Profil Berpikir Intuitif Matematika

download Profil Berpikir Intuitif Matematika

of 55

Transcript of Profil Berpikir Intuitif Matematika

  • 8/18/2019 Profil Berpikir Intuitif Matematika

    1/55

     LAPORAN PENELITIAN

    PROFIL BERPIKIR INTUITIF MATEMATIK

    oleh:

    Agus Sukmana, Drs., M.Sc.

    Dibiayai oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas

    Katolik Parahyangan sesuai dengan surat perjanjian Nomor: III/LPPM/2011-09/120-P

    LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT

    UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN

    BANDUNG 2011

  • 8/18/2019 Profil Berpikir Intuitif Matematika

    2/55

    ii

    ABSTRAK

    Penelitian ini berupa kajian pustaka dengan obyek penelitian adalah kemampuan

     berpikir intuitif dalam aktivitas pembelajaran matematika. Studi literatur

    difokuskan pada: (i). menggali pemahaman matematikawan mengenai keterlibatan

    intuisi dalam proses bermatematika; (ii). menggali lebih dalam pemahaman

    mengenai intuisi; (iii). keterkaitan intuisi dengan pembelajaran matematika.

    Sehingga dihasilkan profil berpikir intuitif yang akan memberikan gambaran yang

    cukup lengkap mengenai bagaimana keterlibatan intuisi dan peranannya dalam

     pembelajaran matematika. Profil ini akan menjadi landasan atau modal bagi

     penelitian lanjutan mengenai perkembangan kemampuan berpikir intuitif dalam

    mempelajari matematika. Berdasarkan hasil kajian literatur, cukup banyak

    matematikawan berpendapat dan mengakui pentingnya intuisi dalam kegiatan

     bermatematika, namun intuisi belum banyak menyentuh ranah pembelajaranmatematika. Sehingga melalui kajian pustaka ini dapat diketahui masalah-masalah

    yang dapat dielaborasi menjadi topik-topik penelitian intuisi dalam pembelajaran

    matematika.

    Kata kunci: intuisi, berpikir intuitif, pembelajaran matematika

  • 8/18/2019 Profil Berpikir Intuitif Matematika

    3/55

    iii

    KATA PENGANTAR

    Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan YME atas tuntasnya penulisan laporan

     penelitian yang dilaksanakan pada periode September s/d Desember 2011

    (Semester Ganjil tahun akademik 2011/2012). Penelitian ini merupakan bagian

    dari peta penelitian (road map) yang dilaksanakan oleh peneliti sejak tahun 2009

    dengan tema Peranan Intuisi didalam Pembelajaran Matematika. Diharapkan hasil

     penelitian literatur ini dapat memberikan kontribusi untuk meletakkan dasar teori

     bagi penelitian intuisi dalam pembelajaran Matematika.

    Peneliti mengucapkan terimakasih kepada Lembaga Penelitian dan Pengabdian

    Kepada Masyarakat (LPPM) Universitas Katolik Parahyangan atas dukungan pembiayaan penelitian sesuai dengan perjanjian penelitian Nomor: III/LPPM/2011-

    09/120-P  . Dukungan dana tersebut sangat membantu melancarkan kegiatan

     penelitian sehingga selesai sesuai dengan periode waktu yang direncanakan.

    Peneliti telah menyajikan hasil penelitian ini pada forum Seminar Nasional

    Pendidikan Matematika yang dilaksanakan pada tanggal 7 Desember 2011 di

    Kampus STKIP Siliwangi Cimahi, dan makalahnya dipublikasi dalam Prosiding

    Seminar Nasional Pendidikan Matematika, volume 1 tahun 2011 halaman 159-

    165. Tujuan penyajian tersebut adalah untuk diseminasi hasil penelitian dan

    menjamin akuntabilitas penelitian.

    Semoga penelitian ini dapat memberi kontribusi untuk menjadi pijakan bagi

     penelitian intuisi dalam pembelajaran matematika tahap selanjutnya.

    Bandung, 8 Desember 2011

    Peneliti,

    Agus Sukmana, Drs., MSc NIK. 19930538

  • 8/18/2019 Profil Berpikir Intuitif Matematika

    4/55

    iv

    DAFTAR ISI 

    ABSTRAK .............................................................................................................. ii 

    KATA PENGANTAR ........................................................................................... iii 

    DAFTAR GAMBAR .............................................................................................. v 

    BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1 

    BAB II INTUISI DALAM BERMATEMATIKA ................................................ 3 

    BAB III MEMAHAMI INTUISI ........................................................................ 12 

    3.1 Pemahaman Intuisi dari Sudut Pandang Awam ..................................... 12 

    3.2 Pemahaman Intuisi dari Sudut Pandang Peneliti .................................... 14 

    3.3  Intuisi dan Pemrosesan Informasi .......................................................... 21 

    3.4 Intuisi dalam Pemecahan Masalah ......................................................... 24 

    3.5 Intuisi dan Gaya Belajar ......................................................................... 26 

    3.6 

    Perkembangan Kematangan Intuisi ........................................................ 28 

    3.7 

    Bias Kognisi, Intuisi, dan Probabilitas ................................................... 29 

    BAB 4 INTUISI DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA ....................... 32 

    BAB IV PENUTUP .............................................................................................. 36 

    DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 37 

    LAMPIRAN –LAMPIRAN .................................................................................. 43 

  • 8/18/2019 Profil Berpikir Intuitif Matematika

    5/55

    v

    DAFTAR GAMBAR

    Gambar 1 Contoh Permasalahan Mencari Lintasan Terpendek .............................. 9 

    Gambar 2 Garis lurus adalah lintasan terpendek..................................................... 9 

    Gambar 3 Contoh intuisi berupa “lompatan” gagasan. ......................................... 10 

    Gambar 4 Model Intuisi Menurut Baylor (1997) .................................................. 19 

    Gambar 5 Model Dual-Process ( Kahneman, 2002: 451) .................................... 23 

    Gambar 6 Model Kurva-U Perkembangan Kematangan Intuisi (Baylor, 2001) .. 29 

  • 8/18/2019 Profil Berpikir Intuitif Matematika

    6/55

    1

    BAB I PENDAHULUAN

    Perhatian terhadap Intuisi dan perkembangan kemampuan berpikir intuitif

    mendapat perhatian dan menjadi bahan kajian berbagai disiplin ilmu, terutama

     pada: filsafat (seperti Nolt, 1983; McLarty, 1997; Sher & Tieszen, 2000;

    Weinberg, Gonnerman, Buckner, & Alexander, 2010), psikologi (seperti

    Metcalfe, 1987; Parsons, 1993) dan pendidikan (seperti Wilder, 1967; Fischbein,

    1987; Stavy & Tirosh, 2000; Ben-Zeev & Star, 2001). Kondisi ini mengakibatkan

     penelitian intuisi menjadi penelitian multi-dimensi dan multi-disiplin dan

    memerlukan metoda penelitian yang tidak biasa.

    Keterlibatan dan peran intuisi dalam aktivitas bermatematika menarik

    untuk dikaji, karena apabila pengaruhnya signifikan dapat dilanjutkan dengan

     pengkajian apakah intuisi seseorang dapat ditingkatkan atau dikembangkan dan

     bagaimana cara mengembangkannya. Penelitian ini merupakan kajian literatur

    yang bertujuan untuk mengumpulkan landasan teoritis bagi penelitian intuisi

    khususnya didalam pembelajaran matematika. Melalui kajian literatur ini ingin

    dicari jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan berikut:

    (a).  Bagaimana pandangan para matematikawan mengenai keterlibatan intuisi

    dalam aktivitas bermatematika mereka? Meskipun masih kontroversial

    tetapi peneliti ingin mengetahui pandangan mereka (terutama yang positif)

    terhadap intuisi sehingga dapat dijadikan pijakan untuk meneliti intuisi

    dalam pembelajaran matematika.

    (b).  Apakah pengertian intuisi matematik merupakan suatu bentuk lain dari

     berpikir matematik? Klarifikasi ini diperlukan untuk memastikan apabila

    intuisi merupakan bentuk lain dari berpikir matematik maka ia dapat

    ditingkatkan atau dikembangkan melalui pembelajaran. Tetapi bila intuisi

    matematik bukan merupakan bentuk berpiir matematik dalam artian given 

  • 8/18/2019 Profil Berpikir Intuitif Matematika

    7/55

    2

     pada diri seseorang memberi implikasi pada penelitian intuisi matematika

    menjadi tidak berharga untuk dilakukan.

    (c). 

    Seberapa jauh penelitian mengenai intuisi matematika dalam

     pembelajaran matematika?

    Yang kemudian menjadi dasar bagi penelitian karakteristik berpikir intuitif

    matematik siswa/mahasiswa.

    Pembahasan akan dilakukan dengan menggunakan metoda desktiptif

    dengan sistematika pembahasan sebahai berikut:

    Pada Bab I dibahas rasional mengapa penelitian ini dilakukan dan jawaban atas

     pertanyaan-pertanyaan penelitian apa yang ingin diperoleh.

    Bab II difokuskan pada pandangan matematikawan terhadap keterlibatan intuisi

    didalam aktivitas matematika mereka.

    Bab III membahas beberpa pengertian intuisi dari berbagai sudut pandang untuk

    mendapatkan pemahaman yang konprehensif mengenai intuisi meskipun disadari

     bahwa pemahaman intuisi bergantung pada domain dan bersifat intuitif juga.

    Bab IV membahas sekilas aktivitas penelitian mengenai intuisi matematik untuk

    memastikan bahwa penelitian mengenai intuisi matematik sudah dirintis oleh para

     peneliti pemndidikan matematika

    Bab V menutup pembahasan dengan rangkuman secara umum terhadap apa yang

    telah dibahas dalam penelitian ini.

  • 8/18/2019 Profil Berpikir Intuitif Matematika

    8/55

    3

    BAB II INTUISI DALAM BERMATEMATIKA

    Sebelum mengawali kajian mengenai bagaimana peranan intuisi dalam

     bermatematika, sejenak kita ingat-ingat kembali kisah terkenal dari Archimedes

     beberapa ratus tahun sebelum masehi untuk mendapatkan ilustrasi mengenai

    intuisi. Archimedes diminta bantuan oleh rajanya untuk membuktikan secara

    ilmiah” bahwa mahkota raja terbuat seluruhnya dari emas murni dan bukan tanpa

    melebur atau menghancurkan mahkota tersebut . Sang raja ingin mengetahui

    apakah si pembuat mahkota telah bertindak jujur dan tidak berusaha untuk

    mengambil sebagian emasnya dengan mencampurkannya dengan logam lain.

    Archimedes telah berusaha keras untuk memperoleh gagasan untuk memecahkan

    masalah tersebut tetapi tidak berhasil. Sampai pada akhirnya ia sejenak

    menyegarkan badannya dengan berendam dalam bak. Sekonyong-konyong ia

     berteriak EUREKA!1  untuk mengekspresikan kegembiraan yang luar biasa,

     bahkan konon saking gembiranya ia

     berlari keluar rumah dan berteriak-teriak

    EUREKA tanpa mengenakan pakaian.

    Pada peristiwa tersebut muncul tiba-tiba

    dalam benak Archimedes gagasan untuk

    memecahkan persoalan yang telah

    dipikirkan lama, dan seolah-olah

    gagasannya muncul begitu saja ketika

    memperhatikan tumpahan air dari bak

    mandi. Kemudian hari peristiwa

    memperoleh gagasan tersebut dikenal

    dengan istilah  Aha! Experience  (AE).

    1 Eureka berasa dari bahasa Yunani, yang kurang lebh berarti : “saya berhasil mendapatkannya”.

  • 8/18/2019 Profil Berpikir Intuitif Matematika

    9/55

    4

    Apakah gagasan tersebut merupakan hasil dari suatu proses kognitif ? Pada

    awalnya peristiwa tersebut dianggap tidak ada kaitannya dengan proses berpikir

    karena seolah-olah muncul begitu saja tanpa melalui proses berpikir. Tetapi

    kemudian diakui sebagai suatu proses berpikir “ yang tidak melalui proses biasa”.

