PROPOSAL SILVI.pdf
-
Upload
yuniarendahsukmawati -
Category
Documents
-
view
44 -
download
0
Transcript of PROPOSAL SILVI.pdf
KEEFEKTIFAN MODEL ELICITING ACTIVITIES PADA KEMAMPUAN
BERFIKIR KRITIS DAN SIKAP KONSTRUKTIF SISWA KELAS VIII
PROPOSAL SKRIPSI
Disajikan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Pendidikan Program Studi Pendidikan Matematika
oleh
Silvia Nurlutfiyani
4101411016
JURUSAN MATEMATIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2014
2
DEPARTEMEN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
PROPOSAL SKRIPSI
NAMA : SILVIA NURLUTFIYANI
NIM : 4101411016
PROGRAM STUDI : PENDIDIKAN MATEMATIKA, S1
1. JUDUL
KEEFEKTIFAN MODEL ELECITING ACTIVITIES PADA
KEMAMPUAN BERFIKIR KRITIS DAN SIKAP KONSTRUKTIF
SISWA KELAS VIII
2. LATAR BELAKANG MASALAH
Pendidikan nasional, sebagai salah satu sektor pembangunan nasional
dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa, mempunyai visi
terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan
berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia
berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan
proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah.
Penyelenggaraan pendidikan dasar dan menengah sebagaimana yang
dinyatakan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang
Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan bertujuan membangun
landasan bagi berkembangnya potensi siswa agar menjadi manusia yang:
a. beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, dan berkepribadian luhur;
b. berilmu, cakap, kritis, kreatif, dan inovatif;
c. sehat, mandiri, dan percaya diri; dan
d. toleran, peka sosial, demokratis, dan bertanggung jawab.
3
Penjabaran dari tujuan pendidikan nasional tersebut terintegrasi
dalam mata pelajaran yang harus ditempuh oleh siswa. Salah satu mata
pelajaran tersebut adalah matematika. Matematika merupakan bidang ilmu
yang memiliki kedudukan penting dalam pengembangan dunia
pendidikan. Hal ini dikarenakan matematika adalah ilmu dasar bagi
pengembangan disiplin ilmu lainnya.
National Council of Teacher of Mathematics (2000) merumuskan
tujuan pembelajaran matematika yang disebut mathematical power (daya
matematis) meliputi: (a) belajar untuk berkomunikasi (mathematical
communication), (b) belajar untuk bernalar (mathematical reasoning), (c)
belajar untuk memecahkan masalah (mathematical problem solving), (d)
belajar untuk mengaitkan ide (mathematical connection), (e) belajar untuk
merepresntatif (representation). Selain itu, melalui pembelajaran
matematika siswa diharapkan memiliki kemampuan berpikir logis, analitis,
sistematis, kritis dan kreatif, serta memiliki kemampuan bekerja sama
(BSNP, 2006). Setiap aspek berpikir matematik tingkat tinggi mempunyai
ruang lingkup yang sangat luas, sehingga dalam penelitian ini yang akan
diukur hanya kemampuan berpikir kritis.
Kemampuan berpikir kritis merupakan kemampuan yang penting
untuk dimiliki oleh setiap siswa, agar siswa dapat memecahkan persoalan-
persoalan yang dihadapi dalam dunia yang senantiasa berubah dan semakin
kompleks. Pentingnya berpikir kritis juga diungkapkan oleh Peter (2012:
39) bahwa “student who are able to think critically are able to solve the
problem effectively”. Agar dapat bersaing dalam dunia kerja dan kehidupan
pribadi, siswa harus memiliki kemampuan pemecahan masalah dan harus
bisa berpikir dengan kritis.
Kemampuan berpikir kritis seseorang selain menunjukkan tingkat
pemahaman, juga terkait erat dengan kemampuan pemecahan masalah
dalam penyelesaian tugas matematika. Suatu masalah yang dianggap rumit
4
dan kompleks bisa diselesaikan jika strategi dan pemanfaatan berpikir kritis
yang digunakan sesuai dengan permasalahan tersebut. Sebaliknya,
permasalahan akan sulit dipecahkan jika strateginya keliru. Penggunaan
strategi matematika yang sesuai sebagai bentuk berpikir kritis, akan
membantu pemahaman konsep siswa untuk mengemukakan ide atau
gagasan matematika siswa.
Berdasarkan hasil observasi, kemampuan berpikir kritis siswa kelas
VIII SMPN 2 Brebes masih belum maksimal. Dapat dilihat dari hasil belajar
siswa pada materi pokok kubus dan balok. Rata-rata ulangan harian materi
pokok balok dan kubus pada tahun 2013/2014 adalah 75. Sekitar 50% siswa
harus melakukan perbaikan. Ini menunjukkan bahwa siswa masih
mengalami kesulitan pada pelajaran matematika.
Berdasarkan hal tersebut, ternyata masih banyak siswa yang
kemampuan berpikir kritisnya masih rendah. Hal tersebut disebabkan oleh
beberapa faktor. Faktor internal merupakan faktor yang berasal dari diri
siswa itu sendiri, dan faktor eksternal yang merupakan faktor dari luar
seperti guru dan model yang digunakan dalam proses pembelajaran.
Model pembelajaran dan guru merupakan faktor utama yang dapat
mempengaruhi hasil belajar siswa. An et al. (2004: 146) mengemukakan
bahwa, “Teachers and teaching are found to be one of the factor major
related to studen’s achivement in TIMSS and other studies’. Menurut
Mulyana (2009:2), guru dengan berbagai kompetensi yang dimilikinya
diharapkan dapat memilih atau mengembangkan model pembelajaran dan
menciptakan suasana pembelajaran di dalam kelas, sehingga prosedur
pembelajaran berjalan sesuai dengan rencana yang telah disusun
sebelumnya. Proses kegiatan belajar mengajar di kelas akan terlaksana
dengan baik apabila terjadi interaksi yang baik antara guru dengan siswa.
