Presentasi Kasus Neonatus

47
PRESENTASI KASUS PROGRAM INTERNSHIP DOKTER INDONESIA NEWBORN RESPIRATORY DISTRESS AND RESUSCITATION Disusun oleh: Dr. Ratna Prihartanti Narasumber : Dr. Nurvita Susanto, Sp.A

Transcript of Presentasi Kasus Neonatus

Page 1: Presentasi Kasus Neonatus

PRESENTASI KASUS

PROGRAM INTERNSHIP DOKTER INDONESIA

NEWBORN RESPIRATORY DISTRESS AND

RESUSCITATION

Disusun oleh:

Dr. Ratna Prihartanti

Narasumber :

Dr. Nurvita Susanto, Sp.A

Program Internship Dokter Indonesia

Rumah Sakit Umum Daerah Soreang

Soreang, Juni 2012

Page 2: Presentasi Kasus Neonatus

BAB I

ILUSTRASI KASUS

Identitas : Bayi Ny. Delis, 0 hari, Laki-laki, Pesantren barat no. 51 ½

Soreang

Keluhan Utama : Tidak menangis sejak lahir (± 10 menit sebelum masuk

rumah sakit)

Anamnesis awal : Pasien bayi baru lahir, dibawa langsung oleh bidan dan

keluarga setelah proses persalinan (langsung setelah pemotongan tali pusat)

karena tidak menangis. Menurut bidan saat itu denyut jantung janin saat lahir

(+) namun kurang dari 100, nafas spontan (-), tonus otot (-). Proses persalinan

normal, diakui usia kehamilan cukup bulan, persalinan lama disangkal, air

ketuban jernih, ketuban pecah dini disangkal dan tidak ada lilitan tali pusat.

Perdarahan sebelum persalinan disangkal. APGAR skor pasien saat lahir 1-2.

Berat badan lahir 2.4 kg. Saat dibawa os sudah dikeringkan dengan kain, dan

distimulasi untuk bernapas. Mekonium di rambut, tali pusat, tidak terdeteksi.

SURVEY PRIMER

• Appearance : Tonus otot flaksid, sianosis sentral dan perifer

• Breathing : Tidak ada pernapasan spontan maupun usaha napas

gasping

• Circulation : Akral dingin, denyut jantung tidak terdeteksi

TAHAPAN RESUSITASI

Pukul 02.30 • Os diletakkan di infant warmer, dan dilakukan suction

pada orofaring dan nasofaring

Tidak ada usaha napas, denyut jantung (-)

Pukul 02.35 • Dilakukan Ventilasi tekanan positif, oksigen

supplemental per kanul nasal 2 L/menit, dan kompresi

dada

• Persiapan intubasi endotrakeal

Pukul 02.45 • Denyut jantung neonatus (+) 144 x/menit, sianosis

sentral (-), sianosis perifer (+)

• Ventilasi tekanan positif dilanjutkan 40 x/menit

Pukul 02.55 • Pernapasan spontan (+) 18x/menit, dalam. Sianosis

sentral dan perifer (-). Akral dingin (+), CRT >2

Page 3: Presentasi Kasus Neonatus

• IV line terpasang, NaCl 0,9% 10 cc/kg/jam

Pukul 03.15 • Frekuensi denyut jantung 124 x/menit, Frekuensi

pernapasan 42 x/menit, sianosis (-), CRT <2, Suhu aksila

34.1 ºC

• Oksigen 1 L/menit tetap terpasang, intubasi tidak jadi

dilakukan. (Ukuran Endotracheal tube yang sesuai tidak

ada), Suction diulang

• Diperiksakan DR dan GDS

PEMERIKSAAN FISIK (03.15)

Keadaan Umum : Tampak sesak, napas cuping hidung (-).

Kepala : Ubun-ubun besar datar, perioral sianosis (-),

pernapasan cuping hidung (-)

Mata : Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik, cekung (-).

Thoraks : Retraksi intercostal (+), simetris

Paru : Pernapasan dalam, vesikuler, rhonki +/+ basah kasar,

wheezing -/-,

slem +/+

Jantung : Bunyi jantung I dan II reguler, tidak ada murmur dan

gallop.

Abdomen : Datar, lemas, turgor baik, hati teraba 2 cm bawah arcus

costae,

limpa tidak teraba, bising usus (+) normal, retraksi

epigastrium (+)

Ekstremitas : Akral hangat, edema -/-, CRT <2’’

Penilaian usia gestasi : Tidak dilakukan

Downe’s score : 5 (Clinical Respiratory Distress)

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Darah Rutin : Hb 20.5 g/dl; Ht 63 %; Leukosit 19.700; Trombosit 95.000

GDS 434 mg/dl

DIAGNOSIS KERJA

Gawat napas e.c susp. Meconium aspiration syndrome

Neonatus dengan Berat Badan Lahir Rendah

Page 4: Presentasi Kasus Neonatus

DIAGNOSIS BANDING

Gawat napas e.c Asfiksia berat

PENATALAKSANAAN (Konsul Dr. spesialis anak pukul 04.00)

IVFD D5 10 gtt mikro/menit

Naikkan suhu infant warmer, target suhu aksila 36.5 ºC

Cefotaxime 2x125 mg IV

Mikacin 2x12.5 mg IV

Aminofilin loading 1 cc, dilanjutkan 3x5 mg 12 jam kemudian

Dexamethasone 3x0.5 mg IV

Vitamin K 1 mg IM

Inform consent untuk rujuk ke NICU

PEMANTAUAN LANJUTAN

Jam Frekuensi

Nadi

Frekuensi

Napas

Suhu

Aksila

Keterangan

03.30 128 46 34.6 ºC Retraksi IC (+)

epigastrium (+)

Sianosis (-)

04.00 132 62 35.5 ºC

04.30 124 66 36.1 ºC

05.00 124 70 36.6 ºC

Pukul 05.15 os dirujuk ke NICU RS Immanuel.

DATA TAMBAHAN (Alloanamnesis ibu dan keluarga os tanggal 9 Februari

2012)

Riwayat Kehamilan

Kehamilan ibu pasien merupakan kehamilan yang tidak direncanakan.

Kehamilan ini merupakan kehamilan pertama. Tidak diketahui kapan hari

pertama haid terakhir, karena ibu os sedang menggunakan KB suntik/3

bulan, dan tidak mendapat haid sejak KB. Kehamilan diketahui saat os

merasa perutnya membesar, dibawa ke bidan, dikatakan hamil, dipastikan

dengan test pack di bidan, tidak di USG. Dikatakan oleh bidan usia

kehamilan 4 bulan. (ibu dari ibu pasien tidak tahu berapa minggu). Selama

kehamilan asupan makanan dirasa cukup baik kualitas maupun kuantitas.

Antenatal care 6 kali di bidan. Tekanan darah selama hamil normal. USG 1x

dilakukan di RS Harapan Bunda, 1 minggu sebelum tanggal kelahiran,

Page 5: Presentasi Kasus Neonatus

dikatakan janin normal. Tidak terdapat riwayat demam, riwayat trauma atau

sakit berat dan penggunaan obat-obatan atau jamu selama kehamilan. Ibu

pasien hanya mengkonsumsi vitamin dari bidan.

Data ANC (HPHT 4/4/11; Taksiran Persalinan 11/1/12)

Tanggal Tekanan Darah

Berat Badan

Ibu

Tinggi Fundus

Usia Gestasi

DJJ Ket

26/10/1

1

110/70 54 kg Sepusat 29 mgg + TT1

1/11/11 110/80 54 kg 23 cm 30 mgg +

15/11/1

1

90/70 56 kg 25 cm 32 mgg + TT2

6/12/11 100/70 57 kg 25 cm 36 mgg +

13/12/1

1

90/70 57 kg 26 cm 37 mgg +

27/12/1

1

110/70 58 kg 27 cm 38 mgg +

Hasil USG 19/12/11

Hamil tunggal, hidup, intrauterine, presentasi kepala, sesuai dengan usia

kehamilan 33 minggu. Janin dan plasenta baik. Taksiran persalinan 2

Februari 2012.

Riwayat Persalinan

Pada tanggal 28/12/11 ibu os mulai merasakan kontraksi pada pukul 2 siang,

cukup sering, namun tidak teratur. Dikatakan oleh ibu bidan, masih

pembukaan 1, waktu persalinan kurang lebih saat malam hari. Pada sekitar

pukul 8 malam, kontraksi makin sering. Menurut pengakuan ibu os, saat itu

keluar perdarahan dari jalan lahir cukup banyak, yang membasahi tiga kain

hingga saat persalinan. Darah warna merah kehitaman. Nyeri dan tegang

Page 6: Presentasi Kasus Neonatus

pada perut terus menerus disangkal, hanya dirasakan saat kontraksi.

