Prosedur Lapangan Metode Tahanan Jenis
-
Upload
c-charming-hidayati -
Category
Documents
-
view
320 -
download
10
description
Transcript of Prosedur Lapangan Metode Tahanan Jenis
PROSEDUR LAPANGAN METODE TAHANAN JENIS
A. Konfigurasi elektrode Wenner
Konfigurasi Wenner merupakan salah satu konfigurasi yang sering digunakan dalam
eksplorasi geolistrik dengan susunan jarak antar elektroda sama panjang seperti yang
terlihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Susunan Elektroda Konfigurasi Wenner (Hendrajaya dan Arif, 1990)
Dalam hal ini elektroda-elektroda, baik arus maupun potensial diletakkan secara
simetris terhadap titik sounding. Jarak antar elektroda arus tiga kali jarak antar
elektroda potensial. Jadi, jika jarak masing-masing potensial terhadap titik souding
adalah a/2 maka jarak masing-masing elektroda arus terhadap titik sounding adalah 3a/2.
Pada tahanan jenis mapping, jarak spasi elektroda tersebut tidak berubah-ubah untuk
setiap titik sounding yang diamati (besarnya a tetap). Sedangkan pada tahanan jenis
sounding, jarak spasi elektroda tersebut diperbesar secara gradual, mulai dari harga “a”
kecil, untuk suatu titik sounding. Model pengukuran 2-D dengan metode Wenner terlihat
pada Gambar 2.
Gambar 2. Model Pengukuran 2D dengan Konfigurasi Wenner. (Loke, 1999).
Batas pembesaran spasi elektroda ini tergantung pada kemampuan alat yang dipakai.
Semakin sensitif dan besar arus yang dapat dihasilkan alat tersebut, maka semakin besar pula
jarak spasi yang dapat diukur, sehingga semakin dalam pula lapisan yang terdeteksi.
Adanya sifat bahwa pembesaran jarak elektroda arus diikuti pula oleh pembesaran jarak
elektroda potensial menyebabkan jenis konfigurasi Wenner dapat mendeteksi ketidak-
homogenan lokal dari lokasi yang diamati.
Dalam prosedur Wenner pada tahanan jenis mapping, empat elektroda konfigurasi
(C2P2P1C1) dengan spasi yang sama dipindahkan secara keseluruhan dengan jarak yang
tetap sepanjang garis pengukuran. Pemilihan spasi terutama tergantung pada kedalaman
lapisan yang akan dipetakan (Sharma, 1997).
Konfigurasi Wenner mempunyai kelebihan dan kekurangan. Menurut Burger (2006),
kelebihan konfigurasi Wenner adalah dengan lebar spasi elektroda potensial yang besar maka
tidak memerlukan peralatan yang sensitif. Sedangkan kekurangannya adalah semua elektroda
harus dipindahkan untuk setiap pembacaan data resistivitas. Hal ini untuk mendapatkan
sensitifitas yang lebih tinggi untuk daerah lokal dan variasi lateral dekat permukaan.
Kedalaman investigasi yang dicapai oleh konfigurasi Wenner dengan menggunakan
penetrasi kedalaman adalah: Ze = 0,519 × “a”. Sedangkan faktor geometri Wenner sebesar:
Dari hambatan jenis yang terbaca dalam konfigurasi Wenner dapat dinyatakan dalam rumus:
A. Akuisisi Data Lapangan
Proses pengambilan data pada metode geolistrik mempunyai beberapa tahap
pelaksanaan. Tahap pelaksanaan tersebut adalah:
Tahap I : Penentuan titik sounding pada peta lapangan.
Pada umumnya, sebelum melakukan pengukuran geolistrik di lapangan, peta lapangan
yang akan disurvei perlu dipelajari terlebih dahulu untuk menentukan posisi yang tepat
bagi titik-titik sounding.
Tahap II : Penempatan titik sounding di lapangan.
Pada tahap ini, titik-titik sounding yang telah ditentukan pada peta lapangan di cari
posisinya secara tepat di lapangan. Berdasarkan referensi-referensi yang didapat di
lapangan, misalnya letak bangunan, pohon, sungai dan lain-lain dengan bantuan kompas.
