Preskas Bedah Anak - Megakolon Kongenital

24
Presentasi Kasus Bedah Anak SEORANG ANAK LAKI-LAKI 8 BULAN DENGAN MEGAKOLON KONGENITAL Disusun Oleh: Nova Sari Nur Salamah G99141033 Pembimbing dr. Hj. Nunik Agustriani, Sp.B, Sp.BA

description

Pediatric Surgery

Transcript of Preskas Bedah Anak - Megakolon Kongenital

Page 1: Preskas Bedah Anak - Megakolon Kongenital

Presentasi Kasus Bedah Anak

SEORANG ANAK LAKI-LAKI 8 BULAN DENGAN MEGAKOLON

KONGENITAL

Disusun Oleh:

Nova Sari Nur Salamah G99141033

Pembimbing

dr. Hj. Nunik Agustriani, Sp.B, Sp.BA

KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU BEDAH

FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/ RSUD DR. MOEWARDI

SURAKARTA

2015

Page 2: Preskas Bedah Anak - Megakolon Kongenital

BAB ISTATUS PASIEN

A. Anamnesis1. Identitas Pasien

Nama : An. RPUmur : 8 bulanJenis Kelamin : Laki-lakiAlamat : Banjarsari, SurakartaNomor RM : 01-28-45-78MRS : 29 Desember 2014

2. Keluhan UtamaPerut kembung dan tidak bisa BAB

3. Riwayat Penyakit SekarangSejak 2 hari SMRS, pasien mengalami perut kembung dan

membesar, disertai muntah-muntah. Pasien juga tidak BAB sejak lahir. Muntah berisi susu formula yang diminum bayi karena ASI ibu tidak keluar. Sebelumnya, pasien diperiksakan ke RSUD Ngipang dan dirawat selama 2 hari, namun karena keterbatasan sarana, pasien dirujuk ke RS Brayat. Di RS Brayat, pasien difoto, kemudian dipasang selang melalui dubur, keluar BAB kehitaman serta dipasang selang melalui mulut, keluar cairan. Pasien juga diinfus D5% ¼ NS 18 cc/jam dan diberi obat-obatan yaitu injeksi cefotaxim 100 mg/8 jam dan asam ursodeoxycholic 3 x 10 mg.

4. Riwayat Penyakit KeluargaRiwayat keluhan yang sama : disangkalRiwayat hipertensi : disangkalRiwayat diabetes melitus : disangkalRiwayat alergi : disangkal

5. Riwayat KelahiranPasien lahir pada tanggal 25 Desember 2015 dari ibu berusia 24

tahun, P1A0, lahir spontan dibantu bidan dengan umur kehamilan 41 minggu. Bayi menangis kuat (+), nafas spontan (+), ketuban jernih, tidak berbau, berat badan lahir 2700 gram.

2

Page 3: Preskas Bedah Anak - Megakolon Kongenital

6. Riwayat Kehamilan dan ANCRiwayat sakit saat hamil : rutin di bidanRiwayat perdarahan : disangkalRiwayat konsumsi jamu : disangkalRiwayat alkohol, merokok : disangkal

B. Pemeriksaan Fisik1. Keadaan Umum : Compos mentis, menangis kuat, gerak kurang aktif2. Vital Sign

Temperature : 36,9 ˚C Respiration Rate : 36 x/ menitHeart Rate : 120 x/ menit Saturasi O2 : 98 %

3. Kepala : mesocephal4. Mata : konjungtiva anemis (-/-), air mata (+/+), sklera

ikterik (+/+)5. Telinga : sekret (-/-), darah (-/-)6. Hidung : bentuk simetris, nafas cuping hidung (-), sekret (-),

darah (-)7. Mulut : mukosa basah (+), sianosis (-), jejas (-), terpasang

OGT, produk kekuningan8. Leher : pembesaran tiroid (-), pembesaran limfonodi (-)9. Thoraks : bentuk normochest, retraksi (-)10. Jantung

Inspeksi : ictus cordis tampakPalpasi : ictus cordis kuat angkatPerkusi : batas jantung kesan tidak melebarAuskultasi : bunyi jantung I-II intensitas normal reguler, bising

(-)11. Pulmo

Inspeksi : pengembangan dada kanan sama dengan kiriPalpasi : fremitus raba kanan sama dengan kiriPerkusi : sonor/ sonorAuskultasi : suara dasar vesikuler (+/+), suara tambahan (-/-)

