proposal ful

43
PROPOSAL PENELITIAN PENERAPAN ASAS PEMBALIKAN BEBAN BUKTI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI (STUDI KASUS PENGADILAN NEGERI BUKITTINGGI) 1.1. Latar Belakang Masalah Sejarah perkembangan kehidupan manusia jenis kejahatan tidaklah tetap. Pada suatu waktu timbul jenis kejahatan baru yang sebelumnya tidak dikenal orang. Para sarjana kriminologi selalu menyadari bahwa kejahatan dalam pandangan sosiologis akan kelihatan lebih realistis dibandingkan dengan pandangan yuridis yang kaku dan statis 1 . Semakin majunya perkembangan dunia dewasa ini baik dalam ilmu pengetahuan maupun teknologi akan membawa dampak yang tidak saja bernilai positif tetapi juga negatif, dan hal ini pun diikuti dengan bertambahnya kejahatan-kejahatan yang terjadi. Paul A. Samuelson berpendapat bahwa “Kepentingan atau kebutuhan manusia pada dasarnya tidak terbatas, sedangkan alat untuk memenuhi kepentingan atau kebutuhan itu sangat 1 ? . Sudarto, Kapita Selekata Hukum Pidana, Alumni bandung, 1981, hlm 1

Transcript of proposal ful

Page 1: proposal ful

PROPOSAL PENELITIAN

PENERAPAN ASAS PEMBALIKAN BEBAN BUKTI DALAM TINDAK

PIDANA KORUPSI (STUDI KASUS PENGADILAN NEGERI

BUKITTINGGI)

1.1. Latar Belakang Masalah

Sejarah perkembangan kehidupan manusia jenis kejahatan tidaklah tetap.

Pada suatu waktu timbul jenis kejahatan baru yang sebelumnya tidak dikenal

orang. Para sarjana kriminologi selalu menyadari bahwa kejahatan dalam

pandangan sosiologis akan kelihatan lebih realistis dibandingkan dengan

pandangan yuridis yang kaku dan statis1.

Semakin majunya perkembangan dunia dewasa ini baik dalam ilmu

pengetahuan maupun teknologi akan membawa dampak yang tidak saja bernilai

positif tetapi juga negatif, dan hal ini pun diikuti dengan bertambahnya kejahatan-

kejahatan yang terjadi. Paul A. Samuelson berpendapat bahwa “Kepentingan atau

kebutuhan manusia pada dasarnya tidak terbatas, sedangkan alat untuk memenuhi

kepentingan atau kebutuhan itu sangat terbatas, sehingga manusia cenderung

untuk selalu berusaha apa yang diperlukannya itu2.

Tindak pidana korupsi, merupakan jenis tindak pidana yang berkembang

pesat sejalan dengan semakin gencarnya pelaksanaan transaksi ekonomi baik

dalam tatanan mikro maupun makro, yang dilakukan oleh para pelaku ekonomi,

yang pada dasarnya pelaku ekonomi itu adalah semua lapisan masyarakat. Setiap

transaksi ekonomi yang melibatkan pemindahan atau penyerahan kepemilikan

1 ?. Sudarto, Kapita Selekata Hukum Pidana, Alumni bandung, 1981, hlm 12 ? W. A. Bonger, Pengantar Tentang Kriminologi, Pustaka Sarjana, Jakarta, 1983, hal 9

Page 2: proposal ful

atau kegunaan atas barang baik bergerak maupun tidak bergerak umumnya rentan

akan korupsi3..

Korupsi merupakan suatu momok bagi setiap negara di dunia. Korupsi

yang telah mengakar dengan demikian kuatnya akan membawa konsekuensi

terhambatnya pembangunan di suatu negara. Sehingga gaung pemberantasan

korupsi semakin bergema di seluruh dunia. Indonesia sebagai salah satu negara

dengan peringkat korupsi teratas, ikut serta dalam langkah tersebut dengan

memperkuat perangkat hukum yang ada untuk memberantas korupsi.4

Didasarkan TAP MPR No. IX/1998, Dewan Perwakilan Rakyat telah

menetapkan serangkaian undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi

yaitu: Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi, dan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi.

Peran aparat penegak hukum dalam hal ini sangatlah menentukan demi

terwujudnya keadilan dan mengurangi angka kejahatan termasuk kejahatan tindak

pidana korupsi. Tugas ini tidak hanya terletak di pihak kepolisian yang

menangkap penjahat atau jaksa yang bertugas untuk menuntut terdakwa, tetapi

hakim juga mempunyai peran yang sangat penting. Di dalam sistem peradilan

pidana, hakimlah yang bertugas untuk memutuskan apakah seorang terdakwa

bersalah atau tidak melalui putusan yang dibuatnya. Bahkan dalam kenyataannya

sering kali nasib seorang terdakwa berada mutlak ditangan hakim. Walaupun tak

3.Ari Wahyudi Hertanto, dan Arief Nurul Wicakso, Tindak Pidana Korupsi Antara Upaya Pemberantasan dan penagakkan Hukum, www.pemantauperadilan.com, 10 Feb 2004, jam 11.10 WIB

4.Jhon Waliry, Kritisisasi Terhadap Peradilan Korupsi, MaPPI FHUI, www.pemantauperadilan.com, 10 Mei 2005

2

Page 3: proposal ful

jarang bahwa putusan yang dihasilkan oleh para hakim mengalami sesuatu yang

dilematis, karena akan dipertanyakan mengenai sisi keadilannya dari berbagai

pihak, apakah putusan tersebut adil menurut undang-undang atau tidak, atau

apakah putusan itu adil atau tidak menurut terdakwa sendiri..

Hakim dituntut dengan segala integritas dan moral yang ia miliki agar

dapat berlaku adil kepada semua pihak, untuk itu dalam mengambil putusan

hakim harus sangat jeli dan hati-hati. Karena ada sebuah adegium, lebih baik

membebaskan 1000 orang yang bersalah daripada menghukum 1 orang yang tidak

bersalah. Demikian juga halnya dalam menjatuhkan pidana, hakim juga harus

mempunyai pertimbangan-pertimbangan yang akhirnya akan menimbulkan

keyakinan dalam dirinya, apakah terdakwa akan dibebaskan atau dijatuhi hukum

yang sangat berat.

