Proposal Plendis T11

23
PLENARI DISCUSSION BLOK 22 Kelompok Tutotial 11 Dyananda Herizki 20110310165 Manarul Ulfah 20110310169 Zahra Mustavavi 20110310152 Nurul Vista Hidayati 20110310164 Nurhayati 20110310157 Fitrianto Anwar 20110310158 Gisca Padracia 20110310167 Adani Raemolan Ghani 20110310166 Binadi Vega P 20110310161 Muh. Ridho 20110310170 Dika Rizki Ardiana 20110310160 Aulia Anggun DK 20110310167 Kintan Sari Nastiti 20110310156 Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta 2015

description

Plenary discussion

Transcript of Proposal Plendis T11

Page 1: Proposal Plendis T11

PLENARI DISCUSSION BLOK 22

Kelompok Tutotial 11

Dyananda Herizki 20110310165

Manarul Ulfah 20110310169

Zahra Mustavavi 20110310152

Nurul Vista Hidayati 20110310164

Nurhayati 20110310157

Fitrianto Anwar 20110310158

Gisca Padracia 20110310167

Adani Raemolan Ghani 20110310166

Binadi Vega P 20110310161

Muh. Ridho 20110310170

Dika Rizki Ardiana 20110310160

Aulia Anggun DK 20110310167

Kintan Sari Nastiti 20110310156

Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

2015

Page 2: Proposal Plendis T11

SKENARIO

Bapak Sukardi usia 40 tahun seorang karyawan swasta dating ke dokter layanan

primer dengan perasaan tidak enak di dada. Rasa ini sudah dirasakan sejak 1 minggu. Pasien

sebelumnya tidak memiliki riwayat sakit darah tinggi atau diabetes. Ibu kandung pasien

memiliki riwayat darah tinggi dan diabetes. Psien seorang perokok berat dan memiliki

kebiasaan makan sembarangan, serta kurang aktivitas.

Pemeriksaan fisik menunjukan pasien terlihat obes dengan berat badan 82 Kg, tinggi

badan 165 cm dengan BMI 32 kg/m2, lingkar perut 95cm. Tekanan darah 160/110 mmHg,

nadi 80 kali/menit, laju nafas 20 kali/menit, suhu 37,2 derajat C, pasien memiliki acris

ligricans di lehernya dan secara pemeriksaan umum dan sistematik dalam batas normal.

Pemeriksaan gula darah sewaktu dengan glukometer menunjukan hasil 300mg/dl.

Pemeriksaan yang lebih jauh untuk menilai risiko kardiovaskuler direncanakan

sebagaimana penilaian kerusakan organ target dari kardiovaskuler. Pada kunjungan I minggu

setelahnya, hasil pemeriksaan pasien : gula darah puasa 200 mg/dl. Trigliserida 160 mg/dl,

LDL kolesterol 160mg/dl, HDL kolesterol 30 mg/dl. Pemeriksaan serum kreatinin dan ureum

dalam batas normal. Terdapat peningkatan tanda tes fungsi liver yaitu SGPT dan SGOT.

Pemeriksaan HbA1C 8,46%. Pemeriksaan EKG dan foto radiologi thorax menunjukan hasil

dalam batas normal. Tekanan darah masih tetap tinggi yaitu 160/100 mmHg. Dokter

menganalisis kondisi klinis pasien sesuai dengan penampakan sindroma metabolik.

Dari hasil konsultasi dengan dokter spesialis penyakit dalam, pasien kemudian

menerima methformin 850 mg 2 kali sehari simvastatin 10 mg pada malam hari, amlodipin 5

mg 1 kali/hari. Tatalaksana nonfarmakoterapu ditindaklanjuti dan dimonitor oleh dokter

layanan primer seperti penurunan berat badan, olahraga, diet rendah garam, modifikasi gaya

hidup brerhenti merokok dan diet, tatalaksana masalah psikososial pasien dan keluarga,

kepatuhan dalam pengobatan, serta follow up yang terus menerud dilaksanan.

1. Stage Behavior if Change dari pasien

Stage behavior of change menurut Prochaska dan Di Clemente:

1) Prekonteplasi: ketika sesorang tidak tertarik dan tidak berpikir tentang merubah

gaya hiduonya.

Page 3: Proposal Plendis T11

2) Kontemplasi : sesorang sudah menyadari bahwa gaya hidupnya tidak baik dan

sudah berpikir untuk merubah gaya hidupnya, tetapi belum tahu bagaimana caranya

berubah.

3) Preparation : tahapan ketika sesorang sudah mulai menyiapkan perubahan,

misalkan menyiapkan alat untuk berolah raga karena dia ingin merubah gaya

hidupnya dengan rajin berolah raga.

4) Aksi : tahapan sesorang sudah melakukan perubahan gaya hidupnya dalam kurun

waktu kurang dari 6 bulan.

5) Maintenance : tahapan saat seseorang sudah terbiasa dengan gaya hidup yang baru

yang telah ia jalani selama lebih dari 6 bulan.

Pasien pada skenario ini belum bisa diketahui berada pada tahap mana, karena

saat datang ke dokter pasien belum berkonsultasi dan membahas tentang

perubahan gaya hidupnya.

2. Level keterlibatan dokter keluarga pd pasien

Level 3 : Memunculkan perasaan dan memberikan dukungan emosional

Pada level ini dokter harusmengetahui tentang perasaan pasien dan juga

memberikan dungungan kepada pasien tentang memperbaiki gaya hidup dan

tentang penyakit yang di deritanya.