Gerakan janin masih dirasakan ibu. Menurut bidan, hal tersebut masih

dalam batas normal. Pada sekitar pukul 2 pagi kontraksi dirasakan makin

kuat dan sering, dikatakan bidan sudah pembukaan lengkap, ketuban pecah,

dan ibu os dipimpin meneran. Menurut ibu os, setelah ± 15 menit dipimpin

meneran, os dilahirkan, tidak langsung menangis. Setelah tali pusat

dipotong, os langsung dilarikan ke RS. Warna ketuban saat itu tidak hijau

atau kecoklatan, namun keluarga tidak yakin. Plasenta dapat dilahirkan

utuh. Menurut keluarga warna plasenta kehitaman. Ibu os dalam keadaan

baik setelah melahirkan. Perdarahan (-)

Riwayat Penyakit Keluarga

Hipertensi (-), Diabetes (-), Alergi (-)

Riwayat KB

Sejak menikah, ibu os menggunakan KB suntik/3 bulan selama 1 tahun

Riwayat Obstetri

Kehamilan ini merupakan kehamilan pertama

Sosial/Pendidikan

Ibu os berusia 21 tahun, dan ayah os berusia 22 tahun. Menikah 1 tahun

yang lalu. Ayah os bekerja toko keluarga (pendidikan terakhir SMEA), ibu os

tidak bekerja (pendidikan terakhir SMA)

Foto Toraks Tanggal 29/12/11 di RS Immanuel

Hasil : Hilus kanan dan kiri kasar, corakan paru ramai di perihiler. Tampak

granul-granul halus dan bercak kabur di perihiler kanan dan kiri.

Kesan : Bronkopneumonia di perihiler kanan dan kiri. Aspirasi?

Page 7: Presentasi Kasus Neonatus

DIAGNOSIS KERJA

Preterm Infant dengan Gawat napas e.c Asfiksia berat

Aspirasi Pneumonia

Neonatus dengan Berat Badan Lahir Rendah

DIAGNOSIS BANDING

Gawat napas e.c susp. Meconium aspiration syndrome

Gawat napas e.c susp. Respiratory Distress Syndrome

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Newborn Resuscitation (Resusitasi Bayi Baru Lahir)

Proses transisi fetus dari lingkungan intrauterin ke ekstrauterin saat

proses kelahiran melalui serangkaian mekanisme kompleks, dimana neonatus

normal pada akhirnya diharapkan memiliki kemampuan untuk bernafas secara

spontan dan mempertahankan perubahan sistem kardiopulmonal secara efektif.

Hampir 10% dari neonatus yang baru lahir memerlukan bantuan tenaga

medis terlatih untuk dapat memulai proses bernapas saat lahir, dan 1%

memerlukan tindakan resusitasi yang lebih ekstensif. Karena besarnya total

Page 8: Presentasi Kasus Neonatus

jumlah kelahiran, angka 1% menggambarkan banyaknya jumlah neonatus yang

memerlukan tindakan resusitasi.

Kejadian asfiksia perinatal dan prematuritas merupakan komplikasi

kehamilan yang paling sering menyebabkan perlunya tindakan resusitasi.

Sekitar 80% dari neonatus dengan berat badan lahir rendah memerlukan

resusitasi dan stabilisasi saat kelahiran. Kesulitannya, hanya 60% kejadian

asfiksia neonatorum yang dapat diprediksi pada masa antepartum, sehingga

kasus tersebut tidak mendapat rujukan ke fasilitas kesehatan tersier seperti

seharusnya. Oleh karena itu, penting bagi setiap tenaga medis yang membantu

persalinan untuk setidaknya dapat mengenali neonatus yang memerlukan

tindakan resusitasi dan stabilisasi, serta dapat melakukan tindakan tersebut

dengan baik sebelum merujuk neonatus ke fasilitas kesehatan yang lebih

lengkap.

Penilaian Kegawatdaruratan pada Bayi Baru Lahir

Bayi baru lahir yang tidak memerlukan tindakan resusitasi, secara umum

dapat diidentifikasi dari penilaian cepat dari tiga karakter berikut, yaitu :

1) Usia gestasi cukup bulan (term gestation);

2) Pernafasan spontan yang efektif, ditandai dengan bayi menangis kuat; dan

3) Adanya tonus otot yang baik.

Apabila bayi baru lahir memenuhi ketiga karakter tersebut, maka bayi

tersebut tidak memerlukan tindakan resusitasi dan tidak perlu dipisahkan dari

ibu. Bayi seharusnya mendapatkan perawatan rutin, yaitu dikeringkan, dan

diletakkan di dada ibu dengan kontak kulit terhadap ibunya, dimana bayi tetap

ditutup dengan kain kering untuk mempertahankan temperatur. Walaupun

begitu, observasi terhadap usaha nafas, aktivitas, dan warna kulit bayi harus

tetap dilakukan secara berkelanjutan.

Sebaliknya, apabila salah satu dari 3 karakter tersebut tidak terpenuhi,

maka bayi tersebut harus mendapatkan salah satu atau lebih dari 4 urutan

tindakan di bawah ini :

1. Tahapan awal stabilisasi (Menghangatkan, Memastikan jalan nafas bersih

jika diperlukan, Mengeringkan, dan Menstimulasi)

2. Ventilasi

3. Kompresi Dada

4. Medikasi (Administrasi epinefrin dan/atau cairan untuk ekspansi volume

intravaskular)

Page 9: Presentasi Kasus Neonatus

Waktu yang diharapkan untuk menyelesaikan tahapan awal stabilisasi, evaluasi

ulanng dan memulai bantuan ventilasi jika diperlukan adalah 60 detik (the

Golden Minute). Keputusan untuk melanjutkan resusitasi ke tahap lanjutan

ditentukan dari penilaian simultan dari dua karakteristik vital yaitu respirasi

(apnea, gasping) dan frekuensi denyut jantung (lebih dari sama dengan atau

kurang dari 100 kali per menit). Penilaian denyut jantung dilakukan dengan

auskultasi denyut prekordial atau palpasi denyut umbilikal.

Tahapan Awal Stabilisasi

a. Kontrol Temperatur (Menghangatkan)

Neonatus memiliki rasio yang tinggi antara luas permukaan tubuh

terhadap berat badan, sehingga meningkatkan jumlah kehilangan panas

tubuh dan cairan melalui evaporasi. Kulit neonatus yang lebih tipis dan

pembuluh darah yang lebih dekat dengan permukaan juga memberikan efek

insukasi yang buruk, menyebabkan hilangnya panas berkelanjutan. Bayi

premature pada khususnya memiliki kapasitas terbatas untuk mengubah

posisi tubuh untuk membantu konservasi panas (pada posisi fleksi tubuh).

Selain itu, kapasitas produksi panas melalui proses metabolik pada

neonatus juga sangat terbatas. Hal ini disebabkan karena terbatasnya

sumber energi, yaitu hanya pada lemak subkutan dan penyimpanan brown

fat yang disimpan sejak trimester ke-tiga. Produksi energi melalui

mekanisme menggigil juga tidak terdapat pada neonatus.

Kehilangan panas pada neonatus harus dicegah, karena menyebabkan

peningkatan proses metabolik, dan juga penggunaan oksigen. Peningkatan

kebutuhan oksigen ini berbahaya pada neonatus yang mengalami gangguan

respirasi. Oksigenasi jaringan yang buruk dan berkelanjutan menyebabkan

perubahan ke metabolisme anaerob dan akhirnya penumpukan laktat yang

menimbulkan asidosis.

American Heart Association (AHA) dan American Academy of Pediatrics

(AAP) menyatakan bahwa target temperatur awal adalah 36.5o C pada suhu

aksila. Perlu diingat bahwa target temperatur adalah mencapai kondisi

normotermi dan menghindari hipertermi. Kejadian hipertermi harus

dihindari karena dapat berakibat pada kerusakan cerebral progresif.

Untuk mencapai target temperatur pada neonatus, pengaturan

temperatur lingkungan sangat menentukan. Tindakan yang dilakukan untuk

menaikkan temperature diantaranya adalah dengan penggunaan sumber

radiasi panas atau dengan menghangatkan suhu ruangan kelahiran terutama

Page 10: Presentasi Kasus Neonatus

pada kelahiran bayi prematur. Pada bayi prematur dengan berat <1500 g,

usaha menaikkan temperatur dan mencegah kehilangan panas tambahan

diantaranya dengan menggunakan lapisan plastik. (polyethylene) untuk

melapisi neonatus. Penutup kepala dari wool juga dianjurkan untuk

digunakan. Penyebab lain kehilangan panas yang harus diwaspadai adalah

sumber oksigen yang tidak dihangatkan dan dilembabkan. Monitor

temperatur yang berkelanjutan harus tetap dilakukan.

b. Membersihkan Jalan Nafas

Kepala neonatus diposisikan pada posisi “sniffing” untuk membuka jalan

nafas. Membersihkan jalan nafas dengan suction hingga ke jalan nafas

posterior atau hingga ke trakea dapat menyebabkan timbulnya reflex vagal

yang menyebabkan apnea, bradikardi, hipotensi dan spasme laring akibat

stimulasi reseptor pada laring. Oleh karena itu, tindakan suction sebaiknya

dibatasi pada neonatus dengan mukus yang cukup kental, yang tidak bisa

dihilangkan dengan bulb syringe. Apabila terdapat bukti bahwa cairan

amnion tercemar meconium, tindakan intubasi endotrakeal dan suction

trakea per-ETT masih dapat dilakukan. Tekanan suction tidak boleh melebihi

100 mmHg. Walaupun begitu, apabila usaha intubasi memakan waktu lama

dan tidak berhasil, maka ventilasi dengan masker dan self inflating bag

harus segera dilakukan.

c. Mengeringkan dan Menstimulasi

Usaha membersihkan jalan napas yang dilanjutkan dengan mengeringkan

tubuh bayi, sesungguhnya sudah memberikan stimulasi yang cukup untuk

menginisiasi pernapasan spontan. Namun, apabila diperlukan, stimulasi

yang lebih dapat dilakukan seperti dengan menepuk telapak kaki, atau

dengan menggosok punggung bayi. Apabila tidak terdapat respon yang baik

terhadap stimulasi, maka hal ini merupakan indikasi dimana bayi

memerlukan bantuan ventilasi.