Letak titik-titik tersebut mestinya akan dapat ditentukan dengan tepat dan lurus.
Tahap III : Pengambilan data.
Pada titik sounding, ditentukan bentangan elektroda berupa garis lurus dengan titik
sounding merupakan titik tengah. Arah bentangan yang dipilih adalah arah bentangan
yang lurus. Kemudian dibentangkan (tali yang sudah diberi jarak tertentu) sesuai dengan
arah tersebut. Sementara itu, diatur peralatan pengukuran (resistivitymeter, 2 gulung
kabel arus, 2 gulung kabel potensial, elektroda dan lainnya) sedemikian rupa sehingga
mempermudah pelaksanaan pengukuran nantinya. Pertama diukur posisi awal dengan
menggunakan GPS (Global Positioning System) untuk menentukan posisi terhadap garis
lintang dan garis bujur, kemudian dilakukan pengukuran geolistrik.
Disamping seorang operator dan pencatat data, pada pelaksanaan pengukuran diperlukan
paling sedikit 4 orang pembantu, yaitu masing-masing bertugas untuk memindahkan
salah satu dari ke-empat elektroda ( 2 elektroda arus dan 2 elektroda potensial). Akuisisi
data di lapangan dilakukan dengan menggunakan metode geolistrik tahanan jenis.
Konfigurasi elektroda yang digunakan adalah konfigurasi Wenner.
B. Pengolahan Data
Setelah dilakukan akuisisi data di lapangan maka didapatkan hasil datan tentang
resistivitas dari tiap-tiap titik, kemudian data tersebut dikalikan dengan faktor geometri
untuk mendapatkan harga resistivitas semu (ρaw) yang akan digunakan dalam membuat
kontur dengan menghubungkan tiap-tiap nilai ρaw tersebut.
Dalam tahap pengolahan data ini dilakukan dengan komputer dengan menggunakan
perangkat lunak Res2DInv. Perangkat lunak ini mengolah data yang didapatkan dari
akuisisi lapangan. Pemodelan 2-D dilakukan dengan menggunakan program inversi.
Program inversi ini menggambarkan dan membagi keadaan bawah permukaan dalam
bentuk penampang 2-D. Program inversi ini juga menentukan harga resistivitas semu
terukur dan terhitung. Metode inversi yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
kuadrat terkecil (least square).
C. Analisa Data
Pada penelitian ini telah dilakukan pengambilan data geolistrik dengan konfigurasi
Wenner. Data-data geolistrik tersebut kemudian diolah dengan menggunakan perangkat
lunak Res2dinv untuk mendapatkan tampilan 2 dimensi kontur resistivitas dari struktur
lapisan tanah bawah permukaan. Tampilan 2 dimensi yang dihasilkan dari perangkat
lunak Res2dinv tersebut terdiri dari tiga kontur isoresistivitas pada penampang
kedalaman semu (pseudodepth section). Penampang yang pertama menunjukkan kontur
resistivitas semu pengukuran (measured apparent resistivity), yaitu data resistivitas semu
yang diperoleh dari pengukuran di lapangan (akusisi data). Penampang yang kedua
menunjukkan kontur resistivitas semu dari hasil perhitungan (calculated apparent
resistivity). Dan penampang yang ketiga adalah kontur resistivitas sebenarnya yang
diperoleh setelah melalui proses pemodelan inversi (inverse model resistivity section)
(Telford, 1976).
Lintasan 1
Akuisisi data resistivitas bumi pada survei lintasan 1 ini dilakukan dengan
mengambil lintasan sepanjang 200 meter dengan titik awal (titik 0 meter) berada pada
koordinat 112°43’03,2” BT dan 07°31’53,6” LS yang membentang pada arah E 98°
S di bahu jalan dengan variasi jarak antar elektroda berturut-turut 5 meter, 10 meter,
dan 15 meter.
Dari hasil pengukuran diperoleh harga resistivitasnya berkisar antara 0,198 – 76,2
Ωm. Pengolahan data dengan menggunakan Res2DInv untuk lintasan 1 diperoleh
penampang harga resistivitas semu seperti pada Gambar 3.