3. Interpretasi pemeriksaan pasien

BMI : BB (Kg) / Tinggi badan (m2)

BB : 82 Kg

Tinggi badan : 165cm

BMI : 32kg/m2

Tabel 2.1. Klasifikasi IMT menurut Kriteria Asia Pasifik

Klasifikasi IMT

Berat badan kurang < 18.5

Kisaran normal 18.5 - 22.9

Berat badan lebih ≥ 23

Berisiko 23 - 24.9

Obes I 25 - 29.9

Obes II ≥ 30

Referensi: Sugondo. 2006. Ilmu Penyakit Dalam Ed. IV Jilid III

Page 4: Proposal Plendis T11

berdasarkan klasifikasi , BMI = 32 kg/m2 --> Obes II

Lingkar perut : 95

obesitas (normal: <90 (laki-laki))

Klasifikasi tekanan darah :

SISTOLIK (mmHg) dan DIASTOLIK (mmHg)

Normal <120 dan <80

PreHipertensi 120-139 atau 80-89

Hipertensi

Derajat 1 140-159 atau 90-99

Derajat 2 ≥ 160 atau ≥ 100

Tekanan darah 160/110 --> Hipertensi derajat 2

Nadi : 80x/m

Normal (60-100)

RR : 20x/m

Normal (16-24)

Suhu : 37,2 drajat

Normal (36,5-37,5)

Acantosis nigricans: suatu kondisi di mana kulit menjadi gelap, tebal, dan seperti

beludru pada bagian tubuh yang berkerut dan melipat seperti ketiak, selangkangan,

dan leher.

Pada pasien terlihat normal

Gula darah sewaktu: 300 mg/dl

Normal gula darah sewaktu 70-110 mg/dl

Pada pasien terjadi peningkatan gula darah sewaktu

Gula darah puasa : 200mg/dl (70 – 110 mg/dL) tinggi

Trigliserid : 160mg/dl (<160mg/dl) tinggi

LDL Kolesterol : 160mg/dl (<100mg/dl) tinggi

HDL Kolesterol : 30mg/dl (40-50mg/dl) turun

Pemeriksaan serum dan ureum kreatini dalam batas normal

Peningkatan SGPT dan SGOT

HBA 1 C 8,46 % (DM tidak terkontrol lumayan)

Page 5: Proposal Plendis T11

EKG dan foto radiologi thorax dalam dbn

Tekanan darah tinggi 160/100 mmhg

Sindrom metabolik adalah kumpulan gangguan metabolik yang menandakan seseorang

lebih berisiko mengidap penyakit Diabetes Mellitus (DM) dan penyakit jantung/

pembuluh darah. Gangguan metabolik yang dijadikan kriteria untuk menegakkan

diagnosis sindrom metabolik adalah:

1) Gangguan toleransi gula (pre-Diabetes Mellitus), ditandai gula darah puasa ≥ 100

mg/dL

2) Obesitas sentral, ditentukan dari pengukuran lingkar perut

- perempuan ≥ 80 cm

- laki-laki ≥ 90cm

3) Dislipidemia, ditandai trigliserida ≥ 150 mg/dl atau sedang mengkonsumsi obat

kolesterol

4) Dislipidemia, ditandai kolesterol HDL rendah atau sedang mengkonsumsi obat

kolesterol

- perempuan < 50 mg/dl

- laki-laki < 40 mg/dl

5) Prehipertensi atau hipertensi, ditandai tekanan darah ≥ 130/85 mmHg atau sedang

mengkonsumsi obat anti hipertensi

Apabila ditemukan 3 dari 5 kriteria diatas, maka seseorang dapat dikategorikan

sindrom metabolik. Sindrom metabolik terjadi berawal dari berat badan berlebih yang

terus menerus dan berkembang menjadi obesitas bahkan obesitas berat. Obesitas dapat

diketahui dengan menghitung indeks massa tubuh (IMT) yaitu

Klasifikasi IMT adalah sebagai berikut:

18,5 - < 23 = Normal

23 -

Page 6: Proposal Plendis T11

25 - < 30 = Obesitas 1

≥ 30 = Obesitas 2 (obesitas berat)

Obesitas terjadi akibat gaya hidup yang tidak sehat, kurang aktifitas fisik, makan

makanan tinggi kalori dan rendah serat. Selain obesitas, individu yang memiliki

saudara/orang tua kandung DM/ hipertensi/ dislipidemia/ obesitas/ penyakit jantung/

stroke, juga memiliki risiko mendapatkan sindrom metabolik lebih tinggi daripada yang

tidak memiliki riwayat sakit tersebut. Ini menunjukkan peran faktor keturunan pada

kejadian sindrom metabolik, sama halnya dengan penyakit DM, obesitas, PJK. Namun

demikian, meskipun tidak ada keturunan, seseorang bisa berisiko yang sama bila

memiliki gaya hidup tidak sehat.

Dampak sindrom metabolik diantaranya adalah penyakit DM, penyakit jantung

koroner dan stroke. Penyakit-penyakit tersebut memberi dampak tingginya biaya

kesehatan dan turunnya kualitas hidup pasien. Pengobatan sindrom metabolik

memerlukan komitmen yang baik antara pasien dan dokter. Dokter akan mengatur pola

makan pasien, memantau kegiatan fisik dan memberikan obat-obatan untuk

menormalkan gangguan yang terjadi. Apabila sindrom metabolik dapat diatasi, maka

risiko penyakit DM, PJK dan stroke dapa dicegah. Jangan menunggu memiliki sindrom

metabolik. Bila lingkar perut dan berat badan sudah berlebih, segeralah berkonsultasi

dengan dokter spesialis penyakit dalam, lebih khususnya ke konsultan endokrin

metabolik diabetes (endokrinologist), untuk mendapatkan edukasi dan pemantauan

berkala yang terus menerus. Bagi individu yang memiliki riwayat keluarga DM/ PJK/

stroke/ hipertensi/obesitas, dapat memeriksakan diri lebih awal kepada dokter.

