Proposal Dedi Irsad

66
PERSETUJUAN PEMBIMBING Judul Proposal : TINJAUAN HUKUM PERJANJIAN KERJA LAUT ATAS KESELAMATAN KERJA ANAK BUAH KAPAL Nama Mahasiswa : DEDI IRSAD Nomor stambuk : 04022 0158 Program Studi : ILMU HUKUM Bagian : HUKUM PERDATA Dasar Penetapan Pembimbing : SK. Dekan No. 386 / H.05 / FH.UMI / I / 2007 Telah mendapat persetujuan untuk diikutkan dalam Seminar Proposal Menyetujui: Pembimbing I Pembimbing II (DR. SUFIRMAN RAHMAN, SH., MH. ) (Hj. DINARYATI RAHIM, SH., MH. ) Mengetahui:

Transcript of Proposal Dedi Irsad

Page 1: Proposal Dedi Irsad

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Judul Proposal : TINJAUAN HUKUM PERJANJIAN KERJA LAUT

ATAS KESELAMATAN KERJA ANAK BUAH

KAPAL

Nama Mahasiswa : DEDI IRSAD

Nomor stambuk : 04022 0158

Program Studi : ILMU HUKUM

Bagian : HUKUM PERDATA

Dasar Penetapan

Pembimbing : SK. Dekan No. 386 / H.05 / FH.UMI / I / 2007

Telah mendapat persetujuan untuk diikutkan dalam Seminar Proposal

Menyetujui:

Pembimbing I Pembimbing II

(DR. SUFIRMAN RAHMAN, SH., MH.) (Hj. DINARYATI RAHIM, SH., MH.)

Mengetahui:

a.n. Dekan Fakultas Hukum Ketua Bagian Hukum PerdataWakil Dekan I

(ILHAM ABBAS, SH., MH.) (DR.Hj. HIKMAWATI MUSTAMIN, SH., MH.

Page 2: Proposal Dedi Irsad

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...........................................................................................i

PERSETUJUAN PEMBIMBING......................................................................ii

DAFTAR ISI....................................................................................................iii

PENDAHULUAN.............................................................................................1

1. Latar Belakang...........................................................................................1

2. Rumusan Masalah.....................................................................................7

3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian.............................................................7

4. Tinjauan Pustaka.......................................................................................8

4.1. Pengertian Perjanjian Kerja Laut......................................................8

4.2. Pihak-Pihak yang Terkait dalam Perjanjian Kerja Laut...................10

4.3. Syarat Sahnya Perjanjian Kerja Laut..............................................19

4.4. Konsep Anak Buah Kapal Sebagai Buruh......................................22

4.5. Pemutusan Hubungan Kerja Laut...................................................25

5. Metodologi Penelitian..............................................................................37

5.1. Lokasi Penelitian.............................................................................37

5.2. Jenis dan Sumber Data...................................................................37

5.3. Teknik Pengumpulan Data..............................................................38

5.4. Analisis Data...................................................................................39

6. Sistimatika Pembahasan.........................................................................39

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................41

Page 3: Proposal Dedi Irsad
Page 4: Proposal Dedi Irsad

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang No. 25 Tahun 2000 tentang

Program Pembangunan Nasional (Propenas) tahun 2000-2004 dan

Undang-Undang No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan

Jangka Panjang Nasional tahun 2005-2025, sebagaimana telah

digariskan tujuan dan sasaran pembangunan nasional didasarkan pada

visi dan misi yang diamanatkan oleh Garis-Garis Besar Haluan Negara

(GBHN) tahun 1999-2004, memberikan visi yang merupakan tujuan yang

ingin dicapai, yaitu terwujudnya masyarakat Indonesia yang damai,

demokratis, berkeadilan, berdaya saing, maju dan sejahtera, dalam

wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang didukung oleh

manusia Indonesia yang sehat, mandiri, beriman, bertakwa, berakhlak

mulia, cinta tanah air, berkesadaran hukum dan lingkungan, menguasai

ilmu pengetahuan teknologi, serta memiliki etos kerja yang tinggi dan

berdisiplin.

Bangsa Indonesia hidup dalam dinamika yang tinggi baik dalam

ruang lingkup kehidupan nasional maupun dalam hubungan

internasional. Perkembangan berlangsung sangat cepat, berbagai

peluang baru dapat terbuka dan masalah barupun muncul secara

Page 5: Proposal Dedi Irsad

mendadak. Semua ini memerlukan kecepatan dan kecermatan dalam

menelaah keadaan yang telah dihadapi dalam bereaksi, maupun dalam

bertindak.

Bangsa Indonesia harus menyadari bahwa pembangunan

mengandung kerawanan. Kerawanan timbul sebagai akibat dari

pembangunan, terutama jika rasa sosial tidak terpenuhi karena rasa

keadilan sosial harus diperluas melalui pemerataan pembangunan dan

hasil-hasilnya.

Mengingat keadaan Geografis Indonesia sebagai negara

kepulauan dengan wilayah laut terluas, jumlah pulau terbanyak, dan

pantai terpanjang kedua di dunia, serta Indonesia yang berada di

khatulistiwa yang di antara dua benua dan dua samudera sangat

strategis bagi hubungan antara bangsa di dunia. maka pembangunan di

bidang perhubungan laut perlu mendapat perhatian. Pemerataan

pembangunan diseluruh pelosok tanah air membutuhkan berbagai

sarana perhubungan guna membantu memperlancar aktivitas

pembangunan di segala bidang, utamanya di bidang ekonomi. Pelayaran

di laut sebagai salah satu dimensi perhubungan dan merupakan sarana

yang vital dalam lalu lintas perekonomian Indonesia. Angkutan laut

diselenggarakan atas dasar kepentingan umum dan ditujukan untuk

membina kesatuan ekonomi serta melayani dan mendorong

pertumbuhan ekonomi di Indonesia.

Page 6: Proposal Dedi Irsad

Pelayaran bagi Negara Republik Indonesia sebagai negara

kepulauan merupakan salah satu modal transportasi, tidak dapat

dipisahkan dari modal-modal transportasi lain yang ditata dalam sistim

transportasi nasional yang dinamis dan mampu mengadaptasi kemajuan

di masa depan, mempunyai karakteristik mampu melakukan

pengangkutan secara masal, menghubungkan, dan menjangkau seluruh

wilayah perairan, perlu lebih dikembangkan potensinya dan ditingkatkan

peranannya baik nasional maupun internasional, sebagai penunjang,

pendorong, dan penggerak pembangunan nasional demi peningkatan

kesejahteraan rakyat. (Menimbang huruf b Undang-Undang No. 21 tahun

1992 tentang Pelayaran)

Untuk memenuhi harapan tersebut maka perhubungan angkutan

laut makin mendapat perhatian yang besar baik kalangan pemerintah

maupun pihak swasta yang ingin berpartisipasi dalam pembangunan

khususnya dalam bidang angkutan laut. Sejalan dengan upaya

pencapaian tujuan pembangunan di bidang ekonomi dan sosial yaitu

untuk meningkatkan taraf hidup yang lebih baik secara material maupun

spiritual, maka diperlukan perhatian khusus terhadap faktor Sumber Daya

Manusia (SDM), khususnya dalam perlindungan dan kesejahteraan

tenaga kerja Anak Buah Kapal (disingkat ABK). Dalam kaitannya dengan

pembangunan perhubungan laut, maka upaya perlindungan dan

keselamatan tenaga kerja yang bekerja di laut, akan tentunya dalam

suatu perjanjian kerja yang disebut dengan perjanjian kerja laut. Sebagai

Page 7: Proposal Dedi Irsad

dasar terjadinya hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan

pengusaha/majikan kapal, maka keberadaan perjanjian kerja laut

diharapkan mampu menjamin hak dan kewajiban para pihak dalam

perjanjian tersebut.