Gambar 3. Penampang Harga Resistivitas Semu dari Hasil Inversi Lintasan 1.
Dari Gambar 3 terlihat beberapa bidang lemah yang ditunjukkan dengan warna
biru dan hijau dengan harga resistivitas antara 0,198 – 5,84 Ωm yang memotong
perlapisan antar batuan yang memiliki nilai resistivitas yang lebih tinggi. Bidang-
bidang ini diperkirakan merupakan patahan.
Lintasan 2
Untuk akuisisi data resistivitas bumi pada survei lintasan 2 dilakukan dengan
mengambil lintasan sepanjang 120 meter dengan titik awal (titik 0 meter) berada pada
koordinat 112°43’10,2” BT dan 07°31’53,5” LS yang membentang ke arah N 5° E di
bahu jalan dengan variasi jarak antar elektroda berturut-turut 5 meter, 10 meter, 15
meter dan 20 meter.
Dari hasil pengukuran diperoleh harga resistivitasnya berkisar antara 0,164 – 62,9
Ωm. Pengolahan data dengan menggunakan Res2DInv untuk lintasan 2 diperoleh
penampang harga resistivitas semu seperti pada Gambar 4.
Gambar 4. Penampang Harga Resistivitas Semu dari Hasil Inversi Lintasan 2
Dari Gambar 4 terlihat beberapa bidang lemah yang ditunjukkan dengan warna
kuning dengan harga resistivitas antara 9,88 – 14,00 Ωm yang memotong perlapisan
antar batuan yang memilik nilai resistivitas yang lebih tinggi. Bidang-bidang ini
diperkirakan merupakan patahan.
Lintasan 3
Untuk akuisisi data resistivitas bumi pada survei lintasan 3 dilakukan dengan
mengambil lintasan sepanjang 150 meter dengan titik awal (titik 0 meter) berada pada
koordinat 112°43’39,3” BT dan 07°31’52,2”LS yang membentang ke arah E 90° S di
bahu jalan dengan variasi jarak antar elektroda berturut-turut 5 meter, 10 meter, 15
meter, dan 20 meter.
Dari hasil pengukuran diperoleh harga resistivitasnya berkisar antara 1,28 – 10,1
Ωm. Pengolahan data dengan menggunakan Res2DInv untuk lintasan 3 diperoleh
penampang harga resistivitas semu seperti pada Gambar 5.
Gambar 5. Penampang Harga Resistivitas Semu dari Hasil Inversi Lintasan 3.
Dari Gambar 5 di atas tidak ditemukan terobosan – terobosan bidang lemah
dengan harga resistivitas yang rendah terhadap perlapisan antar batuan yang memiliki
harga resistivitas yang lebih tinggi. Jadi pada lintasan 3 tidak ditemukan suatu
patahan.
B. Konfigurasi elektrode Schlumberger
Prinsip konfigurasi Schlumberger idealnya jarak MN dibuat sekecil – kecilnya,
sehingga jarak MN secara teoritis tidak berubah. Tetapi karena keterbatasan kepekaan alat
ukur, maka ketika jarak AB sudah relatif besar maka jarak MN hendaknya dirubah.
Perubahan jarak MN hendaknya tidak lebih besar dari 1/5 jarak AB seperti pada gambar
1. Kelemahan dari konfigurasi Schlumberger adalah pembacaan tegangan pada elektroda
MN adalah lebih kecil terutama ketika jarak AB yang terlalu jauh, sehingga diperlukan
alat ukur multimeter yang mempunyai karakteristik high impedance dengan mengatur
tegangan minimal 4 digit atau 2 digit dibelakang koma atau dengan cara peralatan arus
yang mempunyai tegangan listrik DC yang sangat tinggi. Keunggulan konfigurasi
Schlumberger adalah kemampuan untuk mendeteksi adanya sifat tidak homogen lapisan
batuan pada permukaan, yaitu dengan membandingkan nilai resistivitas semu ketika
terjadi perubahan jarak elektroda MN/2.