4. Kriteria Dx Sindroma Metabolik

Kriteria Diagnosis Sindrom Metabolik menurut WHO (World Health

Organization) dan NCEP-ATP III (the National Cholesterol Education Program- Adult

Treatment Panel III)

Komponen Kriteria diagnosis WHO :

Resistensi insulin plus :

Kriteria diagnosis ATP III :

3 komponen dibawah ini

Obesitas abdominal/

sentral

Waist to hip ratio :

Laki2 : > 0.90;

Lingkar pinggang :

Laki2 : > 102 cm (40 inchi)

Page 7: Proposal Plendis T11

Wanita : > 0.85, atau

IMB > 30 kg/m2

Wanita : > 88 cm (35 inchi)

Hipertrigliseridemia 150 mg/dl ( 1.7 mmol/L) 150 mg/dl ( 1.7 mmol/L)

HDL Cholesterol

♂ < 35 mg/dl (< 0.9 mmol/L)

♀ < 39 mg/dl (< 1.0 mmol/L

♂ < 40 mg/dl (< 1.036 mmol/L)

♀ < 50 mg/dl (< 1.295 mmol/L)

Hipertensi

TD 140/90 mmHg atau

riwayat terapi anti hipertensif

TD 130/85 mmHg atau

riwayat terapi anti hipertensif

Kadar glukosa darah

tinggi

Toleransi glukosa terganggu,

glukosa puasa terganggu,

resistensi insulin atau DM

110 mg/dl atau 6.1 mmol/L

Mikroalbuminuri Ratio albumin urin dan

kreatinin 30 mg/g atau laju

ekskresi albumin 20 mcg/menit

Selain itu The International Diabetes Federation(IDF) tahun 2005

mengeluarkan kriteria yang dianggap lebih dapat diaplikasikan sesuai ras dan etnik yang

ada. Kriteria ini menempatkan obesitas sentral dengan lingkar pinggang pada pria > 90

cm dan pada wanita > 80 cm pada penduduk Asia, sebagai komponen utama yang harus

ditemukan pada sindrom metabolik.

Kriteria sindrom metabolik menurut IDF 2005

Obesitas Sentral: Lingkar pinggang pada pria > 90 cm

Wanita > 80 cm

ditambah dua keadaan di bawah ini:

Trigliserida ≥ 150 mg/dL atau sedang dalam pengobatan

Kolesterol HDL

Pria < 40 mg/dL

Wanita < 50 mg/dL

Tekanan darah ≥ 130/85 mmHg atau sedang dalam pengobatan

Glukosa darah puasa ≥ 100 mg/dL atau DM

Pemeriksaan Laboratorium

Page 8: Proposal Plendis T11

Berdasarkan kriteria sindrom metabolik, maka pemeriksaan laboratorium yang perlu

dilakukan antara lain:

1) Resistensi Insulin

2) Glukosa darah puasa

3) Profil Lipid :

Kolesterol total

Kolesterol HDL

Kolesterol LDL

Trigliserida

4) Mikroalbuminuria (Rasio albumin/kreatinin)

5. Penatalaksanaan Sindroma metabolik

6. Kriteria diagnosis Diabetes Melitus

Seseorang dikatakan menderita diabetes apabila ditemukan:

1. Terdapat gejala DM yang khas (polipagi, polidipsi, poliuri dan penurunan berat badan

yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya) dengan kadar glukosa darah sewaktu > atau

= 11,1mmol/l ( > atau = 200 mg/dl) atau,

2. Glukosa darah puasa > atau = 126 mg/dl ( > atau = 7.0 mmol/l ), Puasa minimal 8 jam

atau,

3. Kadar glukosa darah 2 jam setelah beban glukosa 75 gram > atau = 11,1 mmol/l ( >

atau = 200 mg/dl).

KRITERIA DIAGNOSIS DIABETES MELITUS MENURUT WHO

Page 9: Proposal Plendis T11

KRITERIA DIAGNOSIS DIABETES MELITUS MENURUT American Diabetes

Association (ADA)

*Impaired Fasting Glucose (IFG) atau Glukosa Plasma Puasa Terganggu (GPPT) yang oleh ADA

dikelompokkan dalam kelompok yang tidak normal namun dianggap mempunyai resiko untuk

menjadi diabetes dikemudian hari

7. Kriteria diagnosis Hipertensi

*SBP = Sistolik Blood Pressure

DBP = Diastolic Blood Pressure

Page 10: Proposal Plendis T11

8. penatalaksanaan DM

Terapi non farmakologi

1. Pengaturan diet

Diet yang baik merupakan kunci keberhasilan penatalaksanaan diabetes. Diet yang

dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang dalam hal karbohidrat,

protein dan lemak. Tujuan pengobatan diet pada diabetes adalah:

a. Mencapai dan kemudian mempertahankan kadar glukosa darah mendekati kadar

normal.

b. Mencapai dan mempertahankan lipid mendekati kadar yang optimal.

c. Mencegah komplikasi akut dan kronik.

d. Meningkatkan kualitas hidup.

Terapi nutrisi direkomendasikan untuk semua pasien diabetes mellitus, yang terpenting

dari semua terapi nutrisi adalah pencapian hasil metabolis yang optimal dan pencegahan

serta perawatan komplikasi. Untuk pasien DM tipe 1, perhatian utamanya pada regulasi

administrasi insulin dengan diet seimbang untuk mencapai dan memelihara berat badan

yang sehat. Penurunan berat badan telah dibuktikan dapat mengurangi resistensi insulin

dan memperbaiki respon sel-sel β terhadap stimulus glukosa.

2. Olah raga

Berolah secara teratur dapat menurunkan dan menjaga kadar gula darah tetap normal.

