Presus Regional Anestesi pada Appendisitis Akut
description
Transcript of Presus Regional Anestesi pada Appendisitis Akut
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATANUNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
PRESENTASI KASUS ILMU ANESTESI dan REANIMASI NO.RM : 03-26-XX
PRESENTASI KASUS
PEMBERIAN ANALGETIK NARKOTIKA SEBAGAI AGEN ANALGETIK PADA
PASIEN KOLELITIASIS DENGAN GENERAL ANASTESI
Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Untuk Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinikdi Bagian Ilmu Anestesi dan Reanimasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Diajukan Kepada :
dr. Muh. Ghozali, Sp. An.
Disusun Oleh :
Rr. Dristia Nugraheningtyas
20090310032
KEPANITERAAN KLINIKBAGIAN ILMU ANESTESI DAN REANIMASI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATANUNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
RSUD SARAS HUSADA PURWOREJO2015
RM.01.
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATANUNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
PRESENTASI KASUS ILMU ANESTESI dan REANIMASI NO.RM : 03-26-XX
HALAMAN PENGESAHAN
Telah dipresentasikan dan disahkan presentasi kasus dengan judul :
PEMBERIAN ANALGETIK NARKOTIKA SEBAGAI AGEN ANALGETIK PADA
PASIEN KOLELITIASIS DENGAN GENERAL ANASTESI
Disusun oleh :
Rr Dristia Nugraheningtyas
20090310032
Telah Disetujui Oleh Pembimbing Kepaniteraan Klinik Ilmu Anestesi dan ReanimasiPada tanggal Februari 2015
dr. Muh. Ghozali Tahrim, Sp.An
RM.02.
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATANUNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
PRESENTASI KASUS ILMU ANESTESI dan REANIMASI NO.RM : 03-26-XX
ANAMNESISNama : Tn. R Ruang : Anggrek
Umur : 38 tahun Kelas : III
Nama : Tn. R Jenis Kelamin : Laki-laki
Tanggal lahir : 05 November 1976 Umur : 38 tahun
Nama Istri : Ny. C Umur : 37 tahun
Pekerjaan Suami : Karyawan Swasta Pendidikan Suami : SD
Alamat : Pituruh Purworejo
Masuk RS Tanggal : 15-01-2015 Jam : 23.26 WIB
Diagnosis Masuk : Obstruksi Joundice
Dokter Anestesi : dr. Muh Ghozali, Sp.An Co-asisten: Rr Dristia N
Tanggal : 20 Januari 2015
Keluhan Utama : Pasien mengeluh nyeri perut sebelah kanan atas.
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang ke IGD dengan keluhan nyeri perut kanan atas (+) sejak 10 hari yang lalu,
nyeri dirasa semakin bertambah, mata ikterik (+), seluruh tubuh ikterik (+), mual (+), muntah (-),
demam (-), berdebar-debar (-), sesak nafas (+). Pasien juga mengeluh BAK berwarna kemerahan.
Nyeri saat BAK (-). BAB berwarna putih (+). Perut membuncit (-). Riwayat memiliki badan
gemuk (+). Pasien belum pernah berobat sebelumnya. Tidak ada riwayat sakit seperti ini
sebelumnya. Riwayat trauma disangkal. Riwayat HT (-), riwayat DM (-). Pasien merupakan
perokok aktif.
Riwayat Penyakit Dahulu:
Riwayat penyakit darah tinggi : disangkal
Riwayat penyakit DM : disangkal
Riwayat alergi : disangkal
Riwayat asma : disangkal
Riwayat operasi sebelumnya : disangkal
Riwayat Penyakit Keluarga:
Riwayat penyakit darah tinggi : disangkal
Riwayat penyakit DM : disangkal
Riwayat alergi : disangkal
RM.03.
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATANUNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
PRESENTASI KASUS ILMU ANESTESI dan REANIMASI NO.RM : 03-26-XX
Riwayat asma : disangkal
Keluarga tidak ada yang mengalami nyeri perut bagian atas.
Keluarga menyangkal memiliki riwayat penyakit hati, ginjal, dan infeksi saluran kemih.
1. Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan :
• Sosial
Pasien berada di rumah, tinggal bersama istri dan anak.
• Ekonomi
Sumber pendapatan keluarga didapat dari anak yang bekerja sebagai karyawan swasta.
Penghasilan yang didapat dirasakan cukup untuk kebutuhan sehari-hari.
• Lingkungan
Lingkungan rumah dan sekitarnya terjaga kebersihannya.
KESAN : Sosial dan ekonomi memadai. Keadaan lingkungan disekitar pasien cukup baik.
2. Anamnesis Sistem
Sistem Saraf Pusat : Demam (-), kejang (-), penurunan kesadaran (-)
Sistem Kardiovaskular : Nyeri dada (-) Sesak nafas (-) Jantung berdebar (+)
Sistem Respirasi : Sesak nafas (-), batuk (-), pilek (-)
Sistem Gastrointestinal : BAB (+), Nyeri perut (+), Diare (-), muntah (-)
Sistem Urogenital : BAK (+), lebih dari 30 cc/jam, nyeri BAK (-), urin berwarna
teh (+),
Sistem Musculoskeletal : Kaku (-), nyeri otot (-), kekuatan normal (+)
Sistem Integumentum : Gatal (-), nyeri (-), bengkak (-), kulit kering (-)
RM.04.
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATANUNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
PRESENTASI KASUS ILMU ANESTESI dan REANIMASI NO.RM : 03-26-XX
PEMERIKSAAN
JASMANI
Nama : Tn. R Nama : Tn. K
Umur : 38 tahun Umur : 71 tahun
PEMERIKSAAN UMUM
Kesan umum : kesakitan, kurus
Kesadaran : compos mentis
Nadi : 84 x/menit, cukup, kuat, reguler
Suhu badan : 36,6 0C
Pernafasan : 26 x/menit
Tekanan darah : 130/80 mmHg
Berat badan : 50 kg
Tinggi badan : 165 cm
Kulit : turgor cepat kembali, petekiae (-), seluruh permukaan kulit tampak ikterik
Kelenjar limfa : pembesaran lnn (-)
Otot : tonus normal, klonus (-/-)
Tulang : deformitas (-)
Sendi : tidak ada keterbatasan gerak, tidak kaku
Primary survey :
A : clear
B : spontan, SD vesikuler, Rbk -/-, Rbh -/-, Wh -/-, RR 26 x/menit
C : N : 84 x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup, TD : 130/80 mmHg, S1>S2 murmur (-) gallop
(-)
D : GCS E4M6V5
PEMERIKSAAN KHUSUS :
KEPALA
Bentuk : normocephal, simetris
Mata : sklera ikhterik (+/+), konjuntiva anemis (-/-), tidak cekung, Reflek cahaya +/+,
pupil isokor, (+/+) 3 mm
Telinga : simetris, serumen (-), tidak ada kelainan bentuk
RM.05.