Ventilasi

a. Penggunaan Suplemental Oksigen

Penggunaan oksigen supplemental masih merupakan kontroversi, karena

efek radikal bebas dari konsentrasi oksigen tinggi dapat menyebabkan

kerusakan pada tingkat seluler. Oleh karena itu, penggunaan oksigen

suplemental direkomendasikan untuk diikuti dengan pengawasan saturasi

oksigen dengan pulse oxymetri. Dari beberapa penelitian didapatkan tingkat

saturasi oksigen yang harus dicapai menurut waktu (Gambar 1). Pada

Page 11: Presentasi Kasus Neonatus

neonatus dengan usia gestasi cukup, resusitasi dianjurkan hanya dengan

udara ruangan dibandingkan dengan 100% oksigen. Apabila tersedia

fasilitasnya, direkomendasikan penggunaan campuran udara dan oksigen

dengan konsentrasi yang bisa diatur untuk mencapai saturasi yang

diinginkan. Apabila neonatus tetap dalam keadaan bradikardi setelah 90

detik resusitasi dengan konsentrasi oksigen yang lebih rendah, maka

konsentrasi oksigen dapat dinaikkan hingga 100% sampai tercapai frekuensi

denyut jantung normal.

b. Ventilasi Tekanan Positif

Apabila setelah melalui tahapan awal stabilisasi bayi tetap tidak dapat

bernafas spontan, atau denyut jantung tidak mencapai 100x/menit, maka

pemberian bantuan ventilasi dengan tekanan positif harus dilakukan. Proses

pengembangan paru pertama setelah kelahiran, baik secara spontan atau

dengan bantuan ventilasi, akan menentukan kapasistas residu fungsional

paru-paru. Oleh karena itu, tekanan yang tepat, waktu pemberian, dan

jumlah pemberian dalam satuan waktu harus diperhatikan. Paru-paru bayi

prematur lebih mudah mengalami kerusakan pada pemberian ventilasi

dengan volume besar. Apabila terdapat fasilitas untuk mengukur tekanan

ventilasi, tekanan awal yang dianjurkan adalah 20 cmH2O atau 30-40

cmH2O pada neonatus cukup bulan. Jumlah ventilasi per menit yang

dianjurkan adalah 40-60x/menit. Indikasi efektifitas ventilasi adalah

tercapainya denyut jantung normal (>100x/menit). Apabila tidak terdapat

fasilitas pengukuran tekanan, maka tekanan diberikan secukupnya untuk

menghasilkan inflasi minimal yang cukup untuk meningkatkan denyut

jantung. Pemberian ventilasi dapat dilakukan dengan ventilasi bag-mask,

atau mouth-to-mask apabila tidak tersedia alat.

c. Intubasi dan Penggunaan Ventilasi Mekanik

Intubasi endotrakeal dapat diindikasikan dalam resusitasi neonatus

pada :

1. Bayi dengan depresi nafas disertai adanya mekonium pada cairan amnion

2. Apabila ventilasi bag-mask tidak efektif dan berkepanjangan

3. Apabila kompresi dada dilakukan\

4. Untuk resusitasi pada keadaan khusus, seperti pada kelainan kongenital

berupa hernia diafragma, atau pada berat badan lahir rendah yang

ekstrim ( <1000 g)

Page 12: Presentasi Kasus Neonatus

Tabel 1. Ukuran Endotracheal Tube dan Pengukuran Panjang Tube yang masuk

Berdasarkan Berat Badan.

Infant

Weight

Endotracheal Tube

Size

Endotracheal Tube Measurement

at Lip

< 1000 g 2.5 7 cm

1000-2000 g 2.5-3 8 cm

2000-3000 g 3-3.5 9 cm

> 3000 g 3.5-4 10 cm

Penggunaan Laryngeal Mask Airway(LMA) dapat digunakan pada

neonatus dengan berat lebih dari 2000 g atau usia gestasi lebih dari 34 minggu.

LMA harus dipertimbangkan dalam resusitasi apabila ventilasi bag-mask tidak

efektif, dan intubasi endotrakeal tidak dapat dilakukan. Apabila setelah

pemberian ventilasi tekanan positif, neonatus dapat bernapas spontan, namun

tidak cukup efektif (takipnea, grunting, retraksi, sianosis sentral) maka

penggunaan CPAP (continuous positive airway pressure), atau PEEP (positive

end– expiratory pressure) sangat dianjurkan karena kurang invasif.

Kompresi Dada

Kompresi dada diindikasikan apabila denyut jantung tetap <60x/menit,

setelah pemberian ventilasi adekuat dengan oksigen supplemental selama 30

detik. Kompresi dada dilakukan pada 1/3 bawah sternum dengan kedalaman 1/3

dari diameter antero-posterior dada. Terdapat dua teknik kompresi yang

dikenal, yaitu teknik kompresi dua ibu jari dengan jari-jari melingkari dada dan

menyokong bagian punggung, serta teknik kompresi dengan dua jari dimana

tangan lain menahan bagian punggung. Teknik pertama dikatakan lebih efektif

karena dapat menimbulkan tekanan sistolik yang lebih tinggi.

Kompresi dan ventilasi harus terkoordinasi. Pada kompresi, dada harus

dapat berekspansi penuh sebelum kompresi berikutnya, namun jari yang

melakukan kompresi tidak boleh meninggalkan posisi di dada. Rasio kompresi-

ventilasi yang direkomendasikan adalah 3:1, dengan target 90 kompresi dan 30

ventilasi dalam satu menit (1/2 detik untuk masing-masing). Rasio 3:1

direkomendasikan apabila gangguan pernafasan menjadi penyebab kegawatan,

Page 13: Presentasi Kasus Neonatus

yang merupakan penyebab pada sebagian besar kasus. Namun apabila

penyebab kegawatan diyakini berasal dari sistem kardial, maka rasio kompresi

yang lebih besar (15:2) dapat digunakan.

Medikasi

Obat-obatan jarang digunakan pada tahapan resusitasi bayi baru lahir.

Kejadian bradikardi pada bayi baru lahir sebagian besar disebabkan oleh inflasi

paru yang tidak adekuat atau hipoksemia berat, sehingga memberikan ventilasi

yang adekuat adalah hal terpenting yang perlu dilakukan. Namun, apabila

denyut jantung tetap <60x/menit setelah pemberian ventilasi yang adekeuat

dengan 100% oksigen dan kompresi dada, maka pemberian epinefrin dan cairan

resusitasi dapat diperlukan.

a. Epinefrin

Epinefrin direkomendasikan untuk diberikan intravena dengan dosis

0.01-o.03 mg/kg per dosis. Apabila jalur intravena sulit untuk dibuat, maka

dapat diberikan melalui rute endotrakeal dengan dosis lebih besar (0.05-0.10

mg/kg). Konsentrasi epinefrin yang digunakan 1:10.000 (0.1 mg/ml)

b. Cairan Resusitasi

Pemberian cairan resusitasi untuk menambah volume intravaskular dapat

diberikan jika kehilangan darah diketahui atau dicurigai (pucat, perfusi yang

buruk, dan nadi yang lemah), dan denyut jantung bayi tidak membaik

dengan usaha resusitasi yang lain. Cairan yang direkomendasikan adalah

solusi kristaloid atau darah. Dosis yang direkomendasikan adalah 10 cc/kg,

dapat diulang, Pada bayi premature, pemberian cairan tidak boleh diberikan

terlalu cepat, karena dapat menyebabkan perdarahan intraventrikular.

c. Natrium Bikarbonat

Penggunaan natrium bikarbonat tidak direkomendasikan secara rutin,

karena diketahui dari penelitian cairan saline 0.9% memberikan hasil yang

lebih efektif dalam menangani penyebab metabolik asidosis. Selain itu

penggunaan natrium bikarbonat juga meningkatkan risiko perdarahan

intraventrikular pada bayi dengan berat badan lahir sangat rendah.

Walaupun begitu, penggunaannya dapat bermanfaat pada kasus henti nafas-

henti jantung yang berkepanjangan setelah usaha resusitasi lain telah

dilakukan. Dosis yang dianjurkan 2 mEq/kg IV.

Penghentian Usaha Resusitasi

Page 14: Presentasi Kasus Neonatus

Pada bayi baru lahir dengan denyut jantung yang tidak terdeteksi,

penghentian resusitasi dapat dipertimbangkan apabila denyut jantung tetap

tidak terdeteksi setelah 10 menit usaha resusitasi. Faktor lain yang perlu

dipertimbangkan dalam penghentian resusitasi adalah penilaian ulang terhadap

etiologi kegawatan, serta pertimbangan keluarga terhadap morbiditas yang

terjadi pasca resusitasi.

