PRODUKSI PLASTIK KOMPOSIT DARI PENCAMPURAN … · komposit biodegradabel dengan metode pencampuran...
Transcript of PRODUKSI PLASTIK KOMPOSIT DARI PENCAMPURAN … · komposit biodegradabel dengan metode pencampuran...
PRODUKSI PLASTIK KOMPOSIT
DARI PENCAMPURAN TAPIOKA DAN
ONGGOK TERMOPLASTIS DENGAN HDPE
Oleh :
UMI REZA LESTARI
F34052400
2010
DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
Umi Reza Lestari. F34052400. Produksi Plastik Komposit dari Pencampuran Tapioka dan Onggok Termoplastis dengan HDPE. Di bawah bimbingan M. Zein Nasution dan Titi Candra Sunarti. 2010.
RINGKASAN
Plastik merupakan polimer sintetis yang banyak diaplikasikan secara global karena berbagai keunggulannya. Namun permasalahan kemudian muncul ketika plastik telah dibuang ke lingkungan dan tidak dapat terdegradasi karena sifatnya yang ‘abadi’, sementara penggunaannya dari tahun ke tahun semakin meningkat. Pengembangan plastik biodegradabel berbasiskan pati merupakan salah satu alternatif untuk memecahkan permasalahan ini serta diharapkan mampu meningkatkan nilai tambah produk pertanian lokal.
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari proses pembuatan plastik komposit biodegradabel dengan metode pencampuran antara polimer alami (tapioka dan onggok) dengan polimer sintetis (compt.HDPE) serta mengkaji karakteristik mekanik, termal, dan biodegradabilitas plastik komposit.
Penelitian ini diawali dengan persiapan dan karakterisasi tapioka dan onggok sebagai bahan pembuatan plastik komposit. Selanjutnya dilakukan pembuatan tapioka dan onggok termoplastis dengan penambahan bahan pemlastis air sebanyak 25% dan gliserol sebanyak 15% dan 20% dari total bobot bahan. Compt.HDPE dibuat dengan menambahkan 0,1% dikumil peroksida (DCP) dan 1% maleat anhidrida (MA) pada resin HDPE. Tahap terakhir yaitu pembuatan plastik komposit melalui pencampuran antara tapioka dan onggok termoplastis dengan compt.HDPE pada perbandingan 20% : 80%. Analisis karakteristik plastik komposit yang dilakukan meliputi pengujian sifat mekanik (kekuatan tarik dan elongasi), sifat termal (Tm, Tg, dan ∆H), serta biodegradabilitas secara kualitatif dan kuantitatif (enzimatis).
Hasil analisis mutu tapioka memperlihatkan bahwa tapioka yang digunakan telah memenuhi standar mutu sesuai SNI 01-3451-1994. Hasil karakterisasi onggok menunjukkan bahwa onggok mengandung serat kasar dalam jumlah cukup banyak. Berdasarkan hasil pengujian sifat mekanik diketahui bahwa compt.HDPE-tapioka dengan penambahan gliserol 15% memiliki nilai kekuatan tarik yang paling mendekati polimer HDPE murni, demikian pula dengan nilai elongasinya. Pengujian sifat termal menunjukkan bahwa penambahan polimer alami sebanyak 20% terhadap polimer sintetis tidak memberikan pengaruh yang signifikan.
Berdasarkan hasil pengujian biodegradabilitas secara kualitatif, diperoleh hasil plastik komposit memiliki kemampuan untuk terdegradasi. Hal ini dapat dilihat dari tumbuhnya kapang pada beberapa bagian permukaan sampel. Hasil pengujian biodegradabilitas secara kuantitatif menunjukkan bahwa persentase pengurangan bobot plastik pada compt.HDPE-onggok lebih besar dibandingkan compt.HDPE-tapioka. Penggunaan enzim α-amilase untuk mendegradasi pati dan selulase untuk mendegradasi selulosa pada compt.HDPE-onggok menghasilkan total glukosa yang lebih banyak sehingga bobot plastik yang terdegradasi pun lebih besar.
Umi Reza Lestari. F34052400. Production of Composite Plastic from Thermoplastic Tapioca and Cassava Bagasse Blending with HDPE. Under supervision of M. Zein Nasution dan Titi Candra Sunarti. 2010.
SUMMARY
Plastic is one of synthetic polymer which globally applicated because of its advantages. However, many problems emerged when plastic was discarded which cause serious environmental pollution because it can not be degraded, while its utilization increases year to year. Development of starch-based biodegradable plastic can be one alternative to solve this problem and expected to increase the added value of local agricultural products.
This research aims are to study the production of composite biodegradable plastic using blending method of natural (tapioca and cassava bagasse) and synthetic (HDPE) polymers; and to analyze mechanical, thermal, and biodegradability characteristics of the composite plastic.
The research was preceed with preparation and characterization of tapioca and cassava bagasse as composite plastic materials. It was followed with preparation of thermoplastic starch by adding plasticizers. Water is added up to 25% concentration of material total mass, while glycerol is added in 15% and 20% concentration. Compatibilized HDPE was made by adding 0,1% of dicumyl peroxyde and 1% of maleic anhydride in HDPE resin. The last step is processing composite plastic using blending method of thermoplastics starch and compt.HDPE in 20% and 80% ratio. Composite plastic then evaluated for its mechanical, thermal, and biodegradability characteristics.
Based on quality requirement, tapioca has good quality appropriate with SNI 01-3451-1994. Result of characterization showed that cassava bagasse has high fiber content up to 33,80%. Based on the results of mechanical properties testing, it is known that compt.HDPE-tapioca with the addition of 15% glycerol has a tensile strength close to HDPE resins, as well as the elongations value. Thermal properties testing showed that the addition of 20% natural polymers in blending process gave insignificant influence.
The results of biodegradability examination showed that composite plastics are capable to be degraded by microorganism. In qualitative examination, it can be seen from the growth of the fungi in some parts of the sample surface. In quantitative examination using enzymes, percentation of compt.HDPE-cassava bagasse weight loss was larger than compt.HDPE-tapioca. This is influenced by the use of α-amylase and cellulase in compt.HDPE-cassava bagasse so that the total glucose results higher, which means more degradable.
di SMA Negeri 1 Tenggarong pada tahun 2005, penulis melanjutkan pendidikan
S1 di Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian,
Institut Pertanian Bogor melalui jalur Beasiswa Utusan Daer
Kutai Kartanegara.
Selama masa pendidikan di Departemen Teknologi Industri Pertanian, penulis
aktif dalam Himpunan Mahasiswa Teknologi Industri (HILAMOGIN) sebagai
staf Kesekretariatan (2006/2007), Forum Bina Islami FATETA (FBI
staf divisi HRD (2006/2007) dan staf divisi Kemuslimahan (2007/2008), serta
Komunitas Pengabdian dan Pemberdayaan Masyarakat (KPPM) pada tahun
2008/2009. Pada tahun 2009 penulis menjadi salah satu asisten praktikum Mata
Kuliah Teknologi Minyak Atsiri, Re
Minyak, Lemak, dan Oleokimia. Penulis juga pernah menjadi tenaga pengajar
pada lembaga bimbingan belajar Primagama dan Bintang Pelajar. Pada tahun
2008, penulis melaksanakan kegiatan Praktik Lapang di PT Industri Jamu
Borobudur, Semarang, dengan judul laporan “Mengkaji Aspek Teknologi Proses
Produksi dan Pengendalian Mutu Produk Herbal di PT Industri Jamu Borobudur”.
Penulis melakukan penelitian dengan judul “
dari Pencampuran Tapioka dan Onggok
sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan di Departemen
Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian
Bogor, di bawah bimbingan Ir. M. Zein Nasution, M.App.Sc dan Dr. Ir. Titi
Candra Sunarti, M.Si.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Semarang pada
November 1986 dari Ayah Sapari dan Ibu Marinah.
Penulis merupakan anak pertama dari empat
bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di
SD Negeri Gunungpring II pada tahun 1999 dan
melanjutkan pendidikan di SLTP Negeri 1 Muntilan
hingga tahun 2002. Setelah menyelesaikan pendidikan
di SMA Negeri 1 Tenggarong pada tahun 2005, penulis melanjutkan pendidikan
S1 di Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian,
Institut Pertanian Bogor melalui jalur Beasiswa Utusan Daerah (BUD) Kabupaten
Selama masa pendidikan di Departemen Teknologi Industri Pertanian, penulis
aktif dalam Himpunan Mahasiswa Teknologi Industri (HILAMOGIN) sebagai
staf Kesekretariatan (2006/2007), Forum Bina Islami FATETA (FBI
staf divisi HRD (2006/2007) dan staf divisi Kemuslimahan (2007/2008), serta
Komunitas Pengabdian dan Pemberdayaan Masyarakat (KPPM) pada tahun
2008/2009. Pada tahun 2009 penulis menjadi salah satu asisten praktikum Mata
Kuliah Teknologi Minyak Atsiri, Rempah, dan Fitofarmaka serta Teknologi
Minyak, Lemak, dan Oleokimia. Penulis juga pernah menjadi tenaga pengajar
pada lembaga bimbingan belajar Primagama dan Bintang Pelajar. Pada tahun
2008, penulis melaksanakan kegiatan Praktik Lapang di PT Industri Jamu
Borobudur, Semarang, dengan judul laporan “Mengkaji Aspek Teknologi Proses
Produksi dan Pengendalian Mutu Produk Herbal di PT Industri Jamu Borobudur”.
Penulis melakukan penelitian dengan judul “Produksi Plastik Komposit
dari Pencampuran Tapioka dan Onggok Termoplastis dengan HDPE
sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan di Departemen
Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian
Bogor, di bawah bimbingan Ir. M. Zein Nasution, M.App.Sc dan Dr. Ir. Titi
a Sunarti, M.Si.
Penulis dilahirkan di Semarang pada tanggal 06
November 1986 dari Ayah Sapari dan Ibu Marinah.
Penulis merupakan anak pertama dari empat
bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di
SD Negeri Gunungpring II pada tahun 1999 dan
melanjutkan pendidikan di SLTP Negeri 1 Muntilan
tahun 2002. Setelah menyelesaikan pendidikan
di SMA Negeri 1 Tenggarong pada tahun 2005, penulis melanjutkan pendidikan
S1 di Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian,
ah (BUD) Kabupaten
Selama masa pendidikan di Departemen Teknologi Industri Pertanian, penulis
aktif dalam Himpunan Mahasiswa Teknologi Industri (HILAMOGIN) sebagai
staf Kesekretariatan (2006/2007), Forum Bina Islami FATETA (FBI-F) sebagai
staf divisi HRD (2006/2007) dan staf divisi Kemuslimahan (2007/2008), serta
Komunitas Pengabdian dan Pemberdayaan Masyarakat (KPPM) pada tahun
2008/2009. Pada tahun 2009 penulis menjadi salah satu asisten praktikum Mata
mpah, dan Fitofarmaka serta Teknologi
Minyak, Lemak, dan Oleokimia. Penulis juga pernah menjadi tenaga pengajar
pada lembaga bimbingan belajar Primagama dan Bintang Pelajar. Pada tahun
2008, penulis melaksanakan kegiatan Praktik Lapang di PT Industri Jamu
Borobudur, Semarang, dengan judul laporan “Mengkaji Aspek Teknologi Proses
Produksi dan Pengendalian Mutu Produk Herbal di PT Industri Jamu Borobudur”.
Produksi Plastik Komposit
Termoplastis dengan HDPE”
sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan di Departemen
Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian
Bogor, di bawah bimbingan Ir. M. Zein Nasution, M.App.Sc dan Dr. Ir. Titi
SURAT PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan
judul “Produksi Plastik Komposit dari Pencampuran Tapioka dan Onggok
Termoplastis dengan HDPE” adalah karya saya sendiri dengan arahan dosen
pembimbing. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka pada bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Januari 2010
Yang membuat pernyataan,
Umi Reza Lestari F34052400
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
PRODUKSI PLASTIK KOMPOSIT
DARI PENCAMPURAN TAPIOKA DAN
ONGGOK TERMOPLASTIS DENGAN HDPE
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Oleh :
Umi Reza Lestari
F34052400
2010
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
JUDUL : PRODUKSI PLASTIK KOMPOSIT
DARI PENCAMPURAN TAPIOKA DAN
ONGGOK TERMOPLASTIS DENGAN HDPE
NAMA : UMI REZA LESTARI NRP : F34052400
Menyetujui,
Pembimbing I, Pembimbing II,
(Ir. M. Zein Nasution, M.App.Sc.) (Dr. Ir. Titi Candra Sunarti, M.Si.) NIP : 19451225 197204 1 001 NIP : 19661219 199103 2 001
Mengetahui :
Ketua Departemen,
(Prof. Dr. Ir. Nastiti Siswi Indrasti) NIP : 19621009 198903 2 001
Tanggal Lulus :
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala
berkat, rahmat, dan kasih sayang-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi dengan baik. Skripsi dengan judul “Produksi Plastik Komposit dari
Pencampuran Tapioka dan Onggok Termoplastis dengan HDPE” ini disusun
sebagai syarat untuk memeroleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada
Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut
Pertanian Bogor.
Penulis menyadari bahwa penyelesaian skripsi ini bukan hanya dari usaha
penulis semata. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan
terima kasih kepada pihak-pihak yang telah mendukung dan membantu penulis,
yaitu :
1. Ayah dan Ibu atas doa, dukungan, dan kasih sayang yang mengalir tiada
henti. Anni, Arum, dan Elin atas keluguan dan keceriaan yang mewarnai
serta memberikan inspirasi pembelajaran dalam hidup penulis.
2. Ir. M. Zein Nasution, M.App.Sc. selaku dosen pembimbing I atas ilmu,
bimbingan, arahan, dan kesabaran yang diberikan selama membimbing
penulis.
3. Dr. Ir. Titi Candra Sunarti, M.Si. selaku dosen pembimbing II atas ilmu,
bimbingan, arahan, motivasi, dan kesabaran yang diberikan kepada penulis
selama penyelesaian skripsi.
4. Drs. Chilwan Pandji, S.Apth, M.S. selaku dosen penguji atas arahan dan
saran yang diberikan dalam perbaikan skripsi.
5. Seluruh dosen Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas
Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor atas transfer ilmu
pengetahuan dan teknologi, serta arahan, bimbingan, dan dukungan yang
luar biasa.
6. Seluruh staf laboratorium dan UPT Departemen Teknologi Industri
Pertanian atas seluruh informasi, keramahan, dan bantuan kepada penulis
selama penelitian.
7. Om Salamun dan Tante Sumiarsih sekeluarga atas dukungan, nasihat,
motivasi, kepedulian tulus, serta pembelajaran hidup sangat berharga yang
menjadi pecutan semangat bagi penulis.
8. Michael Lee dan Mba Ria : rekan tim bioplastik atas segala bantuan, kerja
sama, serta dukungannya selama penelitian.
9. Yahman Faoji dan Dony Wahyudi, rekan satu bimbingan atas segala
bantuan, support, dan motivasinya.
10. Nadiyah Khaeriyyah, Amalia Riyanti, Nutriana Dinnuriah, dan Denok
Monda H.N. Terima kasih untuk sebuah persahabatan manis yang indah.
11. Siti Komariah, Adiesty Permata, Mirani Oktavia, dan Tri Yanti. Terima
kasih atas rangkaian tawa, ceria, jatuh, duka, gundah, bahagia, dan sejuta
cerita yang mewarnai persahabatan kita. Semoga Allah mengekalkan
ukhuwah kita. Ana uhibbukum fillah..
12. Rekan-rekan seperjuangan TIN 42. Terima kasih atas simfoni antusiasme
cita, sharing ilmu dan ide, semangat kekompakan, serta rangkaian
kebersamaan yang selalu terlantun indah.
13. Seluruh rekan Forum Mahasiswa Beasiswa Utusan Daerah Kutai
Kartanegara. Terima kasih atas transfer motivasi, dukungan, kekompakan,
kepedulian, kelucuan, dan kehangatan sebuah keluarga yang mewarnai
pencapaian cita kita.
14. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu, yang telah
membantu penulis selama penelitian dan penyusunan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini belumlah sempurna. Oleh karena itu,
penulis mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif demi kesempurnaan
skripsi ini. Akhirnya, penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan
manfaat bagi semua pihak yang berkepentingan. Terima kasih.
Bogor, Januari 2010
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ..............................................................................
DAFTAR ISI ............................................................................................
DAFTAR TABEL ....................................................................................
DAFTAR GAMBAR ................................................................................
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................
I. PENDAHULUAN .................................................................................
A. Latar Belakang .................................................................................
B. Tujuan ...............................................................................................
II. TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................
A. Pati ...................................................................................................
B. Ubi Kayu ..........................................................................................
1. Tapioka ........................................................................................
2. Onggok ........................................................................................
C. Pati Termoplastis .............................................................................
D. Bahan Pemlastis : Gliserol ...............................................................
E. Biodegradable Plastic ......................................................................
F. High Density Polyethylene (HDPE) .................................................
G. Bahan Aditif ....................................................................................
1. Compatibilizer (Maleat Anhidrida) ..............................................
2. Inisiator (Dikumil Peroksida) .......................................................
H. Sifat Plastik Komposit .....................................................................
1. Sifat Mekanik ...............................................................................
2. Sifat Termal ..................................................................................
3. Biodegradabilitas ..........................................................................
III. METODOLOGI PENELITIAN ......................................................
A. Bahan dan Alat ................................................................................
B. Waktu dan Tempat Penelitian ..........................................................
C. Metode Penelitian ............................................................................
1. Persiapan dan Karakterisasi Awal Bahan ...................................
2. Pembuatan Pati Termoplastis ......................................................
i
iii
v
vi
vii
1
1
3
4
4
7
8
11
12
13
16
17
20
21
23
24
24
26
27
29
29
30
30
30
31
3. Pencampuran Pati Termoplastis dan Compt.HDPE ....................
4. Analisis Sifat Plastik Komposit ..................................................
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN .........................................................
A. Karakterisasi Tapioka dan Onggok ................................................
1. Mutu Tapioka ...........................................................................
2. Mutu Onggok ...........................................................................
3. Komponen Fisiko-Kimia Tapioka dan Onggok .......................
B. Pembuatan Tapioka dan Onggok Termoplastis .............................
C. Pencampuran Pati Termoplastis dengan Compt.HDPE .................
D. Karakteristik Plastik Komposit ......................................................
1. Sifat Mekanik Plastik Komposit ..............................................
2. Sifat Termal Plastik Komposit .................................................
3. Pengujian Biodegradabilitas Plastik Komposit ........................
V. KESIMPULAN DAN SARAN ..........................................................
A. Kesimpulan ......................................................................................
B. Saran ................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................
LAMPIRAN .............................................................................................
32
32
34
35
35
37
38
39
42
45
45
49
54
61
61
62
63
70
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1.
Tabel 2.
Tabel 3.
Tabel 4.
Tabel 5.
Tabel 6.
Tabel 7.
Tabel 8.
Tabel 9.
Tabel 10.
Tabel 11.
Tabel 12.
Tabel 13.
Tabel 14.
Tabel 15.
Tabel 16.
Tabel 17.
Perbandingan Sifat Amilosa dan Amilopektin ....................
Perbandingan Sifat Beberapa Jenis Pati ...............................
Komposisi Kimia Ubi Kayu (per 100 g bahan) ...................
Produksi Beberapa Hasil Pertanian Sekunder di Indonesia..
Komposisi Kimia Tapioka ...................................................
Persyaratan Mutu Tapioka Menurut SNI 01-3451-1994......
Komposisi Onggok Tapioka ................................................
Karakteristik Gliserol ...........................................................
Perbandingan Sifat LDPE, MDPE, dan HDPE ....................
Karakteristik Kimia Maleat Anhidrida ................................
Karakteristik Sifat Stress-Strain Beberapa Polimer .............
Karakterisasi Mutu Tapioka Hasil Penelitian ......................
Karakteristik Onggok Hasil Penelitian ................................
Komponen Kimia Tapioka dan Onggok .............................
Hasil Analisis Sifat Mekanik Plastik Komposit ...................
Hasil Pengujian Sifat Termal Plastik Komposit ..................
Presentase Pengurangan Bobot Plastik Komposit Berdasarkan Hasil Pengujian Enzimatis ..............................
5
6
7
8
9
10
11
15
19
22
26
35
37
38
46
50
59
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1.
Gambar 2.
Gambar 3.
Gambar 4.
Gambar 5.
Gambar 6.
Gambar 7.
Gambar 8.
Gambar 9.
Gambar 10.
Gambar 11.
Gambar 12.
Gambar 13.
Gambar 14.
Gambar 15.
Gambar 16.
Gambar 17.
Struktur Rantai Molekul Amilosa ......................................
Struktur Rantai Molekul Amilopektin ...............................
Granula Tapioka ................................................................
Struktur Molekul Gliserol ..................................................
Struktur Molekul Polietilen ...............................................
Contoh Produk Kemasan HDPE yang beredar di pasar ....
Struktur Molekul Maleat Anhidrida ..................................
a) Kurva stress-strain plastik dan b) Kurva stress-strain untuk empat tipe material polimer .....................................
Diagram Alir Metode Penelitian ........................................
Granula pati pada pati dan onggok tapioka termoplastis dengan perbesaran 200 x ..............................................
Bahan baku pembuatan plastik komposit ..........................
Pengaruh jenis pati dan komposisi gliserol terhadap energi torsi selama pengadukan. a) Tapioka termoplastis dengan komposisi gliserol 15% dan 20% dan compt. HDPE, b) Onggok termoplastis dengan komposisi gliserol 15% dan 20% dan compt. HDPE ..........................
Pellet Plastik Komposit hasil pencampuran (a) compt.HDPE-tapioka termoplastis dan (b) compt.HDPE-onggok termoplastis ...........................................................
Kromatogram DSC a) HDPE murni dan compt.HDPE-tapioka; b) HDPE murni dan compt.HDPE-onggok ..........
Hasil Analisis Biodegradabilitas pada Kontrol .................
Hasil Analisis Biodegradabilitas pada compt.HDPE-tapioka dan compt.HDPE-onggok menggunakan kapang Aspergillus niger ................................................................
Hasil Analisis Biodegradabilitas pada compt.HDPE-tapioka dan compt.HDPE-onggok menggunakan kapang Penicillium sp. ...................................................................
4
5
9
15
18
20
22
25
33
40
43
44
45
53
55
56
57
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Prosedur Analisis Karakteristik Pati ..............................
Lampiran 2. Prosedur Analisis Karakterisasi Plastik Komposit .........
Lampiran 3. Data Hasil Analisis .........................................................
71
75
78
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam kurun beberapa dekade terakhir, plastik sebagai material hasil
rekayasa polimer berbasis petrokimia telah digunakan secara luas dalam berbagai
produk, mulai dari kemasan, peralatan rumah tangga, sepatu, hingga komponen
berteknologi tinggi seperti barang elektronik, otomotif, dan pesawat terbang.
Bahan ini banyak digunakan karena berbagai keunggulannya seperti mempunyai
sifat mekanik dan barrier yang baik, harga yang murah, serta kemudahan
dalam proses pembuatan dan aplikasinya. Namun, plastik juga mempunyai
kelemahan yaitu sifatnya yang sulit diuraikan oleh alam, baik oleh curah hujan,
panas matahari, maupun mikroorganisme tanah (Anonim, 2002) sehingga
menyebabkan masalah yang sangat serius bagi lingkungan ketika produk ini sudah
tidak terpakai lagi dan menjadi limbah.
Dilihat dari jenisnya, limbah plastik merupakan komponen ketiga terbanyak
yang dibuang setelah limbah organik dan kertas. Menurut survei yang dilakukan
oleh Komisi Lingkungan Hidup pada 10 kota besar di Indonesia sebelum tahun
2000, komposisi sampah organik dan sampah non organik adalah 30% : 70%,
sementara di tahun 2008 komposisi sampah non organik termasuk sampah plastik
sudah meningkat menjadi 35%. Meski dari segi jumlah tidak tergolong banyak,
limbah plastik merupakan masalah lingkungan yang terbesar. Karena sifatnya
yang ringan, plastik cenderung terangkat ke permukaan ketika ditimbun sehingga
mengotori lingkungan sekitar. Diperlukan waktu dan proses yang sangat lama
(sekitar 1.000 tahun) untuk menguraikan plastik secara alami di dalam tanah. Di
dalam air, plastik dapat menyumbat aliran, mengganggu kehidupan organisme
perairan, serta memerlukan waktu 450 tahun untuk terurai (BBC News, 2008).
Bila dibakar plastik akan menimbulkan asap beracun yang membahayakan
lingkungan dan kesehatan manusia.
