PRESENTASI KASUS

71
1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Hipertensi dalam kehamilan merupakan 5- 15% penyulit kehamilan dan merupakan salah satu dari tiga penyebab tertinggi mortalitas dan morbiditas ibu bersalin. Di Indonesia mortalitas dan morbiditas hipertensi dalam kehamilan juga masih cukup tinggi. Hal ini disebabkan selain oleh etiologi tidak jelas, juga oleh perawatan dalam persalinan masih ditangani oleh petugas non medis dan sistem rujukan yang belum sempurna. Hipertensi dalam kehamilan dapat dialami oleh semua lapisan ibu hamil sehingga pengetahuan tentang pengelolaan hipertensi dalam kehamilan harus benar- benar dipahami oleh semua tenaga medis baik di pusat maupun di daerah (Prawirohardjo, 2008). Asma adalah salah satu kondisi medis yang paling umum yang mempengaruhi hidup wanita usia reproduksi (Daftary & Desay, 2008). Asma merupakan kondisi medis yang serius berpotensi umum dapat mempersulit sekitar 4-8% dari kehamilan (ACOG, 2008). Rey dan Boulet pada tahun 2007 mendapatkan prevalensi wanita hamil dengan asma antara 3,4 - 12,4% (Subijanto, 2008). Keparahan pasien dengan asma selama kehamilan sangat bervariasi.

description

Obstetri Ginekologi

Transcript of PRESENTASI KASUS

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Hipertensi dalam kehamilan merupakan 5- 15% penyulit kehamilan dan

merupakan salah satu dari tiga penyebab tertinggi mortalitas dan morbiditas ibu

bersalin. Di Indonesia mortalitas dan morbiditas hipertensi dalam kehamilan juga

masih cukup tinggi. Hal ini disebabkan selain oleh etiologi tidak jelas, juga oleh

perawatan dalam persalinan masih ditangani oleh petugas non medis dan sistem

rujukan yang belum sempurna. Hipertensi dalam kehamilan dapat dialami oleh

semua lapisan ibu hamil sehingga pengetahuan tentang pengelolaan hipertensi

dalam kehamilan harus benar- benar dipahami oleh semua tenaga medis baik di

pusat maupun di daerah (Prawirohardjo, 2008).

Asma adalah salah satu kondisi medis yang paling umum yang

mempengaruhi hidup wanita usia reproduksi (Daftary & Desay, 2008). Asma

merupakan kondisi medis yang serius berpotensi umum dapat mempersulit sekitar

4-8% dari kehamilan (ACOG, 2008). Rey dan Boulet pada tahun 2007

mendapatkan prevalensi wanita hamil dengan asma antara 3,4 - 12,4% (Subijanto,

2008). Keparahan pasien dengan asma selama kehamilan sangat bervariasi. Pada

sekitar sepertiga wanita asma menjadi lebih buruk, dalam satu sepertiga lainnya

menjadi kurang parah dan dalam sepertiga yang tersisa itu tetap tidak berubah

selama kehamilan (Manju & Hemali, 2014).

Pada pasien yang memiliki gejala asma, minggu kehamilan ke- 24 sampai

36 cenderung menjadi yang paling sulit. Hanya 10% dari wanita akan mengalami

eksaserbasi asma selama persalinan dan melahirkan, dan keparahan cenderung

untuk kembali ke semula setelah 3 bulan postpartum (Daftary & Desay, 2008).

Berdasarkan penelitian selama abad ke-20 menunjukkan bahwa pada

keparahan asma yang meningkat keluaran bayi dapat lebih buruk dan dengan

manajemen asma agresif keluaran bayi biasanya baik (Daftary & Desay, 2008).

2

B. Tujuan

Tujuan dari penyusunan presentasi kasus ini adalah :

Mengetahui cara penegakkan diagnosis dan penatalaksanaan hipertensi

dalam kehamilan dan asma pada kehamilan.

3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN

1. TERMINOLOGI

Terminologi yang dipakai adalah

a. Hipertensi dalam kehamilan, atau

b. Preeklampsia – eklampsia (Prawirohardjo, 2008).

2. KLASIFIKASI

Pembagian klasifikasi berdasarkan Report of The National High Blood

Pressure Education Program Working Group on High Blood Pressure in

Pregnancy tahun 2001, ialah:

a. Hipertensi kronik

Hipertensi kronik adalah hipertensi yang timbul sebelum usia kehamilan

20 minggu dan berlangsung sampai setelah 12 minggu postpartum.

b. Preeklampsia- eklampsia

Preeklampsia adalah hipertensi yang timbul setelah 20 minggu kehamilan

disertai dengan proteinuria. Eklampia adalah preeclampsia yang disertai

dengan kejang- kejang dan atau koma.

c. Hipertensi kronik dengan superimposed preeclampsia

Hipertensi kronik dengan superimposed preeclampsia adalah hipertensi

kronik disertai tanda- tanda preeklampsia atau hipertensi kronik disertai

proteinuria.

d. Hipertensi Gestasional

Hipertensi gestasional adalah hipertensi yang timbul pada kehamilan tanpa

disertai proteinuria dan hipertensi menghilang setelah 12 minggu

postpartum (Whitty, 2004 Praorohardjo, 2008).

4

3. PATOFISIOLOGI

Penyebab hipertensi dalam kehamilan hingga kini belum diketahui

dengan jelas. Banyak teori telah dikemukakan tentang terjadinya hipertensi

dalam kehamilan, tetapi tidak ada satu pun teori tersebut yang dianggap

mutlak benar. Teori- teori yang sekarang banyak dianut adalah:

a. Teori kelainan vaskularisasi plasenta

Pada kehamilan normal, rahim dan plasenta mendapat aliran darah

dari cabang- cabang arteri uterine dan arteri ovarika. Kedua pembuluh

darah tersebut menembus miometrium berupa arteri arkuata dan arteri

arkuata member cabang arteria radialis. Arteria radialis menembus

endometrium menjadi arteri basalis dan arteri basalis member cabang

arteria spiralis (Prawirohardjo, 2008).

Pada hamil normal, dengan sebab yang belum jelas, terjadi infasi

trofoblas ke dalam lapisan otot arteria spiralis, yang menimbulkan

degenerasi lapisan otot tersebut sehingga terjadi dilatasi arteri spiralis.

Invasi trofoblas juga memasuki jaringan sekitar arteri spiralis, sehingga

jaringan matriks menjadi gembur dan memudahkan lumen arteri spiralis

mengalami distensi dan dilatasi. Distensi dan vasodilatasi lumen arteri

spiralis ini member dampak penurunan tekanan darah, penurunan

resistensi vascular, dan peningkatan aliran darah pada daerah utero

plasenta. Akibatnya, aliran darah ke janin cukup banyak dan perfusi

jaringan juga meningkat, sehingga dapat menjamin pertumbuhan janin

dengan baik. Proses ini dinamakan “remodeling arteri spiralis”

(Prawirohardjo, 2008).

Pada hipertensi dalam kehamilan tidak terjadi invasi sel- sel

trofoblas pada lapisan otot arteri spiralis dan jaringan matriks sekitarnya.

Lapisan otot arteri spiralis menjadi tetap kaku dank eras sehingga lumen

arteri spiralis tidak memungkinkan mengalami distensi dan vasodilatasi.

Akibatnya, arteri spiralis relative mengalami vasokonstriksi, dan terjadi

kegagalan “remodeling arteri spiralis”, sehingga aliran darah utero

5

plasenta menurun, dan terjadilah hipoksia dan iskemia plasenta. Dan

iskemia plasenta akan menimbulkan perubahan- perubahan yang dapat

menjelaskan patogenesis hipertensi dalam kehamilan selanjutnya.

Diameter rata- rata arteri spiralis pada hamil normal adalah 500

mikron, sedangkan pada preeclampsia rata- rata 200 mikron. Pada hamil

normal vasodilatasi lumen arteri spiralis dapat meningkatkan 10 kali aliran

darah ke utero plasenta (Prawirohardjo, 2008).

b. Teori iskemia plasenta, radikal bebas, dan disfungsi endotel

1) Iskemia plasenta dan pembentukan oksidan/ radikal bebas

Sebagaimana dijelaskan pada teori invasi trofoblas, pada

hipertensi dalam kehamilan terjadi kegagalan “remodeling arteri

spiralis”, dengan akibat plasenta mengalami iskemia. Plasenta yang

mengalami iskemia dan hipoksia akan menghasilkan oksidan (radikal

bebas). Oksidan atau radikal bebas adalah senyawa penerima electron

atau atom/ molekul yang mempunyai electron yang tidak berpasangan.

Salah satu oksidan penting yang dihasilkan plasenta iskemia adalah

radikal hidroksial yang sangat toksis, khususnya terhadap membran sel

endotel pembuluh darah. Sebenarnya produksi oksidan pada manusia

adalah suatu proses normal, karena oksidan memang dibutuhkan untuk

perlindungan tubuh. Adanya radikal hidroksil dalam darah mungkin

dahulu dianggap sebagai bahan toksin yang beredar dalam darah,

maka dulu hipertensi dalam kehamilan disebut toxemia

(Prawirohardjo, 2008).

Radikal hidroksil akan merusak membrane sel, yang

mengandung banyak asam lemak tidak jenuh menjadi peroksida

lemak. Peroksida lemak selain akan merusak membrane sel, juga akan

merusak nukleus, dan protein sel endotel. Produki oksidan (radikal

bebas) dalam tubuh yang bersifat toksis, selalu diimbangi dengan

produksi antioksidan 9Prawirohardjo, 2008).

