PRESENTASI KASUS
-
Upload
reza-adrian -
Category
Documents
-
view
137 -
download
0
description
Transcript of PRESENTASI KASUS
PRESENTASI KASUS
ASMA DAN INFEKSI TUBERKULOSIS PADA KEHAMILAN
Pembibing : dr. S. Chandra, Sp. OG
I. IDENTITAS
Nama : Ny. I Tgl Lahir : Bogor, 08 – 05 -1986Usia : 27 tahunAlamat : Jl Kemang RT 003/ 010 Sukatani, Tapes – DepokTgl masuk RS : 10 November 2013 pukul 18.00Tgl pemeriksaan : 10 November 2013 pukul 18.00Tgl keluar RS : 14 November 2013Dokter yg merawat : dr.S.Chandra, Sp. OG
II. ANAMNESIS (Autoanamnesis)
Keluhan utama :-
Riwayat perjalanan penyakit :Pasien G2P1A0 Hamil 38 minggu, datang ke RS. Sentra Medika dengan
rujukan ingin melahirkan dengan operasi sesar karena riwayat asma dan TB paru. Mules (-), belum keluar darah ataupun lendir. Belum keluar air ketuban. Mual (-), muntah (-), sesak (+) , batuk (+) tanpa dahak.
Riwayat BAK : lancar, kuning jernih, tidak nyeri saat berkemih
Riwayat BAB: lancar 1x sehari, konsistensi lunak, warna kuning kecoklatan.
Riwayat obstetric: G2P1A0 hamil 38 minggu HPHT : 19 Febuari 2013TP : 26 Desember 2013
Riwayat Menstruasi :
Riwayat ANC :Teratur ke dokter
Riwayat Persalinan :1. jenis kelamin perempuan, lahir normal (PSP), berat 2200 g, lahir tahun 20092. Sekarang, Riwayat TB paru,
Riwayat KB :
Memakai KB suntik tiap 3 bulan. Efek samping flek -
Riwayat Sosial : Alkohol (-), Rokok (-)
Riwayat Penyakit :Asma + sejak lama 10 tahun yang lalu, bila kambuh berbunyi ngik
(wheezing), dada terasa sesak, kambuh hampir >3x seminggu, setiap malam bila tidak mengkonsumsi obat asma, akan timbul rasa sesak. bila asma kambuh pasien memakai obat Meptin, Abbocort inhaler.
Pasien pernah terkena TBC paru tahun 2011, pasien mengaku pernah dicek dahaknya dan foto rontgen terdapat flek paru. Pasien diberikan pengobatan paru karena TB selama 6 bulan. Belum dicek ulang dahak dan foto, tetapi sudah hilang gejalanya. Setelah itu setahun kemudian pasien terkena TBC paru lagi ketika sedang hamil, pasien diberikan pengobatan selama 9 bulan, dan masih mengkonsumsi obatnya yaitu, Rimatacid 1x1, Etambutol 1x2, hasil pemeriksaan dahak terakhir negatif, rontgen negatif.
Riwayat penyakit dulu :- DM -, HT -, Alergi –- Asma + pernah dirawat di ICU tanggal 8 – 7 – 2013 karena status
asmatikus ketika hamil 5 bulan.
III. PEMERIKSAAN FISIKStatus generalis- Keadaan umum : baik- Kesadaran : compos mentis- Berat badan : 58 kg- Tinggi badan : 158 cm- Tekanan darah : 130 / 100 mmHg- Nadi : 89 x / menit- RR : 28 x / menit- Suhu : 36,5 C- Mata : Sklera Ikterik (-), Konjungtiva Anemis (-)- Telinga dan Hidung : Sekret (-), dalam batas normal- KGB : Pembesaran (-)- Jantung : dalam batas normal- Paru :
Inspeksi : simetris, abdominotorakal, retraksi (-)Palpasi : stem fremitus kiri dan kanan sama kuatPerkusi : sonor seluruh lapangan paruAuskultasi : Vesikuler seluruh lapangan paru, Wheezing (-), Rhonki (-)
- Abdomen: dalam batas normal- Ekstremitas dan Kulit : dalam batas normal
Status Obstetrikus L1 : TFU : 28 cm presentasi bokongL2 : punggung kiriL3 : Presentasi kepala
L4 : Belum masuk Pintu atas panggulDJJ : 162 x / menitTBJ : 2480 gHIS : - VT : -
Status GinekologisInspeksi
- Labia Mayor : Tanda radang (-)- Labia minor : Tanda radang (-)- Kelenjar bartholin : Tanda radang (-)- Orifisium uretra eksterna : Tanda radang, darah -, lendir –
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG Hasil USG : ICA : 8,5, berat 2910 g, Lilitan tali pusat (-), hamil 37 – 38
minggu. Jenis kelamin laki-laki
Radiologi : -
Mikrobiologi 6 Juli 2013Kultur dan Resistensi , biakan sputum, hitung koloni –Hasil biakan : Acinobacter baumannii
Antibiotik (ug) HasilAmikacin (AN) 30 SensitifAmoxcillin (AML) 25 ResistenAithromycin (AZM) 15 ResistenCefadroxil (CFR) 30 ResistenCefepime SensitifCefotaxime ResistenCefixime ResistenCefuroxime ResistenChloramphenicol SensitifCiprofloxacin ResistenClindamycin ResistenCeftriaxone IntermediateImipeneme SensitifLevofloxsacin SensitifMetropenem SensitifDoxiciclin ResistenTobramycin SensitifTicarcylin ResistenVancomycin Resisten
Laboratoriumo Tanggal 9 Nov 2013
Hematologi : Coagulasi : Masa perdarahan 3.00/menit , Masa
pembekuan 13.00 /menit Golongan darah : O, Rh faktor positif
Rutin : Hemoglobin : 12,6 gr/dl Hematokrit : 35 % Trombosit : 268.000 /ul Leukosit : 9.630 / ul
o Tanggal 22 Oktober 2013 TB antigen (-) Sputum : Pewarnaan BTA --> BTA negatif Kultur + Resistensi Sputum : Acine baumannii +
o Konsultasi pada bagian paru : FVC : 69 % FEV1 28% PEF 13% Kesan : restriksi ringan dan obstriksi berat dengan toleransi
tindakan berat. TB paru kategori 2. Perbaikan (+).