    Kisah Archimedes untuk memperoleh gagasan tersebut memberikan ilustrasi

     bagaimana intuisi Archimedes bekerja ketika berhadapan dengan persoalan.

    Selanjutnya dikaji bagaimana pengakuan dari beberapa matematikawan

     besar mengenai kehadiran, keterlibatan, dan peran intuisi dalam kegiatan

     bermatematika mereka. Kajian pustaka difokuskan pada kisah empat orang

    matematikawan terkemuka, yaitu: Albert Einstein (1879-1955), Jules Henri

    Poincaré (1854-1912), Christian Felix Klein (1849-1925), dan Sr  ī nivāsa Aiyangār

    R āmānujam (1887-1920). Karya keempat matematikawan tersebut sesuai

     pengakuan mereka sangat dipengaruhi oleh intuisinya.

    ALBERT EINSTEIN (1879-1955)

    Dalam sebuah suratnya Albert Einstein (1879-1955) mengemukakan

    sebuah pernyataan: “La seule chose qui vaille au monde, c'est l'intuition”. 

    Menurut Einstein, satu-satunya yang berharga di

    dunia ini adalah intuisi. Pernyataan tersebut ia

    kemukakan ketika menjawab pertanyaan yang

    diajukan padanya mengenai apakah intuisi

    memandunya dalam mencapai kemajuan capaian

     penelitian yang dilakukannya. Didalam surat tersebut,

    Einstein menceriterakan sebuah pengalaman

     bagaimana intuisinya berperan ketika ia meneliti

    ruang  pseudo-Euclidean Minkowski  pada teori relativitas umum (baca di:http://www.dialogus2.org/EIN/intuition.html). Menurut Einstein bisa saja sebuah

     penemuan lahir melalui intuisi. Ketika suatu pengamatan atau observasi tidak

    dapat dilanjutkan dengan deduksi logis karena nampaknya tidak ada “jalur logis”

    yang menghubungkan fakta dengan ide teoritis, untuk itu diperlukan suatu

    lompatan imajinasi bebas melampaui suatu fenomena yang disebut intuisi.

  • 8/18/2019 Profil Berpikir Intuitif Matematika

    10/55

    5

    Keprihatinan Einstein terhadap keengganan beberapa ilmuwan untuk

    memberdayakan intuisi, diungkapkannya melalui pernyataan berikut: “ The

    intuitive mind is a sacred gift and the rational mind is a faithful servant. We have

    created a society that honors the servant and has forgotten the gift “ (dalam

    Waks, 2006: 386). Einstein dalam pernyataan tersebut mengingatkan bahwa

     berpikir intuitif merupakan suatu karunia mulia (a sacred gift) yang

    dianugerahkan Tuhan kepada setiap individu, namun cenderung diabaikan dalam

    masyarakat yang lebih menghargai berpikir rasional.

    JULES HENRI POINCARÉ (1854-1912)

    Matematikawan Henri Poincaré saat menyampaikan kuliahnya yang

    terkenal dihadapan anggota Société de Psychologie pada tahun 1908 di Paris juga

    memaparkan bahwa proses penemuan teorema-

    teoremanya tidak lepas dari peran intuisi.

    Meskipun matematika dikenal sebagai sains

    deduktif, banyak gagasan matematika dari

    Poincaré diawali proses berfikir pada tingkat

     bawah sadar unconscious level (Van Moer, 2007:

    172-173). Poincaré (1914/ 2009: 53-54)

    memaparkan pengalamannya bagaimana intuisi

    hadir ketika ia sedang mengalami kebuntuan dalam memecahkan sebuah masalah

    mengenai fungsi Fuchsian:

     Disgusted at my want of succes, I went away to spend a few days at

    the seaside, and thought of entirely different things. One day, as I was

    walking on the cliff, the idea came to me, again with the same

    characteristics of brevity, suddenness, and immediate certainty ...... 

    (Poincaré, 1914/ 2009: 53-54) 

    Dalam bukunya tersebut Poincaré menceriterakan bahwa gagasan mengenai

    fungsi Fuchsian hadir secara tiba-tiba dalam benaknya ketika ia tidak sedang

    memikirkannya, dan ia meyakini kebenaran gagasan tersebut. Gagasan tersebut

    telah memandunya kearah penemuan fungsi Fuchsian, itulah intuisi. Demikian

     pentingnya intuisi bagi Poincaré, menurutnya: “It is by logic that we prove. It is

  • 8/18/2019 Profil Berpikir Intuitif Matematika

    11/55

    6

    by intuition that we invent” dan  “ logic remains barren unless fertilized by

    intuition”  (Raidl & Lubart, 2000: 217).  Tidak akan ada aktivitas kreatif sejati

    dalam matematika dan sains tanpa intuisi. Kajian terhadap gagasan Poincaré

    tentang intuisi matematis dibahas oleh Godlove (2009).

    CHRISTIAN FELIX KLEIN (1849-1925)

    Klein menuturkan pengalamannya mengenai penemuan teorema yang

    gagasan awalnya diperoleh melalui intuisi:

     But during my last night, the 22- 23 of March, [1882] -- which I

    spent sitting on the sofa because of asthma -- at about 3:30 there

    suddenly arose before me the Central Theorem, as it has been

     prefigured by me through the figure of the 14-gon in ( Ges. Abh., vol.

    3, p. 126). The next afternoon, in the mail coach (which then ran from

     Norden to Emden) I thought through what I had found, in all its

    details. Then I knew I had a great theorem. . . . (Klein, 1928/1979:

    360) 

    Meskipun gagasan intuitif mengenai teorema tersebut

    telah diperoleh dan diyakini kebenarannya, namun

    ternyata sangat sulit untuk membuktikannya. Bahkan

     pembuktian teorema tersebut secara lengkap baru

    terpecahkan tuntas hampir 40 tahun kemudian oleh orang

    lain, yaitu Koebe pada tahun 1921. Kemudian teorema

    tersebut dikenal dengan sebutan Teorema Klein-Koebe.

    SR ĪNIVĀSA AIYANGĀR R ĀMĀNUJAM (1887-1920)

    Sr  ī nivāsa Aiyangār R āmānujam (1887-1920)

    matematikawan India menulis surat kepada beberapa

    matematikawan besar pada masanya mengenai rumus-

    rumus yang menakjubkan untuk penjumlahan, perkalian,

     pecahan, dan akar takberhingga yang dikemukakannya

    secara intuitif. Namun tidak ada seorangpun

    meresponnya kecuali G. H. Hardy seorang

    matematikawan Inggris. Hardy dapat menerima kebenaran rumus-rumus tersebut

  • 8/18/2019 Profil Berpikir Intuitif Matematika

    12/55

    7

    tanpa melalui proses pembuktian formal yang biasa dipergunakan dalam

    matematika, yang dikenal sebagai intuisi matematik. Kejeniusan R āmānujam

    tercermin dari gagasan-gagasannya tersebut, dan telah memberikan kontribusi

     besar pada matematika meskipun beberapa gagasannya tidak sempat ia buktikan

    sebelum meninggal dunia pada usia 32 tahun.

    Dari paparan kisah tersebut tampaknya beberapa temuan penting dalam

    matematika oleh matematikawan besar ternyata diperoleh melalui proses “yang

    tidak biasa”:

    (i). Mereka melakukan lompatan-lompatan pemikiran ketika tidak/ belum

    ditemukan jalur logis yang menghubungkan antara fakta baru dengan gagasan

    teoritis yang ada, seperti yang dilakukan oleh Einstein, Klein, ataupun

    Ramanujam; atau (ii). Mereka memperoleh gagasan secara spontan atau ketika

    tidak sedang mencurahkan pikirannya untuk menyelesaikan masalah matematika

    yang mereka hadapi.

    Selanjutnya, bagaimana pendapat matematikawan kini yang tidak

    sekaliber Einstein, Poincaré, Klein, dan Ramanujam? Mungkin mereka tidak

     berada pada aras menemukan teori-teori tetapi lebih pada pengembangan teori

    yang sudah ada dalam Matematika. Penelitian Leone Burton (1999) dan Liljedahl

    (2004) akan diulas untuk tujuan tersebut.

    Leone Burton (1999) melakukan penelitian mengenai bagaimana

    keterlibatan intuisi dalam kegiatan “bermatematika” para matematikawan dengan

    meminta pendapat 70 orang subyek penelitian. Seperti telah diduga sebelumnya

    terjadi pro dan kontra mengenai hal ini karena intuisi masih merupakan sesuatu

    yang kontroversial. Menurut hasil penelitian Burton, ternyata cukup banyak

    subyek (yaitu 83%) yang mengakui bahwa kehadiran intuisi telah membantu

    mereka dalam kegiatan bermatematika mereka meskipun dengan kadar yang

     beragam. Dua contoh pernyataan berikut mewakili pendapat mereka yang

    mengakui adanya keterlibatan intuisi dalam kegiatan bermatematika:“ ...the

    ability to pick up that kind of connection in mathematics is mathematical intuition

  • 8/18/2019 Profil Berpikir Intuitif Matematika

    13/55

    8

    and is a central feature”, dan “I don’t think you would ever start anything without

    intuition”. Sedangkan dari mereka yang menyatakan tidak ada keterlibatan intuisi,

    contohnya adalah: “there is no such thing as intuition in mathematics”. Penelitian

    Burton berhasil menggali pemahaman matematikawan mengenai intusi matematik

    sebagai upaya mereka untuk menghubungkan / membuat “lompatan” ketika

    mereka tidak/belum menemukan adanya “jalur logis” yang menghubungkan

     beberapa fakta/gagasan teoritis.

    Penelitian Peter Gunnar Liljedahl (2004) yang ditulis dalam disertasinya

    mengarah kepada pemahaman bahwa intuisi matematik sebagai suatu gagasan

    spontan yang biasa disebut sebagai  Aha! Experience. Liljedahl memberikan

    ilustrasi bagaimana Aha! Experience ia alami ketika dihadapkan pada penyelesain

     permasalahan matematika yang sudah diupayakan dalam jangka waktu lama,

    namun gagasan luar biasa ia dapatkan seketika saat dosennya meminta penjelasan

    mengenai penyelesain yang ia peroleh padahal saat itu dia sedang memikirnya.

    Gagasan seketika tersebut sama sekali berbeda dengan yang sudah ia pikirkan

    sebelumnya. Gagasan seketika tersebut baginya adalah  Aha! Experience. Kisah

    ini mirip dengan yang dialami oleh Poincaré, dan mendorongnya untuk mengkaji

    lebih lanjut mengenai  Aha! Experience  dalam pemecahan masalah matematika.Liljedahl melakukan penelitian terhadap 64 orang subyek.  Aha! Experience 

     berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukannya (Liljedahl, 2004: 196-197)

    ternyata berada dalam ranah afektif dan kalaupun ada aspek kognitifnya tidak

     berada dalam peranan yang penting, hal ini berbeda dengan kebanyakan yang

    mengasumsikan bahwa gagasan takbiasa dari  Aha! Experience  merupakan hasil

    dari proses-proses kognitif yang tersembunyi (hidden cognitive processes).  Aha!

     Experience  atau intuisi secara umum melibatkan rasa dan emosi dari pelaku

    matematika.

    Berikut adalah contoh ilustrasi persoalan yang dihadapi oleh Liljedahl

    yang mendorongnya untuk memahami intuisi: seorang anak ingin membantu

    memadamkan kebakaran di rumah kakek. Sebelum ke rumah kakeknya ia harus

  • 8/18/2019 Profil Berpikir Intuitif Matematika

    14/55

    9

    ke sungai mengambil air terlebih dahulu untuk memadamkan api (peta lokasi

    kedua rumah dapat dilihat pada Gambar 1).

