Preskas Bedah Trauma Tumpul Abdomen.docx
-
Upload
nurraisya-mutiyani -
Category
Documents
-
view
50 -
download
7
Transcript of Preskas Bedah Trauma Tumpul Abdomen.docx
PRESENTASI KASUS
TRAUMA TUMPUL ABDOMEN
Oleh:
Abdullah Shidqul Azmi
Muh. Dadan Kurniawan
Rico Irawan
Rina Karina
Pembimbing:
dr. Eka Swabhawa U, Sp.B
KEPANITERAAN KLINIK EMERGENSI
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT FATMAWATI
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2014
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb
Segala puji bagi Allah SWT. Atas berkat sifat RahmhNya kami dapat
menyelesaikan makalah presentasi kasus ini yang berjudul “TRAUMA TUMPUL
ABDOMEN”. Makalah presentasi kasus ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas
dalam kepaniteraan klinik di Stase Emergensi Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati
Jakarta. Dalam kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak
yang telah membantu dalam penyusunan dan penyelesaian makalah ini, terutama kepada :
1. Dr. Eka Swabhawa U Sp.B selaku pembimbing presentasi kasus ini.
2. Rekan-rekan Kepaniteraan Klinik Emergensi RSUP Fatmawati atas bantuan dan
dukungannya.
Kami menyadari dalam pembuatan makalah presentasi kasus ini masih banyak
terdapat kekurangan, oleh karena itu segala kritik dan saran yang membangun guna
penyempurnaan makalah presentasi kasus ini sangat kami harapkan.
Demikian, semoga makalah presentasi kasus ini dapat bermanfaat bagi kita semua,
terutama dalam bidang Emergensi.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb
Jakarta, 11 Juli 2014
Penyusun
BAB I
ILUSTRASI KASUS
1.1 Identitas Pasien
Nama : Tn. N
Usia : 23 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Jl. Tipai Tengah, Cimanggis Depok
Status pernikahan : Belum menikah
Pendidikan terakhir : SMA
Pekerjaan : -
Agama : Islam
Suku bangsa : Jawa
Masuk RS : 4 Juli 2014
1.2 Anamnesis
Diambil secara : Autoanamnesa
Tanggal : 8 Juli 2014
Jam : 14.00 WIB
a. Keluhan Utama
Nyeri pada seluruh perut sejak 8 jam sebelum masuk rumah sakit (SMRS).
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke RSUP Fatmawati dengan keluhan nyeri pada seluruh perut,
terutama perut kanan atas sejak 8 jam SMRS setelah tarjatuh dari ketinggian 4 meter.
Nyeri dirasakan menetap seperti tertusuk-tusuk yang terus menerus.
Pasien terjatuh dari ketinggian 4 meter saat hendak membenarkan atap rumah.
Sebelum jatuh ke tanah, pasien sempat jatuh mengenai genteng terlebih dahulu. Pasien
tidak mengingat benda apa yang membentur dinding perutnya sebelum jatuh berguling di
tanah.
Setelah terjatuh, pasien masih dapat mengingat detail kejadian yang terjadi
beberapa saat setelah terjatuh. Pasien menyangkal adanya pingsan setelah kejadian,
riwayat mual (+), muntah (+) berupa cairan, nyeri kepala (-). Setelah kejadian, pasien
mengeluh pada seluruh lapang perut nyeri, ukuran perut semakin membesar (distensi),
tegang dan terasa sangat nyeri. Nyeri perut dirasakan semakin bertambah saat bernafas
dan pasien mengeluh sesak napas.
Pasien juga mengeluh adanya nyeri pada tungkai bawah kiri, dan tidak mampu
digerakkan. Disertai tidak mampu menggerakkan panggul kiri.
Pasca kecelakaan, pasien dibawa ke RS Tugu Ibu Depok, untuk mendapat
pertolongan pertama. Di RS, seingat pasien ia mendapat perawatan luka dan pemberian
oksigen, dilakukan pemasangan infus cairan dan pemberian obat injeksi. Kemudian, pasien
segera dirujuk ke RSUP Fatmawati. Sesampai di RSUP Fatmawati, pada pasien dilakukan
pemeriksaan radiologi foto CT Scan abdomen, USG abdomen, dan laboratorium, serta
pemberian beberapa obat injeksi.
Selama diobservasi di IGD RSUP Fatmawati, pasien mengaku tidak mengalami
gangguan berkemih. Pasien tetap dapat kencing dengan lancar meski melalui selang kateter
dan tidak mengeluhkan nyeri saat berkemih.
Saat ini pasien dirawat dan observasi di HCU, dan mengeluh nyeri pada seluruh
lapang perut, perus terasa penuh mual (+), serta adanya keluahan sakit kepala. Nyeri pada
tungkai bawah kiri.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat trauma atau jatuh sebelumnya disangkal, Hipertensi (-), asma (-),
penyakit jantung (-), penyakit paru (-), penyakit hati (-), alergi obat (-), Maag (-)
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Pasien menyangkal adanya keluhan seperti ini dalam keluarga. Riwayat Hipertensi
pada keluarga disangkal, asma (-), DM (-), penyakit jantung (-)
e. Riwayat Sosial dan kebiasaan
Pasien merokok sejak sma 1 bungkus dalam satu hari, dan kebiasaan minum kopi
setiap hari. Kebiasaan konsumsi alkohol atau obat-obatan disangkal.
3.3 Pemeriksaan Fisik
a. Status Generalis
Keadaan umum : Tampak sakit berat
Kesadaran : Compos mentis
Gizi : Kesan gizi cukup
Sikap : Kooperatif
Tanda vital
Tekanan darah : 90/60 mmHg
Nadi : 92 kali/ menit
Pernapasan : 24 kali / menit
Suhu tubuh : 36,7 oC
1. Primary surveya. Airway : bebasb. Breathing : spontan, tidak ada sumbatan, c. Circulation : setelah resusitasi
TD : 103/59 mmHg
Nadi : 72x/ menit
CRT : <2 detik
d. Dissability : GCS 15
2. Secondary surveyKepala : jejas (-), vulnus (-), trauma stigmata (-)
Mata : konjungtiva anemis +/+, sklera ikterik /+, pupil bulat isokor, Refleks Cahaya Langsung +/+, Refleks cahaya Tidak Langsung +/+
Hidung : deviasi septum nasi (-), konka hipertrofi (-), mukosa tidak hiperemis, sekret (-)
Mulut : bibir kering(+), sianosis (-), arcus faring tidak hiperemis, uvula lurus ditengah
Telinga : normotia, serumen +/+, sekret -/-
Leher : Jejas (-), vulnus (-), nyeri tekan (-), KGB leher tidak teraba membesar, kelenjar tiroid tidak teraba membesar
Thorax :
Paru
Inspeksi : jejas (-), kedua hemithorax simetris dalam keadaan statis dinamis, penonjolan (-)
Palpasi : nyeri tekan (-), vocal fremitus kanan < kiri, massa (-)
Perkusi : redup pada paru kanan mulai ics v, sonor di lapang paru kiri.
Auskultasi : suara nafas vesikuler melemah (+/-), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Jantung :
Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat.
Palpasi : teraba pada garis midclavicularis kiri di ICS 5
Perkusi : Batas jantung kanan : garis parasternalis dextra di ICS 4
Batas jantung kiri : garis midclavicularis sinistra di ICS 5
Auskultasi : S1 S2 reguler, murmur (-), gallop (-).
Abdomen :
Inspeksi : perut datar, jejas (-), defens muskular (+)
Palpasi : Hepar dan lien tidak teraba membesar. Nyeri tekan (+) pada seluruh lapang paru, terutama pada regio hipokondrium dan lumbal sekstra.
Perkusi : shifting dullness (+) nyeri ketok CVA(-/-), pekak hepar (+),
Auskultasi : bising usus (+) normal
Ekstremitas : Oedem (-/+), akral hangat(+/+), CRT<2” sianosis akral (-), jejas pada ektremitas bawah kiri.
Genital :
Rectal tuchae : TSA baik, ampula tidak kolaps, mukosa licin, massa (-) feses (-), lendir (-), darah (-).
3.5 Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium
4 Juli 2014 (12.10 WIB) RS Tugu Ibu Depok
Pemeriksaan Nilai Nilai Normal
HEMATOLOGI
Hb 13.8 11.7 gr/dl – 15.5 g/dl
Ht 40 33% – 45%
Leukosit 16.3 5.0 rb/ul – 10.0 rb/ul
Trombosit 395 150 rb/ul – 440 rb/ul
Eritrosit 4.7 4.4 juta/mm3 - 5.9 juta/mm3
Hitung Jenis 0/1/0/60/36/3 0-1/2-4/3-5/50-70/25-40/2-8
MCV 85 80 fl -100 fl
MCH 29 26 pg – 34 pg
MCHC 34 32 gr/dl -36 gr/dl
Kimia darah-Fungsi Hati
SGOT 688 0 – 50 U/L
SGPT 643 0 – 50 U/L
4 Juli 2014 (20.08) RSUP Fatmawati
Pemeriksaan Nilai Nilai Normal
Analisis Gas Darah
pH 7.13 7.37 – 7.44
pCO2 36.9 35 - 45
pO2 88.9 83 – 106
BP 750
HCO3 12.1 21 – 28
O2 Saturasi 94 95 – 99
BE -16.2 -2.5 – 2.5
Total CO2 29 19 - 24
Elektrolit darah
Natrium 139 135 – 147 mmol/l
Kalium 3.19 3.10 – 5.10 mmol/l
Klorida 110 95 – 108 mmol/l
GDS 247 70 - 140
5 Juli 2014 (10.10)
Pemeriksaan Nilai Nilai Normal
HEMATOLOGI
Hb 11.3 11.7 gr/dl – 15.5 g/dl
Ht 33 33% – 45%
Leukosit 16.8 5.0 rb/ul – 10.0 rb/ul
Trombosit 193 150 rb/ul – 440 rb/ul
Eritrosit 3.83 4.4 juta/mm3 - 5.9 juta/mm3
MCV 86.9 80 fl -100 fl
MCH 29.6 26 pg – 34 pg
MCHC 34.1 32 gr/dl -36 gr/dl
5 Juli 2014 (18.45)
Pemeriksaan Nilai Nilai Normal
HEMATOLOGI
Hb 9.8 11.7 gr/dl – 15.5 g/dl
Ht 29 33% – 45%
Leukosit 14.3 5.0 rb/ul – 10.0 rb/ul
Trombosit 154 150 rb/ul – 440 rb/ul
Eritrosit 3.37 4.4 juta/mm3 - 5.9 juta/mm3
MCV 86.8 80 fl -100 fl
MCH 29.2 26 pg – 34 pg
MCHC 33.7 32 gr/dl -36 gr/dl
6 Juli 2014 (08.15)
Pemeriksaan Nilai Nilai Normal
HEMATOLOGI
Hb 9.4 11.7 gr/dl – 15.5 g/dl
Ht 28 33% – 45%
Leukosit 15.6 5.0 rb/ul – 10.0 rb/ul
Trombosit 170 150 rb/ul – 440 rb/ul
Eritrosit 3.20 4.4 juta/mm3 - 5.9 juta/mm3
MCV 86.8 80 fl -100 fl
MCH 29.5 26 pg – 34 pg
MCHC 34 32 gr/dl -36 gr/dl
7 Juli 2014 (07.50)
Pemeriksaan Nilai Nilai Normal
HEMATOLOGI
Hb 8.1 11.7 gr/dl – 15.5 g/dl
Ht 24 33% – 45%
Leukosit 12.3 5.0 rb/ul – 10.0 rb/ul
Trombosit 132 150 rb/ul – 440 rb/ul
Eritrosit 2.73 4.4 juta/mm3 - 5.9 juta/mm3
MCV 87.5 80 fl -100 fl
MCH 29.6 26 pg – 34 pg
MCHC 33.8 32 gr/dl -36 gr/dl
b. Radiologi
1. USG abdomen FAST (4/07/2014)
Kesan:
Cairan sugestif masif di hepatorenal, spleenorenal, paracolica kanan-kiri, dan
perivesika dengan suspek hematom di perivesika.
