Proposal Awin

40
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan penduduk perkotaan di Indonesia pada dekade akhir abad ini mengalami tingkat eskalasi pertumbuhan yang tinggi akan berlangsung terus dengan percepatan yang tinggi, meskipun beberapa kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Medan dan kota-kota lainnya telah membangun sistem yang ketat dalam kaitannya dengan pertumbuhan penduduk perkotaan di wilayahnya masing-masing. Dengan adanya pertumbuhan yang pesat dan tingkat sosial yang berubah serta teknologi kemajuan manusia berkembang, sampah menjadi masalah yang serius dan diperlukan penanganan secara seksama secara terintegrasi dengan inovasi-inovasi baru yang lebih memadai ditinjau dari segala aspek, baik itu aspek sosial, aspek ekonomi maupun aspek teknis. Dalam kondisi sekarang ini penangannya menjadi masalah yang kian mendesak di kota-kota di Indonesia. Sampah sebagai barang sisa yang tidak terpakai baik padat maupun cair dari manusia, sehingga dengan demikian apabila masalah sampah ini tidak dapat dikelola dengan baik maka otomatis akan menyebabkan penurunan kualitas lingkungan 1

description

proposal

Transcript of Proposal Awin

Page 1: Proposal Awin

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pertumbuhan penduduk perkotaan di Indonesia pada dekade akhir abad ini mengalami

tingkat eskalasi pertumbuhan yang tinggi akan  berlangsung terus dengan percepatan

yang tinggi, meskipun beberapa kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Medan dan kota-

kota lainnya telah membangun sistem yang ketat dalam kaitannya dengan pertumbuhan

penduduk perkotaan di wilayahnya masing-masing.

Dengan adanya pertumbuhan yang pesat dan tingkat sosial yang berubah serta teknologi

kemajuan manusia berkembang, sampah menjadi masalah yang serius dan diperlukan

penanganan secara seksama secara terintegrasi dengan inovasi-inovasi baru yang lebih

memadai ditinjau dari segala aspek, baik itu aspek sosial, aspek ekonomi maupun aspek

teknis. Dalam kondisi sekarang ini penangannya menjadi masalah yang kian mendesak

di kota-kota di Indonesia.

Sampah sebagai barang sisa yang tidak terpakai baik padat maupun cair dari manusia,

sehingga dengan demikian apabila masalah sampah ini tidak dapat dikelola dengan baik

maka otomatis akan menyebabkan penurunan kualitas lingkungan yang selanjutnya

akan mengancam kehidupan manusia itu sendiri. Dimana kota-kota di Indonesia sampai

sejauh ini belum mampu menangani sampah ini dengan baik.

Sampah yang timbul dari perkotaan kebanyakan dari sampah organik dimana itu timbul

akibat hasil sampingan dari kebutuhan manusia seperti dari sektor pertanian dan

peternakan. Seiring dengan kemajuan teknologi, sampah bisa diolah menjadi beberapa

macam barang atau benda yang bisa dimanfaatkan kembali, salah satunya dengan

membuat sampah organik menjadi pupuk atau biogas.

Oleh karena itu, melalui penelitian ini saya akan membuat kompos padat dari sekam

padi yang didapat dari sektor pertanian dan campuran lumen (tahi sapi yang masih

1

Page 2: Proposal Awin

didalam perut) dari sektor peternakan. Untuk mengurangi dampak sampah yang ada

akibat dari dua sektor tersebut.

1.2 Perumusan Masalah

Rumusan masalah dari latar belakang di atas adalah bagaimana potensi sekam padi dan

lumen dalam pembuatan kompos.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah :

1. Mengetahui proses pembuatan kompos dari campuran sekam padi dan lumen.

2. Mengetahui perbedaan pH sebelum sampah menjadi kompos dengan sampah yang

sudah menjadi kompos.

3. Mengetahui perbedaan suhu sebelum sampah menjadi kompos dengan sampah yang

sudah menjadi kompos.

4. Mengetahui perbedaan kelembaban sebelum sampah menjadi kompos dengan

sampah yang sudah menjadi kompos.

5. Mengetahui perbedaan tekstur sebelum sampah menjadi kompos dengan sampah

yang sudah menjadi kompos.

6. Menguji hasil komposting dengan metode keranjang takakura

1.4 Batasan Masalah

Ruang lingkup dalam penelitian ini dibatasi pada :

1. Bahan utama yang dipakai adalah sekam padi dan lumen.

2. Penelitian ini bersifat skala laboratorium.

3. Reaktor yang digunakan adalah reaktor pembuatan kompos yang dibuat sendiri

4. Parameter yang akan diteliti adalah kandungan C, N dan rasio C/N, suhu, kadar air,

dan pH Kompos matang.

2

Page 3: Proposal Awin

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sampah

Sampah adalah sesuatu bahan atau benda padat yang sudah tidak terpakai lagi oleh

manusia atau benda padat yang sudah tidak digunakan lagi dan dibuang (Damanhuri,

2006). Sementara didalam UU No 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah,

disebutkan sampah adalah sisa kegiatan sehari hari manusia atau proses alam yang

berbentuk padat atau semi padat berupa zat organik atau anorganik bersifat dapat terurai

atau tidak dapat terurai yang dianggap sudah tidak berguna lagi dan dibuang

kelingkungan (Slamet, 2002).

Sampah yang bersifat padat terdiri atas zat organik dan zat anorganik yang dianggap

tidak berguna lagi dan harus dikelola agar tidak membahayakan lingkungan dan

melindungi investasi pembangunan. Sampah umumnya adalah bentuk sisa makanan

(sampah dapur), daun daunan, ranting pohon, kertas/karton, plastik, kain bekas, kaleng-

kaleng, debu sisa penyapuan, dsb (SNI 19-2454-2001). Sampah juga bisa diartikan

sebagai limbah yang berbentuk padat dan juga setengah padat, dari bahan organik atau

anorganik, baik benda logam maupun benda bukan logam, yang dapat terbakar dan

yang tidak dapat terbakar. Bentuk fisik benda-benda tersebut dapat berubah menurut

cara pengangkutannya atau cara pengolahannya (Rizaldi, 2008).

