Barelvi Mazhab Ka Ilmi Muhasbah Bajawab Deobandi Mazhab - Part 1
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB FAKULTAS...
Transcript of PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB FAKULTAS...
i
EFEKTIVITAS MEDIASI DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PERCERAIAN
DI PENGADILAN AGAMA KARAWANG
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (S.H)
Oleh:
Tian Nurmawan NIM: 1112043100034
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438H/2017M
EFEKTIVITAS MEDIAS I DALAM PENYDLESAIAN S ENGKETA
PE,RCA,RAIAN DI PENGADILAN AGAMA KARAWANG
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar
Sarjana Hukum Islam (S.H)
Oleh:
Tian Nu.rmawan
NIM: 1112043100034
Di bawah bimbingan
Pembimbing I
Dr. Umar Al Haddad. M. Ae.
NIP: 19680904199401 1001
Ummu Hanna Yusuf. M.A
NIP : I 96 1 0820 1 99603200 1
PROGRAM STUDI PER.BANDINGAN MAZIIAB
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNTVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438H/2017N{4
Pembimbing II
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
Skripsi yang berjudul "Efektivitas Mediasi Dalam Penyelesaian Sengketa
Perceraian Di Pengadilan Agama Karawang" telah diujikan dalam sidangskripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri OfN SyarifHidayatullah Jakarta pada tanggal 12 April 2017. Skripsi ini telah diterimasebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata Satu
(S1) Sarjana Hukum (S.H) pada Program Studi Perbandingan Mazhab.
Jakarta,12 Apnl20l7MengesahkanDekan Fakultas Syariah dan Hukum
PANITIA UJIAN SKRIPSI.
Ketua Fahmi Muhammad Ahmadi. M. SiNIP. 19741 213 200312 I 002
Hi. Siti Hanna. S. As. Lc. MANIP. 19740216 2A0801 2 013
Dr. Umar Al-Haddad. MA.NIP.19680904 199401 1 001
Ummu Hanna Yusuf. M.ANrP.19610820 t99603 2 001
Dr.H.Suprivadi Ahmad. M.ANrP.19581 128 199403 I 001
Sekretaris
Pembimbing I
Pembimbing IIt\lu,-ryi'tT
Penguji I
Penguji II
ilt
6 199603 1 001
Mustolih SHI MH.
...........)
LEMBAR PERI\TYATAAII
V*g bertanda tangan di bawah ini:
Nama
NIM
Fakultas
Jurusan
TianNurmawan
I 1 12043 100034
Syariah dan Hukum
Perbandingan Mazhab
Dengan ini saya menyatkan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil asli karya saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di Universitas Islam
Negeri ruf$ Syarif Hidayatullah JakartaSemua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah sayacantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
3. Jika kemudian hari terbukti karya ini bukan hasil karya asli saya ataumerupakan hasil jiplakan dari karya orang laiq maka saya bersediamenerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri SyarifHidatullah Jakarta
2.
IV
NIM: 1112043100034
v
ABSTRAK
Tian Nurmawan. NIM: 1112043100034. EFEKTIVITAS MEDIASI DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PERCEREAIAN DI PENGADILAN AGAMA KARAWANG. Program Studi Perbandingan Madzhab, Konsentrasi Perbandingan Madzhab Fikih, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2012. xiii + 75 halaman + 22 halaman lampiran.
Dalam beberapa tahun belakangan ini tingkat perceraian di Indonesia sangat tinggi sehingga banyak pula perkara perceraian yang harus di mediasi. Agar mediasi berjalan efektiv, dua elemen yang terkait harus bekerja dengan optimal. Pihak terkait adalah mediator atau hakim mediator serta para pihak yang berperkara. Dua elemen ini harus saling mendukung agar mediasi bekerja sesuai fungsinya, bukan hanya sekedar formalitas belaka karena diamanatkan oleh Perma yang dibuat oleh Mahkamah Agung
Skripsi ini ditulis untuk mengidentifikasi tingkat efektivitas mediasi dalam penyelesaian sengketa perceraian di Pengadilan Agama Karawang Tahun 2015. Untuk menjelaskan faktor-faktor pendukung keberhasilan mediasi dalam penyelesaian sengketa percereian di Pengadilan Agama Karawang Tahun 2015. Untuk mengetahui faktor-faktor penghambat keberhasilan mediasi di Pengadilan Agama Karawang Tahu 2015..
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif analitis adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang datapat dikelolah, mensintesiskan, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain serta dat dari hasil wawancara dengan para Mediator Hakim di Pengadilan Agama Karawang.
Dari penelitian ini disimpulkan, bahwa tingkat keefktivitasan mediasi dalam penyelesaian sengketa perceraian di Pengadilan Agama Karawang pada Tahun 2015 masih sangat rendah dan sangat jauh dari apa yang diharapkan. Faktor-faktor pendukungnya adalah para pihak bersifat kooperatif,kecakapan mediator, latar belakang pendidikan dan lingkungan dimana para pihak tinggal, mengingat anak, kondisi ruang mediasi, iktikad baik para pihak. Faktor-faktor penghambat diantaranya keinginan kuat para pihak untuk bercerai, konflik yang sudah meruncing, psikologis para pihak.
Kata kunci: Efektivitas Mediasi, Sengketa Perceraian, Pengadilan Agama Karawang.
Pembimbing : I. Dr. Umar Al-Haddad, M. Ag.
II. Ummu Hanna Yusuf, M.A.
Daftar Pustaka : Tahun 1934 s.d. Tahun 2014
vi
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan Semesta Alam, syukur yang tak
terhingga kupanjatkan pada Mu atas nikmat sehat, nikmat rizki, dan limpahan
kasih sayang Mu kepada hambamu ini sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini yang berjudul EFEKTIVITAS MEDIASI DALAM PENYELESAIAN
SENGKETA PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA KARAWANG.
Shalawat dan salam selalu terlimpahkan kepada Rasul Mulia Nabi Muhammad
SAW yang telah memberikan cahaya ilmu pengetahuan yang terang benderang di
dalam gelapnya kebodohan.
Penulis berbahagia dan mengucap syukur karena telah dapat
menyelesaikan tugas akhir dalam jenjang Strata satu (S-1) yang penulis tempuh
dengan banyak perjuangan. Serta menyadari akan kekurangan dan ketidak
sempurnaan dalam penulisan skripsi ini, sehingga penulis meminta maaf apabila
dalam penulisan ini skripsi ini jauh dari kata sempurna.
Selanjutnya penulis ingin memberikan serpihan kata kepada pihak yang
telah setia membantu dan mendukung penulis dalam menyelesaikan penulisan
skripsi ini. Dengan rasa hormat penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. Dede Rosyada, MA, Rektor Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta
2. Dr. H. Asep Saepudin Jahar MA., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
vii
3. Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si dan Ibu Hj. Siti Hana, S. Ag.,
Lc, MA, selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Perbandingan
Mazhab
4. Pembimbing akademik Ibu Hj. Siti Hana, S. Ag., Lc, MA dan seluruh
Dosen Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta
5. Dosen pembimbing skripsi Bapak Dr. Umar Al-Haddad, M.A, dan Ibu
Ummu Hanna Yusuf, M.A, yang selalu sabar dan istiqomah dalam
membimbing penulis serta memberikan nasihat-nasihat yang
menyejukan hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini
6. Terkhusus untuk kepada kedua orangtua penulis yang sangat penulis
cintai dan sayangi, Bapak H.Tandang Permana dan Hj. Euis Hapsah,
yang selalu memberikan doa bagi penulis serta selalu mendukung
penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas skripsi ini. Penulis
takkan pernah bisa membalas jasa dan pengorbanan kedua orangtua
penulis, namun perjuangan ini penulis persembahkan bagi kedua
orangtua penulis
7. Terima kasih pula untuk kakak-kakaku tercinta Fika Siti Rokayah,
Ardi Ahmad Wahdiyat, yang terus dan selalu memberikan doa serta
dukungan kepada penulis, terima kasih dan semoga adik mu menjadi
orang yang sukses dan bermanfaat bagi orang lain
viii
8. Terkhusus kepada kekasih tercinta adinda Neni Anggraeni, Amd.Keb,
yang selalu memberikan doa, support, motivasi dan dukungannya
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
9. Ucapan terima kasih juga terkhusus kepada Ahmad Rifai selaku
teman seperjuangan yang sangat banyak berkontribusi sehingga skripsi
ini dapat selesai dengan baik.
10. Terima kasih pula kepada Kang Ahmad Fauzi, S.E, Kang Ismail Abdul
Fatah, Kang Sugih Waluya Romdon, selaku orang yang telah banyak
membantu dan membimbing penulis ketika penulis memasuki awal
perkuliahan.
11. Untuk sahabat-sahabat penulis Ahmad Fabi Kriyan Ardani, SH. (baru
lulus, penulis tahu), Rezza Fazriyansyah (Kembaran Chris John),
Abdullah Mahfud, Bang Anas (Nasrullah), S.Kom.i selaku teman
kosan dan sahabat seperjuangan. Terima kasih kepada pihak yang tak
disebutkan penulis, namun tak mengurangi rasa terima kasih dan
hormat penulis kepada kalian semua. Semoga Allah SWT membalas
kebaikan hati kalian kepada penulis.
