PRESENTASI KASUS
description
Transcript of PRESENTASI KASUS
PRESENTASI KASUS
BRONKOPNEUMONIA DENGAN EFUSI PLEURA
Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti
Ujian Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Radiologi
RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta
Disusun oleh:
DIMAS MUHAMMAD AKBAR
2008.031.0003
Diajukan Kepada:
dr. H. Ahmad Faisol, Sp. Rad., M. Kes.
SMF ILMU RADIOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2013
HALAMAN PENGESAHAN
Telah Dipresentasikan Presentasi Kasus dengan Judul
BRONKOPNEUMONIA DENGAN EFUSI PLEURA
Hari/Tanggal: Sabtu, 9 November 2013
Tempat: RS PKU MUHAMADIYAH YOGYAKARTA
Menyetujui
Dokter Pembimbing/Penguji
dr. H. Ahmad Faisol, Sp. Rad., M. Kes.
BAB I
PENDAHULUAN
Pneumonia adalah suatu sindrom yang disebabkan oleh infeksi akut, biasanya
disebabkan oleh bakteri yang mengakibatkan adanya konsolidasi sebagian dari salah
satu atau kedua paru, sedangkan bronkopneumonia merupakan peradangan pada paru
dimana proses peradangannya ini menyebar membentuk bercak-bercak infiltrat yang
berlokasi di alveoli paru dan dapat pula melibatkan bronkiolus terminal.
Bronkopneumonia, sebagai penyakit yang menimbulkan gangguan pada sistem
pernafasan, merupakan salah satu bentuk pneumonia yang terletak pada alveoli paru.
Bronkopneumonia lebih sering menyerang bayi dan anak kecil, hal ini dikarenakan
respon imunitas mereka masih belum berkembang dengan baik. Tercatat bakteri
sebagai penyebab tersering bronkopneumonia pada bayi dan anak adalah
Streptococcus pneumoniae dan Haemophilus influenzae. Anak dengan daya tahan
terganggu akan menderita bronkopneumonia berulang atau bahkan bisa anak tersebut
tidak mampu mengatasi penyakit ini dengan sempurna. Selain faktor imunitas, faktor
iatrogen juga memacu timbulnya penyakit ini, misalnya trauma pada paru, anestesia,
pengobatan dengan antibiotika yang tidak sempurna, dll.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Pneumonia adalah infeksi saluran pernafasan akut bagian bawah yang
mengenai parenkim paru. Pneumonia dibedakan menjadi:
Pneumonia lobaris
Pneumonia lobularis (bronkopneumonia)
Pneumonia intertisial (bronkiolitis)
Bronkopneumonia adalah radang paru-paru yang mengenai satu atau beberapa
lobus paru-paru yang ditandai dengan adanya bercak infiltrat. (Whalley and Wong,
1996). Bronkopneumonia adalah frekuensi komplikasi pulmonary, batuk produktif
yang lama, tanda dan gejalanya biasanya suhu tubuh meningkat, nadi dan pernafasan
meningkat. (Suzanne G. Bare, 1993). Bronkopneumonia disebut juga pneumoni
lobularis, yaitu radang paru-paru yang disebakan oleh bakteri, jamur,virus, dan benda
asing (Sylvia Anderson,1994).
Dari beberapa definisi di atas, bronkopneumonia disebut juga pneumonia
lobularis yaitu peradangan yang mengenai parenkim paru, distal dari bronkiolus
terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius dan alveoli serta menimbulkan
bercak-bercak infiltrat dan gangguan pertukaran gas setempat, yang biasanya
disebabkan oleh infeksi dari bakteri, virus, jamur, dan mikroorganisme lainnya.
B. Anatomi Paru
Struktur dasar jalan nafas sudah ada sejak lahir dan berkembang selama
neonatus dan dewasa menjadi sistem bronkopulmonal. Jalan nafas pada setiap
manusia tidak simetris. Apabila dibagi menjadi dua bagian, ada perbedaan bentuk dan
jumlah cabang yang tergantung dari lokasinya. Variasi tersebut menyebabkan
implikasi fisiologi yang berbeda. Alur yang berbeda menyebabkan perbedaan
resistensi terhadap aliran udara, sehingga menyebabkan distribusi udara atau partikel
yang terhisap tidak merata. Cabang dari bronkus mengalami pengecilan ukuran dan
kehilangan kartilago, yang
kemudian disebut bronkhiolus.
Bronkhiolus terminalis membuka
saat pertukaran udara dalam paru-
paru.
Jalan nafas dilapisi oleh
membran epitel yang berganti
secara bertahap dari epitel
kolumner bertingkat bersilia di
bronkus menjadi epitel kubus bersilia pada area tempat pertukaran udara. Sillia
berfungsi untuk menghantarkan mukus dari pinggir jalan nafas ke faring. Sistem
transport mukosilier ini penting untuk mekanisme pertahanan paru. Sel goblet pada
trakhea dan bronkhus memproduksi musin dalam retikulum endoplasma kasar dan
apparatus golgi. Sel goblet meningkat jumlahnya pada beberapa gangguan seperti
bronkhitis kronis yang hasilnya terjadi hipersekresi mukus dan peningkatan produksi
sputum.
Unit pertukaran udara terdiri dari
bronkiolus distal sampai terminal:
bronkiolus respiratorius, duktus
alveolaris, dan alveoli. Paru-paru dextra
lebih pendek dan lebih berat dari paru
kiri. Paru kanan dan kiri dipisahkan oleh
alur yang disebut incissura interlobaris.
Pulmo dextra dibagi menjadi 3 lobus:
1. Lobus superior, dibagi menjadi 3
segmen: apikal, posterior, inferior
2. Lobus medius, dibagi menjadi 2 segmen: lateralis dan medialis
3. Lobus inferior, dibagi menjadi 5 segmen: apikal, mediobasal, anterobasal,
laterobasal, posterobasal.