2) Peroksida lemak sebagai oksidan pada hipertensi dalam kehamilan

6

Pada hipertensi dalam kehamilan telah terbukti bahwa kadar

oksidan, khususnya peroksida lemak meningkat, sedangkan

antioksidan, missal vitamin E pada hipertensi dalam kehamilan

menurun, sehingga terjadi dominasi kadar oksidan peroksida lemak

yang relatif tinggi. Peroksida lemak ebagai oksidan, radikal bebas

yang sangat toksis ini akan beredar di seluruh tubuh dalam aliran darah

dan akan merusak membrane sel endotel. Membran sel endotel lebih

mudah mengalami kerusakan oleh peroksida lemak karena letaknya

langsung berhubungan dengan aliran darah dan mengandung banyak

asam lemak tidak jenuh. Asam lemak tidak jenuh sangat rentan

terhadap oksidan radikal hidroksil, yang akan berubah menjadi

peroksida lemah (Prawirohardjo, 2008).

3) Disfungsi sel endotel

Akibat sel endotel terpapar terhadap peroksida lemak, maka

terjadi kerusakan sl endotel yang kerusakannya dimulai dari

membrane sel endotel. Kerusakan membrane sel endotel

mengakibatkan terganggunya fungsi endotel, bahkan rusaknya seluuh

strukur sel endotel. Keadaan ini disebut “disfungsi endotel”. Pada

waktu terjadi kerusakan sel endotel yang mengakibatkan disfungsi sel

endotel, maka akan terjadi:

a). Gangguan metabolism prostaglandin, karena salah satu fungsi sel

endotel adalah memproduksi prostaglandin, yaitu menurunnya

produksi prostasiklin (PGE2), suatu vasodilatator kuat

(Prawirohardjo, 2008).

b). Agregasi sel- sel trombosit pada daerah endotel yang mengalami

kerusakan. Agregasi el trombosit ini adalah untuk menutup

tempat- tempat di lapisan endotel yang mengalami kerusakan.

Agregari trombosit memproduksi tromboksan (TXA2) suatu

vaskonstriktor kuat. Dalam keadaan normal perbandingan kadar

prostasiklin/ tromboksan lebih tinggi kadar prostasiklin (lebih

7

tinggi vasodilatator). Pada preeclampsia kadar tromboksan lebih

tinggi dari kadar prostasiklin sehingga terjadi vasokonstriksi

dengan terjadi kenaikan tekanan darah (Prawirohardjo, 2008).

c). Perubahan khas pada sel endotel kapiler glomerulus (glomerular

endotheliosis) (Prawirohardjo, 2008).

d). Peningkatan permeabilitas kapilar (Prawirohardjo, 2008).

e). Peningkatan produksi bahan- bahan vasopresor, yaitu endotelin.

Kadar NO (vasodilatator) menurun, sedangkan endotelin

(vasokonstriktor) meningkat (Prawirohardjo, 2008).

f). Peningkatan faktor koagulasi (Prawirohardjo, 2008).

c. Teori intoleransi imunologik antara ibu dan janin

Dugaan bahwa faktor imunologik berperan terhadap terjadinya

hipertensi dalam kehamilan terbukti dengan fakta sebagai berikut:

1). Primigravida mempunyai risiko lebih besar terjadinya hipertensi dalam

kehamilan jika dibandingkan dengan multigravida.

2). Ibu multipara yang kemudian menikah lagi mempunyai risiko lebih

besar terjadinya hipertensi dalam kehamilan jika dibandingkan dengan

suami yang sebelumnya.

3). Seks oral mempunyai risiko lebih rendah terjadinya hipertensi dalam

kehamilan. Lamanya periode hubungan seks sampai sat kehamilan

ialah makin lama periode ini, makin kecil terjadinya hipertensi dalam

kehanilan.

Pada perempuan hamilo normal, respons imun menolak adanya

“hasil konsepsi” yang bersifat asing. Hal ini desebabkan adanya human

leukocyte antigen protein G (HLA-G) yang berperan penting dalam

modulasi sistem imun sehingga si ibu tidak menolak hasil konsepsi

(plasenta). Adanya HLA-G pada plasenta dapat melindungi trofoblas janin

dari lisis oleh sel Natural Killer (NK) ibu (Prawirohardjo, 2008).

Selain itu, adanya HLA-G akan mempermudah invasi sel trofoblas

ke dalam jaringan desidua ibu. Jadi HLA-G merupakan prakondisi untuk

8

terjadinya invasi trofoblas ke dalam jaringan desidua ibu, di samping

untuk menghadapi sel Natural Killer. Pada plasenta hipertensi dalam

kehamilan, menghambat invasi trofoblas ke dalam desidua. Invasi

trofoblas sangat penting agar jaringan desidua menjadi lunak, dan gembur

sehingga memudahkan terjadinya dilatasi arteri spiralis. HLA-G juga

merangsang produksi sitikon, sehingga memudahkan terjadinya reaki

inflamasi. Kemungkinan erjadi immune Maladaptation pada preeklampsia

(Prawirohardjo, 2008).

Pada awal trimester kedua kehamilan perempuan yang mempunya

kecenderungan terjadi preeclampsia, ternyata mempunyai proporsi Helper

Sel yang lebih rendah disbanding pada normotensif (Prawirohardjo, 2008).

d. Teori adaptasi kardiovaskular

Pada hamil normal pembuluh darah refrakter terhadap bahan-

bahan vasopresor. Refrakter berarti pembuluh darah tidak peka terhadap

rangsangan bahan vasopresor atau dibutuhkan kadar vasopresor yang lebih

tinggi untuk menimbulkan respons vasokonstriksi. Pada kehamilan normal

terjadinya refrakter pembuluh darah terhadap bahan vasopresor adalah

akibat dilindungi oleh adanya sintesis prostaglandin pada sel endotel

pembuluh darah. Hal ini dibuktikan bahwa daya refrakter terhadap bahan

vasopresor akan hilang bila diberi prostaglandin sintesa inhibitor (bahan

yang menghambat produksi prostaglandin). Prostaglandin ini di kemudian

hari ternyata adalah prostasiklin (Prawirohardjo, 2008).

Pada hipertensi dalam kehamilan kehilangan daya refrakter

terhadap bahan vasokonstriktor dan ternyata terjadi peningkatan kepekaan

terhadap bahan- bahan vasopresor. Artinya daya refrakter pembuluh darah

terhadap bahan vasopresor hilang sehingga pembuluh darah menjadi

sangat peka terhadap bahan vasopresor. Banyak peneliti telah

membuktikan bahwa peningkatan kepekaan terhadap bahan- bahan

vasopresor pada hipertensi dalam kehamilan sudah terjadi pada trimester I

(pertama). Peningkatan kepekaan dalam kehamilan yang akan menjadi

9

hipertensi dalam kehamilan, sudah dapat ditemukan pada kehamilan dua

puluh minggu. Fakta ini dipakai sebagai prediksi akan terjadinya

hipertensi dalam kehamilan (Prawirohardjo, 2008).

e. Teori genetik

Ada faktor keturunan dan familiar dengan model gen tunggal.

Genotipe ibu lebih menentukan terjadinya hipertensi dalam kehamilan

secara familial jika dibandingkan dengan genotipe janin. Telah terbukti

bahwa pada ibu yang mengalami preeclampsia 26% anak perempuannya

akan mengalami preeklampsia pula, sedangkan hanya 8% anak menantu

mengalami preeklampsia (Prawirohardjo, 2008).

f. Teori defisiensi gizi (teori diet)

Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa kekurangan

defisiensi gizi berperan dalam terjadinya hipertensi dalam kehamilan.

Penelitian yang penting yang pernah dilakukan di Inggris ialah penelitian

tentang pengaruh diet pada preeclampsia beberapa waktu bsebelum

pecahnya Perang Dunia II. Suasana serba sulit mendapat gizi yang cukup

dalam persiapan perang menimbulkan kenaikan insiden hipertensi dalam

kehamilan (Prawirohardjo, 2008).

Penelitian terakhir membuktikan bahwa konsumsi minya ikan

termasuk minyak hati halibut dapat mengurangi risiko preeclampsia.

Minyak ikan mengandung banyak asam lemah tidak jenuh yang dapat

menghambat produksi tromboksan, menghambat aktivasi trombosit dan

mencegah vasokonstriksi pembuluh darah (Prawirohardjo, 2008).

Beberapa peneliti telah mencoba melakukan uji klinik untuk

memakai konsumsi minyak ikan atau bahan yang mengandung asam

lemah tak jenuh dalam mencegah preeclampsia. Hasil sementara

menunjukkan bahwa penelitian ini berhasil baik dan mungkin dapat

dipakai sebagai alternative pemberian aspirin (Prawirohardjo, 2008).

Beberapa peneliti juga menganggap bahwa defisiensi kalsium pada

diet perempuan hamil mengakibatkan risiko terjadinya preeclampsia/

10

eklampsia. Peneliti di Negara Equador Andes dengan metode uji klinik,

ganda tersamar, dengan membandingkan pemberian kalsium dan plasebo.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ibu hamil yang diberi suplemen

kalsium cukup, yang mengalami preeclampsia adalah 14% sedang yang

diberi glukosa 17% (Prawirohardjo, 2008).

g. Teori stimulus inflamasi

Teori ini berdasarkan fakta bahwa lepasnya debris trofoblas di

dalam sirkulasi darah merupakan rangsangan utama terjadinya proses

inflamasi. Pada kehamilan normal plasenta juga melepaskan debris

trofoblas, sebagai sisa- sisa proses apoptosis dan nekrotik trofoblas akibat

reaksi stress oksidatif (Prawirohardjo, 2008).

