PRESENTASI KASUS
-
Upload
noni-frista-al-azhari -
Category
Documents
-
view
11 -
download
7
description
Transcript of PRESENTASI KASUS
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Hipertensi dalam kehamilan merupakan 5- 15% penyulit kehamilan dan
merupakan salah satu dari tiga penyebab tertinggi mortalitas dan morbiditas ibu
bersalin. Di Indonesia mortalitas dan morbiditas hipertensi dalam kehamilan juga
masih cukup tinggi. Hal ini disebabkan selain oleh etiologi tidak jelas, juga oleh
perawatan dalam persalinan masih ditangani oleh petugas non medis dan sistem
rujukan yang belum sempurna. Hipertensi dalam kehamilan dapat dialami oleh
semua lapisan ibu hamil sehingga pengetahuan tentang pengelolaan hipertensi
dalam kehamilan harus benar- benar dipahami oleh semua tenaga medis baik di
pusat maupun di daerah (Prawirohardjo, 2008).
Asma adalah salah satu kondisi medis yang paling umum yang
mempengaruhi hidup wanita usia reproduksi (Daftary & Desay, 2008). Asma
merupakan kondisi medis yang serius berpotensi umum dapat mempersulit sekitar
4-8% dari kehamilan (ACOG, 2008). Rey dan Boulet pada tahun 2007
mendapatkan prevalensi wanita hamil dengan asma antara 3,4 - 12,4% (Subijanto,
2008). Keparahan pasien dengan asma selama kehamilan sangat bervariasi. Pada
sekitar sepertiga wanita asma menjadi lebih buruk, dalam satu sepertiga lainnya
menjadi kurang parah dan dalam sepertiga yang tersisa itu tetap tidak berubah
selama kehamilan (Manju & Hemali, 2014).
Pada pasien yang memiliki gejala asma, minggu kehamilan ke- 24 sampai
36 cenderung menjadi yang paling sulit. Hanya 10% dari wanita akan mengalami
eksaserbasi asma selama persalinan dan melahirkan, dan keparahan cenderung
untuk kembali ke semula setelah 3 bulan postpartum (Daftary & Desay, 2008).
Berdasarkan penelitian selama abad ke-20 menunjukkan bahwa pada
keparahan asma yang meningkat keluaran bayi dapat lebih buruk dan dengan
manajemen asma agresif keluaran bayi biasanya baik (Daftary & Desay, 2008).
2
B. Tujuan
Tujuan dari penyusunan presentasi kasus ini adalah :
Mengetahui cara penegakkan diagnosis dan penatalaksanaan hipertensi
dalam kehamilan dan asma pada kehamilan.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN
1. TERMINOLOGI
Terminologi yang dipakai adalah
a. Hipertensi dalam kehamilan, atau
b. Preeklampsia – eklampsia (Prawirohardjo, 2008).
2. KLASIFIKASI
Pembagian klasifikasi berdasarkan Report of The National High Blood
Pressure Education Program Working Group on High Blood Pressure in
Pregnancy tahun 2001, ialah:
a. Hipertensi kronik
Hipertensi kronik adalah hipertensi yang timbul sebelum usia kehamilan
20 minggu dan berlangsung sampai setelah 12 minggu postpartum.
b. Preeklampsia- eklampsia
Preeklampsia adalah hipertensi yang timbul setelah 20 minggu kehamilan
disertai dengan proteinuria. Eklampia adalah preeclampsia yang disertai
dengan kejang- kejang dan atau koma.
c. Hipertensi kronik dengan superimposed preeclampsia
Hipertensi kronik dengan superimposed preeclampsia adalah hipertensi
kronik disertai tanda- tanda preeklampsia atau hipertensi kronik disertai
proteinuria.
d. Hipertensi Gestasional
Hipertensi gestasional adalah hipertensi yang timbul pada kehamilan tanpa
disertai proteinuria dan hipertensi menghilang setelah 12 minggu
postpartum (Whitty, 2004 Praorohardjo, 2008).
4
3. PATOFISIOLOGI
Penyebab hipertensi dalam kehamilan hingga kini belum diketahui
dengan jelas. Banyak teori telah dikemukakan tentang terjadinya hipertensi
dalam kehamilan, tetapi tidak ada satu pun teori tersebut yang dianggap
mutlak benar. Teori- teori yang sekarang banyak dianut adalah:
a. Teori kelainan vaskularisasi plasenta
Pada kehamilan normal, rahim dan plasenta mendapat aliran darah
dari cabang- cabang arteri uterine dan arteri ovarika. Kedua pembuluh
darah tersebut menembus miometrium berupa arteri arkuata dan arteri
arkuata member cabang arteria radialis. Arteria radialis menembus
endometrium menjadi arteri basalis dan arteri basalis member cabang
arteria spiralis (Prawirohardjo, 2008).
Pada hamil normal, dengan sebab yang belum jelas, terjadi infasi
trofoblas ke dalam lapisan otot arteria spiralis, yang menimbulkan
degenerasi lapisan otot tersebut sehingga terjadi dilatasi arteri spiralis.
Invasi trofoblas juga memasuki jaringan sekitar arteri spiralis, sehingga
jaringan matriks menjadi gembur dan memudahkan lumen arteri spiralis
mengalami distensi dan dilatasi. Distensi dan vasodilatasi lumen arteri
spiralis ini member dampak penurunan tekanan darah, penurunan
resistensi vascular, dan peningkatan aliran darah pada daerah utero
plasenta. Akibatnya, aliran darah ke janin cukup banyak dan perfusi
jaringan juga meningkat, sehingga dapat menjamin pertumbuhan janin
dengan baik. Proses ini dinamakan “remodeling arteri spiralis”
(Prawirohardjo, 2008).
Pada hipertensi dalam kehamilan tidak terjadi invasi sel- sel
trofoblas pada lapisan otot arteri spiralis dan jaringan matriks sekitarnya.
Lapisan otot arteri spiralis menjadi tetap kaku dank eras sehingga lumen
arteri spiralis tidak memungkinkan mengalami distensi dan vasodilatasi.
Akibatnya, arteri spiralis relative mengalami vasokonstriksi, dan terjadi
kegagalan “remodeling arteri spiralis”, sehingga aliran darah utero
5
plasenta menurun, dan terjadilah hipoksia dan iskemia plasenta. Dan
iskemia plasenta akan menimbulkan perubahan- perubahan yang dapat
menjelaskan patogenesis hipertensi dalam kehamilan selanjutnya.
Diameter rata- rata arteri spiralis pada hamil normal adalah 500
mikron, sedangkan pada preeclampsia rata- rata 200 mikron. Pada hamil
normal vasodilatasi lumen arteri spiralis dapat meningkatkan 10 kali aliran
darah ke utero plasenta (Prawirohardjo, 2008).
b. Teori iskemia plasenta, radikal bebas, dan disfungsi endotel
1) Iskemia plasenta dan pembentukan oksidan/ radikal bebas
Sebagaimana dijelaskan pada teori invasi trofoblas, pada
hipertensi dalam kehamilan terjadi kegagalan “remodeling arteri
spiralis”, dengan akibat plasenta mengalami iskemia. Plasenta yang
mengalami iskemia dan hipoksia akan menghasilkan oksidan (radikal
bebas). Oksidan atau radikal bebas adalah senyawa penerima electron
atau atom/ molekul yang mempunyai electron yang tidak berpasangan.
Salah satu oksidan penting yang dihasilkan plasenta iskemia adalah
radikal hidroksial yang sangat toksis, khususnya terhadap membran sel
endotel pembuluh darah. Sebenarnya produksi oksidan pada manusia
adalah suatu proses normal, karena oksidan memang dibutuhkan untuk
perlindungan tubuh. Adanya radikal hidroksil dalam darah mungkin
dahulu dianggap sebagai bahan toksin yang beredar dalam darah,
maka dulu hipertensi dalam kehamilan disebut toxemia
(Prawirohardjo, 2008).
Radikal hidroksil akan merusak membrane sel, yang
mengandung banyak asam lemak tidak jenuh menjadi peroksida
lemak. Peroksida lemak selain akan merusak membrane sel, juga akan
merusak nukleus, dan protein sel endotel. Produki oksidan (radikal
bebas) dalam tubuh yang bersifat toksis, selalu diimbangi dengan
produksi antioksidan 9Prawirohardjo, 2008).
2) Peroksida lemak sebagai oksidan pada hipertensi dalam kehamilan
6
Pada hipertensi dalam kehamilan telah terbukti bahwa kadar
oksidan, khususnya peroksida lemak meningkat, sedangkan
antioksidan, missal vitamin E pada hipertensi dalam kehamilan
menurun, sehingga terjadi dominasi kadar oksidan peroksida lemak
yang relatif tinggi. Peroksida lemak ebagai oksidan, radikal bebas
yang sangat toksis ini akan beredar di seluruh tubuh dalam aliran darah
dan akan merusak membrane sel endotel. Membran sel endotel lebih
mudah mengalami kerusakan oleh peroksida lemak karena letaknya
langsung berhubungan dengan aliran darah dan mengandung banyak
asam lemak tidak jenuh. Asam lemak tidak jenuh sangat rentan
terhadap oksidan radikal hidroksil, yang akan berubah menjadi
peroksida lemah (Prawirohardjo, 2008).