Lobus sinistra dibagi menjadi 2 lobus:
1. Lobus superior, dibagi menjadi apikoposterior, anterior, lingualis superior
2. Lobus inferior, dibagi menjadi apikal, anteromediobasal, laterobasal, posterobasal.
Perkembangan paru pasca lahir dapat dibagi menjadi dua fase, tergantung
pada kecepatan perkembangan relatif berbagai komponen paru. Selama fase pertama,
yang meluas sampai umur 18 bulan sesudah lahir, ada kenaikan yang tidak seimbang
pada permukaan dan volume ruang yang terlibat dalam pertukaran gas. Volume
kapiler meningkat lebih cepat daripada volume ruangan udara dan selanjutnya
bertambah lebih cepat daripada volume jaringan padat. Proses ini terutama aktif
selama awal masa bayi dan dapat menjadi sempurna pada 2 tahun pertama.
Pada fase kedua semua ruangan tumbuh lebih proposional satu sama lain.
Permukaan alveolus dan kapiler meluas sejajar dengan pertumbuhan badan.
Akibatnya individu yang lebih panjang mempunyai paru-paru yang lebih besar.
C. Epidemiologi
Insidensi penyakit saluran napas menjadi penyebab angka kematian dan
kecacatan yang tinggi di seluruh dunia. Sekitar 80% dari seluruh kasus baru praktik
umum berhubungan dengan infeksi saluran napas yang terjadi di masyarakat
(pneumonia komunitas) atau di dalam rumah sakit/pusat perawatan (pneumonia
nosokomial/PN). Infeksi saluran napas bawah masih tetap merupakan masalah utama
dalam bidang kesehatan, baik di negara yang sedang berkembang maupun yang sudah
maju. Laporan WHO 1999 menyebutkan bahwa penyebab kematian tertinggi akibat
penyakit infeksi di dunia adalah infeksi saluran napas akut termasuk pneumonia dan
influenza.
Insidensi pneumonia komuniti di Amerika adalah 12 kasus per 1000 orang per
tahun dan merupakan penyebab kematian utama akibat infeksi pada orang dewasa di
negara itu. Angka kematian akibat pneumonia di Amerika adalah 10%. Di Amerika
dengan cara invasif pun penyebab pneumonia hanya ditemukan 50%. Penyebab
pneumonia sulit ditemukan dan memerlukan waktu beberapa hari untuk mendapatkan
hasilnya, sedangkan pneumonia dapat menyebabkan kematian bila tidak segera
diobati, maka pada pengobatan awal pneumonia diberikan antibiotika secara empiris.
Pneumokokus merupakan penyebab utama pneumonia. Pneumokokus dengan
serotipe 1 sampai 8 menyebabkan pneumonia pada orang dewasa lebih dari 80%
sedangkan pada anak ditemukan tipe 14, 1, 6 dan 9.
D. Etiologi
Etiologi bronkopneumoni dibedakan menjadi dua factor:
1. Faktor infeksi, terdiri atas:
a. Bronkopneumonia lebih sering ditimbulkan oleh invasi bakteri. Bakteri-
bakteri ini menginvasi paru melalui 2 jalur, yaitu dengan:
Inhalasi melalui jalur trakeobronkial.
Sistemik melalui arteri-arteri pulmoner dan bronkial.
Bakteri-bakteri yang sering menyebabkan ataupun didapatkan pada kasus
bronkopneumonia adalah:
Bakteri gram positif
o Pneumococcus
o Staphylococcus aureus
o Streptococcus hemolyticus
Bakteri gram negatif
o Haemophilus influenzae
o Klebsiella pneumonia
Pneumococcus adalah penyebab utama penumonia. Pada orang dewasa
disebabkan oleh penumokokus 1 – 8 (pada anak–anak tipe 14, 1, 6, 9). Insiden
meningkat pada usia lebih kecil dari 14 tahun dan menurun dengan
meningkatnya umur. Streptokokus, sering merupakan komplikasi dari
penyakit virus lain seperti morbili, influenza, cacar air atau komplikasi dari
bakteri lain seperti pertusis, pneumonia oleh pneumokokus.
b. Virus
Virus respiratori sinsial, virus influenza, virus adeno, virus situmegalik.
c. Aspirasi
Makanan, kerosen (bensin dan minyak tanah) dan cairan amnion, benda asing.
d. Hipostatik
Disebabkan oleh tidur terlentang terlalu lama, misalnya pada anak yang sakit
dengan kesadaran menurun, penyakit lain yang harus istirahatn di tempat tidur
yang lama sehingga terjadi kongesti pada paru belakang bawah. Kuman yang
tadinya komensal berkembang biak menjadi patogen dan menimbulkan
radang. Oleh karena itu pada anak yang menderita penyakit dan memerlukan
istirahat panjang seperti tifoid harus diubah – ubah posisi tidurnya.
e. Jamur
H. Capsulatum. Candida albikans, Blastomycetes dermatitis, Koksidiomikosis,
Aspergilosis dan Aktinimikosis.
f. Sindrom Loeffler
Etiologi oleh larva A. Lumbricoedes
2. Faktor Non Infeksi, terjadi akibat disfungsi menelan atau refluks esophagus
meliputi:
Bronkopneumonia hidrokarbon, terjadi oleh karena aspirasi selama penelanan
muntah atau sonde lambung (zat hidrokarbon seperti pelitur, minyak tanah,
dan bensin).
Bronkopneumonia lipoid, terjadi akibat pemasukan obat yang mengandung
minyak secara intranasal, termasuk jeli petroleum. Setiap keadaan yang
mengganggu mekanisme menelan seperti palatoskizis, pemberian makanan
dengan posisi horizontal, atau pemaksaan pemberian makanan seperti minyak
ikan pada anak yang sedang menangis. Keparahan penyakit tergantung pada
jenis minyak yang terinhalasi. Jenis minyak binatang yang mengandung asam
lemak tinggi bersifat paling merusak contohnya seperti susu dan minyak ikan .
Selain faktor-faktor di atas, daya tahan tubuh sangat berpengaruh untuk
terjadinya bronkopneumonia. Sistem imun pada penderita-penderita penyakit yang
berat seperti AIDS dan respon imunitas yang belum berkembang pada bayi dan anak
merupakan faktor predisposisi terjadinya penyakit ini.
E. Klasifikasi
Menurut buku Pneumonia Komuniti, Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan
di Indonesia yang dikeluarkan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003
menyebutkan tiga klasifikasi pneumonia:
1. Berdasarkan klinis dan epidemiologis:
a. Pneumonia komuniti (community-acquired pneumonia).