Prinsipya, tidak perlu olah raga berat, olah raga ringan asal dilakukan secara teratur akan

sangat bagus pengaruhnya bagi kesehatan.

Beberapa contoh olah raga yang disarankan, antara lain jalan atau lari pagi, bersepeda,

berenang, dan lain sebagainya. Olah raga akan memperbanyak jumlah Universitas

Sumatera Utara

dan juga meningkatkan penggunaan glukosa

Terapi farmakologi

1. Insulin

Insulin adalah hormon yang dihasilkan dari sel β pankreas dalam merespon glukosa.

Insulin merupakan polipeptida yang terdiri dari 51 asam amino tersusun dalam 2 rantai,

rantai A terdiri dari 21 asam amino dan rantai B terdiri dari 30 asam amino. Insulin

mempunyai peran yang sangat penting dan luas dalam pengendalian metabolisme, efek

kerja insulin adalah membantu transport glukosa dari darah ke dalam sel.

Macam-macam sediaan insulin:

1. Insulin kerja singkat

Page 11: Proposal Plendis T11

Sediaan ini terdiri dari insulin tunggal biasa, mulai kerjanya baru sesudah setengah

jam (injeksi subkutan), contoh: Actrapid, Velosulin, Humulin Regular.

2. Insulin kerja panjang (long-acting)

Sediaan insulin ini bekerja dengan cara mempersulit daya larutnya di cairan jaringan

dan menghambat resorpsinya dari tempat injeksi ke dalam darah. Metoda yang

digunakan adalah mencampurkan insulin dengan protein atau seng atau mengubah

bentuk fisiknya, contoh: Monotard Human.

3. Insulin kerja sedang (medium-acting)

Sediaan insulin ini jangka waktu efeknya dapat divariasikan dengan mencampurkan

beberapa bentuk insulin dengan lama kerja berlainan, contoh: Mixtard 30 HM

Secara keseluruhan sebanyak 20-25% pasien DM tipe 2 kemudian akan memerlukan

insulin untuk mengendalikan kadar glukosa darahnya. Untuk pasien yang sudah tidak

dapat dikendalikan kadar glukosa darahnya dengan kombinasi metformin dan

sulfonilurea, langkah selanjutnya yang mungkin diberikan adalah insulin

2. Obat Antidiabetik Oral

Obat-obat antidiabetik oral ditujukan untuk membantu penanganan pasien diabetes

mellitus tipe 2. Farmakoterapi antidiabetik oral dapat dilakukan dengan menggunakan

satu jenis obat atau kombinasi dari dua jenis obat

a. Golongan Sulfonilurea

Golongan obat ini bekerja merangsang sekresi insulin dikelenjar pankreas, oleh sebab itu

hanya efektif apabila sel-sel β Langerhans pankreas masih dapat berproduksi Penurunan

kadar glukosa darah yang terjadi setelah pemberian senyawa-senyawa sulfonilurea

disebabkan oleh perangsangan sekresi insulin oleh kelenjar pankreas. Obat golongan ini

merupakan pilihan untuk diabetes dewasa baru dengan berat badan normal dan kurang

serta tidak pernah mengalami ketoasidosis sebelumnya

Sulfonilurea generasi pertama

Tolbutamid diabsorbsi dengan baik tetapi cepat dimetabolisme dalam hati. Masa

kerjanya relatif singkat, dengan waktu paruh eliminasi 4-5 jam (Katzung, 2002).

Dalam darah tolbutamid terikat protein plasma. Di dalam hati obat ini diubah menjadi

karboksitolbutamid dan diekskresi melalui ginjal

Asektoheksamid dalam tubuh cepat sekali mengalami biotransformasi, masa paruh

plasma 0,5-2 jam. Tetapi dalam tubuh obat ini diubah menjadi 1-hidroksilheksamid

yang ternyata lebih kuat efek hipoglikemianya daripada asetoheksamid sendiri. Selain

itu itu 1-hidroksilheksamid juga memperlihatkan masa paruh yang lebih panjang, kira-

Page 12: Proposal Plendis T11

kira 4-5 jam

Klorpropamid cepat diserap oleh usus, 70-80% dimetabolisme di dalam hati dan

metabolitnya cepat diekskresi melalui ginjal. Dalam darah terikat albumin, masa

paruh kira-kira 36 jam sehingga efeknya masih terlihat beberapa hari setelah

pengobatan dihentikan

Tolazamid diserap lebih lambat di usus daripada sulfonilurea lainnya dan efeknya

pada glukosa darah tidak segera tampak dalam beberapa jam setelah pemberian.

Waktu paruhnya sekitar 7 jam

Sulfonilurea generasi kedua

Gliburid (glibenklamid) khasiat hipoglikemisnya yang kira-kira 100 kali lebih kuat

daripada tolbutamida. Sering kali ampuh dimana obat-obat lain tidak efektif lagi,

risiko hipoglikemia juga lebih besar dan sering terjadi. Pola kerjanya berlainan

dengan sulfonilurea yang lain yaitu dengan single-dose pagi hari mampu

menstimulasi sekresi insulin pada setiap pemasukan glukosa (selama makan) (Tjay

dan Rahardja, 2002). Obat ini dimetabolisme di hati, hanya 21% metabolit diekresi

melalui urin dan sisanya diekskresi melalui empedu dan ginjal

Glipizid memiliki waktu paruh 2-4 jam, 90% glipizid dimetabolisme dalam hati

menjadi produk yang aktif dan 10% diekskresikan tanpa perubahan melalui ginjal

Glimepiride dapat mencapai penurunan glukosa darah dengan dosis paling rendah dari

