Preskas Anestesi Rio Doc
-
Upload
elisabeth-dea-resitarani -
Category
Documents
-
view
25 -
download
2
description
Transcript of Preskas Anestesi Rio Doc
Laporan Kasus
Seorang Wanita 28 Tahun G2P1A0 dengan IUGR PEB HELLP Syndrome
pada Secundigravida Hamil Preterm BDP pro re-SCTPem dengan
Status Fisik ASA II E Plan RASAB
Oleh:
Fernando Feliz Christyan
G99141050
Pembimbing
dr. RTH. Supraptomo, Sp.An
KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU ANESTESI DAN TERAPI
INTENSIF
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2015
BAB IPENDAHULUAN
Preeklampsia (PE) merupakan kumpulan gejala atau sindroma yang
mengenai wanita hamil dengan usia kehamilan di atas 20 minggu dengan tanda
utama berupa adanya hipertensi dan proteinuria. Bila seorang wanita memenuhi
kriteria preeklampsia dan disertai kejang yang bukan disebabkan oleh penyakit
neurologis dan atau koma maka dikatakan eklampsia. Umumnya wanita hamil
tersebut tidak menunjukkan tanda-tanda kelainan vaskular atau hipertensi
sebelumnya. Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengungkapkan etiologi dan
patofisiologi preeklampsia, namun sampai saat ini masih tetap belum lengkap dan
jelas benar. Meskipun demikian, ada kesepakatan bahwa preeklampsia ditandai
dengan terjadinya vasospasme yang bersifat menyeluruh akibat jejas atau trauma
pada endotel.
Preeklampsia/eklampsia merupakan penyebab utama morbiditas dan
mortalitas ibu dan bayi di dunia khususnya negara-negara sedang berkembang.
Pada negara sedang berkembang frekuensi dilaporkan berkisar antara 0,3 %
sampai 0,7 %, sedang di negara-negara maju angka eklampsia lebih kecil, yaitu
0,05 % sampai 0,1 %. Di Indonesia preeklampsia berat dan eklampsia merupakan
penyebab kematian ibu berkisar 1,5 % sampai 25 %, sedangkan kematian bayi
antara 45 % sampai 50 %.
Mortalitas maternal pada preeklampsia disebabkan oleh karena akibat
komplikasi dari preeklampsia dan eklampsianya, seperti: Hellp syndrome, solusio
plasenta, hipofibrigonemia, hemolisis, perdarahan otak, gagal ginjal,
dekompensasi kordis dengan oedema pulmo dan nekrosis hati. Mortalitas
perinatal pada preeklampsia dan eklampsia disebabkan asfiksia intra uterin,
prematuritas, dismaturitas, dan kematian janin intrauterin. Asfiksia terjadi karena
adanya gangguan perfusi uteroplasenta akibat vasospasme arteriole spiralis
(Prawirohardjo, 2014).
Sindroma HELLP merupakan kumpulan gejala multi sistem pada penderita
preeklampsia berat (PEB) dan eklampsia yang terutama ditandai dengan adanya
2
hemolisis, peningkatan kadar enzim hepar dan penurunan jumlah trombosit.
Terjadinya Sindroma HELLP merupakan manifestasi akhir kerusakan endotel
mikrovaskuler dan aktivasi platelet intravaskuler. Karakteristik penderita pada
Sindroma HELLP lebih banyak ditemukan pada nullipara dan pada usia
kehamilan yang belum aterm. Karena adanya mikroangiopati yang menyebabkan
aktivasi dan konsumsi yang meningkat dari platelet, terjadi penumpukan fibrin di
sinusoid hepar, maka gejala yang menonjol adalah rasa nyeri pada daerah
epigastrium kanan, mual muntah, ikterus, nyeri kepala dan gangguan penglihatan
serta tanda-tanda hemolisis.
Apabila pada pemeriksaan antenatal ditemukan PEB dengan sindroma
HELLP, maka penanganan terutama diprioritaskan untuk stabilisasi kondisi ibu
terutama tekanan darah, balance cairan dan abnormalitas pembekuan darah.
Dilakukan terminasi kehamilan dengan segera tanpa memperhitungkan usia
kehamilan, mengingat besarnya risiko maternal serta jeleknya luaran perinatal
apabila kehamilan diteruskan.
Teknik anestesia yang lazim digunakan dalam sectio caesaria adalah
anestesi regional, tapi tidak selalu dapat dilakukan berhubung dengan sikap
mental pasien. Beberapa teknik anestesi regional yang biasa digunakan pada
pasien obstetri yaitu blok paraservikal, blok epidural, blok subarakhnoid, dan blok
kaudal. Anestesia spinal aman untuk janin, namun selalu ada kemungkinan bahwa
tekanan darah pasien menurun dan akan menimbulkan efek samping yang
berbahaya bagi ibu dan janin. Beberapa kemungkinan terjadinya komplikasi pada
ibu selama anestesia harus diperhitungkan dengan teliti. Keadaan ini dapat
membahayakan keadaan janin, bahkan dapat menimbulkan kematian ibu.
Komplikasi yang mungkin terjadi antara lain aspirasi paru, gangguan respirasi,
dan gangguan kardiovaskular. Karena anestesi memiliki peranan yang penting
dalam penanganan preeklamsi berat, maka penulis akan membahas tentang kasus
mengenai seorang wanita 28 tahun G2P1A0 dengan IUGR PEB Hellp syndrome
pada sekundigravida H. Preterm BDP pro re-SCTPem dengan status fisik ASA II
E plan RASAB.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. PREEKLAMSIA
Definisi
Preeklampsia dan eklampsia merupakan kumpulan-kumpulan gejala
yang timbul pada ibu hamil, bersalin dan dalam masa nifas yang terdiri dari
trias: proteinuri, hipertensi,dan edema, yang kadang-kadang disertai konvulsi
sampai koma. Ibu tersebut tidak menunjukkan tanda-tanda kelainan-kelainan
vaskular atau hipertensi sebelumnya. Dulu, preeklampsia didefinisikan
sebagai penyakit dengan tanda-tanda hipertensi, edema dan proteinuria yang
timbul karena kehamilan. Penyakit ini terjadi pada triwulan ke 3 kehamilan
tetapi dapat juga terjadi sebelumnya, misalnya pada mola hidatidosa.
Pada kasus preeklampsia berat dapat terjadi impending eklampsia.
Impending eklampsia ditandai dengan adanya hiperrefleksi. Gejala subyektif
dari pasien yaitu jika pasien merasa kepalanya pusing, muntah, atau adanya
nyeri epigastrik.
Pada kasus yang diabaikan atau yang lebih jarang terjadi, pada kasus
hipertensi karena kehamilan yang fulminan dapat terjadi eklampsia. Bentuk
serangan kejang pada eklampsia adalah kejang ‘grand mal’ dan dapat timbul
pertama kali sebelum, selama, atau setelah persalinan. Kejang yang timbul
lebih dari 48 jam setelah persalinan lebih besar kemungkinannya disebabkan
oleh lesi lain yang bukan terdapat pada susunan saraf pusat.
Etiologi
Penyebab preeklampsia sampai sekarang belum diketahui dengan jelas.
Banyak teori telah dikemukakan tentang hipertensi dalam kehamilan, tetapi
tidak ada satu pun teori tersebut yang dianggap mutlak benar. Teori-teori
yang sekarang banyak dianut adalah sebagi berikut:
a. Teori Kelainan Vaskularisasi Plasenta
4
Tidak terjadinya invasi trofoblas pada arteri spiralis dan jaringan
matriks di sekitarnya, menyebabkan lumen arteri spiralis tidak
mengalami distensi dan vasodilatasi sehingga terjadi kegagalan
remodelling arteri spiralis. Hal ini menyebabkan aliran darah
uteroplasenta menurun dan terjadi hipoksia dan iskemia plasenta.
b. Teori Iskemia Plasenta, Radikal Bebas, dan Disfungsi Endotel
Iskemia plasenta akan menyebabkan terbentuknya radikal bebas atau
oksidan yang beredar dalam sirkulasi sehingga disebut toxaemia.
Radikal bebas akan mengikat asam lemak tak jenuh menjadi peroksida
lemak yang akan merusak endotel pembuluh darah.
Kerusakan endotel pembuluh darah menyebabkan disfungsi endotel
dan berakibat sebagai berikut:
1) Gangguan metabolisme prostaglandin sehingga protasiklin sebagai
vasodilator kuat menurun
2) Agregasi trombosit pada endotel yang rusak dan produksi
tromboksan sebagai vasokonstriktor kuat
3) Perubahan endotel glomerolus ginjal
4) Peningkatan permeabilitas kapiler
5) Peningkatan bahan vasopresor endotelin dan penurunan nitrit oxide
(NO)
6) Peningkatan faktor koagulasi
c. Teori Intoleransi Imunologik antara Ibu dan Janin
Hasil konsepsi pada kehamilan normal tidak terjadi penolakan karena
adanya HLA-G pada plasenta sehingga melindungi trofoblas dari lisis
oleh sel NK ibu. HLA-G juga akan membantu invasi trofoblas pada
jaringan desidua ibu. Pada penurunan HLA-G, invasi trofoblas
terhambat sehingga tidak terjadi dilatasi arteri spiralis.
d. Teori Adaptasi Kardiovaskulatori Genetik
Pada wanita hamil normal, terjadi refrakter pembuluh darah terhadap
bahan vasopresor sehingga membutuhkan kadar yang tinggi untuk
menyebabkan vasokonstriksi, hal tersebut terjadi karena adanya
5
perlindungan protasiklin. Pada keadaan menurunnya protasiklin maka
kepekaan terhadap vasokonstriktor meningkat sehingga mudah terjadi
vasokonstriksi.
e. Teori Genetik
Adanya faktor keturunan dan familial dengan gen tunggal. Ibu dengan
pre eklamspia memungkinkan 26% anak perempuannya juga
mengalami preeklampsia.
f. Teori Defisiensi Gizi
Diet yang dianjurkan untuk mengurangi resiko terjadinya preeklampsia
adalah makanan kaya asam lemak tak jenuh yang akan menghambat
terbentuknya tromboksan, aktivasi trombosit dan vasokonstriksi
pembuluh darah. Konsumsi kalsium menurut penelitian juga
menurunkan insidensi preeklampsia.
g. Teori Inflamasi
Lepasnya debris trofoblas sebagai sisa proses apoptosis dan nekrotik
akibat stres oksidatif dalam peredaran darah akan mencetuskan
terjadinya reaksi inflamasi. Pada kehamilan normal jumlahnya dalam
batas wajar. Sedangkan pada kehamilan dengan plasenta yang besar,
kehamilan ganda, dan mola maka debrisnya juga semakin banyak dan
terjadi reaksi sistemik inflamasi pada ibu.