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATANUNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
PRESENTASI KASUS ILMU ANESTESI dan REANIMASI NO.RM : 03-26-XX
Hidung : discharge (-), epistaksis (-), deviasi septum (-)
Mulut :bibir tidak kering, faring hiperemis (-), pembesaran tonsil (-)
Leher : JVP (-), pembesaran limfonodi (-)
THORAX
Bentuk dada : datar, simetris
Jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat.
Palpasi : ictus cordis teraba.
Perkusi : tidak dilakukan.
Auskultasi : bunyi jantung I-II murni, murmur (-), gallop (-)
Paru-paru
Kanan KiriInspeksi Tampak simetris, retraksi subcostalis
(-), retraksi supraclavicularis (-), retraksi intercostalis (-), ketinggalan gerak (-)
Tampak simetris, retraksi subcostalis (-), retraksi supraclavicularis (-), retraksi intercostalis (-), ketinggalan gerak (-)
Palpasi Ketinggalan gerak (-), deformitas (-) Ketinggalan gerak (-), deformitas (-)
Perkusi Sonor pada seluruh lapangan paru Sonor pada seluruh lapangan paru
Auskultasi
Suara dasar vesicular, ronkhi (-), wheezing (-)
Suara dasar vesicular, ronkhi (-), wheezing (-)
ABDOMEN
Inspeksi : abdomen simetris kiri dan kanan, datar, jaringan parut (-), striae (-)
Palpasi : tidak teraba massa, hepar dan lien tak teraba, nyeri tekan (+) murphy sign (+)
Perkusi : timpani pada keempat kuadran abdomen
Auskultasi : bising usus normal
EKSTREMITAS
Akral hangat, CRT < 2 detik, sianosis (-), deformitas (-)
Perfusi jaringan baik, rumple leed (-)
RM.06.
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATANUNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
PRESENTASI KASUS ILMU ANESTESI dan REANIMASI NO.RM : 03-26-XX
Tungkai Lengan
Kanan kiri kanan kiri
Gerakan : terbatas terbatas terbatas terbatas
Tonus : + + + +
Trofi : eutrofi eutrofi eutrofi eutrofi
Clonus : (-) (-)
STATUS UROLOGIS
Ginjal kiri dan kanan tidak teraba, nyeri ketok -/-
Buli-buli kosong, terpasang folley catheter efektif, warna urin seperti teh
STATUS LOKALIS
Regio Inguinal dan Skrotal Sinistra
Inspeksi : Tidak ada tanda-tanda radang, tidak terdapat luka bekas operasi.
Palpasi : Nyeri tekan (-)
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Pemeriksaan darah tanggal 16 Januari 2015
Nilai NormalAL : 11.800 μl 5000 – 10000μlHB : 14.3 (g/dl) 12-16 g/dlHCT : 39 (%) 37-47 %AT : 277.000 /μl 150.000 – 400.000 /μlCT : 3’ 35” 2’ – 6’BT : 2’ 40” 1’ – 3’GDS : 62 mg/dl < 200 mg/dlUreum : 26.0 mg/dl 10 – 50 mgCreatinin : 0.61 mg/dl 0.60 – 1.10 mg/dlSGOT : 141 U/L 0 – 50SGPT : 282 U/L 0 – 50 HBsAg : negativeGolongan darah 0
Usul : cek bilirubin, albumin, dan profilipid
PEMERIKSAAN RADIOLOGI
Kesan : Multiple cholelitiasis
RM.07.
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATANUNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
PRESENTASI KASUS ILMU ANESTESI dan REANIMASI NO.RM : 03-26-XX
DIAGNOSIS &
LAPORAN ANESTESI
Nama : Tn. R Ruang : Anggrek
Umur : 38 tahun Kelas : III
DIAGNOSIS KLINIS
Status Fisik:
ASA II
Diagnosis prabedah:
Multiple kolelitiasis
Diagnosis pasca bedah:
Post kolestektomi a/i Multiple kolelitiasis
Jenis pembedahan:
Besar + resiko anestesi besar
DIAGNOSIS BANDING
Hepatitis
Serosis Hepatis
Malaria
Leptospirosis
TINDAKAN
Tindakan yang dilakukan : Kolestektomi
Rencana operasi dengan general anestesi –Endotracheal tube
Tanggal : 21 Januari 2015
LAPORAN ANESTESIStatus Anestesi
• Persiapan Anestesi
1. Informed consent
2. Puasa selama minimal 8 jam pre-operatif
• Penatalaksanaan Anestesi
- Jenis anestesi : General Anestesi (GA)
- Premedikasi : Fortanex 5mg dan pethedine 50mg
RM.08.
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATANUNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
PRESENTASI KASUS ILMU ANESTESI dan REANIMASI NO.RM : 03-26-XX
- Medikasi : Tracrium 25mg dan recofol 100mg
• Pemantauan selama anestesi :
- Mulai anestesi : 11.40
- Mulai operasi : 11.45
- Selesai operasi : 13.00
-Selesai anestesi : 13.05
Lama Anestesi : 1,5 jam
• Durante operasi :
Tekanan darah dan frekuensi nadi :
Jam Parameter yang dipantau keterangan Obat cairan
Tensi Nadi SpO2
11.35 150/100 88 100 Premedikasi Kliran 1 ampul;
Fortanex 5 mg;
pethedine 50 mg
RL
11.40 155/98 74 99 Induksi Tracrium 25 mg;
recofol 100 mg
11.45 121/80 68 100 Mulai
operasi
Inhalasi
N2O : O2 = 1:1
Sevofluran 2 ug/ml
RL
11.50 121/68 79 99
11.55 131/78 89 100
12.00 128/98 74 100
12.15 136/89 68 100
12.30 113/90 64 100 RL
12.45 140/75 75 100
13.00 131/80 76 99 Operasi
Selesai
ketesse 8 mg
13.05 120/78 88 98 Ekstubasi
RM.09.
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATANUNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
PRESENTASI KASUS ILMU ANESTESI dan REANIMASI NO.RM : 03-26-XX
PENATALAKSANAAN PASCA PEMBEDAHAN
Perawatan bangsal
Masuk Tanggal : 21 Januari 2015
Jam : 13.15 WIB
Airway : Clear, MP I
Breathing : Spontan, SD vesikuler Rh -/- , Wh -/-
Circulation : S1 > S2; Reguler, murmur ( - ), gallop ( - )
Disability : GCS ; E3 V3 M6
Instruksi post operasi observasi : Selama 24 jam
1. Monitoring Kesadaran, tanda vital, dan keseimbangan cairan
2. Mobilisasi bertahap
3. Ukur TD dan N tiap 30 menit selama 24 jam pertama.
4. Bila sadar penuh, tidak ada mual muntah boleh minum air hangat secukupnya
5. Bila nyeri kepala hebat, konsul anestesi
Prognosis : Dubia ad Bonam
RM.010.
