PRESENTASI KASUS

37
PRESENTASI KASUS ASMA DAN INFEKSI TUBERKULOSIS PADA KEHAMILAN Pembibing : dr. S. Chandra, Sp. OG I. IDENTITAS Nama : Ny. I Tgl Lahir : Bogor, 08 – 05 -1986 Usia : 27 tahun Alamat : Jl Kemang RT 003/ 010 Sukatani, Tapes – Depok Tgl masuk RS : 10 November 2013 pukul 18.00 Tgl pemeriksaan : 10 November 2013 pukul 18.00 Tgl keluar RS : 14 November 2013 Dokter yg merawat : dr.S.Chandra, Sp. OG II. ANAMNESIS (Autoanamnesis) Keluhan utama : - Riwayat perjalanan penyakit : Pasien G2P1A0 Hamil 38 minggu, datang ke RS. Sentra Medika dengan rujukan ingin melahirkan dengan operasi sesar karena riwayat asma dan TB paru. Mules (-), belum keluar darah ataupun lendir. Belum keluar air ketuban. Mual (-), muntah (-), sesak (+) , batuk (+) tanpa dahak. Riwayat BAK : lancar, kuning jernih, tidak nyeri saat berkemih Riwayat BAB: lancar 1x sehari, konsistensi lunak, warna kuning kecoklatan. Riwayat obstetric: G2P1A0 hamil 38 minggu HPHT : 19 Febuari 2013 TP : 26 Desember 2013

description

kasus

Transcript of PRESENTASI KASUS

PRESENTASI KASUS

ASMA DAN INFEKSI TUBERKULOSIS PADA KEHAMILAN

Pembibing : dr. S. Chandra, Sp. OG

I. IDENTITAS

Nama : Ny. I Tgl Lahir : Bogor, 08 – 05 -1986Usia : 27 tahunAlamat : Jl Kemang RT 003/ 010 Sukatani, Tapes – DepokTgl masuk RS : 10 November 2013 pukul 18.00Tgl pemeriksaan : 10 November 2013 pukul 18.00Tgl keluar RS : 14 November 2013Dokter yg merawat : dr.S.Chandra, Sp. OG

II. ANAMNESIS (Autoanamnesis)

Keluhan utama :-

Riwayat perjalanan penyakit :Pasien G2P1A0 Hamil 38 minggu, datang ke RS. Sentra Medika dengan

rujukan ingin melahirkan dengan operasi sesar karena riwayat asma dan TB paru. Mules (-), belum keluar darah ataupun lendir. Belum keluar air ketuban. Mual (-), muntah (-), sesak (+) , batuk (+) tanpa dahak.

Riwayat BAK : lancar, kuning jernih, tidak nyeri saat berkemih

Riwayat BAB: lancar 1x sehari, konsistensi lunak, warna kuning kecoklatan.

Riwayat obstetric: G2P1A0 hamil 38 minggu HPHT : 19 Febuari 2013TP : 26 Desember 2013

Riwayat Menstruasi :

Riwayat ANC :Teratur ke dokter

Riwayat Persalinan :1. jenis kelamin perempuan, lahir normal (PSP), berat 2200 g, lahir tahun 20092. Sekarang, Riwayat TB paru,

Riwayat KB :

Memakai KB suntik tiap 3 bulan. Efek samping flek -

Riwayat Sosial : Alkohol (-), Rokok (-)

Riwayat Penyakit :Asma + sejak lama 10 tahun yang lalu, bila kambuh berbunyi ngik

(wheezing), dada terasa sesak, kambuh hampir >3x seminggu, setiap malam bila tidak mengkonsumsi obat asma, akan timbul rasa sesak. bila asma kambuh pasien memakai obat Meptin, Abbocort inhaler.

Pasien pernah terkena TBC paru tahun 2011, pasien mengaku pernah dicek dahaknya dan foto rontgen terdapat flek paru. Pasien diberikan pengobatan paru karena TB selama 6 bulan. Belum dicek ulang dahak dan foto, tetapi sudah hilang gejalanya. Setelah itu setahun kemudian pasien terkena TBC paru lagi ketika sedang hamil, pasien diberikan pengobatan selama 9 bulan, dan masih mengkonsumsi obatnya yaitu, Rimatacid 1x1, Etambutol 1x2, hasil pemeriksaan dahak terakhir negatif, rontgen negatif.

Riwayat penyakit dulu :- DM -, HT -, Alergi –- Asma + pernah dirawat di ICU tanggal 8 – 7 – 2013 karena status

asmatikus ketika hamil 5 bulan.

III. PEMERIKSAAN FISIKStatus generalis- Keadaan umum : baik- Kesadaran : compos mentis- Berat badan : 58 kg- Tinggi badan : 158 cm- Tekanan darah : 130 / 100 mmHg- Nadi : 89 x / menit- RR : 28 x / menit- Suhu : 36,5 C- Mata : Sklera Ikterik (-), Konjungtiva Anemis (-)- Telinga dan Hidung : Sekret (-), dalam batas normal- KGB : Pembesaran (-)- Jantung : dalam batas normal- Paru :

Inspeksi : simetris, abdominotorakal, retraksi (-)Palpasi : stem fremitus kiri dan kanan sama kuatPerkusi : sonor seluruh lapangan paruAuskultasi : Vesikuler seluruh lapangan paru, Wheezing (-), Rhonki (-)

- Abdomen: dalam batas normal- Ekstremitas dan Kulit : dalam batas normal

Status Obstetrikus L1 : TFU : 28 cm presentasi bokongL2 : punggung kiriL3 : Presentasi kepala

L4 : Belum masuk Pintu atas panggulDJJ : 162 x / menitTBJ : 2480 gHIS : - VT : -

Status GinekologisInspeksi

- Labia Mayor : Tanda radang (-)- Labia minor : Tanda radang (-)- Kelenjar bartholin : Tanda radang (-)- Orifisium uretra eksterna : Tanda radang, darah -, lendir –

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG Hasil USG : ICA : 8,5, berat 2910 g, Lilitan tali pusat (-), hamil 37 – 38

minggu. Jenis kelamin laki-laki

Radiologi : -

Mikrobiologi 6 Juli 2013Kultur dan Resistensi , biakan sputum, hitung koloni –Hasil biakan : Acinobacter baumannii