    Gambar 1 Contoh Permasalahan Mencari Lintasan Terpendek

    Langkah pertama yang dapat dilakukan adalah menarik garis lurus ke satu

    titik di sungai kemudian dilanjutkan ke lokasi rumah kakek. Mengapa harus garis

    lurus? Karena lintasan terpendek dari dua buah titik pada bidang datar berupa

    garis lurus. Bagaimana membuktikannya? Buktinya tidaklah sederhana, namun

    secara intuitif kita dapat menerima pernyataan tersebut. Dengan kata lain,

    mungkin kita tidak dapat membuktikan kebenaran pernyataan tersebut tetapi

    secara intuitif dengan tingkat keyakinan yang sangat tinggi kita dapat menerima

     pernyataan tersebut sebagai sebuah kebenaran. Ini merupakan contoh menerimaan

    suatu pernyataan matematika secara intuitif, contoh lain dibahas pada (Fischbein,

    Tirosh, & Melamed, 1981).

    Gambar 2 Garis lurus adalah lintasan terpendek

  • 8/18/2019 Profil Berpikir Intuitif Matematika

    15/55

    10

    Kemudian dicari kombinasi yang menghasilkan jarak terpendek untuk rute

    rumah saya-sungai-rumah kakek. Inipun ternyata tidak mudah atau

    siswa/mahasiswa lupa dengan rumus-rumus yang diperlukan untuk menghitung

     jarak rute tersebut. Kembali gagasan intuitif muncul untuk menyelesaikan

    masalah matematik tersebut, yaitu dengan merefleksikan (mencerminkan) lintasan

    menuju rumah kakek dan sungai sumbu refleksinya (lihat Gambar 3). Gagasan

    tersebut muncul tiba-tiba dalam benak Liljedahl setelah berhari-hari mencurahkan

    waktu untuk mencari penyelesaian masalah tersebut. Meskipun tampak sederhana,

    itulah gagasan yang muncul tiba-tiba di benak seorang mahasiswa S2 matematika

    yang telah cukup memiliki pengalaman dalam pemecahan masalah matematika.

    Apakah gagasan tersebut muncul secara acak dan dapat terjadi pada banyak orang,

    atau gagasan tersebut muncul tiba-tiba karena Liljedahl telah memiliki banyak

     pengalaman menghadapi dan memecahkan masalah-masalah matematika atau

    dengan katalain ia seorang pakar.

    Gambar 3 Contoh intuisi berupa “lompatan” gagasan.

    Dari paparan tersebut tampak bahwa cukup banyak matematikawan yang

    mengakui kehadiran intuisi dalam kegiatan bermatematika mereka dengan

    tingkatan beragam. Beberapa matematikawan banyak yang mengandalkan intuisi

    mereka dalam proses penemuan teori yang mereka jalani. Ternyata keterlibatan

  • 8/18/2019 Profil Berpikir Intuitif Matematika

    16/55

    11

    intuisi dalam kegiatan menyelesaikan masalah matematika juga diakui oleh

     banyak matematikawan lain setidaknya dari hasil penelitian Burton (1999).

    Merujuk pada hasil penelitiannya tersebut, Burton kemudian

    mempertanyakan: “Why is intuition so important to mathematicians but missing

     from mathematics education? “. Menurut Burton, intuisi telah hilang atau

    diabaikan dalam pembelajaran matematika. Meminjam istilahnya Einstein, kita

    telah melupakan gift dalam pendidikan matematika. Waks (2006: 386) sependapat

    dengan Burton, dan kemudian untuk memperkuat argumennya ia menunjukkan

     bahwa unsur atau entri intuisi tidak dijumpai pada beberapa ensiklopedia

     pendidikan atau penelitian pendidikan, seperti: Encyclopedia of Education  (New

    York: Macmillan Reference Library, 2002) dan  Encyclopedia of Educational

     Research, 6th ed. (New York: Macmillan Reference Library, 1992). Namun ada

     beberapa buku yang membahas mengenai intuisi dalam pendidikan, seperti yang

    ditulis oleh: Bruner (1963/1977), Fischbein (1975, 1987) dan Hogarth (2001).

    Kesimpulan yang dapat ditarik berdasarkan pembahasan bab ini adalah:

    (a). 

    Intuisi meskipun masih merupakan konsep yang kontroversial dalam

    mencari kebenaran ternyata cukup banyak terlibat dan membantu para

    matematikawan dalam kegiatan bermatematika;

    (b).  Meskipun intuisi berperan penting dalam kegiatan bermatematika seperti

     penerimaan pernyataan matematika secara intuitif tidak mengecualikan

    keharusan untuk memenuhi struktur deduktif matematika yang formal,

    ketat dan aksiomatik. Kadang memerlukan waktu yang cukup panjang

    seperti Klein untuk sampai pada situasi ini.

    (c). 

    Intuisi belum banyak “dilirih” oleh peneliti pendidikan matematik

    meskipun banyak yang mengatakan bahwa intuisi berperan penting.

    Secara umum peneliti setuju dengan pendapat Van Dooren, De Bock, &

    Verschaffel (2007) bahwa intuisi dan matematika meskipun sepintas tampak

     berbeda namun keduannya dapat disandingkan secara harmonis dalam kkegiatan

     bermatematika.

  • 8/18/2019 Profil Berpikir Intuitif Matematika

    17/55

    12

    BAB III MEMAHAMI INTUISI

    Beragamnya definisi intuisi seringkali terjadi ketidak sepahaman dalam

    membicarakan intuisi. Pada bab ini akan dilaporkan hasil kajian literatur

    mengenai makna intuisi.

    3.1 Pemahaman Intuisi dari Sudut Pandang Awam

    Intuisi merupakan istilah yang sudah tidak asing didengar oleh telinga kita.

    Istilah tersebut digunakan oleh berbagai kalangan mulai dari masyarakat awam

    sebagai ungkapan bahasa sehari-hari dengan makna yang luas, oleh para peneliti

    sebagai ungkapan bahasa ilmiah yang spesifik, dan oleh para filsuf sebagai

    ungkapan bahasa filosofis. Pemahaman masyarakat awam terhadap makna intuisi

    sangat beragam dengan spektrum yang lebar. Mulai dari intuisi dipahami sebagai

    suatu teknik “menebak” yang digunakan ketika tidak tersedia informasi yang

    memadai untuk membuat suatu penalaran logis, hingga intuisi dimaknai sebagai

    firasat, bahkan sebagai kemampuan mistis atau supranatural. Tidaklah

    mengherankan apabila terdapat berbagai padanan kata intuisi yang digunakan

    oleh masyarakat dan mencerminkan pemahaman mereka mengenai makna intuisi.

    Bastick (1982), Hayashi (2001), Hogarth (2001), dan Blacker (2006) mendapati

     padanan kata intuisi, antara lain: (1). gut feeling atau hunch  , intuisi dipahami

    sebagai suatu firasat atau kata hati; (2)  indera keenam (sixth sense), dipahami

    sebagai suatu yang diperoleh dari luar panca indera seseorang; (3) berpikir

    menggunakan otak kanan (right brain thinking), mengkontraskan intuisi dengan

     berpikir logis yang mereka yakini diproses pada otak kiri; (4). pemahaman mistis

    (mystical insight ) atau pengetahuan yang misterius (mysterious knowledge),

    keberadaan intuisi dapat diterima tetapi tidak diketahui bagaimana dapat terjadi;

  • 8/18/2019 Profil Berpikir Intuitif Matematika

    18/55

    13

    (5) proses-proses prasadar ( preconscious processes), sebagai proses yang terjadi

    diluar kendali seseorang.

    Sampai saat ini belum ada kesepakatan yang tegas dan definitif mengenai

    definisi intuisi dan juga bagaimana proses intuisi bekerja (Blacker, 2006: 17).

    Tujuh puluh tiga tahun lalu Wild (1938) telah berhasil mengidentifikasi terdapat

    31 definisi yang berbeda mengenai intuisi. Definisi intuisi sangat bergantung pada

    ranah yang dikaji (Ben-Zeev & Star, 2001). Saat ini kajian mengenai intuisi

     banyak ditemui dalam di bidang: filsafat, psikologi, pendidikan manajemen, dan

    kesehatan.

    Beranjak dari asal kata intuisi (intuition dalam bahasa Inggris) ditelusuri

     berbagai definisi intuisi. Intuisi berasal dari kata intueri dalam bahasa Latin yang

    secara harafiah berarti melihat jauh lebih kedalam (insight ), sehingga intuisi

    memaknai tidak terbatas pada apa yang dapat dipersepsi oleh indera seseorang

    tetapi jauh lebih dalam pada makna yang tersirat (Sauvage, 1910).

    Diawali dengan telaah makna intuisi secara umum menggunakan sumber

     pustaka beberapa kamus. Kamus mengartikan istilah intuisi antara lain:

    (1). 

    “ Kemampuan untuk mengetahui atau memahami sesuatu tanpa dipikirkanatau dipelajari ; bisikan hati” (Kamus Besar Bahasa Indonesia / KBBI);

    (2).  “Knowledge or mental perception that consists in immediate apprehension

    without the intervention of any reasoning process” (The Oxford English

    Dictionary);

    (3). 

    “The immediate knowing of something without the conscious use of

    reasoning“ (Webster’s New World Dictionary);

    (4). 

    “  Direct perception of truths, facts, etc. Independently of any reasoning process. A truth or fact thus perceived. The ability to perceive in this

    way”. (Macquarie Encyclopedic Dictionary).

    Tampaknya penjelasan kamus mengarah kepada suatu pemahaman bahwa intuisi

     bukan merupakan proses kognitif. Intuisi terjadi diluar atau dibawah sadar, tanpa

  • 8/18/2019 Profil Berpikir Intuitif Matematika

    19/55

    14

    melalui proses berpikir dan penalaran memperkuat argumen tersebut. Intuisi

    hanyalah merupakan suatu luaran atau mungkin juga dampak dari suatu “proses

     berpikir yang unik”, tampaknya pandangan ini sejalan dengan pemahaman

    masyarakat pada umumnya terhadap intuisi.

    3.2 Pemahaman Intuisi dari Sudut Pandang Peneliti

    Definisi intuisi dari berbagai sudut pandang berbeda yang dirujuk oleh

     beberapa sumber pustaka disajikan pada Tabel 1 untuk memberikan gambaran

    mengenai beragamnya definisi intuisi.

    Tabel 1 Contoh Definisi Intuisi

    Sumber Definisi

    Sauvage (1910) ... a psychological and philosophical term which

    designates the process of immediate apprehension or

     perception of an actual fact ....

    Jung (1921: 567-568)  Intuition is a psychological function trasmitting

     perception in an unconscious way. 

    Wild (1938: 226)  An immediate awareness by the subject, of some particular entity, without such aid from the senses or

     from reason as would account for that awareness. 

    Bruner (1963/1977: 60)  Intuition implies the act of grasping the meaning,

    significance, or structure of a problem or situation

    without explicit reliance on the analytic apparatus of

    one's craft. 

    Wescott & Ranzoni

    (1963, dalam Dane &

    Pratt, 2007: 34)

    The process of reaching a conclusion on the basis of

    little information, normally reached on the basis of

    significantly more information.

    Rorty (1967, dalam

    Dane & Pratt, 2007: 34)

     Immediate apprehension

    Vaughan (1979: 46) ... knowing without being able to explain how we

    know

    Fischbein (1987: 14)  A cognition that appears subjectively self evident ,

  • 8/18/2019 Profil Berpikir Intuitif Matematika

    20/55

    15

    directly applicable, holistic, coercive, and

    extrapolative.

    Shirley & Langan-Fox(1996)

     A feeling of knowing with certitude on the basis ofinadequate information and without conscious

    awareness of rational thinking

    Hersh (1997: 65)  Intuition isn’t direct perception of something

    external. It’s the effect in the mind/brain of

    manipulating concrete object .... This experience

    leaves a trace, an effect, in your mind/brain.

    Burke & Miller (1999:

    92)

     A cognitive conclusion based on a decision maker’s

     previous experiences and emotional inputs 

    Hogarth (2001: 14) Thoughts that are reached with little apparent effort,and typically without conscious awareness: they

    involve little or no conscious deliberation 

    Kahneman (2002: 449) Thoughts and preferences that come to mind quickly

    and without much reflection.

