PRESENTASI KASUS

42
PRESENTASI KASUS BRONKOPNEUMONIA DENGAN EFUSI PLEURA Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Radiologi RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Disusun oleh: DIMAS MUHAMMAD AKBAR 2008.031.0003 Diajukan Kepada: dr. H. Ahmad Faisol, Sp. Rad., M. Kes. SMF ILMU RADIOLOGI

description

Bronkopneumonia dengan Efusi Plueta

Transcript of PRESENTASI KASUS

Page 1: PRESENTASI KASUS

PRESENTASI KASUS

BRONKOPNEUMONIA DENGAN EFUSI PLEURA

Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti

Ujian Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Radiologi

RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta

Disusun oleh:

DIMAS MUHAMMAD AKBAR

2008.031.0003

Diajukan Kepada:

dr. H. Ahmad Faisol, Sp. Rad., M. Kes.

SMF ILMU RADIOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

2013

Page 2: PRESENTASI KASUS

HALAMAN PENGESAHAN

Telah Dipresentasikan Presentasi Kasus dengan Judul

BRONKOPNEUMONIA DENGAN EFUSI PLEURA

Hari/Tanggal: Sabtu, 9 November 2013

Tempat: RS PKU MUHAMADIYAH YOGYAKARTA

Menyetujui

Dokter Pembimbing/Penguji

dr. H. Ahmad Faisol, Sp. Rad., M. Kes.

Page 3: PRESENTASI KASUS

BAB I

PENDAHULUAN

Pneumonia adalah suatu sindrom yang disebabkan oleh infeksi akut, biasanya

disebabkan oleh bakteri yang mengakibatkan adanya konsolidasi sebagian dari salah

satu atau kedua paru, sedangkan bronkopneumonia merupakan peradangan pada paru

dimana proses peradangannya ini menyebar membentuk bercak-bercak infiltrat yang

berlokasi di alveoli paru dan dapat pula melibatkan bronkiolus terminal.

Bronkopneumonia, sebagai penyakit yang menimbulkan gangguan pada sistem

pernafasan, merupakan salah satu bentuk pneumonia yang terletak pada alveoli paru.

Bronkopneumonia lebih sering menyerang bayi dan anak kecil, hal ini dikarenakan

respon imunitas mereka masih belum berkembang dengan baik. Tercatat bakteri

sebagai penyebab tersering bronkopneumonia pada bayi dan anak adalah

Streptococcus pneumoniae dan Haemophilus influenzae. Anak dengan daya tahan

terganggu akan menderita bronkopneumonia berulang atau bahkan bisa anak tersebut

tidak mampu mengatasi penyakit ini dengan sempurna. Selain faktor imunitas, faktor

iatrogen juga memacu timbulnya penyakit ini, misalnya trauma pada paru, anestesia,

pengobatan dengan antibiotika yang tidak sempurna, dll.

Page 4: PRESENTASI KASUS

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Pneumonia adalah infeksi saluran pernafasan akut bagian bawah yang

mengenai parenkim paru. Pneumonia dibedakan menjadi:

Pneumonia lobaris

Pneumonia lobularis (bronkopneumonia)

Pneumonia intertisial (bronkiolitis)

Bronkopneumonia adalah radang paru-paru yang mengenai satu atau beberapa

lobus paru-paru yang ditandai dengan adanya bercak infiltrat. (Whalley and Wong,

1996). Bronkopneumonia adalah frekuensi komplikasi pulmonary, batuk produktif

yang lama, tanda dan gejalanya biasanya suhu tubuh meningkat, nadi dan pernafasan

meningkat. (Suzanne G. Bare, 1993). Bronkopneumonia disebut juga pneumoni

lobularis, yaitu radang paru-paru yang disebakan oleh bakteri, jamur,virus, dan benda

asing (Sylvia Anderson,1994).

Dari beberapa definisi di atas, bronkopneumonia disebut juga pneumonia

lobularis yaitu peradangan yang mengenai parenkim paru, distal dari bronkiolus

terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius dan alveoli serta menimbulkan

bercak-bercak infiltrat dan gangguan pertukaran gas setempat, yang biasanya

disebabkan oleh infeksi dari bakteri, virus, jamur, dan mikroorganisme lainnya.

B. Anatomi Paru

Struktur dasar jalan nafas sudah ada sejak lahir dan berkembang selama

neonatus dan dewasa menjadi sistem bronkopulmonal. Jalan nafas pada setiap

manusia tidak simetris. Apabila dibagi menjadi dua bagian, ada perbedaan bentuk dan

jumlah cabang yang tergantung dari lokasinya. Variasi tersebut menyebabkan

implikasi fisiologi yang berbeda. Alur yang berbeda menyebabkan perbedaan

resistensi terhadap aliran udara, sehingga menyebabkan distribusi udara atau partikel

yang terhisap tidak merata. Cabang dari bronkus mengalami pengecilan ukuran dan

Page 5: PRESENTASI KASUS

kehilangan kartilago, yang

kemudian disebut bronkhiolus.

Bronkhiolus terminalis membuka

saat pertukaran udara dalam paru-

paru.

Jalan nafas dilapisi oleh

membran epitel yang berganti

secara bertahap dari epitel

kolumner bertingkat bersilia di

bronkus menjadi epitel kubus bersilia pada area tempat pertukaran udara. Sillia

berfungsi untuk menghantarkan mukus dari pinggir jalan nafas ke faring. Sistem

transport mukosilier ini penting untuk mekanisme pertahanan paru. Sel goblet pada

trakhea dan bronkhus memproduksi musin dalam retikulum endoplasma kasar dan

apparatus golgi. Sel goblet meningkat jumlahnya pada beberapa gangguan seperti

bronkhitis kronis yang hasilnya terjadi hipersekresi mukus dan peningkatan produksi

sputum.

Unit pertukaran udara terdiri dari

bronkiolus distal sampai terminal:

bronkiolus respiratorius, duktus

alveolaris, dan alveoli. Paru-paru dextra

lebih pendek dan lebih berat dari paru

kiri. Paru kanan dan kiri dipisahkan oleh

alur yang disebut incissura interlobaris.

Pulmo dextra dibagi menjadi 3 lobus:

1. Lobus superior, dibagi menjadi 3

segmen: apikal, posterior, inferior

2. Lobus medius, dibagi menjadi 2 segmen: lateralis dan medialis

3. Lobus inferior, dibagi menjadi 5 segmen: apikal, mediobasal, anterobasal,

laterobasal, posterobasal.