3) Disfungsi sel endotel
Akibat sel endotel terpapar terhadap peroksida lemak, maka
terjadi kerusakan sl endotel yang kerusakannya dimulai dari
membrane sel endotel. Kerusakan membrane sel endotel
mengakibatkan terganggunya fungsi endotel, bahkan rusaknya seluuh
strukur sel endotel. Keadaan ini disebut “disfungsi endotel”. Pada
waktu terjadi kerusakan sel endotel yang mengakibatkan disfungsi sel
endotel, maka akan terjadi:
a). Gangguan metabolism prostaglandin, karena salah satu fungsi sel
endotel adalah memproduksi prostaglandin, yaitu menurunnya
produksi prostasiklin (PGE2), suatu vasodilatator kuat
(Prawirohardjo, 2008).
b). Agregasi sel- sel trombosit pada daerah endotel yang mengalami
kerusakan. Agregasi el trombosit ini adalah untuk menutup
tempat- tempat di lapisan endotel yang mengalami kerusakan.
Agregari trombosit memproduksi tromboksan (TXA2) suatu
vaskonstriktor kuat. Dalam keadaan normal perbandingan kadar
prostasiklin/ tromboksan lebih tinggi kadar prostasiklin (lebih
7
tinggi vasodilatator). Pada preeclampsia kadar tromboksan lebih
tinggi dari kadar prostasiklin sehingga terjadi vasokonstriksi
dengan terjadi kenaikan tekanan darah (Prawirohardjo, 2008).
c). Perubahan khas pada sel endotel kapiler glomerulus (glomerular
endotheliosis) (Prawirohardjo, 2008).
d). Peningkatan permeabilitas kapilar (Prawirohardjo, 2008).
e). Peningkatan produksi bahan- bahan vasopresor, yaitu endotelin.
Kadar NO (vasodilatator) menurun, sedangkan endotelin
(vasokonstriktor) meningkat (Prawirohardjo, 2008).
f). Peningkatan faktor koagulasi (Prawirohardjo, 2008).
c. Teori intoleransi imunologik antara ibu dan janin
Dugaan bahwa faktor imunologik berperan terhadap terjadinya
hipertensi dalam kehamilan terbukti dengan fakta sebagai berikut:
1). Primigravida mempunyai risiko lebih besar terjadinya hipertensi dalam
kehamilan jika dibandingkan dengan multigravida.
2). Ibu multipara yang kemudian menikah lagi mempunyai risiko lebih
besar terjadinya hipertensi dalam kehamilan jika dibandingkan dengan
suami yang sebelumnya.
3). Seks oral mempunyai risiko lebih rendah terjadinya hipertensi dalam
kehamilan. Lamanya periode hubungan seks sampai sat kehamilan
ialah makin lama periode ini, makin kecil terjadinya hipertensi dalam
kehanilan.
Pada perempuan hamilo normal, respons imun menolak adanya
“hasil konsepsi” yang bersifat asing. Hal ini desebabkan adanya human
leukocyte antigen protein G (HLA-G) yang berperan penting dalam
modulasi sistem imun sehingga si ibu tidak menolak hasil konsepsi
(plasenta). Adanya HLA-G pada plasenta dapat melindungi trofoblas janin
dari lisis oleh sel Natural Killer (NK) ibu (Prawirohardjo, 2008).
Selain itu, adanya HLA-G akan mempermudah invasi sel trofoblas
ke dalam jaringan desidua ibu. Jadi HLA-G merupakan prakondisi untuk
8
terjadinya invasi trofoblas ke dalam jaringan desidua ibu, di samping
untuk menghadapi sel Natural Killer. Pada plasenta hipertensi dalam
kehamilan, menghambat invasi trofoblas ke dalam desidua. Invasi
trofoblas sangat penting agar jaringan desidua menjadi lunak, dan gembur
sehingga memudahkan terjadinya dilatasi arteri spiralis. HLA-G juga
merangsang produksi sitikon, sehingga memudahkan terjadinya reaki
inflamasi. Kemungkinan erjadi immune Maladaptation pada preeklampsia
(Prawirohardjo, 2008).
Pada awal trimester kedua kehamilan perempuan yang mempunya
kecenderungan terjadi preeclampsia, ternyata mempunyai proporsi Helper
Sel yang lebih rendah disbanding pada normotensif (Prawirohardjo, 2008).
d. Teori adaptasi kardiovaskular
Pada hamil normal pembuluh darah refrakter terhadap bahan-
bahan vasopresor. Refrakter berarti pembuluh darah tidak peka terhadap
rangsangan bahan vasopresor atau dibutuhkan kadar vasopresor yang lebih
tinggi untuk menimbulkan respons vasokonstriksi. Pada kehamilan normal
terjadinya refrakter pembuluh darah terhadap bahan vasopresor adalah
akibat dilindungi oleh adanya sintesis prostaglandin pada sel endotel
pembuluh darah. Hal ini dibuktikan bahwa daya refrakter terhadap bahan
vasopresor akan hilang bila diberi prostaglandin sintesa inhibitor (bahan
yang menghambat produksi prostaglandin). Prostaglandin ini di kemudian
hari ternyata adalah prostasiklin (Prawirohardjo, 2008).
Pada hipertensi dalam kehamilan kehilangan daya refrakter
terhadap bahan vasokonstriktor dan ternyata terjadi peningkatan kepekaan
terhadap bahan- bahan vasopresor. Artinya daya refrakter pembuluh darah
terhadap bahan vasopresor hilang sehingga pembuluh darah menjadi
sangat peka terhadap bahan vasopresor. Banyak peneliti telah
membuktikan bahwa peningkatan kepekaan terhadap bahan- bahan
vasopresor pada hipertensi dalam kehamilan sudah terjadi pada trimester I
(pertama). Peningkatan kepekaan dalam kehamilan yang akan menjadi
9
hipertensi dalam kehamilan, sudah dapat ditemukan pada kehamilan dua
puluh minggu. Fakta ini dipakai sebagai prediksi akan terjadinya
hipertensi dalam kehamilan (Prawirohardjo, 2008).
e. Teori genetik
Ada faktor keturunan dan familiar dengan model gen tunggal.
Genotipe ibu lebih menentukan terjadinya hipertensi dalam kehamilan
secara familial jika dibandingkan dengan genotipe janin. Telah terbukti
bahwa pada ibu yang mengalami preeclampsia 26% anak perempuannya
akan mengalami preeklampsia pula, sedangkan hanya 8% anak menantu
mengalami preeklampsia (Prawirohardjo, 2008).
f. Teori defisiensi gizi (teori diet)
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa kekurangan
defisiensi gizi berperan dalam terjadinya hipertensi dalam kehamilan.
Penelitian yang penting yang pernah dilakukan di Inggris ialah penelitian
tentang pengaruh diet pada preeclampsia beberapa waktu bsebelum
pecahnya Perang Dunia II. Suasana serba sulit mendapat gizi yang cukup
dalam persiapan perang menimbulkan kenaikan insiden hipertensi dalam
kehamilan (Prawirohardjo, 2008).
Penelitian terakhir membuktikan bahwa konsumsi minya ikan
termasuk minyak hati halibut dapat mengurangi risiko preeclampsia.
Minyak ikan mengandung banyak asam lemah tidak jenuh yang dapat
menghambat produksi tromboksan, menghambat aktivasi trombosit dan
mencegah vasokonstriksi pembuluh darah (Prawirohardjo, 2008).
Beberapa peneliti telah mencoba melakukan uji klinik untuk
memakai konsumsi minyak ikan atau bahan yang mengandung asam
lemah tak jenuh dalam mencegah preeclampsia. Hasil sementara
menunjukkan bahwa penelitian ini berhasil baik dan mungkin dapat
dipakai sebagai alternative pemberian aspirin (Prawirohardjo, 2008).
Beberapa peneliti juga menganggap bahwa defisiensi kalsium pada
diet perempuan hamil mengakibatkan risiko terjadinya preeclampsia/
10
eklampsia. Peneliti di Negara Equador Andes dengan metode uji klinik,
ganda tersamar, dengan membandingkan pemberian kalsium dan plasebo.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ibu hamil yang diberi suplemen
kalsium cukup, yang mengalami preeclampsia adalah 14% sedang yang
diberi glukosa 17% (Prawirohardjo, 2008).
g. Teori stimulus inflamasi
Teori ini berdasarkan fakta bahwa lepasnya debris trofoblas di
dalam sirkulasi darah merupakan rangsangan utama terjadinya proses
inflamasi. Pada kehamilan normal plasenta juga melepaskan debris
trofoblas, sebagai sisa- sisa proses apoptosis dan nekrotik trofoblas akibat
reaksi stress oksidatif (Prawirohardjo, 2008).
Bahan- bahan ini sebagai bahan asing yang kemudia merangsang
timbulnya proses inflamasi. Pada kehamilan normal, jumlah debris
trofoblas masih dalam batas wajar sehingga reaki inflamasi juga masih
dalam batas normal. Berbeda dengan proses apoptosis pada preeklampsia
dimana pada preeklampsia terjadi peningkatan stress oksidatif sehingga
produksi debris apoptosis dan nekrotik trofoblas juga meningkt. Makin
banyak sel trofoblas plasenta misalnya pada plasenta besar, pada hamil
ganda, maka reaksi stress oksidatif akan sangat meningkt, sehingga jumlah
sisa debris plasenta juga makin meningkat. Keadaan ini menimbulkan
beban reaksi inflamasi dalam darah ibu menjadi jauh lebih besar,
disbanding reaksi inflamasi pada kehamilan normal. Respons inflamasi ini
akan mengaktivasi sel endotel, dan sel- sel makrofag/ granulosit yang
lebih besar pula sehingga terjadi reaksi sistemik inflamasi yang
menimbulkan gejala- gejala preeclampsia pada ibu (Prawirohardjo, 2008).