Antibiotik (ug) HasilAmikacin (AN) 30 SensitifAmoxcillin (AML) 25 ResistenAithromycin (AZM) 15 ResistenCefadroxil (CFR) 30 ResistenCefepime SensitifCefotaxime ResistenCefixime ResistenCefuroxime ResistenChloramphenicol SensitifCiprofloxacin ResistenClindamycin ResistenCeftriaxone IntermediateImipeneme SensitifLevofloxsacin SensitifMetropenem SensitifDoxiciclin ResistenTobramycin SensitifTicarcylin ResistenVancomycin Resisten

Laboratoriumo Tanggal 9 Nov 2013

Hematologi : Coagulasi : Masa perdarahan 3.00/menit , Masa

pembekuan 13.00 /menit Golongan darah : O, Rh faktor positif

Rutin : Hemoglobin : 12,6 gr/dl Hematokrit : 35 % Trombosit : 268.000 /ul Leukosit : 9.630 / ul

o Tanggal 22 Oktober 2013 TB antigen (-) Sputum : Pewarnaan BTA --> BTA negatif Kultur + Resistensi Sputum : Acine baumannii +

o Konsultasi pada bagian paru : FVC : 69 % FEV1 28% PEF 13% Kesan : restriksi ringan dan obstriksi berat dengan toleransi

tindakan berat. TB paru kategori 2. Perbaikan (+).

V. RESUME

VI. DIAGNOSIS

VII. PENATALAKSANAANRencana Sectio Caesaria atas indikasi Asma

VIII. PROGNOSIS- Ad Vitam : bonam- Ad fungtionam : bonam- Ad Sanationam : bonam

DILAKUKAN OPERASI SECTIO CAESARIA PADA TANGGAL 11 NOVEMBER 2013

Diagnosa Pra bedah : G2P1A0 H 38 minggu dengan asma

Laporan operasi1. Pasien dalam posisi telentang2. Dilakukan anestesi spinal3. Asepsis dan antiseptik pada daerah operasi dan sekitarnya4. Incici planenstell -+12 cm5. Setelah peritoneum dibuka, tampak uterus gravidarum6. Segmen bawah uterus disayat semilunar, ditembus dilebarkan secara

tajam7. Dengan bantuan ekstraksi vakum, dilahirkan bayi laki-laki, pukul 08.21,

BBL 3435 gr, PB 52 cm, LK 36 cm, A/S 7,10 , tidak ada lilitan tali pusat.

8. Air ketuban jernih, jumlah +- 300 cc9. Plasenta berimplitasi di corpus posterior, dilahirkan dengan tarikan

ringan.10. Segmen bawah uterus dijahit jelujur 2 lapis dengan safil11. Pada eksplorasi kedua tuba dan ovarium dan batas normal.12. Setelah dijahit tidak ada perdarahan, rongga abdomen dicuci.13. Dinding abdomen dijahit lapis demi lapis.

Diagnosa pasca bedah : Post Sectio Caesaria dengan asma berat

Instuksi Post – Op:- IVFD RL dan injeksi tramadol 100 : 30 tetes / menit- Injeksi Anbacim 1 gr / 12 jam- Supp Prolanges 1 / 8 jam

FOLLOW UP HARIAN12 November 2013S : mual (-), muntah (-), Mulas (-), kentut (-), BAB (-), BAK N, Nyeri daerah

operasi (+), lokia (+), ASI (-) belum keluar

O : K.U baikKes CMTD : 110 / 80 mmHgN : 80 x /menitRR : 20 x /menitS : 36.3 CRembesan luka op (-)

A : P2A0 Post SC a/i asma P : Anbacim 1 gr injeksi

13 November 2013S: mual (-), muntah (-), BAB (-), BAK N, kentut (-), Nyeri daerah operasi (+),

lokia (+), ASI (+).O: K.U baik

Kes CMTD : 120 / 80 mmHgN : 72 x /menitRR : 20 x /menitS : 36.6 CRembesan luka op (-)

A : P2A0 Post SC a/i asma P: Sporetik 2 x 10

Prolanges 5 x 50Tramadol 3 x 50

14 November 2013S : mual (-), muntah (-), flatus (+),BAB (-), BAK N, pusing (+), Nyeri daerah

operasi (+), lokia (+), ASI (+).O: K.U baik

Kes CMTD : 120 / 80 mmHgN : 80 x /menitRR : 16 x /menitS : 35.5 CRembesan luka op (-)

A : P2A0 Post SC a/i asma P: Prolanges 3 x 1

Tramadol 3 x 1Cefixime 2 x 1

PEMBAHASAN KASUS

Berdasarkan hasil anamnesa pasien, tidak didapatkan adanya gangguan dalam kehamilan, pasien belum dalam keadaan inpartu, karena ibu tidak menunjukan maupun tanda-tanda his yang sebenarnya dan pengeluaran pervaginam. Tetapi pasien mengeluh adanya sesak dan batuk.

ASMA PADA KEHAMILANI. Prevalensi

Di Indonesia prevalensi asma sekitar 5 – 6 % dari populasi. Prevalensi

asma dalam kehamilan sekitar 3,7 – 4 %. Hal tersebut membuat asma

menjadi salah satu permasalahan yang biasa ditemukan dalam kehamilan.

II. Patofisiologi

Asma ialah penyakit inflamasi kronis saluran pernapasan dengan

komponen herediter mayor, terkait pada kromosom 5,6,11,12,14,16 dan

reseptor IgE dengan afnitas tinggi, sitokin, reseptor T-sel antigen. Keadaan

ini juga dihubungkan dengan mutasi gen ADAM-33 pada rantai pendek

kromosom 20 individu yang terpapar rokok, influenza (stimulasi alergi

akibat lingkungan). Asma adalah penyakit dimana terdapat obstruksi

saluran napas karena kontraksi otot polos bronkus, hipersekresi mukus dan

edema mukosa.

Adanya inflamasi pada saluran napas dan hiperesponsif terhadap

stimulan termasuk iritan, infeksi viral, aspirin, udara dingin, dan olahraga.

Aktivasi sel mast dimediasi oleh sitokin menyebabkan bronkokonstriksi

dengan melepaskan histamin, prostaglandin d2, dan leukotrien. Karena

prostaglandin seri F dan ergonofin sering mengeksaserbasi asma, obat ini

sering dihindari. Kemungkinan kerentanan setiap individual adalah

stimulan alergi yang berasal dari lingkungan, sebagai contoh yaitu

influenza atau asap rokok.