V. RESUME
VI. DIAGNOSIS
VII. PENATALAKSANAANRencana Sectio Caesaria atas indikasi Asma
VIII. PROGNOSIS- Ad Vitam : bonam- Ad fungtionam : bonam- Ad Sanationam : bonam
DILAKUKAN OPERASI SECTIO CAESARIA PADA TANGGAL 11 NOVEMBER 2013
Diagnosa Pra bedah : G2P1A0 H 38 minggu dengan asma
Laporan operasi1. Pasien dalam posisi telentang2. Dilakukan anestesi spinal3. Asepsis dan antiseptik pada daerah operasi dan sekitarnya4. Incici planenstell -+12 cm5. Setelah peritoneum dibuka, tampak uterus gravidarum6. Segmen bawah uterus disayat semilunar, ditembus dilebarkan secara
tajam7. Dengan bantuan ekstraksi vakum, dilahirkan bayi laki-laki, pukul 08.21,
BBL 3435 gr, PB 52 cm, LK 36 cm, A/S 7,10 , tidak ada lilitan tali pusat.
8. Air ketuban jernih, jumlah +- 300 cc9. Plasenta berimplitasi di corpus posterior, dilahirkan dengan tarikan
ringan.10. Segmen bawah uterus dijahit jelujur 2 lapis dengan safil11. Pada eksplorasi kedua tuba dan ovarium dan batas normal.12. Setelah dijahit tidak ada perdarahan, rongga abdomen dicuci.13. Dinding abdomen dijahit lapis demi lapis.
Diagnosa pasca bedah : Post Sectio Caesaria dengan asma berat
Instuksi Post – Op:- IVFD RL dan injeksi tramadol 100 : 30 tetes / menit- Injeksi Anbacim 1 gr / 12 jam- Supp Prolanges 1 / 8 jam
FOLLOW UP HARIAN12 November 2013S : mual (-), muntah (-), Mulas (-), kentut (-), BAB (-), BAK N, Nyeri daerah
operasi (+), lokia (+), ASI (-) belum keluar
O : K.U baikKes CMTD : 110 / 80 mmHgN : 80 x /menitRR : 20 x /menitS : 36.3 CRembesan luka op (-)
A : P2A0 Post SC a/i asma P : Anbacim 1 gr injeksi
13 November 2013S: mual (-), muntah (-), BAB (-), BAK N, kentut (-), Nyeri daerah operasi (+),
lokia (+), ASI (+).O: K.U baik
Kes CMTD : 120 / 80 mmHgN : 72 x /menitRR : 20 x /menitS : 36.6 CRembesan luka op (-)
A : P2A0 Post SC a/i asma P: Sporetik 2 x 10
Prolanges 5 x 50Tramadol 3 x 50
14 November 2013S : mual (-), muntah (-), flatus (+),BAB (-), BAK N, pusing (+), Nyeri daerah
operasi (+), lokia (+), ASI (+).O: K.U baik
Kes CMTD : 120 / 80 mmHgN : 80 x /menitRR : 16 x /menitS : 35.5 CRembesan luka op (-)
A : P2A0 Post SC a/i asma P: Prolanges 3 x 1
Tramadol 3 x 1Cefixime 2 x 1
PEMBAHASAN KASUS
Berdasarkan hasil anamnesa pasien, tidak didapatkan adanya gangguan dalam kehamilan, pasien belum dalam keadaan inpartu, karena ibu tidak menunjukan maupun tanda-tanda his yang sebenarnya dan pengeluaran pervaginam. Tetapi pasien mengeluh adanya sesak dan batuk.
ASMA PADA KEHAMILANI. Prevalensi
Di Indonesia prevalensi asma sekitar 5 – 6 % dari populasi. Prevalensi
asma dalam kehamilan sekitar 3,7 – 4 %. Hal tersebut membuat asma
menjadi salah satu permasalahan yang biasa ditemukan dalam kehamilan.
II. Patofisiologi
Asma ialah penyakit inflamasi kronis saluran pernapasan dengan
komponen herediter mayor, terkait pada kromosom 5,6,11,12,14,16 dan
reseptor IgE dengan afnitas tinggi, sitokin, reseptor T-sel antigen. Keadaan
ini juga dihubungkan dengan mutasi gen ADAM-33 pada rantai pendek
kromosom 20 individu yang terpapar rokok, influenza (stimulasi alergi
akibat lingkungan). Asma adalah penyakit dimana terdapat obstruksi
saluran napas karena kontraksi otot polos bronkus, hipersekresi mukus dan
edema mukosa.
Adanya inflamasi pada saluran napas dan hiperesponsif terhadap
stimulan termasuk iritan, infeksi viral, aspirin, udara dingin, dan olahraga.
Aktivasi sel mast dimediasi oleh sitokin menyebabkan bronkokonstriksi
dengan melepaskan histamin, prostaglandin d2, dan leukotrien. Karena
prostaglandin seri F dan ergonofin sering mengeksaserbasi asma, obat ini
sering dihindari. Kemungkinan kerentanan setiap individual adalah
stimulan alergi yang berasal dari lingkungan, sebagai contoh yaitu
influenza atau asap rokok.
III. Gejala klinik
Penilaian secara subjektif tidak dapat secara akurat menentukan derajat
asma. Gejala klinik bervariasi dari wheezing ringan, sampai
bronkokonstriksi berat. Pada keadaan ringan, hipoksia dapat dikompensasi
hiperventilasi, ditandai dengan pO2 normal, penurungan PCO2, dan
lakalosis respirasi. Namun, bila bertambah berat akan terjadi kelelahan
yang menyebabkan retensi CO2 akibat hiperventilasi, ditandai dengan
PCO2 yang kembali normal. Bila terjadi gagal napas, ditandai asidosis,
hiperkapnea, adanya pernapasan dalam, takikardi, pulsus paradoksus,
ekspirasi memanjang, penggunaan otot asesori pernapasan, sianosis sentra,
sampai gangguan kesadaran. Keadaan ini bersifat reversibel dan dapat
ditoleransi. Namun pada kehamilan dapat berbahaya akibat adanya
penurunan kapasitas residu.