    Menurut Sauvage (1910), intuisi adalah istilah psikologi dan filsafat

    untuk suatu proses pemahaman dan persepsi terhadap suatu fakta aktual. Kata

    Intuisionisme merupakan suatu sistem dalam filsafat yang menganggap intuisi

    sebagai suatu proses mendasar untuk memperoleh pengetahuan. Sauvage banyak

    membahas peran intuisi dalam etika dan moral. Intuisi sebagai unsur dalam

    metoda pendidikan diartikan sebagai cara memahami pengetahuan melalui sesuatu

    yang konkret, eksperimental, atau secara intelektual. Intuisi empiris adalah

     persepsi yang segera dari sensasi atau obyek materi oleh indera kita, sedangkan

    intuisi intelektual adalah pemahaman segera dari intelektual atau obyek

    nonmaterial oleh kecerdasan individu.

    Menurut Jung (Jung, 1921), intuisi merupakan suatu fungsi psikologis

    yang mentransmisikan persepsi bawah sadar. Intuisi dipandang sebagai fungsi

    kognitif diluar nalar dan ia memberikan pertimbangan setiap kali rasional atau

    kognitif lainnya tidak bekerja. Menurut teori Jung mengenai intuisi, setiap

    individu memiliki intuisi tetapi dengan derajat yang berbeda-beda dan diwujudkan

  • 8/18/2019 Profil Berpikir Intuitif Matematika

    21/55

    16

    dalam bentuk tipe kepribadian. Kemudian berdasarkan teori Jung tersebut

    dikembangkan metoda-metoda untuk mengukur derajat intuitif untuk berbagai

    tipe kepribadian individu, salah diantaranya adalah MBTI ( Myers-Briggs Type

     Indicator ). Pada MBTI, bagaimana individu memiliki preferensi dalam upaya

    memperoleh informasi dikontraskan antara tipe intuition  dengan tipe sensing.

    Individu tipe sensing  cenderung lebih memperhatikan informasi yang diperoleh

    melalui panca inderanya, sedangkan individu tipe intuition lebih memperhatikan

     pada pola dan kemungkinan dari suatu informasi. Menurut Martin (1997)

    individu tipe intuisi dapat dikenali dari pernyataan seperti berikut ini: (1). Saya

    dapat mengingat sesuatu dari makna yang tersirat padanya (to read between the

    lines); (2). Saya memecahkan masalah dengan melakukan lompatan diantara

     berbagai gagasan dan kemungkinan penyelesaian yang berbeda; (3) Saya tertarik

    untuk melakukan hal-hal yang baru dan berbeda; (4). Saya lebih tertarik mulai

    dari gambaran besar baru baru kemudian mencari fakta-fakta; (5). Saya percaya

     pada impresi, simbol, atau metafora dari pada mengalaminya sendiri; (6).

    Terkadang saya banyak berpikir mengenai kemungkinan-kemungkinan baru dan

    kurang memperhatikan bagaimana mewujudkannya. Deskripsi dari Martin

    tersebut memberikan gambaran seorang tipe intuisi, tipe ini tampaknya

    mendukung seseorang yang banyak bekerja dengan matematika.

    Wild (1938) memandang intuisi sebagai suatu kesadaran (awareness) yang

    cepat tanpa bantuan indera ataupun penalaran untuk memperoleh pengetahuan.

    Wild juga mengemukakan pendapat mengenai keberadaan intuisi estetika, moral ,

    dan religius. Intuisi dapat timbul dari sumber-sumber Ilahi dan dari bawah sadar

    kolektif, dan bukan hanya dari pengalaman kita yang didasarkan pada skema

    kognitif tertentu.

    Bruner (1963/1977) memaknai intuisi sebagai suatu tindakan untuk

    mendapatkan suatu makna, signifikansi, struktur atau situasi dari masalah tanpa

    ketergantungan secara eksplisit pada peralatan analitik yang dimiliki seorang ahli.

    Bruner memberikan contoh situasi dalam matematika bagaimana intuisi dimaknai.

    Contoh pertama, adalah seseorang dikatakan berpikir secara intuitif, bila ia telah

  • 8/18/2019 Profil Berpikir Intuitif Matematika

    22/55

    17

     banyak bekerja dalam suatu masalah dalam periode waktu lama. Ia dapat segera

    memberikan solusi masalah didasarkan atas sesuatu yang pernah ia buktikan

    secara formal sebelumnya. Contoh kedua, seseorang disebut matematikawan

    intuitif yang baik bila orang lain datang menyodorkan masalah padanya, dia akan

    dengan sangat segera memberikan tebakan yang baik untuk solusi masalah, atau

    dapat dengan segera memberika beberapa pendekatan alternatif untuk

    menyelesaikan masalah tersebut. Menurut Bruner meskipun ada orang yang

    memiliki talenta istimewa (intuisi), namun efektifitas akan tercapai bila ia

    memiliki pengalaman belajar dan pemahaman terhadap subyek tersebut.

    Wescott & Ranzoni (1963, dalam Dane & Pratt, 2007: 34) mendefinisikan

    intuisi sebagai sebuah proses untuk mencapai kesimpulan terbaik berdasarkan

    informasi yang lebih sedikit dari jumlah normal yang diperlukan. Dalam situasi

    ini, individu tentu saja melakukan kegiatan ekstrapolasi atau generalisasi dengan

     bantuan intuisi untuk mencapai kesimpulan. Definisi intuisi dari Shirley &

    Langan-Fox (1996) serupa juga, tetapi mereka memasukan unsur “merasa tahu

    dengan pasti” .

    Rorty (1967, dalam Dane & Pratt, 2007) memandang intuisi bukan sebagai

     proses tetapi sebagai hasil dari suatu proses yang unik. Dia mendefinisikan intuisi

    sebagai immediate apprehension  yang mengarah pada pertimbangan subyektif

    seseorang dalam memahami suatu fakta atau memecahkan suatu masalah.

    Demikian pula dengan Hersh (1997: 65) yang berpendapat bahwa intuisi adalah

    hasil dari suatu proses yang meninggalkan jejak dalam otak/pikiran manusia.

    Vaughan (1979) memaparkan bahwa seseorang sering kesulitan

    mengungkapkan apa yang terjadi dalam proses sampai menghasilkan intuisi. Hal

    yang sama ditegaskan pula oleh Eysenck (1995, Blacker, 2006: 18) dengan

    menyebutnya sebagai “tidak mungkin diverbalkan”. Keduanya ingin

    menyampaikan bahwa dengan intuisi seseorang bisa memiliki keyakinan yang

    tinggi terhadap suatu hal, tetapi ia tidak dapat menjelaskan mengapa seperti itu.

    Aspek inilah yang menyulitkan penelitian untuk mengakses berpikir intuitif

  • 8/18/2019 Profil Berpikir Intuitif Matematika

    23/55

    18

    seseorang, sehingga muncul pertanyaan apakah kemampuan intuisi seseorang

    dapat diukur ? (Fischbein, et al., 1981).

    Fischbein dapat disebut sebagai pelopor kajian intuisi dalam pembelajaran,

    terutama pembelajaran matematika dan sains. Fischbein (1987: 14) memaparkan

    ciri-ciri utama dari intuisi. Fischbein pula yang mengelompokkan intuisi

     berdasarkan proses terbentuknya ke dalam dua kelompok yaitu intuisi primer dan

    intuisi sekunder. Keberadaan intuisi sekunder yang dapat ditata-ulang atau

    direkonstruksi, menjadikan pembelajaran merupakan suatu upaya untuk

    mengembangkan kemampuan intuisi seseorang.

    Burke & Miller (1999) melakukan penelitian dibidang pengambilan

    keputusan. Mereka berpendapat bahwa intuisi bukan sesuatu yang muncul serta

    merta, tetapi merupakan hasil dari pengalaman yang panjang dan adanya

    keterlibatan unsur emosi didalamnya.

    Hogarth (2001: 14) mendefinisikan intuisi sebagai suatu pemikiran yang

    diperoleh dengan sedikit usaha, dan pada umumnya dibawah sadar. Kadang-

    kadang melibatkan pertimbangan sadar atau bahkan tidak sama sekali. Sehingga

    intuisi dihasilkan tanpa mencurahkan banyak usaha dan tidak perlu banyakmencurahkan pikiran karena sebagian besar terjadi dibawah sadar.

    Menurut Kahneman (2002: 449), pikiran atau preferensi dalam intuisi

    datang dengan sangat cepat dan tanpa banyak melakukan refleksi. Kahneman

     bersama Tversky banyak melakukan penelitian mengenai intuisi, salah satu hasil

    yang mereka peroleh adalah bahwa intuisi merupakan suatu jenis penalaran tak

    formal dan tak terstruktur. Tahun 2002 Kahneman memperoleh hadiah Nobel

    Ekonomi sebagai penghargaan atas kontribusinya terhadap “analysis of judgement

    heuristic” yang berkaitan erat dengan proses intuitif.

    Menurut Baylor ( 1997) intuisi merupakan hasil perpaduan tiga komponen

    yaitu: kesegeraan (immediacy), penalaran (reasoning), dan the sensing of

    relationships (dilihat Gambar 4). Melalui model Baylor tersebut tampak jelas

     perbedaan antara intuisi dengan insight   (beberapa literatur memadankan dua

  • 8/18/2019 Profil Berpikir Intuitif Matematika

    24/55

    19

    istilah ini), yaitu pada insight  tidak terjadi proses penalaran atau dengan kata lain

    intuisi adalah insight  yang dilengkapi dengan proses penalaran.

    Gambar 4 Model Intuisi Menurut Baylor (1997) 

    Menurut Audi (2004: 33-36), intuisi adalah pengetahuan tak-inferensial

    (non inferential knowledge) yang diperoleh tanpa melakukan inferensi terhadap

    fakta, premis, atau aksioma lain. Pengetahuan tersebut bercirikan self-evidence,

    artinya pengetahuan tersebut dapat dipahami atau terima secara langsung oleh

    seseorang tanpa memerlukan proses pembuktian atau memerlukan bukti diluar

    dirinya. Ada empat sifat atau karakteristik dari intuisi menurut Audi, yaitu:

    1. 

    Intuisi harus memenuhi syarat non-inferensial atau langsung, karena proposisi

    dalam berintuisi tidak didasarkan pada suatu premis.

    2. 

    Intuisi harus memenuhi syarat ketegasan, karena intuisi merupakan suatu

    kognisi yang mengandung makna tegas seperti suatu keyakinan (belief ) dalam

    diri individu, tidak bisa sekedar suatu kecenderungan atau suatu gejala.

    3.  Intuisi harus memenuhi syarat pemahaman minimal dari obyek proposisi,

    karena seseorang tidak dapat berintuisi mengenai hal yang tidak dia pahami.

    REASONING RELATIONSHIPS

    IMMEDIACY

    Insight

    INTUITION

  • 8/18/2019 Profil Berpikir Intuitif Matematika

    25/55

    20

    4.  Intuisi tidak harus bergantung pada suatu teori itu sendiri maupun hipotesis

    teoretik, tetapi tidak berarti bahwa intuisi adalah pre-konseptual, hanya ia

    tidak didasarkan pada beberapa hipotesis teoritis.

    Berdasarkan uraian tersebut dapat ditarik beberapa kesimpulan mengenai

     pengertian intuisi, yaitu:

    (1). 

    Terdapat dua jenis pendefinisian intuisi yang berbeda. Jenis pertama,

    intuisi dipahami sebagai sebuah proses (proses intuitif). Contohnya adalah

    yang dikemukakan oleh Jung (1921) dan Wescott & Ranzoni (1963, dalam

    Dane & Pratt, 2007: 34), yaitu cara untuk memahami dan memilah data /

    informasi. Sedangkan jenis kedua, intuisi dipahami sebagai hasil atau

    dampak (outcome) dari suatu proses kognitif seperti yang didefinisikan

    oleh Rorty (1967, dalam Dane & Pratt, 2007: 34), Fischbein (1987: 14),

    Hersh (1997: 65) dan Kahneman (2002: 449).