Fang dan Fowler (2003) menyatakan bahwa setiap tahun digunakan 125 juta
ton plastik di seluruh dunia. Dari jumlah tersebut, lebih dari 30 juta ton digunakan
untuk bahan kemasan, seperti kemasan makanan, plastik untuk pertanian, dan
kantong sampah. Riset yang dilakukan oleh PT Lion Superindo (2008)
menyatakan bahwa dalam periode satu tahun, penggunaan kantong plastik
masyarakat dunia mencapai 500 juta sampai dengan 1 miliar kantong. Jika
sampah-sampah ini dibentangkan, maka dapat membungkus permukaan bumi
hingga 10 kali lipat. Di Indonesia, rata-rata setiap individu menghasilkan 0,8
kilogram sampah per hari, dimana sebanyak 15% merupakan sampah plastik.
Dengan asumsi 220 juta penduduk Indonesia, maka sampah plastik yang terbuang
mencapai 26.500 ton per hari (KLH, 2007). Di sisi lain, apabila ditinjau dari sisi
bahan baku, untuk membuat plastik dengan jumlah total konsumsi satu tahun
dibutuhkan 12 juta barel minyak. Hal ini tentu saja mengancam ketersediaan
sumber daya minyak bumi yang tidak terbarukan.
Pemecahan masalah limbah plastik dapat dilakukan melalui beberapa
pendekatan yaitu daur ulang, teknologi pengolahan sampah plastik, serta
pengembangan bahan plastik baru yang dapat terurai dalam lingkungan
(biodegradable plastic). Biodegradable plastic merupakan plastik yang dibuat
dari sumber bahan baku alami yang bersifat dapat diperbaruhi (renewable), dapat
didegradasi (biodegradable), dan tidak beracun (non toxic). Seiring
meningkatnya kesadaran akan pentingnya sustainable development dan eco-
efficiency, biodegradable plastic dinilai merupakan alternatif solusi yang lebih
baik. Beberapa contoh biodegradable plastic yang telah dikembangkan antara lain
poli asam glikolat, poli asam laktat, poli kaprolakton, dan poli vinil alkohol; hasil
kultivasi mikroba seperti golongan poliester dan polisakarida; serta hasil
modifikasi kimia bahan-bahan alami seperti pati, selulosa, kitin, dan protein
kedelai (Huang dan Eddelman, 1995).
Dengan kekayaan sumber daya alamnya, Indonesia memiliki potensi besar
untuk mengembangkan biodegradable plastic berbasis polimer alami, terutama
pati. Sebagai bahan baku plastik, pati diunggulkan karena ketersediaanya yang
melimpah, harga yang relatif murah, tingkat biodegradabilitas yang tinggi,
kemudahan proses, morfologi akhir yang baik, serta penyebaran yang lebih merata
sebagai akibat adanya destrukturisasi. Salah satu sumber pati yang potensial di
Indonesia adalah pati ubi kayu (tapioka). Rata-rata produktivitas ubi kayu
nasional sebesar 12,2 ton/ha (BPS, 2000), sementara pemanfaatannya sebagian
besar masih terbatas untuk bahan baku atau bahan tambahan dalam industri
pangan. Data tersebut menunjukkan besarnya potensi ubi kayu untuk
dikembangkan lebih lanjut.
Proses ekstraksi tapioka menghasilkan limbah cair dan padat yang dapat
mencemari lingkungan jika tidak diolah dengan baik. Limbat padat industri
tapioka yang sering disebut onggok (cassava bagasse), jumlahnya dapat mencapai
30% (b/b) dari bahan baku (Djarwati et al., 1993). Sebagai ampas ekstraksi
tapioka yang umumnya dilakukan secara tradisional, onggok masih mengandung
banyak pati. Selain itu, tingginya kandungan serat dalam onggok juga dapat
memberikan pengaruh terhadap sifat mekanik plastik yang dihasilkan.
Meskipun memiliki keunggulan mudah terbiodegradasi, plastik biodegradabel
berbasis pati dan onggok memiliki kelemahan pada rendahnya sifat mekanis. Oleh
karena itu, dilakukan pencampuran dengan plastik sintetis HDPE untuk
mempertahankan sifat mekanisnya. Dalam proses pembuatannya, dilakukan
modifikasi terlebih dahulu pada pati dan onggok agar diperoleh karakteristik sifat
termoplastis yang diinginkan. Bahan pemlastis ditambahkan agar pati dan onggok
memiliki sifat elastis, sementara compatibilizer digunakan dalam pencampuran
pati termoplastis dan HDPE agar pencampuran berlangsung sempurna.
B. Tujuan
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk :
• Mempelajari teknologi proses pembuatan plastik komposit biodegradabel
dengan metode pencampuran antara polimer alami (tapioka dan onggok)
dengan polimer sintetis (HDPE)
• Mengetahui karakteristik mekanik, termal, dan biodegradabilitas plastik
komposit yang dihasilkan.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. PATI
Pati merupakan salah satu jenis polisakarida terpenting dan tersebar luas di
alam selain selulosa, lignin, pektin, khitin, dan lain-lain. Pati berfungsi sebagai
cadangan makanan bagi tumbuh-tumbuhan yang terdapat di berbagai bagian
antara lain di dalam biji buah (padi, jagung, gandum), di dalam umbi (ubi kayu,
ubi jalar, talas, ganyong, kentang), dan pada batang (aren dan sagu). Bentuk pati
digunakan untuk menyimpan glukosa dalam proses metabolisme
(Tjokroadikoesoemo, 1986).
Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α-glikosidik. Tiap jenis
pati mempunyai sifat yang tidak sama. Hal ini dipengaruhi oleh panjang rantai
karbonnya serta perbandingan antara molekul yang lurus dan bercabang.
Komponen penyusun pati ada tiga, yaitu : amilosa, amilopektin dan bahan antara
(seperti protein dan lemak). Bahan antara tersebut biasanya terdapat dalam jumlah
5-10% dari berat total (Banks dan Greenwood, 1975). Berat molekul pati
bervariasi tergantung pada kelarutan dan sumber patinya (Hart, 1990).
Pati terdiri dari dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas. Fraksi
yang relatif larut dalam air disebut amilosa dan fraksi yang tidak larut air disebut
amilopektin. Amilosa mempunyai struktur lurus dengan ikatan α-(1,4)-glikosidik,
seperti terlihat pada Gambar 1. Panjang rantai lurus tersebut berkisar antara 250-
2000 unit D-glukosa. Molekul amilosa tidak semua sama ukurannya, tergantung
pada sumber pati dan tingkat kematangannya. Berat molekul amilosa dipengaruhi
oleh panjang rantai polimer, sedangkan panjang rantai polimer dipengaruhi oleh
sumber pati (Fennema, 1976). Secara umum molekul amilosa dari umbi akar
mempunyai rantai yang lebih panjang dan berat molekul yang lebih tinggi
dibandingkan molekul amilosa yang berasal dari serealia.
Gambar 1. Struktur rantai molekul amilosa
Struktur kimia amilopektin pada dasarnya sama seperti amilosa yang terdiri
dari rantai pendek α-(1,4)-glikosidik dalam jumlah besar. Perbedaannya,
amilopektin mempunyai tingkat percabangan yang tinggi dan bobot molekul yang
besar dengan ikatan α-(1,6)-glikosidik pada percabangannya (dapat dilihat pada
Gambar 2). Tiap cabang mengandung 20-25 unit D-glukosa. Adanya rantai
cabang membuat amilopektin memiliki ikatan yang lebih kuat daripada amilosa
sehingga struktur molekulnya lebih stabil. Karena itu amilopektin kurang larut
dalam air dan cenderung bersifat lengket (Winarno, 1995).
Gambar 2. Struktur rantai molekul amilopektin
Menurut Flach (1993) amilopektin mempunyai ukuran yang lebih besar
daripada amilosa karena bentuknya lebih rapat dan padat, tetapi mempunyai
kekentalan yang lebih rendah. Hal ini menunjukkan bahwa struktur amilopektin
lebih kompak bila terdapat dalam larutan. Tabel 1 di bawah ini menyajikan
perbandingan karakteristik amilosa dan amilopektin pada pati.
Tabel 1. Perbandingan Sifat Amilosa dan Amilopektin
Karakteristik Amilosa Amilopektin
Struktur umum Linear Bercabang
Ikatan α-1,4 α-1,4 dan α-1,6
Panjang rantai rata-rata ~103 20-25
Derajat polimerisasi ~103 104-105
Kompleks dengan iod Biru (λ=650 nm) Ungu-coklat (λ=550 nm)
Produk hidrolisis dengan α-amilase
Maltotriosa, glukosa, maltosa, oligosakarida
Gula pereduksi (sedikit), oligosakarida (dominan)
Pembentukan lapisan film kuat rapuh Sumber : Pomeranz (1991)
Pati alami biasanya mengandung amilopektin lebih banyak daripada amilosa.
Menurut Stoddard (1999), butiran pati mengandung amilosa berkisar antara 15-
30% dan amilopektin sekitar 70-85%. Rasio amilosa dan amilopektin akan
mempengaruhi sifat-sifat pati. Jika kadar amilosa tinggi, maka pati akan bersifat
kering, kurang lekat, dan cenderung higroskopis. Perbandingan antara amilosa dan
amilopektin juga akan berpengaruh terhadap sifat kelarutan dan derajat
gelatinisasi pati. Pati dengan kadar amilosa rendah akan mempunyai suhu
gelatinisasi tinggi. Amilopektin bergabung dengan rantai lurus amilosa
membentuk daerah kristalin. Hasil dari penggabungan ini melalui ikatan hidrogen
menyebabkan granula pati tidak larut dalam air dingin. Perbandingan sifat dan
rasio amilosa/amilopektin pada beberapa jenis pati dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Perbandingan Sifat Beberapa Jenis Pati
Jenis pati Bentuk granula
Ukuran granula
(µµµµm)
Amilosa/Amilopektin (% ratio)
Kisaran suhu
gelatinisasi Sagu Elips agak
terpotong 20-60 27/73 60-72
Beras poligonal 3-8 17/83 61-78
Jagung Poligonal 5-25 26/74 62-74
Kentang Bundar 15-100 24/76 56-69
Tapioka Oval 5-35 17/83 52-64
Gandum Elips 2-35 25/75 52-64
Ubi Jalar Poligonal 16-25 18/82 58-74 Sumber : Knight (1969)
Granula pati dapat menyerap air dan membengkak. Pembengkakan dan
penyerapan air oleh granula pati dapat mencapai kadar 30%. Peningkatan volume
granula pada selang suhu 55oC - 65oC masih memungkinkan granula kembali
pada kondisi semula. Apabila terjadi pembengkakan luar biasa dan granula pati
tidak dapat kembali ke keadaan semula, maka perubahan ini disebut gelatinisasi.
Suhu pada saat granula pati pecah disebut suhu gelatinisasi dan besarnya berbeda-
beda tergantung pada jenis pati dan konsentrasinya (Winarno, 1995).
Pati dapat dijadikan bahan dasar dalam pembuatan plastik. Pati merupakan
biopolimer karbohidrat yang dapat terdegradasi secara mudah di alam dan bersifat
dapat diperbaharui. Penelitian tentang pati sebagai bahan baku plastik telah
dilakukan mulai dari penggunaan pati alami, pati termodifikasi, dan pati
termoplastis untuk ditambahkan baik pada biodegradable plastic dan non-
degradable plastic. Pemilihan proses didasarkan pada produk akhir yang ingin
dicapai (Fabunmi et al., 2007). Starch-based plastic digunakan dalam produksi
bioplastik karena keuntungannya yaitu harga murah, jumlah berlipat, dan dapat
diperbaharui (Vilpoux dan Averous, 2006).
B. UBI KAYU
Ubi kayu merupakan sumber daya alam lokal Indonesia yang juga dikenal
dengan nama ketela pohon atau singkong. Ubi kayu memiliki nama botani
Manihot esculenta Crantz tetapi lebih dikenal dengan nama Manihot utilissima.
Tanaman ini termasuk ke dalam kingdom Plantae, divisi Spermatophyta,
subdivisi Angiospermae, kelas Dicotyledonae, famili Euphorbiaceae,
genus Manihot, dan spesies esculenta Crantz dengan berbagai varietas
(Rukmana, 1997). Ubi kayu dapat tumbuh dengan baik pada ketinggian 0-1500
meter dari permukaan laut di daerah tropis dan subtropis (Yamaguchi,1983).
Umumnya tanaman ubi kayu akan membentuk umbi setelah berumur 5-6 bulan
dan akan mencapai umur panen optimum setelah 11 bulan sejak masa tanam
(Wijandi,1980). Komposisi kimia ubi kayu disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Komposisi Kimia Ubi Kayu (per 100 g bahan)
Komponen Jumlah
Kalori (kkal) 146,00
Protein (gram) 0,80
Lemak (gram) 0,30
Karbohidrat (gram) 34,70
Air (gram) 62,50
Sumber : Departemen Kesehatan (1992)
Ubi kayu merupakan tanaman yang mempunyai daya adaptasi
lingkungan yang sangat luas sehingga dapat tumbuh dengan baik di
Indonesia. Sebagai hasil pertanian sekunder, produksi ubi kayu lebih tinggi
dibandingkan dengan jagung dan ubi jalar yang juga berperan sebagai hasil
pertanian sekunder. Perbandingan tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Produksi Beberapa Hasil Pertanian Sekunder di Indonesia
Tahun Produksi (Ton)
Ubi kayu Jagung Ubi jalar
2003 18.523.810 10.886.442 1.991.478
2004 19.424.707 11.225.243 1.901.802
2005 19.196.849 11.736.977 1.799.775
Sumber: Departemen Pertanian (2005)
Apabila dilihat secara lebih komprehensif, produksi ubi kayu Indonesia cukup
besar dibanding negara-negara lain. Laporan United Nation Industrial
Development Organization (UNIDO) menunjukkan bahwa Indonesia merupakan
salah satu negara penghasil ubi kayu terbesar kedua di Asia setelah Thailand,
sementara di dunia menempati urutan kelima setelah Nigeria, Brazil, Thailand,
dan Kongo. Representasi tersebut menunjukkan potensi besar ubi kayu untuk
dimanfaatkan menjadi produk olahan lain, baik pangan maupun nonpangan.
Sejauh ini pemanfaatan ubi kayu sebesar 54,2% digunakan untuk pangan dan
sisanya sebesar 19,7% untuk bahan baku industri seperti tapioka, pakan ternak
(1,8%) dan industri nonpangan lainnya (8,5%), serta diekspor (15,8%). Hasil
ikutan ubi kayu yang banyak digunakan sebagai pakan ternak adalah onggok dan
gaplek afkir. Salah satu pemanfaatan ubi kayu yang belum banyak dilakukan
adalah dengan memprosesnya menjadi bahan baku biodegradable plastic.
1. Tapioka
Tapioka dihasilkan dari akar tanaman ubi kayu (Manihot utilissima).
Kandungan pati ubi kayu ini dipengaruhi oleh umur tanaman, varietas, keadaan
tanah, dan iklim tempat penanaman ubi kayu. Menurut Swinkels (1985), akar
tanaman ubi kayu mengandung sekitar 15%-30% pati dan 50%-70% air.
Komposisi kimia tapioka dapat diamati pada Tabel 5.
Tabel 5. Komposisi Kimia Tapioka (% berat)
Komponen Jumlah (%)
Air 9,0 – 18,0
Protein 0,3 – 1,0
Lemak 0,1 – 0,4
Abu 0,1 – 0,8
Pati, serat, dan lain-lain 81 – 89
Sumber : Swinkels (1985)
Granula tapioka berwarna putih dengan ukuran diameter bervariasi. Rentang
granula terkecil bervariasi dari 5-15 µm, untuk granula berukuran sedang antara
15-25 µm, sedangkan granula terbesar bervariasi dari 25-35 µm (Whistler et al.,
1984). Granula ini berbentuk mangkuk (cup) dan sangat kompak, tetapi selama
pengolahan granula tersebut akan pecah menjadi komponen-komponen yang tidak
teratur bentuknya (Swinkels, 1985). Bentuk dan ukuran granula pati tapioka dapat
dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Granula tapioka dengan perbesaran 1000 kali (http://www.scielo.br/scielo.php)
Menurut Balagopalan et al. (1988), beberapa karakteristik tapioka di
antaranya adalah sebagai berikut.
• Bila proses pembuatannya tepat, tapioka berwarna putih. Berkurangnya
tingkat keputihan akan mempengaruhi kualitas dan harga.
• pH normal tapioka adalah 6,3 sampai 6,5. Standar pH tapioka bervariasi. The
Indian Standard Institution (ISI) mengizinkan kisaran pH antara 4,7-7 untuk
pati yang digunakan untuk pangan, sedangkan Tapioca Institute lebih ketat
dengan menetapkan standar sebesar 4,5-6,5.
• Ukuran granula tapioka adalah 5-40 µm.
• Suhu gelatinisasi tapioka berkisar antara 58,5°C sampai 70oC.
• Tapioka tidak beraroma sehingga dapat digunakan untuk berbagai keperluan,
diantaranya kosmetik dan makanan.
• Tapioka tidak berasa. Tidak adanya rasa dan after taste (seperti pada jagung)
membuat tapioka cocok digunakan pada produk seperti pudding dan pie.
• Saat dimasak, tapioka akan menjadi pasta yang jernih sehingga cocok untuk
dikombinasikan dengan berbagai pewarna.
• Perbandingan kadar amilopekin dan amilosa pada tapioka sekitar 80:20
menyebabkan tapioka memiliki titik viskositas yang tinggi yang sangat
berguna untuk berbagai aplikasi.
Mutu tapioka di Indonesia dibedakan menjadi mutu I, II, dan III. Persyaratan
mutu tersebut ditentukan berdasarkan SNI 01-3451-1994, seperti yang disajikan
pada Tabel 6 di bawah ini.
Tabel 6. Persyaratan Mutu Tapioka Menurut SNI 01-3451-1994
Jenis Uji Satuan Persyaratan Mutu I Mutu II Mutu III
Kadar air % Maks. 15,0 Maks. 15,0 Maks. 15,0 Kadar abu % Maks. 0,6 Maks. 0,6 Maks. 0,6 Serat dan benda asing
% Maks. 0,6 Maks. 0,6 Maks. 0,6
Derajat putih (BaSO4 = 100%)
% Min. 94,5 Min. 92,0 < 92,0
Derajat asam ml NaOH 1N/100 g
Maks. 3,0 Maks. 3,0 Maks. 3,0
Cemaran logam - Timbal - Tembaga - Seng - Raksa - Arsen
mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg
Maks. 1,0 Maks. 10,0 Maks. 40,0 Maks. 0,05 Maks. 0,5
Maks. 1,0 Maks. 10,0 Maks. 40,0 Maks. 0,05 Maks. 0,5
Maks. 1,0 Maks. 10,0 Maks. 40,0 Maks. 0,05 Maks. 0,5
Cemaran mikroba - Angka
lempeng total
- E. coli - Kapang
koloni/g koloni/g koloni/g
Maks. 1,0x106
- Maks. 1,0x104
Maks. 1,0x106
- Maks. 1,0x104
Maks. 1,0x106
- Maks. 1,0x104
Salah satu yang penting pula dalam menentukan mutu tapioka adalah
kehalusan tepung. Tapioka yang bermutu baik tidak menggumpal dan memiliki
kehalusan baik. Salah satu institusi yang mensyaratkan kehalusan tapioka adalah
The Tapioca Institute of America (TIA) yang membagi mutu tapioka menjadi tiga
kelas berdasarkan tingkat kehalusan, yaitu mutu A (99% lolos ayakan 140 mesh),
mutu B (99% lolos ayakan 80 mesh), dan mutu C (95% lolos ayakan 60 mesh)
(Radley, 1976).
2. Onggok
Onggok adalah limbah yang dihasilkan pada pengolahan ubi kayu menjadi
tapioka, berupa limbah padat utama setelah pengepresan. Jumlah onggok
mencapai 19,7% dari total produksi ubi kayu nasional. Komponen penting dalam
onggok adalah pati dan serat kasar, sedangkan lemak dan protein terdapat dalam
jumlah kecil. Komposisi kimia onggok tapioka disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7. Komposisi Onggok Tapioka
Komponen Jumlaha) Jumlahb)
Air (%) 16,86 13,39
Abu (%b/k) 8,50 4,90
Serat kasar (%b/k) 8,14 11,02
Lemak (%) 0,25 0,15
Protein (%) 0,42 0,58
Pati (%) 62,97 68,79
Sumber : a) Tjiptadi (1982) b) Anonim (1984)
Keragaman komposisi kimia onggok sangat bergantung pada varietas dan
mutu ubi kayu yang diolah menjadi tapioka, efisiensi proses ekstraksi pati, serta
penanganan onggok. Hal ini menyebabkan hasil analisis proksimat menunjukkan
hasil yang berbeda-beda (Anonim, 1984).
Onggok tahan relatif lama dalam keadan kering. Dalam keadaan basah
onggok mudah sekali ditumbuhi kapang dan terjadi pembusukan. Sebagai hasil
samping pengolahan tapioka yang umumnya masih dilakukan secara tradisional,
onggok masih memiliki kandungan pati dan serat yang tinggi. Pemanfaatan
onggok masih terbatas dan umumnya digunakan sebagai makanan ternak. Onggok
juga dapat digunakan sebagai substrat untuk produksi selulase, amilase,
amiloglukosidase, dan angkak (Jenie dan Fachda, 1991).
C. PATI TERMOPLASTIS
Pemanfaatan pati sebagai bahan baku plastik dapat diproses dalam bentuk
pati alami, pati modifikasi maupun pati termoplastis. Pemilihan proses atas pati
didasarkan pada bentuk akhir yang ingin dicapai. Hasil penelitian Ishiaku et al.
(2007) menunjukkan bahwa pati termoplastis lebih sesuai untuk produk yang
memiliki sifat elastis, sedangkan pati alami diaplikasikan pada produk-produk
yang bersifat plastis. Hal ini mendukung penelitian sebelumnya oleh Averous et
al. (2000) dimana pati termoplastis cenderung memiliki rubbery behaviour,
sedangkan pati alami lebih bersifat glassy behaviour.
Pati termoplastis dihasilkan melalui pemrosesan pada suhu dan gesekan tinggi
sehingga pati bersifat termoplastis dan bisa dicetak. Selama proses termoplastis,
air akan masuk ke dalam pati dan bahan pemlastis akan berperan sangat
signifikan. Bahan pemlastis akan membentuk ikatan hidrogen dengan pati
sehingga terjadi reaksi antara gugus hidroksi dan molekul pati yang membuat pati
menjadi lebih plastis. Dalam kondisi normal, air yang ditambahkan 10-20% dan
secara opsional dapat ditambahkan pelarut dan bahan aditif yang lain (Morawietz,
2006). Bahan pemlastis berupa gliserol digunakan pada proses ekstrusi dengan
suhu 120oC akan menurunkan transisi gelas pati (Kalambur dan Rizvi, 2006).
Pembentukan pati termoplastis dipengaruhi oleh kondisi proses dan formulasi
bahan yang digunakan. Pati termoplastis memiliki kelebihan untuk sifat modulus
young, dimana adanya bahan pemlastis dan destrukturisasi granular menyebabkan
pati termoplastis lebih tahan terhadap deformasi. Deformasi hanya akan terjadi di
sepanjang matriks dimana tegangan (stress) diberikan, sehingga kerusakan
permanen bisa diminimalkan (Ishiaku et al., 2002). Pati termoplastis memiliki
keunggulan dalam hal kemudahan proses, morfologi akhir yang lebih baik dan
penyebaran partikel yang lebih merata dengan adanya proses destrukturisasi.
Namun demikian, memungkinkan terjadinya migrasi bahan pemlastis dan
rekristalisasi berlebih akan memberikan sifat rapuh (Huneault dan Li, 2007).
Faktor-faktor yang berpengaruh dalam pembentukan pati termoplastis yaitu
(Morawietz, 2006) :
- parameter proses : kecepatan ulir, laju alir bahan dalam ektruder, suhu dan
profil ekstruder, geometri ekstruder, dan jenis pelletizer.
- parameter formulasi : jenis pati, konsentrasi air, konsentrasi dan jenis
plasticizer, serta konsentrasi dan jenis aditif.
D. BAHAN PEMLASTIS : GLISEROL
Bahan pemlastis memegang peranan penting dalam pembuatan pati
termoplastis. Zat pemlastis dalam konsep sederhana dapat didefinisikan sebagai
pelarut organik dengan titik didih yang tinggi atau suatu padatan dengan titik leleh
rendah. Apabila ditambahkan ke dalam resin yang kaku dan atau keras seperti
karet atau plastik, maka akumulasi gaya intramolekuler pada rantai panjang akan
menurun sehingga kelenturan (flexibility), kelunakan (softness), dan pemanjangan
(elongation) bertambah (Mellan, 1963).
