PROPOSAL SILVI.pdf

27
KEEFEKTIFAN MODEL ELICITING ACTIVITIES PADA KEMAMPUAN BERFIKIR KRITIS DAN SIKAP KONSTRUKTIF SISWA KELAS VIII PROPOSAL SKRIPSI Disajikan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Matematika oleh Silvia Nurlutfiyani 4101411016 JURUSAN MATEMATIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2014

Transcript of PROPOSAL SILVI.pdf

Page 1: PROPOSAL SILVI.pdf

KEEFEKTIFAN MODEL ELICITING ACTIVITIES PADA KEMAMPUAN

BERFIKIR KRITIS DAN SIKAP KONSTRUKTIF SISWA KELAS VIII

PROPOSAL SKRIPSI

Disajikan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana

Pendidikan Program Studi Pendidikan Matematika

oleh

Silvia Nurlutfiyani

4101411016

JURUSAN MATEMATIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

2014

Page 2: PROPOSAL SILVI.pdf

2

DEPARTEMEN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

PROPOSAL SKRIPSI

NAMA : SILVIA NURLUTFIYANI

NIM : 4101411016

PROGRAM STUDI : PENDIDIKAN MATEMATIKA, S1

1. JUDUL

KEEFEKTIFAN MODEL ELECITING ACTIVITIES PADA

KEMAMPUAN BERFIKIR KRITIS DAN SIKAP KONSTRUKTIF

SISWA KELAS VIII

2. LATAR BELAKANG MASALAH

Pendidikan nasional, sebagai salah satu sektor pembangunan nasional

dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa, mempunyai visi

terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan

berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia

berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan

proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah.

Penyelenggaraan pendidikan dasar dan menengah sebagaimana yang

dinyatakan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang

Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan bertujuan membangun

landasan bagi berkembangnya potensi siswa agar menjadi manusia yang:

a. beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak

mulia, dan berkepribadian luhur;

b. berilmu, cakap, kritis, kreatif, dan inovatif;

c. sehat, mandiri, dan percaya diri; dan

d. toleran, peka sosial, demokratis, dan bertanggung jawab.

Page 3: PROPOSAL SILVI.pdf

3

Penjabaran dari tujuan pendidikan nasional tersebut terintegrasi

dalam mata pelajaran yang harus ditempuh oleh siswa. Salah satu mata

pelajaran tersebut adalah matematika. Matematika merupakan bidang ilmu

yang memiliki kedudukan penting dalam pengembangan dunia

pendidikan. Hal ini dikarenakan matematika adalah ilmu dasar bagi

pengembangan disiplin ilmu lainnya.

National Council of Teacher of Mathematics (2000) merumuskan

tujuan pembelajaran matematika yang disebut mathematical power (daya

matematis) meliputi: (a) belajar untuk berkomunikasi (mathematical

communication), (b) belajar untuk bernalar (mathematical reasoning), (c)

belajar untuk memecahkan masalah (mathematical problem solving), (d)

belajar untuk mengaitkan ide (mathematical connection), (e) belajar untuk

merepresntatif (representation). Selain itu, melalui pembelajaran

matematika siswa diharapkan memiliki kemampuan berpikir logis, analitis,

sistematis, kritis dan kreatif, serta memiliki kemampuan bekerja sama

(BSNP, 2006). Setiap aspek berpikir matematik tingkat tinggi mempunyai

ruang lingkup yang sangat luas, sehingga dalam penelitian ini yang akan

diukur hanya kemampuan berpikir kritis.

Kemampuan berpikir kritis merupakan kemampuan yang penting

untuk dimiliki oleh setiap siswa, agar siswa dapat memecahkan persoalan-

persoalan yang dihadapi dalam dunia yang senantiasa berubah dan semakin

kompleks. Pentingnya berpikir kritis juga diungkapkan oleh Peter (2012:

39) bahwa “student who are able to think critically are able to solve the

problem effectively”. Agar dapat bersaing dalam dunia kerja dan kehidupan

pribadi, siswa harus memiliki kemampuan pemecahan masalah dan harus

bisa berpikir dengan kritis.

Kemampuan berpikir kritis seseorang selain menunjukkan tingkat

pemahaman, juga terkait erat dengan kemampuan pemecahan masalah

dalam penyelesaian tugas matematika. Suatu masalah yang dianggap rumit

Page 4: PROPOSAL SILVI.pdf

4

dan kompleks bisa diselesaikan jika strategi dan pemanfaatan berpikir kritis

yang digunakan sesuai dengan permasalahan tersebut. Sebaliknya,

permasalahan akan sulit dipecahkan jika strateginya keliru. Penggunaan

strategi matematika yang sesuai sebagai bentuk berpikir kritis, akan

membantu pemahaman konsep siswa untuk mengemukakan ide atau

gagasan matematika siswa.

Berdasarkan hasil observasi, kemampuan berpikir kritis siswa kelas

VIII SMPN 2 Brebes masih belum maksimal. Dapat dilihat dari hasil belajar

siswa pada materi pokok kubus dan balok. Rata-rata ulangan harian materi

pokok balok dan kubus pada tahun 2013/2014 adalah 75. Sekitar 50% siswa

harus melakukan perbaikan. Ini menunjukkan bahwa siswa masih

mengalami kesulitan pada pelajaran matematika.

Berdasarkan hal tersebut, ternyata masih banyak siswa yang

kemampuan berpikir kritisnya masih rendah. Hal tersebut disebabkan oleh

beberapa faktor. Faktor internal merupakan faktor yang berasal dari diri

siswa itu sendiri, dan faktor eksternal yang merupakan faktor dari luar

seperti guru dan model yang digunakan dalam proses pembelajaran.

Model pembelajaran dan guru merupakan faktor utama yang dapat

mempengaruhi hasil belajar siswa. An et al. (2004: 146) mengemukakan

bahwa, “Teachers and teaching are found to be one of the factor major

related to studen’s achivement in TIMSS and other studies’. Menurut

Mulyana (2009:2), guru dengan berbagai kompetensi yang dimilikinya

diharapkan dapat memilih atau mengembangkan model pembelajaran dan

menciptakan suasana pembelajaran di dalam kelas, sehingga prosedur

pembelajaran berjalan sesuai dengan rencana yang telah disusun

sebelumnya. Proses kegiatan belajar mengajar di kelas akan terlaksana

dengan baik apabila terjadi interaksi yang baik antara guru dengan siswa.

