Proposal_Penelitian_(Perilaku Pasien Post Op Fraktur Dalam Melakukan ROM)-Revisi@07012015

41
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh kejadian yang mendadak dan di luar perhitungan (Saryono, 2008). Secara umum fraktur dapat disebabkan oleh beberapa hal seperti kecelakaan lalu lintas, trauma jatuh, tumor (patologis), osteoporosis (degeneratif), olahraga maupun karena beban yang tidak mampu ditahan oleh tulang. Namun kasus yang paling banyak menyebabkan fraktur adalah kecelakaan lalu lintas (Saryono, 2008). Meningkatnya kasus fraktur terjadi di seluruh dunia. Badan Kesehatan Dunia (WHO, 2005) menyatakan bahwa pada tahun 2005 saja terdapat lebih dari 7 juta orang meninggal dikarenakan kecelakaan dan sekitar 2 juta orang mengalami kecacatan fisik. Jumlah ini diperkirakan akan terus meningkat hingga 65% hingga 20 tahun mendatang. Salah satu insiden kecelakaan tertinggi adalah fraktur ekstremitas bawah yakni sebesar 46,2% dari keseluruhan insiden yang terjadi. Hasil survey Depertemen Kesehatan Republik Indonesia pada tahun 2009 menunjukkan bahwa 25% penderita fraktur mengalami kematian, 45% penderita fraktur mengalami kecacatan fisik, 15% mengalami gangguan psikologis terutama depresi dan hanya 10% penderita fraktur yang mengalami kesembuhan dengan baik. Ini berarti angka kecacatan fisik akan terus bertambah seiring bertambahnya jumlah penderita fraktur.

description

draft proposal penelitian

Transcript of Proposal_Penelitian_(Perilaku Pasien Post Op Fraktur Dalam Melakukan ROM)-Revisi@07012015

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang

    Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang atau tulang rawan yang

    umumnya disebabkan oleh kejadian yang mendadak dan di luar perhitungan

    (Saryono, 2008). Secara umum fraktur dapat disebabkan oleh beberapa hal seperti

    kecelakaan lalu lintas, trauma jatuh, tumor (patologis), osteoporosis (degeneratif),

    olahraga maupun karena beban yang tidak mampu ditahan oleh tulang. Namun kasus

    yang paling banyak menyebabkan fraktur adalah kecelakaan lalu lintas (Saryono,

    2008).

    Meningkatnya kasus fraktur terjadi di seluruh dunia. Badan Kesehatan Dunia

    (WHO, 2005) menyatakan bahwa pada tahun 2005 saja terdapat lebih dari 7 juta

    orang meninggal dikarenakan kecelakaan dan sekitar 2 juta orang mengalami

    kecacatan fisik. Jumlah ini diperkirakan akan terus meningkat hingga 65% hingga 20

    tahun mendatang. Salah satu insiden kecelakaan tertinggi adalah fraktur ekstremitas

    bawah yakni sebesar 46,2% dari keseluruhan insiden yang terjadi. Hasil survey

    Depertemen Kesehatan Republik Indonesia pada tahun 2009 menunjukkan bahwa

    25% penderita fraktur mengalami kematian, 45% penderita fraktur mengalami

    kecacatan fisik, 15% mengalami gangguan psikologis terutama depresi dan hanya

    10% penderita fraktur yang mengalami kesembuhan dengan baik. Ini berarti angka

    kecacatan fisik akan terus bertambah seiring bertambahnya jumlah penderita fraktur.

  • 2

    Menurut data yang dihimpun dari Dinas Kesehatan Provinsi Bali tahun 2014,

    dari tahun ke tahun kasus fraktur terutama pada bagian ekstremitas bawah cenderung

    mengalami peningkatan. Pada tahun 2013 pasien yang menjalani rawat inap sebanyak

    920 orang dan pada tahun 2014 pasien yang menjalani rawat inap sebanyak 1.173

    orang. Data yang diperoleh dari Rekam Medis (RM) Rumah Sakit Umum Wangaya

    Denpasar menunjukkan bahwa pada tahun 2013 pasien fraktur ekstremitas bawah

    yang menjalani rawat inap sebanyak 348 orang. Pada tahun 2014 pasien fraktur

    ekstremitas bawah yang menjalani rawat inap sebanyak 413 orang. Berdasarkan data

    yang didapat maka dapat disimpulkan bahwa jumlah pasien fraktur ektremitas bawah

    pada tahun 2013-2014 cenderung mengalami peningkatan yaitu 15,7%.

    Data yang menunjukkan jumlah pasien yang selalu meningkat per tahunnya

    maka timbul kemungkinan peningkatan angka kecacatan yang dapat dialami oleh

    pasien pasca fraktur. Untuk menekan sekaligus menghindari hal tersebut perlu

    dilaksanakan perawatan yang holistik dan komprehensif pada pasien.

    Penatalaksanaan fraktur dilakukan melalui proses pembedahan atau operasi untuk

    memperbaiki posisi tulang yang mengalami kerusakan. Setelah operasi, pasien harus

    mampu mempertahankan fungsi tubuh atau ekstremitas dengan melatih

    pergerakannya secara baik, benar dan kontinyu. Aktivitas yang harus dilaksanakan

    pasien pasca operasi fraktur adalah Range of Motion (ROM) baik secara aktif maupun

    pasif. ROM merupakan latihan gerak sendi yang dapat dilakukan secara mandiri oleh

    pasien maupun dengan bantuan perawat. Hal ini berguna untuk memelihara dan

    mempertahankan kekuatan otot serta memelihara mobilitas persendian (Aziz dan

    Musrifatul, 2012). Semakin dini dilakukannya latihan ROM pada pasien fraktur

  • 3

    ekstremitas maka semakin cepat mengalami pemulihan terhadap peningkatan

    kekuatan otot (Sugeng, 2007). Beberapa gerakan ROM yaitu fleksi, ekstensi, abduksi,

    adduksi, dan lain sebagainya. Namun banyak ditemukan di lapangan bahwa kegiatan

    ROM belum menjadi rutinitas pasien yang dirawat dengan post operasi fraktur.

    Rendahnya kesadaran pasien dalam melaksanakan latihan rentang gerak sendi

    seringkali dikarenakan oleh tingginya rasa takut serta rendahnya pengetahuan tentang

    latihan tersebut. Rasa takut untuk bergerak dan pengetahuan yang kurang tentang

    latihan ROM akan menghambat proses penyembuhan pasien. Padahal latihan ROM

    sangatlah berguna untuk mencegah hilangnya kekuatan otot. Penelitian sebelumnya

    yang dilakukan oleh Masnun (2013) menunjukkan bahwa terdapat perubahan yang

    signifikan pada kekuatan otot pasien yang dilakukan ROM aktif daripada pasien yang

    melakukan ROM pasif. Berdasarkan studi pendahuluan yang dilaksanakan di Rumah

    Sakit Umum Wangaya Denpasar pada tanggal 8 Januari 2014, dari lima orang pasien

    yang diwawancarai tentang ROM tiga orang mengaku tidak mengetahui ROM, dua

    orang mengatakan takut melakukan ROM karena nyeri, serta satu orang mengatakan

    jarang latihan ROM meski sudah mengetahui apa itu ROM atau latihan rentang gerak

    sendi. Hal ini mendasari pemikiran peneliti untuk mengadakan studi tentang perilaku

    pasien post operasi fraktur ekstremitas bawah dalam menjalankan latihan ROM.