Bahan- bahan ini sebagai bahan asing yang kemudia merangsang

timbulnya proses inflamasi. Pada kehamilan normal, jumlah debris

trofoblas masih dalam batas wajar sehingga reaki inflamasi juga masih

dalam batas normal. Berbeda dengan proses apoptosis pada preeklampsia

dimana pada preeklampsia terjadi peningkatan stress oksidatif sehingga

produksi debris apoptosis dan nekrotik trofoblas juga meningkt. Makin

banyak sel trofoblas plasenta misalnya pada plasenta besar, pada hamil

ganda, maka reaksi stress oksidatif akan sangat meningkt, sehingga jumlah

sisa debris plasenta juga makin meningkat. Keadaan ini menimbulkan

beban reaksi inflamasi dalam darah ibu menjadi jauh lebih besar,

disbanding reaksi inflamasi pada kehamilan normal. Respons inflamasi ini

akan mengaktivasi sel endotel, dan sel- sel makrofag/ granulosit yang

lebih besar pula sehingga terjadi reaksi sistemik inflamasi yang

menimbulkan gejala- gejala preeclampsia pada ibu (Prawirohardjo, 2008).

Redman, menyatakan bahwa disfungsi endotel pada preeclampsia

akibat produksi debris trofoblas plasenta berlebihan tersebut di atas,

mengakibatkan”aktifitas leukosit yang sangat tinggi” pada sirkulasi ibu.

Peristiwa ini oleh Redman disebut sebagai “kekacauan adaptasi dari

11

proses inflamasi intravaskular pada kehamilan” yang biasanya

berlangsung normal dan menyeluruh (Prawirohardjo, 2008).

4. FAKTOR RISIKO (Prawirohardjo, 2008)

1. Primigravida, primipaternitas

2. Hiperplasentosis (misalnya pada mola hidatidosa, kehamilan multiple,

diabetes mellitus, hidrops fetalis, bayi besar)

3. Umur

4. Riwayat keluarga pernah memiliki tekanan darah tinggi, preeclampsia/

eklampsia

5. Penyakit- penyakit ginjal dan hipertensi yang sudah ada sebelum hamil

6. Obesitas

5. PENEGAKKAN DIAGNOSIS (POGI, 2005)

1. Pengukuran tekanan darah

2. Pengukuran kadar proteinuria

a. Secara Escbach

b. Dipstik

6. PENATALAKSANAAN

1. Anti kejang

2. Anti hipertensi

12

B. ASMA DALAM KEHAMILAN

1. DEFINISI

Asma merupakan penyakit inflamasi kronis saluran nafas yang

melibatkan banyak sel dan elemen seluler yang mengakibatkan hiperresponsif

jalan nafas yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak

nafas, dada terasa berat dan batuk-batuk terutama pada malam hari dan atau

dini hari. Episode tersebut berhubungan dengan obstruksi jalan nafas dan

seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan (GINA, 2012)

2. KLASIFIKASI KEPARAHAN ASMA

Dari National Institutes of Health, National Heart, Lung, and Blood

Institute. National Asthma Education Program (2007).

Tabel 2.1. KLASIFIKASI KEPARAHAN ASMA

  Severity

  Intermittent   Persistent  

KOMPONEN   Mild Moderate Severe

GEJALA 2 hari/minggu

>2 hari/minggu, tidak setiap hari

Daily Sepanjang hari

TERBANGUN MALAM HARI

2x/bulan 3–4x/bulan >1/minggu, tidak setiap malam

sering 7x/minggu

SHORT ACTING β AGONIST UNTUK GEJALA

2 hari/minggu

2 hari/ minggu, tetapi tidak >1x/hari

Setiap hari Beberapa kali sehari

INTERVERENSI DENGAN AKTIFITAS NORMAL

Tidak ada Pembatasan kecil

Beberapa keterbatasan

Sangat terbatas

FUNGSI PARU PARU Normal antara eksaserbasi

     

13

FEV1 >80% terprediksi

80% terprediksi

60–80% terprediksi

<60% terprediksi

FEV1/FVC Normal Normal Menurun 5% Menurun >5%

FEV = forced expiratory volume, FVC = forced vital capacity.

3. PATOFISIOLOGI

Asma merupakan inflamasi kronik saluran napas. Berbagai sel

inflamasi berperan terutama sel mast, eosinofil, sel limfosit T, makrofag,

neutrofil dan sel epitel. Faktor lingkungan dan berbagai faktor lain berperan

sebagai penyebab atau pencetus inflamasi saluran napas pada penderita asma.

Inflamasi terdapat pada berbagai derajat asma baik pada asma intermiten

maupun asma persisten. Inflamasi dapat ditemukan pada berbagai bentuk

asma seperti asma alergik, asma nonalergik, asma kerja dan asma yang

dicetuskan aspirin.

INFLAMASI AKUT

Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor antara lain

alergen, virus, iritan yang dapat menginduksi respons inflamasi akut yang

terdiri atas reaksi asma tipe cepat dan pada sejumlah kasus diikuti reaksi asma

tipe lambat.

Reaksi Asma Tipe Cepat

Alergen akan terikat pada IgE yang menempel pada sel mast dan terjadi

degranulasi sel mast tersebut. Degranulasi tersebut mengeluarkan preformed

mediator seperti histamin, protease dan newly generated mediator seperti

leukotrin, prostaglandin dan PAF yang menyebabkan kontraksi otot polos

bronkus, sekresi mukus dan vasodilatasi.

Reaksi Fase Lambat

Reaksi ini timbul antara 6-9 jam setelah provokasi alergen dan melibatkan

pengerahan serta aktivasi eosinofil, sel T CD4+, neutrofil dan makrofag.

14

INFLAMASI KRONIK

Berbagai sel terlibat dan teraktivasi pada inflamasi kronik. Sel tersebut ialah

limfosit T, eosinofil, makrofag , sel mast, sel epitel, fibroblast dan otot polos

bronkus.

Limfosit T

Limfosit T yang berperan pada asma ialah limfosit T-CD4+ subtipe Th2).

Limfosit T ini berperan sebagai orchestra inflamasi saluran napas dengan

mengeluarkan sitokin antara lain IL-3, IL-4,IL-5, IL-13 dan GM-CSF.

Interleukin-4 berperan dalam menginduksi Th0 ke arah Th2 dan bersama-

sama IL-13 menginduksi sel limfosit B mensintesis IgE. IL-3, IL-5 serta GM-

CSF berperan pada maturasi, aktivasi serta memperpanjang ketahanan hidup

eosinofil.

Epitel

Sel epitel yang teraktivasi mengeluarkan a.l 15-HETE, PGE2 pada penderita

asma. Sel epitel dapat mengekspresi membran markers seperti molekul

adhesi, endothelin, nitric oxide synthase, sitokin atau khemokin.

Epitel pada asma sebagian mengalami sheeding. Mekanisme terjadinya masih

diperdebatkan tetapi dapat disebabkan oleh eksudasi plasma, eosinophil

granule protein, oxygen free-radical, TNF-alfa, mast-cell proteolytic enzym

dan metaloprotease sel epitel.

EOSINOFIL

Eosinofil jaringan (tissue eosinophil) karakteristik untuk asma tetapi tidak

spesifik. Eosinofil yang ditemukan pada saluran napas penderita asma adalah

dalam keadaan teraktivasi. Eosinofil berperan sebagai efektor dan mensintesis

sejumlah sitokin antara lain IL-3, IL-5, IL-6, GM-CSF, TNF-alfa serta

mediator lipid antara lain LTC4 dan PAF. Sebaliknya IL-3, IL-5 dan GM-CSF

meningkatkan maturasi, aktivasi dan memperpanjang ketahanan hidup

eosinofil. Eosinofil yang mengandung granul protein ialah eosinophil cationic

protein (ECP), major basic protein (MBP), eosinophil peroxidase (EPO) dan

eosinophil derived neurotoxin (EDN) yang toksik terhadap epitel saluran

15

napas.

Sel Mast

Sel mast mempunyai reseptor IgE dengan afiniti yang tinggi. Cross-linking

reseptor IgE dengan “factors” pada sel mast mengaktifkan sel mast. Terjadi

degranulasi sel mast yang mengeluarkan preformed mediator seperti histamin

dan protease serta newly generated mediators antara lain prostaglandin D2

dan leukotrin. Sel mast juga mengeluarkan sitokin antara lain TNF-alfa, IL-3,

IL-4, IL-5 dan GM-CSF.

Tabel 2.2. Mekanisme inflamasi akut dan kronik pada asma dan proses

remodeling

16

Tabel 2.3. Hubungan antara inflamasi akut, inflamasi kronik dan airway

remodeling dengan gejala klinis

17

Tabel 2.4. Interaksi Th-2 dan EMTU pada patogenesis asma

4. FAKTOR RISIKO

18

Tabel 2.5. Faktor risiko asma (PDPI, 2010)

19

5. PENEGAKKAN DIAGNOSIS

Diagnosis asma pada pasien hamil pada umumnya sama dengan pasien

tidak hamil. Asma biasanya memiliki karakteristik gejala (mengi, chest cough,

sesak napas, nafas pendek), intensitas berfluktuasi, memburuk pada malam

hari, dan adanya pemicu (misalnya alergen, latihan, infeksi). Mengi pada

auskultasi akan mendukung diagnosis, tetapi tidak adanya mengi tidak

mengecualikan diagnosis (ACOG, 2008).

