PRESENTASI KASUS 4

30
PRESENTASI KASUS 4 NEFROLITHIASIS Disusun oleh : Asep Tasrin Prasetya Pradana 1102007048 Cahya Dwi Lestari 1102009059 Santi Intansari 1102009260 PEMBIMBING : Dr. Herry Setya Yudha Utama, Sp.B, MH.Kes, FinaCs, ICS

Transcript of PRESENTASI KASUS 4

PRESENTASI KASUS 4

NEFROLITHIASIS

Disusun oleh :

Asep Tasrin Prasetya Pradana 1102007048

Cahya Dwi Lestari 1102009059

Santi Intansari 1102009260

PEMBIMBING :

Dr. Herry Setya Yudha Utama, Sp.B, MH.Kes, FinaCs, ICS

KEPANITERAAN KLINIK BEDAH

RSUD ARJAWINANGUN 2013

BAB I

A. IDENTITAS PASIEN Nama : Tn.. D Umur : 24 th Jenis kelamin : Laki-laki Pekerjaan : Pedagang Agama : Islam Alamat : Budur Tanggal masuk : 29 Juni 2013

B. ANAMNESISKeluhan Utama

Nyeri pada pinggang kananRiwayat Penyakit Sekarang

Sejak 8 jam sebelum masuk RS, pasien merasakan nyeri di pinggang kanan bagian belakang. Nyeri muncul mendadak, dirasakan seperti ditusuk, hilang timbul, dan dirasakan menjalar ke perut. Saat merasakan nyeri, pasien juga merasa mual dan sempat muntah sebanyak 3 kali. Badan pasien juga berkeringat bila rasa nyeri muncul.

Apabila pasien sedang buang air kecil pinggangnya terasa sakit. Tidak ada riwayat buang air kecil sedikit-sedikit dan tidak lampias. Hingga saat ini BAB dan buang angin pasien masih cukup baik dan lancar. Pasien juga mengatakan selama ini tidak pernah merasakan adanya benjolan pada perutnya. Tidak terdapat riwayat demam, gangguan buang air besar, maupun trauma pada punggung dan abdomen.

Riwayat Penyakit DahuluRiwayat batu ginjal 5 tahun SMRS.Riwayat darah tinggi dan kencing manis tidak ada.

Riwayat Penyakit KeluargaTidak ada anggota keluarga pasien yang menderita keluhan yang sama seperti pasien.

Riwayat KebiasaanPasien rata-rata mengkonsumsi 1 liter air mineral perhari. Makanan dan minuman

sehari-hari pasien adalah air putih, kopi, dan sayur-sayuran seperti bayam dan kangkung. Pasien tidak mengkonsumsi obat-obat tertentu.

C. PEMERIKSAAN FISIK1. STATUS GENERALIS

a. Keadaan Umum : Tampak sakit sedangb. Kesadaran : Compos mentisc. Tekanan Darah : 120/70 mmHgd. Frekuensi Napas : 24 x/menite. Frekuensi Nadi : 84 x/menitf. Suhu : 36,70C

2

g. KepalaNormosefali, rambut hitam, tersebar merata, tidak mudah dicabut.

h. MataKonjungtiva anemis -/-, sclera ikterik -/-

i. Hidung Bentuk normal, secret -/-, hiperemis -/-

j. TelingaBentuk normal, secret -/-

k. MulutOral hygiene baik, faring tidak hiperemis.

l. LeherTrakea ditengah tidak deviasi.

m. ThoraksParuInspeksi : pergerakan dada simetris saat statis dan dinamisPalpasi : vocal fremitus dan fremitus taktil kanan sama dengan kiri Perkusi : sonor di kedua lapang paruAuskultasi: suara napas vesikuler Kanan = Kiri, rhonki -/-, wheezing -/-JantungInspeksi : iktus kordis tidak tampakPalpasi : iktus kordis teraba pulsasiPerkusi :

Batas jantung kanan : ICS V linea parasternalis dekstraBatas jantung kiri : ICS V linea midclavicularis sinistra Pinggang jantung : ICS III linea parasternalis sinistra

Auskultasi : bunyi jantung I, II regular, murmur (-), gallop (-)n. Abdomen

Inspeksi : CembungPalpasi : Supel, nyeri tekan (-)Perkusi : Timpani di seluruh lapang abdomenAuskultasi : Bising usus (+) Normal 10x/menit

o. Ekstremitas Akral hangat, edema (-), CRT < 2’’

Status UrologiCVA : nyeri tekan -/-, nyeri ketok +/-, tidak ditemukan massaSS : buli-buli tidak penuh, nyeri tekan (-)GE : Tidak diperiksa

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG20 JUNI 2013Pemeriksaan Hasil Metode Nilai Normal Satuan

FungsiGinjalUreum

Kreatinin

22,4

1,20

Urease UV LiquidJeffeCompt STA

10,0-50,0

0,6-1,38

Mg/dl

Mg/dl

3

FungsiHatiSGOTSGPT

ElektrolitNatriumKaliumCloridaCalsium

106

1363.51087,71

IFCC22IFCC22

ISEISEISEISE

0-380-41

136-1453,5-5,197-1117,82-9,18

U/IU/I

20 JUNI 2013Result Unit Normal Limits

WBCLYMMONGRALYM%MON%GRA%

RBCHGBHCTMCVMCHMCHCRDW

PLTMPVPCTPDW

10,91,90,56,715,84,579,7

4,1612,636,680,030,034,213,4

2597,20,10012,9

103/µL103/µL103/µL103/µL%%%

106/µlg/dl%µN^3Dgg/dl%

10^3/µlµN^3%%

4-121-50,1-12-825-502-1050-80

4-6,2011-1735-5580-10026-3431-35,510-16

150-4007-110,200-0,50010-16

4

USG Upper/Lower Abdomen (1 JULI 2013)