12. AbdomenInspeksi : distensi (+)Auskultasi : bising usus (+)Perkusi : hipertimpaniPalpasi : tegang, hepar dan lien tidak teraba

13. Genitourinaria : anus (+), terpasang rectal tube

3

Page 4: Preskas Bedah Anak - Megakolon Kongenital

14. EkstremitasCapillary refill time kurang dari 2 detik

Akral dingin : Oedema :

C. Assesment ISuspect megacolon kongenital.

D. Planning I1. Infus D5% ¼ NS 18 cc/jam2. Cek lab darah3. Foto colon in loop4. Rawat bersama bagian pediatri

E. Pemeriksaan Penunjang1. Pemeriksaan laboratorium darah (29 Desember 2015) di RSUD Dr.

MoewardiPemeriksaan Hasil Satuan Rujukan

Hematologi RutinHemoglobin 14.4 g/dL 10.8 – 12.8Hematokrit 45 % 35 – 43Leukosit 21.8 ribu/µl 5.5 – 17.0Trombosit 542 ribu/µl 150 – 450Eritrosit 4.71 juta/µl 3.90 – 5.30Index EritrositMCV 95.5 /µm 80.0 – 96.0MCH 30.4 pg 28.0 – 33.0MCHC 31.9 g/dl 33.0 – 36.0RDW 3.4 % 11.6 – 14.6MPV 6.5 fl 7.2 – 11.1PDW 27 % 25 – 65Hitung JenisEosinofil 0.50 % 0.00 – 4.00Basofil 0.70 % 0.00 – 1.00Netrofil 69.60 % 18.00 – 24.00Limfosit 19.60 % 60.00 – 66.00Monosit 4.30 % 0.00 – 6.00Kimia KlinikBilirubin total 7.70 mg/dl 0.00 – 1.00Bilirubin direk 6.00 mg/dl 0.00 – 1.20

4

- -- -

- -- -

Page 5: Preskas Bedah Anak - Megakolon Kongenital

Bilirubin indirek 1.70 mg/dl 0.00 – 0.70Albumin 3.2 g/dl 3.8 – 5.0ElektrolitNatrium darah 130 mmol/L 129 – 147 Kalium darah 5.6 mmol/L 3.6 – 6.1 Calsium ion 1.02 mmol/L 1.17 – 1.50 Serologi HepatitisHBsAg nonreactive Nonreactive

2. Colon in loop (29 Desember 2014) di RS Brayat MinulyaMenyokong gambaran Hirschprung’s disease pada segmen sigmoid descendens junction sampai anal

F. Assesment1. Megakolon congenital

G. Planning II1. Sigmoidostomy emergency

5

Page 6: Preskas Bedah Anak - Megakolon Kongenital

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

A. DefinisiMegakolon kongenital atau lebih dikenal dengan Hirschsprung’s

disease mempunyai beberapa nama yang dikenal dalam literatur seperti congenital aganglionosis, megacolon congenitum, pelvirectal achalasia, dan dilatasi kolon kongenital. Megakolon kongenital merupakan penyakit bawaan pada kolon yang ditandai dengan tidak adanya sel ganglion parasimpatis pada pleksus submukosa meissneri dan pleksus mienterikus auerbach. Penyakit ini biasanya dimulai dari sfingter ani interna ke arah proksimal dengan panjang bervariasi, akan tetapi selalu termasuk rektum.1,2

Megakolon kongenital pertama kali ditemukan oleh Herald Hirschsprung tahun 1886. Namun, patofisiologi terjadinya penyakit ini tidak diketahui secara jelas hingga tahun 1938, dimana Robertson dan Kernohan menyatakan bahwa megakolon disebabkan oleh gangguan peristaltik dibagian distal usus akibat defisiensi ganglion.Sel-sel ganglion parasimpatis bertanggung jawab atas kontraksi ritmik yang diperlukan untuk mencerna makanan yang masuk. Hilangnya fungsi motorik dari segmen menyebabkan dilatasi hypertropic massive pada kolon proksimal yang normal sehingga terjadi kesulitan defekasi dan feses terakumulasi.1,2,3