(bagian sikap konstruktif)

Page 5: PROPOSAL SILVI.pdf

5

Berdasarkan uraian diatas, perlu dilakukan upaya yang dapat

ditempuh untuk melatih kemampuan berpikir kritis dan mengembangkan

sikap konstruktif siswa adalah dengan memilih model pembelajaran yang

dapat membantu siswa dalam mengembangkan kemampuan matematikanya

yaitu pembelajaran Model Eliciting Activities. Model Eliciting Activities

(MEA) merupakan model pembelajaran untuk memahami, menjelaskan,

dan mengkomunikasikan konsep-konsep dalam suatu permasalahan melalui

proses pemodelan matematika. Dalam kegiatan pembelajaran Model

Eliciting Activities, diawali dengan sajian masalah yang harus ditemukan

solusinya oleh siswa melalui proses pemodelan matematika berdasarkan

permasalahan. Sehingga dalam pembelajaran ini siswa diberi kesempatan

untuk secara aktif menggunakan kemampuan berpikirnya.

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis tertarik untuk

mengadakan penelitian yang berjudul “Keefektifan Model Eliciting

Activities pada Kemampuan Berpikir Kritis dan Sikap Konstruktif

Siswa Kelas VIII”.

3. Identifikasi masalah

Dari latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas terdapat beberapa

masalah yang dapat diidentifikasi sebagai berikut.

1. Kemampuan berpikir kritis adalah salah satu kemampuan yang penting

dalam pembelajaran matematika.

2. Sebagian besar siswa memiliki kemampuan berpikir kritis yang masih

rendah di SMPN 2 Brebes.

3. Sikap konstruktif siswa di SMPN 2 Brebes terhadap pembelajaran

matematika masih rendah.

4. Model Eliciting Activities adalah pendekatan yang diduga sesuai untuk

meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan sikap konstruktif siswa.

4. Pembatasan Masalah

Batasan masaah dalam penelitian ini adalah sebagi berikut.

1. Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas VIII SMPN 2 Brebes.

Page 6: PROPOSAL SILVI.pdf

6

2. Kemampuan matematika yang akan dilihat hasilnya adalah kemampuan

berpikir kritis.

3. Sikap konstruktif siswa terhadap pembelajaran matematika dengan

pendekatan Model Eliciting Activities.

4. Soal – soal yang dipilih dalam penelitian ini adalah soal yang berkaitan

dengan aspek kemampuan berpikir kritis dan dikembangkan

berdasarkan pendekatan pembelajaran yang ditetapkan yakni Model

Eliciting Activities.

5. Pembanding dalam penelitian ini adalah Kriteria Ketuntasan Minimal

(KKM) yang telah ditetapkan oleh sekolah.

5. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang diuraikan, rumusan masalah

utama dalam penelitian ini apakah Model Eliciting Activities efektif

terhadap kemampuan berpikir kritis dan sikap konstruktif. Rumusan

masalah tersebut dirinci kembali sebagiai berikut.

1. Apakah pembelajaran Model Eliciting Activities mencapai Kriteria

Ketuntasan Minimal (KKM) secara individual dan klasikal?

2. Apakah kemampuan berpikir kritis siswa yang memperoleh

pembelajaran Model Eliciting Activities lebih baik daripada siswa yang

memperoleh pembelajaran ekspositori pada kelas kontrol?

3. Apakah Sikap Konstruktif siswa yang memperoleh pembelajaran

Model Eliciting Activities lebih baik daripada siswa yang memperoleh

pembelajaran ekspositori pada kelas kontrol?

6. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Untuk mengetahui apakah pembelajaran Model Eliciting Activities

mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) secara individual dan

klasikal?

2. Untuk mengetahui apakah kemampuan berpikir kritis siswa yang

memperoleh pembelajaran Model Eliciting Activities lebih baik

Page 7: PROPOSAL SILVI.pdf

7

daripada siswa yang memperoleh pembelajaran ekspositori pada kelas

kontrol?

3. Untuk mengetahui apakah Sikap Konstruktif siswa yang memperoleh

pembelajaran Model Eliciting Activities lebih baik daripada siswa yang

memperoleh pembelajaran ekspositori pada kelas kontrol?

7. Manfaat Penelitian

a. Manfaat Teoritis

Memberikan sumbangan pada dunia pendidikan dalam pengajaran

matematika bahwa penerapan Model Eliciting Activities dapat

digunakan untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan sikap

konstruktif.

b. Manfaat Praktis

i. Bagi Peneliti

1) Mendapatkan pelajaran dan pengalaman dalam melakukan

penelitian pembelajaran matematika.

2) Memeperoleh pengalaman bagi calon guru matematika sehingga

diharapkan dapat bermanfaat ketika terjun di lapangan.

ii. Bagi Guru

Memberi alternatif pembelajaran matematika yang dapat

dikembangkan menjadi lebih baik sehingga dapat dijadikan sebagai

salah satu upaya untuk meningkatkan hasil belajar siswa dan

memberikan informasi tentang pentingnya kemampuan berpikir

kritis dan sikap konstruktif

iii. Bagi Siswa

Memberi pengalaman baru, mendorong siswa lebih terlibat

dalam pembelajaran di kelas sehingga dapat meningkatkan

kemampuan berpikir kritis, sikap kontruktif dan membuat belajar

matematika lebih bermakna.

Page 8: PROPOSAL SILVI.pdf

8

iv. Bagi Sekolah

Pembelajaran ini diharapkan dapat memberi sumbangan dan

masukan yang baik untuk sekolah tersebut dalam upaya perbaikan

pembelajaran dan meningkatkan kualitas pendidikan.

8. Definisi Operasional

Definisi operasional diperlukan untuk memberikan pengertian secara

operasional dari variable-variabel yang diteliti dan berhubungan dari

penelitian ini. Selain itu, untuk menghindari penafsiran makna yang

berbeda terhadap judul dan rumusan masalah oleh para pembaca.