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATANUNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
PRESENTASI KASUS ILMU ANESTESI dan REANIMASI NO.RM : 03-26-XX
FOLLOW UP
HARI
TGL S O A P
Rabu
21
Januari
2015
Demam (-)
Mual (+)
Muntah (-)
Nyeri kepala (-)
Nyeri perut
kanan atas (+)
Sesak (+)
Puasa sejak tadi
malam
Riw. DM dan
HT disangkal
HR : 80x/mnt
RR : 22x/mnt
S : 36,5oC
TD:140/80
mmHg
Multiple cholestiasis 1. Pro Kolestektomi
2. Lengkapi inform
consent
3. Puasa 8 jam pre op
4. IV line terpasang
5. Lacak pemeriksaan
laboratorium dan EKG
Kamis
22
Januari
2015
Demam (-)
Mual (-)
Muntah (-)
Nyeri kepala (-)
Nyeri dada (+)
Sesak (-)
flatus (+), BAB
(-), BAK (+)
>30cc/jam
Ma/mi (+/+)
HR : 86x/mnt
RR : 20x/mnt
S : 36,6oC
TD:130/80
mmHg
Post kolestektomi a/i
Multiple cholestiasis
Infus RL 20 tpm
Diit bebas TKTP
Minum cukup
Mobilisasi bertahap
RM.011.
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATANUNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
PRESENTASI KASUS ILMU ANESTESI dan REANIMASI NO.RM : 03-26-XX
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian Kolelitiasis
Kolelitiasis adalah penyakit batu empedu yang dapat ditemukan di dalam kandung empedu
atau di dalam saluran empedu, atau pada kedua-duanya. Sebagian besar batu empedu, terutama
batu kolesterol, terbentuk di dalam kandung empedu.
Hati terletak di kuadran kanan atas abdomen di atas ginjal kanan, kolon, lambung,
pankreas, dan usus serta tepat di bawah diafragma. Hati dibagi menjadi lobus kiri dan kanan,
yang berawal di sebelah anterior di daerah kandung empedu dan meluas ke belakang vena
kava. Kuadran kanan atas abdomen didominasi oleh hati serta saluran empedu dan kandung
empedu. Pembentukan dan ekskresi empedu merupakan fungsi utama hati.
Kandung empedu adalah sebuah kantung terletak di bawah hati yang mengonsentrasikan
dan menyimpan empedu sampai ia dilepaskan ke dalam usus. Kebanyakan batu duktus
koledokus berasal dari batu kandung empedu, tetapi ada juga yang terbentuk primer di dalam
saluran empedu.
Batu empedu bisa terbentuk di dalam saluran empedu jika empedu mengalami aliran balik
karena adanya penyempitan saluran. Batu empedu di dalam saluran empedu bisa
mengakibatkan infeksi hebat saluran empedu (kolangitis). Jika saluran empedu tersumbat,
maka bakteri akan tumbuh dan dengan segera menimbulkan infeksi di dalam saluran. Bakteri
bisa menyebar melalui aliran darah dan menyebabkan infeksi di bagian tubuh lainnya. Adanya
infeksi dapat menyebabkan kerusakan dinding kandung empedu, sehingga menyebabkan
terjadinya statis dan dengan demikian menaikkan batu empedu. Infeksi dapat disebabkan
kuman yang berasal dari makanan. Infeksi bisa merambat ke saluran empedu sampai ke
kantong empedu.3,4 Penyebab paling utama adalah infeksi di usus. Infeksi ini menjalar tanpa
terasa menyebabkan peradangan pada saluran dan kantong empedu sehingga cairan yang
berada di kantong empedu mengendap dan menimbulkan batu. Infeksi tersebut misalnya tifoid
atau tifus. Kuman tifus apabila bermuara di kantong empedu dapat menyebabkan peradangan
lokal yang tidak dirasakan pasien, tanpa gejala sakit ataupun demam. Namun, infeksi lebih
sering timbul akibat dari terbentuknya batu dibanding penyebab terbentuknya batu.
RM.012.
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATANUNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
PRESENTASI KASUS ILMU ANESTESI dan REANIMASI NO.RM : 03-26-XX
2.2. Anatomi dan Fisiologi Kandung Empedu
2.2.1. Anatomi
Kandung empedu bentuknya seperti kantong, organ berongga yang panjangnya sekitar
10 cm, terletak dalam suatu fosa yang menegaskan batas anatomi antara lobus hati kanan dan
kiri. Kandung empedu merupakan kantong berongga berbentuk bulat lonjong seperti buah
advokat tepat di bawah lobus kanan hati. Kandung empedu mempunyai fundus, korpus, dan
kolum. Fundus bentuknya bulat, ujung buntu dari kandung empedu yang sedikit memanjang di
atas tepi hati. Korpus merupakan bagian terbesar dari kandung empedu. Kolum adalah bagian
yang sempit dari kandung empedu yang terletak antara korpus dan daerah duktus sistika.
Empedu yang disekresi secara terus-menerus oleh hati masuk ke saluran empedu yang
kecil dalam hati. Saluran empedu yang kecil bersatu membentuk dua saluran lebih besar yang
keluar dari permukaan bawah hati sebagai duktus hepatikus kanan dan kiri yang segera bersatu
membentuk duktus hepatikus komunis. Duktus hepatikus bergabung dengan duktus sistikus
membentuk duktus koledokus.
2.2.2. Fisiologi
Fungsi kandung empedu, yaitu:
a. Tempat menyimpan cairan empedu dan memekatkan cairan empedu yang ada di dalamnya
dengan cara mengabsorpsi air dan elektrolit. Cairan empedu ini adalah cairan elektrolit yang
dihasilkan oleh sel hati.
b. Garam empedu menyebabkan meningkatnya kelarutan kolesterol, lemak dan vitamin yang
larut dalam lemak, sehingga membantu penyerapannya dari usus. Hemoglobin yang berasal
dari penghancuran sel darah merah diubah menjadi bilirubin (pigmen utama dalam empedu)
dan dibuang ke dalam empedu.
Kandung empedu mampu menyimpan 40-60 ml empedu. Diluar waktu makan,
empedu disimpan sementara di dalam kandung empedu. Empedu hati tidak dapat segera masuk
ke duodenum, akan tetapi setelah melewati duktus hepatikus, empedu masuk ke duktus sistikus
dan ke kandung empedu. Dalam kandung empedu, pembuluh limfe dan pembuluh darah
mengabsorpsi air dari garam-garam anorganik, sehingga empedu dalam kandung empedu kira-
kira lima kali lebih pekat dibandingkan empedu hati.
