misalnya percakapan teman-temannya atau suara lainnya dari lingkungan tempat
belajar. Semua suara yang didengar Renstha diubah menjadi impuls-impuls elektrokimia,
dan dikirim ke register penginderaan. Pola bahwa rumus deret-aritmetika ialah….terpilih
dalam memeori kerja, tetepai pola-pola suara yang lain tidak masuk. Renstha kemudian
mengkode fakta bahwa rumus deret-aritmetika ialah ……..dengan cara menghubungkan
fakta ini dengan fakta-fakta lain yang telah diketahuinya. Proses pengkodean ini
menyebabkan fakta yang baru itu masuk ke dalam memori jangka panjang. Bila Renstha
telah mengembangkan strategi-strategi memori khusus, maka proses-proses kontrol
eksekutif Renstha akan mengarahkan proses pengkodean agar menggunakan strategi-
strategi khusus ini. Dalam pelajaran berikutnya, guru bertanya pada Renstha;
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 98
“bagaimana rumus deret-aritmetika”?. Pertanyaan ini diterima dan dipilih untuk masuk
kedalam memori kerja. Di sini pertanyaan itu menyediakan isyarat-isyarat untuk
memanggil jawaban dari memori jangka panjang. Kopi dari jawaban digunakan oleh
generator repons untuk mengatur alat-alat suara yang menghasilkan suara; “rumus
deret-aritmetika”. Pada waktu ini harapan Renstha, bahwa ia akan mempelajari rumus
deret-aritmetika, terpenuhi.
Selanjutnya Gagne berkesimpulan bahwa bahwa kapasitas memori jangka pendek
pada manusia sangat kecil, tetapi implikasinya sangat penting dalam pengajaran.
a. Penyajian pengetahuan
Dalam bukunya “The Cognitive Psychology of School Learning”, Gagne
mengemukakan tiga bentuk penyajian pengetahuan, yaitu:
1) Proposisi (Gagasan)
2) Produksi (Hasil)
3) Images (Gambaran mental)
b. Belajar Konsep
Formasi konsep merupakan bentuk perolehan konsep-konsep sebelum anak-
anak masuk sekolah. Formasi konsep dapat disamakan dengan belajar konsep-
konsep konkrit. Anak yang belajar dihadapkan pada sejumlah contoh-contoh dan
noncontoh-noncontoh dari konsep-konsep tertentu. Melalui proses diskriminasi dan
abstraksi, ia menetapkan suatu aturan yang menentukan kriteria untuk konsep itu.
Misalnya; konsep anak tentang bola: “dapat dikenakan pada satu benda-suatu benda
kecil, bulat dan merah yang menggelinding.
Menurut Gagne, ada dua kondisi untuk belajar konsep, yaitu kondisi internal dan
kondisi eksternal. Berikut ilustrasi kondisi internal dan eksternal.
1) Kondisi internal; siswa harus dapat membedakan contoh suatu konsep dan
noncontoh suatu konsep. Jika digunakan instruksi verbal, subjek sudah harus
sebelumnya mempelajari nama verbal. Siswa harus mengingat kembali
diskriminasi maupun nama verbal.
2) Kondisi eksternal; isyarat-isyarat verbal merupakan cara-cara utama
dalam mengajar konsep-konsep konkrit.
4. Keterampilan-keterampilan intelektual
Keterampilan-keterampilan intelektual memungkinkan seseorang berinteraksi
dengan lingkungannya melalui penggunaan simbol-simbol atau gagasan-gagasan.
Karena keterampilan-keterampilan itu merupakan penampilan-penampilan yang
ditunjukkan oleh siswa tentang operasi-operasi intelektual yang dapat dilakukannya.
Untuk memecahkan masalah, siswa memerlukan aturan-aturan tingkat tinggi, yaitu
aturan-aturan yang kompleks, dan konsep-konsep terdefinisi. Sehingga untuk
memperoleh aturan-atuarn ini siswa sudah harus belajar beberapa konsep konkrit, dan
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 99
untuk belajar konsep-konsep konkrit ini, siswa harus menguasai perbedaan-perbedaan
(diskriminasi-diskriminasi).
a. Diskriminasi-diskriminasi
Merupakan suatu kemampuan untuk mengadakan respons-respons yang berbeda
terhadap stimulus-stimulus yang berbeda dalam satu atau lebih dimensi fisik.
b. Konsep-konsep konkrit
Suatu konsep konkrit menunjukkan suatu sifat objek atau atribut objek, seperti:
warna, bentuk, dll. Sifat-sifat obyek seperti: bulat, persegi, biru, merah, kasar, dll.
Dengan adanya ditampilkannya objek konkrit, siswa dengan mudah membuat atau
menemukan suatu konsep. Selain itu perlu juga diperhatikan mengenai posisi suatu
objek, misalnya: di atas, di bawah, di muka, di belakang, di kiri, di kanan, dll.
c. Konsep-konsep terdefinisi
Merupakan konsep yang telah didefinisikan sebelumnya. Dalam belajar siswa dengan
mudah menentukan nama suatu objek dengan menggunakan konsep konkrit
terdahulu atau sebelumnya. Konsep terdefinisi adalah suatu aturan pengklasifikasian
atau merupakan suatu bentuk khusus dari aturan yang bertujuan untuk
mengelompokkan objek-objek dan kejadian-kejadian.
d. Aturan-aturan
e. Aturan-aturan tingkat tinggi
Berikut akan ditunjukkan tingkat-tingkat kompleksitas dalam keterampilan-
keterampilan intelektual menurut Gagne.
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 100
Pemecahan Masalah
Aturan-aturan Tingkat Tinggi
Aturan-aturan dan Konsep-konsep Tingkat Terdefinisi
Konsep-Konsep Konkrit
Diskriminasi-Diskriminasi
melibatkan pembentukan
yang membutuhkan sebagai prasayarat-prasayarat
yang membutuhkan sebagai prasayarat-prasayarat
yang membutuhkan sebagai prasayarat-prasayarat
Tingkat-tingkat kompleksitas dalam keterampilan-keterampilan Intelektual
Gagne (dalam R.W.Dahar, 1988)
5. Strategi-strategi kognitif
Strategi kognitif merupakan suatu proses kontrol, yaitu suatu proses internal yang
digunakan orang (pembelajar) untuk memilih dan mengubah cara-cara memberikan
perhatian, belajar, mengingat dan berpikir. Strategi-strategi ini selanjutnya dapat
dijabarkan oleh Weinstein dan Mayer, sebagai beriku.
a. Strategi-strategi menghafal (Rehearsal strategies)
b. Strategi-strategi elaborasi (Elaboration strategies)
c. Strategi-strategi pengaturan (Organizing trategies)
d. Strategis-strategi metakognitif
e. Strategi-strategi afektif
Menunjukkan penampilan-penampilan yang kompleks dalam suatu situasi baru,
dimana diberikan sedikit bimbingan dalam memilih dan menerapkan aturan-aturan dan
konsep-konsep yang telah dipelajari sebelumnya.
a. Keterampilan afektif
Sikap merupakan pembawaan yang dapat dipelajari, dan dapat mempengaruhi
perilaku seseorang terhadap benda-benda, kejadian-kejadian atau makhluk-makhluk
hidup lainnya.
Perilaku yang ditunjukkan siswa mencerminkan pilihan tindakan terhadap suatu
kegiatan pembelajaran.
b. Informasi verbal
Infromasi-informasi verbal diperoleh sebagai hasil belajar di sekolah, kata-kata yang
diucapkan orang, dari membaca, dari berita radio, televisi dan media lainnya.
c. Keterampilan-keterampilan motorik
Keterampilan-keterampilan motorik tidak hanya mencakup kegiatan-kegitan fisik,
melainkan juga kegiatan-kegiatan motorik yang digabung dengan keterampilan
intelektual.
6. Implikasi dalam matematika
Implikasi teori tingkah laku yang dikembangkan Gagne dalam matematika sebagai
berikut:
a. Bahan pengajaran hendaknya dipecah menjadi bagian-bagian kecil,
kemudian diurutkan, untuk memudahkan siswa mengaitkan pengetahuan yang baru
dengan yang lama. Misalnya: membuat grafik fungsi kuadrat, bagian-bagiannya
adalah pengertian persamaan kuadrat, pembuat nol fungsi persamaan sumbu simetri
parabola, koordinat titik puncak.
b. Setiap saat hendak memulai pelajaran, guru hendaknya mengecek
kesiapan siswa untuk mempelajari bahan baru, dengan mengajukan pertanyaan yang
berhubungan dengan pengetahuan prasyarat yang harus dimiliki siswa.
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 101
c. Ganjaran maupun pengetahuan dapat digunakan untuk memotivasi siswa
belajar matematika jika rasa ingin tahu untuk belajar matematika belum muncul.
Misalnya: guru dapat memberikan pujian pada jawaban siswa yang benar, tidak
menolak begitu saja pendapat siswa yang menjawab salah, memberi nilai 100 atau
tanda benar untuk jawaban yang benar.
d. Jika seorang siswa melakukan kesalahan, dan kesalahan itu
dipraktekannya berulang-ulang, hal itu akan menjadi kebiasaan baginya dan sukar
untuk diperbaiki. Untuk menghindari hal tersebut, guru matematika SMA hendaknya
memperbaiki kesalahan siswanya sendiri sedini mungkin. Itulah sebabnya, guru
disarankan untuk berkeliling dan mengamati pekerjaan siswa agar memperbaiki
kesalahan sedini mungkin.
e. Untuk memantapkan dan melatih pengetahuan siswa, maka kepada siswa
perlu diberikan tugas, baik untuk dikerjakan di sekolah maupun untuk di rumah.
7. Contoh aplikasi dalam pengajaran matematika
Berikut adalah ilustrasi sembilan langkah pengajaran secara objektif, penemuan
pada segitiga samasisi :
a. Fase motivasi, (Gain attention)– tunjukkan jenis-jenis segitiga melalui media yang
dapat menarik perhatian siswa (melalui slide, gambar, dan sebagainya).
b. Fase pengenalan. (Identify objective) – memberi pertanyaan disertai gerakan
tubuh: "Apa yang dimaksud dengan segitiga sama sisi?" .
c. Fase perolehan (Recall prior learning) – meninjau definisi-definisi tentang segitiga.
d. Fase retensi, (Present stimulus) – memberikan definisi tentang segitiga samasisi
e. Fase pemanggilan (Guide learning)- menunjukkan contoh bagaimana membuat
samasisi
f. Fase generalisasi (Elicit per formance) – meminta siswa untuk membuat 5 contoh
segitiga yang berbeda.
g. Fase penampilan (Provide feedback) – periksa semua contoh apakah benar atau
salah
h. Fase umpan balik (Assess performance)- memberi skor dan remidiasi.
i. Fase generalisasi (Enhance retention/ transfer) – menunjukkan gambar objek
yang berbeda-beda dan meminta siswa untuk identifikasi samasisi atau bukan
samasisi.
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 102
BAB VIIITEORI PSIKOLOGI BELAJAR KOGNITIF
JEROME SEYMOUR BRUNER (1 OKTOBER 1915 - )
A. Pendahuluan
RIWAYAT HIDUP
Nama : Jerome Seymour Bruner
TTL : New York/ 1 Oktober 1915
Pendidikan :
- S1 di Universitas Duke (1937).
- S2 di Universitas Harvard USA (1939).
- S3 di Universitas Harvard USA (1941).
Disertasinya berjudul “A Psychological Analysis of International Radio Broadcasts of
Belligerent Nations” (Analisis Psikologi pada Siaran Radio Internasional Negara-
Negara Perperangan)
Pekerjaan :
1. Tahun 1945 – 1972 di Universitas Harvard.
Pada tahun 1952 memberi kuliah kepada para profesor. Tahun 1960 – 1972, sebagai
fasilitator pada pusat studi kognitif. Beliau dipilih menjadi presiden Asiosiasi Psikologi
Amerika selama tahun 1964 – 1965.
2. Tahun 1945 – 1980 di Universitas Oxford.
Pada tahun 1972 melanjutkan perjalanan studinya ke kepulauan Atlantik dan
menjabat sebagai profesor kepala experimen psikologi.
3. Tahun 1991 – sampai sekarang di Fakultas Hukum Universitas New York.
Pada tahun 1991 – 1998 menjadi profesor peneliti di bidang psikologi. Pekerjaan
utamanya adalah mendirikan suatu lembaga resmi untuk menggunakan teori-
teorinya pada bidang antropologi, psikologi, kebahasaan, dan kesastraan.
Karier :
1. Tahun 1939 – 1945, sebagai konsultan di Universitas Harvard dan pusat studi
kognitif.
2. Tahun 1946 – 1950, mengembangkan teori psikologi Gestalt dan
mengembangkan pandangan baru di bidang psikologi.
3. Tahun 1950 – 1966, mengembangkan teori konstruktivisme, setelah Vygotsky,
Luria, dan Piaget.
4. Tahun 1967 – 1971, mengembangkan teori belajar bahasa pada anak-anak di
Universitas Oxford.
5. Tahun 1970, mengembangkan kemampuan komunikasi dan bahasa pada
anak-anak.
6. Awal tahun 1980, memusatkan pada budaya dan paham interaksi.
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 103
7. Akhir tahun 1980 – awal tahun 1990, sebagai naratif, autobiografi, dan
konstruksi di Universitas New York.
8. Akhir tahun 1990 – sekarang, berkecimpung di bidang hukum dan naratif.
Dari riwayat hidup tersebut, tampak bahwa Bruner merupakan ahli psikologi
perkembangan dan belajar kognitif. Pendekatannya tentang psikologi adalah eklektik
(memilih yang terbaik dari berbagai sumber). Penelitiannya meliputi persepsi manusia,
motivasi belajar dan berpikir. Dalam mempelajari manusia, ia menganggap manusia
sebagai pemroses, pemikir, dan pencipta informasi.
Buku “The Proses of Education” yang diterbitkan pada tahun 1960, merupakan
rangkuman dari hasil Konferensi Woods Hole yang diadakan dalam tahun 1959, yaitu
suatu konferensi yang membawa banyak pengaruh pada pendidikan pada umumnya dan
pengajaran sains pada khususnya.
Bruner tidak mengembangkan suatu teori belajar yang sistematis. Menurutnya
yang penting adalaha cara bagaimana orang memilih, mempertahankan, dan
mentransformasi informasi yang aktif. Proses tersebut menurutnya adalah inti dari
belajar. Oleh karena itu, ia memusatkan perhatian pada masalah apa yang dilakukan
manusia dengan informasi yang diterimanya, dan apa yang dilakukannya sesudah
memperoleh informasi yang diskrit itu untuk mencapai pemahaman yang memberikan
kemampuan padanya.
B. Teori-teori Bruner
1. Mengenai pendidikan
Bruner mengemukaan empat hal yang penting dalam pendidikan, yaitu:
a. Pentingnya struktur Pengetahuan.
Kurikulum hendaknya mementingkan struktur pengetahuan, karena struktur
pengetahuan yang dimiliki guru dapat membantu siswa untuk melihat bagaimana
fakta-fakta yang kelihatannya tidak ada hubungan, dapat dihubungkan satu dengan
lainnya dengan informasi yang telah dimiliki siswa.
b. Pentingnya kesiapan (readiness) dalam belajar.
Kesiapan terdiri atas penguasaan keterampilan-keterampilan sederhana, yang dapat
membantu seseorang untuk mencapai keterampilan-keterampilan yang lebih tinggi.
Misalnya, untuk belajar geometri Euclid, siswa diberikan kesempatan untuk
membangun konstruksi-konstruksi yang semakin kompleks dengan menggunakan
poligon-poligon.
c. Pentingnya menekankan nilai instuisi dalam proses pendidikan.
Dengan intuisi, teknik-teknik intelektual dapat sampai pada formulasi-formulasi
tentatif (masih dapat berubah-ubah) tanpa melalui langkah-langkah analitis untuk
mengetahui apakah formulasi-formulasi itu merupakan kesimpulan-kesimpulan yang
sahih atau tidak.
d. Pentingnya motivasi atau keinginan untuk belajar.
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 104
Guru sebaiknya menyediakan cara-cara untuk merangsang motivasi siswa.
Contohnya guru memberi kesempatan kepada siswa untuk berpartisipasi secara aktif
dalam menghadapi alamnya. Pengalaman belajar semacam ini merupakan contoh
pengalaman belajar penemuan yang intuitif.
2. Model dan kategori
Pendekatan Bruner dalam belajar didasarkan pada dua asumsi, yaitu:
a. Perolehan pengetahuan merupakan suatu proses interaktif.
Berlawanan dengan para penganut teori perilaku, Bruner yakin bahwa seseorang
yang belajar berinteraksi dengan lingkungannya secara aktif, maka perubahan tidak
hanya terjadi pada lingkungan, tetapi juga dalam orang itu sendiri.
b. Model alam (model of the wold), orang mengkonstruksi
pengetahuannya dengan menghubungkan informasi yang baru dengan informasi
yang diperoleh sebelumnya.
Dengan menghadapi berbagai aspek dari lingkungan, orang akan membentuk suatu
struktur atau model yang membolehkan untuk mengelompokkan hal-hal tertentu,
atau membangun suatu hubungan antara hal-hal yang telah diketahui. Dengan model
ini, orang dapat menyusun hipotesis untuk memasukkan pengetahuan baru ke dalam
struktur-strukturnya, dengan memperluas struktur-struktur itu atau dengan
mengembangkan struktur atau substruktur baru, dan untuk mengembangkan
harapan-harapan tentang apa yang akan terjadi.
Dalam belajar, hal-hal yang mempunyai kemiripan dihubungkan menjadi suatu
struktur yang memberikan arti pada hal-hal itu. Dalam berinteraksi dengan lingkungan,
orang mengembangkan model dalam (inner mode) atau sistem koding untuk menyajikan
alam sebagaimana yang diketahuinya. Orang dapat membayangkan struktur ini sebagai
suatu lemari besar yang di dalamnya terdapat banyak laci yang berisi map-map (file).
Manusia mempunyai kapasitas untuk mengisi lemari ini, dan menyimpan segala yang
dimasukkan ke dalamnya dalam waktu lama. Setiap laci ini mempunyai beberapa map,
dan setiap map mungkin dibagi lagi menjadi subbagian. Tetapi, jika hanya ini yang
terdapat dalam sistem penyimpanan itu, maka struktur itu merupakan hal yang steril.
Keadaan yang sebenarnya adalah dalam sistem yang besar ini, terdapat banyak
referensi-referensi silang (cross references) yang saling menghubungkan map-map itu
untuk membentuk satu seri hubungan-hubungan yang sangat kompleks.
Pendekatan Bruner dalam belajar dapat diuraikan sebagai suatu pendekatan
kategorisasi. Bruner beranggapan, bahwa semua interaksi-interaksi kita dengan alam
melibatkan kategori-kategori yang dibutuhkan bagi pemfungsian manusia. Tanpa
kategori, manusia harus mempunyai satu laci dalam lemari map untuk setiap objek,
benda, dan gagasan dalam pengalaman. Kategorisasi dapat menyederhanakan
kekompleksan dalam lingkungan manusia.