Jakarta, 12 April 2017
Tian Nurmawan
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ........................................................................................... i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA ............................................................. iii
LEMBAR PERNYATAAN ............................................................................... iv
ABSTRAK ........................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ......................................................................................... vi
DAFTAR ISI ........................................................................................................ ix
DAFTAR TABEL ............................................................................................... xii
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xiii
BAB I : PENDAHULUAN ........................................................................ 1
A. Latar Belakang Masalah ................................................................ 1
B. Identifikasi Masalah ...................................................................... 6
C. Rumusan dan Batasan Masalah ..................................................... 6
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...................................................... 7
E. Studi Review Terdahulu ................................................................ 8
F. Metode Penelitian .......................................................................... 10
G. Sistematika Penulisan .................................................................... 12
x
BAB II : KONSEP MEDIASI DAN PENERAPANNYA
A. Pengertian Mediasi ........................................................................ 13
B. Dasar Filosofis dan Yuridis Dalam Mediasi ................................. 14
C. Keuntungan Menggunakan Proses Mediasi .................................. 17
D. Peran dan Fungsi Mediator ............................................................ 18
E. Proses Mediasi ............................................................................... 21
F. Mediasi Dalam Perspektif Islam ................................................... 26
BAB III : TEORI EFEKTIVITAS HUKUM
A. Pengertian Efektivitas .................................................................... 33
B. Bekerjanya Hukum Dalam Masyarakat ......................................... 33
C. Teori Efektivitas Hukum ............................................................... 38
BAB IV :
A. Profil Pengadilan Agama Karawang ............................................. 42
B. Analisis Efektivitas Mediasi .......................................................... 45
1. Tinjauan Yuridis Perma No.1 Tahun 2008 dan Perma No.1
Tahun 2016 .............................................................................. 45
2. Kualifikasi Mediator ................................................................ 51
3. Fasilitas dan Sarana ................................................................. 56
4. Kepatuhan Masyarakat ............................................................ 59
ANALISIS TENTANG EFEKTIVITAS MEDIASI DI PENGADILAN AGAMA KARAWANG
xi
5. Kebudayaan ............................................................................. 60
C. Tingkat Keberhasilan Mediasi ....................................................... 62
D. Faktor Pendukung dan Penghambat Keberhasilan Mediasi .......... 64
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................................... 68
B. Saran-saran .................................................................................... 70
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 72
LAMPIRAN ......................................................................................................... 76
xii
DAFTAR TABEL
TABEL 1: Daftar Perceraian Pengadilan Agama Karawang 2011-2015.............. 5
TABEL 2: Struktur Organisasi Pengadilan Agama Karawang ............................. 44
TABEL 3: Perbedaan PERMA Nomor 1 Tahun 2008 dan Perma Nomor 1 Tahun
2016 .................................................................................................... 50
TABEL 4: Daftar Mediator Pengadilan Agama Karawang .................................. 52
TABEL 5: Jadwal Mediator ................................................................................. 58
TABEL 6: Diagram Perceraian Pengadilan Agama 4 Tahun Terkahir ................ 61
TABEL 7: Laporan Tahunan Mediasi Pengadilan Agama Karawang Tahun 2015
............................................................................................................ 62
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
LAMPIRAN 1: Hasil Wawancara Penelitian
LAMPIRAN 2: Foto bersama para Mediator Hakim Pengadilan Agama karawang
LAMPIRAN 3: Surat Keterangan Penelitian di Pengadilan Agama Karawang
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia berada diperingkat tertinggi memiliki angka perceraian paling
banyak dalam setiap tahunnya, dibandingkan negara Islam didunia lainnya. Hal
tersebut diungkapkan oleh Dirjen Bimas Islam Departemen Agama dalam acara
Pembukaan Pemilihan Keluarga Sakinah dan Pemilihan Kepala KUA Teladan
Tingkat Nasional 2016. Menurutnya, gejolak yang mengancam kehidupan struktur
keluarga ini semakin bertambah jumlahnya pada tiga tahun terakhir ini.
Tambahnya lagi bahwa setiap tahun ada 2 juta perkawinan, tetapi yang
memilukan perceraian bertambah menjadi dua kali lipat, setiap 100 orang yang
menikah, 10 pasangannya bercerai, dan umumnya mereka yang baru berumah
tangga.1
Jika di tahun 2013 BKKBN menyatakan tingkat perceraian di Indonesia
sudah menempati urutan tertinggi se Asia Pasifik, ternyata di tahun-tahun
berikutnya jumlah perceraian tetap semakin meningkat. Melihat data pernikahan
dan perceraian di Indonesia yang dirilis oleh Kementrian Agama RI, tampak
pernikahan relatif tetap di angka dua juta dua ratusan ribu setiap tahun, sementara
perceraian selalu meningkat hingga tembus di atas tiga ratus ribu kejadian setiap
tahunnya. Tahun 2009, jumlah angka pernikahan sebanyak 2.162.268 kejadian
1Angka Perceraian di Indonesia Tertinggi Dibanding Negara Islam lain,
http://www.eramuslim.com/berita/nasional/angka-perceraian-di-indonesia-tertinggi-dibanding-negara-islam-lain.htm, diakses pada 9 Juni 2016, jam 16.12 WIB.
http://www.eramuslim.com/berita/nasional/angka-perceraian-di-indonesia-tertinggi-dibanding-negara-islam-lain.htmhttp://www.eramuslim.com/berita/nasional/angka-perceraian-di-indonesia-tertinggi-dibanding-negara-islam-lain.htm
2
dan perceraian sebanyak 216.286 kejadian. Lalu pada tahun 2010 jumlah angka
pernikahan sebanyak 2.207.364 kejadian dan perceraian sebanyak 285.184
kejadian. Tahun 2011 jumlah angka pernikahan sebanyak 2.319.821 kejadian dan
perceraian sebanyak 258.119 kejadian. Tahun 2012, jumlah angka pernikahan
sebanyak 2.291.265 kejadian dan perceraian sebanyak 372.577 kejadian.
Selanjutnya, pada tahun 2013 jumlah angka perceraian sebanyak 2.218.130
kejadian dan perceraian sebanyak 324.527 kejadian.2
Data Kementerian Agama RI, disampaikan oleh Kepala Subdit
Kepenghuluan, Anwar Saadi, Jumat 14 November 2014. Dimuat di Republika
Online 14 September 2014, Sebagai sampel kita ambil data dua tahun terakhir di
2012 dan 2013 saja. Jika diambil tengahnya, angka perceraian di dua tahun itu
sekitar 350.000 kasus. Berarti dalam satu hari rata-rata terjadi 959 kasus
perceraian, atau 40 perceraian setiap jam.
Provinsi Jawa Barat yang juga paling banyak penduduknya, menjadi
provinsi yang paling tinggi angka perceraiannya. Badan Peradilan Agama MA
pada 2010, mengungkap terdapat 33.684 kasus cerai di sana. Tempat kedua
adalah Jawa Timur, yaitu sebanyak 21.324 kasus. Posisi ketiga Jawa Tengah
dengan 12.019.3 Indramayu adalah kabupaten di Jawa Barat dengan angka
perceraian tertinggi di Indonesia pada 2015. Jumlah perceraian tahun 2015 pun
meningkat dibandingkan dengan tahun 2014 dan didominasi oleh usia produktif.
2Cahyadi Takariawan, Di Indonesia 40 Perceraian Setiap Jam,
http://www.kompasiana.com/pakcah/di-indonesia40perceraiansetiapjam_54f357c07455137a2b6c7115, diakses 9 Juni 2016, jam 23.48.
3 Cerai Paling Banyak di Jawa barat, http://www.antaranews.com/berita/270213/cerai-paling-banyak-di-jawa-barat, diakses pada 9 Juni 2016, jam 22.59.
http://www.kompasiana.com/pakcah/di-indonesia40perceraiansetiapjam_54f357c07455137a2b6c7115http://www.kompasiana.com/pakcah/di-indonesia40perceraiansetiapjam_54f357c07455137a2b6c7115http://www.antaranews.com/berita/270213/cerai-paling-banyak-di-jawa-barathttp://www.antaranews.com/berita/270213/cerai-paling-banyak-di-jawa-barat
3
Ungkap Kepala Pengadilan Agama Indramayu, Anis Fuadz di kantornya, kamis
14 Januari 2016 lalu. Dia menyebutkan, Indramayu menempati peringkat pertama
dengan 9.444 kasus, diikuti Malang sebanyak 8.497 kasus, Surabaya 8.262 kasus,
Kabupaten Cirebon 7.991 kasus. Sementara di Jawa Barat setelah Indramayu, dia
memprediksi di peringkat kedua ditempati Kabupaten Tasik atau Kota Cimahi.4
Data statistik yang cukup mengejutkan juga dilansir oleh Badilag. Badan
Peradilan Agama Mahkamah Agung RI menyebutkan pada tahun 2009 perkara
perceraian yang diputus Pengadilan Agama/Mahkamah Syariyah mencapai
223.371 perkara. Perkara cerai gugat berjumlah 150.000. Ini berarti 65% dari
perkara perceraian yang diproses di Pengadilan Agama di seluruh Indonesia
adalah cerai gugat.5 Dilansir dari sumber yang berbeda, data Ditjen Badilag MA,
mencatat 285.184 perkara berakhir dengan perceraian ke Pengadilan Agama se
Indonesia pada tahun 2010, dimana dalam 5 tahun terakhir, peningkatan perkara
yang masuk bisa mencapai 81%.6
Berkaitan dengan hal ini, ada badan hukum yang di bentuk oleh Departemen
Agama yang dipercaya untuk menangani hal ini. Badan Penasihat Perkawinan dan
Penyelesaian Perkawinan adalah badan yang dibentuk oleh Departemen agama,
untuk mendamaikan atau memediasikan para pihak yang beragama Islam yang
4Asep Budiman, Kasus Cerai Indramayu tertinggi di Indonesia, http://www.pikiran-
rakyat.com/jawa-barat/2016/03/15/364250/kasus-cerai-indramayu-tertinggi-di-indonesia, diakses 9 Juni 2016, jam 23.30.
5 Nurhasanah dan Rozalinda, Persepsi Perempuan Terhadap Perceraian, Kafaah: Jurnal Ilmiah kajian Gender, Vol 4 No.2, Tahun 2014, hal 2.
6 Fachrina dan Rinaldi Eka Putra, Upaya Pencegahan Perceraian Berbasis Keluarga Luas dan Institusi lokal dalam Masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat, Antropologi Indonesia, Vol 34 No.2, tahun 2013, h 5.
http://www.pikiran-rakyat.com/jawa-barat/2016/03/15/364250/kasus-cerai-indramayu-tertinggi-di-indonesiahttp://www.pikiran-rakyat.com/jawa-barat/2016/03/15/364250/kasus-cerai-indramayu-tertinggi-di-indonesia
4
ingin bercerai.7 Sesuai dengan Peraturan Menteri Agama No. 3 Tahun 1975 Pasal
28 ayat (3) menyebutkan bahwa:
Pengadilan Agama dalam berusaha mendamaikan kedua belah pihak dapat meminta bantuan kepada Badan Penasihat Perkawinan, Perselisihan, dan Perceraian (BP4) agar menasehati kedua suami istri tersebut untuk hidup makmur lagi dalam rumah tangga.
Biasanya pihak-pihak yang ingin mengajukan perceraian ke Pengadilan
Agama, pertama kali mereka mendatangi BP4 ini. Namun, meskipun para pihak
belum mendatangi atau belum melalui proses BP4, dan langsung mengajukan
perceraian ke Pengadilan Agama, Pengadilan Agama tetap menerima perkara
tersebut, perkara yang diajukan ke Pengadilan Agama baik yang sudah melalui
proses BP4 maupun yang belum, para pihak dalam perkara tersebutwajib
diupayakan perdamaian oleh hakim yang memeriksa dan mengadili perkara
tersebut.8
Akan tetapi mediasi yang dilakukan di Pengadilan Agama perlu dilakukan
kajian atau penelitian mengingat tingginya kasus perceraian. Berkaitan dengan hal
ini, penulis melakukan penelitian di Pengadilan Agama Karawang. Berdasarkan
data statistik yang dilansir di situs resmi Pengadilan Agama Karawang, Pada
tahun 2011 terdapat 1.276 perkara yang didominasi cerai gugat berjumlah 846
perkara dan cerai talak berjumlah 430 perkara. Pada tahun 2012 terdapat 1.638
perkara yang tetap didominasi oleh cerai gugat bahkan cenderung meningkat
7 Nurnaningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan,
(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011), h 134. 8 Nurnaningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan,
(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011), h 135
5
dengan jumlah 1.131 perkara dan cerai talak sebanyak 507 perkara. Lalu pada
tahun 2013 cenderung terus mengalami peningkatan dengan jumlah perkara
sebanyak 1812 perkara dengan perkara cerai gugat sebanyak 1.267 dan cerai talak
berjumlah 545 perkara. Selanjutnya pada tahun 2014 jumlah perkara perceraian
sebanyak 1.761 perkara dengan perkara cerai gugat berjumlah 1.294 dan perkara
cerai talak mengalami penurun menjadi 467 kasus.9 Lalu pada tahun 2015 jumlah
perkara perceraian sebanyak 1900 perkara dengan perkara cerai gugat sebanyak
1.350 perkara dan 550 perkara cerai talak. Kesimpulan yang di dapat dari data di
atas adalah selama 4 tahun terakhir perkara perceraian cenderung mengalami
peningkatan yang signifikan dengan didominasi oleh perkara cerai gugat.