B. EpidemiologiMegakolon kongenitalmempunyai prevalensi kejadian 1,65 dari 10.000

kelahiran hidup dan perbandingan laki-laki dengan perempuan adalah2:1.Anak kembar dan adanya riwayat keturunan meningkatkan risiko terjadinya megakolon kongenital. Penyakit ini lebih sering terjadi diturunkan oleh ibu aganglionosis dibanding oleh ayah. Risiko tertinggi terjadinya megakolon kongenital biasanya pada pasien yang mempunyai riwayat keluarga yang sama dan pada penderita down syndrome.4,5,6

C. PatofisiologiMegakolon kongenital adalah kelainan kongenital pada kolon yang

ditandai dengan tidak adanya sel ganglion parasimpatis pada pleksus submukosus meissneri dan pleksus mienterikus auerbachi. Hal ini diakibatkan oleh karena terhentinya migrasi kraniokaudal dari sel krista neuralis di daerah kolon distal pada minggu ke lima sampai minggu ke dua belas kehamilan untuk membentuk sistem saraf usus. Aganglionik usus ini mulai dari sfingter ani interna kearah proksimal dengan panjang yang bervariasi, dengan gejala klinis berupa gangguan pasase usus fungsional.1,2

6

Page 7: Preskas Bedah Anak - Megakolon Kongenital

Sel-sel krista neuralis berasal dari bagian dorsal neural tube yang kemudian bermigrasi ke seluruh bagian embrio membentuk bermacam-macam struktur termasuk sistim saraf perifer, sel-sel pigmen, tulang kepala dan wajah serta saluran pembuluh darah jantung. Sel-sel yang membentuk sistem saraf intestinal berasal dari bagian vagal krista neuralis yang kemudian melakukan migrasi ke saluran pencernaan. Sebagian kecil sel-sel ini berasal dari sakral krista neuralis untuk ikut membentuk sel-sel saraf dan sel-sel glial pada kolon.1,2

Selama waktu migrasi disepanjang usus, sel-sel krista neuralis akan melakukan proliferasi untuk mencukupi kebutuhan jumlah sel diseluruh saluran pencernaan. Sel-sel tersebut kemudian berkelompok membentuk agregasi badan sel. Kelompok-kelompok ini disebut ganglia yang tersusun atas sel-sel ganglion yang berhubungan dengan badan sel saraf dan sel-sel glial. Ganglia ini kemudian membentuk dua lingkaran cincin pada stratum sirkularis otot polos dinding usus, yang bagian dalam disebut pleksus submukosus meissnerr dan bagian luar disebut pleksus mienterikus auerbach. Apabila terjadi gangguan pada proses migrasi sel-sel kristaneuralis ini maka akan menyebabkan terjadinya segmen usus yang aganglionik dan terjadilah megakolon kongenital.1

Aganglioner diawali dari anus, yang merupakan bagian yang selalu terlibat dan berlanjut ke arah proximal dengan jarak yang bervariasi sekitar 4-25 cm. Plexus mienterik auerbach dan submukosa meissner yang tidak terbentuk mengakibatkan berkurangnya fungsi dan kemampuan usus untuk melakukan gerakan peristaltik sehingga terjadi obstruksi.5

Gerakan usus yang normal, secara primer dikendalikan oleh neuron intrinsik. Fungsi kolon tetap adekuat, meskipun inervasi ekstrinsik hilang. Ganglia ini mengendalikan kontraksi dan relaksasi otot polos dengan dominasi relaksasi. Pengendalian ekstrinsik utamanya melalui serat-serat kolinergik dan adrenergik. Serat kolinergik menimbulkan kontraksi dan serat adrenergik utamanya menimbulkan inhibisi.Pada megakolon kongenital, sel-sel ganglion tidak terbentuk sehingga terjadi peningkatan inervasi usus ekstrinsik baik kolinergik maupun adrenergik yang berjalan 2-3 kali normal. Sistem adrenergik (excitator) diduga lebih mendominasi dari pada sistem kolinergik (inhibitor) sehingga terjadi peningkatan kerja otot polos. Menghilangnyanerves inhibitory enteric intrinsic, kerja otot polos yang meningkat tidak tertanggulangi dan menyebabkan ketidakseimbangan kontraktilitas otot polos, peristaltik yang tidak terkoordinasi dan obstruksi fungsional.7