Klasifikasi
Preeklampsia dibagi menjadi preeclampsia ringan dan preeclampsia berat (PEB):
1. Preeklampsia ringan
Dikatakan preeclampsia ringan bila :
a. Tekanan darah sistolik antara 140-160 mmHg dan tekanan darah
b. diastolik 90-110 mmHg
c. Proteinuria minimal (< 2g/L/24 jam)
d. Tidak disertai gangguan fungsi organ
2. Preeklampsia berat
Dikatakan preeclampsia berat bila :
6
a. Tekanan darah sistolik > 160 mmHg atau tekanan darah diastolik > 110 mmHg
b. Proteinuria (> 5 g/L/24 jam) atau positif 3 atau 4 pada pemeriksaan kuantitatif
c. Bisa disertai dengan :
i. Oliguria (urine ≤400 mL/24jam)
ii. Keluhan serebral, gangguan penglihatan
iii. Nyeri abdomen pada kuadran kanan atas atau daerah epigastrium
iv. Gangguan fungsi hati dengan hiperbilirubinemia
v. Edema pulmonum, sianosis
vi. Gangguan perkembangan intrauterine
vii. Microangiopathic hemolytic anemia, trombositopenia
3. Jika terjadi tanda-tanda preeclampsia yang lebih berat dan disertai dengan adanya
kejang, maka dapat digolongkan ke dalam eklampsia.
Preklampsia beratdi bagi dalam beberapa kategori, yaitu:
a. PEB tanpa impending eclampsia
b. PEB dengan impending eclampsia dengan gejala-gejala impending di antaranya
nyeri kepala, mata kabur, mual dan muntah, nyeri epigastrium, dan nyeri
abdomen kuadran kanan atas
Diagnosis:
Diagnosis dari preeklampsia berat dapat ditentukan secara klinis maupun laboratorium.
1. Klinis:
a. Nyeri epigastrik
b. Gangguan penglihatan
c. Sakit kepala yang tidak respon terhadap terapi konvensional
d. Terdapat IUGR
e. Sianosis, edema pulmo
f. Tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg atau ≥ 110 mmHg untuk tekanan
darah diastolik (minimal diperiksa dua kali dengan selang waktu 6
jam)
g. Sianosis, edema pulmo
h. Oliguria (< 400 ml selama 24 jam)
7
2. Laboratorium:
a. Proteinuria (2,0 gram/24 jam atau ≥ +2 pada dipstik)
b. Trombositopenia (<100.000/mm3)
c. Kreatinin serum >1,2 mg/dl kecuali apabila diketahui telah meningkat
sebelumnya
d. Hemolisis mikroangiopatik (LDH meningkat)
e. Peningkatan enzim hepar (SGOT,SGPT)
Penatalaksanaan:
Prinsip penatalaksanaan preeklampsia berat adalah mencegah
timbulnya kejang, mengendalikan hipertensi guna mencegah perdarahan
intrakranial serta kerusakan dari organ-organ vital dan melahirkan bayi
dengan selamat.
Pada preeklampsia berat, penundaan merupakan tindakan yang salah.
Karena preeklampsia sendiri bisa membunuh janin.
1. Perawatan aktif, yaitu mengakhiri kehamilan.
Indikasi: bila terdapat satu atau lebih kelainan berikut ini:
Ibu:
a. Usia kehamilan lebih dari 37 minggu
b. Adanya tanda-tanda terjadinya impending eklampsia
c. Kegagalan terapi pada perawatan konservatif
Janin:
a. Terdapat tanda-tanda gawat janin
b. Terdapat tanda-tanda IUGR
Laboratorium:
a. Adanya sindroma HELLP
Terapi medikamentosa untuk perawatan aktif dapat diberikan:
a. Infus Infus D5% yang tiap liternya diselingi dengan larutan RL 500 cc
(60-125 cc/jam)
b. Diet cukup protein, rendah karbohidrat, lemak dan garam.
c. Pemberian obat : MgSO4.
8
2. Perawatan konservatif, yang berarti mempertahankan kehamilan.
Indikasi: Kehamilan kurang bulan (< 37 minggu) tanpa disertai tanda-
tanda impending eklampsi dengan keadaan janin baik.
Terapi medikamentosa untuk perawatan konservatif:
Sama dengan perawatan medisinal pada pengelolaan secara aktif.
Hanya dosis awal MgSO4 tidak diberikan i.v. cukup i.m. saja (MgSO4 40%
8 gr i.m.). Penggunaan obat hipotensif pada preeklampsia berat diperlukan
karena dengan menurunkan tekanan darah kemungkinan kejang dan
apopleksia serebri menjadi lebih kecil. Namun, dari penggunaan obat-obat
antihipertensi jangan sampai mengganggu perfusi uteroplacental. OAH yang
dapat digunakan adalah hydralazine, labetolol, dan nifedipin.
Apabila terdapat oligouria, sebaiknya penderita diberi glukosa 20 %
secara intravena. Obat diuretika tidak diberikan secara rutin. Pemberian
kortikosteroid untuk maturitas dari paru janin sampai saat ini masih
kontroversi. Untuk penderita preeklampsia diperlukan anestesi dan sedativa
lebih banyak dalam persalinan. Namun, untuk saat ini teknik anestesi yang
lebih sering digunakan adalah anestesi epidural lumbal.
Pada kala II, pada penderita dengan hipertensi, bahaya perdarahan
dalam otak lebih besar, sehingga apabila syarat-syarat telah terpenuhi,
hendaknya persalinan diakhiri dengan cunam atau vakum. Pada gawat janin,
dalam kala I, dilakukan segera sectio caesaria; pada kala II dilakukan
ekstraksi dengan cunam atau ekstraktor vakum.
Prognosis
Prognosis PEB dan eklampsia dikatakan jelek karena kematian ibu
antara 9,8 – 20,5%, sedangkan kematian bayi lebih tinggi lagi, yaitu 42,2 –
48,9%. Kematian ini disebabkan karena kurang sempurnanya pengawasan
antenatal, disamping itu penderita eklampsia biasanya sering terlambat
mendapat pertolongan. Kematian ibu biasanya karena perdarahan otak,
decompensatio cordis, oedem paru, payah ginjal dan aspirasi cairan lambung.
Sebab kematian bayi karena prematuritas dan hipoksia intra uterin.
9
B. HELLP SYNDROME
Definisi Sindrom HELLP
Sindrom HELLP adalah kelainan multisistem yang merupakan
komplikasi kehamilan dengan pemeriksaan laboratorium menandakan
hemolisis, disfungsi hepatik, dan trombositopenia. Kelainan ini pertama kali
dijelaskan oleh Weinstein pada tahun 1982, dan kemudian disebut sindrom
HELLP yang merupakan akronim dari hemolysis (H), elevated liver enzyme
(EL), low platelets (LP).
Sindrom HELLP paling sering berhubungan dengan preeklampsia
berat atau eklampsia, namun juga bisa didiagnosis tanpa diawali kelainan-
kelainan tersebut. Kelainan ini dapat berupa murni komplikasi PEB atau
merupakan fenomena sekunder pada pasien dengan adult respiratory distress
syndrome (ARDS), gagal ginjal, dan kerusakan organ multipel dengan DIC.
Epidemiologi
Sindrom HELLP terjadi pada kira-kira 0,5 sampai 0,9% dari semua
kehamilan dan 10 sampai 20% pada kasus dengan PEB. Sekitar 70% kasus
sindrom HELLP terjadi sebelum persalinan dengan frekuensi tertinggi pada
usia kehamilan 27-37 minggu; 10% terjadi sebelum usia kehamilan 27
minggu, dan 20% setelah 37 minggu.
Faktor Risiko
Faktor risiko sindrom HELLP berbeda dengan preeklampsia. Pasien
sindrom HELLP secara bermakna lebih tua (rata-rata umur 25 tahun)
dibandingkan pasien preeklampsia-eklampsia tanpa sindrom HELLP (rata-
rata umur 19 tahun). Insiden sindrom ini juga lebih tinggi pada populasi kulit
puih dan multipara. Sindrom ini biasanya muncul pada trimester ketiga.
10
Tabel 1. Faktor Risiko
Sindrom HELLP Preeklampsia
Multipara
Usia ibu > 25 tahun
Ras kulit putih
Riwayat keluaran kehamilan
yang jelek
Nullipara
Usia ibu < 20 tahun atau > 40
tahun
Riwayat keluarga eklampsia
ANC yang buruk
Diabetes mellitus
Hipertensi kronis
Kehamilan multipel
Patogenesis
Sindrom Hellp seringkali terjadi mendadak pada usia kehamilan
antara 28-36 minggu. Etiologi dan pathogenesis dari penyakit ini masih
belum dipahami secara pasti. Secara umum, kelainan ini dihubungkan dengan
pendesakan plasenta (placenta-instigated), kondisi inflamasi akut pada hepar,
dengan kelainan proses imunologi. Seperti pada preeklamsia, sindroma ini
berasal dari kegagalan pembentukan dan fungsi, serta iskemia dari plasenta.