Gambar 1. Konfigurasi Metode Schlumberger
Dari hambatan jenis yang terbaca dalam konfigurasi Schlumberger dapat dinyatakan
dalam rumus :
Peralatan utama yang digunakan pada penelitian ini adalah resistivitymeter dengan
serangkaian elektrodanya.
Gambar 2. Medium penelitian berupa pasir dan tanah liat
Bahan penelitian adalah wadah kaca dengan ukuran panjang 2 m, lebar 1 m, dan tinggi
0,6 m yang diisi dengan pasir dan tanah liat sebagai host-rock yang disusun seperti pada
Gambar 2.
1. Sket lintasan penelitian
Spasi yang digunakan adalah 10 cm dengan penempatan posisi elektroda potensial
dan elektroda arus mengg unakan konfigurasi Schlumberger.
2. Pengambilan data dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
Menyusun rangkaian alat resistivitymeter .
Mengaktifkan resistivitymeter, kemudian mengalirkan arus listrik ke medium.
Mencatat arus listrik (I) dan beda potensial (V) antara 2 titik elektroda.
Menginjeksi medium pengukuran dengan air sebanyak 0,5 liter yang dilakukan
pada titik tengah permukaan pasir.
Melakukan pengukuran seperti langkah 1 sampai 3 kira-kira 2 jam setelah
penginjeksian air.
Mengulangi langkah 4 sampai 5 masing-masing dengan penambahan jumlah air
yang sama. Penambahan air dalam selang waktu 2 jam dilakukan sebanyak 5 kali.
3. Pengolahan data
Menghitung nilai resistivitas (ρ) menggunakan persamaan (1) dan diolah
menggunakan Software IP2WIN. Konstanta geometri k untuk konfigurasi elektroda
schlumberger digunakan persamaan: k = πn (n + 1) a ……… persamaan 1
Sedang nilai R diperoleh dengan membagi nilai tegangan dengan nilai arus terukur,
selanjutnya menghitung nilai resistivitas (ρ) menggunakan persamaan (1). Data hasil
perhitungan diinversi menggunakan software IP2Win untuk memetakan formasi
bawah
permukaan yang diukur.
4. Interpretasi penampang isoresistivitas
a. Penampang melintang isoresistivitas sebelum injeksi air
Nampak pada titik pengukuran ke 100 cm (Titik 3) memiliki nilai resistivitas lebih
kecil dari 447 ohmmeter (citra warna biru dan hitam), pada titik pengukuran
tersebut terdapat tanah liat, dimana nilai resistivitas tanah liat adalah 1-100 ohm
meter (Telford 1990). Sedangkan disekitar Titik 3 memiliki nilai resistivitas yang
lebih besar sampai 2512 Ohmmeter yang masuk pada range resistivitas pasir.
Gambar 3. Penampang isoresistivitas 2D sebelum injeksi air
b. Penampang melintang isoresistivitas setelah injeksi air pertama
Pada titik pengukuran lokasi injeksi air (Titik 3) terlihat nilai resistivitas kecil
semakin melebar (citra warna biru dan hitam) dengan nilai resistivitas lebih kecil
dari 464 Ohmmeter, hal ini disebabkan adanya tanah liat yang diinjeksi air
sehingga menyebabkan tanah dan pasir di sekitar injeksi air lebih konduktif.
Gambar 4. Penampang isoresistivitas 2D setelah injeksi air pertama
c. Penampang melintang isoresistivitas setelah injeksi air kedua
Pada titik pengukuran ke 100 cm (Titik 3) nilai resistivitas lebih kecil 215 ohm
meter (citra warna biru dan hitam), nilai resistivitas ini lebih kecil daripada nilai
resistivitas material sebelumnya dan juga semakin melebar dan dalam. Hal ini
disebabkan karena jumlah volume air yang diinjeksikan pada material tanah liat
telah menyebar diseluruh bagian tanah liat yang menyebabkan nilai resistivitasnya
menurun, karena air bersifat konduktif. Tanah liat yang pada saat sebelum injeksi
air berbentuk persegi telah berubah bentuk menjadi bentuk yang tak beraturan,
karena tanah liat sudah mulai mengikat air.