(bagian sikap konstruktif)
5
Berdasarkan uraian diatas, perlu dilakukan upaya yang dapat
ditempuh untuk melatih kemampuan berpikir kritis dan mengembangkan
sikap konstruktif siswa adalah dengan memilih model pembelajaran yang
dapat membantu siswa dalam mengembangkan kemampuan matematikanya
yaitu pembelajaran Model Eliciting Activities. Model Eliciting Activities
(MEA) merupakan model pembelajaran untuk memahami, menjelaskan,
dan mengkomunikasikan konsep-konsep dalam suatu permasalahan melalui
proses pemodelan matematika. Dalam kegiatan pembelajaran Model
Eliciting Activities, diawali dengan sajian masalah yang harus ditemukan
solusinya oleh siswa melalui proses pemodelan matematika berdasarkan
permasalahan. Sehingga dalam pembelajaran ini siswa diberi kesempatan
untuk secara aktif menggunakan kemampuan berpikirnya.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis tertarik untuk
mengadakan penelitian yang berjudul “Keefektifan Model Eliciting
Activities pada Kemampuan Berpikir Kritis dan Sikap Konstruktif
Siswa Kelas VIII”.
3. Identifikasi masalah
Dari latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas terdapat beberapa
masalah yang dapat diidentifikasi sebagai berikut.
1. Kemampuan berpikir kritis adalah salah satu kemampuan yang penting
dalam pembelajaran matematika.
2. Sebagian besar siswa memiliki kemampuan berpikir kritis yang masih
rendah di SMPN 2 Brebes.
3. Sikap konstruktif siswa di SMPN 2 Brebes terhadap pembelajaran
matematika masih rendah.
4. Model Eliciting Activities adalah pendekatan yang diduga sesuai untuk
meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan sikap konstruktif siswa.
4. Pembatasan Masalah
Batasan masaah dalam penelitian ini adalah sebagi berikut.
1. Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas VIII SMPN 2 Brebes.
6
2. Kemampuan matematika yang akan dilihat hasilnya adalah kemampuan
berpikir kritis.
3. Sikap konstruktif siswa terhadap pembelajaran matematika dengan
pendekatan Model Eliciting Activities.
4. Soal – soal yang dipilih dalam penelitian ini adalah soal yang berkaitan
dengan aspek kemampuan berpikir kritis dan dikembangkan
berdasarkan pendekatan pembelajaran yang ditetapkan yakni Model
Eliciting Activities.
5. Pembanding dalam penelitian ini adalah Kriteria Ketuntasan Minimal
(KKM) yang telah ditetapkan oleh sekolah.
5. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang diuraikan, rumusan masalah
utama dalam penelitian ini apakah Model Eliciting Activities efektif
terhadap kemampuan berpikir kritis dan sikap konstruktif. Rumusan
masalah tersebut dirinci kembali sebagiai berikut.
1. Apakah pembelajaran Model Eliciting Activities mencapai Kriteria
Ketuntasan Minimal (KKM) secara individual dan klasikal?
2. Apakah kemampuan berpikir kritis siswa yang memperoleh
pembelajaran Model Eliciting Activities lebih baik daripada siswa yang
memperoleh pembelajaran ekspositori pada kelas kontrol?
3. Apakah Sikap Konstruktif siswa yang memperoleh pembelajaran
Model Eliciting Activities lebih baik daripada siswa yang memperoleh
pembelajaran ekspositori pada kelas kontrol?
6. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Untuk mengetahui apakah pembelajaran Model Eliciting Activities
mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) secara individual dan
klasikal?
2. Untuk mengetahui apakah kemampuan berpikir kritis siswa yang
memperoleh pembelajaran Model Eliciting Activities lebih baik
7
daripada siswa yang memperoleh pembelajaran ekspositori pada kelas
kontrol?
3. Untuk mengetahui apakah Sikap Konstruktif siswa yang memperoleh
pembelajaran Model Eliciting Activities lebih baik daripada siswa yang
memperoleh pembelajaran ekspositori pada kelas kontrol?
7. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoritis
Memberikan sumbangan pada dunia pendidikan dalam pengajaran
matematika bahwa penerapan Model Eliciting Activities dapat
digunakan untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan sikap
konstruktif.
b. Manfaat Praktis
i. Bagi Peneliti
1) Mendapatkan pelajaran dan pengalaman dalam melakukan
penelitian pembelajaran matematika.
2) Memeperoleh pengalaman bagi calon guru matematika sehingga
diharapkan dapat bermanfaat ketika terjun di lapangan.
ii. Bagi Guru
Memberi alternatif pembelajaran matematika yang dapat
dikembangkan menjadi lebih baik sehingga dapat dijadikan sebagai
salah satu upaya untuk meningkatkan hasil belajar siswa dan
memberikan informasi tentang pentingnya kemampuan berpikir
kritis dan sikap konstruktif
iii. Bagi Siswa
Memberi pengalaman baru, mendorong siswa lebih terlibat
dalam pembelajaran di kelas sehingga dapat meningkatkan
kemampuan berpikir kritis, sikap kontruktif dan membuat belajar
matematika lebih bermakna.
8
iv. Bagi Sekolah
Pembelajaran ini diharapkan dapat memberi sumbangan dan
masukan yang baik untuk sekolah tersebut dalam upaya perbaikan
pembelajaran dan meningkatkan kualitas pendidikan.
8. Definisi Operasional
Definisi operasional diperlukan untuk memberikan pengertian secara
operasional dari variable-variabel yang diteliti dan berhubungan dari
penelitian ini. Selain itu, untuk menghindari penafsiran makna yang
berbeda terhadap judul dan rumusan masalah oleh para pembaca.
Adapun definisi operasional dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
a. Keefektifan
Keefektifan dalam yang dimaksud dengan penelitian ini adalah
tercapainya keberhasilan pembelajaran dengan menggunakan Model
Eliciting Activities pada kemampuan berpikir kritis dan sikap konstruktif
dalam proses pembelajaran matematika kelas VIII SMP N 2 Brebes pada
materi kubus dan balok.
