Prescil dr. Indah TB Paru BTA (+) Lesi Luas Kasus Kambuh DD MDR (1)
-
Upload
minipredator -
Category
Documents
-
view
243 -
download
16
description
Transcript of Prescil dr. Indah TB Paru BTA (+) Lesi Luas Kasus Kambuh DD MDR (1)
PRESENTASI KASUS
CAP DAN TB PARU BTA (+) LESI LUAS KASUS KAMBUH DD MDR
Diajukan kepada :
dr. Indah Rahmawati, Sp.P
Disusun oleh :
Rizka Khairiza G4A014072
Elena Wandantyas G4A014073
Hesti Putri Anggraeni G4A014089
Zafir Jehan Andika G4A014091
Indrasti Banjaransari G4A014092
SMF ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
RSUD PROF. Dr. MARGONO SOEKARJO
PURWOKERTO
2015
LEMBAR PENGESAHAN
PRESENTASI KASUS
TB PARU BTA (+) LESI LUAS KASUS KAMBUH DD MDR
Disusun oleh :
Rizka Khairiza G4A014072
Elena Wandantyas G4A014073
Hesti Putri Anggraeni G4A014089
Zafir Jehan Andika G4A014091
Indrasti Banjaransari G4A014092
Telah dipresentasikan pada
Tanggal, Juli 2015
Pembimbing,
dr. Indah Rahmawati, Sp.P
2
BAB I
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PENDERITA
Nama : Tn. A
Usia : 44 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Status : Menikah
Agama : Islam
Pekerjaan : Pegawai Swasta
Alamat : Kebanggan RT 01/4. Sumbang, Kab.Banyumas,
Prov. Jawa Tengah
Tanggal masuk : 20Juli 2015
Tanggal periksa : 23 Juli 2015
No. CM : 00955662
II. SUBJEKTIF
1. Keluhan Utama
Batuk berdahak
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan batuk berdahak yang dirasakan
pasien makin memberat sejak tiga hari sebelum masuk rumah sakit.
Keluhan dirasakan semakin memberat, batuk berdahak dirasakan terus
menerus setiap hari dan sangat mengganggu aktivitas, dahak bewarna
putih. Batuk semakin bertambah berat pada pagi hari dan saat
beraktivitas, batuk membaik saat pasien beristirahat atau berbaring.
Saat batuk terdengar bunyi ronkhi.
Selain batuk berdahak, pasien mengeluhkan sesak nafas, keringat
dimalam hari, nafsu makan menurun, berat badan menurun 10kg dalam
kurun waktu 2 bulan terakhir, demam, dan bibir sering pecah-pecah.
Dua bulan sebelum masuk rumah sakit pasien mengeluhkan batuk
berdahakmaka pasien memutuskan untuk minum obat batuk yang di
3
beli di apotik.Setelah meminum obat keluhan dirasakan tidak membaik
melainkan semakin memberat, akhirnya pasien dibawa ke RSMS pada
hari Senin tanggal 20Juli 2015.
Pasien mengakuipernah di diagnosis TB Paru dengan BTA(+) dan
mengkonsumsi OAT sekitar tahun 2005 disalah satu RSU di Jakarta,
pengobatan di jalani hingga tuntas.
Riwayat Penyakit Dahulu
a. Riwayat keluhan serupa : diakui (sekitar tahun 2005)
b. Riwayat mondok : disangkal
c. Riwayat OAT : diakui (Sekitar tahun 2005)
d. Riwayat hipertensi : disangkal
e. Riwayat kencing manis : disangkal
f. Riwayat asma : disangkal
g. Riwayat alergi : disangkal
3. Riwayat Penyakit Keluarga
a. Riwayat keluhan serupa : disangkal
b. Riwayat hipertensi : disangkal
c. Riwayat kencing manis : disangkal
d. Riwayat asma : disangkal
e. Riwayat alergi : disangkal
4. Riwayat Sosial Ekonomi
a. Community
Sebelum sakit pasien bekerja di Jakarta sebagai Pegawai Swasta.
Pasien termasuk orang yang tekun dan giat dengan pekerjaannya.
Pasien pulang tidak menentu, terkadang pasien pulang satu bulan
sekali. Pasien memperhatikan teman atau tetangga pasien di
Jakartaada keluhan yang sama. Anak pertama pasien mengalami
keluhan yang sama dengan pasien. Hubungan antara pasien dengan
tetangga dan keluarga dekat baik.
b. Home
Lantai rumah beralaskan keramik, dan ada beberapa buah jendela
serta ventilasi yang kadang-kadang dibuka.Rumah pasien terdiri
4
dari 4 kamar tidur, satu ruang tamu, satu ruang keluarga, satu dapur,
dan dua kamar mandi, sumber air berasal dari PDAM.Pencahayaan
rumah pasien berasal dari lampu dan sinar matahari yang cukup.
c. Occupational
Pasien bekerja di perusahaan swasta dengan penghasilan
cukup.Pembiayaan rumah sakit ditanggung oleh sendiri.Pembiayaan
kebutuhan sehari-hari dibiayai oleh pasien sendiri.
d. Personal habit
Pasien mengaku makan sehari 2-3 kali sehari, dengan nasi, sayur
dan lauk pauk yang cukup.Pasien mengaku dulu pernah
merokok,pasien mengaku tidak pernah mengkonsumsi alkohol,
ataupun mengkonsumsi obat-obatan terlarang.