\
Gambar 5. Penampang Isoresistivitas 2D setelah injeksi air kedua
d. Penampang melintang isoresistivitas setelah injeksi air ketiga
Pada injeksi air ketiga ini terlihat nilai resistivitas kecil (citra warna biru dan
hitam) tidak hanya pada titik pengukuran ke 100 cm (Titik 3) tetapi mencakup
wilayah pengukuran yang lebih luas.
Gambar 6. Penampang Isoresistivitas 2D setelah injeksi air ketiga
e. Penampang melintang isoresistivitas setelah injeksi air keempat
Pada titik pengukuran ke 100 cm (Titik 3) nilai resistivitas meningkat dibanding
pada saat injeksi air sebelumnya yaitu lebih kecil 578 ohm meter (citra warna biru
dan hitam), dengan wilayah pengukuran yang lebih luas lagi dibanding pada saat
injeksi air sebelumnya. Nilai resistivitas tanah liat pada saat injeksi air keempat ini
seharusnya memiliki nilai yang lebih kecil daripada nilai resistivitas sebelumnya,
hal ini disebabkan adanya nilai resistivitas material pasir bercampur tanah liat.
Gambar 7. Peta Isoresistivitas 2D setelah injeksi air keempat
f. Penampang melintang isoresistivitas setelah injeksi air kelima
Pada titik pengukuran ke 100 cm nilai resistivitas lebih kecil dari 562 Ohm meter
yang juga menyebar karena semakin banyaknya air yang diinjeksikan.
Gambar 8. Peta Isoresistivitas 2D setelah injeksi air kelima
Dari hasil pengukuran yang telah dilakukan dapat diketahui sebaran air dengan
membandingkan nilai resistivitas air yaitu 0,5 – 100 Ohm meter.
C. Konfigurasi elektrode Pole – Dipole
Pada metode resistivity dikenal metode pengukuran 1D (disebut Res-1D), 2D (disebut
Res-2D ataupun imaging resistivity), 3D dan bahkan 4D. Pada Res-1D, hasil interpretasi
seperti data bor yakni data yang tergambar hanya satu dimensi merupakan sebaran
resistivity pada suatu titik dari kedalaman 0 m sampai ratusan meter dibawah permukaan.
Sedangkan pada Res-2D hasilnya berupa vertical section (sebuah penampang berupa
informasi bawah permukaan yang mempunyai informasi kedalaman dan penyebaran
secara lateral). Tentu saja hasil Res-2D jauh lebih bagus daripada hasil Res-1D. Pada
penerapan praktis, model 1D kurang baik apabila diterapkan pada eksplorasi. Dengan
berkembangnya metode numeric dan pemakaian computer yang semakin canggih, maka
selanjutnya metode Res-2D berkembang lebih baik dan lebih cocok untuk daerah dengan
geologi yang lebih kompleks.
1. Akuisisi data lapangan
Pengukuran geolistrik Res-2D diawali dengan penentuan titik-titik lintasan di
lapangan menggunakan alat Global Positioning System (GPS) berdasarkan rencana
pengukuran Res-2D yang telah ditentukan.
Konfigurasi (susunan) elektroda arus dan potensial pada geolistrik 2D berbeda
dengan geolistrik 1D. Pada geolistrik 2D, susunannya adalah sebagai berikut :
Gambar 1.
Konfigurasi elektroda arus dan potensial pada geolistrik 2D ,
metoda pole-dipole. Jarak P1 – P2 selalu l.
Dari hambatan jenis yang terbaca dalam konfigurasi Pole - Dipole dapat
dinyatakan dalam rumus :
Konfigurasi yang dipakai adalah pole-dipole dengan spasi antar elektroda 15
meter, dan kedalaman penetrasi mencapai 150 meter. Karena menggunakan kabel
multicore dan elektroda sebanyak 32 batang, maka dalam satu lintasan panjang yang
diperoleh adalah 465 meter.
Besaran yang diukur pada metoda geolistrik adalah potensial listrik dan kuat
arus ,sedangkan yang dihitung adalah tahanan jenis.