Pasal 183 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana disebutkan bahwa:

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila

sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa

suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah

melakukannya.”

Berdasarkan Pasal 6 ayat (2) Undang-undang Nomor: 14 Tahun 1970 jo

Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 dinyatakan bahwa : “Tiada seorang jua

pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan, karena alat pembuktian

yang sah menurut Undang-undang, mendapat keyakinan, bahwa seseorang yang

dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang dituduhkan

atas dirinya”.

3

Page 4: proposal ful

Berdasarkan Pasal 183 KUHAP dan Pasal 6 ayat (2) Undang-undang

Nomor: 14 Tahun 1970 jo Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 tersebut dapat

diambil kesimpulan bahwa untuk menentukan bersalah atau tidaknya seorang

terdakwa dan untuk menjatuhkan pidana kepada terdakwa, harus :

a. Kesalahannya terbukti dengan sekurang-kurangnya “dua alat bukti yang

sah” menurut undang-undang,

b. dan atas keterbuktian dengan setidak-tidaknya dua alat bukti yang sah,

hakim “memperoleh keyakinan” bahwa tindak pidana benar-benar terjadi

dan bahwa terdakwalah yang benar-benar melakukannya.

Berdasarkan rumusan pasal-pasal tersebut, dapat dilihat bahwa dalam hal

pembuktian adanya unsur obyektif dan unsur subyektif. Kedua unsur ini tidak ada

yang paling dominan. Misalnya saja ditinjau dari segi cara dan dengan alat-alat

bukti yang sah menurut undang-undang, kesalahan terdakwa sudah cukup

terbukti, tetapi sekalipun sudah cukup terbukti, kalau hakim “tidak yakin” akan

kesalahan terdakwa maka terdakwa tidak dapat dinyatakan bersalah, dan

sebaliknya apabila hakim benar-benar yakin akan kesalahan terdakwa, tetapi hal

ini tidak didukung oleh alat-alat bukti yang sah maka hakim pun tidak dapat

menjatuhkan pidana atas diri terdakwa.

Tindak pidana korupsi adalah salah satu tindak pidana yang diatur diluar

KUHP atau disebut juga dengan tindak pidana khusus. Tindak pidana Korupsi

dewasa ini diatur dengan Undang-Undang No 31 tahun 1999 tentang

pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah UU No. 31 tahun 1999 tentang

pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, LN tahun 1999 No. 140 yang mulai

4

Page 5: proposal ful

berlaku tanggal 16 Agustus 1999 sebagai pengganti UU No. 3 Tahun 1971 LNRI

tahun 1971 No. 19

 UU No. 31 Tahun 1999 juncto UU No. 20 Tahun 2001 inilah yang

merupakan hukum positif dan dipergunakan sebagai dasar dalam pemberantasan

tindak pidana korupsi di Republik Indonesia.. Undang-Undang No 31 Tahun

1999 tersebut selain mengatur mengenai hukum pidana materil (seperti

perumusan tindak pidana korupsi dan jenis-jenis hukumannya), juga diatur

mengenai hukum pidana formilnya (seperti pengusutan, penuntutan, dan

pemeriksaan tindak pidana korupsi di muka pengadilan).

Melalui UU  No. 31 Tahun 1999 juncto UU No. 20 Tahun 2001

diperkenal tentang asas pembuktian terbalik. asas pembuktian terbalik ini

merupakan penyimpangan dari pembuktian dalam Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana (KUHAP). Namun demikian, pembuktian terbalik tersebut masih

memiliki sifat terbatas dimana Jaksa Penuntut Umum masih diwajibkan untuk

melakukan pembuktian atas dakwaan yang diajukannya. Jadi, kedua UU tersebut

tidak semata-mata memberikan terdakwa kesempatan untuk membuktikan dirinya

tidak bersalah.

Masalah pembuktian dalam tindak pidana korupsi memang merupakan

masalah yang rumit, karena pelaku tindak pidana korupsi ini melakukan

kejahatannya yang rapi. Sulitnya pembuktian dalam perkara korupsi ini

merupakan tantangan bagi para aparat penegak hukum.

 Pada pasal 37 ayat (2) UU No. 31 Tahun 1999 sebelumnya dinyatakan

bahwa: “Dalam hal Terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan

5

Page 6: proposal ful

tindak pidana korupsi, maka keterangan tersebut dipergunakan sebagai hal yang

menguntungkan baginya.”Sementara setelah dilakukan perubahan terhadap pasal

37 ayat (2) UU No. 20 Tahun 2001 maka dengan lebih tegas dinyatakan bahwa:

“Dalam hal Terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak

pidana korupsi, maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh pengadilan sebagai

dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti..

Tujuan diundangkannya Undang-Undang Tindak Piana Korupsi

diharapkan dapat memenuhi dan mengantisipasi perkembangan dan kebutuhan

hukum bagi masyarakat dalam rangka mencegah dan memberantas secara lebih

efektif setiap tindak pidana korupsi yang sangat merugikan keuangan,

perekonomian negara pada khususnya serta masyarakat pada umumnya5

Diperkenalnya asas pembuktian terbalik. melalui UU  No. 31 Tahun 1999

juncto UU No. 20 Tahun 2001 yang merupakan penyimpangan dari sistem

pembuktian dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), maka

penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang penerapan pembalikan beban

bukti ini oleh hakim di pengadilan negeri. Untuk itu prosal penelitian ini diberi

judul” Penerapan Asas Pembalikan Beban Bukti dalam Tindak Pidana

Korupsi (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Bukittinggi)

1.2. Perumusan Masalah

5 ?. Eddy Suhartono, Perihal Ketentuan-Ketentuan Tindak Pidana Korupsi, www.pu.go.id diakses tanggal 25 Agustus 2006

6

Page 7: proposal ful

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, maka permasalahan

yang diteli dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut yaitu :

1. Bagaimana penerapan asas pembalikan beban bukti dalam tindak pidana

korupsi di Pengadilan negeri Bukittinggi?