Pembelajaran dikatakan efektif ditunjukan dengan indikator sebagai berikut.
1. Kemampuan berpikir kritis siswa dengan penerapan model
pembelajaran Model Eliciting Activites dapat diukur dari hasil tes
kemampuan berpikir kritis siswa kelas VIII secara individual dapat
mencapai kriteria ketuntasan belajar ≥ 70 dan secara klasikal jumlah
siswa yang mendapatkan nilai ≥ 70 sebanyak ≥ 75% dari jumlah siswa
yang ada di kelas tersebut.
2. Kemampuan berpikir kritis siswa yang memperoleh pembelajaran
Model Eliciting Activites lebih baik daripada ketuntasan klasikal
siswa dengan pembelajaran model ekspositori.
3. Tingkat sikap konstruktif siswa dengan pembelajaran Model Eliciting
Activites lebih baik daripada tingkat sikap konstruktif siswa dengan
pembelajaran model ekspositori di kelas kontrol.
9
b. Pembelajaran Model Eliciting Activities
Pembelajaran Model Eliciting Activites merupakan pembelajaran
yang didasarkan pada situasi kehidupan nyata siswa, belajar dalam
kelompok kecil, dan menyajikan sebuah model matematis sebagai solusi
(Hamilton, 2008).
Lesh et al., sebagaimana dikutip oleh Chamberlin & Moon (2008: 4),
menyatakan Model Eliciting Activites dikembangkan oleh pendidik
matematika, professor dan mahasiswa pascasarjana di Amerika dan
Australia, untuk digunakan oleh para guru matematika. Mereka
mengharapkan siswa dapat membuat dan mengembangkan model
matematika berupa sistem konseptual yang membuat siswa merasakan
beragam pengalaman matematis. Jadi, siswa diharapkan tidak hanya sekedar
menghasilkan model matematika tetapi juga mengerti konsep-konsep
yang digunakan dalam pembentukan model matematika dari permasalahan
yang diberikan.
c. Kemampuan Berpikir Kritis
Berpikir kritis yang dimaksud dalam penelitian ini adalah berpikir
reflektif yang beralasan dan terfokus pada penetapan apa yang harus dicapai
atau yang dilakukan. Tahap-tahap dalam berpikir kritis yang akan
digunakan dalam penelitian ini adalah: (a) klasifikasi dasar (elementary
clasification), (b) memberikan alasan untuk suatu keterampilan dasar (basic
support), (c) menyimpulkan (inference), (d) klarifikasi lebih lanjut
(advenced clarification), dan (e) taktik dan strategi (strategy and tactics).
Kemempuan berpikir kritis dalam penelitian ini diperoleh dari hasil tes
kemampuan berpikir kritis siswa pada masing-masing kelompok sampel.
d. Sikap Konstruktif
e. Ketuntasan Belajar
Indikator ketuntasan belajar pada penelitian ini adalah sebagai
berikut.
(1) Ketuntasan Belajar Individual
Dalam penelitian ini, ketuntasan belajar individual ditandai dengan
10
pencapaian nilai tes penelitian pada pembelajaran dengan
menggunakan Model Eliciting Activities sesuai dengan kriteria
ketuntasan minimal (KKM) yakni 78.
(2) Ketuntasan Belajar Klasikal
Dalam penelitian ini, suatu kelas dikatakan telah mencapai
ketuntasan belajar klasikal jika banyaknya siswa yang telah
mencapai ketuntasan belajar individual sekurang-kurangnya adalah
75%.
A. LANDASAN TEORI DAN HIPOTESIS
1. Deskripsi Teoritik
a. Belajar
Belajar merupakan suatu proses aktif dalam memperoleh
pengalaman/ pengetahuan baru sehingga menyebabkan perubahan
tingkah laku (Hudojo, 2005:71).
Menurut pandangan behavioristic (seperti J. B. Watson, E. L.
Thorndike dan B. F. Skinner), belajar adalah perubahan dalam tingkah
laku, dalam cara seseorang berbuat situasi tertentu. Sedangkan menurut
pandangan kognitif (seperti Jean Piaget, Robert Glaser, John
Anderson, Jerome Bruner dan David Ausubel) belajar adalah proses
internal yang tidak dapat diamati secara langsung. Perubahan terjadi
dalam kemampuan seseorang untuk bertingkah laku dan berbuat
dalam situasi tertentu; perubahan dalam tingkah laku hanyalah suatu
refleksi dari perubahan internal (Mahmud, 1989: 122)
Dari beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa
belajar adalah suatu proses atau aktivitas siswa secara sadar dan
sengaja, yang dirancang untuk mendapatkan suatu pengetahuan dan
pengalaman yang dapat mengubah sikap dan tingkah laku
seseorang, sehingga dapat mengembangkan dirinya ke arah kemajuan
yang lebih baik.
11
b. Teori Belajar
Beberapa teori belajar banyak dikembangkan oleh para ahli. Teori-
teori belajar yang mendukung penelitian ini antara lain adalah sebagai
berikut.
a) Teori Ausubel
Sebagai pelopor aliran kognitif, David Ausubel mengemukakan
teori belajar bermakna (meaningful learning). Ia membedakan antara
belajar menemukan dengan belajar menerima. Makna dibangun ketika
guru memberikan permasalahan yang relevan dengan pengetahuan
dan pengalaman yang sudah ada sebelumnya, memberi kesempatan
kepada siswa untuk menemukan dan menerapkan idenya sendiri.
Untuk membangun makna tersebut, proses belajar mengajar berpusat
pada siswa (Hamdani, 2010: 23). Pada belajar menghafalkan, peserta
didik hanya menghafalkan materi yang sudah diperolehnya, tetapi pada
belajar menemukan materi yang telah diperoleh itu dikembangkan
dengan keadaan lain sehingga mudah dimengerti.