Menurut SNI 19-3964-1995 mengenai Metode Pengambilan dan Pengukuran Contoh

Timbulan dan Komposisi Sampah Perkotaan, timbulan sampah ditentukan berdasarkan

keadaan fisik rumah, pendapatan rata-rata kepala keluarga dan fasilitas rumah tangga

yang ada. Karakter sampah perkotaan dipengaruhi oleh tingkat pertumbuhan penduduk,

pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran, serta gaya hidup dari masyarakat perkotaan

2.2 Pengelolaan Sampah di Indonesia

3

Page 4: Proposal Awin

Sampah merupakan masalah yang umum terjadi di kota-kota besar. Sampah

diidentifikasi sebagai salah satu faktor penyebab timbulnya eksternalitas negatif

terhadap kegiatan perkotaan.  Pengelolaan sampah di Indonesia masih menggunakan

paradigma lama yaitu kumpul-angkut-buang. Source reduction (reduksi mulai dari

sumbernya) atau pemilahan sampah tidak pernah berjalan dengan baik. Meskipun telah

ada upaya pengomposan dan daur ulang, tapi masih terbatas.

Berkaitan dengan sistem pengelolaan persampahan, dasar pengelolaan mesti

mengedepankan pada minimalisasi sampah dan pemanfaatan sampah sebagai sumber

energi. Keberhasilan penanganan sampah tersebut juga harus didukung oleh tingkat

kesadaran masyarakat yang tinggi mengingat perilaku masyarakat merupakan variable

penting.

Kebijaksanaan pengelolaan persampahan memiliki landasan kuat agar sampah yang

dihasilkan dapat dikelola dengan baik. Kebijakan dapat dilakukan meliputi penurunan

senyawa beracun yang terkandung dalam sampah sejak pada tingkat produksi, minimasi

jumlah sampah, peningkatan daur ulang sampah, pembuangan sampah yang masih

memiliki nilai energi dikurangi secara signifikan, dan pencemaran lingkungan dicegah

sedini mungkin.

Berdasarkan landasan tersebut, kebijaksanaan pengelolaan sampah antara lain meliputi

pelibatan masyarakat dalam pengelolaan sampah secara mandiri, pengelolaan sampah

dengan menggunakan sanitary landfill yang sesuai dengan ketentuan standar

lingkungan, dan pengembangan teknologi tinggi pengolahan sampah untuk sumber

energi.

Model pengolahan sampah di Indonesia ada dua macam, yaitu urugan dan tumpukan.

Model urugan merupakan cara yang paling sederhana, yaitu sampah dibuang di lembah

atau cekungan tanpa memberikan perlakuan. Urugan atau model buang dan pergi ini

bisa saja dilakukan pada lokasi yang tepat, yaitu bila tidak ada pemukiman dibawahnya,

tidak menimbulkan polusi udara, polusi pada air sungai, longsor atau estetika. Model ini

umumnya dilakukan untuk suatu kota yang volume sampahnya tidak begitu besar.

4

Page 5: Proposal Awin

Pengolahan sampah kedua lebih maju dari cara urugan, yaitu tumpukan. Model ini bisa

dilaksanakan secara lengkap sebenarnya sama dengan teknologi aerobik. Hanya saja

tumpukan perlu dilengkapi dengan unit saluran air buangan, pengolahan air buangan

dan pembakaran ekses gas metan. Model yang lengkap ini telah memenuhi prasyarat

kesehatan lingkungan. Model seperti ini banyak diterapkan di kota-kota besar. Namun,

sayangnya model tumpukan ini umumnya tidak lengkap, tergantung dari kondisi

keuangan dan kepedulian pejabat daerah setempat akan kesehatan lingkungan dan

masyarakat. Aplikasinya ada yang terbatas pada tumpukan saja atau tumpukan yang

dilengkapi saluran air buangan, jarang yang membangun unit pengolah air buangan.

Meskipun demikian, ada suatu daerah yang mengelolanya dengan kreatif (Sudrajat,

2007).

2.3 Sumber - Sumber Sampah

Menurut Slamet (2002), Sumber-sumber timbulan sampah adalah sebagai berikut :

a. Sampah dari pemukiman penduduk.

Pada suatu pemukiman biasanya sampah dihasilkan oleh suatu kluarga yang tinggal

disuatu bangunan atau asrama. Jenis sampah yang dihasilkan biasanya cendrung

organik, seperti sisa makanan atau sampah yang bersifat basah, kering, abu plastik

dan lainnya.

b. Sampah dari tempat – tempat umum dan perdagangan.

Tempat- tempat umum adalah tempat yang dimungkinkan banyaknya orang

berkumpul dan melakukan kegiatan. Tempat–tempat tersebut mempunyai potensi

yang cukup besar dalam memproduksi sampah termasuk tempat perdagangan seperti

pertokoan dan pasar. Jenis sampah yang dihasilkan umumnya berupa sisa–sisa

makanan, sampah kering, abu, plastik, kertas, dan kaleng- kaleng serta sampah

lainnya.

c. Sampah dari sarana pelayanan masyarakat milik pemerintah

Yang dimaksud disini misalnya tempat hiburan umum, pantai, masjid, rumah sakit,

bioskop, perkantoran, dan sarana pemerintah lainnya yang menghasilkan sampah

kering dan sampah basah.

5

Page 6: Proposal Awin

d. Sampah dari industri

Dalam pengertian ini termasuk pabrik – pabrik sumber alam perusahaan kayu dan

lain – lain, kegiatan industri, baik yang termasuk distribusi ataupun proses suatu

bahan mentah. Sampah yang dihasilkan dari tempat ini biasanya sampah basah,

sampah kering abu, sisa – sisa makanan, sisa bahan bangunan.

e. Sampah Pertanian

Sampah dihasilkan dari tanaman atau binatang daerah pertanian, misalnya sampah

dari kebun, kandang, ladang atau sawah yang dihasilkan berupa bahan makanan

pupuk maupun bahan pembasmi serangga tanaman.

Berbagai macam sampah yang telah disebutkan diatas hanyalah sebagian kecil saja dari

sumber- sumber sampah yang dapat ditemukan dalam kehidupan sehari - hari. Hal ini

menunjukkan bahwa kehidupan manusia tidak akan pernah lepas dari sampah.

2.4 Jenis– Jenis Sampah

Jenis sampah yang ada di sekitar kita cukup beraneka ragam, ada yang berupa sampah

rumah tangga, sampah industri, sampah pasar, sampah rumah sakit, sampah pertanian,

sampah perkebunan, sampah peternakan, sampah institusi/kantor/sekolah, dan

sebagainya. Berdasarkan asalnya (Slamet, 2002), sampah padat dapat digolongkan

menjadi 2 (dua) yaitu sebagai berikut :

a. Sampah Organik

Sampah organik adalah sampah yang dihasilkan dari bahan – bahan hayati yang dapat

didegradasi oleh mikroba atau bersifat biodegradable. Sampah ini dengan mudah dapat

diuraikan melalui proses alami. Sampah rumah tangga sebagian besar merupakan bahan

organik. Termasuk sampah organik, misalnya sampah dari dapur, sisa – sisa makanan,

pembungkus (selain kertas, karet dan plastik), tepung , sayuran, kulit buah, daun dan

ranting.

b. Sampah Anorganik

Sampah anorganik adalah sampah yang dihasilkan dari bahan-bahan non- hayati, baik

berupa produk sintetik maupun hasil proses teknologi pengolahan bahan tambang.