III. Gejala klinik

Penilaian secara subjektif tidak dapat secara akurat menentukan derajat

asma. Gejala klinik bervariasi dari wheezing ringan, sampai

bronkokonstriksi berat. Pada keadaan ringan, hipoksia dapat dikompensasi

hiperventilasi, ditandai dengan pO2 normal, penurungan PCO2, dan

lakalosis respirasi. Namun, bila bertambah berat akan terjadi kelelahan

yang menyebabkan retensi CO2 akibat hiperventilasi, ditandai dengan

PCO2 yang kembali normal. Bila terjadi gagal napas, ditandai asidosis,

hiperkapnea, adanya pernapasan dalam, takikardi, pulsus paradoksus,

ekspirasi memanjang, penggunaan otot asesori pernapasan, sianosis sentra,

sampai gangguan kesadaran. Keadaan ini bersifat reversibel dan dapat

ditoleransi. Namun pada kehamilan dapat berbahaya akibat adanya

penurunan kapasitas residu.

Gejala klinis yang penting adalah seperti takikardi, pulsus paradoksus,

ekspirasi memanjang dan menggunakan otot bantu pernafasan. Tanda yang

fatal termasuk sianosis sentral dan penurunan kesadaran. Analisa gas darah

memberikan status maternal tentang oksigenasi, ventilasi, dan asam basa,

dengan ini keparahan serangan akut dapat diterapi. Sebagai contoh, pCo2

yang lebih tinggi dari 35 mmHg dengan pH < 7,5 konsisten dengan

hiperventilasi dan retensi CO2 pada wanita hamil.

Analisis gas darah merupakan penilaian objektif oksigenasi maternal,

ventilasi, keseimbangan asam-basa. Pemeriksaan fungsi paru merupakan

penanganan rutin pada semua pasien asma kronis dan akut. Pengukuran

FEV1 sekuensial merupakan gold standart yang menggambarkan derajat

asma. FEV1 < 1 liter (<20%) menggambarkan asma berat. Peak

Expiratory Flow Rate (PEFR) berkolerasi erat dengan FEV1, dan dapat

diukur dengan spirometri dengan mudah.

Perubahan bertahap pada oksigenasi secara utama menggambarkan

mismatch pada ventilasi dan perfusi, karena distribusi pada jalan napas

yang sempit tidak memadai. Presentasi klinis asma ada ditabel 2. Dalam

gejala ringan asma hipoksia dikompensasi dengan hiperventilasi sehingga

terdapat pO2 arteri normal dan pCO2 menurun. Sehingga digambarkan

sebagai alkalosis respiratori. Semakin memburuknya jalan napas

ventilasi/perfusi semakin terganggu mengakibatkan hipoksemia arterial.

Pada obstruksi berat ventilasi menyebabkan kelelahan dan menyebabkan

retensi CO2, karena terjadi hiperventilasi yang pada awalnya terlihat

normal pada pCO2. Akhirnya obstruksi yang bersifat kritis diikuti dengan

gagal napas dengan ciri-ciri hiperkapnea dan acidemia.

Biarpun gejala tersebut secara umum kembali seperti semula, pada

wanita sehat yang tidak hamil, pada tingkat asma yang ringan dapat

membahayakan untuk wanita hamil dan untuk janinnya.

IV. Pengaruh kehamilan terhadap asma

Tidak ada bukti klnik pengaruh kehamilan terhadap asma ataupun

pengaruh asma terhadap kehamilan. Studi perspektif terhadap ibu hail

dengan asma tidak didapatkan perbedaan kelompok yang mengalami

perbaikan, menetap, atau memburuk. Namun ada hubungan antara keadaan

asma sebelum hamil dan morbiditasnya pada kehamilan. Pada asma ringan

13% mengalami serangan pada kehamilan, pada asma moderat 26% , dan

asma berat 50%. Sebanyak 20% dari ibu dengan asma ringan dan moderat

mengalami serangan intrapartum, serta peningkatan risiko serangan 18 kali

lipat setelah persalinan dengan seksio sesaria jika dibandingkan dengan

persalinan pervaginam.

Dalam dua studi lebih dari 500 wanita hamil, terbagi menjadi tiga

hasil yaitu mengalami perbaikan, tidak ada perbaikan, atau semakin

memburuk.

V. Luaran kehamilan

Terdapat komplikasi preeklampsia 11%, IUGR 12%, dan prematuritas

12% pada kehamilan dengan asma. Komplikasi ini bergantung pada

derajat penyakit asma. Status asmatikus dapat menyebabkan gagal napas,

pneumotoraks, pneumomediastinum, kor pulmonale akut, dan aritmia

jantung. Mortalitas meningkat pada pengunaan ventilasi mekanik.

Pada asma berat hipoksia janin dapat terjadi sebelum hipoksia pada ibu

terjadi. Gawat janin terjadi akibat penurunan sirkulasi uteroplasenter dan

venous return maternal. Peningkatan pH (alkali) menyebabkan pergeseran ke

kiri kurva disosiasi oksihemoflobin. Hipoksemia maternal menyebabkan

penuruna aliran darah pada tali pusat, peningkatan resistensi vaskular

pulmonar dan sistemik, dan penurunan cardiac output. Secara umum bila

tidak ada gejala berat asma, maka akan memberikan dampak yang bersifat

minor pada hasil kehamilan. Pada banyak penelitian, mendeskripsikan terdapat

peningkatan kecil insiden pre-eklamsia kelahiran pre-term, BBLR, dan

kematian perinatal. Observasi studi oleh Maternal-Fetal medicine network,

melahirkan sebelum 37 minggu tidak meningkatkan komplikasi asma dalam

1687 kehamilan dengan komplikasi asma dibandingkan dengan 881 kontrol.

Bagaimanapun, untuk 52 wanita dengan asma berat, terjadi peningkatan rata-

rata kejadian dua kali lipat. Sama dengan Bracken dan teman-teman

menemukan bahwa kelahiran pre-term hanya meningkatkan secara minimal

pada wanita dengan asma berat. Pada evaluasi prospektif pada 656 wanita

hamil asmatik dan 1052 kehamilan nonasmatik kontrol, Triche dan teman-

teman menemukan bahwa wanita dengan asma sedang sampai berat,

bergantung dengan pengobatan, meningkatkan resiko pre-eklamsia.