semua senyawa sulfonilurea. Dosis tunggal besar 1 mg terbukti efektif dan dosis

harian maksimal yang dianjurkan adalah 8 mg. Glimepiride mempunya waktu paruh 5

jam dan dimetabolisme secara lengkap oleh hati menjadi produk yang tidak aktif

b. Golongan Biguanida

Golongan ini yang tersedia adalah metformin, metformin menurunkan glukosa darah

melalui pengaruhnya terhadap kerja insulin pada tingkat selular dan menurunkan

produksi gula hati. Metformin juga menekan nafsu makan hingga berat badan tidak

meningkat, sehingga layak diberikan pada penderita yang overweight

c. Golongan Tiazolidindion

Golongan obat baru ini memiliki kegiatan farmakologis yang luas dan berupa penurunan

kadar glukosa dan insulin dengan jalan meningkatkan kepekaan bagi insulin dari otot,

jaringan lemak dan hati, sebagai efeknya penyerapan glukosa ke dalam jaringan lemak

dan otot meningkat. Tiazolidindion diharapkan dapat lebih tepat bekerja pada sasaran

kelainan yaitu resistensi insulin tanpa menyebabkan hipoglikemia dan juga tidak

menyebabkan kelelahan sel β pankreas. Contoh: Pioglitazone, Troglitazon.

Page 13: Proposal Plendis T11

d. Golongan Inhibitor Alfa Glukosidase

Obat ini bekerja secara kompetitif menghambat kerja enzim glukosidase alfa di dalam

saluran cerna sehingga dapat menurunkan hiperglikemia postprandrial. Obat ini bekerja

di lumen usus dan tidak menyebabkan hipoglikemia dan juga tidak berpengaruh pada

kadar insulin. Contoh: Acarbose

Penatalaksanaan terapi pada diabetes mellitus tipe 2 dengan komplikasi hipertensi

Terapi non farmakologi

Tujuan pengobatan hipertensi pada diabetes adalah untuk mengurangi morbiditas dan

mortalitas akibat diabetes sendiri dan akibat hipertensinya. Dalam penanganan diabetes

dengan komplikasi hipertensi, diperlukan perhatian khusus seperti nefropati, retinopati,

gangguan serebrovaskular, obesitas, hiperinsulinemia, hipokalemia, hiperkalemia,

impotensi penyakit vaskuler perifer, neuropati autonom, dan dislipidemia. Pengobatan

non farmakologi berupa pengurangan asupan garam, penurunan berat badan untuk pasien

gemuk, dan berolah raga.

Terapi farmakologi

Penanggulangan farmakologi dilakukan secara individual dengan memperhatikan

berbagai aspek pasien. Oleh karena penyandang diabetes mellitus mempunyai kelainan

metabolik, hal ini harus diperhatikan dalam pemilihan obat.

Obat antihipertensi yang ideal untuk penyandang diabetes mellitus sebaiknya memenuhi

syarat-syarat sebagai berikut:

1. Efektif menurunkan tekanan darah.

2. Tidak mengganggu toleransi glukosa atau mengganggu respons terhadap hipo-

hiperglikemia.

3. Tidak mempengaruhi fraksi lipid.

4. Tidak menyebabkan hipotensi postural, tidak mengurangi aliran darah tungkai,

tidak meningkatkan risiko impotensi.

5. Bersifat kardio-protektif dan reno-protektif (Saseen dan Carter, 2005).

Adapun obat yang digunakan untuk pasien hipertensi dengan diabetes mellitus adalah

senagai berikut:

Page 14: Proposal Plendis T11

1. Angiostensin Converting Enzyme (ACE) Inhibitor

ACE Inhibitor menurunkan tekanan darah dengan menghambat perubahan angiostensin I

menjadi angiostensin II, dimana angiostensin II adalah vasokonstriktor poten yang juga

merangsang sekresi aldosteron (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2006).

ACE inhibitor sangat dianjurkan dalam mengendalikan diabetes. Obat ini merupakan

pilihan utama untuk penyakit hipertensi dengan kondisi diabetes. Rekomendasi ini

berdasarkan fakta yang menunjukan penurunan hipertensi yang berhubungan dengan

komplikasi, termasuk penderita sakit jantung, peningkatan penyakit ginjal, dan stroke.

Terapi ACE inhibitor mungkin merupakan bahan antihipertensif yang sangat penting

bagi pasien diabetes (Saseen dan Carter, 2005).

ACE inhibitor amat berguna untuk nefropati diabetik, dimana dilatasi arteriol eferen

memperlambat penurunan progresif fungsi ginjal dan dapat mengurangi proteinuria juga

dapat memperbaiki sensivitas insulin dan tanpa efek pada lipid atau asam urat dalam

serum (Saseen dan Carter, 2005).

Contoh obat-obat golongan ini yaitu Captropil, Lisinopril, Ramipril, Enalapril, Tanapres

(Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2006).

2. Angiostensin II Reseptor Blocker (ARB)

ARB menurunkan tekanan darah dengan menghambat secara langsung reseptor

angiostensin II yang sudah diketahui pada manusia: vasokonstrisi, pelepasan aldosteron,

aktivasi simpatetik, pelepasan hormon antidiuretik dan konstriksi arteriol efferent dari

glomelurus ( Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2006).

ARB mempunyai kemiripan dengan ACE inhibitor yaitu merupakan obat pilihan

pertama dalam pengobatan hipertensi dengan diabetes. ARB lebih disukai sebagai bahan

pertama untuk mengontrol hipertensi dengan diabetes. Secara farmakologis, ARB akan

memberikan nepropoteksi pada vasodilasi dalam efferent arteriol dari ginjal selain itu

ARB juga meningkatkan sensifitas insulin (Gray, dkk., 2006).