Dengan adanya sistem kategori, manusia dapat mengenal objek-objek baru. Hal ini
dikarenakan obiek-objek baru memiliki kemiripan dengan objek-objek yang telah ada
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 105
dalam sistem kode manusia. Manusia dapat mengklasifikasikan dan memberikan ciri-ciri
tertentu pada benda-benda atau gagasan-gagasan baru. Dalam kenyataannya, jika
seseorang dihadapkan pada suatu benda baru, dan tidak dapat mengkategorisasikannya
dengan cara-cara tertentu, ia tidak dapat menentukannya, dan tidak dapat
menempatkannya di dalam sistem penyimpanan.
Kategorisasi dapat membawa manusia ke tingkat yang lebih tinggi daripada
informasi yang diberikan. Manusia menentukan objek-objek dengan mengasosiakan
objek-objek itu dengan suatu kelas. Bila seseorang mengklasifikasikan suatu objek, maka
ia akan mempengaruhi objek itu dengan sekumpulan sifat-sifat, atribut-atribut kritis, dan
hubungan-hubungan. Manusia melakukan hal ini melalui inferensi, menemukan lebih
banyak daripada yang kita peroleh langsung dari objek itu.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa belajar merupakan pengembangan
kategori-kategori dan pengembangan suatu sistem pengkodean. Berbagai kategori-
kategori saling berkaitan sedemikian rupa, sehingga setiap individu mempunyai model
yang unik tentang alam. Dalam model ini, belajar baru dapat terjadi jika mengubah
model itu. Hal ini teriadi melalui pengubahan kategori-kategori, menghubungkan
kategori-kategori, atau dengan menambah kategori-kategori baru.
3. Belajar sebagai proses kognitif
Bruner mengemukakan, bahwa belajar melibatkan tiga proses yang berlangsung
hampir bersamaan, yaitu:
a. Memperoleh informasi baru.
Informasi baru dapat merupakan penghalusan dari informasi sebelumnya, atau
berlawanan dengan informasi sebelumnya yang dimiliki seseorang.
b. Transformasi informasi.
Transformasi berhubungan dengan cara seseorang memperlakukan pengetahuan,
apakah dengan cara ekstrapolasi, atau dengan mengubah menjadi bentuk lain.
c. Menguji relevansi dan ketepatan pengetahuan.
Relevansi dan ketetapan pengetahuan dapat diuji dengan menilai apakah cara
memperlakukan pengetahuan itu sudah cocok dengan tugas yang ada.
Bruner menyebut pandangannya tentang belajar atau pertumbuhan kognitif
sebagai konseptualisme instrumental. Pandangan ini berpusat pada dua prinsip, yaitu:
a. Pengetahuan seseorang tentang alam didasarkan pada model-model tentang
kenyataan yang dibangunnya.
b. Model-model tersebut mula-mula diadopsi dari kebudayaan seseorang,
kemudian diadaptasikan pada kegunaan bagi orang bersangkutan.
Persepsi seseorang tentang suatu peristiwa merupakan suatu proses konstruktif.
Dalam menyusun hipotesis, seseorang menghubungkan data inderanya pada model
yang telah disusunnya tentang alam, lalu menguji hipotesisnya terhadap sifat-sifat
tambahan dari peristiwa itu. Jadi, seorang pengamat tidak dipandang sebagai organisme
reaktif yang pasif, tetapi sebagai seseorang yang memilih informasi secara aktif, dan
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 106
membentuk hipotesis perseptual.
Pendewasaan pertumbuhan intelektual atau kognitif seseorang, yaitu:
a. Pertumbuhan intelektual ditunjukkan oleh bertambahnya
ketidaktergantungan respons dari sifat stimulus.
Dalam pertumbuhan intelektual, seorang anak terlihat mempertahankan suatu
respons dalam lingkungan stimulus yang berubah-ubah, atau belajar mengubah
responsnya dalam lingkungan stimulus yang tidak berubah. Jadi, melalui
pertumbuhan, seseorang memperoleh kebebasan dari pengontrolan stimulus melalui
proses-proses perantara yang mengubah stimulus sebelum respons.
b. Pertumbuhan intelektual tergantung pada bagaimana seseorang
menginternalisasi peristiwa-peristiwa menjadi suatu sistem simpanan (storage
system) yang sesuai dengan lingkungan.
Sistem inilah yang memungkinkan peningkatan kemampuan anak untuk bertindak di
atas informasi yang diperoleh pada suatu kesempatan. Ia melakukan dengan
membuat ramalan-ramalan, dan ekstrapolasi-ekstrapolasi dari model alam yang
disimpannya.
c. Pertumbuhan intelektual menyangkut peningkatan kemampuan seseorang
untuk berkata pada dirinya sendiri atau pada orang lain, dengan pertolongan kata-
kata dan simbol-simbol, mengenai apa yang telah dilakukannya atau akan
dilakukannya.
Kesadaran diri dapat mendorong suatu transisi dari perilaku keteraturan ke perilaku
logika. Ini merupakan suatu proses yang membawa manusia melampaui adaptasi
empiris.
Hampir semua orang dewasa menggunakan tiga sistem keterampilan untuk
menyatakan kemampuan-kemampuannya secara sempurna. Ketiga sistem keterampilan
tersebut adalah tiga cara penyajian (modes of prsentation), yaitu:
a. Enaktif
Cara penyajian enaktif ialah melalui tindakan, sehingga bersifat manipilatif. Dengan
cara ini seseorang mengetahui suatu aspek dari kenyataan tanpa menggunakan
pikiran atau kata-kata. Jadi, cara ini terdiri atas penyajian kejadian-kejadian yang
lampau melalui respons-respons motorik. Dengan cara ini dilakukan satu set
kegiatan-kegiatan untuk mencapai hasil tertentu.
b. Ikonik
Cara penyajian ikonik didasarkan atas pikiran internal. Pengetahuan disajikan melalui
sekumpulan gambar-gambar yang mewakili suatu konsep, tetapi tidak
mendefinisikan konsep secara keseluruhan. Penyajian ikonik terutama dikendalikan
oleh prinsip-prinsip organisasi perseptual dan oleh transformasi-transformasi secara
ekonomis dalam organisasi perseptual. Penyajian ikonik tertinggi pada umumnya
dijumpai pada anak usia 5 – 7 tahun, yaitu periode waktu anak sangat tergantung
pada penginderaannya sendiri
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 107
c. Simbolik
Mendekati masa adolesensi, bahasa menjadi makin penting sebagai suatu media
berpikir. Seseorang mencapai suatu transisi dari penggunaan penyajian ikonik yang
didasarkan pada penginderaan ke penggunaan penyajian simbolik yang didasarkan
pada system berpikir abstrak, arbitrer, dan lebih fleksibel. Penyajian simbolik
menggunakan kata-kata atau bahasa. Penyajian ini lebih memperhatikan proposisi
atau pernyataan daripada objek-objek; memberikan struktur hiarkis pada konsep-
konsep, dan memperhatikan kemungkinan-kemungkinan alternatif dalam suatu cara
kombinatorial.
4. Belajar penemuan (discovery learning)
Belajar penemuan merupakan pencarian pengetahuan secara aktif sehingga
memberikan hasil yang paling baik. Berusaha sendiri untuk mencari pemecahan masalah
serta pengetahuan yang menyertainya, menghasilkan pengetahuan yang benar-benar
bermakna. Bruner menyarankan siswa hendaknya belajar konsep dan prinsip, serta
dianjurkan untuk memperoleh pengalaman dan melakukan eksperimen-eksperimen
untuk menemukan prinsip-prinsip itu sendiri.
Pengetahuan yang diperoleh dengan belajar penemuan menunjukkan beberapa
keunggulan. Pertama, pengetahuan tersebut lama dapat diingat atau lebih mudah
diingat, bila dibandingkan dengan pengetahuan yang dipelajari dengan cara-cara lain.
Kedua, hasil belajar penemuan mempunyai efek transfer yang lebih baik daripada hasil
belajar lainnya. Dengan kata lain, konsep-konsep dan prinsip-prinsip yang telah dimiliki
seseorang lebih mudah diterapkan pada situasi-situasi baru. Ketiga, secara menyeluruh
belajar penemuan dapat meningkatkan penalaran siswa dan kemampuan untuk berpikir
secara bebas. Selain itu, pendekatan ini dapat melatih keterampilan-keterampilan
kognitif siswa untuk menemukan dan memecahkan masalah tanpa pertolongan orang
lain, dan meminta siswa untuk menganalisis dan memanipulasi informasi sehingga siswa
tidak hanya menerima saja. Selanjutnya dikemukakan, bahwa belajar penemuan
membangkitkan keingintahuan siswa, memberi motivasi untuk bekerja terus sampai
menemukan jawaban.
Belajar penemuan yang murni memerlukan waktu yang lebih banyak. Oleh karena
itu dalam bukunya “The Relevance of Education” (1971), Bruner menyarankan agar
penggunaan belajar penemuan ini hanya diterapkan sampai batas-batas tertentu, yaitu
dengan mengarahkannya pada struktur bidang studi.
Struktur suatu bidang studi terutama diberikan oleh konsep-konsep dasar dan
prinsip-prinsip dari bidang studi itu. Bila seorang siswa telah menguasai struktur dasar,
maka tidak sulit baginya untuk mempelajari bahan pelajaran lain dalam bidang studi
yang sama, dan ia akan lebih mudah ingat akan bahan baru itu. Hal ini disebabkan
karena ia telah memperoleh kerangka pengetahuan yang bermakna, yang dapat
digunakannya untuk melihat hubungan-hubungan yang esensial dalam bidang studi itu,
dan dengan demikian dapat memahami hal-hal yang mendetail.
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 108
Menurut Bruner, mengerti struktur suatu bidang studi ialah memahami bidang studi
tersebut sedemikian rupa sehingga dapat menghubungkan hal-hal lain pada struktur itu
secara bermakna. Secara singkat dapat dikatakan bahwa mempelajari struktur adalah
mempelajari bagaimana hal-hal dihubungkan.
C. Teori Pengajaran Bruner
Suatu teori pengajaran hendaknya meliputi:
1. Pengalaman-pengalaman optimal bagi siswa untuk dapat belajar
Kondisi untuk aktivasi ialah adanya suatu tingkat ketidaktentuan yang optimal.
Keingintahuan merupakan suatu respons terhadap ketidaktentuan dan kesangsian.
Suatu tugas yang begitu terperinci menghendaki sedikit penyelidikan; tugas yang begitu
tidak tentu dapat menimbulkan kebingungan dan kecemasan, dengan akibat
mengurangi penyelidikan.
Setelah penyelidikan teraktifkan, situasi itu dipelihara dengan membuat resiko
seminim mungkin dalam penyelidikan itu. Belajar dengan pertolongan guru seharusnya
kurang mengambil resiko dibandingkan dengan belajar sendiri. Ini berarti, bahwa akibat
membuat kesalahan, menyelidiki alternatif-alternatif yang salah, hendaknya tidak
banyak terjadi di bavvah bimbingan guru, dan hasil dari penyelidikan alternatif-alternatif
yang benar dengan sendirinya besar.
Arah penyelidikan tergantung pada dua hal yang saling berkaitan, yaitu tujuan dari
tugas yang diberikan sampai batas-batas tertentu harus diketahui, dan sampai berapa
jauh tujuan itu telah tercapai pun harus diketahui.
2. Penstrukturan pengetahuan untuk pemahaman optimal
Struktur suatu domain pengetahuan mempunyai tiga ciri, dan setiap ciri
mempengaruhi kemampuan siswa untuk menguasainya. Ketiga ciri itu adalah cara
penyajian, ekonomi, dan kuasa (power). Cara penyajian, ekonomi, dan kuasa, berbeda
bila dihubungkan dengan usia, “gaya” para siswa, dan macam bidang studi. Cara
penyajian yaitu enaktif, ikonik, dan simbolik telah dijelaskan sebelumnya.
Ekonomi dalam penyajian pengetahuan dihubungkan dengan sejumlah informasi
yang dapat disimpan dalam pikiran, dan diproses untuk mencapai pemahaman. Semakin
banyak jumlah informasi yang harus dipelajari siswa untuk. memahami sesuatu atau
untuk menangani suatu masalah, maka semakin banyak langkah-langkah yang harus
ditempuh dalam memproses informasi untuk mencapai suatu kesimpulan, dan makin
kurang ekonomi. Ekonomi dapat berubah dengan cara penyajian. Ekonomi semakin
meningkat dengan menggunakan diagram atau gambar. Kuasa dari suatu penyajian
dapat juga diterangkan sebagai kemampuan penyajian itu untuk menghubungkan hal-hal
yang kelihatannya sangat terpisah-pisah.
3. Perincian urutan-urutan penyajian materi pelajaran secara
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 109
optimal
Dalam mengajar, siswa dibimbing melalui urutan pernyataan-pernyataan dari
suatu masalah atau sekumpulan pengetahuan untuk meningkatkan kemampuan siswa
dalam menerima, mengubah, dan mentransfer apa yang telah dipelajarinya. Jadi, urutan
materi pelajaran dalam suatu domain pengetahuan mempengaruhi kesulitan yang
dihadapi siswa dalam mencapai penguasaan.
Biasanya ada berbagai urutan yang setara dalam kemudahan dan kesulitan siswa.
Tidak ada satu urutan khas bagi semua siswa dan urutan yang optimal tergantung pada
berbagai factor. Misalny belajar sebelumnya, tingkat perkembangan anak, sifat materi
pelajaran dan perbedaan individu.
Dikemukakan oleh Bruner, bahwa perkembangan intelektual bergerak dari
penyajian enaktif ke penyajian simbolik. Karena itu urutan optimum materi pelajaran
juga mengikuti arah yang sama.
4. Bentuk dan pemberian reinforcement
Dalam teorinya, Bruner mengemukakan bahwa bentuk hadiah atau pujian dan
hukuman harus dipikirkan. Demikian pula bila pujian atau hukuman itu diberikan selama
proses belajar mengajar. Secara intuitif, jelas bahwa selama proses pembelajaran
berlangsung, hadiah ekstrinsik bergeser ke hadiah intrinsik. Sebagai hadiah ekstrinsik
misalnya, berupa pujian dari guru, sedangkan hadiah intrinsik timbul karena berhasil
memecahkan masalah. Demikian pula ada kalanya hadiah yang diberikan secara
langsung, harus diganti dengan hadiah yang pemberiannya harus ditunda atau
ditangguhkan. Perlu diperhatikan ketepatan waktu pergeseran dari hadiah ekstrinsik ke
hadiah intrinsik, dari hadiah intrinsik ke hadiah ekstrinsik, dan dari hadiah langsung ke
hadiah yang ditangguhkan.
D. Implikasi dalam Pembelajaran Matematika
Bruner dalam teorinya menyatakan bahwa belajar matematika akan lebih berhasil
jika proses pengajaran diarahkan kepada konsep-konsep dan struktur-struktur yang
terbuat dalam pokok bahasan yang diajarkan, di samping hubungan yang terkait antara
konsep-konsep dan struktur-struktur. Dengan mengenal konsep dan struktur yang
tercakup dalam bahan yang sedang dibicarakan, anak akan memahami materi yang
harus dikuasainya itu. Ini rnenunjukkan bahwa materi yang mempunyai suatu pola atau
struktur tertentu akan lebih mudah dipahami dan diingat.
Melalui teorinya, Bruner mengungkapkan bahwa dalam proses belajar anak
sebaiknya diberi kesempatan untuk memanipulasi benda-benda (alat peraga). Melalui
alat peraga, anak akan melihat langsung bagairnana keteraturan dan pola struktur yang
terdapat dalam benda yang sedang diperhatikannya itu. Keteraturan tersebut kemudian
oleh anak dihubungkan dengan intuitif yang telah lekat pada dirinya. Bruner sangat
menyarankan keaktifan siswa dalam proses belajar secara penuh. Lebih disukai lagi bila
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 110
proses ini berlangsung di tempat yang khusus, yang dilengkapi dengan objek-objek
untuk dimanipulasi siswa, misalnya laboratorium.
Bruner mengemukakan bahwa dalam proses belajar, anak melewati 3 tahap, yaitu:
a. Tahap Enaktif
Suatu tahap pembelajaran di mana materi matematika yang bersifat abstrak
dipelajari siswa dengan menggunakan benda-benda konkret. Dengan demikian, topik
matematika yang bersifat abstrak ini direpresentasikan atau diwujudkan dalam
bentuk benda-benda nyata. Dalam tahap ini anak secara langsung terlihat dalam
memanipulasi (mengotak-atik) objek.
b. Tahap Ikonik
Suatu tahap pembelajaran di mana materi matematika yang bersifat abstrak
dipelajari siswa dengan menggunakan ikon, gambar, atau diagram yang
menggambarkan kegiatan nyata dengan benda-benda konkret pada tahap enaktif.
Dalam tahap ini kegiatan yang dilakukan anak berhubungan dengan mental, yang
merupakan gambaran dari objek-objek yang dimanipulasinya. Anak tidak langsung
memanipulasi objek seperti yang dilakukan siswa dalam tahap enaktif. Misalnya,
sebuah segitiga menyatakan konsep kesegitigaan. Dengan demikian, topik
matematika yang bersifat abstrak ini telah direpresentasikan atau diwujudkan
dalam bentuk benda-benda nyata yang dapat diamati siswa, lalu direpresentasikan
atau diwujudkan dalam gambar atau diagram yang bersifat semi-konkret.
c. Tahap Simbolik
Suatu tahap pembelajaran di mana materi matematika yang bersifat abstrak
dipelajari siswa dengan menggunakan simbol-simbol. Dalam tahap ini anak
memanipulasi simbol-simbol atau lambang-lambang objek tertentu. Anak tidak lagi
terikat dengan objek-objek pada tahap sebelumnya. Siswa pada tahap ini sudah
mampu menggunakan notasi tanpa ketergantungan terhadap objek riil.
Dari uraian tahapan dalam proses pembelajaran matematika di atas dapat
disimpulkan bahwa proses pembelajaran matematika yang bersifat abstrak ini telah
diturunkan kadar keabstrakannya dengan direpresentasikan atau diwujudkan dalam
bentuk benda-benda nyata yang dapat diamati siswa, lalu direpresentasikan atau
diwujudkan dalam ikon (seperti ikon komputer) gambar atau diagaram yang bersifat
semi-konkret sebelum digunakannnya simbol-simbol yang bersifat abstrak.
Dalil cara belajar dan mengajar matematika, terdiri dari:
1. Dalil penyusunan/ konstruksi (construction theorem)
Dalil ini menyatakan bahwa jika siswa ingin mempunyai kemampuan dalam hal
menguasai konsep, teorema, definisi dan semacamnya, siswa harus dilatih untuk
melakukan penyusunan representasinya. Untuk melekatkan ide atau definisi tertentu
dalam pikiran, siswa harus menguasai konsep dengan mencoba dan melakukannya
sendiri. Dengan demikian, jika siswa aktif dan terlibat dalam kegiatan mempelajari
konsep yang dilakukan dengan jalan memperlihatkan representasi konsep tersebut,
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 111
maka siswa akan lebih memahami konsep tersebut. Apabila dalam proses perumusan
dan penyusunan ide-ide tersebut siswa disertai dengan bantuan benda-benda
konkret, maka mereka akan lebih mudah mengingat ide-ide yang dipelajari itu. Siswa
akan lebih mudah menerapkan ide dalam situasi riil secara tepat. Dalam tahap ini
siswa memperoleh penguatan yang diakibatkan interaksinya dengan benda-benda
konkret yang dimanipulasinya. Memori seperti ini bukan sebagai akibat penguatan.