Gejala klinis yang penting adalah seperti takikardi, pulsus paradoksus,
ekspirasi memanjang dan menggunakan otot bantu pernafasan. Tanda yang
fatal termasuk sianosis sentral dan penurunan kesadaran. Analisa gas darah
memberikan status maternal tentang oksigenasi, ventilasi, dan asam basa,
dengan ini keparahan serangan akut dapat diterapi. Sebagai contoh, pCo2
yang lebih tinggi dari 35 mmHg dengan pH < 7,5 konsisten dengan
hiperventilasi dan retensi CO2 pada wanita hamil.
Analisis gas darah merupakan penilaian objektif oksigenasi maternal,
ventilasi, keseimbangan asam-basa. Pemeriksaan fungsi paru merupakan
penanganan rutin pada semua pasien asma kronis dan akut. Pengukuran
FEV1 sekuensial merupakan gold standart yang menggambarkan derajat
asma. FEV1 < 1 liter (<20%) menggambarkan asma berat. Peak
Expiratory Flow Rate (PEFR) berkolerasi erat dengan FEV1, dan dapat
diukur dengan spirometri dengan mudah.
Perubahan bertahap pada oksigenasi secara utama menggambarkan
mismatch pada ventilasi dan perfusi, karena distribusi pada jalan napas
yang sempit tidak memadai. Presentasi klinis asma ada ditabel 2. Dalam
gejala ringan asma hipoksia dikompensasi dengan hiperventilasi sehingga
terdapat pO2 arteri normal dan pCO2 menurun. Sehingga digambarkan
sebagai alkalosis respiratori. Semakin memburuknya jalan napas
ventilasi/perfusi semakin terganggu mengakibatkan hipoksemia arterial.
Pada obstruksi berat ventilasi menyebabkan kelelahan dan menyebabkan
retensi CO2, karena terjadi hiperventilasi yang pada awalnya terlihat
normal pada pCO2. Akhirnya obstruksi yang bersifat kritis diikuti dengan
gagal napas dengan ciri-ciri hiperkapnea dan acidemia.
Biarpun gejala tersebut secara umum kembali seperti semula, pada
wanita sehat yang tidak hamil, pada tingkat asma yang ringan dapat
membahayakan untuk wanita hamil dan untuk janinnya.
IV. Pengaruh kehamilan terhadap asma
Tidak ada bukti klnik pengaruh kehamilan terhadap asma ataupun
pengaruh asma terhadap kehamilan. Studi perspektif terhadap ibu hail
dengan asma tidak didapatkan perbedaan kelompok yang mengalami
perbaikan, menetap, atau memburuk. Namun ada hubungan antara keadaan
asma sebelum hamil dan morbiditasnya pada kehamilan. Pada asma ringan
13% mengalami serangan pada kehamilan, pada asma moderat 26% , dan
asma berat 50%. Sebanyak 20% dari ibu dengan asma ringan dan moderat
mengalami serangan intrapartum, serta peningkatan risiko serangan 18 kali
lipat setelah persalinan dengan seksio sesaria jika dibandingkan dengan
persalinan pervaginam.
Dalam dua studi lebih dari 500 wanita hamil, terbagi menjadi tiga
hasil yaitu mengalami perbaikan, tidak ada perbaikan, atau semakin
memburuk.
V. Luaran kehamilan
Terdapat komplikasi preeklampsia 11%, IUGR 12%, dan prematuritas
12% pada kehamilan dengan asma. Komplikasi ini bergantung pada
derajat penyakit asma. Status asmatikus dapat menyebabkan gagal napas,
pneumotoraks, pneumomediastinum, kor pulmonale akut, dan aritmia
jantung. Mortalitas meningkat pada pengunaan ventilasi mekanik.
Pada asma berat hipoksia janin dapat terjadi sebelum hipoksia pada ibu
terjadi. Gawat janin terjadi akibat penurunan sirkulasi uteroplasenter dan
venous return maternal. Peningkatan pH (alkali) menyebabkan pergeseran ke
kiri kurva disosiasi oksihemoflobin. Hipoksemia maternal menyebabkan
penuruna aliran darah pada tali pusat, peningkatan resistensi vaskular
pulmonar dan sistemik, dan penurunan cardiac output. Secara umum bila
tidak ada gejala berat asma, maka akan memberikan dampak yang bersifat
minor pada hasil kehamilan. Pada banyak penelitian, mendeskripsikan terdapat
peningkatan kecil insiden pre-eklamsia kelahiran pre-term, BBLR, dan
kematian perinatal. Observasi studi oleh Maternal-Fetal medicine network,
melahirkan sebelum 37 minggu tidak meningkatkan komplikasi asma dalam
1687 kehamilan dengan komplikasi asma dibandingkan dengan 881 kontrol.
Bagaimanapun, untuk 52 wanita dengan asma berat, terjadi peningkatan rata-
rata kejadian dua kali lipat. Sama dengan Bracken dan teman-teman
menemukan bahwa kelahiran pre-term hanya meningkatkan secara minimal
pada wanita dengan asma berat. Pada evaluasi prospektif pada 656 wanita
hamil asmatik dan 1052 kehamilan nonasmatik kontrol, Triche dan teman-
teman menemukan bahwa wanita dengan asma sedang sampai berat,
bergantung dengan pengobatan, meningkatkan resiko pre-eklamsia.
Komplikasi yang mengancam jiwa dari status asmatikus, termasuk
keletihan otot dengan gagal napas, penumothorax, pneumomediastinum, kor
pulmonal akut, dan aritmia jantung. Mortalitas maternal dan pernatal secara
bertahap meningkat ketika ventilasi mekanik diperlukan.
Asma berat jarang menyebabkan alkalosis repiratorik. Pada studi
percobaan hewan dan manusia diduga hipoksemia pada janin dapat terjadi
sebelum terganggunya oksigenasi materna. Terganggunya janin dihipotesiskan
berdasarkan hasil penurunan aliran darah intrauterin, aliran balik vena
maternal menurun dan pergeseran kekiri kurva disosiasi oksihemoglobin
karena alkalosis yang terinduksi.