III. OBJEKTIF
1. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum :Sedang
b. Kesadaran : Composmentis, GCS E4M6V5 (15)
c. BB : 49 kg
d. TB : 160 cm
e. IMT : 23,43 (Normal)
f. Vital sign
- Tekanan Darah : 100/70 mmHg
- Nadi : 80x/menit
- RR : 24 x/menit
- Suhu : 37,5oC
d. Status Generalis
1) Kepala
- Bentuk : Mesochepal, simetris, venektasi temporal (-)
- Rambut : Warna hitam, tidak mudah dicabut,
distribusimerata, tidak rontok
2) Mata
5
- Palpebra : edema (-/-) ptosis (-/-)
- Konjungtiva : anemis (-/-)
- Sclera : ikterik (-/-)
- Pupil : reflek cahaya (+/+) normal,isokor Ø
3 mm
3) Telinga
- otore (-/-)
- deformitas (-/-)
- nyeri tekan (-/-)
- discharge (-/-)
4) Hidung
- nafas cuping hidung (-/-)
- deformitas (-/-)
- discharge (-/-)
- rinorhea (-/-)
5) Mulut
- bibir sianosis (-)
- bibir kering (+ )
- lidah kotor (-)
6) Leher
- Trakhea : deviasi trakhea (-/-)
- Kelenjar lymphoid : tidak membesar, nyeri (-)
- Kelenjar thyroid : tidak membesar
- JVP : nampak,tidak kuat angkat
7) Dada
a) Paru
- Inspeksi : Bentuk dada simetris,ketinggalan gerak(-)
Jejas (-)
Retraksi suprasternalis (-)
Retraksi intercostalis (-)
Retraksi epigastrik (-)
- Palpasi : Vocal fremitus kanan =kiri
6
Ketinggalan gerak (-)
- Perkusi : Hipersonor pada kedua lapang paru
Batas paru – hepar di SIC V LMCD
- Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+), wheezing (-/-)
Ronki basah kasar (+/+), ronki basah halus
(-/-)
b) Jantung
- Inspeksi : Ictus cordis nampak pada SIC V 2 jari medial
LMCS
- Palpasi : Ictus cordis teraba di SIC V 2 jari
medialLMCS,tidak kuat angkat
- Perkusi : Batas jantung kanan atas di SIC II LPSD
Batas jantung kiri atas di SIC II LPSS
Batas jantung kanan bawah di SIC IV LPSD
Batas jantung kiri bawah di SIC V 2 jari
medial LMCS
- Auskultasi : S1>S2, reguler, murmur (-), gallops (-)
8) Abdomen
- Inspeksi : datar
- Auskultasi : bising usus (+) normal
- Perkusi : timpani, pekak sisi (-), pekak alih (-), nyeri
ketok costovertebrae (-)
- Palpasi : supel, nyeri tekan (-), undulasi (-)
- Hepar : tidak teraba
- Lien : tidak teraba
9) Ekstrimitas
- Superior : edema (-/-), sianosis (-/-)
- Inferior : edema (-/-), sianosis (-/-)
7
2. Pemeriksaan penunjang
a. Laboratorium darah 20Juli 2015
Hb : 10,8 gr/dl L Normal : 14 – 18 gr/dl
Leukosit : 17.410 /ul H Normal : 4.800 – 10.800/ul
Hematokrit : 32 % L Normal : 42 % - 52 %
Eritrosit : 4,0 juta/ul L Normal : 4,7 – 6,1 juta/ul
Trombosit : 478.000/ul H Normal: 150.000 - 450.000/ul
MCV : 73,4 fL N Normal : 79 - 99 fL
MCH : 27,1 pg N Normal : 27 - 31 pg
MCHC : 34,2 gr/dl N Normal : 33 – 37gr/dl
RDW : 15,0 % H Normal : 11,5 - 14.5 %
MPV : 8,2fL N Normal : 7,2 - 11,1 fL
Hitung Jenis
Eosinofil : 0,1% L Normal : 2 – 4 %
Basofil : 0,2 % N Normal : 0 – 1 %
Batang : 0,9 % L Normal : 2 – 5 %
Segmen : 82,0 % H Normal : 40 – 70%
Limfosit : 8,1% L Normal : 25 - 40%
Monosit : 8,7% H Normal : 2 – 8 %
Kimia Klinik 22 Juli 2015
SGOT : 43 H Normal: 15-37 u/L
SGPT : 33 N Normal: 30-65 u/L
Ureum : 16,3 H Normal : 14,98-38,52 mg/dl
Kreatinin : 1,12 L Normal: 0,8-1,3 mg/dl
Asam urat : 3,8 N Normal: 3,5-7,2 mg/dl
GDS : 105 N Normal : < 200 mg/dl
Mikrobiologi