    B. Rumusan Masalah

    Berdasarkan hasil tersebut diatas, dapat dirumuskan masalah Bagaimana

    Perilaku Pasien Post Operasi Fraktur Ekstremitas Bawah dalam Melaksanakan

    Latihan Range of Motion (ROM) di RSUD Wangaya Tahun 2015?

  • 4

    C. Tujuan Penelitian

    1. Tujuan Umum

    Mengetahui perilaku pasien post operasi fraktur ekstremitas bawah dalam

    melaksanakan latihan Range of Motion (ROM) di RSUD Wangaya Tahun 2015.

    2. Tujuan Khusus

    a. Mengidentifikasi pengetahuan pasien post operasi fraktur ekstremitas bawah

    dalam melaksanakan latihan Range of Motion (ROM) di RSUD Wangaya

    Tahun 2015.

    b. Mengidentifikasi sikap pasien post operasi fraktur ekstremitas bawah dalam

    melaksanakan latihan Range of Motion (ROM) di RSUD Wangaya Tahun

    2015.

    c. Mengidentifikasi tindakan pasien post operasi fraktur ekstremitas bawah

    dalam melaksanakan latihan Range of Motion (ROM) di RSUD Wangaya

    Tahun 2015.

    d. Menggambarkan perilaku pasien post operasi fraktur ekstremitas bawah dalam

    melaksanakan latihan Range of Motion (ROM) di RSUD Wangaya Tahun

    2015.

    D. Manfaat Penelitian

    1. Teoritis

  • 5

    a. Hasil penelitian dapat digunakan sebagai data untuk melaksanakan penelitian

    selanjutnya.

    b. Hasil penelitian dapat digunakan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan di

    bidang keperawatan khususnya pada masalah perilaku pasien post operasi

    fraktur ekstremitas bawah dalam melaksanakan latihan Range of Motion

    (ROM).

    2. Praktis

    Diharapkan hasil penelitian dapat digunakan untuk meningkatkan pelayanan

    kepada pasien terutama dalam hal promosi dan edukasi tentang latihan Range of

    Motion pada pasien post operasi fraktur ekstremitas bawah.

  • 6

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    A. Konsep Fraktur

    1. Pengertian Fraktur

    Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang atau tulang rawan yang

    umumnya disebabkan oleh kejadian yang mendadak dan di luar perhitungan

    (Saryono,2008).

    Fraktur adalah terputusnya diskoniutas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan

    luasnya (Smeltzer & Bare, 2013). Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan

    oleh trauma atau tenaga fisik dan sudut dari tenaga tersebut, keadaan tulang dan

    jaringan lunak disekitar tulang akan menentukan apakah fraktur yang terjadi itu

    lengkap atau tidak lengkap (Price & Wilson, 2010).

    Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang, jika kulit luar tidak mengalami

    perlukaan itu disebut fraktur tertutup. Namun jika kulit disekitar tulang yang patah

    mengalami perlukaan atau terhububg dengan dunia luar maka itu disebut fraktur

    terbuka (Nayagam, 2010).

    Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang,

    fraktur yang biasa terjadi karena trauma langsung eksternal tetapi dapat juga terjadi

    karena deformitas (Perry & Potter,2006).

    Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang atau

    tulang rawan pada umumnya disebabkan oleh ruda paksa (Sjamsuhidajat & Jong,

    2005).

  • 7

    Berdasarkan definisi diatas dapat disimpulkan fraktur adalah terputusnya

    kontinuitas tulang, retak atau patahnya tulang yang utuh, yang biasanya disebabkan

    oleh trauma atau ruda paksa atau tenaga fisik yang ditentukan jenis dan luas trauma.

    Fraktur ekstremitas bawah adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang atau

    tulang rawan yang terjadi pada ekstremitas bawah yang umumnya disebabkan oleh

    rudapaksa.

    2. Etiologi Fraktur

    Menurut Nayagam (2010), tulang merupakan substansi yang rapuh namun

    juga memiliki kekuatan dan ketahanan yang cukup untuk menahan suatu beban atau

    tekanan dari luar tubuh. Fraktur dapat disebabkan oleh cidera, stress berulang, serta

    dapat terjadi karena terdapat abnormalitas tulang (fraktur patologis).

    Menurut Sachdeva (1996) dalam Sugeng (2012), penyebab fraktur dapat

    dibagi menjadi dua yaitu:

    a. Cidera traumatik

    Cidera traumatik pada tulang dapat disebabkan oleh:

    1) Cidera langsung: pukulan langsung terhadap tulang sehingga tulang patah

    secara spontan. Pemukulan biasanya menyebabkan fraktur melintang dan

    kerusakan pada kulit diatasnya.

    2) Cidera tidak langsung: pukulan berada jauh dari lokasi benturan, misalnya

    jatuh dengan tangan menjulur namun yang mengalami fraktur adalah bagian

    klavikula.

    3) Fraktur yang disebabkan kontraksi kuat yang mendadak dari otot.

  • 8

    b. Fraktur patologik

    Dalam hal ini kerusakan tulang akibat proses penyakit dimana dengan trauma

    minor dapat mengakibatkan fraktur dapat juga terjadi pada berbagai keadaan berikut:

    1) Tumor tulang (jinak atau ganas): pertumbuhan jaringan baru yang tidak

    terkendali dan progresif.

    2) Infeksi seperti osteomyelitis: terjadi akibat infeksi akut atau dapat timbul

    sebagai salah satu proses yang progresif, lambat dan nyeri.

    3) Rakhitis: suatu penyakit tulang yang disebabkan oleh defisiensi vitamin D

    yang mempengaruhi semu jaringan skelet lain, biasanya disebabkan oleh

    defisiensi diet, tetapi kadang-kadang dapat disebabkan oleh kegagalan absorbs

    vitamin D atau oleh karena asupan kalsium atau fosfat yang rendah.

    4) Secara spontan: stress tulang yang terus menerus misalnya pada penyakit

    polio dan orang yang bertugas di bidang kemiliteran.

    3. Klasifikasi Fraktur

    Jenis-jenis fraktur adalah sebagai berikut (Smeltzer & Bare 2002):

    a. Fraktur komplit, patah pada seluruh garis tengah tulang dan biasanya

    mengalami pergeseran (bergerak dari posisi normal).

    b. Fraktur tidak komplit, patah hanya terjadi pada sebagian dari garis tengah

    tulang

    c. Fraktur tertutup (Fraktur simple) tidak menyebabkan robeknya kulit.

  • 9

    d. Fraktur terbuka (fraktur komplikata/kompleks) merupakan fraktur dengan

    luka pada kulit atau membrane mukosa sampai ke patahan tulang. Fraktur

    terbuka dibagi menjadi :

    1) Grade I dengan luka bersih kurang dari satu sentimeter panjangnya.