Dapat disimpulkan bahwa pada hakikatnya, dalam tahap awal pemahaman konsep
diperlukan aktivitas-aktivitas konkret yang mengantar siswa kepada pengertian
konsep.
Siswa yang mempelajari konsep perkalian yang didasarkan pada prinsip
penjumlahan berulang, maka ia akan lebih memahami konsep tersebut. Terlebih lagi
jika siswa tersebut mencoba sendiri menggunakan garis bilangan untuk
memperlihatkan proses perkalian tersebut. Sebagai contoh untuk memperlihatkan
perkalian 3 x 5, berarti garis bilangan meloncat 3x dengan loncatan sejauh 5 satuan,
hasil loncatan tersebut diperiksa, ternyata hasilnya 15. Dengan mengulangi hasil
percobaan seperti ini siswa akan benar-benar memahami dengan pengertian yang
dalam, bahwa perkalian dasarnya merupakan penjumlahan berulang. Contoh lain,
misalnya untuk mamahami himpunan kosong, siswa dapat merepresentasikan
himpunan kosong dengan rumah kosong, buku kosong atau kantong kosong. Dengan
teori ini, ide matematika yang bersifat abstrak menjadi lebih konkret.
2. Dalil notasi (notation theorem)
Dalil notasi mengungkapkan bahwa dalam penyajian konsep, notasi memegang
peranan penting. Notasi yang digunakan dalam menyatakan sebuah konsep tertentu
harus disesuaikan dengan tahap perkembangan mental siswa. Ini berarti untuk
menyatakan sebuah rumus, notasi yang digunakan harus dapat dipahami oleh siswa,
tidak rumit dan mudah dimengerti.
Sebagai contoh, notasi untuk menyatakan fungsi f(x) = 3x – 2 menggunakan
notasi = (3 x ) – 2. Bagi siswa yang mempelajari konsep fungsi lebih lanjut,
diberikan notasi fungsi {(x,y)| y = 3x – 2, x, y R}. Contoh lain, misalnya sebelum
menggunakan notasi , sebaiknya guru memfasilitasi siswa dengan
menentukan atau mencari suatu bilangan yang jika menjadi pangkat dari 2 akan
menghasilkan 16. Dengan demikian = … adalah identik dengan 16 = .
Notasi yang diberikan tahap demi tahap ini sifatnya berurutan dari yang paling
sederhana sampai yang paling sulit. Penyajian seperti ini dalam matematika
merupakan pendekatan spiral. Dalam pendekatan spiral, setiap ide-ide matematika
disajikan secara sistematis dengan menggunakan notasi-notasi yang bertingkat.
Pada tahap awal notasi ini sederhana, diikuti dengan notasi berikutnya yang lebih
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 112
kompleks. Notasi yang terakhir, yang mungkin belum dikenal sebelumnya oleh
siswa, umumnya merupakan notasi yang akan banyak digunakan dan diperlukan
dalam pembangunan konsep matematika lanjutan.
3. Dalil kekontrasan dan keanekaragaman (contras and variation theorem)
Dalil ini menyatakan bahwa pengontrasan dan keanekaragaman sangat penting
dalam memahami konsep secara mendalam. Dalam kegiatan ini, diperlukan contoh-
contoh yang banyak, sehingga siswa mampu mengetahui karakteristik konsep
tersebut. Siswa perlu diberi contoh yang memenuhi rumusan atau teorema yang
diberikan. Selain itu, mereka perlu juga diberi contoh-contoh yang tidak memenuhi
rumusan, sifat atau teorema, sehingga diharapkan siswa tidak mengalami salah
pengertian terhadap konsep yang sedang dipelajari.
Konsep yang diterangkan dengan contoh dan bukan contoh adalah salah satu
cara pengontrasan. Melalui cara ini, siswa akan mudah memahami karakteristik
konsep yang diberikan tersebut. Sebagai contoh, untuk menjelaskan pengertian
persegi panjang, siswa harus diberikan contoh bujur sangkar, belah ketupat, jajar
genjang dan segiempat lainnya selain persegi panjang. Dengan demikian siswa dapat
membedakan apakah segiempat yang diberikan padanya termasuk persegi panjang
atau bukan.
Keanekaragaman juga membantu siswa dalam memahami konsep yang
disajikan, karena dapat memberikan belajar bermakna bagi siswa. Misalnya, untuk
memperjelas pengertian bilangan prima, siswa perlu diberikan contoh yang banyak
dan beranekaragam. Siswa perlu diberikan contoh-contoh bilangan ganjil yang
termasuk bilangan prima dan yang bukan. Siswa harus diperlihatkan bahwa tidak
semua bilangan ganjil termasuk bilangan prima, sebab bilangan tersebut habis dibagi
oleh bilangan lain selain oleh bilangan itu sendiri dan oleh satu.
Untuk menjelaskan segitiga siku-siku, siswa perlu diberikan contoh yang
gambargambarnya tidak selalu tegak dengan sisi miringnya dalam kedudukan
miring, tapi perlu juga diberikan gambar dengan sisi miring dalam keadaan mendatar
atau membujur. Dengan cara ini, siswa terlatih dalam memeriksa apakah segitiga
yang diberikan kepadanya tergolong segitiga siku-siku atau bukan.
4. Dalil pengaitan/ konektivitas (connectivity theorem)
Dalil ini menyatakan bahwa dalam matematika antara satu konsep dengan
konsep lainnya terdapat hubungan yang erat, bukan saja dari segi isi, namun juga
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 113
dari segi rumus-rumus yang digunakan. Materi yang satu dapat menjadi prasyarat
bagi yang lainnya, atau suatu konsep tertentu diperlukan untuk menjelaskan konsep
lainnya. Misalnya konsep Dalil Pythagoras diperlukan untuk menentukan tripel
Pythagoras atau membuktian rumus kuadrat dalam trigonometri.
Guru perlu menjelaskan bagaimana hubungan antara sesuatu yang sedang
dijelaskan dengan objek atau rumus lain. Apakah hubungan itu dalam kesamaan
rumus yang digunakan, sama-sama dapat digunakan dalam bidang aplikasi atau
dalam hal-hal lainnya. Melalui cara ini, siswa akan mengetahui pentingnya konsep
yang sedang dipelajari dan memahami bagaimana kedudukan rumus atau ide yang
sedang dipelajarinya itu dalam matematika. Siswa perlu menyadari bagaimana
hubungan tersebut, karena antara materi dengan lainnya saling berkaitan.
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 114
BAB IXKECERDASAN INTUITIF DAN REFLEKTIF
Ada sebuah anekdot tentang seorang profesor matematika yang sangat terkenal.
Dia menceritakan pengalamannya, kemudian menulis sebuah pernyataan matematis di
papan yang berbunyi: “Tentu saja, ini nyata”. Dengan melihatnya lagi, dia mengatakan
“Setidak-tidaknya, saya berpikir bahwa ini nyata”. Keraguannya semakin bertambah,
kemudian dia berkata “Permisi”. Dia mengambil pensil dan kertas, kemudian keluar dari
ruang kelas sekitar 20 menit. Setelah kembali dia berkata “Ya, saudara-saudara, ini
adalah nyata”.
Secara psikologis, yang menjadi daya tarik dari cerita ini adalah tidak adanya
ketepatan dan kemantapan antara pernyataan pertama yang dapat dipercaya dengan
lamanya waktu yang dibutuhkan untuk berpikir. Setelah timbul keraguan, maka tidak
akan ada lagi kepercayaan terhadap profesor tersebut. Pada pernyataan pertama, dapat
diartikan “Secara intuisi kami dapat menerima kebenaran dari pernyataan itu”. Pada
pernyataan kedua, diartikan bahwa melalui analisis logika, penerimaan secara intuisi
pada pernyataan pertama dibenarkan.
Contoh lain yang serupa misalnya mengalikan 16 dengan 25. Maka akan timbul
pertanyaan. 1) Berapakah jawabannya? 2) Jelaskan bagaimana anda mengerjakannya!
Mungkin untuk menjawab pertanyaan pertama, kita dapat menjawab cepat, tetapi untuk
menjawab pertanyaan kedua, kita akan melibatkan proses mental dalam memperoleh
jawaban.
Contoh lainnya yaitu penggunaan kata “is” pada dua kalimat berikut ini. “What I am
writing with is chalk” dan “Chalk is white”. Maka akan timbul pertanyaan 1) Tepatkah
penggunaan kata “is”? 2) Apakah artinya sama? Pertanyaan pertama dapat segera
dijawab; tetapi untuk menjawab pertanyaan kedua kita harus memikirkan penggunaan
kata “is” dalam setiap kalimat.
Pada ketiga contoh di atas, terdapat perbedaan antara dua model fungsi
kecerdasan yaitu intuitif dan reflektif. Intuitif dapat diartikan berdasarkan bisikan hati
atau bersifat intuisi, yaitu daya atau kemampuan mengetahui atau memahami sesuatu
tanpa dipikirkan atau dipelajari. Reflektif dapat diartikan gerakan badan diluar kesadaran
atau kemauan atau bersifat refleks, yaitu gerakan otomatis dan tidak dirancang terhadap
rangsangan dari luar yang diberikan suatu organ atau bagian tubuh yang terkena.
Pada tingkat intuitif, kita menyadari bahwa melalui reseptor/ alat indera (terutama
penglihatan dan pendengaran), kita dapat mengetahui lingkungan luar. Hal ini
dikarenakan, secara otomatis data tersebut diklasifikasikan dan dihubungkan dengan
data serupa yang sudah ada. Dengan otot-otot yang dimiliki, kita dapat menggerakan
kerangka untuk berbuat pada lingkungan luar. Aktifitas ini banyak dikontrol dan
diarahkan oleh umban balik, selanjutnya informasi mengenai kemajuan dan hasilnya
dapat diketahui melalui reseptor luar. Dalam banyak kasus, hal tersebut dapat berhasil
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 115
tanpa adanya kesadaran. Misalnya, ketika membaca dengan suara keras,
mengemudikan mobil, atau menjawab pertanyaan 16 x 25.
Berikut ini skema kecerdasan intuitif.
Pada tingkat reflektif, aktifitas mental yang berintervensi itu menjadi obyek
kesadaran untuk introspeksi/ mawas diri. Seorang anak bertanya mengapa dalam
mengucapkan kata “accelerate” seperti “axelerate”, bukan “ackelerate”. Pada c yang
pertama diucapkan keras, karena diikuti dengan konsonan sedangkan c yang kedua
diucapkan lembut, karena diikuti e atau i. Kemudian perlu dijelaskan lebih lanjut
ketepatan pengucapan kata-kata lainnya. Seorang siswayang menumpang kendaraan
bertanya “Mengapa kita harus mengubah gigi (gear) sebelum melewati tikungan
tajam?”. Seolah-olah kita telah melakukan “tanpa berpikir” terlebih dahulu, dan kita tidak
akan kesulitan dalam menerangkan alasannya. Contoh lainnya, kita dapat menjawab 400
dengan cepat ketika diberikan pertanyaan 16 x 25.
Berikut ini skema kecerdasan reflektif.
Data-data yang diperlukan untuk menjawab seluruh pertanyaan, tidak datang dari
lingkungan, tetapi dari sistem konseptual kita sendiri. Perhatian kita arahkan pada
sumber data, sehingga dengan begitu mudah dan terbiasa kita mampu melakukan
aktifitas secara refleks. Dari situlah akan timbul kejutan. Kesadaran kita akan dunia luar
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 116
Campur tangan aktivitas mental
Reseptor Efektor
LINGKUNGAN LUAR
Campur tangan aktivitas mental
Reseptor Efektor
LINGKUNGAN LUAR
Reseptor
dapat diketahui melalui panca indera (misalnya mata, telinga, dan sebagainya) dan urat
syaraf. Tetapi tidak ada susunan syaraf yang dapat mengungkapkan sesuatu yang
ekuivalen dengan “melihat” bayangan atau “mendengar” ucapan batin kita. Kemampuan
refleks ini sangat kurang pada anak-anak. Berikut ini dua contoh karya Piaget:
1. Weng (7 tahun)Guru : “Sebuah meja panjangnya 4 meter, kemudian 3 meja disusun memanjang.
Berapa panjang meja sekarang?”Weng: “12 meter”Guru : “Bagaimana kamu menghitungnya?”Weng: “Saya menambahkan 2 dan 2 dan 2 dan 2 dan 2, dan 2”Guru : “Mengapa 2? Mengapa tidak mengambil bilangan lain?”
2. Gath (7 tahun)Guru: “Jika akan dibagikan 9 apel kepada 3 anak, maka berapa banyak apel yang
diterima setiap anak?”Gath: “Tiga buah”Guru: “Bagaimana kamu menghitungnya?”Gath: “Saya mencoba berpikir”Guru: “Apa?”Gath: “Saya mencoba berpikir di kepala”Guru: “Apa yang dipikirkan di kepalamu?” Gath: “Saya menghitung … Saya mencoba melihat bagaimana itu terjadi dan
akhirnya saya menemukan 3”
Dengan mengetahui kemampuan anak mengerjakan suatu hal, maka kita dapat
mengetahui bagaimana dia mengerjakan hal lain. Bagaimanapun juga tergantung dari
perbedaan individu, dan penulis baru-baru ini memperolah jawaban dari seorang anak
yang berusia 6 tahun 10 bulan (mengenai pertanyaan panjang meja) yaitu “12 kaki”.
“Dapatkah kamu menjelaskan bagaimana jawabanmu?”. “Baik saya berangkat dari 3, 6,
9, 12”. Untuk pertanyaan kedua (mengenai membagi apel) yaitu “Tiga”. “Bagaimana
kamu menemukannya?”. “3 dan 3 dan 3 menjadi 9”. Kemudian secara spontan “Cara
cepatnya yaitu 3 sebanyak 3 yaitu 9”
Setelah kita mampu memikirkan pada skema kita sendiri, langkah penting
selanjutnya dapat diambil, yaitu mengkomunikasikannya dan mempersiapkan skema
baru. Seseorang anak mungkin tidak dapat menyelesaikan 16 x 25 secara cepat, tetapi
setelah diberi petunjuk bahwa 16 x 25 dapat ditulis menjadi 4 x (4 x 25) = 4 x 100 maka
dimungkinkan dapat langsung menemukan jawabannya yaitu 400. Sehingga dengan cara
yang sama, diharapkan anak juga dapat menyelesaikan perkalian lain seperti 24 x 25
secara cepat, bahkan menyelesaikan 25 x 25. Jika seorang anak dapat menyelesaikan
semua itu, ini akan menunjukkan bahwa anak tersebut telah mencapai skema sederhana
dan tidak sekedar jawaban atas pertanyaan tertentu.
Kita dapat mengganti skema lama dengan yang baru. Sebagai gambaran, jika
pembaca pernah mencoba mendorong mobil dengan boat trailer atau caravan yang
digandengkan, maka dia dapat mengapresiasi contoh non matematis berikut: Penulis
menahan roda stir, sedangkan di sisi lain pembaca menginginkan trailer maju. Hal ini
tidak akan berhasil, oleh karena itu teman pengemudinya menyarankan pendekatan
alternatif yaitu jika pembaca hanya mendorongnya dengan tangan, maka akan
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 117
mengalami kesulitan menyetirnya. Kemudian bayangkan jika diri anda sendiri
mendorong mobil dengan menggunakan boat trailer yang digandengkan, maka mobil
tersebut juga akan maju dengan mudah. Substitusi skema ini ternyata sangat berhasil.
Kita dapat membenahi kesalahan dalam skema yang ada. Jika kita mengatakan
“Saya melihat kesalahan yang saya lakukan”. Ini berarti kita tidak hanya berpikir pada
metode yang kita gunakan, tetapi kita berusaha menemukan detail-detail khusus
didalamnya yang menyebabkan kegagalan, yang biasanya diikuti dengan perubahan
detail-detail itu. Tetapi yang belum diketahui adalah bagaimana kita mampu membuat
perubahan pada skema kita. Oleh karena itu, diperlukan penambahan skema seperti
bagan dibawah ini.
Berikut ini contoh yang melibatkan aktifitas reflektif. Seseorang ingin mengetahui
bagaimana mengalikan dua pecahan desimal, misalnya 1,2 dan 0,57. Maka kita dapat
menerangkan bahwa titik desimal dapat dihilangkan terlebih dahulu, kemudian
mengalikan 12 dan 57 dengan cara biasa, dan langkah terakhir menyisipkan kembali titik
desimal dengan cara menghitung total banyaknya angka dibelakang titik desimal dari
dua angka tersebut. Aturan ini memungkinkan anak mendapatkan jawaban benar, tetapi
siswa tidak mengetahui pengertian notasi desimal. Untuk menjelaskan notasi desimal,
kita dapat menulis kembali pecahan desimal tersebut ke dalam pecahan biasa, sebagai
berikut:
0,6841000
684
100
57
10
120,571,2
Pada penyebut terdapat angka 10 dan 100. Banyaknya 0 pada penyebut itu =
banyaknya angka di belakang titik desimal. Perkalian penyebut setara dengan
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 118
Campur tangan aktivitas mental
Reseptor Efektor
LINGKUNGAN LUAR
Campur tangan aktivitas mental
Reseptor Efektor
penambahan banyaknya 0 dan juga setara dengan penambahan banyaknya tempat
desimal.
Setelah menyelesaikan perkalian tersebut, kita dapat melangkah ke bagian
selanjutnya, tanpa disadari kita telah menggunakan metode komunikasi, kemudian kita
dapat memutuskan metode yang lebih baik. Sehingga kita akan dapat
mengkomunikasikan skema perkalian desimal.
Jenis aktifitas reflektif yang jangkauannya lebih jauh adalah aktivitas yang
mengarah pada generalisasi matematis. Dalam perkalian pangkat, kita dapat melalukan
secara langsung maupun melalui berberapa tahapan. Contohnya sebagai berikut:
aaaaa
aaaa
aaaa
bilangan)suatu (dimana
4
3
2
nampak bahwa:
) ( ) ( 5
32
a
aaaaaaa
Secara intiuitif, kita akan mempunyai skema untuk menyelesaikan perkalian
bilangan berpangkat secara langsung. Contohnya 1275 aaa .
Dengan menggunakan metode perkalian pecahan, maka kita dapat menyusun
skema untuk menyelesaikan pembagian bilangan berpangkat, seperti contoh berikut.
235 aaa
aaa
aaaaaaa
Secara intiuitif, kita akan mempunyai skema untuk menyelesaikan pembagian
bilangan berpangkat secara langsung. Contohnya 9615 aaa .
Dari dua skema diatas, kita dapat membentuk rumus umum sebagai berikut:
nmnm
nmnm
aaa
aaa
, dimana m dan n adalah bilangan asli dan m > n.