Pada umumnya bahan yang bersifat kaku disebabkan karena suhu transisi
gelasnya (Tg) di atas suhu ruang dan struktur molekul bahan yang sangat kristalin
(Wade, 1991). Efek penambahan pemlastis dapat mengurangi kristalinitas polimer
dan menurunkan suhu transisi gelas. Namun demikian, adanya bahan pemlastis
dapat berpengaruh negatif terhadap sifat mekanis plastik, yakni memberikan sifat
soft dan weak (Kalambur dan Rizvi, 2006). Mekanisme pemlastis dalam
meningkatkan fleksibilitas bahan dikarenakan pemlastis yang memiliki bobot
molekul rendah dapat menaikkan volume bebas polimer sehingga terbentuk
ruangan yang lebih luas untuk meningkatkan gerak segmental yang panjang dari
molekul-molekul polimer (Stevens, 2007).
Prinsip dasar kerja suatu zat pemlastis adalah berinteraksi dengan rantai
polimer dalam tingkat molekul sehingga menyebabkan peningkatan
viskoelastisitas polimer. Interaksi tingkat molekul tersebut dijelaskan oleh
Darusman et al. (1999) dapat berupa gaya van der Waals, yaitu gaya tarikan
lemah antara molekul dalam senyawa akibat adanya dwikutub-dwikutub
terinduksi, ataupun karena adanya ikatan hidrogen yaitu gaya tarik elektrostatik
antara atom O, N, dan F. Interaksi tersebut menimbulkan peningkatan mobilitas
molekul dari rantai polimer dan menyebabkan turunnya suhu transisi gelas (Tg).
Menurut Hammer (1971), suatu polimer dengan Tg yang rendah (memiliki lebih
banyak rantai elastis) memiliki tingkat kekakuan yang lebih kecil sehingga lebih
mudah untuk diproses. Sebaliknya, jika polimer memiliki Tg yang tinggi dan
viskositas lelehan yang tinggi pula, kemudahan proses didapatkan dengan tanpa
perubahan yang berarti pada kekakuan rantai polimer.
Faktor yang berpengaruh dalam pemilihan bahan pemlastis di antaranya
struktur molekul, polaritas, kualitas produk yang diinginkan, sifat, dan biaya.
Pertimbangan pemilihan pemlastis yang lain adalah faktor penguapan bahan yang
berdampak pada keamanan proses dan stabilitas film selama penguapan.
Umumnya bahan pemlastis diperlukan dalam edible film dari polisakarida dan
protein. Bahan pemlastis merupakan bahan dengan berat molekul kecil sehingga
dapat bergabung dengan matriks protein dan dan polisakarida untuk meningkatkan
sifat fleksibilitas dan kemampuan membentuk film. Bahan pemlastis
meningkatkan volume bebas atau mobilitas molekul primer dengan mengurangi
ikatan hidrogen antar rantai polimer. Komposisi, ukuran, dan bentuk dari bahan
pemlastis mempengaruhi kemampuannya untuk mengganggu ikatan rantai
hidrogen, termasuk juga kemampuannya untuk mengikat air ke dalam sistem
protein yang mengandung plasticizer tersebut (Sothornvit dan Krochta, 2000).
Penggunaan pemlastis seperti gliserol lebih unggul karena tidak ada gliserol
yang menguap dalam proses dibandingkan dengan dietilena glikol monometil eter
(DEGME), etilena glikol (EG), dietilena glikol (DEG), trietilena glikol (TEG),
dan tetraetilena glikol (TEEG). Hal ini disebabkan titik didih gliserol cukup tinggi
(290°C) jika dibandingkan dengan DEGME, EG, DEG, TEG dan juga tidak ada
interaksi antara gliserol dan molekul protein (bahan baku pembuatan film)
(Noureddini et al., 1998). Gliserol sebaiknya digunakan pada konsentrasi 20%
karena jika berlebihan, film akan lengket. Gliserol cukup sesuai digunakan
sebagai pemlastis pada pembuatan plastik berbasis pati. Tabel 8 berikut
menyajikan beberapa karakteristik gliserol.
Tabel 8. Karakteristik
Sifat
Rumus Molekul
Massa Molar
Densitas
Titik Cair
Titik Didih
Viskositas
Sumber : en.wikipedia.org
Gliserol adalah rantai alkohol trihidrik dengan susunan molekul C
Nama gliserol diartikan sebagai bahan kimia murni, namun dalam dunia
perdagangan dikenal dengan nama gliserin. Dalam
tidak berbau, tidak berwarna, dan berbentuk cairan kental dengan rasa manis.
Gliserol bersifat larut dengan sempurna di dalam air dan alkohol (memiliki
kelarutan tinggi yaitu 71 g/100 g air pada suhu 25°C, serta dapat terlarut
pelarut tertentu (misalnya eter, etil asetat, dan dioxane), namun bersifat tidak larut
dalam hidrokarbon. Massa jenis gliserol adalah 1,23 g/cm
Struktur molekul gliserol dapat dilihat pada Gambar 4.
Gliserol berfungsi sebagai penyerap air, pembentuk kristal, dan zat pemlastis.
Gliserol didapatkan dengan cara sintetis maupun diperoleh dari hasil samping
pembuatan sabun dan produksi oleokimia yang menggunakan minyak dan lemak
alami sebagai bahan bakunya. Teori kimia menyatakan bahwa dalam satu molekul
lemak terkandung gliserol dan tiga molekul asam lemak. Pada umumnya lemak
mengandung kurang lebih 11% gliserol di dalamnya.
Ada dua prosedur dalam memproduksi g
saponifikasi dan transesterifikasi (Tovbin
. Karakteristik Gliserol
Sifat
C3H5(OH)3
92,09382 g/mol
1,261 g/cm3
18°C (64,4°F
290°C (554°F)
1,5 cP
en.wikipedia.org
Gliserol adalah rantai alkohol trihidrik dengan susunan molekul C
Nama gliserol diartikan sebagai bahan kimia murni, namun dalam dunia
perdagangan dikenal dengan nama gliserin. Dalam kondisi yang murni, gliserol
tidak berbau, tidak berwarna, dan berbentuk cairan kental dengan rasa manis.
Gliserol bersifat larut dengan sempurna di dalam air dan alkohol (memiliki
kelarutan tinggi yaitu 71 g/100 g air pada suhu 25°C, serta dapat terlarut
pelarut tertentu (misalnya eter, etil asetat, dan dioxane), namun bersifat tidak larut
dalam hidrokarbon. Massa jenis gliserol adalah 1,23 g/cm3 (Igoe dan Hui, 1994).
Struktur molekul gliserol dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Struktur molekul gliserol
Gliserol berfungsi sebagai penyerap air, pembentuk kristal, dan zat pemlastis.
Gliserol didapatkan dengan cara sintetis maupun diperoleh dari hasil samping
pembuatan sabun dan produksi oleokimia yang menggunakan minyak dan lemak
gai bahan bakunya. Teori kimia menyatakan bahwa dalam satu molekul
lemak terkandung gliserol dan tiga molekul asam lemak. Pada umumnya lemak
mengandung kurang lebih 11% gliserol di dalamnya.
Ada dua prosedur dalam memproduksi gliserol dari lemak yaitu met
i dan transesterifikasi (Tovbin et al., 1976). Proses saponifikasi dan
Gliserol adalah rantai alkohol trihidrik dengan susunan molekul C3H8O3.
Nama gliserol diartikan sebagai bahan kimia murni, namun dalam dunia
kondisi yang murni, gliserol
tidak berbau, tidak berwarna, dan berbentuk cairan kental dengan rasa manis.
Gliserol bersifat larut dengan sempurna di dalam air dan alkohol (memiliki
kelarutan tinggi yaitu 71 g/100 g air pada suhu 25°C, serta dapat terlarut dalam
pelarut tertentu (misalnya eter, etil asetat, dan dioxane), namun bersifat tidak larut
(Igoe dan Hui, 1994).
Gliserol berfungsi sebagai penyerap air, pembentuk kristal, dan zat pemlastis.
Gliserol didapatkan dengan cara sintetis maupun diperoleh dari hasil samping
pembuatan sabun dan produksi oleokimia yang menggunakan minyak dan lemak
gai bahan bakunya. Teori kimia menyatakan bahwa dalam satu molekul
lemak terkandung gliserol dan tiga molekul asam lemak. Pada umumnya lemak
liserol dari lemak yaitu metode
Proses saponifikasi dan
transesterifikasi tersebut akan menghasilkan senyawa gliserol mentah yang masih
banyak mengandung bahan pengotor seperti sisa katalis dan asam lemak bebas.
Penggunaan gliserol mentah secara langsung dapat menimbulkan terjadinya
proses dekomposisi, polimerisasi, dan masalah lainnya, sehingga penggunaan
gliserol secara langsung tanpa melakukan pre-treatment terlebih dahulu pada
proses karbonasi akan menghasilkan komposisi produk yang tidak stabil dan daya
konversi yang rendah (Noureddini et al., 1998).
E. BIODEGRADABLE PLASTIC
Secara umum, kemasan biodegradable diartikan sebagai film kemasan yang
dapat didaur ulang dan dihancurkan secara alami. Istilah biodegradable diartikan
sebagai kemampuan komponen-komponen molekuler dari suatu meterial untuk
dipecah menjadi moleku-molekul yang lebih kecil oleh mikroorganisme hidup
sehingga zat karbon yang terkandung dalam material tersebut akhirnya dapat
dikembalikan ke biosfer (Gould et al., 1990). Pranamuda (2001) menyatakan
bahwa biodegradable plastic adalah plastik yang dapat digunakan layaknya
plastik konvensional namun akan hancur terurai oleh aktivitas mikroorganisme
menjadi hasil akhir air dan gas karbondioksida setelah habis terpakai dan dibuang
ke lingkungan.
Plastik berbasis pati dapat digolongkan dalam jenis biodegradable plastic.
Plastik berbasis pati didefinisikan sebagai plastik berbahan baku pati dengan
penggunaan berkisar 10-90%, yang dapat berasal dari sumber pati-patian seperti
jagung, gandum, dan kentang. Peningkatan pati akan meningkatkan
biodegradabilitas dari polimer. Dalam pembuatan plastik berbasis pati sering
dicampur dengan jenis polimer lain seperti poliester alifatik dan polivinil alkohol
untuk meningkatkan performa dan kebutuhan aplikasi produk (Nolan-ITU, 2002).
Beberapa kategori polimer berbasis pati diantaranya :
- Produk-produk pati termoplastis (thermoplastic starch)
- Campuran pati dengan poliester alifatik sintetik
- Campuran pati dengan poliester PBS/PBSA
- Campuran pati dengan PVOH
Potensi penggunaan pati sebagai bioplastik berkisar 85–90% dari pasar
bioplastik yang ada, termasuk polimer asam laktat yang diproduksi melalui
fermentasi pati. Di antara bioplastik tersebut digunakan pati alami dan
modifikasinya dalam bentuk campuran dengan polimer sintetik (Vilpoux dan
Averous, 2006). Keuntungan dari penggunaan pati dalam memproduksi bioplastik
adalah harga murah, jumlah berlimpah dan dapat diperbaruhi. Namun pembuatan
film dari 100% pati sulit untuk diproses saat kondisi mencair (melting) (Nolan
ITU, 2002) sehingga perlu dilakukan pencampuran dengan polimer sintetis untuk
memperbaiki sifat fisiknya.
Menurut Otey et al. (1987), pati yang sering digunakan sebagai bahan
campuran polimer adalah granula pati alami atau granula pati yang telah
dimodifikasi secara kimiawi untuk meningkatkan kesesuaian granula dengan
matriks polimer sintetis yang digunakan. Semakin kecil campuran konsentrasi
pati, akan memberikan pengaruh yang semakin rendah pula terhadap
biodegradabilitas plastik.
Produksi biodegradable plastic berbasiskan pati dapat dilakukan dengan tiga
cara, yaitu :
- Mencampur pati dengan plastik konvensional (PE atau PP) dalam jumlah
kecil (10-20%),
- Mencampur pati dengan turunan hasil samping minyak bumi seperti PCL,
dalam komposisi yang sama (50%), atau
- Menggunakan proses ekstrusi untuk mencampur pati dengan bahan-bahan
seperti protein kedelai, gliserol, alginat, lignin dan sebagainya sebagai bahan
pemlastis (plasticizer) (Flieger et al., 2003).
F. HIGH DENSITY POLYETHYLENE (HDPE)
Plastik dibagi menjadi dua klasifikasi utama berdasarkan pertimbangan
ekonomis dan kegunaannya, yakni plastik komoditi dan plastik teknik. Plastik
komoditi pada prinsipnya terdiri dari empat jenis polimer yakni polipropilen (PP),
polietilen (PE), polivinil klorida (PVC) dan polistirena (PS). Plastik teknik dalam
aplikasinya bersaing dengan logam, keramik dan gelas (Stevens, 2007).
Polietilen merupakan polimer yang paling banyak digunakan sebagai plastik
kemasan (kantong plastik belanja) dengan produksi tahunan sekitar 80 juta metrik
ton. PE dibuat melalui polimerisasi gas etilen, yang dapat diperoleh dengan
memberi hidrogen gas pertoleum pada pemecahan minyak (nafta), gas alam
asetilen. Strultur molekul PE
Proses polimerisasi PE digolongkan dalam tekanan tinggi, medium dan
rendah, yang akan menghasilkan tiga jenis produk yang berbeda, yaitu :
- PE massa jenis rendah (LDPE
0,910-0,926 g/cm
digunakan sebagai kantong, mudah dikelim dan murah.
- PE massa jenis medium (MDPE
massa jenis 0,926
leleh lebih tinggi daripada LDPE.
- PE massa jenis tinggi (HDPE
0,940-0,965 g/cm
(120°C) sehingga dapat diguna
mengalami sterilisasi. Dihasilkan pada proses dengan suhu dan tekanan
rendah.
Pada polietilen jenis
molekulnya yang menyebabkan plastik ini memiliki densitas yan
sedangkan high density
dibandingkan dengan jenis
sifat bahan yang lebih kuat, keras, buram dan lebih tahan terhadap suhu tinggi
(120°C/248°F untuk periode singkat, 110°C/230°F untuk periode lama). Ikatan
hidrogen antarmolekul juga berperan dalam menentukan titik leleh plastik
(Harper, 1975). Berat molekul dan struktur polimer, bercabang atau linier turut
berpengaruh terhadap titik leleh. Plastik L
Polietilen merupakan polimer yang paling banyak digunakan sebagai plastik
(kantong plastik belanja) dengan produksi tahunan sekitar 80 juta metrik
ton. PE dibuat melalui polimerisasi gas etilen, yang dapat diperoleh dengan
memberi hidrogen gas pertoleum pada pemecahan minyak (nafta), gas alam
Strultur molekul PE disajikan pada Gambar 5 berikut.
Gambar 5. Struktur molekul polietilen
Proses polimerisasi PE digolongkan dalam tekanan tinggi, medium dan
rendah, yang akan menghasilkan tiga jenis produk yang berbeda, yaitu :
PE massa jenis rendah (LDPE-Low Density Polyethylene) dengan massa jenis
0,926 g/cm3, dihasilkan melalui proses tekanan tinggi. Paling banyak
digunakan sebagai kantong, mudah dikelim dan murah.
PE massa jenis medium (MDPE-Medium Density Polyethylene
massa jenis 0,926-0,940 g/cm3, lebih kaku dari LDPE dan memiliki suhu
leleh lebih tinggi daripada LDPE.
PE massa jenis tinggi (HDPE-High Density Polyethylene) dengan massa jenis
0,965 g/cm3, paling kaku diantara ketiganya, tahan terhadap suhu tinggi
C) sehingga dapat digunakan untuk pengemasan produk yang harus
mengalami sterilisasi. Dihasilkan pada proses dengan suhu dan tekanan
Pada polietilen jenis low density terdapat sedikit cabang pada rantai antara
molekulnya yang menyebabkan plastik ini memiliki densitas yan
high density mempunyai jumlah rantai cabang yang lebih sedikit
dibandingkan dengan jenis low density. Dengan demikian, high density
sifat bahan yang lebih kuat, keras, buram dan lebih tahan terhadap suhu tinggi
uk periode singkat, 110°C/230°F untuk periode lama). Ikatan
hidrogen antarmolekul juga berperan dalam menentukan titik leleh plastik
(Harper, 1975). Berat molekul dan struktur polimer, bercabang atau linier turut
berpengaruh terhadap titik leleh. Plastik LDPE dan HDPE memiliki titik leleh
Polietilen merupakan polimer yang paling banyak digunakan sebagai plastik
(kantong plastik belanja) dengan produksi tahunan sekitar 80 juta metrik
ton. PE dibuat melalui polimerisasi gas etilen, yang dapat diperoleh dengan
memberi hidrogen gas pertoleum pada pemecahan minyak (nafta), gas alam, atau
Proses polimerisasi PE digolongkan dalam tekanan tinggi, medium dan
rendah, yang akan menghasilkan tiga jenis produk yang berbeda, yaitu :
) dengan massa jenis
, dihasilkan melalui proses tekanan tinggi. Paling banyak
Medium Density Polyethylene) dengan
lebih kaku dari LDPE dan memiliki suhu
) dengan massa jenis
, paling kaku diantara ketiganya, tahan terhadap suhu tinggi
kan untuk pengemasan produk yang harus
mengalami sterilisasi. Dihasilkan pada proses dengan suhu dan tekanan
terdapat sedikit cabang pada rantai antara
molekulnya yang menyebabkan plastik ini memiliki densitas yang rendah,
mempunyai jumlah rantai cabang yang lebih sedikit
high density memiliki
sifat bahan yang lebih kuat, keras, buram dan lebih tahan terhadap suhu tinggi
uk periode singkat, 110°C/230°F untuk periode lama). Ikatan
hidrogen antarmolekul juga berperan dalam menentukan titik leleh plastik
(Harper, 1975). Berat molekul dan struktur polimer, bercabang atau linier turut
DPE dan HDPE memiliki titik leleh
yang berbeda selisih ± 25°F (Sidney dan Dubois, 1977). Perbandingan sifat LDPE,
MDPE, dan HDPE secara rinci disajikan pada Tabel 9.
Tabel 9. Perbandingan Sifat LDPE, MDPE, dan HDPE
Sifat LDPE MDPE HDPE
Massa jenis (g/cm3) 0,92 0,93-0,94 0,95-0,96
Kristalinitas (%) 65 75 85-95
Titik cair (°C) 105 118 124-127
Kekuatan tarik (Kgf/cm2) 144 175 245-235
Elongasi (%) 500 300 100
Kekuatan impak (Izod ditactic) 42 21 17
Sumber : Surdia dan Saito (1985)
Sifat-sifat PE secara umum dapat disajikan sebagai berikut :
- Hubungan dengan massa jenis
Polimerisasi PE yang berbeda akan menghasilkan struktur molekul yang
berbeda pula. HDPE memiliki cabang yang sedikit dan merupakan rantai
lurus, sehingga massa jenisnya besar, mampu mengkristal dengan baik dan
memiliki kristalinitas yang tinggi. Kristalinitas yang baik akan mempunyai
gaya antar molekul kuat, sehingga memiliki kekuatan mekanik dan titik lunak
yang tinggi.
- Hubungan dengan berat molekul
Material dengan sifat kristalinitas yang sama, memiliki karakteristik mekanik
dan kemampuan proses yang berbeda. Kondisi ini dipengaruhi oleh berat
molekul. Berat molekul kecil akan memiliki sifat mencair lebih baik, namun
ketahanan akan zat pelarut dan kekuatannya menurun.
- Sifat-sifat listrik
PE merupakan senyawa nonpolar dengan sifat listrik yang baik sehingga
dimanfaatkan sebagai bahan isolasi untuk radar, TV dan berbagai alat
komunikasi.
- Sifat-sifat kimia
PE stabil terhadap beberapa sifat kimia kecuali dengan kalida dan oksida kuat.
PE larut dalam hidrokarbon aromatik dan larutan hidrokarbon terklorinasi
diatas suhu 70°C, tetapi tidak ada pelarut yang bisa melarutkan PE secara
sempurna pada suhu biasa.
- Permeabilitas gas
PE sangat sukar ditembus air, tetapi mempunyai permeabilitas cukup tinggi
terhadap CO2, pelarut organik, parfum dan sebaginya. HDPE bersifat kurang
permeabel dibandingkan LDPE.
- Kemampuan olah
PE mudah diolah dan dapat dicetak dengan penekanan, injeksi, ekstrusi
peniupan dan dengan hampa udara, namun penyusutannya cukup tinggi
(Surdia dan Saito, 1985).
HDPE sebagai salah satu plastik komoditi digunakan secara luas dalam
produk dan kemasan seperti botol susu, botol deterjen, margarin, tubs, kontainer
sampah, dan pipa air (Harper, 1975) serta botol kosmetik, botol obat, botol
minuman, botol susu yang berwarna putih susu, tupperware, galon air minum,
kursi lipat, jerigen, pelumas, dan lain-lain (Sidney dan Dubois, 1977). Walaupun
demikian, Sidney dan Dubois (1977) menambahkan, HDPE hanya
direkomendasikan untuk sekali pakai karena pelepasan senyawa SbO3 (Antimon
trioksida) terus meningkat seiring waktu. Bahan HDPE bila ditekan tidak kembali
ke bentuk semula. Contoh aplikasi HDPE sebagai bahan kemasan dapat dilihat
pada Gambar 6.
Gambar 6. Contoh produk kemasan HDPE yang beredar di pasar
G. BAHAN ADITIF
Penambahan bahan aditif terhadap plastik campuran memberikan pengaruh
positif karena pati bersifat polar dan hidrofilik, sedangkan polietilen bersifat
hidrofobik dan nonpolar dimana penggabungan kedua bahan tersebut tanpa
adanya aditif tertentu akan menghasilkan produk yang tidak kompak dan
mempunyai sifat mekanik yang jelek.
Menurut Rabek (1980), kompatibilitas hasil campuran menggambarkan
kekuatan interaksi yang terjadi antara rantai-rantai polimer sehingga membentuk
campuran yang homogen atau mendekati homogen. Semakin kompatibel suatu
bahan hasil pencampuran, maka bahan tersebut akan semakin homogen.
Kekompetibelan bahan hasil pencampuran dapat terlihat dengan cara membuat
film tipis dari lelehan bahan plastik campuran. Bercak-bercak dan warna buram
pada film menunjukkan hasil pencampuran yang terbentuk tidak kompatibel.
Bahan aditif berfungsi untuk memperbaiki sifat-sifat plastik. Bahan aditif
yang digunakan merupakan bahan dengan berat molekul rendah, maksudnya
adalah mempunyai sifat pemlastis, antioksidan, antiblok, antistatis, pelumas,
penyerap sinar ultraviolet, bahan pengisi, dan bahan penguat.
1. Compatibilizer (Maleat Anhidrida/MA)
Pati dan polimer hidrokarbon merupakan dua bahan yang tidak dapat
bercampur sempurna (immiscible). Proses kompatibilisasi diperlukan untuk
campuran pati-polimer hidrokarbon, khususnya pada pencampuran pati dalam
jumlah yang tinggi. Penambahan fase minor lebih dari 20% (b/b)
menyebabkan matriks mengalami deformasi menjadi material yang rapuh.
Dalam proses ini, gugus fungsi yang sudah ada maupun yang baru terbentuk
pada pati dan polimer hidrokarbon akan direaksikan untuk membentuk ikatan
kovalen antara kedua bahan tersebut. Reaksi ini dapat terjadi dengan
penambahan compatibilizer dalam jumlah sedikit untuk membentuk sifat
kompatibel dan membentuk matriks kamba (Kalambur et al., 2006).
Compatibilizer merupakan senyawa spesifik yang dapat digunakan untuk
memadukan polimer yang tidak kompatibel menjadi campuran yang stabil
melalui ikatan intramolekuler (Mehta dan Jain, 2007). Compatibilizer yang
digunakan dalam penelitian ini adalah maleat anhidrida (MA).
Maleat anhidrida (cis-butenadioat anhidrida, anhidrida toksilat, dihidro-
2,5-dioksofuran) adalah sebuah senyawa organik dengan rumus kimia
C4H2O3. Struktur molekul senyawa ini disajikan pada Gambar 7. Dalam
keadaan murninya, MA tidak berwarna atau berwarna putih padat dengan bau
yang tajam. Karakteristik kimia maleat anhidrida dapat dilihat pada Tabel 10.