2. Apa permasalahan yang ditemui dalam penerapan asas pembalikan beban

bukti dalam proses penyelesaian tindak pidana korupsi di pengadilan

Negeri?

1.3. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui penerapan asas pembalikan beban bukti dalam tindak

pidana korupsi di Pengadilan Negeri Bukittinggi.

2. Untuk mengetahui pemasalahan yang ditemui dalam penerapan asas

pembalikan beban bukti dalam proses penyelesaian tindak pidana korupsi

di pengadilan Negeri

1.4. Manfaat Penelitian.

Dengan selesainya penelitian ini, diharapkan dapat bermanfaat baik dari

segi teoritis maupun dari segi praktis:

1. Dari segi teoritis, diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu

pidana khususnya dalam hukum tindak pidaka korupsi yang berkaitan

dengan penerapan pembalikan beban bukti dalam proses penyelesaian

perkara korupsi di pengadilan negeri.

2. Secara praktis, diharapkan dapat bermanfaat dan dijadikan sebagai bahan

bagi aparat penegak hukum, terutama oleh kejaksanaan dan hakim dalam

upaya meneylesaikan perkara korupsi.

7

Page 8: proposal ful

1.5. Kerangka Teoritis.

Salah satu factor yang menyebabkan sulitnya mengusut tindak pidana

korupsi adalah sulitnya menemukan bukti atau membuktikan adanya tindak

pidana korupsi. Membuktikan menurut Martiman Prodjohamidjojo6 mengandung

maksud dan usaha untuk menyatakan kebenaran atas suatu peristiwa, sehingga

dapat diterima oleh akal terhadap kebenaran peristiwa tersebut.

Sedangkan Bambang Poernomo menyatakan bahwa :“Hukum pembuktian

adalah keseluruhan aturan hukum atau peraturan undang-undang mengenai

kegiatan untuk rekonstruksi suatu kenyataan yang benar dari setiap kejadian masa

lalu yang relevan dengan persangkaan terhadap orang yang diduga melakukan

perbuatan pidana dan pengesahan setiap sarana bukti menurut ketentuan hukum

yang berlaku untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana7.

Pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang

didakwakan, merupakan bagian yang terpenting acara pidana. Dalam hal ini pun

hak asasi dapat dipertaruhkan. Untuk inilah maka Hukum Acara Pidana bertujuan

untuk mencari kebenaran materil berbeda dengan Hukum Acara Perdata yang

cukup puas dengan kebenaran formil.

Kebenaran dalam perkara pidana merupakan kebenaran yang disusun dan

didapatkan dari jejak, kesan, dan refleksi dan keadaan dan/atau benda yang

berdasarkan ilmu. Pengetahuan dapat berkaitan dengan kejadian masa lalu yang

diduga menjadi perbuatan pidana8.

6 ?. Martiman Prodjohamidjojo, Sistem Pembuktian Alat Bukti. Jakarta : Ghalia Indonesia, 1983: hal. 117 ?. Bambang Poernomo, Pertumbuhan Hukum Penyimpangan di luar Kodifikasi Hukum Pidan, Jakarta : Bina Aksara, 1986 : hal. 388 ?. Ibid

8

Page 9: proposal ful

Suatu pembuktian yang benar-benar sesuai dengan kebenaran tidak

mungkin dicapai. Maka Hukum Acara Pidana sebenarnya hanya menunjukkan

jalan untuk berusaha mendekati sebanyak mungkin persesuaian dengan

kebenaran. Hukum pembuktian memberi petunjuk bagaimana hakim dapat

menetapkan sesuatu hal cenderung kepada kebenaran. Dalam menilai kekuatan

pembuktian tersebut dikenal beberapa sistem atau teori pembuktian, yaitu:

- Teori pembuktian yang hanya berdasarkan kepada alat-alat pembuktian

yang disebut oleh undang-undang secara positif (positief wettelijk

bewijstheorie).

Artinya jika telah terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti

yang disebut oleh undang-undang, maka keyakinan hakim tidak diperlukan sama

sekali. Teori ini disebut juga teori pembuktian formil (formele bewijstheorie).

Teori ini berusaha menyingkirkan segala pertimbangan hakim yang

bersifat subyektif, oleh karena itu mengikat secara tegas supaya hakim hanya

tergantung pada ada atau tidak adanya sejumlah alat bukti yang formel tercantum

dalam undang-undang cukup untuk menjatuhkan putusan9.

Wirjono Prodjodikoro menolak teori ini untuk dianut di Indonesia, karena

menurutnya hakim hanya dapat menetapkan kebenaran dengan cara mengatakan

kepada keyakinannya tentang kebenaran itu, lagi pula keyakinan seorang hakim

yang jujur dan berpengalaman mungkin sekali adalah sesuai dengan keyakinan

masyarakat10.

9 ?. Ibid hal. 4010 ?. Andi Hamzah, Huku Acara Pidana Indonesia, CV Sapta Artha Jaya, Jakarta, 1996 hal. 159

9

Page 10: proposal ful

- Teori pembuktian berdasar keyakinan hakim semata-mata (conviction

intime).

Teori ini maksudnya adalah jika dalam pertimbangan keputusan hakim

tela menganggap terbukti sesuatu perbuatan sesuai dengan keyakinan yang timbul

dari hati nurani seorang hakim, maka dapat dijatuhkan putusan. Sistem ini

menurut Martiman Prodjohamidjojo11 tidak dianut dalam peradilan umum ataupun

dalam KUKAP, contoh dari sistem ini dipergunakan dalam peradilan yuri.

Sedangkan menurut Wirjono Prodjodikoro sistem pembuktian demikian

pernah dianut di Indonesia yaitu pada peradilan distrik dan peradilan Kabupaten.

Sistem ini memungkinkan hakim menyebut apa saja yang menjadi dasar

keyakinannya, misalnya keterangan medium atau dukun12

- Teori pembuktian berdasar keyakinan hakim dalam batas-batas tertentu

atas alasan yang logis (conviction raisonee).