ARB digunakan untuk mengurangi progresi pada diabetik nefropati, diabetes mellitus

tipe 2 dengan protenuria dan kejadian penyakit ginjal. ARB merupakan antihipertensi

yang menunjukkan bukti pengurangan kerusakan ginjal pada pasien diabetes mellitus

tipe 2 dengan nefropati (Saseen dan Carter, 2005).

Contoh obat-obat golongan ini yaitu Valsartan, Losartan, Irbesartan, Telmisartan,

Olmesartan (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2006).

Page 15: Proposal Plendis T11

3. Diuretics

Diuretik hemat kalium bekerja pada hilir tubuli distal dan duktus kolingentes daerah

korteks dengan cara menghambat reabsorbsi natrium dan sekresi kalium dengan jalan

antagonisme kompetitif. Contoh diuretik hemat kalium adalah spironolakton. Diuretik ini

menyebabkan diuresis tanpa menyebabkan kehilangan kalium dalam urin (Anonim,

2009).

4. Beta Bocker (β-blocker)

Beta Blocker ditujukan untuk resiko kardiovaskular pada pasien diabetes, dan bahan ini

digunakan ketika dibutuhkan. Beta Blocker telah ditunjukan paling tidak pada satu studi

menjadi sama efektif dengan ACE Inhibitor dalam hal perlindungan terhadap morbiditas

dan mortalitas pasien diabetes (Saseen dan Carter, 2005).

Atenolol, betaxolol, bisoprolol, dan metoprolol adalah penyekat beta yang kardioselektif,

jadi lebih aman daripada penyekat beta yang nonselektif pada penyakit arteri perifer dan

diabetes yang karena alasan khusus harus diberi penyekat beta. Tetapi kardioselektif

adalah fenomena yang tergantung dosis. Pada dosis yang lebih tinggi, penyekat beta yang

kardioselektif kehilagan selektifitas relatifnya untuk reseptor beta-1 dan akan memblok

reseptor beta-2 seefektif memblok reseptor beta-1 (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes,

2006).

5. CCB (Calcium Chanel Blocker)

CCB direkomendasikan sebagai pilihan untuk merawat hipertensi pada pasien diabetes.

CCB tidak mempengaruhi sensivitas insulin atau metabolisme glukosa dan nampak

menjadi obat antihipertensif yang ideal untuk pasien diabetes dan hipertensi.

Bagaimanapun bukti menunjukkan penurunan kardiovaskular dengan CCB pada pasien

diabetes tidak meyakinkan sebagaimana antihipertensif yang lain (diuretic, beta blocker,

ACE inhibitor, dan ARB) (Sassen dan Carter, 2005).

CCB tidak berbahaya bagi penderita diabetes, meskipun demikian, CCB dianggap

sebagai bahan kedua setelah beta blocker, ACE inhibitor, dan ARB. Target tekanan

darah pada pasien diabetes adalah < 130/80 mmHg karena kebanyakan pasien diabetes

membutuhkan tiga atau lebih antihipertensif untuk mencapai tujuan ini, CCB merupakan

bahan yang berguna dalam populasi ini, khususnya bila dikombinasi dengan bahan lain

(Saseen dan Carter, 2005).

Page 16: Proposal Plendis T11

Contoh obat-obat golongan ini yaitu Amlodipin, Felodipin, Nifedipin, Diltiazem, dan

Verapamil (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2006).

Pelayanan Kefarmasian (Pharmaceutical Care)

Pelayanan kefarmasian adalah praktek berorientasi pada pasien dimana dalam

pelaksanaanya bertanggung jawab pada kebutuhan pasien terkait obat. Pelaksanaan

pelayanan kefarmasian bertanggung jawab dalam terapi obat pasien untuk mencapai hasil

(outcomes) yang lebih baik dan untuk memperbaiki kualitas hidup pasien (Cipolle, dkk.,

2004).

Pelayanan farmasi rumah sakit adalah bagian yang tidak terpisahkan dari sistem

pelayanan kesehatan rumah sakit yang beorientasi kepada pelayanan pasien, penyediaan

obat yang bermutu termasuk pelayanan farmasi klinik. Pelayanan kefarmasian terus

berkembang tidak terbatas hanya penyiapan obat dan penyerahan obat pada pasien tapi

juga memerlukan interaksi dengan pasien dan professional kesehatan lainnya.

Tujuan pelayanan farmasi rumah sakit adalah pelayanan farmasi yang paripurna sehingga

dapat: tepat pasien, tepat dosis, tepat cara pemakaian, tepat kombinasi, tepat waktu dan

harga. Selain itu pasien diharapkan juga mendapatkan pelayanan penyuluhan yang

dianggap perlu oleh farmasi sehingga pasien mendapatkan pengobatan yang efektif,

efisien, aman, rasional bermutu, dan terjangkau (Anomim, 2011).

Drug Related Problems (DRPs)

DRPs adalah suatu kejadian yang tidak diinginkan yang dialami oleh pasien yang mana

melibatkan atau diduga melibatkan terapi obat dan cenderung mengganggu kesembuhan

yang pasien inginkan. Drug Related Problems mempunyai dua komponen utama:

1. Peristiwa yang tidak diharapkan atau resiko dari peristiwa yang dialami oleh pasien.

Kejadian ini dapat memberikan bentuk dari keluhan medis, gejala, diagnosis, penyakit,

ketidakmampuan, atau sindrom. Peristiwa tersebut dapat disebabkan oleh kondisi

psikologi, fisiologis, sosiokultural atau ekonomi.