Redman, menyatakan bahwa disfungsi endotel pada preeclampsia
akibat produksi debris trofoblas plasenta berlebihan tersebut di atas,
mengakibatkan”aktifitas leukosit yang sangat tinggi” pada sirkulasi ibu.
Peristiwa ini oleh Redman disebut sebagai “kekacauan adaptasi dari
11
proses inflamasi intravaskular pada kehamilan” yang biasanya
berlangsung normal dan menyeluruh (Prawirohardjo, 2008).
4. FAKTOR RISIKO (Prawirohardjo, 2008)
1. Primigravida, primipaternitas
2. Hiperplasentosis (misalnya pada mola hidatidosa, kehamilan multiple,
diabetes mellitus, hidrops fetalis, bayi besar)
3. Umur
4. Riwayat keluarga pernah memiliki tekanan darah tinggi, preeclampsia/
eklampsia
5. Penyakit- penyakit ginjal dan hipertensi yang sudah ada sebelum hamil
6. Obesitas
5. PENEGAKKAN DIAGNOSIS (POGI, 2005)
1. Pengukuran tekanan darah
2. Pengukuran kadar proteinuria
a. Secara Escbach
b. Dipstik
6. PENATALAKSANAAN
1. Anti kejang
2. Anti hipertensi
12
B. ASMA DALAM KEHAMILAN
1. DEFINISI
Asma merupakan penyakit inflamasi kronis saluran nafas yang
melibatkan banyak sel dan elemen seluler yang mengakibatkan hiperresponsif
jalan nafas yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak
nafas, dada terasa berat dan batuk-batuk terutama pada malam hari dan atau
dini hari. Episode tersebut berhubungan dengan obstruksi jalan nafas dan
seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan (GINA, 2012)
2. KLASIFIKASI KEPARAHAN ASMA
Dari National Institutes of Health, National Heart, Lung, and Blood
Institute. National Asthma Education Program (2007).
Tabel 2.1. KLASIFIKASI KEPARAHAN ASMA
Severity
Intermittent Persistent
KOMPONEN Mild Moderate Severe
GEJALA 2 hari/minggu
>2 hari/minggu, tidak setiap hari
Daily Sepanjang hari
TERBANGUN MALAM HARI
2x/bulan 3–4x/bulan >1/minggu, tidak setiap malam
sering 7x/minggu
SHORT ACTING β AGONIST UNTUK GEJALA
2 hari/minggu
2 hari/ minggu, tetapi tidak >1x/hari
Setiap hari Beberapa kali sehari
INTERVERENSI DENGAN AKTIFITAS NORMAL
Tidak ada Pembatasan kecil
Beberapa keterbatasan
Sangat terbatas
FUNGSI PARU PARU Normal antara eksaserbasi
13
FEV1 >80% terprediksi
80% terprediksi
60–80% terprediksi
<60% terprediksi
FEV1/FVC Normal Normal Menurun 5% Menurun >5%
FEV = forced expiratory volume, FVC = forced vital capacity.
3. PATOFISIOLOGI
Asma merupakan inflamasi kronik saluran napas. Berbagai sel
inflamasi berperan terutama sel mast, eosinofil, sel limfosit T, makrofag,
neutrofil dan sel epitel. Faktor lingkungan dan berbagai faktor lain berperan
sebagai penyebab atau pencetus inflamasi saluran napas pada penderita asma.
Inflamasi terdapat pada berbagai derajat asma baik pada asma intermiten
maupun asma persisten. Inflamasi dapat ditemukan pada berbagai bentuk
asma seperti asma alergik, asma nonalergik, asma kerja dan asma yang
dicetuskan aspirin.
INFLAMASI AKUT
Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor antara lain
alergen, virus, iritan yang dapat menginduksi respons inflamasi akut yang
terdiri atas reaksi asma tipe cepat dan pada sejumlah kasus diikuti reaksi asma
tipe lambat.
Reaksi Asma Tipe Cepat
Alergen akan terikat pada IgE yang menempel pada sel mast dan terjadi
degranulasi sel mast tersebut. Degranulasi tersebut mengeluarkan preformed
mediator seperti histamin, protease dan newly generated mediator seperti
leukotrin, prostaglandin dan PAF yang menyebabkan kontraksi otot polos
bronkus, sekresi mukus dan vasodilatasi.
Reaksi Fase Lambat
Reaksi ini timbul antara 6-9 jam setelah provokasi alergen dan melibatkan
pengerahan serta aktivasi eosinofil, sel T CD4+, neutrofil dan makrofag.
14
INFLAMASI KRONIK
Berbagai sel terlibat dan teraktivasi pada inflamasi kronik. Sel tersebut ialah
limfosit T, eosinofil, makrofag , sel mast, sel epitel, fibroblast dan otot polos
bronkus.
Limfosit T
Limfosit T yang berperan pada asma ialah limfosit T-CD4+ subtipe Th2).
Limfosit T ini berperan sebagai orchestra inflamasi saluran napas dengan
mengeluarkan sitokin antara lain IL-3, IL-4,IL-5, IL-13 dan GM-CSF.
Interleukin-4 berperan dalam menginduksi Th0 ke arah Th2 dan bersama-
sama IL-13 menginduksi sel limfosit B mensintesis IgE. IL-3, IL-5 serta GM-
CSF berperan pada maturasi, aktivasi serta memperpanjang ketahanan hidup
eosinofil.
Epitel
Sel epitel yang teraktivasi mengeluarkan a.l 15-HETE, PGE2 pada penderita
asma. Sel epitel dapat mengekspresi membran markers seperti molekul
adhesi, endothelin, nitric oxide synthase, sitokin atau khemokin.
Epitel pada asma sebagian mengalami sheeding. Mekanisme terjadinya masih
diperdebatkan tetapi dapat disebabkan oleh eksudasi plasma, eosinophil
granule protein, oxygen free-radical, TNF-alfa, mast-cell proteolytic enzym
dan metaloprotease sel epitel.
EOSINOFIL
Eosinofil jaringan (tissue eosinophil) karakteristik untuk asma tetapi tidak
spesifik. Eosinofil yang ditemukan pada saluran napas penderita asma adalah
dalam keadaan teraktivasi. Eosinofil berperan sebagai efektor dan mensintesis
sejumlah sitokin antara lain IL-3, IL-5, IL-6, GM-CSF, TNF-alfa serta
mediator lipid antara lain LTC4 dan PAF. Sebaliknya IL-3, IL-5 dan GM-CSF
meningkatkan maturasi, aktivasi dan memperpanjang ketahanan hidup
eosinofil. Eosinofil yang mengandung granul protein ialah eosinophil cationic
protein (ECP), major basic protein (MBP), eosinophil peroxidase (EPO) dan
eosinophil derived neurotoxin (EDN) yang toksik terhadap epitel saluran
15
napas.
Sel Mast
Sel mast mempunyai reseptor IgE dengan afiniti yang tinggi. Cross-linking
reseptor IgE dengan “factors” pada sel mast mengaktifkan sel mast. Terjadi
degranulasi sel mast yang mengeluarkan preformed mediator seperti histamin
dan protease serta newly generated mediators antara lain prostaglandin D2
dan leukotrin. Sel mast juga mengeluarkan sitokin antara lain TNF-alfa, IL-3,
IL-4, IL-5 dan GM-CSF.
Tabel 2.2. Mekanisme inflamasi akut dan kronik pada asma dan proses
remodeling
16
Tabel 2.3. Hubungan antara inflamasi akut, inflamasi kronik dan airway
remodeling dengan gejala klinis
19
5. PENEGAKKAN DIAGNOSIS
Diagnosis asma pada pasien hamil pada umumnya sama dengan pasien
tidak hamil. Asma biasanya memiliki karakteristik gejala (mengi, chest cough,
sesak napas, nafas pendek), intensitas berfluktuasi, memburuk pada malam
hari, dan adanya pemicu (misalnya alergen, latihan, infeksi). Mengi pada
auskultasi akan mendukung diagnosis, tetapi tidak adanya mengi tidak
mengecualikan diagnosis (ACOG, 2008).
Idealnya, diagnosis asma akan dikonfirmasi dengan menunjukkan
obstruksi jalan napas pada spirometri yang setidaknya sebagian reversibel
(lebih besar dari peningkatan 12% pada FEV1 setelah bronchodilator).
Namun, obstruksi jalan napas reversibel mungkin tidak dibuktikan pada
beberapa pasien dengan asma (ACOG, 2008).
6. PENGARUH ASMA PADA KEHAMILAN
Kehamilan ditandai dengan toleransi imunologi (kekebalan fisiologis)
yang menumpulkan respon imun maternal terhadap antigen paternal
diungkapkan oleh janin. Kehamilan fisiologis telah digambarkan sebagai Th2
dominasi, dan studi saat ini menunjukkan bahwa regulasi sel-sel T
berkembang biak (Tregs) mungkin memiliki peran penting dalam
pemeliharaan toleransi perifer terhadap antigen paternal selama kehamilan.