Teori ini disandarkan pada keyakinan hakim atas dasar pertimbangan akal

atau menurut logika yang tepat (berendeneerde overtuiging) dan memberikan

keleluasaan kepada hakim secara bebas untuk menggunakan alat bukti yang lain.

- Teori pembuktian berdasar keyakinan hakim yang timbul dari alat-alat

bukti dalam undang-undang secara negative (negatief wettelijk bewijstheori).

Dalam sistem ini ada dua hal yang merupakan syarat, yaitu :

a. wettelijk, yaitu alat-alat yang sah dan ditetapkan oleh undang-undang.

b. negatief, maksudnya dengan alat-alat bukti yang sah dan ditetapkan

undang-undang saja, belum cukup untuk memaksa hakim pidana

11 ?. Martiman Prodjohamidjojo, Op. Cit hal. 1612 ?. Andi Hamzah, Op. cit: hal. 260

10

Page 11: proposal ful

menganggap bukti sudah diberikan, tapi masih dibutuhkan adanya

keyakinan hakim13.

Dari keempat teori pembuktian diatas, ketentuan Hukum Acara Pidana

Indonesia mengikuti prinsip dari teori negatief wettelijk bewijstheorie. Hal ini bisa

dilihat dari ketentuan Pasal 183 KUHAP :

“Hakim tidak boleh menjatuhkan putusan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”

Berdasar ketentuan di atas, maka dalam Pasal 183 KUHAP terdapat dua

unsur, yaitu :

1. Sekurang-kurangnya ada dua alat bukti yang sah,

2. Dengan dasar alat bukti yang sah itu hakim yakin bahwa :

- Tindak pidana telah terjadi,

- Terdakwa telah bersalah.

Sehingga dengan demikian antara alat-alat bukti dan keyakinan hakim

harus ada hubungan causal (sebab-akibat). Hal tersebut sama dengan ketentuan

Pasal 294 Ayat (1) HIR yang menyatakan : “tidak seorang pun boleh dikenakan

pidana selain jika hakim mendapat keyakinan dengan alat bukti yang sah, bahwa

benar telah terjadi perbuatan yang dapat dipidana dan bahwa orang-orang yang

didakwa itulah yang bersalah melakukan perbuatan itu.”

Ketentuan yang sama juga telah diatur dalam pasal 6 UU No. 14 Tahun

1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman :

“Tiada seorang pun juga dapat dijatuhi pidana kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang mendapat

13 ?. Martiman Prodjohamidjojo, Op. cit. hal. 14

11

Page 12: proposal ful

keyakinan, bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab telah bersalah atas perbuatan yang dituduhkan atas dirinya.”

Selain itu, asas negatief wettelijk juga tercermin dalam Pasal 189 Ayat (4)

KUHAP : “keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia

bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus

disertai dengan alat bukti yang lain,”

Sedangkan mengenai kewajiban pembuktian, atau siapa yang harus

membuktikan, menurut KUHAP adalah dibebankan kepada Penuntut Umum. Hal

ini sebagaimana diatur dalam Pasal 66 KUHAP :“Tersangka atau terdakwa tidak

dibebani kewajiban pembuktian.”

Menurut penjelasan Pasal 66 tersebut, ketentuan ini adalah penjelmaan

asas “praduga tak bersalah”, di mana mengenai asas tersebut diatur dalam

penjelasan umum butir 3 c KUHAP :“Setiap orang yang disangka, ditangkap,

ditahan,dituntut dan/atau dihadapkan di muka sidang pengadilan wajib dianggap

tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya

dan memperoleh kekuatan hukum tetap.”

Asas praduga tak bersalah ini juga telah diakui oleh dunia internasional.

Antara lain diatur dalam Pasal 14 Ayat (2) Perjanjian Internasional tentang Hak-

Hak Sipil dan Politik Tahun 1996. “Setiap orang yang dituduh melakukan

pelanggaran pidana akan berhak atas praduga tak bersalah sampai terbukti

bersalah menurut hukum.”

Sebagai komponen dasar dari hak atas suatu peradilan yang fair, asas

praduga tak bersalah antara lain berarti bahwa beban pembuktian dalam suatu

12

Page 13: proposal ful

peradilan pidana tergantung pada penuntutan dan di tertuduh mempunyai

keuntungan sebagai orang yang diragukan14.

Selain itu dalam Pasal 14 Ayat (3) huruf g Perjanjian Internasional

tersebut dinyatakan bahwa : “Dalam penentuan tuduhan pelanggaran pidana

terhadapnya, setiap orang berhak untuk tidak dipaksa memberikan kesaksian

terhadap diri sendiri atau mengaku bersalah.”. Ketentuan ini seiring disebut juga

dengan asas non self inerimination, Meskipun ketentuan ini tidak secara tegas

mengatur tentang bukti yang didapat dengan cara pemaksaan, namun telah lama

ditafsirkan baha bukti tersebut tidak dapat diterima di pengadilan. Di samping itu

diamnya tersangka atau terdakwa tidak dapat digunakan sebagai bukti untuk

menyatakan bersalah dan tidak ada konsekuensi yang negative dapat ditarik dari

pelaksanaan hak untuk diam dari seseorang tersangka15

Dari penjelasan di atas terlihat bahwa asas praduga tak bersalah secara

tegas telah diatur oleh peraturan perundang-undangan, yang tidak hanya diakui di

Indonesia, tetapi juga diakui di dunia Internasional. Asas praduga tak bersalah ini

merupakan salah satu bentuk jaminan perlindungan terhadap hak asasi manusia.

Penerapan asas pembuktian terbalik dalam suatu perkara pidana jelas-jelas

merupakan pelanggaran terhadap asas praduga tak bersalah ini. Dalam asas

pembuktian terbalik hakim berangkat dan praduga bahwa terdakwa telah bersalah

melakukan sesuatu pelanggaran hukum atau presumption of guilt. Kemudian

terdakwalah yang harus membuktikan bahwa dirinya tak bersalah, dan jika dia

tidak dapat membuktikan hal itu, maka ia dinyatakan bersalah tanpa perlu

14 ? . Lawyer Committee for Human Right, Fair Trial (Prinsip-Prinsip Peradilan yang Adil dan Tidak Memihak), Diterjemahkan oleh Ahmad Fauzan, S.H.,LLM., Jakarta : Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, 1997 : hal. 2315 ?. Ibid hal. 33

13

Page 14: proposal ful

pembuktian lagi dari pihak Penuntut Umum, Bila tersangka atau terdakwa ditahan

maka hampir mustahil hal itu bisa dilakukan.