6

Page 7: Proposal Awin

Sampah anorganik dibedakan menjadi : sampah logam dan produk–produk olahannya,

sampah plastik, sampah kertas, sampah kaca dan keramik, sampah detergen. Sebagian

besar anorganik tidak dapat diurai oleh alam/mikroorganisme secara keseluruhan

(unbiodegradable). Sementara, sebagian lainnya hanya dapat diuraikan dalam waktu

yang lama. Sampah jenis ini pada tingkat rumah tangga misalnya botol plastik, botol

gelas, tas plastik, dan kaleng.

2.5 Berdasarkan Sifat Fisik

Berdasarkan keadaan fisiknya sampah dikelompokkan atas :

a. Sampah basah (garbage)

Sampah golongan ini merupakan sisa – sisa pengolahan atau sisa sisa makanan dari

rumah tangga atau merupakan timbulan hasil sisa makanan, seperti sayur mayur, yang

mempunyai sifat mudah membusuk, sifat umumnya adalah mengandung air dan cepat

membusuk sehingga mudah menimbulkan bau (Slamet, 2002).

b. Sampah kering (rubbish)

Sampah golongan ini memang diklompokkan menjadi 2 (dua) jenis :

1. Golongan sampah tak lapuk. Sampah jenis ini benar-benar tak akan bisa lapuk secara

alami, sekalipun telah memakan waktu bertahun – tahun, contohnya kaca dan mika.

2. Golongan sampah tak mudah lapuk. Sekalipun sulit lapuk, sampah jenis ini akan bisa

lapuk perlahan – lahan secara alami. Sampah jenis ini masih bisa dipisahkan lagi atas

sampah yang mudah terbakar, contohnya seperti kertas dan kayu, dan sampah tak

mudah lapuk yang tidak bisa terbakar, seperti kaleng dan kawat (Slamet, 2002).

2.6 Pengolahan Sampah

Menurut SNI 19-2454-2001 tentang Tata Cara Teknik Operasional Pengelolaan Sampah

Perkotaan, pengolahan sampah adalah suatu proses untuk mengurangi volume sampah

dan atau mengubah bentuk sampah menjadi yang bermanfaat, antara lain dengan cara

pembakaran , pengomposan, pemadatan, penghancuran, pengeringan dan pendaur

ulangan.

7

Page 8: Proposal Awin

Sistem pengolahan sampah dapat berupa (SNI 19-2454-2001) :

a. Pengomposan

- Berdasarkan kapasitas (individual, komunal dan skala lingkungan)

- Berdasarkan proses (alami, biologis dengan cacing, biologis dengan mikroorganisme

tambahan).

b. Insenarasi yang berwawasan lingkungan

c. Daur ulang

- Sampah anorganik disesuaikan dengan jenis sampah

- Menggunakan kembali sampah organik sebagai makanan ternak

d. Pengurangan volume sampah dengan pencacahan atau pemadatan

e. Biogasifikasi

Menurut Damanhuri (2006), beberapa pendekatan dan teknologi pengelolaan dan

pengolahan sampah yang telah dilaksanakan antara lain adalah :

a. Teknologi Komposting

Pengomposan adalah salah satu cara pengolahan sampah, merupakan proses

dekomposisi dan stabilisasi bahan secara biologis dengan produk akhir yang cukup

stabil untuk digunakan di lahan pertanian tanpa pengaruh yang merugikan.

Pengomposan dengan menggunakan metode yang lebih modern (aerasi) mampu

menghasilkan kompos yang memiliki butiran lebih halus, kandungan C, N, P, K lebih

tinggi dan pH, C/N rasio, dan kandungan Colform yang lebih rendah dibandingkan

dengan pengomposan secara konvensional.

b. Pengelolaan sampah mandiri

Pengolahan sampah mandiri adalah pengolahan sampah yang dilakukan oleh

masyarakat di lokasi sumber sampah seperti di rumah-rumah tangga. Masyarakat

perdesaan yang umumnya memiliki ruang pekarangan lebih luas memiliki peluang yang

cukup besar untuk melakukan pengolahan sampah secara mandiri. Model pengelolaan

sampah mandiri akan memberikan manfaat lebih baik terhadap lingkungan serta dapat

mengurangi beban TPA.

c. Pengelolaan sampah berbasis masyarakat

8

Page 9: Proposal Awin

Pola pengelolaan sampah berbasis masyarakat sebaiknya dilakukan secara sinergis

(terpadu) dari berbagai elemen (Desa, pemerintah, LSM, pengusaha/swasta, sekolah,

dan komponen lain yang terkait) dengan menjadikan komunitas lokal sebagai objek dan

subjek pembangunan, khususnya dalam pengelolaan sampah untuk menciptakan

lingkungan bersih, aman, sehat, asri, dan lestari. Undang-Undang tentang pengelolaan

sampah telah menegaskan berbagai larangan seperti membuang sampah tidak pada

tempat yang ditentukan dan disediakan, membakar sampah yang tidak sesaui dengan

persyaratan teknis, serta melakukan penanganan sampah dengan pembuangan terbuka di

TPA. Penutupan TPA dengan pembuangan terbuka harus dihentikan dalam waktu 5

tahun setelah berlakunya UU No. 18 Tahun 2008. Dalam upaya pengembangan model

pengelolaan sampah perkotaan harus dapat melibatkan berbagai komponen pemangku

kepentingan seperti pemerintah daerah, pengusaha, LSM, dan masyarakat. Pemilihan

model sangat tergantung pada karakteristik perkotaan dan perdesaan serta karakteristik

sampah yang ada di kawasan tersebut.

Pengolahan sampah meliputi :

a. Urugan dan Tumpuk

Pengolahan sampah secara konvensional dilakukan dengan model urugan dan tumpuk.

Kedua metode ini sangat populer karena mudah diaplikasikan. Pada model urugan,

sampah dibuang di lembah atau cekungan tanpa diberi perlakuan apapun. Biasanya cara

ini diterapkan pada lokasi dengan kontribusi volume sampah tidak terlalu tinggi. Ada

beberapa catatan penting dalam perlakuan model urugan, yaitu sampah tidak dibuang

pada daerah padat penduduk, tidak menimbulkan beragam polusi (tanah, udara, dan air),

serta tidak mengganggu estetika lingkungan.