Iskemia ini kemudian memicu pelepasan faktor-faktor yang merusak endotel
melalui hilangnya relaksasi vascular, pelepasan vasokonstriktor, dan aktivasi
platelet. Hemolysis yang merupakan karakterisasi dari sindrom ini berasal
dari kelainan mikroangiopati. Sel darah merah menjadi terfragmentasi saat
mereka melewati pembuluh darah kecil yang mempunyai kelainan deposit
fibrin dan endothelium yang rusak. Obstruksi aliran darah hepar oleh deposit
fibrin pada sinusoid hepar berdampak pada naiknya enzim hepar (elevated
liver enzymes), dan nekrosis periportal. Pada kasus yang berat, dapat timbul
perdarahan intrahepatik, subkapsular hematoma, bahkan rupture hepar.
Trombositopenia, yang merupakan manifestasi ketiga dari trias Sindrom
HELLP berasal dari peningkatan konsumsi dan destruksi platelet (Hemant et
al., 2009).
11
Tanda dan Gejala
a. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Pasien dengan sindrom HELLP mempunyai gejala klinis yang
bervariasi. Gejalanya mirip dengan gejala pasien preeklampsia tanpa
sindrom HELLP. Pasien biasanya mengeluh nyeri perut di bagian
epigastrik atau di kuadran kanan atas (90%), kadang-kadang disertai mual
dan muntah (45 – 86%), pasien lain bisa mempunyai gejala klinis yang
menyerupai gejala infeksi virus yang tidak spesifik. Kebanyakan pasien
(90%) mempunyai riwayat badan lemah beberapa hari sebelum serangan.
gejala nyeri perut bagian epigastrik atau di kuadran kanan atas disebabkan
adanya obstruksi aliran darah di sinusoid hepar yang disebabkan deposit
fibrin intravaskuler.
Karena diagnosis awal sangat diperlukan untuk penatalaksanaan
pada Sindrom HELLP, wanita hamil yang memiliki gejala seperti malaise
pada separuh masa kehamilan mereka harus segera dievaluasi dengan cek
darah lengkap. Gejala umum lain yang perlu diperhatikan antara lain nyeri
epigastrium atau perut kanan atas, mual, muntah, sakit kepala dan
gangguan penglihatan. Pada beberapa kasus dapat terjadi nyeri alih dari
hepar yang terdapat pada leher dan bahu.
b. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium pada sindrom HELLP sangat diperlukan,
karena diagnosa ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium
(Hemant et al., 2009).
1) Hemolisis
a) Kelainan apusan darah tepi, yaitu ditemukannya sel burr, sel helmet,
schistocyte dan atau fragmentosit.
b) Total bilirubin > 1,2 mg/dL
c) Penurunan level serum haptoglobin
d) Penurunan level hemoglobin
2) Peningkatan enzim hepar
a) Serum AST > 70 U/L
12
b) LDH > 600 U/L
3) Trombositopenia
Hitung trombosit < 100.000/mm3.
Penegakan Diagnosis dan Klasifikasi
Tiga kelainan utama pada sindrom HELLP adalah hemolisis,
peningkatan kadar enzim hepar, dan jumlah trombosit yang rendah. Dua
sistem klasifikasi digunakan pada sindrom HELLP. Klasifikasi pertama
adalah klasifikasi menurut Tennessee yang membagi menjadi sindrom
HELLP parsial (mempunyai satu atau dua kelainan) atau sindrom HELLP
total (ketiga kelainan ada). Wanita dengan ketiga kelainan lebih berisiko
menderita komplikasi seperti DIC, dibandingkan dengan wanita dengan
sindrom HELLP parsial. Konsekuensinya pasien sindrom HELLP total
seharusnya dipertimbangkan untuk bersalin dalam 48 jam, sebaliknya yang
parsial diterapi konservatif.
Klasifikasi kedua adalah menurut Mississippi, yang membagi sindrom
HELLP menjadi tiga kelas berdasarkan jumlah trombositnya. Sindrom
HELLP kelas I jika jumlah trombosit < 50.000/mm3. Jumlah trombosit
50.000-100.000/mm3 dimasukkan kelas II. Kelas III jika jumlah trombosit
antara 100.000-150.000/mm3. Klasifikasi ini telah digunakan dalam
memprediksi kecepatan pemulihan penyakit pada post partum, keluaran
maternal dan perinatal, dan perlu tidaknya plasmaferesis. Sindrom HELLP
kelas I berisiko morbiditas dan mortalitas lebih tinggi dibandingkan kelas II
dan kelas III.
13
Tabel 2. Kriteria Diagnostik Sindrom HELLP
Klasifikasi Klasifikasi Tennessee Klasifikasi Mississippi
Kelas 1 Trombosit ≤ 100.109 /L
AST ≥ 70 U/L
LDH ≥ 600 U/L
Trombosit ≤ 50.109/L
AST atau ALT ≥ 70 U/L
LDH ≥ 600 U/L
Kelas 2 Trombosit ≥ 50.109/L
sampai ≤ 100.109/L
AST atau ALT ≥ 70 U/L
LDH ≥ 600 U/L
Kelas 3 Trombosit ≥ 100.109/L
sampai ≤ 150.109/L
AST atau ALT ≥ 40 U/L
LDH ≥ 600 U/L
Diagnosis Banding
Pasien sindrom HELLP dapat menunjukkan tanda dan gejala yang
sangat bervariasi, yang tidak bernilai diagnostik pada preeklampsia berat.
Akibatnya sering terjadi salah diagnosis, diikuti dengan kesalahan pemberian
obat dan pembedahan.
Diagnosis banding pasien sindrom HELLP meliputi:
a. Perlemakan hati akut dalam kehamilan
b. Apendisitis
c. Gastroenteritis
d. Kolesistitis
e. Batu ginjal
f. Pielonefritis
g. Ulkus peptikum
h. Glomerulonefritis trombositopeni idiopatik
i. Trombositopeni purpura trombotik
j. Sindrom hemolitik uremia
k. Ensefalopati dengan berbagai etiologi
14
Tatalaksana
a. Tatalaksana Awal
Pasien sindrom HELLP harus dirujuk ke pusat pelayanan kesehatan
tersier dan pada penanganan awal harus diterapi sama seperti pasien
preeklampsia. Prioritas pertama adalah menilai dan menstabilkan kondisi
ibu, khususnya kelainan pembukuan darah.
Tabel 3. Penatalaksanaan Awal Sindrom HELLP
1) Menilai dan menstabilkan kondisi ibu
a) Jika ada DIC, atasi koagulopati
b) Profilaksis anti kejang dengan MgSO4
c) Terapi hipertensi berat
d) Periksa CT scan atau USG abdomen bila diduga hematoma
subkapsular hati
2) Evaluasi kesejahteraan janin
a) Non stress test (NST)
b) Profil biofisik
c) USG untuk memeriksa ada tidaknya IUGR
3) Evaluasi usia kehamilan
a) Jika usia kehamilan ≥ 34 minggu, lahirkan
b) Jika < 34 minggu, berikan terapi glukokortikoid, kemudian
lahirkan dalam waktu 48 jam
Pasien sindrom HELLP harus diterapi MgSO4, untuk mencegah
kejang, baik dengan atau tanpa hipertensi. Bolus 4-6 gram MgSO4 20%
sebagai dosis awal, diikuti dengan infus 2 gram/jam. Pemberiannya harus
diawasi dengan memeriksa secara rutin produksi urin dan tanda serta
gejala keracunan MgSO4. Jika terjadi keracunan, segera berikan 10-20 ml
kalsium glukonat 10% IV.
Tekanan darah pasien dipertahankan dibawah 160 mmHg untuk
sistolik, dan di bawah 105 mmHg untuk diastolik. Obat anti hipertensi
yang bisa diberikan adalah hidralazin bolus 5 mg, bisa diulang 15-20 menit
15
hingga dosis maksimum 20 mg/jam. Obat lain yang bisa diberikan adalah
labetolol IV 20-40 mg setiap 10-15 menit hingga dosis maksimum 220 mg
dalam 1 jam, atau nifedipin oral 10-20 mg, dapat diulang dalam 30 menit
hingga dosis maksimum 40 mg dalam 1 jam. Selama periode observasi,
kondisi ibu dan janin diperiksa dan diawasi.
Langkah selanjutnya adalah mengevaluasi kesejahteraan janin
dengan NST, profil biofisik atau pemeriksaan USG. Pemeriksaan tersebut
berguna untuk menentukan apakah perlu segara mengakhiri kehamilan
atau tidak.
