PRESENTASI KASUS
-
Upload
gagah-bp-ydbda -
Category
Documents
-
view
99 -
download
0
Transcript of PRESENTASI KASUS
PRESENTASI KASUS
KARSINOMA NASOFARING
Disusun untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti
Ujian Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu THT
Rumah Sakit Umum Daerah Saras Husada Purworejo
Disusun oleh:
Retno Puspitaningtyas 20060310142
Diajukan kepada:
dr. Tolkha Amaruddin, Sp.THT
SMF THT RSUD SARAS HUSADA PURWOREJO
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2011
HALAMAN PENGESAHAN
KARSINOMA NASOFARING
Disusun oleh:
Retno Puspitaningtyas 20060310142
Disetujui dan disahkan pada tanggal: November 2011
Dokter Pembimbing
dr. Tolkha Amaruddin, Sp.THT
SMF THT RSUD SARAS HUSADA PURWOREJO
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2011
PRESENTASI KASUS
IDENTITAS
Nama Penderita : Nn. MN
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 17 tahun
Tanggal Masuk RS : 14 November 2011
Bangsal Perawatan : Anggrek
ANAMNESIS
Keluhan Utama
Pasien konsulan dari UPD dengan benjolan di leher suspek Ca. Nasofaring
Keluhan Tambahan
Bola mata kiri tidak bisa bergerak ke samping (melirik)
Riwayat Penyakit Sekarang
3 bulan SMRS pasien merasakan benjolan di leher sebelah kiri. Benjolan terasa keras,
tidak nyeri, dan makin besar.
Riwayat Penyakit Dahulu
Batuk-pilek lama (-), mimisan (-),TBC (-), alergi (-).
Riwayat operasi di hidung (+)
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada anggota keluarga yang mengalami sakit serupa.
Anamnesis Sistem
Cerebrospinal : Sadar (+), sering pusing (+).
Cardiovaskuler : Nyeri dada (-), berdebar-debar (-).
Respiratorus : Sesak nafas (-), batuk (-), dahak (-), pilek (-).
Gastrointestinal : Nyeri perut (-), mual (-), muntah (-), BAB (-) normal,
makan (-), minum (-).
Urogenital : Nyeri berkemih (-), BAK (+) normal.
Integumentum : Tidak terdapat keluhan.
Muskuloskeletal : Tidak terdapat keluhan.
PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum
Tampak seorang wanita sesuai umur, wajah dan mata asimetris
Kesadaran : Sadar penuh (compos mentis)
Tanda Vital
Tekanan Darah : 110/70 mmHg
Nadi : 72 x/menit
Respirasi : 16 x/ menit
Suhu : afebris
Status Generalis
Kepala
Bentuk : normocephal
Wajah : asimetris
Mata : conjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-), edema palpebra (-/-),
ptosis palpebra (-/-), pupil isokhor (+/+), paralisis N. VI
Telinga : discharge (-/-), deformitas (-/-)
Hidung : napas cuping hidung (-), discharge (-/-), deformitas (-)
Leher
Peningkatan JVP (-), pembesaran lnn (+), kelenjar tiroid tidak teraba, massa di leher
sebelah kiri, keras, terfiksir, tidak benjol-benjol, ukuran
Dada (paru)
Inspeksi : simetris (ka=ki), retraksi (-/-)
Palpasi : vocal fremitus (ka=ki), pembesaran limfonodi axilaris (-/-)
Perkusi : sonor (+/+)
Auskultasi : SD vesikuler (ka=ki),
ST ronkhi basah (-/-), wheezing (-)
Dada (jantung)
Inspeksi : Ictus cordis tampak di SIC V lateral LMC
Palpasi : Ictus cordis teraba di SIC V lateral LMC
Perkusi : batas kanan atas di SIC II LPS dextra
batas kiri atas di SIC II LPS sinistra
batas kanan bawah di SIC V LPS dextra
batas kiri bawah di SIC V LMC
Auskultasi : S1>S2 reguler, gallop (-), bising (-)
Perut
Inspeksi : datar, jejas (-)
Auskultasi : peristaltik (+) normal
Perkusi : timpani di keempat kuadran (+), pekak beralih (-)
Palpasi : supel, NT (-), undulasi (-), hepar dan lien tidak teraba
Alat gerak
Superior : hangat (+/+), edema (-/-), sianosis (-/-), deformitas (-/-)
Inferior : hangat (+/+), edema (-/-), sianosis (-/-), deformitas (-/-)
DIAGNOSIS BANDING
Karsinoma nasofaring
Tumor kelenjar parotis
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium
AL 26.7 103/µL
AE 3.97 106/ µL
Hb 10.3 g/dL
Hct 30.9 %
AT 408 103/ µL
GDS 100 mg/dl
Ureum 18 mg/dl
Creatinin 0.61 mg/dl
SGOT 26 U/L
SGPT 14 U/L
HBsAg negatif
Urinalisa
Warna kuning
Kejernihan jernih
BJ 1.005
pH 6
Eritrosit (+)
Sel epitel (+)
Leukosit 2-4 /LPB
Eritrosit 8-10 /LPB
Histopatologi
Makroskopik : Jaringan ± 0.3 c, putih kecoklatan, kenyal
Mikroskopik : Sediaan menunjukkan jaringan tumor epitelial, tersusun solid, infiltratif.