Data yang diperoleh dari pengukuran lapangan adalah data posisi setiap elektroda
(x,y,z) dan data V (pot ensial) serta I (kuat arus). Dari data V dan I dihitung nilai
resistivity (ρ). Sebaran data ρ untuk setiap penampang dapat dilihat pada gambar
berikut di bawah ini.
Gambar 2. Sebaran data rho untuk setiap penampang
2. Pengolahan data lapangan
Data hasil perhitungan menghasilkan nilai rho dan kedalaman semu. Oleh karena
itu untuk mendapatkan kedalaman dan nilai rho sebenarnya, harus dilakukan
pemodelan. Pemodelan dilakukan dengan metoda inversi.
Hasil pemodelan menggambarkan suatu penampang dengan panjang penampang
465 meter, kedalaman penampang 150 meter. Penampang ini menggambarkan
sebaran nilai resistivity batuan di bawah permukaan.
3. Interpretasi data lapangan
Untuk keperluan interpretasi, harus dilakukan pengukuran pada titik yang telah
diketahui susunan batuannya. Informasi diketahui dari data bor ataupun singkapan.
Hasil pengukuran berupa data R (tahanan dalam omm), kemudian di olah untuk
mendapatkan nilai tahanan jenis semu (pseudoresistivity). Setelah itu untuk
mendapatkan rho sebenarnya dibuat pemodelan dengan cara inversi. Hasil pemodelan
berupa penampang sayatan vertical, seperti yang terlihat pada halaman berikut.
Gambar 3. Penampang geolistrik Daerah Telaga Banta
Pengukuran geofisika yang dilakukan di daerah penelitian (Telaga Banta) terdiri
dari 2 (dua) lintasan, dimana masing-masing lintasan saling melintang (saling tegak
lusurs). Perhatikan Gambar 6, lintasan 1 dengan arah A-B melintang tegak lurus
terhadap lintasan ke 2 yang arahnya C-D.
Air bawah tanah dapat diidentifikasi dari nilai tahanan jenisnya. Pada penampang
di atas, tahanan jenis akuifer yang berisi air bawah tanah adalah 20 – 30 ohmm,
sedangkan batuan keras mempunyai kisaran tahanan jenis > 1500 ohmm. Pada
penampang A – B, air bawah tanah terdapat pada kedalaman 40 – 60 m (daerah
sebelah kanan), 30 m (daerah sebelah kiri) dan 10 m (daerah tengah). Melihat bentuk
akuifer yang terisi air bawah tanah tersebu t, maka dapat disimpulkan bahwa jumlah
(debit) tidak banyak.
Pada penampang C - D, air bawah tanah terdapat pada kedalaman 20 –30 meter,
dengan jumlah yang tidak banyak.
Hasil pengukuran geofisika diatas me njawab permasalahan yang muncul di
daerah Telaga Banta, yaitu kenapa Telaga Banta yang sebelumnya merupakan
penyedia air pengairan bagi persawahan disekitarnya dan tidak kering, tapi sekarang
mengalami kekeringan dan kesulitan akan air. Hal ini dikarenakan jumlah cadangan
air tanahnya tidak begitu banyak dan begi tu tergantung terhadap curah hujan. Faktor-
faktor lainnya yang kemungkinan mempengaruhi kekeringan di Telaga Banta ini
seperti adanya penghijauan pohon pinus disekitar perbukitan telaga, masih dalam
pertanyaan dan perlu adanya pembuktian.
Survei hidrologi dilakukan dengan mendatangi sumur-sumur penduduk, dimana
untuk keperluan hidup sehari-hari penduduk setempat, kebutuhan akan air diperoleh
dengan membuat sumur gali.
Pengukuran pada sumur-sumur gali penduduk dilakukan dengan menggunakan
peralatan meteran untuk mendapatkan informasi kedalaman rata-rata sumurnya, yaitu
sekitar 15 sampai 20 m, dan kedalaman permukaan airnya antara 13 m sampai 12 m.
Hasil pengukuran tersebut sejalan dengan hasil dari pengukuran geofisika.