Proses patogenesis pneumonia terkait dengan 3 faktor yaitu keadaan
(imunitas) inang, mikroorganisme yang menyerang pasien dan lingkungan
yang berinteraksi satu sama lain. Gambaran interaksi dari ketiga faktor
tersebut tercermin pada kecenderungan terjadinya infeksi oleh kuman tertentu
oleh faktor perubah (modifying factor), seperti terlihat pada table berikut:
Pneumokoku
s yang
resisten
penisilin dan
obat lain
Usia > 65 tahun
Pengobatan B-lactam dalam 3 bulan terakhir
Alkoholisme
Penyakit imunosupresif (termasuk terapi kortikosteroid)
Penyakit penyerta multiple
Kontak pada klinik lansia
Patogen gram
negatif
Tinggal di rumah jompo
Penyakit kardiopulmonal penyerta
Baru selesai mendapatkan terapi antibiotik
Pseudomonas
aeruginosa
Penyakit paru structural (bronkiektasis)
Terapi kortikosteroid (>10 mg prednisone/hari)
Terapi antibiotic spectrum luas > 7 hari pada bulan
sebelumnya
Malnutrisi
b. Pneumonia nosokomial/PN, (hospital acquired pneumonia atau nosocomial
pneumonia).
Patogen yang sampai ke trakea terutama berasal dari aspirasi bahan orofaring,
kebocoran melalui mulut saluran endotrakeal, inhalasi, dan sumber bahan
patogen yang mengalami kolonisasi di pipa endotrakeal. PN terjadi akibat
proses infeksi bila patogen masuk saluran napas bagian bawah tersebut
mengalami kolonisasi setelah dapat melewati hambatan mekanisme
pertahanan inang berupa daya tahan mekanik (epitel cilia dan mukus),
humoral (antibodi dan komplemen), dan selular (lekosit, polinuklir, makrofag,
limfosit, dan sitokinnya). Kolonisasi terjadi akibat adanya beberapa faktor
inang dan terapi yang telah dilakuan yaitu adanya penyakit peserta yang berat,
tindakan bedah, pemberian antibiotik, obat-obatan lain dan tindakan invasif
pada saluran pernapasan. Mekanisme lain adalah pasasi bakteri pencernaan ke
paru, penyebaran hematogen, dan akibat tindakan intubasi. Faktor risiko
terjadinya PN dapat dikelompokkan atas 2 golongan yaitu tidak bisa diubah
yaitu berkaitan dengan inang (seks pria, penyakit paru kronik, atau gagal
organ jamak), dan terkait tindakan yang diberikan (intubasi atau slang
nasogastrik). Pada faktor yang dapat diubah dapat dilakukan upaya berupa
mengontrol infeksi, disinfeksi dengan alkohol, pengawasan patogen resisten
(Multi Drug Resistence/MDR), penghentian dini pemakaian alat yang invasif,
dan pengaturan tata cara pemakaian antibiotik. PN dan Pneumonia
Berhubungan dengan pemakaian ventilator (PBV) onset dini terjadi dalam 4
hari pertama masuk RS, biasanya disebabkan oleh bakteri yang sensitif
terhadap antibiotik, kecuali bila pernah sebelumnya mendapat antibiotik atau
dirawat di RS dalam waktu 90 hari. PN dan PBV onset lanjut (hari ke 5 atau
lebih) lebih mungkin disebabkan oleh patogen MDR yang berkaitan dengan
mortalitas dan morbiditas yang tinggi.
c. Pneumonia aspirasi.
d. Pneumonia pada penderita immunocompromised.
2. Berdasarkan bakteri penyebab:
Pneumonia bakteri/tipikal. Dapat terjadi pada semua usia. Beberapa bakteri
mempunyai tendensi menyerang seseorang yang peka, misalnya klebsiella
pada penderita alkoholik, staphyllococcus pada penderita pasca infeksi
influenza. Pneumonia Atipikal disebabkan mycoplasma, legionella, dan
chalamydia.
Pneumonia virus.
Pneumonia jamur, sering merupakan infeksi sekunder. Predileksi terutama
pada penderita dengan daya tahan lemah (immunocompromised).
3. Berdasarkan predileksi infeksi:
a. Pneumonia lobaris, pneumonia yang terjadi pada satu lobus (percabangan
besar dari pohon bronkus) baik kanan maupun kiri.
b. Pneumonia bronkopneumonia, pneumonia yang ditandai bercak-bercak infeksi
pada berbagai tempat di paru. Bisa kanan maupun kiri yang disebabkan virus
atau bakteri dan sering terjadi pada bayi atau orang tua.
c. Pneumonia interstisial.
F. Patogenesis
Pneumokokus masuk ke dalam paru melalui jalan pernafasan secara percikan
(droplet). Pneumokokus umumnya mencapai alveoli lewat percikan mukus atau
saliva. Lobus bagian bawah paru paling sering terkena efek gravitasi. Agen-agen
mikroba yang menyebabkan pneumonia memiliki 3 bentuk transisi primer:
1. Aspirasi sekret yang berisi mikroorganisme patogen yang telah berkolonisasi pada
orofaring
2. Inhalasi aerosol yang infeksius
3. Penyebaran hematogen dari bagian ekstrapulmonal
Aspirasi dan inhalasi agen-agen infeksius adalah dua cara tersering yang
menyebabkan pneumonia, sementara penyebaran cara hematogen lebih jarang terjadi.
Akibatnya, faktor-faktor predisposisi termasuk juga berbagai defisiensi mekanisme
pertahanan sistem pernafasan. Kolonisasi basilus gram negatif telah menjadi subjek
penelitian akhir-akhir ini.
Mekanisme daya tahan traktus respiratorius bagian bawah sangat efisien untuk
mencegah infeksi yang terdiri dari:
1. Susunan anatomis rongga hidung
2. Jaringan limfoid di nasofaring
3. Bulu getar yang meliputi sebagian besar epitel traktus respiratorius dan sekret lain
yang dikeluarkan oleh sel epitel tersebut
4. Refleks batuk
5. Refleks epiglotis yang mencegah terjadinya aspirasi sekret yang terinfeksi
6. Drainase sistem limfatis dan fungsi menyaring kelenjar limfe regional
7. Fagositosis aksi limfosit dan respon imunohumoral terutama Ig A
8. Sekresi enzim-enzim dari sel-sel yang melapisi trakeo-bronkial yang bekerja
sebagai anti mikroba yang non spesifik.