D. Klasifikasi

7

Page 8: Preskas Bedah Anak - Megakolon Kongenital

Menurut letak segmen aganglionik megakolon kongenital dibagi menjadi:1. Megakolon kongenital segmen pendek : apabila segmen aganglionik

meliputi rektum sampai sigmoid (70-80%).2. Megakolon kongenital segmen panjang : apabila segmen aganglionik

lebih tinggi dari sigmoid (20%).3. Kolon aganglionik total : apabila segmen aganglionik

mengenai seluruh kolon (5-11%).4. Kolon aganglionik universal : apabila segmen aganglionik

meliputi seluruh usus sampai pylorus (5%)1

E. Manifestasi Klinik1. Periode Neonatal

Ada trias gejala klinis yang sering dijumpai yaitu pengeluaran mekonium yang terlambat, muntah hijau, dan distensi abdomen. Pengeluaran mekonium yang terlambat (lebih dari 24 jam pertama) merupakan tanda klinis yang signifikan. Keterlambatan pengeluaran mekonium sangat penting dimana hampir setengah kejadian megakolon kongenital tidak dapat mengeluarkan mekonium dalam 36 jam sejak lahir. Muntah hijau dan distensi abdomen biasanya dapat berkurang manakala mekonium dapat dikeluarkan segera.1,2,8

2. AnakPada anak yang lebih besar, gejala klinis yang menonjol adalah

konstipasi kronis yang tidak sembuh dengan pengobatan biasa. Dapat pula terlihat gerakan peristaltik usus di dinding abdomen. Jika dilakukan pemeriksaan colok dubur, maka feces biasanya keluar menyemprot, konsistensi semi-liquid dan berbau tidak sedap. Pada anak-anak sering terjadi abdominal discomfort dan distensi abdomen karena efek dari konstipasi. Hal ini akan menyebabkan penurunan berat badan dan gizi buruk.1,2

F. DiagnosisDiagnosis ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.1

1. Anamnesis Pada neonatus :a. Mekonium keluar terlambat, lebih dari 24 jamb. Tidak dapat buang air besar dalam waktu 24-48 jam setelah lahirc. Terdapat distensi abdomend. MuntahPada anak :

8

Page 9: Preskas Bedah Anak - Megakolon Kongenital

a. Konstipasi kronisb. Mungkin terdapat distensi abdomenc. Berat badan tidak bertambahd. Nafsu makan tidak ada (anoreksia)

2. Pemeriksaan FisikPada inspeksi abdomen terlihat distensi abdomen, didapatkan perut

lunak hingga tegang pada palpasi, bising usus melemah atau jarang. Pada pemeriksaan colok dubur terasa ujung jari terjepit lumen rektum yang sempit dan sewaktu jari ditarik keluar maka feses akan menyemprot keluar dalam jumlah yang banyak dan kemudian kembung pada perut menghilang untuk sementara.

3. Pemeriksaan penunjanga. Pemeriksaan Radiologi

Pemeriksaan radiologi pada foto polos abdomen dapat dijumpai gambaran obstruksi usus letak rendah, meski pada bayi sulit untuk membedakan usus halus dan usus besar. Pemeriksaan yang merupakan standar dalam menegakkan diagnosa megakolon kongenital adalah barium enema, dimana akan dijumpai 3 tanda khas: Tampak daerah penyempitan di bagian rektum ke proksimal

yang panjangnya bervariasi; Terdapat daerah transisi, terlihat di proksimal daerah

penyempitan ke arah daerah dilatasi; Terdapat daerah pelebaran lumen di proksimal daerah transisi.1

Apabila dari foto barium enema tidak terlihat tanda-tanda khas megakolon kongenital, maka dapat dilanjutkan dengan foto retensi barium setelah 24-48 jam barium dibiarkan membaur dengan feses. Gambaran khasnya adalah terlihat barium yang membaur dengan feses kearah proksimal kolon. Sedangkan pada penderita yang bukan megakolon namun disertai dengan obstipasi kronis, maka barium terlihat menggumpal di daerah rektum dan sigmoid.9

b. Pemeriksaan patologi anatomiDiagnosa histopatologi megakolon kongenital didasarkan atas absennya sel ganglion pada pleksus mienterik auerbach dan pleksus submukosa meissner. Selain itu, akan terlihat penebalan serabut saraf parasimpatis. Akurasi pemeriksaan akan semakin tinggi jika menggunakan pengecatan immunohistokimia asetilkolinesterasedibandingkan dengan pengecatan konvensional dengan haematoxylin eosin. Hanya saja pengecatan immunohistokimia memerlukan ahli patologi anatomi yang