Jika sindrom ini timbul pada saat atau lebih dari umur kehamilan 34
minggu, atau jika sudah ada bukti bahwa paru janin sudah matur, atau
janin dan ibu dalam kondisi berbahaya, maka terapi definitif adalah
mengakhiri kehamilan. Jika tanpa bukti laboratorium adanya DIC dan paru
janin belum matur, dapat diberikan kortikosteroid untuk akselerasi
pematangan paru janin. Regimen yang direkomendasikan adalah
betametason (12 mg IM per 24 jam, dua dosis) atau deksametason (6 mg
IM per 12 jam, 4 dosis). Regimen tersebut bermanfaat untuk mempercepat
pematangan baru, dan cepat melewati sawar plasenta dengan risiko
kompliksi mineralkortikoid terhadap janin yang minimal.
b. Tatalaksana Konservatif
Beberapa penelitian memberikan sugesti untuk melakukan
tatalaksana konservatif pada pasien sindrom HELLP dengan tujuan untuk
memperpanjang kehamilan pada kasus janin yang masih immatur (<26
minggu masa kehamilan). Perpanjangan masa kehamilan dilakukan sampai
umur kehamilan minimal 34 minggu atau telah tercapainya kematangan
paru janin. Terapi yang diberikan adalah bed rest, kontrol tekanan darah,
kortikosteroid dosis tinggi, dan terapi dengan plasma volume expansion.
c. Persalinan
16
Jika sindrom HELLP terjadi pada usia kehamilan 34 minggu atau
lebih, atau jika paru janin telah matang, atau terjadi kegawatdaruratan pada
ibu maupun janin, maka persalinan menjadi terapi definitif. Jika tidak ada
DIC dan paru janin belum matang dapat diberikan kortikosteroid untuk
mempercepat kematangan paru dan dilakukan persalinan setelah 48 jam.
Sindrom HELLP bukan merupakan indikasi segera untuk
dilakukannya terminasi kehamilan dengan SC. Persalinan per vaginam
menjadi pilihan utama bila tidak ada kontraindikasi obstetrik. Jika serviks
sudah matang, maka dapat dilakukan induksi persalinan dengan oksitosin
per infus. Jika serviks belum matang dapat dilakukan pematangan serviks
dengan menggunakan regimen progtaglandin, atau dengan SC elektif.
d. Tatalaksana Postpartum
Sindrom HELLP dapat terjadi baik pada antepartum maupun
postpartum. Hal ini dapat terjadi dalam beberapa jam sampai 7 hari
postpartum, dengan kejadian tertinggi dalam 48 jam setelah persalinan.
Tatalaksana sindrom HELLP postpartum hampir mirip dengan sindrom
HELLP antepartum, yaitu dengan profilaksis kejang dan obat
antihipertensi. Terapi antihipertensi dilakukan lebih agresif karena tidak
ada risiko peredaran ke sirkulasi uteroplasenta. Pasien harus dievaluasi
ketat selama 48 jam pertama postpartum di perawatan intensif.
Kebanyakan pasien akan memperlihatkan perbaikan setelah 48 jam. Jika
terjadi perburukan, maka harus diterapi dan diperiksa ada tidaknya
komplikasi atau melakukan pemeriksaan untuk menyingkirkan diagnosis
bandingnya.
Komplikasi
a. Komplikasi Maternal
Angka kematian ibu dengan sindrom HELLP mencapai 1,1%.
Sedangkan morbiditas ibu disebabkan oleh edema pulmo (8%), gagal
ginjal akut (3%), DIC (15%), solusio plasenta (9%), kegagalan atau
17
perdarahan hepar (1%), ARDS, sepsis dan stroke (<1%). Kehamilan
dengan komplikasi sindrom HELLP berhubungan dengan peningkatan
risiko ruptur hepar dan kebutuhan transfusi darah maupun produk-produk
darah. Perkembangan sindrom HELLP pada periode postpartum
meningkatkan risiko gagal ginjal dan edema paru. Adanya solusio plasenta
meningkatkan risiko DIC, kebutuhan transfusi darah, edema paru, dan
gagal ginjal. Pasien dengan asites, berisiko tinggi mengalami komplikasi
kardiopulmonal.
b. Komplikasi perinatal
Kematian perinatal mencapai 7,4-20,4%. Kematian perinatal yang
tinggi terutama pada usia kehamilan kurang dari 28 minggu, dan
berhubungan dengan IUGR berat atau solusio plasenta. Angka persalinan
prematur mencapai 70%, dimana 15% terjadi pada usia kehamilan kurang
dari 28 minggu. Akibatnya bayi-bayi dengan kelahiran prematur berisiko
tinggi terkena komplikasi akut neonatal seperti RDS, displasia
bronkopulmonal, perdarahan intraserebral dan nekrosis enterokolitis.
Prognosis
Penderita sindrom HELLP mempunyai kemungkinan 19-27% untuk
mendapatkan risiko sindrom ini pada kehamilan berikutnya dan berisiko
sampai 43% untuk mengalami preeklampsia pada kehamilan berikutnya.
C. SECTIO CAESARIA TRANS PERITONEAL PROFUNDA (SCTP)
Definisi
Sectio caesaria adalah pembedahan untuk melahirkan janin dengan
membuka dinding perut dan dinding uterus. Terdapat beberapa cara sectio
caesaria yang dikenal saat ini, yaitu sectio caesaria transperitonealis profunda,
sectio caesaria klasik/ korporal, sectio caesaria ekstraperitoneal, dan sectio
caesaria dengan teknik histerektomi.
18
Teknik yang saat ini lebih sering digunakan adalah teknik sectio
caesaria transperitoneal profunda dengan insisi di segmen bawah uterus.
Keunggulan teknik sectio caesaria transperitonealis profunda antara lain :
Perdarahan akibat luka insisi tidak begitu banyak, bahaya peritonitis tidak
terlalu besar, parut pada uterus umumnya kuat, sehingga bahaya ruptura uteri
di masa mendatang tidak besar karena dalam masa nifas segmen bawah uterus
tidak mengalami kontraksi yang kuat seperti korpus uteri. Hal ini
menyebabkan luka dapat sembuh lebih sempurna.
Indikasi
1. Indikasi ibu: Panggul sempit, tumor jalan lahir yang menimbulkan
obstruksi, stenosis serviks uteri atau vagina, perdarahan ante partum,
disproporsi janin dan panggul, bakat ruptura uteri, preeklampsia/
hipertensi.
2. Indikasi janin : kelainan letak, gawat janin.
Komplikasi
1. Infeksi puerperal.
2. Perdarahan.
3. Komplikasi–komplikasi lain seperti luka kandung kencing dan terjadinya
embolisme paru.
D. ANESTESI SPINAL
Analgesi regional adalah suatu tindakan anestesi yang menggunakan
obat analgetik lokal untuk menghambat hantaran saraf sensorik, sehingga
impuls nyeri dari suatu bagian tubuh diblokir untuk sementara. Fungsi
motorik dapat terpengaruh sebagian atau seluruhnya, sedangkan penderita
tetap sadar.
Anestesi spinal merupakan salah satu macam anestesi regional. Pungsi
lumbal pertama kali dilakukan oleh Qunke pada tahun 1891. Anestesi spinal
19
subarachnoid dicoba oleh Corning, dengan menganestesi bagian bawah tubuh
penderita dengan kokain secara injeksi columna spinal. Efek anestesi tercapai
setelah 20 menit, mungkin akibat difusi pada ruang epidural. Indikasi
penggunaan anestesi spinal salah satunya adalah tindakan pada bedah obstetri
dan ginekologi.
Analgesi spinal (anestesi lumbal, blok subarachnoid) dihasilkan bila
kita menyuntikkan obat analgetik lokal ke dalam ruang subarachnoid di
daerah antara vertebra L2-L3 / L3-L4 (obat lebih mudah menyebar ke kranial)
atau L4-L5 (obat lebih cenderung berkumpul di kaudal).
Indikasi: anestesi spinal dapat digunakan pada hampir semua operasi
abdomen bagian bawah (termasuk sectio caesaria), perineum dan kaki.
Anestesi ini memberi relaksasi yang baik, tetapi lama anestesi didapat dengan
lidokain hanya sekitar 90 menit. Bila digunakan obat lain misalnya
bupivakain, sinkokain, atau tetrakain, maka lama operasi dapat diperpanjang
sampai 2-3 jam. Kontraindikasi: pasien dengan hipovolemia, anemia berat,
penyakit jantung, kelainan pembekuan darah, septikemia, tekanan intrakranial
yang meninggi.
Tahapan penatalaksanaan anestesi yang dilaksanakan perioperatif:
1. Persiapan pra anestesi
Persiapan pra anestesi sangat mempengaruhi keberhasilan
anestesi dan pembedahan. Kunjungan pra anestesi harus dipersiapkan
dengan baik, pada bedah elektif umumnya dilakukan 1-2 hari
sebelumnya, sedangkan pada bedah darurat waktu yang tersedia lebih
singkat. Adapun tujuan kunjungan pra anestesi adalah:
a. Mempersiapkan mental dan fisik secara optimal.
b. Merencanakan dan memilih tehnik serta obat–obat anestesi yang
sesuai dengan fisik dan kehendak pasien.
c. Menentukan status fisik penderita dengan klasifikasi ASA
(American Society of Anesthesiology).
20
ASA I Pasien normal sehat, kelainan bedah terlokalisir, tanpa
kelainan faal, biokimiawi, dan psikiatris. Angka
mortalitas 2%.
ASA II Pasien dengan gangguan sistemik ringan sampai
dengan sedang sebagai akibat kelainan bedah atau
proses patofisiologis. Angka mortalitas 16%.
ASA III Pasien dengan gangguan sistemik berat sehingga
aktivitas harian/ live style terbatas. Angka mortalitas
38%.
ASA IV Pasien dengan gangguan sistemik berat yang
mengancam jiwa, tidak selalu sembuh dengan operasi.
Misal: insufisiensi fungsi organ, angina menetap.
Angka mortalitas 68%.
ASA V Pasien dengan kemungkinan hidup kecil. Tindakan
operasi hampir tak ada harapan hidup dalam 24 jam,
baik dengan operasi maupun tanpa operasi. Angka
mortalitas 98%.
Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan darurat dengan
mencantumkan tanda huruf E (emergensi), misal ASA I E, ASA II E.