Gambar 7. Struktur molekul maleat anh
Maleat anhidrida secara tradisional diproduksi dari
senyawa aromatik
pabrik yang masih menggunakan benzena. Oleh karena kenaikan harga
benzena, kebanyakan pabrik
dengan reaksi sebagai berikut :
2 CH3CH
Terdapat banyak reaksi kimia yang dapat dilakukan oleh maleat
anhidrida:
• Hidrolisis, menghasilkan
alkohol, menghasilkan setengah ester,
• Maleat anhidrida merupakan
• Maleat anhidrida (MA) adalah ligan yang bai
bervalensi rendah, misalnya Pt(PPh
Tabel 10. Karakteristik Kimia Maleat Anhidrida
Sifat
Rumus molekul
Massa molar
Penampilan
Densitas
Titik leleh
Titik didih
Kelarutan dalam air
Berlaku pada suhu dan tekanan standar (25°C,
Sumber : Steven (2007)
keadaan murninya, MA tidak berwarna atau berwarna putih padat dengan bau
Karakteristik kimia maleat anhidrida dapat dilihat pada Tabel 10.
Gambar 7. Struktur molekul maleat anhidrida
Maleat anhidrida secara tradisional diproduksi dari oksidasi
senyawa aromatik lainnya. Sampai dengan tahun 2006, hanya beberapa
pabrik yang masih menggunakan benzena. Oleh karena kenaikan harga
benzena, kebanyakan pabrik menggunakan n-butana sebagai stok umpan
dengan reaksi sebagai berikut :
CH2CH2CH3 + 7 O2 → 2 C2H2(CO)2O + 8 H2O
Terdapat banyak reaksi kimia yang dapat dilakukan oleh maleat
Hidrolisis, menghasilkan asam maleat, cis-HO2CCH=CHCO
alkohol, menghasilkan setengah ester, cis-HO2CCH=CHCO
Maleat anhidrida merupakan dienofil dalam reaksi Diels-Alder
Maleat anhidrida (MA) adalah ligan yang baik untuk kompleks logam
bervalensi rendah, misalnya Pt(PPh3)2(MA) dan Fe(CO)4(MA).
Tabel 10. Karakteristik Kimia Maleat Anhidrida
Keterangan
Rumus molekul C4H2O3
98,06 g/mol
kristal putih
1,314 g/cm3
60°C, 333 K, 140°F
202°C, 475 K, 396°F
Kelarutan dalam air 202°C, 475 K, 396°F
Berlaku pada suhu dan tekanan standar (25°C, 100kPa)
Sumber : Steven (2007)
keadaan murninya, MA tidak berwarna atau berwarna putih padat dengan bau
Karakteristik kimia maleat anhidrida dapat dilihat pada Tabel 10.
oksidasi benzena atau
lainnya. Sampai dengan tahun 2006, hanya beberapa
pabrik yang masih menggunakan benzena. Oleh karena kenaikan harga
sebagai stok umpan
Terdapat banyak reaksi kimia yang dapat dilakukan oleh maleat
CCH=CHCO2H. Dengan
CCH=CHCO2CH3.
Alder.
k untuk kompleks logam
(MA).
Maleat anhidrida sebagai compatibilizer berperan melalui sebuah proses
reaktif, misalnya teknik grafting atau melalui ikatan hidrogen berbasiskan
polaritas material. Compatibilizer juga berfungsi seperti surfaktan yang
mampu menstabilkan campuran air-minyak dalam satu atau dua komponen
utama dalam campuran. Fungsi lainnya dalam campuran polimer yaitu
memperbaiki adhesivitas antarfase (Steven, 2007).
Prinsip kerja maleat anhidrida merupakan kombinasi dari mekanisme
berikut : mengikatkan bahan compatibilizer tersebut pada satu komponen
campuran melalui grafting kimiawi dan membentuk polymeric tail yang larut
dalam komponen lain. Compatibilizer bisa melakukan penetrasi pada kedua
fase dari campuran yang immicible, dengan mengasumsikan segmen A dari
blok kopolimer atau grafting identik dengan polimer A dan segmen B identik
dengan polimer B. Dalam kondisi ini diduga akan terjadi penetrasi segmen A
terhadap polimer A dan segmen B terhadap polimer B. Setelah stabil, akan
terbentuk daerah penyebaran yang lebih merata karena adanya penurunan
energi permukaan dan semakin kuatnya ikatan permukaan melalui
pembentukan ikatan kovalen pada fase-fase terpisah (Mehta dan Jain, 2007).
2. Inisiator (Dikumil Peroksida/DCP)
Gaylord dan Metha (1982) mengemukakan beberapa jenis inisiator yaitu
dikumil peroksida (DCP), tert-Butyl Peroxy Benzoat, Benzoyl Peroxide (BP),
dan Dimethyl Formamide (DMF). Kemudian Bremner dan Rudin (1993)
menambahkan bahwa peroksida organik memiliki peranan penting sebagai
inisiator dari mekanisme degradasi radikal bebas dalam polietilen untuk
memodifikasi struktur dan sifat polimer. Satu dari sekian banyak peroksida
yang terkenal yaitu dikumil peroksida yang sangat efektif dalam
mengintroduksi cabang rantai panjang menjadi linear polietilen. Pada
konsentrasi rendah, dikumil peroksida mampu dengan baik mengubah
distribusi berat molekuler, sedangkan pada konsentrasi tinggi menyebabkan
terjadinya ikatan silang polietilen.
DCP memiliki karakteristik seperti dapat bertahan pada suhu tinggi
(180°C), memiliki sensitivitas oksigen yang rendah dibandingkan dengan
peroxide group carboxyl, serta sensitif terhadap asam. Tensile strength,
breaking elongation, dan modulus young dari komposit meningkat seiring
dengan peningkatan konsentrasi radikal inisiator, yaitu DCP yang optimal
(Febrianto, 1999).
H. SIFAT PLASTIK KOMPOSIT
Menurut Knapczyk dan Simon (1992), pengujian yang penting dari suatu
bahan polimer antara lain densitas, titik leleh (Tm), glass transition temperature
(Tg), reologi, konduktivitas, kekuatan tarik, permeabilitas gas, ketahanan terhadap
reaksi kimia, dan sebagainya.
1. Sifat Mekanik
Sifat mekanik suatu bahan berhubungan erat dengan struktur kimianya,
terutama struktur molekulnya. Struktur molekul yang mempengaruhi sifat
mekanik suatu bahan meliputi bentuk molekul, kekompakan molekul,
kristalinitas, kekuatan ikatan molekul, dan gaya antarmolekul (Allcock dan
Lampe, 1981).
Sifat mekanik sangat diperlukan peranannya dalam melindungi produk
dari faktor-faktor mekanis seperti tekanan fisik (jatuh dan gesekan), adanya
getaran, serta benturan antara bahan dengan alat atau wadah selama
penyimpanan/distribusinya. Sifat mekanik ini tergantung pada jenis bahan
pembentuknya, terutama sifat kohesinya. Sifat ini merupakan hasil
kemampuan polimer untuk membentuk ikatan-ikatan molekul yang kuat dan
kokoh (Gontard dan Guilbert, 1992).
Kuat tarik merupakan salah satu sifat mekanik dari bahan. Kekuatan tarik
menggambarkan ketegangan maksimum spesimen untuk menahan gaya yang
diberikan (Billmeyer, 1984). Stevens (2007) menambahkan bahwa kuat tarik
merupakan ukuran besarnya beban atau gaya yang dapat ditahan sebelum
suatu contoh rusak atau putus. Kekuatan tarik timbul sebagai reaksi dari
ikatan polimer antara atom-atom atau ikatan sekunder antara rantai polimer
terhadap gaya luar yang diberikan (Van, 1991). Kekuatan tarik diukur dengan
menarik polimer pada dimensi yang seragam.
Pengujian kuat tarik akan menghasilkan kurva tegangan
(stress-strain). Informasi yang diperoleh dari kurva tegangan
polimer adalah kekuatan tarik saat putus (
saat putus (elongation at break
dapat dipengaruhi oleh bahan pemlastis yang ditambahkan dalam proses
pembuatan film, sedangkan perpanjangan putus adalah perubahan panjang
maksimum yang diala
Perpanjangan tarik (ε,
dihasilkan oleh ukuran tertentu panjang spesimen akibat gaya yang diberikan
(Billmeyer, 1984). Suatu kurva tegangan
termoplastik memperlihatkan tegangan tarik dan perpanjangan putus, yaitu
pada mulanya tinggi sampai mencapai
terdeformasi. Sebelum titik deformasi tersebut, perpanjangan masih dapat
balik dan setelah sampai pada titik
selanjutnya sampel tersebut patah pada titik
menyajikan kurva tegangan
polimer.
Gambar 8. a) Kurva tegangan
stresscnrc.gc.ca
Berdasarkan Gambar 8
(Gambar 8a), elastisitas akan terus meningkat dari titik no
suatu titik hingga plastik mengalami deformasi. Sebelum mencapai titik
deformasi tersebut, plastik masih mempunyai kemampuan untuk kembal
bentuk asalnya. Namun
Perpanjangan pada deformasi
Tegangan deformasi
Perpanjangan saat putus
tega
ngan
regangan
Pengujian kuat tarik akan menghasilkan kurva tegangan
). Informasi yang diperoleh dari kurva tegangan-
polimer adalah kekuatan tarik saat putus (ultimate strength) dan perpanjangan
elongation at break) dari bahan (Billmeyer, 1971). Kuat tarik
dapat dipengaruhi oleh bahan pemlastis yang ditambahkan dalam proses
pembuatan film, sedangkan perpanjangan putus adalah perubahan panjang
maksimum yang dialami plastik pada saat pengujian kuat tarik.
Perpanjangan tarik (ε, elongation) adalah perubahan panjang contoh yang
an oleh ukuran tertentu panjang spesimen akibat gaya yang diberikan
(Billmeyer, 1984). Suatu kurva tegangan-regangan yang umum untuk bahan
memperlihatkan tegangan tarik dan perpanjangan putus, yaitu
pada mulanya tinggi sampai mencapai suatu titik hingga plastik tersebut
terdeformasi. Sebelum titik deformasi tersebut, perpanjangan masih dapat
balik dan setelah sampai pada titik yield, perpanjangan tidak dapat balik yang
selanjutnya sampel tersebut patah pada titik break. Gambar 8 di bawa
menyajikan kurva tegangan-regangan pada plastik dan empat tipe material
Gambar 8. a) Kurva tegangan-regangan (stress-strain) plastik stress-strain untuk empat tipe material polimer (cnrc.gc.ca)
Berdasarkan Gambar 8 di atas, pada kurva tegangan-regangan
(Gambar 8a), elastisitas akan terus meningkat dari titik nol hingga mencapai
suatu titik hingga plastik mengalami deformasi. Sebelum mencapai titik
deformasi tersebut, plastik masih mempunyai kemampuan untuk kembal
bentuk asalnya. Namun, apabila telah mencapai titik deformasi, maka plastik
Keras dan rapuh
Keras dan kuat
Keras dan liat
regangan
tega
ngan
Perpanjangan pada deformasi
Kekuatan tarik saat putus
Perpanjangan saat putus
Pengujian kuat tarik akan menghasilkan kurva tegangan-regangan
-regangan untuk
) dan perpanjangan
yer, 1971). Kuat tarik
dapat dipengaruhi oleh bahan pemlastis yang ditambahkan dalam proses
pembuatan film, sedangkan perpanjangan putus adalah perubahan panjang
mi plastik pada saat pengujian kuat tarik.
han panjang contoh yang
an oleh ukuran tertentu panjang spesimen akibat gaya yang diberikan
g umum untuk bahan
memperlihatkan tegangan tarik dan perpanjangan putus, yaitu
suatu titik hingga plastik tersebut
terdeformasi. Sebelum titik deformasi tersebut, perpanjangan masih dapat
, perpanjangan tidak dapat balik yang
Gambar 8 di bawah ini
regangan pada plastik dan empat tipe material
) plastik dan b) Kurva strain untuk empat tipe material polimer (http://www.nrc-
regangan plastik
l hingga mencapai
suatu titik hingga plastik mengalami deformasi. Sebelum mencapai titik
deformasi tersebut, plastik masih mempunyai kemampuan untuk kembali ke
, apabila telah mencapai titik deformasi, maka plastik
Keras dan rapuh
Keras dan kuat
Lunak dan liat
Keras dan liat
tersebut telah mencapai kondisi yield (maksimum) perpanjangan hingga pada
akhirnya plastik akan patah pada titik break. Titik awal dimulainya grafik
elastisitas hingga mencapai titik break dinamakan sebagai perpanjangan pada
patah. Gambar 8b menunjukkan grafik tegangan-regangan untuk empat tipe
material polimer. Karakteristik sifat stress-strain beberapa polimer disajikan
pada Tabel 11 berikut.
Tabel 11. Karakteristik Sifat Stress-Strain Beberapa Polimer
Contoh dan katakteristik
bahan polimer
Tipe bahan polimer
keras & rapuh
keras & kuat
keras & liat
lunak & liat
PS, PMMA, Phenolics
Rigid PVC, PS poly-blends
PE, PTFE Flexible PVC,
Rubbers Modulus Tinggi Tinggi Tinggi Rendah
Yield Stress - Tinggi Tinggi Rendah
Ultimate Strength Sedang Tinggi Tinggi Sedang
Elongation at Break
Rendah Sedang Tinggi Tinggi
Keterangan : PS = polystyrene; PMMA = poly(methyl methacrylate); PVC = poly(vinyl chloride); PE = polyethylene; PTFE = polytetrafluoroethylene.
Sumber : http://www.nrc-cnrc.gc.ca
2. Sifat Termal
Analisis termal mengacu pada ASTM D-3418 yang menyediakan metode
untuk mengukur transisi dari morfologi atau perubahan kimia dalam suatu
polimer pada saat dipanaskan atau didinginkan melalui perubahan suhu yang
spesifik. Perubahan dalam kapasitas panas, aliran panas, dan suhu
menentukan transisi tersebut. Differential Scanning Calorimetry (DSC)
digunakan untuk membantu mengidentifikasikan polimer tertentu yang
spesifik, polimer alloys, dan polimer yang telah diberi aditif tertentu yang
ketiganya mempunyai transisi termal. Reaksi kimia yang disebabkan oleh
transisi tertentu telah diukur dengan teknik utama ini, seperti reaksi oksidasi,
resin termoseting yang dibarukan, dan dekomposisi termal. Metode ini dapat
diaplikasikan pada polimer dalam bentuk granula atau bentuk lainnya di mana
dapat dilakukan preparasi pemotongan pada spesimen tersebut.
Sifat termal yang dianalisis adalah suhu pelelehan (melting point, Tm)
dan suhu transisi gelas (glass transition temperature, Tg). Tg dan Tm
merupakan sifat termal yang penting untuk dianalisis guna mengetahui
kemampuan proses suatu polimer. Menurut Allcock dan Lampe (1981), Tg
merupakan suhu peralihan dari bentuk kaca ke karet (rubber) untuk polimer
amorf atau pealihan dari kaca ke termoplastik untuk polimer kristalin,
sedangkan Tm merupakan suhu dimana polimer berubah bentuk menjadi cair
(liquid). DSC mengukur sejumlah energi (panas) yang diserap atau
dilepaskan oleh suatu sampel ketika dipanaskan, didinginkan, atau didiamkan
pada suhu konstan.
3. Biodegradabilitas
Biodegradasi adalah penurunan sifat-sifat dikarenakan aksi
mikroorganisme alam seperti bakteri dan fungi. Biasanya disebabkan adanya
serangan kimia oleh enzim yang dihasilkan oleh mikroorganisme sehingga
dapat menyebabkan pemutusan rantai polimer (Alger, 1990). Menurut ASTM
D-5488-84d, biodegradable berarti mampu diurai menjadi gas
karbondioksida, metana, air, inorganic compounds atau biomassa dimana
mekanisme yang utama adalah karena aktivitas enzim yang dihasilkan oleh
suatu organisme.
Di dalam tanah terdapat berbagai macam komponen organik, anorganik,
dan mikroorganisme. Mikroorganisme memiliki peranan penting dalam
penguraian semua material organik termasuk biopolimer. Mikroorganisme
yang mempunyai peranan dalam perombakan bahan-bahan organik kompleks
menjadi senyawa yang lebih sederhana antara lain bakteri, fungi, dan
aktinomisetes (Schnabel, 1981).
Biodegradabilitas plastik tergantung pada struktur kimia materialnya dan
konstitusi dari produk akhirnya, bukan hanya bahan baku untuk
pembuatannya. Oleh karena itu plastik biodegradabel dapat berbasis bahan
alami maupun resin sintetis. Plastik biodegradabel alami terutama berasal dari
sumber daya terbarukan (misalnya pati). Plastik biodegradabel sintetis berasal
dari sumber daya tak terbarukan, yaitu minyak bumi (NIRR, 2006).
Pengujian biodegradasi dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan
metode penguburan tanah dan degradasi mikrobial dengan mikroorganisme.
Biodegradasi dalam lingkungan dapat dideskripsikan dengan persamaan
kimia seperti berikut (Mark, 1985) :
Polimer + O2 CO2 + H2O + biomassa + residu
III. METODOLOGI PENELITIAN
A. BAHAN DAN ALAT
1. Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi : bahan baku
pembuatan pati termoplastis yang terdiri dari tapioka dan onggok hasil
produksi masyarakat Cimahpar (Kabupaten Bogor) yang diolah secara
tradisional dengan pengeringan sinar matahari, gliserol dan air sebagai zat
pemlastis; serta bahan baku pembuatan plastik komposit (compatibilized
plastic) yang terdiri dari polietilen jenis HDPE dalam bentuk resin yang
berasal dari PT. Super Exim Sari, pati termoplastis, maleat anhidrida (MA)
sebagai compatibilizer, serta dikumil peroksida (DCP) sebagai inisiator.
Adapun bahan-bahan yang digunakan dalam analisis meliputi : akuades,
alkohol/etanol, kapang Aspergillus niger dan Penicillium sp., enzim selulase
dan α-amilase, H2SO4, NaOH, indikator phenolphtalein (PP), indikator kanji,
larutan HCl, Luff Schroll, larutan KI, sodium tiosulfat, larutan buffer
phosphate pH 7.0, asam asetat, larutan iod, larutan DNS,dan media PDA.
2. Alat
Alat yang digunakan dalam pembuatan pati termoplastis terdiri dari
rheocord mixer (rheomix) 3000 HAAKE dengan kapasitas 200-250 gram dan
open mill, sedangkan untuk pembuatan plastik komposit digunakan alat
rheocord mixer (rheomix) 3000 HAAKE dan ekstruder dua ulir simulator
dengan spesifikasi : panjang barrel 30 cm, diameter ulir 30 mm, serta
kecepatan rotor maksimum 150 rpm.
Alat yang digunakan untuk karakterisasi plastik meliputi : Hydraulic
Heat Press untuk pembuatan spesimen uji kuat tarik dan biodegradabilitas;
Universal Testing Machine (UTM) untuk pengujian kuat tarik dan elongasi;
mikroskop cahaya terpolarisasi untuk pengamatan sifat birefringent pati
termoplastis; Differential Scanning Calorimeter (DSC) untuk analisis sifat
termal plastik komposit; waterbath shaker dan spektrofotometer untuk
pengujian biodegradabilitas secara kuantitatif menggunakan enzim; serta
cleanbench, autoclave, dan inkubator untuk pengujian biodegradabilitas
secara kualitatif.
Peralatan yang digunakan dalam analisis terdiri dari cawan aluminium,
cawan porselen, oven, tanur, desikator, kertas saring, autoclave, soxhlet, labu
ukur, erlenmeyer, gelas piala, pipet, penyaring vakum, magnetik stirrer,
penangas air, bunsen, dan cawan petri.
B. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN
Penelitian ini telah dilakukan sejak bulan Februari - Desember 2009 dengan
bertempat pada :
1. Laboratorium Teknologi Kimia, Laboratorium Bioindustri, Laboratorium
Instrument, dan Laboratorium Pengawasan Mutu - Departemen Teknologi
Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
2. Laboratorium Polimer, Laboratorium and Technical Services -
PERTAMINA, Jakarta.
C. METODE PENELITIAN
Penelitian ini terdiri atas beberapa tahap yang meliputi : persiapan dan
karakterisasi awal bahan baku plastik komposit, pembuatan pati termoplastis,
proses pencampuran antara pati termoplastis dan comptatibilized HDPE, serta
analisis produk akhir untuk mengetahui karakteristik plastik komposit yang
dihasilkan.
1. Persiapan dan Karakterisasi Awal Bahan
Persiapan awal bahan dilakukan dengan tujuan memperoleh kondisi
bahan (tapioka dan onggok) yang baik, sementara karakterisasi awal
dilakukan untuk mengetahui karakteristik awal bahan sebelum dilakukan
proses pembuatan pati termoplastis dan pencampuran dengan compatibilized
HDPE. Tahap persiapan bahan meliputi pengeringan tapioka dan onggok
dengan penjemuran hingga diperoleh kadar air 6%-10%. Bahan yang telah
dikeringkan kemudian dikecilkan ukurannya hingga lolos saringan 200 mesh.
Pengecilan ukuran ini dilakukan dengan tujuan agar pencampuran
berlangsung lebih homogen.
Karakterisasi awal bahan yang dilakukan meliputi analisis proksimat
(kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, dan kadar karbohidrat by
difference), analisis bilangan asam, kadar serat kasar, kadar pati, kadar
amilosa dan amilopektin, serta bentuk dan ukuran granula pati. Prosedur
analisis yang dilakukan pada penelitian ini dapat dilihat pada Lampiran 1.
2. Pembuatan Pati Termoplastis
Pada tahap pembuatan pati termoplastis ini dilakukan pencampuran
antara tapioka dan onggok dengan zat pemlastis yaitu gliserol sebanyak 15%
dan 20% dari bobot pati dan akuades hingga kadar air pati mencapai 25% dari
bobot pati kering. Pencampuran secara merata antara fase cair zat pemlastis
dilakukan terlebih dahulu selama 5 menit, kemudian dilanjutkan dengan
mencampur fase cair tersebut dengan masing-masing tapioka dan onggok
secara homogen selama 45 menit. Setelah campuran homogen, dilakukan
pemeraman (aging) selama 4 hari. Selanjutnya, dilakukan proses mixing
menggunakan alat rheomix 3000 HAAKE dengan suhu 90°C, kecepatan rotor
100 rpm, selama 8 menit. Pati termoplastis yang terbentuk masih berupa
bongkahan sehingga perlu dilakukan pengecilan ukuran berbentuk pelet
dengan alat open mill. Pelet ini yang selanjutnya digunakan dalam pembuatan
plastik komposit. Proses pembuatan pati termoplastis ini merupakan
modifikasi dari metode Zhang et al., (2007).
Pada tahap ini juga dilakukan modifikasi resin HDPE dengan
penambahan 1% maleat anhidrida (MA) sebagai compatibilizer dan 0,1%
dikumil peroksida (DCP) sebagai inisiator. Proses ini dilakukan
menggunakan alat ekstruder dua ulir simulator dengan kecepatan rotor 10
rpm dan suhu 180°C yang merupakan suhu bereaksinya MA. HDPE yang
telah dimodifikasi kemudian langsung dipotong menjadi pelet-pelet kecil
(diameter 2 mm dan panjang 2-3mm) menggunakan pelletizer yang
dihubungkan dengan ektruder. Pelet ini selanjutnya dikeringkan terlebih
dahulu di dalam oven bersuhu 90°C selama 15 menit untuk menguapkan air
selama proses pendinginan setelah keluar dari ekstruder.
3. Pencampuran Pati Termoplastis dan Compatibilized HDPE
Pencampuran antara pelet pati termoplastis dengan compatibilized HDPE
pada tahap ini dilakukan untuk menghasilkan plastik komposit. Modifikasi
pencampuran (berdasarkan metode yang digunakan oleh Huneault dan Li,
2007) dilakukan pada komposisi pati termoplastis dan compatibilized HDPE
sebesar 20% : 80%. Proses pencampuran dilakukan menggunakan alat
rheomix 3000 HAAKE pada suhu 210°C, kecepatan rotor 100 rpm, dengan
waktu 3 menit. Plastik komposit yang terbentuk masih berupa bongkahan
sehingga perlu dilakukan pengecilan ukuran berbentuk pelet. Pelet ini yang
selanjutnya digunakan dalam analisis sifat plastik komposit.