Bila pertahanan tubuh tidak kuat maka mikroorganisme dapat melalui jalan
nafas sampai ke alveoli yang menyebabkan radang pada dinding alveoli dan jaringan
sekitarnya. Setelah itu mikroorganisme tiba di alveoli mementuk suatu proses
peradangan yang meliputi empat stadium, yaitu:
a. Stadium I (4 – 12 jam pertama/kongesti)
Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang
berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan peningkatan
aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat
pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-sel mast setelah pengaktifan sel
imun dan cedera jaringan. Mediator-mediator tersebut mencakup histamin dan
prostaglandin. Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen. Komplemen
bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos
vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru. Hal ini mengakibatkan
perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang interstitium sehingga terjadi
pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus. Penimbunan cairan di antara
kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan
karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling berpengaruh dan sering
mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin.
b. Stadium II (48 jam berikutnya)
Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah,
eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu (host) sebagai bagian dari reaksi
peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena adanya penumpukan
leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna paru menjadi merah dan pada perabaan
seperti hepar, pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga
anak akan bertambah sesak. Stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48
jam.
c. Stadium III (3 – 8 hari)
Disebut hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih
mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin terakumulasi
di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel. Pada stadium ini
eritrosit di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap padat karena berisi fibrin dan
leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami
kongesti.
d. Stadium IV (7 – 12 hari)
Disebut juga stadium resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan
peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorbsi oleh makrofag
sehingga jaringan kembali ke strukturnya semula.
G. Faktor Risiko
Faktor riiko yang menyebabkan tingginya angka mortalitas pneumonia di
negara berkembang, antara lain:
Pneumonia yang terjadi pada masa bayi
Berat badan lahir rendah
Tidak mendapat imunisasi
Tidak mendapat ASI yang adekuat
Malnutrisi
Defisiensi vitamin A
Tingginya prevalens kolonisasi bakteri patogen di nasofaring
Tingginya pajanan terhadap polusi udara (polusi industri atau asap rokok)
Imunodefisiensi dan imunosupresi: keadaan ini meningkatkan predisposisi
pneumonia.
Adanya penyakit lain yang mendahului, seperti infeksi HIV, campak
Tinggal di lingkungan padat penduduk
Intubasi, trakeostomi, refleks batuk yang terganggu, dan aspirasi : keadaan ini
menyebabkan organisme infeksi lebih mudah masuk kedalam alveoli dan ruang
udara terminal
Diskinesia silier, obstruksi bronkial, infeksi viral, merokok, dan bahan-bahan
kimia: kondisi ini menganggu kerja mukosiliar.
Abnormalitas anatomi, aspirasi cairan lambung atau sebab lain dari inflamasi
nooninfeksius, penurunan aliran darah, dan edema pulmonal: kondisi tersebut
meningkatkan predisposisi dari pneumonia.
H. Manifestasi Klinis
Sebagian besar gambaran klinis pneumonia pada anak berkisar dari ringan
hingga sedang. Hanya sebagian kecil yang berat, mengancam kehidupan, dan
mungkin terjadi komplikasi sehingga perlu dirawat.
Bronkopneumonia biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas bagian atas
selama beberapa hari. Gambaran klinis pneumonia pada bayi dan anak bergantung
berat ringannya infeksi, tetapi secara umum adalah sebagai berikut:
Gambaran infeksi umum:
o Demam suhu bisa mencapai 39 – 40oC dan kadang dapat juga disertai
dengan menggigil.
o Sakit kepala
o Gelisah
o Malaise
o Penurunan nafsu makan
o Keluhan gastrointestinal mual, muntah, diare
Gambaran gangguan respiratori:
o Batuk awalnya kering kemudian menjadi produktif
o Sesak nafas
o Retraksi dada
o Takipnea
o Napas cuping hidung
o Penggunaan otat pernafasan tambahan
o Air hunger
o Sianosis
o Merintih
Pada pemeriksaan fisik bronkopneumonia tergantung dari luasnya daerah yang
terkena. Inspeksi dapat terlihat nafas cuping hidung, sianosis sekitar hidung dan
mulut, retraksi dada. Pada perkusi toraks sering tidak ditemukan kelainan. Tetapi
kadang dapat juga bunyi pekak saat perkusi atau bila sarang bronkopneumonia
menjadi satu (konfluens) mungkin pada perkusi ditemukan bunyi redup dan suara
nafas mengeras saat auskultasi.
Saat auskultasi terdapat ronki basah halus, mengi dan penurunan suara nafas.
Tetapi ronki dan mengi sukar dilokalisasi sumbernya dari suara yang kebetulan pada
anak yang amat muda dengan dada hipersonor. Pada perkusi dan auskultasi paru
umumnya tidak ditemukan kelainan.
I. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan:
Anamnesis terhadap manifestasi klinis
Temuan pemeriksaan fisik yang sesuai
Pemeriksaan penunjang seperti:
o Darah lengkap
Leukositosis berkisar antara 15.000 – 40.000/mm3, dengan predominan PMN.
Leukopenia menunjukan prognosis buruk. Leukositosis hebat (> 30.000/mm3)
hampir selalu menunjukan adanya infeksi bakteri, sering ditemukan pada
keadaan bakteriemi, dan resiko terjadi komplikasi lebih tinggi. Kadang
terdapat anemia ringan dan LED meningkat. Secara umum hasil pemeriksaan
darah perifer lengkap dan LED tidak dapat membedakan antara infeksi virus
dan bakteri secara pasti.
o C reaktif protein
Suatu protein fase akut yang disintesis oleh hepatosit. Sebagai respon infeksi
atau inflamasi jaringan, produksi CRP distimulai oleh sitokin, terutama
interleukin 6 (IL-6), IL-1 dan tumor necrosis factor (TNF). Secara klinis CRP
digunakan sebagai diagnostik untuk membedakan antara faktor infeksi dan
non infeksi, infeksi virus dan bakteri, atau infeksi superfisialis dan profunda.