Hipoksemia pada ibu mencetuskan respon fetus terhadap penurunan
darah umbilikal tersebut meningkatnya resistensi veskuler sistemik dan
pulmoner, dan menurunnya curah jantung. Observasi oleh Bracken,dkk
mengkonfirmasi insiden IUFR meningkat seiring dengan keparahan derajat
asma. Obat-obatan antiasma yang biasa digunakan tidak memiliki efek
samping teratogenik. Risiko pada anak untuk terkena asma bervariasi antara 6
– 30%, bergantung pada faktor herediter dari ibu dan ayah atopik atau
penderita asma.
VI. Penanganan asma kronis
Menurut National Astma Education dan Prevention Program Expert Panel,
1997, penanganan yang efektif asma kronis pada kehamilan harus
mencakup hal-hal berikut.
- penilaian objektif fungsi paru dan kesejahteraan janin
- menghindari / menghilangkan faktor presipitasi lingkungan
- terapi farmakologik
- edukasi pasien
Pasien harus mengukur PEFR 2 kali sehari dengan target 380 – 550
l/menit. Tiap pasien memiliki nilai baseline masing – masing sehingga
terapi dapat disesuaikan. Kromolin disodium atau ipratropium inhalasi
menghambat degranulasi sel mast. Jadi, hanya efektif sebagai pencegahan
pada asma kronis (dapat juga menggunakan leukotrien modifier). Teofilin
(metilxantine) merupakan bronkodilator antiinflamasi.
Kromolin dan nedocromil menghambat degranulasi sel mast. Golongan
ini tidak efektif pada asma akut, dan digunakan pada asma kronik sebagai
preventif. golongan ini tidak lebih unggul dari kortikosteroid inhalasi.
Teofilin adalah golongan metilxantin, dan beberapa variasinya berupa
bronkodilator dan kemungkinan berupakan agen anti-inflamasi. obat ini
jarang diguanakn sejak steroid inhalasi muncul. Beberapa derivat teofilin
diperkirakan berguna pada penggunaan terapi oral dengan dosis
pemeliharaan. Jika respon awal tidak optimal terhadap kortisteroid inhalasi
dan B-agonis.
Pengaruh terhadap kehamilan pada kedua grup yang mendapatkan
teofilin dan betametason mirip. Leukotrien modifier menghambat sintesis
leukotrien obatnya adalah xileoton, zafirinkast, montelukast. Obat ini
diberikan secara oral atau inhalasi untuk pencegahan, tapi tidak efektif
untuk asma akut. Untuk pemeliharaan obat tersebut digunakan bersamaan
dengan steroid untuk mengurangi dosis kortikosteroid.
VII. Penanganan Asma Akut
Penanganan asma akut pada kehamilan sama dengan non hamil, tetapi
hospitality treshol lebih rendah. Dilakukan penanganan aktif dengan
hidrasi intravena, pemberian masker oksigen, supaya pO2 > 60 mmHg dan
saturasi O2 95%. Juga perlu dilakukan pemeriksaan analisis gas darah,
pengukuran FEV1, PEFR, pulse oximetry, dan fetal monitoring.
Lini pertama untuk asma akut adalah B-adrenergik agonist, yaitu
terbutalin, albuterol, isoetharine, epinephrine, isoproterenol, atau
metaproterenol, diberikan subkutan, oral atau inhalasi. Penangan lini
pertama adalah B adrenergic agonis (Subkutan, per oral, inhalasi, loading
dose 4 -6 mg/kgBB dan dilanjutkan dengan dosis 0,8 – 1 mg/kgBB/jam
sampai tercapai kadar terapeutik dalam plasma sebesar 10 – 20
mikrogram/ml). Obat ini akan mengikat reseptor spesifik permukaan sel
dan mengakkitkan adenilil siklase untuk meningkatkan cAMP intrasel dan
relaksasi otot polos bronkus. Terapi selanjutnya bergantung pada
pemantauan respons hasil terapi. Bila FEV1 , PEFR > 70% baseline, boleh
pulang. Namun, bila PEFR baseline setelah 3 kali pemberian B agonis,
perlu observasi di rumah sakit.
Secara umum wanita dengan asma derajat sedang sampai berat
diinstruksikan untuk mengukur dan mencatat PEFR dua kali sehari, Nilai
prediksi dari PEFR berkisar 380-550 L/min. Setiap wanita mempunyai
nilai dasar masing-masing yang berbeda dan pengobatan bisa digunakan
menggunakan nilai tersebut. Pengobatan bergantung dari derajat beratnya
penyakit. Obat yang direkomendasikan untuk rawat jalan berada pada tabel
1.
Derajat Terapi
Intermiten
Ringan
Beta-agonis inhalasi (Isoetharine, metaproterenol,
isoproterenol, salmeterol)
Persisten
Ringan
Beta-agonis inhalasi
Kromolin inhalasi, dilanjutkan jika memberikan respon
yang baik pada waktu hamil
Substitusi dengan Kortikosteroid inhalasi (beclomethasone,
budesonide, triamcinolone)
Persisten
Sedang
Beta-agonis inhalasi
Kortikosteriod inhalasi, ditambahkan terapi oral theofilin
dan/atau salmeterol inhalasi jika tidak adekuat dengan
steroid inhalasi dosis sedang
Persisten Berat Untuk sedang ke atas ditambah kortikosteroid oral untuk
gejala yang sedang aktif, beberapa hari atau setiap hari jika
diperlukan.
Untuk asma ringan B-agonis inhalasi yang biasanya sudah mencukupi,
kortikosteroid inhalasi lebih disukai untuk asma persisten. Obat inhalasi di
administrasi tiap 3 - 4 jam jika dibutuhkan. Tujuan akhir adalah mengurangi
penggunaan B-Agonis sebagai menghilang gejala. Studi kasus kontrol di
Canada dengan metode cohort pada 1.600 wanita tidak hamil dengan asma
menunjukan bahwa kortikosteroid inhalasi mengirangi rawat inap 80% pada
wanita hamil. Wendel dkk. (1996) melaporkan ada pengurangan sebanyak
55% penanganan ulang untuk eksaserbasi yang parah pada wanita yang diberi
kortikosteroid inhalasi dengan dosis pemeliharaan bersamaan dengan terapi B-
Agonis.