Percobaan dilakukan dengan mengamati pengaruh bahan (tapioka dan
onggok) serta komposisi gliserol yang digunakan terhadap karakteristik
plastik komposit yang dihasilkan. Percobaan dilakukan dengan dua kali
ulangan.
4. Analisis Sifat Plastik Komposit
Analisis ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui karakteristik
plastik komposit yang telah dihasilkan. Analisis yang dilakukan meliputi :
a. Analisis Sifat Mekanik sesuai dengan ASTM D-638 (1991) berupa
pengujian kuat tarik dan elongasi menggunakan alat Universal Testing
Machine (UTM).
b. Analisis Sifat Termal sesuai dengan ASTM D-3418 (1991) berupa
pengujian suhu pelelehan (Tm) dan transisi gelas (Tg) menggunakan alat
Differential Scanning Calorimeter (DSC).
c. Analisis Biodegradabilitas dengan modifikasi ASTM G-2170 (1980)
menggunakan kapang Aspergillus niger dan Penicillium sp. serta enzim
selulase dan α-amilase.
Prosedur analisis dapat dilihat pada Lampiran 2. Gambar 9 berikut
menyajikan diagram alir metode penelitian yang dilakukan.
Akuad(hingga ka
menjadi 2
Resin HDPE murni
Gliserol (15% dan 20%)
Pati tapioka dan onggok
0,1% Dikumil peroksida
1% Maleat idrida
camp(45 m encam
Pencampfase ca
Penuran ir
es dar air 5%)
Pelet compt.HDPE
Pelet pati termoplastis
aging
fisi
Analisis biodegradabilitas
Analisis sifat termal (DSC)
Analisis sifat mekanik (kuat tarik dan elongasi)
Karakterisasi plastik komposit
Pengecilan ukuran
Pembuatan plastik komposit (rheomix, 210°C, 100 rpm,
3 menit)
Pencampuran fisik (PT : CH = 20% : 80%)
Pengeringan pelet (oven, 90°C, 15 menit)
Pengecilan ukuran
Pengecilan ukurananh puran
k
uran fisik enit,
4 hari) P
Pembuatan pati termoplastis
(rheomix, 90°C, 100 rpm, 8 menit)
Pembuatan compatibilized HDPE
(extruder, 180°C, 10 rpm, 3 menit)
Gambar 9. Diagram alir metode penelitian
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Plastik merupakan polimer yang banyak diaplikasikan secara global oleh
manusia karena berbagai keunggulannya. Namun permasalahan kemudian muncul
ketika plastik telah dibuang ke lingkungan dan tidak dapat terdegradasi karena
sifatnya yang ‘abadi’, sementara penggunaannya semakin meningkat dari tahun ke
tahun. Limbah plastik telah menjadi sumber pencemaran lingkungan yang hingga
saat ini belum ditangani secara optimal. Banyaknya limbah ini pun menjadi salah
satu pemicu meningkatnya pemanasan global.
Salah satu upaya untuk mereduksi dampak negatif yang ditimbulkan akibat
plastik sintetis adalah dengan mencari alternatif bahan baku plastik yang lebih
ramah lingkungan. Pengembangan plastik biodegradabel berbasiskan pati
merupakan salah satu alternatif untuk memecahkan permasalahan ini serta
diharapkan mampu meningkatkan nilai tambah produk pertanian lokal.
Polimer alami dapat menggantikan kegunaan polimer sintetik melalui
beberapa modifikasi kimia maupun fisik untuk memperbaiki sifat-sifatnya dan
lebih dapat didegradasi bila dibuang ke lingkungan. Keuntungan lain dari bahan
baku alami ini adalah sifatnya yang terbarukan sehingga keberadaannya di alam
dapat terus dilestarikan serta harganya terjangkau. Namun dalam aplikasinya,
polimer alami memiliki kelemahan pada rendahnya sifat mekanis. Oleh karena itu,
dilakukan pencampuran antara polimer alami dalam hal ini pati termoplastis
dengan polimer sintetis (HDPE) dengan tujuan memperbaiki kelemahan sifat
mekanis pada polimer alami serta ketidakmampuan terdegradasi pada polimer
sintetis.
Perbedaan sifat yang berlawanan antara polimer alami dan sintetis
menyebabkan perlunya suatu zat dan proses modifikasi yang dapat menjembatani
pencampuran keduanya. Oleh karena itulah digunakan compatibilizer sehingga
keduanya dapat bercampur dengan baik. Analisis karakteristik plastik komposit
yang dihasilkan dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui sifat mekanik, termal,
dan biodegradabilitasnya.
A. Karakterisasi Tapioka dan Onggok
1. Mutu Tapioka
Tapioka memiliki peranan penting sebagai salah satu bahan pangan
tradisional sumber karbohidrat utama yang banyak dimanfaatkan secara luas oleh
masyarakat Indonesia. Tapioka juga digunakan sebagai bahan baku industri lain
sehingga mutunya harus memenuhi standar yang telah ditetapkan. Analisis mutu
dilakukan berdasarkan kriteria standar mutu untuk tapioka di Indonesia yang
diatur dalam SNI 01-3451-1994, yaitu meliputi pengujian kadar air, kadar abu,
kadar serat kasar, derajat asam, dan lolos saringan 80 mesh. Hasil analisis mutu
tapioka secara rinci dapat dilihat pada Tabel 12.
Tabel 12. Karakterisasi Mutu Tapioka Hasil Penelitian
Kriteria SNI 01-3451-1994 Hasil Analisis
Kadar air (%) Maks. 15,0 8,57
Kadar abu (%) Maks. 0,6 0,09
Kadar serat kasar (%) Maks. 0,6 0,085
Derajat asam (ml NaOH 0,1 N/g bahan)
Maks. 3,0 2,3
Lolos saringan 80 mesh (%) - 100
Proses pengolahan ubi kayu menjadi tapioka sangat menentukan mutu tapioka
yang dihasilkan. Ekstraksi tapioka di Indonesia umumnya dilakukan oleh
pengrajin industri kecil dengan metode konvensional dan peralatan sederhana.
Pengeringan pati dilakukan dengan penjemuran di bawah sinar matahari. Tahap
ini sangat menentukan mutu akhir pati yang dihasilkan. Pati merupakan bahan
kering yang rentan mengalami perubahan kadar air selama penyimpanan karena
sifatnya yang mudah menyerap uap air (hidrofilik). Apabila pengeringan tidak
optimal, pati masih lembab, atau kadar air pada bahan masih tinggi, maka bahan
akan rentan mengalami kerusakan akibat tumbuhnya kapang dan timbulnya bau
asam selama penyimpanan.
Hasil analisis kadar air menunjukkan bahwa tapioka telah memenuhi SNI
yaitu sebesar 8,57% dari persyaratan maksimal 15%. Hal ini membuktikan bahwa
proses pengeringan dan penyimpanan tapioka telah dilakukan dengan baik.
Swinkels (1985) menyatakan bahwa dalam kondisi atmosfer normal, kebanyakan
pati komersial mengandung 10-20% air. Tingkat kelembaban yang terlalu tinggi
pada tempat penyimpanan dapat mengakibatkan kadar air meningkat karena pati
menyerap uap air dari lingkungan, sementara kelembaban yang terlalu rendah
akan menyebabkan kadar air semakin menurun karena pati mengeluarkan uap air.
Menurut Favis et al. (2005), kadar air pada bahan akan mempengaruhi
interaksi interfacial antara pati dengan polimer. Kadar air yang tinggi akan
menyebabkan pati teraglomerasi dan menimbulkan efek negatif terhadap interaksi
interfacial antara pati dan polimer. Sebaliknya, kadar air yang rendah akan
mengurangi aglomerasi granula pati selama proses pencampuran fisik. Air yang
berlebih pada tahap pembuatan pati termoplastis akan menimbulkan gelembung
pada produk sehingga menurunkan sifat mekanisnya. Tingginya kadar air di
dalam pati juga akan memicu terjadinya proses hidrolisis pati menjadi molekul-
molekul glukosa, baik secara kimiawi maupun enzimatis.
Kadar abu menunjukkan kandungan bahan anorganik yang terkandung dalam
pati. Abu tersebut dapat berasal dari mineral yang terkandung di dalam pati
maupun zat asing yang terikut dalam proses ekstraksi pati. Berdasarkan hasil
analisis, kadar abu tapioka telah memenuhi SNI yaitu sebesar 0,09% dari
persyaratan maksimal 0,6%. Hal ini menunjukkan bahwa tapioka mempunyai
kualitas yang baik.
Kadar serat kasar tapioka hasil analisis sebesar 0,085% telah memenuhi SNI
(maksimal 0,6%). Hal ini berarti bahwa proses ekstraksi tapioka telah dilakukan
dengan baik. Corradini et al. (2007) menyatakan bahwa adanya serat pada pati
akan memberikan pengaruh positif terhadap sifat mekanik plastik komposit yang
dihasilkan.
Nilai derajat asam pati hasil analisis sebesar 2,3 ml NaOH 0,1N/g bahan
menunjukkan bahwa mutu pati yang diuji sesuai dengan SNI. Hal ini berarti
tapioka memenuhi mutu dan berada dalam kondisi yang baik. Tingginya nilai
derajat asam menunjukkan tingginya kerusakan akibat proses hidrolisis pada pati.
Hasil pengujian lolos saringan 80 mesh menunjukkan bahwa tapioka
seluruhnya mempunyai ukuran partikel yang lebih kecil dari 80 mesh. Hal ini
disebabkan oleh adanya perlakuan pendahuluan yaitu pengecilan ukuran hingga
200 mesh yang dilakukan terhadap tapioka sebelum analisis dilakukan. Pengecilan
ukuran ini bertujuan untuk menyeragamkan ukuran partikel pati serta agar
pencampuran antara pati dengan polimer sintetis berlangsung homogen. Semakin
kecil ukuran partikel pati, penyebaran partikel di dalam polimer akan lebih
homogen sehingga memberikan pengaruh positif terhadap sifat mekanik plastik
komposit yang dihasilkan.
2. Mutu Onggok
Hasil analisis mutu onggok menunjukkan nilai berbeda-beda. Hal ini dapat
disebabkan oleh kandungan pati dalam onggok sangat tergantung pada varietas
dan mutu ubi kayu yang diolah menjadi tapioka, efisiensi proses ekstraksi tapioka,
serta penanganan onggok (Anonim, 1984). Hasil analisis mutu onggok disajikan
pada Tabel 13 berikut.
Tabel 13. Karakteristik Onggok Hasil Penelitian
Parameter Pustaka Hasil
Analisis a b
Kadar air (% bb) 16,86 13,39 6.71
Kadar abu (% bk) 8,50 4,90 3.37
Kadar serat kasar (% bk) 8,14 11,02 33.80
Kehalusan / Lolos saringan 80 mesh (%) - - 100
a) Tjiptadi (1982) b) Anonim (1984)
Berdasarkan data pada Tabel 13 tersebut, dapat diamati bahwa kadar air
onggok hasil analisis jauh lebih kecil dibandingkan dengan kedua pustaka.
Rendahnya kadar air onggok hasil analisis ini disebabkan oleh proses pengeringan
yang dilakukan sebelum onggok diuji. Hal ini dilakukan agar onggok tidak mudah
rusak selama penyimpanan serta aglomerasi dengan polimer dapat berlangsung
dengan baik.
Kadar abu onggok hasil analisis memiliki nilai yang lebih kecil dibandingkan
dengan kedua literatur. Hal ini menunjukkan bahwa kandungan zat anorganik dan
benda asing dalam onggok yang digunakan sangat sedikit, sehingga dapat
dikatakan bahwa kualitas onggok yang diuji cukup baik.
Kandungan serat pada onggok yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah
cukup besar, yaitu 33,80%. Sebagai hasil samping dalam produksi tapioka,
onggok masih mengandung serat dalam jumlah banyak sehingga sering
dimanfaatkan sebagai sumber selulosa dalam industri pakan ternak. Dalam
pembuatan plastik komposit, adanya komponen serat pada onggok akan
mempengaruhi sifat mekanik yang dihasilkan. Komponen serat dalam material
pati berperan dalam memberikan sifat mekanik yang kuat.
3. Komponen Fisiko-Kimia Tapioka dan Onggok
Analisis sifat fisiko-kimia tapioka dan onggok dilakukan untuk mengetahui
kadar komponen-komponen yang berpengaruh terhadap proses selanjutnya, yaitu
pembuatan tapioka dan onggok termoplastis serta pencampuran dengan resin
HDPE. Nilai masing-masing komponen disajikan pada Tabel 14 berikut.
Tabel 14. Komponen Kimia Tapioka dan Onggok
Komponen Tapioka Onggok
Pati (% b/k) 85,74 22,25
Amilosa (%) 27,98 19,90
Lemak (%) 0,045 0,17
Protein (%) 0,23 1,50
Berdasarkan tabel hasil analisis di atas, dapat diketahui bahwa kadar pati pada
tapioka yang digunakan cukup tinggi (85,74%), sementara kadar pati pada onggok
lebih rendah (22,25%). Rendahnya kadar pati pada onggok ini menunjukkan
bahwa proses ekstraksi pati telah berlangsung baik dan efisien sehingga residu
atau limbah padat yang dihasilkan tidak terlalu banyak mengandung pati.
Pati terdiri dari dua komponen utama, yaitu komponen mayor (amilosa dan
amilopektin) serta komponen minor (lemak dan protein). Hasil analisis kadar
amilosa pada tapioka menunjukkan nilai yang cukup tinggi yaitu 27,98%,
sementara pada onggok kadar amilosanya lebih rendah, yaitu sebesar 19,90%.
Menurut Thomas dan Atwell (1999), kandungan amilosa yang tinggi pada pati
memiliki kecenderungan untuk membentuk film yang kuat dibandingkan dengan
amilopektin. Untuk membentuk film dan gel yang kuat harus digunakan pati
dengan kandungan amilosa yang tinggi.
Film amilosa tahan terhadap beberapa pelarut, minyak pelumas, dan
mempunyai sifat yang tidak tembus oksigen. Sifat fisik campuran pati dengan
HDPE sebagian besar akan dipengaruhi oleh jumlah rasio amilosa dan
amilopektin yang terkandung di dalamnya. Menurut Nisperos-Carriedo (1994) di
dalam Krochta dan McHugh (1994), aplikasi yang membutuhkan viskositas,
stabilitas, dan kekuatan mengental yang tinggi, digunakan pati dengan kandungan
amilopektin yang tinggi, sedangkan untuk membentuk film dan gel yang kuat,
digunakan pati dengan kandungan amilosa yang tinggi.
Berdasarkan data hasil analisis, diketahui bahwa kadar lemak dan protein
pada tapioka lebih rendah dibandingkan kadar lemak dan protein pada onggok.
Nilai kadar lemak dan protein pada tapioka sebesar 0,045% dan 0,23%, sedangkan
kadar lemak dan protein pada onggok yaitu 0,17% dan 1,5%. Menurut Banks dan
Greenwood (1975), komponen minor atau komponen antara yang menyusun pati
terdiri dari protein dan lemak yang biasanya terdapat dalam jumlah 5%-10% dari
berat total. Namun jumlah yang kecil tersebut memberikan pengaruh yang besar
terhadap sifat fungsional pati. Semakin sedikit kandungan lemak dan protein di
dalam pati, semakin baik pula kualitas pati tersebut. Adanya komponen lemak dan
protein pada pati akan memberikan sifat hidrofobik di sekeliling granula sehingga
menyebabkan terhambatnya pengikatan air oleh granula pati. Hal ini akan
mempengaruhi hasil pencampuran dengan compt.HDPE karena membuat pati
menjadi hidrofobik sehingga kadar air yang diinginkan sulit tercapai.
B. Pembuatan Tapioka dan Onggok Termoplastis
Tapioka dan onggok termoplastis dibuat dengan memberikan perlakuan panas
tinggi disertai gesekan yang tinggi pula terhadap bahan selama waktu tertentu.
Selama proses termoplastisasi, air akan masuk ke dalam pati dan bahan pemlastis
membentuk ikatan hidrogen dengan pati sehingga terjadi reaksi antara gugus
hidroksil dan molekul pati dimana pati tersebut akan menjadi lebih plastis.
Proses termoplastisasi dilakukan menggunakan alat rheomix 3000 HAAKE
dengan kondisi suhu 90°C, kecepatan rotor 100 rpm, dan waktu 8 menit. Bahan
pemlastis yang ditambahkan yaitu air dan gliserol masuk ke dalam molekul pati
lalu akan membentuk suatu bantalan di dalam molekul pati tersebut sehingga
membuat pati menjadi plastis. Bahan pemlastis juga berfungsi melindungi
molekul pati sehingga membuat pati lebih tahan panas dan tahan gesekan saat
pemrosesan dalam kondisi suhu dan gesekan tinggi.
Pembuatan pati termoplastis dengan kadar air rendah dan tingkat
destrukturisasi tinggi akan menyebabkan pati menjadi plastis, meleleh, dan
mengalami depolimerisasi. Akibat dari terganggunya pati ini adalah granula tidak
lagi bersifat semikristalin tetapi berubah menjadi amorf karena rusaknya ikatan
hidrogen antar molekul pati tersebut. Gambar 10 di bawah ini menunjukkan
penampakan granula pati di bawah mikroskop cahaya setelah mengalami
termoplastisasi. Gambar granula tapioka termoplastis di bawah mikroskop cahaya
dan cahaya terpolarisasi ditunjukkan pada Gambar 10 (a) dan (b), sedangkan
gambar granula onggok termoplastis di bawah mikroskop cahaya dan cahaya
terpolarisasi ditunjukkan pada Gambar 10 (c) dan (d) berikut.
Keterangan :
a) Tapioka termoplastis+gliserol 20% menggunakan mikroskop cahaya b) Tapioka termoplastis+gliserol 20% menggunakan mikroskop cahaya terpolarisasi c) Onggok termoplastis+gliserol 20% menggunakan mikroskop cahaya d) Onggok termoplastis+gliserol 20% menggunakan mikroskop cahaya terpolarisasi
G
ambar 10. Granula pati pada pati dan onggok tapioka termoplastis dengan perbesaran 200 x
d)
c)b)
a)Dari gambar tersebut terlihat bahwa bentuk granula pati tetap utuh dan tidak
kehilangan sifat birefringentnya. Pudarnya cahaya saat diberikan cahaya
terpolarisasi menunjukkan bahwa terjadi pengembangan granula namun tidak
sampai pecah. Hal ini disebabkan oleh adanya difusi bahan pemlastis ke dalam
granula.
Pada Gambar 10 (c) dan (d) dapat terlihat komponen serat yang terkandung di
dalam onggok berupa serabut panjang transparan. Kadar lemak dan protein yang
rendah pada kedua bahan memberikan efek positif karena tidak ada penghalang
absorbsi air dan gliserol ke dalam molekul granula pati sehingga sifat mekanik
plastik komposit yang dihasilkan pun lebih baik.
Dalam bentuk alami, granula pati memiliki sifat birefringent, yaitu
kemampuan merefleksikan cahaya terpolarisasi di bawah mikroskop yang
memperlihatkan adanya garis silang polarisasi berwarna hitam (Wurzburg, 1989).
Menurut Pomeranz (1991), garis silang polarisasi tersebut menunjukkan bahwa
granula pati memiliki daerah kristalin yang di dalamnya terdapat polimer-polimer
yang tersusun secara teratur.
Pada tahap ini tidak terjadi gelatinisasi pada granula pati walalupun suhu
yang digunakan melebihi suhu gelatinisasi tapioka. Hal ini disebabkan oleh
rendahnya kadar air di dalam pati dan air yang ada pada proses termoplastisasi ini
bukan berfungsi sebagai penjenuh molekul pati atau moisture content untuk
terjadinya gelatinisasi, melainkan sebagai bahan pemlastis dan lubrikan.
Berdasarkan Gambar 10 dapat dilihat adanya beberapa granula yang pecah.
Hal ini disebabkan beberapa molekul pati kurang mampu bertahan dalam kondisi
pemrosesan termoplastis. Pecahnya molekul pati ini akan berpengaruh terhadap
pencampuran pati termoplastis dengan polimer sintetis yang telah dimodifikasi
karena dapat menyebabkan sifat plastik menjadi rapuh.
Pada Gambar 10 juga terlihat bahwa sifat birefringent molekul pati pada
onggok termoplastis cenderung lebih rendah dibandingkan dengan molekul
tapioka yang terlihat masih mempertahankan sifat birefringentnya. Hal ini
disebabkan tingginya kadar amilopektin dan kandungan serat yang cukup tinggi
pada onggok yang mengganggu proses absorbsi bahan pemlastis ke dalam
molekul pati. Menurut Teixeira (2009), adanya serat atau selulosa pada onggok
mengakibatkan terakumulasinya bahan pemlastis di sekitar selulosa atau daerah
interfacial amilopektin. Fenomena ini dapat menganggu terbentuknya ikatan
hidrogen antara bahan pemlastis dan granula pati serta menghalangi transfer
tegangan (stress) pada permukaan atau pengisi matriks plastik. Akibatnya, plastik
komposit yang dihasilkan pun akan memiliki sifat mekanik yang kurang baik.
Komponen yang menyebabkan kristalinitas pati adalah amilopektin. Seiring
dengan meningkatnya kadar amilopektin pada pati, maka kristalinitasnya juga
akan meningkat (Eliasson dan Gudmundsson, 1996). Christianty (2009)
menambahkan bahwa dengan semakin rendahnya kristalinitas pati, menyebabkan
pati termoplastis lebih mudah untuk dicetak dan dibentuk.
C. Pencampuran Pati Termoplastis dengan Compatibilized HDPE
Sebagaimana telah dikemukakan di awal, pati termoplastis sebagai polimer
alami memiliki keunggulan dalam hal sifatnya yang terbarukan, dapat didegradasi,
dan harganya murah, sedangkan kelemahannya adalah pada rendahnya sifat
mekanik dan mikroskopis. Sementara itu, resin HDPE sebagai polimer sintetis
memiliki keunggulan dalam hal sifat mekaniknya, sedangkan kemampuan
degradasinya sangat rendah. Pencampuran pati termoplastis dilakukan dengan
tujuan untuk menutupi kelemahan masing-masing polimer sehingga diharapkan
akan dihasilkan plastik komposit yang memiliki kemampuan biodegradasi lebih
baik dibandingkan plastik sintetis dan memiliki sifat mekanik yang baik.
Sebelum dilakukan pencampuran, dilakukan proses modifikasi terhadap
HDPE yang akan digunakan. Modifikasi dilakukan dengan tujuan untuk
mengubah karakteristik HDPE agar dapat bercampur dengan pati termoplastis.
Modifikasi dilakukan dengan menambahkan 1% (dari bobot total) compatibilizer
maleat anhidrida dan 0,1% (dari bobot total) inisiator dikumil peroksida.
Polietilen bersifat nonpolar dan hidrofobik, sedangkan pati termoplastis bersifat
polar dan hidrofilik. Keduanya tidak akan bercampur dengan baik tanpa
penambahan compatibilizer. Maleat anhidrida yang ditambahkan berfungsi
memadukan kedua polimer yang tidak kompatibel tersebut menjadi campuran
yang stabil melalui ikatan intramolekuler (Mehta dan Jain, 2007).
Pencampuran antara pati termoplastis dengan compatibilized HDPE
dilakukan dengan komposisi pati termoplastis : compt.HDPE sebesar 20%:80%.
Gambar 11 berikut menunjukkan bahan yang digunakan dalam pencampuran
tersebut.
a) b) c)
Keterangan :
a) Tapioka termoplastis yang telah dilakukan pengecilan ukuran berbentuk pelet b) Compt. HDPE c) Onggok termoplastis yang telah dilakukan pengecilan ukuran berbentuk pelet
Gambar 11. Bahan baku pembuatan plastik komposit
Pengamatan dilakukan terhadap nilai torsi pada alat rheomix yang digunakan
dalam pencampuran. Nilai torsi menunjukkan berapa besar energi yang
dibutuhkan oleh alat untuk mencampurkan semua bahan secara homogen. Gambar
12 memperlihatkan kurva torsi yang terjadi selama proses pencampuran.