Sel atipi, polimorfi, sebagian hiperkromasi. Inti bulat, oval, spindel,
vesikuler, sebagian anak inti jelas. Di antaranya terdapat infiltrasi sel
limfosit.
Kesimpulan : Undifferentiated Ca (WHO tipe II)
DIAGNOSIS KERJA
Karsinoma Nasofaring T4N3M0
TERAPI
Kemoterapi dengan Cisplatin dan 5 FU Menolak
PROGNOSIS
Dubia ad malam
TINJAUAN PUSTAKA
KARSINOMA NASOFARING
DEFINISI
GEJALA DAN TANDA
1. Nasal sign
Pilek lama yang tidak sembuh.
Epistaksis
Keluarnya darah ini biasanya berulang-ulang, jumlahnya sedikit dan seringkali
bercampur dengan ingus, sehingga berwarna merah jambu.
Ingus dapat seperti nanah, encer atau kental dan berbau.
2. Ear sign
Tinitus
Tumor menekan muara tuba eustachius sehingga terjadi oklusi tuba, karena
muara tuba eustachius dekat dengan fosa rosenmulleri. Tekanan dalam kavum
timpani menjadi menurun sehingga terjadi tinitus.
Gangguan pendengaran hantaran.
Rasa tidak nyaman di telinga sampai rasa nyeri di telinga (otalgia).
3. Eye sign
Diplopia.
Tumor merayap masuk foramen laseratum dan menimbulkan gangguan N. IV
dan N. VI. Bila terkena chiasma opticus akan menimbulkan kebutaan.
4. Tumor sign
Pembesaran kelenjar limfoid leher ini merupakan penyebaran atau metastase
dekat secara limfogen dari karsinoma nasofaring.
5. Cranial sign
Gejala kranial terjadi bila tumor sudah meluas ke otak dan dirasakan pada penderita.
Gejala ini berupa:
Sakit kepala yang terus menerus, rasa sakit ini merupakan metastase secara
hematogen.
Sensitibilitas derah pipi dan hidung berkurang.
Kesukaran pada waktu menelan.
Afoni.
Sindrom Jugular Jackson atau sindroma reptroparotidean mengenai N. IX, N.
X, N. XI, N. XII. Dengan tanda-tanda kelumpuhan pada:
o Lidah
o Palatum
o Faring atau laring
o M. sternocleidomastoideus
o M. trapezeus
PATOFISIOLOGI KARSINOMA NASOFARING
Virus Epstein Barr (EBV) merupakan virus DNA yang memiliki kapsid icosahedral
dan termasuk dalam famili Herpesviridae. Infeksi EBV dapat berasosiasi dengan beberapa
penyakit seperti limfoma Burkitt, limfoma sel T, mononukleosis, dan karsinoma nasofaring
(KNF). KNF merupakan tumor ganas yang terjadi pada sel epitel di daerah nasofaring yaitu
pada daerah cekungan Rosenmuelleri dan tempat bermuara saluran eustachius. Banyak
faktor yang diduga berhubungan dengan KNF, yaitu:
1) Virus Epstein-Barr
Virus Epstein-Barr bereplikasi dalam sel-sel epitel dan menjadi laten dalam
limfosit B. Infeksi virus epstein-barr terjadi pada dua tempat utama yaitu sel epitel
kelenjar saliva dan sel limfosit. EBV memulai infeksi pada limfosit B dengan cara
berikatan dengan reseptor virus, yaitu komponen komplemen C3d (CD21 atau CR2).
Glikoprotein (gp350/220) pada kapsul EBV berikatan dengan protein CD21
dipermukaan limfosit B3. Aktivitas ini merupakan rangkaian yang berantai dimulai
dari masuknya EBV ke dalam DNA limfosit B dan selanjutnya menyebabkan limfosit
B menjadi immortal. Sementara itu, sampai saat ini mekanisme masuknya EBV ke
dalam sel epitel nasofaring belum dapat dijelaskan dengan pasti.Namun demikian, ada
dua reseptor yang diduga berperan dalam masuknya EBV ke dalam sel epitel
nasofaring yaitu CR2 dan PIGR (Polimeric Immunogloblin Receptor).Sel yang
terinfeksi oleh virus epstein-barr dapat menimbulkan beberapa kemungkinan yaitu :
sel menjadi mati bila terinfeksi dengan virus epstein-barr dan virus mengadakan
replikasi, atau virus epstein- barr yang meninfeksi sel dapat mengakibatkan kematian
virus sehingga sel kembali menjadi normal atau dapat terjadi transformasi sel yaitu
interaksi antara sel dan virus sehingga mengakibatkan terjadinya perubahan sifat sel
sehingga terjadi transformsi sel menjadi ganas sehingga terbentuk sel kanker.