    (2).  Tampak dapat disepakati bahwa intuisi didasarkan pada pengalaman atau

    hasil belajar, bukan berdasarkan inspirasi supernatural, indera keenam atau

    lainnya yang dipahami oleh sebagian masyarakat awam. Intuisi merupakan

    suatu bentuk kemampuan kognitif seseorang yang dihasilkan dari suatu

     proses yang unik.

    (3).  Kemampuan intuitif dimiliki oleh setiap individu tetapi dengan derajat

    yang berbeda-beda. Intuisi seseorang memungkinkan untuk

    dikembangkan, atau ditata ulang (direkonstruksi) melalui suatu bentuk

    intervensi / pembelajaran yang sesuai.

    (4). 

    Tampak ada beberapa kesamaan yang hampir terdapat pada setiap definisi

    intuisi dan dapat dijadikan ciri suatu proses intuitif. Setidaknya ada empat

    ciri utama dari proses intuitif yaitu: (a). proses dilakukan atau terjadi

    dibawah sadar (nonconscious) individu; (b). adanya keterlibatan rasa dan

    emosi individu didalamnya ; (c). proses terjadi dengan cepat tampak

    seperti “otomatis” ; dan (d). Bersifat holistik atau menyeluruh, dan tidak

    rinci atau parsial.

  • 8/18/2019 Profil Berpikir Intuitif Matematika

    26/55

    21

    (5).  Hasil dan dampak (outcome) dari suatu proses intuitif (intuiting) adalah

     berupa pertimbangan / penilaian intuitif (intuitive judgement ) yang dimiliki

    oleh seseorang untuk memberikan respons terhadap suatu masalah.

    3.3 Intuisi dan Pemrosesan Informasi

    Intuisi adalah suatu bentuk proses yang unik (Dane & Pratt, 2007: 34-35)

    dalam pengolahan informasi, setidaknya memiliki ciri utama berikut:

    (1). 

    Pemrosesan informasi dilakukan atau terjadi bawah sadar (nonconscious

    information processing). Secara konseptual sistem pemrosesan informasi

    dibedakan kedalam dua sistem kognitif, yaitu: pemrosesan secara sadar

    dan pemrosesan bawah sadar. Sistem pemrosesan sadar memungkinkan

    individu untuk menganalisis masalah dengan sengaja, sekuensial, dan

    mencurahkan perhatiannya. Sedangkan dengan pemrosesan bawah sadar,

    memungkinkan indivudu untuk belajar dari pengalaman, mengembangkan

    rasa mengetahui ketika tidak hadirnya perhatian sadar (Hogarth, 2001).

    Tabel 2 menyajikan perbandingan yang merupakan ciri-ciri utama dari

    kedua sistem pemrosesan informasi tersebut. Intuisi termasuk ke dalam

    kategori pemrosesan informasi bawah sadar (Dane & Pratt, 2007).

    Tabel 2 Perbandingan karakteristik pemrosesan informasi

    Pemrosesan Bawah Sadar Pemrosesan Sadar

    Pengalaman (Epstein, 1994) Rasional (Epstein, 2003)

    Otomatik Disengaja (intentional)

    Assosiatif Reflektif

    Mengikuti kata hati/ impulsif mengacu pada aturan

    (2). 

    Asosiasi yang menyeluruh (holistic association)

    Intuisi juga terlibat dalam menggambarkan suatu asosiasi secara holistik.

    Asosiasi tersebut mungkin saja muncul dari kognitif heuristik yang

  • 8/18/2019 Profil Berpikir Intuitif Matematika

    27/55

    22

    sederhana (Tversky & Kahneman, 1974) atau dari yang lebih kompleks

    seperti terbentuknya pola “chunk ” sebagai hasil dari latihan dan

     pengalaman tahunan.  Intuitive judgement dapat muncul akibat rangsangan

    dari lingkungan terhadap proses kognitif yang holistik dan asosiatif.

    (3). Rasa dan Emosi (affect ) ;

    Intuisi juga sering dipandang sebagai “perasaan yang telah diisi”. Rasa

    atau emosi selalu menyertai proses dan juga hasil dari proses tersebut.

    Sehingga muncul istilah gut feeling dan gut instinct  yang mencerminkan

    keterlibatan perasaan dan emosi dalam intuisi.

    (4). Kecepatan (speed ).

    Kecepatan adalah salah satu ciri utama dari intuisi (Bastick, 1982;

    Kahneman, 2002), hal tersebut yang terkait dengan pemrosesan informasi

    otomatis dan relatif cepat. Menurut March & Simon (1993, dalam Dane &

    Pratt, 2007: 38), ciri khas dari intuisi adalah responnya yang cepat (hanya

    dalam hitungan detik) dan ketidak mampuan responden untuk melaporkan

    urutan langkah-langkah yang mengarah pada hasil. Yang mengesankan

    dari intuisi yang dapat diamati adalah, respon (terutama dari ahli) sering

     benar meskipun tampaknya ia hampir tidak memerlukan waktu untuk

    memrosesnya dan tidak nampak usaha untuk itu.

    Klasifikasi mengenai pemrosesan informasi juga dilakukan oleh Stanovich

    dan West (2000, dalam Kahneman, 2002), yang mereka sebut Dual-process terdiri

    dari sistem 1 (S1) dan sistem (S2). Karakteristik model pemrosesan informasi

    tersebut disajikan pada Gambar 5.

    Di dalam psikologi kognitif, menurut Model  Dual-process, kognisi dan

     perilaku individu beroperasi secara paralel pada dua cara yang berbeda (sistem S1

    dan S2). Perbedaan yang utama dari kedua sistem tersebut adalah pada pada

    dimensi aksesibilitas: seberapa cepat dan bagaimana hal-hal mudah muncul dalam

     pikiran individu. Pada kebanyakan situasi, S1 dan S2 bekerjasama untuk

    menghasilkan respons adaptif , tetapi pada beberapa kasus S1 cepat menghasilkan

  • 8/18/2019 Profil Berpikir Intuitif Matematika

    28/55

    23

    tanggapan non-normatif, sementara S2 mungkin tidak turut campur memperbaiki

    respon S1 (Leron & Hazzan, 2009).

    Gambar 5 Model Dual-Process ( Kahneman, 2002: 451)

    Kahneman memberikan ilustrasi bagaimana pada suatu situasi S1 dan S2

    tidak bersinergi. Pertanyaan berikut diajukan kepada kelompok mahasiswa dari

    dua universitas kategori terbaik di Amerika, yaitu Universitas Princeton dan

    Universitas Michigan oleh koleganya Shane Frederick:

     Harga sebuah pemukul dan sebuah bola baseball adalah satu dolar

    sepuluh sen. Harga pemukul satu dolar lebih mahal dari harga bola.

     Berapa harga bola baseball tersebut?

    Hasil yang mengejutkan adalah mahasiswa cenderung untuk menjawab spontan

    “10 sen”, padahal jawaban yang benar adalah “5 sen”. Penjelasan dari situasi

    tersebut menurut model model  Dual-process  adalah reaksi yang cepat dari S1

    telah merebut perhatian subyek dari S2, dan secara otomatis mereka segera

    menjawab 10 sen. Bagi sebagian orang hasil S1 tersebut diterima secara tidak

    kritis, dalam artian mereka “berperilaku tidak rasional”. Pada sebagian orang

    lainnya hasil S1 tersebut dilanjutkan dengan S2 untuk memberikan penyesuaian

    yang diperlukan untuk memperoleh jawaban benar . Tampaknya pada situasi ini

    S1 bekerja dengan sangat cepat dalam mengambil keputusan berdasarkan ciri-ciri

    utama dan perasaan yang sesuai dengan situasi tertentu.

  • 8/18/2019 Profil Berpikir Intuitif Matematika

    29/55

    24

    Ciri lain yang menonjol dari proses intuitif (S1) adalah lambat-belajar

    dibandingkan dengan proses penalaran (S2) yang lebih bersifat fleksibel.

    Sehingga untuk merekonstruksi proses S1 diperlukan intervensi yang tepat guna.

    Menurut Dane & Pratt (2009: 3) luaran (output ) dan dampak (outcome)

    dari suatu proses intuitif (intuiting) adalah kemampuan mempertimbangan atau

    menilai secara intuitif (intuitive judgement ). Kemampuan ini adalah pada dasarnya

    adalah kemampuan alamiah yang dimiliki setiap manusia untuk bertahan hidup.

    Perbedaan luaran proses intuitif (S1) dengan luaran proses penalaran (S2)

    seringkali berpengaruh pada penerimaan terhadap intuisi sebagai sumber

     pengetahuan, dan kontroversi ini tetap berlangsung hingga kini dalam berbagai

    ranah ilmu.

    Berdasarkan uraian tersebut dapat ditarik beberapa kesimpulan mengenai

     proses intuitif, yaitu:

    (1).  Intuisi merupakan suatu proses kognitif yang unik dan kompleks , dan

    apabila dikontraskan dengan proses penalaran maka akan tampak beberapa

    karakteristik yang khas.

    (2). 

    Menurut teori dual-process  S1 dan S2 berlangsung secara paralel dalam

    diri seseorang, namun salah satu dapat menjadi dominan dibandingkan

    lainnya atau dapat pula keduanya saling melengkapi.

    (3). 

    S1 seringkali tampak menonjol dibandingkan S2 karena aksesnya lebih

    cepat dan seringkali kali diterima secara tidak kritis karena adanya “ rasa

    sudah benar”.

    (4).  Intuisi adalah proses yang lambat-belajar sehingga diperlukan intervensi

    yang tepat sasaran untuk menata ulang proses intuitif seseorang.

    3.4 Intuisi dalam Pemecahan Masalah

    Beberapa hasil penelitian (Dane & Pratt, 2009) melaporkan bahwa intuisi

    setidaknya berperan dalam tiga aspek berikut, yaitu: (a). sebagai sarana untuk

     pemecahan masalah; (b). sebagai masukan untuk membuat keputusan moral; dan

    (c). Sebagai instrumen untuk memfasilitasi kreatifitas.

  • 8/18/2019 Profil Berpikir Intuitif Matematika

    30/55

    25

    Konseptualisasi dari intusi yang paling umum adalah merujuk pada intuisi

     pemecahan masalah. Intuisi ini hadir dan digunakan ketika berhadapan dengan

    dilema pemecahan masalah atau pengambilan keputusan. Proses yang mendasari

    intuisi pemecahan masalah adalah mencocokan pola yang dapat dipertajam

    melalui pelatihan dan latihan berulang (Hogarth, 2001). Dengan demikian intuisi

     pemecahan masalah sangat terhubung dengan domain pengetahuan atau

    kepakaran, sehingga intuisi pemecahan masalah sering dirujuk pada “intuisi

    seorang ahli”. Pernyataan tersebut tidaklah sepenuhnya benar, karena tidak semua

    intuisi pemecahan masalah terbentuk sebagai sebuah hasil dari suatu kepakaran.

    Beberapa intuisi pemecahan masalah justru dipupuk mulai dari heuristik yang

    relatif sederhana (Tversky & Kahneman, 1974), sehingga tidak peduli bagaimana

    kompleksnya struktur kognitif seseorang, intuisi pemecahan masalah terlibat pada

    situasi saat ini ditinjau dari kesamaan dan perbedaannya dengan pengalaman masa

    lalu. Jenis intuisi yang lain adalah intuisi moral yang digunakan untuk membuat

    keputusan benar atau salah dalam suatu situasi, serta intuisi kreatif untuk

    mendukung kreatifitas.

    Tabel 3 Perbandingan berbagai jenis intuisi

    Jenis intuisi Uraian Sifat asosiasi Afektif

    Pemecahan

    masalah

    Tindakan otomatis

    untuk mengenali

    kesesuaian pola

    Konvergen.

    Didasarkan pada ranah

     pengetahuan spesifik

    Intensitas

    relatif

    rendah

    Moral Afektif.