Lobus sinistra dibagi menjadi 2 lobus:

1. Lobus superior, dibagi menjadi apikoposterior, anterior, lingualis superior

2. Lobus inferior, dibagi menjadi apikal, anteromediobasal, laterobasal, posterobasal.

Page 6: PRESENTASI KASUS

Perkembangan paru pasca lahir dapat dibagi menjadi dua fase, tergantung

pada kecepatan perkembangan relatif berbagai komponen paru. Selama fase pertama,

yang meluas sampai umur 18 bulan sesudah lahir, ada kenaikan yang tidak seimbang

pada permukaan dan volume ruang yang terlibat dalam pertukaran gas. Volume

kapiler meningkat lebih cepat daripada volume ruangan udara dan selanjutnya

bertambah lebih cepat daripada volume jaringan padat. Proses ini terutama aktif

selama awal masa bayi dan dapat menjadi sempurna pada 2 tahun pertama.

Pada fase kedua semua ruangan tumbuh lebih proposional satu sama lain.

Permukaan alveolus dan kapiler meluas sejajar dengan pertumbuhan badan.

Akibatnya individu yang lebih panjang mempunyai paru-paru yang lebih besar.

C. Epidemiologi

Insidensi penyakit saluran napas menjadi penyebab angka kematian dan

kecacatan yang tinggi di seluruh dunia. Sekitar 80% dari seluruh kasus baru praktik

umum berhubungan dengan infeksi saluran napas yang terjadi di masyarakat

(pneumonia komunitas) atau di dalam rumah sakit/pusat perawatan (pneumonia

nosokomial/PN). Infeksi saluran napas bawah masih tetap merupakan masalah utama

dalam bidang kesehatan, baik di negara yang sedang berkembang maupun yang sudah

maju. Laporan WHO 1999 menyebutkan bahwa penyebab kematian tertinggi akibat

penyakit infeksi di dunia adalah infeksi saluran napas akut termasuk pneumonia dan

influenza.

Insidensi pneumonia komuniti di Amerika adalah 12 kasus per 1000 orang per

tahun dan merupakan penyebab kematian utama akibat infeksi pada orang dewasa di

negara itu. Angka kematian akibat pneumonia di Amerika adalah 10%. Di Amerika

dengan cara invasif pun penyebab pneumonia hanya ditemukan 50%. Penyebab

pneumonia sulit ditemukan dan memerlukan waktu beberapa hari untuk mendapatkan

hasilnya, sedangkan pneumonia dapat menyebabkan kematian bila tidak segera

diobati, maka pada pengobatan awal pneumonia diberikan antibiotika secara empiris.

Pneumokokus merupakan penyebab utama pneumonia. Pneumokokus dengan

serotipe 1 sampai 8 menyebabkan pneumonia pada orang dewasa lebih dari 80%

sedangkan pada anak ditemukan tipe 14, 1, 6 dan 9.

Page 7: PRESENTASI KASUS

D. Etiologi

Etiologi bronkopneumoni dibedakan menjadi dua factor:

1. Faktor infeksi, terdiri atas:

a. Bronkopneumonia lebih sering ditimbulkan oleh invasi bakteri. Bakteri-

bakteri ini menginvasi paru melalui 2 jalur, yaitu dengan:

Inhalasi melalui jalur trakeobronkial.

Sistemik melalui arteri-arteri pulmoner dan bronkial.

Bakteri-bakteri yang sering menyebabkan ataupun didapatkan pada kasus

bronkopneumonia adalah:

Bakteri gram positif

o Pneumococcus

o Staphylococcus aureus

o Streptococcus hemolyticus

Bakteri gram negatif

o Haemophilus influenzae

o Klebsiella pneumonia

Pneumococcus adalah penyebab utama penumonia. Pada orang dewasa

disebabkan oleh penumokokus 1 – 8 (pada anak–anak tipe 14, 1, 6, 9). Insiden

meningkat pada usia lebih kecil dari 14 tahun dan menurun dengan

meningkatnya umur. Streptokokus, sering merupakan komplikasi dari

penyakit virus lain seperti morbili, influenza, cacar air atau komplikasi dari

bakteri lain seperti pertusis, pneumonia oleh pneumokokus.

b. Virus

Virus respiratori sinsial, virus influenza, virus adeno, virus situmegalik.

c. Aspirasi

Makanan, kerosen (bensin dan minyak tanah) dan cairan amnion, benda asing.

d. Hipostatik

Disebabkan oleh tidur terlentang terlalu lama, misalnya pada anak yang sakit

dengan kesadaran menurun, penyakit lain yang harus istirahatn di tempat tidur

yang lama sehingga terjadi kongesti pada paru belakang bawah.  Kuman yang

tadinya komensal berkembang biak menjadi patogen dan menimbulkan

Page 8: PRESENTASI KASUS

radang.  Oleh karena itu pada anak yang menderita penyakit dan memerlukan

istirahat panjang seperti tifoid harus diubah – ubah posisi tidurnya.

e. Jamur

H. Capsulatum. Candida albikans, Blastomycetes dermatitis, Koksidiomikosis,

Aspergilosis dan Aktinimikosis.

f. Sindrom Loeffler

Etiologi oleh larva A. Lumbricoedes

2. Faktor Non Infeksi, terjadi akibat disfungsi menelan atau refluks esophagus

meliputi:

Bronkopneumonia hidrokarbon, terjadi oleh karena aspirasi selama penelanan

muntah atau sonde lambung (zat hidrokarbon seperti pelitur, minyak tanah,

dan bensin).

Bronkopneumonia lipoid, terjadi akibat pemasukan obat yang mengandung

minyak secara intranasal, termasuk jeli petroleum. Setiap keadaan yang

mengganggu mekanisme menelan seperti palatoskizis, pemberian makanan

dengan posisi horizontal, atau pemaksaan pemberian makanan seperti minyak

ikan pada anak yang sedang menangis. Keparahan penyakit tergantung pada

jenis minyak yang terinhalasi. Jenis minyak binatang yang mengandung asam

lemak tinggi bersifat paling merusak contohnya seperti susu dan minyak ikan .

Selain faktor-faktor di atas, daya tahan tubuh sangat berpengaruh untuk

terjadinya bronkopneumonia. Sistem imun pada penderita-penderita penyakit yang

berat seperti AIDS dan respon imunitas yang belum berkembang pada bayi dan anak

merupakan faktor predisposisi terjadinya penyakit ini.