Sel Treg, bagaimanapun, mengerahkan efek penghambatan pada pembunuh
alami limfosit bertanggung jawab untuk perlindungan terhadap virus yang
dapat menyebabkan peningkatan kerentanan terhadap infeksi virus (misalnya
influenza), seperti yang diamati dengan H1N1 influenza pada ibu hamil.
Nomor berkurang sel Treg pada kehamilan dikaitkan dengan penolakan
kekebalan janin serta preeklampsia dan berat lahir rendah janin (tamasi,
2010).
Asma secara tradisional dianggap sebagai alergi T helper sel 2 (Th2)
tipe peradangan yang mengarah ke hiperresponsif bronkial, obstruksi jalan
napas dan dalam beberapa kasus jaringan renovasi. Perubahan imunologi pada
20
kehamilan asma tidak stabil. Dalam sebuah studi baru-baru ini kami
menemukan tanda-tanda pelemahan akibat kehamilan dengan alergi. Aktifasi
dalam sel CD4 dan CD8 T yang lebih besar, dan jumlah pembunuh alami T
(NKT) sel meningkat baik dalam asma tidak hamil dan dalam pasien hamil
yang sehat (dibandingkan dengan kontrol yang sehat yang tidak hamil), tetapi
dalam penderita asma hamil yang terkontrol baik, ada aktivasi limfosit lanjut
yang diamati menunjukkan bahwa efek imunosupresif tanpa komplikasi
kehamilan dapat menumpulkan aktivasi limfosit yang mencirikan asma. Di
sisi lain, dalam penelitian Tamasi sebelumnya sejumlah besar interferon (IFN)
-γ memproduksi sel terdeteksi dalam darah perifer diperoleh dari ibu hamil
dengan asma tidak dikontrol dan korelasi negatif yang signifikan terungkap
antara jumlah IFN-γ T positif -cells dan berat lahir bayi yang baru lahir,
menunjukkan retardasi pertumbuhan. Selain itu, mengingat penanda inflamasi
lainnya, protein heat shock (Hsp) -70, tingkat sirkulasi lebih tinggi terdeteksi
pada wanita asma hamil dibandingkan pada wanita hamil yang sehat. Berat
lahir janin lebih rendah pada kehamilan dengan komplikasi asma,
menunjukkan hubungan antara respon imun penderita asma dan perubahan
pertumbuhan janin berubah. Selain itu, efek samping yang mungkin akibat
peradangan asma pada kehamilan, dalam penelitian yang baru dari 13,100
penderita asma hamil, 35% peningkatan risiko kematian perinatal diamati
pada kehamilan wanita dengan asma. Faktor-faktor utama yang berkontribusi
terhadap meningkatnya angka kematian perinatal ini mungkin obesitas ibu dan
merokok, serta asma tidak terkontrol. Studi lain yang baru, menunjukkan ibu
hamil dengan didiagnosis dokter dengan asma, dievaluasi kontrol asma
mereka berulang kali selama kehamilan berdasarkan frekuensi gejala dan
gangguan dengan kegiatan sehari-hari dan tidur, dan melaporkan rawat inap
dan kunjungan klinik terjadwal untuk eksaserbasi asma. Menurut hasil
penelitian, kejadian kelahiran prematur lebih tinggi pada pasien dengan asma
dengan kontrol yang tidak memadai, gejala selama trimester pertama
kehamilan dibandingkan dengan pasien dengan kontrol asma yang memadai,
21
dan pasien yang dirawat di rumah sakit untuk asma selama kehamilan
memiliki insiden yang lebih tinggi kelahiran prematur dibandingkan pada
wanita asma tanpa riwayat rawat inap. Jadi mungkin ada risiko kelahiran
prematur yang ditimbulkan oleh asma ibu yang tidak terkontrol. Asma ibu
juga dikenal sebagai faktor risiko untuk pengembangan asma pada anak-anak
(Tamasi, 2010).
7. PENGARUH KEHAMILAN TERHADAP JALANNYA ASMA
Kehamilan juga memiliki efek pada kasus asma. Asma membaik pada
sepertiga kasus selama kehamilan, stabil pada sepertiga kasus, dan memburuk
pada sepertiga dari wanita hamil. Asma yang lebih parah sebelum kehamilan
merupakan risiko yang lebih tinggi memburuk selama kehamilan dan ada
hubungan antara kondisi asma saat ini dengan selama kehamilan berikutnya.
Kualitas asma pada awal kehamilan berhubungan dengan morbiditas asma
selama kehamilan berikutnya.
Keparahan gejala asma selama kehamilan juga dapat dipengaruhi oleh
jenis kelamin janin. Gejala asma yang memburuk dan insiden yang lebih
tinggi adanya hambatan pertumbuhan dalam kandungan diamati pada
penderita asma hamil dengan janin perempuan. Di sisi lain, obesitas juga
dikaitkan dengan peningkatan risiko eksaserbasi asma selama kehamilan.
Selain itu, obesitas ibu tanpa pengaruh asma juga meningkatkan risiko untuk
hasil perinatal yang merugikan (preeklamsia, diabetes gestasional, retardasi
janin intrauterine dan kematian janin). Namun, mekanisme imunologi yang
mendasari perubahan jalannya asma selama kehamilan atau memprediksi
biomarker memburuk sebagian besar tidak diketahui (Tamasi, 2010).
8. PENATALAKSANAAN
Tujuan utama terapi asma pada kehamilan adalah menjaga oksigenasi
yang memadai pada janin dengan mencegah episode hipoksia pada ibu.
Manajemen optimal asma selama kehamilan mencakup pemantauan fungsi
22
paru-paru, menghindari atau mengendalikan pemicu asma, mendidik pasien,
dan terapi farmakologis individu untuk mempertahankan fungsi paru normal
(ACOG, 2008).
PENILAIAN ASMA
a. Dianjurkan evaluasi rutin fungsi paru pada wanita hamil dengan asma
persisten. Untuk penilaian fungsi paru selama kunjungan rawat jalan
dengan menggunakan spirometri akan lebih baik, tetapi pengukuran arus
puncak ekspirasi dengan peak flow meter juga sudah cukup. Pasien
dengan gejala yang memburuk harus dievaluasi dengan pengukuran aliran
puncak dan auskultasi paru-paru.
b. Pada pasien yang tidak minum obat asma, hal ini berguna untuk menilai
kerusakan paru berdasarkan klasifikasi keparahan. Pasien dengan dua atau
lebih episode gejala eksaserbasi membutuhkan penggunaan kortikosteroid
oral dalam 12 bulan sebelumnya, selain itu juga harus dipertimbangkan
pasien memiliki asma persisten.
c. Pada pasien yang minum obat asma, hal ini berguna untuk menilai kontrol
penyakit asma. Menilai perbaikan pasien asma dapat dengan cara
menentukan frekuensi gejala siang hari, gejala nokturnal, pembatasan
aktivitas, frekuensi terapi penyembuhan, dan penilaian FEV1. Penilaian
pada pasien hamil dengan asma juga harus mencakup pengaruh dari setiap
kehamilan sebelumnya pada keparahan asma atau bagaimana kontrolnya
karena hal ini dapat memprediksi jalannya asma selama kehamilan
berikutnya.
d. Pada pasien dengan asma intermiten ringan (mild intermittent asthma),
tidak ada terapi pengendali/ kontrol yang diindikasikan. Penggunaan
kortikosteroid inhalasi adalah lini pertama obat pengendali untuk asma
persisten selama kehamilan. Untuk pasien dengan asma persisten ringan,
direkomendasikan penggunaan dosis rendah kortikosteroid inhalasi.
23
e. Untuk pasien dengan asma persisten sedang atau yang gejalanya tidak
terkontrol dengan penggunaan kortikosteroid inhalasi dosis rendah, maka
diindikasikan dengan menggunakan dosis medium kortikosteroid inhalasi
atau dosis rendah kortikosteroid inhalasi dan long-acting β-agonis.
f. Budesonide adalah kortikosteroid inhalasi yang disukai untuk digunakan
selama kehamilan. Namun, tidak ada data yang menunjukkan bahwa
persiapan kortikosteroid inhalasi lainnya tidak aman selama kehamilan.
Oleh karena itu, penggunaan setiap kortikosteroid inhalasi dapat
dilanjutkan pada pasien yang asma baik dikendalikan oleh agen-agen ini
sebelum hamil (ACOG, 2008).
TERAPI ASMA SECARA UMUM
a. Obat asma secara umum diklasifikasikan menjadi obat kontrol jangka
panjang dan terapi penyelamatan.
b. Obat kontrol jangka panjang digunakan sebagai terapi pemeliharaan
untuk mencegah manifestasi asma, dan termasuk kortikosteroid inhalasi,
kromolin, long acting β-agonis, dan teofilin.
c. Terapi penyelamatan, paling sering short-acting β-agonis inhalasi,
memberikan perbaikan gejala segera.
d. Kortikosteroid oral baik digunakan sebagai bentuk terapi penyelamatan
untuk mengobati eksaserbasi asma atau terapi kontrol jangka panjang
untuk pasien dengan asma persisten berat.
e. Obat-obat tertentu, mungkin digunakan selama persalinan, memiliki
potensi dapat memperburuk asma. Non selektif b-blocker, carboprost (15-
metil prostaglandin F2α) dan ergonovine dapat memicu bronkospasme.
