Presentasi Kasus Dbd
-
Upload
barbie-nurdilia-r -
Category
Documents
-
view
255 -
download
2
description
Transcript of Presentasi Kasus Dbd
PRESENTASI KASUS
DENGUE HAEMORRHAGIC FEVER
Disusun oleh :
Octi Guchiani G1A212098
Putri Hayuningtyas G4A014029
Pradani Eva A. G4A014030
Pembimbing :
dr. Yunanto Dwi Nugroho, S.Pd
SMF ILMU PENYAKIT DALAM
RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARDJO
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2014
1
LEMBAR PENGESAHAN
PRESENTASI KASUS:
DENGUE HAEMORRHAGIC FEVER
Pada tanggal, Oktober 2014
Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mengikuti
program profesi dokter di Bagian Ilmu Penyakit Dalam
RSUD Prof. Dr. Margono Soekardjo Purwokerto
Disusun oleh :
Octi Guchiani G1A212098
Putri Hayuningtyas G4A014029
Pradani Eva A. G4A014030
Mengetahui,
Pembimbing
dr. Yunanto Dwi Nugroho, S.Pd
2
BAB I
PENDAHULUAN
Demam berdarah dengue/DBD (dengue haemorrhagic fever/DHF) adalah
penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi klinis
demam, nyeri otot, dan atau nyeri sendi yang disertai leucopenia, ruam,
limfadenopati, trombositopenia, dan diathesis hemmoragik.
Demam berdarah dengue tersebar di wilayah Asia Tenggara, Pasifik Barat,
dan Karibia. Indonesia merupakan wilayah endemis dengan sebaran di seluruh
wilayah tanah air. Insiden DBD di Indonesia antara 6-15 per 100.000 penduduk
(1989 hingga 1995), dan pernah meningkat tajam saat kejadian luar biasa hingga
35 per 100.000 penduduk pada tahun 1998, sedangkan mortalitas DBD cenderung
menurun hingga mencapai 2% pada tahun 1999.
Penularan infeksi virus dengue terjadi melalui vector nyamuk genus Aedes
(terutama A. aegypti dan A. albopictus). Peningkatan kasus setiap tahunnya
berkaitan dengan sanitasi lingkungan dengan tersedianya tempat perindukan bagi
nyamuk betina yaitu bejana yang berisi air jernih ( bak mandi, kaleng bekas, dan
tempat penampungan air lainnya).
Beberapa faktor diketahui berkaitan dengan peningkatan transmisi virus
dengue yaitu vector: perkembangan biakan vector, kebiasaan menggigit,
kepadatan vector di lingkungan, transportasi vector dari suatu tempat ke tempat
lain; pejamu: terdapatnya penderita di lingkungan/keluarga, mobilisasi dan
paparan terhadap nyamuk, usia dan jenis kelamin; lingkungan: curah hujan, suhu,
sanitasi, dan kepadatan penduduk.
Pada laporan kasus ini akan dibahas keseluruhan mengenai demam berdarah
dengue.
3
BAB II
STATUS PASIEN
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Nn. D
Umur : 25 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Kembaran 07/01 Kembaran-Kembaran
Tanggal Masuk : 13 September 2014
Tanggal Pemeriksaan : 14 September 2014
B. ANAMNESIS
1. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
a. Keluhan Utama : mimisan
b. Onset : dirasakan sejak tadi pagi
c. Keluhan tambahan : demam, lemas, dan keringat dingin, bercak
merh di kedua tangan dan kaki
Pasien datang ke IGD RSMS pukul 10.00 diantar oleh
ibunya dengan keluhan mimisan, keluhan dirasakan sejak tadi pagi,
sudah berhenti tetapi sekarang mimisan lagi. Ibu pasien
mengatakan bahwa 4 hari yang lalu pasien demam tinggi tetapi
sekarang sudah tidak lagi, namun sekarang pasien terlihat lemas
dan keluar keringat dingin.
Panas yang dialami selama 4 hari yang lalu sifatnya terus
menerus dan hanya turun sebentar setelah minum obat turun panas.
Selain mimisan, ibu pasien juga mengatakan terdapat bintik-bintik
merah di kedua tangan dan kaki pasien namun tidak terasa gatal.
Selama sakit pasien tidak menggigil, tidak mengeluh sesak nafas,
tidak mengeluh gusi berdarah dan tidak ada BAB kehitaman.
Buang air kecil terakhir tadi malam sebelum tidur.
4
2. RIWAYAT PENYAKIT DAHULU
a. Riwayat keluhan serupa : disangkal
b. Riwayat penyakit darah tinggi :disangkal
c. Riwayat penyakit jantung : disangkal
d. Riwayat penyakit gula : disangkal
e. Riwayat penyakit asma : disangkal
f. Riwayat penyakit ginjal : disangkal
g. Riwayat alergi : disangkal
3. RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA
a. Riwayat keluhan serupa : disangkal
b. Riwayat penyakit tiroid : disangkal
c. Riwayat penyakit darah tinggi : disangkal
d. Riwayat penyakit jantung : disangkal
e. Riwayat penyakit gula : disangkal
f. Riwayat penyakit asma : disangkal
g. Riwayat penyakit ginjal : disangkal
h. Riwayat alergi : disangkal
4. RIWAYAT SOSIAL EKONOMI
a. Community : Pasien tinggal di daerah pedesaan.
Hubungan pasien dengan keluarga dan masyarakat
sekitar lingkungan rumahnya baik. Ada 2 orang
tetangga rumahnya yang sedang dirawat di RS
karena demam berdarah.
b. Home : Pasien tinggal bersama kedua orang tuanya.
c. Personal Habbit : pasien memiliki kebiasaan tidur siang hari setiap
harinya setelah bekerja.
d. Occupation : pasien bekerja menjadi SPG di suatu pertokoan
tertentu.
e. Drug and diet : Pasien tidak sedang mengkonsumsi obat apapun.
5
Pasien makan sehari 2-3 kali dengan porsi yang
cukup.
C. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : tampak lemas
Kesadaran : delirium
Vital Sign
Tekanan Darah:80/60 mmHg
Nadi : 120 x/menit isi/teraba cepat dan lemah
RR : 24 x/menit
Suhu : 36,70C
Status Generalis
Kepala : Venektasi Temporal -/-
Mata : Reflek cahaya (+/+), isokor Ø 3 mm
Conjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik,
eksofthalmus (-)
Hidung : Tidak terdapat nafas cuping hidung dan discharge,
epistaksis (+/+)
Telinga : Tidak terdapat discharge, hiperemis ataupun deformitas
Tidak terdapat nyeri tekan
Mulut : lidah kotor (-), tepi hiperemis (-), tanda perdarahan gusi -
Leher : pembesaran KGB (-)
Status Lokalis
Pulmo
Inspeksi : Hemithorax dextra = sinistra
Palpasi : Vocal Fremitus dextra = sinistra
Perkusi : Sonor pada seluruh lapang paru
Batas paru hepar di SIC V LMCD
Auscultasi : SD Vesiculer +/+, Ronki basah kasar -/-, ronki basah halus
-/-, wheezing -/-
6
Cor
Inspeksi : ictus cordis tak tampak
Palpasi : ictus cordis teraba di SIC V LMCS
Perkusi : Redup
Batas Jantung: Kanan atas : SIC II LPSD
Kiri atas : SIC II LPSS
Kanan bawah: SIC IV LPSD
Kiri bawah : SIC V LMCS
Auscultasi : T1>T2, M1>M2, A1<A2, P1<P2. Irama Reguler. tidak terdapat
Gallop, Murmur (-).
Abdomen
Inspeksi : Datar, supel
Auskultasi : Bising Usus (+) normal
Perkusi : timpani, pekak pada region hipokondriaca dextra.
Palpasi : hepar teraba 2 jari BACD, tepi tajam, konsistensi kenyal,
permukaan rata, nyeri tekan (-), lien tidak teraba
Ekstrimitas : ptekiae (+) pada kedua lengan dan tungkai, akral dingin
(+/+) superior inferior.
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium
Tanggal 13 September 2014
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
Darah Lengkap
Hb 13,8 gr/dL 14-18
Leukosit 2000 /ul 4800-10800
Hematokrit 50 % 42-52
Eritrosit 4,3 106/ul 4,7-6,1
Trombosit 50.000 /ul 150rb-450rb
MCV 79,1 fL 79-99
MCH 30,0 pg 27-31
MCHC 37,9 % 33-37
7
RDW 16,3 % 11,5-14,5
MPV 9,5 fL 7,2-11,1
Hitung Jenis
Basofil 0,5 % 0-1
Eosinofil 1,6 % 2-4
Batang 0,2 % 2-5
Segmen 62,9 % 40-70
Limfosit 23,7 % 25-40
Monosit 11,1 % 2-8
IgM anti
dengue
+
IgG anti dengue +
E. DIAGNOSA
Dengue hemorrhagic fever (DHF)
F. TATALAKSANA
O2 4 lpm nasal kanul
IVFD RL 20 Tpm
Inj. Ceftriaxon 2x1gr (iv)
8
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Penyakit Demam Berdarah atau Dengue Hemorrhagic Fever (DHF)
ialah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan melalui
gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Kedua jenis nyamuk ini
terdapat hampir di seluruh pelosok Indonesia, kecuali di tempat-tempat
ketinggian lebih dari 1000 meter di atas permukaan air laut (Samsi, 2000).
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) sering salah didiagnosis
dengan penyakit lain seperti flu atau tipus. Hal ini disebabkan karena infeksi
virus dengue yang menyebabkan DBD bisa bersifat asimtomatik atau tidak
jelas gejalanya. Masalah bisa bertambah karena virus tersebut dapat masuk
bersamaan dengan infeksi penyakit lain seperti flu atau tipus. Oleh karena itu
diperlukan kejelian pemahaman tentang perjalanan penyakit infeksi virus
dengue, patofisiologi, dan ketajaman pengamatan klinis. Dengan pemeriksaan
klinis yang baik dan lengkap, diagnosis DBD serta pemeriksaan penunjang
(laboratorium) dapat membantu terutama bila gejala klinis kurang memadai
(Samsi, 2000).
B. ETIOLOGI
Demam Berdarah Dengue (DBD) disebabkan oleh virus dengue yang
termasuk kelompok B Arthropod Borne Virus (Arbovirus) dan sekarang
dikenal sebagai genus Flavivirus, famili Flaviviridae, yang memiliki 4 jenis
serotipe yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4. Infeksi oleh salah satu
serotipe akan menimbulkan antibodi terhadap serotipe yang bersangkutan,
sedangkan antibodi yang terbentuk terhadap serotipe yang lain sangat kurang,
sehingga tidak dapat memberikan perlindungan yang memadai terhadap
serotipe lain tersebut. (FKUI, 1985).
9
C. EPIDEMIOLOGI
Secara epidemiologi dikenal 2 bentuk dengue yaitu (WHO, 2005):
1. Bentuk klasik, dengan gejala panas 5 hari, disertai sakit kepala,
nyeri otot, sendi dan tulang. Penurunan jumlah thrombosit dan
ruam-ruam banyak dijumpai kasusnya di negara-negara kawasan
Asia tenggara (Indonesia, Filipina, Malaysia, Vietnam), secara
endemik.
2. Bentuk epidemik, dikenal dengan nama ”Dengue hemorrhagic
fever” (DHF). Di Indonesia penyakit ini dikenal dengan sebutan
penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) dengan gejala demam
dengue disertai dengan pembesaran hati dan tanda-tanda
perdarahan. Epidemik DBD dapat terjadi secara berulang-ulang.
Sejak kasus DBD pertama kali ditemukan di Surabaya pada tahun
1968 (epidemi terjadi pertama kali di Batavia 1779), jumlah kasus
DBD cenderung meningkat. Angka insiden DBD di Indonesia terus
meningkat setiap 5-10 tahun.
Menurut World Health Organization, demam berdarah dengue dapat
dilihat berdasarkan karakteristik epidemiologi, antara lain (WHO, 2005):
1. Penyebab Penyakit (agent)
Virus dengue merupakan bagian famili Flaviviridae.