Gambar 1. Algoritma Resusitasi pada Bayi Baru Lahir

Asfiksia Neonatorum

Asfiksia didefinisikan sebagai keadaan insufisiensi atau ketiadaan proses

pertukaran efektif antara oksigen dan karbondioksida, sehingga menyebabkan

kegagalan jaringan untuk menerima dan menggunakan oksigen. Asfiksia

berhubungan langsung dengan keadaan hipoksia dan iskemia. Hipoksia itu

sendiri berarti rendahnya konsentrasi oksigen arterial, sedangkan iskemia

berarti rendahnya aliran darah ke jaringan dan sel-sel menyebabkan jaringan

tidak dapat mempertahankan fungsi normalnya. Morbiditas dan mortalitas pada

neonatus akibat asfiksia dapat dicegah dengan tindakan resusitasi yang efektif

(meliputi pemberian ventilasi dan supplemental oksigen) dan juga koreksi dari

disfungsi multiorgan yang terkait.

Etiologi dan Faktor Risiko

Kejadiaan hipoksik-iskemia dapat dialami fetus sejak dilingkungan

intrauterine. Hal tersebut dapat disebabkan oleh beberapa keadaan

diantaranya 1)oksigenasi yang inadekuat dari darah maternal akibat penyakit

jantung, gangguan pernapasan kronik, ataupun keracunan karbon monoksida,

2) Rendahnya tekanan darah maternal, 3) Insufisiensi plasenta, 4) Relaksasi

uterus yang inadekuat akibat pemberian oksitosin yang berlebihan, 5) Separasi

plasenta yang premature, 6) Kompresi atau gangguan pada tali pusat, 7)

Vasokonstriksi pembuluh darah uterus akibat zat kimia, 8) Anemia, dan

sebagainya.

Kejadian intrapartum, seperti kontraksi uterus, perdarahan, atau partus

lama dapat mengganggu oksigenasi umbilical dan memperberat keadaan

hipoksik-iskemia, menimbulkan gangguan pada sistem kardiovaskular dan

sistem saraf pusat, dan akhirnya menyebabkan rendahnya skor APGAR dan

timbulnya asfiksia postnatal.

Page 15: Presentasi Kasus Neonatus

Setelah proses kelahiran, asfiksia dapat diperberat oleh anemia pada

neonatus, syok, rendahnya saturasi oksigen akibat kegagalan untuk bernapas

secara adekuat, dan juga adanya gangguan respirasi ataupun penyakit jantung

kongenital.

Tabel 2. Faktor Risiko terjadinya Asfiksia Neonatorum

Patofisiologi

Neonatus yang mengalami asfiksia akan menginisiasi respons tubuh

untuk mempertahankan proses pengantaran oksigen dan perfusi ke organ-

organ vital. Kejadian hipoksia dan asidosis akan mengakibatkan vasokontriksi

arteri pulmonal. Terjadilah peningkatan resistensi pembuluh darah pulmonal,

menurunnya aliran darah pulmonal, untuk meningkatkan aliran darah langsung

ke atrium kiri.

Pada awal asfiksia, tekanan darah sistemik meningkat. Mekanisme

redistribusi aliran darah jantung terjadi, dimana aliran darah ke jantung, otak,

dan kelenjar adrenal meningkat, namun terjadi penurunan aliran darah ke

organ dan jaringan lainnya. Asfiksia yang berkepanjangan mengakibatkan

kegagalan mekanisme kompensasi, menurunnya aliran darah otak, dan terjadi

ischemic brain injury. Selain itu, terjadi kegagalan miokardium, mengakibatkan

bradikardia. Tekanan darah dan perfusi jaringan menurun.

Neonatus yang mengalami asfiksia juga menunjukkan perubahan pola

pernapasan. Pada awalnya, akan terjadi peningkatan frekuensi pernapasan.

Usaha pernapasan ini pada akhirnya akan menghilang seiring dengan terus

berlangsungnya asfiksia. Hal ini disebut apnea primer. Selama apnea primer,

neonatus dapat merespon stimulus dan dapat menginisiasi pernapasan kembali.

Page 16: Presentasi Kasus Neonatus

Namun, apabila asfiksia tetap berlanjut, neonatus akan memperlihatkan usaha

napas yang berat dan lama kelamaan jatuh kembali ke apnea (apnea sekunder).

Neonatus yang mengalami apnea sekunder tidak merespon stimulus, dan

memerlukan ventilasi bertekanan positif untuk mempertahankan proses

pertukaran gas.

Gambar 2. Patofisiologi Asfiksia

Manifestasi Klinis

Manifestasi paling awal dari hipoksik-iskemia pada fetus dapat terdeteksi

dari gangguan pertumbuhan intrauterine. Selama persalinan, denyut jantung

janin dapat menurun, dengan variabilitas yang cenderung menurun. Adanya

cairan amnion yang terkontaminasi mekonium juga mengindikasikan distress

pada fetus telah terjadi. Pada proses kelahiran, neonatus dengan asfiksia

seringkali mengalami depresi napas dan gagal menginisiasi proses pernapasan

secara spontan. Kejadian hipoksia prenatal dan perinatal, apapun penyebabnya,

apabila cukup berat, dapat menyebabkan depresis batang otak dan timbulnya

apnea sekunder yang tidak merespon stimulus sensori.

Tabel 3. Komplikasi Asfiksia

Pada setiap kejadian asfiksia berat harus

dimonitor terjadinya komplikasi hipoperfusi jaringan

di setiap organ seperti terjadinya hipoksik-iskemik

ensefalopati, gagal jantung, persistent pulmonary

Page 17: Presentasi Kasus Neonatus

hypertension, respiratory distress syndrome, perforasi gastrointestinal,

hematuria, dan akut tubular nekrosis.

Penilaian Derajat Asifiksia

Skor APGAR merupakan indikator tersering yang digunakan untuk

menilai apakah bayi yang baru lahir menderita asfiksia atau tidak.

Skor APGAR 8-10 menggambarkan tidak adanya asfiksia, 5-7 asfiksia

ringan, 3-4 asfiksia sedang, dan 0-2 asfiksia berat. Walaupun begitu, terdapat

penelitian yang mengatakan bahwa skor APGAR memiliki banyak keterbatasan

karena dapat dipengaruhi medikasi maternal, usia gestasi, dan kemungkinan

kesalahan manusia. Perlu diingat bahwa tindakan resusitasi dilakukan langsung

setelah bayi lahir, tidak bergantung pada nilai APGAR.

Page 18: Presentasi Kasus Neonatus

Tabel 4. Skor APGAR

Penatalaksanaan

Kematian akibat apnea dapat dicegah dengan tindakan resusitasi yang tepat,

dimana penyebab pasti dari hipoksia dapat ditangani selama neonatus

mendapat bantuan respirasi artifisial. Kompresi dada, koreksi asidosis dan

dukungan sirkulasi dengan obat-obatan juga sangat penting dalam mendukung

ventilasi mekanik.

Respiratory Distress in Newborn

Gangguan pernapasan merupakan penyebab tersering meningkatnya

jumlah perawatan di RS baik bagi neonatus cukup bulan maupun kurang bulan.

Tanda dan gejalan gangguan pernapasan pada neonatus diantaranya adalah

sianosis, pernapasan cuping hidung, retraksi, grunting, takipnea, menurunnya

suara napas disertai dengan ronki, pucat, dan apnea. Penyebab gangguan

pernapasan pada neonatus sangat bervariasi, termasuk berbagai kelainan

anatomis paru, respiratory distress syndrome, aspirasi, pneumonia, hipertensi

pulmonal, dan lainnya.

Page 19: Presentasi Kasus Neonatus

Gambar 3. Alur Diagnosis Distress Pernapasan pada Neonatus

Seringkali sangat sulit untuk membedakan gangguan pernapasan dari

penyebab kardiovaskular lain dan sepsis, oleh karena itu, adanya tanda

gangguan pernapasan apapun merupakan indikasi untuk melakukan

pemeriksaan lanjutan seperti analisa gas darah dan roentgen toraks.

Fisiologi Transisi Respirasi Neonatus

Untuk dapat mencapai fungsi yang adekuat dari paru-paru pada saat

lahir, anatomi yang bebas obstruksi da maturitas kontrol respirasi sangat

diperlukan. Cairan yang memenuhi paru-paru fetus selama di lingkungan

intrauterin harus dihilangkan, dan udara pernapasan yang membentuk

kapasitas residu fungsional harus dapat dipertahankan, serta hubungan

ventilasi-perfusi yang efektif dalam mengoptimalkan pertukaran gas

pernapasan.

Pada saat proses persalinan normal (per vaginam), terdapat kompresi

intermiten pada dada neonatus yang memfasilitasi pengeluaran cairan paru-

paru. Sebagian besar lain akan dihilangkan melalui sirkulasi pulmonal yang

meningkat pada saat lahir. Persalinan juga berkaitan dengan peningkatan kadar

katekolamin yang dapat menstimulasi aliran limfe untuk mengeluarkan cairan

yang tersisa. Fetus juga memproduksi adrenalin yang menstimulasi sel-sel

epitel pulmonal untuk memulai reabsorpsi cairan. Sisa cairan akan tertelan,

atau diaspirasi dari orofaring saat kelahiran. Sesuai dengan prosesnya,

kelahiran dengan sectio caesarean, atau kerusakan epitel paru, sedasi, dan

peningkatan tekanan vena pulmonal dapat menghalang proses pengeluaran

cairan dari paru-paru.