E. Klasifikasi

Menurut buku Pneumonia Komuniti, Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan

di Indonesia yang dikeluarkan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003

menyebutkan tiga klasifikasi pneumonia:

1. Berdasarkan klinis dan epidemiologis:

a. Pneumonia komuniti (community-acquired pneumonia).

Proses patogenesis pneumonia terkait dengan 3 faktor yaitu keadaan

(imunitas) inang, mikroorganisme yang menyerang pasien dan lingkungan

Page 9: PRESENTASI KASUS

yang berinteraksi satu sama lain. Gambaran interaksi dari ketiga faktor

tersebut tercermin pada kecenderungan terjadinya infeksi oleh kuman tertentu

oleh faktor perubah (modifying factor), seperti terlihat pada table berikut:

Pneumokoku

s yang

resisten

penisilin dan

obat lain

Usia > 65 tahun

Pengobatan B-lactam dalam 3 bulan terakhir

Alkoholisme

Penyakit imunosupresif (termasuk terapi kortikosteroid)

Penyakit penyerta multiple

Kontak pada klinik lansia

Patogen gram

negatif

Tinggal di rumah jompo

Penyakit kardiopulmonal penyerta

Baru selesai mendapatkan terapi antibiotik

Pseudomonas

aeruginosa

Penyakit paru structural (bronkiektasis)

Terapi kortikosteroid (>10 mg prednisone/hari)

Terapi antibiotic spectrum luas > 7 hari pada bulan

sebelumnya

Malnutrisi

b. Pneumonia nosokomial/PN, (hospital acquired pneumonia atau nosocomial

pneumonia).

Patogen yang sampai ke trakea terutama berasal dari aspirasi bahan orofaring,

kebocoran melalui mulut saluran endotrakeal, inhalasi, dan sumber bahan

patogen yang mengalami kolonisasi di pipa endotrakeal. PN terjadi akibat

proses infeksi bila patogen masuk saluran napas bagian bawah tersebut

mengalami kolonisasi setelah dapat melewati hambatan mekanisme

pertahanan inang berupa daya tahan mekanik (epitel cilia dan mukus),

humoral (antibodi dan komplemen), dan selular (lekosit, polinuklir, makrofag,

limfosit, dan sitokinnya). Kolonisasi terjadi akibat adanya beberapa faktor

inang dan terapi yang telah dilakuan yaitu adanya penyakit peserta yang berat,

tindakan bedah, pemberian antibiotik, obat-obatan lain dan tindakan invasif

pada saluran pernapasan. Mekanisme lain adalah pasasi bakteri pencernaan ke

paru, penyebaran hematogen, dan akibat tindakan intubasi. Faktor risiko

terjadinya PN dapat dikelompokkan atas 2 golongan yaitu tidak bisa diubah

yaitu berkaitan dengan inang (seks pria, penyakit paru kronik, atau gagal

Page 10: PRESENTASI KASUS

organ jamak), dan terkait tindakan yang diberikan (intubasi atau slang

nasogastrik). Pada faktor yang dapat diubah dapat dilakukan upaya berupa

mengontrol infeksi, disinfeksi dengan alkohol, pengawasan patogen resisten

(Multi Drug Resistence/MDR), penghentian dini pemakaian alat yang invasif,

dan pengaturan tata cara pemakaian antibiotik. PN dan Pneumonia

Berhubungan dengan pemakaian ventilator (PBV) onset dini terjadi dalam 4

hari pertama masuk RS, biasanya disebabkan oleh bakteri yang sensitif

terhadap antibiotik, kecuali bila pernah sebelumnya mendapat antibiotik atau

dirawat di RS dalam waktu 90 hari. PN dan PBV onset lanjut (hari ke 5 atau

lebih) lebih mungkin disebabkan oleh patogen MDR yang berkaitan dengan

mortalitas dan morbiditas yang tinggi.

c. Pneumonia aspirasi.

d. Pneumonia pada penderita immunocompromised.

2. Berdasarkan bakteri penyebab:

Pneumonia bakteri/tipikal. Dapat terjadi pada semua usia. Beberapa bakteri

mempunyai tendensi menyerang seseorang yang peka, misalnya klebsiella

pada penderita alkoholik, staphyllococcus pada penderita pasca infeksi

influenza. Pneumonia Atipikal disebabkan mycoplasma, legionella, dan

chalamydia.

Pneumonia virus.

Pneumonia jamur, sering merupakan infeksi sekunder. Predileksi terutama

pada penderita dengan daya tahan lemah (immunocompromised).

3. Berdasarkan predileksi infeksi:

a. Pneumonia lobaris, pneumonia yang terjadi pada satu lobus (percabangan

besar dari pohon bronkus) baik kanan maupun kiri.

b. Pneumonia bronkopneumonia, pneumonia yang ditandai bercak-bercak infeksi

pada berbagai tempat di paru. Bisa kanan maupun kiri yang disebabkan virus

atau bakteri dan sering terjadi pada bayi atau orang tua.

c. Pneumonia interstisial.

F. Patogenesis

Page 11: PRESENTASI KASUS

Pneumokokus masuk ke dalam paru melalui jalan pernafasan secara percikan

(droplet). Pneumokokus umumnya mencapai alveoli lewat percikan mukus atau

saliva. Lobus bagian bawah paru paling sering terkena efek gravitasi. Agen-agen

mikroba yang menyebabkan pneumonia memiliki 3 bentuk transisi primer:

1. Aspirasi sekret yang berisi mikroorganisme patogen yang telah berkolonisasi pada

orofaring

2. Inhalasi aerosol yang infeksius

3. Penyebaran hematogen dari bagian ekstrapulmonal

Aspirasi dan inhalasi agen-agen infeksius adalah dua cara tersering yang

menyebabkan pneumonia, sementara penyebaran cara hematogen lebih jarang terjadi.

Akibatnya, faktor-faktor predisposisi termasuk juga berbagai defisiensi mekanisme

pertahanan sistem pernafasan. Kolonisasi basilus gram negatif telah menjadi subjek

penelitian akhir-akhir ini.

Mekanisme daya tahan traktus respiratorius bagian bawah sangat efisien untuk

mencegah infeksi yang terdiri dari:

1. Susunan anatomis rongga hidung

2. Jaringan limfoid di nasofaring

3. Bulu getar yang meliputi sebagian besar epitel traktus respiratorius dan sekret lain

yang dikeluarkan oleh sel epitel tersebut

4. Refleks batuk

5. Refleks epiglotis yang mencegah terjadinya aspirasi sekret yang terinfeksi

6. Drainase sistem limfatis dan fungsi menyaring kelenjar limfe regional

7. Fagositosis aksi limfosit dan respon imunohumoral terutama Ig A

8. Sekresi enzim-enzim dari sel-sel yang melapisi trakeo-bronkial yang bekerja

sebagai anti mikroba yang non spesifik.