Pada model tumpukan, sampah yang dibuang perlu dilengkapi beberapa saran

pendukung sebagai prasyarat kesehatan. Sarana yang dimaksud ialah saluran air

buangan, pengolahan air buangan dan pembakaran gas metana. Penerapan pengolahan

sampah secara tumpukan di Indonesia sendiri terkadang tidak sesuai standar yang

berlaku sehingga sering timbul masalah. Namun, bagaimana pun prosesnya, dalam

jangka panjang kedua model tersebut dibatasi dan dicarikan alternatif lain karena

keterbatasan lahan.

9

Page 10: Proposal Awin

b. Penghancuran

Biasanya penghancuran dilakukan ketika pengangkutan dengan menggunakan truk

sampah khusus beserta alat pencacah atau penghancur. Sampah yang berasal dari bak-

bak penampung langsung dihancurkan hingga menjadi potongan berukuran kecil. Jenis

sampah yang dihancurkan dapat dipilah menjadi rubbish, garbage, atau keduanya.

Selanjutnya, potongan sampah dimanfaatkan sebagai timbunan pada tanah datar atau

dibuang ke laut. Sampah yang dibuang ini pun harus diperhatikan dan diseleksi agar

tidak mencemari lingkungan.

c. Pembakaran Sampah

Cara lain dalam pengolahan sampah adalah pembakaran sampah. Pada skala rumah

tangga, pembakaran sampah secara manual memang praktis. Untuk sampah bervolume

besar, sebaiknya menggunakan incenerator. Akan tetapi, pembakaran dengan

menggunakan incenerator kurang efektif diterapkan, karena disebabkan oleh kadar air

sampah sangat tinggi sehingga biaya operasional untuk pembakaran sangat besar. Polusi

debu, asap, serta partikulat yang yang dikeluarkan pun mengganggu kesehatan dan

aktivitas masyarakat sekitar sehingga diperlukan solusi lain dalam penanganannya.

2.7 Kompos

Kompos adalah hasil penguraian bahan organik melalui proses biologis dengan bantuan

organisme pengurai. Proses penguraian dapat berlangsung secara aerob (dengan udara)

maupun anaerob (tanpa bantuan udara). Pengolahan sampah dengan pengomposan

merupakan cara penumpukan sampah pada lubang kecil dalam jangka waktu tertentu

untukmenghasilkan pupuk yang alamiah atau proses dekomposisi yang dilakukan oleh

mikroorganisme terhadap buangan organik yang biodegradable.

Fungsi utama kompos adalah membantu memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi

tanah. Secara fisik kompos dapat menggemburkan tanah, aplikasi kompos pada tanah

akan meningkatkan jumlah rongga sehingga tanah menjadi gembur. Sedangkan untuk

10

Page 11: Proposal Awin

perbaikan sifat biologi, kompos dapat meningkatkan populasi mikroorganisme dalam

tanah (Simamora dan Salundik, 2006).

Keunggulan kompos adalah kandungan unsur hara makro maupun mikronya yang

lengkap. Unsur hara makro yang terkandung dalam kompos antara lain N, P, K, Ca, Mg,

dan S, sedangkan kandungan unsur mikronya antara lain Fe, Mn, Zn, Cl, Cu, Mo, Na

dan B (Stoffella and Kahn, 2001). Pengomposan adalah proses penguraian bahan

organik secara alamiah dengan bantuan organisme pengurai. Berikut ini ialah organisme

pengurai yang terlibat dalam proses pengomposan:

Tabel 2.1 Organisme yang berperan dalam proses pengomposan

Mikroba Jumlah populasi mikroba pada fase

Mesofilik < 40º C Termofilik 40º - 70º C

Bakteri

Mesofilik 108 106

Termofilik 104 109

Actinomycetes

Termofilik 104 108

Jamur

Mesofilik 106 103

Termofilik 103 107

Sumber : Stoffella and Kahn, 2001

11

Page 12: Proposal Awin

Dalam proses ini organisme pengurai mengambil sumber makanan dari sampah atau

bahan organik yang diolah lalu mengeluarkan sisa metabolisme berupa karbon dioksida

(CO), serta panas yang menghasilkan uap air. Oleh karena itu, kinerja organisme

pengurai dapat dipantau dengan pengamatan temperatur (suhu), tekstur, struktur dan

perubahan warna serta bau. Peningkatan suhu, tekstur dan struktur tidak lengket dan

warna manjadi gelap mengkilat menandakan adanya kegiatan organisme pengurai yang

berjalan dengan baik dan bau menyengat kompos yang semakin hari semakin hilang.

2.8 Bahan yang dapat dikomposkon

Pada dasarnya semua bahan organik dapat dikomposkan, seperti sampah organik pasar,

limbah organik rumah tangga, kotoran/limbah peternakan, limbah pertanian, limbah

agroindustri, limbah pabrik gula, dll yang bersifat fibrous (berserat). Sedangkan bahan

organik yang perlu dihindari sebagai bahan baku kompos ialah bahan organik yang

memiliki kadar air tinggi (seperti : semangka, melon, mentimun, tomat, dll) karena akan

mempertinggi kadar air pada kompos.

2.9 Proses Pengomposan

Menurut Diaz (2007), fase proses pengomposan terbagi atas 4 tahapan sebagai berikut :

A. Tahap Mesofilik

Kondisi tahap awal dengan pasokan oksigen dan kelembaban yang optimal akan

memacu pertumbuhan dan perkembangan mikroba (bakteri, jamur dan aktinomycetes).

Aktivitas mikroba awal hingga temperature < 40 0C dikenal juga sebagai fase mesofilik.

12

Page 13: Proposal Awin

Proses dekomposisi bahan organik tersebut akan melepaskan energi dalam bentuk panas

sehingga temperatur akan meningkat. Aktivitas bakteri mesofilik akan terhenti pada

temperatur > 40 0C. Asam organik yang dihasilkan pada tahap akan menurunkan pH.

B. Tahap Termofilik

Meningkatkan aktivitas mikroba menyebabkan kenaikan termperatur 40 – 60 oC dan

fase termofilik akan dicapai dalam waktu 4 – 6 hari. Organisme disesuaikan dengan

suhu yang lebih tinggi dan mendapatkan keunggulan kompetitif secara bertahap, Dan

pada akhirnya, hampir seluruhnya menggantikan mikroba mesofilik. Sebelumnya

berkembang mesofilik organisme mati dan akhirnya terdegradasi oleh organisme

termofilik berhasil, bersama dengan substrat, sisanya mudah terdegradasi. Dekomposisi

terus menjadi cepat, dan mencapai suhu sekitar 60 0C.

