PRESCIL Krisis Ht

32
PRESENTASI KASUS KRISIS HIIPERTENSI Diajukan kepada Yth: dr. Andreas, Sp. PD Disusun oleh : Lina Sunayya G4A014039 Stella Gracia Octarica G4A014127 SMF ILMU PENYAKIT DALAM RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO FAKULTAS KEDOKTERAN

description

hhhh

Transcript of PRESCIL Krisis Ht

PRESENTASI KASUS

KRISIS HIIPERTENSI

Diajukan kepada Yth:

dr. Andreas, Sp. PD

Disusun oleh :

Lina Sunayya G4A014039

Stella Gracia Octarica G4A014127

SMF ILMU PENYAKIT DALAMRSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

PURWOKERTO

2015

LEMBAR PENGESAHAN

PRESENTASI KASUS

KRISIS HIPERTENSI

Disusun oleh :

Lina Sunayya G4A014039

Stella Gracia Octarica G4A014127

Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik di

bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo

Telah disetujui dan dipresentasikan

Pada tanggal : 2015

Dokter Pembimbing :

dr. Andreas, Sp. PD

BAB 1

PENDAHULUAN

Krisis hipertensi merupakan salah satu kegawatan yang sering dijumpai di

instalasi gawat darurat. Krisis hipertensi adalah peningkatan tekanan darah akut

yang sering berhubungan dengan gejala sistemik yang merupakan konsekuensi

dari peningkatan darah tersebut. Komplikasi dari peningkatan tekanan darah yang

mendadak dapat mengancam jiwa sehingga membutuhkan penanganan sesegera

mungkin (Devicaesaria, 2014).

Dari semua populasi penderit hipertensi (HT), 70% menderita HT ringan,

20% HT sedang dan 10% HT berat. Pada setiap jenis HT ini dapat timbul krisis

hipertensi dimana tekanan darah (TD) diastolik sangat meningkat sampai 120 –

130 mmHg. Angka kejadian krisis HT menurut penelitian di negara maju berkisar

2 – 7% dari populasi HT, yang terjadi terutama pada usia 40 – 60 tahun dengan

pengobatan yang tidak teratur selama 2 – 10 tahun. Kemajuan dalam pengobatan

HT dalam 10 tahun belakangan ini dapat menurunkan angka kejadian krisis HT,

seperti di Amerika yang kurang lebih hanya 1% dari 60 juta penduduk yang

menderita HT. Di Indonesia sendiri belum diketahui angka kejadian krisis HT

(Calhoun, 1990).

Menurut The Fifth Report of the Joint National Comitte on Detection,

Evaluation and Treatment of High Blood Pressure (JNCV) krisis HT ini dapat

dibagi menjadi dua golongan yakni hipertensi emergensi dan hipertensi urgensi.

(15). Membedakan kedua golongan krisis HT ini bukanlah dari tingginya TD, tapi

dari kerusakan organ sasaran. Dalam menanggulangi krisis HT dengan obat anti

hipertensi, diperlukan pemahaman mengenai autoregulasi TD dan aliran darah,

pengobatan yang selektif dan terarah terhadap masalah medis, yang menyertai,

pengetahuan mengenai obat parenteral dan oral anti hipertensi, variasi regimen

pengobatan untuk mendapatkan hasil pengobatan yang memadai dan efek

samping yang minimal. Pengobatan yang cepat dan tepat serta intensif lebih

diutamakan daripada prosesur diagnostik karena sebagian besar komplikasi krisis

HT bersifat reversible (Majid, 2004).