Dombrowski dkk.melakukan percobaan secara acak pada hampir 400
wanita hamil dengan asma sedang. Dilakukan perbandingan teofilin oral dan
beclomethasone inhalasi dengan dosis pemeliharaan. Pada kedua kelompok
sekitar 20% mempunyai eksaserbasi, wanita yang mengkonsumsi teofilin
secara signifikan memiliki tingkat diskontinuitas lebih tinggi karena efek
samping teofilin tersebut
Kortikosteroid diberikan awal pada pasien dengan asma akut berat.
Dosis rekomendasinya bisa lebih tinggi dari yang biasanya yaitu
metilprednosolon IV 40 – 60 mg tiap 6 jam.
Karena onset kerjanya muncul beberapa jam pada pemberian IV atau
inflamasi, steroid diberikan juga bersama dengan B- Agonis pada asma
akut. Menejemen lanjut bergantung pada respon terapi, Jika terapi inisial
B-Agonis memperbaiki FEV/PEFR meningkatkan diatas 70% dari batas
normal. Beberapa perempuan dapat membaik dalam 24 jam observasi. Hal
lain dalam perempuan dengan gagal nafas yaitu FEV atau PEFR < 70 %, 3
dosis B-Agonis dapat ditambahkan.
Asma berat yang tidak berespons terhadap terapi dalam 30 – 60 menit
dimasukkan dalam kategori status asmatikus. Penanganan aktif, di ICU
dan intubasi dini, serta penggunaan ventilasi mekanik pada keadaan
kelelahan, retensi CO2, dan hipoksemia akan memperbaiki morbiditas dan
mortalitas.
Langkah pengangan asma pada kehamilan
Sebelum kehamilan -Konseling mengenai pengaruh kehamilan dan asma, serta
pengobatan
-Penyesuaian terapi maintenance untuk optimalisasi
fungsi respirasi.
-Hindari faktor pencetus, alergen.
-Rujukan dini pada pemriksaan antenatal
Selama kehamilan -Penyesuaian terapi untuk mengatasi gejala. Pemantauan
kadar teofilin dalam darah, karena selama hamil terjadi
hemodilusi sehingga memerlukan dosis yang lebih tinggi.
-Pengobatan untuk mencegah serangan dan penanganan
dini bila terjadi serangan.
-Pemberian obat sebaiknya inhalasi, untuk menghindari
efek sistemik pada janin.
-Pemeriksaan fungsi paru ibu.
-Pada pasien yang stabil, NST dilakukan pada akhir
trimester II/ awal trimester III.
-Konsultasi anestesi untuk persiapan persalinan.
Saat persalinan -Pemeriksaan FEV1, PEFR saat masuk rumah sakit dan
diulang bila timbul gejala.
-Oemberian oksigen adekuat
-Kortikosteroid sistemik (hidrokortison 100 mg IV tiap 8
jam) diberikan 4 minggu sebelum persalinan dan terapi
maintenance diberikan selama persalinan.
-Anestesi epidural dapat digunakan selama proses
persalinan. Pada persalinan operatif lebih baik digunakan
anestesi regional untuk menghindari rangsangan pada
intubasi trakea. Penanganan hemoragi pascaeprsalinan
sebaiknya menggunakan uterotonika atau PGE2 oarena
PGF dapat merangsang bronkospasme
Pasca persalinan -Fisioterapi untuk membantu pengeluaran mukus paru,
latihan pernapasan untuk mencegah atau meminimalisasi
atelektasis, mulai pemberian terapi maintenance.
-Pemberian ASI tidak merupakan kontraindikasi
meskipun ibu mendapatkan obat antiasma termasuk
prednison.
Fungsi paru juga diperiksa dengan rutin dalam mengobati asma akut
dan kronik. Pemeriksaan secara sekuensial FEV1 merupakan pemeriksaan
tunggal yang terabik untuk melihat derajat keparahan. FEV1<1 L atau <20%
prediksi berkolerasi dengan keparahan seperti hipoksia, dan respon buruk
terhadap terapi dan tingginya angka kekambuhan.
VIII. STATUS ASMATIKUS DAN GAGAL NAFAS
Asma berat atau asma yang tidak respon setelah 30 – 60 menit terapi
intensif, disebut juga status asmatikus. Brauman dan Kaemerlen
memperlihatkan menejemen dari status asmatikus pada pasien tidak hamil
pada ICU memberikan hasil baik. Pertimbangkan untuk mengintubasi
lebih awal bila status pernafasan ibu memburuk. Fatik, retensi CO2,
hipoxemia adalah indikasi ventilasi mekanik.
IX. MELAHIRKAN
Pengobatan pemeliharaan juga diterukan setelah melahirkan.
Kortikosteroid ‘stress dose’ diberikan wanita secara sistemik untuk 4
minggu kedepan. Obatnya 100 mg hidrocortisone diberikan IV setiap 8
jam. FEV / PEFR harus dipantau pad apengobatan dan pengukuran serial
harus dilakukan jika gejala timbul lagi.
Narkotika non-histamine releasing seperti fentanyl, dapat dipilih
daripada meperidine, ketika melahirkan. Analgesi epidural untuk
melahirkan sangat ideal untuk melahirkan secara operasi. Analgesik
konduksi lebih dipilih karena intubasi trakeal dapat mencetuskan
bronkosepasme berat. Perdarahan postpartum refrakter diobati dengan
prostaglandin E2 atau uterotonika lainnya selain prostaglandin F2Alfa,
yang dimana dapat menyebabkan bronkospasme berat pada pasien asma.
TUBERKULOSIS
I. PREVALENSI
Prevalensi TBC bervariasi di berbagai negara. Prevalensi TBC dalam
kehamilan di Indonesia menurut survei nasional tahun 2004 adalah
119/100.000 penduduk dan dalam kehamilan prevalensi tuberkulosis
bervariasi antara 0, 37 – 1,6%. Meskipun TBC masih menjadi perhatian
utama di seluruh dunia , hal ini jarang terjadi di Amerika Serikat . Di
Amerika serikat, TBC adalah penyakit yang biasa terdapat pada orang
lanjut usia , kaum miskin, kelompok minoritas , dan pasien dengan AIDS .