Gen EBV yang diekspresikan pada penderita KNF adalah gen laten, yaitu
EBERs, EBNA1, LMP1, LMP2A dan LMP2B. Protein EBNA1 berperan dalam
mempertahankan virus pada infeksi laten. Protein transmembran LMP2A dan LMP2B
menghambat sinyal tyrosine kinase yang dipercaya dapat menghambat siklus litik
virus.Diantara gen-gen tersebut, gen yang paling berperan dalam transformasi sel
adalah gen LMP1. Struktur protein LMP1 terdiri atas 368 asam amino yang terbagi
menjadi 20 asam amino pada ujung N, 6 segmen protein transmembran (166 asam
amino) dan 200 asam amino pada ujung karboksi (C). Protein transmembran LMP1
menjadi perantara untuk sinyal TNF (tumor necrosis factor) dan meningkatkan
regulasi sitokin IL-10 yang memproliferasi sel B dan menghambat respon imun lokal.
2) Genetik
Walaupun karsinoma nasofaring tidak termasuk tumor genetic, tetapi
kerentanan terhadap karsinoma nasofaring pada kelompok masyarakat tertentu
relative menonjol dan memiliki agregasi familial.Analisis korelasi menunjukkan gen
HLA (human leukocyte antigen) dan gen pengode enzim sitokrom p450 2E1
(CYP2E1) kemungkinan adalah gen kerentanan terhadap karsinoma nasofaring.
Sitokrom p450 2E1 bertanggung jawab atas aktivasi metabolik yang terkait
nitrosamine dan karsinogen
3) Faktor lingkungan
Sejumlah besar studi kasus yang dilakukan pada populasi yang berada di
berbagai daerah di asia dan america utara, telah dikonfirmasikan bahwa ikan asin dan
makanan lain yang awetkan mengandung sejumlah besar nitrosodimethyamine
(NDMA), N-nitrospurrolidene (NPYR) dan nitrospiperidine (NPIP ) yang mungkin
merupakan faktor karsinogenik karsinoma nasofaring. Selain itu merokok dan
perokok pasif yg terkena paparan asap rokok yang mengandung formaldehide dan
yang tepapar debu kayu diakui faktor risiko karsinoma nasofaring dengan cara
mengaktifkan kembali infeksi dari EBV.
DIAGNOSIS
Jika ditemukan adanya kecurigaan yang mengarah pada suatu karsinoma nasofaring,
protokol di bawah ini dapat membantu untuk menegakkan diagnosis pasti serta stadium
tumor:
1. Anamnesis
Anamnesis berdasarkan keluhan yang dirasakan pasien (tanda dan gejala KNF)
2. Pemeriksaan nasofaring
Dengan menggunakan kaca nasofaring atau dengan nasofaringoskop
3. Biopsi nasofaring
Diagnosis pasti dari KNF ditentukan dengan diagnosis klinik ditunjang dengan
diagnosis histologik atau sitologik. Diagnosis histologik atau sitologik dapat
ditegakan bila dikirim suatu material hasil biopsy cucian, hisapan (aspirasi), atau
sikatan (brush), biopsi dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu dari hidung atau dari
mulut. Biopsi tumor nasofaring umunya dilakukan dengan anestesi topikal dengan
xylocain 10%.
Biopsi melalui hidung dilakukan tanpa melihat jelas tumornya (blind biopsy).
Cunam biopsi dimasukan melalui rongga hidung menyelusuri konka media ke
nasofaring kemudian cunam diarahkan ke lateral dan dilakukan biopsi.
Biopsi melalui mulut dengan memakai bantuan kateter nelaton yang
dimasukan melalui hidung dan ujung kateter yang berada dalam mulut ditarik
keluar dan diklem bersama-sama ujung kateter yang di hidung. Demikian juga
kateter yang dari hidung disebelahnya, sehingga palatum mole tertarik ke
atas. Kemudian dengan kacalaring dilihat daerah nasofaring. biopsy dilakukan
dengan melihat tumor melalui kaca tersebut atau memakai nasofaringoskop
yang dimasukan melalui mulut, masaa tumor akan terlihat lebih jelas.
Bila dengan cara ini masih belum didapatkan hasil yang memuaskan mala dilakukan
pengerokan dengan kuret daerah lateral nasofaring dalam narcosi
s.
4. Pemeriksaan Patologi Anatomi
Klasifikasi gambaran histopatologi yang direkomendasikan oleh Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO) sebelum tahun 1991, dibagi atas 3 tipe, yaitu :
Karsinoma sel skuamosa berkeratinisasi (Keratinizing Squamous Cell
Carcinoma). Tipe ini dapat dibagi lagi menjadi diferensiasi baik, sedang dan
buruk.
Karsinoma non-keratinisasi (Non-keratinizing Carcinoma). Pada tipe ini
dijumpai adanya diferensiasi, tetapi tidak ada diferensiasi sel skuamosa tanpa
jembatan intersel. Pada umumnya batas sel cukup jelas.
Karsinoma tidak berdiferensiasi (Undifferentiated Carcinoma). Pada tipe ini
sel tumor secara individu memperlihatkan inti yang vesikuler, berbentuk oval
atau bulat dengan nukleoli yang jelas. Pada umumnya batas sel tidak terlihat
dengan jelas.
Tipe tanpa diferensiasi dan tanpa keratinisasi mempunyai sifat yang sama, yaitu
bersifat radiosensitif. Sedangkan jenis dengan keratinisasi tidak begitu radiosensitif.