Kesan : Splenomegali non-spesifik Ureteropelvikaliaktasis bilateral terutama kanan e.c? Koleksi cairan pada intra abdominal pada cavum Douglas e.c port avulsi

ABDOMEN/BNO (29 JUNI 2013)KESAN :

Tidak tampak ureterolitiasis opak

E. DIAGNOSIS KERJANefrolithiasis

F. DIAGNOSIS BANDINGBatu empeduAppendisitis Akut

G. PENATALAKSANAANNon farmakologiBanyak minum air putihFarmakologiCeftazidin 3x1Ranitidin 3x1

5

Ketorolac 3x1Operasi : Nefrolitotomi

H. PROGNOSISAd vitam : Bonam Ad Fungsionam : dubia ad bonamAd Sanationam : dubia ad bonam

BAB II

6

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Ginjal dan UreterOrgan sistem urinarius meliputi ginjal, ureter, kandung kemih dan terletak

retroperitoneal. Ginjal adalah sepasang organ yang dikelilingi lemak perineal dan fascia Gerota. Aspek superior ginjal terdiri dari iga ke-10 dari rongga toraks bagian inferior. Aspek posterior ginjal bersandar pada kuadran lumborum dan hilus renalis bersandar pada otot psoas. Aspek anterior ginjal dekat dengan duodenum dan fleksura hepatika kolon. Ginjal mendapat pendarahan dari arteri renalis. Arteri renalis kanan dan kiri berasal dari percabangan arteri mesenterika superior yang merupakan cabang dari aorta. Pada ginjal, arteri yang ditemukan merupakan end-arteri sedangkan vena memiliki anastomosis.

Proses pembentukan urin terjadi ginjal dan mengalir ke duktus kolektivus untuk dilanjutkan menuju pelvis renalis. Selanjutnya urin mengalir ke buli melalui ureter secara peristaltik. Ureter memiliki tiga penyempitan yang normal yaitu: UPJ (Ureteropelvic Junction), persebrangan dengan pembuluh darah iliaka, dan ureterovesical junction. Ketiga tempat ini secara klinis memiliki nilai yang signifikan karena sering menjadi tempat batu saluran kemih tersumbat.

Gambar 1. Anatomi Traktus Urinarius

7

Gambar 2. Tiga daerah penyempitan ureter ; Gambar 3. Pembagian segmen ureter

B. Definisi Batu ginjal adalah massa keras seperti batu yang berada di ginjal dan salurannya

dan dapat menyebabkan nyeri, perdarahan, penyumbatan aliran kemih, atau infeksi.

C. EtiologiTerbentuknya batu saluran kemih diduga ada hubungannya dengan gangguan

aliran urin, gangguan metabolik, infeksi saluran kemih, dehidrasi, dan keadaan-keadaan lain yang masih belum terungkap (idiopatik). Secara epidemiologis terdapat beberapa faktor yang mempermudah terjadinya batu saluran kemih pada seseorang. Faktor-faktor itu adalah faktor intrinsik yaitu keadaan yang berasal dari tubuh seseorang dan faktor ekstrinsik yaitu pengaruh yang berasal dari lingkungan sekitarnya.

Faktor intrinsik itu antara lain adalah :1. Herediter (keturunan)

8

Penyakit ini diduga diturunkan dari orang tuanya.2. Umur

Penyakit ini paling sering didapatkan pada usia 30-50 tahun.3. Jenis kelamin

Jumlah pasien laki-laki tiga kali lebih banyak dibandingkan dengan pasien perempuan.

Beberapa faktor ekstrinsik diantaranya adalah:1. Geografi

Pada beberapa daerah menunjukkan angka kejadian batu saluran kemih yang lebih tinggi daripada daerah lain sehingga dikenal sebagi daerah stone belt (sabuk batu), sedangkan daerah Bantu di Afrika Selatan hampir tidak dijumpai penyakit batu sauran kemih.

2. Iklim dan temperatur3. Asupan air

Kurangnya asupan air dan tingginya kadar mineral kalsium pada air yang dikonsumsi, dapat meningkatkan insiden batu saluran kemih.

4. DietDiet tinggi purin, oksalat dan kalsium mempermudah terjadinya penyakit batu saluran kemih.

5. PekerjaanPenyakit ini sering dijumpai pada orang yang pekerjaannya banyak duduk atau kurang aktivitas atau sedentary life.(Purnomo, Basuki 2007. Dasar-dasar Urologi. edisi kedua. Sagung seto: Jakarta)

D. EpidemiologiPenelitian epidemiologik memberikan kesan seakan-akan penyakit batu

mempunyai hubungan dengan tingkat kesejahteraan masyarakat dan berubah sesuai dengan perkembangan kehidupan suatu bangsa. Berdasarkan pembandingan data penyakit batu saluran kemih di berbagai negara, dapat disimpulkan bahwa di negara yang mulai berkembang terdapat banyak batu saluran kemih bagian bawah, terutama terdapat di kalangan anak.