Page 20: Presentasi Kasus Neonatus

Pada paru-paru neonatus yang matur juga terdapat surfaktan yang

melapisi alveoli memaksimalkan proses pertukaran gas dengan mengurang

tekanan permukaan yang pada akhirnya mengurangi tekanan yang diperlukan

untuk membuka alveoli. Walaupun begitu, tekanan awal yang diperlukan untuk

meng-inflasi paru-paru merupakan tekanan tertinggi yang diperlukan

dibandingkan tekanan yang diperlukan setelahnya. Tekanan itu bervariasi

antara 10-50 mmH2O. Tingginya tekanan yang diperlukan ini dibutuhkan untuk

mengatasi tekanan permukaan dan juga viskositas cairan yang masih bertahan

di paru-paru. Apabila udara pernapasan yang adekuat berhasil masuk ke dalam

paru-paru, struktur intraparenkim akan tertarik, dan gas pernapasan masuk ke

dalam alveoli, pada akhirnya meningkatkan PaO2 dan pH menyebabkan

vasodilatasi pulmonar dan konstriksi duktus arteriosus.

Terdapat banyak stimulus yang berkaitan dengan usaha napas awal.

Stimulus tersebut meliputi penurunan PO2 dan pH, peningkatan PCO2,

redistribusi cardiac outputsetelah pemutusan tali pusat, penurunan suhu tubuh,

dan berbagai stimulus taktil.

Neonatus dengan berat badan lahir rendah memiliki beberapa kesulitan

dalam proses inisiasi napas pertama. Penyebabnya diantaranya adalah

compliant dinding dada yang lebih tinggi, dan juga kapasitas residu fungsional

yang kurang akibat adanya atelektasis. Akibatnya, abnormalitas ventilasi-

perfusi lebih besar, dan terdapat gas trapping.

Penilaian Distres Pernapasan pada Neonatus

Beratnya gangguan pernapasan pada neonatus dapat dinilai dengan skor

Silverman-Anderson dan Skor Downe. Skor retraksi Silverman-Anderson

sebenarnya lebih cocok digunakan untuk neonatus kurang bulan dengan

Respiratory Distress Syndrome, sedangkan skor Downe lebih komprehensif dan

dapat digunakan untuk semua usia gestasi dan kondisi.Skoring dilakukan tidak

hanya untuk menilai berat gangguan pernapasan, namun juga sebagai alat

pengawasan (motoring), oleh karena itu, skoring dilakukan secara serial,

selama distress pernapasan masih ada.

Page 21: Presentasi Kasus Neonatus

Gambar 4. Skor Silverman-Anderson. A score greater than 7 indicates that the

baby is in

respiratory failure

Page 22: Presentasi Kasus Neonatus

Gambar 5. Skor Downe. Score > 4 = Clinical respiratory distress; monitor

arterial blood gases> 6 = Impending respiratory failures.

Etiologi Distress Pernapasan Tersering pada Neonatus

a. Respiratory Distress Syndrome

Surfaktan

Surfaktan merupakan material yang secara aktif melapisi

permukaan alveoli, menurunkan tekanan permukaannya sehingga

memudahkan alveoli untuk dapat terinflasi. Surfaktan disintesis dan

disekresikan oleh sel epitelial tipe II di alveolus. Komposisi utama dari

surfaktan adalah fosfolipid (fosfatidilkolin dan fosfatidilgliserol) dan

protein A (SP-A), B (SP-B), dan D (SP-D).

Berbagai faktor hormonal diketahui berpengaruh terhadap

produksi dari enzim yang mengatur sintesis fosfatidilkolin. Bukti in vivo

dan in vitro mendukung adanya penguruh hormon glukokortikoid dalam

modulasi diferensiasi dan produksi fosfolipid serta protein surfaktan.

Katekolamin yang dihasilkan selama proses persalinan juga dapat

meningkatkan sekresi fosfolipid oleh sel tipe II. Sebaliknya, keadaan

hiperglikemia dan hiperinsulinemia menghambat sekresi fosfolipid.

Pengukuran kadar fosfolipid atau protein surfaktan pada cairan

amnion telah menjadi penanda yang dapat digunakan untuk memprediksi

maturasi paru-paru, dan fungsi paru-paru yang adekuat saat lahir

(lecithin-sphingomyelin [L-S] ratio dan phosphatidylglycerol values).

Surfaktan terdapat dalam konsentrasi yang tinggi di dalam paru-

paru fetus di akhir minggu ke-20 gestasi, namun surfaktan tersebut akan

mencapai permukaan, dan terdeteksi pada cairan amnion pada minggu

ke 28-32. Kadar surfaktan yang matur akan terdeteksi pada akhir minggu

ke-35. Sintesis surfaktan itu sendiri dipengaruuhi oleh pH normal,

temperatur, dan perfusi jaringan. Oleh karena itu, keadaan hipoksemia,

iskemik pulmonal, hipotensi, dan hipotermi dapat menekan sintesis

surfaktan.

Baik kelainan kuantitatif maupun kualitatif dari surfaktan

berkontribusi dalam patogenesis berbagai penyakit pernapasan pada

neonatus. Pada neonatus kurang bulan, defisiensi produksi dan sekresi

surfaktan menyebabkan insufisiensi surfaktan pada alveoli dan akibatnya

terjadi atelektasis. Kelainan kualitatif berasosiasi dengan kebocoran

udara, perdarahan pulmonal, dan edema pulmonal.Serum dan nonserum

Page 23: Presentasi Kasus Neonatus

protein, termasuk albumin, fibrinogen, hemoglobin, dan mekonium,

merupakan inaktivator poten dari surfaktan.

Respiratory Distress Syndrome(RDS)

RDS atau sebelumnya dikenal sebagai hyaline membrane disease,

merupakan gangguan pernapasan yang disebabkan oleh abnormalitas

surfaktan baik secara kuantitatif maupun kualitatif. RDS sangat umum

menyebabkan morboditas dan mortalitas pada kelahiran preterm.

Insidensinya meningkat seiring dengan berkurangnya usia gestasi pada

saat kelahiran, dan umumnya bermanifestasi lebih berat pada neonatus

laki-laki. 50% neonatus dengan usia gestasi 26-28 minggu menderita

RDS, 20-30% pada usia gestasi 30-31 minggu, dan menurun hingga 5%

hingga usia 37 minggu. Neonatus dari ibu diabetes dengan kontrol

metabolik yang buruk dan neonatus yang lahir setelah kejadian asfiksia

ataupun perdarahan maternal memiliki risiko lebih tinggi terkena RDS.

Abnormalitas surfaktan pada RDS menyebabkan atelektasis

progresif, hilangnya kapasitas residu fungsional, perubahan rasio

ventilasi-perfusi, dan distribusi ventilasi yang tidak merata. Keadaan ini

diperberat dengan compliant dinding dada dan lemahnya otot-otot

pernapasan pada neonatus kurang bulan. Atelektasis yang terjadi

menyebabkan alveoli tidak terventilasi walaupun mendapat perfusi yang

adekuat, menyebabkan hipoksia. Rendahnya kadar oksigen, asidosis

metabolik dan respiratorik menyebabkan timbulnya resistensi vaskular

paru. Tingginya resistensi vaskular paru pada akhirnya menyebabkan

shunting di duktus arteriosus dan foramen ovale, memperberat

hipoksemia.

Tanda dan gejala RDS umumnya muncul segera setelah kelahiran,

walaupun gejalanya dapat tidak terdeteksi dalam beberapa jam pada

neonatus kurang bulan yang lebih besar. Takipnea dengan onset yang

lebih lambat >6 jam umumnya berkaitan dengan kondisi lain selain RDS.

Beberapa pasien membutuhkan resusitasi pada saat lahir karena asfiksia

intrapartum, khususnya pada berat badan lahir <1000 g. Tanda distress

pernapasan umum seperti takipnea, retraksi, dan pernapasan cuping

hidung dapat terlihat. Sianosis cenderung progresif, dan umumnya tidak

respon terhadap pemberian oksigen. Suara napas dapat normal atau

Page 24: Presentasi Kasus Neonatus

berkurang dengan kualitas kasar, dan ronki basah dapat terdengar pada

inspirasi yang dalam khususnya di bagian basal paru posterior.

Page 25: Presentasi Kasus Neonatus

Gambar 6. Patogenesis Respiratory Distress

Syndrome

Gambaran radiografi pada RDS sangat

bervariasi dan terkadang tidak merefleksikan

derajat gangguan napas. Gambarannya

ditandai dengan atelektasis, dan infiltrat

retikular-granular difus. Gambaran tersebut

dapat berkembang menjadi radioopak bilateral

(white-out) pada keadaan yang memberat.

Sepsis onset awal, pneumonia, hipertensi

pulmonal persisten, sindrom aspirasi

mekonium, dan anomalli kongenital harus

dipertimbangkan sebagai diagnosa banding

dari RDS.

Hal penting yang perlu diingat mengenai RDS adalah pencegahan.