Adapun definisi operasional dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

a. Keefektifan

Keefektifan dalam yang dimaksud dengan penelitian ini adalah

tercapainya keberhasilan pembelajaran dengan menggunakan Model

Eliciting Activities pada kemampuan berpikir kritis dan sikap konstruktif

dalam proses pembelajaran matematika kelas VIII SMP N 2 Brebes pada

materi kubus dan balok.

Pembelajaran dikatakan efektif ditunjukan dengan indikator sebagai berikut.

1. Kemampuan berpikir kritis siswa dengan penerapan model

pembelajaran Model Eliciting Activites dapat diukur dari hasil tes

kemampuan berpikir kritis siswa kelas VIII secara individual dapat

mencapai kriteria ketuntasan belajar ≥ 70 dan secara klasikal jumlah

siswa yang mendapatkan nilai ≥ 70 sebanyak ≥ 75% dari jumlah siswa

yang ada di kelas tersebut.

2. Kemampuan berpikir kritis siswa yang memperoleh pembelajaran

Model Eliciting Activites lebih baik daripada ketuntasan klasikal

siswa dengan pembelajaran model ekspositori.

3. Tingkat sikap konstruktif siswa dengan pembelajaran Model Eliciting

Activites lebih baik daripada tingkat sikap konstruktif siswa dengan

pembelajaran model ekspositori di kelas kontrol.

Page 9: PROPOSAL SILVI.pdf

9

b. Pembelajaran Model Eliciting Activities

Pembelajaran Model Eliciting Activites merupakan pembelajaran

yang didasarkan pada situasi kehidupan nyata siswa, belajar dalam

kelompok kecil, dan menyajikan sebuah model matematis sebagai solusi

(Hamilton, 2008).

Lesh et al., sebagaimana dikutip oleh Chamberlin & Moon (2008: 4),

menyatakan Model Eliciting Activites dikembangkan oleh pendidik

matematika, professor dan mahasiswa pascasarjana di Amerika dan

Australia, untuk digunakan oleh para guru matematika. Mereka

mengharapkan siswa dapat membuat dan mengembangkan model

matematika berupa sistem konseptual yang membuat siswa merasakan

beragam pengalaman matematis. Jadi, siswa diharapkan tidak hanya sekedar

menghasilkan model matematika tetapi juga mengerti konsep-konsep

yang digunakan dalam pembentukan model matematika dari permasalahan

yang diberikan.

c. Kemampuan Berpikir Kritis

Berpikir kritis yang dimaksud dalam penelitian ini adalah berpikir

reflektif yang beralasan dan terfokus pada penetapan apa yang harus dicapai

atau yang dilakukan. Tahap-tahap dalam berpikir kritis yang akan

digunakan dalam penelitian ini adalah: (a) klasifikasi dasar (elementary

clasification), (b) memberikan alasan untuk suatu keterampilan dasar (basic

support), (c) menyimpulkan (inference), (d) klarifikasi lebih lanjut

(advenced clarification), dan (e) taktik dan strategi (strategy and tactics).

Kemempuan berpikir kritis dalam penelitian ini diperoleh dari hasil tes

kemampuan berpikir kritis siswa pada masing-masing kelompok sampel.

d. Sikap Konstruktif

e. Ketuntasan Belajar

Indikator ketuntasan belajar pada penelitian ini adalah sebagai

berikut.

(1) Ketuntasan Belajar Individual

Dalam penelitian ini, ketuntasan belajar individual ditandai dengan

Page 10: PROPOSAL SILVI.pdf

10

pencapaian nilai tes penelitian pada pembelajaran dengan

menggunakan Model Eliciting Activities sesuai dengan kriteria

ketuntasan minimal (KKM) yakni 78.

(2) Ketuntasan Belajar Klasikal

Dalam penelitian ini, suatu kelas dikatakan telah mencapai

ketuntasan belajar klasikal jika banyaknya siswa yang telah

mencapai ketuntasan belajar individual sekurang-kurangnya adalah

75%.

A. LANDASAN TEORI DAN HIPOTESIS

1. Deskripsi Teoritik

a. Belajar

Belajar merupakan suatu proses aktif dalam memperoleh

pengalaman/ pengetahuan baru sehingga menyebabkan perubahan

tingkah laku (Hudojo, 2005:71).

Menurut pandangan behavioristic (seperti J. B. Watson, E. L.

Thorndike dan B. F. Skinner), belajar adalah perubahan dalam tingkah

laku, dalam cara seseorang berbuat situasi tertentu. Sedangkan menurut

pandangan kognitif (seperti Jean Piaget, Robert Glaser, John

Anderson, Jerome Bruner dan David Ausubel) belajar adalah proses

internal yang tidak dapat diamati secara langsung. Perubahan terjadi

dalam kemampuan seseorang untuk bertingkah laku dan berbuat

dalam situasi tertentu; perubahan dalam tingkah laku hanyalah suatu

refleksi dari perubahan internal (Mahmud, 1989: 122)

Dari beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa

belajar adalah suatu proses atau aktivitas siswa secara sadar dan

sengaja, yang dirancang untuk mendapatkan suatu pengetahuan dan

pengalaman yang dapat mengubah sikap dan tingkah laku

seseorang, sehingga dapat mengembangkan dirinya ke arah kemajuan

yang lebih baik.

Page 11: PROPOSAL SILVI.pdf

11

b. Teori Belajar

Beberapa teori belajar banyak dikembangkan oleh para ahli. Teori-

teori belajar yang mendukung penelitian ini antara lain adalah sebagai

berikut.

a) Teori Ausubel

Sebagai pelopor aliran kognitif, David Ausubel mengemukakan

teori belajar bermakna (meaningful learning). Ia membedakan antara

belajar menemukan dengan belajar menerima. Makna dibangun ketika

guru memberikan permasalahan yang relevan dengan pengetahuan

dan pengalaman yang sudah ada sebelumnya, memberi kesempatan

kepada siswa untuk menemukan dan menerapkan idenya sendiri.