Klasifikasi gambaran histopatologi terbaru yang direkomendasikan oleh WHO pada
tahun 1991, hanya dibagi atas 2 tipe, yaitu :
Karsinoma sel skuamosa berkeratinisasi (Keratinizing Squamous Cell
Carcinoma).
Karsinoma non-keratinisasi (Non-keratinizing Carcinoma). Tipe ini dapat
dibagi lagi menjadi berdiferensiasi dan tak berdiferensiasi.
5. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi pada kecurigaan KNF merupakan pemeriksaan penunjang
diagnostik yang penting. Tujuan utama pemeriksaan radiologis tersebut adalah:
Memberikan diagnosis yang lebih pasti pada kecurigaan adanya tumor pada
daerah nasofaring
Menentukan lokasi yang lebih tepat dari tumor tersebut
Mencari dan menetukan luasnya penyebaran tumor ke jaringan sekitarnya.
a) Foto polos
Ada beberapa posisi dengan foto polos yang perlu dibuat dalam mencari
kemungkina adanya tumor pada daerah nasofaring yaitu:
Posisi Lateral dengan teknik foto untuk jaringan lunak (soft tissue
technique)
Posisi Basis Kranii atau Submentoverteks
Tomogram Lateral daerha nasofaring
Tomogranm Antero-posterior daerah nasofaring
b) CT-Scan
Pada umunya KNF yang dapat dideteksi secara jelas dengan radiografi polos
adalah jika tumor tersebut cukup besar dan eksofitik, sedangkan bula kecil
mungkin tidak akan terdeteksi. Terlebih-lebih jika perluasan tumor adalah
submukosa, maka hal ini akan sukar dilihat dengan pemeriksaan radiografi
polos. Demikian pula jika penyebaran ke jaringan sekitarnya belum terlalu
luas akan terdapat kesukaran-kesukaran dalam mendeteksi hal tersebut.
Keunggulan CT-Scan dibandingkan dengan foto polos ialah kemampuanya
untuk membedakan bermacam-macam densitas pada daerah nasofaring, baik
itu pada jaringan lunak maupun perubahan-perubahan pada tulang, gengan
criteria tertentu dapat dinilai suatu tumor nasofaring yang masih kecil.Selain
itu dengan lebih akurat dapat dinilai pakah sudah ada perluasan tumor ke
jaringna sekitarnya, menilai ada tidaknya destruksi tulang serta ada tidaknya
penyebaran intracranial.
Ada beberapa posisi dengan foto polos yang perlu dibuat dalam mencari
kemungkina adanya tumor pada daerah nasofaring yaitu:
Posisi Lateral dengan teknik foto untuk jaringan lunak (soft tissue
technique)
Posisi Basis Kranii atau Submentoverteks
Tomogram Lateral daerha nasofaring
Tomogranm Antero-posterior daerah nasofaring
6. Pemeriksaan Neuro-oftalmologi
Karena nasofaring berhubungan dekat dengan rongga tengkorak melalui beberapa
lobang, amka gangguan beberapa saraf otak dapat terjadi sebagai gejala lanjut KNF
ini.
7. Pemeriksaan Serologi.
Pemeriksaan serologi IgA anti EA (early antigen) dan igA anti VCA (capsid antigen)
untuk infeksi virus E-B telah menunjukan kemajuan dalam mendeteksi karsinoma
nasofaring. Tjokro Setiyo dari FK UI Jakarta mendapatkan dari 41 pasien karsinoma
nasofaring stadium lanjut (stadium III dan IV) senstivitas IgA VCA adalah 97,5%
dan spesifitas 91,8% dengan titer berkisar antara 10 sampai 1280 dengan terbanyak
titer 160. IgA anti EA sensitivitasnya 100% tetapi spesifitasnya hanya 30,0%,
sehingga pemeriksaan ini hanya digunakan untuk menetukan prognosis pengobatan,
titer yang didpat berkisar antara 80 sampai 1280 dan terbanyak 160.
DIAGNOSIS BANDING
1. Hiperplasia adenoid
Biasanya terdapat pada anak-anak, jarnag pada orang dewasa, pada anak-anak
hyperplasia ini terjadi Karena infeksi berulang. Pada foto polos akan terlihat suatu
massa jaringna lunak pada aatap nasofaring umunya berbatas tegas dan umunya
simetris serta struktur-struktur sekitarnya tak tampak tanda- tanda infiltrasi seprti
tampak pada karsinoma.
2. Angiofibroma juenilis
Baisanya ditemui pada usia relative muda dengan gejala-gejala menyerupai
KNF. Tumor ini kaya akan pembuluh darah dan biasnya tidak infiltrative. Pada foto
polos akan didapat suatu massa pada atap nasofairng yang berbatas tegas. Proses
dapat meluas seperrti pada penyebaran karsinoma, walaupun jarang menimbulkan
destruksi tulang hanay erosi saja karena penekanan tumor. Biasanya ada
pelengkungan ke arah depan dari dinding belakang sinus maksilarisyang dikenals
ebgai antral sign. Karena tumor ini kaya akan vascular maka arterigrafi carotis
eksterna sangat diperlukan sebab gambaranya sangat karakteristik. Kadang-kadang
sulit pula membedakan angiofibroma juvenils dengan polip hidung pada foto polos.