Keempat serotipe virus dengue yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan
DEN-4 dapat dibedakan dengan metode serologi. Infeksi pada
manusia oleh salah satu serotipe menghasilkan imunitas sepanjang
hidup terhadap infeksi ulang oleh serotipe yang sama, tetapi hanya
menjadi pelindung sementara dan parsial terhadap serotipe yang
lain (WHO, 2005).
Virus-virus dengue dapat menunjukkan banyak karakteristik
yang sama dengan flavivirus lain, mempunyai genom RNA rantai
tunggal yang dikelilingi oleh nukloekapsid ikosahendral dan
terbungkus oleh selaput oleh selaput lipid. Virionnya mempunyai
diameter kira-kira 50 nm. Genom flavvirus mempunyai panjang
kira-kira 11 kb (kilobases), dan urutan genom lengkap dikenal
10
untuk mengisolasi keempat serotipe, mengkode nukleokapsid atau
protein inti (C), protein yang berkaitan dengan membran (M), dan
protein pembungkus (E) dan tujuh gen protein (NS). Domain-
domain bertanggung jawab untuk netralisasi, fusi, dan interaksi
dengan reseptor virus berhubungan denagn protein pembungkus
(WHO, 2005).
2. Vektor
Aedes aegypti adalah salah satu vektor nyamuk yang paling
efisien untuk arbovirus, karena nyamuk ini sangat antropofilik,
hidup dekat manusia dan sering hidup di dalam rumah. Wabah
dengue juga telah disertai dengan Aedes albopictus, Aedes
polynesiensis, dan banyak spesies kompleks Aedes scutellaris.
Setiap spesies ini mempunyai distribusi geografisnya masing-
masing. Namun, mereka adalah vektor epidemik yang kurang
efisien dibanding Aedes aegypti. Sementara penularan vertikal
(kemungkinan transovarian) virus dengue telah dibuktikan di
laboratorium dan di lapangan, signifikansi penularan ini untuk
pemeliharaan virus belum dapat ditegakkan. Faktor penyulit
pemusnahan vektor adalah bahwa telur Aedes aegypti dapat
bertahan dalam waktu lama terhadap desikasi (pengawetan dan
pengeringan), kadang selama lebih dari satu tahun (WHO, 2005).
D. FAKTOR RESIKO
Demam Berdarah Dengue (DBD) di Indonesia pertama kali dicurigai
berjangkit di Surabaya pada tahun 1968, tetapi kepastian virologik baru
diperoleh pada tahun 1970. Demam Berdarah Dengue (DBD) pada orang
dewasa dilaporkan pertama kali oleh Swandana (1970) yang meningkat dan
menyebar secara drastis ke seluruh DATI I di Indonesia (Direktorat Jendral
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan
RI, 2007).
11
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi peningkatan dan penyebaran
kasus demam berdarah dengue, yaitu (Direktorat Jendral Pengendalian
Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan RI, 2007):
1. Pertumbuhan penduduk yang tinggi
2. Urbanisasi yang tidak terencana dan tidak terkendali
3. Tidak adanya kontrol vektor nyamuk yang efektif di daerah
endemis
4. Sanitasi lingkungan yang kurang baik
5. Banyak genangan air sekitar lingkungan
6. Sirkulasi udara jelek
7. Menumpuknya pakaian basah atau kotor di tempat yang tidak
tersinari matahari (belakang pintu)
8. Peningkatan sarana transportasi
Morbiditas dan mortalitas infeksi virus dengue dipengaruhi
beberapa vektor antara lain status imunitas penjamu, kepadatan
vektor nyamuk, transmisi virus dengue, keganasan (virulensi) virus
dengue, dan kondisi geografis setempat. Pola berjangkit virus
dengue dipengaruhi oleh iklim dan kelembaban udara. Pada suhu
yang panas (28-32°C) dengan kelembaban yang tinggi, nyamuk
aedes akan tetap bertahan hidup untuk jangka waktu lama. Di
Indonesia, karena suhu udara dan kelembaban di setiap tempat
tidak sama, maka pola waktu terjadinya penyakit agak berbeda
untuk setiap tempat.
12
E. KLASIFIKASI PENYAKIT INFEKSI VIRUS DENGUE
Derajat Gambaran klinis Temuan
Laboratorium
I Demam, gejala-gejala konstitusional,
tes tourniquet positif
Hemokonsentrasi,
trombositopenia
II Demam, gejala-gejala konstitusional,
tes tourniquet positif, ada perdarahan
spontan (misalnya kulit, gusi, traktus
gastrointestinal), mimisan
Hemokonsentrasi,
trombositopenia
III Demam, gejala-gejala konstitusional,
tes tourniquet positif, ada perdarahan
spontan (misalnya kulit, gusi, traktus
gastrointestinal), mimisan, kegagalan
sirkulasi, gelisah, mulai mengalami
tanda syok yang ditandai dengan
penurunan kesadaran, tangan dan kaki
dingin, nadi teraba cepat dan lemah,
tekanan nadi masih terukur walaupun
kecil.
Hemokonsentrasi,
trombositopenia
IV Demam, gejala-gejala konstitusional,
tes tourniquet positif, ada perdarahan
spontan (misalnya kulit, gusi, traktus
gastrointestinal), syok nyata yang
ditandai dengan penurunan kesadaran
sampai koma, tangan dan kaki dingin
dan pucat, nadi sangat lemah sampai
tidak teraba, tekanan nadi tidak dapat
terukur.
Hemokonsentrasi,
trombositopenia
13
F. DERAJAT PENYAKIT DHF
Derajat penyakit DBD diklasifikasikan dalam 4 derajat (pada setiap derajat
sudah ditemukan trombositopenia dan hemokonsentrasi)
Derajat I Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi
perdarahan ialah uji bendung.
Derajat II Seperti derajat I, disertai perdarahan spontan di kulit dan atau
perdarahan lain.
Derajat III Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lambat,
tekanan nadi menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi,
sianosis di sekitar mulut, kulit dingin dan lembap dan anak
tampak gelisah.
Derajat IV Syok berat (profound shock), nadi tidak dapat diraba dan
tekanan darah tidak terukur.