Hindari tindakan sectio caesarean (SC)yang tidak perlu, serta berikan

penanganan yang baik bagi kehamilan risiko tingggi. Pastikan usia

kehamilan dengan evaluasi lingkar kepala fetus melalui USG. Prediksi

kematangan paru pada kasus dengan indikasi SC melalui penentuan rasio

L-S dapat membantu. Pemantauan antenatal mengurangi risiko

terjadinya asfiksia fetal. Pemberian glukokortikoid pada ibu hamil 48 jam

sebelum kelahiran dengan usia gestasi 24-34 minggu menurunkan

insidensi, morbiditas dan mortalitas RDS secara signifikan.

Terapi RDS post natal dimulai dengan penilaian dan resusitasi

yang efektif. Pastikan neonatus mendapatkan ventilasi dan oksigenasi

adekuat. Hal ini mencegah terjadinya vasokonstriksi pembulih darah

pulmonal lanjutan dan atelektasis. Penggunaaan ventilasi tekanan positif,

atau CPAP dapat dibutuhkan. Pemantauan terhadap fungsi sirkulasi dan

temperatur yang ketat juga diperlukan.

Surfactant replacement therapy dapat diinisiasi segera setelah

lahir pada neonatus berisiko atau setelah gejala dan diagnosis RDS dapat

ditegakkan. Surfaktan eksogen diberikan melalui intratrakeal dan dapat

digunakan beberapa kali untuk mempertahankan fungsi paru. Dosis yang

diberikan 100-150 mg fosfolipid per kg berat badan. Penggunaan Nitrit

Page 26: Presentasi Kasus Neonatus

Oksida yang dihirup diketahui memberikan perbaikan signifikan dalam

kasus gagal napas pada neonatus cukup bulan. Namun penggunaannya

pada neonatus kurang bulan belum dapat dibuktikan secara pasti.

Komplikasi RDS meliputi perdarahan sistem saraf pusat, dan Patent

Ductus Arteriosus.

b. Meconium Aspiration Syndrome(MAS)

Mekonium merupakan cairan hijau kental yang terdiri dari sekresi

gastrointestinal, debris seluler, sekret empedu dan paskreas, mukus, darah,

lanugo, verniks, dan 72-80% nya air. Mekonium pertama kali terdeteksi

dalam ileus fetal diantara usia gestasi 10-16 minggu. Walaupun mekonium

telah terdeteksi sejak awal, namun cairan amnion yang bercampur

mekonium jarang terjadi pada usia gestasi kurang dari 38 minggu, dan

meningkat insidensinya hingga 30% pada kehamilan usia lebih dari 42

minggu. Hal ini merefleksikan kematangan peristaltik usus seiring dengan

usia gestasi.

Pasase mekonium in utero juga berkaitan dengan asfiksia intrapartum

dan menurunan PO2 pada aliran darah balik umbilikal. Kejadian iskemik

intestinal menimbulkan periode singkat hiperperistaltik dan relaksasi tonus

sfingter ani yang menyebabkan pasase mekonium ke dalam cairan amnion.

Usaha napas gasping yang dilakukan neonatus pada keadaan asfiksia juga

berkontribusi terhadap proses masuknya mekonium ke dalam traktus

respiratori, mengakibatkan terjadinya MAS.

Adanya mekonium di dalam cairan amnion merupakan penanda dari

adanya gangguan pada fetus dan menandakan perlunya evaluasi atas

kesejahteraan fetus. Pola denyut jantung fetus dapat dijadikan indikasi untuk

memperkirakan peningkatan risiko MAS dan prognosis yang buruk.

MAS itu sendiri didefinisikan dengan ditemukannya mekonium dibawah

pita suara. MAS terjadi pada 35% kelahiran hidup dengan cairan amnion

yang tercemar mekonium, kurang lebih 4% dari keseluruhan kelahiran

hidup. MAS ditandai dengan gejala umum distress pernapasan,

perpanjangan fase ekspirasi dan hipoksemia yang terjadi segera setelah

kelahiran dimana mekonium terdapat pada cairan amnion, dan pada kuku,

rambut, serta tali pusat neonatus. Neonatus dengan MAS berat dapat

menunjukkanpeningkatan dimensi anterior-posterior dada ("barrel" chest),

Page 27: Presentasi Kasus Neonatus

yang terjadi sekunder akibat obstruksi jalan napas. Hipertensi pulmonal

persisten juga terjadi pada neonatus dengan MAS berat.

Aspirasi mekonium yang lebih ringan dapat menimbulkan gejala klinis

pneumonia dengan peningkatan usaha napas atau takipnea yang memberat

dalam 1-3 hari dan membaik dalam satu minggu pertama kehidupan.

Gambar 7.

Patogenesis Meconium Aspiration Syndrome

Abnormalitas yang terjadi pada MAS berkaitan erat dengan obstruksi

jalan napas akut, penurunan compliance jaringan paru, dan kerusakan

parenkim paru. Obstruksi parsial jalan napas dapat mengakibatkan

terperangkapnya udara dalam alveoli, sehingga meningkatkan resistensi

ekspirasi paru. Obstruksi total pada jalan napas yang lebih kecil dapat

menyebabkan atelektasis dan gangguan ventilasi-perfusi. Hal ini diperberat

juga dengan terganggunya fungsi surfaktan oleh protein serum dan

nonserum yang terdapat dalam mekonium, menyebabkan atelektasis,

penurunan compliance, dan terjadinya hipoksia. Mekonium juga memiliki

efek toksik langsung terhadap sel-sel epitelial alveoli.

Gambaran radiologis pada MAS, khususnya pada kasus yang berat

memperlihatkan infiltrat kasar dengan konsolidasi luar dan area hiperinflasi.

Orofaring dan nasofaring dari semua neonatus yang terpajan mekonium

harus dibersihkan segera setelah persalinan. Intubasi endotrakeal dan

suction diindikasin hanya jika neonatus mengalami depresi napas berat.

Penatalaksanaan lanjutan meliputi fisioterapi dada dan suction dengan

tetap mempertahankan oksigenasi dan ventilasi adekuat. Surfaktan eksogen

Page 28: Presentasi Kasus Neonatus

telah digunakan, dan terbukti memberikan manfaat pada kasus MAS dengan

menurunkan kejadian kebocoran udara, dan menurunkan kebutuhan

penggunaan extracorporeal membrane oxygenation (ECMO). Adanya

hipertensi pulmonal persisten harus dievaluasi dengan ekokardiografi pada

kasus MAS. Antibiotik dengan spektrum luas rutin digunakan dalam terapi

MAS, namun efektivitas nya belum dibuktikan melalui penelitian.

c. Transient Tachypnea of the Newborn (TTN)

Neonatus dengan TTN mengalami penurunan compliance paru-paru yang

diakibatkan oleh resorpsi cairan paru-paru yang tidak sempurna pada saat

kelahiran. Akibat retensi cairan paru-paru, ruang interstisial terdistensi oleh

cairan, dan terjadilah air trapping dalam alveoli dan penurunan compliance.

Insidensi TTN mencapai 11 dari 1000 kelahiran hidup. Faktor risiko

terjadinya TTN meliputi prematuritas, sedasi maternal, asma maternal, dan

asfiksia fetal. Persalinan dengan sectio caesarean juga merupakan

predisposisi terjadinya TTN pada neonatus cukup bulan. Anak dengan

riwayat TTN saat neonatus memiliki risiko untuk menderita asma lebih

besar.

Neonatus dengan TTN memberikan gejala distress pernapasan, seperti

grunting, retraksi, dan peningkatan frekuensi napas. Gejala takipnea dapat

bertahan selama beberapa hari, dan pada sebagian besar neonatus hanya

memerlukan oksigen suplemental kurang dari 40% untuk mempertahankan

oksigenasi yang adekuat. Gambaran radiologis yang dapat terlihat meliputi

peningkatan gambaran vaskular, hiperinflasi akibat air trapping, adanya

cairan pleura, dan fisura interlobaris yang terlihat jelas.

Karena TTN bersifat self-limited maka tidak ada terapi spesifik yang

diperlukan, walaupun ventilasi dan oksigenasi yang adekuat harus

dipertahankan.

d. Pneumonia

Saat ini pneumonia masih merupakan penyebab signifikan dari

morbiditas dan mortalitas pada neonatus kurang bulan dan cukup bulan.

Insidensi pneumonia di NICU mencapai 10% kasus. Sumber infeksi

pneumonia dapat masuk melalui jalur transplasenta, selama proses

persalinan, atau post natal. Patogen yang menjadi etiologi infeksi itu sendiri

sangat bervariasi meliputi virus, bakteri, dan fungi.

Page 29: Presentasi Kasus Neonatus

Kerentanan neonatus terhadap pneumonia berkaitan dengan imaturitas

mukosiliar clearance, kecilnya ukuran jalan nafas, dan juga menurunnya

sistem pertahanan tubuh. Tindakan invasif seperti intubasi endotrakeal,

barotrauma, dan kerusakan hiperoksia pada traktus pernapasan dapat

meningkatkan kerentanan terhadap pneumonia. Penyebab nosokomial juga

berperan penting.

Gambaran penurunan compliance paru, atelectasis, dan hipoksemia yang

ditemukan pada pneumonia seringkali tidak dapat dibedakan dengan

gambaran defisiensi surfaktan pada paru-paru neonatus kurang bulan.