Komplikasi yang mengancam jiwa dari status asmatikus, termasuk

keletihan otot dengan gagal napas, penumothorax, pneumomediastinum, kor

pulmonal akut, dan aritmia jantung. Mortalitas maternal dan pernatal secara

bertahap meningkat ketika ventilasi mekanik diperlukan.

Asma berat jarang menyebabkan alkalosis repiratorik. Pada studi

percobaan hewan dan manusia diduga hipoksemia pada janin dapat terjadi

sebelum terganggunya oksigenasi materna. Terganggunya janin dihipotesiskan

berdasarkan hasil penurunan aliran darah intrauterin, aliran balik vena

maternal menurun dan pergeseran kekiri kurva disosiasi oksihemoglobin

karena alkalosis yang terinduksi.

Hipoksemia pada ibu mencetuskan respon fetus terhadap penurunan

darah umbilikal tersebut meningkatnya resistensi veskuler sistemik dan

pulmoner, dan menurunnya curah jantung. Observasi oleh Bracken,dkk

mengkonfirmasi insiden IUFR meningkat seiring dengan keparahan derajat

asma. Obat-obatan antiasma yang biasa digunakan tidak memiliki efek

samping teratogenik. Risiko pada anak untuk terkena asma bervariasi antara 6

– 30%, bergantung pada faktor herediter dari ibu dan ayah atopik atau

penderita asma.

VI. Penanganan asma kronis

Menurut National Astma Education dan Prevention Program Expert Panel,

1997, penanganan yang efektif asma kronis pada kehamilan harus

mencakup hal-hal berikut.

- penilaian objektif fungsi paru dan kesejahteraan janin

- menghindari / menghilangkan faktor presipitasi lingkungan

- terapi farmakologik

- edukasi pasien

Pasien harus mengukur PEFR 2 kali sehari dengan target 380 – 550

l/menit. Tiap pasien memiliki nilai baseline masing – masing sehingga

terapi dapat disesuaikan. Kromolin disodium atau ipratropium inhalasi

menghambat degranulasi sel mast. Jadi, hanya efektif sebagai pencegahan

pada asma kronis (dapat juga menggunakan leukotrien modifier). Teofilin

(metilxantine) merupakan bronkodilator antiinflamasi.

Kromolin dan nedocromil menghambat degranulasi sel mast. Golongan

ini tidak efektif pada asma akut, dan digunakan pada asma kronik sebagai

preventif. golongan ini tidak lebih unggul dari kortikosteroid inhalasi.

Teofilin adalah golongan metilxantin, dan beberapa variasinya berupa

bronkodilator dan kemungkinan berupakan agen anti-inflamasi. obat ini

jarang diguanakn sejak steroid inhalasi muncul. Beberapa derivat teofilin

diperkirakan berguna pada penggunaan terapi oral dengan dosis

pemeliharaan. Jika respon awal tidak optimal terhadap kortisteroid inhalasi

dan B-agonis.

Pengaruh terhadap kehamilan pada kedua grup yang mendapatkan

teofilin dan betametason mirip. Leukotrien modifier menghambat sintesis

leukotrien obatnya adalah xileoton, zafirinkast, montelukast. Obat ini

diberikan secara oral atau inhalasi untuk pencegahan, tapi tidak efektif

untuk asma akut. Untuk pemeliharaan obat tersebut digunakan bersamaan

dengan steroid untuk mengurangi dosis kortikosteroid.

VII. Penanganan Asma Akut

Penanganan asma akut pada kehamilan sama dengan non hamil, tetapi

hospitality treshol lebih rendah. Dilakukan penanganan aktif dengan

hidrasi intravena, pemberian masker oksigen, supaya pO2 > 60 mmHg dan

saturasi O2 95%. Juga perlu dilakukan pemeriksaan analisis gas darah,

pengukuran FEV1, PEFR, pulse oximetry, dan fetal monitoring.

Lini pertama untuk asma akut adalah B-adrenergik agonist, yaitu

terbutalin, albuterol, isoetharine, epinephrine, isoproterenol, atau

metaproterenol, diberikan subkutan, oral atau inhalasi. Penangan lini

pertama adalah B adrenergic agonis (Subkutan, per oral, inhalasi, loading

dose 4 -6 mg/kgBB dan dilanjutkan dengan dosis 0,8 – 1 mg/kgBB/jam

sampai tercapai kadar terapeutik dalam plasma sebesar 10 – 20

mikrogram/ml). Obat ini akan mengikat reseptor spesifik permukaan sel

dan mengakkitkan adenilil siklase untuk meningkatkan cAMP intrasel dan

relaksasi otot polos bronkus. Terapi selanjutnya bergantung pada

pemantauan respons hasil terapi. Bila FEV1 , PEFR > 70% baseline, boleh

pulang. Namun, bila PEFR baseline setelah 3 kali pemberian B agonis,

perlu observasi di rumah sakit.

Secara umum wanita dengan asma derajat sedang sampai berat

diinstruksikan untuk mengukur dan mencatat PEFR dua kali sehari, Nilai

prediksi dari PEFR berkisar 380-550 L/min. Setiap wanita mempunyai

nilai dasar masing-masing yang berbeda dan pengobatan bisa digunakan

menggunakan nilai tersebut. Pengobatan bergantung dari derajat beratnya

penyakit. Obat yang direkomendasikan untuk rawat jalan berada pada tabel

1.

Derajat Terapi

Intermiten

Ringan

Beta-agonis inhalasi (Isoetharine, metaproterenol,

isoproterenol, salmeterol)

Persisten

Ringan

Beta-agonis inhalasi

Kromolin inhalasi, dilanjutkan jika memberikan respon

yang baik pada waktu hamil

Substitusi dengan Kortikosteroid inhalasi (beclomethasone,

budesonide, triamcinolone)

Persisten

Sedang

Beta-agonis inhalasi

Kortikosteriod inhalasi, ditambahkan terapi oral theofilin

dan/atau salmeterol inhalasi jika tidak adekuat dengan

steroid inhalasi dosis sedang

Persisten Berat Untuk sedang ke atas ditambah kortikosteroid oral untuk

gejala yang sedang aktif, beberapa hari atau setiap hari jika

diperlukan.