Bila pertahanan tubuh tidak kuat maka mikroorganisme dapat melalui jalan

nafas sampai ke alveoli yang menyebabkan radang pada dinding alveoli dan jaringan

sekitarnya. Setelah itu mikroorganisme tiba di alveoli mementuk suatu proses

peradangan yang meliputi empat stadium, yaitu:

a. Stadium I (4 – 12 jam pertama/kongesti)

Page 12: PRESENTASI KASUS

Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang

berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan peningkatan

aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat

pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-sel mast setelah pengaktifan sel

imun dan cedera jaringan. Mediator-mediator tersebut mencakup histamin dan

prostaglandin. Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen. Komplemen

bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos

vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru. Hal ini mengakibatkan

perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang interstitium sehingga terjadi

pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus. Penimbunan cairan di antara

kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan

karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling berpengaruh dan sering

mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin.

b. Stadium II (48 jam berikutnya)

Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah,

eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu (host) sebagai bagian dari reaksi

peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena adanya penumpukan

leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna paru menjadi merah dan pada perabaan

seperti hepar, pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga

anak akan bertambah sesak. Stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48

jam.

c. Stadium III (3 – 8 hari)

Disebut hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih

mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin terakumulasi

di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel. Pada stadium ini

eritrosit di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap padat karena berisi fibrin dan

leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami

kongesti.

d. Stadium IV (7 – 12 hari)

Page 13: PRESENTASI KASUS

Disebut juga stadium resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan

peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorbsi oleh makrofag

sehingga jaringan kembali ke strukturnya semula.

G. Faktor Risiko

Faktor riiko yang menyebabkan tingginya angka mortalitas pneumonia di

negara berkembang, antara lain:

Pneumonia yang terjadi pada masa bayi

Berat badan lahir rendah

Tidak mendapat imunisasi

Tidak mendapat ASI yang adekuat

Malnutrisi

Defisiensi vitamin A

Tingginya prevalens kolonisasi bakteri patogen di nasofaring

Tingginya pajanan terhadap polusi udara (polusi industri atau asap rokok)

Imunodefisiensi dan imunosupresi: keadaan ini meningkatkan predisposisi

pneumonia.

Adanya penyakit lain yang mendahului, seperti infeksi HIV, campak

Tinggal di lingkungan padat penduduk

Intubasi, trakeostomi, refleks batuk yang terganggu, dan aspirasi : keadaan ini

menyebabkan organisme infeksi lebih mudah masuk kedalam alveoli dan ruang

udara terminal

Diskinesia silier, obstruksi bronkial, infeksi viral, merokok, dan bahan-bahan

kimia: kondisi ini menganggu kerja mukosiliar.

Abnormalitas anatomi, aspirasi cairan lambung atau sebab lain dari inflamasi

nooninfeksius, penurunan aliran darah, dan edema pulmonal: kondisi tersebut

meningkatkan predisposisi dari pneumonia.

H. Manifestasi Klinis

Page 14: PRESENTASI KASUS

Sebagian besar gambaran klinis pneumonia pada anak berkisar dari ringan

hingga sedang. Hanya sebagian kecil yang berat, mengancam kehidupan, dan

mungkin terjadi komplikasi sehingga perlu dirawat.

Bronkopneumonia biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas bagian atas

selama beberapa hari. Gambaran klinis pneumonia pada bayi dan anak bergantung

berat ringannya infeksi, tetapi secara umum adalah sebagai berikut:

Gambaran infeksi umum:

o Demam suhu bisa mencapai 39 – 40oC dan kadang dapat juga disertai

dengan menggigil.

o Sakit kepala

o Gelisah

o Malaise

o Penurunan nafsu makan

o Keluhan gastrointestinal mual, muntah, diare

Gambaran gangguan respiratori:

o Batuk awalnya kering kemudian menjadi produktif

o Sesak nafas

o Retraksi dada

o Takipnea

o Napas cuping hidung

o Penggunaan otat pernafasan tambahan

o Air hunger

o Sianosis

o Merintih

Pada pemeriksaan fisik bronkopneumonia tergantung dari luasnya daerah yang

terkena. Inspeksi dapat terlihat nafas cuping hidung, sianosis sekitar hidung dan

mulut, retraksi dada. Pada perkusi toraks sering tidak ditemukan kelainan. Tetapi

kadang dapat juga bunyi pekak saat perkusi atau bila sarang bronkopneumonia

menjadi satu (konfluens) mungkin pada perkusi ditemukan bunyi redup dan suara

nafas mengeras saat auskultasi.

Page 15: PRESENTASI KASUS

Saat auskultasi terdapat ronki basah halus, mengi dan penurunan suara nafas.

Tetapi ronki dan mengi sukar dilokalisasi sumbernya dari suara yang kebetulan pada

anak yang amat muda dengan dada hipersonor. Pada perkusi dan auskultasi paru

umumnya tidak ditemukan kelainan.

I. Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan:

Anamnesis terhadap manifestasi klinis

Temuan pemeriksaan fisik yang sesuai

Pemeriksaan penunjang seperti:

o Darah lengkap

Leukositosis berkisar antara 15.000 – 40.000/mm3, dengan predominan PMN.

Leukopenia menunjukan prognosis buruk. Leukositosis hebat (> 30.000/mm3)

hampir selalu menunjukan adanya infeksi bakteri, sering ditemukan pada

keadaan bakteriemi, dan resiko terjadi komplikasi lebih tinggi. Kadang

terdapat anemia ringan dan LED meningkat. Secara umum hasil pemeriksaan

darah perifer lengkap dan LED tidak dapat membedakan antara infeksi virus

dan bakteri secara pasti.

o C reaktif protein

Suatu protein fase akut yang disintesis oleh hepatosit. Sebagai respon infeksi

atau inflamasi jaringan, produksi CRP distimulai oleh sitokin, terutama

interleukin 6 (IL-6), IL-1 dan tumor necrosis factor (TNF). Secara klinis CRP

digunakan sebagai diagnostik untuk membedakan antara faktor infeksi dan

non infeksi, infeksi virus dan bakteri, atau infeksi superfisialis dan profunda.