Selain itu dibutuhkan juga pemeriksaan praoperasi anestesi yang
meliputi:
Anamnesis
a. Identifikasi pasien yang terdiri dari nama, umur, dll.
b. Keluhan saat ini dan tindakan operasi yang akan dihadapi.
c. Riwayat penyakit yang sedang/ pernah diderita yang dapat menjadi
penyulit anestesi seperti alergi, diabetes melitus, penyakit paru
kronis (asma bronkhial, pneumonia, bronkhitis), penyakit jantung,
hipertensi, dan penyakit ginjal.
d. Riwayat obat-obatan yang meliputi alergi obat, intoleransi obat, dan
obat yang sedang digunakan dan dapat menimbulkan interaksi
21
dengan obat anestetik seperti kortikosteroid, obat antihipertensi,
antidiabetik, antibiotik, golongan aminoglikosid, dll.
e. Riwayat anestesi dan operasi yang terdiri dari tanggal, jenis
pembedahan dan anestesi, komplikasi dan perawatan intensif paska
bedah.
f. Riwayat kebiasaan sehari-hari yang dapat mempengaruhi tindakan
anestesi seperti merokok, alkohol, obat penenang, narkotik, dan
muntah.
g. Riwayat keluarga yang menderita kelainan seperti hipertensi
maligna.
h. Riwayat berdasarkan sistem organ yang meliputi keadaan umum,
pernafasan, kardiovaskular, ginjal, gastrointestinal, hematologi,
neurologi, endokrin, psikiatrik, ortopedi dan dermatologi.
i. Makanan yang terakhir dimakan.
Pemeriksaan Fisik
a. Tinggi dan berat badan. Untuk memperkirakan dosis obat, terapi
cairan yang diperlukan, serta jumlah urin selama dan sesudah
pembedahan.
b. Frekuensi nadi, tekanan darah, pola dan frekuensi pernafasan, serta
suhu tubuh.
c. Jalan nafas (airway). Jalan nafas diperiksa untuk mengetahui adanya
trismus, keadaan gigi geligi, adanya gigi palsu, gangguan fleksi
ekstensi leher, deviasi ortopedi dan dermatologi. Ada pula
pemeriksaan mallampati, yang dinilai dari visualisasi pembukaan
mulut maksimal dan posisi protusi lidah. Pemeriksaan mallampati
sangat penting untuk menentukan kesulitan atau tidaknya dalam
melakukan intubasi. Penilaiannya yaitu:
1) Mallampati I: palatum molle, uvula, dinding posterior oropharynk,
tonsilla palatina dan tonsilla pharyngeal
2) Mallampati II : palatum molle, sebagian uvula, dinding posterior
22
3) Mallampati III: palatum molle, dasar uvula
4) Mallampati IV: palatum durum saja
d. Jantung, untuk mengevaluasi kondisi jantung.
e. Paru-paru, untuk melihat adanya dispneu, ronki dan mengi.
f. Abdomen, untuk melihat adanya distensi, massa, asites, hernia, atau
tanda regurgitasi.
g. Ekstremitas, terutama untuk melihat adanya perfusi distal, sianosis,
adanya jari tabuh, infeksi kulit, untuk melihat di tempat-tempat
pungsi vena atau daerah blok saraf regional.
2. Premedikasi Anestesi
Premedikasi anestesi adalah pemberian obat sebelum anestesi. Adapun
tujuan dari premedikasi antara lain:
a. Memberikan rasa nyaman bagi pasien, misal : diazepam.
b. Menghilangkan rasa khawatir, misal : diazepam.
c. Membuat amnesia, misal : diazepam, midazolam.
d. Memberikan analgesia, misal pethidin.
e. Mencegah muntah, misal : domperidol, metoklopropamid.
f. Memperlancar induksi, misal : pethidin.
g. Mengurangi jumlah obat-obat anesthesia, misal pethidin.
h. Menekan reflek-reflek yang tidak diinginkan, misal : sulfas atropin.
i. Mengurangi sekresi kelenjar saluran nafas, misal : sulfas atropin
Premedikasi diberikan berdasarkan atas keadaan psikis dan
fisiologis pasien yang ditetapkan setelah dilakukan kunjungan prabedah.
Dengan demikian maka pemilihan obat premedikasi yang akan
digunakan harus selalu mempertimbangkan umur pasien, berat badan,
status fisik, derajat kecemasan, riwayat pemakaian obat anestesi
sebelumnya, riwayat hospitalisasi sebelumnya, riwayat penggunaan obat
tertentu yang berpengaruh terhadap jalannya anestesi, perkiraan lamanya
operasi, macam operasi, dan rencana anestesi yang akan digunakan.
23
Sesuai dengan tujuannya, maka obat-obat yang dapat digunakan
sebagai obat premedikasi dapat digolongkan seperti di bawah ini:
a. Narkotik analgetik, misal morfin, pethidin.
b. Transquillizer yaitu dari golongan benzodiazepin, misal diazepam
dan midazolam.
c. Barbiturat, misal pentobarbital, penobarbital, sekobarbital.
d. Antikolinergik, misal atropin dan hiosin.
e. Antihistamin, misal prometazine.
f. Antasida, misal gelusil.
g. H2 reseptor antagonis, misal simetidine.
3. Prosedur Anestesi Spinal
a. Perlu mengingatkan penderita tentang hilangnya kekuatan motorik
dan berkaitan keyakinan kalau paralisisnya hanya sementara.
b. Pasang infus, minimal 500 ml cairan sudah masuk saat menginjeksi
obat anestesi lokal.
c. Posisi lateral dekubitus adalah posisi yang rutin untuk mengambil
lumbal pungsi, tetapi bila kesulitan, posisi duduk akan lebih mudah
untuk pungsi. Asisten harus membantu memfleksikan posisi
penderita.
d. Inspeksi : garis yang menghubungkan 2 titik tertinggi krista iliaka
kanan kiri akan memotong garis tengah punggung setinggi L4-L5.
e. Palpasi : untuk mengenal ruangan antara 2 vertebra lumbalis.
f. Pungsi lumbal hanya antara L2-L3, L3-L4, L4-L5, L5-S1.
g. Setelah tindakan antiseptik daerah punggung pasien dan memakai
sarung tangan steril, pungsi lumbal dilakukan dengan penyuntikan
jarum lumbal no. 22 lebih halus no. 23, 25, 26 pada bidang median
dengan arah 10-30 derajat terhadap bidang horisontal ke arah kranial
pada ruang antar vertebra lumbalis yang sudah dipilih. Jarum lumbal
akan menembus berturut-turut beberapa ligamen, yang terakhir
ditembus adalah duramater subarachnoid.
24
h. Setelah stilet dicabut, cairan LCS akan menetes keluar. Selanjutnya
disuntikkan larutan obat analgetik lokal ke dalam ruang subarachnoid.
Cabut jarum, tutup luka dengan kasa steril.
i. Monitor tekanan darah setiap 5 menit pada 20 menit pertama, jika
terjadi hipotensi diberikan oksigen nasal dan ephedrin IV 5 mg, infus
500-1000 ml NaCl atau hemacel cukup untuk memperbaiki tekanan
darah.
4. Obat Anestesi Spinal
a. Bupivakain
Bupivakain (Decain, Marcain) adalah derivat butil yang 3 kali
lebih kuat dan bersifat long acting (5-8 jam). Obat ini terutama
digunakan untuk anestesi daerah luas (larutan 0,25%-0,5%)
dikombinasi dengan adrenalin 1:200.000. derajat relaksasinya
terhadap otot tergantung terhadap kadarnya. Presentase pengikatannya
sebesar 82-96%. Melalui N-dealkilasi zat ini dimetabolisasi menjadi
pipekoloksilidin (PPX). Ekskresinya melalui kemih 5% dalam
keadaan utuh , sebagian kecil sebagai PPX, dan sisanya metabolit-
metabolit lain. Plasma t1/2 1,5-5,5jam. Untuk kehamilan, sama
dengan mepivakain dapat digunakan selama kehamilan dengan kadar
2,5-5 mg/ml. Dari semua anestetika lokal, bupivakain adalah yang
paling sedikit melintasi plasenta.
Berat jenis cairan serebrospinalis (CSS) pada suhu 37oC adalah
1,003-1,008. Anestesi lokal dengan berat jenis yang sama dengan CSS
disebut isobarik sedangkan yang lebih berat dari CSS adalah
hiperbarik. Anestesi lokal yang sering digunakan adalah jenis
hiperbarik yang diperoleh dengan mencampur anestesi lokal dengan
dekstrosa.
Anestesi Lokal Berat Jenis Sifat Dosis
Bupivakain (Decain)
25
0,5% dalam air 1,005 Isobarik 5-20 mg (1-4 ml)
0,5% dalam dekstrosa 8,25% 1,027 Hiperbarik 5-15 g (1-3 ml)
b. Fentanyl
Merupakan opioid agonis sintetis yang sering digunakan untuk
premedikasi. Keuntungan penggunaan obat ini adalah memudahkan
induksi, mengurangi kebutuhan obat anestesi, menghasilkan analgesia
pra dan pasca bedah, memudahkan melakukan pemberian pernafasan
buatan.
Fentanyl dapat menyebabkan bradikardi sehingga memicu
penurunan tekanan darah dan cardiac output. Fentanyl juga memiliki
efek vasodilatasi perifer, sehingga dapat menyebabkan hipotensi
orthostatik. Hal ini akan lebih berat lagi bila digunakan pada pasien
dengan hipovolemia, juga dapat menyebabkan depresi pusat
pernapasan di medulla yang dapat ditunjukkan dengan respon
turunnya CO2. Mual dan muntah menunjukkan adanya stimulasi
narkotik pada pusat muntah di medulla. Posisi tidur dapat mengurangi
efek tersebut.