Untuk asma ringan B-agonis inhalasi yang biasanya sudah mencukupi,

kortikosteroid inhalasi lebih disukai untuk asma persisten. Obat inhalasi di

administrasi tiap 3 - 4 jam jika dibutuhkan. Tujuan akhir adalah mengurangi

penggunaan B-Agonis sebagai menghilang gejala. Studi kasus kontrol di

Canada dengan metode cohort pada 1.600 wanita tidak hamil dengan asma

menunjukan bahwa kortikosteroid inhalasi mengirangi rawat inap 80% pada

wanita hamil. Wendel dkk. (1996) melaporkan ada pengurangan sebanyak

55% penanganan ulang untuk eksaserbasi yang parah pada wanita yang diberi

kortikosteroid inhalasi dengan dosis pemeliharaan bersamaan dengan terapi B-

Agonis.

Dombrowski dkk.melakukan percobaan secara acak pada hampir 400

wanita hamil dengan asma sedang. Dilakukan perbandingan teofilin oral dan

beclomethasone inhalasi dengan dosis pemeliharaan. Pada kedua kelompok

sekitar 20% mempunyai eksaserbasi, wanita yang mengkonsumsi teofilin

secara signifikan memiliki tingkat diskontinuitas lebih tinggi karena efek

samping teofilin tersebut

Kortikosteroid diberikan awal pada pasien dengan asma akut berat.

Dosis rekomendasinya bisa lebih tinggi dari yang biasanya yaitu

metilprednosolon IV 40 – 60 mg tiap 6 jam.

Karena onset kerjanya muncul beberapa jam pada pemberian IV atau

inflamasi, steroid diberikan juga bersama dengan B- Agonis pada asma

akut. Menejemen lanjut bergantung pada respon terapi, Jika terapi inisial

B-Agonis memperbaiki FEV/PEFR meningkatkan diatas 70% dari batas

normal. Beberapa perempuan dapat membaik dalam 24 jam observasi. Hal

lain dalam perempuan dengan gagal nafas yaitu FEV atau PEFR < 70 %, 3

dosis B-Agonis dapat ditambahkan.

Asma berat yang tidak berespons terhadap terapi dalam 30 – 60 menit

dimasukkan dalam kategori status asmatikus. Penanganan aktif, di ICU

dan intubasi dini, serta penggunaan ventilasi mekanik pada keadaan

kelelahan, retensi CO2, dan hipoksemia akan memperbaiki morbiditas dan

mortalitas.

Langkah pengangan asma pada kehamilan

Sebelum kehamilan -Konseling mengenai pengaruh kehamilan dan asma, serta

pengobatan

-Penyesuaian terapi maintenance untuk optimalisasi

fungsi respirasi.

-Hindari faktor pencetus, alergen.

-Rujukan dini pada pemriksaan antenatal

Selama kehamilan -Penyesuaian terapi untuk mengatasi gejala. Pemantauan

kadar teofilin dalam darah, karena selama hamil terjadi

hemodilusi sehingga memerlukan dosis yang lebih tinggi.

-Pengobatan untuk mencegah serangan dan penanganan

dini bila terjadi serangan.

-Pemberian obat sebaiknya inhalasi, untuk menghindari

efek sistemik pada janin.

-Pemeriksaan fungsi paru ibu.

-Pada pasien yang stabil, NST dilakukan pada akhir

trimester II/ awal trimester III.

-Konsultasi anestesi untuk persiapan persalinan.

Saat persalinan -Pemeriksaan FEV1, PEFR saat masuk rumah sakit dan

diulang bila timbul gejala.

-Oemberian oksigen adekuat

-Kortikosteroid sistemik (hidrokortison 100 mg IV tiap 8

jam) diberikan 4 minggu sebelum persalinan dan terapi

maintenance diberikan selama persalinan.

-Anestesi epidural dapat digunakan selama proses

persalinan. Pada persalinan operatif lebih baik digunakan

anestesi regional untuk menghindari rangsangan pada

intubasi trakea. Penanganan hemoragi pascaeprsalinan

sebaiknya menggunakan uterotonika atau PGE2 oarena

PGF dapat merangsang bronkospasme

Pasca persalinan -Fisioterapi untuk membantu pengeluaran mukus paru,

latihan pernapasan untuk mencegah atau meminimalisasi

atelektasis, mulai pemberian terapi maintenance.

-Pemberian ASI tidak merupakan kontraindikasi

meskipun ibu mendapatkan obat antiasma termasuk

prednison.

Fungsi paru juga diperiksa dengan rutin dalam mengobati asma akut

dan kronik. Pemeriksaan secara sekuensial FEV1 merupakan pemeriksaan

tunggal yang terabik untuk melihat derajat keparahan. FEV1<1 L atau <20%

prediksi berkolerasi dengan keparahan seperti hipoksia, dan respon buruk

terhadap terapi dan tingginya angka kekambuhan.

VIII. STATUS ASMATIKUS DAN GAGAL NAFAS

Asma berat atau asma yang tidak respon setelah 30 – 60 menit terapi

intensif, disebut juga status asmatikus. Brauman dan Kaemerlen

memperlihatkan menejemen dari status asmatikus pada pasien tidak hamil

pada ICU memberikan hasil baik. Pertimbangkan untuk mengintubasi

lebih awal bila status pernafasan ibu memburuk. Fatik, retensi CO2,

hipoxemia adalah indikasi ventilasi mekanik.

IX. MELAHIRKAN

Pengobatan pemeliharaan juga diterukan setelah melahirkan.

Kortikosteroid ‘stress dose’ diberikan wanita secara sistemik untuk 4

minggu kedepan. Obatnya 100 mg hidrocortisone diberikan IV setiap 8

jam. FEV / PEFR harus dipantau pad apengobatan dan pengukuran serial

harus dilakukan jika gejala timbul lagi.

Narkotika non-histamine releasing seperti fentanyl, dapat dipilih

daripada meperidine, ketika melahirkan. Analgesi epidural untuk

melahirkan sangat ideal untuk melahirkan secara operasi. Analgesik

konduksi lebih dipilih karena intubasi trakeal dapat mencetuskan

bronkosepasme berat. Perdarahan postpartum refrakter diobati dengan

prostaglandin E2 atau uterotonika lainnya selain prostaglandin F2Alfa,

yang dimana dapat menyebabkan bronkospasme berat pada pasien asma.