BAB II

STATUS PENDERITA

A. IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. S

Umur : 53 tahun

Jenis kelamin : Perempuan

Alamat : Notog RT04/RW01 Patikraja

Agama : Islam

Status : Menikah

Pekerjaan : Tidak bekerja

Tanggal masuk : 26 Oktober 2015

Tanggal pemeriksaan : 27 Oktober 2015

No CM : 347230

B. ANAMNESIS

Keluhan Utama : Nyeri Kepala

Keluhan Tambahan

Tengkuk kaku, nyeri pinggang sebelah kanan

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke Poli Penyakit Dalam Rumah Sakit Margono Soekarjo

pada tanggal 26 Oktober 2015 dengan nyeri kepala. Keluhan tersebut sudah

dirasakan sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit. Nyeri kepala dirasakan

seperti diikat. Nyeri kepala dirasakan terus menerus, hilang dengan istirahat.

Sampai saat datang ke poli penyakit dalam, keluhan nyeri kepala dirasakan

bertambah.

Pasien juga mengeluhkan tengkuk yang kaku, biasanya disertai oleh

nyeri kepala yang dirasakan. Leher dirasakan seperti tertindih beban berat

namun tidak sulit untuk digerakan. Keluhan dirasakan sangat mengganggu dan

membuat pasien sulit tidur. Pasien menyangkal adanya nyeri dada, sesak,

mual, kelemahan anggota gerak, dan pandangan kabur.

Riwayat Penyakit Dahulu

1. Riwayat hipertensi sejak 10 tahun yang lalu, pasien rutin mengkonsumsi

obat amlodipin.

2. Riwayat Diabetes Melitus disangkal

3. Riwayat penyakit ginjal disangkal

4. Riwayat stroke disangkal

5. Riwayat penyakit jantung disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga

Terdapat riwayat penyakit hipertensi pada keluarga.

C. PEMERIKSAAN FISIK

Dilakukan di bangsal Dahlia kamar 4 RSMS, 27 Oktober 2015.

1. Keadaan umum : tampak sakit sedang

2. Kesadaran : Compos Mentis

3. Vital sign

Tekanan Darah : 190/130 mmHg

Nadi : 78 x/menit

Respiration Rate : 20 x/menit

Suhu : 36,2 0C

4. Status generalis

a. Pemeriksaan kepala

Kepala : mesosefal

Rambut : warna hitam, tidak mudah dicabut

Mata : konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-

Hidung : nafas cuping hidung (-)

Telinga : Discharge (-), deformitas (-)

Hidung : Discharge (-), deformitas (-) dan napas cuping

hidung (-)

Mulut : Bibir sianosis (-), lidah sianosis (-)

b. Pemeriksaan leher

Deviasi trakea (-), pembesaran kelenjar tiroid (-)

Palpasi : JVP 5+2 cm

c. Pemeriksaan thoraks

Paru

Inspeksi : simetris, retraksi (-)

Palpasi : Vokal fremitus lobus superior kanan = kiri

Vokal fremitus lobus inferior kanan = kiri

Perkusi : Sonor pada apek redup pada basal

Batas paru-hepar SIC V LMCD

Auskultasi : Suara dasar vesikuler +/+

Ronki basah halus -/-

Ronki basah kasar -/-

Wheezing -/-

Jantung

Inspeksi : Ictus Cordis tampak di SIC V 2 jari lateral LMCS

Pul epigastrium (-), pul parasternal (-).

Palpasi : Ictus Cordis teraba pada SIC V 2 jari lateral LMCS

dan kuat angkat (-)

Perkusi : Batas atas kanan : SIC II LPSD

Batas atas kiri : SIC II LPSS

Batas bawah kanan : SIC IV LPSD

Batas bawah kiri : SIC V 2 jari lateral LMCS

Auskultasi : S1>S2 reguler; Gallop (-), Murmur (-)

d. Pemeriksaan abdomen

Inspeksi : cembung,

Auskultasi : bising usus (+) normal

Palpasi : supel, nyeri tekan (-) ginjal tidak teraba

Perkusi : timpani

Hepar : Tidak teraba

Lien : Tidak teraba

e. Pemeriksaan ekstremitas

Pemeriksaan

Ekstremitas

superiorEkstremitas inferior

Dextra Sinistra Dextra Sinistra

Edema - - - -

Sianosis - - - -

Akral dingin - - - -

Reflek fisiologis + + + +

Reflek patologis - - - -

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG

a. Laboratorium darah tanggal 26 Oktober 2015 Darah lengkap :