Kadar CRP biasanya lebih rendah pada infeksi virus dan bakteri. CRP kadang-

kadang digunakan untuk evaluasi respon terapi antibiotik.

o Uji serologis

Deteksi antigen dan antibodi pada infeksi bakteri atipik mempunyai

sensitivitas dan spesifisitas yang rendah. Tetapi diagnosis infeksi Streptokokus

grup A dapat dikonfirmasi dengan peningkatan titer antibodi seperti

antistreptolisin O, streptotozim.

Pemeriksaan mikrobiologis

Page 16: PRESENTASI KASUS

Diagnosis terbaik adalah berdasarkan etiologi, yaitu dengan pemeriksaan

mikrobiologi spesimen usap tenggorok, sekresi nasopharing, sputum, aspirasi

trakhea, fungsi pleura. Sayangnya pemeriksaan ini banyak sekali kendalanya,

baik dari segi teknis maupun biaya. Bahkan dalam penelitianpun kuman

penyebab spesifik hanya dapat diidentifikasi pada kurang dari 50% kasus.

Rontgen toraks

Foto toraks (AP/lateral) merupakan pemeriksaan penunjang utama untuk

menegakkan diagnosis. Foto AP dan lateral dibutuhkan untuk menentukan

lokasi anatomik dalam paru. Infiltrat tersebar paling sering dijumpai, terutama

pada pasien bayi. Pada bronkopneumonia bercak-bercak infiltrat didapatkan

pada satu atau beberapa lobus. Jika difus (merata) biasanya disebabkan oleh

Staphylokokus pneumonia

(Kiri) Foto toraks PA pada pneumonia lobaris: tampak bercak-bercak infiltrat pada

paru kanan. (Kanan) Foto toraks PA pada bronkopneumonia

Dasar diagnosis pneumonia menurut Henry Gorna dkk tahun 1993 adalah

ditemukannya paling sedikit 3 dari 5 gejala berikut ini:

a. Sesak nafas disertai dengan pernafasan cuping hidung dan tarikan dinding dada

b. Panas badan

c. Ronkhi basah sedang nyaring (crackles)

d. Foto thorax menunjukkan gambaran infiltrat difus

e. Leukositosis (pada infeksi virus tidak melebihi 20.000/mm3 dengan limfosit

predominan, dan bakteri 15.000-40.000/mm3 neutrofil yang predominan)

Page 17: PRESENTASI KASUS

J. Diagnosis Banding

Pneumonia lobaris

Biasanya pada anak yang lebih besar disertai badan menggigil dan kejang

pada bayi kecil. Suhu naik cepat sampai 39 – 40oC dan biasanya tipe

kontinua. Sesak nafas (+), nafas cuping hidung (+), sianosis sekitar hidung

dan mulut dan nyeri dada. Anak lebih suka tidur pada sisi yang terkena.

Pada foto rotgen terlihat adanya konsolidasi pada satu atau beberapa lobus.

Bronkioloitis

Diawali infeksi saluran nafas bagian atas, subfebris, sesak nafas, nafas

cupung hidung, retraksi intercostal dan suprasternal, terdengar wheezing,

ronki nyaring halus pada auskultasi. Gambaran labarotorium dalam batas

normal, kimia darah menggambarkan asidosis respiratotik ataupun

metabolik.

Aspirasi benda asing

Ada riwayat tersedak

Atelektasis

Adalah pengembangan tidak sempurna atau kempisnya bagian paru yang

seharusnya mengandung udara. Dispnoe dengan pola pernafasan cepat dan

dangkal, takikardia, sianosis. Perkusi mungkin batas jantung dan

mediastinum akan bergeser dan letak diafragma mungkin meninggi.

Tuberkulosis

Demam > 2 minggu, batuk > 3 minggu, berat badan menurun, nafsu

makan menurun, malaise, diare persisten yang tidak membaik dengan

pengobatan baku diare dan biasanya terdapat kontak.

K. Penatalaksanaan

Tatalaksana terdiri atas:

Antibiotik

Pilihan empiris antibiotik untuk pasien bronkopneumonia yang tidak

memerlukan perawatan intensif biasanya berespon terhadap beta laktam

generasi ke tiga (seperti Ceftriakson atau Cefotaxim) dengan atau tanpa

Macrolid (Claritromisin atau Azitromicin dianjurkan jika ada kecurigaan

Page 18: PRESENTASI KASUS

infeksi H. influenza) atau Fluoroquinolon (dengan peningkatan kemampuan

membunuh S. pneumoniae). Antibiotik alternatif antara lain Cefuraxime

dengan atau tanpa Macrolid atau Azitromicin saja. Pilihan antibiotik dapat

tunggal atau kombinasi. Antibiotik tunggal yang paling cocok diberikan yang

gambaran klinisnya sugestif disebabkan oleh tipe kuman yang sensitif.

Kombinasi antibiotik diberikan dengan maksud untuk mencakup spektrum

kuman-kuman yang dicurigai, untuk meningkatkan aktivitas spektrum dan

pada infeksi jamak. Bila telah didapatkan hasil kultur dan tes sensitivitas maka

hasil ini dapat dijadikan untuk memberikan antibiotic tunggal.

Terapi suportif

o Terapi O2 untuk mencapai saturasi 95 – 96%

o Nebulizer untuk pengenceran dahak yang kental, dapat disertai

bronkodilator bila disertai bronkospasme

o Fisioterapi dada untuk pengeluaran dahak

o Pemberian cairan

Tatalaksana pneumonia sesuai dengan kuman penyebabnya. Namun karena

berbagai kendala diagnostik etiologi, untuk semua pasien pneumonia diberikan

antibiotik secara empiris. Walaupun sebenarnya pneumonia viral tidak memerlukan

antibiotik, tapi pasien tetap diberi antibiotik karena kesulitan membedakan infeksi

virus dengan bakteri.

Antibiotik parenteral diberikan sampai 48 – 72 jam setelah panas turun,

dilanjutkan dengan pemberian per oral selama 7 – 10 hari. Bila diduga penyebab

pneumonia adalah S. Aureus, kloksasilin dapat segera diberikan. Bila alergi terhadap

penisilin dapat diberikan cefazolin, klindamisin, atau vancomycin. Lama pengobatan

untuk stafilokokkus adalah 3 – 4 minggu.