Tabel 1
DAFTAR PERKARA PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA
KARAWANG TAHUN 2011-2015
Tahun Jumlah Perkara Cerai Talak Cerai Gugat
2011 1.267 perkara 430 perkara 846 perkara
2012 1.638 perkara 507 perkara 1.131 perkara
2013 1812 perkara 545 perkara 1.267 perkara
2014 1761 perkara 467 perkara 1.294 perkara
2015 1900 perkara 550 perkara 1.350 perkara
9 http://www.pa-karawang.go.id/, diakses pada tanggal 12 Juni 2016,jam 21.09.
http://www.pa-karawang.go.id/
6
Berangkat dari tujuan awal untuk mengetahui tingkat keefektivan mediasi di
Pengadilan Agama, maka penulis beranggapan bahwa masalah ini perlu dijadikan
objek penelitian dalam sebuah skripsi karena akhir-akhir ini perkara perceraian
mengalami peningkatan yang signifikan. Tulisan ini ingin mengetahui efektivitas
mediasi di Pengadilan Agama dalam sebuah skripsi yang berjudul Efektivitas
Mediasi Dalam Penyelesaian Sengketa Perceraian Di Pengadilan Agama
Karawang Tahun 2015.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka dapat
diidentifikasi beberapa masalah sebagai berikut:
1. Indonesia adalah negara tertinggi tingkat perceraian.
2. Jumlah perceraian di Indonesia semakin meningkat.
3. Upaya pemerintah untuk meminimalisir angka perceraian di Indonesia.
4. Tingkat keberhasilan mediasi dalam proses penyelesaian sengketa
perceraian di Pengadilan Agama Karawang tahun 2015.
5. Faktor-faktor pendukung dan penghambat terhadap tingkat keberhasilan
mediasi di Pengadilan Agama Karawang tahun 2015.
C. Batasan dan Rumusan Masalah
1. Batasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah yang telah penulis kemukakan, agar
permasalahan yang akan penulis bahas tidak meluas, maka penulis membatasi
permasalahan sebagai berikut:
7
a. Efektivitas dibatasi pada keberhasilan dalam mediasi penyelesaian
sengketa perceraian
b. Mediasi penyelesaian sengketa perceraian dibatasi pada perkara Tahun
2015
c. Data tentang penyelesaian sengketa perceraian dibatasi pada sengketa
perceraian di Pengadilan Agama Karawang
d. Data yang diteliti dibatasi pada data tahun 2015 karena pada tahun
tersebut merupakan angka perceraian tertinggi.
2. Rumusan Masalah
Dalam mempermudah penulis menganalisa permasalahan, penulis
menyusun rumusan masalah sebagai berikut:
a. Bagaimana efektivitas mediasi dalam proses penyelesaian sengketa
perceraian di Pengadilan Agama Karawang?
b. Apa saja faktor pendukung keberhasilan mediasi penyelesaian sengketa
perceraian di Pengadilan Agama Karawang?
c. Apa saja faktor penghambat mediasi penyelesaian sengketa perceraian di
Pengadilan Agama Karawang?
3. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Dalam penulisan ini, ada beberapa tujuan yang hendak dicapai oleh penulis,
tujuan yang dimaksud adalah:
1. Untuk mengidentifikasi tingkat keberhasilan efektivitas mediasi dalam
proses penyelesaian sengketa perceraian di Pengadilan Agama Karawang
Tahun 2015.
8
2. Untuk menjelaskan faktor-faktor pendukung keberhasilan mediasi dalam
penyelesaian sengketa perceraian di Pengadilan Agama Karawang Tahun
2015.
3. Untuk menjelaskan faktor-faktor penghambat mediasi dalam penyelesaian
sengketa perceraian di Pengadilan Agama Karawang Tahun 2015.
Adapun manfaat penelitian ini adalah:
a. Akademis
Secara akademis, hasil dari observasi ini diharapkan dapat menjadi
bahan penyuluhan tentang pelaksanaan mediasi di Pengadilan Agama
Karawang.
b. Praktis
Secara praktis, hasil dari observasi ini diharapkan menjadi masukan
bagi pihak Pengadilan Agama guna meningkatkan keefektivitasan mediasi
dalam penyelesaian sengketa perceraian. Dan bagi pihak lain, diharapkan
dapat membantu untuk mengadakan observasi serupa.
4. Studi Review Terdahulu
Untuk mengetahui kajian terdahulu yang telah ditulis oleh penulis lainnya,
maka penulis meninjau beberapa skripsi terdahulu yang pembahasannya hampir
sama dengan pembahasan yang penulis kaji. Dalam hal ini penulis menemukan
beberapa skripsi, yaitu:
9
1. Skripsi dengan judul Efektivitas Mediasi Dalam Perkara Perceraian di
Pengadilan Agama Depok yang ditulis oleh Hidayatulloh (2011).10 Dalam
Skripsi ini menjelaskan bahwa pada tahun 2009 dari 269 perkara, yang
berhasil dimediasi sebanyak 38 perkara (14.1%). Pada tahun 2010 dari 187
perkara, yang berhasil dimediasi sebanayak 13 perkara (6.9%). Dapat
disimpulkan, tingkat keberhasilan mediasi belum efektif.
2. Skripsi dengan judul Efektivitas Mediasi Dalam Penyelesaian Perkara
Perceraian di Pengadilan Agama Maros yang ditulis oleh Sari,M (2014).11
Dalam skripsi ini menjelaskan bahwa pada tahun 2011 dari 74 perkara, yang
berhasil dimediasi sebanyak 1 perkara. Pada tahun 2012 dari 65 perkara,
yang berhasil dimediasi sebanyak 1 perkara. Dan pada tahun 2013 dari 63
perkara, yang berhasil dimediasi sebanyak 1 perkara. Dapat disimpulkan,
tingkat keberhasilan mediasi belum efektif.
Pembahasan dalam dua skripsi yang telah penulis kemukakan di atas
membahas pokok permasalahan yang sama, namun masing-masing meneliti pada
objek atau tempat yang berbeda. Pada skripsi pertama, yang menjadi objek
penelitian adalah Pengadilan Agama Depok. Pembahasan pada skripsi kedua,
yang menjadi objek penelitian adalah Pengadilan Agama Maros. Selanjutnya,
objek penelitian yang penulis teliti adalah Pengadilan Agama Karawang. Dengan
demikian, objek penelitian yang penulis teliti belum pernah ada yang
membahasnya.
10 Hidayatulloh, Efektivitas Mediasi Dalam Perkara Perceraian di Pengadilan Agama
Depok, Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2011. 11 Sari, M, Efektivitas Mediasi Dalam Penyelesaian Perkara Perceraian di Pengadilan
Agama Maros, Skripsi Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar, 2014.
10
5. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Menurut Bogdan dan Biglen dalam Moleong, kualitatif analitis adalah
upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan
data, memilah-milahnya menjadi satuan yang datapat dikelolah,
mensintesiskan, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang
penting dan apa yang dipelajari dan memutuskan apa yang dapat diceritakan
kepada orang lain.12
2. Sumber Data
Data yang terhimpun dalam penelitian ini terdiri dari dua bagian,
yaitu:
1. Data primer: Sumber data ini didapatkan dari hasil observasi langsung
ke Pengadilan Agama Karawang serta hasil wawancara dengan para
Hakim di Pengadilan Agama Karawang.
2. Data sekunder : Sumber data ini penulis ambil dari teks undang-
undang yang berkaitan dengan hal ini adalah Pasal 130 HIR dan 154
RBg, SEMA No.1 Tahun 2002 Tentang Pemberdayaan Pengadilan
Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai Pasal 130 HIR/154
RBg, PERMA No.2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di
Pengadilan, PERMA No.1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di
Pengadilan ,undang-undang No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan
12 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
2009), h 248.
11
Agama, undang-undang No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman, beberapa buku-buku terkait yang membahas tentang
mediasi di Pengadilan, serta beberapa skripsi, artikel-artikel terkait
mengenai hal ini yang dapat digunakan untuk mendukung dan
melengkapi data primer.
3. Teknik Pengumpulan data
Dalam penelitian kali ini, penulis menggunakan teknik pengumpulan
data dengan wawancara langsung terhadap hakim-hakim atau pegawai
terkait di Pengadilan Agama Karawang serta melalui pengamatan langsung
atau observasi.
4. Metode Analisis Data
Data yang telah terkumpul kemudian dianalisis secara tematik
deskriptif yaitu dengan cara pendeskripsian atau penggambaran yang
dituangkan ke dalam bentuk paragraf yang kemudian diklasifikasikan sesuai
dengan jenis jawaban yang diberikan kepada narasumber.
5. Tehnis Penulisan Skripsi
Penulisan skripsi ini berpedoman pada Buku Pedoman Penulisan
Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negri Syarif
Hidayatullah Jakarta yang diterbitkan oleh FSH UIN Jakarta tahun 2012.
12
6. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan dalam penulisan skripsi ini, penulis membuat
sistematika penulisan dengan membagi kepada lima (5) bab, tiap-tiap bab terdiri
dari sub-sub bab dengan rincian sebagai berikut:
BAB I : Dalam bagian pendahuluan ini berisi latar belakang masalah,
identifikasi masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, review terdahulu, kerangka
berpikir, metode penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II : Membahas tentang konsep mediasi dan penerapannya berupa
pengertian mediasi, asas-asas umum dalam proses medasi,
keuntungan menggunakan mediasi, peran dan fungsi mediator,
proses mediasi dan mediasi dalam islam.
BAB III : Membahas tentang teori efektivitas berupa pengertian mediasi,
bekerjanya hukum dalam masyarakat, dan teori efektivitas
hukum.
BAB IV: Membahas tentang analisis efektivitas mediasi berupa profil
Pengadilan Agama Karawang, analisis efektivitas mediasi,
tingkat keberhasilan mediasi, dan faktor pendukung dan
penghambat keberhasilan mediasi.
BAB V : Merupakan bab penutup berisi kesimpulan dan saran-saran.