TUBERKULOSIS

I. PREVALENSI

Prevalensi TBC bervariasi di berbagai negara. Prevalensi TBC dalam

kehamilan di Indonesia menurut survei nasional tahun 2004 adalah

119/100.000 penduduk dan dalam kehamilan prevalensi tuberkulosis

bervariasi antara 0, 37 – 1,6%. Meskipun TBC masih menjadi perhatian

utama di seluruh dunia , hal ini jarang terjadi di Amerika Serikat . Di

Amerika serikat, TBC adalah penyakit yang biasa terdapat pada orang

lanjut usia , kaum miskin, kelompok minoritas , dan pasien dengan AIDS .

Tingkat kesembuhan dengan terapi jangka pendek directly observed

therapy (DOT) selama 6 bulan mencapai 90%. Perhatian khusus adalah

munculnya multidrug - resistant TB (MDR - TB). Dalam sebuah survei

yang dilakukan oleh Organisasi Kesehatan Dunia , 12% dari 12.000 pasien

yang terisolasi di Amerika Serikat pada tahun 1997 resisten terhadap

setidaknya satu obat (Espinal dan rekan , 2001) . Namun, pada tahun yang

sama , hanya 1,2% dari pasien yang terisolasi resisten terhadap lebih dari

satu obat. Resistensi obat sangat bervariasi di seluruh dunia ,dan mencapai

14% di beberapa negara. Kemoterapi 6 bulan dengan obat lini pertama

tidak memadai dalam banyak kasus disebabkan oleh strain Tuberculosis

yang resisten. Di Amerika Serikat , telah didapatkan MDR-TB pada orang

dengan infeksi HIV. Dalam beberapa kasus, TBC ditularkan kepada salah

satunya yaitu petugas kesehatan.

II. Etiologi

Penyakit ini disebabkan oleh inhalasi Mycobacterium tuberculosis yang

menyebabkan reaksi granuloma paru. Sebanyak 90% infeksi bersifat laten

dan pada penurunan status imunologik akan menjadi aktif. MDR-TB

(multi drug reistent tuberculosis) bervariasi 1,2 – 14 %. Pada beberapa

pasien, terutama mereka yang immunocompromised atau yang memiliki

penyakit lain, tuberkulosis bias direaktivasi kembali akibat penyakit

tersebut.

III. Gejala klinik

Gejala klinik infeksi tuberkulosis adalah batuk dengan sputum

minimal, hemoptisis, subfebris, penurunan berat badan, dan pada

pemeriksaan foto toraks ditemukan gambaran infiltrat, kavitas, dan

limfadenopati mediastinum. TB ekstra paru dapat terjadi pada setiap

organ, dan hampir 40 persen pasien HIV mengalami tuberculosis yang

bersifat diseminata. (Weinberger dan Weiss, 1999).

Pillay dan rekan kerja (2004) menekankan prevalensi TB banyak pada

ibu hamil yang HIV-positif. Margono dan rekan (1994) melaporkan bahwa

dalam dua rumah sakit di kota New York, banyaknya kasus TB selama

kehamilan dari tahun 1985 hingga 1990 adalah 12 kasus per 100.000

kelahiran. Angka ini naik menjadi 95 per 100.000 kehamilan pada tahun

1992, dan dari 16 wanita hamil dengan TB aktif, 7 dari 11 yang diuji

adalah positif HIV. Di Jackson Memorial Hospital di Miami, Schulte dan

rekan (2002) melaporkan bahwa 21 persen dari 207 wanita hamil yang

terinfeksi HIV memiliki tes kulit positif.

IV. Diagnosis

Basil tahan asam terlihat pada pemeriksaan dahak berulang yang

memberikan dua hasil positif dari tiga pemeriksaan.

Pemeriksaan radiologik harus memakai pelindung timah pada

bdomen, sehingga bahaya radiasi dapat diminimalisasi. Pada trimester I

hindari pemeriksaan foto toraks karena efek radiasi yang sedikitpun masih

berdampak negatif pada sel-sel muda janin. Diagnosis dapat ditegakkan

dengan pemeriksaan hapusan sputum dan ditemukan hasil tahan asam, uji

tuberkulin dengan purified protein derivative (PPD) 5 unit intrakutan,

pemeriksaan kultur darah, PCR, dan interferon gamma kuantitatif pada

infeksi laten TBC.

Pedoman saat ini dari Centers for Disease Control ( 1990)

termasuk skin-test pada wanita hamil dalam kelompok berisiko tinggi

sebagai berikut :

Individu dengan infeksi HIV.

Kontak langsung dengan kasus TB aktif.

Individu dengan faktor risiko medis yang diketahui meningkatkan

risiko penyakit jika terinfeksi.

Orang asing yang lahir dari daerah di mana prevalensi TB tinggi.

Individu yang tidak terjangkau dari pelayanan medis dan penduduk

berpenghasilan rendah.

Alcoholik dan IVDU.

Warga di lingkungan keperawatan jangka panjang.

Antigen pilihan untuk skin-test adalah purified protein derivative

(PPD) dalam kekuatan sedang antara 5 unit tuberkulin. Jika tes

intrakutan digunakan memberikan hasil negatif, evaluasi lebih lanjut tidak

diperlukan. Sebuah skin-test positif ditafsirkan menurut faktor resiko

(American Thoracic Society / Pusat Pengendalian dan Pencegahan

Penyakit , 1990). Untuk pasien dengan risiko tinggi yaitu, mereka yang

HIV-positif , mereka dengan rontgen dada yang tidak normal, atau mereka

yang memiliki kontak terakhir dengan TB aktif kasus dengan ukuran lesi 5

mm atau lebih dianggap positif. Bagi mereka yang berisiko tinggi sejak

lahir yaitu IUFD, penduduk berpenghasilan rendah dengan HIV-negatif,

atau orang-orang dengan kondisi medis yang meningkatkan risiko untuk

TB dengan ukuran lesi 10 mm atau lebih dianggap positif. Untuk orang-

orang dengan tidak ada faktor-faktor risiko, ukuran lesi 15 mm atau lebih

didefinisikan sebagai positif . Jika rontgen dada negatif, maka tidak

diperlukan perawatan sampai setelah melahirkan, walaupun isoniazid

diberikan selama 1 tahun. Pasien yang telah divaksinasi dengan Basil

Calmett-Guerin (BCG) menimbulkan masalah khusus dengan interpretasi

pada skin-test.