C. Dekomposisi (Tahap Kedua mesofilik)

Dekomposisi tertinggi dicapai pada temperatur 50 – 60 oC. Meningkatkanya aktivitas

mikroba termofilik (> 40 oC) akan menghasilkan amoniak sehingga akan terjadi

kenaikan pH. Pada temperatur > 60 0C maka aktivitas jamur termofilik akan terhenti,

selanjutnya digantikan oleh kelompok bakteri dan aktinomycetes hingga temperatur 70

– 80 oC. Kenaikan suhu tersebut secara langsung akan mematikan berbagi jenis

pathogen dan bibit gulma. Apabila suhu melampaui 65 – 70 oC, aktivitas mikroba dan

proses dekomposisi senyawa organik akan terhambat karena suhu yang tinggi tersebut

akan mematikan mikroba .

D. Tahap Pematangan

Selama tahap pematangan berkurangnya substrat dan tingginya temperatur akan

menimbulkan kematian pada mikroba dan aktivitas metabolisme menurun. Dengan

13

Page 14: Proposal Awin

demikian temperatur akan turun kembali ke fase awal (temperatur ruang). Tempratur

kompos sudah stabil dengan C/N berkisar 10 – 20. Pada fase ini senyawa humus (sisa

perombakan) sudah terbentuk. Jumlah bahan humus yang terbentuk sangat tergantung

pada bahan dasar kompos. Bahan baku yang kaya akan lignin akan menghasilkan

senyawa humik yang lebih besar.

Pengomposan dapat terjadi secara alamiah maupun dengan bantuan manusia.

Pengomposan secara alamiah yaitu dengan cara penumpukan sampah di alam,

sedangkan pengomposan dengan bantuan manusia yaitu dengan cara menggunakan

teknologi modern maupun dengan menggunakan bahan bioaktivator dan menciptakan

kondisi ideal sehingga proses pengomposan dapat terjadi secara optimal dan

menghasilkan kompos berkualitas tinggi. Untuk dapat membuat kompos dengan

kualitas baik, diperlukan pemahaman proses pengomposan yang baik pula. Proses

pengomposan secara sederhana dapat dibagi menjadi dua tahap, yaitu tahap aktif dan

tahap pematangan. Selama tahap awal proses, oksigen dan senyawa-senyawa yang

mudah terdegradasi akan segera dimanfaatkan oleh mikroba mesofilik yang kemudian

akan digantikan oleh bakteri termofilik. Suhu tumpukan kompos akan meningkat

dengan cepat, kemudian akan diikuti dengan peningkatan pH kompos. Suhu akan

meningkat hingga mencapai 70 C. Suhu akan tetap tinggi selama fase pematangan.

Berikut adalah fase proses pengomposan:

Mikroba mesofilik kemudian tergantikan oleh mikroba termofilik, yaitu mikroba yang

aktif pada suhu tinggi. Pada saat terjadi penguraian bahan organik yang sangat aktif,

mikroba-mikroba yang ada di dalam kompos akan menguraikan bahan organik menjadi

NH 3+¿¿ ,CO2 ,uap air dan panas melalui sistem metabolisme dengan bantuan oksigen.

Setelah sebagian besar bahan telah terurai, maka suhu akan berangsur-angsur

mengalami penurunan hingga kembali mencapai suhu normal seperti tanah. Pada fase

ini terjadi pematangan kompos tingkat lanjut, yaitu pembentukan komplek liat humus.

Selama proses pengomposan akan terjadi penyusutan volume maupun biomassa bahan.

Pengurangan ini dapat mencapai 30-50% dari bobot awal tergantung kadar air awal.

Proses aerob adalah proses dimana mikroba menggunakan oksigen untuk menguraikan

bahan organik. Sedangkan proses penguraian yang terjadi tanpa menggunakan oksigen

disebut dengan proses anaerob. Pada proses anaerob bahan ditumpuk dan disungkup

14

Page 15: Proposal Awin

dengan penutup (dapat menggunakan karpet atau karung goni) agar tidak ada

kontaminasi udara saat proses berlangsung. Keuntungan proses ini adalah memacu

kinerja mikroba lebih optimal sehingga dapat mempercepat peningkatan suhu pada

proses pengomposan.

Untuk wilayah yang tidak memiliki lahan luas, pengomposan yang cocok dengan

menggunakan metode pengomposan fermentasi dan aerasi. Metode ini merupakan cara

intensifikasi pengomposan dan menghasilkan kompos yang lebih terbebas dari bakteri-

bakteri yang merugikan.

2.10 Faktor yang Mempengaruhi Pengomposan

Setiap organisme pengurai bahan organik membutuhkan kondisi lingkungan dan bahan

yang berbeda-beda. Apabila kondisinya sesuai, maka organisme pengurai tersebut akan

bekerja giat untuk menguraikan sampah organik. Namun apabila kondisinya kurang

sesuai atau tidak sesuai, maka organisme tersebut akan dorman (tidak aktif), pindah ke

tempat lain, atau bahkan mati. Oleh karena itu, kondisi yang optimal sangat menentukan

keberhasilan proses pengomposan.

Secara umum, faktor yang paling mempengaruhi proses pengomposan adalah

karakteristik bahan yang dikomposkan, bioaktivator yang digunakan, serta metode

pengomposan yang diaplikasikan. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses

pengomposan dapat dirinci sebagai berikut :

2.10.1 Rasio C/N

Zat arang atau karbon (C) dan nitrogen (N) ditemukan diseluruh bagian sampah

organik. Dalam proses pengomposan, C merupakan sumber energi bagi mikroba

sedangkan N berfungsi sebagai sumber makanan dan nutrisi bagi mikroba. Besarnya

rasio C/N tergantung pada jenis sampah, namun rasio C/N yang efektif untuk proses

pengomposan berkisar antara 30:1 hingga 40:1 (Paulin and O'malley, 2008).