RM.013.
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATANUNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
PRESENTASI KASUS ILMU ANESTESI dan REANIMASI NO.RM : 03-26-XX
Empedu disimpan dalam kandung empedu selama periode interdigestif dan
diantarkan ke duodenum setelah rangsangan makanan.2 Pengaliran cairan empedu diatur oleh 3
faktor, yaitu sekresi empedu oleh hati, kontraksi kandung empedu, dan tahanan sfingter
koledokus. Dalam keadaan puasa, empedu yang diproduksi akan dialih-alirkan ke dalam
kandung empedu. Setelah makan, kandung empedu berkontraksi, sfingter relaksasi, dan
empedu mengalir ke duodenum.
Memakan makanan akan menimbulkan pelepasan hormon duodenum, yaitu
kolesistokinin (CCK), yang merupakan stimulus utama bagi pengosongan kandung empedu,
lemak merupakan stimulus yang lebih kuat. Reseptor CCK telah dikenal terletak dalam otot
polos dari dinding kandung empedu. Pengosongan maksimum terjadi dalam waktu 90-120
menit setelah konsumsi makanan. Empedu secara primer terdiri dari air, lemak, organik, dan
elektrolit, yang normalnya disekresi oleh hepatosit. Zat terlarut organik adalah garam empedu,
kolesterol, dan fosfolipid.
Sebelum makan, garam-garam empedu menumpuk di dalam kandung empedu dan
hanya sedikit empedu yang mengalir dari hati. Makanan di dalam duodenum memicu
serangkaian sinyal hormonal dan sinyal saraf sehingga kandung empedu berkontraksi. Sebagai
akibatnya, empedu mengalir ke dalam duodenum dan bercampur dengan makanan.
Empedu memiliki fungsi, yaitu membantu pencernaan dan penyerapan lemak,
berperan dalam pembuangan limbah tertentu dari tubuh, terutama hemoglobin yang berasal dari
penghancuran sel darah merah dan kelebihan kolesterol, garam empedu meningkatkan
kelarutan kolesterol, lemak dan vitamin yang larut dalam lemak untuk membantu proses
penyerapan, garam empedu merangsang pelepasan air oleh usus besar untuk membantu
menggerakkan isinya, bilirubin (pigmen utama dari empedu) dibuang ke dalam empedu sebagai
limbah dari sel darah merah yang dihancurkan, serta obat dan limbah lainnya dibuang dalam
empedu dan selanjutnya dibuang dari tubuh.
Garam empedu kembali diserap ke dalam usus halus, disuling oleh hati dan dialirkan
kembali ke dalam empedu. Sirkulasi ini dikenal sebagai sirkulasi enterohepatik. Seluruh garam
empedu di dalam tubuh mengalami sirkulasi sebanyak 10-12 kali/hari. Dalam setiap sirkulasi,
sejumlah kecil garam empedu masuk ke dalam usus besar (kolon). Di dalam kolon, bakteri
memecah garam empedu menjadi berbagai unsur pokok. Beberapa dari unsur pokok ini diserap
kembali dan sisanya dibuang bersama tinja. Hanya sekitar 5% dari asam empedu yang
disekresikan dalam feses.
RM.014.
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATANUNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
PRESENTASI KASUS ILMU ANESTESI dan REANIMASI NO.RM : 03-26-XX
2.3 Diagnosa Batu Empedu
2.3.1 Anamnesis
Setengah sampai duapertiga penderita kolelitiasis adalah asimtomatis. Keluhan yang
mungkin timbul adalah dispepsia yang kadang disertai intoleran terhadap makanan berlemak.
Pada yang simptomatis, pasien biasanya dating dengan keluhan utama berupa nyeri di daerah
epigastrium atau nyeri/kolik pada perut kanan atas atau perikondrium yang mungkin
berlangsung lebih dari 15 menit, dan kadang beberapa jam. Timbulnya nyeri kebanyakan
perlahan-lahan tetapi pada 30% kasus timbul tiba-tiba. Kadang pasien dengan mata dan tubuh
menjadi kuning, badan gatal-gatal, kencing berwarna seperti teh, tinja berwarna seperti
dempul dan penyebaran nyeripada punggung bagian tengah, scapula, atau kepuncak bahu,
disertai mual dan muntah. Kalau terjadi kolelitiasis, keluhan nyeri menetap dan bertambah
pada waktu menarik nafas dalam.
2.3.2 Pemeriksaan Fisik
Pasien dengan stadium litogenik atau batu asimptomatik tidak memiliki kelainan dalam
pemeriksaan fisik. Selama serangan kolik bilier, terutama pada saat kolelitiasis akut, pasien
akan mengalami nyeri palpasi/nyeri tekan dengan punktum maksimum didaerah letak
anatomis kandung empedu. Diketahui dengan adanya tanda Murphy positif apabila nyeri
tekan bertambah sewaktu penderita menarik nafas panjang karena kandung empedu yang
meradang tersentuh ujung jari tangan pemeriksa dan pasien berhentimenarik nafas. Riwayat
ikterik maupun ikterik cutaneous dan scleradan bisa teraba hepar.
2.3.3 Pemeriksaan Laboratorium
Batu kandung empedu yang asimtomatik umumnya tidak menunjukkan kelainan
padapemeriksaan laboratorium. Apabila terjadi peradangan akut, dapat terjadi lekositosis.
Apabila terjadi sindrom mirizzi, akan ditemukan kenaikan ringan bilirubin serum akibat
penekanan duktus koledokusoleh batu. Kadar bilirubin serum yang tinggi mungkin
disebabkan oleh batu didalam duktus koledokus. Kadar fosfatase alkali serum dan mungkin
juga kadar amylase serum biasanya meningkat sedang setiap kali terjadi serangan akut.
RM.015.
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATANUNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
PRESENTASI KASUS ILMU ANESTESI dan REANIMASI NO.RM : 03-26-XX
2.3.4 Pencitraan
Foto polos abdomen biasanya tidak memberikan gambaran yang khas karena hanya
sekitar 10-15% batu kandung empedu yang bersifat radioopak. Kadang kandung empedu yang
mengandung cairan empedu berkadar kalsium tinggi dapat dilihat dengan foto polos. Pada
peradangan akut dengan kandung empedu yang membesar atau hidrops, kandung empedu
kadang terlihat sebagai massa jaringan lunak di kuadran kanan atas yang menekan gambaran
udara dalam usus besar, di fleksura hepatica.
Pemeriksaan ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi
untuk mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran empedu intrahepatic maupun
ekstrahepatic. Dengan USG juga dapat dilihat dinding kandung empedu yang menebal karena
fibrosis atau udem yang diakibatkan oleh peradangan maupun sebab lain. Batu yang terdapat
pada duktus koledokusdistal kadang sulit dideteksi karena terhalang oleh udara di dalam usus.