Sediaan : dalam ampul 50 mcg/cc
Dosis : 0,05 ug/kgBB
Pemberian : IV, IM, intradural
5. Keuntungan dan Kerugian Anestesi Spinal
a. Keuntungan:
1) Respirasi spontan.
2) Lebih murah.
3) Sedikit resiko muntah yang dapat menyebabkan aspirasi paru
pada pasien dengan perut penuh.
4) Tidak memerlukan intubasi.
5) Pengaruh terhadap biokimiawi tubuh minimal.
6) Fungsi usus cepat kembali.
26
7) Observasi dan perawatan post operatif lebih ringan.
b. Kerugian:
1) Efeknya terhadap sistem kardiovaskuler lebih dari general system.
2) Menyebabkan post operatif headache.
6. Komplikasi Tindakan Anestesi Spinal
a. Hipotensi berat
Akibat Akibat blok simpatis terjadi venous pooling. Pada dewasa
dicegah dengan pemberian cairan elektrolit 1000 ml atau koloid 500
ml sebelum tindakan.
b. Bradikardi
Dapat terjadi tanpa disertai hipotensi atau hipoksia, terjadi akibat blok
sampai T-2.
c. Hipoventilasi
Akibat paralisis saraf phrenikus atau hipoperfusi pusat kendali nafas.
d. Hematom
e. Cedera saraf
f. Mual-muntah
g. Blok spinal tinggi atau spinal total
7. Penatalaksanaan
a. Pemberian oksigen
Apabila terjadi hipoventilasi baik oleh obat–obat narkotik,
anestesi umum maupun lokal, maka akan mudah terjadi hipoksemia
yang berat. Faktor-faktor yang menyebabkan hal ini, yaitu :
1) Turunnya kemampuan paru-paru untuk menyimpan O2
2) Naiknya konsumsi oksigen
3) Airway closure
4) Turunnya cardiac output pada posisi supine
Pemberian oksigen terhadap pasien sangat bermanfaat karena:
1) Memperbaiki keadaan asam-basa bayi yang dilahirkan
27
2) Dapat memperbaiki pasien dan bayi pada saat episode hipotensi
3) Sebagai preoksigenasi kalau anestesi umum diperlukan
b. Terapi cairan
Terapi cairan perioperatif bertujuan untuk mencukupi kebutuhan
cairan, elektrolit dan darah yang hilang selama operasi. Selain itu
jugaa untuk tindakan emergency pemberian obat.
Pemberian cairan operasi dibagi :
1) Pra operasi
Dapat terjadi defisit cairan karena kurang makan, puasa, muntah,
penghisapan isi lambung, penumpukan cairan pada ruang ketiga
seperti pada ileus obstruktif, perdarahan, luka bakar dan lain-lain.
Kebutuhan cairan untuk dewasa dalam 24 jam adalah 2 ml/ kgBB/
jam. Bila terjadi dehidrasi ringan 2% BB, sedang 5% BB, berat
7% BB. Setiap kenaikan suhu 1 0Celcius kebutuhan cairan
bertambah 10 – 15 %.
2) Selama operasi
Dapat terjadi kehilangan cairan karena proses operasi. Kebutuhan
cairan pada dewasa untuk operasi :
Ringan = 4 ml / kgBB / jam
Sedang = 6 ml / kgBB / jam
Berat = 8 ml / kg BB / jam
Bila terjadi perdarahan selama operasi, dimana perdarahan kurang
dari 10% EBV maka cukup digantikan dengan cairan kristaloid
sebanyak 3 kali volume darah yang hilang. Apabila perdarahan
lebih dari 10 % maka dapat dipertimbangkan pemberian plasma /
koloid/ dekstran dengan dosis 1 – 2 kali darah yang hilang.
3) Setelah operasi
Pemberian Pemberian cairan pasca operasi ditentukan berdasarkan
defisit cairan selama operasi ditambah kebutuhan sehari-hari
pasien.
28
8. Pemulihan
Pasca anestesi dilakukan pemulihan dan perawatan paska operasi
dan anestesi yang biasanya dilakukan di ruang pulih sadar atau recovery
room yaitu ruangan untuk observasi pasien pasca atau anestesi. Ruang
pulih sadar merupakan batu loncatan sebelum pasien dipindahkan ke
bangsal atau masih memerlukan perawatan intensif di ICU. Dengan
demikian pasien paska operasi atau anestesi dapat terhindar dari
komplikasi yang disebabkan karena operasi atau pengaruh anestesinya.
Untuk memindahkan pasien dari ruang pulih sadar ke ruang
perawatan perlu dilakukan skoring tentang kondisi pasien setelah anestesi
dan pembedahan. Untuk regional anestesi digunakan skor Bromage.
Bromage Scoring System
Kriteria Skor
Gerakan penuh dari tungkai 0
Tak mampu ekstensi tungkai 1
Tak mampu fleksi lutut 2
Tak mampu fleksi pergelangan kaki 3
Bromage skor ≤ 2 boleh pindah ke ruang perawatan
E. TEKNIK ANESTESI SPINAL PADA SECTIO CAESARIA
Anestesi spinal adalah suatu metode anestesi dengan menyuntikkan
obat analgetik lokal ke dalam ruang subarachnoid di daerah lumbal. Cara ini
sering digunakan pada persalinan per vaginam dan pada sectio caesaria tanpa
komplikasi. Pada sectio caesaria blokade sensoris spinal yang lebih tinggi
penting. Hal ini disebabkan karena daerah yang akan dianestesi lebih luas,
diperlukan dosis agen anestesi yang lebih besar, dan ini meningkatkan
frekuensi serta intensitas reaksi-reaksi toksik.
1. Teknik anestesi spinal pada sectio caesaria
29
Pada tindakan premedikasi sekitar 15-30 menit sebelum anestesi lakukan
observasi tanda vital. Setelah tindakan antisepsis kulit daerah punggung
pasien dan memakai sarung tangan steril, pungsi lumbal dilakukan dengan
menyuntikkan jarum lumbal (biasanya no 25 atau 27) pada bidang median
setinggi vertebra L3-4 atau L4-5. Jarum lumbal akan menembus berturut-
turut beberapa ligamen, sampai akhirnya menembus duramater-
subarachnoid. Setelah stilet dicabut, cairan serebro spinal akan menetes
keluar. Selanjutnya disuntikkan larutan obat analgetik lokal kedalam
ruang subarachnoid tersebut. Keberhasilan anestesi diuji dengan tes
sensorik Pin prick test, menggunakan jarum halus atau kapas. Daerah
pungsi ditutup dengan kasa dan plester, kemudian posisi pasien diatur
pada posisi operasi.
2. Pembagian tingkat anestesi spinal:
a. Sadle back anestesi, yang kena pengaruhnya adalah daerah lumbal
bawah dan segmen sakrum.
b. Spinal rendah, daerah yang mengalami anestesi adalah daerah
umbilikus/ Th X di sini termasuk daerah thoraks bawah, lumbal dan
sakral.
c. Spinal tengah, mulai dari perbatasan kosta (Th VI) di sini termasuk
thoraks bawah, lumbal dan sakral.
d. Spinal tinggi, mulai garis sejajar papilla mammae, disini termasuk
daerah thoraks segmen Th4-Th12, lumbal dan sakral.
e. Spinal tertinggi, akan memblok pusat motor dan vasomotor yang lebih
tinggi.
3. Indikasi anestesi spinal pada sectio caesaria
Biasanya anestesi spinal dilakukan untuk pembedahan pada daerah yang
diinervasi oleh cabang Th.4 (papila mammae kebawah).
4. Kontraindikasi anestesi spinal pada sectio caesaria
30
a. Infeksi tempat penyuntikan
b. Gangguan koagulasi
c. Tekanan intrakranial meninggi
d. Alergi obat lokal anestesi
e. Hipertensi tak terkontrol
f. Pasien menolak
g. Syok hipovolemik
h. Sepsis
5. Obat anestesi spinal pada sectio caesaria
Obat anestetik yang sering digunakan: Lidocain 1-5 %, Bupivacain 0,25-
0,75 %.
6. Komplikasi anestesi spinal pada sectio caesaria
a. Hipotensi
b. Brakikardi
c. Sakit kepala spinal (pasca pungsi)
d. Menggigil
e. Mual-muntah
f. Total spinal
g. Sequelae neurologic
h. Penurunan tekanan intrakranial
i. Meningitis
j. Retensi urine
31
BAB III
LAPORAN KASUS
I. ANAMNESIS
A. Identitas Penderita
Nama : Ny. L
Umur : 28 tahun
Alamat : Plupuh Sragen
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Tanggal masuk : 18/09/2015
Tanggal pemeriksaan : 18/09/2015
No RM : 01 30 38 99
B. Data Dasar
1. Keluhan Utama
Tekanan darah tinggi, kehamilan kurang bulan
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Seorang G2P1A0, 28 tahun, datang kiriman dari RSUD
Ngipang dengan keterangan PEB Hellp Syndrome pada
secundigravida hamil 30+5 minggu belum dalam persalinan. Pasien
merasa hamil 7 bulan. Gerakan janin masih dirasakan pasien.