Mikroba memecah senyawa C sebagai sumber energi dan menggunakan N untuk

sintesis protein. Pada rasio C/N di antara 30-40, mikroba mendapatkan cukup C untuk

energi dan N untuk sintesis protein. Apabila rasio C/N terlalu tinggi, mikroba akan

15

Page 16: Proposal Awin

kekurangan N untuk sintesis protein sehingga penguraian berjalan lambat. Berikut

disajikan tabel perbandingan kandungan C dan N dalam berbagai bahan organik :

Tabel 2.2 Perbandingan Karbon dan Nitrogen Berbagai Bahan Organik

Sampah Sayuran 12-20 : 1

Jerami 70 : 1

Batang Jagung 100 : 1

Serbuk Gergaji 500 : 1

Kayu 400 : 1

Daun-daunan Pohon 40-60 : 1

Kotoran Sapi 20 : 1

Kotoran Ayam 10 : 1

Kotoran Kuda 25 : 1

Sisa Buah-buahan 35 : 1

Perdu / Semak 15-60 : 1

Rumput-rumputan 12-25 : 1

Kulit Batang Pohon 100-130 : 1

Kertas 150-200 : 1

Sisa Dapur Campur 15 : 1

Sumber : Paulin and O'malley, 2008

2.10.2 Ukuran Partikel

Ukuran bahan baku kompos akan mempengaruhi kecepatan proses pengomposan.

Semakin kecil ukuran bahan (5-10 cm), proses pengomposan berlangsung semakin

cepat. Hal ini terjadi karena adanya peningkatan luas permukaan bahan untuk

“diserang” mikroorganisme (Simamora, 2006). Namun, ukuran bahan tersebut jangan

terlalu kecil. Ukuran bahan mentah yang terlalu kecil akan menyebabkan rongga udara

berkurang sehingga timbunan mendai lebih mampat dan pasokan oksigen ke dalam

timbunan akan semakin berkurang. Jika pasokan oksigen berkurang, mikroorganisme

yang ada di dalamnya tidak bisa bekerja secara optimal.

16

Page 17: Proposal Awin

2.10.3 Aerasi

Pengomposan yang cepat dapat terjadi dalam kondisi yang cukup oksigen. Aerasi secara

alami akan terjadi pada saat terjadinya peningkatan suhu yang akan menyebabkan udara

hangat keluar dan udara yang lebih dingin masuk ke dalam tumpukan kompos. Aerasi

ditentukan oleh porositas, ukuran partikel bahan dan kandungan air bahan

(kelembaban). Apabila aerasi terhambat, maka dapat terjadi proses anaerob yang akan

menghasilkan amonia yang berbau menyengat. Aerasi dapat ditingkatkan dengan

pembalikan atau pengaliran udara ke tumpukan kompos.

2.10.4 Porositas

Porositas adalah rongga diantara partikel di dalam tumpukan kompos yang berisi air

atau udara. Udara akan mensuplai oksigen untuk proses pengomposan. Apabila rongga

memiliki kandungan air yang cukup banyak, maka pasokan oksigen akan berkurang dan

proses pengomposan akan terganggu. Porositas dipengaruhi oleh kadar air dan udara

dalam tumpukan. Oleh karena itu, untuk menciptakan kondisi porositas yang ideal pada

saat pengomposan, perlu diperhatikan kandungan air dan kelembaban kompos.

2.10.5 Kelembaban

Kelembaban memegang peranan yang sangat penting dalam proses metabolisme

mikroba dan secara tidak langsung berpengaruh pada suplai oksigen. Organisme

pengurai dapat memanfaatkan bahan organik apabila bahan organik tersebut larut di

dalam air. Kelembaban 40-60 % adalah kisaran optimum untuk metabolisme mikroba.

Apabila kelembaban di bawah 40%, aktivitas mikroba akan mengalami penurunan. Jika

kelembaban lebih besar dari 60%, maka unsur hara akan tercuci dan volume udara

berkurang, akibatnya aktivitas mikroba akan menurun dan akan terjadi fermentasi

anaerob. Oleh karena itu, menjaga kandungan air agar kelembaban ideal untuk

pengomposan sangatlah penting.

2.10.6 Suhu

17

Page 18: Proposal Awin

Panas dihasilkan dari aktivitas mikroba. Peningkatan antara suhu dengan konsumsi

oksigen memiliki hubungan perbandingan yang lurus. Semakin tinggi suhu, maka akan

semakin banyak konsumsi oksigen dan akan semakin cepat pula proses penguraian.

Tingginya oksigen yang dikonsumsi akan menghasilkan CO2 dari hasil metabolisme

mikroba sehingga bahan organik semakin cepat terurai. Peningkatan suhu dapat terjadi

dengan cepat pada tumpukan kompos. Suhu yang berkisar antara 30º-60ºC

menunjukkan aktivitas pengomposan yang cepat. Sedangkan suhu yang lebih tinggi dari

60ºC akan membunuh sebagian mikroba dan hanya mikroba termofilik saja yang tetap

bertahan hidup. Suhu yang tinggi juga akan membunuh mikroba-mikroba patogen

tanaman dan benih-benih gulma. Ketika suhu telah mencapai 70ºC, maka segera

lakukan pembalikan tumpukan atau penyaluran udara untuk mengurangi suhu, karena

akan mematikan mikroba termofilik.

2.10.7 Kadar pH

Proses pengomposan dapat terjadi pada kisaran pH 5.5 - 9. Proses pengomposan akan

menyebabkan perubahan pada bahan organik dan pH bahan itu sendiri. Sebagai contoh,

proses pelepasan asam secara temporer atau lokal akan menyebabkan penurunan pH

(pengasaman), sedangkan produksi amonia dari senyawa-senyawa yang mengandung

nitrogen akan meningkatkan pH pada fase-fase awal pengomposan. Kadar pH kompos

yang sudah matang biasanya mendekati netral. Kondisi kompos yang terkontaminasi air

hujan juga dapat menimbulkan masalah pH tinggi.

2.10.8 Kadar Air

Kadar air adalah persentase kandungan air suatu bahan yang dapat dinyatakan

berdasarkan berat basah (wet basis) atau berdasarkan berat kering (dry basis). Kadar air

berat basah mempunyai batas maksimum teoritis sebesar 100 persen sedangkan kadar

air berdasarkan berat kering dapat lebih dari 100 persen.

18

Page 19: Proposal Awin

2.10.9 Kotoran Ternak Sapi

Suatu usaha peternakan pasti menghasilkan limbah, disamping hasil utamanya. Limbah

ternak merupakan sisa buangan dari suatu kegiatan usaha peternakan seperti usaha

pemeliharaan ternak, rumah potong hewan, dan pengolahan produk ternak. Limbah ini

meliputi limbah padat dan limbah cair feses, urin, sisa makanan, embrio, kulit telur,

lemak, darah, bulu, kuku, tanduk, dan isi rumen. Semakin besar usaha peternakan maka

semakin besar pula limbah yang dihasilkan.