Dalam sistem pembuktian seperti tersebut diatas, tampak bahwa hak-hak

seseorang terdakwa tidak dijamin, bahkan dilanggar. Padahal dalam Pasal 183

KUHAP, sebagaimana telah dijelaskan di atas telah diatur secara tegas bahwa

“Hakim tidak boleh menjatuhkan putusan pidana kepada seseorang kecuali

apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh

keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah

yang bersalah melakukannya.”

Asas pembuktian terbalik secara terang-terangan disimpangi, karena

Hakim dapat saja menjatuhkan putusan pidana tanpa adanya suatu alat bukti, yaitu

jika terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah. Jadi di sini

hanya dengan adanya keyakinan hakim sudah cukup untuk menyatakan kesalahan

terdakwa, tanpa perlu adanya alat bukti. Hal ini sama dengan sistem dalam teori

pembuktian conviction intime (pembuktian berdasar keyakinan hakim semata)

yang telah dijelaskan di atas. Hal ini tentu saja sangat merugikan terdakwa.

Menurut Luhut MP Pangaribuan16, bila sistem pembuktian terbalik ini

diterapkan maka akan membawa implikasi negatif yang luar biasa yaitu :

“Pertama, secara umum kita akan kembali pada suatu zaman yang disebut dengan

ancient regime. Pada zaman ini berkuasa The Holy Inqusition yang kemudian

dikenal dalam hukum acara pidana dengan sistem inkusitoir, tersangka dan

terdakwa menjadi objek. Sebab pengakuan merupakan alat bukti yang penting.

Kedua, dalam situasi rendahnya kapabilitas dan integritas aparatur penegak

16 ?.Luhut MP Pangaribuan, Sistem Pembuktian Terbalik, Kompas, 2 April 200, hal. 1

14

Page 15: proposal ful

hukum dewasa ini maka sistem pembuktian terbalik bisa menjadi alat back-

mailing yang efektif untuk memperkaya diri dan bentuk penyalahgunaan

penegakan hukum yang lain. Ketiga, usaha untuk meningkatkan profesionalitas

dan integrasi penegak hukum akan menjadi tidak perlu bila sistem pembuktian

terbalik diterima. Sebab ia cukup mengandalkan perasaan maka bila orang itu

gagal narapidanalah ia. Jadi aparatur penegak hukum itu cukup sebagai debt

collector.”

Akan tetapi meskipun asas pembuktian terbalik mengandung banyak

kelemahan seperti di atas, hal ini bukan berarti asas pembuktian terbalik tidak

dapat diterapkan. Penerapan sistem pembuktian terbalik terhadap tindak pidana

korupsi ini sudah dianut di Hongkong, Malaysia, dan Singapura.

Penerapan sistem pembuktian terbaik ini menurut keterangan seorang

pejabat Independent Commision Against Corruption Hongkong cukup efektif

untuk pemberantasan tindak pidana korupsi, karena seseorang akan takut

melakukan korupsi. Sebab akan sulit baginya memberikan penjelasan yang

memuaskan tentang sumber kekayaannya kalau memang kekayaannya itu

diperoleh dengan cara yang tidak sah17.

Mengingat “merajalelanya” tindak pidana korupsi di Indonesia, maka

Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi yang telah diamandemen dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 dengan

menerapkan pembuktian terbalik terhadap perkara korupsi..

Undang-Undang No. 31 1999 memang telah diatur mengenai pembuktian

terbalik, tetapi ketentuan tersebut bersifat terbatas, artinya terdakwa berhak untuk

17 ?.Kompas, Pembuktian Terbalik, Kenapa Tidak?, 14 April 2001)

15

Page 16: proposal ful

membuktikan, tetapi, karena Penuntut Umum tetap wajib membuktikan

dakwaannya. Setelah UU No. 31 Tahun 1999 dilakukan perubahan pembuktian

terbalik tersebut bersifat murni, di mana terdakwa wajib membuktikan bahwa ia

tidak melakukan korupsi, jika ia tidak berhasil membuktikan maka berarti ia

terbukti melakukan korupsi. Sistem ini digunakan terhadap setiap pemberian

kepada pegawai negeri (dalam arti luas) yang nilainya diatas Rp 10 juta,

sedangkan yang nilainya dibawah Rp 10 juta masih menggunakan sistem

pembuktian biasa.

Meskipun penerapan sistem pembuktian terbalik bertentangan dengan asas

praduga tak bersalah yang telah diatur dalam KUHAP, dalam hal ini berlaku asas

lex specialist derogate lex geneali. Selain itu hal ini merupakan salah satu sarana

yang dapat ditempuh untuk memberatas korupsi yang sudah mengakar di

Indonesia.

Hal ini sesuai dengan tujuan hukum menurut Jeremy Bentham dalam

bukunya Introduction to the Morals and Legislation, yaitu bahwa hukum

bertujuan untuk mewujudkan semata-mata berfaedah bagi orang. Karena apa yang

berfaedah bagi seseorang mungkin saja merugikan orang lain, maka tujuan hukum

adalah menjamin kebahagiaan sebanyak-banyaknya bagi orang sebanyak-

banyaknya18.

Penerapan pembuktian terbalik terhadap tindak pidana korupsi memang di

satu pihak akan merugikan terdakwa, karena hak-haknya kurang terlindungi,

tetapi di lain pihak hal ini akan membawa kebahagiaan atau kemanfaatan bagi

18 ?. CS.T Kansil, Op. cit : hal 44

16

Page 17: proposal ful

banyak orang, karena dapat mengurangi tindak pidana korupsi yang telah begitu

banyak merugikan Negara.