Magnesium sulfat adalah bronkodilator, tapi indometasin dapat
menyebabkan bronkospasme pada pasien yang sensitif terhadap aspirin.
f. Prostaglandin E2 atau prostaglandin E1 dapat digunakan untuk
pematangan serviks, pengelolaan aborsi spontan atau diinduksi, atau
pengelolaan perdarahan postpartum (ACOG, 2008).
24
PENATALAKSANAAN ASMA PADA KEHAMILAN
a. Terapi Non Medikamentosa
1) Mengidentifikasi kemungkinan alergen dan atau iritan. Langkah-
langkah khusus yang tepat untuk mengurangi jamur, debu, paparan
tungau, bulu binatang, kecoa, dan pemicu lingkungan lainnya.
2) Jika gastroesophageal reflux memperburuk asma pasien, tindakan
nonfarmakologis, seperti mengangkat kepala pada tempat tidur, makan
makanan porsi kecil, tidak makan dalam waktu 2-3 jam sebelum tidur,
dan menghindari pemicu makanan, bisa dianjurkan (ACOG, 2008).
b. Terapi Obat
1) Inhalasi short acting β2-agonis adalah terapi penyelamatan pilihan
untuk asma selama kehamilan. Inhalasi albuterol adalah pilihan
pertama, short acting β2-agonis untuk wanita hamil, meskipun agen
lain juga mungkin tepat. Secara umum, pasien harus menggunakan
hingga dua perlakuan inhalasi albuterol (2-6 tiupan) atau albuterol
nebulasi pada interval 20 menit untuk sebagian gejala ringan sampai
sedang; dosis yang lebih tinggi dapat digunakan untuk gejala
eksaserbasi parah.
2) Kortikosteroid inhalasi adalah lini pertama obat pengendali untuk
asma persisten selama kehamilan. Budesonide adalah kortikosteroid
inhalasi yang disukai untuk digunakan selama kehamilan.
3) Penggunaan long-acting β2-agonis adalah pilihan terapi tambahan
kontroller untuk asma selama kehamilan. Terapi ini harus ditambahkan
bila gejala pasien tidak terkontrol dengan penggunaan dosis medium
kortikosteroid inhalasi. Terapi tambahan alternative adalah teofilin
atau antagonis reseptor leukotrien (montelukast, zafirlukast). Namun,
penggunaan long-acting inhalasi β-agonis lebih disukai karena telah
terbukti menjadi terapi tambahan yang lebih efektif pada pasien hamil
daripada leukotrien reseptor antagonis atau teofilin.
25
4) Untuk pasien yang gejalanya tidak terkontrol dengan baik dengan
penggunaan dosis medium kortikosteroid inhalasi dan long-acting β2-
agonis inhalasi, pengobatan harus maju ke dosis tinggi kortikosteroid
inhalasi dan long-acting β2-agonis inhalasi (salmeterol, satu isapan
dua kali sehari). Beberapa pasien dengan asma berat mungkin
memerlukan penggunaan kortikosteroid oral secara teratur untuk
mencapai kontrol asma yang memadai. Untuk pasien yang gejalanya
sangat tidak terkontrol, kortikosteroid oral mungkin diperlukan untuk
mencapai kontrol, bersama dengan langkah- langkah terapi (ACOG,
2008).
Tabel 2.2. Pengobatan Asma (ACOG, 2008)
MANAJEMEN TERAPI RAWAT INAP
26
a. Penilaian awal dari pasien hamil yang mengalami asma akut termasuk
anamnesis riwayat kesehatan singkat, melakukan pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan fisiologis fungsi saluran napas dan kesejahteraan janin.
b. Penilaian fisiologis paru meliputi pengukuran FEV atau PEFR dan
saturasi oksigen. Penilaian janin tergantung pada tahap kehamilan, tetapi
electronic fetal monitoring terus menerus atau profil biofisik atau
keduanya harus dipertimbangkan jika kehamilan telah mencapai tahap
viabilitas janin.
c. Setelah pengobatan awal, penilaian ulang pasien dan janin akan
menentukan kebutuhan untuk melanjutkan perawatan. Pasien membaik
apabila pasien dengan volume ekspirasi paksa (FEV) atau puncak laju
aliran ekspirasi (PEFR) pengukuran lebih besar dari atau sama dengan
70% bertahan selama 60 menit setelah pengobatan terakhir, tidak ada
kesulitan, dan status janin meyakinkan.
d. Untuk respon lengkap (FEV) atau PEFR pengukuran lebih besar dari atau
sama dengan 50% tetapi kurang dari 70%, gejala ringan atau sedang,
memerlukan disposisi / lanjutan perawatan di gawat darurat atau rumah
sakit.
e. Untuk pasien dengan respon yang buruk (FEV atau PEFR pengukuran
kurang dari 50%), rawat inap diindikasikan. Untuk pasien dengan respon
yang buruk dan gejala berat, mengantuk, kebingungan, atau tingkat PCO2
lebih dari 42 mm Hg, mengindikasikan masuk unit perawatan intensif
masuk dan dipertimbangkan untuk intubasi (ACOG, 2008).
MANAJEMEN PASIEN PULANG SETELAH EPISODE ASMA AKUT
a. Pasien yang dipulangkan setelah episode asma akut harus melanjutkan
pengobatan dengan β2-agonis short acting, 2-4 tiupan setiap 3-4 jam
sesuai kebutuhan.
b. Kortikosteroid oral harus dilanjutkan dengan dosis 40-60 mg dalam dosis
tunggal atau dua dosis terbagi selama 3-10 hari.
27
c. Kortikosteroid inhalasi harus dimulai atau dilanjutkan sampai diperiksa
ulang pada saat follow up medis (kontrol).
d. Follow up pasien rawat jalan harus diatur dalam waktu 5 hari sejak
kunjungan akut (ACOG, 2008).
ALERGI
a. Penggunaan imunoterapi alergen (suntikan alergi) telah terbukti efektif
dalam memperbaiki asma pada pasien dengan alergi. Namun, risiko
suntikan allergen adalah anafilaksis, terutama di awal perjalanan
imunoterapi ketika dosis sedang meningkat, dan anafilaksis selama
kehamilan telah dikaitkan dengan kematian ibu, kematian janin, atau
keduanya.
b. Pada pasien yang menerima dosis pemeliharaan immunoterapi, tidak
mengalami reaksi negatif terhadap suntikan dan tampak memiliki manfaat
klinis, kelanjutan imunoterapi dianjurkan. Pada pasien ini, pengurangan
dosis dapat dilakukan untuk lebih mengurangi kemungkinan anafilaksis.
c. Pertimbangan risiko dan manfaat biasanya tidak mendukung mulai
imunoterapi alergen selama kehamilan (ACOG, 2008).
PERAWATAN INTRAPARTUM
a. Penggunaan obat asma harus dapat dihentikan selama persalinan dan
melahirkan.
b. Pasien harus tetap terhidrasi dan harus menerima analgesia yang memadai
dalam rangka mengurangi risiko bronkospasme.
c. Wanita yang sedang menerima atau baru-baru ini menerima kortikosteroid
sistemik harus menerima pemberian intravena kortikosteroid (misalnya
hidrokortison 100 mg setiap 8 jam) selama persalinan dan 24 jam setelah
melahirkan untuk mencegah krisis adrenal.
28
d. Bedah caesar untuk eksaserbasi akut asma jarang diperlukan. Namun,
pengiriman dapat mengambil manfaat status pernapasan pasien dengan
asma stabil yang memiliki janin matang (ACOG, 2008)
MENYUSUI
a. Secara umum, hanya sejumlah kecil obat asma yang dapat masuk ke ASI.
The National Asthma Education and Prevention Program menemukan
bahwa penggunaan prednisone, teofilin, antihistamin, kortikosteroid
inhalasi, β2-agonis, dan kromolin tidak kontraindikasi untuk pada pasien
asma yang menyusui (ACOG, 2008).
9. KOMPLIKASI ASMA PADA KEHAMILAN BAGI IBU
Asma tak terkontrol dapat menyebabkan stres yang berlebihan bagi ibu.
Komplikasi asma tak terkontrol bagi ibu termasuk: Preeklampsia, ditandai
dengan peningkatan tekanan darah, retensi air serta proteinuria, hipertensi
kehamilan, yaitu tekanan darah tinggi selama kehamilan; Hiperemesis
gravidarum, ditandai dengan mual-mua, berat badan turun serta
ketidakseimbangan cairan dan elektrolit; Perdarahan pervaginam Induksi
kehamilan dan atau komplikasi kehamilan (Subijanto, 2008; Schatz M,
Dombrowski, 2009).