3. Tumor sinus sphenooidalis
Tumor ganas primer sinus sphenoidalis adalah sangat jarang dan biasanya
tumor sudah sampai stadium agak lanjut waktu pasien dating untuk pemeriksaan
pertama.
4. Neurofibroma
Kelompok tumor ini sering timbul pada ruang faring lateral sehingga
menyerupai keganasan didnding lateral nasofaring.secara C.T. Scan, pendesakan
ruang para faring kea rah medial dapat membantu mebedakan kelompok tumor ini
dengan KNF.
5. Tumor kelenjarr parotis
Tumor kelenjar parotis terutama yang berasal dari lobus yang terletak agak
dalam mengenai ruang para faring dan menonjol kearah lumen nasofaring.pada
sebagian besar kasus terlihat pendesakan ruang parafaring kea rah medial yang
tampak pada pemeriksaan C.T.Scan.
6. Chordoma
Walaupun tanda utama chordoma adalah destruksi tulang, tetapi mengingat
KNF pun sering menimbulkan destruksi tulang, maka sering timbul kesulitan untuk
membedakanya.Dengan foto polos, dapat dilihat kalsifikasi atau destruksi terutama di
daerah clivus. CT dapat membantu ,elihat apakah ada pembesaran kelenjar cervical
bagian atas karena chordoma umunya tidak memperhatikan kelainan pada kelenjar
tersebuts edangkan KNF sering bermetastasis ke kelenjar getah bening.
7. Menigioma basis kranii
Walaupun tumor ini agak jarang tetapi gambaranya kadang-kadang meyerupai
KNF dengan tanda-tanda sklerotik pada daerah basis kranii. Ganbaran CT
meningioma cukup karakteristikk yaitu sedikit hiperdense sebelum penyuntikanzat
kontras dan akan menjadi sangat hiperdense setelah pemberian zat kontras intravena.
Pemeriksaan arteiografi juga sangat membantu diagnosis tumor ini.
STADIUM
Penentuan stadium yang terbaru berdasarkan atas kesepakatan antara UICC (Union
Internationale Contre Cancer) pada tahun 1992 adalah sebagai berikut :
T = Tumor, menggambarkan keadaan tumor primer, besar dan perluasannya.
T0 : Tidak tampak tumor
T1 : Tumor terbatas pada 1 lokasi di nasofaring
T2 : Tumor meluas lebih dari 1 lokasi, tetapi masih di dalam rongga nasofaring
T3 : Tumor meluas ke kavum nasi dan / atau orofaring
T4 : Tumor meluas ke tengkorak dan / sudah mengenai saraf otak
N = Nodul, menggambarkan keadaan kelenjar limfe regional
N0 : Tidak ada pembesaran kelenjar
N1 : Terdapat pembesaran kelenjar homolateral yang masih dapat digerakkan
N2 : Terdapat pembesaran kelenjar kontralateral / bilateral yang masih dapat
digerakkan
N3 : Terdapat pembesaran kelenjar baik homolateral, kontralateral atau bilateral, yang
sudah melekat pada jaringan sekitar.
M = Metastase, menggambarkan metastase jauh
M0 : Tidak ada metastase jauh
M1 : Terdapat metastase jauh.2,3,9-13
Berdasarkan TNM tersebut di atas, stadium penyakit dapat ditentukan :
Stadium I : T1 N0 M0
Stadium II : T2 N0 M0
Stadium III : T3 N0 M0
T1,T2,T3 N1 M0
Stadium IV : T4 N0,N1 M0
Tiap T N2,N3 M0
Tiap T Tiap N M12
Menurut American Joint Committee Cancer tahun 1988, tumor staging dari nasofaring
diklasifikasikan sebagai berikut:
Tis : Carcinoma in situ
T1 : Tumor yang terdapat pada satu sisi dari nasofaring atau tumor yang tak dapat
dilihat, tetapi hanya dapat diketahui dari hasil biopsi.
T2 : Tumor yang menyerang dua tempat, yaitu dinding postero-superior dan
dinding lateral.
T3 : Perluasan tumor sampai ke dalam rongga hidung atau orofaring.
T4 : Tumor yang menjalar ke tengkorak kepala atau menyerang saraf cranial
atau keduanya.
PROGNOSIS
Secara keseluruhan, angka bertahan hidup 5 tahun adalah 45 %.
KOMPLIKASI
1. Petrosphenoid sindrom
Tumor tumbuh ke atas ke dasar tengkorak lewat foramen laserum sampai sinus
kavernosus menekan saraf N. III, N. IV, N.VI juga menekan N.II.yang memberikan
kelainan :
Neuralgia trigeminus ( N. V ) : Trigeminal neuralgia merupakan suatu nyeri
pada wajah sesisi yang ditandai dengan rasa seperti terkena aliran listrik yang
terbatas pada daerah distribusi dari nervus trigeminus.