    2) Grade II luka lebih luas tanpa kerusakan jaringan lunak ekstensif.

    3) Grade III yang sangat terkontaminasi dan mengalami kerusakan jaringan

    lunak yang ekstensif, merupakan yang paling berat.

    e. Greenstick merupakan fraktur di mana salah satu sisi tulang patah sedangkan

    sisi lainnya membengkok.

    f. Transversal merupakan fraktur sepanjang garis tulang.

    g. Oblik merupakan fraktur membentuk sudut dengan garis tengah tulang (lebih

    stabil disbanding transversal).

    h. Spiral merupakan fraktur memeutar seputar batang tulang.

    i. Komunitif merupakan fraktur dengan fragmen patahan terdorong ke dalam

    (sering terjadi pada tulang tengkorak dan tulang wajah).

    j. Depresi merupakan fraktur dengan fragmen patahan terdorong ke dalam

    (sering terjadi pada tulang tengkorak dan tulang wajah).

    k. Kompresi merupakan fraktur di mana tulang mengalami kompresi (terjadi

    pada tulang belakang).

    l. Patalogik merupakan fraktur yang terjadi pada daerah tulang yang berpenyakit

    (kista tulang, metatastasis tulang, tumor).

    m. Avulasi, tertariknya fragmen tulang oleh ligament atau tendon pada

    perlekatannya.

  • 10

    n. Epifiseal merupakan fraktur melalui epifisis.

    o. Implaksi, fraktur di mana fragmen tulang terdorong ke fragmen tulang

    lainnya.

    4. Gambaran Klinis Fraktur

    Berikut ini merupakan gambaran klinis yang terjadi pada pasien fraktur

    (Corwin, 2001):

    a. Patah tulang traumatik dan cedera jaringan lunak biasanya disertai nyeri.

    Setelah patah tulang dapat timbul spasme otot yang menambah rasa nyeri.

    Pada fraktur stress, nyeri biasanya timbul pada aktivitas dan menghilang saat

    istirahat. Fraktur patologis mungkin tidak disertai nyeri.

    b. Mungkin tampak jelas posisi tulang atau ekstremitas yang tidak alami.

    c. Pembengkakan di sekitar fraktur akan menyertai proses peradangan.

    d. Dapat terjadi gangguan sensasi atau rasa kesemutan, yang mengisyaratkan

    kerusakan saraf. Denyut nadi di bagian distal fraktur harus utuh dan setara

    dengan bagian nonfraktur. Hilangnya denyut nadi sebelah distal mungkin

    mengisyaratkan syok kompartemen.

    e. Krepitus (suara gemertak) dapat terdengar sewaktu tulang digerakkan akibat

    pergeseran ujung-ujung patahan tulang satu sama lain.

    5. Komplikasi Fraktur

    Menurut Corwin (2001), pada pasien fraktur dapat terjadi komplikasi.

    Komplikasi-komplikasi tersebut antara lain:

  • 11

    a. Sindrom Kompartemen

    Sindrom kompartemen ditandai oleh kerusakan atau kematian saraf dan

    pembuluh darah yang disebabkan oleh pembengkakan interstitium yang intens

    tersebut, timbul tekanan pada pembuluh-pembuluh darah yang dapat menyebabkan

    mereka kolaps. Hal ini menimbulkan hipoksia jaringan dan dapat menyebabkan

    kematian saraf-saraf yang mempersarafi daerah tersebut. Biasanya hal ini

    menyebabkan nyeri hebat. Individu mungkin tidak dapat menggerakkan jari tangan

    atau kaki. Sindrom kompartemen biasanya terjadi pada ekstremitas yang memiliki

    retriksi volume yang ketat. Risiko terjadinya sindrom kompartemen akan semakin

    besar apabila telah terjadi trauma otot, karena pembengkakan yang terjadi akan hebat.

    Pemakaian gips terlalu dini pada ekstremitas yang patah atau gips yang terlalu ketat

    dapat menyebabkan peningkatan tekanan di kompartemen ekstremitas. Dapat terjadi

    kerusakan permanen fungsi atau bahkan kehilangan ekstremitas itu sendiri. Oleh

    senan itu, gips harus segera dibuka dan perlu pemeriksaan terhadap kulit ekstremitas.

    b. Embolus lemak

    Selain sindrom kompartemen, komplikasi pada pasien fraktur yang dapat

    timbul adalah embolus lemak setelah tulang patah terutama pada tulang panjang.

    Embolus lemak dapat timbul akibat terpajannya sumsum tulang, atau akibat

    pengktifan sistem saraf simpatis setelah trauma. Embolus lemak yang timbul setelah

    fraktur tulang panjang sering tersangkut di sirkulasi paru dan menimbulkan distress

    atau kegagalan pernapasan.

    6. Penatalaksanaan Fraktur

  • 12

    Fraktur harus segera diimobolisasi agar hematom fraktur dapat terbentuk dan

    untuk memperkecil kerusakan tulang. Penyambungan kembali tulang (reduksi)

    penting dilakukan agar posisi dan rentang gerak normal pulih. Sebagian besar reduksi

    dapat dilakukan tanpa intervensi bedah (reduksi tertutup). Apabila diperlukan

    tindakan bedah untuk fiksasi (reduksi terbuka), dapat dipasang pen atau sekrup untuk

    mempertahankan reduksi dan merangsang penyembuhan (Corwin, 2001).

    Perlu dilakukan imobilisasi jangka panjang setelah reduksi agar kalus dan

    tulang baru dapat terbentuk. Imobilisasi jangka panjang biasanya dilakukan dengan

    gips atau penggunaan belat (Corwin, 2001).

    7. Tahap-tahap Penyembuhan Fraktur

    Proses penyembuhan tulang adalah proses biologis alami yang akan terjadi

    pada setiap patah tulang (Sjamsuhidajat & Jong, 2005). Fraktur merangsang tubuh

    untuk meneyembuhkan tulang yang patah dengan jalan membentuk tulang baru

    diantara ujung patahan tulang. Tulang baru dibentuk oleh aktivitas sel-sel tulang. Ada

    lima tahap penyembuhan tulang (Smeltzer & Bare,2002).

    a. Inflamasi

    Dengan adanya patah tulang, tubuh mengalami respon, Terjadi perdarahan

    dalam jaringan yang cedera dan terjadi pembentukan hematoma pada tempat patah

    tulang, tempat patahan kemudian akan diinvasi oleh makrofag (sel darah putih besar),

    yang akan membersihkan darah tersebut. Terjadi inflamasi, Pembengkakan dan nyeri.

    Tahap inflamasi berlangsung beberapa hari dan hilang dengan berkurangnya

    pembengkakan dan nyeri.