2. Adanya gejala antara kejadian yang tidak diharapkan pasien dan terapi obat.

Keterkaitan ini dapat berupa konsekuensi dari terapi obat, saran yang berkaitan dengan

sebab dan efek atau kejadian yang memerlukan terapi obat untuk resolusi dan

pencegahannya (Cipolle, dkk., 2004). Jenis-jenis Drug Related Problems (DRPs) dan

penyebabnya menurut Cipolle, dkk., (2004) disajikan sebagai berikut:

1. Membutuhkan terapi tambahan obat

Page 17: Proposal Plendis T11

a. Pasien mempunyai kondisi medis baru yang membutuhkan terapi awal pada obat.

b. Pasien mempunyai penyakit kronik yang membutuhkan terapi obat

berkesinambungan.

c. Pasien mempunyai kondisi kesehatan yang membutuhkan parmakoterapi

kombinasi untuk mencapai efek sinergis atau potesiasi.

d. Pasien dalam keadaan risiko pengembangan kondisi kesehatan baru yang dapat

dicegah dengan penggunaan alat pencegah penyakit pada terapi obat dan / atau

tindakan pramedis.

2. Terapi obat yang tidak perlu

a. Pasien yang sedang mendapatkan pengobatan yang tidak tepat indikasi pada

waktu itu.

b. Pasien yang tidak sengaja maupun sengaja kemasukan sejumlah racun dari obat

atau kimia, sehingga menyebabkan rasa sakit pada waktu itu.

c. Pengobatan pada pasien pengkonsumsi obat, alkohol, dan rokok.

d. Kondisi kesehatan pasien lebih baik diobati dengan terapi tanpa obat.

e. Pasien yang mendapatkan beberapa obat untuk kondisi yang mana hanya satu

terapi obat yang terindikasi.

f. Pasien yang mendapatkan terapi obat untuk pengobatan yang tidak tepat

dihindarkan dari reaksi efek samping yang disebabkan dengan pengobatan

lainnya.

3. Terapi obat salah

a. Pasien menerima obat yang paling tidak efektif untuk indikasi pengobatan.

b. Pasien menjadi sulit disembuhkan dengan terapi obat yang digunakan.

c. Bentuk sediaan obat tidak tepat.

4. Dosis terlalu rendah

a. Dosis yang digunakan terlalu rendah untuk memberikan respon kepada pasien.

Page 18: Proposal Plendis T11

b. Konsentrasi obat dalam darah pasien dibawah batas teurapetik yang diharapkan.

c. Jarak dan waktu pemberian obat terlalu jarang untuk menghasilkan respon yang

diinginkan.

5. Reaksi obat yang merugikan

a. Pasien memperoleh reaksi alergi dalam pengobatan.

b. Ketersediaan obat dapat menyebabkan interaksi dengan obat lain atau makanan

pasien.

c. Penggunaan obat menyebabkan terjadinya reaksi yang tidak dikehendaki yang

tidak terkait dengan dosis.

d. Penggunaan obat yang kontraindikasi.

6. Dosis terlalu tinggi

a. Dosis terlalu tinggi untuk pasien.

b. Pasien dengan konsentrasi obat dalam darah diatas batas teurapetik obat yang

diharapkan.

c. Obat, dosis, rute, perubahan formulasi yang tidak tepat untuk pasien.

d. Dosis dan frekuensi pemberian tidak tepat untuk pasien.

7. Kepatuhan

a. Pasien tidak menerima aturan pemakaian obat yang tepat (penulisan, pengobatan,

pemberian, pemakaian).

b. Pasien tidak patuh dengan aturan yang diberikan untuk pengobatan.

c. Pasien tidak mengambil obat yang diresepkan karena harganya mahal.

d. Pasien tidak mengambil beberapa obat-obat yang diresepkan karena kurang

mengerti.

e. Pasien tidak mengambil beberapa obat yang diresepkan karena sudah merasa

sehat.

Page 19: Proposal Plendis T11

9. Penatalaksanaan hipertensi

Penatalaksanaan hipertensi dapat berupa farmakologi dan non farmakologi. Pada

terapi farmakologi ada beberapa obat yang digunakan sebagai antihipertensi. Beberapa

sumber menyebutkan bahwa terapi hipertensi yang direkomendasikan adalah thiazide

diuretics. Namun sumber lain yang lebih update mengatakan bahwa thiazide-type

diuretics tidak lagi digunakan di kebanyakan pasien. Sebagai gantinya beberapa golongan

obat yang digunakan adalah angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitors,

angiotensin receptor blockers (ARBs), calcium channel blockers (CCBs), atau diuretics.

Obat-obat ini juga bisa digunakan untuk penyakit-penyakit yang disebabkan oleh

hipertensi, seperti gagal jantung, penyakit jantung iskemik, penyakit ginjal kronis, stroke

berulang). Pada terapi non farmakologi, penatalaksanaan lebih ditekankan pada

perubahan gaya hidup pasien untuk menurunkan tekanan darah.

a. Lifestyle Modification

Modification Recommendation Avg. SBP Reduction

Range

Mengurangi berat badan Mempertahankan berat badan

normal / ideal (BMI = 18,5-24,9

kg/m2).

5-20 mmHg / 10 kg

Diet DASH Lebih banyak mengkonsumsi

buah, sayur dan produk rendah

lemak dengan mengurangi

konsumsi lemak jenuh.

8-14 mmHg

Diet pengurangan sodium Mengurangi konsumsi sodium ≤

100 mmol per hari (2,4 g sodium

atau 6 g sodium khlorida).

2-8 mmHg

Aktivitas fisik aerobik Aktivitas fisik aerobik biasa

(contoh: jalan cepat) setidaknya

30 menit sehari, beberapa hari

dalam seminggu.

4-9 mmHg

Mengurangi konsumsi

alkohol

Laki-laki: membatasi ≤ 30 ml

alkohol sehari.

Perempuan dan orang dengan

berat badan rendah: membatasi ≤

15 ml sehari.