Hubungan kerja ini perlu dibina dan diarahkan agar masing-

masing pihak dapat saling membutuhkan, saling mengerti peranan serta

hak dan melaksanakan kewajibannya masing-masing demi terciptanya

hubungan kerja yang serasi dan selaras yang dijiwai oleh Pancasila dan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Salah

satu usaha peningkatan kesejahteraan yang dimaksudkan adalah berupa

jaminan sosial yang merupakan wujud dari peningkatan taraf hidup ABK

yang diwujudkan dalam bentuk Asuransi Sosial Tenaga Kerja (disingkat

ASTEK). Tujuan dari ASTEK itu adalah berkaitan dengan perlindungan

terhadap jaminan sosial dalam masyarakat. Mengingat pekerjaan yang

digelutinya sangat berisiko, dengan adanya jaminan sosial akan

berpengaruh terhadap ketenangan, semangat, disiplin dalam bekerja,

serta mempunyai dedikasi yang tinggi terhadap tugas-tugas yang

digelutinya.

Namun peningkatan produktifitas dan kesejahteraan ABK menjadi

hal yang sangat sulit tercapai karena sering kali pengusaha/majikan

kapal kurang memperhatikan kesejateraan anak buah kapalnya bahkan

mengabaikan keselamatan mereka. Pengusaha kapal kadang membuat

kontrak kerja yang merugikan Anak Buah Kapal. Standar Gaji dalam

Page 8: Proposal Dedi Irsad

perjajian kerja tersebut tidak sesuai dengan standar gaji Internasional

yang sebagaimana telah ditetapkan oleh International Labour

Organization (disingkat ILO) atau yang telah ditetapkan oleh International

Transport Workers Federation (disingkat ITF). Gaji standar Anak Buah

Kapal menurut ILO US $ 871 per-bulan, dan Standar ITF minimal US $

1.400 per-bulan. Tapi kenyataan banyak ABK Indonesia yang menerima

gaji di bawah angka tersebut, dan tidak jarang pengusaha kapal

mengingkari gaji yang disepakati semula setelah ABK turun dari kapal.

(KPI: Diperlukan SKB Menakertrans dan Menhub untuk Penempatan

Pelaut, 2005)

Seperti yang terjadi pada ABK Karena gaji perwira yang semula

disepakati US $ 1.500 per-bulan dan anak buah kapal US $ 550 per-

bulan, atau yang jika dijumlahkan dalam mata uang rupiah yang saat ini

berkisar Rp.9.300,- per-dollar yang dimana gaji perwira sama dengan

Rp.13.950.000,- per-bulan dan gaji anak buah kapal (ABK)

Rp.5.115.000,- tetapi setelah tiba di Indonesia yang ternyata dibayar

dengan uang rupiah, untuk perwira Rp.4.500.000,- dan anak buah kapal

Rp.1.500.000,- yang mana angka ini sunggu sangat jauh dari angka yang

telah disepakati. (Maritim, Tahun V 2002:12)

Demikian halnya dengan 18 orang ABK asal Indonesia yang

diperlakuan tidak manusiawi di Kapal Korea yang berada di Nelson,

Selandia Baru. Sepuluh dari mereka akhirnya melarikan diri dari kapal.

Bentuk diskriminasi mereka sangat beragam, perlakuan yang tidak

Page 9: Proposal Dedi Irsad

manusiawi tersebut yakni; mulai dari pemberian makan sisa ABK lain,

pemberian makan yang telah basi, hingga pemakaian air laut untuk

keperluan mandi dan cuci pakaian. Selain itu ABK asal Indonesia itu

dipaksa melaksanakan jam kerja yang berlebihan tanpa diberikan

kompensasi. Misalnya, mereka harus bekerja mulai dari pukul 06.30 pagi

hingga pukul 11.00 malam. Ironisnya, jumlah jam kerja tidak tercantum

secara terperinci dalam detail kontrak kerja yang mereka tanda tangani.

Dan juga sangat disayangkan tidak ada pengobatan yang ahli (treatment

profesional), kepada ABK yang mengalami kecelakaan kerja. Salah

seorang ABK yang sempat terluka tangannya, hanya dijahit. Dan setelah

yang bersangkutan istirahat beberapa saat, yang bersangkutan

diharuskan untuk kembali bekerja. Selanjutnya 10 ABK yang berhasil

melarikan diri tersebut, melaporkan masalahnya kepada pihak kepolisian

Selandia Baru. Kemudian, kepolisian setempat menindaklanjuti dengan

melaporkan kepada pihak Kedutaan Besar RI di Wellington, New Zealand

(NZ) Imigration Service, Labour Departemen of New Zealand dan NZ

Maritime Union. (Diperlakukan tidak manusiawi, 10 WNI Kabur dari Kapal

Korea, Ismoko Widyaya, 2005)

Ini membuktikan bahwa hak-hak dan keselamatan ABK tidak

terlindungi dengan baik, terutama bagi ABK Indonesia dan memerlukan

upaya perlindungan hukum terhadap hak-hak dan keselamatan kerja

mereka. Dengan demikian ABK selain dapat dilihat dari sudut pandang

yang sempit yakni hanya sekedar beberapa orang yang bertugas di atas

Page 10: Proposal Dedi Irsad

kapal sebagai pekerja/buruh pada pihak pengusaha/majikan kapal.

Namun dapat pula dilihat dari sudut pandang yang luas, yang dalam

kedudukannya tercakup peranannya sebagai salah satu komponen bagi

persyaratan keamanan dan keselamatan kapal selama dalam pelayaran.

Dari dasar inilah, penulis berkeinginan untuk membahas dalam

suatu karya ilmiah agar diperoleh suatu gambaran dari hubungan

perjanjian kerja laut dengan keselamatan kerja ABK.

2. Rumusan Masalah

Melihat latar belakang masalah di atas maka penulis dapat

merumuskan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana hubungan hukum Perjanjian Kerja Laut (PKL) dengan

perjanjian kerja pada umumnya telah sesuai dengan Undang-

Undang Ketenagakerjaan yang berlaku ?

2. Bagaimanakah efektivitas pelaksanaan perjanjian kerja laut

terhadap keselamatan kerja ABK ?

3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai dengan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui hubungan hukum Perjanjian Kerja Laut (PKL)

dengan perjanjian kerja pada umumnya telah sesuai dengan

Undang-Undang Ketenagakerjaan yang berlaku.

2. Untuk mengetahui efektivitas pelaksanaan perjanjian kerja laut

terhadap keselamatan kerja ABK.

Page 11: Proposal Dedi Irsad

Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah:1. Kegunaan Teoritis, yakni diharapkan dapat berguna bagi

pengembangan ilmu hukum pada umumnya dan ilmu hukum di

bidang perdata pada khususnya.

2. Kegunaan Praktis, yakni diharapkan tulisan ini berguna bagi pihak

yang berkecimpung dalam bidang pelayaran.

4. Tinjauan Pustaka

4.1. Pengertian Perjanjian Kerja Laut

Sebelum penulis membahas perjanjian kerja laut, maka terlebih

dahulu penulis mamberi pengertian apa sesungguhnya yang diartikan

perjanjian itu.

C. T. Kansil (1985:188) memberi pengertian perjanjian sebagai

berikut “Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana pihak yang satu

berjanji kepada pihak yang lain untuk melaksanakan suatu hal”.

Sedangkan menurut R. Subekti (2002) “Perjanjian adalah suatu

peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua

orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal”.

Berdasarkan kedua rumusan tersebut di atas, dapat disimpulkan

bahwa suatu perjanjian diadakan oleh dua pihak atau lebih yang

menimbulkan hak kepada satu pihak dan memberi kewajiban kepada

pihak lain. Kedua pengertian tersebut, dapat memberi gambaran

tentang pengertian perjanjian kerja dan pengertian perjanjian kerja laut

yang akan dibicarakan selanjutnya.

Page 12: Proposal Dedi Irsad

Pengertian perjanjian kerja menurut Pasal 1601 (a) KUH Perdata

sebagai berikut:

“Perjanjian kerja adalah suatu persetujuan bahwa pihak ke satu, yaitu buruh, mengikatkan diri untuk menyerahkan tenaganya kepada pihak lain, yaitu majikan, dengan upah selama waktu yang tertentu”.