Berdasarkan kurva torsi tersebut, dapat dilihat bahwa terjadi peningkatan
maksimum energi pencampuran selama tahapan awal proses, kemudian akan
berangsur menjadi stabil setelah pencampuran berlangsung merata. Pada kurva
torsi pati tapioka termoplastis, komposisi gliserol sebanyak 15% dan 20%
menunjukkan pengaruh yang tidak signifikan. Hal ini terlihat dari besarnya
kisaran nilai torsi yang tidak jauh berbeda selama proses pencampuran. Sementara
pada kurva torsi onggok tapioka termoplastis, komposisi gliserol sebanyak 15%
dan 20% menunjukkan pengaruh yang cukup signifikan, dimana nilai torsi
onggok termoplastis dengan komposisi gliserol 20% terlihat lebih cepat mencapai
titik stabil. Hal ini disebabkan oleh kandungan bahan pemlastis yang lebih banyak
sehingga kelenturan bahan meningkat dan energi yang dihasilkan lebih sedikit
dibandingkan onggok termoplastis dengan komposisi gliserol lebih sedikit.
a)
b)
Gambar 12.Pengaruh jenis pati dan komposisi gliserol terhadap energi torsi selama pengadukan. a) Tapioka termoplastis dengan komposisi gliserol 15% dan 20% dan compt. HDPE, b) Onggok termoplastis dengan komposisi gliserol 15% dan 20% dan compt. HDPE.
Pada proses pencampuran ini terjadi perubahan warna plastik komposit
menjadi kecoklatan disebabkan oleh lamanya pencampuran yang mengakibatkan
pati dan serat terdegradasi. Lamanya pencampuran disebabkan oleh sifat pati yang
0
10
20
30
40
50
60
70
0 11 20 36 54 66 78 90 100 116 126 162 180
tapioka termoplastis+gliserol 15%
tapioka termoplastis+gliserol 20%
Tor
si (N
m)
Waktu pengadukan (detik)
0
10
20
30
40
50
60
70
0 11 20 36 54 66 78 90 100 116 126 162 180
onggok termoplastis+gliserol 15%
onggok termoplastis+gliserol 20%
Tor
si (N
m)
Waktu pengadukan (detik)
tidak memiliki kemampuan alir sehingga diperlukan waktu yang lama untuk
membuat campuran menjadi homogen. Molekul-molekul pada pati dan serat
terdegradasi menjadi komponen yang lebih kecil (gula-gula sederhana) yang
mengalami reaksi browning atau pencoklatan akibat dua kali pemanasan yang
dilakukan, yaitu pada saat pembuatan pati termoplastis (suhu 90°C) dan
pencampuran antara pati termoplastis dengan compt.HDPE (suhu 210°C). Gambar
13 berikut merupakan plastik komposit yang telah mengalami pengecilan ukuran.
Gambar 13. Pellet plastik komposit hasil pencampuran (a) compt.HDPE-tapioka termoplastis dan (b) compt.HDPE-onggok termoplastis
D. Karakteristik Plastik Komposit
Karakterisasi dilakukan untuk mengetahui kualitas plastik komposit yang
dihasilkan pada penelitian ini. Sifat plastik komposit yang dianalisis meliputi sifat
mekanik, sifat termal, biodegradabilitas, dan morfologi permukaannya.
1. Sifat Mekanik Plastik Komposit
Pengujian sifat mekanik berkaitan erat dengan aplikasi plastik. Karakterisasi
ini bertujuan untuk membandingkan pengaruh komposisi gliserol dan bahan yang
digunakan pada pati termoplastis. Sifat yang diuji meliputi kekuatan tarik dan
perpanjangan putus dengan prosedur kerja menurut ASTM D-638.
Kuat tarik adalah tegangan regangan maksimum yang dapat diterima sampel
(Surdia dan Saito, 1995), sedangkan elongasi adalah salah satu jenis deformasi
yang terjadi pada bahan akibat diberikan gaya. Hasil pengujian kuat tarik dan
perpanjangan putus plastik komposit disajikan pada Tabel 15 berikut.
Tabel 15. Hasil Analisis Sifat Mekanik Plastik Komposit
Keterangan
Tensile Stress At Yield (kg/cm2)
Elongation At Yield
(%)
Compt. Tapioka-HDPE
gliserol 15% 279,1233 4,8642
gliserol 20% 267,1329 3,5273
Compt. Onggok-HDPE
gliserol 15% 224,2146 2,0013
gliserol 20% 194,7437 2,0497
HDPE 291,8982 6,5186
Hasil pengujian kuat tarik dan elongasi menunjukkan bahwa sifat mekanik
semua plastik komposit lebih rendah dibandingkan polimer sintetis (HDPE)
murni. Nilai kuat tarik dan elongasi pada compt.tapioka-HDPE memberikan nilai
yang lebih besar dibandingkan compt.onggok-HDPE. Hal ini dipengaruhi oleh
kandungan serat pada onggok termoplastis dan kandungan amilosanya yang lebih
rendah dibandingkan dengan pati tapioka termoplastis. Teixeira (2009)
menyatakan adanya serat atau selulosa pada onggok (cassava bagasse)
mengakibatkan terakumulasinya bahan pemlastis di sekitar selulosa atau daerah
interfacial amilopektin. Fenomena ini dapat menganggu terbentuknya ikatan
hidrogen antara bahan pemlastis dan granula pati serta menghalangi transfer
tegangan (stress) pada permukaan atau pengisi matriks plastik. Akibatnya, plastik
komposit yang dihasilkan pun akan memiliki sifat mekanik yang kurang baik
karena bersifat rapuh (fragile).
Rendahnya kandungan amilosa pada onggok menunjukkan tingginya
kristalinitas pada onggok termoplastik. Seiring dengan menurunnya kadar
amilosa, kadar amilopektin meningkat, sehingga kristalinitasnya juga akan
meningkat (Eliasson dan Gudmundsson, 1996). Christianty (2009) menambahkan
bahwa semakin rendahnya kristalinitas pati menyebabkan pati termoplastis lebih
mudah untuk dicetak dan dibentuk. Karakteristik selulosa yang terdapat pada
onggok juga mendukung sifat kristalin plastik komposit. Di dalam serat terbentuk
mikrofibril yang sangat terkristal (high crystalline) di mana setiap rantai selulosa
diikat bersama-sama dengan ikatan hidrogen. Hal ini menyebabkan terganggunya
proses penyisipan oleh bahan pemlastis sehingga pencampuran dengan bahan
pemlastis menjadi kurang homogen. Sifat yang sangat kristalin ini menyebabkan
kekuatan tarik yang rendah karena plastik komposit yang dihasilkan bersifat getas
dan rapuh.
Data Tabel 15 menunjukkan adanya hubungan antara penambahan
konsentrasi gliserol dengan kekuatan tarik plastik komposit. Elastisitas akan
menurun seiring dengan meningkatnya jumlah bahan pemlastis dalam film.
Elastisitas adalah sifat benda yang mengalami perubahan bentuk atau deformasi
secara tidak permanen. Benda dapat dikatakan elastis sempurna artinya jika gaya
penyebab perubahan bentuk hilang, maka benda akan kembali ke bentuk semula.
Banyak benda yang bersifat elastis sempurna yaitu mempunyai batas-batas
deformasi yang disebut limit elastis sehingga jika melebihi limit elastis, maka
benda tidak akan kembali ke bentuk semula. Sifat yang lain adalah sifat plastis
atau sifat tidak elastis dan perubahan cenderung tidak kembali ke bentuk semula,
misalnya lilin. Perbedaan antara sifat elastis dan plastis adalah pada tingkatan
dalam besar atau kecilnya deformsi yang terjadi.
Pada pengujian kuat tarik terlihat bahwa komposisi gliserol 15% pada bahan
memberikan nilai kuat tarik yang lebih besar dibandingkan dengan komposisi
gliserol 20%. Penambahan konsentrasi gliserol menunjukkan adanya penurunan
nilai kuat tarik dari plastik komposit yang diuji. Hal ini disebabkan oleh jumlah
pemlastis yang ditambahkan ke dalam bahan. Pemlastis yang ditambahkan
tersebut akan mengisi struktur matriks plastik komposit dengan ikatan hidrogen.
Walaupun ikatan hidrogen yg terjadi memiliki kekuatan kecil (sepersepuluh dari
ikatan kovalen normal), namun dapat mempengaruhi sifat mekaniknya seperti
sifat kuat tarik. Semakin tinggi konsentrasi gliserol yang ditambahkan maka
makin banyak ikatan hidrogen yang terbentuk menyebabkan struktur molekul
menjadi tidak teratur (acak) dan plastik komposit yang dihasilkan cenderung
amorf. Bentuk molekul yang amorf cenderung kurang kompak dibandingkan
bentuk molekul kristalin (Allcock dan Lampe, 1981) sehingga kekuatan ikatan
yang terdapat di dalam plastik komposit menjadi rendah dan gaya yang
dibutuhkan untuk memutuskan spesimen plastik komposit menjadi semakin kecil.
Penambahan pemlastis dapat mengakibatkan terbentuknya ‘ikatan yang
hilang’. Ikatan baru yang terbentuk biasanya berupa ikatan jembatan hidrogen
antara polimer resin dan pemlastis. Ikatan tersebut mampu memperlemah
sebagian gaya Van der Waals melalui penyisipan fisika pemlastis terhadap
polimer-polimer yang menyebabkan bahan resin tersebut bersifat lebih elastis
(Spink dan Waychoff, 1958 di dalam Modern Plastic Encyclopedia, 1958).
Berdasarkan Tabel 15 diketahui bahwa nilai elongasi plastik komposit
berfluktuasi pada kedua komposisi gliserol. Nilai perpanjangan putus tertinggi
dimiliki oleh compt.tapioka-HDPE dengan komposisi gliserol 15%, sementara
pada compt.onggok-HDPE nilai perpanjangan putusnya tidak jauh berbeda.
Menurut Hammer (1978), penambahan pemlastis akan membentuk interaksi
molekuler rantai polimer untuk meningkatkan kecepatan respon viskoelastis pada
polimer sehingga meningkatkan mobilitas molekuler rantai polimer.
Meningkatnya mobilitas molekuler rantai polimer menunjukkan bahan semakin
plastis sehingga perpanjangan putus akan semakin meningkat. Peningkatan
perpanjangan putus ini akan terus terjadi selama masih terbentuk interaksi
molekuler rantai polimer dengan pemlastis.
Billmeyer (1994) menyatakan bahwa bahan pemlastis yang ditambahkan pada
polimer semikristalin akan lebih banyak berinteraksi dengan fase amorf dan
sangat sedikit berinteraksi dengan fase kristalin sehingga struktur polimer lebih
amorf. Perubahan struktur polimer ke arah lebih amorf menjadikan polimer lebih
elastis. Perpanjangan putus semakin meningkat dengan meningkatnya konsentrasi
pemlastis. Sementara pada hasil pengujian, nilai perpanjangan putus pada
compt.tapioka-HDPE mengalami penurunan dengan meningkatnya konsentrasi
gliserol. Perbedaan hasil pengujian dengan literatur ini dapat disebabkan oleh
beberapa faktor. Perpanjangan putus yang menunjukkan penurunan dapat
disebabkan tingginya faktor koreksi perpanjangan putus spesimen plastik
komposit tersebut dan dapat juga disebabkan oleh jumlah pemlastis yang
ditambahkan tidak cukup banyak untuk membentuk ikatan hidrogen pada setiap
molekul plastik komposit sehingga gaya van der Waals pada plastik komposit
masih cukup banyak. Selain itu, faktor pencampuran plastik komposit juga
berpengaruh. Pencampuran yang kurang homogen menyebabkan penyisipan
bahan pemlastis ke dalam matrik plastik komposit belum berlangsung sempurna
sehingga perpanjangan putus yang dihasilkan tidak maksimal.
2. Sifat Termal Plastik Komposit
Sifat termal plastik komposit yang dianalisis meliputi suhu transisi gelas
(glass transition temperature, Tg), suhu pelelehan (melting point, Tm), dan
perubahan entalpi (∆H). Tg dan Tm merupakan sifat termal yang penting untuk
dianalisis guna mengetahui kemampuan proses suatu polimer.
Menurut Allcock dan Lampe (1981), Tg merupakan suhu peralihan dari
bentuk kaca (glass) ke karet (rubber) untuk polimer amorf atau peralihan dari
kaca ke termoplastik untuk polimer kristalin, sedangkan Tm merupakan suhu
dimana polimer berubah bentuk menjadi cair (liquid). DSC mengukur sejumlah
energi (panas) yang diserap atau dilepaskan oleh suatu sampel ketika dipanaskan,
didinginkan, atau didiamkan pada suhu konstan.
Menurut Latief (2001), kemampuan suatu bahan dasar dalam pembentukan
film dapat diterangkan melalui fenomena fase transisi kaca. Pada fase tertentu di
antara fase cair dengan padat, massa dapat dicetak atau dibentuk menjadi suatu
bentuk tertentu pada suhu dan kondisi lingkungan yang tertentu. Fase transisi kaca
biasanya terjadi pada bahan berupa polimer. Suhu saat fase transisi kaca terjadi
disebut sebagai titik fase kaca (glassy point). Pada suhu tersebut bahan padat
dapat dicetak menjadi suatu bentuk yang dikehendaki, misalnya lembaran tipis
(film) kemasan. Menurut Umam et al. (2007) nilai Tg akan bervariasi bergantung
pada struktur molekul spesifik dari polimer dasarnya, berat molekul, distribusi
berat molekul tersebut, aditif yang ditambahkan ke dalam formula, serta beberapa
faktor lainnya.
Hasil pengujian nilai Tg (suhu transisi gelas), Tm (suhu pelelehan), dan ∆H
(perubahan entalpi) plastik komposit disajikan pada Tabel 16 berikut.
Tabel 16. Hasil Pengujian Sifat Termal Plastik Komposit
Plastik komposit Glass Transition Temperature
(°C)
Melting Point Temperature
(°C)
∆H (mJ/mg)
Compt. Tapioka-HDPE
Gliserol 15% 32,8 132,9 30,5
Gliserol 20% 31,3 132,4 32,1
Compt. Onggok-HDPE
Gliserol 15% 32,3 132,6 32,3
Gliserol 20% 28,3 131,5 32,7
HDPE murni 31,5 131,0 41,3
Berdasarkan hasil pengujian yang dilakukan, diketahui bahwa nilai Tg plastik
komposit pada komposisi gliserol 15% lebih tinggi dibandingkan dengan nilai Tg
pada HDPE murni dan plastik komposit pada komposisi gliserol 20%. Hal ini
menunjukkan bahwa nilai Tg plastik komposit mengalami penurunan dengan
peningkatan konsentrasi gliserol. Data analisis sifat termal plastik komposit secara
lengkap disajikan pada Lampiran 3.
Spink dan Waychoff (1958) menjelaskan teori mengenai reaksi yang terjadi
antara pemlastis dan suatu polimer. Pemlastis yang ditambahkan pada suatu bahan
polimer resin akan tersisip secara fisika di antara rantai-rantai polimer tersebut.
Penambahan pemlastis dapat mengakibatkan terbentuknya ‘ikatan yang hilang’.
Ikatan baru yang terbentuk biasanya ikatan jembatan hidrogen antara polimer
resin dan pemlastis tersebut. Hammer (1978) menerangkan bahwa pemlastis
adalah bahan kimia yang dapat digunakan untuk mengurangi kekakuan resin
termoplastik. Prinsip kerja pemlastis adalah dengan membentuk interaksi
molekuler rantai polimer untuk meningkatkan kecepatan respon viskoelastis pada
polimer. Hal ini akan meningkatkan mobilitas molekuler rantai polimer dan
akibatnya dapat menurunkan suhu transisi gelas (Tg).
Titik leleh (Tm) adalah suhu pada saat rantai polimer berada dalam daerah
berkristal polimer terpisah, sehingga memungkinkan polimer untuk mengalir
(meleleh). Penentuan titik leleh dilakukan dengan menggunakan Differential
Scanning Calorimetry. Pada DSC terdapat dua wadah kecil berbahan logam, satu
diisikan sampel polimer dan yang lainnya dengan bahan kontrol. Masing-masing
wadah berisi sampel dan bahan kontrol dipanaskan dan suhu tiap wadah dimonitor
oleh sensor panas. Jika sampel secara tiba-tiba menyerap panas selama proses
transisi, perubahan akan dideteksi oleh sensor. Perubahan ini akan menyebabkan
mulai dialirkannya arus panas yang lebih besar untuk mengganti kehilangan panas
yang terjadi. Jika perubahan ini dimonitor secara teliti, maka akan menghasilkan
ukuran suhu transisi.
Hasil pengujian menunjukkan bahwa semua plastik komposit memiliki nilai
Tm yang lebih tinggi dibandingkan dengan polimer HDPE murni. Nilai Tm plastik
komposit pada komposisi gliserol 15% lebih tinggi dibandingkan dengan plastik
komposit pada komposisi gliserol 20%. Hal ini menunjukkan bahwa nilai Tm
plastik komposit mengalami penurunan dengan peningkatan konsentrasi gliserol.
Dengan semakin banyaknya konsentrasi pemlastis, ikatan hidrogen yang terbentuk
akan semakin banyak. Terbentuknya ikatan hidrogen akan menyebabkan struktur
molekul menjadi tidak teratur. Struktur yang semakin tidak teratur menunjukkan
peningkatan fraksi amorf dan penurunan fraksi kristalin (Allcock dan Lampe,
1981). Penurunan fraksi kristalin menyebabkan penurunan titik leleh bahan.
Selain itu, jika suatu polimer semikristalin mendapat tambahan pemlastis, maka
akan terjadi penurunan suhu pelelehan (Tm) dan derajat kristalinitas, pemlastis
akan lebih banyak berinteraksi dengan fase amorf dan sangat sedikit yang
berinteraksi dengan fase kristalin (Billmeyer, 1994).
Perubahan entalpi (∆H) merupakan besarnya energi yang dibutuhkan untuk
melelehkan bahan. Pada pelelehan plastik komposit ini, reaksi yang terjadi
merupakan reaksi endoterm dimana bahan menyerap kalor. Luas lembah yang
membentuk peak menurun menunjukkan reaksi ini. Berdasarkan data tabel 16 di
atas, diketahui bahwa nilai ∆H plastik komposit lebih rendah dibandingkan ∆H
polimer HDPE murni. Tingginya perubahan entalpi menunjukkan besarnya gaya
atau ikatan antar molekul pada polimer. Adanya polimer alami yang ditambahkan
sebanyak 20% telah mengganggu ikatan antar molekul HDPE sehingga energi
yang dibutuhkan untuk pelelehan pun semakin kecil.
Nilai ∆H pada compt.HDPE-tapioka mengalami penurunan yang lebih besar
dibandingkan dengan compt.HDPE-onggok. Hal ini dipengaruhi oleh komponen
penyusun tapioka dan onggok, salah satunya adalah kandungan serat yang cukup
besar dalam onggok. Serat merupakan polimer yang bersifat sangat kristalin dan
memiliki ikatan intermolekul yang kuat sehingga dalam proses pencampuran,
ikatan antara molekul HDPE dan onggok tidak berlangsung sempurna. oleh
karena itu, penurunan entalpi yang dihasilkan lebih rendah dibandingkan pati yang
cenderung lebih mudah berikatan dengan molekul HDPE. Plastik komposit
dengan konsentrasi gliserol 15% menunjukkan nilai ∆H yang lebih rendah
dibandingkan dengan konsentrasi gliserol 20%. Hal ini menunjukkan bahwa
dengan semakin banyaknya penambahan zat pemlastis, energi yang diserap untuk
pelelehan bahan semakin besar.
Meskipun nilai Tm plastik komposit lebih tinggi dibandingkan dengan
polimer HDPE murni dan mengalami penurunan pada konsentrasi gliserol yang
lebih tinggi, namun nilai Tm tersebut tidak berbeda secara signifikan. Nilai Tm
pada polimer campuran sangat dipengaruhi oleh bahan pencampurnya, terutama
material yang paling dominan dalam campuran tersebut. Semakin sedikit bahan
yang ditambahkan pada polimer sintetis maka perbedaan titik lelehnya akan
semakin kecil.
Hasil pengujian sifat termal plastik komposit menggunakan DSC dijelaskan
secara lebih rinci melalui kromatogram pada Gambar 14 berikut. Berdasarkan
Gambar 14 tersebut, terlihat bahwa rentang nilai Tg dan Tm plastik komposit yang
diuji tidak berbeda secara signifikan dengan HDPE murni.
Adanya peak hasil uji DSC yang menuju ke arah bawah dengan tingkat
ketajaman berbeda pada Gambar 14 menunjukkan bahwa sampel menyerap energi
(kalor) sehingga entalpi akan berubah. Oleh karena sampel menyerap energi,
maka proses yang terjadi adalah proses endoterm. Energi yang diserap oleh
sampel menyebabkan terjadinya pelelehan sampel. Oleh karena itu, suhu pada saat
tercapai puncak absorpsi energi kalor (peak) disebut sebagai suhu pelelehan (Tm).
Adanya peak yang tajam menunjukkan komponen dominan berupa resin HDPE
sebanyak 80%.
a)
b)
Gambar 14. Kromatogram DSC a) HDPE murni dan compt.HDPE-tapioka; b) HDPE murni dan compt.HDPE-onggok.
Nilai Tg pada kromatogram dapat terdeteksi oleh adanya peak berbentuk
seperti anak tangga (tanpa puncak) yang menunjukkan terjadinya peralihan bentuk
dari kaca ke karet untuk struktur molekul amorf dan peralihan bentuk dari
berkristal/kaca ke termoplastik yang fleksibel untuk struktur molekul kristalin
-8
-7
-6
-5
-4
-3
-2
-1
0
0 20 40 60 80 100 120 140 160 180
tapioka+G15%
tapioka+G20%
HDPE murni
DSC (mW)
Suhu (°C)
-8
-7
-6
-5
-4
-3
-2
-1
0
0 20 40 60 80 100 120 140 160 180
onggok+G15%
onggok+G20%
HDPE murni
DSC (mW)
Suhu (°C)
(Allcock dan Lampe, 1981). Pengujian ini membuktikan bahwa komposisi
polimer alami yang ditambahkan sebanyak 20% ke dalam matriks polimer HDPE
tidak memberikan pengaruh terhadap nilai Tg dan Tm secara nyata.
3. Pengujian Biodegradabilitas Plastik Komposit
Pengujian biodegradabilitas plastik komposit dilakukan dengan dua metode,
yaitu metode kualitatif dengan penanaman pada media PDA menggunakan kapang
Aspergillus niger dan Penicillium sp. serta metode kuantitatif dengan reaksi
enzimatis menggunakan enzim α-amilase dan selulase.
a. Pengujian Biodegradabilitas Secara Kualitatif
Pengujian biodegradabiltas secara kualitatif dilakukan berdasarkan
ASTM G-2170 dan bertujuan untuk membuktikan bahwa plastik komposit
yang diuji dapat menjadi media tumbuh bagi kapang yang diinokulasikan.
Tumbuhnya kapang pada plastik komposit menunjukkan bahwa plastik
komposit memiliki kemampuan untuk didegradasi oleh mikroorganisme di
dalam tanah yang dalam pengujian ini diwakili oleh kapang Aspergillus niger
dan Penicillium sp.
Pengujian dilakukan dengan cara inokulasi pada media PDA, bukan
dengan cara burial (penguburan di dalam tanah) karena metode penguburan
memakan waktu yang lebih lama. Kapang yang diinokulasikan pada media
agar dan dilakukan pengkondisian yang sesuai akan berkembang secara
optimum dalam waktu singkat sehingga pengamatan dapat dilakukan dalam
waktu yang lebih singkat.
Pada pengujian ini digunakan dua kontrol sebagai indikator, yaitu kontrol
negatif berupa lembaran HDPE murni serta kontrol positif berupa lembaran
tapioka dan onggok termoplastis. Gambar 15 berikut menunjukkan hasil
pengujian biodegradabilitas secara kualitatif pada kontrol.
Ketera
a) Kb) Kc) Kd) Ke) Kf) K
B
(HDP
0% (k
positi
pertu
ditum
onggo
Sebal
mikro
KKKKKK
B
(HDP
0% (k
positi
pertu
ditum
onggo
B
0% (k
positi
ditum
d)
ngan :
ontrol negatif : HDPE murni dengan kapang ontrol positif : tapioka termoplastis dengan kapang ontrol positif : onggok termoplastis dengan kapang ontrol negatif : HDPE murni dengan kapang ontrol positif : tapioka termoplastis dengan kapang ontrol positif : onggok termoplastis dengan kapang
Gambar
erdasarkan gambar tersebut dapat diamati bahwa
E murni) menempati ranking ke
edua kapang tidak tumbuh pada permukaan sampel), se
f (tapioka dan onggok termoplastis) menempati rank
mbuhan kapang sebesar 60%
buhi kapang). Hal ini menunjukkan bahwa polimer ala
k termoplastik) memiliki kemampuan untuk terde
iknya, polimer sintetis (resin HDPE) tidak mampu d
organisme.
ontrol negatif : HDPE murni dengan kapang Aspergillus niger ontrol positif : tapioka termoplastis dengan kapang Aspergillus nigontrol positif : onggok termoplastis dengan kapang Aspergillus nigontrol negatif : HDPE murni dengan kapang Penicillium sp. ontrol positif : tapioka termoplastis dengan kapang Penicillium sp.ontrol positif : onggok termoplastis dengan kapang Penicillium sp.