13
BAB II
KONSEP MEDIASI DAN PENERAPANNYA
A. Pengertian Mediasi
Istilah mediasi berasal dari bahasa Latin medius medium yang artinya
berada ditengah. Mediasi merupakan salah satu bentuk negosiasi antara dua pihak
(dyadic model) dengan melibatkan pihak ketiga (triadic model) dengan
tujuan membantu tercapainya penyelesaian yang bersifat kompromis.1 Pada
dasarnya, mediasi adalah negosiasi yang melibatkan pihak ketiga yang memiliki
keahlian mengenai prosedur mediasi yang efektif, dapat membantu dalam situasi
konflik untuk mengordinasi aktivitas mereka sehingga lebih efektif dalam proses
tawar-menawar.2
Menurut Priyatna Abdurrasyid, mediasi merupakan suatu proses damai
bahwa para pihak yang bersengketa menyerahkan penyelesaiannya kepada
mediator (seseorang yang mengatur pertemuan antara dua pihak atau lebih yang
bersengketa) untuk mencapai hasil akhir yang adil, tanpa membuang biaya yang
besar, tetapi tetap efektif dan diterima sepenuhnya oleh kedua belah pihak yang
bersengketa secara sukarela.3
Pengertian mediasi yang lain menurut Dwi Rezki Sri Astarini adalah proses
penyelesaian sengketa alternatif bahwa para pihak yang bersengketa dengan itikad
1 Valerine J.L. Kriekhoff, Mediasi: Sebagai Bentuk Penyelesaian Sengketa Keluarga dalam
buku Bunda Reghena, (Pustaka Dunia, 2012), h 615. 2 Nurnianingsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan,
(Jakarta: Raja Grafindo, 2011), h 28. 3 Priyatna Abdurrasyid, Arbitase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa; Suatu Pengantar,
(Jakarta: Fikahati Anesta, 2002), h 34.
14
baik berusaha mendamaikan sengketa diantara mereka, dengan dibantu oleh
mediator netral, untuk mencapai hasil yang adil dan dapat diterima oleh kedua
belah pihak untuk dilaksanakan dengan sukarela.4
Demikian pula ketentuan dalam Pasal 1 angka 1 PERMA Nomor 1 Tahun
2016 terdapat rumusan pengertian mediasi, sebagai berikut:
Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk
memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator
B. Dasar Filosofis dan Yuridis Dalam Mediasi
Pelembagaan dan permberdayaan mediasi di Pengadilan (Court Connected
Mediation) juga tidak terlepas pula dari landasan filosofis yang bersumber pada
dasar negara kita, yaitu Pancasila, terutama sila keempat yang berbunyi
Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/
Perwakilan. Sila keempat dari Pancasila ini diantaranya menghedaki, bahwa
upaya penyelesaian sengketa atau konflik atau perkara dilakukan melalui
musyawarah untuk mencapai mufakat yang diliputi oleh semangat kekeluargaan.
Hal ini mengadung arti, bahwa setiap sengketa/konflik/perkara hendaknya
diselesaikan melalui proses perundingan atau perdamaian di antara para pihak
yang bersengketa untuk memperoleh kesepakatan bersama.5
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa dasar hukum yang mengatur
pengintegrasian mediasi dalam sistem peradilan pada dasarnya bertitik tolak pada
4 Dwi Rezki Sri Astarini, Mediasi Pengadilan Salah Satu Bentuk Penyelesaian Sengketa
Berdasarkan Asas Peradilan Cepat,Sederhana,Biaya Ringan, (Bandung: PT Alumni, 2013),h 89. 5 Rachmadi Usman, Mediasi di Pengadilan Dalam Teori Dan Praktik, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2012), h 26.
15
ketentuan HIR dan RBg. HIR merupakan singkatan dari Herziene Inlandsch
Reglement (Reglemen Indonesia Baru) merupakan salah satu sumber hukum acara
perdata bagi daerah Pulau Jawa dan Madura peninggalan colonial Hindia Belanda
yang masih berlaku di negara kita hingga kini. Sedangkan, RBg adalah singkatan
dari Rechtsreglementvoor de Buitengewesten (Reglement untuk daerah seberang),
merupakan Hukum Acara Perdata bagi daerah luar pulau Jawa dan Madura.
Secara lebih lengkap ketentuan pasal ini adalah:6
1. Jika pada hari yang ditentukan, kedua belah pihak datang, maka pengadilan negeri dengan pertolongan ketua mencoba akan mendamaikan mereka.
Selanjutnya pada ayat (2) berbunyi:
2. Jika perdamaian yang demikian itu dapat dicapai, maka pada waktu bersidang, diperbuat sebuah surat akta tentang itu, dalam mana kedua belah pihak dihukum akan menempati perjanjian yang diperbuat itu, surat akan berkekuatan dan akan dijalankan sebagai keputusan biasa.
Selanjutnya dalam Pasal 154 RBg adalah:
1. Bila pada hari yang telah ditentukan para pihak dating menghadap, maka Pengadilan Negeri dengan perantaraan ketua berusaha mendamaikannya.
2. Bila dapat dicapai perdamaian, maka di dalam siding itu juga dibuatkan suatu akta dan para pihak dihukum untuk menaati perjanjian yang telah dibuat, dan akta itu mempunyai kekuatan serta dilaksanakan seperti suatu surat keputusan biasa.
Dapat dikatakan bahwa mediasi di Pengadilan ini merupakan hasil
pengembangan dan pemberdayaan kelembagaan perdamaian sebagaimana diatur
dalam ketentuan Pasal 130 HIR/154 RBg, yang mengharuskan hakim
menyidangkan suatu perkara dengan sungguh-sungguh mengusahakan
perdamaian diantara para pihak yang berperkara. Namun Mahkamah Agung
mensinyalir, bahwa hakim tidak menerapkan ketentuan ini hanya sekedar
6 Prof. DR. Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan
Hukum Nasional, (Jakarta: Kencana, 2009),h 287.
16
formalitas menganjurkan perdamaian di hadapan para pihak yang bersengketa.7
Kenyataan praktik yan dihadapi, jarang dijumpai putusan perdamaian. Produk
yang dihasilkan peradilan dalam penyelesaian perkara yang diajukan kepadanya
hampir seratus persen berupa putusan konvensional yang bercorak menang atau
kalah (winning or losing). Jarang ditemukan penyelesaian berdasarkan konsep
sama-sama menang (win-win solution).
Pasal 130 HIR/154 RBg yang memerintahkan usaha perdamaian oleh
hakim, dijadikan modal utama dalam membangun perangkat hukum mediasi
pengadilan, yang sudah dirintis sejak tahun 2002 melalui SEMA Nomor 1 Tahun
2002 Tentang Pemberdayaan Pengadian Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga
Damai Pasal 130 HIR/154 RBg yang kemudianpada tahun 2003 disempurnakan
melalui PERMA Nomor 2 Tahun 2003 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.8
Kemudian merasa PERMA Nomor 2 Tahun 2003 dirasa belum efektif,
maka Mahmakah Agung merevisi kembali dengan lahirnya PERMA Nomor 1
Tahun 2008. Kehadiran PERMA Nomor 1 Tahun 2008 dimaksudkan untuk
memberikan kepastian, ketertiban, kelancaran dalam proses mendamaikan para
pihak untuk menyelesaikan suatu sengketa perdata. Hal ini daat dilakukan dengan
menintensifkan dan mengintegrasikan proses mediasi ke dalam prosedur
berperkara di pengadilan. Mediasi mendapat kedudukan penting dalam PERMA
Nomor 1 Tahun 2008, karena proses mediasi merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dalam proses berperkara di pengadilan. Hakim wajib mengikuti
7 Rachmadi Usman, Mediasi di Pengadilan Dalam Teori Dan Praktik, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2012), h 27. 8 Dwi Rezki Sri Astarini, Mediasi Pengadilan Salah Satu Bentuk Penyelesaian Sengketa
Berdasarkan Asas Peradilan Cepat,Sederhana,Biaya Ringan, (Bandung: PT Alumni, 2013),h 124.
17
prosedur penyelesaian sengketa melalui mediasi, bila hakim melanggar atau
enggan menerpkan prosedur mediasi, putusan hakim tersebut batal demi hukum
(Pasal 2 ayat (3) PERMA).9
C. Keuntungan Menggunakan Proses Mediasi
Bagi pihak-pihak yang berseteru, memecahkan masalah dengan
membawanya ke meja hijau terkadang dirasa kurang begitu efektif. Banyak
kelebihan yang ditawarkan oleh mediasi dibandingkan dengan proses litigasi,
yaitu:10
a. Ada dua asas penting dalam mediasi.
Pertama, menghindari menang kalah (win loose), melainkan sama-sama
menang (win-win solution). Sama-sama menang bukan saja dalam arti
ekonomi atau keuangan, melainkan termasuk juga kemenangan moril reputasi
(nama baik dan kepercayaan). Kedua, putusan tidak mengutamakan
pertimbangan dan alasan hukum, melainkan atas dasar kesejajaran, kepatutan
dan rasa keadilan;
b. Telah pula dikemukakan, penyelesaian melalui mediasi mempersingkat waktu
penyelesaian sengketa dibandingkan berperkara. Waktu yang panjang dalam
berperkara tidak hanya menjadi beban ekonomi keuangan. Yang tidak kalah
pentingnya adalah beban psikologis yang akan mempengaruhi berbagai sikap
dan kegiatan pihak yang berperkara;
9 Dwi Rezki Sri Astarini, Mediasi Pengadilan Salah Satu Bentuk Penyelesaian Sengketa
Berdasarkan Asas Peradilan Cepat,Sederhana,Biaya Ringan, (Bandung: PT Alumni, 2013),h 124-125.
10 Bagir Manan, Mediasi Sebagai Alternatif Menyelesaikan Sengketa, Varia Peradilan, No. 248 Juli 2006, h 5-16.
18
c. Bagi masyarakat Indonesia, berperkara menimbulkan efek sosial, yaitu
putusnya hubungan persaudaraan atau hubungan sosial. Bukan saja antar
pihak yang berperkara. Efek sosial dapat memperluas sampai kepada
hubungan kekerabatan yang lebih luas. Hal ini dapat terjadi karena suatu
perkara bukan saja menjadi kepentingan dan harga diri yang berperkara,
melainka juga dapat merambat ke kerabat.
d. Mediasi sangat sesuai dengan dasar pergaulan sosial masyarakat Indonesia
yang mengutamakan dasar kekerabatan, paguyuban, kekeluargaan dan gotong
royong. Dasar-dasar tersebut dapat membentuk tingkah laku, toleransi,
mudag memaafkan, dan mengedepankan sikap mendahulukan kepentingan
bersama (komunal).
D. Peran dan Fungsi Mediator
Dalam mediasi ada pihak yang sangat berperan besar demi tercapainya
kesepakatan damai yaitu seorang mediator. Biasanya, mediator adalah orang yang
ahli dalam bidang yang didiskusikan/disengketakan atau ahli dalam bidang hukum
karena pendekatan yang difokuskan adalah pada hak. Mediator merupakan pihak
ketiga yang bersifat netral dan tidak memihak yang berfungsi membantu para
pihak dalam mencari kemungkinan penyelesaian sengketa.11
Sebagai penengah atau pihak ketiga yang netral dalam proses mediasi,
mediator membantu para pihak dalam menyelesaikan sengketa yang
dihadapinya. Seorang mediator akan membantu para pihak untuk membingkai
persoalan yang ada perlu diselesaikan secara bersama. Secara umum, mediator
11 Mariana Sutadi, Pendayagunaan Perdamaian Menurut Pasal 130 HIR/154 RBg dan Potensinya dalam Mewujudkan Keadilan yang Cepat, Sederhana dan Biaya Ringan, (Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum dan Mahkamah Agung RI, 2005), h 30.