Idealnya, diagnosis asma akan dikonfirmasi dengan menunjukkan

obstruksi jalan napas pada spirometri yang setidaknya sebagian reversibel

(lebih besar dari peningkatan 12% pada FEV1 setelah bronchodilator).

Namun, obstruksi jalan napas reversibel mungkin tidak dibuktikan pada

beberapa pasien dengan asma (ACOG, 2008).

6. PENGARUH ASMA PADA KEHAMILAN

Kehamilan ditandai dengan toleransi imunologi (kekebalan fisiologis)

yang menumpulkan respon imun maternal terhadap antigen paternal

diungkapkan oleh janin. Kehamilan fisiologis telah digambarkan sebagai Th2

dominasi, dan studi saat ini menunjukkan bahwa regulasi sel-sel T

berkembang biak (Tregs) mungkin memiliki peran penting dalam

pemeliharaan toleransi perifer terhadap antigen paternal selama kehamilan.

Sel Treg, bagaimanapun, mengerahkan efek penghambatan pada pembunuh

alami limfosit bertanggung jawab untuk perlindungan terhadap virus yang

dapat menyebabkan peningkatan kerentanan terhadap infeksi virus (misalnya

influenza), seperti yang diamati dengan H1N1 influenza pada ibu hamil.

Nomor berkurang sel Treg pada kehamilan dikaitkan dengan penolakan

kekebalan janin serta preeklampsia dan berat lahir rendah janin (tamasi,

2010).

Asma secara tradisional dianggap sebagai alergi T helper sel 2 (Th2)

tipe peradangan yang mengarah ke hiperresponsif bronkial, obstruksi jalan

napas dan dalam beberapa kasus jaringan renovasi. Perubahan imunologi pada

20

kehamilan asma tidak stabil. Dalam sebuah studi baru-baru ini kami

menemukan tanda-tanda pelemahan akibat kehamilan dengan alergi. Aktifasi

dalam sel CD4 dan CD8 T yang lebih besar, dan jumlah pembunuh alami T

(NKT) sel meningkat baik dalam asma tidak hamil dan dalam pasien hamil

yang sehat (dibandingkan dengan kontrol yang sehat yang tidak hamil), tetapi

dalam penderita asma hamil yang terkontrol baik, ada aktivasi limfosit lanjut

yang diamati menunjukkan bahwa efek imunosupresif tanpa komplikasi

kehamilan dapat menumpulkan aktivasi limfosit yang mencirikan asma. Di

sisi lain, dalam penelitian Tamasi sebelumnya sejumlah besar interferon (IFN)

-γ memproduksi sel terdeteksi dalam darah perifer diperoleh dari ibu hamil

dengan asma tidak dikontrol dan korelasi negatif yang signifikan terungkap

antara jumlah IFN-γ T positif -cells dan berat lahir bayi yang baru lahir,

menunjukkan retardasi pertumbuhan. Selain itu, mengingat penanda inflamasi

lainnya, protein heat shock (Hsp) -70, tingkat sirkulasi lebih tinggi terdeteksi

pada wanita asma hamil dibandingkan pada wanita hamil yang sehat. Berat

lahir janin lebih rendah pada kehamilan dengan komplikasi asma,

menunjukkan hubungan antara respon imun penderita asma dan perubahan

pertumbuhan janin berubah. Selain itu, efek samping yang mungkin akibat

peradangan asma pada kehamilan, dalam penelitian yang baru dari 13,100

penderita asma hamil, 35% peningkatan risiko kematian perinatal diamati

pada kehamilan wanita dengan asma. Faktor-faktor utama yang berkontribusi

terhadap meningkatnya angka kematian perinatal ini mungkin obesitas ibu dan

merokok, serta asma tidak terkontrol. Studi lain yang baru, menunjukkan ibu

hamil dengan didiagnosis dokter dengan asma, dievaluasi kontrol asma

mereka berulang kali selama kehamilan berdasarkan frekuensi gejala dan

gangguan dengan kegiatan sehari-hari dan tidur, dan melaporkan rawat inap

dan kunjungan klinik terjadwal untuk eksaserbasi asma. Menurut hasil

penelitian, kejadian kelahiran prematur lebih tinggi pada pasien dengan asma

dengan kontrol yang tidak memadai, gejala selama trimester pertama

kehamilan dibandingkan dengan pasien dengan kontrol asma yang memadai,

21

dan pasien yang dirawat di rumah sakit untuk asma selama kehamilan

memiliki insiden yang lebih tinggi kelahiran prematur dibandingkan pada

wanita asma tanpa riwayat rawat inap. Jadi mungkin ada risiko kelahiran

prematur yang ditimbulkan oleh asma ibu yang tidak terkontrol. Asma ibu

juga dikenal sebagai faktor risiko untuk pengembangan asma pada anak-anak

(Tamasi, 2010).

7. PENGARUH KEHAMILAN TERHADAP JALANNYA ASMA

Kehamilan juga memiliki efek pada kasus asma. Asma membaik pada

sepertiga kasus selama kehamilan, stabil pada sepertiga kasus, dan memburuk

pada sepertiga dari wanita hamil. Asma yang lebih parah sebelum kehamilan

merupakan risiko yang lebih tinggi memburuk selama kehamilan dan ada

hubungan antara kondisi asma saat ini dengan selama kehamilan berikutnya.

Kualitas asma pada awal kehamilan berhubungan dengan morbiditas asma

selama kehamilan berikutnya.

Keparahan gejala asma selama kehamilan juga dapat dipengaruhi oleh

jenis kelamin janin. Gejala asma yang memburuk dan insiden yang lebih

tinggi adanya hambatan pertumbuhan dalam kandungan diamati pada

penderita asma hamil dengan janin perempuan. Di sisi lain, obesitas juga

dikaitkan dengan peningkatan risiko eksaserbasi asma selama kehamilan.

Selain itu, obesitas ibu tanpa pengaruh asma juga meningkatkan risiko untuk

hasil perinatal yang merugikan (preeklamsia, diabetes gestasional, retardasi

janin intrauterine dan kematian janin). Namun, mekanisme imunologi yang

mendasari perubahan jalannya asma selama kehamilan atau memprediksi

biomarker memburuk sebagian besar tidak diketahui (Tamasi, 2010).

8. PENATALAKSANAAN

Tujuan utama terapi asma pada kehamilan adalah menjaga oksigenasi

yang memadai pada janin dengan mencegah episode hipoksia pada ibu.

Manajemen optimal asma selama kehamilan mencakup pemantauan fungsi

22

paru-paru, menghindari atau mengendalikan pemicu asma, mendidik pasien,

dan terapi farmakologis individu untuk mempertahankan fungsi paru normal

(ACOG, 2008).

PENILAIAN ASMA

a. Dianjurkan evaluasi rutin fungsi paru pada wanita hamil dengan asma

persisten. Untuk penilaian fungsi paru selama kunjungan rawat jalan

dengan menggunakan spirometri akan lebih baik, tetapi pengukuran arus

puncak ekspirasi dengan peak flow meter juga sudah cukup. Pasien

dengan gejala yang memburuk harus dievaluasi dengan pengukuran aliran

puncak dan auskultasi paru-paru.

b. Pada pasien yang tidak minum obat asma, hal ini berguna untuk menilai

kerusakan paru berdasarkan klasifikasi keparahan. Pasien dengan dua atau

lebih episode gejala eksaserbasi membutuhkan penggunaan kortikosteroid

oral dalam 12 bulan sebelumnya, selain itu juga harus dipertimbangkan

pasien memiliki asma persisten.

c. Pada pasien yang minum obat asma, hal ini berguna untuk menilai kontrol

penyakit asma. Menilai perbaikan pasien asma dapat dengan cara

menentukan frekuensi gejala siang hari, gejala nokturnal, pembatasan

aktivitas, frekuensi terapi penyembuhan, dan penilaian FEV1. Penilaian

pada pasien hamil dengan asma juga harus mencakup pengaruh dari setiap

kehamilan sebelumnya pada keparahan asma atau bagaimana kontrolnya

karena hal ini dapat memprediksi jalannya asma selama kehamilan

berikutnya.

d. Pada pasien dengan asma intermiten ringan (mild intermittent asthma),

tidak ada terapi pengendali/ kontrol yang diindikasikan. Penggunaan

kortikosteroid inhalasi adalah lini pertama obat pengendali untuk asma

persisten selama kehamilan. Untuk pasien dengan asma persisten ringan,

direkomendasikan penggunaan dosis rendah kortikosteroid inhalasi.

23

e. Untuk pasien dengan asma persisten sedang atau yang gejalanya tidak

terkontrol dengan penggunaan kortikosteroid inhalasi dosis rendah, maka

diindikasikan dengan menggunakan dosis medium kortikosteroid inhalasi

atau dosis rendah kortikosteroid inhalasi dan long-acting β-agonis.

f. Budesonide adalah kortikosteroid inhalasi yang disukai untuk digunakan

selama kehamilan. Namun, tidak ada data yang menunjukkan bahwa

persiapan kortikosteroid inhalasi lainnya tidak aman selama kehamilan.

Oleh karena itu, penggunaan setiap kortikosteroid inhalasi dapat

dilanjutkan pada pasien yang asma baik dikendalikan oleh agen-agen ini

sebelum hamil (ACOG, 2008).