(www.ichrc.org, 2013)
G. PENEGAKKAN DIAGNOSIS
a. Klinis - Gejala klinis berikut harus ada, yaitu:
1) Demam tinggi mendadak tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus
menerus selama 2-7 hari
2) Terdapat manifestasi perdarahan ditandai dengan:
a. uji bendung positif
b. petekie, ekimosis, purpura
c. perdarahan mukosa, epistaksis, perdarahan gusi
d. hematemesis dan atau melena
3) Pembesaran hati
4) Syok, ditandai nadi cepat dan lemah sampai tidak teraba, penyempitan
tekanan nadi ( 20 mmHg), hipotensi sampai tidak terukur, kaki dan
tangan dingin, kulit lembab, capillary refill time memanjang (>2 detik)
dan pasien tampak gelisah.
b. Laboratorium
1) Trombositopenia (100 000/μl atau kurang)
14
2) Adanya kebocoran plasma karena peningkatan permeabilitas kapiler,
dengan manifestasi sebagai berikut:
a. Peningkatan hematokrit ≥ 20% dari nilai standar
b. Penurunan hematokrit ≥ 20%, setelah mendapat terapi cairan
c. Efusi pleura/perikardial, asites, hipoproteinemia.
Dua kriteria klinis pertama ditambah satu dari kriteria laboratorium (atau
hanya peningkatan hematokrit) cukup untuk menegakkan Diagnosis Kerja DBD
(www.ichrc.org, 2013).
H. PEMERIKSAAN LABORATORIUM DHF
Hemokonsentrasi banyak ditemukan pada anak-anak. Pada
pemeriksaan laboratorium darah ditemukan jumlah leukosit antara 5000-
10.000 sel/µl dengan beberapa kasus menunjukan leukositosis. Hasil
laboratorium paling khas adalah trombositopenia. Tes tourniquet menunjukan
hasil positif dan waktu perdarahan memanjang. Waktu protrombin dan waktu
tromboplastin parsial biasanya normal. Penurunan factor pembekuan V, VII,
IX, X mungkin ditemukan. Pemeriksaan sumsum tulang mungkin ditemukan
penghentian maturasi megakariosit. Pemeriksaan cairan serebrospinal
biasanya normal. Pemeriksaan laboratorium yang abnormal biasanya
ditemukan keadaan hiponatremia, asidosis, kadar nitrogen urea darah
meningkat, kadar glutamat oksaloasetat transaminase serum meningkat,
hiperbilirubinemia ringan, dan hipoproteinemia. Pada pemeriksaan
elektrokardiogram menunjukan abnormalitas miokardial difus. Beberapa
pasien mengalami tanda radiologic bronkopneumonia dengan menunjukan
adanya efusi pleural, asites, dan penebalan dinding kantung empedu
(Isselbacher, 2008).
I. PATOGENESIS
Patogenesis DBD dan sindroma syok dengue (SSD) masih merupakan
masalah yang kontroversial karena sejauh ini belum ada teori yang dapat
menjelaskan secara tuntas patogenesis DBD, namun sesuai perubahan
patofisiologi utama yang terjadi yaitu peningkatan permeabilitas vaskuler dan
15
hemostasis yang abnormal. Permeabilitas vaskuler yang meningkat
mengakibatkan kebocoran plasma, hipovolemi dan syok. Kebocoran plasma
dapat menyebabkan asites. Gangguan homeostasis dapat menimbulkan
vaskulopati, trombositopenia, dan koagulopati, sehingga memunculkan
menifestasi perdarahan seperti petekie, ekimosis, perdarahan gusi, epistaksis,
hematemesis dan melena (Shepherd, 2007).
Secara garis besar ada dua teori yang banyak dianut untuk
menjelaskan perubahan patogenesis pada DBD dan SSD yaitu teori infeksi
primer/teori virulensi dan teori infeksi sekunder (teori secondary
heterologous infection) atau teori infection enhancing antibody (Soegeng,
2008; Kumar dkk, 2005).
Teori pertama mengatakan bahwa virus dengue seperti juga virus
binatang lain dapat mengalami perubahan genetik akibat tekanan sewaktu
virus mengadakan replikasi baik pada tubuh manusia maupun pada tubuh
nyamuk. Ekspresi fenotipik dari perubahan genetik dalam genom virus dapat
menyebabkan peningkatan replikasai virus dan viremia, peningkatan virulensi
dan mempunyai potensi untuk menimbulkan wabah. Selain itu beberapa
strain virus mempunai kemampuan untuk menimbulkan wabah (Soegeng,
2008).
Teori tersebut dibuktikan oleh para peneliti di bidang virus yang
mencoba memeriksa sekuens protein virus. Penelitian secara molekular
biologi ini mendapatkan hal yang menarik. Pada saat sebelum KLB (kejadian
luar biasa), selama KLB dan setelah reda KLB ternyata sekuens protein
tersebut berbeda (Soegeng, 2008).
Teori kedua menyebutkan bahwa apabila seseorang mendapatkan
infeksi primer dengan satu jenis virus, akan terjadi proses kekebalan terhadap
infeksi jenis virus tersebut untuk jangka waktu yang lama tetapi jika orang
tersebut mendapat infeksi sekunder dengan jenis serotipe virus yang lain,
maka terjadi infeksi yang berat (Soegeng, 2008; Suhendro dkk, 2007).
Dihipotesiskan juga mengenai antibody dependent enhancement
(ADE), suatu proses yang akan meningkatkan infeksi dan replikasi virus
dengue di dalam sel mononuklear. Sebagai tanggapan terhadap infeksi
16
tersebut, terjadi sekresi mediator vasoaktif yang kemudian menyebabkan
peningkatan permeabilitas pembuluh darah, sehingga mengakibatkan keadaan
hipovolemia dan syok (Suhendro dkk, 2007).
Hipotesis yang banyak dianut adalah infeksi sekunder virus dengue
heterolog (the secondary heterologous infection) dan setelahnya virulensi
virus. Infeksi sekunder virus dengue heterolog dimaksud diperkirakan jika
terjadi dalam rentang waktu 5 atau 6 bulan hingga 5 tahun sejak infeksi
primer (Soegeng, 2008; Suhendro dkk, 2007).