15. Hasil analisis biodegradabilitas pada kon
erdasarkan gambar tersebut dapat diamati bahwa
E murni) menempati ranking ke-0, yakni pertumbuhan
edua kapang tidak tumbuh pada permukaan sampel), se
f (tapioka dan onggok termoplastis) menempati rank
mbuhan kapang sebesar 60%-100% (seluruh perm
buhi kapang). Hal ini menunjukkan bahwa polimer ala
k termoplastik) memiliki kemampuan untuk terdegra
polimer sintetis (resin HDPE) tidak mampu d
Aspergillus nigAspergillus nig
on
erdasarkan gambar tersebut dapat diamati bahwa
0, yakni pertumbuhan
edua kapang tidak tumbuh pada permukaan sampel), se
f (tapioka dan onggok termoplastis) menempati rank
% (seluruh perm
buhi kapang). Hal ini menunjukkan bahwa polimer ala
gra
polimer sintetis (resin HDPE) tidak mampu d
f)
b)
c)e)
a)
kontrol
dangkan kontrol
ing ke
mi (tapioka dan
idegradasi oleh
erer
trol
kontrol
kapang sebesar
dangkan kontrol
ing ke
ukaan sampel
mi (tapioka dan
dasi seluruhnya.
idegradasi oleh
er er
trol
kontrol negatif
kapang sebesar
dangkan kontrol
ing ke-4, yakni
ukaan sampel
mi (tapioka dan
dasi seluruhnya.
idegradasi oleh
Keterangan :
a) Compt.HDPE-tapioka dengan komposisi gliserol 15%b) Compt.HDPE-tapioka dengan komposisi gliserol 20%c) Compt.HDPE-onggok dengan komposisi gliserol 15%d) Compt.HDPE-onggok dengan komposisi gliserol 20%
Gambar 16. Hasil analisis biodegradabilitas pada compt.HDPE-onggok menggunakan k
Gambar 16 memperlihatkan bahwa keempat s
ke-1 yang berarti sekitar 10% permukaan sa
Aspergillus niger. Kapang Aspergillus niger dan
beberapa jenis mikroorganisme pendegradasi ya
dalam tanah. Melalui pengujian ini diharapkan da
bahwa plastik komposit yang dihasilkan dari pe
sintetis dan alami ini dapat didegradasi oleh mikr
dalam tanah. Adanya komponen pati di antara
diharapkan dapat memicu proses degradasi dan me
panjang polimer sintetis sehingga memperbesar
oleh mikroorganisme.
d)
c)b)
a)compt.HDPE-tapioka dan apang Aspergillus niger
ampel menempati ranking
mpel ditumbuhi kapang
Penicilium sp. merupakan
ng umumnya terdapat di
pat memberikan gambaran
ncampuran antara polimer
oorganisme ketika dikubur
matriks polimer sintetis
nyebabkan putusnya rantai
kemungkinan terdegradasi
Keterangan :
a) Compt.HDPE-tapioka dengan komposisi gliserol 15%b) Compt.HDPE-tapioka dengan komposisi gliserol 20%c) Compt.HDPE-onggok dengan komposisi gliserol 15%d) Compt.HDPE-onggok dengan komposisi gliserol 20%
Gambar 17. Hasil analisis biodegradabilitas padcompt.HDPE-onggok menggunakan
Pada Gambar 17, pertumbuhan kapang Pe
compt.HDPE-tapioka menempati ranking ke-2
kapang tumbuh menutupi permukaan sampel,
compt.HDPE-onggok menempati ranking ke-3
kapang tumbuh menutupi permukaan sampel.
Menurut Nikazar et al. (2005), pada saat ka
akan muncul peningkatan pori-pori secara signi
proses metabolisme kapang dalam pati telah opti
memproduksi enzim yang mampu memecah p
segmen yang lebih kecil dengan berat molekul yan
menurut Nakamura et al. (2005) menyebabkan ma
Proses degradasi plastik komposit diawali denga
d)
c)b)
a)a compt.HDPE-tapioka dan kapang Penicillium sp.
nicillium sp. pada sampel
dimana 10%-30% koloni
sedangkan pada sampel
dimana 30%-60% koloni
pang tumbuh pada sampel,
fikan karena penetrasi dan
mal. Mikroorganisme akan
ati dalam plastik menjadi
g lebih rendah. Kondisi ini
terial polimer terdegradasi.
n proses biodegradasi yang
dilanjutkan dengan fotodegradasi dan terakhir biodegradasi lagi. Degradasi
pati akibat aktivitas enzim yang dikeluarkan oleh mikroorganisme akan
meninggalkan ruang kosong dalam plastik sehingga memperluas permukaan
kontak antara plastik dengan logam yang ada di dalam tanah. Selanjutnya
terjadi proses fotodegradasi dimana energi dari sinar matahari bersama katalis
logam dalam tanah akan merusak polimer menjadi rantai yang lebih pendek.
Jika molekul telah pendek, maka mikroorganisme akan dapat mencerna
polimer tersebut sebagai sumber karbon.
Pengujian biodegradabilitas ini membuktikan bahwa plastik komposit
dapat ditumbuhi oleh mikroorganisme sehingga secara umum dapat dikatakan
bahwa plastik komposit memiliki kemampuan untuk terbiodegradasi.
b. Pengujian Biodegradabilitas Plastik Komposit Secara Kuantitatif
Pengujian biodegradabilitas secara kuantitatif dilakukan menggunakan
dua enzim yaitu α-amilase dan selulase. Enzim merupakan biokatalisator
yang mampu mempercepat proses hidrolisis ikatan-ikatan molekul menjadi
unit-unit yang lebih sederhana. Enzim α-amilase digunakan dalam hidrolisis
compt.HDPE-tapioka, sedangkan enzim α-amilase dan selulase digunakan
dalam hidrolisis compt.HDPE-onggok.
Perbedaan penggunaan enzim terhadap plastik komposit disebabkan oleh
perbedaan komponen pada sumber polimer alami yang digunakan. Pati
tapioka sebagian besar tersusun atas komponen pati yang dapat dihidrolisis
oleh enzim α-amilase menjadi gula-gula pereduksi. Onggok yang merupakan
hasil samping dalam proses pengolahan pati tapioka, mengandung komponen
serat dalam jumlah yang cukup besar sehingga dibutuhkan enzim yang tidak
hanya dapat menghidrolisis pati, namun juga dapat memecah molekul serat
yang sebagian besar tersusun atas komponen selulosa. Oleh karena itu, dalam
pengujian enzimatis onggok, digunakan enzim α-amilase dan selulase.
Persentase pati dan serat yang terhidrolisis dari pengujian enzimatis
dapat dihitung berdasarkan nilai gula pereduksi yang dihasilkan. Semakin
besar nilai gula pereduksi, persentase pengurangan bobot plastik komposit
juga semakin besar. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan plastik
komposit dalam terbiodegradasi juga semakin baik. Hasil analisis enzimatis
disajikan pada Tabel 17 berikut.
Tabel 17. Presentase Pengurangan Bobot Plastik Komposit Berdasarkan Hasil Pengujian Enzimatis
Plastik komposit Pengurangan bobot
plastik (%)
Tapioka Gliserol 15% 2,879
Gliserol 20% 2,723
Onggok Gliserol 15% 3,033
Gliserol 20% 3,406
Hasil pengujian di atas menunjukkan plastik komposit memiliki
kemampuan untuk terhidrolisis. Persentase pengurangan bobot pada
compt.HDPE-tapioka lebih rendah dibandingkan pada compt.HDPE-onggok.
Hal ini disebabkan oleh perbedaan pengunaan enzim untuk menghidrolisis
polimer alami yang dicampurkan. Pada compt.HDPE-tapioka, hanya
digunakan enzim α-amilase untuk memecah komponen pati, sedangkan pada
compt.HDPE-onggok ditambahkan pula enzim selulase sehingga gula
pereduksi yang dihasilkan lebih besar, yang berasal dari pemecahan
komponen selulosa.
Berdasarkan data hasil analisis dapat diketahui bahwa konsentrasi
gliserol yang ditambahkan memberikan pengaruh yang berbeda. Pada
compt.HDPE-tapioka, peningkatan konsentrasi gliserol memberikan pengaruh
yang negatif terhadap hasil hidrolisis enzim, sementara pada compt.HDPE-
onggok, peningkatan konsentrasi gliserol menyebabkan meningkatnya
kemampuan plastik komposit dalam terhidrolisis. Namun berdasarkan data
lengkap hasil pengujian pada Lampiran 3, perbedaan nilai ini tidak berbeda
nyata karena nilai pengurangan bobot pada ulangan sampel memberikan nilai
yang tidak jauh berbeda.
Rendahnya nilai persentase pengurangan bobot plastik komposit
dipengaruhi oleh komposisi polimer alami dan polimer sintetis yang
dicampurkan. Komposisi HDPE yang dominan (80%) menyebabkan hanya
sebagian kecil plastik komposit saja yang dapat terdegradasi. Christianty
(2009) menyatakan bahwa semakin tinggi komposisi pati dalam campuran,
maka bobot bahan yang hilang karena terdegradasi juga semakin besar.
Keberadaan pati yang semakin besar akan meningkatkan nilai degradasinya
karena bagian yang mampu dipecah oleh enzim semakin besar pula. Selain
itu, terperangkapnya pati dan serat dalam matriks plastik komposit juga
mempengaruhi kemampuan enzim. Polimer HDPE yang membentuk matriks
menciptakan barrier yang cukup sulit ditembus oleh enzim sehingga
menghalangi terhidrolisisnya polimer alami yang dicampurkan.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Plastik komposit dapat dibuat dari pencampuran antara polimer sintetis
(HDPE) dan polimer alami (tapioka dan onggok termoplastis) dengan
penambahan zat pemlastis, compatibilizer, dan inisiator. Penambahan bahan aditif
ini bertujuan agar pencampuran dapat berlangsung homogen.
Berdasarkan pengujian sifat mekanik plastik komposit dapat disimpulkan
bahwa penambahan tapioka terhadap polimer sintetis (HDPE) memberikan sifat
mekanik yang lebih baik dan mendekati polimer HDPE murni dibandingkan
dengan onggok. Kandungan serat yang cukup tinggi pada onggok memberikan
sifat kristalin sehingga plastik komposit yang terbentuk cenderung getas dan
rapuh. Konsentrasi gliserol sebanyak 15% memberikan pengaruh yang lebih baik
terhadap nilai kuat tarik plastik komposit dibandingkan dengan konsentrasi
gliserol 20%, sedangkan nilai elongasi bervariasi. Perbedaan nilai elongasi ini
dapat disebabkan oleh kurangnya konsentrasi gliserol yang ditambahkan, maupun
pencampuran yang kurang optimal.
Pada pengujian sifat termal plastik komposit, nilai Tg dan Tm plastik komposit
dengan konsentrasi gliserol 20% lebih rendah dibandingkan plastik komposit
dengan konsentrasi gliserol 15%. Komposisi pati dan onggok termoplastis
sebanyak 20% tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap nilai Tg dan
Tm plastik komposit yang dihasilkan apabila dibandingkan dengan polimer HDPE
murni. Nilai Tg plastik komposit berkisar antara 28,3°C – 32,8°C, sedangkan nilai
Tm berkisar antara 131,5°C – 132,9°C.
Pengujian biodegradabilitas secara kualitatif menggunakan kapang
Aspergillus niger menunjukkan bahwa sebanyak 10% permukaan sampel dapat
ditumbuhi koloni kapang, sedangkan pengujian menggunakan kapang Penicillium
sp. menunjukkan bahwa sekitar 30% - 60% koloni kapang dapat tumbuh pada
permukaan sampel. Pengujian biodegradabilitas secara kuantitatif menunjukkan
bahwa plastik komposit memiliki kemampuan untuk dihidrolisis oleh enzim.
Kandungan serat yang cukup tinggi pada onggok memberikan pengaruh yang
positif terhadap kemampuan hidrolisis polimer alami oleh enzim. Rendahnya
persentase pengurangan bobot plastik komposit disebabkan oleh terjeratnya pati
dan serat dalam matriks polimer sintetis HDPE.
Berdasarkan ketiga pengujian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa
kandungan pati yang tinggi pada tapioka memberikan pengaruh yang lebih baik
terhadap sifat mekanik plastik komposit, sedangkan kandungan serat yang cukup
tinggi pada onggok memberikan sifat kristalin pada plastik komposit sehingga
plastik yang dihasilkan bersifat getas dan rapuh. Sifat kristalin dari serat pada
onggok juga menyebabkan energi yang dibutuhkan dalam proses pelelehan lebih
besar dibandingkan tapioka, serta menyebabkan penurunan nilai Tg dan Tm
meskipun pengaruhnya tidak cukup signifikan pada plastik komposit yang
dihasilkan dibandingkan dengan polimer HDPE murni. Pengujian
biodegradabilitas menunjukkan bahwa plastik komposit dapat terdegadrasi, baik
oleh mikroorganisme kapang dan aktivitas enzim.
B. Saran
Saran yang dapat diberikan berdasarkan penelitian ini adalah :
Ø Dalam penelitian selanjutnya dapat dilakukan optimasi pembuatan pati
termoplastis dengan formulasi bahan baku (pencampuran antara tapioka
dan onggok) untuk menghasilkan karakteristik plastik komposit yang baik.
Ø Perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai optimasi kondisi proses dan
komposisi pati termoplastis yang ditambahkan terhadap polimer sintetis
dalam pembuatan plastik komposit agar diperoleh sifat mekanik dan
biodegradabilitas yang baik.
DAFTAR PUSTAKA
Alger, M.S. 1990. Polymer Science Dictionary. Elsevier Applied Science.
London. Allcock, H.R. dan F.W. Lampe. 1981. Contemporary Polymer Chemistry.
Prentice-Hall, Inc., Englewood Cliffs, New Jersey 07632. AOAC. 1984. Official Methode of Analysis of The Association of Official
Analytical Chemist. Virginia : AOAC, Int. AOAC. 1994. Official Methode of Analysis of The Association of Official
Analytical Chemist. Virginia : AOAC, Int. AOAC. 1995. Official Methode of Analysis of The Association of Official
Analytical Chemist. Virginia : AOAC, Int. AOAC. 1999. Official Methode of Analysis of The Association of Official
Analytical Chemist. Virginia : AOAC, Int. Anonim. 1984. Pembuatan Sirup Glukosa dari Ampas Tapioka. Badan Penelitian
dan Pengembangan Industri Semarang. Departemen Perindustrian, Semarang.
Anonim. 2002. Menghancurkan Plastik dengan Air. http://www.kompas.com
[Online : 26 Oktober 2002] Anonim. 2006. Bioplastik dari Bahan Sagu dan Sawit.
http://www.litbang.deptan.go.id/berita/one/288/ [Online : 30 Juni 2006] Apriyantono, A., D. Fardiaz, N.L. Puspitasari, Sedarnawati, dan S. Budiyanto.
1989. Analisis Pangan. IPB Press. Bogor. ASTM. 1980. Annual Book of ASTM Standards. Volume ke-14. Philadelphia :
American Society for Testing and Material. ASTM. 1991. Annual Book of ASTM Standards. Volume ke-14. Philadelphia :
American Society for Testing and Material. Averous, L., L. Moro, P. Dole, dan C. Fringant. 2000. Properties of Thermoplastic Blends : Starch-Polycaprolactone. Polym 41(11):4157-4167. Badan Pusat Statistik. 1999. Proyeksi Produksi Plastik Biodegradabel. BPS,
Jakarta. Badan Pusat Statistik. 2000. http://www.bps.go.id. [Online, 23 Juli 2009]
Balagopalan, C., G. Padmaja, S.K. Nanda, dan S.N. Moorthy. 1988. Cassava in Food, Feed, and Industry. CRC Press Inc., Boca Raton Florida.
Banks, W. dan C.T. Greenwood. 1975. Starch It’s Component. Halsted Press,
John Willey and Sons. New York. Billmeyer, F.W. 1994. Text of Polymer Science. John Wiley and Sons., Chapters
7, 12, and 17. Bremner, T. dan A. Rudin. 1993. Peroxide Modification of Linear-Low Density
Polyethylene : A Comparison of Dialkyl Peroxide. J Appl Polym Sci. 49:795-798.
Christianty, M.U. 2009. Pembuatan Biodegradable Plastic Melalui Pencampuran
Pati Sagu Termoplastis dan Compatibilized Linear Low Density Polyethylene. Tesis. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Corradini, E., A.J.F. Carvalho, A.A.daS. Curvelo, J.A.M. Agnelli, dan L.H.C.
Mattoso. 2007. Preparation and Characterization of Thermoplastic Starch/Zein Blends. Mat.Res.10(3):227-231.
Darusman, L.K., H. Adijuwana, Purwatiningsih, S.S. Achmadi, W. Harjadi, D.
Saprudin, E. Suradikusumah, T. Setiawati, dan D. Tohir. 1999. Kimia Dasar 1. Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. IPB, Bogor.
Departemen Kesehatan. 1992. Daftar Kandungan Gizi Makanan. Bharata. Jakarta. Departemen Pertanian. 2005. Database Pemasaran Internasional Ubi Kayu.
Deptan. Jakarta. Djarwati, I. Fauzi, dan Sukani. 1993. Pengolahan Air Limbah Industri Tapioka
Secara Kimia Fisika. Laporan Penelitian. Departemen Perindustrian RI, Semarang.
Elliason, A.C. dan M. Gudmundsson. 1996. Starch : Physicochemical and
Functional Aspects. Di dalam Elliason, A. C. (ed). Carbohydrates in Food. Marcel Dekker, New York.
Fabunmi, O.O., L.G. Tabil, P.R. Chang, dan S. Panigrahi. 2007. Developing
Biodegradable Plastics from Starch. Paper Number RRV07130, ASABE/CSBE North Central Intersectional Meeting. The American Society of Agricultural and Biological Engineers, St. Joseph, Michigan. http://www.asabe.org. [Online : 13 Maret 2008]
Fang, J. dan P. Fowler. 2003. The Use of Starch and Its Derivatives as
Biopolymer Source of Packaging Material. J. Food, Agric&Environ 1(3-4):82-84.
Favis, B. D., F. Rodriguez, dan B.A. Ramsay. 2005. Method of Making Polymer Compositions Containing Thermoplastic Starch. http://www.freepatentsonline.com/6844380.html. [Online : 08 Juli 2009]
Febrianto, F. 1999. Preparation and Properties Enchancement of Moldable Wood
– Biodegradable Polymer Composites. Doctoral Dissertation Graduate School of Agriculture, Kyoto University. Not Published.
Fennema, O.R. 1976. Principles of Food Science. Food Chemistry Part I.
Department of Food Science, University of Wincosin-Madison. Marcel Dekker Inc., New York.
Flach, M. 1993. Problems and Prospects of Sago Palm Development. Sago Palm
1:8-17. Flieger, M.M., A. Kantorova, T. Prell, Rezenka., dan J. Votruba. 2003.
Biodegradable Plastics From Renewable Sources. J Folia Microbiol 48(1):22-44.
Gaylord, N.G. dan M. Metha. 1982. Role of Homopolymerization in The
Peroxydecatalyzed Reaction of Maleic Anhydride and Polyethylene in The Absence of Solvent. J Polym Sci. 20:481-486.
Gontard, N. dan S. Guilbert. 1992. Biopacking : Technology and Properties of
Edible Biodegradable Material of Agricultural Origin. Polym J. 24. Gould, J.M., S.H. Gordon, L.B. Dexter, dan C.L. Swanson. 1990. Biodegradation
of Starch Containing Plastic. Di dalam J.E. Glass dan G. Swift (ed). Agriculture and Synthetic Polymer Biodegradability and Utilization. American Chemical Society, New York.
Greenwood, C.T. 1970. Starch and Glycogen. Di dalam Hourston, D.J. (ed). 1970.
The Carbohydrates Chemistry and Biochemistry. Academic Press, New York.
Hammer, C.F. 1971. Macromolecules. Polym Blends. 4(69). Harper. 1975. Handbook of Plastic and Elastomers. Westing House Electric Corporation. Baltimore, Maryland. Hart, H. 1990. Kimia Organik : Suatu Kuliah Singkat. Terjemahan. Erlangga.
Jakarta. http://en.wikipedia.org/wiki.Glycerol. [Online : 09 Desember 2009]
Huang, S.J. dan P.G. Edelman. 1995. An Overview of Biodegradable Polymers and Biodegradation of Polymers. Di dalam G. Scoot dan D. Gilead (eds.). Degradable Polymers : Principles and Applications. Chapter 2. Chapman and Hall, New York. Huneault, M.A. dan H. Li. 2007. Morphology and Properties of Compatibilized
Polylactide/Thermoplastic Starch Blends. Polym 48(1):270-280. Igoe, R.S. dan Y.H. Hui. 1994. Dictionary of Food Ingredients. Chapman and
Hill, New York. Ishiaku, U.S., K.W. Pang, W.S. Lee, dan Z.A.M. Ishak. 2002. Mechanical
Properties and Enzymic Degradation of Thermoplastic and Granular Sago Starch Filled Poly (ε-Caprolactone). Europe Polym J 38(2):393-401.
Jenie, B.S.L. dan Fachda. 1991. Pemanfaatan Onggok dan Dedak Padi Untuk
Produksi Pigmen Angkak Oleh Monescus purpureus. Prosiding Pertemuan Ilmiah Tahunan. Perhimpunan Mikrobiologi Indonesia, Bogor.
Kalambur, S. dan S.S.H. Rizvi. 2006. An Overview of Starch-Based Plastic
Blends From Reactive Extrusion. J Plast Film Sheet 22(1):39-58. Knapczyk, J.K. dan R.H.M. Simon. 1992. Synthetic Resins and Plastics. Di dalam
J.A. Kent (ed). Riegel’s Handbook of Industrial Chemistry. Ninth Edition. VNB, New York.
Knight, J.W. 1969. The Starch Industry. Pergamon Press. Oxford, UK. Krochta, J.M. dan T.H. McHugh. 1994. Sorbitol-vs Glycerol-Plasticized Whey
Protein Edible Films : Integrated Oxygen Permeability and Tensile Property Evaluation. J. Agric. Food Chem 42(4):841-845.
Lacerda, L.G., J.A.M. Azevedo, M.A.daS.C. Filho, I.M. Demiate, E. Schnitzler,
L.P.deS Vandenberghe, dan C.S. Soccol. 2008. Thermal Characterization of Partially Hydrolyzed Cassava (Manihot esculenta) Starch Granules. Braz Arch Biol Technol 51(6). http://www.scielo.br/scielo.php. [Online : 09 Desember 2009]
Latief, R. 2001. Teknologi Kemasan Plastik Biodegradable.
http://www.hayati_ipb.com/users/rudyct/individu_2001/rindam_latief.htm-87k. [Online : 18 November 2009]
Mark, H.F. 1985. Encyclopedia of Polymer Science and Engineering. Volume 2.
John Wiley and Sons. Canada. Mehta, A.K. dan D. Jain. 2007. Polymer Blends and Alloys Part-I Compatibilizers
– A General Surveys. http://www.plusspolymers.com. [Online : 03 Maret 2008]
Mellan, I. 1950. Industrial Solvent. Reinhold Publishing Coorporation, New York. Morewietz, K. 2006. Industrial Development of Environmental Degradable
Plastics – from The Idea to a Commercial Product. Workshop and “Sustainable Plastics in India and Asian Countries” 14-16 Desember 2006 in India. Biopolymer Technologies Germany.
Nakamura, E.M.L., C.S.G. Cordi, N. Almeida, dan H.L.I. Duran. 2005. Study and
Development of LDPE/Starch Partially Biodegradable Compounds. J Mat Process Tech. 162:236-241.
Nikazar, M., B. Safari, B. Bonakdarpour, dan Z. Milani. 2005. Improving The
Biodegradability and Mechanical Strength of Corn Starch-LDPE Blends Through Formulation Modification. Iranian Polym J. 14(12):1050-1057.
Nolan-ITU. 2002. Environment Australia : Biodegradable Plastics-Development and Environment Impact. Nolan-ITU Pty Ltd., Melbourne. Noureddini, H.S., W.R. Dailey, dan B.A. Hunt. 1998. Production of Glycerol
Ether from Crude Glycerol – The By-product of Biodiesel Production, Paper in Biomaterial. Chemical and Biomolecular Engineering Research and Publication.