Lesi hiperekoik di lobus kanan hepar suspek hematom
2. CT Scan whole abdomen dengan dan tanpa kontral media potongan aksial total 10 mm
(7/7/2014)
Kesan:
Laserasi dan hematoma pada segmen 6,7, dan 8 hepar lobus kanan (dengan luas
+/- 40%, grade IV), tanpa adanya gambaran perdarahan aktif saat ini, disertai
cairan bebas yang masif intraabdomen dan pelvis (perdarahan)
Organ-organ solid intraabdominal lainnya baik
Tidak tampak perdarahan aktif pada organ intraabdomen dan pelvis saat ini
Fraktur collum os femur kiri
.
3.7 Diagnosis Kerja
Ruptur hepar ec. Trauma tumpul abdomen dengan saat ini hemodinamik stabil
Fraktur closed collum femur sinistra
3.8 Penatalaksanaan
Observasi TV dan diuresis
IVFD RL 500 cc/ 8 jam
Ceftriaxone 1 x 2 gr IV
Tramadol 3 x 100 mg IV
Omeprazole 2 x 40 mg IV
Asam tranexamat 3 x 500 mg IV
Vit. K 3 x 50 mg IV
Vit C 2 x 400 mg Iv
Pasang NGT, puasa, bed rest total
Transfusi
3.9 Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad fungsionam : dubia ad bonam
Quo ad sanactionam : dubia ad bonam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 ANATOMI ABDOMEN
Abdomen terdiri dari bagian dinding dan bagian dalam,yang lazim disebut bagian parietal
dan bagian visceral. Bagian dinding terdiri dari cutis,subcutis,fascia superfisial, otot, lemak,
pembuluh darah superfisial, fascia profunda tulang dan peritoneum pariental. Bagian dalam akan
dijumpai organ–organ seperti,hepar, lien, duodenum, colon, appendix vermiformis, caecum,
pembuluh darah arteri vena atau pembuluh limph. Termasuk pembuluh darah yang penting adalah
aorta abdominalis dengan cabang–cabangnya. Aliran darah ini penting karena pada bagian dalam
ini terdapat usus, sehingga perlu peredaran darah yang kayak agar bila terjadi perlukaan, maka
tidak akan terjadi pembusukan jaringan dengan cepat.
Anatomi luar dari abdomen dibagi menjadi:
1. Abdomen Depan
Batas Superior : Garis intermammaria-
Batas Inferior : Kedua ligamentum inguinale dan simfisis pubis-
Batas Lateral : Kedua linea axillaris anterior
2. Pinggang
Pinggang merupakan daerah yang berada di antara linea axillaris anterior danlinea axillaris
posterior, dari sela iga ke-6 di atas, ke bawah sampai crista iliaca. Di lokasi ini adanya dinding otot
abdomen yang tebal, berlainan dengandinding otot yang lebih tipis di bagian depan, menjadi
pelindung terutamaterhadap luka tusuk.
3. Punggung
Batas Superior : Ujung bawah scapula
Batas Inferior : Crista iliaca
Batas Lateral : Kedua linea axillaris posteriorOtot-otot punggung dan otot paraspinal juga
menjadi pelindung terhadaptrauma tajam.
2.1.1 CAVUM ABDOMINALIS
Cavum abdominalis adalah rongga batang tubuh yang terdapat diantara diafragma dan
apertura pelvis superior. Cavum abdominalis merupakan rongga yang terbesar dari ketiga rongga
tubuh yang terdiri atas cavum cranii, cavum thoracalis, dan cavum pelvicum. Cavum abdominalis
dibatasi oleh :
Kranial : diafragma
Ventrolateral : otot dinding perut dan m. Illiacus
Dorsal : columna vertebralis
m. psoas major
m. psoas minor
m. quadratus lumborum
Kaudal : apertura pelvis superior mencakup pelvis major
Cavum abdominalis tidak sesuai dengan batas tulang yang membatasinya karena :
1. Diafragma berbentuk kubah dan menjorok ke dalam cavum thoracalis sampai setinggi
costa V (di kanan) sedangkan di kiri kira – kira 2,5 cm lebih rendah.
2. Dibagian kaudal cavum abdominalis juga menjorok sampai ke cavum pelvicum dan men-
cakup pelvis major.
2.1.2 LAPISAN DINDING ABDOMEN
1. Stratum superficialis (lapisan dangkal)
a. Cutis
b. Subcutis (fascia abdominalis superficialis)
Lamina superficialis (fascia camperi)
Lamina profunda (fascia scarpae)
2. Stratum intermedius (lapisan tengah)
a. Fascia abdominalis
b. Otot – otot dinding perut
c. Aponeurosis otot dinding perut
d. Tulang
3. Stratum profunda (lapisan dalam)
a. Fascia transversalis
b. Panniculus adiposus preperitonealis
c. Peritoneum parietale
2.1.3 OTOT – OTOT DINDING PERUT
1. Musculi anterolaterales
a. mm. Obliqua (otot serong dinding anterior)
m. Obliqus externus abdominis
m. Obliqus internus abdominis
m. Transversus abdominis
b. mm. Recti (otot lurus dinding anterior)
m. Rectus abdominis
m. Pyramidalis
2. Musculi posteriores
a. m. psoas major
b. m. psoas minor
c. m.iliacus
Actio otot – otot dinding perut :
1. Fixatio organa viscerales abdominales
2. Melakukan gerakan pada columna vertebralis, yaitu :
Anteflexio tubuh (m. Rectus abdominis)
Torsio batang tubuh (mm. Obliqus externus et internus abdominis)
3. Membantu akhir ekspirasi (mm. laterales)
4. Meningkatkan tekanan intra abdominal, misalnya pada pampat perut (buik-persen)
2.1.4 VASKULARISASI DINDING ABDOMEN
a. Pembuluh Nadi
Dinding abdomen diperdarahi oleh :
1. Aa. Intercostales VII – XII
2. Aa. Lumbales
3. A. Epigastrica superior
4. A. Epigastrica inferior
5. Aa. Inguinales superficiales
6. A. Circumflexa ilium profunda
Aa. Intercostales dipercabangkan dari aorta thoracalis, lalu berjalan di dalam sulcus costae.
Setelah keluar dari sulcus costae maka ke-6 Aa. Intercostales terletak diantara m. Transversus
abdominis an m. Obliqus internus abdominis. Aa. Intercostales mempercabangkan :
a. Rr. Posterior aa. Intercostales untuk otot punggung
b. Rr. Laterales aa. Intercostales
c. Rr. Anterior aa. Intercostales, mengurus dan memasuki vagina m. Rectus abdominis
Aa. Lumbales, biasanya empat pasang, dipercabangkan dari Aorta abdominalis setinggi
vertebrae lumbales I – IV. Aa. Lumbales berjalan ke lateral pada corpora vertebrae lumbales di
sebelah dorsal truncus symphaticus.
A. epigastrica superior merupakan salah satu cabang akhir A. mammaria interna (A. thoracica
interna), dipercabangkan setinggi spatium intercostales VI. Setelah meninggalkan cavum thoracis,
A. epigastrica superior memasuki vagina m. Rectus abdominis di sebelah dorsal cartilago costae
VIII. Mula – mula terletak dorsal terhadap m. Rectus abdominis lalu menembus otot tersebut untuk
beranastomosis dengan A. epigastrica inferior.
A. epigastrica inferior (A. epigastrica profunda) dipercabangkan dari A. iliaca externa tepat
kranial ligamentum inguinale Pouparti, lalu berjalan ke arah ventral di dalam jaringan
subperitoneal. Selanjutnya A. epigastrica inferior berjalan miring ke kranial di sepanjang tepi
medial annulus inguinalis profundus.
Setelah menembus fascia transversalis, A. epigastrica inferior berjalan di sebelah ventral linea
semicircularis Douglasi ke arah kranial di antara m. Rectus abdominis dan lamina posterior vagina
m. Rectus abdominis. Kranial terhadap umbilicus, A. epigastrica superior dan Aa. Intercostales.
A.epigastrica inferior mempercabangkan :
cremasterica (A. spermatica externa)
R. pubicus a. epigastrica inferior
Rr. Musculares
b. Pembuluh Balik Dinding Abdomen
1. Vv. Superfcialies (pembuluh balik dangkal).
Membentik anyaman pembuluh balik yang luas di jaringan subkutis lalu bermuara ke
dalam :
V. epigastrica superficialis, yang selanjutnya bermuara ke V. Femoralis
V. thoraco-epigastrica, bermuara ke dalam V. Axillaris
Disekita umbilikus terdapat pembuluh balik dangkal yang dinamakan Vv. Paraumbilikalis
Sappeyi dan berjalan disepanjang ligamentum teres hepatis mulai dari umbilikus sampai ke
dalam sisa V. Umbilikalis yang masih terbuka. Bila terjadi bendungan pada V. Porta
(misalnya pada hipertensi portal), Vv. Paraumbilikalis Sappeyi mengalami varises dan
membentuk gambaran yang dinamakan Caput Medussae.
2. Vv. Profundi, biasanya mengikuti pembuluh nadinya
2.1.5 PERSARAFAN DINDING ABDOMEN
1. Nn. Thoracales VII – XII
Rr.ventrales nn thoracales VII – XII (Nn intercostales) berjalan diantara m. Obliqus
internus abdominis dan m. Transversus abdominis. Rr. Cutanei anteriores dipercabangkan
setelah menembus vagina M. Rectus abdominis, sedangkan RR cutanei laterales
dipercabangkan sekitar umbilikus.