Di negara yang sedang berkembang, insidensi batu saluran kemih relatif rendah, baik dari batu saluran kemih bagian bawah maupun batu saluran kemih bagian atas. Di negara yang telah berkembang, terdapat banyak batu saluran kemih bagian atas, terutama di kalangan orang dewasa. Pada suku bangsa tertentu, penyakit batu saluran kemih sangat jarang, misalnya suku bangsa Bantu di Afrika Selatan.

Satu dari 20 orang menderita batu ginjal. Pria:wanita = 3:1. Puncak kejadian di usia 30-60 tahun atau 20-49 tahun. Prevalensi di USA sekitar 12% untuk pria dan 7% untuk wanita. Batu struvite lebih sering ditemukan pada wanita daripada pria.

9

INSIDENSI UROLITHIASIS

PEMBENTUK BATU India USA Japan UK

Calcium Oxalate Murni 86.1 33 17.4 39.4

Calcium Oxalate bercampur 4.9 34 50.8 20.2Phosphate

Magnesium Ammonium 2.7 15 17.4 15.4Phosphate (Struvite )

Asam Urat 1.2 8.0 4.4 8.0

Cystine 0.4 3.0 1.0 2.8

E. PatogenesisSecara teoritis batu dapat terbentuk di seluruh saluran kemih terutama pada

tempat-tempat yang sering mengalami hambatan aliran urine (stasis urine), yaitu pada sistem kalises ginjal atau buli-buli. Adanya kelainan bawaan pada pelvikalises (stenosis uretero-pelvis), divertikel, obstruksi infravesika kronis seperti pada hyperplasia prostat benigna, stiktura, dan buli-buli neurogenik merupakan keadaan-keadaan yang memudahkan terjadinya pembentukan batu.

Batu terdiri atas kristal-kristal yang tersusun oleh bahan-bahan organik maupun anorganik yang terlarut dalam urine. Kristal-kristal tersebut tetap berada dalam keadaan metastable (tetap terlarut) dalam urine jika tidak ada keadaan-keadaan tertentu yang menyebabkan terjadinya presipitasi kristal. Kristal-kristal yang saling mengadakan presipitasi membentuk inti batu (nukleasi) yang kemudian akan mengadakan agregasi dan menarik bahan-bahan lain sehingga menjadi kristal yang lebih besar.

Meskipun ukurannya cukup besar, agregat kristal masih rapuh dan belum cukup mampu membuntu saluran kemih. Untuk itu agregat kristal menempel pada epitel saluran kemih (membentuk retensi kristal), dan dari sini bahan-bahan lain diendapkan pada agregat itu sehingga membentuk batu yang cukup besar untuk menyumbat saluran kemih. Kondisi metastabel dipengaruhi oleh suhu, pH larutan, adanya koloid di dalam urine, laju aliran urine di dalam saluran kemih, atau adanya korpus alienum di dalam saluran kemih yang bertindak sebagai inti batu.

10

Sumber : http://www.emedicine.com/med/topic1599.htm/nefrolitiasis

Lebih dari 80% batu saluran kemih terdiri atas batu kalsium, baik yang berikatan dengan oksalat maupun dengan fosfat, membentuk batu kalsium oksalat dan kalsium fosfat sedangkan sisanya berasal dari batu asam urat, batu magnesium ammonium fosfat (batu infeksi), batu xanthyn, batu sistein dan batu jenis lainnya.

Sumber : http://www.emedicine.com/med/topic1599.htm/nefrolitiasis

Sumber: http://intanrisna.blogspot.com/2010/12/nefrolithiasis-batu-ginjal.html

11

Batu struvit

Batu struvit, disebut juga batu infeksi, karena terbentuknya batu ini disebabkan oleh adanya infeksi saluran kemih. Batu dapat tumbuh menjadi lebih besar membentuk batu staghorn dan mengisi seluruh pelvis dan kaliks ginjal. Kuman penyebab infeksi ini adalah golongan kuman pemecah urea atau urea splitter yang dapat menghasilkan enzim urease dan merubah urine menjadi bersuasana basa melalui hidrolisis urea menjadi amoniak, seperti pada reaksi: CO(NH2)2+H2O2NH3+CO2.

Sekitar 75% kasus batu staghorn, didapatkan komposisi batunya adalah matriks struvit-karbonat-apatit atau disebut juga batu struvit atau batu triple phosphate, batu fosfat, batu infeksi, atau batu urease, walaupun dapat pula terbentuk dari campuran antara kalsium oksalat dan kalsium fosfat.

Sumber : http://www.emedicine.com/med/topic1599.htm/nefrolitiasis

Suasana basa ini yang memudahkan garam-garam magnesium, ammonium, fosfat dan karbonat membentuk batu magnesium amoniun fosfat (MAP) atau (Mg NH4PO4.H2O) dan karbonat apatit (Ca10[PO4]6CO3. Karena terdiri atas 3 kation Ca++ Mg++ dan NH4

+) batu jenis ini dikenal dengan nama batu triple-phosphate. Kuman-kuman yang termasuk pemecah urea diantaranya adalah Proteus spp, Klebsiella, Serratia, Enterobacter, Pseudomonas, dan Stafilokokus. Meskipun E.coli banyak menyebabkan infeksi saluran kemih, namun kuman ini bukan termasuk bakteri pemecah urea.