Sebuah tes darah mulai tersedia pada tahun 2001 untuk

menentukan status tuberkulosis. Assay adalah untuk kuantifikasi

interferon-alfa dilepaskan dari limfosit yang tesensitisasi dalam darah

keseluruhan yang diinkubasi selama 24 jam dengan PPD . Uji Quantiferon

- TB tampaknya cukup menjanjikan dalam pengujian untuk infeksi laten ,

tetapi saat ini belum digunakan secara luas (Pusat Pengendalian dan

Pencegahan Penyakit , 2003a).

V. Luaran kehamilan

Kehamilan tidak mempengaruhi perjalanan penyakit ini. Jana dan

rekan (1994) melaporkan 79 kehamilan dari India terkomplikasi oleh TBC

paru aktif. Namun, pada kehamilan dengan infeksi TBC risiko

prematuritas, IUGR, dan berat badan lahir rendah meningkat, serta risiko

kematian perinatal meningkat 6 kali lipat. Keadaan ini terjadi baik akibat

diagnosis yang terlambat, pengobatan yang tidak teratur dan derajat

keparahan lesi di paru, maupun infeksi ekstrapulmoner.

Infeksi TBC dapat menginfeksi plasenta, biasanya dalam bentuk

granuloma. Bentuk tuberkel jarang menginfeksi plasenta. Keadaan ini

dapat menyebabkan infeksi pada janin yang menyebabkan tuberkulosis

kongenital. Tuberkulosis kongenital juga termasuk bayi yang terinfeksi

dari aspirasi sekret pada proses persalinan. Neonatal tuberkulosis dapat

menstimulasi infeksi kongenital lainnya, hepatosplenomegali, distress

pernapasan, demam, dan limfadenopati.

Neonatal tuberkulosis jarang terjadi bila ibu sudah mendapatkan

pengobatan sebelum persalinan atau bila uji sputum BTA negatif. Pada ibu

dengan TBC aktif risiko penularan pada bayi 50% pada tahun pertama.

VI. Komplikasi

Jana dan rekan kerja (1999) melaporkan hasil yang ditemukan pada 33

kehamilan dengan komplikasi tuberkulosis. Sepertiga dari wanita dengan

infeksi pada ginjal, usus, dan tulang memiliki bayi dengan berat badan

lahir rendah. Dalam sebuah penelitian di London, Llewelyn dan rekan

(2000) melaporkan bahwa 9 dari 13 wanita hamil memiliki penyakit paru

bersamaan dengan diagnosa yang tertunda. Nanda dan rekan (2002)

dijelaskan paraplegia pada 16 minggu dari tuberculosis pada vertebrae

cervical. Prevost dan Fung Kee Fung (1999) mengkaji 56 kasus meningitis

TB pada kehamilan, dan ada kematian ibu pada sepertiga kasus.

Bakteremia selama kehamilan dapat menginfeksi masuk melewati

plasenta. Hanya dalam beberapa kasus janin terinfeksi sehingga

mengalami Tuberkulosis kongenital. Istilah tuberculosis kongenital juga

berlaku untuk bayi yang baru lahir yang terinfeksi oleh aspirasi sekresi

yang terinfeksi saat melahirkan. Tuberkulosis Neonatal mensimulasikan

infeksi bawaan lainnya dan termasuk hepatosplenomegali, respiratory

distress, demam, dan limfadenopati (Smith, 2002).

Cantwell dan rekan (1994) menemukan hanya 29 kasus TB

kongenital dilaporkan dalam literatur bahasa Inggris sejak tahun 1980.

Hanya 12 ibu memiliki infeksi aktif, dan TB secara umum ditunjukkan

oleh biopsi endometrium postpartum. Adhikari dan rekan (1997)

menjelaskan 11 wanita hamil di Afrika Selatan memberikan hasil kultur

positif pada biopsy endometrium postpartum. Enam dari neonatus tersebut

menderita TB kongenital, dan salah satunya meninggal.

Infeksi Neonatal tidak akan terjadi jika ibu dengan TB aktif telah

diobati sebelum kelahiran atau jika kultur dahak nya memberikan hasil

negatif. Karena bayi baru lahir sangat rentan terhadap tuberkulosis,

sebagian besar penulis merekomendasikan mengisolasikan bayi dari ibu

yang diduga memiliki penyakit aktif. Jika tidak diobati, risiko penyakit

pada bayi yang lahir dari seorang wanita dengan infeksi aktif adalah 50

persen pada tahun pertama (Jacobs dan Abernathy, 1988).

VII. Penanganan

Sebelum kehamilan perlu diberi konseling mengenai pengaruh

kehamilan dan TBC, serta pengobatan. Adanya TBC tidak merupakan

indikasi untuk melakukan abortus. Pengobatan TBC dengan isoniazid,

refampisin, etambutol, dan pirazinamid tidak merupakan kontraindikasi

pada kehamilan. Pengobatan TBC dengan amino-glikosida (streptomisin)

merupakan kontraindikasi pada kehamilan karena dapat menyebabkan

ototoksik pada janin.

Pengobatan TBC dalam kehamilan menurut rekomendasi WHO adalah

dengan pemberian 4 regimen kombinasi isoniazid, rifampisin, etambutol,

dan pirazinamid selama 6 bulan. Cara pengobatan sama dengan yang tidak

hamil. Dapat juga diberikan 3 regimen kombinasi, isonizid, rifampisin,

etambutol, selama 9 bulan. Angka kesembuhan 90% pada pengobatan

selama 6 bulan directly observed therapy (DOT) pada infeksi baru.

Saat persalinan mungkin diperlukan pemberian oksigen yang adekuat

dan cara persalinan sesuai indikasi obstetrik. Pemakaian masker dan

ruangan isolasi duperlukan untuk mencegah penularan. Pemberian ASI

tidak merupakan kontraindikasi meskipun ibu mendapatkan obat anti TBC.

Perlu diberikan vaksinasi BCG setelah profilaksis dengan isonizid 10

mg /kg/hari pada bayi dari ibu dengan tuberkulosis.