L. Pencegahan

Penyakit bronkopneumonia dapat dicegah dengan menghindari kontak dengan

penderita atau mengobati secara dini penyakit-penyakit yang dapat menyebabkan

terjadinya bronkopneumonia ini. Selain itu hal-hal yang dapat dilakukan adalah

dengan meningkatkan daya tahan tubuh terhadap berbagai penyakit saluran nafas

Page 19: PRESENTASI KASUS

seperti: cara hidup sehat, makan makanan bergizi dan teratur ,menjaga

kebersihan ,beristirahat yang cukup, rajin berolahraga, dll.

Melakukan vaksinasi juga diharapkan dapat mengurangi kemungkinan

terinfeksi antara lain:

1. vaksin PCV (imunisasi IPD) untuk mencegah infeksi pneumokokkus (Invasive

Pneumococcal diseases, IPD). vaksin PCV yang sudah tersedia adalah PCV-7 dan

PCV-10. PCV 13 belum tersedia di Indonesia

2. vaksin Hib untuk mencegah infeksi Haemophilus Influenzae tipe b

3. vaksin DPT untuk mencegah infeksi difteria dan pertusis

4. vaksin campak dan MMR untuk mencegah campak

5. vaksin influenza untuk mencegah influenza

M. Komplikasi

Bila bronkopneumonia tidak ditangani secara tepat, maka komplikasinya

adalah sebagai berikut:

Otitis media akut (OMA): Terjadi bila tidak diobati, maka sputum yang berlebihan

akan masuk ke dalam tuba eustachius, sehingga menghalangi masuknya udara ke

telinga tengah dan mengakibatkan hampa udara, kemudian gendang telinga akan

tertarik kedalam dan timbul efusi.

Atelektasis adalah pengembangan paru-paru yang tidak sempurna atau kolaps

paru.

Efusi pleura.

Emfisema adalah suatu keadaan dimana terkumpulnya nanah dalam rongga pleura

terdapat di satu tempat atau seluruh rongga pleura.

Meningitis yaitu infeksi yang menyerang selaput otak.

Abses paru adalah pengumpulan pus dalam jaringan paru yang meradang.

Endokarditis bakterial yaitu peradangan pada katup endokardial.

Pleuritis karena bakteri piogenik: permukaan pleura dapat ditempeli oleh bakteri

yang berasal dari jaringan parenkim paru dan menjalar secara hematogen. Bakteri

penyebab dapat merupakan bakteri aerob maupun anaerob (Streptococcus

paeumonie, Staphylococcus aureus, Pseudomonas, Hemophillus, E. Coli,

Page 20: PRESENTASI KASUS

Pseudomonas, Bakteriodes, Fusobakterium, dan lain-lain). Penatalaksanaan

dilakukan dengan pemberian antibotika ampicillin dan metronidazol serta

mengalirkan cairan infus yang terinfeksi keluar dari rongga pleura.

Pleuritis tuberkulosa merupakan komplikasi yang paling banyak terjadi melalui

focus subpleural yang robek atau melalui aliran getah bening, dapat juga secara

hemaogen dan menimbulkan efusi pleura bilateral. Timbulnya cairan efusi

disebabkan oleh rupturnya focus subpleural dari jaringan nekrosis perkijuan,

sehingga tuberkuloprotein yang ada didalamnya masuk ke rongga pleura,

menimbukan reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Efusi yang disebabkan oleh TBC

biasanya unilateral pada hemithoraks kiri dan jarang yang masif. Pada pasien

pleuritis tuberculosis ditemukan gejala febris, penurunan berat badan, dyspneu,

dan nyeri dada pleuritik.

Efusi parapneumoni adalah efusi pleura yang menyertai pneumonia bakteri, abses

paru atau bronkiektasis. Khas dari penyakit ini adalah dijumpai predominan sel-

sel PMN dan pada beberapa penderita cairannya berwarna purulen (empiema).

Meskipun pada beberapa kasus efusi parapneumonik ini dapat diresorpsis oleh

antibiotik, namun drainage kadang diperlukan pada empiema dan efusi pleura

yang terlokalisir. Menurut Light, terdapat 4 indikasi untuk dilakukannya tube

thoracostomy pada pasien dengan efusi parapneumonik:

o Adanya pus yang terlihat secara makroskopik di dalam kavum pleura

o Mikroorganisme terlihat dengan pewarnaan gram pada cairan pleura

o Kadar glukosa cairan pleura kurang dari 50 mg/dl

o Nilai pH cairan pleura dibawah 7,00 dan 0,15 unit lebih rendah daripada nilai

pH bakteri.

o Penanganan keadaan ini tidak boleh terlambat karena efusi parapneumonik

yang mengalir bebas dapat berkumpul hanya dalam waktu beberapa jam saja.

N. Prognosis

Dengan penggunaan antibiotik yang tepat dan cukup, mortalitas dapat

diturunkan sampai kurang dari 1 %.  Anak dalam keadaan malnutrisi energi protein

dan yang datang terlambat menunjukkan mortalitas yang lebih tinggi. Pada

bronkopneumonia yang disebabkan oleh Staphylococcus aureus, angka kesembuhan

Page 21: PRESENTASI KASUS

penderita mengalami kemajuan besar dengan penatalaksanaan sekarang, angka

mortalitas berkisar dari 10 – 30% dan bervariasi dengan lamanya sakit yang dialami

sebelum penderita dirawat, umur penderita, pengobatan yang memadai serta adanya

penyakit yang menyertai.

BAB III

KASUS

A. Identitas

Nama: Tn. YD

Umur: 68 tahun

Agama: Islam

Pekerjaan: buruh

Alamat: Ambarketawang, Gamping, Sleman

Pendidikan: SD

Perkawinan: Duda

Jenis Kelamin: Laki-laki

B. Anamnesis

Keluhan Utama: Batuk dengan demam yang tak kunjung turun disertai

menggigil

RPS: OS pertama kali datang ke IGD diantar keluarga dengan keluhan badan

panas disertai menggigil sejak 4 hari SMRS. Panas naik turun, sudah kontrol

ke dokter dan diberi obat tapi keluhan menetap. Keluhan lain: pusing (+),

batuk pilek (-), mual (+), muntah (-), badan sakit semua, diare (-), BAK dan

BAB tidak ada keluhan, lemas, anoreksia.

RPD: riwayat ISK, HT grade I tak terkontrol, vertigo, penyakit jantung.

Riwayat DM dan asma disangkal. Riwayat sakit dan batuk lama disangkal.