Nn thoracales VII –XII juga mempersarafi m. Rectus abdominis sehingga kerusaka saraf
tersebut dapat menimbulkan kelumpuhan m. Rectus abdominis.
Nn thoracalis VII mempersarafi kulit dinding abdomen setinggi proc. xiphoideus, Nn
thoracales VIII – IX antara proc. xiphoideus dan umbilikus, N.thoracalis X setingi
umbilikus sedangkan N. Thoracalis XII mengurus pertengahan antara umbilikus dan
symphisis osseus pubis.
2. N. Lumbales I
N lumbalis I berjalan sejajar dengan Nn thoracales dan mempercabangkan :
N. iliohypogastricus
N. Iloinguinalis
Nn. Iliohypogastricus et ilioinguinales berjalan diantara m. Obliqusinternus abdominis dan
m. Transversus abdominis sampai spina iliaca anterior superior. Kira – kira 2,5 cm
disebelah kranial annulus inguinalis superficialis, Nn. Iliohypogastricus menembus
aponeurosis otot serong dinding perut dan berubah menjadi saraf kulit.
N. Iloinguinalis berjalan di kanalis inguinalis lal mempersarafi kulit disekitar radix penis,
bagian ventral scrotum dan kulit tungkai atas didekatnya.
N thoracalis XII (N subcostalis) dan N lumbalis I merupakan saraf yang paling penting
karena keduanya mempersarafi alat – alat penting di bagian kaudal dinding abdomen.
2.2 HEPAR
2.2.1. LOKASI
Hepar merupakan kelenjar terbesar didalam tubuh, menempati hampir seluruh regio hypochondrica
dextra, sebagian besar epigastrium dan seringkali meluas sampai ke regio hypochondrica sinistra
sejauh linea mammilaria.
2.2.2. BENTUK DAN UKURAN
Bentuknya seperti suatu pyramid bersisi tiga dengan basis menunjuk ke kanan sedangkan apeks
(puncak) nya ke kiri.
Pada laki – laki dewasa beratnya 1400 – 1600 gram, perempuan 1200 – 1400 gram.ukuran
melintang (transversal) 20 – 22,5 cm, vertikal 15 – 17,5 cm sedangkan ukuran dorsoventral yang
paling besar adalah 10 - 12,5 cm.
Pembagian Segmen Hepar
Hati dipisahkan menjadi lobus kanan dan kiri dari fossa kandung empedu ke vena cava
inferior (IVC), yang dikenal sebagai Cantlie line. lobus kanan menyumbang 60 sampai 70% dari
massa hati, dengan lobus kiri (dan lobus caudal) yang membentuk sisanya. lobus caudal terletak di
sebelah kiri dan anterior dari IVC dan berisi tiga subsegments: Spiegel lobus, bagian paracaval,
dan caudate process. Ligamen falciform tidak memisahkan lobus kanan dan kiri, melainkan
membagi lateral kiri segmen dari segmen medial kiri. lateral kiri dan medial kiri segmen, juga
disebut sebagai bagian sebagaimana didefinisikan dalam terminologi Brisbane 2000, yang
diuraikan kemudian dalam bagian "Teknik Reseksi Hati." Sebuah kemajuan yang signifikan dalam
pemahaman kita tentang anatomi hati berasal dari studi pekerjaan cor dari ahli bedah Perancis dan
ahli anatomi Couinaud di awal 1950-an. Couinaud dibagi hati menjadi delapan segmen, penomoran
searah jarum jam yang dimulai dengan lobus caudal sebagai segmen I. Segmen II dan III terdiri
dari segmen sisi kiri, dan segmen IV adalah segmen medial kiri (Gambar 31-3). Dengan demikian,
lobus kiri terdiri dari segmen kiri lateral (Couinaud ini segmen II dan III) dan segmen medial kiri
(segmen IV). Segmen IV dapat dibagi lagi menjadi segmen IVB dan segmen IVA. IVA segmen
cephalad dan tepat di bawah diafragma, mulai dari segmen VIII pada ligamentum falicform
berdekatan dengan segmen II. Segmen IVB adalah caudad dan berdekatan dengan fossa kandung
empedu.
2.2.3. PERMUKAAN HEPAR
1. Facies diafragmatica (facies superior) hepar, ialah permukaan hepar yang menghadap ke di-
afragma, dibedakan atas empat bagian, yaitu pars :
Anterior (pars ventralis)
Superior
Posterior
Dextra
Di sisi kanan, pars anterior dipisahkan oleh diafragma dari costae dan cartilago costae VI-
X, sedangkan di sisi kiri dari costae dan cartilago costae VII-VIII. Seluruhnya tertutup oleh
peritoneum, kecuali disepanjang perlekatannya dengan ligamentum falciforme hepatis.
Bagian dari pars superior dekat jantung mempunyai cekungan yang dinamakan impresio
(fossa) cardiaca. Di sebelah kanan, pars posterior lebar dan tumpull sedangkan di sebelah kiri
tajam. Agak ke kanan bagian tengah terdapat sulcus venae cavae (ditempati oleh vena cava
inferior). Kira – kira 2-3 cm ke sebelah kiri vena cava inferior terdapat fissura ligamenta
vensosi (ditempati oleh ligamentum venosum arantii). Diantara keduanya terdapat lobus
caudatus.
Di sebelah kanan vena cava inferior terdapat suatu daerah berbentuk segitiga yang
dinamakan impressio suprarenalis. Di sebelah kiri fissura ligamenti venosi terdapat sulcus
oesophagealis yang ditempati oleh antrum cardiacum oesophagei.
Pada pars dorsalis facies diafragmaticae terdapat suatu bagian yang tidak tertutup oleh
peritoneum dan melekat pada diafragma melalui jaringan ikat longgar. Bagian tersebut
dinamakan area nuda hepatis (bare area of the liver) yang dibatasi oleh partes superior et
inferior ligamenti coronaria hepatis.
Pars dextra bersatu dengan ketiga bagian lainnya dari facies diafragmatica.
2. Facies visceralis (fascia inferior) hepar
Cekung dan menghadap ke dorsokaudal kiri, ditandai oleh adanya alur dan bekas alat yang
berhubungan dengan hepar. Facies visceralis tertutup peritoneum kecuali di tempat vesica
fellea. Alur – alur memberikan gambaran seperti huruf “H” dan dibentuk oleh :
a. Fossae sagitalis dextra et sinistra (kaki huruf “H”)
b. Porta hepatis (bagian yang melintang)
Fossa sagitalis sinistra (fisura longitudinalis) memisahkan lobus dextra dan lobus sinistra
hepatis. Porta hepatis memotong tegak lurus dan membaginya menjadi dua bagian, yaitu fissura
ligamenti teretis dan fossa duktus venosus.
Fisura ligamenti teretis merupakan bagian ventral, ditempati oleh ligamentum teres hepatis
(embriologi berasal dari V. umbilikalis) dan terdapat diantara lobus quadratus dan lobus sinister
hepatis.
Fossa ductus venosus terdapat dibagian dorsal diantara lobus caudatus an lobus sinistra
hepar. Ditempati oleh ligamentum venosum arantii (embriologik berasal dari ductus venosus
arantii).
Fossa sagitalis dextra dibagi oleh porta hepatis menjadi dua bagian, yaitu fossa vesiva fellea
(dibagian ventral, ditempati oleh vesika fellea) dan fossa vena cava inferior (di bagian dorsal
ditempati oleh ven cava inferior).
Porta hepatis (fissura transversa) panjangnya kira – kira 5 cm, memisahkan lobus quadratus
disebelah ventral serta lobus caudatus dan proc. caudatus di dorsal. Porta hepatis ditempati oleh:
Vena porta
Arteri hepatica
Ductus choledochus
Nervus hepaticus
Ductus lymphaticus
Vena porta, arteri hepatica dan ductus choledochus terbungkus oleh ligamentum hepato-
duodenale.
Biasanya hepar dianggap mempunyai dua lobi, yaitu lobus dextra dan lobus sinistra hepar.
Lobus Dextra Hepatis
Lobus dextra 6 kali lebih besar daripada lobus sinistra hepatis dan menempati regio
hypocondrica dextra. Pada lobus dextra terdapat lobus quadratus dan lobus caudatus Spigeli.
Lobus quadratus terdapat diantara vesica fellea dan fissura ligamenti teretis, batasnya adalah:
Ventral : margo inferior hepar yaitu bagian yang tipis, tajam dan ditandai oleh adanya incisura
ligamenti teretis.
Dorsal : porta hepatis
Kanan : fossa vesica fellea
Kiri : fissura ligamenti teretis
Lobus caudatus Spigeli terdapat pada facies dorsalis lobus hepatis dextra setinggi vertebrae Th
X-XI, batas – batasnya :
Kaudal : porta hepatis
Kanan : fossa venae cava inferior
Kiri : fissura ligamenti venosi
Proc. caudatus adalah penonjolan yang menghubungkan lobus caudatus dan lobus hepatis
dextra, membentang miring ke arah lateral dari tepi distal lobus caudatus ke facies visceralis lobus
hepatis dextra disebelah dorsal porta hepatis.
Lobus Sinistra Hepatis
Lebih kecil dan lebih rata dari lobus dextra, terletak di regio epigastrica dan regio
hypochondrica sinistra.
Hepatic Triad
Ductus choledochus, arteri hepatica dan vena porta yang terbungkus di dalam ligamentum
hepato-duodenale di sebelah ventral foramen epiploicum Winslowi membentuk suatu triad (tiga
serangkai) yang dinamakan hepatic triad, dengan susunan sebagai berikut :
Ductus choledochus
Vena porta
Arteri hepatica
LIGAMENTUM HEPATICAE
1. Merupakan lipatan peritoneum :
Ligamentum falciforme hepatis
Ligamentum coronaria hepatis
Ligamentum triangulare dextra
Ligamentum triangulare sinistra
2. Peninggalan embrional : ligamentum teres hepatis (dari vena umbilicalis)
Ligamentum falciforme hepatis dibentuk oleh dua lembaran peritoneum yang menjadi satu
ligamentum coronaria hepatis terdiri dari atas dua lembar, lembar dibagian dorsal berjalan ke
ren dan glandula suprarenalis dextra sehingga dinamakan ligamentum hepato-renalis.
Ligamentum triangulare dextra (ligamentum lateralis dextra) dibentuk oleh kedua
lembaran ligamentum coronaria hepatis. Ligamentum triangulare sinistra (ligamentum lateralis
sinistra) di sebelah kiri berakhir sebagai suatu ikat fibrosa yang kuat yang dinamakan appendix
fibrosa hepatis.