Bukti – bukti yang mendukung hipotesis ini antara lain,
menghilangnya virus dengue dengan cepat baik dari darah maupun jaringan
tubuh, kadar IgG yang tinggi sejak permulaan sakit, serta penurunan
komplemen serum selama fase renjatan (Soegeng, 2008).
Pada infeksi sekunder heterolog, virus berperan sebagai super antigen
setelah difagosit oleh manosit atau makrofag, membentuk Ab non-netralising
serotipe yang berperan cross-reaktif serta kompleks Ag-Ab yang
mengaktifkan sistem komplemen (terutama C3a dan C5a) dan histamin
(Soegeng, 2008).
Reaksi sekunder setelah peningkatan replikasi virus intra sel adalah
aktivasi sistem komplemen (C3 dan C5), degranulasi sel mast dan aktivasi
sistem kinin (Soegeng, 2008).
Patogenesis terjadinya syok berdasarkan hipotesis the secondary
heterologous infection dapat dirumuskan oleh Suvatte, tahun 1977. Sebagai
akibat infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang berlainan pada seseorang
pasien, respons limfosit T memori akan mengakibatkan proliferasi dan
diferensiasi limfosit dengan menghasilkan titer tinggi antibodi IgG
antidengue. Disamping itu, replikasi dapat juga terjadi dalam plasmosit. Hal
ini akan mengakibatkan terbentuknya kompleks antigen-antibodi yang
selanjutnya akan mengakibatkan aktivasi sistem komplemen yang dapat
menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah sehingga
plasma keluar. Pada pasien dengan syok berat, volume plasma dapat
berkurang sampai lebih dari 30% dan berlangsung selama 24-48 jam.
Kebocoran plasma dibuktikan dengan adanya peningkatan hematokrit dan
17
penurunan natrium. Akibat pindahnya plasma ke rongga tubuh seperti pleura
dan cavum abdominal dapat menimbulkan efusi pleura dan asites. Syok yang
tidak ditanggulangi secara adekuat, akan menyebabkan asidosis dan anoksia,
yang dapat berakhir fatal. Oleh karena itu, pengobatan syok sangat penting
guna mencegah kematian. Kedua hipotesis tersebut didukung oleh data
epidemiologis dan laboratoris (Soegeng, 2008).
Sebagai respon terhadap infeksi virus dengue, kompleks antigen-
antibodi selain mengaktivasi sistem komplemen, juga menyebabkan agregasi
trombosit dan mengaktivasi sistem koagulasi melalui kerusakan sel endotel
pembuluh darah, akhirnya dapat mengakibatkan perdarahan. Agregasi
trombosit terjadi sebagai akibat dari perlekatan kompleks antigen-antibodi
pada membran trombosit mengakibatkan pengeluaran ADP (adenosin
diphosphat), sehingga trombosit melekat satu sama lain. Hal ini akan
menyebabkan trombosit dihancurkan oleh RES (reticulo endhothelial system)
sehingga terjadi trombositopenia. (Suhendro dkk, 2007). Agregasi trombosit
ini akan menyebabkan penglepasan platelet faktor III mengakibatkan
terjadinya koagulasi intravaskular diseminata (KID), sehingga terjadi
penurunanfaktor pembekuan yang ditandai dengan peningkatan FDP (fibrin
degradation product). Agregasi trombosit ini juga mengakibatkan gangguan
fungsi trombosit, sehingga walaupun jumlah trombosit masih cukup banyak,
tidak berfungsi baik. Di sisi lain, aktivasi koagulasi akan menyebabkan
aktivasi faktor Hageman akibatnya terjadi aktivasi faktor Hageman akibatnya
terjadi aktivasi sistem kinin sehingga memacu peningkatan permeabilitas
kapiler yang dapat mempercapat terjadinya syok. Jadi, perdarahan masif pada
DBD diakibatkan oleh trombositopenia, penurunan faktor pembekuan (akibat
KID), kelainan fungsi trombosit, dan kerusakan dinding endotel kapiler.
Akhirnya, perdarahan akan memperberat shock yang terjadi (Soegeng, 2008;
Suhendro dkk, 2007; Dharma dkk, 2006).
18
J. PATOFISIOLOGI DHF
a. Sistim vaskuler
Patofisiologi primer DBD dan DSS adalah peningkatan akut
permeabilitas vaskuler yang mengarah ke kebocoran plasma ke dalam
ruang ekstravaskuler, sehingga menimbulkan hemokonsentrasi dan
penurunan tekanan darah. Volume plasma menurun lebih dari 20% pada
kasus-kasus berat, hal ini didukung penemuan post mortem meliputi efusi
pleura, hemokonsentrasi dan hipoproteinemi. Tidak terjadinya lesi
destruktif nyata pada vaskuler, menunjukkan bahwa perubahan sementara
fungsi vaskuler diakibatkan suatu mediator kerja singkat. Jika penderita
sudah stabil dan mulai sembuh, cairan ekstravasasi diabsorbsi dengan
cepat, menimbulkan penurunan hematokrit. Perubahan hemostasis pada
DBD dan DSS melibatkan 3 faktor: perubahan vaskuler, trombositopeni
dan kelainan koagulasi. Hampir semua penderita DBD mengalami
peningkatan fragilitas vaskuler dan trombositopeni, dan banyak
diantaranya penderita menunjukkan koagulogram yang abnormal
(Hadinegoro, 2002).
b. Sistim respon imun
Setelah virus dengue masuk dalam tubuh manusia, virus berkembang
biak dalam sel retikuloendotelial yang selanjutnya diikuiti dengan viremia
yang berlangsung 5-7 hari. Akibat infeksi virus ini muncul respon imun
baik humoral maupun selular, antara lain anti netralisasi, antihemaglutinin,
anti komplemen. Antibodi yang muncul pada umumnya adalah IgG dan
IgM, pada infeksi dengue primer antibodi mulai terbentuk, dan pada
infeksi sekunder kadar antibodi yang telah ada meningkat (booster effect)
(Hadinegoro, 2002).