    Reaksi otomatis

    terhadap situasi yang

    dipandang memuat

    kebenaran moral atauetika

    Konvergen,

    Didasarkan pada prototip

    moral

    Intensitas

    relatif

    tinggi

    Kreatif Perasaan yang muncul

    ketika pengetahuan

    dikombinasikan dengan

    sesuatu yang baru

    Divergen, didasarkan

     pada integrasi

     pengetahuan lintas ranah

    yang berbeda

    Intensitas

    relatif

    tinggi

  • 8/18/2019 Profil Berpikir Intuitif Matematika

    31/55

    26

    Posisi intuisi pemecahan masalah dibandingkan dengan intuisi lainnya, dalam hal

    ini intuisi moral dan intuisi kreatif dapat dilihat pada Tabel 3 yang diadaptasi dari

    (Dane & Pratt, 2009).

    Tampak jelas karakteristik khas intuisi pemecahan masalah adalah didasarkan

     pada ranah pengetahuan yang spesifik . Sehingga muncul istilah intuisi

     pemecahan masalah matematik, intuisi pemecahan masalah probabilistik dan lain-

    lain yang menggambarkan ranah keilmuan dimana intuisi tersebut bekerja.

    Dibandingkan dengan jenis intuisi lain, intuisi pemecahan masalah intensitas

    keterlibatan aspek afektif relatif rendah.

    Fischbein (1987: 6-7) mengklasifikasikan intuisi pemecahan masalah ke

    dalam dua kategori yaitu intuisi antisipatori dan intuisi konklusif. Intuisi

    antisipatori adalah suatu langkah awal intuitif untuk mengembangkan solusi dari

    sebuah masalah dengan memandang secara global persoalan mendahului

     pemecahan secara analitik. Sedangkan intuisi konklusif adalah membuat

    kesimpulan global secara intuitif terhadap hasil elaborasi dari gagasan-gagasan

     pemecahan masalah.

    3.5 Intuisi dan Gaya Belajar

    Gaya belajar (learning style) mengacu pada cara seseorang secara alamiah

    menggunakan bakat, kepribadian dan preferensi pribadi untuk memperoleh

    informasi. Gregorc (1979: 234) menyatakan bahwa gaya belajar terdiri dari

     perilaku yang khas dari seseorang yang berfungsi sebagai indikator bagaimana ia

     belajar dan beradaptasi dengan lingkungannya. Gaya belajar juga memberikan

     petunjuk mengenai bagaimana pikiran seseorang bekerja.

    Katharine Cook Briggs dan putrinya Isabel Briggs Myers mengembangkan

    Indikator Myers-Briggs yang mengelompokan gaya belajar ke dalam empat

    kategori dan untuk masing-masing kategori terdiri dari dua sub-kategori. Salah

    satu kategorinya terkait dengan cara bagaimana siswa menggunakan indera

    mereka, yang dibedakan kedalam jenis pengindera (sensing) dan jenis intuisi

  • 8/18/2019 Profil Berpikir Intuitif Matematika

    32/55

    27

    (intuition). Dalam belajar, siswa jenis pengindera menggantungkan pada lima

    indera yang mereka miliki. Mereka adalah faktual dan berorientasi pada hal yang

    terinci (detail oriented ). Mereka perlu mengetahui apa yang mereka lakukan dan

    mengapa mereka perlu melakukannya. Selain itu, mereka menginginkan

    informasi yang telah terorganisisasi dengan baik sehingga pada umumnya mereka

    lebih menyukai cara ceramah ketika ingin menyampaikan atau memperoleh

    informasi. Keadaan sebaliknya terjadi pada siswa jenis intuitif, mereka lebih

    mengandalkan intuisi dan firasat (hunches) dalam belajar. Mereka mencari

    hubungan dan pola sebagai sarana untuk memahami fakta-fakta. Metoda

     penemuan (discovery) lebih menarik dibandingkan metoda ceramah bagi siswa

     jenis intuitif, karena mereka pada umumya ingin melihat bagaimana suatu teori

     berkembang dan bekerja.

    Bentuk pengajaran yang bagaimana yang sesuai dengan siswa jenis

    intuitif? Siswa jenis intuitif dalam memahami suatu subyek harus memiliki

    gambaran besar atau kerangka integrasi. Gambaran besar tersebut menunjukan

     bagaimana topik-topik yang dipelajari saling terkait. Menurut Brightman (2002)

    siswa jenis intuitif biasanya lebih menyukai pembelajaran penemuan (discovery

    learning) dengan pendekatanT 

    heory- A

     pplication-T 

    heory (TAT) atau A

     pplication-T heory- A pplication  (ATA). Brightman memberi ilustrasi mengajarkan teorema

    limit sentral pada kelompok siswa jenis intuitif menggunakan pendekatan ATA.

    Guru mengambil 50 bilangan dari tabel acak kemudian data tersebut disajikan

    dalam bentuk histogram frekuensi, biasanya histogram yang dihasilkan tidak

    menyerupai bentuk lonceng (bell-shaped ). Kemudian guru mengambil 30 sampel

    masing-masing berukuran delapan secara acak dengan pengembalian dari 50

     bilangan tersebut. Lalu dihitung rata-rata untuk masing-masing sampel dan

    hasilnya disajikan dalam bentuk histogram. Kini histogram lebih menyerupai

     bentuk lonceng. Guru mengakhiri demonstrasi tersebut dan menanyakan kepada

    siswa mengapa histogram dari rata-rata lebih menyerupai lonceng. Melalui

    metoda penemuan diharapkan siswa akan menemukan alasan-alasan yang

    mendasari teorema limit sentral.

  • 8/18/2019 Profil Berpikir Intuitif Matematika

    33/55

    28

    Brightman (2002) menyarankan untuk menggabungkan siswa yang

    memiliki gaya belajar yang berbeda dalam suatu kelompok belajar agar mereka

    dapat saling melengkapi. Siswa yang memiliki gaya belajar intuitif dapat

    membantu siswa yang memiliki gaya belajar pengindera (sensing) untuk

    memahami teori. Sebaliknya siswa yang mempunyai gaya belajar pengindera

    membantu siswa intuitif untuk mengidentifikasi dan menyusun fakta-fakta.

    3.6 Perkembangan Kematangan Intuisi

    Menurut Baylor (2001) perkembangan intuisi seseorang dipengaruhi oleh

    tingkat kepakaran seseorang dibidang tertentu. Menurutnya secara kualitatif ada

    dua jenis intuisi, yaitu intuisi yang belum matang (immature intuition) dan intuisi

    yang sudah matang (mature intuition) keduanya dibedakan oleh tingkat kepakaran

     pada suatu bidang tertentu. Intuisi yang belum matang sering dijumpai ketika

    seseorang masih berada pada taraf pemula di bidang tertentu, dimana pengetahuan

    analitikya belum banyak mencampuri kemampuannya dalam menemukan

    wawasan-wawasan baru . Sedangkan intuisi yang sudah matang kebanyakan

    muncul ketika seseorang sudah menjadi pakar dibidang tertentu dengan modal

    struktur pengetahuan relevan yang sudah terbentuk dengan baik. Baylor

    menggambarkan model perkembangan intuisi seseorang berbentuk kurva U yang

    tidak linear (lihat Gambar 6). Melalui model tersebut menjadi lebih mudah

    dipahami bahwa intuisi banyak hadir dalam proses pemahaman atau pemecahan

    masalah ketika seseorang masih berada di taraf pemula, dengan bertambahnya

    kepakaran peran kemampuan berpikir analitik menjadi semakin dominan dan

    menekan kemampuan intuisi seseorang, dan intuisi kembali akan lebih sering

    hadir ketika seseorang sudah mencapai taraf pakar. Kali ini intuisi yang hadir

     berbeda dengan intuisi ketika menjadi seorang pemula. Intuisi yang sudah matang

    dilandaskan pada struktur pengetahuan relevan yang sudah terbentuk dengan baik.

    Perkembangan pada setengah kurva pertama, intuisi menginisiasi

    terbentuknya struktur pengetahuan analitik seseorang. Bila seseorang ingin

    mengembangkan keterampilan berpikir ilmiah, ia harus berpindah menjadi lebih

  • 8/18/2019 Profil Berpikir Intuitif Matematika

    34/55

    anyak por 

    urva berik 

    intuisi mata

    Gambar 6

    .7 Bias

    Bias

    ertimbangasituasi yang

    (Fischbein

    ersier seka

    erkait situa

    informasi d

    erbeda den

    Kah

    versky, 1

    engemuka

    ungkin te

    situasi prob

    etika me

    i analitik (

    tnya berpi

    g yang kua

     Model Kur 

     Kognisi,

    kognisi

    n ( judgme  banyak m

      Schnarch

    ipun meng

    si probabil

    an prosedu

    gan situasi

    eman dan

    72; Tvers

    kan hasil

     jadi ketika

     bilistik. Ke

     buat perti

    uantitatif)

    dah dari be

    litatif

    va-U Perke

    ntuisi, da

    adalah p

    t ) yang dimicu bias

    , 1997) ba

    lami kesul

    istik. Pada

    teknis saj

    eterministi

    versky dal

    y & Kahn

    kajian mer 

    membuat p

    adiran intu

    mbangan

    an mengur 

    rpikir seora

     bangan Ke

     Probabili

    la penyi

    icu oleh sikognisi ada

    yak siswa

    tan mema

    situasi pro

      tetapi jug

    .

    am beberap

    eman, 197

    ka menge

    ertimbanga

    isi yang tida

    tau penilai

    angi porsi

    ng pakar ya

    matangan I

    tas

     pangan d

    tuasi tertenlah situasi

     bahkan pa

    ami dan

    abilistik ti

    a cara berp

    a karyanya

    ; Tversky

    ai beberap

      atau penil

    k sejalan d

    an diduga

    ualitatifnya

    ng kuantita

    tuisi (Bayl

    lam penil

    tu. Salah srobabilisti

    a jenjang

    enyelesaik 

    dak hanya

    ikir yang b

    (seperti Ka

    & Kahne

    a bias ko

    ian ( judgm

    ngan teori

    menjadi

    29

    . Setengah

    if menjadi

    r, 2001)

    aian atau

    atu contoh. Menurut

    endidikan

    n masalah

    diperlukan

    enar-benar

    hneman &

    an, 1983)

    nisi yang

    ent ) dalam

    robabilitas

    salah satu

  • 8/18/2019 Profil Berpikir Intuitif Matematika

    35/55

    30

     penyebabnya. Kajian awal yang telah dilakukan peneliti (Sukmana, 2009, 2010b;

    Sukmana & Wahyudin, 2011a) terhadap kelompok mahasiswa di Bandung dan di

    Sydney menujukkan ada indikasi keterlibatan intuisi mahasiswa dalam proses

     belajar matematika dan sifatnya justru merintangi keberhasilan mahasiswa untuk

    memahami dan menyelesaikan masalah probabilitas. Namun penelitian awal yang

     juga dilakukan peneliti menunjukkan ada indikasi bahwa intuisi dapat

    direkonstrusi melalui intervensi pembelajar (Sukmana, 2010a; Sukmana &

    Wahyudin, 2011b) sehingga dapat mengurangi bias kognisi yang terjadi. Kajian

    terhadap hasil penelitian Kahneman dan Tversky, ditemukan beberapa jenis bias

    kognisi yang dapat dijadikan rujukan ketika mempelajari peranan intuisi dalam

     proses pembelajaran probabilitas. Bias kognisi tersebut dapat dikelompokkan

    dalam beberapa kategori.