  • 13

    b. Poliferasi sel

    Dalam sekitar 5 hari, hematoma akan mengalami organisasi. Terbentuk

    benang-benang fibrin dalam jandalan darah., memebentuk jaringan untuk

    revaskularesasi, dan invasi fibroblast dan osteoblas. Fibroblast dan oestoblast akan

    mengahasilkan kolagen dan proteoglikan sebagai matriks kolagen pada patahan

    tulang, terbentuk jaringan ikat fibrus dan tulang rawan.

    c. Pembentukan kalus

    Pertumbuhan jaringan berlanjut dan lingkar tulang rawan tumbuh mencapai

    sisi lain tulang digabungkan dengan jaringan fibrus, tulang rawan, dan tulang serat

    imatur. Perlu waktu 3 sampai 4 minggu agara fragmen tulang tergabung dalam tulang

    rawan atau jaringan fibrus.

    d. Osifikasi

    Pembentukan kalus mulai mengalami penulangan dalam 2 sampai 3 minggu

    patah tulang melalui proses penulangan endokondral. Mineral terus menerus ditimbun

    sampai tulang benar-benar telah bersatu dengan keras.

    e. Remodeling

    Tahapan akhir perbaikan tulang baru ke susunan struktural sebelumnya

    remodeling memerlukan waktu berbulan-bulan samapai bertahun-tahun tergantung

    beratnya modifikasi tulang yang dibutuhkan.

    8. Jenis-jenis Fraktur Ekstremitas Bawah

    a. Fraktur femur

  • 14

    Fraktur femur dapat terjadi pada beberapa tempat. Bila bagian kaput, kolum,

    atau trokhanterik femur yang terkena, terjadilah fraktur pinggul. Fraktur juga dapat

    terjadi pada batang femur dan daerah lutut (Fraktur suprakondiler dan kondiler)

    (Smeltzer & Bare, 2002).

    b. Fraktur batang femur

    Fraktur batang femur mempunyai insidens yang cukup tinggi di antara jenis-

    jenis patah tulang umumnya. Umumnya fraktur femur terjadi pada batang femur 1/3

    tengah. Fraktur di daerah kaput, kolom, trokanter, subtrokanter, suprakondilus

    biasanya memerlukan tindakan operatif (Potter and Perry,2013).

    c. Fraktur kolum femur

    Dapat terjadi akibat trauma langsung, pasien terjatuh dengan posisi miring

    dan trokanter mayor langsung terbentur pada benda keras seperti jalanan. Pada

    trauma tidak langsung fraktur kolum femur terjadi karena eksorotasi yang mendadak

    dari tungkai bawah (Potter and Perry, 2013)

    d. Fraktur pinggul

    Ada insiden tinggi fraktur pinggul pada lansia, yang tulangnya biasanya sudah

    rapuh karena osteoporosis (terutama wanita) dan cenderung sering jatuh. Kelemahan

    otot kwardisep, kerapuhan umum akibat usila, dan keadaan yang mengakibatkan

    penurunan perfusi arteri ke otak (serangan iskemik transien, anemia, emboli, dan

    penyakit kardiovaskuler, efek obat) berperan dalam insidensi terjadinya jatuh (Potter

    and Perry, 2008).

    e. Fraktur tbia dan fibula

  • 15

    Fraktur bawah lutut paling sering adalah fraktur tibia dan fibula yang terjadi

    akibat pukulan langsung, jatuh dengan kaki fleksi atau gerakan memutar yang keras.

    Fraktur tibia dan fibula sering terjadi dalam kaitan satu sama lain (Smeltzer & Bare,

    2002).

    f. Fraktur tibia proksimal

    Fraktur tibia proksimal biasanya terjadi akibat trauma langsung dari arah

    samping lutut dengan kaki yang masih terfiksasi ke tanah. Contohnya pada orang

    yang sedang berjalan ditabrak mobil disamping, yang disebut bumper fracture (Potter

    & Perry,2013)

    g. Fraktur kruris

    Fraktur kruris merupakan akibat terbanyak dari kecelakaan lalu lintas (Potter

    & Perry,2013).

    B. Konsep Range Of Motion (ROM)

    1. Pengertian Range of Motion (ROM)

    Range of Motion (ROM) adalah gerakan yang dalam keadaan normal dapat

    dilakukan oleh sendi yang bersangkutan (Suratun,2008). Latihan Range of Motion

    (ROM) adalah latihan yang dilakukan untuk mempertahankan atau memperbaiki

    tingkat kesempurnaan kemampuan menggerakan persendian secara normal dan

    lengkap untuk meningkatkan massa otot dan tonus otot (Potter & Perry, 2005).

    Latihan Range of Motion (ROM) merupakan istilah baku untuk menyatakan

    batas atau batasan gerakan sendi yang normal dan sebagai dasar untuk menetapkan

  • 16

    adanya kelainan ataupun untuk menyatakan batas gerakan sendi yang abnormal (Arif,

    M, 2008).

    ROM merupakan latihan gerak sendi yang dapat dilakukan secara mandiri

    oleh pasien maupun dengan bantuan perawat. Hal ini berguna untuk memelihara dan

    mempertahankan kekuatan otot serta memelihara mobilitas persendian (Aziz dan

    Musrifatul, 2012).

    2. Tujuan ROM

    Tujuan pelaksanaan ROM menurut Suratun, dkk. (2008):

    a. Mempertahankan atau memelihara kekuatan otot.

    b. Memelihara mobilitas persendian.

    c. Merangsang sirkulasi darah.

    d. Mencegah kelainan bentuk.

    3. Prinsip Dasar Latihan ROM

    ROM atau range of motion memiliki prinsip dasar dalam melakukan

    pelatihan. Prinsip-prinsip dasar tersebut antara lain:

    a. ROM harus diulang sekitar 8 kali dan dikerjakan minimal 2 kali sehari.

    b. ROM dilakukan perlahan dan hati-hati sehingga tidak melelahkan pasien.

    c. Dalam merencanakan program latihan ROM, perhatikan umur pasien,

    diagnosis, tanda vital, dan lamanya tirah baring.

    d. ROM sering diprogram oleh dokter dan dikerjakan oleh ahli fisioterapi.

  • 17

    e. Bagian-bagian tubuh yang dapat dilakukan sebagai obyek latihan ROM adalah

    leher, jari, lengan, siku, bahu, tumit, kaki, dan pergelangan kaki.

    f. ROM dapat dilakukan pada semua persendian atau hanya pada bagian-bagian

    yang dicurigai mengalami proses penyakit.

    g. Melakukan ROM harus sesuai waktunya, misalnya setelah mandi atau

    perawatan rutin yang telah dilakukan.

    4. Klasifikasi ROM

    Suratun, dkk. (2008) menjabarkan klasifikasi ROM kedalam 2 (dua) jenis,

    yaitu ROM pasif dan ROM aktif. Latihan ROM pasif adalah latihan ROM yang di

    lakukan pasien dengan bantuan perawat pada setiap gerakan. Indikasi latihan pasif

    adalah pasien semikoma dan tidak sadar, pasien dengan keterbatasan mobilisasi tidak

    mampu melakukan beberapa atau semua latihan rentang gerak dengan mandiri, pasien

    tirah baring total atau pasien dengan paralisis ekstermitas total.