Untuk membangun makna tersebut, proses belajar mengajar berpusat

pada siswa (Hamdani, 2010: 23). Pada belajar menghafalkan, peserta

didik hanya menghafalkan materi yang sudah diperolehnya, tetapi pada

belajar menemukan materi yang telah diperoleh itu dikembangkan

dengan keadaan lain sehingga mudah dimengerti.

Dalam penelitian ini, yang berkaitan dengan teori belajar Ausubel

adalah pembelajaran dengan Model-Eliciting Activities. Pada model

pembelajaran tersebut, siswa dihadapkan pada suatu masalah

kemudian mereka harus memecahkan masalah tersebut sebagai

langkah awal terjadinya penemuan, baik penemuan model

matematika maupun solusi permasalahan.

b) Teori Vygotsky

Vygotsky percaya bahwa kemampuan kognitif berasal dari

hubungan sosial dan kebudayaan. Oleh karena itu kegiatan anak tidak

bisa dipisahkan dari kegiatan sosial dan kultural. Teori Vygotsky

mengandung pandangan bahwa pengetahuan itu dipengaruhi situasi

dan bersifat kolaboratif, artinya pengetahuan didistribusikan di

antara orang dan lingkungan, yang mencakup objek, artifak, alat,

buku, dan komunitas tempat orang berinteraksi dengan orang lain.

(Rifa’i, 2010: 34)

Page 12: PROPOSAL SILVI.pdf

12

Ada empat pinsip kunci dari teori Vygotsky. Prinsip tersebut

adalah

sebagai berikut.

(a) Penekanan pada hakikat sosiokultural dari pembelajaran (the

sociocultural nature of learning)

Prinsip pertama menekankan pentingnya interaksi sosial

dengan orang lain (orang dewasa dan teman sebaya yang lebih

mampu) dalam proses pembelajaran.

(b) Zona perkembangan terdekat (zone of proximal development)

Prinsip kedua adalah ide bahwa siswa belajar paling baik

apabila berada dalam zona perkembangan terdekat mereka,

yaitu tingkat perkembangan sedikit di atas tingkat perkembangan

anak saat ini.

(c) Pemagangan kognitif (cognitive apprenticenship)

Prinsip ketiga menekankan pada kedua-duanya, hakikat

sosial dari belajar dan zona perkembangan. Siswa dapat

menemukan sendiri solusi dari permasalahan melalui bimbingan

dari teman sebaya atau pakar.

(d) Perancah (scaffolding)

Prinsip keempat, Vygotsky memunculkan konsep scaffolding,

yaitu memberikan sejumlah besar bantuan kepada siswa selama

tahap-tahap awal pembelajaran, dan kemudian mengurangi

bantuan tersebut untuk selanjutnya memberi kesempatan kepada

siswa untuk mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar

segera setelah ia dapat melakukannya. Bantuan tersebut dapat

berupa bimbingan atau petunjuk, peringatan, dorongan, ataupun

yang lainnya.

Dengan demikian, keterkaitan antara pendekatan teori Vygotsky

dengan penelitian ini adalah interaksi sosial yang muncul dalam

langkah-langkah pembelajaran Model Eliciting Activities. Dalam

pembelajaran ini, siswa bekerja dalam kelompok-kelompok kecil,

Page 13: PROPOSAL SILVI.pdf

13

yang terdiri dari 4 orang. Siswa dihadapkan pada suatu permasalahan,

kemudian berdiskusi dengan kelompoknya untuk menyelesaiakan

permasalahan tersebut.

c) Teori Piaget

Menurut piaget, pengetahuan dibentuk sendiri oleh peserta

didik dalam berhadapan dengan lingkungan atau objek yang sedang

dipelajarinya. Oleh karena itu, kegiatan peserta didik dalam

membentuk pengetahuannya sendiri menjadi hal yang sangat penting

dalam sistem piaget. Proses belajar harus membantu dan

memungkinkan peserta didik aktif mengkonstruksi pengetahuannya.

Peserta didik akan lebih mengerti apabila peserta didik tersebut

dapat mengemukakan sendiri pengetahuannya. Oleh karena itu, proses

pengajaran yang memungkinkan penemuan kembali suatu hukum atau

rumus menjadi penting. (Suparno, 2001: 141).

Piaget mengemukakan tiga prinsip pembelajaran, yaitu:

(a) Belajar aktif

Proses pembelajaran adalah proses aktif, karena pengetahuan,

terbentuk dari dalam sumber belajar. Untuk membantu

perkembangan kognitif anak perlu diciptakan suatu kondisi

belajar yang memungkinkan anak belajar sendiri.

(b) Belajar lewat interaksi sosial

Dalam belajar perlu diciptakan suasana yang

memungkinkan terjadinya interaksi di antara subjek belajar. Piaget

percaya bahwa belajar bersama, baik antara sesama, anak-anak

maupun dengan orang dewasa akan membantu perkembangan

kognitif mereka. Lewat interaksi sosial perkembangan kognitif

anak akan mengarah ke banyak pandangan.

(c) Belajar lewat pengalaman sendiri

Perkembangan kognitif anak akan lebih berarti apabila

didasarkan pada pengalaman nyata dari pada bahasa yang

Page 14: PROPOSAL SILVI.pdf

14

digunakan berkomunikasi. Bahasa memang memegang peranan

penting dalam perkembangan kognitif, namun bila menggunakan

bahasa yang digunakan dalam komunikasi tanpa pernah karena

pengalaman sendiri maka perkembangan kognitif anak cenderung

ke arah verbal. (Rifa’i, 2010: 207).

Dalam penelitian ini, teori belajar Piaget sangat

mendukung pelaksanaan pembelajaran Model Eliciting

Activities, karena pembelajaran Model Eliciting Activities

menekankan siswa untuk belajar aktif, belajar kelompok dan

belajar lewat pengalaman sendiri untuk memodelkan suatu

masalah. Belajar dengan pengalaman dapat lebih berarti untuk

pemahaman siswa.

c. Pembelajaran Matematika

Pembelajaran matematika adalah suatu proses atau kegiatan

guru mata pelajaran matematika dalam mengajarkan matematika

kepada siswanya yang didalamnya terkandung upaya guru untuk

menciptakan iklim dan pelayanan terhadap kemampuan, potensi,

minat, bakat, dan kebutuhan siswa yang beraneka ragam tentang

matematika agar terjadi interaksi optimal antara siswa dengan guru

serta antara siswa dengan siswa dalam mempelajari matematika

(Suyitno, 2004: 2).