Kenceng-kenceng teratur belum dirasakan. Air kawah belum
dirasakan keluar, lendir darah belum dirasakan keluar. Nyeri
kepala bagian depan (-), pandangan kabur (-), mual (+), muntah (-),
nyeri epigastrium (-), kejang (-). BAB dan BAK tidak ada
kelainan.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat penyakit serupa : disangkal
32
Riwayat tekanan darah tinggi : disangkal
Riwayat sakit gula : disangkal
Riwayat sakit jantung : disangkal
Riwayat alergi : disangkal
Riwayat asma : disangkal
Riwayat abortus : disangkal
Riwayat operasi : SC anak pertama tahun 2010
dengan
anestesi spinal
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat penyakit serupa : disangkal
Riwayat tekanan darah tinggi : disangkal
Riwayat sakit gula : disangkal
Riwayat sakit jantung : disangkal
Riwayat alergi : disangkal
Riwayat asma : disangkal
5. Riwayat Kebiasaan
Merokok : disangkal
Minuman beralkohol : disangkal
Ketergantungan obat : disangkal
6. Riwayat asupan gizi
Pasien biasa makan 3x sehari dengan nasi, sayur dan lauk
pauk serta buah-buahan. Kesan: asupan gizi cukup.
7. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien adalah seorang wanita usia 28 tahun, bekerja sebagai ibu
rumah tangga. Pasien berobat dengan fasilitas BPJS Kesehatan.
33
II. PEMERIKSAAN FISIK
A. Primary Survey
Airway : bebas, buka mulut >3 jari, mallampati I
Breathing : Thorax bentuk normochest, simetris, pengembangan dada
kanan=kiri, retraksi (-), otot bantu nafas (-), sonor/sonor,
suara dasar vesikuler +/+, suara tambahan -/-, frekuensi
nafas 20x/menit.
Circulation : jantung ictus cordis tak tampak, tak kuat angkat teraba di
SIC V LMCS, bunyi jantung I-II intensitas normal,
reguler, bising (-), tekanan darah 160/90 mmHg, nadi
88x/menit irama teratur, isi cukup, CRT <2 detik, akral
dingin (-).
Disability : GCS E4V5M6, pupil isokor dengan diameter 3mm/3mm,
reflek cahaya +/+.
Exposure : suhu 36, 5 0C
B. Secondary Survey
Status gizi :
Berat badan : 78 kg
Tinggi badan : 165 cm
BMI : 28,65 (kehamilan 30+5 minggu)
Kulit :sawo matang, turgor menurun (-), lembab (+),
ikterik(-)
Kepala : bentuk mesocephal, rambut warna hitam
Mata :konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), lensa
keruh (-/-)
Telinga :sekret (-), nyeri tekan mastoid (-), nyeri tekan
tragus (-)
Hidung : nafas cuping hidung (-), sekret (-)
34
Mulut : sianosis (-), mukosa basah (+), papil lidah atrofi (-)
stomatitis (-)
Leher :trakhea di tengah, simetris, massa/ pembesaran
limfonodi (-)
Abdomen :dinding perut lebih tinggi dari dinding dada,
distensi, bising usus (+) normal, timpani, supel,
hepar dan lien tidak teraba, teraba janin tunggal,
intrauterin, memanjang, puki, preskep, HIS(-) DJJ
(+) 139x/menit irreguler, TFU 21 cm
Ekstremitas :
akral dingin oedem
III. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium tanggal 18 September 2015
PEMERIKSAAN HASIL SATUAN RUJUKAN
Hb 11.5 g/dl 12.0 - 15.6
Hct 34 % 33 – 45
AL 11.8 Ribu/ul 4.5 - 11.0
AT 94 Ribu/ul 150 – 450
AE 4.09 Juta/ul 4.10 – 5.10
SGOT 24 u/l < 31
SGPT 21 u/l < 34
Albumin 2.8 g/dl 3.5 – 5.2
Kreatinin 0.8 mg/dl 0.6 – 1.1
Ureum 47 mg/dl < 50
LDH 604 u/l <31
HBsAg Non reactive Non reactive
Protein kwantitatif + 3
35
- -
--
+ +
--
IV. DIAGNOSIS ANESTESI
Wanita 28 tahun, G2P1A0 dengan IUGR PEB HELLP syndrome
pada secundigravida H.preterm BDP pro re-SCTPem dengan status fisik
ASA II E plan RASAB.
V. POTENSIAL PROBLEM
Fetal death
Nyeri post operasi
Eklamsi
Perdarahan
VI. PELAKSANAAN OPERASI
Operasi dilaksanankan pada tanggal 18 September 2015 di OK IGD
A. Primary survey
Airway : bebas, buka mulut > 3 jari, mallampati I
Breathing : Thorax bentuk normochest, simetris,
pengembangan dada kanan=kiri, retraksi (-), otot
bantu nafas (-), sonor/sonor, suara dasar vesikuler
+/+, suara tambahan -/-, frekuensi nafas 20x/menit.
Circulation : jantung ictus cordis tak tampak, tak kuat angkat
teraba di SIC V LMCS, bunyi jantung I-II
intensitas normal, reguler, bising (-), tekanan darah
180/120 mmHg, nadi 88x/menit irama teratur, isi
cukup, CRT <2 detik, akral dingin (-).
Disability : GCS E4V5M6, pupis isokor dengan diameter
3mm/3mm, reflek cahaya (+/+).
Exposure : suhu 36, 5 0C
36
B. Secondary survey
Kulit : turgor menurun (-), lembab (+), ikterik(-)
Mata : konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-)
Telinga : nyeri tekan mastoid (-), nyeri tekan tragus (-)
Hidung : nafas cuping hidung (-), sekret (-)
Mulut : sianosis (-), mukosa basah (+), papil lidah atrofi (-)
stomatitis (-)
Leher : trakhea di tengah, massa/pembesaran limfonodi (-)
Abdomen :dinding perut lebih tinggi dari dinding dada,
distensi, bising usus (+) normal, timpani, supel,
hepar dan lien tidak teraba, teraba janin tunggal,
intrauterin, memanjang, puki, preskep, HIS(-), DJJ
(+).
Ekstremitas : motorik dan sensori dalam batas normal
akral dingin oedem
Anestesi dimulai pukul 17.45, berlangsung 180 menit, sampai
pukul 19.45. Tindakan bedah dilakukan mulai pukul 18.00-19.40
WIB. Dilakukan regional anestesi sub arachnoid block dengan
bupivakain 10 mg dan fentanyl 25 mcg secara intratekal. Setelah
menunggu beberapa saat, perlahan pasien teranestesi. Kemudian
dilakukan tindakan sectio caesaria dengan posisi supine pada pasien.
37
- ---
- ---
- ---
Tabel 1. Catatan hemodinamik selama operasi
Jam 17.45 18.00 18.15 18.30Tekanan
Darah160/90 149/66 131/71 148/75
Nadi 92 103 83 81SpO2 96% 97% 98% 99%
Keterangan Pasien masuk ruang OK IGD dan akan dilakukan anestesi
Setelah dilakukan anestesi RASAB
Setelah lahir bayi
Pemantauan 20 menit pertama setelah kelahiran bayi
Di ruang pemulihan, sesuai skala bromage, setelah operasi
selesai dilakukan, skor = 3 (pasien tidak mampu fleksi pergelangan
kaki), 15 menit setelah operasi, skor = 2 (pasien tidak mampu fleksi
lutut), 30 menit setelah operasi, skor = 1 (pasien tidak mampu
ekstensi lutut), 45 menit setelah operasi, skor = 0 (gerakan penuh
38
Jam 18.45 19.00 19.15Tekanan
Darah162/110 161/108 158/106
Nadi 84 86 83SpO2 97% 96% 98%
Keterangan Pemantauan 20 menit kedua setelah kelahiran bayi
Pemantauan 20 menit ketiga setelah kelahiran bayi
Pemantauan 20 menit keempat setelah kelahiran bayi
dari tungkai), kesadaran composmentis, tekanan darah 158/112
mmHg, nadi 82x/menit, Sp02 100%.
Perhitungan cairan pada kasus ini adalah (BB = 78 kg)
1. EBV pasien ini = 90 cc/kg x 78= 7020cc
2. ABL pasien ini = (34-24)/100 x 3 x 7020 cc = 2106 cc
3. Defisit cairan karena puasa 1 jam = 1 x 90 cc = 90 cc (terpenuhi)
4. Maintenance = 90 cc/jam
5. Stress operasi = 6 x 78 = 468 cc/jam
6. Kebutuhan cairan jam I = 90+468 = 558 cc
Kebutuhan cairan jam II = 90+468 = 558 cc
Input Output Balance
Jam Kris Kol Drh Drh Urin SO+
M
17.45
-
18.45
500 250 200 100 558 - 8
18.45
-
19.45
250 250 150 100 558 + 108
TOTAL + 100
39
BAB IV
PEMBAHASAN
Prinsip tatalaksana dari preeklampsia berat adalah penanganan aktif
yaitu terminasi kehamilan se-aterm mungkin, kecuali apabila ditemukan
penyulit dapat dilakukan terminasi tanpa memandang usia kehamilan. Pada
kasus ini selain pasien mengalami PEB, pasien juga mengalami salah satu
komplikasinya, yaitu adanya partial HELLP syndrome yang ditunjukkan
dengan adanya trombositopenia dan peningkatan kadar LDH. Kemudian pada
pasien dilakukan terminasi kehamilan dengan sectio caesaria emergensi atas
indikasi maternal. Indikasi maternal adalah untuk mencegah timbulnya
komplikasi eklampsia.
Pada pasien ini, dilakukan anestesi secara regional karena memiliki
keuntungan, yaitu:
1. Bahaya kemungkinan terjadinya aspirasi kecil karena pasien dalam
keadaan sadar.
2. Relaksasi otot yang lebih baik.
3. Analgesi yang cukup kuat.
A. Permasalahan dari segi medik
1. Emergensi.
2. Menyangkut 2 nyawa, yaitu nyawa ibu dan anak.
3. Pre eklampsia berat dengan
4. Diaphragma terdorong keatas, sehingga rentan timbul sesak nafas.
5. Supine hipotensi, oleh karena janin menekan vena cava inferior ibu.
Hal ini juga mempengaruhi sirkulasi fetomaternal.