Diantara hepar dan curvatura minor terdapat ligamnetum hepato-gastricum sedangkan
dengan duodenum dihubungkan oleh ligamentum hepato-duodenale.
Hepar difiksasi oleh :
Ligamentum coronaria hepatis
Ligamentum triangulare hepatis
Vena cava inferior
Vascularisasi hepar, yaitu :
Arteri hepatica
Vena porta
Vv. hepaticae
Dalam perjalanannya ke dalam parenkim hepar A. Hepatica dan V. Porta terbungkus didalam
capsula fibrosa Glissoni.
Sedangkan persarafan hepar berasal dari :
Nn. Vagi dextra et sinistra
Plexus symphaticus coeliacus
Apparatus excretorius hepar adalah salurang yang berhubungan dengan penyaluran sekresi yang
dihasilkan oleh hepar, terdiri atas :
Ductus hepaticus
Vesica fellea
Ductus cysticus
Ductus choledochus
Ductus hepaticus dibentuk oleh ductus hepaticus dextra dan ductus hepaticus sinistra, masing –
masing berasal dari lobus hepatis dextra dan lobus hepatis sinistra. Bersama – sama dengan ductus
cysticus, ductus hepaticus membentuk ductus choleduchus.
2.3 TRAUMA TUMPUL ABDOMEN
2.3.1 Definisi
Trauma tumpul abdomen adalah pukulan / benturan langsung pada rongga abdomen yang mengakibatkan cidera tekanan)tindasan pada isi rongga abdomen, terutama organ padat (hati,
pancreas, ginjal, limpa) atau berongga (lambung, usus halus, usus besar, pembuluh) pembuluh darah abdominal dan mengakibatkan ruptur abdomen.Trauma tumpul abdomen merupakan trauma pada perut tanpa penetrasi kedalam rongga peritoneum. Benturan benda tumpul pada abdomen dapat menimbulkan cedera pada organ berongga berupa perforasi, atau pada organ padat berupa perdarahan
2.3.2 Etiologi
Data internasional yang didapat dari World Health Organization mengindikasikan penyebab
utama dari trauma tumpul pada abdomen adalah jatuh dari ketinggian kurang dari 5 meter dan
kecelakaan mobil.data ini mencakup semua jenis luka, bukan luka akibat trauma tumpul abdomen
saja. Penyebab tersering dari trauma tumpul abdomen akibat kecelakaan kendaraan bermotor.
Penyebab-penyebab umum lainnya termasuk terjatuh dan kecelakaan industri atau rekreasi.
Trauma tumpul abdomen dapat disebabkan oleh: pukulan, benturan, ledakan, deselerasi, kompresi
atau sabuk pengaman (set-belt).
2.3.3 Patofisiologi
Bila suatu kekuatan eksternal dibenturkan pada tubuh manusia (akibat kecelakaan lalulintas,
penganiayaan, kecelakaan olah raga dan terjatuh dari ketinggian), maka beratnya trauma
merupakan hasil dari interaksi antara faktor – faktor fisik dari kekuatan tersebut dengan jaringan
tubuh. Berat trauma yang terjadi berhubungan dengan kemampuan obyek statis (yang ditubruk)
untuk menahan tubuh. Pada tempat benturan karena terjadinya perbedaan pergerakan dari jaringan
tubuh yang akan menimbulkan disrupsi jaringan. Trauma juga tergantung pada elastitisitas dan
viskositas dari jaringan tubuh. Elastisitas adalah kemampuan jaringan untuk kembali pada keadaan
yang sebelumnya. Viskositas adalah kemampuan jaringan untuk menjaga bentuk aslinya walaupun
ada benturan. Toleransi tubuh menahan benturan tergantung pada kedua keadaan tersebut..
Beratnya trauma yang terjadi tergantung kepada seberapa jauh gaya yang ada akan dapat melewati
ketahanan jaringan. Komponen lain yang harus dipertimbangkan dalam beratnya trauma adalah
posisi tubuh relatif terhadap permukaan benturan. Hal tersebut dapat terjadi cedera organ intra
abdominal yang disebabkan beberapa mekanisme :
Meningkatnya tekanan intra abdominal yang mendadak dan hebat oleh gaya tekan dari luar
seperti benturan setir atau sabuk pengaman yang letaknya tidak benar dapat mengaki-
batkan terjadinya ruptur dari organ padat maupun organ berongga.
Terjepitnya organ intra abdominal antara dinding abdomen anterior dan vertebrae atau
struktur tulang dinding thoraks.
Terjadi gaya akselerasi – deselerasi secara mendadak dapat menyebabkan gaya robek pada
organ dan pedikel vaskuler 4.
Pada trauma tumpul dengan velisitas rendah (misalnya akibat tinju) biasanya menimbulkan
kerusakan satu organ. Sedangkan trauma tumpul velositas tinggi sering menimbulkan kerusakan
organ multipel, seperti organ padat ( hepar, lien, ginjal ) dari pada organ-organ berongga. 7.
Cedera pada struktur intraabdomen dapat diklasifikasikan menjadi dua mekanisme utama
yaitu kekuatan kompresi dan deselerasi.
Beberapa mekanisme patofisiologi dapat menjelaskan trauma tumpul abdomen. Secara garis besar
trauma tumpul abdomen (non penetrtaing trauma) dibagi menjadi 3 yaitu :
1. Trauma kompresi
Trauma kompresi terjadi bila bagian depan dari badan berhenti bergerak, sedangkan bagian
belakang dan bagian dalam tetap bergerak ke depan. Organ-organ terjepit dari belakang oleh
bagian belakang thorakoabdominal dan kolumna vetebralis dan di depan oleh struktur yang
terjepit. Trauma abdomen menggambarkan variasi khusus mekanisme trauma dan menekankan
prinsip yang menyatakan bahwa keadaan jaringan pada saat pemindahan energi mempengaruhi
kerusakan jaringan. Pada tabrakan, maka penderita akan secara refleks menarik napas dan
menahannya dengan menutup glotis. Kompresi abdominal mengkibatkan peningkatan tekanan
intrabdominal dan dapat menyebabkan ruptur diafragma dan translokasi organ-organ abdomen
ke dalam rongga thorax. Transient hepatic kongestion dengan darah sebagai akibat tindakan
valsava mendadak diikuti kompresi abdomen ini dapat menyebabkan pecahnya hati. Keadaan
serupa dapat terjadi pada usus halus bila ada usus halus yang closed loop terjepit antra tulang
belakang dan sabuk pengaman yang salah memakainya.
2. Trauma sabuk pengaman (seat belt)
Sabuk pengaman tiga titik jika digunakan dengan baik, mengurangi kematian 65%-70% dan
mengurangi trauma berat sampai 10 kali. Bila tidak dipakai dengan benar, sabuk pengaman
dapat menimbulkan trauma. Agar berfungsi dengan baik, sabuk pengamna harus dipakai di
bawah spina iliaka anterior superior, dan di atas femur, tidak boleh mengendur saat tabrakan
dan harus mengikat penumpang dengan baik. Bila dipakai terlalu tinggi (di atas SIAS) maka
hepar, lien, pankreas, usus halus, diodenum, dan ginjal akan terjepit di antara sabuk pengaman
dan tulang belakang, dan timbul burst injury atau laserasi. Hiperfleksi vetebra lumbalis akibat
sabuk yangterlalu tinggi mengakibatkan fraktur kompresi anterior dan vetebra lumbal.
3. Cedera akselerasi / deselerasi.
Trauma deselerasi terjadi bila bagian yang menstabilasi organ, seperti pedikel ginjal,
ligamentum teres berhenti bergerak, sedangkan organ yang distabilisasi tetap bergerak. Shear
force terjadi bila pergerakan ini terus berlanjut, contoh pada ginjal dan limpa denga
pedikelnya, pada hati terjadi laserasi hati bagian sentral, terjadi jika deselerasi lobus kanan dan
kiri sekitar ligamentum teres.
2.3.4 Diagnosis
a. Anamnesis
Pada anamnesis dapat ditemukan adanya riwayat seperti:
Trauma pada abdomen akibat benturan benda tumpul
Jatuh dari ketinggian
Tindakan kekerasan atau penganiayaan
Cedera akibat hiburan atau wisata.
Riwayat trauma sangat penting untuk menilai penderita yang cedera dalam tabrakan
kendaraan bermotor. Keterangan ini dapat diberikan oleh penderita, penumpang lain, polisi
atau petugas medis gawat darurat di lapangan. Keternagan menbgenai tanda-tanda vital, cedera
yang kelihatan, dan respon terhadap perawatan pre-hospital juga harus diberikan oleh para
petugas yang memberikan perawatan pre-hospital. Pada trauma tumpul abdomen terutama
yang merupakan akibat dari kecelakaan lalu lintas, petugas medis harus menanyakan hal-hal
sebagai berikut :
- fatalitas dari kejadian ?
- tipe kendaraan dan kecepatan ?
- apakah kendaraan terguling ?
- bagaimana kondisi penumpang lainnya ?
- lokasi pasien dalam kendaraan ?
- tingkat keparahan rusaknya kendaraan ?
- deformitas setir ?
- apakah korban menggunakan sabuk pengaman? Tipe sabuk pengaman?
- apakah airbag di samping dan depan korban berfungsi ketika kejadian?
- apakah ada riwayat pengunaan alkohol dan obat-obatan sebelumnya?
Riwayat dan kronologis kejadian memang penting, tapi mekanisme sendiri tidak bisa
menentukan apakah diperlukan laparotomi emergency atau tidak. Mekanisme dan kronologis
kejadian harus disertai dengan data lain seperti vital sign prehospital, pemeriksaan fisik, tes
diagnostik, dan kondisi kesehatan yang mendasari.
Selain itu, AMPLE merupakan elemen penting yang harus ditanyakan dalam anamnesis
pasien:
A llergies
M edications
P ast medical history
L ast meal or other intake
E vents leading to presentation.
b. Evaluasi primer dan penatalaksanaan
Initial resuscitation dan penatalaksanaan pasien trauma berdasarkan pada protokol Advanced
Trauma Life Support. Penilaian awal (Primary survey) mengikuti pola ABCDE, yaitu Airway,
Breathing, Circulation, Disability (status neurologis),danExposure.
A. Intial assesment
Trauma tumpul abdomen akan muncul dalam manifestasi yang sangat bervariasi, mulai
dari pasien dengan vital sign normal dan keluhan minor hingga pasien dengan shock berat.