Ptosis palpebra ( N. III )
Ophthalmoplegia ( N. III, N. IV, N. VI )
2. Retroparidean sindrom
Tumor tumbuh ke depan kea rah rongga hidung kemudian dapat menginfiltrasi ke
sekitarnya. Tumor ke samping dan belakang menuju ke arah daerah parapharing dan
retropharing dimana ada kelenjar getah bening. Tumor ini menekan saraf N. IX, N. X,
N. XI, N. XII dengan manifestasi gejala :
N. IX : kesulitan menelan karena hemiparesis otot konstriktor superior serta
gangguan pengecapan pada sepertiga belakang lidah
N. X : hiper / hipoanestesi mukosa palatum mole, faring dan laring disertai
gangguan respirasi dan saliva
N XI : kelumpuhan / atrofi oto trapezius , otot SCM serta hemiparese palatum
mole
N. XII : hemiparalisis dan atrofi sebelah lidah.
Sindrom horner : kelumpuhan N. simpaticus servicalis, berupa penyempitan
fisura palpebralis, onoftalmus dan miosis.
3. Sel-sel kanker dapat ikut mengalir bersama getah bening atau darah, mengenaiorgan
tubuh yang letaknya jauh dari nasofaring. Yang sering adalah tulang, hati dan paru.
Hal ini merupakan hasil akhir dan prognosis yang buruk. Dalam penelitian lain
ditemukan bahwa karsinoma nasofaring dapat mengadakan metastase jauh, ke paru-
paru dan tulang, masing-masing 20 %, sedangkan ke hati 10 %, otak 4 %, ginjal 0.4
%, dan tiroid 0.4 %.
PENATALAKSANAAN
1. Radioterapi
Sampai saat ini radioterapi masih memegang peranan penting dalam penatalaksanaan
karsinoma nasofaring.Penatalaksanaan pertama untuk karsinoma nasofaring adalah
radioterapi dengan atau tanpa kemoterapi.
Sampai saaat ini pengobatan pilihan terhadap tumor ganas nasofaring adalah radiasi,
karena kebanyakan tumor ini tipe anaplastik yang bersifat radiosensitif. Radioterapi
dilakukan dengan radiasi eksterna, dapat menggunakan pesawat kobal (Co60 ) atau dengan
akselerator linier (Linier Accelerator atau linac). Radiasi ini ditujukan pada kanker primer
didaerah nasofaring dan ruang parafaringeal serta pada daerah aliran getah bening leher atas,
bawah seerta klasikula. Radiasi daerah getah bening ini tetap dilakukan sebagai tindakan
preventif sekalipun tidak dijumpai pembesaran kelenjar. Metode brakhiterapi, yakni dengan
memasukkan sumber radiasi ke dalam rongga nasofaring saat ini banyak digunakan guna
memberikan dosis maksimal pada tumor primer tetapi tidak menimbulkan cedera yang serius
pada jaringan sehat disekitarnya. Kombinasi ini diberikan pada kasus-kasus yang telah
memeperoleh dosis radiasi eksterna maksimum tetapi masih dijumpai sisa jaringan kanker
atau pada kasus kambuh lokal. Perkembangan teknologi pada dasawarsa terakhir telah
memungkinkan pemberian radiasi yang sangat terbatas pada daerah nasofaring dengan
menimbulkan efek samping sesedikit mungkin. Metode yang disebut sebagai IMRT
(Intersified Modulated Radiotion Therapy) telah digunakan di beberapa negara maju.
Prinsip pengobatan radiasi, inti sel dan plasma sel terdiri dari (1) RNA “Ribose
Nucleic Acid“ dan (2) DNA “ Desoxy Ribose Nucleic Acid “. DNA terutama terdapat paa
khromosom “ ionizing radiation “ menghambat metabolisme DNA dan menghentikan
aktifitas enzim nukleus. Akibatnya pada inti sel terjadi khromatolisis dan plasma sel menjadi
granular serta timbul vakuola-vakuola yang kahirnya berakibat sel akan mati dan menghilang.
Pada suatu keganasan ditandai oleh mitosis sel yang berlebihan; stadium profase mitosis
merupakan stadium yang paling rentan terhadap radiasi. Daerah nasofaring dan sekitarnya
yang meliputi fosa serebri media, koana, dan daerah parafaring sepertiga leher bagian atas.
Daerah-daerah lainnya yang dilindungi dengan blok timah. Arah penyinaran dari lateral
kanan dan kiri, kecuali bila ada penyerangan kerongga hidung dan sinus paranasal maka perlu
penambahan lapangan radiasi dari depan. Pada penderita dengan stadium yang masih
terbataas (T1,T2), maka luas lapangan radiasi harus diperkecil setelah dosis radiasi mencapai
4000 rad , terutama dari atas dan belakang untuk menghindari bagian susunan saraf pusat .
Dengan lapangan radiasi yang terbatas ini, radiasi dilanjutkan sampai mencapai dosis seluruh
antara 6000- 7000 rad . pada penderita dengan stadium T3 dan T4, luas lapangan radiasi tetap
dipertahankan sampai dosis 6000 rad. Lapangan diperkecil bila dosis akan ditingkatkan lagi
sampai sekitar 7000 rad. Daerah penyinaran kelenjar leher sampai fosa supraklavikula.