Pada pasien hamil dengan tes tuberkulin positif dengan umur lebih

muda dari 35 tahun dan yang tidak memiliki bukti mengalami TB aktif,

diberikan isoniazid 300mg sehari diberikan selama 1 tahun. Isoniazid telah

digunakan selama puluhan tahun dan dianggap aman pada kehamilan

(Briggs dan rekan , 2002). Namun, ada wanita dengan HIV-negatif,

sebagian besar dokter menyarankan terapi ditunda sampai setelah

melahirkan. Karena peningkatan risiko hepatitis yang diinduksi oleh

isoniazid pada wanita postpartum , beberapa dokter merekomendasikan

menahan terapi hingga 3 sampai 6 bulan setelah melahirkan.

Ada pengecualian untuk menunda pengobatan pada kehamilan. Skin-

test dengan hasil positif pada perempuan TB aktif diobati karena kejadian

infeksi adalah 0,5 persen per tahun. Perempuan dengan HIV-positif

perludirawat karena mereka memiliki risiko sebesar 8% untuk mengalami

TB aktif (Brost dan Newman , 1997) . Sebuah alternatif dalam pengobatan

untuk menunda terapi sampai setelah 12 minggu pada wanita-wanita tanpa

gejala. Hepatitis yang terinduksi karena isoniazid lebih sering terjadi pada

pasien yang lebih muda dari 35 tahun. Meskipun pemantauan enzim liver

menunjukkan bahwa 10% sampai 20% pasien memiliki elevasi transien,

terapi terapi tidak dihentikan kecuali terdapat peningkatan lima kali lipat

diatas nilai normal (Weinberger dan Weiss , 1999). The Centers of Disease

Control and Prevention tidak merekomendasikan pemantauan serum

transaminase secara rutin.

Karena munculnya resistensi terhadap obat, The Centers of Disease

Control and Prevention (2003c) merekomendasikan empat regimen obat

untuk pengobatan awal secara empiris pada pasien hamil dengan gejala

tuberculosis. Obat ini adalah isoniazid, rifampisin, pirazinamid, dan

etambutol. Jika organisme sepenuhnya resistensi, etambutol dihentikan,

dan rejimen tiga jenis obat yang tersisa dilanjutkan sampai total 6 bulan.

Uji resistensi terhadap obat dilakukan pada semua isolat pertama .

Rekomendasi pengobatan awal untuk pasien hamil adalah rejimen tiga

jenis obat dengan isoniazid, rifampisin, dan etambutol . Jika organisme

resisten, rejimen diberikan untuk total 9 bulan. Menurut Bothamley

( 2001), semua obat ini aman selama kehamilan. Pirazinamid ditambahkan

jika diperlukan. World Health Organization merekomendasikan terapi

awal dengan regimen empat obat selama 6 bulan, seperti yang ditentukan

untuk orang dewasa tidak hamil. Laporan dari MDR-TB selama kehamilan

sedikit, dan Lessnau dan Qurah ( 2003) dan Shin dan rekan ( 2003 ) telah

meninjau pilihan dalam terapi. Menyusui tidak dilarang selama terapi obat

antituberkulosis .

Bagi perempuan yang terinfeksi HIV, penggunaan rifampisin atau

rifambutin mungkin dikontraindikasikan jika menggunakan protease

inhibitor tertentu atau non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor

(NNRTI). Juga jika ada resistensi terhadap dua obat ini, sehingga terapi

pirazinamid diberikan. Dari sekian banyak lini kedua rejimen obat

antituberkulosis , aminoglikosida-streptomisin, kanamisin, amikasin, dan

kapreomisin yang bersifat ototoksik bagi janin dan merupakan

kontraindikasi selama kehamilan ( Bothamley , 2001).

Langkah penanganan TBC pada kehamilan

Sebelum

kehamilan

-konseling mengenai pengaruh kehamilan dan TBC

serta pengobatan

-Pemeriksaan penyaring tuberkulosis pada populasi

risiko tinggi

-perbaikan keadaan umum (gizi, anemia)

Selama

kehamilan

-Tuberkulosis bukan merupakan indikasi untuk

melakukan penguguran kandungan

-Pengobatan dengan regimen kombinasi dapat segera

dimulai begitu diagnosis ditegakkan

-Antenatal care dilakukan seperti biasa, dianjurkan

pasien datang paling awal atau paling akhir untuk

mencegah penularan pada orang di sekitarnya.

Saat persalinan -Persalinan dapat berlangsung seperti biasa. Penderita

diberi masker untuk menutup hidung dan mulutnya

agar tidak terjadi penyebaran kuman ke sekitarnya

-Pemberian oksigen adekuat

-Tindakan pencegahan infeksi (kewaspadaan universal)

-Ekstraksi vakum/forseps bila ada indiasi obstetrik

-Sebaiknya persalinan dilakukan diruang isolasi, cegah

perdarahan pascapersalinan dengan uterotonika.

Pasca persalinan -Observasi 6 – 8 jam kemudian penderita dapat

langsung dipulangkan. Bila tidak mungkin

dipulangkan, penderita harus dirawat diruang isolasi

-Perawatan bayi harus dipisahkan dari ibunya sampai

tidak terlihat tanda proses aktif lagi (dibuktikan dengan

pemeriksaan sputum sebanyak 3 kali dengan hasil

selalu negatif)

-Pemberian ASI tidak merupakan kontraindikasi

meskipun ibu mendapatkan OAT.

-Profilaksis neonatus dengan isoniazid 10mg/kg/khari

dan vaksinasi BCG.

Algoritma diagnosis dan penatalaksanaan TBC

Pemaparan: faktor risiko, kemiskinan, kepadatanGejala yang mengarahkan: hemoptisis, nyeri dada, keringat malam, debilitasi kronik, kehilangan berat badan,demam, pneumonia

Pem. Fisik : abnormalitas paru, tes kulit PPD

Kemungkinan nefatif palsu (anergi)

Dugaan tbc

Hasil tes yang negatif

Reaksi tes kulit yang positif lebih dari 10 mm setelah 48 jam

Pemeriksaan foto toraks dengan penutup abdomen

Isonizid selama 12 bulan kecuali kontraindikasi

Kultur sputum, lambung, biopsi pleura, atau bronkoskopi

Iniltrat, efusi pleura, adenopati, penyakit lobus atas

Diagnosis ditegakkan

Regimen medis: isonizid, etambutol, rifampisin

Tes Tes pada bayi baru lahir, obati jika terpapar dengan penyakit maternal aktif

Perawatan antenatal, persalinan sesuai dengan indikasi obstetrik.