19
Antibodi terhadap virus dengue dapat ditemukan di dalam darah
sekitar demam hari ke-5, meningkat pada minggu pertama sampai dengan
ketiga, dan menghilang setelah 60-90 hari. Kinetik kadar IgG berbeda
dengan kinetik kadar antibodi IgM, oleh karena itu kinetik antibodi IgG
harus dibedakan antara infeksi primer dan sekunder. Pada infeksi primer
antibodi IgG meningkat sekitar demam hari ke-14 sedang pada infeksi
sekunder antibodi IgG meningkat pada hari kedua. Oleh karena itu
diagnosa dini infeksi primer hanya dapat ditegakkan dengan mendeteksi
antibodi IgM setelah hari sakit kelima, diagnosis infeksi sekunder dapat
ditegakkan lebih dini dengan adanya peningkatan antibody IgG dan IgM
yang cepat (Hadinegoro, 2002).
K. PERUBAHAN PATOFISIOLOGI DBD
Patofisiologi DBD dan DSS seringkali mengalami perubahan, oleh
karena itu muncul banyak teori respon imun seperti berikut. Pada infeksi
pertama terjadi antibodi yang memiliki aktifitas netralisasi yang mengenali
protein E dan monoclonal antibodi terhadap NS1, Pre M dan NS3 dari virus
penyebab infeksi akibatnya terjadi lisis sel yang telah terinfeksi virus tersebut
melalui aktifitas netralisasi atau aktifasi komplemen. Akhirnya banyak virus
dilenyapkan dan penderita mengalami penyembuhan, selanjutnya terjadilah
kekebalan seumur hidup terhadap serotip virus yang sama tersebut, tetapi
apabila terjadi antibodi yang nonnetralisasi yang memiliki sifat memacu
replikasi virus dan keadaan penderita menjadi parah; hal ini terjadi apabila
20
epitop virus yang masuk tidak sesuai dengan antibodi yang tersedia di hospes.
Pada infeksi kedua yang dipicu oleh virus dengue dengan serotipe yang
berbeda terjadilah proses berikut : Virus dengue tersebut berperan sebagai
super antigen setelah difagosit oleh monosit atau makrofag. Makrofag ini
menampilkan Antigen Presenting Cell (APC). Antigen ini membawa muatan
polipeptida spesifik yang berasal dari Mayor Histocompatibility Complex
(MHC II). Antigen yang bermuatan peptida MHC II akan berikatan dengan
CD4+ (TH-1 dan TH-2) dengan perantaraan TCR ( T Cell Receptor ) sebagai
usaha tubuh untuk bereaksi terhadap infeksi tersebut, maka limfosit T akan
mengeluarkan substansi dari TH-1 yang berfungsi sebagai imuno modulator
yaitu INF gama, Il-2 dan CSF (Colony Stimulating Factor). Dimana IFN
gama akan merangsang makrofag untuk mengeluarkan IL-1 dan TNF alpha.
IL-1 sebagai mayor imunomodulator yang juga mempunyai efek pada
endothelial sel termasuk di dalamnya pembentukan prostaglandin dan
merangsang ekspresi intercellular adhesion molecule 1 (ICAM 1)
(Hadinegoro, 2002).
Sedangkan CSF (Colony Stimulating Factor) akan merangsang
neutrophil, oleh pengaruh ICAM 1 Neutrophil yang telah terangsang oleh
CSF akan mudah mengadakan adhesi. Neutrophil yang beradhesi dengan
endothel akan mengeluarkan lisosim yang akan menyebabkan dinding
endothel lisis dan akibatnya endothel terbuka. Neutrophil juga membawa
superoksid yang termasuk dalam radikal bebas yang akan mempengaruhi
oksigenasi pada mitochondria dan siklus GMPs. Akibatnya endothel menjadi
nekrosis, sehingga terjadi kerusakan endothel pembuluh darah yang
mengakibatkan terjadi gangguan vaskuler sehingga terjadi syok. Antigen
yang bermuatan MHC I akan diekspresikan dipermukaan virus sehingga
dikenali oleh limfosit T CD8+, limfosit T akan teraktivasi yang bersifat
sitolitik, sehingga semua sel mengandung virusdihancurkan dan juga
mensekresi IFN gama dan TNF alpha (Hadinegoro, 2002).
21
L. PENATALAKSANAAN
Pasien DBD apabila dijumpai demam tinggi mendadak terus menerus
selama <_ 7 hari tanpa sebab yang jelas, disertai tanda perdarahan spontan
(tersering perdarahan kulit danmukosa yaitu petekie atau *mimisan) disertai
penurunan jumlah trombosit <100.000/pl, danpeningkatan kadar hematokrit.
Pada saat pasien datang, berikan cairan kristaloid ringer laktat/NaCI 0,9 %
atau dekstrosa 5% dalam ringer laktat/NaCl 0,9 % 6-7 ml/kg BB/jam.
Monitor tanda vital dankadar hematokrit serta trombosit tiap 6 jam.
Selanjutnya evaluasi 12-24 jam
Apabila selama observasi keadaan umum membaik yaitu anak nampak
tenang, tekanan nadi kuat, tekanan darah stabil, diuresis cukup, dankadar Ht
cenderung turun minimal dalam 2 kali pemeriksaan berturut-turut, maka
tetesan dikurangi menjadi 5 ml/kgBB/jam. Apabila dalam observasi
selanjutnya tanda vital tetap stabil, tetesan dikurangi menjadi 3ml/kgBB/jam
danakhirnya cairan dihentikan setelah 24-48 jam.
Perlu diingat bahwa sepertiga kasus akan jatuh ke dalam syok. Maka
apabila keadaan klinis pasien tidak ada perbaikan, anak tampak gelisah, nafas
cepat (distres pernafasan), frekuensi, nadi meningkat, diuresis kurang,
tekanan nadi < 20 mmHg memburuk, disertai peningkatan Ht, maka tetesan
dinaikkan menjadi 10 ml/kgBB/jam, setelah 1 jam tidak ada perbaikan tetesan
dinaikkan menjadi 15 ml/kgBB/jam. Apabila terjadi distres pernafasan danHt
naik maka berikan cairan koloid 20-30 ml/kgBB/jam; tetapi apabila Ht turun
berarti terdapat perdarahan, berikan tranfusi darah segar 10 ml/kgBB/jam
(Suhendro dkk, 2009).