Dalam penelitian ini, yang berkaitan dengan teori belajar Ausubel
adalah pembelajaran dengan Model-Eliciting Activities. Pada model
pembelajaran tersebut, siswa dihadapkan pada suatu masalah
kemudian mereka harus memecahkan masalah tersebut sebagai
langkah awal terjadinya penemuan, baik penemuan model
matematika maupun solusi permasalahan.
b) Teori Vygotsky
Vygotsky percaya bahwa kemampuan kognitif berasal dari
hubungan sosial dan kebudayaan. Oleh karena itu kegiatan anak tidak
bisa dipisahkan dari kegiatan sosial dan kultural. Teori Vygotsky
mengandung pandangan bahwa pengetahuan itu dipengaruhi situasi
dan bersifat kolaboratif, artinya pengetahuan didistribusikan di
antara orang dan lingkungan, yang mencakup objek, artifak, alat,
buku, dan komunitas tempat orang berinteraksi dengan orang lain.
(Rifa’i, 2010: 34)
12
Ada empat pinsip kunci dari teori Vygotsky. Prinsip tersebut
adalah
sebagai berikut.
(a) Penekanan pada hakikat sosiokultural dari pembelajaran (the
sociocultural nature of learning)
Prinsip pertama menekankan pentingnya interaksi sosial
dengan orang lain (orang dewasa dan teman sebaya yang lebih
mampu) dalam proses pembelajaran.
(b) Zona perkembangan terdekat (zone of proximal development)
Prinsip kedua adalah ide bahwa siswa belajar paling baik
apabila berada dalam zona perkembangan terdekat mereka,
yaitu tingkat perkembangan sedikit di atas tingkat perkembangan
anak saat ini.
(c) Pemagangan kognitif (cognitive apprenticenship)
Prinsip ketiga menekankan pada kedua-duanya, hakikat
sosial dari belajar dan zona perkembangan. Siswa dapat
menemukan sendiri solusi dari permasalahan melalui bimbingan
dari teman sebaya atau pakar.
(d) Perancah (scaffolding)
Prinsip keempat, Vygotsky memunculkan konsep scaffolding,
yaitu memberikan sejumlah besar bantuan kepada siswa selama
tahap-tahap awal pembelajaran, dan kemudian mengurangi
bantuan tersebut untuk selanjutnya memberi kesempatan kepada
siswa untuk mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar
segera setelah ia dapat melakukannya. Bantuan tersebut dapat
berupa bimbingan atau petunjuk, peringatan, dorongan, ataupun
yang lainnya.
Dengan demikian, keterkaitan antara pendekatan teori Vygotsky
dengan penelitian ini adalah interaksi sosial yang muncul dalam
langkah-langkah pembelajaran Model Eliciting Activities. Dalam
pembelajaran ini, siswa bekerja dalam kelompok-kelompok kecil,
13
yang terdiri dari 4 orang. Siswa dihadapkan pada suatu permasalahan,
kemudian berdiskusi dengan kelompoknya untuk menyelesaiakan
permasalahan tersebut.
c) Teori Piaget
Menurut piaget, pengetahuan dibentuk sendiri oleh peserta
didik dalam berhadapan dengan lingkungan atau objek yang sedang
dipelajarinya. Oleh karena itu, kegiatan peserta didik dalam
membentuk pengetahuannya sendiri menjadi hal yang sangat penting
dalam sistem piaget. Proses belajar harus membantu dan
memungkinkan peserta didik aktif mengkonstruksi pengetahuannya.
Peserta didik akan lebih mengerti apabila peserta didik tersebut
dapat mengemukakan sendiri pengetahuannya. Oleh karena itu, proses
pengajaran yang memungkinkan penemuan kembali suatu hukum atau
rumus menjadi penting. (Suparno, 2001: 141).
Piaget mengemukakan tiga prinsip pembelajaran, yaitu:
(a) Belajar aktif
Proses pembelajaran adalah proses aktif, karena pengetahuan,
terbentuk dari dalam sumber belajar. Untuk membantu
perkembangan kognitif anak perlu diciptakan suatu kondisi
belajar yang memungkinkan anak belajar sendiri.
(b) Belajar lewat interaksi sosial
Dalam belajar perlu diciptakan suasana yang
memungkinkan terjadinya interaksi di antara subjek belajar. Piaget
percaya bahwa belajar bersama, baik antara sesama, anak-anak
maupun dengan orang dewasa akan membantu perkembangan
kognitif mereka. Lewat interaksi sosial perkembangan kognitif
anak akan mengarah ke banyak pandangan.
(c) Belajar lewat pengalaman sendiri
Perkembangan kognitif anak akan lebih berarti apabila
didasarkan pada pengalaman nyata dari pada bahasa yang
14
digunakan berkomunikasi. Bahasa memang memegang peranan
penting dalam perkembangan kognitif, namun bila menggunakan
bahasa yang digunakan dalam komunikasi tanpa pernah karena
pengalaman sendiri maka perkembangan kognitif anak cenderung
ke arah verbal. (Rifa’i, 2010: 207).
Dalam penelitian ini, teori belajar Piaget sangat
mendukung pelaksanaan pembelajaran Model Eliciting
Activities, karena pembelajaran Model Eliciting Activities
menekankan siswa untuk belajar aktif, belajar kelompok dan
belajar lewat pengalaman sendiri untuk memodelkan suatu
masalah. Belajar dengan pengalaman dapat lebih berarti untuk
pemahaman siswa.
c. Pembelajaran Matematika
Pembelajaran matematika adalah suatu proses atau kegiatan
guru mata pelajaran matematika dalam mengajarkan matematika
kepada siswanya yang didalamnya terkandung upaya guru untuk
menciptakan iklim dan pelayanan terhadap kemampuan, potensi,
minat, bakat, dan kebutuhan siswa yang beraneka ragam tentang
matematika agar terjadi interaksi optimal antara siswa dengan guru
serta antara siswa dengan siswa dalam mempelajari matematika
(Suyitno, 2004: 2).