Batu Kalsium

Batu jenis ini paling banyak dijumpai, yaitu kurang lebih 70-80% dari seluruh batu saluran kemih. Kandungan batu jenis ini terdiri atas kalium oksalat, kalium fosfat, atau campuran dari kedua unsur tersebut

Factor terjadinya batu kalsium adalah:

1. hiperkalsiuri, yaitu kadar kalsium di dalam urin lebih besar dari 250-300 mg/24 jam. Menurut Pak (1976) terdapat tiga macam penyebab terjadinya hiperkalsiuri, antara lain:a. hiperkalsiuri absortif yang terjadi karena adanya peningkatan absorbsi kalsium

melalui usus.

12

b. hiperkalsiuri renal terjadi karena adanya gangguan kemampuan reabsorbsi kalsium melalui tubulus ginjal.

c. hiperkalsiuri resorbtif terjadi karena adanya peningkatan resorpsi kalsium tulang yang banyak terjadi pada hiperparatiroidisme primer atau tumor paratiroid.

2. Hiperoksaluri3. hiperurikosuri4. hipositraturia5. hipomagnesiuria

Batu asam urat

Batu jenis lain

F. Manifestasi KlinisBatu pada kaliks ginjal memberikan rada nyeri ringan sampai berat karena

distensi dari kapsul ginjal. Begitu juga baru pada pelvis renalis, dapat bermanifestasi tanpa gejala sampai dengan gejala berat. Umumnya gejala batu saluran kemih merupakan akibat obstruksi aliran kemih dan infeksi. Keluhan yang disampaikan oleh pasien tergantung pada posisi atau letak batu, besar batu, dan penyulit yang telah terjadi.

Keluhan yang paling dirasakan oleh pasien adalah nyeri pada pinggang. Nyeri ini mungkin bisa merupakan nyeri kolik ataupun bukan kolik. Nyeri kolik terjadi karena aktivitas peristaltik otot polos sistem kalises ataupun ureter meningkat dalam usaha untuk mengeluarkan batu dari saluran kemih. Peningkatan peristaltik itu menyebabkan tekanan intraluminalnya meningkat sehingga terjadi peregangan dari terminal saraf yang memberikan sensasi nyeri.

Nyeri ini disebabkan oleh karena adanya batu yang menyumbat saluran kemih, biasanya pada pertemuan pelvis ren dengan ureter (ureteropelvic junction), dan ureter. Nyeri bersifat tajam dan episodik di daerah pinggang (flank) yang sering menjalar ke perut, atau lipat paha, bahkan pada batu ureter distal sering ke kemaluan. Mual dan muntah sering menyertai keadaan ini.

Nyeri non kolik terjadi akibat peregangan kapsul ginjal karena terjadi hidronefrosis atau infeksi pada ginjal. Pada pemeriksaan fisik mungkin didapatkan nyeri ketok pada daerah kosto-vertebra, teraba ginjal pada sisi sakit akibat hidronefrosis, terlihat tanda-tanda gagal ginjal, retensi urine, dan jika disertai infeksi didapatkan demam-menggigil.

G. DiagnosisSelain pemeriksaan melalui anamnesis dan jasmani untuk menegakkan diagnosis,

penyakit batu perlu ditunjang dengan pemeriksaan radiologik, laboratorium dan penunjang lain untuk menentukan kemungkinan adanya obstruksi saluran kemih, infeksi dan gangguan faal ginjal. Secara radiologik, batu dapat radioopak atau radiolusen. Sifat radioopak ini berbeda untuk berbagai jenis batu sehingga dari sifat ini dapat diduga jenis batu yang dihadapi.

Batu kalsium akan memberikan bayangan opak, batu magnesium amonium fosfat akan memberikan bayangan semiopak, sedangkan batu asam urat murni akan memberikan

13

bayangan radiolusen. Batu staghorn dapat diidentifikasi dengan foto polos abdomen karena komposisinya yang berupa magnesium ammonium sulfat atau campuran antara kalsium oksalat dan kalsium fosfat sehingga akan nampak bayangan radioopak.

Pemeriksaan laboratorium diperlukan untuk mencari kelainan kemih yang dapat menunjang adanya batu di saluran kemih, menentukan fungsi ginjal, dan menentukan sebab terjadinya batu.

Pemeriksaan renogram berguna untuk menentukan faal kedua ginjal secara terpisah pada batu ginjal bilateral atau bila kedua ureter tersumbat total. Cara ini dipakai untuk memastikan ginjal yang masih mempunyai sisa faal yang cukup sebagai dasar untuk melakukan tindak bedah pada ginjal yang sakit. Pemeriksaan ultrasonografi dapat untuk melihat semua jenis batu, menentukan ruang dan lumen saluran kemih, serta dapat digunakan untuk menentukan posisi batu selama tindakan pembedahan untuk mencegah tertingggalnya batu.

H. Diagnosis BandingKolik ginjal dan ureter dapat disertai dengan akibat yang lebih lanjut, misalnya

distensi usus dan pionefrosis dengan demam. Oleh karena itu, jika dicurigai terjadi kolik ureter maupun ginjal, khususnya yang kanan, perlu dipertimbangkan kemungkinan kolik saluran cerna, kandung empedu, atau apendisitis akut. Selain itu pada perempuan perlu juga dipertimbangkan adneksitis.

Bila terjadi hematuria, perlu dipertimbangkan kemungkinan keganasan apalagi bila hematuria terjadi tanpa nyeri. Selain itu, perlu juga diingat bahwa batu saluran kemih yang bertahun-tahun dapat menyebabkan terjadinya tumor yang umumnya karsinoma epidermoid, akibat rangsangan dan inflamasi. Pada batu ginjal dengan hidronefrosis, perlu dipertimbangkan kemungkinan tumor ginjal mulai dari jenis ginjal polikistik hingga tumor Grawitz.