Kadar CRP biasanya lebih rendah pada infeksi virus dan bakteri. CRP kadang-
kadang digunakan untuk evaluasi respon terapi antibiotik.
o Uji serologis
Deteksi antigen dan antibodi pada infeksi bakteri atipik mempunyai
sensitivitas dan spesifisitas yang rendah. Tetapi diagnosis infeksi Streptokokus
grup A dapat dikonfirmasi dengan peningkatan titer antibodi seperti
antistreptolisin O, streptotozim.
Pemeriksaan mikrobiologis
Diagnosis terbaik adalah berdasarkan etiologi, yaitu dengan pemeriksaan
mikrobiologi spesimen usap tenggorok, sekresi nasopharing, sputum, aspirasi
trakhea, fungsi pleura. Sayangnya pemeriksaan ini banyak sekali kendalanya,
baik dari segi teknis maupun biaya. Bahkan dalam penelitianpun kuman
penyebab spesifik hanya dapat diidentifikasi pada kurang dari 50% kasus.
Rontgen toraks
Foto toraks (AP/lateral) merupakan pemeriksaan penunjang utama untuk
menegakkan diagnosis. Foto AP dan lateral dibutuhkan untuk menentukan
lokasi anatomik dalam paru. Infiltrat tersebar paling sering dijumpai, terutama
pada pasien bayi. Pada bronkopneumonia bercak-bercak infiltrat didapatkan
pada satu atau beberapa lobus. Jika difus (merata) biasanya disebabkan oleh
Staphylokokus pneumonia
(Kiri) Foto toraks PA pada pneumonia lobaris: tampak bercak-bercak infiltrat pada
paru kanan. (Kanan) Foto toraks PA pada bronkopneumonia
Dasar diagnosis pneumonia menurut Henry Gorna dkk tahun 1993 adalah
ditemukannya paling sedikit 3 dari 5 gejala berikut ini:
a. Sesak nafas disertai dengan pernafasan cuping hidung dan tarikan dinding dada
b. Panas badan
c. Ronkhi basah sedang nyaring (crackles)
d. Foto thorax menunjukkan gambaran infiltrat difus
e. Leukositosis (pada infeksi virus tidak melebihi 20.000/mm3 dengan limfosit
predominan, dan bakteri 15.000-40.000/mm3 neutrofil yang predominan)
J. Diagnosis Banding
Pneumonia lobaris
Biasanya pada anak yang lebih besar disertai badan menggigil dan kejang
pada bayi kecil. Suhu naik cepat sampai 39 – 40oC dan biasanya tipe
kontinua. Sesak nafas (+), nafas cuping hidung (+), sianosis sekitar hidung
dan mulut dan nyeri dada. Anak lebih suka tidur pada sisi yang terkena.
Pada foto rotgen terlihat adanya konsolidasi pada satu atau beberapa lobus.
Bronkioloitis
Diawali infeksi saluran nafas bagian atas, subfebris, sesak nafas, nafas
cupung hidung, retraksi intercostal dan suprasternal, terdengar wheezing,
ronki nyaring halus pada auskultasi. Gambaran labarotorium dalam batas
normal, kimia darah menggambarkan asidosis respiratotik ataupun
metabolik.
Aspirasi benda asing
Ada riwayat tersedak
Atelektasis
Adalah pengembangan tidak sempurna atau kempisnya bagian paru yang
seharusnya mengandung udara. Dispnoe dengan pola pernafasan cepat dan
dangkal, takikardia, sianosis. Perkusi mungkin batas jantung dan
mediastinum akan bergeser dan letak diafragma mungkin meninggi.
Tuberkulosis
Demam > 2 minggu, batuk > 3 minggu, berat badan menurun, nafsu
makan menurun, malaise, diare persisten yang tidak membaik dengan
pengobatan baku diare dan biasanya terdapat kontak.
K. Penatalaksanaan
Tatalaksana terdiri atas:
Antibiotik
Pilihan empiris antibiotik untuk pasien bronkopneumonia yang tidak
memerlukan perawatan intensif biasanya berespon terhadap beta laktam
generasi ke tiga (seperti Ceftriakson atau Cefotaxim) dengan atau tanpa
Macrolid (Claritromisin atau Azitromicin dianjurkan jika ada kecurigaan
infeksi H. influenza) atau Fluoroquinolon (dengan peningkatan kemampuan
membunuh S. pneumoniae). Antibiotik alternatif antara lain Cefuraxime
dengan atau tanpa Macrolid atau Azitromicin saja. Pilihan antibiotik dapat
tunggal atau kombinasi. Antibiotik tunggal yang paling cocok diberikan yang
gambaran klinisnya sugestif disebabkan oleh tipe kuman yang sensitif.
Kombinasi antibiotik diberikan dengan maksud untuk mencakup spektrum
kuman-kuman yang dicurigai, untuk meningkatkan aktivitas spektrum dan
pada infeksi jamak. Bila telah didapatkan hasil kultur dan tes sensitivitas maka
hasil ini dapat dijadikan untuk memberikan antibiotic tunggal.
Terapi suportif
o Terapi O2 untuk mencapai saturasi 95 – 96%
o Nebulizer untuk pengenceran dahak yang kental, dapat disertai
bronkodilator bila disertai bronkospasme
o Fisioterapi dada untuk pengeluaran dahak
o Pemberian cairan
Tatalaksana pneumonia sesuai dengan kuman penyebabnya. Namun karena
berbagai kendala diagnostik etiologi, untuk semua pasien pneumonia diberikan
antibiotik secara empiris. Walaupun sebenarnya pneumonia viral tidak memerlukan
antibiotik, tapi pasien tetap diberi antibiotik karena kesulitan membedakan infeksi
virus dengan bakteri.
Antibiotik parenteral diberikan sampai 48 – 72 jam setelah panas turun,
dilanjutkan dengan pemberian per oral selama 7 – 10 hari. Bila diduga penyebab
pneumonia adalah S. Aureus, kloksasilin dapat segera diberikan. Bila alergi terhadap
penisilin dapat diberikan cefazolin, klindamisin, atau vancomycin. Lama pengobatan
untuk stafilokokkus adalah 3 – 4 minggu.