Aturan di atas dibatasi untuk m dan n adalah bilangan asli dan m > n, sehingga
aturan tersebut hanya dapat berlaku untuk a, a2, a3, …. dan tidak berlaku untuk a0, a– 2 ,
2
1
a . Sehingga batasan m dan n adalah bilangan asli harus dihilangkan.
a0 dapat dinotasikan 1, a– 2 dapat dinotasikan 2
1
a , 2
1
a dapat dinotasikan a
Berikut ini tahapan proses pengembangan metode:
1. Dari contoh-contoh disusun suatu metode.
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 119
METODE
Contoh
Contoh
Contoh
2. Kemudian metode tersebut diaplikasikan ke beberapa contoh lain.
3. Metode dirumuskan secara eksplisit dengan mempertimbangkan sesuatu yang
ada di dalamnya dan menganalisis struktur.
4. Metode tersebut diterapkan pada contoh-contoh baru
Proses generalisasi matematis merupakan aktifitas yang rumit dan tangguh. Rumit
karena melibatkan pemikiran pada bentuk metode di dalamnya. Sedangkan tangguh
karena membutuhkan kesadaran yang tinggi, perlu pengendali dan harus akurat. Akurat
yang dimaksud, tidak hanya pada jawaban tetapi pada langkah-langkahnya. Selanjutnya,
kita menciptakan contoh-contoh baru yang sesuai dengan konsep tersebut.
Masalah yang dihadapi dalam generalisasi matematis adalah bilangan. Bilangan
yang dikenal anak terlebih dahulu adalah bilangan asli. Mereka dapat mengetahui
banyak benda dengan cara membilang benda tersebut menggunakan bilangan asli.
Kemudian mereka mencoba melakukan penjumlahan dan pengurangan, perkalian dan
pembagian. Kemudian anak mulai mengenal bilangan pecahan, bilangan negatif, dan
aturan-aturan untuk menjumlah, mengurangi, mengalikan dan membagi bilangan-
bilangan tersebut. Guru harus dapat memberi penjelasan mengenai aturan-aturan dalam
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 120
METODE
Contoh
Contoh
Contoh
Contoh Contoh
METODE
Contoh
Contoh
Contoh
Contoh
Contoh
METODE
Contoh-
contoh
rutin
Contoh-
contoh
baru
operasi bilangan. Dari penjelasan tersebut diharapkan siswa paham dan yakin bahwa
matematika tidak membosankan dan mempunyai arti bagi kehidupan sehari-hari.
Bagaimana tahapan operasi pada bilangan pecahan, bilangan bulat, bilangan
rasional dan sebagainya? Jawaban yang detail ditunjukkan pada bab 10 dan 11, tetapi
pada bab ini akan diberikan sedikit gambaran. Secara ringkas, akan dijelaskan sifat
bilangan asli. Pada sistem bilangan asli, apabila kita melakukan penjumlahan dan
perkalian maka hasilnya juga merupakan bilangan asli. Misalnya diambil dua bilangan
yaitu 12 dan 9, maka 12 + 9 = 21 dan 12 × 9 = 108, sehingga 21 dan 108 juga
merupakan bilangan asli. Selain itu, 12 + 9 = 9 + 12 dan 12 × 9 = 9 × 12.
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 121
Berikut ini sifat-sifat operasi bilangan asli.
cabacba
cbacba
cbacba
abba
abba
)(
)()(
)()(
dimana a, b, c suatu bilangan asli.
Sifat-sifat operasi bilangan asli di atas menjadi dasar untuk bilangan lainnya.
Sistem bilangan asli mempunyai sifat tak terbatas. Himpunan bilangan asli dapat
dituliskan {1, 2, 3, …}. Dengan bantuan satuan yang telah ditentukan, kita selalu dapat
mengukur suatu benda. Tetapi suatu ketika dengan satuan yang ada, kita tidak dapat
mengukur benda kecil secara teliti. Oleh karena itu, bilangan baru perlu diperkenalkan.
Tetapi kita belum boleh menyebutnya sebagai bilangan, sebelum kita membuat
generalisasi pada skema “sistem bilangan”. Bilangan harus memenuhi dua persyaratan,
yaitu ketepatan dan kegunaan.
Ketepatan berarti bahwa kita harus menemukan cara “penjumlahan” dan
“perkalian” yang sesuai dengan lima sifat bilangan asli. Kegunaan berarti bahwa hasil
manipulasi harus menunjukkan sesuatu yang ingin kita ketahui dalam kaitannya dengan
obyek material. Walaupun ini tidak esensial tetapi sangat membantu jika tanda-tanda
untuk satuan baru ini dapat dikembangkan diluar tanda-tanda secara umum; dan untuk
penjumlahan dan perkalian kita dapat menggunakan metode penjumlahan dan perkalian
yang telah kita pelajari. Semua persyaratan ini jika dipenuhi memungkinkan asimilasi
sistem bilangan baru terhadap skema yang ada dan telah dipraktekkan dengan baik.
Seorang pembaca yang menyelidiki lebih lanjut akan banyak mempelajari dasar-
dasar pemikiran matematis. Hal yang sejalan dengan perkembangan bilangan bulat
positif dan negatif, bilangan rasional (sering disebut bilangan pecahan), dan bilangan riil
(termasuk bilangan irasional seperti , ). Disini lebih ditekankan pada proses daripada
hasil, dan khususnya aktifitas kesadaran pada skema menjadi bagian dari proses
generalisasi matematis, dan menjadi salah satu aktifitas kecerdasan reflektif yang paling
maju.
Fungsi kecerdasan reflektif sangat penting untuk kemajuan matematika ke tingkat
yang lebih tinggi, dan lebih penting lagi untuk mengetahui pada usia berapa mulai
muncul kecerdasan reflektif, dan bagaimana kita dapat membantu atau mempercepat
munculnya kecerdasan reflektif. Pertanyaan pertama dapat dijawab melalui penelitian
Inhelder dan Piaget yang menunjukkan bahwa anak akan mengembangkan kemampuan
untuk memikirkan pada isi (content) selama usia 7 – 11, dan memanipulasi ide-ide
konkret dengan berbagai cara, seperti melakukan aksi (dalam imajinasi). Tetapi mereka
menemukan bahwa subyeknya tidak dapat beralasan secara formal sampai masa
dewasa. Yang berkaitan erat dengan ini, mereka menyatakan bahwa anak-anak yang
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 122
lebih muda tidak dapat membantah hipotesis meskipun hipotesis ini bertolak belakang
dengan pengalaman mereka.
Dalam penelitian ini, subyek diambil secara acak di sekolah Swiss. Dapat dikatakan,
penelitian menunjukkan kemajuan perkembangan kecerdasan reflektif pada anak-anak,
dengan interaksi kemampuan bawaannya dengan pengalaman kebudayaan dan
pendidikan yang mereka dapati. Apa yang tidak kita ketahui saat ini adalah sejauhmana
tingkat perkembangan kecerdasan reflektif dapat membantu anak dalam belajar.
Sebagai pertimbangan, kebanyakan anak belajar menyanyi secara spontan. Seorang
anak laki-laki yang menjadi anggota koor King’s College, Cambridge, atau Magdalen
College, Oxford, awalnya mendengar orang lain menyanyi kemudian menirunya. Tetapi
pembelajaran ini banyak dipercepat sehingga banyak hal yang dicapai dalam waktu
singkat. Sekarang perkembangan kemampuan reflektif dan pemberian alasan formal
bukanlah subyek yang sengaja diajarkan. Hal ini dikarenakan tidak terlalu penting dan
kita tidak tahu bagaimana cara mengajarkannya, karena kita juga belum tahu
bagaimana hal itu dipelajari.
Hipotesis yang beralasan mengenai pendapat terakhir tersebut adalah adanya
situasi yang menghendaki siswa untuk merumuskan idenya secara eksplisit dan
menunjukkan mereka dapat berpikir secara logis dari ide lain dan ide-ide yang dapat
diterima secara umum. Dengan kata lain, saling pendapat dan diskusi adalah cara-cara
pembelajaran yang sangat bermanfaat bagi pengembangan kecerdasan reflektif.
Guru telah mencoba mengajarkan kecerdasan reflektif. Dalam mengajarkan suatu
topik, guru lebih menekankan pada klarifikasi pemikiran siswanya. Penelitian sederhana
juga mendukung pandangan ini. Siswa-siswa SLTP yang berusia sekitar 14 tahun
diajarkan beberapa topik yang berbeda oleh guru matematikanya. Masing-masing
diberikan sebuah tes mengenai topik yang telah diajarkan, kemudian siswa dibagi
menjadi dua kelompok yang sama berdasarkan hasil tes tersebut. Kelompok pertama
mengajarkan apa yang telah mereka pelajari mengenai bilangan kepada kelompok
kedua. Siswa yang beraksi sebagai tenaga pengajar berpikir bahwa siswanya akan dites
mengenai apa yang telah diajarkan oleh mereka. Sebenarnya, pada akhir penelitian
semua dites lagi atas topik yang telah mereka pelajari. Tujuannya adalah untuk
membandingkan efek pengajaran suatu topik pada orang lain, dan terus
mempraktekkannya sendiri. Hasilnya nampak sangat jelas bahwa kelompok siswa yang
menjadi tenaga pengajar mempunyai hasil tes akhir yang lebih baik.
Komunikasi muncul sebagai salah satu pengaruh yang menguntungkan pada
perkembangan kecerdasan reflektif. Salah satu faktor yang bersangkutan adalah
perlunya mengkaitkan ide dengan simbol-simbol (selengkapnya dibahas pada bab
berikutnya). Faktor lainnya adalah adanya interaksi ide-ide seseorang dengan ide-ide
orang lain, tetapi ide umum yang dihasilkan kurang egosentris, lebih bebas sesuai
pengalaman individu. Sebagaimana telah dikemukakan, arah dan tujuan diskusi pada
pembelajaran adalah menjelaskan ide-ide dalam pikiran seseorang, menyebutnya
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 123
dengan istilah-istilah yang tidak menimbulkan salah paham, menyatakan hubungannya
dengan ide-ide lain; memodifikasi kelemahan pihak lain, dan akhirnya mendapatkan
struktur yang lebih kuat dan lebih kohesif dibandingkan sebelumnya.
Pembahasan sebelumnya telah membawa implikasi bahwa seorang individu pada
tahap intuitif, mampu berpikir mengenai gabungan bentuk dan isi, dan mampu beralasan
formal. Secara umum, jika seorang anak berada pada tahap tertentu yang seharusnya
sedang mempelajari materi A, maka ia sudah mampu menguasai materi B. Sehingga
melalui tahapan-tahapan serupa dalam setiap materi baru, mereka harus lebih cepat
maju dibandingkan anak lain yang seumuran. Setiap orang hampir tidak dapat
diharapkan untuk memikirkan konsep-konsep yang belum dibentuk, walaupun sistem
reflektif seseorang dapat berkembang bagus. Sehingga tingkatan “intuitif sebelum
reflektif” sebagian bisa benar untuk materi baru pada bidang studi matematika.
Walaupun kita relatif kurang mengetahui mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi
pertumbuhan kecerdasan reflektif pada umumnya, tetapi satu hal dapat kita pastikan
adalah kecerdasan reflektif pasti muncul walaupun terlambat.
Siswa yang masih pada tahap intuitif, biasanya banyak tergantung pada cara
penyajian materi oleh guru. Jika konsep baru yang didapati sangat jauh dari skema yang
ada, mungkin dia tidak mampu mengasimilasikannya; khususnya karena tingkat
akomodasi yang mungkin pada tingkat intuitif lebih rendah daripada yang dicapai
dengan refleksi. Maka pada tahap-tahap awal, guru harus menganalisis konseptual siswa
secara cermat sebagai dasar merencanakan pembelajaran, sehingga siswa dapat
melakukan sintesa struktur-struktur dalam ingatannya sendiri. Itulah hal yang harus
diperhatikan, tidak peduli apakah pembelajaran terjadi langsung oleh guru, maupun
pembelajaran tidak langsung yaitu dari buku. Pembelajaran langsung oleh guru
mempunyai keuntungan yaitu pertanyaan dapat diajukan, penjelasan dapat diberikan;
dan bahkan keuntungan yang lebih besar bahwa guru yang sensitif dapat
mempersepsikan perkembangan skema tiap siswanya, dan mengajarkan materi yang
tepat sesuai dengan kondisi siswa. Pendekatan ini lebih fleksibel, disesuaikan dengan
penguasaaan siswa sehingga tidak harus tepat sesuai rencana yang telah disiapkan.
Kontribusi akhir dari guru adalah mengurangi ketergantungan siswa padanya.
Contohnya, ketika seorang anak sedang mengerjakan sebuah teka-teki (jigsaw puzzles)
untuk pertama kalinya, maka ibunya biasa memberi bagian-bagian yang dirasa cocok
dengan apa yang telah dia tempatkan bersama. Tetapi ketika tahap intuitif dan reflektif
telah dicapai, maka anak tidak akan suka jika dibantu dalam mengerjakan, sehingga
guru harus memberi kebebasan kepada siswanya. Setelah seorang siswa mampu
menganalisis materi baru untuk dirinya sendiri, maka dia dapat mencocokan pada
skemanya sendiri dengan cara-cara yang paling berarti bagi dirinya sendiri; dan mungkin
mempunyai cara yang sama dengan apa yang disajikan oleh guru.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa ada tiga hal yang harus dilakukan
oleh tenaga pengajar matematika, yaitu:
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 124
1. Guru harus menyesuaikan materi matematika sesuai dengan status perkembangan
skema matematis siswa.
2. Guru harus menyesuaikan cara penyajian materi sesuai dengan kemampuan berfikir
siswa.
3. Secara bertahap guru harus meningkatkan kemampuan analitiknya untuk mencerna
terlebih dahulu sebelum materi diberikan kepada siswa, ketika siswa berada pada
tahap dimana mereka tidak lagi tergantung pada guru.
BAB XPERMULAAN MATEMATIKA
Kebanyakan orang, jika ditanya apakah ide tentang awal metematika, mereka akan
menjawab “bilangan (angka)”, mungkin juga “hitungan”. Oleh karena itu, dalam uraian
berikut, kami akan menganalisis secara konseptual dua ide yang saling berkaitan erat.
A. Bilangan dan Berhitung
Bilangan dan berhitung tidak dapat dipisahkan. Ada kemungkinan seseorang
memunculkan ide dasar tentang suatu angka, tetapi tidak mempunyai kemampuan. Jean
Piaget dalam teorinya telah menunjukkan bahwa anak-anak dapat berhitung dengan
cara terbatas; tanpa benar-benar mempunyai konsep tentang angka. Tetapi jika dengan
berhitung seseorang dapat mengartikan sesuatu, misalnya “mengetahui banyaknya
buah apel dalam sebuah mangkuk”.
Dengan demikian jauh lebih jelas arti berhitung dalam kehidupan sehari-hari,
seperti cara menemukan sifat tertentu dari suatu kumpulan benda yang dapat kita sebut
sebagai angka. Hal ini menunjukkan bahwa angka dan berhitung merupakan dua hal
yang terkait erat hubungannya, dan dari kedua hal tersebut, angka merupakan hal yang
lebih mendasar.
Ketika nama bilangan hanya digunakan sebagai daftar kata yang serasi
menggunakan nama, misalnya: P.C.49, M & B 693, kata “bilangan” tidak dapat
digunakan dengan arti matematika yang mana di sini kita akan mencoba untuk
menganalisisnya.
B. Angka, Bilangan dan Nomor
Suatu angka digunakan untuk melambangkan suatu bilangan, suatu entitas
abstrak dalam ilmu matematika. Tetapi bagi orang-orang awam, angka dan bilangan
seringkali dianggap dua entitas yang sama. Mereka pun umumnya menganggap angka
dan bilangan sebagai bagian dari matematika.
Kita akui bahwa, bahasa Indonesia belum cukup baku sebagai alat komunikasi
dalam ilmu dan sains, sehingga belum ada konsesus resmi bahwa 'angka' dan 'bilangan'
melambangkan dua hal yang sangat berbeda. Demikian pula, kedua kata angka dan
bilangan masih sering dipertukarkan dengan kata nomor.
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 125
Kata nomor biasanya menunjuk satu atau lebih angka yang melambangkan sebuah
bilangan bulat dalam suatu barisan bilangan-bilangan bulat yg berurutan. Misalnya kata
'nomor 3' menunjuk salah satu posisi urutan dalam barisan bilangan-bilangan 1, 2, 3,
4, ..., dst. Jadi kata nomor sangat erat terkait dengan pengertian 'urutan'. Arti kata
'angka' lebih mendekati arti kata 'digit' (bahasa Inggris).
Nampaknya belum ada kata dalam bahasa Indonesia yang merupakan terjemahan
secara tepat dari 'digit'. Dalam hal ini, sebuah atau beberapa angka lebih berperan
sebagai lambang tertulis atau terketik dari sebuah bilangan. Sesuai dengan arti kata
'digit', lebih baik pengertian angka dibakukan dengan batasan agar hanya ada sepuluh
angka yang berbeda: 0, 1, 2 ..., 9.
Untuk memperjelas pengertian angka seperti diuraikan dalam paragraf terakhir,
berikut diberikan dua contoh penggunaannya. "Bilangan sepuluh ditulis dengan dua buah
angka (double digits), yaitu angka 1 dan angka 0.", "Inflasi di Zinbwabe mencapai 3
angka (three digits)" (Maksudnya, inflasi di Zinbwabe sudah mencapai paling sedikit
100%, sebab bilangan 100 adalah bilangan dengan nilai terendah yang bisa ditulis
dengan tiga angka).
Dalam sistem bilangan biner (binary bilangan system), yaitu sistem bilangan basis
2, hanya digunakan dua angka: 0 dan 1, untuk menyatakan sembarang bilangan bulat.
Misalnya, deretan tiga angka 101 dalam sistem biner melambangkan bilangan 3 dalam
sistem bilangan basis 10. Tanpa penjelasan lebih jauh, kata 'bilangan' di sini selalu
diartikan sebagai bilangan dalam sistem basis 10.
Bilangan 0, 1, 2 , 3 , 4 , 5 , 6, 7 ,8, 9 ,dinamakan angka atau digit. Sebuah bilangan
merupakan susunan sekelompok angka yang memenuhi aturan tertentu, misalnya 20, -
50, 2/3, , 3log 2 dan sebagainya.
C. Himpunan
Sebelum kita menghitung tentang sesuatu, kita harus mengetahui objek mana yang
akan dilibatkan dan objek mana yang tidak dilibatkan. Misalnya; kita diminta untuk
menghitung banyaknya gadis yang cantik dalam suatu ruangan. Dari permintaan ini, kita
sendiri akan memperoleh suatu kesulitan: siapa-siapa yang akan kita libatkan? Dan
dengan dugaan bahwa kita mampu memutuskan menurut pertimbangan kita sendiri,
apakah yang orang lain juga setuju dengan apa yang kita pilih sendiri? Kita sedang
dalam resiko kehilangan salah satu dasar esensial matematika kita, yaitu kesepakatan
atas dasar-dasar rasional. Maka untuk tujuan matematika kita harus menolak
permohonan seperti pada contoh di atas dan menurut aturan yang disepkati dalam
matematika kita membatasi kumpulan pada objek yang definisinya jelas, yaitu kumpulan
di mana kita dapat mengatakan apakah itu masuk dalam kumpulan atau tidak.