    Rentang gerak pasif ini berguna untuk menjaga kelenturan otot-otot dan

    persendian dengan menggerakkan otot orang lain secara pasif misalnya perawat

    mengangkat dan menggerakkan kaki pasien. Sendi yang digerakkan pada ROM pasif

    adalah seluruh persendian tubuh atau hanya pada ekstremitas yang terganggu dan

    klien tidak mampu melaksanakannya secara mandiri. Urutan tata cara melakukan

    latihan pasif antara lain:

    a. Mengkaji pasien dan merencanakan program latihan yang sesuai untuk pasien.

    b. Menginformasikan pasien tentang tindakan yang akan dilakukan, area yang

    akan digerakkan, dan perannya dalam latihan.

  • 18

    c. Menjaga privasi pasien.

    d. Mengatur pakaian yang dapat menyebabkan hambatan dalam pergerakan

    pasien.

    e. Mengangkat selimut jika diperlukan.

    f. Menganjurkan pasien untuk berbaring dalam posisi yang nyaman.

    g. Melakukan latihan ROM sesuai dengan uraian yang telah diberikan.

    Latihan ROM aktif adalah perawat memberikan motivasi dan membimbing

    klien dalam melaksanakan pergerakan sendi secara mandiri sesuai dengan rentang

    gerak sendi normal. Hal ini untuk melatih kelenturan dan kekuatan otot serta sendi

    dengan cara menggunakan otot-ototnya secara aktif. Sendi yang digerakkan pada

    ROM aktif adalah sendi di seluruh tubuh dari kepala sampai ujung jari kaki oleh klien

    sendiri secara aktif. Urutan tata cara melakukan latihan ROM aktif antara lain:

    a. Jelaskan apa yang akan dilakukan dan tujuan kegiatan tersebut.

    b. Menganjurkan pasien untuk bernafas normal selama latihan berlangsung.

    5. Manfaat Latihan ROM

    Menurut Suratun, dkk. (2008), terdapat manfaat yang sangat baik pada pasien

    fraktur jika melaksanakan latihan ROM. Manfaat tersebut diantaranya:

    a. Memperbaiki tonus otot.

    b. Meningkatkan mobilisasi sendi.

    c. Memperbaiki toleransi otot untuk latihan.

    d. Meningkatkan massa otot.

    e. Mengurangi kehilangan kekuatan tulang.

  • 19

    6. Indikasi dan Kontraindikasi ROM

    a. Indikasi

    1) Stroke atau penurunan tingkat kesadaran.

    2) Kelemahan otot.

    3) Fase rehabilitasi fisik.

    4) Klien dengan tirah baring lama.

    b. Kontraindikasi.

    1) Trombus/emboli dan keradangan pada pembuluh darah.

    2) Kelainan sendi atau tulang.

    3) Klien fase imobilisasi karena kasus penyakit (jantung).

    4) Trauma baru dengan kemunginan ada fraktur yang tersembunyi atau luka

    dalam.

    5) Nyeri berat.

    6) Sendi kaku atau tidak dapat bergerak.

    7. Gerakan ROM

    Menurut Potter dan Perry (2005), gerakan ROM terdiri dari beberapa gerakan

    persendian antara lain:

    a. Leher, spina, servikal

    Tabel 1

    Gerakan Range of Motion (ROM) pada Persendian Leher, Spina, Servikal

  • 20

    Gerakan Penjelasan Rentang

    Fleksi Menggerakan dagu menempel ke dada, rentang 45

    Ekstensi Mengembalikan kepala ke posisi tegak, rentang 45

    Hiperektensi Menekuk kepala ke belakang sejauh mungkin, rentang 40-45

    Fleksi lateral Memiringkan kepala sejauh mungkin sejauh

    mungkin kearah setiap bahu,

    rentang 40-45

    Rotasi Memutar kepala sejauh mungkin dalam gerakan

    sirkuler,

    rentang 180

    Gerakan Penjelasan Rentang

    Fleksi Menaikan lengan dari posisi di samping tubuh ke depan

    ke posisi di atas kepala,

    rentang 180

    Ekstensi Mengembalikan lengan ke posisi di samping tubuh, rentang 180

    Hiperektensi Mengerkan lengan kebelakang tubuh, siku tetap lurus, rentang 45-60

    Abduksi Menaikan lengan ke posisi samping di atas kepala

    dengan telapak tangan jauh dari kepala,

    rentang 180

    Adduksi Menurunkan lengan ke samping dan menyilang tubuh

    sejauh mungkin,

    rentang 320

    Rotasi dalam Dengan siku pleksi, memutar bahu dengan

    menggerakan lengan sampai ibu jari menghadap ke

    dalam dan ke belakang,

    rentang 90

    Rotasi luar Dengan siku fleksi, menggerakan lengan sampai ibu jari

    ke atas dan samping kepala,

    rentang 90

    Sirkumduksi Menggerakan lengan dengan lingkaran penuh, rentang 360

    Sumber: Potter&Perry, Fundamental Keperawatan, 2005.

    b. Bahu

    Tabel 2

    Gerakan Range of Motion (ROM) pada Persendian Bahu

  • 21

    Gerakan Penjelasan Rentang

    Fleksi Menggerakkan siku sehingga lengan bahu

    bergerak ke depan sendi bahu dan tangan

    sejajar bahu,

    rentang 150

    Ektensi Meluruskan siku dengan menurunkan tangan, rentang 150

    Gerakan Penjelasan Rentang

    Fleksi Menaikan lengan dari posisi di samping tubuh ke depan

    ke posisi di atas kepala,

    rentang 180

    Ekstensi Mengembalikan lengan ke posisi di samping tubuh, rentang 180

    Hiperektensi Mengerkan lengan kebelakang tubuh, siku tetap lurus, rentang 45-60

    Abduksi Menaikan lengan ke posisi samping di atas kepala

    dengan telapak tangan jauh dari kepala,

    rentang 180

    Adduksi Menurunkan lengan ke samping dan menyilang tubuh

    sejauh mungkin,

    rentang 320

    Rotasi dalam Dengan siku pleksi, memutar bahu dengan

    menggerakan lengan sampai ibu jari menghadap ke

    dalam dan ke belakang,

    rentang 90

    Rotasi luar Dengan siku fleksi, menggerakan lengan sampai ibu jari

    ke atas dan samping kepala,

    rentang 90

    Sirkumduksi Menggerakan lengan dengan lingkaran penuh, rentang 360

    Sumber: Potter&Perry, Fundamental Keperawatan, 2005.

    c. Siku

    Tabel 3

    Gerakan Range of Motion (ROM) pada Persendian Siku

    Sumber: Potter&Perry, Fundamental Keperawatan, 2005.

    d. Lengan Bawah

    Tabel 4

    Gerakan Range of Motion (ROM) pada Persendian Lengan Bawah

    Gerakan Penjelasan Rentang

    Supinasi Memutar lengan bawah dan tangan sehingga

    telapak tangan menghadap ke atas,

    rentang 70-90

    Pronasi Memutar lengan bawah sehingga telapak

    tangan menghadap ke bawah,

    rentang 70-90

  • 22

    Sumber: Potter&Perry, Fundamental Keperawatan, 2005.