Dalam pembelajaran matematika, para siswa dibiasakan untuk

memperoleh pemahaman melalui pengalaman tentang sifat-sifat dari

sekumpulan objek (abstraksi). Sehingga guru hendaknya memilih dan

menggunakan strategi, pendekatan, metode, dan teknik yang banyak

melibatkan siswa aktif dalam belajar, baik secara mental, fisik,

maupun sosial. Penekanan dalam pembelajaran matematika tidak

hanya pada melatih keterampilan hafal fakta, tetapi pada

pemahaman konsep. Dalam pelaksanaannya tentu harus disesuaikan

dengan tingkat berpikir siswa (Suherman, 2003).

Page 15: PROPOSAL SILVI.pdf

15

d. Model Eliciting Activities (MEA)

Leavitt (2007) memaparkan MEAs sebagai berikut:

Model Eliciting Activity (MEA) is the model that students aim to create

through “modeling”. "Modeling" is the process where students

construct a symbolic system also l-tnown as mathematical model that

is described by a sequence of steps. The model is the students„

translation of their interpretation of a real world dilemma posed

within the MEA into a mathematical representation.

Yu dan Chang (2009:2), menyatakan bahwa setiap kegiatan MEA

terdiri atas empat bagian utama, yakni: lembar permasalahan,

pertanyaan kesiapan, permasalahan, dan proses berbagai solusi

melalui kegiatan presentasi. Tujuan dari lembar permasalahan dan

pertanyaan kesiapan adalah adalah untuk memperkenalkan konteks

permasalahan kepada siswa dan siswa bisa mendapatkan gambaran

permasalahan melalui membaca lembar permasalahan dan

pertanyaan kesiapan hanya seperti periode pemanasan untuk

memastikan bahwa siswa telah memiliki pengetahuan dasar yang

mereka perlukan untuk menyelesaikan permasalahan. Permasalahan

harus menjadi bagian sentral dari pembelajaran yang disajikan

pendidik kepada siswa sesuai dengan pengetahuan yang mereka

miliki. Terakhir merupakan proses berbagi solusi atau presentasi

solusi dimana guru berusaha mendorong siswa untuk tidak hanya

mendengarkan kelompok lain presentasi tetapi juga mencoba untuk

memahami solusi kelompok lain dan menilai seberapa baik solusi

tersebut. Salah satu karakteristik unik dari MEA adalah bahwa

peserta didik menyelesaikan masalah yang diberikan kepada mereka

dan mengeneralisasi model yang mereka buat untuk situasi serupa.

Menurut Yildirim (2010) MEA adalah “a Model-Eliciting

Activity (MEAs) presents student teams with a thought-revealing,

model-eliciting , open-ended, real-world, client-driven problem.

Page 16: PROPOSAL SILVI.pdf

16

meas are purported to improve conceptual learning and problem

solving skills”.

Sedangkan menurut Menurut Hamilton (2008) MEA adalah “

MEAs is problem that simulates, real-world situations that small team

3-5 students work to solve over one or two class periods. The crucial

problem-solving iteration of an MEAs is to express, test and revise

models that will solve the problem”.

Secara lebih khusus, Chamberlain, sebagaimana dikutip oleh

Chamberlain dan Moon (2008: 5), menyatakan bahwa Model Eliciting

Activities diterapkan dalam beberapa langkah, yakni:

(1) Guru membaca sebuah lembar permasalahan yang

mengembangkan konteks siswa.

(2) Siswa siap siaga terhadap pertanyaan berdasarkan lembar

permasalahan tersebut.

(3) Guru membacakan permasalahan bersama siswa dan memastikan

bahwa setiap kelompok mengerti apa yang sedang ditanyakan.

(4) Siswa berusaha untuk menyelesaikan masalah tersebut.

(5) Siswa mempresentasikan model matematika mereka setelah

membahas dan meninjau ulang solusi

Carlson, et al., sebagaimana dikutip oleh Chamberlain dan Moon

(2008: 11), menyatakan bahwa selama pelaksanaan MEA, siswa

membuat kesan tentang situasi-situasi bermakna, menemukan, dan

memperluas konstruksi matematis mereka sendiri. Salah satu tujuan

pembelajaran MEA adalah memberikan kesempatan kepada siswa

untuk mengkontrol pembelajaran mereka sendiri dengan pengarahan

proses. Menciptakan model matematis merupakan salah satu cara

mencapai self directed learning.

Dalam penelitian ini, langkah pembelajaran Model Eliciting

Activities yang digunakan sebagai berikut :

(1) Guru memberikan pengantar materi

(2) Siswa dikelompokkan dengan anggota 3 - 4 orang tiap kelompok.

Page 17: PROPOSAL SILVI.pdf

17

(3) Guru memberikan lembar permasalahan MEA berupa Lembar

Kegiatan Siswa (LKS).

(4) Siswa siap siaga terhadap pertanyaan berdasarkan permasalah

tersebut.

(5) Guru membacakan permasalahan bersama siswa dan

memastikan bahwa setiap kelompok mengerti apa yang sedang

ditanyakan.

(6) Siswa berusaha untuk menyelesaikan masalah tersebut.

(7) Siswa mempresentasikan model matematis mereka setelah

membahas dan meninjau ulang solusi

e. Kemampuan Berpikir Kritis

Menurut Ennis (1996: 4) memberikan definisi, berpikir

kritis adalah berpikir secara beralasan dan reflektif dengan

menekankan pembuatan keputusan tentang apa yang harus dipercayai

atau dilakukan. Reflektif artinya mempertimbangkan atau memikirkan

kembali segala sesuatu yang dihadapinya sebelum mengambil

keputusan. Beralasan artinya memiliki keyakinan dan pandangan

yang didukung oleh bukti yang tepat, aktual, cukup, dan relevan.