Kumpulan seperti itu yang kita sebut dengan nama himpunan: dan objek yang terlibat di
dalamnya kita sebut dengan nama elemen atau unsur.
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 126
D. Karakteristik dari Himpunan
Bagaimana kita “mendefinisikan dengan baik” tentang kumpulan suatu objek?
Metode yang telah digunakan dalam contoh-contoh sampai saat ini adalah menggunakan
beberapa jenis kata sifat atau frase kata sifat – deskripsi singkat.
Jika suatu objek dideskripsikan dengan jelas, misalnya terdapat kedua buah apel
(tidak ada buah lain) dalam suatu mangkuk (bukan dalam piring atau pada pohonnya),
maka ini disebut sebagai suatu himpunan. Jika tidak dijelaskan atau digambarkan suatu
obyek dengan baik, maka objek tersebut tidak disebut sebagai himpunan. Sifat yang
mendefinisikan keanggotaan himpunan disebut karakteristik himpunan.
Cara lain mendefinisikan suatu himpunan adalah dengan mendaftar elemen-
elemennya. Misalnya, kita dapat mendefinisikan himpunan, seperti himpunan yang
terdiri atas bulan, telinga kiri saya, dan monumen Nelson. Setelah kita mendefinisikan
himpunan dengan baik, selanjutnya kita mengatakan himpunan itu mempunyai
karakteristik, dan kita dapat membuat daftar elemen-elemennya.
Karakteristik yang dimiliki himpunan biasanya tidak selalau mengarah pada ide-ide
baru. Himpunan yang lebih menarik adalah himpunan dimana kita dapat mengabstraksi
konsep baru. Tetapi cara yang baik untuk mendefinisikan himpunan adalah dengan
mendaftar anggota-anggotanya.
Hal ini menggambarkan dua arah dimana kita akan mulai, dalam pikiran kita,
antara himpunan dan karakteristiknya. Kita dapat memutuskan beberapa kriteria
pertama, dan mengumpulkan dalam himpunan semua objek yang memenuhi kriteria itu:
misalnya, himpunan ibukota-ibukota Indonesia, atau himpunan pohon-pohon Pinus di
kepulauan Indonesia atau kita dapat membentuk beberapa kumpulan objek, dengan cara
apapun yang kita pilih asalkan memberi kumpulan yang bagus dan kemudian mencoba
mengetahui apa yang mereka miliki secara umum. Metode ini sangat berhasil dalam
mendatangkan konsep baru dan merupakan metode yang akan kami gunakan dalam
mengembangkan konsep bilangan.
Tidak ada batasan atas jenis objek dimana kita membentuk himpunan. Jenis objek
berupa material atau abstraksi, misalnya obyek material: kumpulan uang koin dalam
celengan, atau misalnya objek abstraksi: tujuh bilangan kardinal. Kita juga biasanya
menyebutkan himpunan tanpa objek satupun di dalamnya, seperti: himpunan babi-babi
bersayap. Himpunan jenis yang terakhir ini disebut “himpunan kosong” atau “himpunan
nihil”, bukan himpunan nol.
Himpunan ini dirumuskan dengan baik: diberikan suatu objek dari seluruhnya, kita
dapat mengatakan apakah objek itu milik himpunan ini atau tidak. Kita juga dapat
mempunyai himpunan-himpunan yang elemennya adalah himpunan-himpunan itu
sendiri. Misalnya, “PSSI” adalah nama tim sepak bola, sebuah himpunan yang elemen-
elemennya adalah pemain sepak bola. Himpunan ini merupakan elemen dari himpunan
lain, yang elemen-elemennya adalah tim-tim dalam Asosiasi Sepak Bola. Contoh seperti
ini banyak kita jumpai, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam matematika.
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 127
Menyepakati terlebih dahulu objek mana yang dipertimbangkan untuk diterima
atau ditolak dalam himpunan tertentu sering sangat bermanfaat. Misalnya, seorang guru
biologi mengatakan pada siswanya untuk merumuskan dengan ide sendiri tentang
seekor ikan, dan bertanya dengan lebih bebas lagi bahwa: “Sebutkan sesuatu yang
bukan ikan”. Seorang siswa menjawab “Gunung merapi”, siswa lainnnya menjawab
“Harimau”, dan siswa berikutnya menjawab “Seekor ikan paus”.
Apakah perasaan kita secara intuitif bahwa jawaban pertama adalah jawaban
pander (sangat bodoh), jawaban kedua adalah tidak baik, dan yang terakhir adalah
jawaban yang baik? Karena siswa memastikan pembahasan itu adalah tentang hewan,
sehingga siswa memberi jawaban yang bukan hewan yaitu “Gunung merapi”?, walaupun
jawabannya benar, tetapi tidak relevan dengan pertanyaan guru. Tidak ada orang yang
dapat mempertimbangkan bahwa “Harimau” sebagai suatu kemungkinan untuk
dikategorikan dalam himpunan ikan, sehingga contoh ini tidak berperan sama sekali
dalam pembahasan itu. Tetapi jawaban “seekor ikan paus” dapat dipahami oleh
sebagian orang sebagai seekor ikan, sehingga jawaban ini menemukan bahwa penanya
benar-benar mengartikan “Sebutkan seekor hewan air yang bukan seekor ikan”.
Ia akan berkata, bukan hutang, mengatakan demikian. Berbicara secara
matematika kita dapat mengatakan: “dia telah mendefinisikan himpunan semesta
pembicaraan (universe of discourse)”. Ini merupakan nama yang diberikan pada
himpunan objek-objek yang dipertimbangkan dalam pembahasan tertentu, dan
himpunan ini telah didefinisikan, himpunan-himpunan lain yang ditunjukkan harus
mempunyai elemen-elemen yang masuk dalam “semesta pembicaraan”.
Ide lain yang akan kami perlukan adalah ide “himpunan bagian (sub-set)”.
Katakanlah, himpunan tanda pada laci bangku saya, saya dapat membaginya menjadi
himpunan-himpunan satu tanda uang, dua tanda uang, dan seterusnya. Semua itu
adalah himpunan bagian dari himpunan yang disebutkan pertama. Kalimat pada aliniea
terakhir, sekarang dapat disebutkan kembali: “Semua himpunan harus ada dalam
himpunan bagian dari semesta pembicaraan”.
E. Apa yang Kita Maksudkan dengan “Tiga”?
Jawaban yang bagus terhadap pertanyaan tersebut adalah: mengapa kita ingin
mengetahui? Saya dapat mengenali tiga cangkir kopi atau tiga ekor sapi ketika saya
melihatnya; apalagi yang saya perlukan?
Jawaban pertama adalah bahwa ada prosedur ilmiah yang baik untuk menanyakan
hal yang jelas dan nyata. Pengetahuan kita sekarang lebih buruk jika tidak ada orang
menanyakan mengapa suatu benda nampak berwarna, atau mengapa kaki seekor katak
mati kejang di bawah kondisi tertentu.
Jawaban yang kedua adalah bahwa kita dapat dan memang menggunakan konsep
“tiga” secara efektif pada tingkat intuitif tanpa menganalisisnya. Kebanyakan kita dapat
melakukan dan mengatur kehidupan sehari-hari dengan baik tanpa (hal-hal kecil)
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 128
menjadi ahli matematika. Kita menggunakan teknik matematis yang sederhana tanpa
memahaminya, sama halnya seperti banyak orang menggunakan mobil dan televisi
tanpa memahaminya.
Tetapi tingkat pemahaman yang sangat kecil banyak meningkatkan efektifitas yang
mana semua dapat digunakan; dan jika pembaca ingin memahami sebagian awal
matematika, maka hampir tidak mungkin tanpa pemahaman konsep bilangan pada
tingkat reflektif dan intuitif. Bilangan negatif, pecahan, bilangan irasional, semua adalah
generalisasi ide yang diambil dari bilangan penghitungan 1, 2, 3, … (bilangan asli). Dan
untuk aljabar elementer dimulai dari pernyataan umum tentang bilangan. Dari sini,
bagaimana kita mengatakan dan mengartikan angka “tiga”.
Cara terbaik untuk memahami suatu ide pada tingkat reflektif adalah
membayangkan bagaimana kita akan membawakannya kepada orang lain. Dalam hal ini,
mari kita asumsikan bahwa dia tidak mempunyai konsep-konsep yang urutannya sama
atau lebih tinggi yang memungkinkan kita untuk menggunakan sebuah definisi dengan
berhasil. Untuk membuat konsep merah, kita menunjukkan berbagai fakta benda merah,
maka kita harus mencari susunan objek-objek yang mencontohkan konsep tiga. Dengan
demikian, kita akan menemukan suatu kumpulan bahwa semua objek yang kita pilih
adalah himpunan contoh untuk konsep “tiga”. Dalam pelaksanaannya kita akan
menemukan “seluruh objek yang kita pilih merupakan himpunan itu sendiri”: tiga buah
apel, tiga jari yang digenggam, tiga pensil, tiga kursi. “tiga” adalah karakteristik dari
sebuah kumpulan himpunan tertentu dimana kita dapat memilih varietas yang memadai
untuk memungkinkan siswa membentuk konsepnya sendiri.
F. Himpunan Berpasangan
Dengan menggunakan contoh “merah” sebagai titik awal, anggaplah seseorang
menginginkan cara sederhana dalam memutuskan apakah objek baru yang ia peroleh
juga mempunyai sifat ini. Semua yang harus dia kerjakan adalah membawa benda
merah yang menyenangkan (dimasukkan ke sakunya), dan membandingkan benda itu
dengannya. Jika dan hanya jika warna cocok, dia akan memberikan objek baru pada
himpunan “merah”. Dan juga memasukkannya objek hijau, objek biru, objek kuning, dan
seterusnya, dia dapat menemukan warna dari benda lain yang dia inginkan dengan
mengujinya untuk menjodohkan terhadap objek standarnya. Jika eksperimen ini
dilakukan dalam praktek, maka akan segera ditemukan bahwa himpunan-himpunan
yang mempunyai warna merah, biru, hijau, kuning…, untuk sifat karakteristik tidak
dirumuskan dengan baik sebagaimana diinginkan. Penjodohan objek untuk warna yang
tidak seksama, akan mengakibatkan sebagian benda dianggap sebagai biru agak
kehijauan, yang lain juga akan mendeskripsikan sebagai hijau kebiruan.
Penjodohan himpunan untuk bilangan dapat dilakukan dengan seksama, dan kita
sering mengerjakannya dalam kehidupan sehari-hari. Dengan himpunan cawan pada
talam, kita menjodohkan dengan himpunan cangkir dan sangat mungkin dengan
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 129
himpunan sendok teh, semua himpunan ini mempunyai bilangan yang sama. Jika
bilangan ini cukup besar, mungkin kita tidak bosan mencari tahu apa itu. Kita hanya
memastikan pada himpunan setiap cawan ada sebuah cangkir, dan sebaliknya. Tentu
ada sebuah cangkir untuk himpunan setiap cawan, dan satu cawan untuk himpunan
cangkir, jadi tidak bisa terpisahkan. Demikian pula untuk himpunan sendok. Penjodohan
jenis ini disebut korespondensi satu-satu, dan apakah dua himpunan tertentu cocok
dengan cara ini atau tidak adalah tidak mungkin menjadi masalah untuk ketidakcocokan.
Juga jelas bahwa jika kita mempunyai korespondensi satu-satu antara himpunan cawan
dan himpunan cangkir, dan antara himpunan cawan dan himpunan sendok, kita juga
akan mempunyai korespondensi satu-satu antara himpunan cawan dan himpunan
sendok. Berikut ilustrasinya.
1. 2.
3.
Sifat korespondensi satu-satu ini disebut sifat transitif. Dengan menggunakan
“” sebagai singkatan untuk “korespondensi satu-satu dengan”, dan menyebut
himpunan cangkir, cawan, dan sendok teh secara berturut-turut dengan C,W, dan T, kita
ekspresikan hasil kita dengan singkat dengan mengatakan bahwa jika C W dan W
T, maka juga C T.
Dari sifat ini disimpulkan bahwa dalam contoh tertentu kita dapat menggunakan
himpunan cangkir, himpunan cawan, atau himpunan sendok teh, sebagai perbandingan
dengan himpunan baru; katakanlah himpunan bungkusan biskuit. Jika himpunan baru
menyesuaikan salah satu himpunan yang ada, maka itu menyesuaikan semua. Karena
jika B C, maka karena C W T kita tahu bahwa B W dan B T.
Hasil ini benar untuk himpunan manapun dari himpunan-himpunan yang
menyesuaikan; maka untuk tujuan perbandingan salah satu himpunan dari himpunan-
himpunan yang menyesuaikan dapat mewakili himpunan ini sebagai satu keutuhan. Dan
dengan himpunan baru, mudah memutuskan dengan prosedur penjodohan tersebut
apakah itu masuk dalam himpunan tertentu dari himpunan-himpunan yang
menyesuaikan atau tidak. Himpunan-himpunan kita sekarang dirumuskan dengan baik.
Jika W dan W’ berdiri untuk himpunan-himpunan domba yang meninggalkan pasar
dan pulang ke rumah, dan T untuk himpunan bentuk (notches) yang dipotong atas
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 130W T
T1
T2
W’
perhitungan jumlah sebelum dibagi, maka W T dan T W’ memastikan bahwa W
W’ sebagaimana diinginkan. Dan karena secara asli T T1 T2, Jika T1 atau T2
diubah akan ada ketidakcocokan pada akhirnya.
G. Himpunan Standar
Dalam contoh “merah” kami menyatakan bahwa siswa kami dapat membawa objek
dari masing-masing warna untuk membandingkan objek baru yang ditemukan. Benda-
benda itu adalah objek standar untuk warna. Untuk mengetahui banyaknya himpunan
baru dia perlu mempunyai himpunan masing-masing bilangan untuk membandingkan
himpunan yang baru. Himpunan standar untuk bilangan yang akan dia pilih atas dasar
kesenangan dan kemungkinan; maka sebagian dari badannya sendiri akan
mengemukakan diri mereka sendiri. Untuk himpunan 2, dia bisa memilih matanya; untuk
himpunan 5, jari-jari pada sebuah tangan; untuk himpunan 4, semua anggota badannya;
untuk himpunan 1, hidungnya. Dengan menyebutkan himpunan “mata”, “tangan”,
“anggota badan”, “hidung”, akan mengarah pada himpunan yang menjadi namanya
untuk bilangan-bilangan yang kita sebut “2”, “5”, “4”, “1”.
Untuk mengetahui banyaknya atau bilangan dari himpunan baru dia harus
mencobanya untuk pencocokan terhadap himpunan standar mana yang dianggap paling
disukai. Jika dia salah, dia harus mengambil yang lain. Cara yang nyata untuk
memperkenalkan hal itu adalah mencoba himpunan standar dengan cara reguler,
dimulai dengan penghitungan objek-objek yang paling sedikit, kemudian yang paling
kecil diantara objek-objek lain, dan sebagainya. Yaitu, menyusunnya secara berurutan.
Karena dia tidak dapat menyusun kembali anatominya, dia akan mengerjakan hal ini
secara mental dengan menempatkan nama-nama – bilangan secara urut: hidung, mata,
anggota badan, tangan,
H. Berhitung
Langkah ini adalah menggunakan Number-names themselves, secara berurutan,
sebagai himpunan standar.
No.
Bilangan Himpunan StandarNotasi Jumlah Kata
1.2.3.4.5.
hidungmatajaritubuhtangan
[hidung][hidung, mata][hidung, mata, jari][hidung, mata, jari, tubuh][hidung, mata, jari, tubuh, tangan]
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 131
Pencarian banyaknya himpunan objek tertentu masih dilakukan dengan cara yang
sama seperti sebelumnya, dengan menjodohkan elemen-elemen dari himpunan standar
dalam korespondensi satu-satu dengan elemen-elemen dari himpunan tertentu.
Ini merupakan proses penjodohan yang mudah dilakukan, dengan menyentuh,
menunjukkan, melihat, atau hanya merenungkan objek-objek yang akan dihitung,
sementara menyebutkan kembali bilangan - kata-kata berurutan.
I. Aritmetika dan Berhitung
Perhatikan pernyataan “7 + 5 = 12”. Kalimat ini apabila dijelma dalam situasi fisik,
misalnya “kita mempunyai talam dengan 7 cangkir di atasnya, dan talam lain dengan 5
cangkir di atasnya. Jika kita menempatkan semua cangkir itu bersama pada talam yang
sama, berapa banyak cangkir yang ada bersama?”.Metode yang telah kita pelajari untuk
menjawab pertanyaan jenis ini sangat tergantung pada penghitungan.
J. Berhitung, dan Konsep Bilangan yang Dimiliki Anak
Piaget telah menunjukkan berbagai eksperimen, yang salah satunya diringkas
sebagai berikut: Dua himpunan penjodohan ditempatkan di depan anak, 6 telur dalam 6
cangkir telur. Anak ini ditanya apakah ada banyak telur yang sama dengan banyaknya
cangkir telur atau tidak. Dia berkata “ya, ada”. Selanjutnya, telur-telur dikeluarkan dari
cangkir dan diikat bersama: Cangkir telur yang ditinggalkan dimana mereka berada.
Kemudian ketika ditanya apakah ada jumlah telur yang benar untuk dimasukkan ke
cangkir itu, satu dalam masing-masing dan tidak sama sekali, yang secara tipikal
berumur 5 tahun diantara subyek-subyek piaget mengatakan “tidak, tidak ada cukup
telur”. Dengan disuruh menghitung telur dan cangkir, dia berbuat dengan benar dengan
mengatakan bahwa ada 6 dari masing-masing. Ditanya lagi apakah ada telur-telur yang
sebanyak dengan cangkir, dia masih mengatakan tidak ada. Dia belum memegang dua
sifat utama suatu bilangan, bahwa ini merupakan sifat umum dari dua himpunan
penjodohan, dan bahwa penjodohan tidak dipengaruhi oleh perubahan posisi objek.
Menarik membandingkan hal ini dengan prilaku seorang anak berusia 3,5 tahun
yang menempatkan beberapa kereta mainan anak-anaknya dari kotak ke rilnya, dengan
mengatakan “satu untuk saya", ”satu untuk anda”, “dan satu untuk mama”. Anak ini
sedang menjodohkan 2 himpunan secara mental, tanpa memperhatikan posisi objek.
Mengumpulkan objek ke himpunan-himpunan atas dasar sifat umumnya adalah
satu aktifitas pramatematis; perurutan adalah aktifitas lain; membandingkan dua
himpunan untuk mengetahui apakah mereka cocok adalah aktifitas lain, atas gambaran
matematika. Tetapi dengan kesempatan yang cocok, menghitung dapat berperan dalam
pembentukan konsep bilangan dengan dua cara berikut. Pertama, sebagaimana telah
ditunjukkan pada halaman 78, penamaan dapat membantu proses pembentukan konsep
baru. Menghitung adalah proses penjodohan sendiri, dan cara bagus menguji dua
himpunan untuk kecocokan. “apakah kita mempunyai cangkir untuk siapa saja?”