I. Pemeriksaan PenunjangPemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk penegakkan diagnosis dan

rencana terapi antara lain:1. Foto Polos Abdomen

Pembuatan foto polos abdomen bertujuan untuk melihat kemungkinan adanya batu radio opak di saluran kemih. Batu-batu jenis kalsium oksalat dan kalsium fosfat bersifat radio opak dan paling sering dijumpai diantara batu lain, sedangkan batu asam urat bersifat non opak (radio lusen). Urutan radioopasitas beberapa batu saluran kemih seperti pada tabel 1.

Jenis Batu Radioopasitas

Kalsium Opak

MAP Semiopak

Urat/Sistin Non opak

Tabel 1. Urutan Radioopasitas Beberapa Jenis Batu Saluran Kemih

14

2. Pielografi Intra Vena (PIV)Pemeriksaan ini bertujuan menilai keadaan anatomi dan fungsi ginjal. Selain itu PIV dapat mendeteksi adanya batu semi-opak ataupun batu non opak yang tidak dapat terlihat oleh foto polos abdomen. Jika PIV belum dapat menjelaskan keadaan sistem saluran kemih akibat adanya penurunan fungsi ginjal, sebagai penggantinya adalah pemeriksaan pielografi retrograd.

3. UltrasonografiUSG dikerjakan bila pasien tidak mungkin menjalani pemeriksaan PIV, yaitu pada keadaan-keadaan: alergi terhadap bahan kontras, faal ginjal yang menurun, dan pada wanita yang sedang hamil. Pemeriksaan USG dapat menilai adanya batu di ginjal atau di buli-buli (yang ditunjukkan sebagai echoic shadow), hidronefrosis, pionefrosis, atau pengkerutan ginjal.

4. Pemeriksaan Mikroskopik Urin, untuk mencari hematuria dan Kristal.5. Renogram, dapat diindikasikan pada batu staghorn untuk menilai fungsi ginjal.6. Analisis batu, untuk mengetahui asal terbentuknya.7. Kultur urin, untuk mecari adanya infeksi sekunder.8. DPL, ureum, kreatinin, elektrolit, kalsium, fosfat, urat, protein, fosfatase alkali serum.

J. PenatalaksanaanBatu yang sudah menimbulkan masalah pada saluran kemih secepatnya harus

dikeluarkan agar tidak menimbulkan penyulit yang lebih berat. Indikasi untuk melakukan tindakan atau terapi pada batu saluran kemih adalah jika batu telah menimbulkan obstruksi, infeksi, atau harus diambil karena suatu indikasi sosial. Obstruksi karena batu saluran kemih yang telah menimbulkan hidroureter atau hidronefrosis dan batu yang sudah menimbulkan infeksi saluran kemih, harus segera dikeluarkan.8

Kadang kala batu saluran kemih tidak menimbulkan penyulit seperti diatas, namun diderita oleh seorang yang karena pekerjaannya (misalkan batu yang diderita oleh seorang pilot pesawat terbang) memiliki resiko tinggi dapat menimbulkan sumbatan saluran kemih pada saat yang bersangkutan sedang menjalankan profesinya dalam hal ini batu harus dikeluarkan dari saluran kemih. Pilihan terapi antara lain :

1. Terapi KonservatifSebagian besar batu ureter mempunyai diameter <5 mm. Seperti disebutkan sebelumnya, batu ureter <5 mm bisa keluar spontan. Terapi bertujuan untuk mengurangi nyeri, memperlancar aliran urin dengan pemberian diuretikum, berupa :

b. Minum sehingga diuresis 2 liter/ haric. α - blockerd. NSAID

Batas lama terapi konservatif adalah 6 minggu. Di samping ukuran batu syarat lain untuk observasi adalah berat ringannya keluhan pasien, ada tidaknya infeksi dan obstruksi. Adanya kolik berulang atau ISK menyebabkan observasi bukan merupakan pilihan. Begitu juga dengan adanya obstruksi, apalagi pada pasien-pasien tertentu (misalnya ginjal tunggal, ginjal trasplan dan penurunan fungsi ginjal ) tidak ada toleransi terhadap obstruksi. Pasien seperti ini harus segera dilakukan intervensi.

15

Sumber : http://atanidayrus.wordpress.com/about/IGedeSuryadinata/Algoritma Penatalaksanaan BatuSaluranKemih

2. ESWL (Extracorporeal Shockwave Lithotripsy)Berbagai tipe mesin ESWL bisa didapatkan saat ini. Walau prinsip kerjanya

semua sama, terdapat perbedaan yang nyata antara mesin generasi lama dan baru, dalam terapi batu ureter. Pada generasi baru titik fokusnya lebih sempit dan sudah dilengkapi dengan flouroskopi, sehingga memudahkan dalam pengaturan target/posisi tembak untuk batu ureter. Hal ini yang tidak terdapat pada mesin generasi lama,

16

sehingga pemanfaatannya untuk terapi batu ureter sangat terbatas. Meskipun demikian mesin generasi baru ini juga punya kelemahan yaitu kekuatan tembaknya tidak sekuat yang lama, sehingga untuk batu yang keras perlu beberapa kali tindakan.