Ennis (1996:171) menjelaskan bahwa seseorang yang sedang

berpikir kritis memiliki kecenderungan-kecenderungan sebagai berikut:

a) Mencari pernyataan yang jelas dari setiap pertanyaan,

b) Mencari alasan,

c) Berusaha mengetahui informasi dengan baik,

d) Memakai sumber yang memiliki kredibilitas dan

menyebutkannya,

e) Memperhatikan situasi dan kondisi secara keseluruhan,

f) Berusaha tetap relevan dengan ide utama,

g) Mengingat kepentingan yang asli dan mendasar,

h) Mencari alternatif,

i) Bersikap dan berpikir terbuka,

Page 18: PROPOSAL SILVI.pdf

18

j) Mengambil posisi ketika ada bukti yang cukup untuk

melakukan sesuatu,

k) Mencari penjelasan sebanyak mungkin apabila memungkinkan,

l) Bersikap secara sistematis dan teratur dengan bagian-

bagian dari keseluruhan masalah, dan

m) Peka terhadap tingkat keilmuan dan keahlian orang lain.

Berdasarkan penjelasan di atas, kemampuan berpikir kritis

bukan berarti mengumpulkan informasi saja, akan tetapi terkadang

seseorang yang mempunyai daya ingat yang baik dan mengetahui

banyak akan informasi belum tentu baik dalam berpikir kritis. Hal ini

dikarenakan seorang pemikir kritis seharusnya mempunyai kemampuan

dalam membuat atau menarik kesimpulan dari segala informasi yang

ia ketahui, ia pun dapat mengetahui bagaimana menggunakan informasi

yang ia punya untuk menyelesaikan sebuah permasalahan, dan

mencari sumber informasi yang relevan untuk membantunya

menyelesaikan sebuah permasalahan.

Ennis (2000: 97) menyebutkan tahap-tahap berpikir kritis yaitu

dirinci sebagai berikut.

1) Klarifikasi Dasar (Elementary Clarification)

Klarifikasi dasar terbagi menjadi tiga indikator yaitu (1)

mengidentifikasi atau merumuskan pertanyaan, (2) menganalisis

argumen, dan (3) bertanya dan menjawab pertanyaan klarifikasi

dan atau pertanyaan yang menantang.

2) Memberikan Alasan untuk Suatu Keputusan (The Basis for The

Decision)

Tahap ini terbagi menjadi dua indikator yaitu (1) mempertimbangkan

kredibilitas suatu sumber dan (2) mengobservasi dan

mempertimbangkan hasil observasi.

3) Menyimpulkan (Inference)

Tahap menyimpulkan terdiri dari tiga indikator (1) membuat deduksi

dan mempertimbangkan hasil deduksi, (2) membuat induksi dan

Page 19: PROPOSAL SILVI.pdf

19

mempertimbangkan hasil induksi, dan (3) membuat dan

mempertimbangkan nilai keputusan.

4) Klarifikasi Lebih Lanjut (Advanced Clarification)

Tahap ini terbagi menjadi dua indikator yaitu (1) mengidentifikasikan

istilah dan mempertimbangkan definisi dan (2) mengacu pada asumsi

yang tidak dinyatakan.

5) Dugaan dan Keterpaduan (Supposition and Integration)

Tahap ini terbagi menjadi dua indikator (1) mempertimbangkan

dan memikirkan secara logis premis, alasan, asumsi, posisi, dan

usulan lain yang tidak disetujui oleh mereka atau yang membuat

mereka merasa ragu-ragu tanpa membuat ketidaksepakatan atau

keraguan itu mengganggu pikiran mereka, dan (2) menggabungkan

kemampuankemampuan lain dan disposisi-disposisi dalam

membuat dan mempertahankan sebuah keputusan.

f. Sikap kontsruktif

2. Kajian Penelitian yang Relevan

a. Yulianti (2013), meneliti tentang pembelajaran Model Eliciting

Activities pada kemampuan penalaran dan disposisi matematis siswa

kelas VIII. Kesimpulan yang diperoleh bahwa siswa yang mengikuti

pembelajaran dengan menggunakan pendekatan MEAs

memperlihatkan keunggulan di setiap aspek dibandingkan dengan

siswa yang mengikuti pembelajaran biasa. Keunggulan-keunggulan

tersebut terdapat dalam aspek disposisi matematis dan kemampuan

penalaran.

b. Hasil penelitian Nur’aviandini (2013) tentang Penerapan Pendekatan

Model Eliciting Activities (MEA) dalam Pembelajaran Matematika

untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis yang dilakukan di

SMPN 2 Cimahi Tahun Ajaran 2012/2013 telah sampai pada

kesimpulan bahwa baik secara keseluruhan. Pendekatan MEA

Page 20: PROPOSAL SILVI.pdf

20

signifikan memberi pengaruh lebih baik pada pencapain kemampuan

berpikir kritis siswa daripada pembelajaran biasa.

3. Kerangka Berpikir

Penyelenggaraan Pendidikan bertujuan membangun landasan bagi

berkembangnya potensi siswa agar menjadi manusia yang salah satunya

adalah mempunyai kemampuan berpikir kritis, untuk menjadi manusia yang

berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang

selalu berubah. Selain itu, melalui pembelajaran matematika siswa

diharapkan memiliki kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis

dan kreatif, serta memiliki kemampuan bekerja sama (BSNP, 2006).

Berdasarkan hasil observasi, kemampuan berpikir kritis siswa kelas

VIII SMPN 2 Brebes masih belum maksimal. Dapat dilihat dari hasil belajar

siswa pada materi pokok kubus dan balok. Rata-rata ulangan harian materi

pokok balok dan kubus pada tahun 2013/2014 adalah 75. Sekitar 50% siswa

harus melakukan perbaikan. Ini menunjukkan bahwa siswa masih

mengalami kesulitan pada pelajaran matematika.

Pemilihan model pembelajran sangat penting selama proses

pembelajaran dan memberikan implikasi pada keberlanjutan penerimaan

materi dan kemampuan siswa. Salah satu model pembelajaran yang sesuai

untuk mengajarkan konsep-konsep matematika dalam konteks berpikir

kritis adalah Model Eliciting Activities (MEA).MEA merupakan model

pembelajaran untuk memahami, menjelaskan, dan mengkomunikasikan

konsep-konsep dalam suatu permasalahan melalui proses pemodelan

matematika.