Undang-undang No. 13 tahun 2003, tentang Ketenagakerjaan

Pasal 1 angka 14 memberikan pengertian yakni:

“Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak”.

Berdasarkan rumusan Undang-Undang No. 13 Tahun 2003

tentang Ketenagakerjaan, KUH Perdata, dan pendapat ahli hukum C. T.

Kansil dan R. Subekti mengenai perjanjian kerja, ternyata bahwa

rumusan-rumusan tersebut mengandung unsur-unsur yang sama, yaitu

dengan diadakannya perjanjian kerja maka timbullah hubungan antara

majikan dan buruh yang menunjukkan kedudukan hukum kedua belah

pihak yang pada dasarnya memberikan hak kepada buruh untuk

menerima upah atas penunaian kerja sesuai waktu yang telah

disepakati dan memberikan kewajiban kepada majikan untuk membayar

upah atas penunaian kerja oleh buruh.

Setelah mendapat gambaran yang jelas tentang perjanjian kerja,

maka penulis akan masuk pada pengertian perjanjian kerja laut sebagai

suatu bentuk perjanjian kerja yang bersifat khusus. Tentang pengertian

perjanjian kerja laut telah ditentukan dalam Kitab Undang-undang

Page 13: Proposal Dedi Irsad

Hukum Dagang Buku II, title 4 bagian pertama. Dimana pengertian

perjanjian kerja laut terdapat dalam Pasal 395 KUH Dagang yaitu:

“Yang dinamakan perjanjian kerja laut ialah perjanjian yang dibuat antara seorang pengusaha kapal disatu pihak dan seorang buruh dipihak lain, dengan mana pihak tersebut terakhir menyanggupi untuk dibawah perintah pengusaha itu melakukan pekerjaan dengan mendapat upah, sebagai nakhoda atau anak- kapal”.

Jika dibandingkan dengan pengertian yang disebut dalam Pasal

1601 (a) KUH Perdata, jelas bahwa perjanjian kerja laut apabila

dihubungkan dengan perjanjian kerja pada umumnya, adalah termasuk

dalam pengertian perjanjian kerja yang bersifat khusus. Kekhususannya

ialah karena dalam perjanjian kerja laut ditegaskan macam

pekerjaannya, apakah sebagai nakhoda atau anak buah kapal.

Sedangkan pada perjanjian kerja pada umumnya yang bersumber pada

Pasal 1601 (a) KUH Perdata tidak dijumpai penunjukan atau penetapan

macam pekerjaan yang akan dilakukan oleh si buruh.

Perjanjian kerja laut menurut Pasal 1 (5) Peraturan Pemerintah

Republik Indonesia No. 7 Tahun 2000 “Perjanjian Kerja Laut adalah

perjanjian kerja perorangan yang ditandatangani oleh pelaut Indonesia

dengan pengusaha angkutan di perairan”.

4.2. Pihak-Pihak yang Terkait dalam Perjanjian Kerja Laut

Secara umum diketahui bahwa dalam suatu perjanjian terdapat

dua orang atau dua pihak yang mengadakan hubungan hukum untuk

Page 14: Proposal Dedi Irsad

melaksanakan suatu prestasi, jadi dalam suatu perjanjian senantiasa

melibatkan lebih dari satu orang atau pihak yaitu pihak ketiga dengan

kedudukan tertentu pula. Demikian halnya dengan perjanjian kerja laut,

dengan melihat pengertian perjanjian laut yang telah penulis kemukakan

dapat ditentukan dua pihak yang menyelenggarakan perjanjian kerja

laut yaitu:

a. Pengusaha kapal selaku majikan di satu pihak,

b. Nakhoda dan anak buah kapal selaku buruh dipihak lain.

Sebagai mana yang telah diuraikan terlebih dahulu bahwa

perjanjian kerja laut yang dilakukan antara pengusaha kapal dengan

anak buah kapal (Kelasi) disyaratkan harus diselenggarakan dihadapan

seorang pegawai yang ditunjukkan oleh pihak yang berwenang. Yang

dimaksud dengan wakil pemerintah yang berwenang disini adalah yang

ikut terlibat dalam proses pembuatan dan pelaksanaan perjanjian kerja

laut. Jadi dengan demikian pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian

kerja laut adalah:

1. Pemilik selaku pengusaha kapal,

2. Nakhoda,

3. Anak buah kapal,

4. Syahbandar,

Untuk memperjelas pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian

kerja laut ini maka penulis akan menguraikan satu persatu.

Page 15: Proposal Dedi Irsad

1. Pengusaha Kapal

Pengertian pengusaha kapal dapat dilihat dalam Pasal 320

KUH Dagang yang dirumuskan:

“Pengusaha kapal adalah dia, yang memakai sebuah kapal guna pelayaran di laut dan mengemudikannya sendiri atau suruh mengemudikannya oleh seorang nakhoda yang bekerja padannya”.

Oleh karena praktek dalam dunia perkapalan makin lama

makin banyak memperlihatkan keadaan, bahwa yang

mengusahakan pelayaran tidak lain adalah para pihak pengusaha

kapal, maka Pasal 320 KUH Dagang diubah sedemikian rupa.

Bahwa sekarang hanya diatur hal pemakai atau pengusaha kapal,

dengan tidak dipedulikan apakah si pemakai itu adalah sipemilik

kapal atau bukan, ataukah hanya seorang penyewa kapal.

Berdasarkan hal tersebut pengusaha kapal dalam mengoprasikan

sebuah kapal tidak bertindak sebagai:

a. Pemilik kapal,

b. Penyewa, atau

c. Pencarter kapal.

Bahwa usaha penyelenggaraan angkutan pelayaran hanya

terdiri atas 2 usaha pelayaran yaitu:

a. Usaha Pelayaran Dalam Negeri

b. Usaha Pelayaran Luar Negeri

Page 16: Proposal Dedi Irsad

Kemudian untuk menjalankan perusahaan pelayaran

ditentukan syarat-syarat sebagaimana dinyatakan dalam

Keputusan Menteri No. 79 Tahun 1988 tentang “Tata Cara

Permohonan dan Pemberian Izin Usaha Pelayaran” yang pada

Pasal 2 menyebutkan bahwa:

a. Merupakan Badan Usaha Milik Negara termasuk Badan

Usaha Milik Daerah yang salah satu usahanya adalah

angkutan laut, atau Badan Hukum Indonesia yang berbentuk

PT. yang didirikan Khusus untuk usaha ini.

b. Memiliki atau menguasai sekurang-kurangnya sebuah kapal

yang laik laut berbendera Indonesia.

c. Bagi perusahaan pelayaran patungan antara pengusaha

pelayaran nasional dengan perusahaan pelayaran asing,

wajib memiliki sekurang-kurangnya sebuah kapal yang laik

laut berbendera Indonesia.

d. Mempunyai Nomor Pembayaran Wajib Pajak (NPWP).

Persyaratan tersebut menunjukkan bahwa dalam hal

pengoperasian kapal di laut oleh pengusaha kapal, ditegaskan

“Kapal Harus Laik Laut” karena hal ini sangat penting untuk

menjamin keselamatan kapal dalam pelayaran dan sekaligus

menjamin keamanan dan keselamatan para penumpang dan

muatan yang diangkut.

Page 17: Proposal Dedi Irsad

2. Nakhoda

Dalam mengoprasikan kapal untuk pelayaran selalu

mempekerjakan seorang yang bertanggung jawab terhadap kapal

dengan segala isinya kepadanya diserahkan sepenuhnya semua

tugas yang berhubungan dengan pelayaran tersebut. Orang itu

berdasarkan perjanjian kerja laut diberi kedudukan sebagai

nakhoda, kapten kapal atau pemimpin kapal.

Menurut Pasal 342 KUH Dagang:

“Sedemikian pemimpin kapal nakhoda harus mengambil sikap dan bertindak sesuai kecakapan dan kecermatan serta kebijaksanaan yang demikian sebagaimana diperlukan untuk melakukan tugasnya”.