2-4 mmHg

Page 20: Proposal Plendis T11

b. Algoritma Penatalaksanaan Hipertensi

Page 21: Proposal Plendis T11

10. Perencanaan perubahan gaya hidup utk pasien

Faktor resiko gaya hidup

1. Untuk obesitas abdomen

Mengurangin berat badan sebanyak 7% - 10 % selama satu tahun pertama terapi

diteruskan sampai mencapi berat badan yang sehat. Beberapa caranya:

meningkatkan aktivitas fisik, mengatur asupan kalori.

2. Inaktivitas fisik

Pasien dimotivasi untuk melakukan aktivitas fisik aerobik dengan intensitas

sedang selama 30- 60 menit, berjalan cepat sebaiknya setiap hari ditambah dengan

peningkatan aktivitas dalam gaya hidup sehari-hari seperti berjalan saat istirahat

kerja, bekerja, lebih sering menaiki tangga di tempat kerja daripada naik lift.

3. Mengurangi asupan lemak jenuh , lemak trans dan kolesterol (kadar kolesterol

dalam diet <200mg/dl)

Faktor resiko metabolik

1. Tekanan darah meningkat

Mengurangi tekanan darah <130/80 mmHg pada pasien dengan diabetes

Modifikasi gaya hidup seperti mengurangi konsumsi rokok , kurangi konsumsi

alkohol, kurangi konsumsi garam, mengendalikan berat badan dan lebih banyak

mengkonsumsi buah dan sayur serta ditambahkan perngobatan anti hipertensi

2. Kadar glukosa yang meningkat

1) Edukasi

Tujuannya supaya pasien mengerti perjalanan alami penyakitnya dan

pengelolaanya, mengenali masalah kesehatan/ komplikasi yang mungkin

timbul, ketaatan perilaku pemantauan dan pengelolaan secara mandiridan

perubahan gaya hidup yang diperlukan.

2) Pengaturan pola makan dan melakukan modifikasi diet berdasarkan

kebutuhan pasien. Tujuannya adalah untuk : a) Untuk mencapai dan

mempertahankan kdar glukosa darah mendekati normal. b) tekanan darah

< 130/80 mmHg c) kolesterol LDL <100 mg/dl , kolesterol HDL >40mg/dl

dan trigliserida <150 mg/dl d) berat badan senormal mungkin.

3) Latihan jasmani dengan teratur 3-5 kali per minggu dengan intensitas

ringan – sedang durasi 60-90 menit.

4) Terapi farmakologi

Page 22: Proposal Plendis T11

11. Penatalkasanaan psikososial utk pasien dan keluarga

Dokter keluarga dalam hal ini bisa dilakukan dengan konseling CEA keluarga. Tujuan

nya adalah untuk menilai hubungan anatara masalah penyakit dan dinamika keluarga.

Dikter berusaha mengkatalisis perubahan psikososial melalui pertemuan tersebut. Dalam

pertemuan tersebut diharapkan bisa meluruskan ECM yang terjadi pada pasien dan

keluarga Juga menggali pemahaman ,merefleksikan perasaan kedua belah pihak agar

terjadi kesepakatan bersama. Mengapa harus melibatkan keluarga? Karena keluarga

adalah support terbesar pasien. Dalam CEA tersebut tahapannya adalah

Catharsis : pengeluaran emosi pasien dan keluarga serta mengidentifikasi ECM

Education : memberikan edukasi dengan mengkoreksi ECM

Action : Menentukan tindakan selanjutnya dengan mengembalikan keputusan kepDa

pasien dan keluarga.

12. Preventif utk anggota keluarga yg lain

13. Konseling yg harus dilakukan utk pasien

Teknik CEA dapat dilakukan karena untuk menggali mispersepsi yang timbul dari

pasien atau yang biasa disebut ECM (Emotionally Critical Misperception). ECM adalah

persepsi yang menyebabkan gangguan emosi paling besar. Mispersepsi itulah yang

memberikan kekuatan emosional yang akan membawa pasien kepada dokter. Yang

menjadi perhatian terprioritas. Jika pasien takut akan kematiannya akibat penyakit tetapi

kenyataannya adalah jarak kematian memungkinkan, sebuah pernyataan langsung untuk

efek yang diikuti oleh penjelasan sederhana mengapa kematian tidak mungkin. Mengatasi

ECM segera berkomunikasi dengan pasien yang merawat perawat telah mendengarkan

dia dan memahami keprihatinan itu, dan hubungan emosional yang ini membawa ke

dalam hubungan perawat-pasien bisa sangat signifikan.

Ada beberapa alasan mengenai emosi, beberapa cara untuk membicarakan perasaan

pasien mengenai kecemasan yang dialami. Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan

keterampilan mendengarkan aktif untuk membawa emosi pasien yang biasanya

tersembunyi. Setelah perasaan telah diartikulasikan dan memungkinkan , keterampilan

mendengarkan aktif dapat digunakan sebagai identitas ECM dibalik perasaan. Pelepasan

perasaan juga mengizinkan pasien untuk berpikir lebih jernih dan membuatnya lebih

mudah menerima langkah berikutnya dalam model CEA yang dapat digunakan untuk

mendidik.

Page 23: Proposal Plendis T11

14. Daftar Pustaka

Joint National Committee (JNC 7). (2003). Seventh Report of The Joint National

Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood

Pressure (JNC 7). NIH Publication, No. 03-5231

Madhur, M.S. (2014). Hypertension Treatment and Management. Diakses pada 4 Maret

2014, dari http://emedicine.medscape.com/article/241381-treatment#aw2aab6b6b3

Sidartawan & Dyah. 2009. Sindrom Metabolik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, edisi V

jilid III. 1867-1870.