Meskipun demikian, untuk dapat menerapkan pembuktian terbalik

terhadap tindak pidana korupsi perlu dikaji terlebih dahulu, karena menurut Topo

Santoso, dalam hal ini terdapat beberapa masalah, yaitu :

1. Bagaimana pihak kejaksaan membiasakan diri dari pola yang sebelumnya.

2. Apakah perangkat penegak hukum sudah siap dengan itu (pembuktian

terbalik), mulai dari pengacara, hakimnya, jaksa penuntut umumnya.

3. Jangan sampai pembuktian terbalik ini justru menjadi alat pemerasan baru,

dimana setiap orang dapat saja disudutkan melakukan korupsi. Dan pihak

kejaksaan tidak akan merasa bersalah dengan menuduhkan berbagai macam-

macam korupsi. Orang yang dituduh korupsi disuruh membuktikan bahwa ia

tidak melakukan korupsi, sehingga banyak sekali orang yang akan “diperas”

karena dituduh melakukan korupsi19.

Selain itu menurut Todung Mulia Lubis penerapan asas pembuktian

terbalik ini tidak mudah, karena selama ini laporan kekayaan-kekayaan “haram”

yang dia peroleh seharusnya disyaratkan laporan kekayaan pejabat sebalum

menjabat dan diumumkan kekayaannya setiap tahun, sehingga si pejabat bisa

diinvestigasi20.

1.6. Kerangka Konseptual.

1. Penegakkan hukum

19 ?.Topo Santoso, Pembuktian Terbalik Hanya Pengalihan Isu. http://www.hukumonline.com/ (5 April 2001)20 ?. T Mulia Lubis, Pembuktian Terbalik Tidak Mudah, http://www.hukumonline.com/ (5 April 2001)

17

Page 18: proposal ful

Penegakan hukum merupakan bagian tak terpisahkan dari pembangunan

hukum dan sebagai komponen integral dari pembangunan nasional yang

dilaksanakan dalam rangka menegakkan pilar-pilar negara hukum. Tujuan yang

hendak dicapai adalah mewujudkan tujuan nasional sebagaimana terpatri dalam

Pembukaan Undang-undang Dasar 1945. Indonesia sebagai negara hukum,

mengharuskan terwujudnya supremasi hukum. 21

Penegakan hukum dalam pengertian makro meliputi seluruh aspek

kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara, sedangkan dalam pengertian

mikro terbatas dalam proses pemeriksaan di pengadilan termasuk proses

penyelidikan, penyidikan, penuntutan, hingga pelaksanaan putusan pidana yang

telah mempunyai kekuatan hukum tetap22.

Penegakan hukum adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai

yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah, pandangan-pandangan yang mantap dan

mengejawantahkannya dalam sikap, tindak sebagai serangakaian penjabaran nilai

tahap akhir untuk menciptakan kedamaian pergaulan hidup23. Menurut Satjipto

Rahardjo penegakkan hukum adalah suatu proses untuk mewuijudkan keinginan-

keinginan hukum menjadi kenyataan24

Fungsi penegakan hukum meliputi fungsi represif dan preventif. Fungsi

represif mencakup kepidanaan, melakukan penuntutan dalam perkara pidana,

melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan, melakukan pengawasan

21 ?. Abdul Rahman Saleh, Penegakan Hukum Sebagai Komponen Integral Pembangunan Nasional, wacana hukum, Juni 200522 ?. Ibid 23 ?. Soekamto, Soejono, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakkan Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta:1983, hlm 3.24 ?. Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum, suatu tinjauan sosiologis, Sinar baru , Bandung, tt, hlm 24.

18

Page 19: proposal ful

terhadap pelaksanaan keputusan lepas bersyarat, melengkapi berkas perkara

tertentu, yang berasal dari penyidik Polri dan PPNS, serta keperdataan dan tata

usaha negara. Fungsi preventif berupa peningkatan kesadaran hukum masyarakat,

pengamanan kebijakan penegakan hukum, pengamanan peredaran barang

cetakan, pengawasan aliran kepercayaan, pencegahan penyalahgunaan dan/atau

penodaan agama, penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal25.

Hakekat deskripsi di atas, memperlihatkan bahwa fungsi penegakan

hukum dalam proses penegakan hukum mengacu kepada beberapa tujuan hukum

di atas yang dikonkritkan dalam hukum positif, maka dapat dikata bahwa

penegakan hukum menjadi suatu badan yang berorientasi pada pencapaian tujuan

hukum bagi pencari keadilan, baik itu masyarakat maupun pemerintah sendiri,

yaitu kepastian hukum, keadilan, dan kesejahteraan bagi masyarakat hukum

Penegakkan hukum bukanlah merupakan suatu kegiatan yang berdiri

sedniri, melainkan mempunyai hubungan timbal balik yang erat dengan

masyarakatnya26 Karena itu tegaknya hukum ditandai oleh beberapa faktor yang

saling terkait sangat erat yaitu:

- Hukum dan aturannya sendiri. perlu adanya keserasian antara

peraturan perundang-undangan yang ada

- Fasilitas pelaksanaan hukum, diperlukan fasilitas yang

memadai sebab sering kali hukum sulit ditegakkan bahkan tak tertangani

karena fasilitas untuk menegakkannya tidak memadai ataupun tidak tersedia.

- Kesadaran dan kepastian hukum serta prilaku masyarakat

25 ?. Abdul Rahman Saleh, Op. cit.26 ?. Satjipto Rahardjo, op. cit, hlm. 30.

19

Page 20: proposal ful

- Mental aparat penegak hukum. Pelaku hukum secara langsung

adalah polisi, jaksa, pengacara, hakim, petugas lembaga pemasyarakatan dan

sebagainya.

Penegakan hukum selain ditentukan oleh aturan-aturan hukumnya sendiri,

fasilitas, kesadaran dan kepatuhan masyarakat, juga sangat tergantung kepada

faktor Penegak Hukum secara personal. Namun meski faktor-faktor itu telah

memenuhi standar yang diperlukan untuk tegaknya hukum dengan baik, masih

diperlukan system politik demokratis yang berlaku dalam suatu negara. Pada saat

system politik tampil secara demokratis maka fungsi hukum dapat tegak dengan

baik dan penegakkan hukum menjadi lebih dimungkinkan27.