TERAPI ASMA SECARA UMUM

a. Obat asma secara umum diklasifikasikan menjadi obat kontrol jangka

panjang dan terapi penyelamatan.

b. Obat kontrol jangka panjang digunakan sebagai terapi pemeliharaan

untuk mencegah manifestasi asma, dan termasuk kortikosteroid inhalasi,

kromolin, long acting β-agonis, dan teofilin.

c. Terapi penyelamatan, paling sering short-acting β-agonis inhalasi,

memberikan perbaikan gejala segera.

d. Kortikosteroid oral baik digunakan sebagai bentuk terapi penyelamatan

untuk mengobati eksaserbasi asma atau terapi kontrol jangka panjang

untuk pasien dengan asma persisten berat.

e. Obat-obat tertentu, mungkin digunakan selama persalinan, memiliki

potensi dapat memperburuk asma. Non selektif b-blocker, carboprost (15-

metil prostaglandin F2α) dan ergonovine dapat memicu bronkospasme.

Magnesium sulfat adalah bronkodilator, tapi indometasin dapat

menyebabkan bronkospasme pada pasien yang sensitif terhadap aspirin.

f. Prostaglandin E2 atau prostaglandin E1 dapat digunakan untuk

pematangan serviks, pengelolaan aborsi spontan atau diinduksi, atau

pengelolaan perdarahan postpartum (ACOG, 2008).

24

PENATALAKSANAAN ASMA PADA KEHAMILAN

a. Terapi Non Medikamentosa

1) Mengidentifikasi kemungkinan alergen dan atau iritan. Langkah-

langkah khusus yang tepat untuk mengurangi jamur, debu, paparan

tungau, bulu binatang, kecoa, dan pemicu lingkungan lainnya.

2) Jika gastroesophageal reflux memperburuk asma pasien, tindakan

nonfarmakologis, seperti mengangkat kepala pada tempat tidur, makan

makanan porsi kecil, tidak makan dalam waktu 2-3 jam sebelum tidur,

dan menghindari pemicu makanan, bisa dianjurkan (ACOG, 2008).

b. Terapi Obat

1) Inhalasi short acting β2-agonis adalah terapi penyelamatan pilihan

untuk asma selama kehamilan. Inhalasi albuterol adalah pilihan

pertama, short acting β2-agonis untuk wanita hamil, meskipun agen

lain juga mungkin tepat. Secara umum, pasien harus menggunakan

hingga dua perlakuan inhalasi albuterol (2-6 tiupan) atau albuterol

nebulasi pada interval 20 menit untuk sebagian gejala ringan sampai

sedang; dosis yang lebih tinggi dapat digunakan untuk gejala

eksaserbasi parah.

2) Kortikosteroid inhalasi adalah lini pertama obat pengendali untuk

asma persisten selama kehamilan. Budesonide adalah kortikosteroid

inhalasi yang disukai untuk digunakan selama kehamilan.

3) Penggunaan long-acting β2-agonis adalah pilihan terapi tambahan

kontroller untuk asma selama kehamilan. Terapi ini harus ditambahkan

bila gejala pasien tidak terkontrol dengan penggunaan dosis medium

kortikosteroid inhalasi. Terapi tambahan alternative adalah teofilin

atau antagonis reseptor leukotrien (montelukast, zafirlukast). Namun,

penggunaan long-acting inhalasi β-agonis lebih disukai karena telah

terbukti menjadi terapi tambahan yang lebih efektif pada pasien hamil

daripada leukotrien reseptor antagonis atau teofilin.

25

4) Untuk pasien yang gejalanya tidak terkontrol dengan baik dengan

penggunaan dosis medium kortikosteroid inhalasi dan long-acting β2-

agonis inhalasi, pengobatan harus maju ke dosis tinggi kortikosteroid

inhalasi dan long-acting β2-agonis inhalasi (salmeterol, satu isapan

dua kali sehari). Beberapa pasien dengan asma berat mungkin

memerlukan penggunaan kortikosteroid oral secara teratur untuk

mencapai kontrol asma yang memadai. Untuk pasien yang gejalanya

sangat tidak terkontrol, kortikosteroid oral mungkin diperlukan untuk

mencapai kontrol, bersama dengan langkah- langkah terapi (ACOG,

2008).

Tabel 2.2. Pengobatan Asma (ACOG, 2008)

MANAJEMEN TERAPI RAWAT INAP

26

a. Penilaian awal dari pasien hamil yang mengalami asma akut termasuk

anamnesis riwayat kesehatan singkat, melakukan pemeriksaan fisik, dan

pemeriksaan fisiologis fungsi saluran napas dan kesejahteraan janin.

b. Penilaian fisiologis paru meliputi pengukuran FEV atau PEFR dan

saturasi oksigen. Penilaian janin tergantung pada tahap kehamilan, tetapi

electronic fetal monitoring terus menerus atau profil biofisik atau

keduanya harus dipertimbangkan jika kehamilan telah mencapai tahap

viabilitas janin.

c. Setelah pengobatan awal, penilaian ulang pasien dan janin akan

menentukan kebutuhan untuk melanjutkan perawatan. Pasien membaik

apabila pasien dengan volume ekspirasi paksa (FEV) atau puncak laju

aliran ekspirasi (PEFR) pengukuran lebih besar dari atau sama dengan

70% bertahan selama 60 menit setelah pengobatan terakhir, tidak ada

kesulitan, dan status janin meyakinkan.

d. Untuk respon lengkap (FEV) atau PEFR pengukuran lebih besar dari atau

sama dengan 50% tetapi kurang dari 70%, gejala ringan atau sedang,

memerlukan disposisi / lanjutan perawatan di gawat darurat atau rumah

sakit.

e. Untuk pasien dengan respon yang buruk (FEV atau PEFR pengukuran

kurang dari 50%), rawat inap diindikasikan. Untuk pasien dengan respon

yang buruk dan gejala berat, mengantuk, kebingungan, atau tingkat PCO2

lebih dari 42 mm Hg, mengindikasikan masuk unit perawatan intensif

masuk dan dipertimbangkan untuk intubasi (ACOG, 2008).

MANAJEMEN PASIEN PULANG SETELAH EPISODE ASMA AKUT

a. Pasien yang dipulangkan setelah episode asma akut harus melanjutkan

pengobatan dengan β2-agonis short acting, 2-4 tiupan setiap 3-4 jam

sesuai kebutuhan.

b. Kortikosteroid oral harus dilanjutkan dengan dosis 40-60 mg dalam dosis

tunggal atau dua dosis terbagi selama 3-10 hari.

27

c. Kortikosteroid inhalasi harus dimulai atau dilanjutkan sampai diperiksa

ulang pada saat follow up medis (kontrol).

d. Follow up pasien rawat jalan harus diatur dalam waktu 5 hari sejak

kunjungan akut (ACOG, 2008).

ALERGI

a. Penggunaan imunoterapi alergen (suntikan alergi) telah terbukti efektif

dalam memperbaiki asma pada pasien dengan alergi. Namun, risiko

suntikan allergen adalah anafilaksis, terutama di awal perjalanan

imunoterapi ketika dosis sedang meningkat, dan anafilaksis selama

kehamilan telah dikaitkan dengan kematian ibu, kematian janin, atau

keduanya.

b. Pada pasien yang menerima dosis pemeliharaan immunoterapi, tidak

mengalami reaksi negatif terhadap suntikan dan tampak memiliki manfaat

klinis, kelanjutan imunoterapi dianjurkan. Pada pasien ini, pengurangan

dosis dapat dilakukan untuk lebih mengurangi kemungkinan anafilaksis.

c. Pertimbangan risiko dan manfaat biasanya tidak mendukung mulai

imunoterapi alergen selama kehamilan (ACOG, 2008).

PERAWATAN INTRAPARTUM

a. Penggunaan obat asma harus dapat dihentikan selama persalinan dan

melahirkan.

b. Pasien harus tetap terhidrasi dan harus menerima analgesia yang memadai

dalam rangka mengurangi risiko bronkospasme.

c. Wanita yang sedang menerima atau baru-baru ini menerima kortikosteroid

sistemik harus menerima pemberian intravena kortikosteroid (misalnya

hidrokortison 100 mg setiap 8 jam) selama persalinan dan 24 jam setelah

melahirkan untuk mencegah krisis adrenal.

28

d. Bedah caesar untuk eksaserbasi akut asma jarang diperlukan. Namun,

pengiriman dapat mengambil manfaat status pernapasan pasien dengan

asma stabil yang memiliki janin matang (ACOG, 2008)

MENYUSUI

a. Secara umum, hanya sejumlah kecil obat asma yang dapat masuk ke ASI.

The National Asthma Education and Prevention Program menemukan

bahwa penggunaan prednisone, teofilin, antihistamin, kortikosteroid

inhalasi, β2-agonis, dan kromolin tidak kontraindikasi untuk pada pasien

asma yang menyusui (ACOG, 2008).

9. KOMPLIKASI ASMA PADA KEHAMILAN BAGI IBU

Asma tak terkontrol dapat menyebabkan stres yang berlebihan bagi ibu.

Komplikasi asma tak terkontrol bagi ibu termasuk: Preeklampsia, ditandai

dengan peningkatan tekanan darah, retensi air serta proteinuria, hipertensi

kehamilan, yaitu tekanan darah tinggi selama kehamilan; Hiperemesis

gravidarum, ditandai dengan mual-mua, berat badan turun serta

ketidakseimbangan cairan dan elektrolit; Perdarahan pervaginam Induksi

kehamilan dan atau komplikasi kehamilan (Subijanto, 2008; Schatz M,

Dombrowski, 2009).