19
tidak membuat keputusan, mediator hanya membantu dan memfasilitasi para
pihak yang bersengketa untuk merumuskan berbagai opsi pilihan penyelesaian
sengketa yang dapat diterima oleh kedua belah pihak, sehingga untuk mencapai
hasil yang maksimal, seorang mediator, disamping memiliki kemampuan sebagai
mediator, juga harus dapat menguasai teknik-teknik mediasi secara baik.12
Ada kalanya mediator akan sering bertemu dengan para pihak secara pribadi
dalam pertemuan yang disebut caucus yaitu pertemuan mediator dengan salah
satu pihak tanpa dihadiri pihak lainnya, sehingga mediator akan lebih leluasa
memperoleh informasi dari pihak yang tidak bersedia terbuka membagi
informasi.13 Dengan pertemuan terpisah (caucus) ini, mediator akan mempunyai
lebih banyak informasi mengenai persoalan-persoalan yang sebenarnya terjadi.
Mediator berkewajiban untuk merahasiakan informasi yang diberikan kepadanya
dalam sebuah caucus. Oleh karena itu, seorang mediator juga harus memiliki
kemampuan mengumpulkan sebanyak mungkin informasi yang nantinya akan
dipergunakan sebagai bahan untuk menyusun dan mengusulkan pelbagai
penyelesaian masalah yang disengketakan, sehingga mediator diharapkan akan
mampu menentukan apakah terdapat dasar-dasar bagi terwujudnya suatu
perjanjian/kesepakatan.14
12 I Made Widyana, Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR), (Jakarta: Fikahati Anesta,
2009), h 114. 13 Dwi Rezki Sri Astarini, Mediasi Pengadilan Salah Satu Bentuk Penyelesaian Sengketa
Berdasarkan Asas Peradilan Cepat,Sederhana,Biaya Ringan, (Bandung: PT Alumni, 2013),h 93. 14 Takdir Rahmadi, Mediasi Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan Mufakat, (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2010), h 17.
20
Fuller dalam Riskin and Westbrook menyebutkan tujuh fungsi mediator
yaitu sebagai: catalyst, educator, translator, resourceperson, bearer of bad news,
agent of reality, dan scapegoat.
1. Sebagai katalisator, mengandung pengertian bahwa kehadiran mediator
dalam proses perundingan mampu mendorong lahirnya suasana yang
konstruktif bagi diskusi;
2. Sebagai pendidik, berarti seseorang harus berusaha memahami aspirasi,
prosedur kerja, keterbatasan politis, dan kendala usahan dari para pihak. Oleh
sebab itu, ia harus berusaha melibatkan diri dalam dinamika perbedaan di
antara para pihak;
3. Sebagai penerjemah, berarti mediator harus mampu menyampaikan dan
merumuskan usulan pihak yang satu kepada pihak yang lainnya melalui
bahasa atau ungkapan yang baik dengan tanpa mengurangi sasaran yang
dicapai oleh pengusul;
4. Sebagai narasumber, berarti seorang mediator harus mendayagunakan
sumber-sumber informasi yang tersedia;
5. Sebagai penyandang berita jelek, berati seorang mediator harus menyadari
bahwa para pihak dalam proses perundingan dapat bersikap emosional. Untuk
itu, mediator harus mengadakan pertemuan terpisah dengan pihak-pihak
terkait untuk menampung berbagai usulan;
6. Sebagai agen realitas, berarti mediator harus berusah memberi pengertian
secara jelas kepada salah satu pihak bahwa sasarannya tidak mungkin atau
tidak masuk akal tercapai melalui perundingan;
21
7. Sebagai kambing hitam, berarti seorang mediator harus siap disalahkan,
misalnya dalam membuat kesepakatan hasil perundingan.
E. Proses Mediasi
Ada beberapa tahap secara garis besar yang harus dijalani oleh para pihak
dalam melakukan proses mediasi. Berikut adalah tahapan-tahapan proses mediasi
yang diatur di dalam Perma Nomor 1 Tahun 2016:
a. Tahapan Pra Mediasi
Pertama penggugat mendaftarkan perkara ke bagian kepaniteraan
Pengadilan. Setelah itu Ketua Pengadilan memilih Majelis Hakim untuk
memeriksa perkara tersebut. Pada sidang pertama yang dihadiri oleh para
pihak, Hakim pemeriksa perkara mewajibkan para pihak untuk menempuh
proses mediasi (Pasal 17 ayat (1) ).
Setelah itu Majelis Hakim memberikan hak kepada para pihak untuk
memilih mediator pada hari itu juga atau paling lama 2 hari berikutnya (Pasal
20 ayat (1) ). Apabila setelah hari yang ditentukan tidak ada kesepakatan
untuk memilih mediator, maka Hakim pemeriksan perkara segera menunjuk
Mediator Hakim atau pegawai Pengadilan. Jika pada Pengadilan yang sama
tidak terdapat Hakim bukan pemeriksa perkara dan Pegawai Pengadilan yang
bersertifikat, ketua majelis hakim menunjuk salah satu Hakim Pemeriksan
Perkara untuk menjalankan fungsi mediator dengan mengutamakan yang
bersertifikat (Pasal 20 ayat (3) dan (4) ).
22
b. Pemanggilan Para Pihak
Mediator menentukan hari dan tanggal pertemuan mediasi setekah
menerima penetapan penunjukan sebagai mediator (Pasal 21 ayat (1) ).
Dengan bantuan juru sita, Mediator atas kuasa Hakim Pemeriksa Perkara
memanggil para pihak untuk menghadiri pertemuan mediasi.
c. Akibat Hukum Pihak Tidak beriktikad Baik
Pada Pasal 22 ayat (1) sampai (5) adalah penjelasan mengenai akibat
hukum bagi pihak Penggugat yang tidak beriktikad baik. Pada Pasal
selanjutnya yaitu Pasal 23 ayat (1) sampai (8) berisi penjelasan mengenai
akibat hukum bagi pihak Tergugat yang tidak beriktkad baik selama proses
mediasi.
d. Penyerahan Resume Perkara dan Jangka Waktu Proses Mediasi
Dalam waktu paling lama 5 (lima) hari terhitung sejak penetapan
sebagaimana dimaksud pada Pasal 20 ayat (5), para pihak menyerahkan
resume perkara kepada pihak lain dan Mediator (Pasal 24 ayat (1) ). Jangka
waktu mediasi yang ditetapkan adalah 30 hari terhitung sejak penetapan
perintah melakukan Mediasi. Atas dasar kesepakatan para pihak, waktu
Mediasi dapat diperpanjang paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak
waktu mediasi pertama berakhir, disertai engan alasannya (Pasal 24 ayat (2),
(3), dan (4) ).
e. Keterlibatan Ahli dan Tokoh Masyarakat
Atas persetujuan para pihak dan atau kuasa hukum, Mediator dapat
menghadirkan seorang atau lebih ahli, tokoh masyarakat, tokoh agama, atau
23
tokoh adat (Pasal 26 ayat (1) ). Terkait mengenai mengikat atau tidaknya dari
penjelasan dan atau penilaian ahli dan atau tokoh masyarakat, tergantung
berdasarkan kesepakatan para pihak (Pasal 26 ayat (2) ).
f. Mediasi Mencapai Kesepakatan
Jika Mediasi mencapai kesepakatan, dengan bantuan Mediator para
pihak wajib merumuskan kesepakatan secara tertulis yang ditandatangani
oleh para pihak dan Mediator (Pasal 27 ayat (1) ). Mediator wajib
memastikan kesepakatan perdamaian tidak memuat ketentuan yang:
a. Bertentangan dengan hukum, ketertiban umum, dan/ atau kesusilaan;
b. Merugikan pihak ketiga; atau
c. Tidak dapat dilaksanakan.
Para pihak melalui Mediator dapat mengajukan kesepakatan
perdamaian kepada Hakim Pemeriksa Perkara agar dikuatkan dalam Akta
Perdamaian. Jika para pihak tidak menghendaki, maka kesepakatan
perdamaian wajib memuat pencabutan gugatan (Pasal 27 ayat (4) dan (5) ).
Selanjutnya Mediator wajib menyampaikan hasil kesepakatan kepada Hakim
Pemeriksa Perkara dengan melampirkan kesepakatan perdamaian(Pasal 27
ayat (6) ).
Setelah itu Hakim Pemeriksa Perkara mempelajari isi kesepakatan
perdamaian paling lama 2 (dua) hari. Apabila ada perbaikan Hakim
Pemeriksa Perkara mengembalikan kepada Mediator dan para pihak agar
segera diperbaiki. Setelah mengadakan pertemuan dengan para pihak,
Mediator wajib mengajukan kembali kesepakatan perdamaian yang telah di
24
perbaiki kepada Hakim Pemeriksa Perkara paling lama 7 (tujuh) hari sejak
penerimaan petunjuk perbaikan. Paling lama 3 (tiga) hari setelah Hakim
menerima kesepakatan perdamaian, maka Hakim menerbitkan hari penetepan
sidang untuk membacakan Akta Perdamaian (Pasal 28 ayat (1) sampai (4) ).
g. Kesepakatan Perdamaian Sebagian
Dalam hal proses Mediasi mencapai kesepakatan sebagian antar
penggugat dan sebagian tergugat, penggugat mengubah gugatan dengan tidak
lagi mengajukan pihak tergugat sebagai lawan. Kesepakatan tersebut dibuat
dan ditandatangani oleh penggugat dengan sebagian pihak tergugat yang
mencapai kesepakatan dan Mediator (Pasal 29 ayat (1) dan (2) ). Kesepakatan
di atas dapat dikuatkan dengan Akta Perdamaian sepanjang tidak menyangkut
aset, harta kekayaan dan/atau keperntingan pihak yang tidak mencapai
kesepakatan (Pasal 29 ayat (3) ). Kesepakatan ini tidak dapat dilakukan pada
perdamaian sukarela tahap pemeriksaan perkara dan tingkat upaya banding,
kasasi, atau peninjauan kembali (Pasal 29 ayat (6) ).
Untuk Mediasi perkara perceraian di dalam Pengadilan Agama yang
tuntutan perceraian dikumulasikan dengan tuntutan lainnya dan para pihak
tidak ingin rukun kembali, maka Mediasi dilanjutkan dengan tuntutan lainnya
(Pasal 31 ayat (1) ). Jika para pihak mencapai kesepakatan sebagaimana pada
ayat (1), kesepakatan dituangkan dalam kesepakatan perdamaian sebagaian
dengan memuat klausula keterkaitannya dengan perceraian. Hal ini hanya
dapat dilakukan jika putusan Hakim Pemeriksa Perkara mengabulkan gugatan
perceraian telah berkekuatan hukum tetap.