Tingkat kesembuhan dengan terapi jangka pendek directly observed
therapy (DOT) selama 6 bulan mencapai 90%. Perhatian khusus adalah
munculnya multidrug - resistant TB (MDR - TB). Dalam sebuah survei
yang dilakukan oleh Organisasi Kesehatan Dunia , 12% dari 12.000 pasien
yang terisolasi di Amerika Serikat pada tahun 1997 resisten terhadap
setidaknya satu obat (Espinal dan rekan , 2001) . Namun, pada tahun yang
sama , hanya 1,2% dari pasien yang terisolasi resisten terhadap lebih dari
satu obat. Resistensi obat sangat bervariasi di seluruh dunia ,dan mencapai
14% di beberapa negara. Kemoterapi 6 bulan dengan obat lini pertama
tidak memadai dalam banyak kasus disebabkan oleh strain Tuberculosis
yang resisten. Di Amerika Serikat , telah didapatkan MDR-TB pada orang
dengan infeksi HIV. Dalam beberapa kasus, TBC ditularkan kepada salah
satunya yaitu petugas kesehatan.
II. Etiologi
Penyakit ini disebabkan oleh inhalasi Mycobacterium tuberculosis yang
menyebabkan reaksi granuloma paru. Sebanyak 90% infeksi bersifat laten
dan pada penurunan status imunologik akan menjadi aktif. MDR-TB
(multi drug reistent tuberculosis) bervariasi 1,2 – 14 %. Pada beberapa
pasien, terutama mereka yang immunocompromised atau yang memiliki
penyakit lain, tuberkulosis bias direaktivasi kembali akibat penyakit
tersebut.
III. Gejala klinik
Gejala klinik infeksi tuberkulosis adalah batuk dengan sputum
minimal, hemoptisis, subfebris, penurunan berat badan, dan pada
pemeriksaan foto toraks ditemukan gambaran infiltrat, kavitas, dan
limfadenopati mediastinum. TB ekstra paru dapat terjadi pada setiap
organ, dan hampir 40 persen pasien HIV mengalami tuberculosis yang
bersifat diseminata. (Weinberger dan Weiss, 1999).
Pillay dan rekan kerja (2004) menekankan prevalensi TB banyak pada
ibu hamil yang HIV-positif. Margono dan rekan (1994) melaporkan bahwa
dalam dua rumah sakit di kota New York, banyaknya kasus TB selama
kehamilan dari tahun 1985 hingga 1990 adalah 12 kasus per 100.000
kelahiran. Angka ini naik menjadi 95 per 100.000 kehamilan pada tahun
1992, dan dari 16 wanita hamil dengan TB aktif, 7 dari 11 yang diuji
adalah positif HIV. Di Jackson Memorial Hospital di Miami, Schulte dan
rekan (2002) melaporkan bahwa 21 persen dari 207 wanita hamil yang
terinfeksi HIV memiliki tes kulit positif.
IV. Diagnosis
Basil tahan asam terlihat pada pemeriksaan dahak berulang yang
memberikan dua hasil positif dari tiga pemeriksaan.
Pemeriksaan radiologik harus memakai pelindung timah pada
bdomen, sehingga bahaya radiasi dapat diminimalisasi. Pada trimester I
hindari pemeriksaan foto toraks karena efek radiasi yang sedikitpun masih
berdampak negatif pada sel-sel muda janin. Diagnosis dapat ditegakkan
dengan pemeriksaan hapusan sputum dan ditemukan hasil tahan asam, uji
tuberkulin dengan purified protein derivative (PPD) 5 unit intrakutan,
pemeriksaan kultur darah, PCR, dan interferon gamma kuantitatif pada
infeksi laten TBC.
Pedoman saat ini dari Centers for Disease Control ( 1990)
termasuk skin-test pada wanita hamil dalam kelompok berisiko tinggi
sebagai berikut :
Individu dengan infeksi HIV.
Kontak langsung dengan kasus TB aktif.
Individu dengan faktor risiko medis yang diketahui meningkatkan
risiko penyakit jika terinfeksi.
Orang asing yang lahir dari daerah di mana prevalensi TB tinggi.
Individu yang tidak terjangkau dari pelayanan medis dan penduduk
berpenghasilan rendah.
Alcoholik dan IVDU.
Warga di lingkungan keperawatan jangka panjang.
Antigen pilihan untuk skin-test adalah purified protein derivative
(PPD) dalam kekuatan sedang antara 5 unit tuberkulin. Jika tes
intrakutan digunakan memberikan hasil negatif, evaluasi lebih lanjut tidak
diperlukan. Sebuah skin-test positif ditafsirkan menurut faktor resiko
(American Thoracic Society / Pusat Pengendalian dan Pencegahan
Penyakit , 1990). Untuk pasien dengan risiko tinggi yaitu, mereka yang
HIV-positif , mereka dengan rontgen dada yang tidak normal, atau mereka
yang memiliki kontak terakhir dengan TB aktif kasus dengan ukuran lesi 5
mm atau lebih dianggap positif. Bagi mereka yang berisiko tinggi sejak
lahir yaitu IUFD, penduduk berpenghasilan rendah dengan HIV-negatif,
atau orang-orang dengan kondisi medis yang meningkatkan risiko untuk
TB dengan ukuran lesi 10 mm atau lebih dianggap positif. Untuk orang-
orang dengan tidak ada faktor-faktor risiko, ukuran lesi 15 mm atau lebih
didefinisikan sebagai positif . Jika rontgen dada negatif, maka tidak
diperlukan perawatan sampai setelah melahirkan, walaupun isoniazid
diberikan selama 1 tahun. Pasien yang telah divaksinasi dengan Basil
Calmett-Guerin (BCG) menimbulkan masalah khusus dengan interpretasi
pada skin-test.
Sebuah tes darah mulai tersedia pada tahun 2001 untuk
menentukan status tuberkulosis. Assay adalah untuk kuantifikasi
interferon-alfa dilepaskan dari limfosit yang tesensitisasi dalam darah
keseluruhan yang diinkubasi selama 24 jam dengan PPD . Uji Quantiferon
- TB tampaknya cukup menjanjikan dalam pengujian untuk infeksi laten ,
tetapi saat ini belum digunakan secara luas (Pusat Pengendalian dan
Pencegahan Penyakit , 2003a).