NRC-IRC. 1973. Properties and Behaviour of Plastics. http://www.nrc-cnrc.gc.ca/eng/ibp/irc/cbd/building-digest-157.html [Online : 19 November 2009]
Otey, H.F., R.P. Westhoff, dan W.M. Doane. 1987. Starch-Based Blown Films. J of Ind Eng Chem. Res.26, 1659.
Pomeranz, Y. 1991. Functional Properties of Food Components. Second Edition.
Academic Press, Inc. New York, USA. Pranamuda, H. 2001. Pengembangan Bahan Plastik Biodegradabel Berbahan Baku
Pati Tropis. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Jakarta. (http://www.std.ryu.titech.ac.jp/~indonesia/zoa/Makalah_Dr_Hardaning_Pranamuda.htm)
Rabek, J.F. 1980. Experimental Methods in Polymer Chemistry. John Wiley and
Sons, New York. Radley, J.A. 1976. Starch Production Technology. Applied Sciences Publishers Ltd.
London. Rukmana, R.H. 1997. Ubi Kayu, Budidaya dan Pasca Panen. Kanisius. Yogyakarta. Schnabel, W. 1981. Polymer Degradation, Principles, and Particle Applications.
MacMillan Publ. Co. Inc. New York.
Sidney, L. dan J.H. DuBois. 1977. Plastic Product Design Engineering. Hand Book, Van Nostrand Reinhold Company, America.
Smith, P.S. 1982. Starch Derivatives and Their Use in Foods. Di dalam Lineback,
D.R. dan Inglett, G. E. (eds.). Food Carbohydrates. The AVI Publishing Company Inc., Westport, Connecticut.
SNI. 1994. Standar Nasional Indonesia. 01-3451 : Tapioka. Departemen
Perindustrian, Jakarta. Sothornvit, R. dan J.M. Krochta. 2000. Plasticizer Effect on Mechanical
Properties of β-Lactoglobulin Films. J of Food Eng 50(3):149-155. Spink, W.P. dan W.F. Waychoff. 1958. Plasticizers. Di dalam Modern Plastic
Encyclopedia Issue. 1958. Hildrent Press, Inc., New York. Stevens, M.P. 2007. Polymer Chemistry. Iis Sopyan, penerjemah. PT Pradnya Paramita, Jakarta. Stoddard, F.L. 1999. Survey of Starch Particle-Size Distribution in Wheat and
Related Species. Cereal Chem 76:145-149. Surdia, T. dan S. Saito. 1985. Pengetahuan Bahan Teknik. PT. Pradnya Paramita,
Jakarta. Swinkels, J.J.M. 1985. Sources of Starch, Its Chemistry and Physics. Di dalam
G.M.A. Van Beynum and J.A. Roels. 1985. Starch Convention Technology. Marcel Dekker, Inc, New York.
Teixeira, E.deM., D. Pasquini, A.A.S. Curvelo, E. Corradini, M.N. Belgacem, dan
A.Dufresne. 2009. Cassava Bagasse Cellulose Nanofibrils Reinforced Thermoplastic Cassava Starch. Carbohyd Polym 78(3):422-431.
Thomas, D.J. dan W.A. Atwell. 1999. Starches. The American Association of
Cereal Chemists. Inc. Minnesota. Tjiptadi. 1982. Telaah Pembuatan Glukosa dan Sifat Limbah Cairnya dengan
Bahan Ubi Kayu secara Hidrolisa Asam dalam Rangka Meningkatkan Teknik Pengolahannya. Tesis. Program Pascasarjana. IPB, Bogor.
Tjokroekoesoemo, S. 1986. HFS dan Industri Ubi Kayu Lainnya. PT Gramedia,
Jakarta. Tovbin, I.M., M.N. Zaliopo, dan A.M. Zuravlev. 1976. Soap Manufacturing
Second Edition.
Umam, K., Nur H.A., dan Nurmawati. 2007. Struktur dan Sifat Polimer. http://www.scribd.com/doc/6646895/Tugas-Material-Polimer. [Online : 8 Juli 2009].
Van, V. 1991. Ilmu dan Teknologi Bahan : Ilmu Logam dan Bukan Logam.
Erlangga. Jakarta. Vilpoux, O. dan L. Averous. 2006. Starch-Based Plastics. Latin American
Starchy Tubers. Wade, L.G. 1991. Kimia Polimer. Jakarta: PT. Pradnya Paramitha. Whistler, R.L., J.N. BeMiller, dan E.F. Paschall. 1984. Starch Chemistry and
Technology. Academic Press Inc. Orlando, Florida. Wijandi, S. 1980. Ilmu Pengetahuan Bahan Umbi-umbian. Departemen
Teknologi Hasil Pertanian . Bogor Winarno, F.G. 1995. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Wurzburg, O.B. 1989. Modified Starches : Properties and Uses. Boca Raton, CRC
Press Inc. Yamaguchi, M. 1983. World Vegetables, Principles, Production and Nutritive
Values. Ellis Horwood Ltd. Chichester. England. Zhang, Q.X., Z.Z. Yu, X.L. Xie, K. Naito, dan Y. Kagawa. 2007. Preparation and
Crystalline Morphologi of Biodegradable Starch/Clay Nanocomposites. Polymer 48(24);7193-7200.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Prosedur Analisis Karakteristik Pati
1. Kadar Air (Apriyantono et al., 1989)
Cawan kosong dioven selama 15 menit kemudian didinginkan dalam
desikator dan ditimbang. Sebanyak 5 g sampel ditimbang kemudian dimasukkan
dalam cawan. Sampel dalam cawan dioven selama 2 jam pada suhu 105°C.
Setelah itu cawan dimasukkan ke desikator dan ditimbang. Pengovenan dilakukan
berulang-ulang untuk mendapatkan berat konstan.
W1 – W2 Ka = x 100 %
W1 Keterangan :
Ka = Kadar air (berat basah)
W1 = Berat sampel sebelum dikeringkan (g)
W2 = Berat sampel setelah dikeringkan (g)
2. Kadar Abu (AOAC, 1984)
Contoh sebanyak 3-5 g dimasukkan ke dalam cawan porselin yang telah
diketahui bobotnya, kemudian diabukan dalam furnace pada suhu 600°C selama
kurang lebih 4 jam atau sampai diperoleh abu berwarna putih. Setelah itu cawan
didinginkan dalam desikator hingga mencapai suhu ruang dan ditimbang.
Bobot abu Kadar Abu = x 100%
Bobot Contoh
3. Kadar Serat Kasar (AOAC, 1984)
Contoh sebanyak 5 g dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer 500 ml
kemudian ditambahkan 100 ml H2SO4 0,325 N dan dididihkan selama kurang
lebih 30 menit. Ditambahkan lagi 50 ml NaOH 1,25 N dan dididihkan selama 30
menit. Dalam keadaan panas disaring dengan kertas Whatman No.40 setelah
diketahui bobot keringnya. Kertas saring yang digunakan dicuci berturut-turut
dengan air panas, 25 ml H2SO4, dan etanol 95%. Kemudian dikeringkan di dalam
oven bersuhu 100-110°C sampai bobotnya konstan. Kertas saring didinginkan
dalam desikator dan ditimbang.
Bobot endapan kering Kadar serat kasar (%) = x 100%
Bobot contoh
4. Kadar Lemak (AOAC, 1995)
Kertas saring dibentuk seperti tabung dan dikeringkan pada suhu 105°C
selama 1 jam. Sampel yang telah kering dimasukkan ke dalam kertas saring,
ditutup, dan dikeringkan kembali di dalam oven. Kemudian sampel dalam kertas
saring didinginkan pada desikator dan ditimbang. Sampel yang telah diketahui
bobot tetapnya dimasukkan ke dalam Soxhlet, diekstraksi menggunakan heksan
atau petroleum eter secukupnya. Proses dilanjutkan dengan refluks selama ± 6 jam
sampai pelarut turun kembali ke labu lemak menjadi bening. Selesai ekstraksi
sampel dikeluarkan dari Soxhlet dan dikeringanginkan. Setelah tidak ada
pelarutnya, sampel dikeringkan di dalam oven pada suhu 105oC hingga bobotnya
konstan, kemudian didinginkan dalam desikator.
Kadar Lemak (%) = Bobot awal sampel (g) – Bobot akhir sampel (g) x 100%
Bobot awal sampel (g)
5. Kadar Protein (AOAC, 1999)
Sampel sebanyak 0,1 g dicampur dengan 1 g katalis (dibuat dengan
mencampurkan 1 g CuSO4 dan 1,2 g Na2SO4) dan 2,5 ml H2SO4 pekat, dididihkan
dalam labu Kjeldahl hingga jernih, kemudian didinginkan. Setelah itu, diencerkan
sampai 100 ml. Sebanyak 5 ml sampel dimasukkan ke dalam alat destilasi dan
ditambahkan 15 ml NaOH 50%. Hasil destilasi ditampung dalam 25 ml HCl 0,02
N. Proses dihentikan bila volume destilat mencapai dua kali volume sebelum
destilasi. Destilat kemudian dititrasi dengan NaOH 0,02 N dan ditambah 2 tetes
indikator Mengsel. Perlakuan yang sama juga dilakukan terhadap blanko.
Kadar Protein (%) = (ml titrasi (blanko - sampel) x N x 14,007 x 6,25 x 100% Bobot sampel (g) x 1000
6. Kadar Pati (AOAC, 1984)
Pengukuran kadar pati dilakukan dengan menimbang sampel sebanyak 1 g
dan dimasukkan dalam labu erlenmeyer 500 ml. Sampel kemudian dihidrolisis
selama 1 jam pada autoclave 115oC. Setelah dingin, sampel dinetralkan dengan
NaOH 40% dan dimasukkan dalam labu ukur 250 ml. Selanjutnya, sebanyak 10
ml larutan dipipet dan dimasukkan dalam erlenmeyer 250 ml, kemudian
ditambahkan larutan Luff Schroll 25 ml. Larutan dididihkan di bawah pendingin
tegak tepat selama 10 menit lalu sampel secara perlahan dititrasi dengan larutan
sodium tiosulfat 0,1 N dengan menggunakan indikator kanji. Blanko dibuat
dengan menggunakan akuades sebagai pengganti sampel.
Kadar Pati (%) = 0,9 x pengenceran x mg monosakarida x 100% Bobot awal sampel (mg)
7. Derajat Asam (SNI 01-3451-1994)
Sampel sebanyak 10 g ditimbang dan dituang ke dalam gelas piala, kemudian
ditambahkan 100 ml etanol 70% yang telah dinetralkan dengan indikator PP.
Selanjutnya dikocok selama 1 jam pada alat pengocok mekanik dan disaring cepat
dengan kertas saring kering (Whatman No.1). Berikutnya larutan dipipet sebanyak
50 ml sambil disaring, kemudian dituang dalam erlenmeyer 500 ml dan dititrasi
dengan larutan NaOH 0,1 N serta ditambahkan indikator PP.
Derajat Asam = 100/50 x ml NaOH x N NaOH x 100 Bobot sampel (g)
8. Kadar Amilosa (AOAC, 1994)
Perhitungan kadar amilosa dilakukan dengan menetapkan kurva standar
terlebih dahulu. Amilosa murni diukur sebanyak 40 mg dan dimasukkan ke dalam
tabung reaksi. Kemudian ditambahkan 1 ml etanol 95% dan 9 ml NaOH 1 N.
Campuran dipanaskan dalam air mendidih selama 10 menit hingga terbentuk gel
kemudian didinginkan. Campuran dipindahkan ke dalam labu takar 100 ml dan
ditepatkan hingga tanda tera dengan menggunakan akuades.
Larutan tersebut masing-masing 1, 2, 3, 4, 5 ml dimasukkan ke dalam labu
takar 100 ml, kemudian ke dalam setiap labu takar ditepatkan sampai tanda tera
dengan akuades dan dibiarkan selama 20 menit. Intensitas warna biru yang
terbentuk diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 625 nm,
kemudian dibuat kurva standar antara konsentrasi amilosa murni dengan
absorbansi.
Setelah dibuat kurva standar, dilakukan penetapan sampel dengan
memasukkan 100 mg sampel dalam tabung reaksi, lalu ditambahkan 1 ml etanol
95% dan 9 ml NaOH 0,1 N. Campuran dipanaskan dalam air mendidih selama 10
menit sampai membentuk gel dan didinginkan. Campuran dipindahkan ke dalam
labu takar 100 ml dan ditepatkan hingga tanda tera dengan menggunakan akuades.
Larutan tersebut sebanyak 5 ml dimasukkan dalam tabung reaksi 100 ml, lalu
ditambahkan 1 ml asam asetat 1 N dan 2 ml larutan Iod. Campuran dalam labu
takar ditepatkan hingga tanda tera dengan akuades, dikocok, dan dibiarkan selama
30 menit. Intensitas warna biru yang terbentuk diukur dengan spektrofotometer
pada panjang gelombang 620 nm. Kadar amilosa sampel dapat dihitung.
Kadar Amilosa (%) = A x 100 x 100/5 x 100% W Keterangan:
A = Konsentrasi amilosa dari persamaan kurva standar (mg/ml)
W = Bobot sampel (mg)
9. Bentuk dan Ukuran Granula Pati (Metode Mikroskop Polarisasi)
Bentuk granula dilihat dengan menggunakan mikroskop polarisasi cahaya dan
mikroskop cahaya (Olympus model BHB, Nippon Kogaku, Jepang) yang
dilengkapi dengan kamera (Olympus model C-35 A) dengan cara sebagai berikut :
Untuk pengamatan di bawah mikroskop polarisasi cahaya, suspensi pati disiapkan
dengan mencampur butir pati dengan akuades. Suspensi ini diteteskan dalam gelas
obyek dan ditutup dengan gelas penutup. Obyek diuji dengan meneruskan cahaya
melalui polarisator. Selama pengamatan, alat analisator diputar sehingga cahaya
terpolarisasi sempurna ditunjukkan oleh butir-butir pati yang belum mengalami
gelatinisasi dengan sifat birefriengent. Pengamatan yang dilakukan tanpa
menggunakan polarisator dan alat penganalisa (analisator) disebut mikroskop
cahaya. Gambar dipotret dengan film berwarna, Fuji Film ASA 100, 35, Japan.
Lampiran 2. Prosedur Analisis Karakterisasi Plastik Komposit
1. Kuat Tarik (ASTM D-638, 1991)
Sampel yang akan diuji terlebih dahulu dikondisikan dalam ruang dengan
suhu dan kelembaban relatif standar (23 ± 2oC, 52%) selama 24 jam. Sampel yang
akan diuji dipotong sesuai standar. Disiapkan sebanyak 7 lembar sampel dan
dihitung rata-ratanya. Pengujian dilakukan dengan cara kedua ujung sampel
dijepit pada mesin penguji tensile. Selanjutnya dicatat panjang awal dan ujung
tinta pencatat diletakkan pada posisi 0 grafik. Knob ‘start’ dinyalakan dan alat
akan menarik sampel sampai putus dan dicatat gaya kuat tarik (F) dan panjang
setelah putus. Selanjutnya dilakukan pengujian lembar berikutnya.
Kekuatan Tarik (kg/cm2) = Gaya kuat tarik (F)
Luas permukaan (A)
2. Elongasi (ASTM D-638, 1991)
Pengukuran elongasi dilakukan dengan cara yang sama dengan pengujian
kuat tarik. Elongasi dinyatakan dalam persentase.
Elongasi (%) = Panjang setelah putus – Panjang awal x 100%
Panjang awal
3. Analisis Termal (ASTM D-3418, 1991)
Sampel sebanyak 10 mg dimasukkan dalam test cell. Selanjutnya sampel di-
seal dan dilakukan pencatatan berat sampel. Pengujian mengacu kepada ASTM
D-3418 menggunakan alat Differential Scanning Calorimeter (DSC). Analisa
dilakukan dengan temperatur dari 30oC hingga 200 oC. kecepatan pemanasan
adalah 10 oC /min. transisi gelas (Tg) dihitung berdasarkan midpoint dari
peningkatan kapasitas panas, sedangkan titik leleh (Tm) dihitung pada saat terjadi
reaksi eksotermis.
4. Biodegradabilitas
Pengujian biodegradabilitas dilakukan dengan dua cara yaitu secara kualitatif
dan secara kuantitatif. Pengujian biodegradabilitas plastik komposit secara
kualitatif dilakukan berdasarkan ASTM G-2170. Dalam metode ini, sampel
berukuran 3x3 cm ditempatkan pada media PDA (Potato Dextrose Agar) dan
diinokulasikan dengan kapang Penicillium sp. dan Aspergillus niger. Sebagai
pembanding juga ditanam lembaran plastik sintetis (LLDPE dan HDPE). Sampel
diinkubasikan pada suhu 29±1oC selama 2 minggu. Pertumbuhan kapang pada
sampel plastik komposit mengikuti ranking sesuai ASTM G-2170, antara lain:
0 : tidak ada pertumbuhan koloni
1 : kurang dari 10% permukaan sampel tertutup koloni
2 : 10-30% permukaan sampel tertutup koloni
3 : 30-60% permukaan sampel tertutup koloni
4 : 60-100% permukaan sampel tertutup koloni
Pengujian biodegradabilitas plastik komposit secara kuantitatif meliputi :
Ø Compt.HDPE-tapioka : mereaksikan 10 mg sampel dengan 1 ml enzim α-
amilase (Novo Thermamyl 1764,71 IU) dalam 9 ml buffer phosphate pH
7,0. Inkubasi dilakukan selama 17 jam pada shaker waterbath berkecepatan
150 rpm pada temperatur 36oC. Cairan yang diperoleh dilakukan pengujian
gula pereduksi dengan metode DNS.
Ø Compt.HDPE-onggok : mereaksikan 10 mg sampel dengan 0,5 ml enzim α-
amilase (Novo Thermamyl 1764,71 IU) dan 0,5 ml enzim selulase 2000IU
dalam 9 ml buffer phosphate pH 7,0. Inkubasi dilakukan selama 17 jam
pada shaker waterbath berkecepatan 150 rpm pada temperatur 50oC. Cairan
yang diperoleh dilakukan pengujian gula pereduksi dengan metode DNS.
- Pembuatan Pereaksi DNS
DNS sebanyak 5 g dilarutkan dalam 100 ml NaOH 2 N, diaduk dan
ditambahkan 250 ml akuades. Potassium tartat sebanyak 15 g ditambahkan,
kemudian diaduk sampai larut dan ditepatkan hingga tanda tera (500 ml).
- Pembuatan Standar Glukosa
Standar glukosa dibuat pada konsentrasi 0, 50, 100, 200, dan 250 ppm.
- Pengukuran Kadar Gula Pereduksi
Pengukuran dilakukan menggunakan spektrofotometer dangan panjang
gelombang 550 nm terhadap 0,5 ml sampel yang ditambahn dengan 1,5 ml
pereaksi DNS dan diletakkan dalam air mendidih selama 5 menit.
Nilai gula pereduksi atau nilai pati yang terhidrolisis akan diasumsikan
sebagai bagian yang terdegradasi sehingga akan diperoleh persentase
biodegradabilitas plastik komposit.
Lampiran 3. Data Hasil Analisis
I. Karakterisasi Mutu Tapioka Hasil Penelitian
Parameter Ulangan Nilai Rata-Rata
Standar mutu tapioka (SNI 01-3451-1994)
Kadar Air (% bb)
1 8,68
8,60 2 8,54
3 8,59
Kadar Abu (% bk)
1 0,07
0,12 2 0,16
3 0,13
Kadar Serat Kasar (% bk)
1 0,10
0,098 2 0,12
3 0,07
Derajat Asam (ml NaOH 0,1 N/g bahan)
1 2,60
3,40 2 2,00
3 5,60
Kehalusan / Lolos Saringan 80 mesh (%)
1 100
100 2 100
3 100
Sifat Fisiko-Kimia
Kadar Pati (%)
1 85,75
85,76 2 85,73
3 85,80
Kadar Amilosa (%)
1 27,97
27,98 2 27,98
3 28,00
Kadar Lemak (%)
1 0,07
0,05 2 0,04
3 0,05
Kadar Protein (%)
1 0,31
0,25 2 0,18
3 0,27
II. Karakterisasi Mutu Onggok Hasil Penelitian
Parameter Ulangan Nilai Rata-Rata
Kadar Air (% bb)
1 6.89
6.71 2 6.67
3 6.56
Kadar Abu (% bk)
1 3.41
3.37 2 3.32
3 3.38
Kadar Serat Kasar (% bk)
1 33.81
33.80 2 33.77
3 33.83
Kadar Karbohidrat (by difference)
1 88.04
88.26 2 88.30
3 88.43
Kehalusan / Lolos Saringan 80 mesh (%)
1 100
100 2 100
3 100
Sifat Fisiko-Kimia
Kadar Pati (%)
1 22.24
22.25 2 22.30
3 22.21
Kadar Amilosa (%)
1 19.92
19.90 2 19.84
3 28,94
Kadar Lemak (%)
1 0,17
0,17 2 0,18
3 0,16
Kadar Protein (%)
1 1.49
1.50 2 1.53
3 1.47
III. Karakterisasi Plastik Komposit
1. Analisis Sifat Mekanik
Keterangan Ulangan
Tensile Stress At
Yield (kg/cm2)
Rata-Rata
(kg/cm2)
Elongation At
Yield (%)
Rata-Rata
(%)
Compt.
tapioka-HDPE
gliserol 15% 1 278,2642
279,1233 5,138
4,8642 2 279,9823 4,5903
gliserol 20% 1 270,4610
267,1329 2,271
3,5273 2 263,8047 4,7837
Compt.
onggok-HDPE
gliserol 15% 1 216,1927
224,2146 2,118
2,0013 2 232,2366 1,8847
gliserol 20% 1 192,6344
194,7437 1,949
2,0497 2 196,8530 2,1503
HDPE - 291,8982 6,5186
2. Analisis Sifat Termal
Keterangan Ulangan Tg (oC) Rata-Rata
(oC) Tm (oC)
Rata-Rata
(oC)
∆H
(mJ/mg)
Rata-Rata
(mJ/mg)
Compt. tapioka-HDPE
Gliserol 15% 1 32.9
32.8 132.8
132.9 30,2
30,5 2 32.7 133.0 30,7
Gliserol 20% 1 33.4
31.3 132.6
132.4 31,4
32,1 2 29.2 132.1 32,7
Compt. onggok-HDPE
Gliserol 15% 1 31.9
32.3 132.6
132.6 32,2
32,3 2 32.6 132.6 32,4
Gliserol 20% 1 28.0
28.3 130.5
131.5 32,9 32,7
2 28.6 132.4 32,5
HDPE - 31.5 131.0 41,3
3. Analisis Biodegradabilitas Secara Enzimatis (Kuantitatif) Kurva standar DNS : y = 0,003x – 0,088; R2 = 0,996
Keterangan Ulangan Abs 1 Abs 2 Abs rata-rata
Gula pereduksi (mg)
Total gula pereduksi
(mg)
Bobot awal sampel (mg)
Pengurangan bobot plastik
(%)
Rata-rata (%)
Compt. HDPE-tapioka
Sampel Gliserol 15%
1 0,385 0,407 0,396 5,133 0,260 10,3 2,524 2,879
2 0,404 0,406 0,405 5,283 0,333 10,3 3,233 Gliserol 20%
1 0,390 0,398 0,394 5,100 0,164 10,3 1,592 2,723
2 0,413 0,403 0,408 5,333 0,397 10,3 3,854 Substrat Gliserol
15% 1 0,113 0,105 0,109 0,070 2 0,116 0,130 0,123 0,117
Gliserol 20%
1 0,102 0,126 0,114 0,087 2 0,124 0,114 0,119 0,103
Kontrol enzim 0,352 0,404 0,378 4,833
Keterangan Ulangan Abs 1 Abs 2 Abs rata-rata
Gula pereduksi (mg)
Total gula pereduksi
(mg)
Bobot awal sampel (mg)
Pengurangan bobot plastik
(%)
Rata-rata (%)
Compt. HDPE-onggok
Sampel Gliserol 15%
1 0,447 0,425 0,436 5,800 0,446 10,4 4,288 3,033
2 0,425 0,409 0,417 5,483 0,183 10,3 1,777 Gliserol 20%
1 0,413 0,445 0,429 5,683 0,336 10,4 3,231 3,406
2 0,439 0,427 0,433 5,750 0,376 10,5 3,581 Substrat Gliserol
15% 1 0,118 0,140 0,129 0,137 2 0,125 0,101 0,113 0,083
Gliserol 20%
1 0,132 0,122 0,127 0,130 2 0,127 0,143 0,135 0,157
Kontrol enzim 0,405 0,397 0,401 5,217