25
h. Mediasi Tidak Berhasil atau Tidak Dapat Dilaksanakan
Mediator wajib menyatakan Mediasi tidak berhasil dan
memberitahukan secara tertulis kepada Hakim pemeriksa perkara apabila
tidak mencapai kesepakatan pada hari yang telah tentukan yaitu 30 hari, para
tidak beriktikad baik, melibatkan aset serta harta kekayaan atau kepentingan
dengan pihak lain, dan melibatkan wewenang aparatur negara. Setelah Hakim
menerima pemberitahuan hal ini, Hakim segera menetapkan untuk
melanjutkan pemeriksaan perkara (Pasal 32 ayat (1) sampai (3) ).
i. Perdamaian Sukarela Pada Tahap Pemeriksaan Perkara
Pada tiap tahapan pemeriksaan perkara, Hakim tetap berupaya
mendorong para pihak untuk berdamai. Atas dasar kesepakatan para pihak,
dapat memohon melakukan perdamaian kepada Hakim Pemeriksa Perkara
pada tahap ini. Setelah itu Hakim segera menunjuk salah seorang Hakim
Pemeriksa Perkara untuk menjalankan fungsi Mediator dan Hakim wajib
menunda persidangan paling lama 14 hari.
j. Perdamaian Sukarela Pada Tingkat Upaya Hukum Banding, Kasasi atau PK
Sepanjang perkara belum diputus pada tingkat upaya hukum banding,
kasasi atau peninjauan kembali, atas dasara kesepakatan dapat menempuh
upaya perdamaian. Jika mencapai kesepakatan, maka dibuat akta perdamaian
dan ditandatangani oleh Hakim pemeriksa perkara paling lama 30 hari sejak
diterimanya kesepakatan tersebut (Pasal 34 ayat (1) sampai (4) ).
26
F. Mediasi Dalam Perspektif Islam
Ash-shulhu disyariatkan oleh Al-quran, Sunnah dan Ijma, demi
tercapainya kesepakatan sebagai pengganti daripada perpecahan, dan agar
permusuhan antara dua pihak yang berselisih dapat dilerai. Didalam Al-quran
Allah berfirman:15
(:9)
Artinya: Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! Tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. Kalau dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.
Dan di dalam sunnah yang diriwayatkan Abu Dawud, At-tirmidzi, Ibnu Majah,
Al-Hakim, dan Ibnu Hibban dari Amru bin Auf bahwa Rasulullah SAW
bersabda:
Artinya: Perdamaian diantara orang-orang muslim itu boleh, kecuali perdamaian yang menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal.
15 Sayyid Sabiq, Fiqh Al-sunnah, juz 3, (Kairo: Al-fath Lil Ilam Al-Arobi, 1972), h 210.
27
Dan At-tirmidzi menambahkan:
Artinya: Dan (muamalah) orang-orang muslim itu berdasarkan syarat-syarat mereka.
Lalu ia berkata bahwa hadits ini Hasan Shahih, dan Umar r.a. berkata: Tolaklah
permusuhan sampai mereka berdamai, karena pemutusan melalui pengadilan akan
mengembangkan kedengkian di antara mereka. Kaum muslimin berijma bahwa
perdamaian di antara yang bermusuhan itu disyariatkan. P15F16
Mediasi dalam konsep islam dikenal dengan istilah Shulhu atau Ishlah. Sulh
adalah suatu proses penyelesaian sengketa dimana para pihak bersepakat untuk
mengakhiri perkara mereka secara damai. Di dalam kitab Fathul Qariib Al-Mujiib
:pengertian Ash-Shulh secara bahasa sebagai berikut ( )
16 F17
Artinya: Shuluh secara bahasa adalah memutus sengketa atau perselisihan.
Namun pengertian shuluh secara syara atau istilah adalah:
Artinya: Dan menurut syara adalah akad mendamaikan dengan memutus sengketa atau perselisihan
16 Sayyid Sabiq, Fiqh Al-sunnah, juz 3, (Kairo: Al-fath Lil Ilam Al-Arobi, 1972), h 210. 17Ahmad bin Al-Husain, Fathul Qariib Al-Mujiib, (Mesir: Thaha Putra Semarang, 1934), h
33.
28
Metode Ash-shulh menjadi metode yang efektif untuk menyelesaikan
persengketaan atau perselisihan karena berdasarkan asas kedua belah pihak tidak
ada yang merasa menang ataupun kalah. Tentunya hal tersebut atas kesepakatan
dan kerelaan masing-masing pihak. Hal ini sesuai dengan prinsip mediasi dengan
istilah win-win solution.
Sebelum mengarah kepada perceraian, biasanya diawali dengan adanya
sikap nusyuz, baik dari pihak isteri maupun suami. Ketika hal ini terjadi, Al-
Quran mentebutkan di dalam surat An-Nisa ayat 128:
Artinya: Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Ayat di atas membahas masalah nusyuz. Nusyuz identik dengan sikap istri yang
membangkang terhadap suami, padahal nusyuz juga dapat terjadi pada suami.
Nusyuz suami adalah sikap suami yang telah meninggalkan kewajibannya,
bertindak keras kepada istri, tidak menggaulinya dengan baik, tidak pula
memberikan nafkah dan bersikap acuh tak acuh kepada istri. P17F18 P Sebaliknya bentuk
nusyuz yang dilakukan oleh istri di dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam)
18 M. Abdul Amir dkk, Kamus Istilah Islam, cet ke-1, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), h
251.
29
didefinisikan sebagai sebuah sikap ketika istri tidak mau melaksanakan
kewajibannya yaitu kewajiban utama berbakti lahir dan batin kepada suami dan
kewajiban lainnya adalah menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah
tangga sehari-hari dengan sebaik-baiknya.19
At-Tirmidzi meriwayatkan bahwa istri Nabi saw, Saudah binti Zamah
khawatir dicerai oleh Nabi saw, maka dia bermohon agar tidak dicerai dengan
menyerahkan haknya bermalam bersama Rasul saw untuk istri Nabi saw, Aisyah
(istri Nabi saw yang paling beliau cintai setelah Khadijah).20
Kemudian apabila nusyuz telah terjadi dan tuntunan berdamai dari Al-
Quran tidak berhasil dijalankan yang dapat berujung pada syiqaq, Al-Quran
menyebutkan ayat yang menyatakan tentang langkah perdamaian selanjutnya
antara suami isteri yang sedang berselisih, yaitu pada surat An-Nisa ayat 35:
Artinya: Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu.Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.
Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa salah satu menyelesaikan
perselisihan atau persengketaan antara suami isteri, yaitu dengan jelas mengirim
19 Inpres nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, Bab XXI bagian keenam
Pasal 83 ayat (1) dan 84 ayat (1). 20 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2007), h 605.
30
seorang hakam selaku mediator dari kedua belah pihak untuk membantu
menyelesaikan perselisiah tersebut. Hakam yang dimaksud dalam Al-quran
terdiri dari dua orang yang diambil atau dipilih masing-masing satu dari keluarga
pihak suami isteri. Menurut ayat di atas juga, jika terjadi kasus antara suami istri,
maka diutus seorang hakam dari pihak suami dan seorang hakam dari pihak istri
yang berfungsi untuk mengadakan penelitian dan penyelidikan tentang sebab-
musabab terjadinya syiqaq, serta berusaha mendamaikannya atau mengambil
prakarsa putusnya perkawinan kalau sekiranya jalan inilah yang terbaik.21
Dalam ayat di atas, terdapat kata hakam. Fungsi utama hakam adalah
mendamaikan. Tetapi jika mereka gagal, apakah mereka harus menetapkan hukum
dan harus dipatuhi oleh suami isteri yang bersengketa itu? Ada yang mengiyakan,
dengan alasan Allah menamai mereka hakam, dan dengan demikian mereka
berhak menetapkan hukum sesuai dengan kemashlahatan, baik disetujui oleh
pasangan maupun tidak. Pendapat ini dianut oleh sejumlah sahabat Nabi saw, juga
kedua Imam mazhab Malik dan Ahmad Ibn Hanbal. Sedang Imam Abu Hanifah
dan Imam Syafii menurut satu riwayat tidak memberi wewenang kepada hakam
itu. Untuk menceraikan hanya berada di tangan suami, dan tugas mereka hanya
mendamaikan, tidak lebih dan tidak kurang.22
Selanjutnya di dalam kitab tafsir Ibnu Katsir, para Fuqaha juga berkata jika
terjadi persengketaan di antara suami istri, maka didamaikan oleh hakim sebagai
pihak penengah, meneliti kasus keduanya dan mencegah orang yang berbuat
21 H. Abdur Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2006), h 241. 22 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2007), h 433-434.
31
zhalim dari keduanya dari perbuatan zhalim. Jika perkaranya tetap berlanjut dan
persengketaannya semakin panjang, maka hakim mengutus seseorang yang
dipercaya dari keluarga wanita dan keluarga laki-laki untuk berembug dan
meneliti masalahnya, serta melakukan tindakan yang mengandung maslahat bagi
keduanya berupa perceraian atau berdamai. Allah SWT memerintahkan mengutus
seorang laki-laki sholeh dari masing-masing pihak untuk meneliti siapa yang
berlaku buruk. Jika sang suami yang melakukan keburukan, maka mereka dapat
melindungi sang istri dan membatasi kewajibannya dalam memberi nafkah. Jika
seorang istri yang melakukan keburukan, maka mereka dapat mengurangi haknya
dari suami dan menahan nafkah yang diberikan kepadanya. Jika keduanya sepakat
untuk bercerai atau menyatu kembali, maka boleh saja perkara itu ditetapkan.23
Kaidah ushul fiqh yang digunakan ke dalam permasalahan ini adalah
Mashlahah Mursalah.24 Al-Ghazali menjelaskan bahwa hakikat dari mashlahah
adalah:25
Artinya: Memelihara tujuan syara (dalam menetapkan hukum)
Sedangkan tujuan syara dalam menetapkan hukum itu ada lima, yaitu:
memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Secara lengkap Muhammad
Abu Zahrah merumuskan definisi mashlahah sebagai berikut: P25F26 P
23 Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Al-Sheikh, Lubaabut Tafsiir Min Ibni Katsir, terj. M.Abdul Ghoffar E.M, (Juz.5; Bogor: Pustaka Imam Asy-Syafii, 2003) cet ke-2, h 302.
24 Mashlahah Mursalah adalah suatu perbuatan yang mengandung nilai baik (manfaat) dan memelihara tercapainya tujuan-tujuan suara yaitu menolak mudharat dan meraih mashlahah.
25 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, jilid II ,(Jakarta: Kencana, 2011), cet. 6, h 346.
32
Artinya: Mashlahah yang selaras dengan tujuan syariat islam dan tidak ada petunjuk tertentu yang membuktikan tentang pengakuannya atau penolakannya.
Kesimpulannya bahwa mashlahah mursalah adalah apa yang baik menurut akal
itu, juga selaras dan sejalan dengan tujuan syara dalam menetapkan hukum.
Kaidah ini dapat digunakan dalam sengketa perceraian. Apabila perceraian
mendatangkan kebaikan bagi pasangan suami istri, maka itu lebih baik daripada
mempertahankannya. Namun apabila perceraian mendatangkan mudharat, maka
harus dihindarkan. Hal ini tentunya sudah mempertimbangkan baik dan buruknya,
sesuai dengan orientasi dari kaidah ushul fiqh ini.