Pengertian nakhoda menurut Pasal 55 UU No. 21 Tahun 1992

tentang Pelayaran:

“Nakhoda merupakan pemimpin di atas kapal yang memiliki wewenang penagakan hukum dan bertanggung jawab atas keselamatan,keamanan dan ketertiban kapal, pelayar dan barang muatan yang menjadi kewajibannya”.

Oleh karena itu seorang nakhoda dituntut untuk mempunyai

keahlian dan kecakapan khusus untuk mempunyai sebuah kapal.

Selain itu nakhoda diwajibkan pula mengikuti dengan teliti

kebiasaan dan peraturan yang ada untuk menjamin kelaikan

mengarungi laut demi keselamatan kapal, keselamatan para

penumpang dan muatan yang diangkutnya. Nakhoda tidak boleh

melakukan perjalanan, kecuali apabila kapal telah memenuhi

Page 18: Proposal Dedi Irsad

syarat untuk melakukan perjalanan itu, dilengkapi dengan pantas

dan dianakbuahi secukupnya.

Walaupun nakhoda berfungsi sebagai pemimpin kapal, ia

tetap merupakan buruh dan harus mengikuti perintah dan serta

instruksi dari pihak pengusaha kapal sebagai majikannya. Namun

demikian sesuai dengan Pasal 58 UU No. 21 Tahun 1992 tentang

Pelayaran, maka nakhoda sebagai buruh berhak untuk menolak

perintah atau instruksi yang bertentangan dengan kewajibannya

untuk menunaikan tugas yang pantas. Dalam hal ini dijumpai hal

yang mungkin membahayakan keselamatan berlayar, nakhoda

dapat menyimpang dari rute dan/atau garis haluan (Track) yang

telah ditetapkan, walaupun tindakan tersebut akan menambah

biaya oprasional dan lama perjalanan.

Maka berdasarkan atas kebijakannya, nakhoda dapat

meminta agar terhadap kapal tersebut diadakan pemeriksaan alat

beban biaya pihak pengusaha kapal.

Berdasarkan uraian tersebut, nampak bahwa sebagai buruh

nakhoda mempunyai kedudukan yang istimewa, oleh karena

nakhoda dipandang sebagai orang yang paling bertanggung jawab

terhadap keselamatan kapal dan pelayaran sebagai majikan.

Untuk itu nakhoda harus memiliki keterampilan, pengetahuan dan

keahlian dalam bidang pelayaran.

Page 19: Proposal Dedi Irsad

Selain pemimpin di atas kapal nakhoda mempunyai tugas

khusus yaitu membuat buku harian yang di dalamnya memuat,

yakni:

a. Membuat catatan setiap kelahiran.

b. Membuat catatan setiap kematian.

c. Menyaksikan dan mencatat surat wasiat.

Hubungan kerja anak buah kapal dengan pemilik atau

operator kapal serta hak dan kewajibannya diselenggarakan

sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Nakhoda berwenang mengenakan tindakan disiplin atas

pelanggaran yang dilakukan setiap anak buah kapal yang

melakukan tindakan:

a. Meninggalkan kapal tanpa izin nakhoda.

b. Tidak kembali kekapal pada waktunya.

c. Menolak perintah penugasan.

d. Tidak melaksanakan tugas dengan baik.

e. Berprilaku tidak tertib.

f.Berprilaku tidak layak pada seseorang.

Persyaratan kerja di kapal menurut Peraturan Pemerintah

No.7 Tahun 2000 tentang Kepelautan, yakni:

1. Memiliki sertifikat keahlian pelaut dan atau sertifikat

keterampilan pelaut,

2. Berumur sekurang-kurangnya 18 tahun,

Page 20: Proposal Dedi Irsad

3. Sehat jasmani maupun rohani berdasarkan hasil

pemeriksaan kesehatan yang khusus dilakukan untuk itu,

4. Disijil.

Nakhoda atau pemimpin kapal wajib memenuhi persyaratan

pendidikan dan pelatihan kemampuan serta keterampilan dan

kesehatan.

3. Anak Buah Kapal

Pengertian anak buah kapal dapat dilihat pada Pasal 1 (14)

UU No. 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran yang berbunyi “Anak

buah kapal adalah awak kapal selain nakhoda atau pemimpin

kapal”. Bertolak dari rumusan tersebut di atas, dapat disimpulkan

bahwa untuk mengusahakan pelayaran kapal harus ada daftar

awak kapal (Monsterrol) yang dibuat dan disyahkan oleh

syahbandar. Kewajiban ini terdapat dalam Pasal 61 (1) UU No. 21

Tahun 1992 tentang Pelayaran yaitu “Dilarang mempekerjakan

seseorang di kapal dalam jabatan apapun tanpa disijil dan tanpa

memiliki kemampuan serta dokumen pelaut yang dipersyaratkan”.

Harus dibuat suatu daftar dari semua orang yang melakukan dinas

sebagai anak buah kapal dan pengawas yang berwenang dalam

hal ini adalah syahbandar.

Page 21: Proposal Dedi Irsad

Anak buah kapal wajib mentaati nakhoda atau pemimpin

kapal secara tepat dan cermat dan dilarang meninggalkan

kapalnya tanpa seizin nakhoda atau pamimpin kapal.

Hubungan hukum antara pengusaha kapal yang

berkedudukan sebagai majikan dengan anak buah kapal yang

berkedudukan sebagai buruh adalah didasarkan pada perjanjian

kerja laut yang telah disepakati bersama.

Untuk itu bagi anak buah kapal yang hendak bekerja di atas

kapal, khususnya para perwira kapal dituntut memiliki

pengetahuan, ketrampilan dan keahlian dalam bidang masing-

masing, agar dapat menjamin keamanan dan keselamatan kapal

dalam pelayaran.

Dengan demikian jelas bahwa anak buah kapal adalah

buruh pada pihak pengusaha kapal yang berkedudukan sebagai

perwira atau kelasi dan juga merupakan salah satu faktor bagi

kelaikan kapal yang berlayar.

4. Syahbandar

Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa

perjanjian kerja laut dibuat antara anak buah kapal (kelasi) dengan

pengusaha kapal, atas ancaman batal harus dibuat secara tertulis

dan dilaksanakan dihadapan pihak yang berwenang yaitu

Syahbandar. (Pasal 400 ayat (1) KUH Dagang.)

Page 22: Proposal Dedi Irsad

Kemudian sebelum anak buah kapal melaksanakan

tugasnya di atas kapal terlebih dahulu nama-nama mereka di

daftar dalam daftar anak buah kapal yang harus dibuat dihadapan

pegawai pendaftar awak kapal (Pasal 375 KUH Dagang). Pegawai

tersebut yang dalam hal ini adalah syahbandar, membuat sijil

awak kapal (Monsterrol) atas permintaan pengusaha kapal yang

biasanya diwakili oleh nakhoda atau mualim yang diserahi tugas

untuk itu. “Sijil” adalah daftar nama ABK yang bertugas di kapal,

yang disahkan oleh syahbandar. Dalam Sijil Awak Kapal

dimasukkan semua perwira kapal dan anak buah kapal bawahan

(Kelasi) yang sudah menandatangani perjanjian kerja laut (PKL)

dengan pengusaha kapal.

4.3. Syarat Sahnya Perjanjian Kerja Laut

Secara umum apabila kita perhatikan Pasal 1320 KUH Perdata

maka untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat yaitu:

1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

3. Suatu pokok persoalan tertentu;

4. Suatu sebab yang tidak terlarang.

Dua syarat yang pertama yakni syarat 1 dan 2, dinamakan Syarat

Subjektif karena mengenai orang-orang atau subjek yang mengadakan

perjanjian, sedangkan dua syarat yang terakhir yakni 3 dan 4,

Page 23: Proposal Dedi Irsad

dinamakan Syarat Objektif kerena mengenai perjanjian sendiri oleh

objek dari perbuatan hukum yang dilakukannya itu.

Mengenai syarat subjektif, jika syarat itu tidak terpenuhi maka

perjanjian itu dapat dibatalkan oleh satu pihak. Pihak tersebut yang

paling cakap atau pihak yang memberikan sepakatnya secara tidak

bebas.