Page 22: PRESENTASI KASUS

RPK: keluhan serupa seperti OS disangkal. Riwayat HT (+). Riwayat DM,

penyakit jantung, asma disangkal

Riw Sosial: OS perokok aktif 1 – 2 bungkus per hari, bekerja sebagai buruh

dengan tingkat polutan sedang – tinggi (buruh mebel, tidak pakai masker)

C. Pemeriksaan Fisik

KU: lemah sadar penuh

Vital Sign: TD: 180/95; T: 37,5°C – 39°C; N: 92 x/m; RR: 28 x/m

Pem Kepala: Pupil isokor, Konjungtiva pink, sklera (-/-), mukosa basah

Pem Leher: dbn

Pem. Thorax: jantung S1 – S2 regular, paru simetris, sonor (+/+), vesikuler

(+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)

Pem. Abdomen: supel, peristaltik (+), NTE (+)

Pem. Extrimititas: Akral hangat, CRT < 2 detik, kulit normal

D. Follow Up

Pada tanggal 30 Oktober 2013, 1 hari setelah mondok, OS mengeluh nyeri

perut bawah. Pemeriksaan fisik: NTE (+), nyeri tekan suprapubik, peristaltik

meningkat

31 Oktober 2013: OS masih demam dan menggigil, muntah (-), batuk (+),

lemas, pusing, nyeri perut, BAK seperti teh dan sedikit

1 November 2013: OS masih menggigil, batuk (+), pusing, lemas, anorexia

2 November 2013: OS masih demam menggigil, batuk (+) tidak berdahak.

Pemeriksaan fisik: abdomen: hepatomegaly, NTE (+).

3 November 2013: TD: 160/80

4 November 2013: masih demam, batuk berdahak. Pukul 17.30 Pulang APS

E. Pemeriksaan Penunjang

Hematologi 25Oktober 2013

Hb: 13 AL: 10,8 *

Page 23: PRESENTASI KASUS

Hitung Jenis Lekosit

o Basofil: 0

o Eosinofil: 1

o Netrofil Segmen: 87 *

o Limfosit: 11 *

o Monosit: 1 *

Eritrosit: 4,46

Hematokrit: 41

MCV: 96,6

MCH: 29,1

MCHC: 30,2

Trombosit: 198

Hematologi 29 Oktober 2013

Hb: 12,3

AL: 13,2 *

Hitung Jenis Lekosit

o Basofil: 0

o Eosinofil: 0

o Netrofil Segmen: 77 *

o Limfosit: 16 *

o Monosit: 7

Eritrosit: 4,17 *

Hematokrit: 39

MCV: 94,5

MCH: 29,5

MCHC: 31,2 *

Trombosit: 181

Pemeriksaan 29 Oktober 2013

Salmonella typhi/paratyphi O/AO/BO/H/AH/BH negatif

GDS 123

SGOT/SGPT: 28/26

Pemeriksaan 31 Oktober 2013

Lekosit 11,1

Urinalisis: Warna kuning keruh, protein +2, nitrit/bakteri (+), lekosit gelap 40 – 60

*, lekosit pucat 10 – 15 *, eritrosit sedimen 10 – 15 *, epitel dan silinder granular

(+)

Pemeriksaan 31 Oktober 2013 – 1 November 2013

Malaria: tidak ditemukan

Pemeriksaan 2 November 2013

Lekosit: 17,6 (4-10)

Pemeriksaan 4 November 2013

Page 24: PRESENTASI KASUS

Lekosit 7,5

Albumin 3,3 *

Ureum 26

Kreatinin 1,0

Asam urat 6,4

Pemeriksaan 3 November 2013: BTA negatif (1)

Pemeriksaan 4 November 2013: BTA negatif (2)

Foto Polos Thorax

Foto thorax 29 Oktober 2013 (Kiri): cardiomegali dengan pulmo dbn

Page 25: PRESENTASI KASUS

Foto thorax 2 November 2013 (Kanan dan Bawah)

o Opasitas inhomogen di kedua pulmo terutama paracardial dextra

o Opasitas homogen di aspek laterobasal, hemithorax bilateral, terutama sinistra

o Cor: tak valid dinilai, batas sinistra tak tampak jelas

o Elongatio aorta dan kalsifikasi arcus aorta

o Kesan: bronchopneumonia dengan efusi pleura bilateral terutama sinistra; cor

tak valid dinilai

USG Abdomen 2 November 2013

Hepar: Echostruktur normal, IHBD tak prominen, tak tampak massa

VF: dinding licin, tak tampak batu/massa/sludge

Pancreas: echostruktur normal, tak tampak massa

Lien: echostruktur normal, tak tampak massa

Ren dextra et sinistra: echostruktur normal, SPC tak melebar. tak tampak

massa/batu

VU: terisi cairan optimal, dinding licin, tak tampak massa/batu

Page 26: PRESENTASI KASUS

Prostat: Ukuran 4,15 x 3,63 x 3,90 cm, perkiraan volume prostat KL 30,8 cm3,

echostruktur homogen, dengan bayangan hiperechoic di parenkim prostat.

Tampak bayangan free fluid di cavum pleura dextra et sinistra

Kesan: Suspek efusi pleura bilateral, suspek hipertrofi prostat dengan kalsifikasi,

tak tampak kelainan pada organ-organ lain

F. Diagnosis Banding

Observasi febris DD: tifoid, malaria

ISK

Observasi batuk dengan efusi pleura, suspek pleuritis TB

BPH

CHF

Bronkopneumonia dengan efusi pleura bilateral, suspek pleuropneumonia

Pneumonia Nosokomial

G. Tatalaksana dan Terapi

Usulan kultur sputum, USG thorax + marker (dari Sp. P)

Sistenol 3 x 1

Vomcetron 2 x 4 mg

Levoflocacin 1 x 500 mg

Ranitidin 1 A

Antrain k/p

Ceftriaxone 2 x 2 gr

Azitromicyn 1 x 500 mg

Levoprant 3 x 1

Inhalasi: farbivent/flexotide

RL

Page 27: PRESENTASI KASUS

BAB IV

PEMBAHASAN

Pada kasus ini, pasien adalah seorang laki-laki 68 tahun, beragama Islam,

pekerjaan sehari-hari sebagai buruh mebel, pendidikan terakhir pasien adalah SD, dan

pasien menyandang status pernikahan sebagai seorang duda.