10. KOMPLIKASI ASMA PADA KEHAMILAN BAGI JANINKekurangan oksigen ibu ke janin menyebabkan beberapa masalah
kesehatan janin, termasuk: Kematian perinatal, IUGR, gangguan
perkembangan janin dalam rahim menyebabkan janin lebih kecil dari umur
kehamilannya, kehamilan preterm, hipoksia neonatal, oksigen tidak adekuat
bagi sel-sel, berat bayi lahir rendah (Subijanto, 2008; Schatz M, Dombrowski,
2009)
Mekanisme penyebab berat bayi lahir rendah pada wanita asma masih
belum diketahui, akan tetapi terdapat beberapa faktor yang mendukung seperti
29
perubahan fungsi plasenta, derajat berat asma dan terapi asma. Plasenta
memegang peranan penting dalam mengontrol perkembangan janin dengan
memberi suplai nutrisi dan oksigen dari ibu (subijanto, 2008).
30
BAB III
LAPORAN KASUS
A. Identitas Pasien
Nama : Ny. K
Usia : 37 tahun
Agama : Islam
Suku/bangsa : Jawa
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Cipete RT 4 RW 4, Cilongok, Kabupaten Banyumas,
Jawa Tengah
Nomor CM : 885666
Tanggal/Jam Masuk : 06 Agustus 2014/ Pukul 11.38 WIB
Tanggal/ Jam keluar : 11 Agustus 2014/ Pukul 12.00 WIB
Ruang Rawat : VK IGD dan Ruang Flamboyan
B. Anamnesis
1. Keluhan utama
Tekanan Darah Tinggi
2. Keluhan tambahan
-
3. Riwayat penyakit sekarang
Pasien datang rujukan dari Puskesmas Cilongok dengan G3P2A0 usia 37 tahun
dengan preeklampsia berat dan asma pada tanggal 06 Agustus 2014. Pasien
datang dengan keluhan tekanan darah tinggi sejak hari yang sama. Pada saat
datang ke VK IGD, pasien tidak merasakan sesak nafas. Namun, setiap pagi
pasien harus minum teosal. Pasien akan merasakan sesak apabila tidak minum
teosal. Pasien tidak merasakan pusing, tidak ada mual, tidak ada muntah, tidak
ada pandangan kabur, tidak ada nyeri ulu hati. Pada saat datang, pasien tidak
31
merasakan kenceng- kenceng, tidak merasakan keluar lendir atau darah, dan
tidak merasakan pengeluaran air ketuban dari jalan lahir.
Hari Pertama Haid Terakhir : Awal bulan Februari 2014.
Taksiran Persalinan : Awal bulan November 2014
Usia Kehamilan : 26 minggu 1 hari
Riwayat Menstruasi
Teratur setiap bulan, selama 7 hari
Riwayat Pernikahan
Menikah 1 kali selama 19 tahun
Riwayat Antenatal Care
Teratur, periksa di bidan
Riwayat KB
Pil dan suntik
Riwayat Obstetrik
G3P2A0
- Anak pertama : Laki- laki, usia 18 tahun, lahir spontan, ditolong bidan,
berat lahir 2800 gram
- Anak kedua : Laki- laki, usia 6,5 tahun, lahir spontan, ditolong bidan,
berat lahir 2700 gram
- Anak ketiga : Hamil ini
4. Riwayat penyakit dahulu :
a. Riwayat darah tinggi sebelum hamil : disangkal
b. Riwayat asma : diakui
c. Riwayat alergi : diakui (dingin)
d. Riwayat kejang : disangkal
e. Riwayat kencing manis : disangkal
f. Riwayat penyakit jantung : disangkal
g. Riwayat penyakit ginjal : disangkal
h. Riwayat penyakit kandungan : disangkal
32
5. Riwayat penyakit keluarga :
a. Riwayat darah tinggi : disangkal
b. Riwayat asma : disangkal
c. Riwayat kencing manis : disangkal
d. Riwayat penyakit jantung : disangkal
e. Riwayat penyakit ginjal : disangkal
f. Riwayat penyakit kandungan : disangkal
6. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien tinggal bersama suami, kedua anak, dan ibunya. Suami bekerja
serabutan. Kebutuhan sehari-hari dicukupi dari penghasilan suami. Pasien
berobat ke RSUD Prof.DR. Margono Soekarjo dengan menggunakan biaya
BPJS.
7. Data rujukan pasien dari Puskesmas Cilongok
a. Hasil pemeriksaan
TD : 170/100 mmHg
N : 90 x/menit
RR : 24 x/menit
Suhu : 370 C
DJJ : 108 x/menit
Laboraturium tidak terlampir dalam surat rujukan.
b. Diagnosis rujukan
G3P2A0 usia 37 tahun usia kehamilan 26 minggu 1 hari dengan
preeklampsia berat dan asma bronkhial.
c. Terapi
IVFD RL 20 tpm
C. Pemeriksaan fisik
1. Keadaan Umun : Baik
2. Kesadaran : Compos mentis
33
3. Vital Sign :
a. Tekanan Darah : 170/100 mmHg
b. Nadi : 96 x/ menit, isi dan tegangan cukup
c. Respirasi : 20 x/ menit
d. Suhu : 37 C
e. Tinggi Badan : 153 cm
f. Berat badan : 64,6 Kg
4. Mata : Konjungtiva palpebra mata kanan dan kiri tidak anemis, tidak
ada skela ikterik pada mata kanan dan kiri.
5. Telinga : tidak ada ottorhea.
6. Hidung : tidak keluar sekret
7. Mulut : mukosa bibir tidak sianosis
8. Leher : Tidak ada pembesaran kelenjar tiroid
9. Thorax :
a. Paru – Paru :
Inspeksi : Bentuk dada simetris, pergerakan dada simetris (tidak ada
gerakan nafas yang tertinggal), retraksi spatium intercostalis
(-/-).
Palpasi : Gerakan dada simetris, vocal fremitus dextra = sinistra
Perkusi : Sonor pada seluruh lapang paru
Auskultasi : Suara dasar nafas vesikuler (+/+), ronkhi basah kasar (-/-) di
parahiler, dan ronkhi basah halus (-/-) di basal pada kedua
lapang paru, wheezing (+/+).
b. Jantung
Inspeksi : Tidak tampak pulsasi ictus cordis pada dinding dada sebelah
kiri atas.
Palpasi : Teraba ictus cordis, tidak kuat angkat di SIC V, 2 jari medial
LMC sinistra
Perkusi : Batas jantung kanan atas SIC II LPSD
Batas jantung kanan bawah SIC IV LPSD
34
Batas jantung kiri atas SIC II LPSS
Batas jantung kiri bawah SIC V, 2 jari medial LMCS
Auskultasi : S1>S2 reguler, murmur (-/-), gallop (-/-).
10. Ekstrimitas :
Superior : Edema (-/-), akral hangat (+/+)
Inferior : Edema (-/-), akral hangat (+/+)
Pemeriksaan Lokalis:
11. Regio Abdomen
Inspeksi : Cembung gravid
Auskultasi : DJJ (+) 108 x/menit , Bising Usus (+) Normal
Perkusi : Pekak janin
Palpasi : TFU : Setinggi pusat HIS (-)
Leopold I : Bulat, Lunak
Leopold II : Teraba tahanan memanjang di sebelah kiri
Leopold III : Bulat, Keras
Leopold IV : Konvergen
12. Regio Genitalia
Inspeksi : Rambut pubis tersebar merata
Edema vulva tidak ada
Benjolan tidak ada
Varises tidak ada
Fluor tidak ada
Fluxus tidak ada
D. DIAGNOSIS DI VK IGD
Gravida 3 Para 2 Abortus 0, Usia 37 Tahun, Hamil 26 Minggu 1 Hari,
JTHIU, Presentasi kepala, Pungggung kiri, Belum Inpartu dengan Preeklampsia
Berat, dan Asma Bronkhial.
35
E. PENATALAKSANAAN DAN SIKAP DI VK IGD
1. Sikap: Observasi
2. Pemberian oksigen 4 liter/ menit NK
3. Pemberian IVFD RL 20tpm
4. Injeksi MgSO4 4 gram iv bolus
MgSO4 6 gram drip (menunggu hasil lab)
5. Injeksi Dexamethason 2 x 1 ampul iv (2 hari)
6. P.O. Nifedipin 3 x 10 mg
7. P.O. Aminofilin 3 x 500 mg bila sesak
8. Pasang DC- UT
9. Cek DL, PT, APTT, Elektrolit, Kimia klinik, Urin lengkap, dan EKG
10. Konsul dokter Spesialis Paru
11. Lapor dr residen obstetri dan ginekologi dengan instruksi:
a. P.O. Nifedipin tab 3 x 10 mg
b. Injeksi MgSO4 4 gram iv
c. Rawat Ruang Flamboyan untuk besok dikonsulkan ke Penyakit Dalam
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium tanggal 6 Agustus 2014
Darah Lengkap
Hb : 12,2 gr/dl Normal: 12-16 gr/dl
Leukosit : 11410 l (H) Normal: 4.800-10.800/l
Hematokrit : 36 % Normal: 37%-47%
Eritrosit : 4,3 juta/l Normal: 4,2-5,4 juta/l
Trombosit : 433.000/l Normal: 150.000-450.000/l
MCV : 82,8 fL Normal: 79-99 fL
MCH : 28,4 pg Normal: 27-31 pg
MCHC : 34,4 gr/dl Normal: 33-37gr/dl
Hitung Jenis
Basofil : 0,4 % Normal: 0-1 %
36
Eosinofil : 2 % Normal: 2-4 %
Batang : 3,5 % Normal: 2-5 %
Segmen : 69,6 % Normal: 40-70%
Limfosit : 17,5 % Normal: 25-40%
Monosit : 7,0 % Normal: 2-8 %
PT : 12,2 detik Normal : 11,5-15,5 detik
APTT : 34,2 detik Normal : 25-35 detik
Kimia Klinik
SGOT : 23 U/L Normal : 15-37 U/L
SGPT : 20 U/L Normal : 30-65 U/L
Ureum Darah : 4,9 mg/dL Normal : 14,98-38,52 mg/dL
Kreatinin Darah : 0,57 mg/dL Normal : 0,60-1,00 mg/Dl
Elektrolit
Natrium : 144 mmol/L Normal : 136-145 mmol/L
Kalium : 2,9 mmol/L Normal : 3,5-5,1 mmol/L
Klorida : 97 mmol/L (L) Normal : 98-107 mmol/L
Kalsium : 9,0 mg/dL Normal : 8,4-10,2 mg/Dl
Urin Lengkap
Protein : - mg/dL Normal : Negatif
37
Pemeriksaan EKG
Interpretasi : Sinus takikardi. EKG dinyatakan normal.