Dalam hal syarat objektif tidak dipenuhi, maka perjanjian itu batal

demi hukum, maksudnya dari semula dianggap tidak pernah dilahirkan

suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan. Tujuan para

pihak untuk melahirkan suatu perikatan hukum adalah gagal, maka tidak

ada dasar untuk saling menuntut di depan hakim.

Perjanjian kerjan laut mempunyai persamaan dengan perjanjian

perburuhan pada umumnya, yakni dengan diadakannya perjanjian kerja

maka timbullah hubungan hukum antara seorang buruh dengan majikan

yang memberikan hak kepada buruh untuk menerima upah atas

penunaian kerja dan penunaian kewajiban kepada majikan untuk

membayar upah atas penunaian kerja oleh buruh, sesuai waktu kerja

yang telah disepakati bersama.

Setiap pelaut yang akan disijil harus memiliki Perjanjian Kerja

Laut yang masih berlaku. Perjajian Kerja Laut itu harus memuat hak-hak

dan kewajiban dari masing-masing pihak dan memenuhi ketentuan

peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berikut akan diuraikan

hak dan kewajiban dari masing-masing pihak seperti tercantum dalam

Page 24: Proposal Dedi Irsad

Pasal 18 Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 2000 tentang Kepelautan,

yaitu:

a. Hak pelaut yaitu menerima gaji, upah lembur, uang pengganti hari-

hari libur, uang delegasi, biaya pengangkutan dan upah saat

berakhirnya pekerjaan, pertanggungan untuk barang-barang milik

pribadi yang dibawa dan kecelakaan pribadi serta perlengkapan

untuk musim dingin, dan dimusim dingin di wilayah yang suhunya

15 derajat Celcius atau kurang yang berupa pakaian dan peralatan

musim dingin.

b. Kewajiban pelaut yaitu melaksanakan tugas sesuai dengan jam

kerja yang ditetapkan dalam perjanjian, menanggung biaya yang

timbul karena kelebihan barang bawaan di atas batas ketentuan

yang ditetapkan oleh perusahaan, mematuhi perintah nakhoda,

meminta izin kepada nakhoda ketika ingin turun ke darat,

melakukan tugas tambahan atau lembur jika dianggap perlu oleh

nakhoda dan bekerja sesuai dengan jangka waktu perjanjian.

Dalam perbuatan perjanjian kerja laut selalu disyaratkan secara

tertulis. Jika tidak tertulis, maka perjanjian tersebut dapatlah dibatalkan.

Mengenai persyaratan tertulis ini, dibedakan antara perjanjian yang

diadakan oleh pengusaha kapal dengan nakhoda atau perwira kapal

dan perjanjian antara pengusaha kapal dan anak buah kapal.

Page 25: Proposal Dedi Irsad

Pelaut Indonesia dapat bekerja dikapal Indonesia dan/atau kapal

asing sesuai dengan sertifikat keahlian pelaut atau sertifikat

keterampilan pelaut yang dimilikinya.

4.4. Konsep Anak Buah Kapal Sebagai Buruh

Sebagaimana telah dibahas dalam pembahasan sebelumnya,

awak kapal termasuk dalam hukum perburuhan, ini ditinjau dari segi

perjanjian kerja yang diadakan, yaitu antara anak buah kapal (ABK)

dengan pihak pengusaha. Istilah buruh sangat populer dalam dunia

perburuhan/ketenagakerjaan, selain dari zaman penjajahan Belanda

juga peraturan perundang-undangan yang lama (sebelum Undang-

Undang No. 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan) menggunakan

istilah buruh.

Istilah perburuhan itu adalah suatu kejadian dimana seseorang,

biasanya disebut buruh, bekerja pada orang lain biasanya disebut

majikan, dengan menerima upah, sekaligus mengenyampingkan

persoalan antara pekerjaan bebas dan pekerjaan yang dilakukan di

bawah pimpinan (bekerja pada orang lain) dan mengenyampingkan pula

persoalan antara pekerjaan dan pekerja.

Secara yuridis buruh adalah memang bebas, oleh karena prinsip

negara kita adalah bahwa seorang pun boleh diperbudak atau

diperhambakan. Sedangkan secara sosiologis buruh adalah tidak

bebas, sebab sebagai orang yang tidak mempunyai bekal hidup selain

Page 26: Proposal Dedi Irsad

dari pada tenaganya itu, ia terpaksa untuk bekerja pada orang lain dan

majikan inilah yang pada dasarnya menentukan syarat-syarat kerja.

(G.Kartasapoetra, 1998:18)

Hak-hak Warga Negara untuk mendapatkan perlindungan

merupakan hak-hak positive (POSITIVE RIGHTS), yang dalam

pengertiannya wajib dipenuhi secara aktif dan maksimal oleh negara.

Kelemahan negara di dalam memenuhi hak-hak serta melindungi warga

negaranya sendiri adalah suatu Kejahatan Pembiaran (Violence by

Omission). Komitmen dan kemauan politik dari negara sangat

menentukan sekali dalam melaksanakan tiap-tiap kebijakan yang

dikeluarkan sehubungan dengan perlindungan kewarganegaraan.

Landasan hukum Perjanjian Kerja Laut yang termasuk dalam

bidang hukum perburuahan terdapat dalam Pasal 27 ayat (2) Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang

menyatakan bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan

penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”.

Ketentuan tersebut selanjutnya dituangkan dalam Pasal 2 BAB IV

Pembangunan Ekonomi, Undang-Undang No. 25 tahun 2000 tentang

Program Pembangunan Nasional Tahun 2000-2004, ekonomi antara

lain dikatakan bahwa:

“Pembangunan ketenagakerjaan bertujuan untuk menyediakan lapangan kerja dan lapangan usaha bagi setiap angkatan kerja sehingga dapat memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, sesuai dengan UUD 1945, Pasal 27, Ayat 2 dan merupakan ciri dari sistem ekonomi kerakyatan.

Page 27: Proposal Dedi Irsad

Masalah yang dihadapi dalam pembangunan ketenagakerjaan, antara lain, adalah tingginya tenaga kerja yang menganggur dan setengah menganggur, masih rendahnya kualitas dan produktivitas tenaga kerja, dan belum memadainya perlindungan terhadap tenaga kerja termasuk tenaga kerja di luar negeri.”

Bertolak dari ketentuan tersebut di atas menunjukkan betapa

pentingnya tenaga kerja bagi kehidupan bangsa dan tentunya

menentukan hidup dan matinya bangsa itu sendiri sehingga diperlukan

pengaturan tenaga kerja yang sebaik-baiknya.

Peraturan perundang-undangan dalam bidang perburuhan yang

dapat dijadikan dasar hukum dalam pelaksanaan Perjanjian Kerja Laut,

karena hal ini dapat dilihat adanya hubungan yang erat dengan melihat

bahwa nakhoda dan anak buah kapal adalah merupakan buruh yang

bekerja di atas kapal. Dengan demikian masalah Perjanjian Kerja Laut

tidak dapat mengesampingkan aturan perjanjian perburuhan yang pada

dasarnya mempunyai ruang lingkup berlaku juga tenaga kerja yang

bekerja di atas kapal.

Suatu perjanjian kerja yang dilakukan antara buruh dan majikan

yang melahirkan hubungan kerja antara kedua belah pihak tersebut

akan menimbulkan hak dan kewajiban secara timbal balik terhadap

perjanjian perburuhan yang telah penulis kemukakan di atas bertujuan

untuk menghubungkannya dengan pelaksanaan perjanjian kerja laut,

karena dalam rangka perlindungan para pelaut, telah dibuat suatu

perjanjian antara Kesatuan Pelaut Indonesia (KPI) dengan Indonesia

Shipowner Assosiation (INSA) yang mencakup masalah makanan,

Page 28: Proposal Dedi Irsad

biaya bersalin, tunjangan kematian, kecelakaan, jam kerja dan cuti

tahunan.