10. KOMPLIKASI ASMA PADA KEHAMILAN BAGI JANINKekurangan oksigen ibu ke janin menyebabkan beberapa masalah

kesehatan janin, termasuk: Kematian perinatal, IUGR, gangguan

perkembangan janin dalam rahim menyebabkan janin lebih kecil dari umur

kehamilannya, kehamilan preterm, hipoksia neonatal, oksigen tidak adekuat

bagi sel-sel, berat bayi lahir rendah (Subijanto, 2008; Schatz M, Dombrowski,

2009)

Mekanisme penyebab berat bayi lahir rendah pada wanita asma masih

belum diketahui, akan tetapi terdapat beberapa faktor yang mendukung seperti

29

perubahan fungsi plasenta, derajat berat asma dan terapi asma. Plasenta

memegang peranan penting dalam mengontrol perkembangan janin dengan

memberi suplai nutrisi dan oksigen dari ibu (subijanto, 2008).

30

BAB III

LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien

Nama : Ny. K

Usia : 37 tahun

Agama : Islam

Suku/bangsa : Jawa

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Alamat : Cipete RT 4 RW 4, Cilongok, Kabupaten Banyumas,

Jawa Tengah

Nomor CM : 885666

Tanggal/Jam Masuk : 06 Agustus 2014/ Pukul 11.38 WIB

Tanggal/ Jam keluar : 11 Agustus 2014/ Pukul 12.00 WIB

Ruang Rawat : VK IGD dan Ruang Flamboyan

B. Anamnesis

1. Keluhan utama

Tekanan Darah Tinggi

2. Keluhan tambahan

-

3. Riwayat penyakit sekarang

Pasien datang rujukan dari Puskesmas Cilongok dengan G3P2A0 usia 37 tahun

dengan preeklampsia berat dan asma pada tanggal 06 Agustus 2014. Pasien

datang dengan keluhan tekanan darah tinggi sejak hari yang sama. Pada saat

datang ke VK IGD, pasien tidak merasakan sesak nafas. Namun, setiap pagi

pasien harus minum teosal. Pasien akan merasakan sesak apabila tidak minum

teosal. Pasien tidak merasakan pusing, tidak ada mual, tidak ada muntah, tidak

ada pandangan kabur, tidak ada nyeri ulu hati. Pada saat datang, pasien tidak

31

merasakan kenceng- kenceng, tidak merasakan keluar lendir atau darah, dan

tidak merasakan pengeluaran air ketuban dari jalan lahir.

Hari Pertama Haid Terakhir : Awal bulan Februari 2014.

Taksiran Persalinan : Awal bulan November 2014

Usia Kehamilan : 26 minggu 1 hari

Riwayat Menstruasi

Teratur setiap bulan, selama 7 hari

Riwayat Pernikahan

Menikah 1 kali selama 19 tahun

Riwayat Antenatal Care

Teratur, periksa di bidan

Riwayat KB

Pil dan suntik

Riwayat Obstetrik

G3P2A0

- Anak pertama : Laki- laki, usia 18 tahun, lahir spontan, ditolong bidan,

berat lahir 2800 gram

- Anak kedua : Laki- laki, usia 6,5 tahun, lahir spontan, ditolong bidan,

berat lahir 2700 gram

- Anak ketiga : Hamil ini

4. Riwayat penyakit dahulu :

a. Riwayat darah tinggi sebelum hamil : disangkal

b. Riwayat asma : diakui

c. Riwayat alergi : diakui (dingin)

d. Riwayat kejang : disangkal

e. Riwayat kencing manis : disangkal

f. Riwayat penyakit jantung : disangkal

g. Riwayat penyakit ginjal : disangkal

h. Riwayat penyakit kandungan : disangkal

32

5. Riwayat penyakit keluarga :

a. Riwayat darah tinggi : disangkal

b. Riwayat asma : disangkal

c. Riwayat kencing manis : disangkal

d. Riwayat penyakit jantung : disangkal

e. Riwayat penyakit ginjal : disangkal

f. Riwayat penyakit kandungan : disangkal

6. Riwayat Sosial Ekonomi

Pasien tinggal bersama suami, kedua anak, dan ibunya. Suami bekerja

serabutan. Kebutuhan sehari-hari dicukupi dari penghasilan suami. Pasien

berobat ke RSUD Prof.DR. Margono Soekarjo dengan menggunakan biaya

BPJS.

7. Data rujukan pasien dari Puskesmas Cilongok

a. Hasil pemeriksaan

TD : 170/100 mmHg

N : 90 x/menit

RR : 24 x/menit

Suhu : 370 C

DJJ : 108 x/menit

Laboraturium tidak terlampir dalam surat rujukan.

b. Diagnosis rujukan

G3P2A0 usia 37 tahun usia kehamilan 26 minggu 1 hari dengan

preeklampsia berat dan asma bronkhial.

c. Terapi

IVFD RL 20 tpm

C. Pemeriksaan fisik

1. Keadaan Umun : Baik

2. Kesadaran : Compos mentis

33

3. Vital Sign :

a. Tekanan Darah : 170/100 mmHg

b. Nadi : 96 x/ menit, isi dan tegangan cukup

c. Respirasi : 20 x/ menit

d. Suhu : 37 C

e. Tinggi Badan : 153 cm

f. Berat badan : 64,6 Kg

4. Mata : Konjungtiva palpebra mata kanan dan kiri tidak anemis, tidak

ada skela ikterik pada mata kanan dan kiri.

5. Telinga : tidak ada ottorhea.

6. Hidung : tidak keluar sekret

7. Mulut : mukosa bibir tidak sianosis

8. Leher : Tidak ada pembesaran kelenjar tiroid

9. Thorax :

a. Paru – Paru :

Inspeksi : Bentuk dada simetris, pergerakan dada simetris (tidak ada

gerakan nafas yang tertinggal), retraksi spatium intercostalis

(-/-).

Palpasi : Gerakan dada simetris, vocal fremitus dextra = sinistra

Perkusi : Sonor pada seluruh lapang paru

Auskultasi : Suara dasar nafas vesikuler (+/+), ronkhi basah kasar (-/-) di

parahiler, dan ronkhi basah halus (-/-) di basal pada kedua

lapang paru, wheezing (+/+).

b. Jantung

Inspeksi : Tidak tampak pulsasi ictus cordis pada dinding dada sebelah

kiri atas.

Palpasi : Teraba ictus cordis, tidak kuat angkat di SIC V, 2 jari medial

LMC sinistra

Perkusi : Batas jantung kanan atas SIC II LPSD

Batas jantung kanan bawah SIC IV LPSD

34

Batas jantung kiri atas SIC II LPSS

Batas jantung kiri bawah SIC V, 2 jari medial LMCS

Auskultasi : S1>S2 reguler, murmur (-/-), gallop (-/-).

10. Ekstrimitas :

Superior : Edema (-/-), akral hangat (+/+)

Inferior : Edema (-/-), akral hangat (+/+)

Pemeriksaan Lokalis:

11. Regio Abdomen

Inspeksi : Cembung gravid

Auskultasi : DJJ (+) 108 x/menit , Bising Usus (+) Normal

Perkusi : Pekak janin

Palpasi : TFU : Setinggi pusat HIS (-)

Leopold I : Bulat, Lunak

Leopold II : Teraba tahanan memanjang di sebelah kiri

Leopold III : Bulat, Keras

Leopold IV : Konvergen

12. Regio Genitalia

Inspeksi : Rambut pubis tersebar merata

Edema vulva tidak ada

Benjolan tidak ada

Varises tidak ada

Fluor tidak ada

Fluxus tidak ada

D. DIAGNOSIS DI VK IGD

Gravida 3 Para 2 Abortus 0, Usia 37 Tahun, Hamil 26 Minggu 1 Hari,

JTHIU, Presentasi kepala, Pungggung kiri, Belum Inpartu dengan Preeklampsia

Berat, dan Asma Bronkhial.

35

E. PENATALAKSANAAN DAN SIKAP DI VK IGD

1. Sikap: Observasi

2. Pemberian oksigen 4 liter/ menit NK

3. Pemberian IVFD RL 20tpm

4. Injeksi MgSO4 4 gram iv bolus

MgSO4 6 gram drip (menunggu hasil lab)

5. Injeksi Dexamethason 2 x 1 ampul iv (2 hari)

6. P.O. Nifedipin 3 x 10 mg

7. P.O. Aminofilin 3 x 500 mg bila sesak

8. Pasang DC- UT

9. Cek DL, PT, APTT, Elektrolit, Kimia klinik, Urin lengkap, dan EKG

10. Konsul dokter Spesialis Paru

11. Lapor dr residen obstetri dan ginekologi dengan instruksi:

a. P.O. Nifedipin tab 3 x 10 mg

b. Injeksi MgSO4 4 gram iv

c. Rawat Ruang Flamboyan untuk besok dikonsulkan ke Penyakit Dalam

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan laboratorium tanggal 6 Agustus 2014

Darah Lengkap

Hb : 12,2 gr/dl Normal: 12-16 gr/dl

Leukosit : 11410 l (H) Normal: 4.800-10.800/l

Hematokrit : 36 % Normal: 37%-47%

Eritrosit : 4,3 juta/l Normal: 4,2-5,4 juta/l

Trombosit : 433.000/l Normal: 150.000-450.000/l

MCV : 82,8 fL Normal: 79-99 fL

MCH : 28,4 pg Normal: 27-31 pg

MCHC : 34,4 gr/dl Normal: 33-37gr/dl

Hitung Jenis

Basofil : 0,4 % Normal: 0-1 %

36

Eosinofil : 2 % Normal: 2-4 %

Batang : 3,5 % Normal: 2-5 %

Segmen : 69,6 % Normal: 40-70%

Limfosit : 17,5 % Normal: 25-40%

Monosit : 7,0 % Normal: 2-8 %

PT : 12,2 detik Normal : 11,5-15,5 detik

APTT : 34,2 detik Normal : 25-35 detik

Kimia Klinik

SGOT : 23 U/L Normal : 15-37 U/L

SGPT : 20 U/L Normal : 30-65 U/L

Ureum Darah : 4,9 mg/dL Normal : 14,98-38,52 mg/dL

Kreatinin Darah : 0,57 mg/dL Normal : 0,60-1,00 mg/Dl

Elektrolit

Natrium : 144 mmol/L Normal : 136-145 mmol/L

Kalium : 2,9 mmol/L Normal : 3,5-5,1 mmol/L

Klorida : 97 mmol/L (L) Normal : 98-107 mmol/L

Kalsium : 9,0 mg/dL Normal : 8,4-10,2 mg/Dl

Urin Lengkap

Protein : - mg/dL Normal : Negatif

37

Pemeriksaan EKG

Interpretasi : Sinus takikardi. EKG dinyatakan normal.