G. PERKEMBANGAN PASIEN SELAMA PERAWATAN
Hasil Pemeriksaan Diagnosis Sikap/Tindakan
RUANG FLAMBOYAN Tanggal 06-08-2014 16.30 WIB H+0
S: Sesak
KU: sedang/CM
TD:160/100 mmHg
N: 88 x/menit
RR: 24 x/ menit
S: 37,2o C
Status Lokalis Abdomen:
I: Cembung gravid
A: BU (+) Normal, DJJ (+)
Gravida 2 Paritas 1
Abortus 0 Usia 37
Tahun Usia
Kehamilan 26
Minggu 1 Hari
Janin Tunggal
Hidup Intra Uteri
Presentasi Kepala
Punggung Kiri
Observasi
16.30 :
O2 3 liter/ menit
Nifedipin P.O 3 x 10 mg
Infus RL + MgSO4 8 gr
Pasang DC
19.00 :
38
136 x/menit
Per: Pekak janin
Pal: Supel, NT (-), TFU 2
jari di atas pusat
L1: Bulat, lunak
L2: Puki
L3: Bulat, keras
L4: Konvergen
Belum Inpartu
dengan
Preeklampsia Berat
dan Asma
Bronkhial
Biosanbe P.O.
RUANG FLAMBOYAN Tanggal 07-04-2014 06.30 WIB H+1
S: Sesak
KU: sedang/CM
TD: 140/120 mmHg
N: 80 x/menit
RR: 24 x/menit
S: 36,6o C
Status Generalis:
Mata : CA -/-, SI -/-
Hidung: Discharge -/-
Mulut : sianosis –
Cor: S1>S2, M(-), G(-)
Pulmo : Sd ves +/+, Wh -/-,
Rh -/-
Status Lokalis Abdomen:
I: cembung
A: BU + Normal, DJJ (+)
132 x/ menit
Per: timpani
Pal: supel, NT-, TFU 2 jari
di atas pusat
L1: Bulat, lunak
Gravida 2 Paritas 1
Abortus 0 Usia 37
Tahun Usia
Kehamilan 26
Minggu 2 Hari
Janin Tunggal
Hidup Intra Uteri
Presentasi Kepala
Punggung Kiri
Belum Inpartu
dengan
Preeklampsia Berat
dan Asma
Bronkhial
07.00:
Nifedipin P.O.
Biosanbe P.O.
Salbutamol 1 x 1 tab
11.00:
Infus RL + MgSO4 8 gr
O2 3 liter/ menit
17.00:
Inj Dexamethason 1
ampul
19.00:
Nifedipin P.O (TD
160/100)
Infus RL + MgSO4 8 gr
39
L2: Puki
L3: Bulat, keras
L4: Konvergen
St. gen Eksterna: PPV-,
FA-
Status Vegetatif :
BAB -, BAK +, Flatus +
RUANG FLAMBOYAN Tanggal 08-04-2014 06.30 WIB H+2
S: Sesak
KU: sedang/CM
TD: 150/110 mmHg
N: 80 x/menit
RR: 24 x/menit
S: 36,6o C
Status Generalis:
Mata : CA -/-, SI -/-
Hidung: Discharge -/-
Mulut : sianosis –
Cor: S1>S2, M(-), G(-)
Pulmo : Sd ves +/+, Wh -/-,
Rh -/-
Status Lokalis Abdomen:
I: cembung
A: BU + Normal, DJJ (+)
139 x/ menit
Per: timpani
Pal: supel, NT-, TFU 2 jari
di atas pusat
L1: Bulat, lunak
L2: Puki
Gravida 2 Paritas 1
Abortus 0 Usia 37
Tahun Usia
Kehamilan 26
Minggu 2 Hari
Janin Tunggal
Hidup Intra Uteri
Presentasi Kepala
Punggung Kiri
Belum Inpartu
dengan
Preeklampsia Berat
dan Asma
Bronkhial
07.00:
Inj Dexamethason 1
ampul
Infus RL + MgSO4 8 gr
Nifedipin P.O.
Biosanbe P.O.
Salbutamol
14.00:
Infus RL + MgSO4 8 gr
Konsul Sp Paru
Jawaban: Terapi
Seretide diskus 2 x 250
mg k/p sesak
Ventolin MDI k/p sesak
19.00:
Inj Dexamethason 1
ampul
Nifedipin P.O.
Biosanbe P.O.
Salbutamol
40
L3: Bulat, keras
L4: Konvergen
St. gen Eksterna: PPV-,
FA-
Status Vegetatif :
BAB -, BAK +, Flatus +
21.00:
Infus RL + MgSO4 8 gr
RUANG FLAMBOYAN Tanggal 09-04-2014 06.30 WIB H+3
S: Sesak berkurang
KU: sedang/CM
TD: 140/80 mmHg
N: 80 x/menit
RR: 24 x/menit
S: 36,6o C
Status Generalis:
Mata : CA -/-, SI -/-
Hidung: Discharge -/-
Mulut : sianosis –
Cor: S1>S2, M(-), G(-)
Pulmo : Sd ves +/+, Wh -/-,
Rh -/-
Status Lokalis Abdomen:
I: cembung
A: BU + Normal, DJJ (+)
140 x/ menit
Per: timpani
Pal: supel, NT-, TFU 2 jari
di atas pusat
L1: Bulat, lunak
L2: Puki
L3: Bulat, keras
Gravida 2 Paritas 1
Abortus 0 Usia 37
Tahun Usia
Kehamilan 26
Minggu 2 Hari
Janin Tunggal
Hidup Intra Uteri
Presentasi Kepala
Punggung Kiri
Belum Inpartu
dengan
Preeklampsia Berat
dan Asma
Bronkhial
05.00:
Inj Dexamethason 1
ampul
07.00:
Infus RL + MgSO4 8 gr
Nifedipin P.O.
Biosanbe P.O.
Salbutamol
19.00:
Nifedipin P.O.
Biosanbe P.O.
21.00:
Infus RL + MgSO4 8 gr
41
L4: Konvergen
St. gen Eksterna: PPV -,
FA-
Status Vegetatif :
BAB -, BAK +, Flatus +
RUANG FLAMBOYAN Tanggal 10-04-2014 06.30 WIB H+4
S: Sesak berkurang
KU: sedang/CM
TD: 150/80 mmHg
N: 80 x/menit
RR: 24 x/menit
S: 36o C
Status Generalis:
Mata : CA -/-, SI -/-
Hidung: Discharge -/-
Mulut : sianosis –
Cor: S1>S2, M(-), G(-)
Pulmo : Sd ves +/+, Wh -/-,
Rh -/-
Status Lokalis Abdomen:
I: cembung
A: BU + Normal, DJJ (+)
140 x/ menit
Per: timpani
Pal: supel, NT-, TFU 2 jari
di atas pusat
L1: Bulat, lunak
L2: Puki
L3: Bulat, keras
L4: Konvergen
Gravida 2 Paritas 1
Abortus 0 Usia 37
Tahun Usia
Kehamilan 26
Minggu 2 Hari
Janin Tunggal
Hidup Intra Uteri
Presentasi Kepala
Punggung Kiri
Belum Inpartu
dengan
Preeklampsia Berat
dan Asma
Bronkhial
07.00:
Infus RL + MgSO4 8 gr
evaluasi
Dopamet 3 x 250 mg
Nifedipin P.O.
Biosanbe P.O.
13.00:
Nifedipin P.O.
19.00:
Nifedipin P.O.
Biosanbe P.O.
42
St. gen Eksterna: PPV-,
FA-
Status Vegetatif :
BAB -, BAK +, Flatus +
RUANG FLAMBOYAN Tanggal 11-04-2014 06.30 WIB H+5
S: Sesak berkurang
KU: sedang/CM
TD: 170/110 mmHg
N: 82 x/menit
RR: 24 x/menit
S: 37o C
Status Generalis:
Mata : CA -/-, SI -/-
Hidung: Discharge -/-
Mulut : sianosis –
Cor: S1>S2, M(-), G(-)
Pulmo : Sd ves +/+, Wh -/-,
Rh -/-
Status Lokalis Abdomen:
I: cembung
A: BU + Normal, DJJ (+)
144 x/ menit
Per: timpani
Pal: supel, NT-, TFU 2 jari
di atas pusat
L1: Bulat, lunak
L2: Puki
L3: Bulat, keras
L4: Konvergen
St. gen Eksterna: PPV -,
Gravida 2 Paritas 1
Abortus 0 Usia 37
Tahun Usia
Kehamilan 26
Minggu 2 Hari
Janin Tunggal
Hidup Intra Uteri
Presentasi Kepala
Punggung Kiri
Belum Inpartu
dengan Hipertensi
Gestasional dan
Asma Bronkhial
07.00:
Nifedipin P.O.