V. Luaran kehamilan
Kehamilan tidak mempengaruhi perjalanan penyakit ini. Jana dan
rekan (1994) melaporkan 79 kehamilan dari India terkomplikasi oleh TBC
paru aktif. Namun, pada kehamilan dengan infeksi TBC risiko
prematuritas, IUGR, dan berat badan lahir rendah meningkat, serta risiko
kematian perinatal meningkat 6 kali lipat. Keadaan ini terjadi baik akibat
diagnosis yang terlambat, pengobatan yang tidak teratur dan derajat
keparahan lesi di paru, maupun infeksi ekstrapulmoner.
Infeksi TBC dapat menginfeksi plasenta, biasanya dalam bentuk
granuloma. Bentuk tuberkel jarang menginfeksi plasenta. Keadaan ini
dapat menyebabkan infeksi pada janin yang menyebabkan tuberkulosis
kongenital. Tuberkulosis kongenital juga termasuk bayi yang terinfeksi
dari aspirasi sekret pada proses persalinan. Neonatal tuberkulosis dapat
menstimulasi infeksi kongenital lainnya, hepatosplenomegali, distress
pernapasan, demam, dan limfadenopati.
Neonatal tuberkulosis jarang terjadi bila ibu sudah mendapatkan
pengobatan sebelum persalinan atau bila uji sputum BTA negatif. Pada ibu
dengan TBC aktif risiko penularan pada bayi 50% pada tahun pertama.
VI. Komplikasi
Jana dan rekan kerja (1999) melaporkan hasil yang ditemukan pada 33
kehamilan dengan komplikasi tuberkulosis. Sepertiga dari wanita dengan
infeksi pada ginjal, usus, dan tulang memiliki bayi dengan berat badan
lahir rendah. Dalam sebuah penelitian di London, Llewelyn dan rekan
(2000) melaporkan bahwa 9 dari 13 wanita hamil memiliki penyakit paru
bersamaan dengan diagnosa yang tertunda. Nanda dan rekan (2002)
dijelaskan paraplegia pada 16 minggu dari tuberculosis pada vertebrae
cervical. Prevost dan Fung Kee Fung (1999) mengkaji 56 kasus meningitis
TB pada kehamilan, dan ada kematian ibu pada sepertiga kasus.
Bakteremia selama kehamilan dapat menginfeksi masuk melewati
plasenta. Hanya dalam beberapa kasus janin terinfeksi sehingga
mengalami Tuberkulosis kongenital. Istilah tuberculosis kongenital juga
berlaku untuk bayi yang baru lahir yang terinfeksi oleh aspirasi sekresi
yang terinfeksi saat melahirkan. Tuberkulosis Neonatal mensimulasikan
infeksi bawaan lainnya dan termasuk hepatosplenomegali, respiratory
distress, demam, dan limfadenopati (Smith, 2002).
Cantwell dan rekan (1994) menemukan hanya 29 kasus TB
kongenital dilaporkan dalam literatur bahasa Inggris sejak tahun 1980.
Hanya 12 ibu memiliki infeksi aktif, dan TB secara umum ditunjukkan
oleh biopsi endometrium postpartum. Adhikari dan rekan (1997)
menjelaskan 11 wanita hamil di Afrika Selatan memberikan hasil kultur
positif pada biopsy endometrium postpartum. Enam dari neonatus tersebut
menderita TB kongenital, dan salah satunya meninggal.
Infeksi Neonatal tidak akan terjadi jika ibu dengan TB aktif telah
diobati sebelum kelahiran atau jika kultur dahak nya memberikan hasil
negatif. Karena bayi baru lahir sangat rentan terhadap tuberkulosis,
sebagian besar penulis merekomendasikan mengisolasikan bayi dari ibu
yang diduga memiliki penyakit aktif. Jika tidak diobati, risiko penyakit
pada bayi yang lahir dari seorang wanita dengan infeksi aktif adalah 50
persen pada tahun pertama (Jacobs dan Abernathy, 1988).
VII. Penanganan
Sebelum kehamilan perlu diberi konseling mengenai pengaruh
kehamilan dan TBC, serta pengobatan. Adanya TBC tidak merupakan
indikasi untuk melakukan abortus. Pengobatan TBC dengan isoniazid,
refampisin, etambutol, dan pirazinamid tidak merupakan kontraindikasi
pada kehamilan. Pengobatan TBC dengan amino-glikosida (streptomisin)
merupakan kontraindikasi pada kehamilan karena dapat menyebabkan
ototoksik pada janin.
Pengobatan TBC dalam kehamilan menurut rekomendasi WHO adalah
dengan pemberian 4 regimen kombinasi isoniazid, rifampisin, etambutol,
dan pirazinamid selama 6 bulan. Cara pengobatan sama dengan yang tidak
hamil. Dapat juga diberikan 3 regimen kombinasi, isonizid, rifampisin,
etambutol, selama 9 bulan. Angka kesembuhan 90% pada pengobatan
selama 6 bulan directly observed therapy (DOT) pada infeksi baru.
Saat persalinan mungkin diperlukan pemberian oksigen yang adekuat
dan cara persalinan sesuai indikasi obstetrik. Pemakaian masker dan
ruangan isolasi duperlukan untuk mencegah penularan. Pemberian ASI
tidak merupakan kontraindikasi meskipun ibu mendapatkan obat anti TBC.
Perlu diberikan vaksinasi BCG setelah profilaksis dengan isonizid 10
mg /kg/hari pada bayi dari ibu dengan tuberkulosis.
Pada pasien hamil dengan tes tuberkulin positif dengan umur lebih
muda dari 35 tahun dan yang tidak memiliki bukti mengalami TB aktif,
diberikan isoniazid 300mg sehari diberikan selama 1 tahun. Isoniazid telah
digunakan selama puluhan tahun dan dianggap aman pada kehamilan
(Briggs dan rekan , 2002). Namun, ada wanita dengan HIV-negatif,
sebagian besar dokter menyarankan terapi ditunda sampai setelah
melahirkan. Karena peningkatan risiko hepatitis yang diinduksi oleh
isoniazid pada wanita postpartum , beberapa dokter merekomendasikan
menahan terapi hingga 3 sampai 6 bulan setelah melahirkan.