G. PERKEMBANGAN PASIEN SELAMA PERAWATAN

Hasil Pemeriksaan Diagnosis Sikap/Tindakan

RUANG FLAMBOYAN Tanggal 06-08-2014 16.30 WIB H+0

S: Sesak

KU: sedang/CM

TD:160/100 mmHg

N: 88 x/menit

RR: 24 x/ menit

S: 37,2o C

Status Lokalis Abdomen:

I: Cembung gravid

A: BU (+) Normal, DJJ (+)

Gravida 2 Paritas 1

Abortus 0 Usia 37

Tahun Usia

Kehamilan 26

Minggu 1 Hari

Janin Tunggal

Hidup Intra Uteri

Presentasi Kepala

Punggung Kiri

Observasi

16.30 :

O2 3 liter/ menit

Nifedipin P.O 3 x 10 mg

Infus RL + MgSO4 8 gr

Pasang DC

19.00 :

38

136 x/menit

Per: Pekak janin

Pal: Supel, NT (-), TFU 2

jari di atas pusat

L1: Bulat, lunak

L2: Puki

L3: Bulat, keras

L4: Konvergen

Belum Inpartu

dengan

Preeklampsia Berat

dan Asma

Bronkhial

Biosanbe P.O.

RUANG FLAMBOYAN Tanggal 07-04-2014 06.30 WIB H+1

S: Sesak

KU: sedang/CM

TD: 140/120 mmHg

N: 80 x/menit

RR: 24 x/menit

S: 36,6o C

Status Generalis:

Mata : CA -/-, SI -/-

Hidung: Discharge -/-

Mulut : sianosis –

Cor: S1>S2, M(-), G(-)

Pulmo : Sd ves +/+, Wh -/-,

Rh -/-

Status Lokalis Abdomen:

I: cembung

A: BU + Normal, DJJ (+)

132 x/ menit

Per: timpani

Pal: supel, NT-, TFU 2 jari

di atas pusat

L1: Bulat, lunak

Gravida 2 Paritas 1

Abortus 0 Usia 37

Tahun Usia

Kehamilan 26

Minggu 2 Hari

Janin Tunggal

Hidup Intra Uteri

Presentasi Kepala

Punggung Kiri

Belum Inpartu

dengan

Preeklampsia Berat

dan Asma

Bronkhial

07.00:

Nifedipin P.O.

Biosanbe P.O.

Salbutamol 1 x 1 tab

11.00:

Infus RL + MgSO4 8 gr

O2 3 liter/ menit

17.00:

Inj Dexamethason 1

ampul

19.00:

Nifedipin P.O (TD

160/100)

Infus RL + MgSO4 8 gr

39

L2: Puki

L3: Bulat, keras

L4: Konvergen

St. gen Eksterna: PPV-,

FA-

Status Vegetatif :

BAB -, BAK +, Flatus +

RUANG FLAMBOYAN Tanggal 08-04-2014 06.30 WIB H+2

S: Sesak

KU: sedang/CM

TD: 150/110 mmHg

N: 80 x/menit

RR: 24 x/menit

S: 36,6o C

Status Generalis:

Mata : CA -/-, SI -/-

Hidung: Discharge -/-

Mulut : sianosis –

Cor: S1>S2, M(-), G(-)

Pulmo : Sd ves +/+, Wh -/-,

Rh -/-

Status Lokalis Abdomen:

I: cembung

A: BU + Normal, DJJ (+)

139 x/ menit

Per: timpani

Pal: supel, NT-, TFU 2 jari

di atas pusat

L1: Bulat, lunak

L2: Puki

Gravida 2 Paritas 1

Abortus 0 Usia 37

Tahun Usia

Kehamilan 26

Minggu 2 Hari

Janin Tunggal

Hidup Intra Uteri

Presentasi Kepala

Punggung Kiri

Belum Inpartu

dengan

Preeklampsia Berat

dan Asma

Bronkhial

07.00:

Inj Dexamethason 1

ampul

Infus RL + MgSO4 8 gr

Nifedipin P.O.

Biosanbe P.O.

Salbutamol

14.00:

Infus RL + MgSO4 8 gr

Konsul Sp Paru

Jawaban: Terapi

Seretide diskus 2 x 250

mg k/p sesak

Ventolin MDI k/p sesak

19.00:

Inj Dexamethason 1

ampul

Nifedipin P.O.

Biosanbe P.O.

Salbutamol

40

L3: Bulat, keras

L4: Konvergen

St. gen Eksterna: PPV-,

FA-

Status Vegetatif :

BAB -, BAK +, Flatus +

21.00:

Infus RL + MgSO4 8 gr

RUANG FLAMBOYAN Tanggal 09-04-2014 06.30 WIB H+3

S: Sesak berkurang

KU: sedang/CM

TD: 140/80 mmHg

N: 80 x/menit

RR: 24 x/menit

S: 36,6o C

Status Generalis:

Mata : CA -/-, SI -/-

Hidung: Discharge -/-

Mulut : sianosis –

Cor: S1>S2, M(-), G(-)

Pulmo : Sd ves +/+, Wh -/-,

Rh -/-

Status Lokalis Abdomen:

I: cembung

A: BU + Normal, DJJ (+)

140 x/ menit

Per: timpani

Pal: supel, NT-, TFU 2 jari

di atas pusat

L1: Bulat, lunak

L2: Puki

L3: Bulat, keras

Gravida 2 Paritas 1

Abortus 0 Usia 37

Tahun Usia

Kehamilan 26

Minggu 2 Hari

Janin Tunggal

Hidup Intra Uteri

Presentasi Kepala

Punggung Kiri

Belum Inpartu

dengan

Preeklampsia Berat

dan Asma

Bronkhial

05.00:

Inj Dexamethason 1

ampul

07.00:

Infus RL + MgSO4 8 gr

Nifedipin P.O.

Biosanbe P.O.

Salbutamol

19.00:

Nifedipin P.O.

Biosanbe P.O.

21.00:

Infus RL + MgSO4 8 gr

41

L4: Konvergen

St. gen Eksterna: PPV -,

FA-

Status Vegetatif :

BAB -, BAK +, Flatus +

RUANG FLAMBOYAN Tanggal 10-04-2014 06.30 WIB H+4

S: Sesak berkurang

KU: sedang/CM

TD: 150/80 mmHg

N: 80 x/menit

RR: 24 x/menit

S: 36o C

Status Generalis:

Mata : CA -/-, SI -/-

Hidung: Discharge -/-

Mulut : sianosis –

Cor: S1>S2, M(-), G(-)

Pulmo : Sd ves +/+, Wh -/-,

Rh -/-

Status Lokalis Abdomen:

I: cembung

A: BU + Normal, DJJ (+)

140 x/ menit

Per: timpani

Pal: supel, NT-, TFU 2 jari

di atas pusat

L1: Bulat, lunak

L2: Puki

L3: Bulat, keras

L4: Konvergen

Gravida 2 Paritas 1

Abortus 0 Usia 37

Tahun Usia

Kehamilan 26

Minggu 2 Hari

Janin Tunggal

Hidup Intra Uteri

Presentasi Kepala

Punggung Kiri

Belum Inpartu

dengan

Preeklampsia Berat

dan Asma

Bronkhial

07.00:

Infus RL + MgSO4 8 gr

evaluasi

Dopamet 3 x 250 mg

Nifedipin P.O.

Biosanbe P.O.

13.00:

Nifedipin P.O.

19.00:

Nifedipin P.O.

Biosanbe P.O.

42

St. gen Eksterna: PPV-,

FA-

Status Vegetatif :

BAB -, BAK +, Flatus +

RUANG FLAMBOYAN Tanggal 11-04-2014 06.30 WIB H+5

S: Sesak berkurang

KU: sedang/CM

TD: 170/110 mmHg

N: 82 x/menit

RR: 24 x/menit

S: 37o C

Status Generalis:

Mata : CA -/-, SI -/-

Hidung: Discharge -/-

Mulut : sianosis –

Cor: S1>S2, M(-), G(-)

Pulmo : Sd ves +/+, Wh -/-,

Rh -/-

Status Lokalis Abdomen:

I: cembung

A: BU + Normal, DJJ (+)

144 x/ menit

Per: timpani

Pal: supel, NT-, TFU 2 jari

di atas pusat

L1: Bulat, lunak

L2: Puki

L3: Bulat, keras

L4: Konvergen

St. gen Eksterna: PPV -,

Gravida 2 Paritas 1

Abortus 0 Usia 37

Tahun Usia

Kehamilan 26

Minggu 2 Hari

Janin Tunggal

Hidup Intra Uteri

Presentasi Kepala

Punggung Kiri

Belum Inpartu

dengan Hipertensi

Gestasional dan

Asma Bronkhial

07.00:

Nifedipin P.O.