Hemoglobin : 10,3 g/dl

Leukosit : 7770 /Ul

Hematokrit : 33%

Eritrosit : 3,7 x 10e6/uL

Trombosit : 331.000 /Ul

SGOT : 38

SGPT : 22

Ureum : 26,1 mg/dl

Kreatinin : 1,4 mg/dl

Natrium : 137 mmol/L

Kalium : 3,8 mmol/L

GDS : 106 mg/dL

E. RESUME

1. Anamnesis

a. Cephalgia

b. Back Pain

2. Pemeriksaan fisik

a. KU/Kes : tampak sakit sedang/CM

b. Kepala : Mesosefal

c. Mata : ca -/- si -/-

d. Paru : sdves +/+

e. Jantung : s1>s2 reguler, ST -

f. Abdomen : Nyeri tekan regio epigastrik, nyeri ketok

costovertebrae kanan

g. Ekstremitas inferio: edema -/-

3. Pemeriksaan penunjang

a. Hiperkreatinemia (Creatinin 1,4 mg/dL)

b. Peningkatan enzim hepar (SGOT 38)

c. Rontgen thorax : cardiomegali (LV) dengan elongasi aorta

F. DIAGNOSIS KERJA

Krisis hipertensi

G.TERAPI

a. Farmakologis:

- IVFD D5% 20 tpm

- Inj Furosemid 1Amp/12jam

- Inj Ranitidine 1Amp/12jam

- PO Captopril 3x37,5

- PO Amlodipin 1x10mg

- PO Paracetamol 3x750mg

- PO Diazepam 3mg 2x1

- PO Alprazolam 1x0,25mg

- Bolus Herbesser 0,2mg/kgbb/jam dilanjutkan dengan drip Herbesser

50mg/jam hingga mencapai tekanan darah target

b. Non farmakologis:

- Tirah baring

- Diet Rendah Garam

H.PROGNOSIS

Ad vitam : dubia ad bonam

Ad sanationam : dubia ad bonam

Ad functionam : dubia ad bonam

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi

Menurut guidelines JNC VII, Pasien dengan peningkatan tekanan darah

digolongkan pada 3 tingkatan, yaitu: prehipertensi (120-139/80-89),

hipertensi stage 1 (140-159/90-99) dan  hipertensi stage 2 (>160/100). Krisis

hipertensi dikarakteristikkan dengan peningkatan tekanan darah mencapai

>180/120. Jika peningkatan tekanan darah tersebut dengan disertai adanya

keterlibatan kerusakan organ seperti otak, mata, jantung dan ginjal maka

disebut dengan hipertensi emergency, namun jika peningkatan tekanan darah

tanpa disertai kerusakan organ tersebut maka disebut dengan Hipertensi

urgensi (Fauci et al., 2008).

2. Etiologi

Berdasarkan penyebabnya hipertensi dibagi menjadi 2 golongan, yaitu:

hipertensi esensial atau hipertensi primer dan hipertensi sekunder atau

hipertensi renal.

a. Hipertensi esensial

Hipertensi esensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui

penyebabnya, disebut juga hipertensi idiopatik. Terdapat sekitar 95%

kasus. Banyak faktor yang mempengaruhinya seperti genetik,

lingkungan, hiperaktifitas sistem saraf simpatis, sistem renin

angiotensin, defek dalam ekskresi Na, peningkatan Na dan Ca

intraseluler dan faktor-faktor yang meningkatkan risiko seperti obesitas,

alkohol, merokok, serta polisitemia. Hipertensi primer biasanya timbul

pada umur 30 – 50 tahun (Schrier, 2000).

b. Hipertensi sekunder

Hipertensi sekunder atau hipertensi renal terdapat sekitar 5 %

kasus. Penyebab spesifik diketahui, seperti penggunaan estrogen,

penyakit ginjal, hipertensi vaskular renal, hiperaldosteronisme primer,

dan sindrom cushing, feokromositoma, koarktasio aorta, hipertensi

yang berhubungan dengan kehamilan, dan lain – lain (Schrier, 2000).