9

Page 10: Preskas Bedah Anak - Megakolon Kongenital

berpengalaman, sebab beberapa keadaan dapat memberikan interpretasi yang berbeda seperti dengan adanya perdarahan (Kartono, 2004).Biasanya biopsi hisap dilakukan pada 3 tempat: 2, 3, dan 5 cm proksimal dari anal verge. Apabila hasil biopsi hisap meragukan, barulah dilakukan biopsi eksisi otot rektum untuk menilai pleksus auerbach.9

c. Manometri anorektalPemeriksaan manometri anorektal adalah suatu pemeriksaan

objektif mempelajari fungsi fisiologi defekasi pada penyakit yang melibatkan sfingter anorektal. Dalam prakteknya, manometri anorektal dilaksanakan apabila hasil pemeriksaan klinis, radiologis, dan histologis meragukan. Pada dasarnya, alat ini memiliki 2 komponen dasar: transduser yang sensitif terhadap tekanan seperti balon mikro dan kateter mikro, serta sisitem pencatat seperti poligraph atau komputer.

Keuntungan metode ini adalah dapat segera dilakukan dan pasien bisa langsung pulang karena tidak dilakukan anestesi umum.Metode ini lebih sering dilakukan pada pasien yang lebih besar dibandingkan pada neonatus.Beberapa hasil manometri anorektal yang spesifik untuk megakolon kongenital: Hiperaktivitas pada segmen yang dilatasi; Tidak dijumpai kontraksi peristaltik yang terkoordinasi pada

segmen usus aganglionik; Sampling refleks tidak berkembang; Tidak dijumpai relaksasi spinkter interna setelah distensi rektum

akibat desakan feses dan tidak dijumpai relaksasi spontan.1,5

G. Penatalaksanaan1. Non Bedah

Pengobatan non bedah dimaksudkan untuk mengobati komplikasi-komplikasi yang mungkin terjadi atau untuk memperbaiki keadaan umum penderita sampai pada saat operasi definitif dapat dikerjakan. Pengobatan non bedah diarahkan pada stabilisasi cairan, elektrolit, asam basa, dan mencegah terjadinya overdistensi sehingga akan menghindari terjadinya perforasi usus serta mencegah terjadinya sepsis. Tindakan-tindakan nonbedah yang dapat dikerjakan adalah pemasangan infus, pemasangan pipa nasogastrik, pemasangan pipa rektum, pemberian antibiotik, lavase kolon dengan irigasi cairan, koreksi elektrolit serta penjagaan nutrisi.1

2. Tindakan Bedah

10

Page 11: Preskas Bedah Anak - Megakolon Kongenital

Tindakan bedah pada penyakit megakolon kongenital terdiri atas tindakan bedah sementara dan tindakan bedah definitif. Tindakan bedah sementara dimaksudkan untuk dekompresi abdomen dengan cara membuat kolostomi pada kolon yang mempunyai ganglion normal bagian distal. Tindakan ini dapat mencegah terjadinya enterokolitis yang diketahui sebagai penyebab utama terjadinya kematian pada penderita megakolon kongenital.

Tindakan bedah definitif yang dilakukan pada megakolon kongenital antara lain prosedur Swenson, prosedur Duhamel, prosedur Soave, prosedur Rehbein, prosedur transanal dan bedah laparoskopik. Saat ini prosedur transanal satu tahap telah berkembang dan dikerjakan pada saat penderita masih neonatus.1

a. Prosedur SwensonProsedur ini adalah prosedur pertama untuk operasi megakolon

kongenital dengan metode “pull-through”. Segmen yang aganglionik direseksi dan puntung rektum ditinggalkan 2-4 cm dari garis mukokutan kemudian dilakukan anastomosis langsung diluar rongga peritoneal. Pada prosedur ini enterokolitis masih dapat terjadi sebagai akibat spasme puntung rektum yang ditinggalkan. Untuk mengatasi hal ini Swenson melakukan sfingterektomi parsial posterior.