Pada dasarnya terapi DBD adalah bersifat suportif dan simtomatis.
Penatalaksanaan ditujukan untuk mengganti kehilangan cairan akibat
kebocoran plasma dan memberikan terapi substitusi komponen darah
bilamana diperlukan. Dalam pemberian terapi cairan, hal terpenting yang
perlu dilakukan adalah pemantauan baik secara klinis maupun laboratoris.
Proses kebocoran plasma dan terjadinya trombositopenia pada umumnya
terjadi antara hari ke 4 hingga 6 sejak demam berlangsung. Pada hari ke-7
proses kebocoran plasma akan berkurang dan cairan akan kembali dari ruang
22
interstitial ke intravaskular. Terapi cairan pada kondisi tersebut secara
bertahap dikurangi. Selain pemantauan untuk menilai apakah pemberian
cairan sudah cukup atau kurang pemantauan terhadap kemungkinan
terjadinya kelebihan cairan serta terjadinya efusi pleura ataupun asites yang
masif perlu selalu diwaspadai.
Terapi nonfarmakologis yang diberikan meliputi tirah baring (pada
trombositopenia yang berat) dan pemberian makanan dengan kandung-an gizi
yang cukup, lunak dan tidak mengandung zat atau bumbu yang mengiritasi
saluaran cerna. Sebagai terapi simptomatis, dapat diberikan antipiretik berupa
parasetamol, serta obat simptomatis untuk mengatasi keluhan dispepsia.
Pemberian aspirin ataupun obat antiinflamasi nonsteroid sebaiknya dihindari
karena berisiko terjadinya perdarahan pada saluran cerna bagaian atas
(lambung/duodenum). Protokol pemberian cairan sebagai komponen utama
penatalaksanaan DBD dewasa mengikuti 5 protokol, mengacu pada protokol
WHO. Protokol ini terbagi dalam 5 kategori, sebagai berikut : (Chen,
Herdiman, Sinto, 2009).
a) Penanganan tersangka DBD tanpa syok
Gambar 1. Guideline rawat inap suspek DBD tanpa syok
23
b) Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat
Gambar 2. Pemberian cairan pasa suspek DBD
24
c) Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hematokrit >20%
Gambar 3. Penatalaksanaan DBD dengan Ht >20%
25
d) Tatalaksana sindroma syok dengue pada dewasa
Gambar 4. Penatalaksanan syok dengue pada orang dewasa
26
M. KOMPLIKASI
1. Ensefalopati Dengue
Pada umumnya ensefalopati terjadi sebagai komplikasi syok yang
berkepanjangan dengan perdarahan, tetapi dapat juga terjadi pada DBD
yang tidak disertai syok. Gangguan metabolik seperti hipoksemia,
hiponatremia, atau perdarahan, dapat menjadi penyebab terjadinya
ensefalopati. Melihat ensefalopati DBD bersifat sementara, maka
kemungkinan dapat juga disebabkan oleh trombosis pembuluh darah otak
sementara sebagai akibat dari koagulasi intravaskular diseminata (KID).
2. Kelainan Ginjal
Gagal ginjal akut pada umumnya terjadi pada fase terminal, sebagai akibat
dari syok yang tidak teratasi dengan baik.
3. Edema Paru
Edema paru adalah komplikasi yang mungkin terjadi sebagai akibat
berlebihan pemberian cairan. Pemberian cairan pada hari ketiga sampai
kelima sesuai panduan yang diberikan, biasanya tidak akan menyebabkan
edema paru oleh karena perembesan plasma masih terjadi. Akan tetapi
apabila pada saat terjadi reabsorbsi plasma dari ruang ekstra, apabila
cairan masih diberikan (kesalahan terjadi bila hanya melihat penurunan
kadar hemoglobin dan hematokrit tanpa memperhatikan hari sakit) pasien
akan mengalami distres pernafasan, disertai sembab pada kelopak mata,
dan tampak adanya gambaran edema paru pada foto dada (Satari, 1999).
N. PENGENDALIAN VEKTOR
Tujuan utama pengendalian vektor adalah untuk menurunkan
kepadatan populasi nyamuk Aedes aegypti sampai serendah – rendahnya
sehingga kemampuan sebagai vektor akan menghilang. Menurut Soegijanto
S (2003) secara garis besar terdapat empat cara pengendalian vektor yakni
secara kimiawi, biologik, radiasi dan mekanik atau pengelolaan lingkungan
(Uda,2012).
Pengendalian secara kimiawi dengan menggunakan insektisida dapat
ditujukan terhadap nyamuk dewasa maupun larva. Insektisida untuk nyamuk
27
dewasa Aedes aegypti antara lain dari golongan organochlorine,
organophosphor, carbamate dan pyrethroid. Insektisida tersebut dapat
diaplikasikan dalam bentuk spray terhadap rumah-rumah penduduk.
Sedangkan insektisida untuk larva Aedes aegypti yaitu dari golongan
organophosphor (Temephos) dalam bentuk sand granules yang dilarutkan
dalam air di tempat perindukannya ( tindakan abatisasi) (Uda,2012).
Pengendalian scara radiasi dilakukan dengan bahan radioaktif dosis
tertentu terhadap nyamuk dewsa jantan sehingga menjadi mandul, meskipun
nantinya akan berkopulasi dengan nyamuk betina tetapi tidak akan
menghasilkan telur yang fertile (Uda,2012).
Pengendalian lingkungan dilakukan dengan cara mencegah nyamuk
kontak dengan manusia misalnya memasang kawat kasa pada lubang ventilasi
rumah serta menggalakkan gerakan 3 M yaitu menguras tempat-tempat
penampungan air dengan menyikat dinding bagian dalam paling sedikit
seminggu sekali, menutup rapat tempat penampungan air sehingga tidak
dapat diterobos oleh nyamuk dewasa, menanam atau menimbun dalam tanah
barang-barang bekas yang dapat menampung air hujan. Cara lain lagi yang
disebut autocidal ovitrap menggunakan suatu tabung silinder warna gelap
dengan diameter 10 cm dengan salah satu ujung tertutup rapat dan ujung
lainnya terbuka. Tabung tersebut diisi air tawar kemudian ditutup dengan
kasa nylon. Secara periodik air dalam tabung ditambah untuk mengganti
peguapan yang terjadi. Nyamuk yang bertelur disini dan telurnya menetas
menjadi larva dalam air tadi , maka akan menjadi nyamuk dewasa yang tetap
terperangkap di dalam tabung tadi (Uda, 2012).