(http://piogama.ugm.ac.id/index.php/2009/02/gelombang-kejut-penghancur-batu-ginjal/)

Dengan ESWL sebagian besar pasien tidak perlu dibius, hanya diberi obat penangkal nyeri. Pasien akan berbaring di suatu alat dan akan dikenakan gelombang kejut untuk memecahkan batunya  Bahkan pada ESWL generasi terakhir pasien bisa dioperasi dari ruangan terpisah. Jadi, begitu lokasi ginjal sudah ditemukan, dokter hanya menekan tombol dan ESWL di ruang operasi akan bergerak. Posisi pasien sendiri bisa telentang atau telungkup sesuai posisi batu ginjal.  Batu ginjal yang sudah pecah akan keluar bersama air seni. Biasanya pasien tidak perlu dirawat dan dapat langsung pulang.

ESWL ditemukan di Jerman dan dikembangkan di Perancis. Pada Tahun 1971, Haeusler dan Kiefer memulai uji coba secara in-vitro penghancuran batu ginjal menggunakan gelombang kejut. Tahun 1974, secara resmi pemerintah Jerman memulai proyek penelitian dan aplikasi ESWL. Kemudian pada awal tahun 1980, pasien pertama batu ginjal diterapi dengan ESWL di kota Munich menggunakan mesin Dornier Lithotripter HMI. Kemudian berbagai penelitian lanjutan dilakukan secara intensif dengan in-vivo maupun in-vitro. Barulah mulai tahun 1983, ESWL secara resmi diterapkan di Rumah Sakit di Jerman. Di Indonesia, sejarah ESWL dimulai tahun 1987 oleh Prof.Djoko Raharjo di Rumah Sakit Pertamina, Jakarta. Sekarang, alat generasi terbaru Perancis ini sudah dimiliki beberapa rumah sakit besar di Indonesia seperti Rumah Sakit Advent Bandung dan Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo.

Pembangkit (generator) gelombang kejut dalam ESWL ada tiga jenis yaitu elektrohidrolik, piezoelektrik dan elektromagnetik. Masing-masing generator mempunyai cara kerja yang berbeda, tapi sama-sama menggunakan air atau gelatin sebagai medium untuk merambatkan gelombang kejut. Air dan gelatin mempunyai sifat akustik paling mendekati sifat akustik tubuh sehingga tidak akan menimbulkan rasa sakit pada saat gelombang kejut masuk tubuh.

ESWL merupakan alat pemecah batu ginjal dengan menggunakan gelombang kejut antara 15-22 kilowatt. Meskipun hampir semua jenis dan ukuran batu ginjal dapat dipecahkan oleh ESWL, masih harus ditinjau efektivitas dan

17

efisiensi dari alat ini. ESWL hanya sesuai untuk menghancurkan batu ginjal dengan ukuran kurang dari 3 cm serta terletak di ginjal atau saluran kemih antara ginjal dan kandung kemih (kecuali yang terhalang oleh tulang panggul). Hal laim yang perlu diperhatikan adalah jenis batu apakah bisa dipecahkan oleh ESWL atau tidak. Batu yang keras (misalnya kalsium oksalat monohidrat) sulit pecah dan perlu beberapa kali tindakan. ESWL tidak boleh digunakan oleh penderita darah tinggi, kencing manis, gangguan pembekuan darah dan fungsi ginjal, wanita hamil dan anak-anak, serta berat badan berlebih (obesitas).

Penggunaan ESWL untuk terapi batu ureter distal pada wanita dan anak-anak juga harus dipertimbangkan dengan serius. Sebab ada kemungkinan terjadi kerusakan pada ovarium. Meskipun belum ada data yang valid, untuk wanita di bawah 40 tahun sebaiknya diinformasikan sejelas-jelasnya

3. EndourologiTindakan Endourologi adalah tindakan invasif minimal untuk mengeluarkan

batu saluran kemih yang terdiri atas memecah batu, dan kemudian mengeluarkannya dari saluran kemih melalui alat yang dimasukkan langsung ke dalam saluran kemih. Alat itu dimasukkan melalui uretra atau melalui insisi kecil pada kulit (perkutan). Proses pemecahan batu dapat dilakukan secara mekanik, dengan memakai energi hidraulik, energi gelombang suara, atau dengan energi laser.10

Beberapa tindakan endourologi antara lain:

a. PNL (Percutaneous Nephro Litholapaxy) yaitu mengeluarkan batu yang berada di dalam saluran ginjal dengan cara memasukkan alat endoskopi ke sistem kalises melalui insisi pada kulit. Batu kemudian dikeluarkan atau dipecah terlebih dahulu menjadi fragmen-fragmen kecil.

PNL yang berkembang sejak dekade 1980-an secara teoritis dapat digunakan sebagai terapi semua batu ureter. Tapi dalam prakteknya sebagian besar telah diambil alih oleh URS dan ESWL. Meskipun demikian untuk batu ureter proksimal yang besar dan melekat masih ada tempat untuk PNL. Prinsip dari PNL adalah membuat akses ke kalik atau pielum secara perkutan. Kemudian melalui akses tersebut kita masukkan nefroskop rigid atau fleksibel, atau ureteroskop, untuk selanjutnya batu ureter diambil secara utuh atau dipecah dulu.