L. Pencegahan
Penyakit bronkopneumonia dapat dicegah dengan menghindari kontak dengan
penderita atau mengobati secara dini penyakit-penyakit yang dapat menyebabkan
terjadinya bronkopneumonia ini. Selain itu hal-hal yang dapat dilakukan adalah
dengan meningkatkan daya tahan tubuh terhadap berbagai penyakit saluran nafas
seperti: cara hidup sehat, makan makanan bergizi dan teratur ,menjaga
kebersihan ,beristirahat yang cukup, rajin berolahraga, dll.
Melakukan vaksinasi juga diharapkan dapat mengurangi kemungkinan
terinfeksi antara lain:
1. vaksin PCV (imunisasi IPD) untuk mencegah infeksi pneumokokkus (Invasive
Pneumococcal diseases, IPD). vaksin PCV yang sudah tersedia adalah PCV-7 dan
PCV-10. PCV 13 belum tersedia di Indonesia
2. vaksin Hib untuk mencegah infeksi Haemophilus Influenzae tipe b
3. vaksin DPT untuk mencegah infeksi difteria dan pertusis
4. vaksin campak dan MMR untuk mencegah campak
5. vaksin influenza untuk mencegah influenza
M. Komplikasi
Bila bronkopneumonia tidak ditangani secara tepat, maka komplikasinya
adalah sebagai berikut:
Otitis media akut (OMA): Terjadi bila tidak diobati, maka sputum yang berlebihan
akan masuk ke dalam tuba eustachius, sehingga menghalangi masuknya udara ke
telinga tengah dan mengakibatkan hampa udara, kemudian gendang telinga akan
tertarik kedalam dan timbul efusi.
Atelektasis adalah pengembangan paru-paru yang tidak sempurna atau kolaps
paru.
Efusi pleura.
Emfisema adalah suatu keadaan dimana terkumpulnya nanah dalam rongga pleura
terdapat di satu tempat atau seluruh rongga pleura.
Meningitis yaitu infeksi yang menyerang selaput otak.
Abses paru adalah pengumpulan pus dalam jaringan paru yang meradang.
Endokarditis bakterial yaitu peradangan pada katup endokardial.
Pleuritis karena bakteri piogenik: permukaan pleura dapat ditempeli oleh bakteri
yang berasal dari jaringan parenkim paru dan menjalar secara hematogen. Bakteri
penyebab dapat merupakan bakteri aerob maupun anaerob (Streptococcus
paeumonie, Staphylococcus aureus, Pseudomonas, Hemophillus, E. Coli,
Pseudomonas, Bakteriodes, Fusobakterium, dan lain-lain). Penatalaksanaan
dilakukan dengan pemberian antibotika ampicillin dan metronidazol serta
mengalirkan cairan infus yang terinfeksi keluar dari rongga pleura.
Pleuritis tuberkulosa merupakan komplikasi yang paling banyak terjadi melalui
focus subpleural yang robek atau melalui aliran getah bening, dapat juga secara
hemaogen dan menimbulkan efusi pleura bilateral. Timbulnya cairan efusi
disebabkan oleh rupturnya focus subpleural dari jaringan nekrosis perkijuan,
sehingga tuberkuloprotein yang ada didalamnya masuk ke rongga pleura,
menimbukan reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Efusi yang disebabkan oleh TBC
biasanya unilateral pada hemithoraks kiri dan jarang yang masif. Pada pasien
pleuritis tuberculosis ditemukan gejala febris, penurunan berat badan, dyspneu,
dan nyeri dada pleuritik.
Efusi parapneumoni adalah efusi pleura yang menyertai pneumonia bakteri, abses
paru atau bronkiektasis. Khas dari penyakit ini adalah dijumpai predominan sel-
sel PMN dan pada beberapa penderita cairannya berwarna purulen (empiema).
Meskipun pada beberapa kasus efusi parapneumonik ini dapat diresorpsis oleh
antibiotik, namun drainage kadang diperlukan pada empiema dan efusi pleura
yang terlokalisir. Menurut Light, terdapat 4 indikasi untuk dilakukannya tube
thoracostomy pada pasien dengan efusi parapneumonik:
o Adanya pus yang terlihat secara makroskopik di dalam kavum pleura
o Mikroorganisme terlihat dengan pewarnaan gram pada cairan pleura
o Kadar glukosa cairan pleura kurang dari 50 mg/dl
o Nilai pH cairan pleura dibawah 7,00 dan 0,15 unit lebih rendah daripada nilai
pH bakteri.
o Penanganan keadaan ini tidak boleh terlambat karena efusi parapneumonik
yang mengalir bebas dapat berkumpul hanya dalam waktu beberapa jam saja.
N. Prognosis
Dengan penggunaan antibiotik yang tepat dan cukup, mortalitas dapat
diturunkan sampai kurang dari 1 %. Anak dalam keadaan malnutrisi energi protein
dan yang datang terlambat menunjukkan mortalitas yang lebih tinggi. Pada
bronkopneumonia yang disebabkan oleh Staphylococcus aureus, angka kesembuhan
penderita mengalami kemajuan besar dengan penatalaksanaan sekarang, angka
mortalitas berkisar dari 10 – 30% dan bervariasi dengan lamanya sakit yang dialami
sebelum penderita dirawat, umur penderita, pengobatan yang memadai serta adanya
penyakit yang menyertai.
BAB III
KASUS
A. Identitas
Nama: Tn. YD
Umur: 68 tahun
Agama: Islam
Pekerjaan: buruh
Alamat: Ambarketawang, Gamping, Sleman
Pendidikan: SD
Perkawinan: Duda
Jenis Kelamin: Laki-laki
B. Anamnesis
Keluhan Utama: Batuk dengan demam yang tak kunjung turun disertai
menggigil
RPS: OS pertama kali datang ke IGD diantar keluarga dengan keluhan badan
panas disertai menggigil sejak 4 hari SMRS. Panas naik turun, sudah kontrol
ke dokter dan diberi obat tapi keluhan menetap. Keluhan lain: pusing (+),
batuk pilek (-), mual (+), muntah (-), badan sakit semua, diare (-), BAK dan
BAB tidak ada keluhan, lemas, anoreksia.
RPD: riwayat ISK, HT grade I tak terkontrol, vertigo, penyakit jantung.
Riwayat DM dan asma disangkal. Riwayat sakit dan batuk lama disangkal.