26 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, jilid II ,(Jakarta: Kencana, 2011), cet. 6, h 355.
33
BAB III
TEORI EFEKTIVITAS HUKUM
A. Pengertian Efektivitas
Secara etimologi kata efektivitas berasal dari kata efektif atau dalam
bahasa Inggris adalah effective yang berarti berhasil dengan baik. Kamus ilmiah
populer mendefinisikan efektivitas sebagai ketepatan penggunaan, hasil guna atau
menunjang tujuan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, efektif artinya ada
efeknya, akibatnya, pengaruhnya, kesannya atau dapat membawa hasil, berhasil
guna tentang usaha atau tindakan.1
Adapun secara terminologi, mengutip Ensiklopedia administrasi,
menyampaikan pemahaman tentang efektivitas sebagai berikut:2
Efektivitas adalah suatu keadaan yang mengandung pengertian mengenai terjadinya suatu efek atau akibat yang dikehendaki, kalau seseorang melakukan suatu perbuatan dengan maksud tertentu yang memang dikehendaki. Maka orang itu dikatakan efektif kalau menimbulkan atau mempunyai maksud sebagaimana yang dikehendaki.
Efektivitas dapat diartikan sebagai suatu proses pencapaian suatu tujuan
yang telah ditetapkan sebelumnya. Suatu usaha atau kegiatan dapat dikatakan
efektif apabila usaha atau kegiatan tersebut telah mencapai tujuannya.
B. Bekerjanya Hukum Dalam Masyarakat
Basis bekerjanya hukum adalah masyarakat, maka hukum akan dipengaruhi
oleh faktor-faktor atau kekuatan sosial mulai dari tahap pembuatan sampai dengan
1 Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h 284. 2 Ray Pratama Siadari, Teori Efektivitas, diakses dari http:// raypratama.blogspot.sg/ 2014/
11/ teori-efektifitas.html, pada tanggal 13 Oktober 2016 pukul 00.33.
34
pemberlakuan. Kekuatan sosial akan berusaha masuk dalam setiap proses legislasi
secara efektif dan efesien. Peraturan dikeluarkan diharapkan sesuai dengan
keinginan, tetapi efek dari peraturan tersebut tergantung dari kekuatan sosial
seperti budaya hukumnya baik, maka hukum akan bekerja dengan baik pula,
tetapi sebaliknya apabila kekuatannya berkurang atau tidak ada maka hukum tidak
akan bisa berjalan karena masyarakat sebagai basis bekerjanya hukum. Cara-cara
untuk mempengaruhi masyarakat dengan sistem yang teratur dan direncanakan
terlebih dahulu, dinamakan social engineering atau social planning.3
Bila membicarakan efektivitas hukum dalam masyarakat berarti
membicarakan daya kerja hukum itu dalam mengatur dan atau memaksa
masyarakat untuk taat terhadap hukum. Efektivitas hukum dimaksud, berarti
mengkaji kaidah hukum yang harus memnuhi syarat, yaitu berlaku secara yuridis,
berlaku secara empiris, dan berlaku secara filosofis.4 Oleh karena itu, faktor-
faktor yang dapat mempengaruhi hukum itu berfungsi dalam masyarakat, yaitu (1)
kaidah hukum atau peraturan itu sendiri; (2) petugas atau penegak hukum; (3)
sarana atau fasilitas yang digunakan oleh penegak hukum; (4) kesadaran
masyarakat. Hal tersebut akan di uraikan sebagai berikut:5
1. Kaidah Hukum
Di dalam teori-teori ilmu hukum, dapat dibedakan tiga macam hal
mengenai berlakunya hukum sebagai kaidah. Hal itu diungkapkan sebagai
berikut.
3 Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Cet V, (Jakarta,: Raja Grafindo
Persada, 2014) h 122. 4 Zainuddin Ali, Sosiologi Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012) h 62. 5 Zainuddin Ali, Sosiologi Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012) h 62-65.
35
1) Kaidah hukum berlaku secara yuridis, apabila penentuannya
didasarkan pada kaidah yang lebih tinggi tingkatannya atau terbentuk
atas dasar yang telah ditetapkan.
2) Kaidah hukum berlaku secara sosiologis, apabila kaidah tersebut
efektif. Artinya kaidah dimaksud dapat dipaksakan berlakunya oleh
penguasa walaupun tidak diterima oleh warga masyarakat (teori
kekuasaan) atau kaidah itu berlaku karena adanya pengakuan dari
masyarakat.
3) Kaidah hukum berlaku secara filosofis, yaitu sesuai dengan cita
hukum sebagai nilai positif tertinggi.
Kalau dikaji secara mendalam, agar hukum itu berfungsi maka setiap
kaidah hukum harus memenuhi ketiga macam unsur di atas, sebab (1) bila
kaidah hukum hanya berlaku secara yuridis, ada kemungkinan kaidah itu
merupakan kaidah mati; (2) kalau hanya berlaku secara sosiologis dalam arti
teori kekuasaan, maka kaidah itu menjadi aturan pemaksa; (3) apabila hanya
berlaku secara filosofis, kemungkinannya kaidah itu hanya merupakan
hukum yang dicita-citakan (ius constituendum).
2. Penegakan Hukum
Penegakan hukum atau orag yang bertugas menerapkan hukum
mencakup ruang lingkup yang sangat luas, sebab menyangkut petugas pada
strata atas, menengh, dan bawah. Artinya, di dalam melaksanakan tugas-
tugas penerapan hukum, petugas seyogianya harus memiliki suatu pedoman,
diantaranya peraturan tertulis tertentu yang mencakup ruang lingkup tugas-
36
tugasnya. Di dalam hal penegakan hukum dimaksud, kemungkinan petugas
penegak hukum menghadapi hal-hal sebagai berikut:
1) Sapai sejauh mana petugas terikat dari peraturan-peraturan yang ada?
2) Sampai batas-batas mana petugas berkenan memberikan kebijakan?
3) Teladan macam apakah yang sebaiknya diberikan oleh petugas kepada
masyarakat?
4) Sampai sejauh manakah derajat sinkronisasi penugasan-penugasan
yang diberikan kepada petugas sehingga memberikan batas-batas yang
tegas pada wewenangnya?
3. Sarana atau Fasilitas
Fasilitas atau sarana amat penting untuk mengefektifkan suatu atuan
tertentu. Ruang lingkup sarana dimaksud, terutama secara fisik yang
berfungsi sebagai faktor pendukung. Misalnya, bila tidak ada kertas dan
karbon yang cukup serta mesin tik yang cukup baik, bagaimana petugas
dapat membuat berita acara mengenai suatu kejahatan. Bagaimana polisi
dapat bekerja dengan baik apabila tidak dilengkapi dengan kendaraan dan
alat-alat komunikasi yang proporsional. Kalau peralatan dimaksud sudah
ada, faktor-faktor pemeliharaannya juga memegang peran amat penting.
Memang sering terjadi bahwa suatu peraturan sudah difungsikan, padahal
fasilitasnya belum lengkap. Peraturan yang semula bertujuan untuk
memperlancar proses, malahan mengakibatkan terjadi kemacetan. Mungkin
ada baiknya ketika hendak menerapkan suatu peraturan secara resmi
ataupun memberikan tugas kepada petugas, dipikirkan mengenai fasilitas-
37
fasilitas yang berpatokan kepada: (1) apa yang sudah ada, dipelihara terus
agar setiap saat berfungsi; (2) apa yang belum ada, perlu diadakan dengan
memperhitungkan jangka waktu pengadaannya; (3) apa yang kurang, perlu
dilengkapi; (4) apa yang telah rusak, diperbaiki atau diganti; (5) apa yang
macet, dilancarkan; (6) apa yang telah mundur, ditingkatkan.
4. Warga Masyarakat
Salah satu faktor yang mengefektifkan suatu peraturan adalah warga
masyarakat. Yang dimaksud disini adalah kesadarannya untuk mematuhi
suatu peraturan perundang-undangan, yang kerap disebut derajat kepatuhan.
Secara sederhana dapat dikatakan, bahwa derajat kepatuhan masyarakat
terhadap hukum merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum yang
bersangkutan.
Namun ada asumsi lain yang mengatakan bahwa semakin besar peran
sarana pengendalian sosial selain hukum (agama dan adat istiadat), semakin
kecil peran hukum. Hukum hendaknya dipergunakan pada tingkat yang
terakhir bila sarana lainnya tidak mampu lagi untuk mengatasi masalah.
Namun ada hal lain yang perlu diungkapkan berkaitan dengan kesadaran
masyarakat terhadap hukum, yaitu (1) penyuluhan hukum yang teratur; (2)
pemberian teladan yang baik dari petugas di dalam hal kepatuhan terhadap
hukum dan respek terhadap hukum; (3) pelembagaan yang terencana dan
terarah.
38
C. Teori Efektivitas Hukum
Apabila kita melihat efektivitas dalam bidang hukum, Achmad Ali
berpendapat bahwa ketika ingin mengetahui sejauh mana efektivitas dari hukum,
maka kita pertama-ama harus dapat mengukur sejauh mana aturan hukum itu
ditaati atau tidak ditaati.6 Lebih lanjut Achmad Ali pun mengemukakan bahwa
pada umumnya faktor yang banyak mempengaruhi efektivitas suatu perundang-
undangan adalah profesional dan optimal pelaksanaan peran, wewenang dan
fungsi dari penegak hukum, baik di dalam menjelaskan tugas yang dibebankan
terhadap diri mereka maupun dalam menegakkan perundang-undangan tersebut.
Teori efektivitas hukum menurut Soerjono Soekanto adalah bahwa efektif
atau tidaknya suatu hukum ditentukan oleh 5 (lima) faktor, yaitu:7
1. Faktor hukumnya sendiri (undang-undang)
2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun
menerapkan hukum.
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut erlaku atau
diterapkan.
5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang
didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Kelima faktor di atas saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena
merupakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur daripada
6 Achmad Ali, Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan, Vol.1, (Jakarta: Kencana,
2010), h 375. 7 Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Memprngaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2008) h 8.
39
efektivitas penegakan hukum. Pada elemen pertama, yang menentukan dapat
berfungsinya hukum tertulis tersebut dengan baik atau tidak adalah tergantung
dari aturam hukum itu sendiri.
Menurut Soerjono Soekanto, ukuran efektivitas pada elemen pertama
adalah:8
1. Peraturan yang ada mengenai bidang-bidang kehidupan tertentu sudah
cukup sistematis.
2. Peraturan yang ada mengenai bidang-bidang kehidupan tertentu sudah
cukup sinkron, secara hierarki dan horizontal tidak ada pertentangan.
3. Secara kualitatif dan kuantitatif peraturan-peraturan yang mengatur bidang-
bidang tertentu sudah mencukupi.
4. Penertiban peraturan-peraturan tertentu sudah sesuai dengan persyaratan
yuridis yang ada.
Pada elemen kedua, yang menentukan efektif atau tidakya kinerja hukum
tertulis adalah aparat penegak hukum. Dalam hubungan ini dikehendaki adanya
aparatur yang handal sehingga aparat tersebut dapat melakukan tugasnya dengan
baik.