Dalam pembelajaran matematika, para siswa dibiasakan untuk
memperoleh pemahaman melalui pengalaman tentang sifat-sifat dari
sekumpulan objek (abstraksi). Sehingga guru hendaknya memilih dan
menggunakan strategi, pendekatan, metode, dan teknik yang banyak
melibatkan siswa aktif dalam belajar, baik secara mental, fisik,
maupun sosial. Penekanan dalam pembelajaran matematika tidak
hanya pada melatih keterampilan hafal fakta, tetapi pada
pemahaman konsep. Dalam pelaksanaannya tentu harus disesuaikan
dengan tingkat berpikir siswa (Suherman, 2003).
15
d. Model Eliciting Activities (MEA)
Leavitt (2007) memaparkan MEAs sebagai berikut:
Model Eliciting Activity (MEA) is the model that students aim to create
through “modeling”. "Modeling" is the process where students
construct a symbolic system also l-tnown as mathematical model that
is described by a sequence of steps. The model is the students„
translation of their interpretation of a real world dilemma posed
within the MEA into a mathematical representation.
Yu dan Chang (2009:2), menyatakan bahwa setiap kegiatan MEA
terdiri atas empat bagian utama, yakni: lembar permasalahan,
pertanyaan kesiapan, permasalahan, dan proses berbagai solusi
melalui kegiatan presentasi. Tujuan dari lembar permasalahan dan
pertanyaan kesiapan adalah adalah untuk memperkenalkan konteks
permasalahan kepada siswa dan siswa bisa mendapatkan gambaran
permasalahan melalui membaca lembar permasalahan dan
pertanyaan kesiapan hanya seperti periode pemanasan untuk
memastikan bahwa siswa telah memiliki pengetahuan dasar yang
mereka perlukan untuk menyelesaikan permasalahan. Permasalahan
harus menjadi bagian sentral dari pembelajaran yang disajikan
pendidik kepada siswa sesuai dengan pengetahuan yang mereka
miliki. Terakhir merupakan proses berbagi solusi atau presentasi
solusi dimana guru berusaha mendorong siswa untuk tidak hanya
mendengarkan kelompok lain presentasi tetapi juga mencoba untuk
memahami solusi kelompok lain dan menilai seberapa baik solusi
tersebut. Salah satu karakteristik unik dari MEA adalah bahwa
peserta didik menyelesaikan masalah yang diberikan kepada mereka
dan mengeneralisasi model yang mereka buat untuk situasi serupa.
Menurut Yildirim (2010) MEA adalah “a Model-Eliciting
Activity (MEAs) presents student teams with a thought-revealing,
model-eliciting , open-ended, real-world, client-driven problem.
16
meas are purported to improve conceptual learning and problem
solving skills”.
Sedangkan menurut Menurut Hamilton (2008) MEA adalah “
MEAs is problem that simulates, real-world situations that small team
3-5 students work to solve over one or two class periods. The crucial
problem-solving iteration of an MEAs is to express, test and revise
models that will solve the problem”.
Secara lebih khusus, Chamberlain, sebagaimana dikutip oleh
Chamberlain dan Moon (2008: 5), menyatakan bahwa Model Eliciting
Activities diterapkan dalam beberapa langkah, yakni:
(1) Guru membaca sebuah lembar permasalahan yang
mengembangkan konteks siswa.
(2) Siswa siap siaga terhadap pertanyaan berdasarkan lembar
permasalahan tersebut.
(3) Guru membacakan permasalahan bersama siswa dan memastikan
bahwa setiap kelompok mengerti apa yang sedang ditanyakan.
(4) Siswa berusaha untuk menyelesaikan masalah tersebut.
(5) Siswa mempresentasikan model matematika mereka setelah
membahas dan meninjau ulang solusi
Carlson, et al., sebagaimana dikutip oleh Chamberlain dan Moon
(2008: 11), menyatakan bahwa selama pelaksanaan MEA, siswa
membuat kesan tentang situasi-situasi bermakna, menemukan, dan
memperluas konstruksi matematis mereka sendiri. Salah satu tujuan
pembelajaran MEA adalah memberikan kesempatan kepada siswa
untuk mengkontrol pembelajaran mereka sendiri dengan pengarahan
proses. Menciptakan model matematis merupakan salah satu cara
mencapai self directed learning.
Dalam penelitian ini, langkah pembelajaran Model Eliciting
Activities yang digunakan sebagai berikut :
(1) Guru memberikan pengantar materi
(2) Siswa dikelompokkan dengan anggota 3 - 4 orang tiap kelompok.
17
(3) Guru memberikan lembar permasalahan MEA berupa Lembar
Kegiatan Siswa (LKS).
(4) Siswa siap siaga terhadap pertanyaan berdasarkan permasalah
tersebut.
(5) Guru membacakan permasalahan bersama siswa dan
memastikan bahwa setiap kelompok mengerti apa yang sedang
ditanyakan.
(6) Siswa berusaha untuk menyelesaikan masalah tersebut.
(7) Siswa mempresentasikan model matematis mereka setelah
membahas dan meninjau ulang solusi
e. Kemampuan Berpikir Kritis
Menurut Ennis (1996: 4) memberikan definisi, berpikir
kritis adalah berpikir secara beralasan dan reflektif dengan
menekankan pembuatan keputusan tentang apa yang harus dipercayai
atau dilakukan. Reflektif artinya mempertimbangkan atau memikirkan
kembali segala sesuatu yang dihadapinya sebelum mengambil
keputusan. Beralasan artinya memiliki keyakinan dan pandangan
yang didukung oleh bukti yang tepat, aktual, cukup, dan relevan.