Bisa saja pasien datang dengan gejala awal yang ringan walaupun sebenarnya terdapat
cedera intraabdominal yang parah. Jika didapati bukti cedera extraabdominal, harus
dicurigai adanya cedera intraabdominal, walaupun hemodinamik pasien stabil dan tidak
ada keluhan abdominal. Pada pasien dengan hemodinamik yang tidak stabil, resusitasi dan
penilaian harus dilakukan segera. Pemeriksaan fisik abdomen harus dilakukan secara teliti
dan sistematis, dengan urutan inspeksi, auskultasi, perkusi, dan palpasi. Penemuannya
positif dan negatif harus dicatat dengan teliti dalam rekam medik.
1. Inspeksi
Baju penderita harus dibuka semua untuk memudahkan penilaian. Bila dipasang
pakaian Pneumatic Anti Shock Garment dan hemodinamik penderita stabil, segmen
abdominal dikempeskan sambil tekanan darah penderita dipantau dengan teliti.
Penurunan tekanan darah sistolik lebih adari 5 mmHG adalah tanda untuk menambah
resusitasi cairan sebelum meneruskan pengempesan (deflasi). Perut depan dan
belakang, dan juga bagian bawah dada dan perineum, harus diperiksa apakah ada
goresan, robekan, ekomosis, luka tembus, benda asing yang tertancap, keluarnya
omentum atau usus kecil, dan status hamil. Seat belt sign, dengan tanda konstitusi
atau abrasi pada abdomen bagian bawah, biasanya sangat berhubungna dengan cedera
intraperitoneal. Adanya distensi abdominal, yang biasanya berhubungan dengan
pneumoperitoneum, dilatasi gaster, atau ileus sebagai akibat dari iritasi peritoneal
merupakan hal penting yang harus diperhatikan. Adanya kebiruan yang melibatkan
region flank, punggung bagian bawah (Grey Turner sign) menandakan adanya
perdarahan retroperitoneal yang melibatkan pankreas, ginjal, atau fraktur pelvis.
Kebiruan di sekitar umbilicus (Cullen sign) menandakan adanya perdarahan
peritoneal biasanya selalu melibatkan perdarahan pankreas, akan tetapi tanda-tanda
ini biasanya baru didapati setelah beberapa jam atau hari. Fraktur costa yang
melibatkan dada bagian bawah, biasanya berhubungan dengan cedera lien atau liver.
2. Auskultasi
Melalui auskultasi ditentukan apakah bising usus ada atau tidak. Penurunan suara
usus dapat berasal dari adanya peritonitis kimiawi karena perdarahan atau ruptur
organ berongga. Cedera pada struktur berdekatan seperti tulang iga, tulang belakang
atau tulang panggul juga dapat mengakibatkan ileus meskipun tidak ada cedera
intraabdominal, sehingga tidak adanya bunyi usus bukan berarti pasti ada cedera
intrabdominal. Adanya suara usus pada thorax menandakan adanya cedera pada
diafragma.
3. Perkusi
Manuver ini menyebabkan pergerakan peritoneum, dan dapat menunjukkan adanya
peritonitis yang masih meragukan. Perkusi juga dapat menunjukkan adanya bunyi
timpani di kuadran atas akibat dari dilatasi lambung akut atau bunyi redup bila ada
hemoperitoneum.
4. Palpasi
Kecenderungan untuk mengeraskan dinding abdomen (voluntary guarding) dapat
menyulitkan pemeriksaan abdomen. Sebaliknya defans muskuler (involuntary
guarding) adalah tanda yang andal dari iritasi peritoneum. Tujuan palpasi adalah
untuk mendapatkan apakah didapati nyeri serta menentukan lokasi nyeri tekan
superficial, nyeri tekan dalam, atau nyeri lepas tekan. Nyeri lepas tekan biasanya
menandakan adanya peritonitis yang timbul akibat adanya darah atau isi usus. Pada
truma tumpul abdomen perlu juga disertai kecurigaan adanya fraktur pelvis. Untuk
menilai stabilitas pelvis, yaitu dengan cara menekankan tangan pada tulang-tualng
iliaka untuk membangkitkan gerakan abnormal atau nyeri tulang yang menandakan
adanya fraktur pelvis.
Walaupun melalui pemeriksaan fisik dapat dideteksi cedera intraperitoneal,
keakuratan pemeriksaan fisik pada pasien dengan trauma tumpul abdomen hanya
berkisar antara 55–65%. Tidak adanya tanda dan gejala yang ditemukan dalam
pemeriksaan fisik tidak menyingkirkan adanya cedera yang serius, sehingga
diperlukan pemeriksaan yang lebih spesifik lagi untuk menghindarkan missed injury.
Walaupun tidak ditemukan tanda dan gejala, adanya perubahan sensoris atau cedera
extraabdominal yang disertai nyeri pada pasien trauma tumpul abdomen harus lebih
mengarahkan kepada cedera intrabdominal. Lebih dari 10% pasien dengan cedera
kepala tertutup, disertai dengan cedera intraabdominal, dan 7% pasien trauma tumpul
dengan cedera extraabdominal memiliki cedera intraabdominal, walaupun tanpa
disertai rasa nyeri.
Pada pasien sadar tanpa cedera luar yang terlihat, gejala yang paling terlihat dari
trauma tumpul abdomen adalah nyeri dan peritoneal findings. Pada 90% kasus,
pasien dengan cedera visceral datang dengan nyeri lokal atau nyeri general. Tanda-
tanda ini bukan merupakan tanda yang spesifik, karena dapat pula ditemukan pada
isolated thoracoabdominal wall constitution atau pada fraktur costa bawah. Dan yang
paling penting, tidak adanya nyeri pada pasien sadar dan stabil lebih menandakan
tidak adanya cedera. Meskipun demikian, cedera intrabdominal bisa didapati pada
pasien sadar dan tanpa nyeri.
Hipotensi pada trauma tumpul abdomen sering sebagai akibat dari perdarahan organ
padat abdomen atau cedera vasa abdominal. Walaupun sumber perdarah
extraabdominal (misalnya, laserasi kulit kepala, cedera dada, atau fraktur tulang
panjang) harus segera diatasi, tapi evaluasi cavitas peritoneal juga tidak boleh
diabaikan. Pasien dengan cedera kepala ringan tidak bisa menyebabkan shock,
kecuali pada pasien dengan cedera intracranial, atau pada bayi dengan perdarahan
intracranial atau cephalohematoma.
Pemeriksaan rectal jarang menunjukkan adanya darah atau subcutaneous emphysema,
tapi jika didapati, tanda tersebut berkaitan dengan cedera abdomen. Evaluasi tonus
rectal merupakan bagian yang sangat penting untuk pasien dengan kecurigaan cedera
spinal. Palpasi high-riding prostate mengarahkan indikasi pada cedera uretra.
2.3.5 Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan yang umumnya direkomendasikan meliputi glukosa darah, complete blood
count (CBC), kimia darah, amylase serum, urinalisis, pemeriksaan koagulasi, tipe golongan darah,
etanol darah, analisa gas darah, dan tes kehamilan (untuk wanita-wanita usia reproduksi) .
Complete blood count
Kadar hemoglobin dan hematokrit yang normal tidak menyingkirkan adanya perdara-
han. Sampai volume darah diganti dengan cairan kristaloid atau efek hormonal ( seperti
hormon drenocorticotropic [ACTH], aldosterone, antidiuretic hormone [ADH]) dan ter-
jadi pengisian transkapiler, anemia tidak akan terjadi. Jangan tidak memberi transfusi
pada pasien yang hasil hematokritnya relatif normal (>30%) tetapi ada bukti klinis
shock, cedera serius (contoh: fraktur pelvis terbuka), atau kehilangan darah yang sig-
nifikan secara terus menerus.
Penggunaan transfuse platelet untuk mengobati pasien dengan thrombocytopenia platelet
count <50,000/mL) dan perdarahan terus menerus.
Bedside diagnostic testing with rapid hemoglobin or hematocrit machines may quickly
identify patients who have physiologically significant volume deficits and hemodilution.
Reported hemoglobin from ABGs also may be useful in identifying anemia.
Beberapa penelitian telah menhubungkan hematoktrit awal yang rendah (<30%) dengan
cedera yang signifikan6.
Tes Fungsi hepar
LFT mungkin berguna untuk pasien dengan trauma tumpul abdomen, namu tes ini juga
bisa tinggi akibat penggunaan alkohol.
Kenaikan kadar aspartate aminotransferase (AST) or alanine aminotransferase (ALT)
lebih dari 130 U menandakan adanya perlukaan di hepar.
Lactate dehydrogenase (LDH) and kadar bilirubin tidak spesifik untuk indikator pada
trauma hepar6.
Pemeriksaan Kadar amilase
Masih kontroversi tentang penting atau tidaknya untuk dilakukan pemeriksaan kadar
amilase pada trauma tumpul abdomen.
Kenaikan kadar amilase dalam waktu 3-6 jam post trauma biasanya lebih akurat untuk
menentukan adany perlukaan pada pankreas.
Walaupun trauma pada pankreas dapat tidak ditemukan dengan CT scan segera setelah
trauma,namun dpat diidentifikasi jika dilakukan scan ulang 36-48 jam kemudian.
Urinalisis
Pemeriksaan urinalisis diperlukan untuk membantu diagnosa termasuk pada trauma ab-
domen dan atau pelvis, gross hematuria, mikroskopik hematuria, dan penurunan output
urine.
Dapat dilakukan contrast nephrogram dengan utilizing intravenous pyelography (IVP)
atau CT scan dengan kontras intravenous
Gross hematuria mengindikasikan untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut, termasuk
dengan cystography dan IVP atau CT scan memakai kontras dari abdomen.
Periksa kadar serum atau urine pregnancy test pada wanita dengan masa subur.
Faktor pembekuan darah
Biaya-efektivitas dari rutin waktu prothrombin (PT) / activated partial thromboplastin
time (aPTT) penetapan terhadap admisi dapat dipertanyakan.
Mendapatkan PT / aPTT pada pasien yang memiliki riwayat darah dyscrasia (misalnya,
hemofilia), yang memiliki masalah sintetis (misalnya, sirosis), atau yang mengambil
obat anticoagulant (misalnya, warfarin, heparin) .
Golongan darh, skrining, dan crossmatch.
Skrining dan jenis darah dari semua pasien yang diduga cedera trauma tumpul abdomen.
Jika cedera sudah diidentifikasi, praktik ini sangat mengurangi waktu yang diperlukan
untuk crossmatch.
Lakukan crossmatch awal minimum 4-6 unit bagi pasien tersebut dengan bukti yang je-
las dari cedera abdominal dan ketidakstabilan hemodinamik.
Sampai crossmatched darah tersedia, memanfaatkan O-negatif atau jenis darah yang spe-
sifik6.
Kadar Analisis Gas Darah (ABG)
Kadar ABG dapat memberikan informasi penting pada korba trauma. Selain informasi
tentang oksigenasi (contoh: PO2, SaO2) dan ventilasi (PCO2), tes ini memberikan infor-
masi berharga tentang pemberian oksigen melalui perhitungan gradient A-a.