Menurut Soerjono Soekanto, bahwa masalah yang berpengaruh terhadap
efektivitas hukum tertulis ditinjau dari segi aparat akan bergantung pada hal
berikut:9
8 Soerjono Soekanto, Penegakan Hukum, (Bandung: Bina Cipta, 1983), 80. 9 Soerjono Soekanto, Penegakan Hukum, (Bandung: Bina Cipta, 1983), 82.
40
1. Sampai sejauh mana petugas terikat oleh peraturan-peraturan yang ada.
2. Sampai batas mana petugas diperkenankan memberikan kebijaksanaan.
3. Teladan macam apa yang sebaiknya diberikan oleh petugas kepada
masyarakat.
4. Sampai sejauh mana derajat sinkronisasi penugasan-penugasan yang
diberikan kepada petugas sehingga memberikan batas-batas yang tegas pada
wewenangnya.
Pada elemen ketiga, tersedianya fasilitas yang berwujud sarana dan
prasarana bagi aparat pelaksana di dalam melakukan tugasnya. Sarana dan
prasarana yang dimaksud adalah prasarana atau fasilitas yang digunakan sebagai
alat untuk mencapai efektivitas hukum. Sehubungan dengan ini, Soerjono
Soekanto memprediksi patokan efektivitas elemen-elemen tertentu dari prasarana,
dimana prasarana tersebut harus secara jelas memang menjadi bagian yang
memberikan kontribusi untuk kelancaran tugas-tugas aparat di tempat atau lokasi
kerjanya. Adapun elemen-elemen tersebut adalah:10
1. Prasarana yang telah ada apakah telah terpelihara dengan baik.
2. Prasarana yang belum ada perlu diadakan dengan memperhitungkan angka
waktu pengadaannya.
3. Prasarana yang kurang perlu segera dilengkapi.
4. Prasarana yang rusak perlu segera diperbaiki.
5. Prasarana yang macet perlu segea dilancarkan fungsinya.
10 Soerjono Soekanto, Penegakan Hukum, (Bandung: Bina Cipta, 1983), 82.
41
6. Prasarana yang mengalami kemunduran fungsi perlu ditingktkan lagi
fungsinya.
Kemudian pada elemen keempat, ada beberapa elemen pengukur efektivitas
yang tergantung dari kondisi masyarakat, yaitu:
1. Faktor penyebab masyarakat tidak mematuhi aturan walaupun peraturan
yang baik.
2. Faktor penyebab masyarakat tidak mematuhi peaturan walaupun peraturan
sangat bak dan aparat sudah sangat berwibawa.
3. Faktor penyebab masyarakat tidak mematuhi peraturan, baik petugas atau
aparat berwibawa serta fasilitas mencukupi.
Elemen di atas memberikan pemahaman bahwa disiplin dan kepatuhan
masyarakat tergantung dari motivasi yang secara internal muncul. Internalisasi
faktor ini ada pada setiap individu yang menjadi elemen terkecil dari komunitas
sosial. Oleh karena itu, pendekatan paling tepat dalam hubungan disiplin ini
melalui motivasi yang ditanamkan secara individual.
Elemen kelima adalah faktor kebudayaan. Faktor kebudayaan yang
sebenarnya bersatu padu dengan faktor masyarakat sengaja dibedakan, karena di
dalam pembahasannya diketengahkan masalah sistem nilai-nilai yang menjadi inti
dari kebudayaan spiritual atau material. Kebudayaan (sistem) hukum pada
dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai
yang merupakan konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik
(sehingga ditaati) dan apa yang dianggap buruk (sehingga dihindari).
42
BAB IV
ANALISIS EFEKTIVITAS MEDIASI
A. Profil Pengadilan Agama Karawang
Pengadilan Agama Karawang kelas IA beralamat di Jalan Jendral Ahmad
Yani No. 53 Karawang, menurut Kepala Pengadilan Agama Karawang saat itu
yaitu Drs. Saifuddin M.H., diresmikan pada hari senin tanggal 11 Februari 2008
secara simbolis oleh Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan yang bertempat di
kantor Pengadilan Agama Bandung. Dimana saat itu Ketua Mahkamah Agung
telah meresmikan 3 gedung Pengadilan Agama yaitu Bandung, Cikarang, dan
Karawang.
Sebelum memiliki gedung resmi, pada tahun 2006 sambil menunggu
rampungnya pembangunan gedung baru yang dibuat, Pemerintah Kabupaten
Karawang meminjamkan tempat bekas kantor Depnaker. Pada tahun 2006 adalah
tahap dilaksanakannya rehabilitasi gedung Pengadilan Agama Karawang diatas
tanah seluas 1,698 M2 dengan luas bangunan 380M2. Pada awalnya status tanah
adalah Hak Guna Pakai dari Pemda Kabupaten Karawang dengan No.
102/SU/TH.021.1/PM.014.1/1978 tanggal 09 Juni 1978 dan Sertifikat No.
000062/1997.
Pengadilan Agama Karawang dibentuk berdasarkan Staatsblad 1882 Nomor
152 tentang Pembentukan Pengadilan Agama di Jawa dan Madura tanggal 19
Januari 1882 dengan nama Raad Agama/Penghulu Landraad.
43
Daerah hukum Pengadilan Agama Karawang adalah meliputi Pemerintahan
Kabupaten Karawang sesuai dengan Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 1989
Pasal 4 ayat (1) disebutkan bahwa Pengadilan Agama berkedudukan di
kotamadya atau ibu kota kabupaten, dan daerah hukumnya meliputi wilayah
kotamadya atau kabupaten. Dari sini dapat kita simpulkan bahwa daerah hukum
Pengadilan Agama Karawang adalah wilayah kota atau Kabupaten Karawang.
Pengadilan Agama Karawang yang daerah hukumnya meliputi kabupaten
Karawang terdiri dari 30 kecamatan dan 304 kelurahan atau desa dengan
mayoritas penduduk beragama islam. Dalam menjalankan tugasnya dan
fungsinya, Pengadilan Agama Karawang didukung oleh pegawai berjumlah 40
orang dan secara formal pelaksanaan tugas Pengadilan Agama Karawang harus
dipertanggung jawabkan dengan membuat laporan ke Pengadilan Tinggi Bandung
sebagai bukti nyata.
Sebagai tempat pencari keadilan, Pengadilan Agama Karawang sesuai
dengan tugas dan kewenangannya yaitu bertugas dan berwenang memeriksa,
memutus, dan mengadili perkara diantara orang-orang yang beragama islam
dalam bidang perkawinan, warisan dan wasiat, wakaf, zakat, infaq, hibah,
shodaqoh, dan ekonomi syariah serta kewenangan lainnya yang diatur serta
diamanatkan oleh Undang-Undang.
Secara geografis, wilayah kabupaten Karawang terletak antara koordinat
10702`10740` Bujur Timur, 556`634` Lintang Selatan, termasuk daerah
dataran yang relative rendah. Mempunyai variasi ketinggian wilayah antara 0 -
1.279 meter di atas permukaan laut dengan kemiringan wilayah 0 - 2 %, 2 - 15 %,
44
15 - 40 % dan diatas 40 %. Kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten
Bekasi dan Kabupaten Bogor di barat, Laut Jawa di utara, Kabupaten Subang di
timur, Kabupaten Purwakarta di tenggara, serta Kabupaten Cianjur di selatan ini
memiliki luas wilayah 1.737,53 km2, dengan jumlah penduduk 2.125.234 jiwa
(sensus 2010) yang berarti berkepadatan 1.223 jiwa per km2 .
Adapun struktur organisasi dari Pengadilan Agama Karawang adalah
sebagai berikut:
Tabel 2
WAKIL KETUA
Drs. H. Mohamad Yamin, S.H.,M.H
KETUA
Drs. H. M. Yusuf, SH.,M.H HAKIM
1.Dra. Suherni
2.Dra. Hj. Roniati, M.H
3.Dra. Hj. Ratna Jumila, M.H
4.Dra. Hj. Dadah Kolidah, M.H
5.Dra. Elfina Fitriani
6.Drs. H. Abid, M.H
PANITERA
Nanang Patoni, SH.,MH
SEKRETARIS
Drs.Jajang Janglar
KASUBAG KEPEGAWAIAN
Agustina Rahayu, S.H
KASUBAG UMUM & KEUANGAN
Heri Santoso
KASUBAG PERENCANAAN, TI & LAP
Usmaniah
WAKIL PANITERA
Drs. Mochamad Jalaludin
STAF
Wiyono, S.H
STAF
Abd. Halim
PANMUD GUGATAN
Asnali, S.Ag
PANMUD PERMOHONAN
Siti Sofia Emalia, S.Ag
PANMUD HUKUM
Yuyu Yuliani, S.Ag.,M.H
HAKIM
7.Dra. Alia Al Hasna, M.H
8.Drs. Candra Triwangga
9.Dra. Hj Siti Sabihah, SH.,MH
10.Drs. Humaidi Yusuf
11.Drs. Jajang Suherman, SH
12.Dr.H. Farid Ismail, SH.,MH
13.Drs.H. Hasan Basri, SH.,MH
https://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Bekasihttps://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Bekasihttps://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Bogorhttps://id.wikipedia.org/wiki/Laut_Jawahttps://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Subanghttps://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Purwakartahttps://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Cianjur
45
B. Analisis Efektivitas Mediasi
1. Tinjauan Yuridis Perma Nomor 1 Tahun 2008 dan Perma Nomor 1 Tahun
2016.
Beberapa kekuasaan dan kewenangan Mahkamah Agung yang tertera
dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 24A ayat (1) adalah:1
Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi,menguji peraturan undang-undang di bawah undang-undang terhadap undang-undang,dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang
Salah satu kewenangan lain yang diberikan oleh Undang-undang kepada
Mahkamah Agung adalah mengeluarkan produk yaitu PERMA. Setidaknya
ada lima peran yang dimainkan PERMA RI dalam memenuhi kebutuhan
1 Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
PANITERA PENGGANTI
1,Ahya Syaripudin
2.Khalida , S,Ag.,M.H
3.Taqludin, S.Ag
4.Ahmad Waskito, S.Ei
5.H. Uwes
6.Wahyu, S.Sy
JURUSITA
1.Eny Kurniasih, S.H
2.Solikhin, S.H
JURUSITA PENGGANTI
1.Edy Sutisna
2.Samsudin
3.A.Supandi, S.Ag
4.Taufiqoh Bina Aryani, S.E
5.Ratusiska Aries Tiani, S.E
6.Ade Solahudin
7.Reza M Sajidin, S.Sy
46
penyelenggaraan negara, khususnya di bidang peradilan. Salah satunya
yakni PERMA RI sebagai pengisi kekosongan hukum.2
Berkaitan dengan hal ini adalah hierarki Perundang-Undangan yang
ada di Indonesia. Hal ini diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan berbunyi
sebagai berikut:3
Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Undang-Undang/Perturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; c. Peraturan Pemerintah; d. Peraturan Presiden; e. Peraturan Daerah Provinsi; dan f. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
PERMA adalah salah satu ketentuan peraturan perundang-undangan
sebagaimana yang tertera dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dalam Pasal 8 ayat (1)