Ennis (1996:171) menjelaskan bahwa seseorang yang sedang
berpikir kritis memiliki kecenderungan-kecenderungan sebagai berikut:
a) Mencari pernyataan yang jelas dari setiap pertanyaan,
b) Mencari alasan,
c) Berusaha mengetahui informasi dengan baik,
d) Memakai sumber yang memiliki kredibilitas dan
menyebutkannya,
e) Memperhatikan situasi dan kondisi secara keseluruhan,
f) Berusaha tetap relevan dengan ide utama,
g) Mengingat kepentingan yang asli dan mendasar,
h) Mencari alternatif,
i) Bersikap dan berpikir terbuka,
18
j) Mengambil posisi ketika ada bukti yang cukup untuk
melakukan sesuatu,
k) Mencari penjelasan sebanyak mungkin apabila memungkinkan,
l) Bersikap secara sistematis dan teratur dengan bagian-
bagian dari keseluruhan masalah, dan
m) Peka terhadap tingkat keilmuan dan keahlian orang lain.
Berdasarkan penjelasan di atas, kemampuan berpikir kritis
bukan berarti mengumpulkan informasi saja, akan tetapi terkadang
seseorang yang mempunyai daya ingat yang baik dan mengetahui
banyak akan informasi belum tentu baik dalam berpikir kritis. Hal ini
dikarenakan seorang pemikir kritis seharusnya mempunyai kemampuan
dalam membuat atau menarik kesimpulan dari segala informasi yang
ia ketahui, ia pun dapat mengetahui bagaimana menggunakan informasi
yang ia punya untuk menyelesaikan sebuah permasalahan, dan
mencari sumber informasi yang relevan untuk membantunya
menyelesaikan sebuah permasalahan.
Ennis (2000: 97) menyebutkan tahap-tahap berpikir kritis yaitu
dirinci sebagai berikut.
1) Klarifikasi Dasar (Elementary Clarification)
Klarifikasi dasar terbagi menjadi tiga indikator yaitu (1)
mengidentifikasi atau merumuskan pertanyaan, (2) menganalisis
argumen, dan (3) bertanya dan menjawab pertanyaan klarifikasi
dan atau pertanyaan yang menantang.
2) Memberikan Alasan untuk Suatu Keputusan (The Basis for The
Decision)
Tahap ini terbagi menjadi dua indikator yaitu (1) mempertimbangkan
kredibilitas suatu sumber dan (2) mengobservasi dan
mempertimbangkan hasil observasi.
3) Menyimpulkan (Inference)
Tahap menyimpulkan terdiri dari tiga indikator (1) membuat deduksi
dan mempertimbangkan hasil deduksi, (2) membuat induksi dan
19
mempertimbangkan hasil induksi, dan (3) membuat dan
mempertimbangkan nilai keputusan.
4) Klarifikasi Lebih Lanjut (Advanced Clarification)
Tahap ini terbagi menjadi dua indikator yaitu (1) mengidentifikasikan
istilah dan mempertimbangkan definisi dan (2) mengacu pada asumsi
yang tidak dinyatakan.
5) Dugaan dan Keterpaduan (Supposition and Integration)
Tahap ini terbagi menjadi dua indikator (1) mempertimbangkan
dan memikirkan secara logis premis, alasan, asumsi, posisi, dan
usulan lain yang tidak disetujui oleh mereka atau yang membuat
mereka merasa ragu-ragu tanpa membuat ketidaksepakatan atau
keraguan itu mengganggu pikiran mereka, dan (2) menggabungkan
kemampuankemampuan lain dan disposisi-disposisi dalam
membuat dan mempertahankan sebuah keputusan.
f. Sikap kontsruktif
2. Kajian Penelitian yang Relevan
a. Yulianti (2013), meneliti tentang pembelajaran Model Eliciting
Activities pada kemampuan penalaran dan disposisi matematis siswa
kelas VIII. Kesimpulan yang diperoleh bahwa siswa yang mengikuti
pembelajaran dengan menggunakan pendekatan MEAs
memperlihatkan keunggulan di setiap aspek dibandingkan dengan
siswa yang mengikuti pembelajaran biasa. Keunggulan-keunggulan
tersebut terdapat dalam aspek disposisi matematis dan kemampuan
penalaran.
b. Hasil penelitian Nur’aviandini (2013) tentang Penerapan Pendekatan
Model Eliciting Activities (MEA) dalam Pembelajaran Matematika
untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis yang dilakukan di
SMPN 2 Cimahi Tahun Ajaran 2012/2013 telah sampai pada
kesimpulan bahwa baik secara keseluruhan. Pendekatan MEA
20
signifikan memberi pengaruh lebih baik pada pencapain kemampuan
berpikir kritis siswa daripada pembelajaran biasa.
3. Kerangka Berpikir
Penyelenggaraan Pendidikan bertujuan membangun landasan bagi
berkembangnya potensi siswa agar menjadi manusia yang salah satunya
adalah mempunyai kemampuan berpikir kritis, untuk menjadi manusia yang
berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang
selalu berubah. Selain itu, melalui pembelajaran matematika siswa
diharapkan memiliki kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis
dan kreatif, serta memiliki kemampuan bekerja sama (BSNP, 2006).
Berdasarkan hasil observasi, kemampuan berpikir kritis siswa kelas
VIII SMPN 2 Brebes masih belum maksimal. Dapat dilihat dari hasil belajar
siswa pada materi pokok kubus dan balok. Rata-rata ulangan harian materi
pokok balok dan kubus pada tahun 2013/2014 adalah 75. Sekitar 50% siswa
harus melakukan perbaikan. Ini menunjukkan bahwa siswa masih
mengalami kesulitan pada pelajaran matematika.
Pemilihan model pembelajran sangat penting selama proses
pembelajaran dan memberikan implikasi pada keberlanjutan penerimaan
materi dan kemampuan siswa. Salah satu model pembelajaran yang sesuai
untuk mengajarkan konsep-konsep matematika dalam konteks berpikir
kritis adalah Model Eliciting Activities (MEA).MEA merupakan model
pembelajaran untuk memahami, menjelaskan, dan mengkomunikasikan
konsep-konsep dalam suatu permasalahan melalui proses pemodelan
matematika.