Setelah awal masuk rumah sakit, menduga metabolik acidemia ke hasil dari asidosis
laktat yang menyertai shock.
Defisit dasar sedang (yakni, lebih dari -5 mEq) menunjukkan perlunya resusitasi yang
agresif dan penetapan yang etiologi.
Attempt to improve systemic oxygen delivery by ensuring an adequate SaO 2 (ie, >90%)
and by acquiring volume resuscitation with crystalloid solutions and, if indicated, blood.
Usaha untuk meningkatkan penyaluran oksigen sistemik dengan memastikan SaO2 yang
adekuat (yakni,> 90%) dan memperoleh volume resusitasi dengan kristaloid dan, jika di-
indikasikan, darah.
ABG memberi tahukan kadar hemoglobin total lebih cepat daripada CBC.
Skrining obat dan alkohol
Lakukan skrining obat dan alcohol pada pasien-pasien trauma yang memiliki penurunan
kesadaran
Pemeriksaan afas atau darah dapat mengukur kadar alkohol.
b. Pemeriksaan Imaging
1. Foto Rontgen
Pada penderita dengan hemodinamik normal maka pemeriksaan roentgen abdomen
dalam keadaan terlentang dan berdiri (sambil melindungi tulang punggung) mungkin
berguna untuk mengetahui udara ekstraluminal di retroperitoneum atau udara bebas di
bawah diafragma, yang keduanya memerlukan laparotomy segera.
Hilangnya bayangan pinggang (psoas shadow) juga menandakan adanya cedera
retroperitoneum.
Bila foto tegak dikontraindikasikan karena nyeri atau patah tulang punggung, da-
pat digunakan foto samping sambil tidur (left lateral decubitus) untuk mengetahui
udara bebas intraperitoneal.
2. Diagnostic peritoneal lavage (DPL)
Cepat, tetapi invasive, dan sangat berperan dalam menentukan pemeriksaan
berikut yang perlu dilakukan kepada penderita dan 98% dianggap sensitive untuk
perdarahan intra-peritoneum
Keistimewaannya dapat dilakukan pada situasi:
perubahan sensorium-cedera kepala, intoksikasi alcohol, penggunaan obat ter-
larang
perubahan perasaan-cedera jaringan syaraf tulang belakang
cedera pada struktur berdekatan-tulang iga bawah, panggul, tulang belakang
dari pinggang ke bawah (lumbar spine)
pemeriksaan fisik yang meragukan
Kontraindikasi mutlak: bila ada indikasi untuk laparotomy (celiotomy).
Kontraindikasi relatif: operasi abdomen sebelumnya, kegemukan yang tidak sehat,
sirosis yang lanjut, dan koagulopati yang telah ada sebelumnya.
Gambar 1. Peritoneal Lavage
Pada trauma tumpul abdomen, aspirasi darah sebanyak 10 ml atau lebih pada DPT
menunjukkan kecurigaan lebih dari 90% terhadap adanya cedera intaperitoneal. Jika hasil lavage
pasien yang dikirim ke lab menunjukkan RBC lebih dari 100.000/mm3 maka dapat dikatakan
positif untuk cedera intraabdominal. Jika hasil aspirasi positif dan adanya peningkatan RBC pada
lavge menunjukkan adanya cedera, terutama viscera padat dan struktur vaskular, namun hal ini
tidak cukup untuk mengindikasikan laparotomi.
Pada pasien dengan fraktur pelvis, harus diwaspadai adanya positif palsu pada DPL.
Walaupun demikian pada lebih dari 85% kasus, pasien fraktur pelvis dengan aspirasi positif pada
DPT mengindikasikan adanya cedera intraperitoneal. Aspirasi negatif pada pasien fraktur pelvis
dengan hemodinamik yang tidak stabil menunjukkan adanya perdarahan retroperitoneal, jika
demikian perlu dilakukan angiography dengan embolisasi.
Peningkatan WBC baru terjadi setelah 3–6 jam setelah cedera, sehingga tidak terlalu
penting pada interpretasi DPL. Peningkatan amilase juga tidak spesifik dan tidak sensitif untuk
cedra pankreas.
3. Ultrasonografi atau Sonogram
(FAST) telah digunakan dalam evaluasi pasien trauma di Eropa lebih dari 10 tahun
dan semakin mendapatkan penerimaan di Amerika Serikat. Akurasi diagnostic
FAST’s umumnya sama dengan ensitive selaput lavage (dpl). Studi di Amerika
Serikat selama beberapa tahun terakhir telah menunjukkan sonografi sebagai pen-
dekatan yang noninvasive untuk mengevaluasi hemoperitoneum dengan cepat.
Studi menunjukkan tingkat ketergantungan operator, namun beberapa penelitian
telah menunjukkan bahwa dengan struktur sesi belajar, bahkan novice operator da-
pat mengidentifikasi cairan bebas intra-abdominal, terutama jika jumlah cairan
lebih dari 500 mL.
Pada pasien dengan trauma tumpul abdomen yang terisolasi dan cedera multisis-
tem, ultrasonografi yang dilakukan oleh seorang sonographer berpengalaman da-
pat dengan cepat mengidentifikasi cairan bebas intraperitoneal. Sensitivitas untuk
cedera organ solid yang tidak berkapsul adalah sedang dalam penelitian. Cedera
viscus berongga jarang diidentifikasi, namun bebas cairan dapat dilihat dalam ka-
sus ini. Untuk pasien-pasien dengan nyeri yang persisten atau tenderness atau bagi
berkembang menjadi gejala peritoneal, pertimbangkan FAST sebagai pengukur
komplementer untuk CT scan, dpl, atau eksplorasi.
Evaluasi FAST abdomen yang terdiri dari visualisasi dari kantong jantung (dari
gambaran subxiphoid), ruang splenorenal dan hepatorenal (misalnya, kantung
Morison), paracolic gutters, dan kantung Douglas pada panggul. Gambaran kan-
tung Morison telah paling ensitive, terlepas dari etiologi dari cairan.
Gambar 2.
Ultrasonic imaging for fluid in Morison's pouch has proven to be a reliable method for detecting intra-abdominal hemorrhage. A. normal image. B. This image demonstrates a fluid stripe between the right kidney and liver; this is considered a positive study. Fluid may also be detected between loops of bowel, as in C, or in the pelvis, as in D
Cairan bebas, umumnya dianggap darah pada trauma abdomen, tampak sebagai
garis hitam. Cairan bebas pada pasien yang secara hemodinamik tidak stabil me-
nunjukkan perlunya laparotomy yang mendadak; Namun, CT scan dapat lebih jauh
mengevaluasi pasien yang stabil dengan cairan bebas.
Sensitivitas dan spesifisitas dari studi ini berkisar antara 85-95%.
4. Computed Tomography (CT scan)
Meskipun mahal dan berpotensi menghabiskan waktu, CT scan sering memberikan
gambar yang detil dari kelainan trauma dan dapat membantu dalam penentuan in-
tervensi pembedahan.
CT scan dapat tidak menemukan adanya cedera diafragma dan perforasi dari GI
tract, terutama bila CT scan dilakukan segera setelah cedera. Cedera pancreas
tidak dapat diidentifikasi pada awal CT scan, tetapi biasanya ditemukan pada pe-
meriksaanfollow up yang dilakukan pada pasien berisiko tinggi. Untuk pasien ter-
tentu, endoscopic retrograde cholangiopancreatography (ERCP) dapat melengkapi
CT scan untuk menyingkirkan cedera duktus.
Keuntungan utama dari CT scan adalah spesifikasinya yang tinggi dan digunakan
sebagai pedoman pengelolaan nonoperative pada cedera organ yang solid.
Drawbacks CT scan yang berkaitan dengan kebutuhan untuk transportasi pasien
trauma dari wilayah resusitasi trauma dan waktu tambahan yang diperlukan untuk
melakukan CT scan dibandingkan dengan FAST atau dpl. Gambaran CT yang pal-
ing baik memerlukan kontras baik melalui mulut maupun intravena.
Gambar 3. A. Parenchymal destruction of the posterior aspect of the right hepatic lobe with
extravasation of blood. The image in B reveals a large subcapsular hematoma. Both patients were
successfully treated nonoperatively. C. A blunt splenic injury with parenchymal disruption and
extravasation.
Tabel 1. Perbandingan Pemeriksaan DPL, USG, dan CT Scan Pada Trauma Tumpul.
DPL USG CT Scan
Indikasi Menentukan adanya
perdarahan bila BP ↓
Menentukan cairan
bila BP ↓
Menentukan organ
cedera bila BP normal
Keuntungan - Diagnosis cepat dan
sensitive
- Akurasi 98%
- Diagnosis cepat,
tidak invasif, dan
dapat diulang
- Akurasi 86-97%
- Paling spesifik untuk
cedera
- Akurasi 92-98%
Kerugian Invasive, gagal untuk
mengetahui cedera
diafragma atau cedera
retro-peritoneum
Tergantung operator
distorsi gas usus dan
udara di bawah kulit
Gagal mengetahui
cedera diafragma usus,
dan pankreas
Membutuhkan biaya
dan waktu lebih lama
Tidak mengetahui
cedera diafragma usus,
dan pankreas
Penatalaksanaan lanjutan
Pasien trauma tumpul abdomen harus dievalusi lanjut apakah diperlukan perawatan
operatif atau tidak. Setelah melakukan resusitasi dan penatalaksanaan awal berdasarkan protokol
ATLS, harus dipertimbangkan indikasi untuk laparotomi melalui pemeriksaan fisik, ultrasound
(US), computed tomography (CT), dan DPT/DPL.
A. Pasien dengan hemodinamik yang tidak stabil
Pada pasien dengan hemodinamik yang tidak stabil, penatalaksanaan bergantung pada
ada tidaknya perdarahan intraperitoneal. Pemeriksaan difokuskan pada US abdomen atau DPT
untuk membuat keputusan.
Walaupun ada banyak penelitian retrospektif dan beberapa penelitian prespektif
mendukung penggunaan US sebagai alat untuk skrening trauma, beberapa ahli masih
mempertanyakan US pada penatalaksanaan trauma. Mereka menekankan pada tingkat sensitifitas
dan adanya kemungkinan hasil negatif pada penggunaan US untuk mendeteksi cedera
intraperitoneal. Walaupun demikian kebanyakan trauma center memakai Focused Assesment with
Sonography for Trauma (FAST) untuk mengevaluasi pasien yang tidak stabil. FAST dilakukan
secepatnya setelah primary survey, atau ketika kliknisi bekerja secara paralel, biasanya dilakukana
bersamaan dengan primary survey, sebagai bagian dari C (Circulation) pada ABC.