Pembelajaran MEA, diawali dengan sajian masalah yang harus

ditemukan solusinya oleh siswa melalui proses pemodelan matematika

berdasarkan permasalahan. Sehingga dalam pembelajaran ini siswa diberi

kesempatan untuk secara aktif menggunakan kemampuan berpikirnya. Jadi,

siswa diharapkan tidak hanya sekedar menghasilkan model matematika

Page 21: PROPOSAL SILVI.pdf

21

tetapi juga mengerti konsep-konsep yang digunukan dalam pembentukan

model matematika dari permasalahan yang diberikan.

Terdapat dua kelas berbeda yaitu kelas dengan pembelajaran

MEA dan kelas dengan pembelajaran ekspositori. Diduga rata-rata

kemampuan berpikir kritis siswa pada materi pokok kubus dan balok

dengan pembelajaran MEA lebih tinggi daripada rata-rata kemampuan

penalaran matematis siswa pada materi lingkaran dengan pembelajaran

ekspositori, dengan ketuntasan klasikal ketercapaian KKM pada kelas

yang mendapat pembelajaran MEA. Begitu pula dengan tingkat sikap

konstruktif siswa dengan pembelajaran MEA lebih tinggi dibandingkan

dengan tingkat sikap siswa yang diajar dengan pembelajaran ekspositori.

4. Hipotesis

Berdasarkan landasan teori dan kerangka berpikir yang telah diuraikan,

maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Pembelajaran Model Eliciting Activities mencapai Kriteria Ketuntasan

Minimal (KKM) secara individual dan klasikal?

2. Kemampuan berpikir kritis siswa yang memperoleh pembelajaran

Model Eliciting Activities lebih baik daripada siswa yang memperoleh

pembelajaran ekspositori pada kelas kontrol?

3. Sikap Konstruktif siswa yang memperoleh pembelajaran Model

Eliciting Activities lebih baik daripada siswa yang memperoleh

pembelajaran ekspositori pada kelas kontrol?

B. METODE PENELITIAN

1. Desain Penelitian

Penelitian yang digunakan menggunakan quasi experiment.

Quasi experiment didefinisikan sebagai eksperimen yang memiliki

perlakuan, pengukuran dampak, unit eksperimen namun tidak

menggunakan penugasan acak untuk menciptakan perbandingan

dalam rangka menyimpukan perubahan yang disebabkan perlakuan

(Cook dan Campbell dalam Rusefendi (2001)). Pemilihan studi ini

didasarkan pertimbangan bahwa kelas yang ada telah terbentuk

Page 22: PROPOSAL SILVI.pdf

22

sebelumnya dan tidak mungkin dilakukan pengelompokan siswa

secara acak.

Pada penelitian ini digunakan satu kelas eksperimen, satu

kelas kontrol, dan satu kelas uji coba instrumen penelitian. Kepada

kelas eksperimen dilakukan pembelajaran dengan menggunakan

pembelajaran Model Eliciting Activities (MEA) dan kelas kontrol

tidak diberi perlakuan peneliti. Adapun jenis quasi experiment yang

digunakan dalam penelitian ini adalah pretest dan postest. Desain

penelitian ini berbentuk:

Kelas eksperimen O X O

Kelas kontrol O O

Keterangan:

X : pembelajaran Model Eliciting Activities (MEAs)

O : tes yang diberikan untuk mengetahui kemampuan representasi

matematis siswa.

Sumber: Russefendi (2001)

Tabel 1.1 Desain Eksperimen penelitian

Keadaan Awal Kelas Perlakuan Keadaan Akhir

Pretest Kelas

Eksperimen

Model

Pembelajaran MEA

Tes kemampuan berpikir

kritis dan sikap konstruktif

Pretest Kelas

Kontrol

Selain model

pembelajaran MEA

Tes kemampuan berpikir

kritis dan sikap konstruktif

Berdasarkan desain penelitian di atas, maka disusun prosedur

penelitian sebagai berikut. Penelitian dalam penerapan model

pembelajaran Model Eliciting Activities (MEA) dilaksanakan melalui

3 tahapan yakni tahap persiapan, tahap pelaksanaan MEAs, dan tahap

evaluasi. Adapun perincian masing-masing tahapan adalah sebagai

berikut.

a. Tahap Persiapan

Pada tahap ini diadakan persiapan-persiapan yang dipandang

perlu, antara lain sebagai berikut.

Page 23: PROPOSAL SILVI.pdf

23

1. Studi pendahuluan tentang kemampuan berpikir kritis, sikap

konstruktif, serta pembelajaran Model Eliciting Activities (MEA),

dan merancang perangkat pembelajaran serta instrumen

pengumpul data.

2. Merumuskan masalah yang berkaitan dengan kemampuan

berpikir kritis, sikap konstruktif, serta pembelajaran MEA, serta

permasalahan keaktivan siswa dalam pembelajaran.

3. Mencari studi literatur yang berkaitan dengan Model

Pembelajaran MEA, kemampuan berpikir kritis, sikap konstruktif,

dan konsep terkait kubus dan balok.

4. Melakukan uji instrumen penelitian dan menyusun rencana

pelaksanaan pembelajaran.

b. Tahap pelaksanaan

Kelas eksperimen dan kelas kontrol mendapat perlakuan yang

sama dalam hal jumlah jam pelajaran, penyampaian materi, serta

sumber belajar. Kelas eksperimen mendapatkan lembar

permasalahan MEA, sedangkan kelas kontrol mendapatkan soal-soal

latihan dari buku LKS dan buku paket yang dimiliki guru yang tidak

memperoleh pembelajaran dengan model MEAs yang diajar gurunya

sendiri.

Secara garis besar pada tahap pelaksanaan meliputi beberapa

kegiatan, yakni sebagai berikut.

1. Penyusunan soal uji coba instrumen untuk melakukan pretest

kepada kelas eksperimen maupun kelas kontrol.

2. Penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran. Hal ini

bertujuan agar pembelajaran yang dilakukan dapat disusun

dengan cermat dan nantinya memberikan hasil sesuai yang

direncanakan.