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 132
Jawabannya cepat dicapai dengan menghitung cangkir dan orang: menggunakan sifat
transitif dari korespondensi satu-satu.
Dalam uraian ini, ide-ide utama yang perlu diingat oleh siswa adalah sebagai
berikut:
Himpunan: kumpulan objek-objek yang telah didefinisikan dengan jelas, baik objek
material (objek fisik) atau abstrak (ide).
Elemen: objek yang terkandung dalam suatu himpunan.
Karakteristik suatu himpunan: sifat yang dimiliki oleh objek tertentu untuk suatu
himpunan jika dan hanya jika himpunan itu telah memiliki
sifat tersebut.
Korespondensi satu-satu atau menjodohkan.
Dua himpunan berkorespondensi satu-satu jika dan hanya jika untuk setiap elemen dari
satu himpunan memasangkan satu dan hanya satu elemen dari himpunan lain.
Bilangan: sifat yang dimiliki sebuah himpunan dari himpunan yang sama.
Himpunan standar: perwakilan dari satu himpunan, yang digunakan sebagai
perbandingan dengan himpunan tertentu untuk mengetahui apakah
itu milik himpunan dari himpunan-himpunan itu.
Menghitung: sarana untuk mencari atau mengetahui banyaknya himpunan tertentu
dengan menggunakan nama-nama bilangan secara berurutan sebagai
himpunan standar.
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 133
BAB XIKEMAMPUAN MEMECAHKAN MASALAH MATEMATIKA
Pada bagian ini akan diuraikan mengenai pengertian masalah, pengertian dan
tujuan pemecahan masalah matematika, peran pemecahan masalah dalam
pembelajaran matematika, tahap-tahap pemecahan masalah matematika, proses
heuristik dalam pemecahan masalah matematika, kategori kemampuan siswa, dan
faktor-faktor yang dapat meningkatkan kemampuan memecahkan masalah matematika.
A. Pengertian Masalah
Dalam perspektif psikologi, masalah atau problem pada dasarnya adalah situasi
yang mengandung kesulitan bagi seseorang dan mendorongnya untuk mencari solusinya
(Gorman, 1974: 293–294). Terdapat beberapa jenis masalah, yaitu: 1) masalah yang
prosedur pemecahannya sudah ada dan telah diketahui oleh siswa; 2) masalah yang
prosedur pemecahannya belum diketahui oleh siswa, meskipun orang lain telah
mengetahuinya; 3) masalah yang sama sekali belum diketahui prosedur pemecahannya
dan atau belum diketahui data yang diperlukan untuk mencari solusinya. Lester (1980:
287) mendefinisikan masalah sebagai situasi dimana seseorang atau sekelompok orang
diminta untuk menyelesaikan sebuah tugas yang belum tersedia algoritma yang sesuai
sebagai metode penyelesaiannya.
Tidak semua persoalan yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari dapat dikatakan
masalah. Menurut Cooney (Fadjar Shadiq, 2004: 10) “… for a question to be a problem, it
must present a challenge that cannot be resolved by some routine procedure known to
the student”. Maknanya adalah suatu pertanyaan akan menjadi masalah hanya jika
pertanyaan itu menunjukkan adanya suatu tantangan yang tidak dapat dipecahkan oleh
suatu prosedur rutin yang sudah diketahui si pelaku. Posamentier & Stepelman (1990:
109) menyatakan bahwa “A problem poses a situation in which there is something you
want but don’t yet know how to get”. Maknanya, masalah adalah sesuatu yang
menimbulkan situasi dimana ada sesuatu yang dituju atau inginkan, tetapi tidak tahu
bagaimana mendapatkannya atau mencapainya.
Masalah atau problem bukanlah latihan-latihan soal rutin yang biasa diberikan
dalam kelas melainkan masalah-masalah non rutin yang belum diketahui prosedur
pemecahannya. Menurut Stanic & Kilpatrick (Schoenfeld, 1992: 338), “… nonroutine
problem solving is characterized as a higher level skill to be acquired after skill at solving
routine problems (which, in turn, is to be acquired after students learn basic
mathematical concepts and skills).” Maknanya, masalah non rutin merupakan masalah
yang belum diketahui prosedur penyelesaiannya. Untuk mencari pemecahannya
diperlukan keterampilan yang lebih tinggi, yang dapat diperoleh siswa setelah mereka
memiliki pemahaman konsep dan keterampilan dasar matematika, serta memiliki
keterampilan memecahkan masalah-masalah rutin.
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 134
Masalah non rutin dikategorikan menjadi tiga, yaitu modified translation problems,
process problems, dan open-ended and project problems. Modified translation problems
merupakan translasi masalah dengan informasi yang kurang, process problems
merupakan masalah non standar yang memerlukan satu atau lebih strategi untuk
memecahkannya dan lebih memerlukan kemampuan logika, sedangkan open-ended and
project problems merupakan masalah terbuka dengan banyak kemungkinan cara
memperoleh jawaban, dan banyak kemungkinan jawaban. Jenis-jenis masalah non rutin
ini memerlukan keterampilan berpikir seperti kemampuan berpikir kritis, kreatif dan
berpikir divergen (Gorman, 1974: 303).
Berdasarkan pendapat tersebut, diperoleh gambaran bahwa apabila seseorang
berada pada suatu kondisi yang tidak ideal dan ingin menuju kondisi ideal itu, tetapi
untuk mencapai tujuan tersebut tidak mudah dan memerlukan pemikiran untuk sampai
pada solusinya, maka pada saat itulah seseorang tersebut sedang menghadapi masalah.
Seseorang dapat menemukan strategi penyelesaian masalah secara teratur dalam
rangkaian langkah-langkah yang mengarah pada tujuan dan keinginan yang hendak
dicapai atau diharapkan.
Syarat suatu masalah bagi siswa (Herman Hudojo, 2005: 124), adalah:
1. Pertanyaan yang dihadapkan kepada seorang
siswa haruslah dapat dimengerti oleh siswa tersebut, namun pertanyaan itu harus
merupakan tantangan baginya untuk menjawabnya.
2. Pertanyaan tersebut tidak dapat dijawab dengan
prosedur rutin yang telah diketahui siswa.
Sejalan dengan itu, Erman Suherman Ar, Turmudi, Didi Suryadi, dkk (2003: 92–93)
menyatakan bahwa suatu masalah biasanya memuat suatu situasi yang mendorong
seseorang untuk menyelesaikannya, akan tetapi tidak tahu secara langsung apa yang
harus dikerjakan untuk menyelesaikannya. Jika suatu pertanyaan dapat diketahui secara
langsung penyelesaiannya dengan benar, maka pertanyaan seperti itu tidak dapat
dikatakan sebagai masalah.
Polya (1981: 119) menggolongkan masalah matematik menjadi dua golongan,
yaitu:
… problems “to find” and problems “to prove”. The aim of a problem to find is to
find (construct, produce, obtain, identify, …) a certain object, the unknown of the
problem. The aim of a problem to prove is to decide whether a certain assertion is
true or false, to prove it or disprove it.
Problem “to find” bertujuan untuk menemukan (membangun, menghasilkan,
memperoleh, mengidentifikasi) suatu objek tertentu yang tidak dikenal dari masalah,
sedangkan problem “to prove” bertujuan untuk memutuskan kebenaran suatu
pernyataan, membuktikannya atau membuktikan kebalikannya (kontradiksi).
Masalah juga dapat dibedakan berdasarkan strukturnya, yaitu masalah yang
terdefinisi dengan baik (well-defined problem) dan masalah yang tidak terdefinisi dengan
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 135
baik (ill-defined problem). Masalah yang terdefinisi dengan baik adalah situasi masalah
yang pernyataan asli atau asal, tujuan dan aturan-aturannya terspesifikasi. Sebaliknya,
masalah yang tidak terdefinisi dengan baik adalah masalah yang pernyataan asal, tujuan
dan aturan-aturannya tidak jelas sehingga tidak memiliki cara sistematik untuk
menemukan solusi. Selain itu, dikenal pula adanya masalah dengan penyelesaian
tunggal (dalam penyelesaiannya memerlukan pola berpikir konvergen) dan masalah
dengan penyelesaian tidak tunggal (dalam penyelesaiannya memerlukan pola berpikir
divergen).
Dapat disimpulkan bahwa masalah adalah suatu situasi yang tidak terstruktur
dengan baik, yang dapat diselesaikan tanpa menggunakan prosedur atau algoritma
rutin, sesuai dengan tahap perkembangan mental siswa yang memiliki pengetahuan
prasyarat mengenai situasi tersebut.
B. Pengertian dan Tujuan Pemecahan Masalah Matematika
Polya (1981: 117) mendefinisikan pemecahan masalah (problem solving) sebagai
“to search consciously for some action appropriate to attain a clearly conceived, but not
immediately attainable, aim”. Makna dari pernyataan tersebut adalah pemecahan
masalah sebagai usaha sadar untuk mencari jalan keluar dari suatu kesulitan, tetapi
tujuan tersebut tidak segera dapat dicapai.
Osborne & Kasten (1980: 54) menyatakan bahwa “Problem solving is taught to
develop methods of thinking and logigal reasoning”. Maknanya adalah pemecahan
masalah diajar untuk mengembangkan metode-metode mengenai pemikiran dan logika
penalaran. Dalam NCTM (2000: 52), pemecahan masalah merupakan proses menerapkan
pengetahuan yang telah diperoleh sebelumnya pada situasi baru dan berbeda. Apabila
dikaitkan dengan pernyataan Osborne & Kasten di atas, maka proses menerapkan
pengetahuan matematika ini melibatkan keterampilan berpikir dan bernalar pada diri
siswa.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pemecahan masalah
merupakan suatu tingkat aktivitas intelektual yang sangat tinggi untuk mencari
penyelesaian masalah yang dihadapi dengan melibatkan keterampilan berpikir dan
bernalar serta menggunakan bekal pengetahuan yang sudah dimiliki.
NCTM (2000: 52 & 334) mengungkapkan tujuan pengajaran pemecahan masalah
dari sebelum taman kanak-kanak hingga kelas XII sebagai berikut.
build new mathematical knowledge through problem solving; solve problems that arise in mathematics and in other contexts; apply and adapt a variety of appropriate strategies to solve problems; monitor and reflect on the process of mathematical problem solving.
Tujuan pengajaran pemecahan masalah secara umum adalah untuk: 1) membangun
pengetahuan matematika baru melalui pemecahan masalah; 2) memecahkan masalah
yang muncul dalam matematika dan di dalam konteks-konteks lainnya; 3) menerapkan
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 136
dan menyesuaikan bermacam strategi yang sesuai untuk memecahkan permasalahan;
dan 4) memantau dan merefleksikan proses dari pemecahan masalah matematika.
NCTM (Posamentier & Stepelman, 1990: 109) menyatakan apa yang diharapankan
setelah siswa belajar memecahkan masalah sebagai berikut.
In grades 9 – 12, the mathematics curriculum should include refinement and extension of methods of mathematical problem solving so that all students can: use with increasing confidence, problem-solving approaches to
investigate and understanding mathematical content; apply integrated mathematical problem-solving strategies to solve
problems within and outside of mathematics; recognize and formulate problems within and outside of mathematics; apply the process of mathematical modeling to real-world problem
situations.
Setelah belajar memecahkan masalah matematika diharapkan siswa dapat: 1)
menggunakan pendekatan pemecahan masalah untuk menyelidiki dan memahami isi
matematika; 2) menggunakan perpaduan strategi pemecahan masalah untuk
memecahkan masalah dalam atau di luar matematika; 3) mengenal dan
merumuskan masalah dalam atau di luar matematika; dan 4) menggunakan proses
pemodelan matematika untuk situasi masalah nyata.
C. Peran Pemecahan Masalah dalam Pembelajaran Matematika
Matematika merupakan ilmu yang melatih cara berpikir dan mengolah logika yang
benar sesuai dengan aturan yang terdiri dari aksioma dan dalil-dalil. Proses berpikir
matematik dimulai dari penemuan informasi, pengolahan, penyimpanan, dan memanggil
kembali informasi tersebut dari ingatan. Berpikir matematik merupakan pelaksanaan
kegiatan atau proses matematik (doing math) atau tugas matematika (mathematical
task). Berkenaan dengan proses matematik, NCTM (2000: 29) menyatakan bahwa cara
penting untuk memperoleh dan mempergunakan pengetahuan meliputi pemecahan
masalah (problem solving), penalaran dan pembuktian (reasoning and proof), komunikasi
(communication), koneksi (connections), penyajian dan (representation).
Berkenaan dengan apa yang didapatkan siswa dari melakukan suatu pemecahan
masalah, Herman Hudojo (2005: 128–129) mengatakan bahwa pemecahan masalah
merupakan suatu hal yang esensial dalam pembelajaran matematika. Hal ini
dikarenakan:
1. Siswa menjadi terampil menyeleksi informasi yang relevan, kemudian
menganalisanya dan akhirnya meneliti kembali hasilnya;
2. Kepuasan intelektual akan timbul dari dalam – merupakan hadiah
intrinsik bagi siswa;
3. Potensi intelektual siswa meningkat;
4. Siswa belajar bagaimana melakukan penemuan dengan melalui proses
melakukan penemuan.
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 137
Dalam perspektif historis kurikulum matematika, Stanick & Kilpatrick (Schoenfeld,
1992: 338) mengidentifikasi peran pemecahan masalah dalam pembelajaran matematika
sebagai berikut.
1. Problem solving as context.
Pemecahan masalah berfungsi sebagai konteks, maksudnya adalah masalah
digunakan sebagai sarana untuk mengajarkan suatu topik matematika. Tujuan utama
dari proses ini adalah untuk memahami konsep matematika dan bukanlah
pemecahan masalah itu sendiri. Masalah dalam pembelajaran matematika disini
berperan sebagai: a) justifikasi dalam mengajarkan matematika, maksudnya masalah
yang berkaitan dengan pengalaman sehari-hari dapat meyakinkan guru dan siswa
akan nilai matematika; b) motivasi yang spesifik untuk suatu topik, maksudnya
masalah digunakan untuk mengenalkan suatu topik melalui pemahaman secara
eksplisit atau implisit; c) rekreasi, maksudnya masalah matematika menjadi
tantangan atau permainan yang menyenangkan siswa agar semakin terampil dan
mahir; dan d) usaha mengembangkan suatu keterampilan baru, maksudnya masalah
diberikan dalam urutan tertentu untuk mengenalkan siswa pada materi baru dan
sebagai konteks untuk bahan diskusi selanjutnya.
2. Problem solving as skill
Pemecahan masalah sebagai keterampilan yaitu berupa kemampuan untuk
memperoleh solusi dari masalah yang dihadapinya. Meskipun pemecahan masalah
dapat diinterpretasikan sebagai suatu keterampilan, asumsi pedagogi dan
epistemologi yang mendasarinya adalah keterampilan merupakan penguasaan suatu
strategi atau teknik pemecahan masalah. Siswa diajarkan suatu teknik pemecahan
masalah sebagai materi pelajaran, kemudian diberikan tugas berupa latihan-latihan
sehingga siswa dapat menguasai teknik tersebut. Setelah memperoleh pengajaran
pemecahan masalah seperti ini, siswa dikatakan telah memiliki keterampilan
pemecahan masalah sebaik penguasaannya terhadap fakta dan prosedur yang telah
dipelajari.
3. Problem solving as art
Pemecahan masalah sebagai seni dari matematika atau jantungnya matematika
(heart of mathematics), maksudnya adalah matematika merupakan pemecahan
masalah itu sendiri. Pembelajaran matematika dimulai dari pemecahan masalah
sebagai konteks untuk memperkenalkan atau memahami suatu konsep atau prinsip
matematika, kemudian konsep atau prinsip yang telah berhasil dipahami tersebut
diterapkan dalam soal-soal pemecahan masalah untuk melatih keterampilan siswa.
Pendapat tersebut didukung oleh pernyataan Lester (Branca, 1980: 3) bahwa:
“Problem solving has been said to be at the heart of all mathematics”. Makna dari
pernyataan ini adalah pemecahan masalah merupakan inti dari seluruh matematika,
artinya kemampuan memecahkan masalah merupakan kemampuan dasar dalam belajar
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 138
matematika. Lebih jauh Cooney, Davis, & Henderson (Herman Hudojo, 2005: 126)
berpendapat bahwa dengan mengajarkan siswa untuk menyelesaikan masalah,
memungkinkan siswa menjadi lebih analitik dalam mengambil keputusan di dalam
kehidupannya. Pada hakikatnya, belajar pemecahan masalah adalah belajar berpikir
(learning to think) atau belajar bernalar (learning to reason), yakni berpikir atau
bernalar untuk mengaplikasikan pengetahuan-pengetahuan yang telah diperoleh
sebelumnya dalam rangka memecahkan masalah-masalah baru yang belum pernah
dijumpai. Melalui pemecahan masalah siswa mengembangkan kemampuan berpikir kritis
dan kemampuan beradaptasi terhadap situasi belajar yang baru.
Meningkatkan keterampilan pemecahan masalah siswa merupakan tujuan utama
dalam pembelajaran matematika. Dalam memecahkan masalah matematika, siswa tidak
hanya menggunakan kemampuan matematika yang telah mereka miliki, tetapi juga
meningkatkan pengetahuan dan pemahaman yang mendalam tentang matematika. Hal
ini mengakibatkan pemecahan masalah dalam matematika dapat digunakan sebagai
dasar pembelajaran konsep-konsep matematika, sehingga siswa dapat mengkonstruksi
pengetahuan mereka sendiri.
D. Tahap-tahap Pemecahan Masalah Matematika
Terdapat beberapa pendapat tentang proses pemecahan masalah matematika.
Dewey (Posamentier & Stepelman, 1990: 110) mengungkapkan sebagai berikut.
… outlined five steps for problem solving. They were presented in the following order.1. Recognizing that a problem exists – an awareness of a difficulty, a sense of
frustration, wondering or doubt. 2. Identifying the problem – clarification and definition, including designation of
the goal to be sought, as defined by the situation which poses the problem. 3. Employing previous experiences, such as relevant information, former
solutions, or ideas to formulate hypotheses and problem-solving propositions. 4. Testing, successively, hypotheses or possible solutions. If necessary, the
problem may be reformulated. 5. Evaluating the solutions and drawing a conclusion based on the evidence. This
involves incorporating the successful solution into one's existing understanding and applying it to other instances of the same problem.
Makna dari pernyataan di atas adalah terdapat lima langkah pemecahan masalah
sebagai berikut: 1) mengenali adanya masalah, yaitu kesadaran atas suatu kesukaran,
perasaan frustasi, keingintahuan, atau keraguan; 2) mengidentifikasi masalah, yaitu
klarifikasi dan definisi, termasuk perumusan sasaran yang hendak dicapai sebagaimana
ditentukan oleh situasi yang mengedepankan masalah itu; 3) memanfaatkan
pengalaman-pengalaman sebelumnya, misalnya: informasi yang relevan, penyelesaian-
penyelesaian, atau gagasan-gagasan terdahulu untuk merumuskan hipotesis-hipotesis
dan proposisi pemecahan masalah; 4) menguji hipotesis-hipotesis atau kemungkinan-
kemungkinan penyelesaian secara berurutan (jika perlu merumuskan kembali masalah
tersebut); dan 5) mengevaluasi penyelesaian-penyelesaian dan menarik kesimpulan
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 139
berdasarkan bukti, yang melibatkan pemasukan penyelesaian ke dalam pemahaman
yang dimiliki orang tersebut dan menerapkannya pada bentuk-bentuk lain dari masalah
yang sama.