Pembelajaran MEA, diawali dengan sajian masalah yang harus
ditemukan solusinya oleh siswa melalui proses pemodelan matematika
berdasarkan permasalahan. Sehingga dalam pembelajaran ini siswa diberi
kesempatan untuk secara aktif menggunakan kemampuan berpikirnya. Jadi,
siswa diharapkan tidak hanya sekedar menghasilkan model matematika
21
tetapi juga mengerti konsep-konsep yang digunukan dalam pembentukan
model matematika dari permasalahan yang diberikan.
Terdapat dua kelas berbeda yaitu kelas dengan pembelajaran
MEA dan kelas dengan pembelajaran ekspositori. Diduga rata-rata
kemampuan berpikir kritis siswa pada materi pokok kubus dan balok
dengan pembelajaran MEA lebih tinggi daripada rata-rata kemampuan
penalaran matematis siswa pada materi lingkaran dengan pembelajaran
ekspositori, dengan ketuntasan klasikal ketercapaian KKM pada kelas
yang mendapat pembelajaran MEA. Begitu pula dengan tingkat sikap
konstruktif siswa dengan pembelajaran MEA lebih tinggi dibandingkan
dengan tingkat sikap siswa yang diajar dengan pembelajaran ekspositori.
4. Hipotesis
Berdasarkan landasan teori dan kerangka berpikir yang telah diuraikan,
maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Pembelajaran Model Eliciting Activities mencapai Kriteria Ketuntasan
Minimal (KKM) secara individual dan klasikal?
2. Kemampuan berpikir kritis siswa yang memperoleh pembelajaran
Model Eliciting Activities lebih baik daripada siswa yang memperoleh
pembelajaran ekspositori pada kelas kontrol?
3. Sikap Konstruktif siswa yang memperoleh pembelajaran Model
Eliciting Activities lebih baik daripada siswa yang memperoleh
pembelajaran ekspositori pada kelas kontrol?
B. METODE PENELITIAN
1. Desain Penelitian
Penelitian yang digunakan menggunakan quasi experiment.
Quasi experiment didefinisikan sebagai eksperimen yang memiliki
perlakuan, pengukuran dampak, unit eksperimen namun tidak
menggunakan penugasan acak untuk menciptakan perbandingan
dalam rangka menyimpukan perubahan yang disebabkan perlakuan
(Cook dan Campbell dalam Rusefendi (2001)). Pemilihan studi ini
didasarkan pertimbangan bahwa kelas yang ada telah terbentuk
22
sebelumnya dan tidak mungkin dilakukan pengelompokan siswa
secara acak.
Pada penelitian ini digunakan satu kelas eksperimen, satu
kelas kontrol, dan satu kelas uji coba instrumen penelitian. Kepada
kelas eksperimen dilakukan pembelajaran dengan menggunakan
pembelajaran Model Eliciting Activities (MEA) dan kelas kontrol
tidak diberi perlakuan peneliti. Adapun jenis quasi experiment yang
digunakan dalam penelitian ini adalah pretest dan postest. Desain
penelitian ini berbentuk:
Kelas eksperimen O X O
Kelas kontrol O O
Keterangan:
X : pembelajaran Model Eliciting Activities (MEAs)
O : tes yang diberikan untuk mengetahui kemampuan representasi
matematis siswa.
Sumber: Russefendi (2001)
Tabel 1.1 Desain Eksperimen penelitian
Keadaan Awal Kelas Perlakuan Keadaan Akhir
Pretest Kelas
Eksperimen
Model
Pembelajaran MEA
Tes kemampuan berpikir
kritis dan sikap konstruktif
Pretest Kelas
Kontrol
Selain model
pembelajaran MEA
Tes kemampuan berpikir
kritis dan sikap konstruktif
Berdasarkan desain penelitian di atas, maka disusun prosedur
penelitian sebagai berikut. Penelitian dalam penerapan model
pembelajaran Model Eliciting Activities (MEA) dilaksanakan melalui
3 tahapan yakni tahap persiapan, tahap pelaksanaan MEAs, dan tahap
evaluasi. Adapun perincian masing-masing tahapan adalah sebagai
berikut.
a. Tahap Persiapan
Pada tahap ini diadakan persiapan-persiapan yang dipandang
perlu, antara lain sebagai berikut.
23
1. Studi pendahuluan tentang kemampuan berpikir kritis, sikap
konstruktif, serta pembelajaran Model Eliciting Activities (MEA),
dan merancang perangkat pembelajaran serta instrumen
pengumpul data.
2. Merumuskan masalah yang berkaitan dengan kemampuan
berpikir kritis, sikap konstruktif, serta pembelajaran MEA, serta
permasalahan keaktivan siswa dalam pembelajaran.
3. Mencari studi literatur yang berkaitan dengan Model
Pembelajaran MEA, kemampuan berpikir kritis, sikap konstruktif,
dan konsep terkait kubus dan balok.
4. Melakukan uji instrumen penelitian dan menyusun rencana
pelaksanaan pembelajaran.
b. Tahap pelaksanaan
Kelas eksperimen dan kelas kontrol mendapat perlakuan yang
sama dalam hal jumlah jam pelajaran, penyampaian materi, serta
sumber belajar. Kelas eksperimen mendapatkan lembar
permasalahan MEA, sedangkan kelas kontrol mendapatkan soal-soal
latihan dari buku LKS dan buku paket yang dimiliki guru yang tidak
memperoleh pembelajaran dengan model MEAs yang diajar gurunya
sendiri.
Secara garis besar pada tahap pelaksanaan meliputi beberapa
kegiatan, yakni sebagai berikut.
1. Penyusunan soal uji coba instrumen untuk melakukan pretest
kepada kelas eksperimen maupun kelas kontrol.
2. Penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran. Hal ini
bertujuan agar pembelajaran yang dilakukan dapat disusun
dengan cermat dan nantinya memberikan hasil sesuai yang
direncanakan.