Penemuan radiografik keduanya juga dapat identik, walaupun gambaran

bronkopneumonia dan efusi pleura lebih sering terjadi pada kasus

pneumonia bakterial dibandingkan pada RDS.

Tabel 5. Pembagian Etiologi Pneumonia pada Neonatus berdasarkan Sumber

Infeksi

e. Extrapulmonary Extravasation of Air (Pneumothorax, Pneumomediastinum,

Pulmonary Interstitial Emphysema)

Emfisema interstisial, pneumomediastinum, dan pneumotoraks berkaitan

erat. Terjadinya kebocoran udara keluar dari alveolus dimulai dari terjadinya

emfisema interstisial dimana terjadi ruptur alveoli, mengakibatkan udara

masuk ke ruang interstisial, dan pada akhirnya ke ruang perivaskular dan

peribronkial di mediastinum (pneumomediastinum). Udara dapat

membentuk bleb pada permukaan paru-paru yang dapat ruptur dan

menyebabkan masuknya udara ke ruang pleura (pneumotoraks).

Page 30: Presentasi Kasus Neonatus

Kebocoran udara terjadi pada 1-2% dari seluruh kelahiran hidup.

Walaupun begitu, hanya 0.05-0.07% yang menimbulkan gejala. Penggunaan

ventilasi mekanik dan CPAP merupakan faktor risiko penting yang

berhubungan dengan kebocoran udara pada penyakit paru-paru pada

neonatus.

Mengenali kebocoran udara sedini mungkin sangat penting dalam

menentukan efektivitas terapi. Terjadinya kebocoran udara dapat dicurigai

apabila terjadi perubahan kebutuhan atau status ventilasi, turunnya tekanan

darah, denyut jantung, frekuensi napas dan PO2 yang tiba-tiba.

Gambaran radiografi emfisema interstisial didefinisikan sebagai

gambaran salt-and-pepper dimana udara interstisial yang radiolusen

terperangkap dalam parenkim paru. Gambaran radiolusen di ruang pleura

yang menggambarkan pneumotoraks seringkali tidak terdeteksi pada foto

yang diambil dalam posisi supine, karena udara berada di bagian anterior

dada. Udara di ruang pleura dapat terlihat pada foto yang diambil pada

posisi dekubitus.

Gambar 8. Dari kiri ke kanan : Emfisema Interstisial, dan Pneumotoraks.

Page 31: Presentasi Kasus Neonatus

BAB III

PEMBAHASAN

Pasien dalam kasus ini, bayi yang baru dilahirkan kurang lebih 10-15

menit sebelumnya, dibawa ke IGD RSUD Soreang dengan keluhan tidak

menangis sejak lahir. Menurut bidan saat itu denyut jantung janin saat lahir (+)

namun kurang dari 100, nafas spontan (-), tonus otot (-). Saat dibawa os sudah

dikeringkan dengan kain, dan distimulasi untuk bernapas. Mekonium di rambut,

tali pusat, tidak terdeteksi. Berat badan lahir 2400 g.

Tiga poin yang perlu diperhatikan langsung untuk segera memutuskan

langkah resusitasi adalah : 1) Usia gestasi; 2) Ada-tidaknya pernafasan spontan

yang efektif; dan 3) Ada-tidaknya tonus otot yang baik. Walaupun saat itu usia

gestasi tidak dapat ditentukan secara pasti, karena hanya ada informasi

pengakuan dari keluarga dan bidan yang menyatakan os dilahirkan cukup

bulan, namun poin lainnya dapat dinilai secara langsung.

Penilaian usia gestasi yang paling baik (gold standar) sebenarnya adalah

menggunakan panduan hari pertama haid terkahir (HPHT) atau hasil USG pada

awal kehamilan. Namun, pada kasus dimana tidak terdapat data antenatal care

(ANC) yang cukup, atau HPHT tidak diketahui, maka penilaian usia gestasi

melalui pemeriksaan fisik menjadi penentu utama. Pemeriksaan fisik untuk

menentukan usia gestasi saat ini dilakukan dengan menilai New Ballard Score

yang terdiri dari tanda maturitas fisik dan neuromuskular. Pada kondisi dimana

penilaian diperlukan secara cepat, tanda maturitas fisik saja dapat dijadikan

panduan perkiraan usia gestasi. Tabel dari kiri ke kanan menunjukkan

perubahan maturitas fisik dari bayi premature hingga ke bayi postmatur.

Sayangnya, saat itu di IGD tidak dilakukan pemeriksaan fisik untuk menentukan

usia gestasi.

Page 32: Presentasi Kasus Neonatus

Hasil pemeriksaan langsung saat itu, tidak ada pernapasan spontan

ataupun usaha napas, tonus otot flaksid, sianosis perifer dan sentral (+). Hal

tersebut menunjukkan bahwa os harus mendapatkan tindakan resusitasi.

Tahapan awal resusitasi adalah stabilisasi dengan menghangatkan, memastikan

jalan nafas bersih jika diperlukan, mengeringkan, dan menstimulasi.

Tahapan resusitasi yang dilakukan saat itu adalah :

± 5 menit

pertama

• Os diletakkan di infant warmer, dan dilakukan suction

pada orofaring dan nasofaring. Stumulasi telapak kaki

bayi. (stabilisasi)

Tidak ada usaha napas, denyut jantung (-), suhu aksila

33.9 ºC

± 10 menit • Dilakukan Ventilasi tekanan positif, oksigen

supplemental per kanul nasal 2 L/menit, dan kompresi

dada

• Persiapan intubasi endotrakeal

± 10 menit • Denyut jantung neonatus (+) 144 x/menit, sianosis

sentral (-), sianosis perifer (+)

• Ventilasi tekanan positif dilanjutkan 40 x/menit

• Pernapasan spontan (+) 18x/menit, dalam. Sianosis

sentral dan perifer (-). Akral dingin (+), CRT >2

• IV line terpasang, NaCl 0,9% 10 cc/kg/jam

• Frekuensi denyut jantung 124 x/menit, Frekuensi

pernapasan 42 x/menit, sianosis (-), CRT <2, Suhu aksila

Page 33: Presentasi Kasus Neonatus

34.1 ºC

• Oksigen 1 L/menit tetap terpasang, intubasi tidak jadi

dilakukan. (Ukuran Endotracheal tube yang sesuai tidak

ada), Suction diulang

• Diperiksakan DR dan GDS

Banyak hal dalam tahapan resusitasi tersebut yang tidak sesuai dengan

tahapan resusitasi dalam guideline yang direkomendasikan, dimana kendala

situasi dan fasilitas menjadi halangan. Poin-poin yang tidak sesuai diantaranya

adalah :

Waktu resusitasi yang terlalu lama dan tidak efektif, dimana pada panduan

sebaiknya tahapan stabilisasi hanya memerlukan waktu 60 detik.

Suction dilakukan pada orofaring dan nasofaring menggunakan suction tube,

tidak dengan bulb syringe

Ventilasi dengan intubasi endotrakeal tidak dilakukan, walaupun saat itu

ventilasi dengan bag-mask kurang efektif (tidak menaikkan denyut jantung

setelah tindakan ventilasi >2 menit) dan pada pasien dilakukan kompresi

dada.

Kadar saturasi oksigen tidak bisa dipantau, sehingga penggunaan oksigen

yang dikombinasi dengan udara ruangan tidak bisa dilakukan. Digunakan

oksigen 100%.

Pada pasien sebenarnya sudah dapat diberikan epinefrin IV dengan dosis

dengan dosis 0.01-o.03 mg/kg atau melalui rute endotrakeal dengan dosis

lebih besar (0.05-0.10 mg/kg), namun karena IV line ataupun ETT tidak

terpasang hingga pernapasan spontan dan denyut jantung >100x/menit

maka epinefrin tidak diberikan

Os dalam keadaan hipotermia cukup lama (± 2,5 jam), menunjukkan usaha

menghangatkan yang kurang efektif.

Beberapa hal tersebut menyebabkan tindakan resusitasi kurang efektif, dan

waktu yang diperlukan untuk timbulnya pernapasan spontan sangat lambat.

Karena pasien dalam keadaan hipoksia-iskemia cukup lama, untu selanjutnya os

memerlukan pemantauan ketat terhadap terjadinya komplikasi asfiksia pada

organ lain.

Anamnesis tambahan kepada bidan yang menolong persalinan, antara

lain adalah proses persalinan normal, usia kehamilan cukup bulan, persalinan

lama disangkal, air ketuban jernih, ketuban pecah dini disangkal dan tidak ada

Page 34: Presentasi Kasus Neonatus

lilitan tali pusat, serta tidak ada riwayat perdarahan sebelum persalinan. Dari

anamnesis tersebut risiko terjadinya asfiksia intrapartum sangat kecil. Sehingga

penyebab terjadinya gawat napas pada pasien, yang menyebabkan os tidak

dapat bernapas spontan masih diragukan.