B. Permasalahan dari segi bedah
1. DIT (Delivery Intake Time) : Kecepatan ahli kandungan untuk
mengeluarkan bayi dari kandungan, kurang dari 10 menit setelah
induksi.
40
2. Perdarahan.
3. Trauma.
C. Permasalahan dari segi anestesi
Pemberian obat-obat anestesi yang sesuai :
1. Anestesi spinal : Bupivakain 10 mg dan Fentanyl 25 mcg.
2. Maintenance : Oksigen 3 liter/menit.
Pada kasus ini, saat dilakukan anestesi spinal, saat operasi tidak
terjadi penurunan tekanan darah yang berarti. Tekanan darah yang turun
setelah anestesi spinal biasanya sering terjadi. Hipotensi dapat terjadi
pada sepertiga pasien yang menjalani anestesi spinal. Hipotensi terjadi
karena :
1. Penurunan venous return ke jantung dan penurunan cardiac output.
2. Penurunan resistensi perifer.
Jika tekanan darah sistolik turun di bawah 60 mmHg atau terdapat
gejala-gejala penurunan tekanan darah, maka harus cepat diatasi untuk
menghindari cedera ginjal, jantung dan otak, di antaranya dengan
memberikan oksigen dan menaikkan kecepatan tetesan infus, dan jika
perlu diberikan vasokonstriktor, seperti diberikan efedrin telah
diencerkan jika tekanan sistolik dibawah 100 mmHg. Penurunan venous
return juga dapat menyebabkan bradikardi. Untuk mengatasi bradikardi
yang terjadi dapat diberikan sulfas atropin 0,5 mg IV.
Anestesi spinal terutama yang berdosis tinggi dapat menyebabkan
paralisis otot pernafasan, abdominal, intercostal. Oleh karena itu, pasien
dapat mengalami kesulitan bernafas. Untuk mencegah hal tersebut, perlu
pemberian oksigen yang adekuat dan pengawasan terhadap depresi
pernafasan yang mungkin terjadi.
D. Pelaksanaaan Anestesi Regional
Premedikasi jarang diberikan terutama pada penderita dengan
keadaan umum yang buruk, atau karena keterbatasan waktu. Namun pada
41
beberapa kasus dapat diberikan premedikasi secara intravena atau
intramuskular dengan antikolinergik disertai pemberian antasida,
antagonis reseptor H2 atau metoclopramide. Pemberian obat anti mual
dan muntah sangat diperlukan dalam operasi sectio caesaria emergensi
dimana merupakan usaha untuk mencegah adanya aspirasi dari asam
lambung. Namun, pada pasien ini tidak diberikan premedikasi.
Tindakan pemilihan jenis anestesi pada pasien obstetri diperlukan
beberapa pertimbangan. Teknik anestesi disesuaikan dengan keadaan
umum pasien, jenis dan lamanya pembedahan dan bidang kedaruratan.
Metode anestesi sebaiknya seminimal mungkin mendepresi janin, sifat
analgesi cukup kuat, tidak menyebabkan trauma psikis terhadap ibu dan
bayi, toksisitas rendah, aman, nyaman, relaksasi otot tercapai tanpa
relaksasi rahim dan memungkinkan ahli obstetri bekerja optimal. Pada
pasien ini digunakan teknik Regional Anestesi (RA) dengan Sub
Arakhnoid Block (SAB), yaitu pemberian obat anestesi lokal ke ruang
subarakhnoid, sehingga pada pasien dipastikan tidak terdapat tanda-tanda
hipovolemia. Teknik ini sederhana dan cukup efektif.
Induksi menggunakan Bupivacaine HCL merupakan anestesi
lokal golongan amida. Obat anestesi regional bekerja dengan
menghilangkan rasa sakit atau sensasi pada daerah tertentu dari tubuh.
Cara kerjanya yaitu memblok proses konduksi syaraf perifer jaringan
tubuh, bersifat reversibel. Onset kerja lambat jika dibandingkan dengan
lidokain. Durasi kerja obat 8 jam. Setelah itu posisi pasien dalam keadaan
terlentang (supine). Anestesi spinal mulai dilakukan, posisi pasien duduk
tegak dengan kepala menunduk hingga prossesus spinosus mudah teraba.
Dicari perpotongan garis yang menghubungkan kedua crista illiaca
dengan tulang punggung yaitu antara vertebra lumbal 3-4, lalu ditentukan
tempat tusukan pada garis tengah. Kemudian disterilkan tempat tusukan
dengan alkohol dan betadin. Jarum spinal nomor 27-gauge ditusukkan
dengan arah median, barbutase positif dengan keluarnya LCS (jernih)
42
kemudian dipasang spuit yang berisi obat anestesi dan dimasukkan secara
perlahan-lahan.
Monitor tekanan darah setiap 5 menit sekali untuk mengetahui
penurunan tekanan darah yang bermakna. Hipotensi terjadi bila terjadi
penurunan tekanan darah sebesar 20-30% atau sistol kurang dari 100
mmHg. Hipotensi merupakan salah satu efek dari pemberian obat
anestesi spinal, karena penurunan kerja syaraf simpatis. Bila keadaan ini
terjadi maka cairan intravena dicepatkan, bolus ephedrin 5-15 mg secara
intravena, dan pemberian oksigen. Pada pasien ini tidak terjadi hipotensi.
Sesaat setelah bayi lahir dan plasenta diklem diberikan syntocinon
10 IU (1 ampul), diberikan per drip. Pemberian oksitosin bertujuan untuk
mencegah perdarahan dengan merangsang kontraksi uterus secara ritmik
atau untuk mempertahankan tonus uterus post partum, dengan waktu
partus 3-5 menit. Pada pasien ini lahir bayi laki-laki dengan BB 1000
gram, lahir hidup tanpa kelainan kongenital. Setelah operasi selesai,
pasien dibawa ke HCU Obsgyn. Pasien berbaring dengan posisi kepala
lebih tinggi untuk mencegah spinal headache, dikarenakan efek obat
anestesi masih ada. Observasi post sectio caesari dilakukan selama 2 jam,
dan dilakukan pemantauan secara ketat meliputi vital sign (tekanan
darah, nadi, suhu dan respiratory rate), dan memperhatikan banyaknya
darah yang keluar dari jalan lahir. Oksigen tetap diberikan 3 liter/ menit.
Setelah keadaan umum stabil, maka pasien dibawa ke ruangan bangsal.
43
BAB V
KESIMPULAN
Seorang wanita G2P1A0 IUGR PEB HELLP syndrome pada
secundigravida hamil preterm BDP pro re-SCTP em dengan status fisik ASA
II E Plan RASAB. Dilakukan tindakan sectio caesaria pada tanggal 18
September 2015 di kamar operasi IGD atas indikasi preeklampsia berat dan
HELLP syndrome. Teknik anestesi dengan spinal anestesi (subarachnoid
blok) merupakan teknik anestesi sederhana dan cukup efektif. Anestesi
dengan menggunakan Bupivacain spinal 10 mg, dan untuk maintenance
dengan oksigen 3 liter/menit. Untuk mengatasi nyeri digunakan Fentanyl
sebanyak 25 mcg. Perawatan post operatif dilakukan dibangsal dan dilakukan
pengawasan pada tanda-tanda vital serta tanda-tanda perdarahan. Prosedur
anestesi spinal pada sectio caesaria dalam kasus ini tidak mengalami
hambatan yang berarti baik dari segi anestesi maupun dari tindakan
operasinya. Selama di ruang pemulihan pasien sadar penuh, hemodinamik
stabil, dan tidak terjadi hal yang memerlukan penanganan serius.
44
DAFTAR PUSTAKA
Angsar, MD (2005). Kuliah Dasar Hipertensi dalam Kehamilan (EPH-
Gestosis). Surabaya: Lab/UPF Obstetri dan Ginekologi FK
UNAIR/RSUD Dr. Sutomo.
Budiono W (2009). Pre eklampsia dan Eklampsia dalam Ilmu Kebidanan.
Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Cunningham, Mac Donald, Gant, Levono, Gilstrap, Hanskin, Clark (2005).
William’s Obstetrics 20th. Prentice-Hall International, Inc.
Cunningham, FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, Rouse DJ, and Spong
CY (2010). Pregnancy Hypertension. In: Williams Obstetrics 23th
Edition. USA: The McGraw-Hil Companies.
English FA, Kenny LC, McCarthy FP (2015). Risk factors and effective
management of preeclampsia. Dovepress:Integrated Blood Pressure
Control. 2015:8.
Haddad B, and Sibai BM (2005). Expectant management of severe
preeclampsia: proper candidates and pregnancy outcomes. Clin Obstet
Gynecol, 48: 430-40.
Haram K, Svendsen E, and Abildgaard U (2009). The HELLP syndrome:
Cinical issues and management. A Review: BMC Pregnancy and
Childbirth, 9:8.
Hemant S, Chabi S, Frey D (2009). HELLP Syndrome. Journal of Obstetric
and Gynecologic India. 59:1.
Jameil et al (2014). A Brief overview of preeclampsia. J Clin Med Res.Vol 6
Issue 1. Page:1-7.
Mochtar R (2007). Sinopsis Obstetri. Jakarta: EGCRoesli M, Tampubolon
OE. 1989. Pendidikan anestesiologi mahasiswa. Dalam:
Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI. CV
Infomedika. Jakarta: 9
Universitas Sriwijaya. Preeklamsia Berat. Dalam Protap Obgyn: 3-10
45
Wibowo B, Rachimhadhi T. 2005. Preeklampsia-Eklampsia. Dalam
Wiknjosastro H, Ilmu Kebidanan. Edisi Ketiga Cetakan Ketujuh.
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta: 281-94.
46