    Kategori pertama merupakan sebuah fenomena psikologis yang disebut

    keterwakilan (representativeness), dimana seseorang menimbang peluang atau

    frekuensi dari sesuatu yang dihipotesiskan berdasarkan seberapa besar kemiripan

    yang hipotesis dengan data yang tersedia atau seberapa mirip suatu peristiwa

    dengan populasi yang diwakilinya. Fenomena ini seringkali mengakibatkan bias

    dalam membuat pertimbangan probabilitas karena mengabaikan peluangsebelumnya. Afantiti-Lamprianou & Williams (2003) menguraikan keterwakilan

    tersebut antara lain disebabkan oleh: (a). adanya kecenderungan hanya

    memperhatikan sebagian informasi tertentu dan mengabaikan informasi statistik

    secara umum, disebut base-rate fallacy. Kutipan "when no specific evidence is

    given, prior probabilities are properly utilised; when worthless evidence is given,

     prior probabilities are ignored " (Kahneman, Slovic, & Tversky, 1982)

    memberikan gambaran bagaimana kecenderungan tersebut terjadi; (b). Adanya

    kecenderungan mengharapkan sampel yang diperoleh memiliki proporsi yang

    sama dengan populasi dan muncul dengan urutan yang tampak acak, disebut

    random-similarity effect . Sebagai contoh urutan kelahiran bayi LPPLPL (L =

    laki-laki dan P = perempuan) dianggap lebih besar peluangnya untuk terjadi

    dibandingkan dengan LLLLLL; (c). Kecenderungan dalam merespon serangkaian

  • 8/18/2019 Profil Berpikir Intuitif Matematika

    36/55

    31

    hasil yang sama dari suatu percobaan, misalkan pada percobaan pelemparan koin

    telah diperoleh lima buah sisi M (muka) berurutan: MMMMM ditanyakan

    kemungkinan besar hasil yang diperoleh pada lemparan ke-enam. Bila merespon

    M disebut  positive recency  yaitu memperhatikan pola historis yang telah terjadi

    sedangkan bila merespon sisi B (belakang) disebut negative recency  yaitu untuk

    menyeimbangkan perbandingan hasil yang diperoleh; (d). Adanya kecenderungan

    tidak memperhatikan ukuran sampel dalam mengakses peluang suatu peristiwa.

    Kategori kedua dikenal dengan sebutan kesalahan memahami konsep

    konjungsi (conjuction fallacy) merupakan suatu jenis kesalahan yang terjadi

    akibat mengasumsikan bahwa peristiwa khusus lebih besar peluangnya untuk

    terjadi dibandingan dengan sebuah peristiwa umum. Padahal menurut konsep

     probabilitas, peluang dua peristiwa untuk terjadi bersama-sama lebih kecil atau

    sama dengan peluang hanya salah satu saja peristiwa terjadi. Dua peristiwa yang

    tidak sama A dan B diekspresikan secara formal:  dan

    . Tversky & Kahneman (1983) dua orang psikolog mengkaji fenomena

    tersebut secara intensif.

    Kategori ketiga dikenal heuristik ketersediaan (availability heuristic)

    merupakan suatu jenis kesalahan dalam memperkirakan peluang suatu peristiwa

    atau proporsi dalam sebuah populasi, karena mereka mendasarkan hanya pada

    contoh yang paling mudah mereka ingat. Sebagai contoh, bila ditanyakan mana

    yang paling banyak kemungkinannya, menyusun formasi dua dari sepuluh orang

    atau delapan dari sepuluh orang. Heuristik ketersediaan cenderung akan

    mengarahkan pada pilihan pertama, karena itulah yang paling mudah diingat.

    Kategori keempat bias yang diakibatkan kesulitan untuk menbedakan

     peristiwa sederhana dengan peristiwa majemuk dalam konsep probabilitas.

    Sedangkan kategori kelima disebut Falk fallacy, merujuk pada kesalahan akibat

    heuristik tidak sejalan dengan konsep peluang bersyarat.

  • 8/18/2019 Profil Berpikir Intuitif Matematika

    37/55

    32

    BAB 4 INTUISI DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA

    Telah dipaparkan cukup banyak matematikawan mengakui pentingnya

     peranan intuisi dalam kegiatan bermatematika mereka. Persoalannya adalah

    seperti yang dipertanyakan oleh Burton: “ Why is intuition so important to

    mathematicians but missing from mathematics education?“, menurutnya intuisi

    telah hilang dan diabaikan dalam pembelajaran matematika. Jauh sebelum Burton

    mempertanyakan hal tersebut, Albert Einstein juga pernah menyampaikan

    keprihatinan serupa melalui pernyataannya yang terkenal dan menginspirasi

     penelitian mengenai intuisi : “ The intuitive mind is a sacred gift and the rational

    mind is a faithful servant. We have created a society that honors the servant and

    has forgotten the gift “ (dalam Waks, 2006: 386). Ia mengingatkan bahwa berpikir

    intuitif merupakan suatu karunia mulia (a sacred gift) yang dianugerahkan Tuhan

    kepada setiap individu, namun berpikir intitif cenderung diabaikan dalam

    masyarakat yang lebih menghargai berpikir rasional.

    Kurangnya perhatian terhadap intuisi dalam pembelajaran matematika

    didukung oleh Waks (2006: 386) dan untuk memperkuat argumennya tersebut ia

    menunjukkan bahwa unsur atau entri mengenai intuisi tidak dijumpai pada

     beberapa ensiklopedia pendidikan, seperti:  Encyclopedia of Education  (New

    York: Macmillan Reference Library, 2002) dan  Encyclopedia of Educational

     Research, 6th ed. (New York: Macmillan Reference Library, 1992). Dari berbagai

    sumber yang tersedia nampak masih luasnya bagian dari intuisi matematik yang

     belum diteliti dan dikaji.

    Setidaknya ada dua sumber utama yang mendorong minat mendalami

    intuisi dalam pembelajaran matematika, yaitu:

    1. 

    Kecenderungan matematikawan untuk terus meningkatkan keketatan dan

    “kemurnian” konseptual pada masing-masing domain. Kecenderungan

    dasarnya adalah untuk memurnikan pengetahuan kita dari unsur-unsur:

    subyektifitas, interpretasi langsung dan keyakinan (belief ) serta

  • 8/18/2019 Profil Berpikir Intuitif Matematika

    38/55

    33

    menjadikannya sesuai dengan data objektif yang diperoleh secara ketat. Hal

    ini menyebabkan meningkatnya kontradiksi antara apa yang tampaknya

    menjadi jelas dengan apa yang didapatkan sebagai hasil yang diperoleh dari

    analisis 'ilmiah' terhadap data (Fischbein, 1999: 12). Sebelum abad 19

    Geometri ( Euclidean) didasarkan pada aksioma-aksioma yang self-evidence 

    tetapi kemudian muncul gagasan-gagasan dari Lobachevsky, Bolyai, Riemann

    yang menunjukkan bahwa geometri lain (Geometri non-Eucledian) juga logis.

    Geometri non-Eucledian  tersebut menimbulkan konflik dengan intuisi kita

    mengenai gambaran alamiah tentang dunia dan sifat-sifat ruangnya.

    2.  Kecenderungan adanya hambatan kognitif dalam mempelajari matematika

    karena pengetahuan intuitif siswa seringkali berbeda dengan penafsiran

    ilmiah. Contohnya, gagasan sebuah persegi adalah jajaran genjang secara

    intuitif dirasakan aneh oleh banyak siswa. Gagasan mengalikan dua bilangan

    dapat memperoleh hasil yang lebih kecil dari salah satu atau kedua bilangan

    yang dikalikan juga sulit diterima oleh siswa yang mengalami hambatan

    kognitif.

    Berikut adalah gambaran beberapa situasi yang mendeskripsikan keadaan

    intusi dalam pembelajaran matematika:

    a.  Pernyataan matematika dapat diterima tanpa memerlukan pembuktian lebih

    lanjut, hanya berdasarkan pada intuitisi siswa saja. Misalnya pernyataan

    ”hanya ada tepat satu garis lurus yang menghubungkan dua titik” pada

    geometri Euclides (Fischbein, 1987, 1999).

     b.  Pernyataan matematika yang secara intuitif dapat diterima kebenarannya,

    namun demikian diperlukan pembuktikan lebih lanjut. Misalnya pernyataan

    “Sudut-sudut berhadapan dari dua buah garis yang berpotongan adalah sama

     besar “ dalam geometri Euclides dapat diterima kebenarannya dan kita perlu

    membuktikan kebenarannya (Fischbein, 1987, 1999).

    c. 

    Pernyataan matematika yang tidak serta merta dapat diterima dan

    memerlukan pembuktian lebih lanjut agar dapat diterima. Misalnya teorema

    Phytagoras dalam geometri Euclides (Fischbein, 1987).

  • 8/18/2019 Profil Berpikir Intuitif Matematika

    39/55

    34

    d.  Pernyataan matematika bertentangan dengan respon intuitif siswa. Situasi ini

     banyak dijumpai dalam masalah probabilitas (Fischbein & Schnarch, 1997;

    Jun, 2000; Kahneman, 2002; Sukmana & Wahyudin, 2011a).

    e. 

    Representasi yang berbeda untuk suatu permasalahan matematika yang sama

    memunculkan pertentangan intuisi. Misalnya himpunan bilangan asli (1, 2, 3,

    4, 5, 6. . .) secara intuitif tidak ekivalen dengan himpunan bilangan genap,

    tetapi akan tampak ekivalen bila direpresentasikan sebagai berikut:

    (1, 2, 3, 4, 5, 6, ....)

    (2, 4, 6, 8, 10, 12, ....)

    karena setiap bilangan asli berpadanan dengan tepat satu bilangan genap

    (Fischbein, 1987, 1999).

    Situasi-situasi tersebut memberikan implikasi terhadap pembelajaran matematika,

    antara lain:

    a.  Situasi yang paling menguntungkan dalam pembelajaran matematika adalah

    dimana intuisi siswa dengan konsep matematika secara formal sejalan.

    Seringkali siswa dalam situasi trivial menafsirkan fakta-fakta matematika

    dengan mengacu pada realitas konkret dan menganggap bukti formal sebagai

    tuntutan yang berlebihan. Implikasinya siswa diarahkan untuk memahami

    matematika yang berpola pikir deduktif formal. Penerimaan pernyataan

    matematika secara intuitif tidak mengecualikan keharusan untuk memenuhi

    struktur deduktif matematika yang formal, ketat sesuai dengan aksiomatik.

     b. 

    Situasi yang sering kali terjadi dalam pengajaran matematika adalah

     penerimaan siswa secara intuitif bertentangan dengan konsep matematika

    secara formal dan mengakibatkan terjadinya konflik kognitif bahkan bias

    kognitif yang dapat merintangi siswa untuk mempelajari matematika. Dalam

    kasus ini pembelajaran harus dapat merekonstruksi intuisi matematik dan pengetahuan awal siswa, hal ini dimungkinkan karena intuisi sekunder

    menurut (Fischbein, 1987) dapat direkonstruksi melalui pembelajaran yang

    sesuai. Membantu siswa mengatasi kesulitan ini dengan membuatnya

    menyadari terjadinya konflik dan membantu untuk memahami fakta-fakta

    dalam matematika yang mengarah pada pemahaman konsep yang benar.

  • 8/18/2019 Profil Berpikir Intuitif Matematika

    40/55

    35

    Beberapa penelitian berupaya merekonstruksi intuisi sekunder siswa seperti:

     pembelajaran dengan pendekatan kontekstual (Pfannkuch & Brown, 1996;

    Linchevski & Williams, 1999; Sukmana & Wahyudin, 2011b), melalui

     pendekatan diskoveri dan ekspositori (Schwartz & Bransford, 1998; delMas &

    Garfield, 1999; Swaak & De Jong, 2001; Swaak, De Jong, & Van Joolingen,

    2004; Kapur, 2010a, 2010b).

    c.  Situasi dimana intuisi tidak diperlukan atau tidak berkaitan dengan situasi

    formal, kebenaran hanya memerlukan bukti formal.

    Upaya untuk mengembangkan kemampuan berpikir intuitif siswa melalui

     proses pembelajaran tampak telah dilakukan seiring dengan kajian mengenai

    intuisi dalam pembelajaran matematika. Demikian pula secara filosofis Emmanuel

    Kant dan Charles Parsons memberikan dukungan teori terhadap peranan intuisi

    dalam bermatematika maupun dalam pembelajaran matematika (Parsons, 1993;

    Sher & Tieszen, 2000; Marsigit, 2006; Chen, 2008; Folina, 2008; Godlove, 2009)

    ditengah perbedaan yang takberkesudahan dikalangan para filsuf mengenai

     peranan intuisi dalam membangun pengetahuan termasuk matematika(Fischbein,

    1999: 11).