Seekor sapi diasumsikan memiliki berat 454 kg akan menghasilkan 30 kg limbah feses

dan urin setiap hari. Jika diasumsikan memiliki 100 ekor sapi, jumlah limbah yang

dihasilkan sebesar 3 ton per hari dan merupakan jumlah yang sangat besar. Keberadaan

limbah ini bisa berdampak negatif terhadap peternak dan lingkungan sekitar peternakan.

Memanfaatkan limbah sapi yang berupa kotoran atau feses dan air seni diolah menjadi

kompos atau pupuk organik sangat berguna bagi tanaman dan ini sangat membantu

Pemerintah dalam menanggulangi pencemaran lingkungan hasil limbah kotoran sapi

tersebut. Limbah padat organik biasanya mengandung berbagai mikroorganisme yang

mampu melakukan proses pengkomposan. Ketika kotoran sapi dipaparkan di udara dan

kandungan airnya sesuai, maka mikroorganisme mulai bekerja untuk proses

dekomposisi pengomposan. Selain oksigen dari udara dan air, mikroorganisme

memerlukan pasokan makan yang mengandung karbon dan unsur hara seperti nitrogen,

fosfor dan kalium. Kebutuhan makanan tersebut disediakan oleh sampah organik

domestik.

Kotoran Sapi mempunyai banyak mikroorganisme didalamnya, mikroba–mikroba

tersebut mempunyai peran–peran tersendiri hingga mampu memperbaiki dan

mempercepat proses pengomposan. Mikroba tersebut adalah sebagai berikut:

a. Mikroba lignolitik berperan dalam menguraikan ikatan lignoselulosa menjadi

selulosa dan lignin. Lignin ini kemudian diuraikan lagi oleh enzim lignase menjadi

derivate  lignin yang lebih sederhana sehingga mampu mengikat NH4.

b. Mikroba selulotik akan mengeluarkan enzim selulose yang dapat menghidrolisis

lignoselulosa menjadi selulosa lalu dihidrolisis lagi menjadi D-glukosa dan akhirnya 

menghasilkan asam laktat, etanol, CO2 dan amonia.

c. Bakteri proteolitik adalah bakteri yang memproduksi enzim protease ekstraseluler,

yaitu enzim pemecah protein yang diproduksi di dalam sel kemudian dilepaskan

19

Page 20: Proposal Awin

keluar dari sel. Semua bakteri mempunyai enzim protease di dalam sel, tetapi tidak

semua mempunyai enzim protease ekstraseluler. Mikroba proteolitik akan

mengeluarkan enzim protease yang dapat merombak protein

menjadi polipeptida, lalu menjadi peptida sederhana dan akhirnya menjadi asam

amino bebas, CO2 dan air.

d. Mikroba lipolitik akan menghasilkan enzim lipase yang berperan dalam

perombakan lemak.

e. Mikroba aminolitik akan menghasilkan enzim amilase yang berperan dalam

mengubah karbohidrat menjadi volatile fatty acids dan keto acids yang kemudian

akan menjadi asam amino.

2.10.10 Effective Microorganism 4

Effective Microorganism 4 atau biasa disingkat EM 4 berupa larutan cair berwarna

kuning kecoklatan, ditemukan pertama kali oleh Prof. Dr. Teruo Higa dari Universitas

Ryukyus Jepang. Cairan ini berbau sedap dengan rasa asam manis dan tingkat keasaman

(pH) kurang dari 3,5. Apabila tingkat keasaman 4,0 maka cairan ini tidak dapat

digunakan lagi. EM 4 merupakan kultur campuran berbagai mikroorganisme yang

bermanfaat terutama bakteri fotosintesis, bakteri asam laktat, ragi, Actinomycetes, dan

jamur peragian yang dapat digunakan sebagai inokulan untuk meningkatkan keragaman

mikroba tanah dan dapat memperbaiki kesehatan, serta kualitas tanah. Pada gilirannya

dapat memperbaiki pertumbuhan serta jumlah hasil tanaman (Habibi, 2009).

Menurut Habibi (2009), setiap spesies mikro organisme dalam EM 4 mempunyai

peranan masing-masing. Bakteri fotosintesis adalah pelaksana kegiatan EM 4 yang

terpenting karena mendukung kegiatan mikro organisme lain dan juga dapat

memanfaatkan zat-zat yang dihasilkan mikro organisme lain. EM 4 tidak berbahaya bagi

lingkungan karena kultur EM 4 tidak mengandung mikro organisme yang secara

genetika telah dimodifikasi. EM 4 terbuat dari kultur campuran berbagai spesies

mikrobayang terdapat dalam lingkungan alami seluruh dunia. Bahkan EM 4 bisa

diminum langsung.

Berikut jenis-jenis mikro organisme yang terdapat pada larutan EM 4 dan peranannya

(Habibi, 2009) :

20

Page 21: Proposal Awin

a. Bakteri Fotosintesis

Bakteri fotosintesis pada larutan EM 4 antara lain berperan sebagai pembentuk zat-zat

yang bermanfaat dari sekresi akar tumbuhan, bahan organik, dan gas-gas berbahaya

seperti hydrogen sulfide dengan menggunakan sinar matahari dan panas Bumi sebagai

sumber energi. Zat-zat bermanfaat itu antara lain asam amino, asam nukleik, zat-zat

bioaktif dan gula. Semuanya mempercepat pertumbuhan dan perkembangan tanaman.

Bakteri fotosintesis dapat meningkatkan pertumbuhan mikro organisme yang lainnya.

b. Bakteri Asam Laktat

Bakteri asam laktat dalam larutan EM 4 memiliki beberapa fungsi antara lain sebagai

berikut :

- Menghasilkan asam laktat dari gula

- Menekan pertumbuhan mikro organisme merugikan, misalnya Fusarium

- Meningkatkan percepatan perombakan bahan-bahan organik

- Dapat menghancurkan bahan-bahan organik seperti lignin dan selulosa, serta

memfermentasikannya tanpa menimbulkan pengaruh-pengaruh merugikan yang

diakibatkan oleh bahan-bahan organik yang tidak terurai.

c. Ragi

Peranan ragi dalam larutan EM 4 antara lain sebagai berikut :

- Membentuk zat antibakteri dan bermanfaat bagi pertumbuhan tanaman asam amino

dan gula yang dikeluarkan oleh bakteri fotosintesis.