    e. Pergelangan Tangan

    Tabel 5

    Gerakan Range of Motion (ROM) pada Persendian Pergelangan Tangan

    Sumber: Potter&Perry, Fundamental Keperawatan, 2005.

    f. Jari-jari Tangan

    Tabel 6

    Gerakan Range of Motion (ROM) pada Persendian Jari-jari Tangan

    Gerakan Penjelasan Rentang

    Fleksi Membuat genggaman, rentang 90

    Ekstensi Meluruskan jari-jari tangan, rentang 90

    Hiperekstensi Menggerakan jari-jari tangan ke belakang

    sejauh mungkin,

    rentang 30-60

    Abduksi Mereggangkan jari-jari tangan yang satu

    dengan yang lain,

    rentang 30

    Adduksi Merapatkan kembali jari-jari tangan, rentang 30

    Gerakan Penjelasan Rentang

    Fleksi Menggerakan telapak tangan ke sisi bagian

    dalam lengan bawah,

    rentang 80-90

    Ekstensi Mengerakan jari-jari tangan sehingga jari-jari,

    tangan, lengan bawah berada dalam arah yang

    sama,

    rentang 80-90

    Hiperekstensi Membawa permukaan tangan dorsal ke belakang

    sejauh mungkin,

    rentang 89-90

    Abduksi Menekuk pergelangan tangan miring ke ibu jari, rentang 30

    Adduksi Menekuk pergelangan tangan miring ke arah

    lima jari,

    rentang 30-50

  • 23

    Sumber: Potter&Perry, Fundamental Keperawatan, 2005.

    g. Ibu Jari

    Tabel 7

    Gerakan Range of Motion (ROM) pada Persendian Ibu Jari

    Sumber: Potter&Perry, Fundamental Keperawatan, 2005.

    h. Pinggul

    Gerakan Penjelasan Rentang

    Fleksi Mengerakan ibu jari menyilang permukaan

    telapak tangan,

    rentang 90

    Ekstensi menggerakan ibu jari lurus menjauh dari

    tangan,

    rentang 90

    Abduksi Menjauhkan ibu jari ke samping, rentang 30

    Adduksi Mengerakan ibu jari ke depan tangan, rentang 30

    Oposisi Menyentuhkan ibu jari ke setiap jari-jari

    tangan pada tangan yang sama.

    Gerakan Penjelasan Rentang

    Fleksi Membuat genggaman, rentang 90

    Ekstensi Meluruskan jari-jari tangan, rentang 90

    Hiperekstensi Menggerakan jari-jari tangan ke belakang

    sejauh mungkin,

    rentang 30-60

    Abduksi Mereggangkan jari-jari tangan yang satu

    dengan yang lain,

    rentang 30

    Adduksi Merapatkan kembali jari-jari tangan, rentang 30

  • 24

    Gerakan Penjelasan Rentang

    Fleksi Mengerakan tumit ke arah belakang paha, rentang 120-130

    Ekstensi Mengembalikan tungkai kelantai, rentang 120-130

    Gerakan Penjelasan Rentang

    Dorsifleksi Menggerakan kaki sehingga jari-jari kaki

    menekuk ke atas,

    rentang 20-30

    Plantarfleksi Menggerakan kaki sehingga jari-jari kaki

    menekuk ke bawah,

    rentang 45-50

    Tabel 8

    Gerakan Range of Motion (ROM) pada Persendian Pinggul

    Sumber: Potter&Perry, Fundamental Keperawatan, 2005.

    i. Lutut

    Tabel 9

    Gerakan Range of Motion (ROM) pada Persendian Lutut

    Sumber: Potter&Perry, Fundamental Keperawatan, 2005.

    j. Mata kaki

    Tabel 10

    Gerakan Range of Motion (ROM) pada Persendian Mata Kaki

    Gerakan Penjelasan Rentang

    Fleksi Mengerakan tungkai ke depan dan atas, rentang 90-120

    Ekstensi Menggerakan kembali ke samping tungkai

    yang lain,

    rentang 90-120

    Hiperekstensi Mengerakan tungkai ke belakang tubuh, rentang 30-50

    Abduksi Menggerakan tungkai ke samping menjauhi

    tubuh,

    rentang 30-50

    Adduksi Mengerakan tungkai kembali ke posisi media

    dan melebihi jika mungkin,rentang 30-50

    Rotasi dalam Memutar kaki dan tungkai ke arah tungkai

    lain,rentang 90

    Rotasi luar Memutar kaki dan tungkai menjauhi tungkai

    lain,rentang 90

    Sirkumduksi Menggerakan tungkai melingkar -

  • 25

    Gerakan Penjelasan Rentang

    Inversi Memutar telapak kaki ke samping dalam, rentang 10

    Eversi Memutar telapak kaki ke samping luar, rentang 10

    Gerakan Penjelasan Rentang

    Fleksi Menekukkan jari-jari kaki ke bawah, rentang 30-60

    Ekstensi Meluruskan jari-jari kaki, rentang 30-60

    Abduksi Menggerakan jari-jari kaki satu dengan yang

    lain,

    rentang 15

    Adduksi Merapatkan kembali bersama-sama, rentang 15

    Sumber: Potter&Perry, Fundamental Keperawatan, 2005.

    k. Kaki

    Tabel 11

    Gerakan Range of Motion (ROM) pada Persendian Kaki

    Sumber: Potter&Perry, Fundamental Keperawatan, 2005.

    l. Jari-jari Kaki

    Tabel 12

    Gerakan Range of Motion (ROM) pada Persendian Jari-jari Kaki

    Sumber: Potter&Perry, Fundamental Keperawatan, 2005.

    C. Konsep Perilaku

    1. Pengertian Perilaku

  • 26

    Perilaku merupakan suatu aktivitas yang dilakukan oleh seseorang atau

    makhluk hidup. Perilaku manusia adalah segala aktivitas atau kegiatan manusia baik

    yang dapat diamati langsung maupun yang tidak dapat diamati dari pihak luar

    (Notoatmodjo,2007). Perilaku adalah aktivitas yang timbul karena adanya dorongan

    dalam rangka memenuhi kebutuhan (Purwanto, 2012).

    Perilaku merupakan hasil hubungan antara rangsangan (stimulus) dan

    tanggapan (respon) (Mubarak, 2007). Perilaku atau respon masing-masing individu

    tentu saja berbeda. Perbedaan tersebut disebabkan oleh factor internal yaitu

    karakteristik individu seperti tingkat kecerdasan, tingkat emosional, jenis kelamin,

    dan sebagainya. Sedangkan faktor eksternal yang berpengaruh yaitu lingkungan baik

    fisik, sosial, budaya, ekonomi, politik dan lain sebagainya.