Jika tersedia US, sangat disarankan penggunaan FAST pada semua pasien dengan
trauma tumpul abdomen. Jika hasil FAST jelek, misalnya kualitas gambar yang tidak bagus, maka
selanjutnya perlu dilakukan DPT. Jika US dan DPT menunjukkan adanya hemoperitoneum, maka
diperlukan laparotomi emergensi. Hemoperitoneum pada pasien yang tidak stabil secara klinis,
tanpa cedera lain yang terlihat, juga mengindikasikan untuk dilakukan laparotomi. Jika melalui US
dan DPT tidak didapati adanya hemoperitoneum, harus dilakukan investigasi lebih lanjut terhadap
lokasi perdarahan. Pada penatalaksanaan pasien tidak stabil dengan fraktur pelvis mayor, harus
diingat bahwa US tidak bisa membedakan hemoperitoneum dan uroperitoneum
X-ray dada harus dilakukan sebagai bagian dari initial evalutiaon karena dapat
menunjukkan adanay perdarah pada cavum thorax. Radiography antero-posterior pelvis bisa
menunjukkanadanya fraktur pelvis yang membutuhkan stabilisasi segera dan kemungkinan
dilakukan angiography untuk mengkontrol perdarahan.
B. Pasien dengan hemodinamik yang stabil
Penilaian klinis pada pasien trauma tumpul abdomen dengan kondisi sadar dan bebas
dari intoksikasi, pemeriksaan abdomen saja biasanya akurat tapi tetap tidak sempurna. Satu
penelitian prospective observational terhadap pasien dengan hemodinamik stabil, tanpa trauma
external dan dengan pemeriksaan abdomen yang normal, ternyata setelah dibuktikan melalui CT-
scan ditemukan sebanyak 7,1% kasus abnormalitas.
US dan CT sering digunakan untuk mengevaluasi pasien trauma tumpul abdomen yang
stabil. Jika pada US awal tidak terdetekdi adanya perdarahan intraperitoneal, maka perlu dilakukan
pemeriksaan fisik, US, dan CT secara serial. Pemeriksaan fisik serial dilakukan jika hasil
pemeriksaan dapat dipercaya, misal pada pasien dengan sensoris normal, dan cedera yang
mengganggu. Penelitian prospective observational terhadap 547 pasien menunjukkan US kedua
(FAST) yang dilakukan selama 24 jam dari trauma, meningkatkan sensitifitas terhadap cedra
intraabdominal,
Jika US awal mendeteksi adanya darah di intraperitoneal, maka kemudian dilakukan CT
scan untuk memperoleh gambaran cedera intraabdominal dan menaksir jumlah hemoperitoneum.
Keputusan apakah diperlukan laparotomy segera atau hanya terapi non operatif tergantung pada
cedera yang terdetaksi dan status klinis pasien. CT abdominal harus dilakukan pada semua pasien
dengan hemodinamik stabil, tapi tidak untuk pasien dengan perubahan sensoris dan status mental
karena cedera kepala tertutup, intoksikasi obat dan alkohol, atau cedera lain yang mengganggu.
Algoritma Prosedur Pemeriksaan pada Trauma Tumpul Abdomen
2.3.6 Indikasi Klinis Laparotomi
\ Laparotomi segera diperlukan setelah terjadinya trauma jika terdapat indikasi klinis sebagai
berikut :
1. kehilangan darah dan hipotensi yang tidak diketahui penyebabnya, dan pada pasien
yang tidak bisa stabil setelah resusitasi, dan jika ada kecurigaan kuat adanya cedera
intrabdominal
2. adanya tanda - tanda iritasi peritoneum
3. bukti radiologi adanya pneumoperitoneum konsisten
4. dengan ruptur viscera
5. bukti adanya ruptur diafragma
6. jika melalui nasogastic drainage atau muntahan didapati adanya GI bleeding yang
persisten dan bermakna
2.4.TRAUMA HEPAR
Trauma hepar lebih banyak disebabkan oleh trauma tumpul yang bisa menyebabkan
kehilangan banyak darah ke dalam peritoneum. Trauma tumpul mempunyai potensi cidera
tersembunyi yang mungkin sulit dideteksi. Insiden komplikasi berkaitan dengan penanganan
trauma terlambat lebih besar dari insiden luka tembus. Trauma kompresi pada hemithorax kanan
dapat menjalar melalui diafragma & menyebabkan kontusio pada puncak lobus kanan hepar.
Trauma deselerasi menghasilkan kekuatan yang dapat merobek lobus hepar satu sama lain &
sering melibatkan vena cava inferior & vena-vena hepatik.
Epidemiologi
Etiologi:
Kecelakaan, jatuh, benturan
Dengan adanya kompresi berat, hepar bisa tertekan ke tulang belakang
Patofisiologi
o 85% injury hepar melibatkan segmen 6,7, dan 8 pada liver
o Kemungkinan terjadi karena kompresi pada costa, vertebra, atau posterior dinding ab-
domen
o Ligamentum liver menepel pada diafragma dan menempel diposterior dinding ab-
domen dan terjadi shear force pada salama trauma deselarisasi.
o Trauma liver sering terjadi karena mengkompres kosta. Hal ini sering terjadi pada anak
karena pada anak kosta fleksibel dan mempermudah kontak pada liver. Selain itu,
hepar anak lebih lemah conective tissuenya dibanding dewasa
o Trauma juga bisa karena prosedur radiologi intervensional → bisa menyebabkan
robekan hepar.
o Berat ringannya kerusakan tergantung pada jenis trauma, penyebab, kekuatan, & arah
trauma. Karena ukurannya yang relatif lebih besar & letaknya lebih dekat pada tulang
costa, maka lobus kanan hepar lebih sering terkena cidera daripada lobus kiri.
Gejala klinis:
Nyeri kuadran kanan atas & epigastrium
Iritasi peritoneum (defans muskular (+), NT, NL, NK (+) )
Penurunan bising usus
Perdarahan →syok (takikardi, hipotensi, volume urin turun)
Mual muntah
Pemeriksaan lab :
Hb Ht turun
Leukositosis
Kadar enzim hati meningkat
Pemeriksaan radiologi:
CT-scan merupakan pemeriksaan pilihan pada pasien dengan trauma tumpul
abdomen & sering dianjurkan sebagai sarana diagnostik utama. CT-scan bersi-
fat sensitif & spesifik pada pasien yang dicurigai trauma tumpul hepar dengan
keadaan hemodinamik yang stabil. CT-scan akurat dalam menentukan lokasi
& luas trauma, menilai derajat hemoperitoneum, memperlihatkan organ in-
traabdomen lain yang ikut cidera, identifikasi komplikasi yang terjadi setelah
trauma hepar yang butuh penanganan segera terutama pada pasien dengan
trauma hepar berat & untuk monitor kesembuhan. CT-scan terbukti sangat
bermanfaat dalam diagnosis & penentuan penanganan trauma hepar. CT-scan
menurunkan jumlah laparatomi pd 70% pasien atau menyebabkan pergeseran
dari penanganan rutin bedah menjadi penanganan non operastif dari kasus
trauma hepar.
Pemeriksaan ronsen servikal lateral, toraks anteroposterior (AP), dan pelvis
adalah pemeriksaan yang harus dilakukan pada pasien dengan multitrauma.
Pasien dengan hemodinamik normal maka pemeriksaan ronsen abdomen
dalam keadaan telentang & berdiri, berguna untuk mngetahui udara ekstralu-
minal di retroperitoneum atau udara bebas di bawah diafragma yang keduanya
memerlukan laparatomi segera. Hilangnya bayangan pinggang (psoas shadow)
juga menandakan adanya cedera retroperitoneum.
Bila foto tegak dikontra-indikasikan karena nyeri / patah tulang punggung, da-
pat digunakan foto samping sambil tidur (left lateral decubitus) untuk menge-
tahui udara bebas intraperitoneal
Penanganan:
1. Airway : sumbatan jalan napas (secret, lidah jatuh ke belakang,
bronkospasme)
2. Breathing : bunyi napas (vesikuler), frekuensi pernapasan, pola napas, penggu-
naan otot bantu napas.
3. Circulation : denyut nadi, frekuensi, kekuatan, irama, tekanan darah, kapilari
refill <3 detik.
4. Disability : Ketidakmampuan, GCS (E=4, V=5, M=6 ), reaksi pupil, reflek ca-
haya
5. Exposure : Sensasi nyeri, cegah pasien hipotermi, lihat ada tidaknya jejas, CT
scan abdomen
Terapi non operatif
Pasien cedera tumpul hepatik dengan hemodinamik stabil tanpa indikasi lain
untuk eksplorasi penanganan yang terbaik adalah nonoperatif. Pasien yang sta-
bil tanpa tanda-tanda peritoneal lebih baik dievaluasi dengan USG dan jika
ditemukan kelainan, CT scan dengan kontras harus dilakukan. Tidak adanya
ekstravasasi kontras, cedera yang ada dapat ditangani secara nonoperatif.
Tidak adanya agen kontras ekstravasasi selama fase arteri dari CT menun-
jukkan trauma hati, yang umumnya dapat diobati nonoperatif. Secara keselu-
ruhan keberhasilan melaporkan manajemen nonoperative lebih besar dari 90%
di sebagian besar, tingkat keberhasilan manajemen nonoperative untuk cedera
nilai I sampai III mendekati 95%. Pada pasien stabil dengan, embolisasi an-
giografi sebagai adjuvant untuk protokol manajemen nonoperative berhasil
dalam menurunkan jumlah transfusi darah dan jumlah operasi.Pasien umum-
nya dirawat di ICU untuk pemantauan tanda-tanda vital dan penentuan hema-
tokrit serial. Bila tidak ada bukti perdarahan lebih lanjut terlihat, pasien dapat
dimobilisasi dan mulai diet. ulangi CT scan dan aktivitas fisik normal dapat di-
lanjutkan setelah 3 bulan post injury.
Kriteria klasik untuk penanganan nonoperative pada trauma hepar adalah sta-
bilitas hemodinamik, status mental normal, tidak adanya indikasi yang jelas
untuk laparotomi seperti tanda peritoneum & kebutuhan transfusi < 2 unit
darah.
Indikasi operasi:
Trauma hepar dengan syok
Trauma hepar dengan peritonitis
Trauma hepar dengan hematom yang meluas
Trauma hepar dengan penanganan konservatif gagal
Trauma hepar dengan cedera lain intra abdominal
Terapi operatif
Rencana operasi yang mendesak merupakan triage di UGD. Pasien dengan
syok karena luka tembak perut dapat dirawat di UGD dalam waktu yang
singkat (10-15 menit), sedangkan pasien yang stabil dengan trauma tumpul
multisistem dapat tetap dirawat di UGD.