Dengan USG punktum maksimum rasa nyeri pada batu kandung empedu yang ganggren lebih
jelas dari pada dengan palpasi biasa.
Kolesistografi, untuk penderita tertentu, kolesistografi dengan kontras cukup baik
karena relative murah, sederhana, dan cukup akurat untuk melihat batu radiolusen sehingga
dapat dihitung jumlah dan ukuran batu. Cara ini memerlukan lebih banyak waktu dan
persiapan dibandingkan ultrasonografi. Pemeriksaan kolesistografi oral lebih bermakna pada
penilaian fungsi kandung empedu.
Penataan hati dengan HIDA, metode ini bermanfaat untuk menentukan adanya obstruksi
diduktus sistikus misalnya karena batu. Juga dapat berguna untuk membedakan batu empedu
dengan beberapa nyeri abdomen akut. HIDA normalnya akan diabsorpsi di hati dan kemudian
akan di sekresike kantong empedu dan dapat dideteksi dengan kamera gamma. Kegagalan
dalam mengisi kantong empedu menandakan adanya batu sementara HIDA terisi ke dalam
duodenum.
Computed Tomografi (CT) juga merupakan metode pemeriksaan yang akurat untuk
menentukan adanya batu empedu, pelebaran saluran empedu dan koledokolitiasis. Walupun
demikian, teknik ini jauh lebih mahal dibanding USG.
RM.016.
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATANUNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
PRESENTASI KASUS ILMU ANESTESI dan REANIMASI NO.RM : 03-26-XX
Percutaneous Transhepatic Cholangiographi (PTC) dan Endoscopic Retrograde
Cholangio-pancreatography (ERCP) merupakan metode kolangiografi direk yang amat
bermanfaat untuk menentukan adanya obstruksi bilier dan penyebab obstruksinya seperti
koledokolitiasis. Selain untuk diagnosis ERCP juga dapat digunakan untuk terapi dengan
melakukan sfingterotomiampula vateridiikuti ekstraksi batu.Tes invasive ini melibatkan
opasifikasi langsung batang saluran empedu dengan kanulasi endoskopi ampula vateri dan
suntikan retrograde zat kontras. Resiko ERCP pada hakekatnya dari endoskopi dan mecakup
sedikit penambahan insidens kolangitis dalam saluran empedu yang tersumbat sebagian.
2.4. Faktor risiko
Faktor risiko untuk kolelitiasis, yaitu:
a. Usia
Risiko untuk terkena kolelitiasis meningkat sejalan dengan bertambahnya usia. Orang
dengan usia > 40 tahun lebih cenderung untuk terkena kolelitiasis dibandingkan dengan
orang degan usia yang lebih muda. Di Amerika Serikat, 20 % wanita lebih dari 40 tahun
mengidap batu empedu. Semakin meningkat usia, prevalensi batu empedu semakin tinggi.
Hal ini disebabkan:
1) Batu empedu sangat jarang mengalami disolusi spontan.
2) Meningkatnya sekresi kolesterol ke dalam empedu sesuai dengan bertambahnya usia.
3) Empedu menjadi semakin litogenik bila usia semakin bertambah.
b. Jenis Kelamin
Wanita mempunyai risiko dua kali lipat untuk terkena kolelitiasis dibandingkan dengan pria.
Ini dikarenakan oleh hormon esterogen berpengaruh terhadap peningkatan eskresi kolesterol
oleh kandung empedu. Hingga dekade ke-6, 20 % wanita dan 10 % pria menderita batu
empedu dan prevalensinya meningkat dengan bertambahnya usia, walaupun umumnya
selalu pada wanita.
c. Berat badan (BMI).
Orang dengan Body Mass Index (BMI) tinggi, mempunyai resiko lebih tinggi untuk terjadi
kolelitiasis. Ini karenakan dengan tingginya BMI maka kadar kolesterol dalam kandung
RM.017.
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATANUNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
PRESENTASI KASUS ILMU ANESTESI dan REANIMASI NO.RM : 03-26-XX
empedu pun tinggi, dan juga mengurasi garam empedu serta mengurangi kontraksi/
pengosongan kandung empedu.
d. Makanan.
Konsumsi makanan yang mengandung lemak terutama lemak hewani berisiko untuk
menderita kolelitiasis. Kolesterol merupakan komponen dari lemak. Jika kadar kolesterol
yang terdapat dalam cairan empedu melebihi batas normal, cairan empedu dapat mengendap
dan lama kelamaan menjadi batu. Intake rendah klorida, kehilangan berat badan yang cepat
mengakibatkan gangguan terhadap unsur kimia dari empedu dan dapat menyebabkan
penurunan kontraksi kandung empedu.
e. Aktifitas fisik.
Kurangnya aktifitas fisik berhubungan dengan peningkatan resiko terjadinya kolelitiasis. Ini
mungkin disebabkan oleh kandung empedu lebih sedikit berkontraksi.
f. Riwayat keluarga
Orang dengan riwayat keluarga batu empedu mempunyai resiko lebih besar dibandingkan
dengan tanpa riwayat keluarga
g. Penyakit usus halus
Penyakit yang dilaporkan berhubungan dengan batu empedu adalah crhon disease, diabetes,
anemia sel sabit, trauma, dan ileus paralitik.
h. Nutrisi intravena jangka lama
Nutirisi intravena jangka lama mengakibatkan kandung empedu tidak terstimulasi untuk
berkontraksi, karena tidak ada makanan/nutrisi yang melewati intestinal. Sehingga resiko
untuk terbentuknya batu menjadi meningkat dalam kandung empedu.
2.5. Penatalaksanaan
2.5.1. Penanggulangan non bedah
a. Disolusi Medis
Disolusi medis sebelumnya harus memenuhi kriteria terapi non operatif diantaranya batu
kolesterol diameternya <20mm dan batu kurang dari 4 batu, fungsi kandung empedu baik, dan
duktus sistik paten.
RM.018.
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATANUNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
PRESENTASI KASUS ILMU ANESTESI dan REANIMASI NO.RM : 03-26-XX
b. Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreatography (ERCP)
Untuk mengangkat batu saluran empedu dapat dilakukan ERCP terapeutik dengan melakukan
sfingterektomi endoskopik. Teknik ini mulai berkembang sejak tahun 1974 hingga sekarang
sebagai standar baku terapi non-operatif untuk batu saluran empedu. Selanjutnya batu di dalam
saluran empedu dikeluarkan dengan basket kawat atau balon ekstraksi melalui muara yang sudah
besar tersebut menuju lumen duodenum sehingga batu dapat keluar bersama tinja. Untuk batu
saluran empedu sulit (batu besar, batu yang terjepit di saluran empedu atau batu yang terletak di
atas saluran empedu yang sempit) diperlukan beberapa prosedur endoskopik tambahan sesudah
sfingterotomi seperti pemecahan batu dengan litotripsi mekanik dan litotripsi laser.
c. Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy (ESWL)
Litotripsi Gelombang Elektrosyok (ESWL) adalah Pemecahan batu dengan gelombang suara.