3. Melakukan uji coba Instrumen. Adapun uji coba instrumen

dilakukan di kelas VIII A. Hal ini dikarenakan kelas VIII A

memiliki kemampuan yang berbeda-beda dalam mata pelajaran

Page 24: PROPOSAL SILVI.pdf

24

matematika. Sehingga diharapkan uji coba instrumen dapat

memberikan hasil yang benar-benar merepresentasikan instrumen

yang dibuat.

4. Melakukan pretest kepada kelas eksperimen yang dalam hal ini

adalah kelas VIII A dan kelas kontrol adalah kelas VIII B.

5. Melakukan pembelajaran MEA pada kelas eksperimen sedangkan

kelas kontrol tetap diajar oleh gurunya sendiri dengan menggunakan

model ekspositori.

Adapun langkah-langkah dalam pembelajaran MEA adalah

sebagai berikut.

1. Guru membaca sebuah simulasi artikel mengembangkan konteks

siswa.

2. Siswa siap siaga terhadap pertanyaan berdasarkan artikel tersebut.

3. Guru membacakan pernyataan masalah bersama siswa dan

memastikan bahwa setiap kelompok mengerti apa yang sedang

ditanyakan.

4. Siswa berusaha untuk menyelesaikan masalah tersebut.

5. Siswa mempresentasikan model matematis mereka setelah

membahas dan meninjau ulang solusi.

6. Melakukan pretest terkait jarak dalam dimensi tiga.

7. Memberikan angket sikap konstruktif kepada kelas eksperimen

maupun kelas kontrol setelah mendapatkan pembelajaran MEA.

c. Tahap Evaluasi

a) Melakukan analisis data. Pada soal uji coba dilakukan analisis

kevalidan, reliabilitas, daya pembeda, dan tingkat kesukaran soal.

Sedangkan pada pengambilan pretest maupun posttest dilakukan

analisis normalitas, homogenitas, kesamaan dua rata-rata.

b) Menyusun laporan penelitian hasil analisis data.

2. Metode Penentuan Subjek Penelitian

a. Populasi

Page 25: PROPOSAL SILVI.pdf

25

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek

atau subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang

diterapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik

kesimpulannya (Sugiyono, 2010: 61). Sedangkan Arikunto (2010)

mendefinisikan populasi sebagai keseluruhan subjek penelitian.

Populasi dalam penelitian ini adalah semua siswa kelas VIII

semester 2 SMPN 2 Brebes Tahun Pelajaran 2014/2015.

b. Sampel

Sampel adalah sebagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki

oleh populasi tersebut (Sugiyono. 2010: 62). Sedangkan Arikunto

(2010) mendefinisikan sampel sebagai wakil populasi yang diteliti.

Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik cluster

random sampling, yaitu secara acak dipilih dua kelas dari populasi.

Dua kelas tersebut yaitu satu kelas eksperimen dan satu kelas

sebagai kelas kontrol. Sampel yang terpilih dalam penelitian ini

adalah siswa kelas VIII A (32 siswa) sebagai kelas eksperimen dan

kelas VIII B (32 siswa) sebagai kelas kontrol, serta kelas VIII C 1

(30 siswa) sebagai kelas untuk uji coba soal.

3. Variable Penelitian

Kata “variabel” berasal dari bahasa Inggris variable dengan arti

“ubahan”, “faktor tak tetap”. Variabel pada dasarnya bersifat kualitatif

namun dilambangkan dengan angka (Sudijono, 2008: 36). Sebagai

contoh “Nilai Ujian” pada dasarnya adalah gejala kualitas yang

dilambangkan dengan angka seperti 6, 7, 80, 100. Adapun variabel

dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

a. Variabel Kontrol

Variabel kontrol dalam penelitian ini adalah kemampuan awal

siswa (berdasarkan nilai raport semester 1 tahun ajaran 2014/2015

dan nilai pretest).

b. Variabel Bebas

Page 26: PROPOSAL SILVI.pdf

26

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah model pembelajaran

MEA.

c. Variabel Terikat

Variabel terikat dalam penelitian ini adalah nilai hasil

kemampuan berpikir kritis dan sikap konstruktif siswa.

4. Metode Pengumpulan Data

Berdasarkan jenisnya, ada dua jenis data, yaitu data kuantitatif dan

data kualitatif. Data kuantitatif terdiri dari data diskrit dan data

kontinum. Data kontinum adalah data yang diperoleh dari hasil

pengukuran. Data kontinum terdiri dari data ordinal, data interval,

dan data rasio. Data ordinal adalah data yang berjenjang atau

berbentuk peringkat. Data interval merupakan data hasil pengukuran

yang jaraknya sama, tetapi tidak mempunyai nilai nol absolut

(mutlak). Sedangkan data rasio adalah data yang jaraknya sama dan

mempunyai nilai nol absolut (Sugiyono, 2010:24).

Berdasarkan pengelompokan data di atas, dalam penelitian ini

data yang digunakan adalah data kuantitatif yang termasuk data

kontinum interval. Data dalam penelitian ini adalah data hasil

pretest dan postest kelas VIII SMPN 2 Brebes.

a. Metode dokumentasi

Metode ini dilakukan untuk memperoleh daftar nama peserta

didik yang termasuk dalam kelas eksperimen satu yaitu kelas VIII A,

dan kelas kontrol yaitu kelas VIII B.

b. Metode Tes

Tes adalah serangkaian pertanyaan, latihan, atau alat lain yang

digunakan untuk mengukur keterampilan, pengetahuan, intelegensi,

kemampuan atau bakat yang dimiliki oleh individu atau kelas

(Arikunto, 2009: 149). Pelaksanaan tes dilakukan sebelum dan

setelah perlakuan diberikan kepada kelas eksperimen dan kelas

kontrol. Alat tes yang telah diuji validitas dan reliabilitasnya ini

digunakan untuk mendapatkan data nilai kemampuan berpikir kritis.

Page 27: PROPOSAL SILVI.pdf

27

Tes diberikan kepada kedua kelas dengan alat tes yang sama. Tes

ini dimaksudkan untuk memperoleh data kuantitatif mengenai

kemampuan representasi matematis peserta didik dan hasilnya

diolah untuk menguji kebenaran hipotesis penelitian.