Diagnosis meconium aspiration syndrome (MAS) saat itu dipikirkan

karena os dibawa dalam keadaan sudah dikeringkan dan distimulasi, tanpa

dipastikan bahwa jalan napas os bersih. Oleh karena itu, terdapat kemungkinan

terjadinya aspirasi saat usaha gasping awal, jika ada. Walaupun dikatakan air

ketuban jernih, namun adanya mekonium belum dapat dipastikan. MAS dan

asfiksia juga merupakan penyebab terbanyak terjadinya distress pernapasan

pada neonatus cukup bulan. MAS itu sendiri didefinisikan dengan ditemukannya

mekonium dibawah pita suara, namun saat itu tidak dilakukan pemeriksaan

untuk melihat hal tersebut. Setelah os dapat bernapas spontan, os juga

menunjukkan gejala distress pernapasan berupa takipnu, dan retraksi sela iga

serta epigastrium (Downe’s score). Pada pemeriksaan fisik paru juga terdengar

rhonki basah kasar dan slem di kedua lapang paru, yang mengarah ke

terjadinya pneumonia akibat aspirasi.

Selain itu, os memiliki berat badan lahir rendah (BBLR), dimana keadaan

ini dapat memunculkan dua kemungkinan, rendahnya berat badan karena lahir

kurang bulan (preterm) atau karena intra uterine growth retardation (IUGR).

Karena saat itu usia gestasi pasien tidak dinilai melalui pemeriksaan fisik, dan

menurut pengakuan bidan os lahir cukup bulan, maka saat itu os dianggap

mengalami IUGR, dimana IUGR merupakan salah satu penanda adanya asfiksia

intra uterine. Kejadian asfiksia intrauterine juga dapat merangsang pasase

mekonium yang premature. Oleh karena itu, saat itu os didiagnosa dengan

Gawat napas e.c meconium aspiration syndrome dan BBLR, dan diagnosa

banding yaitu Gawat napas e.c asfiksia berat. Asfiksia berat masih dipikirkan

karena neonatus dengan asfiksia seringkali mengalami depresi napas dan gagal

menginisiasi proses pernapasan secara spontan. Kejadian hipoksia prenatal dan

perinatal, apapun penyebabnya, apabila cukup berat, dapat menyebabkan

depresis batang otak dan timbulnya apnea sekunder yang tidak merespon

stimulus sensori.

Dari data tambahan yang diperoleh melalui anamnesis langsung dengan

ibu os beberapa waktu setelahnya, diketahui bahwa usia gestasi os sulit

ditentukan karena ibu os tidak bisa menentukan HPHT. Dari data USG yang

dilakukan ± 10 hari sebelum persalinan, usia gestasi os dinyatakan 33 minggu,

Page 35: Presentasi Kasus Neonatus

sehingga saat persalinan,perkiraan usia gestasi os adalah 35 minggu, dimana

usia gestasi tersebut masuk dalam kategori kelahiran pre term. Selain itu, ibu

os juga mengalami perdarahan sebelum persalinan yang cukup banyak, dimana

perdarahan antepartum (perdarahan dari jalan lahir >22 minggu) merupakan

keadaan patologis. Perdarahan antepartum yang cukup banyak umumnya

berasal dari kelainan/gangguan plasenta. Dari hasil USG sebelumnya tidak

didapatkan kelainan letak plasenta (plasenta previa), namun kemungkinan

adanya kelainan plasenta lain seperti solusio plasenta masih dapat terjadi.

Keluhan nyeri/tegang terus menerus di perut disamarkan dengan kontraksi his.

Selain itu darah yang keluar juga berwarna kehitaman.

Adanya riwayat perdarahan antepartum, mengarahkan diagnosis kearah

asfiksia berat, yang terjadi akibat hipoksik-iskemik selama sebelum persalinan.

Fakta bahwa os lahir kurang bulan juga membuat diagnosis adanya Respiratory

distress syndrome (RDS)masih mungkin terjadi. Dimana tanda dan gejala

distress pernapasan yang terjadi setelahnya, dapat terjadi pada RDS maupun

MAS.

Hasil roentgen pasien dari RS Immanuel menunjukkan gambaran

bronkopneumonia dengan kecurigaan aspirasi. Diagnosa kerja setelah diketahui

adanya data-data tambahan menjadi Gawat napas e.c Asfiksia berat,

Pneumonia aspirasi, dan BBLR, dengan diagnosa banding yaitu Gawat napas e.c

meconium aspiration syndrome, atau respiratory distress syndrome.

Adanya tanda distress pernapasan dengan skor downe 5, sebenarnya

merupakan indikasi untuk pemeriksaan lebih lanjut seperti analisa gas darah,

pemantauan saturasi oksigen, PaO2, PaCO2, dan pemantauan komplikasi

asfiksia sebelumnya, sehingga os harus dirujuk ke fasilitas NICU.

Sebelum os dirujuk ke fasilitas NICU, os mendapatkan terapi sebagai

berikut : IVFD D5 10 gtt mikro/menit, Cefotaxime 2x125 mg IV, Mikacin 2x12.5

mg IV, Aminofilin loading 1 cc, dilanjutkan 3x5 mg 12 jam kemudian,

Dexamethasone 3x0.5 mg IV, dan Vitamin K 1 mg IM. Cairan dengan dekstrose

5% diindikasikan untuk mencegah neonatus dari keadaan hipoglikemia yang

dapat terjadi secara cepat. Rekmendasi pemberian glukosa sebenarnya adalah

4-6 mg/kg/menit. Sehingga pada pasien ini dibutuhkan 12.5 mg/menit. Kadar

glukosa darah harus dipertahankan dalam kadar 50-100 mg/dl. Antibiotik

diberikan dengan kecurigaan adanya aspirasi mekonium.

Aminofilin merupakan inhibitor dari reseptor adenosine A1-A2. Saat ini

penggunaannya pada keadaan distress pernapasan neonatus masih merupakan

Page 36: Presentasi Kasus Neonatus

perdebatan tersendiri. Aminofilin dianggap memiliki efek stimulasi pusat

respirasi dan aktivitas kemoreseptor perifer sehingga meningkatkan

kontraktilitas diafragma. Oleh karena itu, penggunaan aminofilin umumnya

untuk pengobatan atau pencegahan kasus-kasus depresi pusat napas, seperti

pada kasus apneu of prematurity. Penelitian juga menunjukkan pada

penggunaan aminofilin, fungsi GFR dapat dipertahankan lebih baik pada kasus

asfiksia. Pada kasus ini aminofilin digunakan karena adanya kecurigaan

depresis pusat pernapasan akibat asfiksia berat, dan juga sebagai pencegahan

terjadinya apneu of prematurity.

Pemberian dexamethasone sebagai antiinflamasi, digunakan untuk

mencegah terjadinya chronic lung disease atau bronchopulmonary dysplasia

akibat dari proses inflamasi, infeksi, dan juga akibat dari penggunaan ventilasi

serta oksigenasi bantuan.

Pada kasus ini sesungguhnya hal penting yang harus diingat adalah

pentingnya asuhan ante natal yang baik, sehingga risiko kehamilan tinggi dapat

ditangani di fasilitas yang tepat, sehingga mengurangi risiko terjadinya

kegawatan napas.

BAB IV

DAFTAR PUSTAKA

1. Kattwinkel J, Perlman JM, Aziz K, Colby C, Fairchild K, Gallagher J, Hazinski

MF, Halamek LP, Kumar P, Little G, McGowan JE, Nightengale B, Ramirez

MM, Ringer S, Simon WM, Weiner GM, Wyckoff M, Zaichkin J. Part 15:

neonatal resuscitation: 2010 American Heart Association Guidelines for

Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care.

Circulation. 2010;122(suppl 3): S909 –S919.

2. Perlman JM, Wyllie J, Kattwinkel J, Atkins DL, Chameides L, Goldsmith JP,

Guinsburg R, Hazinski MF, Morley C, Richmond S, Simon WM, Singhal N,

Szyld E, Tamura M, Velaphi S; on behalf of the Neonatal Resuscitation

Chapter Collaborators. Part 11: neonatal resuscitation: 2010 International

Consensus on Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency

Cardiovascular Care Science With Treatment Recommendations. Circulation.

2010;122(suppl 2):S516 –S538.

3. Bissinger, Robin L. Neonatal Resuscitation. Diunduh dari :

http://emedicine.medscape.com/article/977002-overview. (4 Juli 2011)

Page 37: Presentasi Kasus Neonatus

4. MacDonald., Mullet M., Avery’s Neonatology : Pathophysiology &

Management of the Newborn 6th ed. Lippincott Williams & Wilkin. E-book.

5. Behrman, Kliegman, Jenson. Nelson Textbook of Pediatric 17th ed. Saunders.

E-book.

6. Clinical Assessment of Respiratory Distress

7. Surg Cdr SS Mathai, Col U Raju, Col M Kanitkar. Management of

Respiratory Distress in the Newborn. MJAFI 2007; 63 : 269-272.

8. Bhat, B Vishnu. Respiratory Distress in Newborn. JIPMER Pondicherry.

9. Liabunya, Effie G. Neonatal Asphyxia and it’s Management. Malawi Journal

of Science and Technology, Vol.3 1996

10.Kaplan M. Steroid therapy and the treatment of bronchopulmonary

dysplasia: an error in neonatology, or an unavoidable therapeutic

intervention? J Perinatol. 2004;24:127-128.

11.Tang HI, Lu CD, Yao LC,Xu-sheng Jiang Y, Wang X.Aminophylline protects

the renal function in neonates with perinatal asphyxia. Chinese Journal of

Healthy Birth & Child Care 2009; 2: 13-7.