RPK: keluhan serupa seperti OS disangkal. Riwayat HT (+). Riwayat DM,
penyakit jantung, asma disangkal
Riw Sosial: OS perokok aktif 1 – 2 bungkus per hari, bekerja sebagai buruh
dengan tingkat polutan sedang – tinggi (buruh mebel, tidak pakai masker)
C. Pemeriksaan Fisik
KU: lemah sadar penuh
Vital Sign: TD: 180/95; T: 37,5°C – 39°C; N: 92 x/m; RR: 28 x/m
Pem Kepala: Pupil isokor, Konjungtiva pink, sklera (-/-), mukosa basah
Pem Leher: dbn
Pem. Thorax: jantung S1 – S2 regular, paru simetris, sonor (+/+), vesikuler
(+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Pem. Abdomen: supel, peristaltik (+), NTE (+)
Pem. Extrimititas: Akral hangat, CRT < 2 detik, kulit normal
D. Follow Up
Pada tanggal 30 Oktober 2013, 1 hari setelah mondok, OS mengeluh nyeri
perut bawah. Pemeriksaan fisik: NTE (+), nyeri tekan suprapubik, peristaltik
meningkat
31 Oktober 2013: OS masih demam dan menggigil, muntah (-), batuk (+),
lemas, pusing, nyeri perut, BAK seperti teh dan sedikit
1 November 2013: OS masih menggigil, batuk (+), pusing, lemas, anorexia
2 November 2013: OS masih demam menggigil, batuk (+) tidak berdahak.
Pemeriksaan fisik: abdomen: hepatomegaly, NTE (+).
3 November 2013: TD: 160/80
4 November 2013: masih demam, batuk berdahak. Pukul 17.30 Pulang APS
E. Pemeriksaan Penunjang
Hematologi 25Oktober 2013
Hb: 13 AL: 10,8 *
Hitung Jenis Lekosit
o Basofil: 0
o Eosinofil: 1
o Netrofil Segmen: 87 *
o Limfosit: 11 *
o Monosit: 1 *
Eritrosit: 4,46
Hematokrit: 41
MCV: 96,6
MCH: 29,1
MCHC: 30,2
Trombosit: 198
Hematologi 29 Oktober 2013
Hb: 12,3
AL: 13,2 *
Hitung Jenis Lekosit
o Basofil: 0
o Eosinofil: 0
o Netrofil Segmen: 77 *
o Limfosit: 16 *
o Monosit: 7
Eritrosit: 4,17 *
Hematokrit: 39
MCV: 94,5
MCH: 29,5
MCHC: 31,2 *
Trombosit: 181
Pemeriksaan 29 Oktober 2013
Salmonella typhi/paratyphi O/AO/BO/H/AH/BH negatif
GDS 123
SGOT/SGPT: 28/26
Pemeriksaan 31 Oktober 2013
Lekosit 11,1
Urinalisis: Warna kuning keruh, protein +2, nitrit/bakteri (+), lekosit gelap 40 – 60
*, lekosit pucat 10 – 15 *, eritrosit sedimen 10 – 15 *, epitel dan silinder granular
(+)
Pemeriksaan 31 Oktober 2013 – 1 November 2013
Malaria: tidak ditemukan
Pemeriksaan 2 November 2013
Lekosit: 17,6 (4-10)
Pemeriksaan 4 November 2013
Lekosit 7,5
Albumin 3,3 *
Ureum 26
Kreatinin 1,0
Asam urat 6,4
Pemeriksaan 3 November 2013: BTA negatif (1)
Pemeriksaan 4 November 2013: BTA negatif (2)
Foto Polos Thorax
Foto thorax 29 Oktober 2013 (Kiri): cardiomegali dengan pulmo dbn
Foto thorax 2 November 2013 (Kanan dan Bawah)
o Opasitas inhomogen di kedua pulmo terutama paracardial dextra
o Opasitas homogen di aspek laterobasal, hemithorax bilateral, terutama sinistra
o Cor: tak valid dinilai, batas sinistra tak tampak jelas
o Elongatio aorta dan kalsifikasi arcus aorta
o Kesan: bronchopneumonia dengan efusi pleura bilateral terutama sinistra; cor
tak valid dinilai
USG Abdomen 2 November 2013
Hepar: Echostruktur normal, IHBD tak prominen, tak tampak massa
VF: dinding licin, tak tampak batu/massa/sludge
Pancreas: echostruktur normal, tak tampak massa
Lien: echostruktur normal, tak tampak massa
Ren dextra et sinistra: echostruktur normal, SPC tak melebar. tak tampak
massa/batu
VU: terisi cairan optimal, dinding licin, tak tampak massa/batu
Prostat: Ukuran 4,15 x 3,63 x 3,90 cm, perkiraan volume prostat KL 30,8 cm3,
echostruktur homogen, dengan bayangan hiperechoic di parenkim prostat.
Tampak bayangan free fluid di cavum pleura dextra et sinistra
Kesan: Suspek efusi pleura bilateral, suspek hipertrofi prostat dengan kalsifikasi,
tak tampak kelainan pada organ-organ lain
F. Diagnosis Banding
Observasi febris DD: tifoid, malaria
ISK
Observasi batuk dengan efusi pleura, suspek pleuritis TB
BPH
CHF
Bronkopneumonia dengan efusi pleura bilateral, suspek pleuropneumonia
Pneumonia Nosokomial
G. Tatalaksana dan Terapi
Usulan kultur sputum, USG thorax + marker (dari Sp. P)
Sistenol 3 x 1
Vomcetron 2 x 4 mg
Levoflocacin 1 x 500 mg
Ranitidin 1 A
Antrain k/p
Ceftriaxone 2 x 2 gr
Azitromicyn 1 x 500 mg
Levoprant 3 x 1
Inhalasi: farbivent/flexotide
RL
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada kasus ini, pasien adalah seorang laki-laki 68 tahun, beragama Islam,
pekerjaan sehari-hari sebagai buruh mebel, pendidikan terakhir pasien adalah SD, dan
pasien menyandang status pernikahan sebagai seorang duda.
Empat hari sebelum mondok di rumah sakit, pasien berkunjung ke poli IGD
PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II dengan keluhan utama berupa badan panas
disertai menggigil sejak pagi harinya. Panas dirasa muncul mendadak, suhu dirasa
tinggi, ditambah kepala pusing dan nyeri di seluruh tubuh. Batuk pilek, muntah, diare
disangkal oleh pasien. Diketahui bahwa pasien memiiki riwayat hipertensi grade II.