Keuntungan dari PNL, bila batu kelihatan, hampir pasti dapat diambil atau dihancurkan; fragmen dapat diambil semua karena ureter bisa dilihat dengan jelas. Prosesnya berlangsung cepat dan dengan segera dapat diketahui berhasil atau tidak. Kelemahannya adalah PNL perlu keterampilan khusus bagi ahli urologi. Sebagian besar pusat pendidikan lebih banyak menekankan pada URS dan ESWL dibanding PNL.

b. Litotripsi (untuk memecah batu buli-buli atau batu uretra dengan memasukkan alat pemecah batu/litotriptor ke dalam buli-buli),

18

c. ureteroskopi atau uretero-renoskopi. Keterbatasan URS adalah tidak bisa untuk ekstraksi langsung batu ureter yang besar, sehingga perlu alat pemecah batu seperti yang disebutkan di atas. Pilihan untuk menggunakan jenis pemecah batu tertentu, tergantung pada pengalaman masing-masing operator dan ketersediaan alat tersebut.

d. ekstraksi Dormia (mengeluarkan batu ureter dengan menjaringnya melalui alat keranjang Dormia).

Pengembangan ureteroskopi sejak tahun 1980 an telah mengubah secara dramatis terapi batu ureter. Kombinasi ureteroskopi dengan pemecah batu ultrasound, EHL, laser dan pneumatik telah sukses dalam memecah batu ureter. Juga batu ureter dapat diekstraksi langsung dengan tuntunan URS. Dikembangkannya semirigid URS dan fleksibel URS telah menambah cakupan penggunaan URS untuk terapi batu ureter.

4. Bedah TerbukaDi klinik-klinik yang belum mempunyai fasilitas yang memadai untuk

tindakan-tindakan endourologi, laparoskopi, maupun ESWL, pengambilan batu masih dilakukan melalui pembedahan terbuka. Pembedahan terbuka itu antara lain adalah: pielolitotomi atau nefrolitotomi untuk mengambil batu pada saluran ginjal, dan ureterolitotomi untuk batu di ureter. Tidak jarang pasien harus menjalani tindakan nefrektomi atau pengambilan ginjal karena ginjalnya sudah tidak berfungsi dan berisi nanah (pionefrosis), korteksnya sudah sangat tipis, atau mengalami pengkerutan akibat batu saluran kemih yang menimbulkan obstruksi atau infeksi yang menahun.11

Beberapa variasi operasi terbuka untuk batu ureter mungkin masih dilakukan. Tergantung pada anatomi dan posisi batu, ureterolitotomi bisa dilakukan lewat insisi pada flank, dorsal atau anterior. Meskipun demikian dewasa ini operasi terbuka pada batu ureter kurang lebih tinggal 1 -2 persen saja, terutama pada penderita-penderita dengan kelainan anatomi atau ukuran batu ureter yang besar.

5. Pemasangan StentMeskipun bukan pilihan terapi utama, pemasangan stent ureter terkadang

memegang peranan penting sebagai tindakan tambahan dalam penanganan batu ureter. Misalnya pada penderita sepsis yang disertai tanda-tanda obstruksi, pemakaian stent sangat perlu. Juga pada batu ureter yang melekat (impacted).

Setelah batu dikeluarkan dari saluran kemih, tindakan selanjutnya yang tidak kalah pentingnya adalah upaya menghindari timbulnya kekambuhan. Angka kekambuhan batu saluran kemih rata-rata 7% per tahun atau kurang lebih 50% dalam 10 tahun.

K. PencegahanPencegahan yang dilakukan adalah berdasarkan atas kandungan unsur yang

menyusun batu saluran kemih yang diperoleh dari analisis batu. Pada umumnya pencegahan itu berupa :

1. Menghindari dehidrasi dengan minum cukup dan diusahakan produksi urin 2-3 liter per hari.

2. Diet untuk mengurangi kadar zat-zat komponen pembentuk batu.

19

3. Aktivitas harian yang cukup.4. Pemberian medikamentosa.

Beberapa diet yang dianjurkan untuk mengurangi kekambuhan adalah:1. Rendah protein, karena protein akan memacu ekskresi kalsium urine dan

menyebabkan suasana urine menjadi lebih asam.2. Rendah oksalat.3. Rendah garam, karena natriuresis akan memacu timbulnya hiperkalsiuri.4. Rendah purin.Diet rendah kalsium tidak dianjurkan kecuali pada pasien yang menderita hiperkalsiuri tipe II.

L. KomplikasiDibedakan komplikasi akut dan komplikasi jangka panjang. Komplikasi akut

yang sangat diperhatikan oleh penderita adalah kematian, kehilangan ginjal, kebutuhan transfusi dan tambahan intervensi sekunder yang tidak direncanakan. Data kematian, kehilangan ginjal dan kebutuhan transfusi pada tindakan batu ureter memiliki risiko sangat rendah. Komplikasi akut dapat dibagi menjadi yang signifikan dan kurang signifikan. Yang termasuk komplikasi signifikan adalah avulsi ureter, trauma organ pencernaan, sepsis, trauma vaskuler, hidro atau pneumotorak, emboli paru dan urinoma. Sedang yang termasuk kurang signifikan perforasi ureter, hematom perirenal, ileus, stein strasse, infeksi luka operasi, ISK dan migrasi stent.15

Komplikasi jangka panjang adalah striktur ureter. Striktur tidak hanya disebabkan oleh intervensi, tetapi juga dipicu oleh reaksi inflamasi dari batu, terutama yang melekat. Angka kejadian striktur kemungkinan lebih besar dari yang ditemukan karena secara klinis tidak tampak dan sebagian besar penderita tidak dilakukan evaluasi radiografi (IVP) pasca operasi.