Gambar 1. Faktor yang berhubungan dengan hipertensi esensial

(Carretero, 200).

Penyebab krisis hipertensi yang paling umum adalah hipertensi esensial

kronik. Kebanyakan pasien yang mengembangkan krisis hipertensi memiliki

sejarah pengobatan hipertensi yang tidak adekuat atau penghentian obat

secara mendadak (Rodriguez et al. 2007).

Penyebab lain dari hipertensi darurat termasuk penggunaan narkoba,

withdrawal clonidine mendadak, post pengangkatan pheochromocytoma, dan

sclerosis sistemik, serta berbagai hal berikut (Rodriguez et al. 2007):

a. Penyakit parenkim ginjal: pielonefritis kronis, glomerulonefritis

primer, nefritis tubulointerstitial (80% dari semua penyebab

sekunder)

b. Gangguan sistemik dengan keterlibatan ginjal: lupus eritematosus

sistemik, sklerosis sistemik, vaskulitis

c. Penyakit renovaskular: penyakit aterosklerosis, displasia

fibromuskular, poliarteritis nodosa

d. Penyakit endokrin: pheochromositoma, sindrom Cushing,

hiperaldosteronisme primer

e. Obat: kokain, amfetamin, siklosporin, clonidine (withdrawal),

phencyclidine, pil diet, pil kontrasepsi oral

f. Interaksi obat: inhibitor oksidase monoamine dengan antidepresan

trisiklik, antihistamin, atau yang mengandung tyramine makanan

g. Faktor system saraf pusat: trauma saraf pusat atau sumsum tulang

belakang gangguan, seperti sindrom Guillain-Barré

h. Koarktasio aorta

i. Preeklamsia / eklamsia

j. Hipertensi pasca operasi

3. Penegakan Diagnosis

a. Anamnesis

Manifestasi klinis hipertensi krisis berhubungan dengan kerusakan

organ target yang ada. Tanda dan gejala hipertensi krisis berbeda-beda

setiap pasien. Pada pasien dengan hipertensi krisis dengan perdarahan

intrakranial akan dijumpai keluhan sakit kepala, penurunan tingkat

kesadaran dan tanda neurologi fokal berupa hemiparesis atau paresis

nervus cranialis. Pada hipertensi ensefalopati didapatkan penurunan

kesadaran dan atau defisit neurologi fokal (Devicaesaria, 2014).

Pada anamnesis dapat ditanyakan riwayat hipertensi yakni lama dan

beratnya, obat anti hipertensi yang digunakan dan kepatuhannya, gejala

sistem saraf seperti nyeri kepala, perubahan mental, dan gelisah, gejala

system renal seperti hematuria, dan jumlah urin berkurang, gejala sistem

kardiovaskular yakni adanya payah jantung, kongesti, oedem paru, dan

nyeri dada (Majid, 2004).

b. Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tekanan darah

>180/120mmHg dengan atau tanpa gejala organ target. pasien bisa saja

ditemukan retinopati dengan perubahan arteriola, perdarahan dan

eksudasi maupun papiledema. Pada sebagian pasien yang lain manifestasi

kardiovaskular bisa saja muncul lebih dominan seperti; angina, akut

miokardial infark atau gagal jantung kiri akut. Dan beberapa pasien yang

lain gagal ginjal akut dengan oligouria dan atau hematuria bisa saja

terjadi (Devicaesaria, 2014).

c. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium yang diperlukan yakni seperti hitung

jenis, elektrolit, kreatinin dan urinalisa. Foto thorax, EKG dan CT- scan

kepala sangat penting diperiksa untuk pasien-pasien dengan sesak nafas,

nyeri dada atau perubahan status neurologis. Pada keadaan gagal jantung

kiri dan hipertrofi ventrikel kiri pemeriksaan ekokardiografi perlu

dilakukan (Devicaesaria, 2014).