Adanya perjanjian perburuhan antara KPI dan INSA pada

hakekatnya merupakan upaya peningkatan kesejahteraaan para pelatu

sekaligus memberikan perlindungan hukum bagi kedua belah pihak,

termasuk juga pelayanan kesehatan.

Selain itu pula perjanjian antara Kesatuan Pelaut Indonesia (KPI)

dengan Foreign Shipowner Assosiation (FSEA) yang mencakup

pengupahan, pemeriksaan kesehatan para buruh yang bekerja di laut.

Perjanjian kerja laut mencakup juga mereka yang melaksanakan:

a. Perjanjian Kerja Laut bagi anak kapal yang bekerja pada kapal

milik perusahaan dalam negeri (berbendara Indonesia);

b. Perjanjian Kerja Laut bagi anak kapal yang bekerja pada kapal

perusahaan asing (berbendara asing). (Poerwosujipto, H. M. N.,

1993:183).

4.5. Pemutusan Hubungan Kerja Laut

Seperti halnya dengan hubungan kerja pada perusahaan pada

umumnya, maka pemutusan hubungan kerja di perusahaan pelayaran

dapat terjadi dengan beberapa alasan yang dapat dibenarkan oleh

peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu berdasarkan KUH

Perdata dan KUH Dagang.

Page 29: Proposal Dedi Irsad

Dengan demikian pemutusan hubungan kerja dapat dilakukan

oleh siapa saja yang berkerja di kapal. Kemudian hal yang sangat

penting yang harus dilakukan oleh perusahaan perlayaran adalah

memenuhi ketentuan Pasal 1638 (a) KUH Perdata. Pasal tersebut

menentukan perusahaan pelayaran pada tiap akhir perjanjian kerja laut

wajib memberikan “Surat Keterangan Berhenti”. Dimana surat itu dapat

dipergunakan sebagai pelangkap persyaratan bila mereka mencari

pekerjaan lagi.

Djoko Triyanto (2005:189) menerangkan tentang isi surat

keterangan berhenti tersebut mencantumkan dengan sebenarnya

mengenai:

a. Macam dan jenis pekerjaan yang telah dilakukan;

b. Lamanya bekerja;

c. Bukti diri kepelautan;

d. Konduite (Perilaku);

e. Alasan pemutusan hubungan kerja; dan

f. Tanggal dan tanda tangan.

Secara umum pemutusan hubungan kerja berdasarkan parjanian

kerja laut dapat dibedakan dalam 4 (empat) kelompok yang nanti akan

dipaparkan, namun ketentuan-ketentuan pokok yang harus dipahami

dan diperhatikan oleh para pihak dalam hal ini pelaut dan pengusaha

pelayaran sebagai mana terdapat dalam Pasal 26 dan Pasal 27

Page 30: Proposal Dedi Irsad

Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 2000 tentang Kepelautan, yang

menyebutkan:

(1) Awak kapal yang habis masa kontrak kerjanya harus dikembalikan

ke tempat domisilinya atau ke pelabuhan di tempat perjanjian kerja

laut ditandatangani;

(2) Jika awak kapal memutuskan hubungan kerja atas kehendak

sendiri, pengusaha angkutan di perairan dibebaskan dari

kewajiban pembiayaan untuk pemulangan yang bersangkutan;

(3) Apabila masa kontrak dari awak kapal habis masa berlakunya

pada saat kapal dalam pelayaran, awak kapal yang bersangkutan

diwajibkan meneruskan pelayaran sampai di pelabuhan pertama

yang disinggahi dengan mendapat imbalan upah dan

kesejahteraan sejumlah hari kelabihan dari masa kontrak;

(4) Biaya-biaya sebagai mana dimaksud dalam angka (1) dan angka

(3), merupakan tanggungan pengusaha angkutan di perairan, yang

meliputi biaya-biaya pemulangan, penginapan, dan makanan sejak

diturunkan dari kapal sampai tiba di tempat domisilinya;

(5) Apabila terjadi pemutusan hubungan kerja oleh pengusaha

angkutan di perairan karena kapal musnah atau tenggelam,

pengusaha angkutan di perairan wajib membayar pesangon

kepada awak kapal yang bersangkutan sebesar 2 (dua) kali

penghasilah bulan terakhir dan hak lainnya sesuai dengan

ketentuan yang berlaku;

Page 31: Proposal Dedi Irsad

(6) Apabila terjadi pemutusan hubungan kerja oleh pengusaha

angkutan di perairan karena kapal diangsurkan, atau dijual,

pengusaha angkutan di perairan wajib membayar pesangon

kepada awak kapal sesuai peraturan perundang-undangan yang

berlaku;

Pemutusan hubungan kerja laut dapat dibedakan dalam 4

(empat) kelompok, yaitu;

1. Pemutusan Hubungan Kerja Karena Alasan Umum

Pemutusan hubungan kerja karena alasan umum (wajar)

yang dimaksudkan ialah alasan yang sering terjadi atau digunakan

untuk melakukan permutusan hubungan kerja pada umumnya.

Adapun alasan itu antara lain:

a. Waktu perjanjian kerja berakhir/habis;

b. Tenaga kerja di kapal meninggal dunia (Pasal 1603 (j) KUH

Perdata);

c. Persetujuan kedua belah pihak (Pasal 1603 KUH Perdata);

d. Jika perjanjian kerja yang dilakukan tidak sah. Tidak sah

disini berarti tidak dipenuhinya syarat-syarat sebagaimana

diatur Pasal 1320 KUH Perdata.

e. Jika salah satu pihak tidak setuju dalam jangka waktu

percobaan, yaitu selama tiga bulan;

f. Perusahaan pelayaran terkena likuidasi.

Page 32: Proposal Dedi Irsad

2. Pemutusan Hubungan Kerja Karena Alasan Mendesak

Ketantuan yang mengatur alasan mendesak tersebut

terdapat pada Pasal 1630 KUH Perdata dan Pasal 418 KUH

Dagang.

Bagi perusahaan pelayaran dengan alasan mendesak

sebelum masa kontrak dari awak kapal habis masa berlakunya

dan diatur pada Pasal 1630 KUH Perdata, yaitu:

1. Jika Buruh, waktu mengadakan perjanjian, mengelabui

majikan dengan memperlihatkan surat-surat yang palsu atau

dipalsukan, atau segaja memberi penjelasan-penjelasan

palsu pada majikan mengenai cara berakhirnya hubungan

kerja lama;

2. Jika ia ternyata, tidak mempunyai kemampuan atau

kesanggupan sedikit-pun untuk pekerjaan yang telah

dijanjikannya;

3. Jika ia telah diperingatkan, masih mengikuti kesukaannya

minum sampai mabuk, mengisap madat di luar atau suka

melakukan perbuatan buruk lain;

4. Jika ia melakukan pencurian, penggelapan, penipuan atau

kejahatan lainnya yang mengakibatkan ia tidak lagi

mendapatkan kepercayaan dari majikan;

Page 33: Proposal Dedi Irsad

5. Jika ia menganiaya, menghina secara kasar atau melakukan

ancaman yang membahayakan majikan, anggota keluarga

atau anggota rumah tangga majikan atau teman sekerjanya;

6. Jika ia membujuk atau mencoba membujuk majikan, anggota

keluarga atau anggota rumah tangga majikan, atau teman

sekerjanya, untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang

bertentangan dengan Undang-undang atau kesusilaan;

7. Jika ia dengan sengaja atau meskipun telah diperingatkan,

dengan semberono merusak milik majikan atau menimbulkan

bahaya yang sungguh-sungguh mengancam milik majikan

itu;

8. Jika ia dengan sengaja atau meskipun telah diperingatkan

dengan semberono menempatkan dirinya sendiri atau orang

lain dalam keadaan terancam bahaya besar;

9. Jika mengumumkan seluk-beluk rumah tangga atau

perusahaan majikan, yang seharusnya ia rahasiakan;

10. Jika ia bersikeras menolak memenuhi perintah-perintah wajar

yang diberikan oleh atau atas nama majikan;

11. Jika ia dengan cara lain terlalu melalaikan kewajiban-

kewajiban yang dibebankan kepadanya oleh perjanjian;

12. Jika ia karena sengaja atau semberono menjadi tidak mampu

melakukan pekerjaan yang dijanjikan.