Prosedur Swenson dimulai dengan pendekatan ke intra abdomen, melakukan biopsi eksisi otot rektum, diseksi rektum ke bawah hingga dasar pelvik dengan cara diseksi serapat mungkin ke dinding rektum, kemudian bagian distal rektum diprolapskan melewati saluran anal ke dunia luar sehingga saluran anal menjadi terbalik, selanjutnya menarik terobos bagian kolon proksimal (yang tentunya telah direseksi bagian kolon yang aganglionik) keluar melalui saluran anal. Dilakukan pemotongan rektum distal pada 2 cm dari anal verge untuk bagian anterior dan 0,5-1 cm pada bagian posterior, selanjunya dilakukan anastomose end to end dengan kolon proksimal yang telah ditarik terobos tadi. Anastomosis dilakukan dengan 2 lapis jahitan, mukosa dan sero-muskuler. Setelah anastomose selesai, usus dikembalikan ke kavum pelvis. Selanjutnya dilakukan reperitonealisasi, dan kavum abdomen ditutup.1,10

b. Prosedur DuhamelProsedur ini diperkenalkan Duhamel tahun 1956 untuk

mengatasi kesulitan diseksi pelvis pada prosedur Swenson. Prinsip dasar prosedur ini adalah menarik kolon proksimal yang ganglionik ke arah anal melalui bagian posterior rektum yang aganglionik,

11

Page 12: Preskas Bedah Anak - Megakolon Kongenital

menyatukan dinding posterior rektum yang aganglionik dengan dinding anterior kolon proksimal yang ganglionik sehingga membentuk rongga baru dengan anastomose end to side.

Prosedur Duhamel asli memiliki beberapa kelemahan, diantaranya sering terjadi stenosis, inkontinensia dan pembentukan fekaloma di dalam puntung rektum yang ditinggalkan apabila terlalu panjang. Oleh sebab itu dilakukan beberapa modifikasi prosedur Duhamel, diantaranya : 1. Modifikasi Grob (1959) : Anastomosis dengan

pemasangan 2 buah klem melalui sayatan endoanal setinggi 1,5-2,5 cm, untuk mencegah inkontinensia;

2. Modifikasi Talbert dan Ravitch : Modifikasi berupa pemakaian stapler untuk melakukan anastomose side to side yang panjang;

3. Modifikasi Ikeda : Ikeda membuat klem khusus untuk melakukan anastomose, yang terjadi setelah 6-8 hari kemudian;

4. Modifikasi Adang : Pada modifikasi ini, kolon yang ditarik transanal dibiarkan prolaps sementara. Anastomose dikerjakan secara tidak langsung, yakni pada hari ke-7-14 pasca bedah dengan memotong kolon yang prolaps dan pemasangan 2 buah klem; kedua klem dilepas 5 hari berikutnya. Pemasangan klem disini lebih dititikberatkan pada fungsi hemostasis.1,2

c. Prosedur SoaveProsedur ini sebenarnya pertama sekali diperkenalkan Rehbein

tahun 1959 untuk tindakan bedah pada malformasi anorektal letak tinggi. Namun, oleh Soave tahun 1966 diperkenalkan untuk tindakan bedah definitif megakolon kongenital.

Tujuan utama dari prosedur Soave ini adalah membuang mukosa rektum yang aganglionik, kemudian menarik terobos kolon proksimal yang ganglionik masuk kedalam lumen rektum yang telah dikupas tersebut.2

d. Prosedur RehbeinProsedur ini tidak lain berupa deep anterior resection, dimana

dilakukan anastomose end to end antara usus aganglionik dengan rektum pada level otot levator ani (2-3 cm diatas anal verge), menggunakan jahitan 1 lapis yang dikerjakan intraabdominal ekstraperitoneal. Pasca operasi, sangat penting melakukan businasi secara rutin guna mencegah stenosis.2

12

Page 13: Preskas Bedah Anak - Megakolon Kongenital

H. KomplikasiKomplikasi pasca tindakan bedah pada megakolon kongenital dapat

digolongkan menjadi kebocoran anastomose, stenosis, enterokolitis dan gangguan fungsi spinkter. Beberapa hal dicatat sebagai faktor predisposisi terjadinya penyulit pasca operasi, diantaranya : usia muda saat operasi, kondisi umum penderita saat operasi, prosedur bedah yang digunakan, keterampilan dan pengalaman dokter bedah, jenis dan cara pemberian antibiotik serta perawatan pasca bedah. 1. Kebocoran Anastomose

Kebocoran anastomose pasca operasi dapat disebabkan oleh ketegangan yang berlebihan pada garis anastomose, vaskularisasi yang tidak adekuat pada kedua tepi sayatan ujung usus, infeksi dan abses sekitar anastomose serta trauma colok dubur atau businasi pasca operasi yang dikerjakan terlalu dini dan tidak hati-hati. Kartono mendapatkan angka kebocoran anastomese hingga 7,7% dengan menggunakan prosedur Swenson, sedangkan apabila dikerjakan dengan prosedur Duhamel modifikasi hasilnya sangat baik dengan tak satu kasuspun mengalami kebocoran.