Apabila tidak ada metastasis kelenjar leher, maka radiasi daerah leher ini bersifat profilaktik
dengan dosis 4000 rad, sedangkan bila ada metastasis diberikan dosis yang sama dengan
dosis daerah tumor primer yaitu 6000 rad, atau lebih. Untuk menghindari gangguan
penyinaran terhadap medulla spinalis, laring dan esofagus, maka radiasi daerah leher dan
supraklavikula ini, sebaiknya diberikan dari arah depan dengan memakai blok timah di
daerah leher tengah.
Dosis radiasi
Dosis radiasi umumnya berkisar antara 6000 – 7000 rad, dalam waktu 6 – 7 minggu
dengan periode istirahat 2 – 3 minggu (“split dose”). Alat yang biasanya dipakai ialah “cobalt
60”, “megavoltage”orthovoltage”
Respon radiasi
Setelah diberikan radiasi, maka dilakukan evaluasi berupa respon terhadap radiasi.
Respon dinilai dari pengecilan kelenjar getah bening leher dan pengecilan tumor primer di
nasofaring. Penilaian respon radiasi berdasarkan kriteria WHO:
- Complete Response : menghilangkan seluruh kelenjar getah bening yang besar.
- Partial Response : pengecilan kelenjar getah bening sampai 50% atau lebih.
- No Change : ukuran kelenjar getah bening yang menetap.
- Progressive Disease : ukuran kelenjar getah bening membesar 25% atau lebih.
Komplikasi radioterapi dapat berupa:
a) Komplikasi dini
Biasanya terjadi selama atau beberapa minggu setelah radioterapi, seperti:
- Xerostomia, mual, muntah
- Mukositis (nyeri telan, mulut kering, dan hilangnya cita rasa) kadang
diperparah dengan infeksi jamur pada mukosa lidah dan palatum
- Anoreksi
- Xerostamia (kekeringan mukosa mulut akibat disfungsi kelenjar
parotis yang terkena radiasi)
- Eritema
b) Komplikasi lanjut
Biasanya terjadi setelah 1 tahun pemberian radioterapi, seperti :
- Kontraktur
- Penurunan pendengaran
- Gangguan pertumbuhan
Untuk menghindari efek samping semaksimal mungkin maka sebelum dan
selama pengobatan, bahkan setelah selesai terapi, pasien akan selalu diawasi oleh
dokter. Perawatan sebelum radiasi adalah dengan membenahi gigi geligi, memberikan
informasi kepada pasien mengenai metode pembersihan ruang mulut dan gigi secara
benar.Untuk mengurangi keluhan penderita juga dapat diberikan obat kumur yang
mengandung adstringens, misalnya bactidol, efisol, gargarisma diberikan 3-4 kali
sehari.Bila tampak tanda-tanda moniliasis diberikan antimikotik misalnya funfilin.
Pemberian obat-obatan yang mengandung anestesi local seperti FG troches bias
mengurangi keluhan nyeri telan. Untuk keluhan umum nausea, anorexia dan
sebgainya bisa diberikan obat-obatan simptomatik terhadap keluhan ini seperti
avomit, avopreg.
2. Kemoterapi
Kemoterapi sebagai terapi tambahan pada karsinoma nasofaring ternyata dapat
meningkatkan hasil terapi.Terutama diberikan pada stadium lanjut atau pada keadaan
kambuh.
Terapi adjuvan tidak dapat diberikan begitu saja tetapi memiliki indikasi yaitu bila
setelah mendapat terapi utamanya yang maksimal ternyata:
- kankernya masih ada, dimana biopsi masih positif
- kemungkinan besar kankernya masih ada, meskipun tidak ada bukti secara
makroskopis.
- pada tumor dengan derajat keganasan tinggi ( oleh karena tingginya resiko
kekambuhan dan metastasis jauh).
Berdasarkan saat pemberiannya kemoterapi adjuvan pada tumor ganas kepala leher
dibagi menjadi
1. neoadjuvant atau induction chemotherapy (yaitu pemberian kemoterapi mendahului
pembedahan dan radiasi)
2. concurrent, simultaneous atau concomitant chemoradiotherapy (diberikan
bersamaan dengan penyinaran atau operasi)
3. post definitive chemotherapy (sebagai terapi tambahan paska pembedahan dan atau
radiasi )
Efek Samping Kemoterapi
Agen kemoterapi tidak hanya menyerang sel tumor tapi juga sel normal yang
membelah secara cepat seperti sel rambut, sumsum tulang dan Sel pada traktus gastro
intestinal. Akibat yang timbul bisa berupa perdarahan, depresi sum-sum tulang yang
memudahkan terjadinya infeksi. Pada traktus gastro intestinal bisa terjadi mual,
muntah anoreksia dan ulserasi saluran cerna. Sedangkan pada sel rambut
mengakibatkan kerontokan rambut.Jaringan tubuh normal yang cepat proliferasi
misalnya sum-sum tulang, folikel rambut, mukosa saluran pencernaan mudah terkena
efek obat sitostatika. Untungnya sel kanker menjalani siklus lebih lama dari sel
normal, sehingga dapat lebih lama dipengaruhi oleh sitostatika dan sel normal lebih
cepat pulih dari pada sel kanker
Efek samping yang muncul pada jangka panjang adalah toksisitas terhadap
jantung, yang dapat dievaluasi dengan EKG dan toksisitas pada paru berupa kronik
fibrosis pada paru. Toksisitas pada hepar dan ginjal lebih sering terjadi dan sebaiknya
dievalusi fungsi faal hepar dan faal ginjalnya. Kelainan neurologi juga merupakan
salah satu efek samping pemberian kemoterapi.