2. Penerapan asas-asas pembalikan beban bukti

Menurut kamus besar bahasa Indonesia28 “penerapan” berarti ”proses,

cara”, atau dapat juga bermakna ”pemasangan”, serta arti lainnya adalah

“pemanfaatan”, dan “mempraktekan" seperti “teori sosiologi pedesaan hendaklah

dilakukan untuk pembinaan desa transmigrasi”.

Sedangkan kata “asas” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia29 berarti

(1) “dasar” yaitu sesuatu yang menjadi tumpuan beripikir atau berpendapat.

Kemudian kata “asas” juga berarti (2) “dasar cita-cita” yang biasanya ditujukan

kepada perkumpulan atau atau organiasasi, dan (3) asas berarti “hukum dasar”.

Membuktikan menurut Martiman Prodjohamidjojo mengandung maksud

dan usaha untuk menyatakan kebenaran atas suatu peristiwa, sehingga dapat

27 ?. M Rais Ahmad, Peran Manusia Dalam Penegakan Hukum Dari Perspektif Akhlak Islami. Artikel, www.wacanahukum.com 27 Maret 200528 ?.Departemen Pendidikan Nasional , Kamus Besar Bahasa Indonesi, Edisi Ketiga, Balai Pustaka, 2001, hlm 118029 ?.Ibid hlm. 70.

20

Page 21: proposal ful

diterima oleh akal terhadap kebenaran peristiwa tersebut30. Sedangkan Bambang

Poernomo menyatakan bahwa :“Hukum pembuktian adalah keseluruhan aturan

hukum atau peraturan undang-undang mengenai kegiatan untuk rekonstruksi

suatu kenyataan yang benar dari setiap kejadian masa lalu yang relevan dengan

persangkaan terhadap orang yang diduga melakukan perbuatan pidana dan

pengesahan setiap sarana bukti menurut ketentuan hukum yang berlaku untuk

kepentingan peradilan dalam perkara pidana31.

Pembalikan beban bukti atau disebut juga dengan pembuktian terbalik

(omkering van bewijslast) adalah jenis pembuktian dalam hukum pidana yang

diperkenalkan dalam UU  No. 31 Tahun 1999 juncto UU No. 20 Tahun 2001,

yaitu beban pembuktian yang merupakan penyimpangan dari pembuktian dalam

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Pasal 37 ayat (2) UU No. 20 Tahun 2001 dengan tegas dinyatakan bahwa:

“Dalam hal Terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak

pidana korupsi, maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh pengadilan sebagai

dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti32.

Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan penerapan asas

pembalikan beban bukti adalah suatu proses dalam upaya mencari kebanaran dari

suatu peristiwa atau kejadian yang diatur oleh peraturan perundang-undangan

30 ?. Martiman Prodjohamidjojo, Sistem Pembuktian Alat Bukti. Jakarta : Ghalia Indonesia, 1983: hal. 1131 ?. Bambang Poernomo, Pertumbuhan Hukum Penyimpangan di luar Kodifikasi Hukum Pidana, Jakarta : Bina Aksara, 1986 : hal. 3832 ?. Indonesia, Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 20 tahun 2001, LN No. 134 tahun 2001, TLN No. 4150, ps. 37 ayat (2

21

Page 22: proposal ful

oleh pihak yang disangka telah melakukan kesalahan, yang diberi kesampatan

untuk memberikan penjelasan bahwa ia tidak melakukan kesalahan.

 

1.7. Metodelogi Penelitian

1. Tipe penelitian

Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian

empiris, yaitu melihat ketentuan-ketentuan maupun norma-norma yang berkaitan

dengan penerapan pembalikan bukti dalam proses penyelesaian tindak pidana

korupsi di pengadilan negeri Bukittinggi yang dihubungan dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan. Sedangkan sifat penelitian ini adalah deskripstif

yaitu menggambarkan secara rinci proses penyelesaian perkara tindak pidana

korupsi di Pengadilan Negeri Bukittinggi.

2. Kasus Penelitian

Kasus penelitian ini dilakukan di Pengadilan Negeri Bukittinggi. Kasus

penelitian ini didasarkan pada pertimbangan bahwa Pengadilan Negeri

Bukittinggi telah menyelesaikan kasus tindak pidana korupsi yang didasarkan

kepada UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 tahun 2002 yang menganut sistem

pembuktian terbalik dalam menyelesaian perkara tindak pidana korupsi.

Penelitian ini untuk melihat proses pembuktian dalam kasus tindak pidana

korupsi dan proses pembuktian yang dilakukan terdakwa sendiri bahwa dan

melihat tentang penilaian hakim tentang proses pembuktian baik oleh Jaksa

ataupun oleh terdakwa sendiri.

3. Jenis data dan Sumber data.

22

Page 23: proposal ful

Dalam penelitian ini jensi data terdiri dari data primer dan data sekunder.

Data primer diperoleh secara langsung dari responden, Ketua dan hakim

Pengadilan negeri Bukittinggi, serta dari kejaksanaan negeri Bukittinggi.

Data sekunder dalam penelitian adalah dokumen-dokumen yang berkaitan

proses penyelesaian perkara tindak pidana korupsi, peraturan perundang-

undangan seperti Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dan Kitab Undang-

undang Hukum Acara Pidana, serta berbagai literatur lainnya yang diperoleh dari

perpustakaan (buku-buku, makalah, hasil penelitian dan sebagainya).

4. Teknik Sampling.

Oleh karena penelitian memakai rancangan studi kasus, maka teknik

pengambilan sampling dilakukan secara non-probability sampling dengan

menggunakan metode purposive sampling, yaitu pengambilan sampel dilakukan

berdasarkan kreteria tertentu dengan alasan untuk memudahkan peneliti

mendapatkan data penelitian.

Dengan demikian dijadikan sampel dalam penelitian ini adalah:

1. Hakim pengadilan Negeri Bukittinggi..

2. Penuntut Umum pada kejaksanaan Negeri Bukittinggi.

3. Penasehat Hukum yang mendampingi perkara tindak pidana korupsi di

Bukittinggi.