    Secara umum dalam pengajaran matematika, sangatlah penting

    guru/dosen memahami interaksi antara intuitif, formal dan aspek-aspek prosedural

    dalam proses memahami, bernalar dan pemecahan masalah siswa. Jika kekuatan

    intuitif yang dimiliki siswa diabaikan bagaimanapun terus mempengaruhi

    kemampuan siswa bermatematika. Bila berpikir intuitif tidak dikendalikan juga

    dapat mengganggu proses berpikir matematis. Jika aspek formal diabaikan dan

    siswa/mahasiswa cenderung akan mengandalkan hanya pada argumen intuitif, dan

    apa yang akan diajarkan bukanlah matematika.

  • 8/18/2019 Profil Berpikir Intuitif Matematika

    41/55

    36

    BAB IV PENUTUP 

    Berdasarkan kajian literatur seperti yang telah dipaparkan pada bab –bab

    sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan:

    1.  Intuisi diakui oleh banyak matematikawan banyak terlibat dalam kegiatan

     bermatematika, pada umumnya cenderung membantu ketika mereka

    menemukan gagasan-gagasan original atau ketika ingin membuat

    lompatan karena belum menemukan jalur logis yang menghubungan fakta

    atau teori.

    2. 

    Pada beberapa kasus seperti teori peluang kehadiran intuisi seringkali

    merintangi siswa untuk belajar, tetapi pada umumnya intuisi sejalan

    dengan konsep-konsep atau teori matematika.

    3.  Pemahaman mengenai intuisi sangat beragam bergantung pada domain

     pembahasan. Pada domain matematika atau intuisi matematika dapat

    disimpulkan bahwa intuisi merupakan sebuah “proses berpikir” yang unik

    sehingga dapat diajarkan atau dipelajari melalui pembelajaran yang sesuai.

    4.  Penelitian untuk menemukan pembelajaran yang efektif untuk

    mengembangkan intuisi matematika masih terbuka lebar, tetapi ada

    kendala belum ada hasil penelitian mengenai indikator atau karakteristik

    intuisi sehingga masih sulit untuk mengukur kemampuan berpikir intuitif

    secara kuantitatif.

  • 8/18/2019 Profil Berpikir Intuitif Matematika

    42/55

    37

    DAFTAR PUSTAKA

    Afantiti-Lamprianou, T., & Williams, J. (2003). A scale for assesing probabilistic

    thinking and the representativeness tendency.  Research in Mathematics Education, 5(1), 173 - 196.

    Audi, R. (2004). The good in the right : a theory of intuition and intrinsic value.

    Princeton: Princeton University Press.

    Bastick, T. (1982). Intuition, How We Think and Act . New York: Wiley.

    Baylor, A. L. (2001). A U-Shaped Model for the Development of Intuition by

    Expertise. New Ideas in Psychology, 19(3), 237-244.

    Baylor, A. L. ( 1997). A Three-Component Conception of Intuition: Immediacy,

    Sensing Relationships, and Reason. New Ideas in Psychology, 15(2), 185-194.

    Ben-Zeev, T., & Star, J. (2001). Intuitive mathematics: Theoretical and

    educational implications. Dalam B. Torff & R. J. Sternberg (Eds.),

    Understanding and teaching the intuitive mind : student and teacher

    learning (pp. 29-56). Mahwah, N.J. : Lawrence Erlbaum Associates.

    Blacker, A. (2006).  Intuitive Interaction with Complex Arthefacts: Emperically-

    based research. Berlin: VDM Verlag Dr. Muller.

    Brightman, H. (2002). GSU master teacher program: On learning styles.

    [Online]. Tersedia di, http://www.gsu.edu/~dschjb/wwwmbti.html [March3, 2011]

    Bruner, J. S. (1963/1977). The Process of Education (S. National Academy of,

    Terjemahan. Vintage ed. ed.). New York: Vintage Books.

    Burke, L. A., & Miller, M. K. (1999). Taking the mystery out of intuitive decision

    making. The Academy of Management Executive, 13(4), 91-99.

    Burton, L. (1999). Why is intuition so important to mathematicians but missing

    from mathematics education? For the Learning of Mathematics, 19(3), 27-

    32.

    Chen, H. (2008). The role of intuition in Kant's conceptualization of causality and

     purposiveness.  Disertasi, The Chinese University of Hong Kong, Hong

    Kong: tidak diterbitkan.

    Dane, E., & Pratt, M. G. (2007). Exploring Intuition and Its Role in Managerial

    Decision Making. [Article].  Academy of Management Review, 32(1), 33-

    54.

  • 8/18/2019 Profil Berpikir Intuitif Matematika

    43/55

    38

    Dane, E., & Pratt, M. G. (2009). Conceptualizing and Measuring Intuition: A

    Review of Recent Trends. Dalam G. P. Hodgkinson & J. K. Ford (Eds.),

     International Review of Industrial and Organizational Psychology  (Vol.

    24, pp. 1-40).

    delMas, R. C., & Garfield, J. (1999). A Model of Classroom Research in Action:

    Developing Simulation Activities to Improve Students' Statistical

    Reasoning. Journal of Statistics Education, 7 (3).

    Epstein, S. (1994). Integration of the cognitive and the psychodynamic

    unconscious. American Psychologist, 49, 709-724.

    Epstein, S. (2003). Cognitive-experiential self-theory of personality. Dalam T.

    Millon & M. J. Lerner (Eds.), Comprehensive Handbook of Psychology:

    Personality and Social Psychology  (Vol. 5, pp. 159-184). New York:

    Wiley & Sons.

    Fischbein, E. (1975). The intuitive sources of probabilistic thinking in children

    Dordrecht: D. Reidel.

    Fischbein, E. (1987).  Intuition in science and mathematics : an educational

    approach Dordrecht D. Reidel.

    Fischbein, E. (1999). Intuitions and Schemata in Mathematical Reasoning.

     Educational Studies in Mathematics, 38 (1), 11-50.

    Fischbein, E., & Schnarch, D. (1997). The Evolution with Age of Probabilistic,

    Intuitively Based Misconceptions.  Journal for Research in Mathematics

     Education, 28 (1), 96-105.

    Fischbein, E., Tirosh, D., & Melamed, U. (1981). Is It Possible to Measure the

    Intuitive Acceptance of a Mathematical Statement? Educational Studies in

     Mathematics, 12(4), 491-512.

    Folina, J. (2008). Intuition Between the Analytic-Continental Divide: Hermann

    Weyl's Philosophy of the Continuum. Philosophia Mathematica, 16 (1),

    25-55.

    Godlove, T. F. (2009). Poincare, Kant, and The Scope of Mathematical Intution.

    The Review of Metaphysics, 62(4), 779-801.

    Gregorc, A. F. (1979). Learning/teaching style: Potent forces behind them.

     Educational Leadership, 234-236.

    Hayashi, A. M. (2001). When to Trust Your Gut. Harvard Business Review, 5-11.

    Hersh, R. (1997). What Is Mathematics, Really?  New York: Oxford University

    Press.

  • 8/18/2019 Profil Berpikir Intuitif Matematika

    44/55

    39

    Hogarth, R. M. (2001).  Educating intuition. Chicago: University of Chicago

    Press.

    Jun, L. (2000). Chinese Students’ Understanding of Probability.  Disertasi, Nanyang Technological University, Singapore: tidak diterbitkan.

    Jung, C. G. (1921). Psychological Types. New York: Harcourt, Brace & Co.

    Kahneman, D. (2002). Maps of Bounded Rationality: A Perspective on Intuitive

    Judgement and Choices. [Online]. Tersedia di,

    http://nobelprize.org/nobel_prizes/economics/laureates/2002/kahnemann-

    lecture.pdf  [21 Oktober, 2010]

    Kahneman, D., Slovic, P., & Tversky, A. (Eds.). (1982).  Judgment under

    uncertainty: heuristics and biases. Cambridge: Cambridge University

    Press.

    Kahneman, D., & Tversky, A. (1972). Subjective probability: A judgment of

    representativeness. Cognitive Psychology, 3(3), 430-454.

    Kapur, M. (2010a). Productive Failure in Learning the Concept of Variance.

    Working paper. National Institute of Education, Singapore. tidak

    diterbitkan.

    Kapur, M. (2010b). Productive failure in mathematical problem solving.

     Instructional Science, 38 (6), 523-550.

    Klein, F. (1928/1979).  Development of Mathematics in the 19th Century  (R.

    Hermann, Terjemahan.). Brookline: Math Sci Press.

    Leron, U., & Hazzan, O. (2009). Intuitive vs analytical thinking: four

     perspectives. Educational Studies in Mathematics, 71, 263-278.

    Liljedahl, P. G. (2004). The Aha! Experience: Mathematical Contexts,

    Pedagogical Implications Disertasi, Simon Fraser University, Burnaby,

    BC Canada: tidak diterbitkan.

    Linchevski, L., & Williams, J. (1999). Using Intuition From Everyday Life in

    'Filling' the gap in Children's Extension of Their Number Concept to

    Include the Negative Numbers.  Educational Studies in Mathematics,

    39(1), 131-147.

    Marsigit. (2006). Peranan Intuisi dalam Matematika Menurut Emmanuel Kant .

    Makalah disajikan pada Konferensi Nasional Matematika XIII. Semarang,

    Martin, C. R. (1997).  Looking at Type: The Fundamentals: Center for

    Applications of Psychological Types (CAPT).

  • 8/18/2019 Profil Berpikir Intuitif Matematika

    45/55

    40

    McLarty, C. (1997). Poincaré: Mathematics & Logic & Intuition. Philosophia

     Mathematica, 5(2), 97-115.

    Metcalfe, J. (1987). Intuition in insight and noninsight problem solving.  Memory& Cognition, 15(3), 238-246.

     Nolt, J. E. (1983). Mathematical Intuition. Philosophy and Phenomenological

     Research, 44(2), 189-211.

    Parsons, C. (1993). On Some Difficulties Concerning Intuition and Intuitive

    Knowledge. Mind, 102(406), 233-246.

    Pfannkuch, M., & Brown, C. M. (1996). Building on and Challenging Students'

    Intuitions About Probability: Can We Improve Undergraduate Learning? .

     Journal of Statistics Education, 4(1),

    Poincaré, H. (1914/ 2009). Science and Method  (F. Maitland, Terjemahan.). New

    York: Cosimo Classic.

    Raidl, M.-H., & Lubart, T. I. (2000). An Emperical Study of Intuition and

    Creativity. Imagination, Cognition and Personality, 20(3), 217-230.

    Sauvage, G. (1910). Intuition. The Catholic Encyclopedia  [Online]. Tersedia di,

    http://www.newadvent.org/cathen/08082b.htm [10 Desember, 2009]

    Schwartz, D. L., & Bransford, J. D. (1998). A Time for Telling. Cognition and

     Instruction, 16 (4), 475-522.

    Sher, G., & Tieszen, R. L. (2000). Between logic and intuition : essays in honor ofCharles Parsons (C. Parsons, G. Sher & R. L. Tieszen, Terjemahan.).

    Cambridge, U.K. ; New York :: Cambridge University Press.

    Shirley, D. A., & Langan-Fox, J. (1996). Intuition : A Review of the Literature.

    Psychological Reports, 79(2), 563-584.

    Stavy, R., & Tirosh, D. (2000).  How students (mis-)understand science and

    mathematics: Intuitive rules. New York: Teachers College Press.

    Sukmana, A. (2009). Intuisi Dalam Pembelajaran Teori Probabilitas, Prosiding

    Seminar Nasional Matematika  (Vol. 4). Bandung: Universitas Katolik

    Parahyangan

    Sukmana, A. (2010a). Pengembangan Bahan Ajar untuk Mengembangkan

    Kemampuan Berpikir Intuitif, Pemahaman, dan Pemecahan Masalah

    Matematik Mahasiswa Melalui Pembelajaran Kontekstual  REACT   .

    Laporan Hibah Disertasi Doktor. Universitas Pendidikan Indonesia. tidak

    diterbitkan.

  • 8/18/2019 Profil Berpikir Intuitif Matematika

    46/55

    41

    Sukmana, A. (2010b).  A Study of the Role Intuition in Learning Mat