Ada pengecualian untuk menunda pengobatan pada kehamilan. Skin-
test dengan hasil positif pada perempuan TB aktif diobati karena kejadian
infeksi adalah 0,5 persen per tahun. Perempuan dengan HIV-positif
perludirawat karena mereka memiliki risiko sebesar 8% untuk mengalami
TB aktif (Brost dan Newman , 1997) . Sebuah alternatif dalam pengobatan
untuk menunda terapi sampai setelah 12 minggu pada wanita-wanita tanpa
gejala. Hepatitis yang terinduksi karena isoniazid lebih sering terjadi pada
pasien yang lebih muda dari 35 tahun. Meskipun pemantauan enzim liver
menunjukkan bahwa 10% sampai 20% pasien memiliki elevasi transien,
terapi terapi tidak dihentikan kecuali terdapat peningkatan lima kali lipat
diatas nilai normal (Weinberger dan Weiss , 1999). The Centers of Disease
Control and Prevention tidak merekomendasikan pemantauan serum
transaminase secara rutin.
Karena munculnya resistensi terhadap obat, The Centers of Disease
Control and Prevention (2003c) merekomendasikan empat regimen obat
untuk pengobatan awal secara empiris pada pasien hamil dengan gejala
tuberculosis. Obat ini adalah isoniazid, rifampisin, pirazinamid, dan
etambutol. Jika organisme sepenuhnya resistensi, etambutol dihentikan,
dan rejimen tiga jenis obat yang tersisa dilanjutkan sampai total 6 bulan.
Uji resistensi terhadap obat dilakukan pada semua isolat pertama .
Rekomendasi pengobatan awal untuk pasien hamil adalah rejimen tiga
jenis obat dengan isoniazid, rifampisin, dan etambutol . Jika organisme
resisten, rejimen diberikan untuk total 9 bulan. Menurut Bothamley
( 2001), semua obat ini aman selama kehamilan. Pirazinamid ditambahkan
jika diperlukan. World Health Organization merekomendasikan terapi
awal dengan regimen empat obat selama 6 bulan, seperti yang ditentukan
untuk orang dewasa tidak hamil. Laporan dari MDR-TB selama kehamilan
sedikit, dan Lessnau dan Qurah ( 2003) dan Shin dan rekan ( 2003 ) telah
meninjau pilihan dalam terapi. Menyusui tidak dilarang selama terapi obat
antituberkulosis .
Bagi perempuan yang terinfeksi HIV, penggunaan rifampisin atau
rifambutin mungkin dikontraindikasikan jika menggunakan protease
inhibitor tertentu atau non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor
(NNRTI). Juga jika ada resistensi terhadap dua obat ini, sehingga terapi
pirazinamid diberikan. Dari sekian banyak lini kedua rejimen obat
antituberkulosis , aminoglikosida-streptomisin, kanamisin, amikasin, dan
kapreomisin yang bersifat ototoksik bagi janin dan merupakan
kontraindikasi selama kehamilan ( Bothamley , 2001).
Langkah penanganan TBC pada kehamilan
Sebelum
kehamilan
-konseling mengenai pengaruh kehamilan dan TBC
serta pengobatan
-Pemeriksaan penyaring tuberkulosis pada populasi
risiko tinggi
-perbaikan keadaan umum (gizi, anemia)
Selama
kehamilan
-Tuberkulosis bukan merupakan indikasi untuk
melakukan penguguran kandungan
-Pengobatan dengan regimen kombinasi dapat segera
dimulai begitu diagnosis ditegakkan
-Antenatal care dilakukan seperti biasa, dianjurkan
pasien datang paling awal atau paling akhir untuk
mencegah penularan pada orang di sekitarnya.
Saat persalinan -Persalinan dapat berlangsung seperti biasa. Penderita
diberi masker untuk menutup hidung dan mulutnya
agar tidak terjadi penyebaran kuman ke sekitarnya
-Pemberian oksigen adekuat
-Tindakan pencegahan infeksi (kewaspadaan universal)
-Ekstraksi vakum/forseps bila ada indiasi obstetrik
-Sebaiknya persalinan dilakukan diruang isolasi, cegah
perdarahan pascapersalinan dengan uterotonika.
Pasca persalinan -Observasi 6 – 8 jam kemudian penderita dapat
langsung dipulangkan. Bila tidak mungkin
dipulangkan, penderita harus dirawat diruang isolasi
-Perawatan bayi harus dipisahkan dari ibunya sampai
tidak terlihat tanda proses aktif lagi (dibuktikan dengan
pemeriksaan sputum sebanyak 3 kali dengan hasil
selalu negatif)
-Pemberian ASI tidak merupakan kontraindikasi
meskipun ibu mendapatkan OAT.
-Profilaksis neonatus dengan isoniazid 10mg/kg/khari
dan vaksinasi BCG.
Algoritma diagnosis dan penatalaksanaan TBC
Pemaparan: faktor risiko, kemiskinan, kepadatanGejala yang mengarahkan: hemoptisis, nyeri dada, keringat malam, debilitasi kronik, kehilangan berat badan,demam, pneumonia
Pem. Fisik : abnormalitas paru, tes kulit PPD
Kemungkinan nefatif palsu (anergi)
Dugaan tbc
Hasil tes yang negatif
Reaksi tes kulit yang positif lebih dari 10 mm setelah 48 jam
Pemeriksaan foto toraks dengan penutup abdomen
Isonizid selama 12 bulan kecuali kontraindikasi
Kultur sputum, lambung, biopsi pleura, atau bronkoskopi
Iniltrat, efusi pleura, adenopati, penyakit lobus atas
Diagnosis ditegakkan
Regimen medis: isonizid, etambutol, rifampisin
Tes Tes pada bayi baru lahir, obati jika terpapar dengan penyakit maternal aktif
Perawatan antenatal, persalinan sesuai dengan indikasi obstetrik.