Empat hari sebelum mondok di rumah sakit, pasien berkunjung ke poli IGD

PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II dengan keluhan utama berupa badan panas

disertai menggigil sejak pagi harinya. Panas dirasa muncul mendadak, suhu dirasa

tinggi, ditambah kepala pusing dan nyeri di seluruh tubuh. Batuk pilek, muntah, diare

disangkal oleh pasien. Diketahui bahwa pasien memiiki riwayat hipertensi grade II.

Dilakukan pemeriksaan fisik, diperoleh vesikuler paru (+/+) normal, bising usung (+)

normal. Dilakukan juga pengambilan darah untuk pemeriksaan hematologi dan

diperoleh angka lekosit meningkat sedikit di kisaran 10.800. Dari pemeriksaan yang

telah dilakukan, diagnosis sementara dokter adalah observasi febris hari I, pasien

diresepkan cefixime (antibiotik), doloneurobion (vitamin), amlodipine (anti

hipertensi), dan analsix (analgesik antipiretik), serta pasien disarankan untuk segera

kembali ke IGD bila 3 hari pengobatan ke depan kesehatan tak kunjung membaik.

Dua hari kemudian, yaitu pada tanggal 27 Oktober 2013, pasien kembali

berkunjung ke IGD karena keluhan menetap, namun di IGD pasien hanya diberikan

Page 28: PRESENTASI KASUS

tindakan berupa injeksi antrain dan resep sistenol, lalu pasien dipulangkan dan

diagnosis masih observasi febris hari III.

Pada tanggal 29 Oktober 2013 pagi harinya, pasien diantar keluarga ke IGD

RS dengan keluhan yang sama yaitu demam disertai menggigil, pusing mual, lemas,

dan hilang nafsu makan. Pemeriksaan fisik diperoleh vesikuler paru (+/+) normal,

tidak terdengar ronkhi dan wheezing, peristaltic usus (+) normal dan nyeri tekan

epigastrik (+). Diagnosis dari IGD yaitu observasi febris hari IV. Pasien disarankan

untuk mondok dan pasien menyetujuinya.

Selama empat hari tersebut pasien tak kunjung membaik keadaannya walau

sudah diberi obat dan istirahat yang cukup, dan dilihat dari pemeriksaan laboratorium

diperoleh angka lekosit yang semakin meningkat, di sini ada indikasi bahwa pasien

terinfeksi oleh agen bakteri, sehingga perlu diberi terapi antibiotic terlebih dahulu

sambil mencari penyebab dari infeksi tersebut. Pasien telah diperiksa darah dan

diperoleh Salmonella typhi/paratyphi O/AO/BO/H/AH/BH negatif sehingga diagnosis

demam thypoid dapat disingkirkan. Pasien juga dicek apakah terinfeksi malaria,

namun hasil pemeriksaan menyatakan negatif. Lalu pasien dicek analisis urinnya, dan

diperoleh hasil mengarah pada suatu infeksi saluran kencing.

Namun, semakin hari angka lekosit semakin tinggi, dan pasien mengeluh

batuk yang awalnya tak berdahak lalu menjadi berdahak di rumah sakit. Tak hanya

itu, pasien mengeluh nyeri pada daerah perut, sehingga dilakukan USG abdomen dan

diperoleh gambaran efusi pleura dan hipertrofi prostat. Sebelumnya pada tanggal 29

Oktober 2013 juga sudah dilakukan foto polos thorax dengan hasil kardiomegali

dengan pulmo dalam batas normal. Bila dibandingkan foto polos thorax dan USG

abdomen, kita dapat beranggapan bahwa telah terjadi perburukan status kesehatan

pasien yang sebelumnya paru dalam batas normal namun kemudian muncul efusi

pleura sehingga perlu dilakukan pemeriksaan foto polos thorax ulangan dan hasilnya

pun mengarah pada bronkopneumonia dengan efusi pleura bilateral.

Perlu dicatat mengapa bisa muncul bronkopneumonia dan efusi pleura saat

pengobatan/perawatan pasien di rumah sakit, dan kita bisa menaruh curiga bahwa

telah terjadi pneumonia nosocomial yang disebabkan kurang bersihnya/steril

lingkungan di rumah sakit terkait dalam perawatan terhadap pasien. Oleh karena itu,

Page 29: PRESENTASI KASUS

perlu dilakukan skrining di rumah sakit apakah benar telah terjadi infeksi nosocomial

atau tidak.

Pasien pada kasus ini mempunyai banyak keluhan, seperti demam disertai

menggigil, batuk, nyeri pada abdomen, hasil foto thorax dan USG yang mengarah

pada cardiomegaly (CHF), BPH, dan bronkopneumonia sehingga perlu penanganan

yang komprehensif dan holistic. Penanganan untuk gejala infeksi seperti demam,

batuk dan mengarah pada bronkopneumonia diprioritaskan. Disarankan untuk

dilakukan kultur untuk memastikan bakteri apa yang menginfeksi pasien sambil tetap

memberikan antibiotic dan pengobatan terbaik untuk pasien. Namun sayang pasien

meminta pulang atas permintaan sendiri setelah dirawat sekitar satu minggu, mungkin

saja karena pengobatan yang terlalu lama tapi hasil pengobatan yang kurang

memuaskan bisa menjadi alasan pasien untuk pulang. Dari kasus ini, dapat menjadi

pengalaman yang berharga dalam penanganan pasien secara cepat, tepat, dan

bermanfaat.

BAB V

REFERENSI

Pusponegoro HD, dkk. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Ikatan Dokter

Anak Indonesia: Jakarta. 2004.

Hasan R, dkk. Ilmu Kesehatan Anak. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia:

Jakarta. 2002.

Mansjoer A, dkk. Kapita Selekta Kedokteran. Media Aesculapius Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta. 2000.

Behrman RE, Kliegman R, Arvin AM. Nelson Ilmu Kesehatan Anak. EGC:

Jakarta. 2000.

Price SA, Wilson LM, 1995,  Pathophysiology: Clinical Concepts of Disease

Processes (Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Prose Penyakit), Edisi 4, Penerbit

EGC, Jakarta, hal: 709-712.

Behrman RE, Vaughan VC, 1992, Nelson Ilmu Kesehatan Anak, Bagian II, Edisi

12, Penerbit EGC, Jakarta, hal: 617-628.

Page 30: PRESENTASI KASUS

Sherwood L. Sistem Pernafasan. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi ke 2.

Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2001.

Reinhard V. Putz, Reinhard Pabst. Atlas Anatomi Manusia Sobotta Jilid 2. Edisi

ke 21. Jakarta: Buku Kedokteran EGC; 2000.