Keterampilan berpikir yang dikembangkan dalam proses pemecahan masalah
antara lain kemampuan siswa untuk memahami masalah dan merumuskan pertanyaan
dalam masalah tersebut. Siswa juga perlu memahami kondisi dan variabel yang terlibat
dalam masalah tersebut. Proses untuk memahami kondisi dan variabel dalam masalah
dapat terbantu dengan cara membuat model, diagram, gambar atau mendaftar ide-ide
dalam urutan tertentu. Sejalan dengan itu, siswa perlu berpikir untuk memilih atau
menemukan data yang diperlukan untuk memecahkan masalah. Selanjutnya, siswa
menguraikan dalam bagian-bagian masalah yang perlu dipecahkan terlebih dahulu dan
memilih strategi pemecahan yang sesuai. Siswa harus dapat memberikan jawaban dalam
batasan yang relevan dengan data dalam masalah tersebut. Hal ini berarti, siswa
menyatakan jawaban secara lengkap sesuai dengan apa yang ditanyakan. Selanjutnya,
siswa perlu mengevaluasi apakah jawaban yang diperolehnya tersebut masuk akal atau
cukup rasional. Proses ini mencakup usaha untuk membaca kembali apa masalahnya
dan menguji jawabannya tersebut pada kondisi dan variabel yang terdapat pada
masalah tersebut, mengujinya pada pertanyaan, atau melakukan estimasi untuk
menentukan apakah jawabannya tersebut cukup masuk akal.
Menurut Polya (1973: 5–6) terdapat empat fase dalam pemecahan masalah sebagai
berikut.
… four phases of the work. First, we have to understand the problem; we have to see clearly what is required. Second, we have to see how the various items are connected, how the unknown is linked to the data, in order to obtain the idea of the solution, to make a plan. Third, we carry out our plan. Fourth, we look back at the completed solution, we review and discuss it.
Maknanya adalah empat fase dalam proses pemecahan masalah, yaitu:
1. Memahami masalah
Siswa dapat mengidentifikasi kelengkapan data termasuk mengungkap data yang
masih samar-samar yang berguna dalam penyelesaian;
2. Menyusun rencana
Siswa dapat membuat beberapa alternatif jalan penyelesaian untuk menuju jawaban;
3. Melakukan rencana
Siswa dapat melaksanakan langkah 2) dan mencoba melakukan semua kemungkinan
yang dapat dilakukan; dan
4. Memeriksa kembali kebenaran jawaban
Siswa dapat melengkapi langkah-langkah yang telah dibuatnya ataupun membuat
alternatif jawaban lain.
Setiap langkah yang dilakukan selalu bersifat istimewa karena semuanya dapat
membawa ide berbeda. Ide tersebut akan membongkar segala yang masih rahasia
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 140
menjadi suatu jawaban. Selanjutnya, Polya (1973: 6) menyatakan bahwa “It is generally
useless to carry out details without having seen the main connection, or having made a
sort of plan”. Maknanya adalah siswa bisa saja mengalami kegagalan memperoleh hasil,
karena ide siswa keluar dari keempat fase tersebut dan siswa membuat generalisasi
yang tidak berkaitan dengan keseluruhan data soal. Oleh karena itu, siswa perlu selalu
meneliti setiap tahap yang telah dilakukan. Akibatnya, langkah-langkah pemecahan
dapat saja berubah-ubah atau kembali ke tahap sebelumnya, tergantung kebutuhan
siswa melewati keadaan yang masih rahasia menuju jalan keluar.
E. Proses Heuristik dalam Pemecahan Masalah Matematika
Pemecahan masalah merupakan aktivitas yang kompleks. Hal ini mencakup proses
dalam memori untuk mengingat kembali fakta, penggunaan beragam keterampilan dan
prosedur, kemampuan untuk mengevalusi jalan berpikir dan kemajuan yang dicapai
ketika memecahkan masalah, dan kemampuan lainnya. Lebih jauh lagi, keberhasilan
siswa dalam memecahkan masalah sangat tergantung pada minat siswa, motivasi, dan
kepercayaan diri siswa. Oleh karena itu, pemecahan masalah meliputi koordinasi dari
pengetahuan, pengalaman sebelumnya, intuisi, perilaku, keyakinan dan berbagai
kemampuan lainnya.
Rangkaian aktivitas berpikir siswa dan perilaku siswa selama memecahkan masalah
dapat dianalisa berdasarkan model Polya (Gorman, 1974: 299; Lester, 1985: 45). Proses
pemecahan masalah atau strategi pemecahan masalah ini disebut dengan heuristic. Kata
heuristik menurut Polya (1973: 112) sering disebut sketsa (outline). Strategi heuristik
membuat keadaan masalah menjadi kelihatan belum jelas (samar-samar) dan terkadang
belum sebagai jawaban yang sesungguhnya. Pemecahan masalah menggunakan strategi
heuristik berarti proses pemecahan masalah menggunakan strategi-strategi agar dapat
mengambil keputusan berdasarkan keputusan induktif, analogi, peragaan, atau
mensketsa gambar. Dengan kata lain, strategi heuristik Polya dalam pemecahan
masalah adalah mensketsa kerangka yang paling mungkin. Tujuan dari heuristik adalah
untuk mempelajari metode dan aturan-aturan untuk memperoleh solusi masalah,
sehingga memungkinkan pemecah masalah untuk memperoleh pengertian secara
sistematis dari struktur masalah tersebut melalui usahanya sendiri.
Pada tahap memahami masalah, siswa perlu memahami dengan baik ruang lingkup
dan hakikat masalah yang dihadapi. Untuk itu, siswa harus dapat mencari informasi yang
relevan, mendefinisikan masalah dengan jelas dan menjelaskan dengan kata-katanya
sendiri. Tahap ini merupakan tahap yang penting dimana siswa mengembangkan
pemaknaan dari representasi masalah yang dihadapi sebagai dasar untuk merencanakan
strategi pemecahan masalah (Lester, 1985: 46).
Pada tahap menyusun rencana pemecahan masalah, siswa merumuskan solusi
yang memungkinkan atau menyusun rencana pemecahan. Dalam hal ini, siswa perlu
bimbingan untuk mengenali kapan suatu strategi dapat berguna, memilih strategi atau
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 141
pendekatan yang dipandangnya sesuai dengan masalah tersebut dan melakukan
perbaikan terhadap strateginya. Dalam tahap perencanaan dan pelaksanaan ini terdapat
aktivitas metakognitif untuk memantau kemajuan yang telah dicapai.
Pada tahap evaluasi, siswa melakukan pengujian terhadap dugannya tersebut,
melakukan verifikasi terhadap solusi yang dihasilkan, hingga diperoleh solusi yang tepat
bagi masalah tersebut. Dalam tahap ini, siswa tidak hanya melakukan pengecekan
terhadap solusi yang diperolehnya, tetapi siswa juga bernalar secara induktif untuk bisa
memperoleh beberapa prinsip umum matematika dari solusi yang diperolehnya. Untuk
itu, perhatian guru hendaknya lebih diarahkan kepada usaha siswa memperoleh solusi
daripada kebenaran jawaban semata. Kegiatan diskusi interaktif antarsiswa, maupun
antara siswa dan guru merupakan cara untuk saling mengutarakan ide dalam usahanya
memecahkan masalah. Dalam kesempatan ini, beragam strategi pemecahan masalah
dikemukakan sehingga guru dapat memberikan perhatian terhadap struktur
pengetahuan matematika siswa dalam proses memperoleh solusi.
Polya memberi petunjuk kepada guru matematika untuk memecahkan masalah
dengan strategi heuristik, yaitu membuat keadaan agar terjadi “penyuplai penemuan”
(serving to discovery). Untuk mengefektifkan penerapan heuristik Polya ini, pemecah
masalah harus mampu mengkonstruksi hubungan dalam masalah dengan tepat sesuai
dengan struktur matematika yang ada. Hal ini sesuai dengan pernyataan Silver & Smith
(1980: 146) “To make effective use of Polya’s heuristic suggestion, the problem solver
must be able to construct or recall and appropriate problem related in mathematical
structure to the problem at hand.”.
Strategi heuristik tidak berarti menjamin siswa sudah pasti terbantu pada saat
memecahkan masalah. Polya (1973: 172) menyatakan “A reasonable sort of heuristic
cannot aim at unfailing rules; but it may endeavor to study procedures (mental
operations, moves, steps) which are typically useful in solving problems.”. Maknanya,
penyelenggaraan heuristik yang masuk akal tidak dapat terjadi setiap saat, tetapi
dengan melakukan strategi heuristik berarti siswa berusaha keras mempelajari prosedur
operasi yang telah digunakan dengan cara menukar-nukar langkah yang lebih
memungkinkan. Sebelum menemukan penyelesaian, siswa perlu mencari jejak langkah-
langkah sebelumnya, mengevaluasi prosedur yang dibuat sampai benar-benar
dimengerti, memilih cara yang paling benar, dan menentukan langkah yang terlengkap
dalam eksplorasi masalah dan menyelesaikannya secara keseluruhan. Oleh karena itu,
dalam mengimplementasikan suatu langkah, siswa harus berani menentukan bahwa
yang dilakukan itu adalah benar, juga mampu memanfaatkan semua yang diperolehnya
untuk menentukan atau memutuskan penyelesaian yang paling baik. Seperti itulah peran
yang dilakukan seorang pemecah masalah yang menggunakan kognitif dan
metakognitifnya dalam melakukan operasi, penerapan intelektualnya, dan sanggup
mengatur bagian-bagian masalah yang dimiliki secara tepat.
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 142
Seandainya hanya sebagian dari strategi heuristik yang diterapkan dan seorang
pemecah masalah hanya mencoba dalam waktu relatif singkat, bisa saja siswa tersebut
sudah dapat mengungkap suatu masalah bahkan sampai keseluruhan dapat
diselesaikan. Hal ini dapat terjadi jika siswa tepat memilih strategi heuristik yang cocok
untuk dipakai. Tetapi siswa juga dapat mencoba-cobakan beberapa kunci meskipun
membutuhkan waktu yang panjang. Oleh karena itu, betapa pentingnya mengetahui
kunci yang sesuai. Hal ini sesuai pernyataan Schoenfeld (1980: 14) sebagai berikut: “If
problem solver have only the time to try a few of those keys, they may fail to unlock the
problem – even if the right key was at their disposal all long. Selecting the key is as
important as knowing how to use it”.
Guru menyadari bahwa siswa membutuhkan banyak prosedur sebagai pedoman
untuk menuntaskan suatu masalah agar menemukan celah jalan keluar dari inti
permasalahan. Terkadang siswa kehabisan akal dan siswa menjadi frustasi. Keadaan ini
membutuhkan arahan dari guru agar siswa tetap mau berkreasi sehingga membantunya
untuk menemukan ide. Misalnya guru melakukan strategi heuristik sehingga siswa dapat
menemukan inti permasalahan (kunci persoalan atau ide utama) yang harus ditempuh.
Berkaitan dengan ini, Suydam (1980: 43) menyatakan “Children need and overall
procedure for attacking a problem; this provides a global sense of security. Then they
need specific strstegies that they can apply within the global structure.” Maknanya
adalah hanya melalui strategi-strategi spesifik, siswa dapat menemukan ide yang
membantunya keluar dari kesulitan. Ketika menentukan strategi spesifik yang dimaksud,
guru dapat memperkenalkan metode heuristik mengenai kegiatan mentransfomasi data
soal menjadi sederhana, menyusun generalisasi dari transformasi tersebut dan
mengaplikasikannya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Suydam (1980: 40) “The heuristic
method involves such factors as transformastion, goal reduction, an application; it is
slower but more general and flexible.”.
Untuk menempuh tahap-tahap pemecahan masalah matematika, siswa berusaha
mengartikan bentuk simbol yang dihadapi dan menggunakan simbol-simbol tersebut
berdasarkan pemahamannya. Ketika mengartikan bentuk simbol yang dihadapi, guru
dapat memperhatikan kinerja siswanya, dan membiarkan siswa secara bebas
menggunakan notasi yang ada atau mencoba menghubungkan bentuk-bentuk yang
dihadapi. Siswa membutuhkan bantuan dalam pemikirannya berupa wawasan dan kata
atau simbol atau notasi yang perlu dipakainya. Brown (Franke & Carey, 1997: 84)
mengisyaratkan bahwa dalam mengenal notasi, simbol ataupun istilah-istilah
matematika, sebaiknya guru menjaga agar siswa tidak bingung, bahkan kalau bisa guru
membantu mereka menterjemahkan suatu simbol atau notasi-notasi yang ada.
Ada kalanya suatu masalah matematika memerlukan penyusunan pemecahan
secara luar biasa dan membutuhkan penyelesaian yang unik. Oleh karena itu, sebaiknya
siswa harus memiliki kreativitas yang tinggi dan diimbangi dengan semangat yang
kontinu dalam mencari pemecahan masalah. Walaupun hubungan antara tingkat kreasi
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 143
dan intelegensi bukanlah hal penentu, tetapi faktor kreativitas siswa yang tinggi dan oleh
integritas gurunya maka kemampuan siswa lebih memungkinkan untuk memanfaatkan
kreasi dalam melakukan pemecahan masalah. Kreativitas menemukan jawaban
merupakan kegiatan pemecahan masalah dan kreativitas dapat membenahi masalah
yang masih kacau menjadi jawaban yang benar. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan
Posamentier & Stepelman (1990: 131-132) sebagai berikut.
If there is difficulty in teaching effective ways of using the techniques of problem solving, there is, perhaps, greather difficulty in teaching for “creativity”. One of the major difficulties is in defining the term itself. At one time, it was thought that creativity was a genetic capacity granted to the fortunate few, but now a number of psychologists have attempted to demonstrate that processes associated with creativity are teachable (or, at least, encourageable). For our purposes, we may define creativity as the ability to evolve unusual, highly useful or unique solutions to problems.
Berdasarkan pendapat mengenai peran guru dalam membantu siswa melakukan
pemecahan masalah di atas, dapat disimpulkan bahwa guru harus berusaha melatih
siswa agar berani melakukan pemecahan sendiri. Proses pemecahan masalah
diperkenalkan guru kepada siswa melalui dialog yang mengakibatkan siswa terlibat
dalam kreativitas mengkaji soal dan mengeksplorasinya hingga menuntaskan
penyelesaian. Agar suatu soal memungkinkan untuk membuat siswa melakukan
pemecahan masalah, guru harus mempersiapkan soal-soal yang sesuai dengan
kemampuan siswa. Begitu pula karena memecahkan masalah membutuhkan kreasi dan
kreativitas yang tinggi, guru hendaknya memperhatikan bantuan yang diberikan kepada
siswa agar siswa tetap bersemangat menghadapi situasi-situasi yang sulit. Siswa
disibukkan dengan aktivitas strategi heuristik dan berusaha mendapatkan cara yang
spesifik agar penemuan yang luar biasa dapat terjadi pada siswa.
Polya berharap agar pada saat siswa memecahkan suatu masalah matematika,
guru memberi arahan melalui pertanyaan “Apakah kamu tahu hubungan yang ada dalam
masalah ini?”. Oleh karena itu, guru perlu menyediakan pertanyaan-pertanyaan yang
ditujukan kepada siswa untuk mengontrol keadaan siswa, sehingga guru dapat
memperbaiki kesalahan siswa. Apabila ditemukan beberapa cara yang dianggap benar,
siswa perlu membedakan kelebihan dan kekurangan cara-cara tersebut, bahkan siswa
nantinya menetapkan sendiri cara yang paling sesuai. Apabila guru selalu mengarahkan
siswa melalui pertanyaan “Bagaimana cara kamu melakukannya?”, maka secara eksplisit
guru akan membentuk kemungkinan siswa untuk mencoba menemukan jawaban dengan
cara sendiri.
Selanjutnya, Polya (1973: 172 & 206) menganjurkan dalam melakukan pemecahan
masalah sebaiknya guru memiliki semangat yang tinggi, berintelegensi dan berintegritas
tinggi dalam memberikan pertanyaan atau pemberian anjuran yang akan membantu
siswa. Untuk melakukan hal ini sangat diperlukan falsafah yang tidak memberikan
langkah yang sudah jadi (harus samar-samar). Intelegensi yang diperlukan dalam
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 144
pembelajaran pemecahan masalah adalah harus mampu memberikan pertanyaan dan
pedoman yang membantu. Guru harus benar-benar mengerti dengan keterangan dan
ilustrasi contoh suatu pertanyaan yang diberikannya, dan lugas menempatkan
pertanyaan itu untuk menggugah semangat kerja siswa.
F. Kategori Kemampuan Siswa
Kategori kemampuan siswa sangat erat kaitannya dengan perolehan hasil belajar.
Oleh karena itu, kategori kemampuan merupakan hal yang penting untuk diperhatikan
khususnya dalam pengembangan pendekatan pembelajaran baru agar tercipta
pembelajaran yang lebih berpusat pada siswa dengan hasil optimal. Perhatian tersebut
terutama ditujukan pada antisipasi untuk melakukan intervensi yang perlu dipersiapkan
guru sesuai dengan latar belakang kemampuan siswa.
Apabila berhadapan dengan sejumlah siswa yang tidak dipilih secara khusus
kecerdasannya, maka diantara mereka terdapat siswa pandai, sedang, dan lemah,
dimana sebagian besar dari mereka mempunyai inteligensi sedang-sedang saja (normal).
Dengan demikian, dari sekelompok siswa yang tidak dipilih secara khusus terdapat
sejumlah siswa berbakat yang ada di atas kelompok sedang yang jumlahnya sama
dengan siswa tidak berbakat yang ada dibawah kemampuan siswa sedang tersebut. Hal
ini seperti yang diungkapkan oleh Grossnickle, Reckzeh, Perry et al (1983: 350) sebagai
berikut “Pupils in the top quarter of the norm group are among the rapid learners in
mathematics, whereas the pupils who score in the lowest quarter are among the slow
learners. The middle 50 percent are relatively homogeneous in their abilities to achieve
in mathematics.”.
Berdasarkan hasil tes siswa, dapat ditentukan seberapa besar jumlah siswa yang
berada pada kelompok atas, sedang, dan bawah. Menurut Suharsimi Arikunto (2006:
212), 27% skor teratas disebut kelompok atas (tinggi), 27% skor terbawah disebut
kelompok bawah (rendah), dan sisanya merupakan kelompok sedang.
Berdasarkan pendapat di atas, maka pengelompokan kemampuan siswa dalam
penelitian ini dibuat berdasarkan rata-rata nilai tes prasyarat dan nilai tes awal ruang
dimensi tiga yang terdiri dari tiga kelompok kategori yaitu rendah, sedang, dan tinggi.