Manifestasi klinis yang terjadi akibat kebocoran anastomose ini beragam. Kebocoran anastomosis ringan menimbulkan gejala peningkatan suhu tubuh, terdapat infiltrat atau abses rongga pelvik, kebocoran berat dapat terjadi demam tinggi, pelvioperitonitis atau peritonitis umum , sepsis dan kematian. Apabila dijumpai tanda-tanda dini kebocoran, segera dibuat kolostomi di segmen proksimal.

2. StenosisStenosis yang terjadi pasca operasi dapat disebabkan oleh

gangguan penyembuhan luka di daerah anastomose, infeksi yang menyebabkan terbentuknya jaringan fibrosis, serta prosedur bedah yang dipergunakan. Stenosis sirkuler biasanya disebabkan komplikasi prosedur Swenson atau Rehbein, stenosis posterior berbentuk oval akibat prosedur Duhamel sedangkan bila stenosis memanjang biasanya akibat prosedur Soave.

Manifestasi yang terjadi dapat berupa gangguan defekasi yaitu kecipirit, distensi abdomen, enterokolitis hingga fistula perianal. Tindakan yang dapat dilakukan bervariasi, tergantung penyebab stenosis, mulai dari businasi hingga sfinkterektomi posterior.

3. EnterokolitisEnterokolitis merupakan komplikasi yang paling berbahaya, dan

dapat berakibat kematian. Swenson mencatat angka 16,4% dan kematian akibat enterokolitis mencapai 1,2%. Kartono mendapatkan angka 14,5%

13

Page 14: Preskas Bedah Anak - Megakolon Kongenital

dan 18,5% masing-masing untuk prosedur Duhamel modifikasi dan Swenson. Sedangkan angka kematiannya adalah 3,1% untuk prosedur Swenson dan 4,8% untuk prosedur Duhamel modifikasi.

Tindakan yang dapat dilakukan pada penderita dengan tanda-tanda enterokolitis adalah :a. Segera melakukan resusitasi cairan dan elektrolit, b. Pemasangan pipa rektal untuk dekompresi, c. Melakukan wash out dengan cairan fisiologis 2-3 kali perhari d. Pemberian antibiotika yang tepat.

Sedangkan untuk koreksi bedahnya tergantung penyebab/prosedur operasi yang telah dikerjakan. Businasi pada stenosis, sfingterotomi posterior untuk spasme spingter ani dapat juga dilakukan reseksi ulang stenosis. Prosedur Swenson biasanya disebabkan spinkter ani terlalu ketat sehingga perlu spinkterektomi posterior. Sedangkan pada prosedur Duhamel modifikasi, penyebab enterokolitis biasanya adalah pemotongan septum yang tidak sempurna sehingga perlu dilakukan pemotongan ulang yang lebih panjang.

Enterokolitis dapat terjadi pada semua prosedur tetapi lebih kecil pada pasien dengan endorektal pullthrough. Enterokolitis merupakan penyebab kecacatan dan kematian pada megakolon kongenital, mekanisme timbulnya enterokolitis menurut Swenson adalah karena obtruksi parsial. Obtruksi usus pasca bedah disebabkan oleh stenosis anastomosis, sfingter ani dan kolon aganlionik yang tersisa masih spastik. Manifestasi klinis enterokolitis berupa distensi abdomen diikuti tanda obtruksi seperti muntah hijau atau fekal dan feses keluar eksplosif cair dan berbau busuk. Enetrokolitis nekrotikan merupakan komplikasi paling parah dapat terjadi nekrosis, infeksi dan perforasi. Hal yang sulit pada megakolon kongenital adalah terdapatnya gangguan defekasi pasca pullthrough, kadang ahli bedah dihadapkan pada konstipasi persisten dan enterokolitis berulang pasca bedah.