ESWL Sangat populer digunakan beberapa tahun yang lalu, analisis biaya manfaat pada saat ini
memperlihatkan bahwa prosedur ini hanya terbatas pada pasien yang telah benar-benar
dipertimbangkan untuk menjalani terapi ini.
2.5.2. Penanggulangan bedah, yaitu:
a. Kolesistektomi terbuka
Operasi ini merupakan standar terbaik untuk penanganan pasien dengan kolelitiasis simtomatik.
Indikasi yang paling umum untuk kolesistektomi adalah kolik biliaris rekuren, diikuti oleh
kolesistitis akut.
b. Kolesistektomi laparoskopik
Kolesistektomi laparoskopik mulai diperkenalkan pada tahun 1990 dan sekarang ini sekitar 90%
kolesistektomi dilakukan secara laparoskopik. Delapan puluh sampai sembilan puluh persen batu
empedu di Inggris dibuang dengan cara ini. Kandung empedu diangkat melalui selang yang
dimasukkan lewat sayatan kecil di dinding perut. Indikasi pembedahan batu kandung empedu
adalah bila simptomatik, adanya keluhan bilier yang mengganggu atau semakin sering atau berat.
Indikasi lain adalah yang menandakan stadium lanjut, atau kandung empedu dengan batu besar,
berdiameter lebih dari 2 cm, sebab lebih sering menimbulkan kolesistitis akut dibanding dengan
batu yang lebih kecil. Kolesistektomi laparoskopik telah menjadi prosedur baku untuk
RM.019.
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATANUNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
PRESENTASI KASUS ILMU ANESTESI dan REANIMASI NO.RM : 03-26-XX
pengangkatan batu kandung empedu simtomatik. Kelebihan yang diperoleh pasien dengan teknik
ini meliputi luka operasi kecil (2-10 mm) sehingga nyeri pasca bedah minimal.
2.6. Pencegahan Kolelitiasis
2.6.1. Pencegahan Primer
Pencegahan primer adalah usaha mencegah timbulnya kolelitiasis pada orang sehat yang
memiliki risiko untuk terkena kolelitiasis. Pencegahan primer yang dilakukan terhadap individu
yang memiliki risiko untuk terkena kolelitiasi adalah dengan menjaga kebersihan makanan untuk
mencegah infeksi, misalnya S.Thyposa, menurunkan kadar kolesterol dengan mengurangi asupan
lemak jenuh, meningkatkan asupan sayuran, buah-buahan, dan serat makanan lain yang akan
mengikat sebagian kecil empedu di usus sehingga menurunkan risiko stagnasi cairan empedu di
kandung empedu, minum sekitar 8 gelas air setiap hari untuk menjaga kadar air yang tepat dari
cairan empedu.
2.6.2. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder dilakukan dengan melakukan diagnosis dini terhadap penderita kolelitiasis
dan biasanya diarahkan pada individu yang telah positif menderita kolelitiasis agar dapat
dilakukan pengobatan dan penanganan yang tepat. Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan
non bedah ataupun bedah. Penanggulangan non bedah yaitu disolusi medis, ERCP, dan ESWL.
Penanggulangan dengan bedah disebut kolesistektomi.
2.6.3. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier dapat dilakukan dengan perawatan paliatif dengan tujuan mempertahankan
kualitas hidup penderita dan memperlambat progresifitas penyakit dan mengurangi rasa nyeri
dan keluhan lain. Pencegahan tersier dapat dilakukan dengan memerhatikan asupan makanan.
Intake rendah klorida, kehilangan berat badan yang cepat (seperti setelah operasi gatrointestinal)
mengakibatkan gangguan terhadap unsur kimia dari empedu dan dapat menyebabkan penurunan
kontraksi kandung empedu.
2.7. Komplikasi
2.7.1. Kolesistisis
Kolesistisis adalah Peradangan kandung empedu, saluran kandung empedu tersumbat oleh batu
empedu, menyebabkan infeksi dan peradangan kandung empedu.
2.7.2. Kolangitis
RM.020.
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATANUNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
PRESENTASI KASUS ILMU ANESTESI dan REANIMASI NO.RM : 03-26-XX
Kolangitis adalah peradangan pada saluran empedu, terjadi karena infeksi yang menyebar
melalui saluran-saluran dari usus kecil setelah saluran-saluran menjadi terhalang oleh sebuah
batu empedu.
2.7.3. Hidrops
Obstruksi kronis dari kandung empedu dapat menimbulkan hidrops kandung empedu. Dalam
keadaan ini, tidak ada peradangan akut dan sindrom yang berkaitan dengannya. Hidrops
biasanya disebabkan oleh obstruksi duktus sistikus sehingga tidak dapat diisi lagi empedu pada
kandung empedu yang normal. Kolesistektomi bersifat kuratif.
2.7.4. Empiema
Pada empiema, kandung empedu berisi nanah. Komplikasi ini dapat membahayakan jiwa dan
membutuhkan kolesistektomi darurat segera.
2.8. Pengertian Nyeri
Nyeri (nosisepsi) adalah sensori subyektif dan emosional yang tidak menyenangkan
yang didapat terkait dengan kerusakan jaringan actual maupun potensial, atau
menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan. Rasa nyeri merupakan masalah unik, disatu
pihak bersifat melindungi badan kita dan dilain pihak merupakan suatu siksaan. Definisi nyeri
menurut The International Association for the Study of Pain ialah sebagai berikut, nyeri
merupakan pengalaman sensoris dan emosional yang tidak menyenangkan yang disertai oleh
kerusakan jaringan secara potensial dan aktual. Nyeri sering dilukiskan sebagai suatu yang
berbahaya (noksius, protofatik) atau yang tidak berbahaya (nonnoksius, epikritik) misalnya
sentuhan ringan, kehangatan, dan tekanan ringan.
2.9. Fisiologi Nyeri
Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri.
Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung syaraf bebas dalam kulit yang
berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secara potensial merusak. Reseptor nyeri disebut
juga nosireceptor, secara anatomis reseptor nyeri (nosireceptor) ada yang bermielien dan ada
juga yang tidak bermielin dari syaraf perifer.
Berdasarkan letaknya, nosireseptor dapat dikelompokkan dalam beberapa bagaian
tubuh yaitu pada kulit (Kutaneus), somatik dalam (deep somatic), dan pada daerah viseral,
RM.021.