Triase yang prematur untuk memasukkan pasien ke ruang operasi dapat men-
gakibatkan laparotomy yang tidak perlu. Penundaan di UGD juga dapat men-
gakibatkan kerusakan fisiologis yang mengarah ke shock ireversibel.
Komplikasi:
Perdarahan post operatif, koagulopati, fistula bilier, hemobilia, dan pemben-
tukan abses.
Perdarahan post operasi terjadi sebanyak <10% pasien. Hal ini mngkin karena
hemostasis yang tidak adekuat, koagulopati post operatif / keduanya.
Hematoma subscapular, Laserasi, Kontusi, Distrupsi vaskular hepar, dan In-
jury pada bile duct
BAB III
ANALISIS KASUS
Pada kasus ini ditegakkan diagnosis trauma tumpul abdomen dan fraktur tertutup
os femur berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik. Dari hasil anamnesis,
didapatkan keluhan utama pasien nyeri di lapang perut kanan atas akibat jatuh dari
ketinggian sekitar 4 meter saat sedang memperbaiki genting sejak 8 jam SMRS. Sebelum
pasien jatuh ke tanah, pasien sempat terbentur genteng dengan keras terlebih dahulu.
Setelah jatuh, pasien tidak pingsan dan masih sadar. Selain keluhan nyeri perut, pasien
juga mengeluhkan mual dan muntah, sesak napas, nyeri pada tungkai bawah kiri serta
tidak dapat menggerakkan panggul kiri.
Dari primary survey yang dilakukan di IGD ketika pasien datang didapatkan,
keadaan airway pasien bebas. Breathing didapatkan pasien bernapas spontan dengan
frekuensi napas 36x/menit, pergerakan dada asimetris, pada perkusi didapatkan redup
setinggi ICS V lapang paru kanan, sonor pada lapang paru kiri serta vesikuler melemah
pada lapang paru kanan, vesikuler normal pada lapang paru kiri. Dari kondisi tersebut
maka pasien diberikan oksigenasi dengan menggunakan NRM sebanyak 15 liter. Pada
pemeriksaan circulation didapatkan akral dingin, pucat, nadi regular isi lemah dengan
frekuensi 120x/menit, dan tekanan darah 86/67 mmHg. Lalu pasien dipasang kateter urine
dan didapatkan inisial urine 30 ml dengan warna kuning pekat. Pasien disimpulkan
mengalami syok. Karena kondisi syok, pasien segera dipasang IV line 2 jalur dan
diberikan loading kristaloid (RL 1500 ml) dan koloid (Gelofusine 500 ml) selama 1 jam.
Setelah itu terjadi perubahan frekuensi nadi menjadi 102x/menit regular isi cukup, tekanan
darah 103/59 mmHg dengan MAP 71, dan pasien mengalami diuresis 0,5 ml/kgBB/jam.
Pada pemeriksaan dissability didapatkan GCS pasien 15 (E4M6V5)
Saat pemeriksaan secondary survey, didapatkan kelainan berupa konjungtiva pucat yang
menandakan bahwa pasien terjadi anemia, lalu pada pemeriksaan thorax didapatkan
pergerakan dada asimetri saat inspeksi, dan redup setinggi ICS V pada lapang paru kanan
pada perkusi, serta suara vesikular menurun pada lapang paru kanan yang menandakan
adanya cairan pada lapang paru kanan. Pada pemeriksaan abdomen didapatkan abdomen
buncit, terdapat nyeri tekan di regio hipokondorium dextra dan lumbal dextra, defence
muscular (+), dan pada perkusi didapatkan shifting dullness (+), pada auskultasi
didapatkan bising usus meningkat. Pada pemeriksaan ekstremitas didapatkan akral hangat,
CRT < 2 detik. dan pada status lokalis tidak terdapat jejas pada tungkai kiri, a. dorsalis
pedis teraba kuat, jari-jari kaki masih dapat digerakkan sedangkan tungkai tidak dapat
digerakkan. Status generalis lain dalam batas normal dan pada pemeriksaan rectal touche
tidak didapatkan kelainan.
Saat dirujuk ke RS fatmawati sudah dilakukan pemeriksaan laboratorium di RS
sebelumnya pukul 12.00 WIB, didapatkan hasil Hb 13,8 g/dl yang menunjukkan pasien
tidak mengalami anemia. Leukosit 16.300 yang menunjukkan ada proses peradangan
akibat trauma. Hasil SGOT mengalami peningkatan yaitu 688 U/l yang menunjukkan
adanya kerusakan pada sel-sel hepar, begitupun SGPT pasien yang mengalami
peningkatan yaitu 643 U/l yang juga menunjukkan kerusakan hati. Kemudian pasien
dilakukan pemeriksaan laboratorium kembali pukul 18.30, didapatkan hasil Hb 8,8 g/dl
yang menunjukkan pasien mengalami anemia, maka pasien dilakukan trasnfusi darah PRC
dengan golongan darah O rhesus (+) sebanyak 400 cc. Hasil glukosa darah sewaktu yaitu
247 mg/dl yang menunjukkan adanya proses hiperglikemia reaktif. Dari hasil analisa gas
darah, didapatkan pH 7,132, HCO3 12, BE -16,2, pCO2 36,9 yang menunjukkan adanya
asidosis metabolic, oleh karena itu terapi oksigenasi pada pasien tetap dilanjutkan berupa
pemberian NRM 15 liter.
Pasien dikonsultasikan ke dokter spesialis bedah dan penyakit dalam untuk
dilakukan tindakan lebih lanjut serta dilakukan pemeriksaan FAST dan CT Scan whole
abdomen.
Berdasarkan algoritma trauma tumpul abdomen Mattox, saat ditemukan adanya
kasus trauma tumpul abdomen, yang perlu diperhatikan adalah mengevaluasi gejala klinis.
Dikatakan dalam algoritma tersebut bahwa jika klinis dapat dievaluasi, dan ditemukan
adanya nyeri tekan pada seluruh perut, harus langsung dibawa ke kamar operasi untuk
segera dilakukan tindakan. Sedangkan pada pasien ini tidak ditemukan nyeri pada seluruh
perut, hanya nyeri pada regio hipokondrium dextra, maka langkah berikutnya adalah
dilakukan FAST. Jika hasilnya positive, maka di cek dengan CT, jika keduanya positive,
maka masuk ke kolom judgement, yaitu dokter segera mengambil keputusan apakah
pasiennya mau dioperasi atau tidak.
Pasien ini dilakukan USG abdomen terdapat kesan tampak cairan bebas sugestif
massif di hepatorenal, splenorenal, paracolica kanan kiri dan paravesika, dengan suspek
hematoma diperivesika, lesi hiperekoik di lobus kanan hepar suspek hematoma. Tidak
tampak adanya ruptur organ-organ intra abdominal yang tervisualisasi. Cairan bebas pada
umumnya diasumsikan sebagai darah pada trauma abdomen. Pada pemeriksaan CT scan,
didapatkan hasil kesan laserasi dan hematoma pada segmen 6, 7 dan 8 hepar lobus kanan
dengan luas <40% grade IV tanpa adanya gambaran perdarahan aktif pada saat ini serta
terdapat cairan bebas yang massif di intraabdominal dan pelvis (perdarahan). Organ-organ
solid intraabdominal lainnya dalam keadaan baik, tidak tampak perdarahan aktif pada
organ-organ intraabdominal dan pelvis saat ini. Fraktur collum os femur kiri.
Saat ini pasien masih diobservasi di ruang HCU, keadaan umum dan
hemodinamik pasien stabil sehingga saat ini dilakukan tatalaksana Non-operatif. Namun,
apabila hemodinamik tidak stabil maka dilakukan tindakan operatif segera. Pasien
diberikan tatalaksana medika mentosa berupa Vitamin K 3 x 10 mg, Vitamin C 1x40 mg,
serta Asam Traneksamat 3 x 500 mg. Pasien juga dilakukan skin traksi pada tungkai
bawah kiri.
BAB IV
KESIMPULAN
Trauma tumpul abdomen adalah cedera pada abdomen tanpa penetrasi ke rongga
peritoneum yang dapat diakibatkan oleh pukulan, benturan, ledakan, deselarasi, atau
kompresi. Pada kecurigaan terjadinya trauma tumpul abdomen harus dilakukan
pemeriksaan yang menyeluruh dan observasi yang berulang-ulang sesuai dengan algoritma
trauma tumpul. Merupakan hal yang sulit untuk menduga apa yang terjadi pada organ-
organ intra abdominal karena tidak bisa terlihat dari luar, dengan gejala yang bisa timbul
dalam waktu yang cukup lama dan gejala yang timbul bisa minimal sedangkan kerusakan
organ-organnya cukup parah.
Penatalaksanaan harus secepatnya dilakukan jika telah terbukti adanya trauma
tumpul abdomen dengan kegawatan, mengingat banyaknya organ-organ penting yang
terdapat di intra abdominal. Komplikasi yang sering terjadi pada trauma tumpul abdomen
adalah peritonitis. Kematian pada trauma tumpul abdomen disebabkan karena sepsis dan
perdarahan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Campbell, Brendan. 2007. Abdominal exploration. http://www.TauMed.com
2. Schwartz's Principles of Surgery, Ninth Edition. 2010. The McGraw-Hill Compa-
nies, Inc.
3. Greenfield's Surgery: SCIENTIFIC PRINCIPLES AND PRACTICE, 4th Edition.
2006. Lippincott Williams & Wilkins.
4. Trauma, 6th Edition. 2008. McGraw-Hill.
5. Khan, Nawas Ali. 2007. Liver Trauma. Chairman of Medical Imaging, Professor of
Radiology, NGHA, King Fahad Hospital, King Abdul Aziz Medical City Riyadh,
Saudi Arabia. http://www.emedicine.com
6. Molmenti, Hebe, 2004. Peritonitis. Medical Encyclopedia. Medline Plus
http://medlineplus.gov/
7. Nestor, M.D. 2007. Blunt Abdominal Trauma.
8. Odle, Teresa. 2007. Blunt Abdominal Trauma. http://www.emedicine.com
9. Purnomo, Basuki. 2003. Dasar-dasar Urologi. Fakultas Kedokteran Universitas
Brawijaya. Malang.
10. Salomone, Joseph. 2007. Blunt Abdominal Trauma. Department of Emergency
Medicine, Truman Medical Center, University of Missouri at Kansas City School
of Medicine. http://www.emedicine.com
11. Mattox Keneth. 2012. Trauma 7th edition. Mc Graw Hill
12. Udeani, John. 2005. Abdominal Trauma Blunt. Department of Emergency
Medicine, Charles Drew University / UCLA School of Medicine.
http://www.emedicine.com
13. Wim de Jong. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC. Jakarta.