4. Gangguan Fungsi SfinkterHingga saat ini, belum ada suatu parameter atau skala yang

diterima universal untuk menilai fungsi anorektal ini. Fecal soiling atau kecipirit merupakan parameter yang sering dipakai peneliti terdahulu untuk menilai fungsi anorektal pasca operasi, meskipun secara teoritis hal tersebut tidaklah sama. Kecipirit adalah suatu keadaan keluarnya feces lewat anus tanpa dapat dikendalikan oleh penderita, keluarnya sedikit-sedikit dan sering. Untuk menilai kecipirit, umur dan lamanya pasca operasi sangatlah menentukan. Swenson memperoleh angka 13,3% terjadinya kecipirit, sedangkan Kleinhaus justru lebih rendah yakni 3,2%

14

Page 15: Preskas Bedah Anak - Megakolon Kongenital

dengan prosedur yang sama. Kartono mendapatkan angka 1,6% untuk prosedur Swenson dan 0% untuk prosedur Duhamel modifikasi. Sedangkan prosedur Rehbein juga memberikan angka 0%.Pembedahan dikatakan berhasil bila penderita dapat defekasi teratur dan kontinen.

I. PrognosisSecara umum prognosisnya baik jika gejala obstruksi segera diatasi,

90% pasien dengan penyakit hirschprung yang mendapat tindakan pembedahan mengalami penyembuhan dan hanya sekitar 10% pasien yang masih mempunyai masalah dengan saluran cernanya sehingga harus dilakukan kolostomi permanen. Angka mortalitas megakolon kongenital pada neonatus yang tidak ditangani masih sangat tinggi yaitu mencapai 80%, sedang kematian pada kasus-kasus yang telah ditangani 30% disebabkan oleh karena enterokolitis.Angka kematian akibat komplikasi dari tindakan pembedahan pada bayi sekitar 20%. Angka mortalitas operasi yang didapatkan setelah beberapa prosedur operasi antara lain prosedur Swenson 2,5%, prosedur Soave 4,5% dan prosedur Duhamel 6,2%.

DAFTAR PUSTAKA

1. Kartono D. Penyakit Hirschsprung : Perbandingan prosedur Swenson dan Duhamel modifikasi. Disertasi. Pascasarjana FKUI.1993.

15

Page 16: Preskas Bedah Anak - Megakolon Kongenital

2. Fonkalsrud. Hirschsprung’s disease. In:Zinner MJ, Swhartz SI, Ellis H, editors. Maingot’s Abdominal Operation. 10th ed. New York: Prentice-Hall intl.inc.;1997.p.2097-105.

3. Feldmen M, Friedman LS, Sleisenger MH. Hirschsprung’s disease: congenital megacolon. In: Sleisenger & Fordtran’s Gastrointestinal and Liver Disease: Pathophysiology, Diagnosis, Management. 7th ed. Philadelphia, Pa.: Saunders, 2002:2131-5.

4. Best KE, Glinianaia SV, Bythell M, et al; Hirschsprung's disease in the North ofEngland: prevalence,associatedanomalies, and survival. Birth Defects Res AClin Mol Teratol. 201 2 Jun;94(6):477-80.

5. Warner B.W. 2004. Chapter 70 Pediatric Surgery in TOWNSEND SABISTON TEXTBOOK of SURGERY. 17th edition. Elsevier-Saunders. Philadelphia. Page 2113-2114.

6. Ziegler M.M., Azizkhan R.G., Weber T.R. 2003. Chapter 56 Hirschsprung Disease In: Operative PEDIATRIC Surgery. McGraw-Hill. New York. Page 617-640.

7. Farid Nur Mantu. Catatan Kuliah Ilmu Bedah Anak. Jakarta: EGC, 1993.8. Swenson O, Raffensperger JG. Hirschsprung’s disease. In: Raffensperger

JG,editor. Swenson’s pediatric surgery. 5th ed. Connecticut:Appleton & Lange; 1990: 555-77.

9. Leonidas J.C., Singh S.P., Slovis T.L. 2004. Chapter 4 Congenital Anomalies of The Gastrointestinal Tract In: Caffey’s Pediatric Diagnostic Imaging 10th

edition. Elsevier-Mosby. Philadelphia. Page 148-153.10. Lee, Steven L, (2005), Hirschprung disease,

http://emedicine.medscape.com/article/178493-overview.

16