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATANUNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
PRESENTASI KASUS ILMU ANESTESI dan REANIMASI NO.RM : 03-26-XX
karena letaknya yang berbeda-beda inilah, nyeri yang timbul juga memiliki sensasi yang
berbeda.
Nosireceptor kutaneus berasal dari kulit dan sub kutan, nyeri yang berasal dari daerah
ini biasanya mudah untuk dialokasi dan didefinisikan. Reseptor jaringan kulit (kutaneus)
terbagi dalam dua komponen yaitu :
a. Reseptor A delta
Merupakan serabut komponen cepat (kecepatan tranmisi 6-30 m/det) yang
memungkinkan timbulnya nyeri tajam yang akan cepat hilang apabila penyebab nyeri
dihilangkan
b. Serabut C
Merupakan serabut komponen lambat (kecepatan tranmisi 0,5 m/det) yang terdapat
pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya bersifat tumpul dan sulit dilokalisasi
Struktur reseptor nyeri somatik dalam meliputi reseptor nyeri yang terdapat pada
tulang, pembuluh darah, syaraf, otot, dan jaringan penyangga lainnya. Karena struktur
reseptornya komplek, nyeri yang timbul merupakan nyeri yang tumpul dan sulit dilokalisasi.
Reseptor nyeri jenis ketiga adalah reseptor viseral, reseptor ini meliputi organ-organ viseral
seperti jantung, hati, usus, ginjal dan sebagainya. Nyeri yang timbul pada reseptor ini
biasanya tidak sensitif terhadap pemotongan organ, tetapi sangat sensitif terhadap
penekanan, iskemia dan inflamasi.
Ciri khas nyeri akut adalah nyeri yang terjadi akibat adanya kerusakan jaringan yang
nyata (pain with injury) . Prototipe suatu nyeri akut adalah nyeri pascabedah. Antara kerusakan
jaringan sebagai sumber rangsang nyeri,sampai dirasakannya sebagai persepsi nyeri terdapat
serangkaian peristiwa elektro-fisiologik yang secara kolektif disebut sebagai nosisepsi
(nociception). Ada 4 proses fisiologis yang jelas yang terjadi dalam suatu nosisepsi, yakni:
1)Transduksi; 2)Transmisi; 3)Modulasi; 4)Persepsi .
a. Transduksi , merupakan proses dimana suatu rangsangan nyeri (noxious stimuli) dirubah
menjadi aktifitas listrik yang akan diterima ujung-ujung saraf sensorik (nerve ending) .
Rangsang ini dapat berupa rangsang fisik (tekanan), suhu (panas), atau kimia (substansi
nyeri).
RM.022.
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATANUNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
PRESENTASI KASUS ILMU ANESTESI dan REANIMASI NO.RM : 03-26-XX
b. Transmisi , dimaksudkan sebagai perambatan rangsang nyeri melalui serabut saraf sensorik
menyusul proses transduksi . Impuls ini akan disalurkan oleh serabut saraf A delta dan
serabut C sebagai neuron pertama dari perifer ke medulla spinalis dimana impuls tersebut
mengalami modulasi sebelum diteruskan ke thalamus oleh traktus spinothalamikus sebagai
neuron kedua.
Dari thalamus selanjutnya impuls disalurkan ke daerah somatosensoris di korteks
serebri melalui neuron ketiga, dimana impuls tersebut diterjemahkan dan dirasakan sebagai
persepsi nyeri.
c. Modulasi , adalah proses dimana terjadi interaksi antara sistem analgesic endogen dengan
input nyeri yang masuk ke kornu posterior medulla spinalis. Sistem analgesik endogen ini
meliputi: enkefalin , endorfin , serotonin dan noradrenalin memiliki kemampuan menekan
input nyeri dikornu posterior . Kornu posterior ini dapat diibaratkan sebagai pintu gerbang
yang dapat tertutup atau terbuka dalam menyalurkan input nyeri. Proses modulasi ini
dipengaruhi oleh kepribadian, motivasi, pendidikan , status emosional dan kultur dari
seseorang .
Proses modulasi inilah yang menyebabkan persepsi nyeri menjadi sangat subyektif
orang per orang dan sangat ditentukan oleh makna atau arti suatu input nyeri .
d. Persepsi , adalah hasil akhir dari proses interaksi yang kompleks dan unik yang dimulai dari
proses transduksi,transmisi dan modulasi yang pada gilirannya menghasilkan suatu perasaan
yang subyektif yang dikenal sebagai persepsi nyeri. Respon tubuh terhadap suatu
pembedahan atau nyeri akan menghasilkan reaksi endokrin dan imunologik yang secara
umum disebut sebagai respon stres.
Respon stres ini sangat merugikan penderita karena selain akan menurunkan
cadangan dan daya tahan tubuh, meningkatkan kebutuhan oksigen otot jantung,
mengganggu fungsi respirasi dengan segala konsekuensinya, juga akan mengundang resiko
terjadinya tromboemboli yang pada gilirannya meningkatkan morbiditas dan mortalitas
pascabedah.
Teori Pengontrolan nyeri (Gate control theory)
Terdapat berbagai teori yang berusaha menggambarkan bagaimana nosireseptor dapat
menghasilkan rangsang nyeri. Sampai saat ini dikenal berbagai teori yang mencoba
menjelaskan bagaimana nyeri dapat timbul, namun teori gerbang kendali nyeri dianggap paling
relevan (Tamsuri, 2007). Teori gate control dari Melzack dan Wall (1965) mengusulkan bahwa
impuls nyeri dapat diatur atau dihambat oleh mekanisme pertahanan di sepanjang sistem saraf
RM.023.
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATANUNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
PRESENTASI KASUS ILMU ANESTESI dan REANIMASI NO.RM : 03-26-XX
pusat. Teori ini mengatakan bahwa impuls nyeri dihantarkan saat sebuah pertahanan dibuka
dan impuls dihambat saat sebuah pertahanan tertutup. Upaya menutup pertahanan tersebut
merupakan dasar teori menghilangkan nyeri.
Suatu keseimbangan aktivitas dari neuron sensori dan serabut kontrol desenden dari
otak mengatur proses pertahanan. Neuron delta-A dan C melepaskan substansi C melepaskan
substansi P untuk mentranmisi impuls melalui mekanisme pertahanan. Selain itu, terdapat
mekanoreseptor, neuron beta-A yang lebih tebal, yang lebih cepat yang melepaskan
neurotransmiter penghambat. Apabila masukan yang dominan berasal dari serabut beta-A,
maka akan menutup mekanisme pertahanan. Diyakini mekanisme penutupan ini dapat terlihat
saat seorang perawat menggosok punggung klien dengan lembut. Pesan yang dihasilkan akan
menstimulasi mekanoreseptor, apabila masukan yang dominan berasal dari serabut delta A dan
serabut C, maka akan membuka pertahanan tersebut dan klien mempersepsikan sensasi nyeri.