4. Patofisiologi

Peningkatan drastis tekanan darah dapat terjadi secara de novo atau

sebagai komplikasi dari hipertensi esensial atau hipertensi sekunder.

Noncompliance terapi hipertensi pada pasien dengan hipertensi kronis sangat

berperan dalam kejadian hipertensi emergensi/urgensi. Faktor yang

menginisiasi hipertensi emergensi dan urgensi masih belum cukup dimengerti

(Varon et al., 2013).

Terjadinya peningkatan tekanan darah secara cepat akibat peningkatan

resistensi vaskuler sistemik salah satu kemungkinan faktor yang mencetuskan

hipertensi emergensi. Dalam homeostasis tekanan darah, endotelium

merupakan aktor utama dalam mengatur tekanan darah. Dengan

mengeluarkan nitrit oxide dan prostacyclin yang dapat memodulasi tekanan

vaskuler. Disamping itu peran renin – angiotensin sistem juga sangat

berpengaruh dalam terjadinya hipertensi emergensi.

Saat tekanan darah meningkat dan menetap dalam waktu yang lama,

respon vasodilatasi endotelial akan berkurang, yang akan memperparah

peningkatan tekanan darah. Keadaan ini akan berujung pada disfungsi endotel

dan peningkatan resistensi vaskuler yang menetap.

5. Penatalaksanaan

Tatalaksana pasien dengan hipertensi emergensi atau urgensi

didasarkan pada seberapa cepat dan target tekanan darah berapa yang akan

dilakukan.

1. Hipertensi Urgensi

Prinsipnya, keadaan hipertensi urgensi dapat ditangani dengan anti-

hipertensi oral dengan perawatan rawat jalan. Namun keadaan ini sulit

untuk memonitor tekanan darah setelah pemberian obat. Obat yang

diberikan dimulai dari dosis yang rendah untuk menghindari terjadinya

hipotensi mendadak terutama pada pasien dengan resiko komplikasi

hipotensi tinggi seperti geriatri, penyakit vaskuler perifer dan

atherosclerosis cardiovaskuler dan penyakit intrakranial. Target inisial

penurunan tekanan darah 160/110 dalam jam atau hari dengan

konvensional terapi oral.

Beberapa pilihan obat yang dapat diberikan (Vaidya et al., 2007) :

a. ACE inhibitor (Captopril), dengan pemberian inisial dosis oral 25 mg,

onset aksi mulai dalam 15 – 30 menit dan maksimum aksi antara 30 –

90 menit. Jika tekanan darah belum turun dosis dilanjutkan 50 mg –

100 mg pada 90 – 120 menit kemudian.

b. Calcium-channel blocker (Nicardipine), dosis oral awal pemberian 30

mg, dan dapat diulangi setiap 8 jam sampai target tekanan darah

tercapai. Onset aksi dimulai ½ – 2 jam.

c. Beta blocker (Labetalol), non selektif beta blocker, dosis oral awal 200

mg, dan diulang 3-4 jam. Onset kerja dimulai pada 1 – 2 jam.

d. Simpatolitik (Clonidine), dengan dosis oral awal 0.1 – 0.2 mg dosis

loading dilanjutkan 0.05 – 0.1 mg setiap jam sampai target tekanan

darah tercapai. Dosis maksimum 0.7 mg.