Obstruksi adalah komplikasi dari batu ginjal yang dapat menyebabkan terjadinya hidronefrosis dan kemudian berlanjut dengan atau tanpa pionefrosis yang berakhir dengan kegagalan faal ginjal yang terkena. Komplikasi lainnya dapat terjadi saat penanganan batu dilakukan. Infeksi, termasuk didalamnya adalah pielonefritis dan sepsis yang dapat terjadi melalui pembedahan terbuka maupun noninvasif seperti ESWL. Biasanya infeksi terjadi sesaat setelah dilakukannya PNL, atau pada beberapa saat setelah dilakukannya ESWL saat pecahan batu lewat dan obstruksi terjadi. Cidera pada organ-organ terdekat seperti lien, hepar, kolon dan paru serta perforasi pelvis renalis juga dapat terjadi saat dilakukan PNL, visualisasi yang adekuat, penanganan yang hati-hati, irigasi serta drainase yang cukup dapat menurunkan resiko terjadinya komplikasi ini.

Pada batu ginjal nonstaghorn, komplikasi berupa kehilangan darah, demam, dan terapi nyeri yang diperlukan selama dan sesudah prosedur lebih sedikit dan berbeda secara bermakna pada ESWL dibandingkan dengan PNL. Demikian pula ESWL dapat dilakukan dengan rawat jalan atau perawatan yang lebih singkat dibandingkan PNL.

Komplikasi akut meliputi transfusi, kematian, dan komplikasi keseluruhan. Dari meta-analisis, kebutuhan transfusi pada PNL dan kombinasi terapi sama (< 20%).

20

Kebutuhan transfusi pada ESWL sangat rendah kecuali pada hematom perirenal yang besar. Kebutuhan transfusi pada operasi terbuka mencapai 25-50%. Mortalitas akibat tindakan jarang, namun dapat dijumpai, khususnya pada pasien dengan komorbiditas atau mengalami sepsis dan komplikasi akut lainnya. Dari data yang ada di pusat urologi di Indonesia, risiko kematian pada operasi terbuka kurang dari 1%.

Komplikasi ESWL meliputi kolik renal (10,1%), demam (8,5%), urosepsis (1,1%) dan steinstrasse (1,1%). Hematom ginjal terjadi akibat trauma parietal dan viseral. Hasil studi pada hewan tidak menunjukkan adanya kelainan lanjut yang berarti. Dalam evaluasi jangka pendek pada anak pasca ESWL, dijumpai adanya perubahan fungsi tubular yang bersifat sementara yang kembali normal setelah 15 hari. Belum ada data mengenai efek jangka panjang pasca ESWL pada anak.

Komplikasi pasca PNL meliputi demam (46,8%) dan hematuria yang memerlukan transfusi (21%). Konversi ke operasi terbuka pada 4,8% kasus akibat perdarahan intraoperatif, dan 6,4% mengalami ekstravasasi urin. Pada satu kasus dilaporkan terjadi hidrothoraks pasca PNL. Komplikasi operasi terbuka meliputi leakage urin (9%), infeksi luka (6,1%), demam (24,1%), dan perdarahan pascaoperasi (1,2%). Pedoman penatalaksanaan batu ginjal pada anak adalah dengan ESWL monoterapi, PNL, atau operasi terbuka.

M. PrognosisPrognosis batu ginjal tergantung dari faktor-faktor ukuran batu, letak batu, dan

adanya infeksi serta obstruksi. Makin besar ukuran suatu batu, makin buruk prognosisnya. Letak batu yang dapat menyebabkan obstruksi dapat mempermudah terjadinya infeksi. Makin besar kerusakan jaringan dan adanya infeksi karena faktor obstruksi akan dapat menyebabkan penurunan fungsi ginjal.

Pada pasien dengan batu yang ditangani dengan ESWL, 60% dinyatakan bebas dari batu, sisanya masih memerlukan perawatan ulang karena masih ada sisa fragmen batu dalam saluran kemihnya. Pada pasien yang ditangani dengan PNL, 80% dinyatakan bebas dari batu, namun hasil yang baik ditentukan pula oleh pengalaman operator.

21

Daftar Pustaka

1. Price S. A., Wilson L. M., 1995. Batu Ginjal dan Saluran Kemih dalam Patofisiologi,

konsep klinis proses-proses penyakit, ed 4, hal ; 797 – 8, EGC, Jakarta

2. Purnomo. Dasar-Dasar Urologi, Edisi Kedua. Jakarta: CV.Sagung Seto. 2007. 69-85

3. Kim & Belldegrun (eds). Urology Dalam Schwartz’s Manual Of Surgery, 8thEdition,

Brunicardi et al (eds). USA: Mc Graw-Hill Medical Publishing Division. 2006. 1036-

1060

4. Raharjo J. P., 1996, Batu Saluran Kencing dalam Ilmu Penyakit Dalam, ed 3, hal ; 337

– 340, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta

5. Sabiston C. D. Jr, MD., 1997, Batu Ginjal dan Ureter dalam Buku Ajar Bedah 2, hal ;

472 – 3, EGC, Jakarta

6. Sjamsuhidrajat R, 1 W. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi ke-2. Jakarta : Penerbit Buku

Kedokteran – EGC. 2004. 756-763

7. Yudha Herry Setya. Diagnosis and Management of Kidney Stone (Nephrolithiasis).

2012. www.dokterbedahherryyudha.com. (diakses 6 Juli 2013)

22