Bahkan jika impuls nyeri dihantarkan ke otak, terdapat pusat kortek yang lebih tinggi di otak
yang memodifikasi nyeri. Alur saraf desenden melepaskan opiat endogen, seperti endorfin dan
dinorfin, suatu pembunuh nyeri alami yang berasal dari tubuh. Neuromedulator ini menutup
mekanisme pertahanan dengan menghambat pelepasan substansi P. tehnik distraksi, konseling
dan pemberian plasebo merupakan upaya untuk melepaskan endorfin (Potter, 2005).
2.10. Pemberian Analgetik
Pemberian obat analgetik merupakan salah satu dari trias anastesi yaitu untuk
menghilangkan rasa sakit pada saat operasi. Dari beberapa penelitian menemukan bahwa
terapi analgetik akan lebih efektif diberikan sebelum seseorang terpajan impuls nyeri.
Analgesik opioid merupakan kelompok obat yang memiliki sifat-sifat seperti opium
maupun morfin. Meskipun mempelihatkan berbagai efek farmakologik yang lain, golongan
obat ini digunakan terutama untuk meredakan atau menghilangkan rasa nyeri. Pengaruh dari
berbagai obat golongan opioid sering dibandingkan dengan morfin, dan tidak semua obat
golongan opioid yang dipasarkan di Indonesia. Akan tetapi dengan sediaan yang sudah ada
kiranya penangganan nyeri yang membutuhkan obat opioid dapat dilakukan. Terbatasnya
peredaran obat tersebut tidak terlepas pada kekhawatiran terjadinya penyalahgunaan obat.
RM.024.
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATANUNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
PRESENTASI KASUS ILMU ANESTESI dan REANIMASI NO.RM : 03-26-XX
Dahulu digunakan istilah analgesik narkotik untuk analgesik kuat yang mirip morfin. Istilah
ini berasal dari kata yunani yang berarti stupor.
Reseptor opioid sebenarnya tersebar luas diseluruh jaringan system saraf pusat, tetapi
lebih terkonsentrasi di otak tengah yaitu di sistem limbic, thalamus, hipothalamus corpus
striatum, system aktivasi retikuler dan di korda spinalis yaitu substantia gelatinosa dan
dijumpai pula di pleksus saraf usus. Molekul opioid dan polipeptida endogen (metenkefalin,
beta-endorfin, dinorfin) berinteraksi dengan reseptor morfin dan menghasilkan efek.
Suatu opioid mungkin dapat berinteraksi dengan semua jenis reseptor akan tetapi
dengan afinitas yang berbeda, dan dapat bekerja sebagai agonis, antagonis, dan campuran.
Opioid mempunyai persamaan dalam hal pengaruhnya pada reseptor karena itu efeknya
pada berbagai organ tubuh juga mirip. Perbedaan yang ada menyangkut kuantitas, afinitas
pada reseptor dan tentu juga kinetik obat yang bersangkutan. Dalam mekanisme opioid
menembus susunan saraf pusat, opioid menembus membran biologis, dari darah lalu
menstimuli reseptor pada membran sel saraf. Kemampuan opioid untuk menembus sawar
darah otak tergantung pada ukuran molekulnya, ionisasi, kelarutan dalam lemak, ikatan
dengan protein. Dari kesemuanya itu, kelarutan dalam lemak dan ionisasi adalah yang
memegang peranan paling penting dalam penetrasi obat ke SSP.
2.10.1.Farmakodinamik
Efek narkotika terjadi pada susunan syaraf pusat dan organ yang mengandung otot polos.
Efek Narkotika pada system syaraf pusat mempunyai dua sifat yaitu depresi dan stimulasi.
Digolongkan depresi yaitu analgesia, sedasi, perubahan emosi, hipoventilasi alveolar.
Stimulasi termasuk stimulasi parasimpatis, miosis, mual muntah, hiper aktif reflek spinal,
konvulsi dan sekresi hormone anti diuretika (ADH).
2.10.2.Farmakokinetik
Narkotika tidak dapat menembus kulit utuh, tetapi dapat menembus kulit yang luka.
Narkotika juga dapat menembus mukosa. Morfin dapat diabsorsi usus, tetapi efek analgesik
setelah pemberian oral jauh lebih rendah daripada efek analgesik yang timbul setelah
RM.025.
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATANUNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
PRESENTASI KASUS ILMU ANESTESI dan REANIMASI NO.RM : 03-26-XX
pemberian parenteral dengan dosis yang sama. Morfin dapat melewati sawar uri dan
mempengaharui janin. Ekresi morfin terutama melalui ginjal. Sebagian kecil morfin bebas
ditemukan dalam tinja dan keringat.
2.10.3.Indikasi
Opioid diidentifikasikan untuk meredakan atau menghilangkan nyeri hebat yang tidak dapat
diobati dengan analgesik non-opioid. Lebih hebat nyerinya makin besar dosis yang
diperlukan. Morfin sering diperlukan untuk nyeri yang menyertai ; (1) Infark miokard ; (2)
Neoplasma ; (3) Kolik renal atau kolik empedu ; (4) Oklusi akut pembuluh darah perifer,
pulmonal atau koroner ; (5) Perikarditis akut, pleuritis dan pneumotorak spontan ; (6) Nyeri
akibat trauma misalnya luka bakar, fraktur dan nyeri pasca bedah.
2.10.4.Efek samping
Efek samping derivat opioid pada umumnya) meliputi depresi pernafasan, nausea, vomitus,
dizzines, mental berkabut, disforia, pruritus, konstipasi kenaikkan tekanan pada traktus bilier,
retensi urin, dan hipotensi. Dosis dan sediaan opioid tersedia dalam tablet, injeksi, supositoria.
Dosis anjuran untuk menghilangkan atau mengguranggi nyeri sedang adalah 0,1-0,2 mg/ kg
BB. Untuk nyeri hebat pada dewasa 1-2 mg intravena dan dapat diulang sesuai yang
diperlukan.
RM.026.
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATANUNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
PRESENTASI KASUS ILMU ANESTESI dan REANIMASI NO.RM : 03-26-XX
DAFTAR PUSTAKA
Boulton Thomas dan Blogg Colin E. 1994. Anestesiologi. EGC : Jakarta.
Gunawan Sulistia G, dkk. 2007. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. FK UI:Jakarta.
Guyton dan Hall.1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 9. EGC:Jakarta.
Neal M.J. 2006. At a Glance Farmakologi Medis Edisi Kelima. Erlangga:Jakarta.
Potter. 2005. Fundamental Keperawatan Konsep, Proses dan Praktik. Jakarta: EGC.
Tamsuri, A. 2007. Konsep dan penatalaksanaan nyeri. Jakarta : EGC. Hlm 1-63
RM.027.