Biosanbe P.O.

10.00:

Tekanan darah: 140/80

mmHg

12.00:

Pasien pulang

43

FA-

Status Vegetatif :

BAB -, BAK +, Flatus +

H. PROGNOSIS

Ibu:

Ad vitam : dubia ad bonam

Ad sanam : dubia ad bonam

Ad functionam : dubia ad bonam

Janin:

Ad vitam : dubia

Ad sanam : dubia

Ad functionam : dubia

BAB IV

PEMBAHASAN

A. ANALISIS DIAGNOSIS

APAKAH DIAGNOSIS PADA PASIEN INI SUDAH BENAR?

44

Pasien datang pukul 11.38 dengan diagnosis di IGD Gravida 3 Paritas 2

Abortus 0 Usia 37 tahun Janin Tunggal Hidup Intra Uteri Presentasi Kepala

Punggung Kiri Usia Kehamilan 26 minggu + 1 hari Belum Inpartu dengan

PEB dan asma degan dasar:

1. Riwayat Obstetri G3P2A0 : Gravida 3, tidak memiliki riwayat melahirkan

dan abortus sebelumnya (Cunningham et al, 2010).

2. Usia 37 tahun merupakan usia yang berisiko untuk terjadinya kehamilan.

Usia reproduksi sehat yang aman untuk kehamilan dan persalinan adalah

20-30 tahun. Kematian maternal pada wanita hamil dan melahirkan pada

usia di bawah 20 tahun ternyata 2-5 kali lebih tinggi daripada kematian

maternal yang terjadi pada usia 20-29 tahun. Kematian maternal

meningkat kembali setelah usia 30-35 tahun (Winkjosastro, 2009).

3. Usia kehamilan pasien menurut diagnosis kurang lebih adalah 26 minggu

+ 1 hari disebabkan karena pasien lupa tanggal HPHT secara tepat. Jika

dihitung dengan rumus naegele, maka usia kehamilan pasien kurang lebih

sesuai dengan HPHT (Cunningham et al, 2010).

4. Belum inpartu karena pada pasien ini belum didapatkan tanda-tanda

inpartu, yaitu:

a. Rasa sakit oleh adanya his yang datang lebih kuat, sering dan teratur.

b. Keluar lendir bercampur darah yang lebih banyak karena robekan-

robekan kecil pada serviks.

c. Adanya ketuban pecah dini.

d. Pada pemeriksaan dalam, serviks mendatar dan terjadi pembukaan

serviks

5. Diagnosis penyerta pada pasien ini adalah:

6. Komplikasi kehamilan pada pasien tersebut didiagnosis dengan

reeklampsia berat karena hasil pengukuran tekanan darah pasien adalah

170/ 110 mmHg. Pada saat itu belum dilakukan tes dipstick maupun

laboratorium.

45

Setelah didapatkan hasil tes laboratorium menunjukkan bahwa proteinuria

negative. Oleh karena itu, diagnosis komplikasi kehamilan pada pasien

tersebut adalah hipertensi gestasional. Namun, pada saat pasien pindah ke

ruang perawatan flamboyan dan selama 3 hari perawatan di ruang

Flamboyan pasien masih didiagnosis preeklampsia berat.

7. Penyakit penyerta pada pasien tersebut adalah asma bronchial karena pasien

sering merasakan sesak nafas terutama saat pagi hari dan malam hari. Selain

itu pasien sering mengkonsumsi obat asma secara rutin sejak kurang lebih 5

tahun yang lalu.

B. ANALISIS TATALAKSANA

APAKAH TATALAKSANA PADA PASIEN INI SUDAH BENAR?

a. Pemberian anti kejang (sudah tepat)

Walaupun pada pasien tersebut tidak terdapat proteinuria, pasien tetap

diberikan antikejang. Anti kejang yang digunakan yaitu MgSO4 4 gr bolus

dan 8gr dalam infuse RL 500 cc. Hal ini berdasarkan pengalaman klinis

RS bahwa pasien pasien tanpa proteinuria dapat pula mengalami kejang

sehingga demi keselamatan pasien sebagai pencegahannya diberikan

Magnesium Sulfat.

b. Pemberian kortikosteroid (sudah tepat)

Penggunaan kortikosteroid direkomendasikan pada semua wanita

usia kehamilan 24-34 minggu yang berisiko melahirkan prematur,

termasuk pasien dengan PEB. Preeklampsia sendiri merupakan penyebab

±15% dari seluruh kelahiran prematur. Ada pendapat bahwa janin

penderita preeklampsia berada dalam keadaan stres sehingga mengalami

percepatan pematangan paru (Prawirohardjo,2008).

c. Pemberian obat antihipertensi

Pada pasien ini terdapat hipertensi yang muncul saat hamil sehingga

diberikan obat anti hipertensi.

Wanita dengan hipertensi pada kehamilan dapat mengalami

46

peningkatan respon terhadap berbagai substansi endogen (seperti

prostaglandin, tromboxan) yang dapat menyebabkan vasospasme dan agregasi

platelet sehingga diperlukannya pemberian obat anti hipertensi.

1) Obat pilihan adalah hidralazin, yang diberikan 5 mg intravena pelan-pelan

selama 5 menit sampai tekanan darah turun.

2) Jika perlu, pemberian hidralazin dapat diulang setiap jam, atau 12,5

intramuskular setiap 2 jam.

3) Jika hidralazin tidak tersedia, dapat diberikan:

a) Nifedipine dosis oral 10 mg yang diulang tiap 30 menit.

b) Labetalol 10 mg intravena sebagai dosis awal, jika tekanan darah tidak

membaik dalam 10 menit, maka dosis dapat ditingkatkan sampai 20

mg intravena (Cunningham, 2010).

Pada pasien tersebut juga diberikan dopamet 3 x 250mg.

d. Untuk mengatasi asma bronchial, pada pasien tersebut diberikan salbutamol,

seretide diskus 2 x 250 mg, dan ventolin MDI. Pemberian obat asma tersebut

sudah tepat.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

47

1. Gravida 3 Para 2 Abortus 0, Usia 37 Tahun, Hamil 26 Minggu 1 Hari, Janin

Tunggal Hidup Intra Uterin, Presentasi kepala, Punggung kiri, Belum Inpartu

dengan Hipertensi Gestasional dan Asma Bronkhial.

2. Penatalaksaan pada pasien ini sudah tepat

B. Saran

1. Diperlukan pengawasan yang ketat pada pasien hipertensi dalam kehamilan

dan asma bronkhial agar tidak terjadi mortalitas pada ibu dan janin.

Pengambilan keputusan untuk terminasi kehamilan demi menyelamatkan ibu

dan janin juga perlu diperhatikan. Pemberian terapi yang tepat juga mencegah

kejang dan komplikasi lain.

2. Penanganan yang komprehensif pada kasus ini dapat memperbaiki kondisi

kondisi ibu dan janin.

48

DAFTAR PUSTAKA

1. ACOG Practice Bulletin Number 90, February 2008, Asthma in Pregnancy.

2. Angsar, Dikman dkk. 2005. Pedoman Pengelolaan Hipertensi dalam Kehamilan.

Edisi Kedua. Semarang: Himpunan Kedokteran Fetomaternal POGI.

3. Cunningham, F.G., Leveno, K.J., Bloom, S.L., Hauth, J.C, Rouse D.J., Spong,

C.Y. 2010. Williams Obstetrics 23rd Edition. New York: The McGraw-Hill

Companies

4. Daftary, N Shirish; Desai, V Shyam. 2008. Selected topics in Obstetrics and

Gynaecology 4 For Postgraduate and Practitioners. New Delhi: BI Publications

pvt ltd.

5. Global Initiative for Asthma (GINA), Management and Prevention Update.

Defenisi and overview; 2012; p.2

6. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2010. Pedomkan Diagnosis dan

Penatalaksanaan Asma di Indonesia. Jakarta.

7. Prawirohardjo, Saryono. 2008. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Bina Pustaka Sarwono

Prawirohardjo.

8. Tamási*, Lilla, Anikó Bohács, Ildikó Horváth and György Losonczy. 2010.

Asthma in pregnancy - from immunology to clinical management.

Multidisciplinary Respiratory Medicine 2010, 5:259-263  doi:10.1186/2049-

6958-5-4-259

9. Schatz M, Dombrowski M , Asthma in Pregnancy. N Engl J Med 2009;

360:1862-9.

10. Subijanto, A.A.. Keanekaragaman genetik HLA-DR dan variasi kerentanan

terhadap penyakit asma; tinjauan khusus pada asma dalam Kehamilan

BIODIVERSITAS. ISSN: 1412-033XVolume 9, Nomor 3 Juli 2008;Hal: 237-243

11. Whitty E Janice et al. 2004. Respiratory Disease in Pregnancy. Dalam: Maternal

Fetal Medicine Principles and Practice. Edisi ke-5. Phyladelphia: Saunders.

49