G. Faktor-faktor yang dapat Meningkatkan Kemampuan Memecahkan Masalah Matematika
Kemampuan pemecahan masalah siswa berkembang secara perlahan dan kontinu.
Terdapat beberapa aspek dalam diri siswa yang perlu dikembangkan untuk menunjang
kemampuannya dalam memecahkan masalah antara lain adalah: 1) strategi pemecahan
masalah; 2) proses metakognitif; dan 3) keyakinan dan perilaku siswa terhadap
matematika, yaitu mencakup kepercayaan diri, tekad, kesungguh-sungguhan dan
ketekunan siswa dalam mencari pemecahan masalah.
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 145
Strategi pemecahan masalah merupakan metode yang dapat diidentifikasi untuk
melakukan pendekatan dalam menyelesaikan masalah, sehingga suatu strategi
pemecahan masalah dapat digeneralisasi. Pendekatan terhadap masalah juga mencakup
usaha untuk memahami masalah, mengidentiflkasi informasi yang relevan dan yang
tidak relevan, memilih strategi yang sesuai, serta menilai apakah jawaban yang
dihasilkan tersebut rasional. Dalam proses memecahkan masalah, siswa perlu memantau
jalan berpikirnya. Proses metakognitif ini, siswa menyadari bagaimana dan mengapa
dirinya melakukan hal tersebut, siswa juga menyadari langkah yang diambil apakah
berjalan dengan baik atau menemui hambatan sehingga dapat mendorong siswa untuk
memikirkan alternatif lain atau berusaha memahami kembali apa masalahnya.
Sebagaimana halnya dengan strategi, kemampuan metakognitif ini juga dapat dipelajari.
Keyakinan diinterpretasikan sebagai pemahaman dan perasaan seseorang yang
membentuk konseptualisasi dan keterikatan seseorang dengan matematika. Di samping
penguasaan siswa akan beragam strategi pemecahan masalah dan pentingnya proses
metakognitif, bagaimana perasaan siswa tentang pemecahan masalah dan tentang
matematika secara umum mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap usahanya
untuk memecahkan masalah dan keberhasilannya dalam matematika.
Menurut Gorman (1974: 312), faktor-faktor yang dapat meningkatkan kemampuan
pemecahan masalah, antara lain adalah kemampuan mencari informasi yang relevan.
Siswa harus dapat membedakan informasi yang relevan dan yang tidak relevan terhadap
masalah yang dihadapinya. Kemudian, faktor kemampuan dalam memilih pendekatan
pemecahan masalah. Pendekatan pemecahan masalah yang berdasarkan pada
keterampilan bernalar berupa uji hipotesis lebih efektif dibandingkan dengan pendekatan
yang tidak berdasarkan pada keterampilan bernalar. Namun, terkadang strategi yang
digunakan untuk memperoleh solusi tidak selalu berjalan dengan baik sehingga siswa
juga perlu memiliki fleksibilitas dalam memilih pendekatan dan fleksibilitas dalam
berpikir. Di samping itu, objektivitas dan keterbukaan dalam berpikir juga dapat
meningkatkan kemampuan siswa dalam memecahkan masalah. Objektivitas dapat
membantu siswa untuk bernalar secara logis.
Schoenfeld (1992: 348) mensintesiskan lima aspek kognitif penting, yaitu: basis
pengetahuan, strategi pemecahan masalah, monitoring dan kontrol, keyakinan dan
kesungguhan, serta latihan-latihan. Kemampuan siswa dalam memecahkan masalah
terkait dengan pengetahuan yang dimilikinya, yaitu pengetahuan yang tersimpan dalam
memorinya, dan bagaimana pengetahuan tersebut dikembangkan. Basis pengetahuan
matematika siswa meliputi pengetahuan informalnya tentang matematika dan
pengetahuan intuitif, fakta dasar, definisi, prosedur algoritmik, prosedur rutin,
pengetahuan tentang rumus-rumus, prinsip matematika atau aturan lain yang relevan.
Proses untuk mengakses pengetahuan yang tersimpan dalam memori tersebut dapat
digambarkan pada Bagan 1 (Schoenfeld, 1992: 351).
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 146
Kegiatan memproses informasi tersebut bermula dari rangsang yang dapat diterima
oleh indera manusia, yaitu informasi yang diperoleh dari penglihatannya,
pendengarannya atau perabaannya dari lingkungan di sekitarnya atau dari suatu
penugasan. Kemudian, bila informasi tersebut tidak diabaikan akan diubah dalam bentuk
yang dapat diproses dalam otak manusia untuk disimpan dalam memorinya. Beberapa
informasi akan hilang atau tidak tersimpan, atau hanya tersimpan sementara dalam
memori jangka pendek dan beberapa akan bertahan dalam memori jangka panjang
siswa. Pengetahuan matematika yang tersimpan dalam memori jangka panjang siswa
inilah yang akan dimanfaatkan untuk mencari penyelesaian masalah. Penemuan untuk
menyelesaikan masalah berdasarkan pengetahuan tergantung dari muatan dalam
memori siswa. Berdasarkan tingkatan pengetahuan siswa berkaitan dengan masalah
yang dihadapinya, masalah dapat dibagi menjadi empat, yaitu: 1) sama sekali tidak
mengetahui; 2) mengetahui keberadaannya tetapi tidak secara detil; 3) mengetahui
sebagian atau memiliki dugaan secara detil tetapi tidak terlalu yakin; dan 4) yakin
mengetahui.
Bagan 1.The Structure of Memory
Dalam pembelajaran, setidaknya ada dua unsur yang terlibat yaitu siswa dan guru.
Bagaimana keyakinan siswa tentang matematika dan bagaimana keyakinan guru
tentang matematika tentu berpengaruh terhadap proses pembelajaran itu sendiri.
Keyakinan siswa tentang hakikat matematika antara lain: masalah matematika hanya
memiliki satu jawaban benar, dan hanya ada satu cara yang benar untuk menyelesaikan
masalah matematika. Cara itu biasanya adalah cara yang sering diajarkan guru di kelas.
Siswa umumnya juga berkeyakinan bahwa belajar matematika merupakan aktivitas
terisolir dan individu, matematika yang dipelajari di sekolah hanya memiliki sedikit
keterkaitan atau tidak terkait sama sekali dengan dunia nyata. Siswa berkemampuan
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 147
Problem
Task
Enviroment
Sensory
Buffer
Stimuli
Visual Auditory Tactile
Working Memory
Metalevel processes:
Planning Monitoring Evaluation
Mental Representations
Long-term Memory
Math knowledge
Metacognitive knowledge
Beliefs about: math self
Real-word knowledge
OUTPUT
rata-rata tidak dapat diharapkan untuk bisa memahami matematika, sehingga mereka
merasa lebih mudah untuk menghafalkan saja dan menerapkannya secara mekanistis
tanpa pemahaman. Adapun keyakinan guru tentang matematika misalnya: matematika
lebih merupakan ide dan proses berpikir daripada fakta, matematika akan lebih baik
dipahami dengan cara menemukan kembali ide tersebut. Oleh karena itu, penemuan dan
verifikasi merupakan proses yang penting dalam pembelajaran matematika. Guru juga
berkeyakinan bahwa tujuan utama dari belajar matematika adalah mengembangkan
keterampilan bernalar yang penting bagi pemecahan masalah. Guru harus merancang
dan mengelola aktivitas belajar yang bersifat terbuka dan informal agar siswa memiliki
kebebasan untuk bertanya dan mengeksplorasi ide mereka sendiri. Guru seharusnya
mendorong siswa untuk membuat dugaan dan menalar sesuatu dengan usahanya sendiri
daripada menunjukkan kepada siswa bagaimana cara mencapai solusi atau jawaban.
Guru seharusnya dapat menarik intuisi dan pengalaman siswa ketika menyajikan suatu
materi agar menjadikannya lebih bermakna (Schoenfeld, 1992: 359–360).
Kemampuan pemecahan masalah merupakan keterampilan yang diperoleh siswa
dari belajar matematika, sehingga latihan merupakan hal yang penting agar siswa
semakin terampil. Semakin siswa berpengalaman dalam memecahkan beragam
masalah, semakin baik pula kemampuan pemecahan masalahnya.
Strategi pemecahan masalah yang biasa diajarkan dalam pembelajaran
matematika, antara lain: strategi coba-coba atau menebak kemudian menguji, membuat
gambar, menggunakan model matematika, mencari pola, membuat tabel, membuat dan
mengorganisir data atau informasi, bekerja mundur, menalar dengan logika, mencoba
pada masalah analog yang lebih sederhana, menuliskan persamaan atau kalimat
terbuka, menggunakan kalkulator atau komputer, memperhitungkan segala
kemungkinan, atau menggunakan sudut pandang yang berbeda (Posamentier &
Stepelman, 1990: 117–118). Akan lebih baik bila siswa tidak hanya dilatih untuk
menggunakan satu strategi dalam memecahkan masalah. Untuk itu, siswa diberi
kebebasan untuk melakukan dugaan dan pembuktian sendiri berdasarkan konsep-
konsep matematika yang dimilikinya. Siswa hendaknya memiliki keterampilan untuk
memilih sendiri strategi apa yang tepat untuk masalah yang dihadapinya tersebut, siswa
juga hendaknya dapat menggunakan strategi tersebut pada beragam masalah yang
melibatkan konteks yang berbeda dan bagian yang berbeda dari matematika.
Posamentier & Stepelman (1990: 132) memaparkan faktor-faktor yang dapat
meningkatkan kreativitas siswa dalam memecahkan masalah dilihat dari aspek
lingkungan belajar dan guru, antara lain: 1) menyediakan lingkungan belajar yang
mendorong kebebasan siswa untuk berekspresi; 2) menghargai pertanyaan siswa
dan ide-idenya; 3) memberi kesempatan bagi siswa untuk mencari dan menemukan
solusi dengan caranya sendiri; dan 4) memberi penilaian terhadap orisinalitas ide siswa
dan mendorong pembelajaran kooperatif yang mengembangkan kreativitas pemecahan
masalah siswa. Bentuk kegiatan pemecahan masalah secara berkelompok dinilai lebih
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 148
efektif daripada dilakukan secara individual. Faktor lain yang dapat meningkatkan
kemampuan pemecahan masalah dari aspek guru yaitu perlakuan motivasional terhadap
siswa seperti memberikan toleransi dan pengertian.
Dengan demikian, faktor-faktor yang dapat meningkatkan kemampuan pemecahan
masalah siswa adalah kemampuan memahami ruang lingkup masalah dan mencari
informasi yang relevan untuk mencapai solusi, kemampuan dalam memilih pendekatan
pemecahan masalah atau strategi pemecahan masalah dimana kemampuan ini
dipengaruhi oleh keterampilan siswa dalam merepresentasikan masalah dan struktur
pengetahuan siswa. Keterampilan berpikir dan bernalar siswa yaitu kemampuan berpikir
yang fleksibel dan objektif. Kemampuan metakognitif atau kemampuan untuk melakukan
monitoring dan kontrol selama proses memecahkan masalah. Keyakinan yang positif
tentang belajar matematika. Perilaku siswa yang positif, yaitu mencakup kepercayaan
diri, tekad, kesungguh-sungguhan dan ketekunan siswa dalam mencari pemecahan
masalah serta latihan-latihan.
Berdasarkan uraian di atas, maka pemecahan masalah merupakan suatu subjek
(materi yang harus dipelajari), strategi pembelajaran dan merupakan kemampuan
berpikir tingkat tinggi dalam matematika yang harus dimiliki oleh siswa sehingga dapat
melakukan aktivitas matematika “doing math” dalam situasi di dalam maupun di luar
pembelajaran. Selanjutnya, kemampuan memecahkan masalah matematika dalam
penelitian ini merupakan kemampuan berpikir siswa dalam menyelesaikan soal
matematika berdasarkan pada suatu kegiatan yang lebih mengutamakan pentingnya
prosedur, strategi, dan karakteristik yang ditempuh oleh siswa dalam menyelesaikan
masalah sehingga menemukan jawaban soal.
Dalam penelitian ini, pemecahan masalah dianggap sebagai standar kemampuan
yang harus dimiliki siswa setelah menyelesaikan suatu pembelajaran. Kemampuan
memecahkan masalah menjadi target pembelajaran matematika yang sangat berguna
bagi siswa dalam kehidupannya. Melalui aktivitas pemecahan masalah, siswa dapat
memperbaiki kemampuan dirinya melakukan semua ketentuan pemecahan masalah.
Siswa menjadi biasa melakukan tahap-tahap pemecahan masalah matematika dan
melengkapi keterampilan pendukung untuk menyelusuri setiap tahap pemecahan.
Kemampuan pendukung tersebut diantaranya berkolaborasi, melakukan kooperatif,
bernegosiasi dengan sesama teman dan guru. Sementara guru berperan sebagai
fasilisator dan motivator, dengan setiap usaha yang dilakukannya tidak bersifat menilai
tetapi hanya bersifat mendorong dan selalu menghargai setiap solusi yang diperoleh
siswa.
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 149
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 150
DAFTAR PUSTAKA
Branca, N. A. (1980). Problem solving as a goal, process, and basic skill. Dalam S. Krulik & R. E. Reys. (Eds.), Problem Solving in School Mathematics (pp. 3–8). Reston, VA: NCTM, Inc.
Dahar, R.W. (1988). Teori-Teori Belajar. Jakarta: P2LPTK.
Driscoll, M.(1991) Psychology of Learning for Instruction: Allyn and Bacon.
Erman Suherman Ar, Turmudi, Didi Suryadi, dkk. (2003). Strategi pembelajaran matematika kontemporer. Bandung: JICA – UPI.
Elliott, S. N., Kratochwill, T. R., Cook, J. L. et al. (2000). Educational psychology: Effective teaching, effective learning (3rd ed.). New York: McGraw-Hill Companies, Inc.
Fajar Shadiq. (Agustus 2004). Pemecahan masalah, penalaran dan komunikasi. Makalah disajikan pada Diklat Instruktur/Pengembang Matematika SMA Jenjang Dasar, di PPPG Matematika Yogyakarta.
Flavell, J. H. (1963). The developmental psychology of Jean Piaget. New York: D. Van Nostrand Company.
Franke, M. L., & Carey, D. A. (1997). Young children's perceptions of mathematics in problem solving environments. Journal for Research in Mathematics Education, 28(1), 9–25.
Freudenthal, H. (1973). Mathematics as an educational task. Dordreeht: Reidel Publishing Company.
Gagne, R. (1962). Military training and principles of learning. American Psychologist, 17, 263-276.
Gagne, R. (1985). The Conditions of Learning (4th ed.). New York: Holt, Rinehart & Winston.
Gagne, R. (1987). Instructional Technology Foundations. Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum Assoc.
Gorman, R. M. (1974). The psychology of classroom learning: An inductive approach. Columbus, Ohio: Bell and Howell Company.
Grossnickle, F. E., Reckzeh, J., Perry, L. M., et al. (1983). Discovering meaning in elementary school mathematics. New York: CBS College Publishing.
Herman Hudojo. (1988). Mengajar belajar matematika. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Herman Hudojo. (2005). Pengembangan kurikulum dan pembelajaran matematika. Malang: Universitas Negeri Malang.
http://tip.psychology.org/gagne.html
Killpatrick, L. (2001). Gagne's Nine Events of Instruction. In B. Hoffman (Ed.), Encyclopedia of Educational Technology. Retrieved March 12, 2007, from http://coe.sdsu.edu/eet/Articles/ gagnesevents/start.htm Conditions of Learning: Gagne http://tip.psychology.org/gagne.html
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 151
Lefrançois, G. R. (2000). Psychology for teaching (10th ed.). London: Wadsworth.
Lester, F. K. (1980). Research on mathematical problem solving. Dalam Richard J. Shumway (Eds.), Research in Mathematics Education (pp. 286–323). Reston, VA: NCTM, Inc.
Lester, F. K. (1985). Methodological consideration in research on mathematical problem-solving instruction. Dalam Edward A. Silver (Eds.), Teaching and Learning Mathematical Problem Solving: Multiple Research Perspectives (pp. 41–69). Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum Associates.
NCTM. (2000). Principles and standards for school mathematics. Reston, VA: NCTM, Inc.
Ormrod, J. E., (2003). Educational psychology developing learners (4th ed.). New Jersey: Pearson Education, Inc.
Osborne, A. & Kasten, M. B. (1980). Option about problem solving in the curriculum for the 1980s: A report. Dalam S. Krulik & R. E. Reys (Eds.), Problem solving in school mathematics (pp. 51–60). Reston, VA: NCTM, Inc.
Paul Suparno. (1997). Filsafat konstruktivisme dalam pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.
Paulina Pannen, Dina Mustafa, & Mestika Sekarwinahyu. (2001). Konstruktivisme dalam Pembelajaran. Jakarta: Universitas Terbuka.
Polya, G. (1973). How to solve it. A new aspect of mathematical method. New Jersey: Princeton University Press.
Polya, G. (1981). Mathematical discovery. On understanding, learning, and teaching problem solving. United States of America.
Posamentier, A. S., & Stepelmen, J. (1990). Teaching secondary school mathematics: Techniques and enrichment units (3rd ed.). Columbus, Ohio: Merrill Publishing Company.
Robert Gagne's Instructional Design Approach http://www.gsu.edu/~mstswh/courses/it7000/papers/ robert.htm .
Schoenfeld, A. H. (1980). Heuristic in Classroom. Dalam S. Krulik & R. E. Reys (Eds.), Problem solving in school mathematics (pp. 9–22). Reston, VA: NCTM, Inc.
Schoenfeld, A. H. (1992). Learning to think mathematically: Problem solving, metacognition, and sense making in mathematics. Dalam D. A. Grouws (Eds.), Handbook of Research on Mathematics Teaching and Learning (pp. 334–370). New York: MacMillan Publishing Company.
Silver, E. A., & Smith, J. P. (1980). Think of a related problem. Dalam S. Krulik & R. E. Reys (Eds.), Problem solving in school mathematics (pp. 146–156). Reston, VA: NCTM, Inc.
Skemp, R. R. (1971). The psychology of learning mathematics. New York: Penguin Books Ltd.
Sri Rumini, Dimyati Mahmud, Siti Sundari, dkk. (1993). Psikologi pendidikan. Yogyakarta: UPP Universitas Negeri Yogyakarta.
Steffe, L. P., & Kieren, T. (1994). Radical constructivism and mathematics education. Journal for Research in Mathematics Education. 25(6), 711–733.
Suharsimi Arikunto. (2006). Dasar-dasar evaluasi pendidikan (Edisi Revisi). Jakarta: Bumi Aksara.
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 152
Suydam, M. N. (1980). Untangling Clues from Research on Problem Solving. Dalam S. Krulik & R. E. Reys (Eds.), Problem solving in school mathematics (pp. 34–50). Reston, VA: NCTM, Inc.
Winkel, W.S. (1996). Psikologi pengajaran. Jakarta: P.T. Grasindo.
Woolfolk, A., & McCune-Nicolich, L. (1984). Educational psychology for teachers (2nd ed.). New Jersey: Printice-Hall, Inc.
Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si 153