Page 34: Proposal Dedi Irsad

Sedangkan khusus untuk nakhoda menurut ketentuan

Pasal 411 KUH Dagang harus ditambah dengan alasan-alasan

yang mendesak dapat pula dianggap ada:

1. Apabila nakhoda menganiaya seorang penumpang kapal

yang dipimpinnya, menghina secara kasar, atau

mengancamnya dengan sungguh-sungguh atau

membujuknya maupun mencoba membujuknya unuk

melakukan perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan

undang-undang atau kesusilaan baik;

2. Apabila nakhoda menolak untuk mentaati suatu perintah

yangdiberikan kepadanya menurut ketentuan Pasal 408

(KUHD);

3. Apabila nakhoda, baik sementara, baik untuk selamanya

dipecat dan kekuasaannya untuk bekerja sebagai demikian

disebuah kapal;

4. Apabila nakhoda, diluar pengetahuan pengusaha telah

membawa barang selundupan kekapal atau telah

mengizinkan dibawanya barang-barang itu kekapal.

Alasan-alasan yang mendesak tersebut, selain dapat

digunakan untuk memutuskan hubungan kerja anak buah kapal,

juga dapat digunakan sebagai alasan yang mendesak untuk

memutuskan hubungan kerja dengan nakhoda.

Page 35: Proposal Dedi Irsad

Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa

berdasarkan alasan yang mendesak, si buruh dapat pula

mengakhiri perjanjian kerja laut yang telah dibuatnya sebelum

habis masa kontrak kerja lautnya. Hal ini merupakan pertimbangan

dari pada hak pengusaha kapal untuk menghentikan hubungan

kerja dengan buruh tersebut. Adapun alasan-alasan yang

mendesak yang dapat dipakai oleh si buruh untuk mebatalkan atau

mengakhiri hubungan kerja dengan pengusaha kapal tercantum

dalam Pasal 1603p KUH Perdata dan Pasal 419 KUH Dagang.

Adapun alasan-alasan mendesak bagi nakhoda atau anak buah

kapal itu antara lain:

1. Jika majikan menganiaya, menghina secara kasar atau

melakukan ancaman yang membahayakan buruh, anggota

keluarga atau anggota rumah tangga buruh, atau

membiarkan perbuatan semacan itu dilakukan oleh anggota

rumah tangga atau buruh lain bawahannya;

2. Jika ia membujuk atau mencoba membujuk buruh, anggota

keluarga atau anggota rumah tangga buruh untuk melakukan

perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang atau

kesusilaan atau membiarkan pembujukan atau percobaan

pembujukan semacam itu dilakukan oleh anggota rumah

tangga atau buruh lain bawahannya;

3. Jika ia tidak membayar upah pada waktunya;

Page 36: Proposal Dedi Irsad

4. Jika, dalam hal makan dan pemondokan dijanjikan, ia tidak

memenuhinya secara layak;

5. Jika ia tidak memberikan cukup pekerjaan kepada buruh

yang upahnya ditetapkan berdasarkan hasil pekerjaan yang

dilakukan;

6. Jika ia tidak memberikan atau tidak cukup memberikan

bantuan, yang dijanjikan kepada buruh yang upahnya

ditetapkan berdasarkan hasil pekerjaan yang dilakukannya;

7. Jika ia dengan jalan lain terlalu melalaikan kewajiban-

kewajiban yang dibebankan kepadanya oleh perjanjian;

8. Jika ia, dalam hal yang tidak diwajibkan oleh sifat hubungan

kerja, menyuruh buruh, meskipun buruh menolak, untuk

melakukan pekerjaan di perusahaan seseorang majikan lain;

9. Jika hubungan kerja dapat menimbulkan bahaya besar yang

mengancam jiwa, kesehatan, kesusilaan atau nama baik

buruh, yang tidak melihat pada waktu pembuatan perjanjian;

10. Jika buruh, karena sakit atau karena alasan-alasan lain di

luar salahnya menjadi tidak mampu malakukan pekerjaan

yang dijanjikan itu;

11. Apabila pengusaha menetapkan supaya kapalnya berlayar

kesuatu pelabuhan dari suatu negara yang sedang terlibat

dalam suatu perang-laut, atau kesuatu pelabuhan yang

dikepung, kecuali apabila itu dengan tegas disebutkan di

Page 37: Proposal Dedi Irsad

dalam perjanjian-kerjanya dan perjanjian itu ditutup setelah

pecahnya perang atau setelah diumumkannya pengepungan

tersebut;

12. Apabila, dalam halnya Pasal 367 (KUHD), pengusaha

memberikan perintah-perintah untuk berangkat kesuatu

pelabuhan musuh;

13. Apabila pengusaha memakai atau suruh memakai kapalnya

untuk melakukan perdagangan budak-belian, pembajakan-

laut, pelayaran yang terlarang atau pengangkutan barang-

barang yang pemasukannya dilarang dalam negeri yang

dituju;

14. Apabila pengusaha menetapkan supaya kapalnya dipakai

untuk pengangkutan barang-barang larangan, kecuali apabila

itu dengan tegas telah diatur dalam perjanjian ini telah ditutup

setelah pecahnya perang;

15. Apabila baginya dikapal ada bahaya bahwa ia akan dianiaya

oleh nakhoda atau seorang penumpang;

16. Apabila penginapan dikapal demikian keadaannya, hingga

merugikan kesehatan para buruh;

17. Apabila kepadanya makanan yang menjadi haknya, tidak

diberikan atau tidak diberikan dalam keadan baik;

18. Apabila kapalnya kehilangan hak memakai bendera

Indonesia;

Page 38: Proposal Dedi Irsad

19. Apabila perjanjian-kerjanya dibuat untuk satu atau beberapa

perjalanan, sedangkan pengusaha menyuruh melakukan lain-

lain perjalanan.

Pada dasarnya sama dengan pihak perusahaan pelayaran,

maka seorang nakhoda atau awak buah kapal mempunyai hak

untuk penuntutan pemutuskan hubungan kerja melalui Pengadilan

atau Konsulat Jenderal. Sedangkan untuk pemutusan hubungan

kerja sepihak oleh mereka menurut Pasal 420 KUH Dagang dan

Pasal 1803v KUH Perdata harus ada penambahan syarat, yaitu

mereka harus tidak melalaikan kewajiban mengenai operasional

kapal.

3. Pemutusan Hubungan Kerja Karena Alasan Penting

Pemutusan hubungan kerja karena alasan penting juga

diatur dalam Pasal 420 KUH Dagang dan Pasal 1603v KUH

Perdata. Yang dimaksudkan dengan alasan penting tersebut

adalah pemutusan hubungan kerja yang dilakukan dengan adanya

putusan pengadilan berdasarkan pengaduan salah satu pihak.

Adapun alasan-alasan untuk pengaduan tersebut antara

lain, yakni:

1. Setelah menandatangani perjanjian kerja laut ada

perubahan-perubahan keadaan pribadi atau kekayaan si

pengadu atau pihak lawannya, dimana perubahan tersebut

Page 39: Proposal Dedi Irsad

sedemikian sigatnya sehingga sudah sewajarnya bila

hubungan kerja berakhir atau berlangsung dalam waktu

pendek;

2. setelah ditandatanganinya perjanjian kerja laut diketahui

bahwa, meneruskan hubungan kerja akan menimbulkan hal-

hal yang membahayakan jiwa si pengadu, kecuali bila hal

tersebut atas perintah Presiden;

3. Semua alasan mendesak yang diatur dalam ketentuan Pasal

1603 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

4. Pemutusan Hubungan Kerja Karena Alasan Lain Yang Sah

Di samping ketiga alasan seperti tersebut di atas, masih

ada satu alasan yang sah dan dibenarkan untuk melakuan

pemutusan hubungan kerja, yaitu:

1. Salah satu pihak melakukan pemutusan hubungan kerja

dengan memberikan ganti rugi, ganti biaya yang ditambah

dengan bunga semua uang yang telah dikeluarkan (Pasal

1267 KUH Perdata);

2. Nakhoda atau anak buah kapal mendapatkan pekerjaan yang

lebih tinggi gaji atau upahnya atau jaminannya, asalkan ia

dapat mencarikan penggantinya, akan tetapi dengan syarat

bahwa perjanjian kerja laut yang telah ditandatanganinya

jangka waktunya kurang dari satu tahun.