4. terdakwa dalam perkara tindak pidana yang diteli.

Sebagai objek penelitian ini adalah Penerapan asas pembalikan beban

bukti dalam proses penyelesaian perkara tindak pidana korupsi yang terjadi di

Pengadilan Negeri Bukittinggi.

23

Page 24: proposal ful

5. Metode dan Alat Pengmpul data.

Teknik atau metode pengumpulan data yang dipakai dalam penelitian ini

adalah wawancara mendalam (depth interview) secara langsung responden dan

informan untuk menggali informasi sebanyak-banyaknya dengan menggunakan

intrumen berupa pedoman wawancara (interview guide) tidak terstruktur yang

telah disusun sebelumnya.

Metode pengumpulan data lainnya dalah melalui studi dokumen,

mempelajari data-data yang sudah diolah dan disusun secara sistematis lalu

dibubungkan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam

penyelesaian perkara tindak pidana korupsi dengan ketentuan-ketentuan tentang

penyelesaian perkara pidana di Pengadilan Negeri.

6. Teknis Analisis data.

Data yang diperoleh data berupa data primer, dianalisis melalui beberapa

tahap. Pada tahap analisis data penelitian dilakukan bersamaan dengan proses

pengambilan data. Hal ini dilakukan mengingat pada dasarnya kedua proses

tersebut tidak saling terpisah, karena pada saat proses pengambilan data tersebut

secara tidak langsung terdapat proses analisis meskipun tidak dilakukan secara

mendalam. Analisis data yang dilakukan secara bersamaan dengan proses

pengambilan data akan dapat menentukan seberapa jauh informasi perlu ditambah

dan beberapa serta siapa lagi informan yang akan diwawancarai serta untuk

menentukan data apa yang selanjutnya perlu lebih diperdalam lagi.

Semua hasil penelitian dihubungkan dengan peraturan perundang-

undangan, konsep, maupun teori-teori yang telah dikemukakan sebelumnya.

24

Page 25: proposal ful

Setelah itu disajikan dalam bentuk uraian yang bermuara pada kesimpulan

jawaban atas permasalahan yang telah dikemukakan.

25

Page 26: proposal ful

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Rahman Saleh, Penegakan Hukum Sebagai Komponen Integral

Pembangunan Nasional, wacana hukum, Juni 2005

Andi Hamzah, Huku Acara Pidana Indonesia, CV Sapta Artha Jaya, Jakarta,

1996

Ari Wahyudi Hertanto, dan Arief Nurul Wicakso, Tindak Pidana Korupsi Antara

Upaya Pemberantasan dan penagakkan Hukum,

www.pemantauperadilan.com, 10 Feb 2004,

Bambang Poernomo, Pertumbuhan Hukum Penyimpangan di luar Kodifikasi

Hukum Pidana, Jakarta : Bina Aksara, 1986

Barda Nawawi Arif, Pencegahan dan penanggulangan Kejahatan, Bahan

Ceramah Diklat Aparatur Penegak Hukum, Departemen Hukum

dan Perundang-undangan, Cinere, Jakarta, 2000 :

DepartemenPendidikan Nasional , Kamus Besar Bahasa Indonesi, Edisi Ketiga,

Balai Pustaka, 2001,

Eddy Suhartono, Perihal Ketentuan-Ketentuan Tindak Pidana Korupsi,

www.pu.go.id diakses tanggal 25 Agustus 2006

Elwi Danil, Hukum Pidana Kourpsi, Hand Out, 2004

Indriyanto Seno Adji, Korupsi dan Hukum Pidana, Kantor Pengacara &

Konsultan Hukum “Prof. Oemar Seni Adji, SH & Rekan” Edisi

Pertama, 2001

Jhon Waliry, Kritisisasi Terhadap Peradilan Korupsi, MaPPI FHUI,

www.pemantauperadilan.com, 10 Mei 2005

K. Wantjik Saleh, Tindak Pidana Karupsi dan Suap, Ghalia Indonesia, Jakarta,

1983

Lawyer Committee for Human Right, Fair Trial (Prinsip-Prinsip Peradilan yang

Adil dan Tidak Memihak), Diterjemahkan oleh Ahmad Fauzan,

26

Page 27: proposal ful

S.H.,LLM., Jakarta : Yayasan Lembaga Bantuan Hukum

Indonesia, 1997 :

Luhut MP Pangaribuan, Sistem Pembuktian Terbalik, Kompas, 2 April 200, hal.

M Rais Ahmad, Peran Manusia Dalam Penegakan Hukum Dari Perspektif

Akhlak Islami. Artikel, www.wacanahukum.com 27 Maret 2005

M Sudrajat Bassar, Hukum Pidana (Pelengkap KUHP) CV Armeco, Bandung

1983

Martiman Prodjohamidjojo, Sistem Pembuktian Alat Bukti. Jakarta : Ghalia

Indonesia, 1983:

Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum, suatu tinjauan sosiologis, Sinar

baru , Bandung, tt,

Singgih, Dunia pun memerangi Korupsi, Beberapa Catatan dari Internasitinal

Anti Corruption Conference I-X dan Dokumen PBB tentang

pemberantasan Korupsi, Pusat Studi Hukum Bisnis, FH UPH

Lippo Kawaraci Tangerang, 2002

Soekamto, Soejono, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakkan Hukum, PT.

Raja Grafindo Persada, Jakarta:1983,

Sudarto, Kapita Selekata Hukum Pidana, Alumni bandung, 1981,

Syed Huusein Alatas, Sosilogi Korupsi, Jakarta, LP3ES, 1986

T Mulia Lubis, Pembuktian Terbalik Tidak Mudah, http:/www.hukumonline.com/

2001

Topo Santoso, Pembuktian Terbalik Hanya Pengalihan Isu.

http://www.hukumonline.com/ 2001

W. A. Bonger, Pengantar Tentang Kriminologi, Pustaka Sarjana, Jakarta, 1983,

27

Page 28: proposal ful

Peraturan Perundang-undangan:

Indonesia, Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31

Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU

No. 20 tahun 2001, LN No. 134 tahun 2001, TLN No. 4150.

Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang No. 8 tahun

1981

.

28