Dilakukan pemeriksaan fisik, diperoleh vesikuler paru (+/+) normal, bising usung (+)
normal. Dilakukan juga pengambilan darah untuk pemeriksaan hematologi dan
diperoleh angka lekosit meningkat sedikit di kisaran 10.800. Dari pemeriksaan yang
telah dilakukan, diagnosis sementara dokter adalah observasi febris hari I, pasien
diresepkan cefixime (antibiotik), doloneurobion (vitamin), amlodipine (anti
hipertensi), dan analsix (analgesik antipiretik), serta pasien disarankan untuk segera
kembali ke IGD bila 3 hari pengobatan ke depan kesehatan tak kunjung membaik.
Dua hari kemudian, yaitu pada tanggal 27 Oktober 2013, pasien kembali
berkunjung ke IGD karena keluhan menetap, namun di IGD pasien hanya diberikan
tindakan berupa injeksi antrain dan resep sistenol, lalu pasien dipulangkan dan
diagnosis masih observasi febris hari III.
Pada tanggal 29 Oktober 2013 pagi harinya, pasien diantar keluarga ke IGD
RS dengan keluhan yang sama yaitu demam disertai menggigil, pusing mual, lemas,
dan hilang nafsu makan. Pemeriksaan fisik diperoleh vesikuler paru (+/+) normal,
tidak terdengar ronkhi dan wheezing, peristaltic usus (+) normal dan nyeri tekan
epigastrik (+). Diagnosis dari IGD yaitu observasi febris hari IV. Pasien disarankan
untuk mondok dan pasien menyetujuinya.
Selama empat hari tersebut pasien tak kunjung membaik keadaannya walau
sudah diberi obat dan istirahat yang cukup, dan dilihat dari pemeriksaan laboratorium
diperoleh angka lekosit yang semakin meningkat, di sini ada indikasi bahwa pasien
terinfeksi oleh agen bakteri, sehingga perlu diberi terapi antibiotic terlebih dahulu
sambil mencari penyebab dari infeksi tersebut. Pasien telah diperiksa darah dan
diperoleh Salmonella typhi/paratyphi O/AO/BO/H/AH/BH negatif sehingga diagnosis
demam thypoid dapat disingkirkan. Pasien juga dicek apakah terinfeksi malaria,
namun hasil pemeriksaan menyatakan negatif. Lalu pasien dicek analisis urinnya, dan
diperoleh hasil mengarah pada suatu infeksi saluran kencing.
Namun, semakin hari angka lekosit semakin tinggi, dan pasien mengeluh
batuk yang awalnya tak berdahak lalu menjadi berdahak di rumah sakit. Tak hanya
itu, pasien mengeluh nyeri pada daerah perut, sehingga dilakukan USG abdomen dan
diperoleh gambaran efusi pleura dan hipertrofi prostat. Sebelumnya pada tanggal 29
Oktober 2013 juga sudah dilakukan foto polos thorax dengan hasil kardiomegali
dengan pulmo dalam batas normal. Bila dibandingkan foto polos thorax dan USG
abdomen, kita dapat beranggapan bahwa telah terjadi perburukan status kesehatan
pasien yang sebelumnya paru dalam batas normal namun kemudian muncul efusi
pleura sehingga perlu dilakukan pemeriksaan foto polos thorax ulangan dan hasilnya
pun mengarah pada bronkopneumonia dengan efusi pleura bilateral.
Perlu dicatat mengapa bisa muncul bronkopneumonia dan efusi pleura saat
pengobatan/perawatan pasien di rumah sakit, dan kita bisa menaruh curiga bahwa
telah terjadi pneumonia nosocomial yang disebabkan kurang bersihnya/steril
lingkungan di rumah sakit terkait dalam perawatan terhadap pasien. Oleh karena itu,
perlu dilakukan skrining di rumah sakit apakah benar telah terjadi infeksi nosocomial
atau tidak.
Pasien pada kasus ini mempunyai banyak keluhan, seperti demam disertai
menggigil, batuk, nyeri pada abdomen, hasil foto thorax dan USG yang mengarah
pada cardiomegaly (CHF), BPH, dan bronkopneumonia sehingga perlu penanganan
yang komprehensif dan holistic. Penanganan untuk gejala infeksi seperti demam,
batuk dan mengarah pada bronkopneumonia diprioritaskan. Disarankan untuk
dilakukan kultur untuk memastikan bakteri apa yang menginfeksi pasien sambil tetap
memberikan antibiotic dan pengobatan terbaik untuk pasien. Namun sayang pasien
meminta pulang atas permintaan sendiri setelah dirawat sekitar satu minggu, mungkin
saja karena pengobatan yang terlalu lama tapi hasil pengobatan yang kurang
memuaskan bisa menjadi alasan pasien untuk pulang. Dari kasus ini, dapat menjadi
pengalaman yang berharga dalam penanganan pasien secara cepat, tepat, dan
bermanfaat.
BAB V
REFERENSI
Pusponegoro HD, dkk. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Ikatan Dokter
Anak Indonesia: Jakarta. 2004.
Hasan R, dkk. Ilmu Kesehatan Anak. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia:
Jakarta. 2002.
Mansjoer A, dkk. Kapita Selekta Kedokteran. Media Aesculapius Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta. 2000.
Behrman RE, Kliegman R, Arvin AM. Nelson Ilmu Kesehatan Anak. EGC:
Jakarta. 2000.
Price SA, Wilson LM, 1995, Pathophysiology: Clinical Concepts of Disease
Processes (Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Prose Penyakit), Edisi 4, Penerbit
EGC, Jakarta, hal: 709-712.
Behrman RE, Vaughan VC, 1992, Nelson Ilmu Kesehatan Anak, Bagian II, Edisi
12, Penerbit EGC, Jakarta, hal: 617-628.
Sherwood L. Sistem Pernafasan. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi ke 2.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2001.
Reinhard V. Putz, Reinhard Pabst. Atlas Anatomi Manusia Sobotta Jilid 2. Edisi
ke 21. Jakarta: Buku Kedokteran EGC; 2000.