    2. Jenis-jenis Perilaku

    Dilihat dari bentuk respons terhadap stimulus, maka perilaku dapat dibedakan

    menjadi dua (Notoatmodjo,2007):

    a. Perilaku tertutup (covert behavior)

    Respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk terselubung atau tertutup

    (covert). Respon atau reaksi terhadap stimulus ini masih terbatas pada perhatian,

    persepsi, pengetahuan/kesadaran, dan sikap yang terjadi pada orang yang menerima

    stimulus tersebut, dan belum dapat diamati secara jelas oleh orang lain. Oleh sebab

    itu, disebut covert behavior atau unobservable behavior, misalnya: seorang ibu hamil

  • 27

    tahu pentingnya periksa kehamilan, seorang pemuda tahu bahwa HIV/AIDS dapat

    meular melalui hubungan seksual, dan sebagainya.

    b. Perilaku terbuka (overt behavior)

    Respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau

    terbuka. Respon terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk tindakan atau

    praktik (practice), yang dengan mudah dapat diamati atau dilihat oleh orang lain.

    Oleh sebab itu disebut overt behavior, tindakan nyata atau praktik (practice) misal,

    seorang ibu memeriksakan kehamilannya atau membawa anaknya ke puskesmas

    untuk diimunisasi, penderita TB paru minum obat secara teratur, dan sebagainya.

    3. Domain Perilaku

    Terdapat beberapa factor yang mempengaruhi respon seseorang terhadap

    stimulus. Faktor-faktor yang membedakan respon terhadap stimulus yang berbeda

    disebut determinan perilaku. Determinan perilaku ini dapat dibedakan menjadi dua,

    yaitu:

    a. Determinan atau factor internal, yakni karaktertistik orang yang bersangkutan,

    yang besifat given atau bawaan, misalnya tingkat kecerdasan, tingkat

    emosional, jenis kelamin, usia, dan sebagainya.

    b. Determinan atau faktor eksternal, yakni lingkungan, baik lingkungan fisik,

    sosial, budaya, ekonomi, politik dan sebagainya. Factor lingkungan ini

    merupakan factor yang dominan yang mewarnai perilaku seseorang.

  • 28

    Seorang ahli psikologi Benyamin Bloom (1908) membagi perilaku manusia

    kedalam 3 (tiga) domain, ranah atau kawasan yakni: pengetahuan (kognitif), sikap

    (afektif) dan tindakan (psikomotor) (Notoatmodjo, 2007).

    c. Pengetahuan (Knowledge)

    1) Pengertian pengetahuan

    Pengetahuan adalah hasil mengingat suatu hal baik sengaja maupun tidak

    sengaja dan ini terjadi setelah melakukan kontak atau pengamatan terhadap objek

    tertentu (Mubarak dkk, 2006). Pengetahuan adalah hasil tahu dari diri manusia yang

    sekedar menjawab pertanyaan what, misalnya apa itu air, apa itu manusia dan

    sebagainya (Notoatmodjo, 2005). Dengan adanya pengetahuan makan seseorang akan

    mampu mengambil keputusan atas apa yang ada di kehidupannya.

    Beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan menjadi sesuatu yang diketahui

    atau hasil tahu dari diri manusia dengan mengingat suatu hal yang pernah dialami

    baik sengaja maupun tidak serta mampu menjawab pertanyaan sehingga mampu

    mengambil keputusan disebut dengan pengetahuan.

    2) Tingkat Pengetahuan

    Cara mengidentifikasi tingkat pengetahuan menurut Notoatmodjo (2007):

    a) Mengenal (Recognition) dan mengingat kembali (Recall) merupakan

    kemampuan mengingat kembali sesuatu yang pernah diketahui sehingga

    seseorang dapat memutuskan sesuatu.

    b) Pemahaman (Comprehension) adalah kemampuan untuk memahami atau

    mengerti tentang suatu objek.

  • 29

    c) Penerapan (Application) adalah kemampuan untuk menerapkan secara benar

    pengetahuannya dalam situasi yang tepat.

    d) Analisis (Analysis) adalah kemampuan untuk menyebarkan materi atau objek

    ke dalam suatu struktur dan masih memiliki keterkaitan satu sama lain.

    e) Sintesis (Synthesis) adalah kemampuan untukmenyusun formulasi atau

    menghubungkan bagian-bagian dalam bentuk keseluruhan yang baru.

    f) Evaluasi (Evaluation) adalah kemampuan untuk menilai suatu materi atau

    objek.

    Menurut Notoatmodjo (2007), pengukuran pengetahuan dapat dilakukan

    dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin

    diukur dari subjek penelitian atau responden. Tingkat pengetahuan dapat dinilai dari

    tingkat penguasaan individu atau seseorang terhadap suatu objek dan dapat

    digolongkan menjadi:

    a) Sangat Baik : 85-100%

    b) Baik : 70-84%

    c) Cukup : 55-69%

    d) Kurang : 40-54%

    e) Jelek : 0-39%

    d. Sikap (Afektif)

    Sikap merupakan respon yang masih tertutup dari sesorang terhadap stimulus

    atau objek. Sikap belum merupakan tindakan, tetapi predisposisi dari suatu tindakan

  • 30

    (Nona, 2013). Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap objek di

    lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek (Notoatmodjo, 2007).

    Sikap mempunyai tiga komponen pokok:

    1) Kepercayaan/keyakinan, ide dan konsep terhadap suatu objek.

    2) Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap objek.

    3) Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave).

    Seperti pengetahuan, sikap juga memiliki beberapa tingkatan yaitu menerima,

    merespon, menghargai, mengorganisir dan bertanggungjawab (Nona, 2013).

    1) Menerima: apabila seseorang memiliki kemauan untuk memperhatikan

    stimulus yang diberikan objek. Misalnya penerimaan masyarakat terhadap

    wabah demam berdarah yang dilihat dari adanya kemauan untuk

    memperhatikan ceramah atau penyuluhan tentang wabah demam berdarah.

    2) Merespon: secara umum merespon mempunyai arti memberi tanggapan

    terhadap suatu stimulus/rangsangan. Merespon dapat berarti menjawab

    pertanyaan apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang

    diberikan. Terlepasa dari tugas tersebut benar atau salah. Misalnya menguras

    tempat penampungan air setelah mendengar penyuluhan tentang demam

    berdarah.

    3) Menghargai: ikut membicarakan/mendiskusikan sesuatu tentang

    objek/masalah, yang merupakan suatu indikasi bahwa seseorang telah

    memperhatikan objek atau ide yang disampaikan. Contoh dari menghargai

    adalah memotivasi warga untuk melakukan upaya-upaya pencegahan demam

    berdarah.

  • 31

    4) Mengorganisir: menghimpun/mengajak orang lain untuk memperoleh

    informasi tentang objek/ide yang telah disampaikan kepadanya atau

    melakukan sesuatu sehubungan dengan informasi yang telah diterima.

    Misalnya setelah mendapat penyuluhan tentang demam berdarah, seseorang

    mengajak masyarakat untuk melakukan tindakan pencegahan demam

    berdarah.

    5) Bertanggungjawab: bersedia menerima risiko/konsekuensi atas segala sesuatu

    yang telah diperbuat. Misalnya seorang warga yang tidak melakukan upaya

    pencegahan demam berdarah harus dirawat di rumah sakit karena menderita

    demam berdarah.

    Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung dan tidak langsung. Secara

    langsung dapat ditanyakan bagaimana pendapat atau pernyataan responden terhadap

    suatu objek.

    e. Tindakan (Psikomotor)

    Tindakan/praktik merupakan bentuk perilaku yang dapat diamati secara

    langsung. Pengetahuan dan sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan

    karena masih dipengaruhi oleh ada atau tidaknya factor pendukung antara lain kondisi

    dan fasilitas yang tersedia (Nona, 2013).

    Seperti halnya pengetahuan dan sikap, tindakan mempunyai beberapa

    tingkatan (Notoatmodjo, 2007):

    1) Persepsi (Perception)

  • 32

    Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang

    akan diambil adalah praktik tingkat pertama. Misalnya, seorang ibu dapat memilih

    makanan yang bergizi tinggi bagi anak balitanya.

    2) Respons terpimpin (guided response)

    Seseorang dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar dan

    sesuai dengan contoh adalah merupakan indikator praktik tingkat dua. Misalnya,

    seorang ibu dapat memasak sayur dengan benar mulai dari mencuci dan memotong-

    motongnya, lamanya memasak, dan sebagainya.

    3) Mekanisme (mechanism)

    Seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis, atau

    sesuatu itu telah menjadi sebuah kebiasaan. Misalnya seorang siswa yang belajar

    pada jam tertentu tanpa menunggu perintah atau suruhan orang lain.

    4) Adopsi (adoption)

    Adaptasi adalah suatu praktik atau tindakan yang sudah berkembang dengan

    baik. Artinya tindakan itu sudah dimodifikasikanya tanpa mengurangi kebenaran

    tindakan tersebut. Misalnya seorang mahasiswa dapat belajar melalui buku elektronik

    secara gratis tanpa harus mengeluarkan biaya yang tinggi untuk membeli buku.

  • 33

    BAB III

    KERANGKA KONSEP

    A. Kerangka Konsep

    Kerangka konsep adalah uraian tentang hubungan antar variabel-variabel yang

    terkait dengan masalah penelitian dan dibangun berdasarkan kerangka teori sebagai

    pedoman penelitian. Kerangka konsep digunakan untuk mendiskripsikan secara jelas

    variabel yang dipengaruhi (dependent variable) dan variabel pengaruh (Independent

    variable) (Sudibyo dan Rustika, 2013).

    Berikut adalah kerangka konsep dari penelitian ini:

    Karakteristik pasien fraktur: Penyebab Fraktur:

    1. Usia 1. Cedera

    2. Jenis kelamin 2. Stress berulang

    3. Pekerjaan 3. Abnormalitas/patologis

    4. Pendidikan

    Penatalaksanaan Fraktur: Pelaksanaan Range of Motion

    1. Imobilisasi (ROM)

    Faktor Eksternal : Perilaku pasien dalam melaksanakan

    Lingkungan, Motivasi. ROM (Pengetahuan, Sikap, Praktik)

    Keterangan:

    : diteliti

    : tidak diteliti

    : menunjukkan adanya hubungan

  • 34

    Gambar 1

    Kerangka Konsep Gambaran Perilaku Pasien Post Operasi Fraktur Ektremitas Bawah

    dalam Melaksanakan ROM di Ruang Flamingo RSUD Wangaya Tahun 2014.

    B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional

    1. Variabel penelitian

    Variabel adalah karakteristik dari subjek penelitian, atau fenomena yang dapat

    memiliki beberapa nilai (variasi nilai). Variabel yang dikumpulkan harus mengacu

    pada tujuan dan kerangka konsep (Sudibyo dan Rustika, 2013). Dalam penelitian ini

    menggunakan satu variabel yaitu Gambaran Perilaku Pasien Post Operasi Fraktur

    Ektremitas Bawah dalam Melaksanakan Range of Motion (ROM) di RSUD Wangaya

    Tahun 2015.

    2. Definisi operasional

    Definisi operasional adalah batasan dan cara pengukuran variabel yang akan

    diteliti. Definisi operasional (DO) variabel disusun dalam bentuk matrik, yang berisi:

    nama semua variabel yang diteliti pada kerangka konsep penelitian, deskripsi variabel

    (DO), alat ukur, hasil ukur dan skala ukur yang digunakan. Definisi operasional

    dibuat untu memudahkan dan menjaga konsistensi pengumpulan data,

    menghindarkan perbedaan interpretasi serta membatasi ruang lingkup variabel

    (Sudibyo dan Rustika, 2013).

  • 35

    Tabel 13

    Definisi Operasional Gambaran Perilaku Pasien Post Operasi Fraktur Ekstremitas

    Bawah Dalam Melaksanakan Range Of Motion (ROM)

    di RSUD Wangaya Denpasar

    Tahun 2015

    No Variabel Sub Variabel Definisi

    operasional

    Alat

    ukur

    Cara

    pengumpu

    lan data

    Skala

    ukur

    1 2 3 4 5 6 7

    1 Gambara

    n

    Perilaku

    Gambaran

    perilaku

    pasien post

    op fraktur

    ekstremitas

    bawah dalam

    melaksanaka

    n ROM.

    Perilaku

    adalah semua

    kegiatan atau

    aktivitas

    pasien post

    op fraktur

    dalam

    melaksanaka

    n ROM yang

    terdiri dari

    tiga domain :

    kuesio

    ner

    Dengan

    pengisian

    lembar

    kuesioner

    Ordinal.

    1. Sangat

    baik:

    jika

    respon

    den

    mamp

    u

    menja

    wab

    denga

    n

    benar

    85%-

    100%

    pertan

    yaan

    yang

    diberi

    kan.

    2. Baik:

  • 36

    jika

    respon

    den

    mamp

    u

    menja

    wab

    denga

    n

    benar

    70%-

    84%

    pertan

    yaan

    yang

    diberi

    kan.

    3. Cukup

    : jika

    respon

    den

    mamp

    u

    menja

    wab

    denga

    n

    benar

    55%-

  • 37

    69%

    pertan

    yaan

    yang

    diberi

    kan.

    4. Kuran

    g: jika

    respon

    den

    mamp

    u

    menja

    wab

    denga

    n

    benar

    40-

    54%

    pertan

    yaan

    yang

    diberi

    kan.

    5. Sangat

    kuran

    g: jika

    respon

    den

  • 38

    mamp

    u

    menja

    wab

    denga

    n

    benar

  • 39

    ROM

    c. Fungsi

    ROM

    d. Gerakan

    ROM

    mampu

    menjawab

    dengan

    benar

    70%-84%

    pertanyaa

    n yang

    diberikan.

    3.Cukup:

    jika

    responden

    mampu

    menjawab

    dengan

    benar

    55%-69%

    pertanyaa

    n yang

    diberikan.

    4.Kurang:

    jika

    responden

    mampu

    menjawab

    dengan

    benar 40-

    54%

    pertanyaa

    n yang

  • 40

    diberikan.

    5.Sangat

    kurang:

    jika

    responden

    mampu

    menjawab

    dengan

    benar

  • 41