2. Hipertensi Emergensi

Prinsip penanganan hipertensi emergensi ditentukan pada organ

mana yang terlibat. Penanganan dilakukan dengan pemeberian obat-obatan

secara parenteral. Ideal rate penurunan tekanan darah masih belum cukup

jelas, namun telah banyak yang merekomendasikan goal penurunan mean

arterial pressure 10% pada 1 jam pertama dan 15% dalam 2 – 3 jam

berikutnya (Vaidya et al., 2007).

Neurologic emergency. Keadaan neurologic emergency yang tersering

adalah hipertensi ensefalopati, perdarahan intracerebral, dan stroke

iskemik akut. Pada stroke iskemik akut, target penurunan tekanan darah

masih kontroversial. Hipertensi pada intracerebral bleeding

direkomendasikan oleh American Heart Association diberikan penanganan

jika tekanan darah lebih dari 180/105 mmHg (Varon et al., 2013).

Tabel 1. Terapi Hipertensi emergency (Varon et al., 2013)

Pasien dengan stroke iskemik membutuhkan tekanan sistemik yang

cukup untuk mempertahankan perfusi di distal obsktruksi. Oleh karena itu

tekanan darah harus dimonitor ketat dalam 1 – 2 jam pertama.

Cardiac emergency. Keadaan hipertensi emergency dengan cardiac

emergency diantaranya iskemik miocard akut, atau infark miocard,

pulmonary edema, dan aortic dissection. Pasien dengan temuan myocardial

ischemia atau infarction, dapat diberikan nitroglycerin, jika tanpa heart failure

bisa ditambahkan beta blocker (labetalol, esmolol) untuk menurunkan

tekanan darah. Pasien dengan aortic dissection, intra vena (IV) beta blocker

harus diberikan pertama, diikuti dengan vasodilating agent, dan IV

nitroprusside. Target tekanan darah  kurang dari 120 mmHg dalam 20 menit,

sedangkan penanganan pada edema pulmo diawali dengan IV diuretik

dilanjutkan IV ACE inhibitor (enalaprilat) dan nitroglycerin. Sodium

nitroprusside dapat digunakan jika obat diatas tidak cukup menurunkan

tekanan darah (Varon et al., 2013).

Hyperadrenergic states. Pasien dengan kelebihan cathecholamine

pada over dosis amphetamine, monoamine oxidase inhibitor-induced

hipertensi atau clonidine withdrawal syndrome dapat bermanifestasi

hipertensi krisis sindrom. Pheochromocytoma, kontrol initial tekanan darah

dapat diberikan Sodium Nitroprusside atau IV phentolamine. Beta blockers

bisa diberikan tapi tidak boleh dipakai tunggal sampai alfa blokade tercapai.

Hipertensi disebabkan clonidine withdrawal penanganan terbaik adalah

dengan dilanjutkan pemberian clonidine disertai pemberian obat-obatan

diatas. Benzodiazepine merupakan agen pertama untuk penanganan

intoksikasi cocaine (Hopkins, 2011).

Kidney failure.  Acute Kidnet Injury (AKI) bisa merupakan penyebab

maupun akibat dari hipertensi emergensi. AKI termanifestasi dengan

proteinuria, mikroskopik hematuria, oliguria dan anuria. Penanganan yang

optimal masih kontroversial. Walaupun IV nitroprusside sering digunakan,

namun dapat mengakibatkan keracunan cyanida atau thiocyanate. Parenteral

fenoldopam mesylate lebih menjanjikan hasil yang baik dan lebih safety.

Penggunaannya mampu mencegah terjadinya keracunan cyanida atau

thiocyanate (David et al., 2006).

6. Komplikasi

Tekanan yang berlebihan pada dinding arteri yang disebabkan oleh

tekanan darah yang tinggi dapat merusak pembuluh darah dan organ-organ

lain dalam tubuh. Semakin tinggi tekanan darah dan semakin lama waktu

tekanan darah tidak terkendali, semakin besar kerusakan yang akan

ditimbulkan.