3. Melakukan uji coba Instrumen. Adapun uji coba instrumen
dilakukan di kelas VIII A. Hal ini dikarenakan kelas VIII A
memiliki kemampuan yang berbeda-beda dalam mata pelajaran
24
matematika. Sehingga diharapkan uji coba instrumen dapat
memberikan hasil yang benar-benar merepresentasikan instrumen
yang dibuat.
4. Melakukan pretest kepada kelas eksperimen yang dalam hal ini
adalah kelas VIII A dan kelas kontrol adalah kelas VIII B.
5. Melakukan pembelajaran MEA pada kelas eksperimen sedangkan
kelas kontrol tetap diajar oleh gurunya sendiri dengan menggunakan
model ekspositori.
Adapun langkah-langkah dalam pembelajaran MEA adalah
sebagai berikut.
1. Guru membaca sebuah simulasi artikel mengembangkan konteks
siswa.
2. Siswa siap siaga terhadap pertanyaan berdasarkan artikel tersebut.
3. Guru membacakan pernyataan masalah bersama siswa dan
memastikan bahwa setiap kelompok mengerti apa yang sedang
ditanyakan.
4. Siswa berusaha untuk menyelesaikan masalah tersebut.
5. Siswa mempresentasikan model matematis mereka setelah
membahas dan meninjau ulang solusi.
6. Melakukan pretest terkait jarak dalam dimensi tiga.
7. Memberikan angket sikap konstruktif kepada kelas eksperimen
maupun kelas kontrol setelah mendapatkan pembelajaran MEA.
c. Tahap Evaluasi
a) Melakukan analisis data. Pada soal uji coba dilakukan analisis
kevalidan, reliabilitas, daya pembeda, dan tingkat kesukaran soal.
Sedangkan pada pengambilan pretest maupun posttest dilakukan
analisis normalitas, homogenitas, kesamaan dua rata-rata.
b) Menyusun laporan penelitian hasil analisis data.
2. Metode Penentuan Subjek Penelitian
a. Populasi
25
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek
atau subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang
diterapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik
kesimpulannya (Sugiyono, 2010: 61). Sedangkan Arikunto (2010)
mendefinisikan populasi sebagai keseluruhan subjek penelitian.
Populasi dalam penelitian ini adalah semua siswa kelas VIII
semester 2 SMPN 2 Brebes Tahun Pelajaran 2014/2015.
b. Sampel
Sampel adalah sebagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki
oleh populasi tersebut (Sugiyono. 2010: 62). Sedangkan Arikunto
(2010) mendefinisikan sampel sebagai wakil populasi yang diteliti.
Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik cluster
random sampling, yaitu secara acak dipilih dua kelas dari populasi.
Dua kelas tersebut yaitu satu kelas eksperimen dan satu kelas
sebagai kelas kontrol. Sampel yang terpilih dalam penelitian ini
adalah siswa kelas VIII A (32 siswa) sebagai kelas eksperimen dan
kelas VIII B (32 siswa) sebagai kelas kontrol, serta kelas VIII C 1
(30 siswa) sebagai kelas untuk uji coba soal.
3. Variable Penelitian
Kata “variabel” berasal dari bahasa Inggris variable dengan arti
“ubahan”, “faktor tak tetap”. Variabel pada dasarnya bersifat kualitatif
namun dilambangkan dengan angka (Sudijono, 2008: 36). Sebagai
contoh “Nilai Ujian” pada dasarnya adalah gejala kualitas yang
dilambangkan dengan angka seperti 6, 7, 80, 100. Adapun variabel
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
a. Variabel Kontrol
Variabel kontrol dalam penelitian ini adalah kemampuan awal
siswa (berdasarkan nilai raport semester 1 tahun ajaran 2014/2015
dan nilai pretest).
b. Variabel Bebas
26
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah model pembelajaran
MEA.
c. Variabel Terikat
Variabel terikat dalam penelitian ini adalah nilai hasil
kemampuan berpikir kritis dan sikap konstruktif siswa.
4. Metode Pengumpulan Data
Berdasarkan jenisnya, ada dua jenis data, yaitu data kuantitatif dan
data kualitatif. Data kuantitatif terdiri dari data diskrit dan data
kontinum. Data kontinum adalah data yang diperoleh dari hasil
pengukuran. Data kontinum terdiri dari data ordinal, data interval,
dan data rasio. Data ordinal adalah data yang berjenjang atau
berbentuk peringkat. Data interval merupakan data hasil pengukuran
yang jaraknya sama, tetapi tidak mempunyai nilai nol absolut
(mutlak). Sedangkan data rasio adalah data yang jaraknya sama dan
mempunyai nilai nol absolut (Sugiyono, 2010:24).
Berdasarkan pengelompokan data di atas, dalam penelitian ini
data yang digunakan adalah data kuantitatif yang termasuk data
kontinum interval. Data dalam penelitian ini adalah data hasil
pretest dan postest kelas VIII SMPN 2 Brebes.
a. Metode dokumentasi
Metode ini dilakukan untuk memperoleh daftar nama peserta
didik yang termasuk dalam kelas eksperimen satu yaitu kelas VIII A,
dan kelas kontrol yaitu kelas VIII B.
b. Metode Tes
Tes adalah serangkaian pertanyaan, latihan, atau alat lain yang
digunakan untuk mengukur keterampilan, pengetahuan, intelegensi,
kemampuan atau bakat yang dimiliki oleh individu atau kelas
(Arikunto, 2009: 149). Pelaksanaan tes dilakukan sebelum dan
setelah perlakuan diberikan kepada kelas eksperimen dan kelas
kontrol. Alat tes yang telah diuji validitas dan reliabilitasnya ini
digunakan untuk mendapatkan data nilai kemampuan berpikir kritis.
27
Tes diberikan kepada kedua kelas dengan alat tes yang sama. Tes
ini dimaksudkan untuk memperoleh data kuantitatif mengenai
kemampuan representasi matematis peserta didik dan hasilnya
diolah untuk menguji kebenaran hipotesis penelitian.