28
BAB IV
PEMBAHASAN
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang
telah dilakukan, maka Nn. D (pasien) didiagnosa demam berdarah dengue grade
III.
Diagnosa DBD grade III berdasarkan anamnesis didapatkan gejala ,
mimisan, riwayat demam tinggi, lemas dan keluar keringat dingin. Panas yang
dialami selama 4 hari yang lalu sifatnya terus menerus dan hanya turun sebentar
setelah minum obat turun panas. Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran
menurun, TD 80/60 mmHg dimana tekanan darah pasien tersebut rendah, nadi
cepat dan lemah, pernafasan meningkat sedangkan suhu normal. Pada kedua
ekstrimitas (superior dan inferior) terdapat ptekiae dan akral dingin. Sedangkan
pada pemeriksaan penunjang (laboratorium) didapatkan trombositopenia.
Penatalaksanaan DBD Pada Kasus
Pasien ini terdiagnosis sebagai Demam Berdarah Derajat 3 dengan tanda-tanda
syok sehingga mendapat tatalaksana sebagai berikut:
a. Perlakukan hal ini sebagai gawat darurat. Berikan oksigen 1 L/menit
menggunakan kanul.
b. Berikan 20 ml/kg larutan kristaloid seperti Ringer Laktat/asetat secepatnya.
c. Jika tidak menunjukkan perbaikan klinis, ulangi pemberian kristaloid 20
ml/kgBB secepatnya (maksimal 30 menit) atau pertimbangkan pemberian
koloid 10-20ml/kgBB/jam maksimal 30 ml/kgBB/24 jam.
d. Jika tidak ada perbaikan klinis tetapi hematokrit dan hemoglobin menurun
pertimbangkan terjadinya perdarahan tersembunyi. Berikan transfusi
darah/komponen.
e. Jika terdapat perbaikan klinis (pengisian kapiler dan perfusi perifer mulai
membaik, tekanan nadi melebar), jumlah cairan dikurangi hingga 10
ml/kgBB/jam dalam 2-4 jam dan secara bertahap diturunkan tiap 4-6 jam
sesuai kondisi klinis dan laboratorium.
29
f. Dalam banyak kasus, cairan intravena dapat dihentikan setelah 36-48 jam.
Ingatlah banyak kematian terjadi karena pemberian cairan yang terlalu
banyak daripada pemberian yang terlalu sedikit (www.ichrc.org, 2013).
Jika sesuai kasus, kami sepakat untuk melakukan:
a) Airway - menjaga agar tidak ada obstruksi dengan posisi yang baik.
b) Breath – oksigenasi dengan dosis 1L/menit menggunakan kanul nasal.
c) Circulation – pemasangan IVD-RL dengan dosis 20ml/kgBB/jam dengan
“diguyur” sampai tanda-tanda syok hilang. Pemasangan kateter jika perlu.
d) Penggunaan antipiretik supposituria
e) Monitoring
K riteria memulangkan pasien DHF
a. Demam (-) selama 24 jam tanpa pemberian antipiretik
b. Kemajuan keadaan klinis (+)
c. Hb dan Ht stabil.
d. Trombosit > 50.000/mm3.
e. Tidak ada distres pernafasan akibat efusi pleura / asites.
f. Berkurangnya tanda-tanda syok.
g. Nafsu makan membaik
(Thomas,2003)
30
DAFTAR PUSTAKA
Depkes RI, 2009. Sistem Kesehatan Nasional. Jakarta.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2000. ”Kapita Selekta Kedokteran”. jilid 2. Media Aeculapius : Jakarta.
Hadinagoro SR. Tatalaksana Demam Dengue/Demam Berdarah dengue. Departemen Kesehatan Republik Indonesia Rektorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular Dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman. 1999
Hadinegoro, sri rejeki. 2002. Demam Berdarah Dengue Edisi 2. Jakarta: Fakultas Kedokteran UI
http://www.ichrc.org/622-demam-berdarah-dengue-diagnosis-dan-tatalaksana diakses tanggal 18 September 2013 pukul 20.00 WIB
Isselbacher, K.J. 2008. Harrison’s Principle of Internal Medicine 17 edition. United State: Mc Graw Hill Company.
Kalayanarooj, S. 2011. Clinical Manifestations and Management of Dengue/DHF/DSS. Trop Med and Health. Vol. 39: 83-87.
Satari HI. Demam Berdarah Dengue. Naskah Lengkap Pelatihan Bagi Dokter Spesialis Anak dan Dokter Spesialis Penyakit Dalam dalam Tatalaksana Kasus DBD. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Indonesia. Jakarta, 1999
Sherwood, L. 2011. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Jakarta: EGC.
Soegijanto, Soegeng. 2008. Demam Berdarah Dengue Edisi I. Surabaya : Airlangga University
Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak.1985. Buku Kuliah 2 Ilmu Kesehatan Anak. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Suhendro dkk.2006.Buku Ajar : Ilmu Penyakit Dalam.Jakarta : EGC.hal :1711-1713
Suhendro, dkk. 2007. Demam Berdarah Dengue dalam buku Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Badan Penerbit FK UI
Suhendro; Nainggolan, Leonard; Chen, Khie; Pohan’ Herdiman. T. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III edisi V. Jakarta Pusat: Interna Publishing. Hal 2773
31
Thomas Suroso, Hadinegoro SR, Wuryadi S dkk. 2003. Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Demam Dengue dan Demam Berdarah Dengue. Jakarta: Depkes RI.
Uda, Bagus Palgunadi dan Asih Rahayu. 2012. Aedes Aegypti Sebagai Vektor Penyakit Demam Berdarah Dengue. Surabaya : Universitas Wijaya Kusuma
WHO. 2011. Comprehensive Guidelines for Prevention and Control of Dengue and Dengue Haemorrhagic Fever. Geneva: WHO.
32