Tekanan darah yang tidak terkontrol tinggi dapat menyebabkan:

a. Serangan jantung atau stroke. Tekanan darah tinggi dapat menyebabkan

pengerasan dan penebalan arteri (aterosklerosis), yang dapat

menyebabkan serangan jantung, stroke atau komplikasi lain.

b. Aneurisma. Peningkatan tekanan darah dapat menyebabkan dinding

pembuluh darah melemah dan membentuk tonjolan, dan terbentuklah

aneurisma. Jika aneurisma pecah, dapat terjadi perdarahan pada otak.

c. Gagal jantung. Untuk memompa darah melawan tekanan yang lebih

tinggi di pembuluh darah, otot jantung akan menebal. Akhirnya, otot

menebal mungkin memiliki waktu sulit memompa cukup darah untuk

memenuhi kebutuhan tubuh Anda, yang dapat menyebabkan gagal

jantung.

d. Melemah dan menyempitnya pembuluh darah di ginjal. Hal ini dapat

mencegah ginjal untuk berfungsi normal.

e. Menebal, menyempit atau robeknya pembuluh darah di mata. Hal ini

dapat mengakibatkan kehilangan penglihatan.

KESIMPULAN

1. Krisis hipertensi adalah peningkatan tekanan darah akut mencapai >180/>120

mmHg.

2. Manifestasi klinis hipertensi krisis berhubungan dengan kerusakan organ

target yang ada. Gejala dapat berupa penurunan kesadara, nyeri kepala,

penglihatan kabur, anuria atau oligouria, nyeri dada dan sebagainya.

3. Penatalaksanaan krisis hipertensi, hipertensi emergensi atau urgensi,

didasarkan pada seberapa cepat dan target tekanan darah berapa yang akan

dilakukan. Target inisial penurunan tekanan darah pada hipertensi urgensi

adalah 160/110 dalam jam atau hari dengan konvensional terapi oral.

Sedangkan pada hipertensi emergensi goal penurunan adalah mean arterial

pressure 10% pada 1 jam pertama dan 15% dalam 2 – 3 jam berikutnya dapat

diberikan obat-obatan intravena.

4.

DAFTAR PUSTAKA

Calhoun D.A, Oparil . S ; 1990 : Treatmenet of Hypertensive Crisis, New Engl J

Med, 323 : 1177-83.

Carretero OA, Oparil S. Essential hypertension. Part I: definition and etiology.

Circulation 2000;101(3):329-335.

David LS, Sharon EF, Colgan R. 2006. Hypertensive Urgencies and Emergencies.

Prim Care Clin Office Pract. 33:613-23.

Devicaesaria, A. 2014. Hipertensi Krisis. Departemen Neurologi Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia/RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta.

Fauci AS, Kasper DL, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, et al. 2008.

Harrison's Principles of Internal Medicine. Seventeenth Edition.

Fisch, B.J., 2000. The Patient with Chronic Renal Disease. In: Schrier, R.W.,

2000. Manual of Nephrology. ed 5rd. USA: Lippincott Williams & Wilkins,

155-166.

Hopkins C. Hypertensive Emergencies in Emergency Medicine. 2011.

Majid, A. 2004. Krisis Hipertensi Aspek Klinis Dan Pengobatan. Fakultas

Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Marik PE, Varon J. 2007. Hypertensive crises: challenges and

management. Chest. Jun. 131(6):1949-62.

Rodriguez MA, Kumar SK, De Caro M. 2010. Hypertensive crisis. Cardiol Rev.

Mar-Apr. 18(2):102-7.

Thomas L. 2011. Managing Hypertensive Emergency in the ED. Can

FamPhysician.57:1137-41.

Vaidya CK, Ouellette CK. 2007. Hypertensive Urgency and Emergency. Hospital

Physician. 43-50.

Varon J, Marik PE. 2013. Clinical Review: The Management of

Hypertensivecrises. Critical Care Journals.