- Meningkatkan jumlah sel aktif dan perkembangan akar.

d. Actinomycetes

Peranan Actinomycetes antara lain :

- Menghasilkan zat-zat antimikroba dari asam amino yang dihasilkan oleh bakteri

fotosintesis dari bahan organik

- Menekan pertumbuhan jamur dan bakteri

e. Jamur Fermentasi

21

Page 22: Proposal Awin

Peranan jamur fermentasi dalam larutan EM 4 antara lain :

- Menguraikan bahan organik secara cepat untuk menghasilkan alkohol, ester dan zat-

zat anti mikroba

- Menghilangkan bau serta mencegah serbuan serangga dan ulat yang merugikan

2.11 Kandungan Bahan Berbahaya

Beberapa bahan organik mungkin mengandung bahan-bahan yang berbahaya bagi

kehidupan mikroba. Logam-logam berat seperti Mg, Cu, Zn, Nickel, Cr dan Pb adalah

beberapa bahan yang termasuk kategori ini. Logam-logam berat ini tidak terurai dan

akan tetap ada. Logam berat tersebut dapat berasal dari bahan organik yang tercemari

lingkungan atau sampah lain disekitarnya. Air juga dapat menjadi media untuk

mencemari bahan kompos dengan logam berat. Bahan pencemar berbahaya bisa berasal

dari limbah baterai, aki, cat, dan lain-lain. Logam-logam berat ini dapat mempengaruhi

kerja dari mikroba dalam mengurai bahan organik (Paulin and O'malley, 2008).

2.12 Reaktor Keranjang Takakura

Pengomposan dengan menggunakan peralatan yang di buat khusus dapat mempercepat

proses pengomposan, salah satu contohnya, yaitu keranjang takakura. Keranjang

takakura merupakan alat pengomposan skala rumah tangga. Proses pengomposan

keranjang takakura merupakan proses pengomposan aerob dimana udara dibutuhkan

sebagai asupan penting dalam proses pertumbuhan mikroorganisme yang menguraikan

sampah menjadi kompos (Andriyana, 2012). Bahan-bahan mentah dihaluskan dan

dimasukkan selapis demi selapis sampai sampah layak kompos dan kotoran sapi habis.

22

Page 23: Proposal Awin

Gambar 2.1 Keranjang Takakura

Pemberian oksigen pada semua reaktor dilakukan secara pasif, di mana udara akan

masuk ke dalam tumpukan sampah melalui lubang pada reaktor. Selama proses

pengomposan akan dihasilkan cairan lindi. Lindi ditampung dengan ditambahkan

penyangga yang kedap air dibawah reaktor. Selama proses pengomposan, dilakukan

pembalikan bahan secara berkala untuk suplay oksigen untuk mikroorganisme.

Pengadukan ini perlu dilakukan untuk meratakan kontak antara sampah dan

mikroorganisme. Pengadukan juga bertujuan agar cairan hasil proses yang tertahan di

dalam sampah dapat dialirkan ke luar reaktor. (Andriyana, 2012).

23

Page 24: Proposal Awin

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan di laboratorium kampus Teknik Universsitas Mulawarman 

pada bulan Oktober 2014.

3.2 Alat dan Bahan

3.2.1 Alat

Alat yang akan digunakan pada penelitian ini adalah sebagai berikut ;

1. Reaktor kompos takakura

3.2.2 Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut ;

1. Sekam padi dan Lumen

2. Bakteri EM 4

3.3 Tahap pengumpulan Data

Tahap pengumpulan data dalam penelitian ini peneliti melakukan pengumpulan data-

data yang dapat menunjang penelitian sehingga memudahkan perancangan. Adapun

data-data yang dikumpulkan meliputi :

a. Data primer

Data primer adalah data utama yang diperoleh dari hasil pengamatan dan penelitian

di lapangan.

b. Data sekunder

Data sekunder adalah data-data pendukung dalam penelitian ini, seperti

pengumpulan data berdasarkan penelitian sebelumnya dan buku-buku terkait dengan

bahasan penelitian. Dimana data-data tersebut berupa gambar, grafik, tabel, dan data

pendukung lainnya.

3.4 Variabel Penelitian

24

Page 25: Proposal Awin

Adapun variabel penelitian ini terdiri dari variable terikat dan variabel bebas.

a. Variabel terikat penelitian ini terdiri dari varibel terikat dan variabel bebas.

i. Sekam padi dan Lumen sebagai bahan utama

ii. Reaktor pembentukan kompos

iii. Parameter yang diuji berupa kandungan C,N dan rasio C/N

b. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah :

i. pH yang berkisar antara 6.0 – 9.0

ii. Pengkondisian suhu

iii. Kadar air

3.5 Metode Penelitian

Bahan utama pembentukan kompos adalah lumen dengan metode takakura

3.6 Prosedur Penelitian

Dalam teknik pengumpulan data yang akan digunakan untuk memperoleh data primer

dan data sekunder, penelitian akan dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu:

3.6.1 Tahap Persiapan

- Studi pustaka, dilakukan untuk mendapatkan literatur-literatur yang ada

hubungannya dengan penelitian baik buku-buku pustaka maupun hasil penelitian

terdahulu.

- Penyiapan bahan dan alat penelitian.

3.6.2 Pengambilan Sampel

Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah sekam padi di daerah kilometer 4 jl

Soekarno Hatta dan lumen di rumah pemotongan hewan di Tanah Merah.

3.6.3 Pengoperasian Alat

Lumen terlebih dahulu dihitung kadar C, N dan rasio C/N nya kemudian dimasukan

kedalam reactor pembentukan kompos, kemudian setiap hari dilakukan pengadukan

agar bakteri merata di bahan pembuatan kompos.

25

Page 26: Proposal Awin

Gambar 3.1 Reaktor Takakura

3.6.3 Analisis Data

Pengambilan sampel limbah sekam padi dan lumen sebagai bahan baku utama kompos

yang di lakukan proses composting dan kemudian hasil dari composting dihitung kadar

C, N, dan rasio C/N.

26

Page 27: Proposal Awin

3.7 Bagan Alur

Gambar 3.2 Bagan Alur

(sumber : Data Primer, 2013)

27

Ide studi pembuatan kompos dengan bahan baku dari sekam padi dan lumen

Studi literatur

Perumusan masalah

Pengumpulan data Persiapan alat Persiapan bahan

Data sekunder- Jurnal- Penelitian sebelumnya- Buku yang terkait

bahasan

Data primer- Pengamatan dan

penelitian di laboratorium

- Menghitung kadar C, N dan rasio C/N

- Pengambilan bahan sekam padi dan lumen

- Pengambilan bakteri EM4

Analisis data hasil penelitian- Produksi kompos- Nilai C, N, rasio C/N

Kesimpulan dan Saran