Page 40: Proposal Dedi Irsad

Pemutusan hubungan kerja di perusahaan pelayaran pada

umumnya tidak mengenal adanya uang pesangon dan

penghargaan masa kerja seperti halnya diperusahaan yang

berada di darat, karena hunbungan kerja selalu dilakukan dengan

sistem kontrak kerja dalam bentuk perjanjian kerja laut.

5. Metodologi Penelitian

5.1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada Kantor PT. Pelayaran Nasional

Indonesia (PELNI) Cabang Makassar, Kantor Serikat Pekerja Pelindo IV

Cabang Makassar dan pada Kantor Administrasi Pelabuhan Makassar

IV Cabang Makassar, guna mengetahui secara langsung sejauh mana

upaya-upaya dan proses pelaksanaan Perjanjian Kerja, telah efektif dan

bertanggungjawab atas keselamatan anak buah kapal.

5.2. Jenis dan Sumber Data

Jenis dan sumber data yang digunakan penulis adalah sebagai

berikut :

a. Data Primer, yaitu data yang langsung diperoleh dari sumber data,

yakni melakukan pengamatan langsung kelapangan agar data

yang kita dapatkan lebih relevan dan akurat, serta melakukan

wawancara terhadap staf-staf yang berkepentingan dan/atau

berhubungan dengan karya ilmiah ini.

Page 41: Proposal Dedi Irsad

b. Data Sekunder, yaitu data yang diperoleh secara tidak langsung

dari sumbernya, yakni data yang diperoleh melalui studi

kepustakaan, membaca dan menelaah buku-buku atau literatur,

referensi dokumen, serta peraturan perundang-undagan yang

berkaitan dengan masalah yang akan dibahas untuk memperoleh

landasan teoritis yang relevan dengan permasalahan yang akan

dibahas.

5.3. Teknik Pengumpulan Data

Untuk merampungkan penelitan ini, penulis menggunakan dua

metode penelitian untuk mengumpulkan data, yaitu:

1. Penelitian Lapangan (Field Research)

Metode ini mengadakan wawancara, wawancara ini penulis

lakukan bukanlah suatu model wawancara yang berstruktur,

melainkan suatu wawancara yang non struktural. Karena tidak

didasarkan pada suatu daftar pertanyaan yang tersusun dan

konsep tersendiri.

2. Penelitian Kepustakaan (Library Research)

Dengan metode ini, penulis membaca sejumlah buku-buku, karya

ilmiah, ataupun tentang pengetahuan umum demi menambah

bahan baik dalam masa penelitian maupun pada saat penyusunan

laporan ini, tak luput pula membuka-buka materi perkuliahan

Page 42: Proposal Dedi Irsad

selama menjadi mahasiswa. Serta pengumpulan data dokumen

perusahaan kerja laut yang dilakukan pada syahbandar.

5.4. Analisis Data

Laporan akan dianalisis secara kualitatif dengan data yang

diperoleh dari kepustakaan akan dianalisis secara kualitatif untuk

selanjutnya disajikan dalam bentuk deskriptif.

6. Sistimatika Pembahasan

Sistimatikan pembahasan ini hanya merupakan uraian singkat isi

dari Skripsi yang akan dibahas nanti, dan adapun uraiannya sebagai

berikut:

Bab I : Pendahuluan

Bab ini meliputi: Latar Belakang Masalah, Rumusan

Masalah, Tujuan dan Kegunaan Penelitian, Metodologi

Penelitian serta Sistimatika Pembahasan.

Bab II : Tinjauan Pustaka

Bab ini menjelaskan tinjauan umum tentang Pengertian

Perjanjian Kerja dan Perjanjian Kerja Laut, Pihak-Pihak yang

Terkait dalam Perjanjian Kerja Laut, Syarat Syahnya

Perjanjian Kerja Laut, dan Konsep Anak Buah Kapal

Sebagai Buruh.

Page 43: Proposal Dedi Irsad

Bab III : Hasil Penelitian Dan Pembahasan

Bab ini membahas tentang hasil penelitian berupa hubungan

hukum perjanjian kerja laut dengan perjanjian kerja pada

umumnya talah sesuai dengan Undang-Undang Ketenaga-

kerjaan yang berlaku, dan efektivitas pelaksanaan perjanjian

kerja laut terhadap keselamatan kerja Anak Buah Kapal.

Bab IV : Penutup

Bab ini merupakan Bab terakhir, terdiri dari kesimpulan dan

saran-saran dari penulis berdasarkan hasil penelitian.

Page 44: Proposal Dedi Irsad

DAFTAR PUSTAKA

Sumber Buku:

C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil. 2006. Pokok-Pokok Pengetahuan

Hukum Dagang Indonesia. Sinar Grafika, Jakarta.

Dahlan. M. Y. Al-Barry dan L. Lya Sofyan Yacub, 2003, Kamus Induk Istilah

Ilmiah seri Intelektual, Target Press, Surabaya.

Djoko Triyanto. 2005. Bekerja Di Kapal. Mandar Maju, Bandung.

Djumadi. 2006. Hukum Perburuhan Perjanjian Kerja. PT. RajaGrafindo

Persada, Jakarta.

Hadi. 2007. Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Ketenagakerjaan.

Harvarindo, Jakarta.

Kadir, A.M. 2002. Hukum Pengangkutan Niaga. PT Citra Aditya Bakti,

Bandung.

Kartini, M. 2003. Perikatan yang Lahir dari Perjanjian. PT. Raja Grafindo

Persada, Jakarta.

Kartosapoetra, G. 1998. Hukum Perburuan di Indonesia Berdasarkan

Pancasila. Sinar Grafika, Jakarta.

Niniek Suparni. 2000. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Rineka Cipta,

Jakarta.

Page 45: Proposal Dedi Irsad

Poerwosutjipto, H.M.N. 1993. Pengertia Pokok Hukum Dagang Indonesia

(Jilid 5 Hukum Pelayaran Laut dan Perairan Darat). Djambatan,

Jakarta.

Redaksi Sinar Grafika, 2001, Propenas 2000-2004, Sinar Grafika, Jakarta.

_________, 2007, Undang-Undang Rencana Pembangunan Jangka Panjang

Nasional tahun 2005-2025, Sinar Grafika, Jakarta.

Soedjono Wiwoho. 1982. Hukum Perkapalan dan Pengangkutan Laut. Bina

Aksara, Jakarta.

Subekti, R., 1990, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta.

Sudarsono. 2005. Kamus Hukum (Edisi Baru). Rineka Cipta, Jakarta.

Tim Redaksi “Permata Press”, 2007, Undang-Undang Ketenagakerjaan Edisi

Terlangkap, Permata Press, Jakarta.

Tim Redaksi “Citra Umbara”, 2007, Kitab Undang-Undang Hukum Dagang,

Citra Umbara, Bandung.

Zaeni Asyhadie. 2007. Hukum Kerja (Hukum Ketenagakerjaan Bidang

Hubungan Kerja). PT. RajaGrafindo Persada. Jakarta

Sumber Elektronik :

http://www.ilo.org/public/english/region/asro/jakarta/download/marit.pdf

http://jkt1.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2005/bulan/09/tgl/19/

time/012705/idnews/443840/idkanal/10

Page 46: Proposal Dedi Irsad

Penunjang lainnya :

Undang-Undang No. 21, Tahun 1992, Tentang Pelayaran.

Peraturan Pemerintah No. 7, Tahun 2000, Tentang Kepelautan.

Peraturan Pemerintah No. 51, Tahun 2002, Tentang Perkapalan.