Biosanbe P.O.
10.00:
Tekanan darah: 140/80
mmHg
12.00:
Pasien pulang
43
FA-
Status Vegetatif :
BAB -, BAK +, Flatus +
H. PROGNOSIS
Ibu:
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanam : dubia ad bonam
Ad functionam : dubia ad bonam
Janin:
Ad vitam : dubia
Ad sanam : dubia
Ad functionam : dubia
BAB IV
PEMBAHASAN
A. ANALISIS DIAGNOSIS
APAKAH DIAGNOSIS PADA PASIEN INI SUDAH BENAR?
44
Pasien datang pukul 11.38 dengan diagnosis di IGD Gravida 3 Paritas 2
Abortus 0 Usia 37 tahun Janin Tunggal Hidup Intra Uteri Presentasi Kepala
Punggung Kiri Usia Kehamilan 26 minggu + 1 hari Belum Inpartu dengan
PEB dan asma degan dasar:
1. Riwayat Obstetri G3P2A0 : Gravida 3, tidak memiliki riwayat melahirkan
dan abortus sebelumnya (Cunningham et al, 2010).
2. Usia 37 tahun merupakan usia yang berisiko untuk terjadinya kehamilan.
Usia reproduksi sehat yang aman untuk kehamilan dan persalinan adalah
20-30 tahun. Kematian maternal pada wanita hamil dan melahirkan pada
usia di bawah 20 tahun ternyata 2-5 kali lebih tinggi daripada kematian
maternal yang terjadi pada usia 20-29 tahun. Kematian maternal
meningkat kembali setelah usia 30-35 tahun (Winkjosastro, 2009).
3. Usia kehamilan pasien menurut diagnosis kurang lebih adalah 26 minggu
+ 1 hari disebabkan karena pasien lupa tanggal HPHT secara tepat. Jika
dihitung dengan rumus naegele, maka usia kehamilan pasien kurang lebih
sesuai dengan HPHT (Cunningham et al, 2010).
4. Belum inpartu karena pada pasien ini belum didapatkan tanda-tanda
inpartu, yaitu:
a. Rasa sakit oleh adanya his yang datang lebih kuat, sering dan teratur.
b. Keluar lendir bercampur darah yang lebih banyak karena robekan-
robekan kecil pada serviks.
c. Adanya ketuban pecah dini.
d. Pada pemeriksaan dalam, serviks mendatar dan terjadi pembukaan
serviks
5. Diagnosis penyerta pada pasien ini adalah:
6. Komplikasi kehamilan pada pasien tersebut didiagnosis dengan
reeklampsia berat karena hasil pengukuran tekanan darah pasien adalah
170/ 110 mmHg. Pada saat itu belum dilakukan tes dipstick maupun
laboratorium.
45
Setelah didapatkan hasil tes laboratorium menunjukkan bahwa proteinuria
negative. Oleh karena itu, diagnosis komplikasi kehamilan pada pasien
tersebut adalah hipertensi gestasional. Namun, pada saat pasien pindah ke
ruang perawatan flamboyan dan selama 3 hari perawatan di ruang
Flamboyan pasien masih didiagnosis preeklampsia berat.
7. Penyakit penyerta pada pasien tersebut adalah asma bronchial karena pasien
sering merasakan sesak nafas terutama saat pagi hari dan malam hari. Selain
itu pasien sering mengkonsumsi obat asma secara rutin sejak kurang lebih 5
tahun yang lalu.
B. ANALISIS TATALAKSANA
APAKAH TATALAKSANA PADA PASIEN INI SUDAH BENAR?
a. Pemberian anti kejang (sudah tepat)
Walaupun pada pasien tersebut tidak terdapat proteinuria, pasien tetap
diberikan antikejang. Anti kejang yang digunakan yaitu MgSO4 4 gr bolus
dan 8gr dalam infuse RL 500 cc. Hal ini berdasarkan pengalaman klinis
RS bahwa pasien pasien tanpa proteinuria dapat pula mengalami kejang
sehingga demi keselamatan pasien sebagai pencegahannya diberikan
Magnesium Sulfat.
b. Pemberian kortikosteroid (sudah tepat)
Penggunaan kortikosteroid direkomendasikan pada semua wanita
usia kehamilan 24-34 minggu yang berisiko melahirkan prematur,
termasuk pasien dengan PEB. Preeklampsia sendiri merupakan penyebab
±15% dari seluruh kelahiran prematur. Ada pendapat bahwa janin
penderita preeklampsia berada dalam keadaan stres sehingga mengalami
percepatan pematangan paru (Prawirohardjo,2008).
c. Pemberian obat antihipertensi
Pada pasien ini terdapat hipertensi yang muncul saat hamil sehingga
diberikan obat anti hipertensi.
Wanita dengan hipertensi pada kehamilan dapat mengalami
46
peningkatan respon terhadap berbagai substansi endogen (seperti
prostaglandin, tromboxan) yang dapat menyebabkan vasospasme dan agregasi
platelet sehingga diperlukannya pemberian obat anti hipertensi.
1) Obat pilihan adalah hidralazin, yang diberikan 5 mg intravena pelan-pelan
selama 5 menit sampai tekanan darah turun.
2) Jika perlu, pemberian hidralazin dapat diulang setiap jam, atau 12,5
intramuskular setiap 2 jam.
3) Jika hidralazin tidak tersedia, dapat diberikan:
a) Nifedipine dosis oral 10 mg yang diulang tiap 30 menit.
b) Labetalol 10 mg intravena sebagai dosis awal, jika tekanan darah tidak
membaik dalam 10 menit, maka dosis dapat ditingkatkan sampai 20
mg intravena (Cunningham, 2010).
Pada pasien tersebut juga diberikan dopamet 3 x 250mg.
d. Untuk mengatasi asma bronchial, pada pasien tersebut diberikan salbutamol,
seretide diskus 2 x 250 mg, dan ventolin MDI. Pemberian obat asma tersebut
sudah tepat.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
47
1. Gravida 3 Para 2 Abortus 0, Usia 37 Tahun, Hamil 26 Minggu 1 Hari, Janin
Tunggal Hidup Intra Uterin, Presentasi kepala, Punggung kiri, Belum Inpartu
dengan Hipertensi Gestasional dan Asma Bronkhial.
2. Penatalaksaan pada pasien ini sudah tepat
B. Saran
1. Diperlukan pengawasan yang ketat pada pasien hipertensi dalam kehamilan
dan asma bronkhial agar tidak terjadi mortalitas pada ibu dan janin.
Pengambilan keputusan untuk terminasi kehamilan demi menyelamatkan ibu
dan janin juga perlu diperhatikan. Pemberian terapi yang tepat juga mencegah
kejang dan komplikasi lain.
2. Penanganan yang komprehensif pada kasus ini dapat memperbaiki kondisi
kondisi ibu dan janin.
48
DAFTAR PUSTAKA
1. ACOG Practice Bulletin Number 90, February 2008, Asthma in Pregnancy.
2. Angsar, Dikman dkk. 2005. Pedoman Pengelolaan Hipertensi dalam Kehamilan.
Edisi Kedua. Semarang: Himpunan Kedokteran Fetomaternal POGI.
3. Cunningham, F.G., Leveno, K.J., Bloom, S.L., Hauth, J.C, Rouse D.J., Spong,
C.Y. 2010. Williams Obstetrics 23rd Edition. New York: The McGraw-Hill
Companies
4. Daftary, N Shirish; Desai, V Shyam. 2008. Selected topics in Obstetrics and
Gynaecology 4 For Postgraduate and Practitioners. New Delhi: BI Publications
pvt ltd.
5. Global Initiative for Asthma (GINA), Management and Prevention Update.
Defenisi and overview; 2012; p.2
6. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2010. Pedomkan Diagnosis dan
Penatalaksanaan Asma di Indonesia. Jakarta.
7. Prawirohardjo, Saryono. 2008. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo.
8. Tamási*, Lilla, Anikó Bohács, Ildikó Horváth and György Losonczy. 2010.
Asthma in pregnancy - from immunology to clinical management.
Multidisciplinary Respiratory Medicine 2010, 5:259-263 doi:10.1186/2049-
6958-5-4-259
9. Schatz M, Dombrowski M , Asthma in Pregnancy. N Engl J Med 2009;
360:1862-9.
10. Subijanto, A.A.. Keanekaragaman genetik HLA-DR dan variasi kerentanan
terhadap penyakit asma; tinjauan khusus pada asma dalam Kehamilan
BIODIVERSITAS. ISSN: 1412-033XVolume 9, Nomor 3 Juli 2008;Hal: 237-243
11. Whitty E Janice et al. 2004. Respiratory Disease in Pregnancy. Dalam: Maternal
Fetal Medicine Principles and Practice. Edisi ke-5. Phyladelphia: Saunders.