Kemoradioterapi kombinasi adalah pemberian kemoterapi bersamaan dengan
radioterapi dalam rangka mengontrol tumor secara lokoregional dan meningkatkan
survival pasien dengan cara mengatasi sel kanker secara sistemik lewat
mikrosirkulasi.
Manfaat Kemoradioterapi:
1. Mengecilkan massa tumor, karena dengan mengecilkan tumor akan memberikan
hasil terapi radiasi lebih efektif. Telah diketahui bahwa pusat tumor terisi sel
hipoksik dan radioterapi konvensional tidak efektif jika tidak terdapat oksigen.
Pengurangan massa tumor akan menyebabkan pula berkurangnya jumlah sel
hipoksia.
2. Mengontrol metastasis jauh dan mengontrol mikrometastase.
3. Modifikasi melekul DNA oleh kemoterapi menyebabkan sel lebih sensitif
terhadap radiasi yang diberikan (radiosensitiser).
Terapi kombinasi ini selain bisa mengontrol sel tumor yang radioresisten, memiliki
manfaat juga untuk menghambat pertumbuhan kembali sel tumor yang sudah sempat terpapar
radiasi.
Kemoterapi neoajuvan dimaksudkan untuk mengurangi besarnya tumor sebelum
radioterapi. Pemberian kemoterapi neoadjuvan didasari atas pertimbangan vascular bed
tumor masih intak sehingga pencapaian obat menuju massa tumor masih baik. Disamping itu,
kemoterapi yang diberikan sejak dini dapat memberantas mikrometastasis sistemik seawal
mungkin. Kemoterapi neoadjuvan pada keganasan kepala leher stadium II – IV dilaporkan
overall response rate sebesar 80 %- 90 % dan CR ( Complete Response ) sekitar 50%.
Kemoterapi neoadjuvan yang diberikan sebelum terapi definitif berupa radiasi dapat
mempertahankan fungsi organ pada tempat tumbuhnya tumor (organ preservation).
Secara sinergi agen kemoterapi seperti Cisplatin mampu menghalangi perbaikan
kerusakan DNA akibat induksi radiasi. Sedangkan Hidroksiurea dan Paclitaxel dapat
memperpanjang durasi sel dalam keadaan fase sensitif terhadap radiasi.
Kemoterapi yang diberikan secara bersamaan dengan radioterapi (concurrent or
concomitant chemoradiotherapy ) dimaksud untuk mempertinggi manfaat radioterapi.
Dengan cara ini diharapkan dapat membunuh sel kanker yang sensitif terhadap kemoterapi
dan mengubah sel kanker yang radioresisten menjadi lebih sensitif terhadap radiasi.
Keuntungan kemoradioterapi adalah keduanya bekerja sinergistik yaitu mencegah resistensi,
membunuh subpopulasi sel kanker yang hipoksik dan menghambat recovery DNA pada sel
kanker yang sublethal.
Kelemahan Kemoradioterapi
Kelemahan cara ini adalah meningkatkan efek samping antara lain mukositis,
leukopeni dan infeksi berat. Efek samping yang terjadi dapat menyebabkan penundaan
sementara radioterapi. Toksisitas Kemoradioterapi dapat begitu besar sehingga berakibat
fatal.
Beberapa literatur menyatakan bahwa pemberian kemoterapi secara bersamaan
dengan radiasi dengan syarat dosis radiasi tidak terlalu berat dan jadwal pemberian tidak
diperpanjang, maka sebaiknya gunakan regimen kemoterapi yang sederhana sesuai jadwal
pemberian.
Untuk mengurangi efek samping dari kemoradioterapi diberikan kemoterapi tunggal (single
agent chemotherapy) dosis rendah dengan tujuan khusus untuk meningkatkan sensitivitas sel
kanker terhadap radioterapi (radiosensitizer). Sitostatika yang sering digunakan adalah
Cisplatin, 5-Fluorouracil dan MTX dengan response rate 15%-47%.
3. Operasi
Tindakan operasi pada penderita karsinoma nasofaring berupa diseksi leher radikal dan
nasofaringektomi.Diseksi leher dilakukan jika masih ada sisa kelenjar pasca radiasi atau
adanya kelenjar dengan syarat bahwa tumor primer sudah dinyatakan bersih yang dibuktikan
dengan pemeriksaan radiologik dan serologi. Nasofaringektomi merupakan suatu operasi
paliatif yang dilakukan pada kasus-kasus yang kambuh atau adanya residu pada nasofaring
yang tidak berhasil diterapi dengan cara lain.
4. Imunoterapi
Dengan diketahuinya kemungkinan penyebab dari karsinoma nasofaring adalah virus
Epstein-Barr, maka pada penderita karsinoma nasofaring dapat diberikan imunoterapi.
PEMBAHASAN
DAFTAR PUSTAKA