Pewarnaan ZN 1X
BTA I : Negatif
8
Epitel : Positif
Leukosit :Positif
Pewarnaan ZN 2X
BTA II : 3+ (positif 3)
Epitel : Positif
Leukosit :Positif
Pewarnaan ZN 3X
BTA III : 3+ (Positif 3)
Epitel : Positif
Leukosit : Positif
b. Foto thoraks
Foto Thorax 22 Juli 2015 di RSMS
9
Hasil pemeriksaan Foto Thorax
Cor : Bentuk dan Letak normal
Pulmo : Corakan vaskuler meningkat
Tampak bercak pada lapangan atas, tengah paru kanan kiri
disertai fibrotic line pada lapangan tengah paru kanan
Tampak pula konsolidasi dengan air bronkogram pada lapangan
tengah, bawah paru kiri
Hemidiafragma kanan setinggi kosta 9 posterior
Sinus kontofrenikus kanan kiri lancip
Kesan:
Bentuk dan letak jantung normal
Gambaran pneumonia underlying TB
IV. ASSESSMENT
Diagnosis Klinis:
1. CAP
2. TB Paru BTA (+) Lesi Luas Kasus Kambuh dd MDR
3. Anemia
V. PLANNING
1. Diagosis
a. Cek kultur resistensi sputum Mycobacterium Tuberculosisuntuk
mengetahui MDR atau tidak
b. Konsul VCT
2. Terapi
a. Farmakologi
1) Oksigen 4 lpm (nasal kanul)
2) IVFD RL 20 tpm
3) Inj. Ceftriaxon 1x2 gram (IV)
4) Inj. Ranitidin2x1 amp (IV)
5) Po. Ambroxol 3x1 Tab
6) Po. Pamol 3x1 Tab (k/p)
10
7) Po. Azitromicin 1x500mg
8) Po. Metilprednisolon 62,5mg/12 jam
9) 4 FDC 1x III
10) Po. Streptomicin 1x750 mg
b. Non Farmakologi
1) Edukasi pasien dan keluarga pasien mengenaipenyebab,
penularan, pengobatan, efek samping obat dan komplikasi dari
penyakit TB.
2) Edukasi mengenai kebersihan lingkungan rumah, seperti buka
ventilasi setiap hari agar sinar matahari dan udara masuk juga
edukasi untuk selalu membersihkan rumahnya dan edukasi agar
pasien menutup mulut apabila batuk ataumenggunakan masker,
tidak mambuang dahak sembarangan lagi.
3) Makan makanan yang bergizi
4) Screening pada anggota keluarga yang lain apabila ada yang
mengalami gejala yang sama terutama anak kecil dan untuk
tindakan pencegahan juga pengobatan lebih awal jika keluarga
lain sudah tertular.
3. Monitoring
a. Keadaan umum dan kesadaran
b. Tanda vital
c. Evaluasi klinis
- Pasien dievaluasi setiap 2 minggu sampai akhir bulan kedua
pengobatan, selanjutnya tiap 1 bulan mulai bulan ketiga.
- Evaluasi respon pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat
serta ada tidaknya komplikasi
- Evaluasi klinis meliputi keluhan, berat badan, pemeriksaan fisik
d. Evaluasi radiologi
- Sebelum pengobatan
- Pada akhir pengobatan
e. Evaluasi efek samping
- Periksa fungsi hati (SGOT, SGPT, bilirubin)
11
- Periksa fungsi ginjal (ureum, kreatinin)
- Periksa GDS, G2PP, asam urat
- Pemeriksaan visus
- Pemeriksaan keseimbangan dan pendengaran
f. Evaluasi keteraturan obat
4. Prognosis
Keberhasilan kesembuhan penyakit tuberkulosis tergantung pada:
a. Kepatuhan minum obat
b. Komunikasi dan edukasi serta pengawasan minum obat
c. Umur penderita
d. Penyakit yang menyertai
e. Resistensi obat
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad malam
Ad sanationam : dubia ad malam
12
13
BAB II
PEMBAHASAN
A. Penegakan Diagnosis
1. Community Acquired Pneumonia
Pneumonia didefinisikan sebagai suatu peradangan paru yang
disebabkan oleh mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, parasit).
Pneumonia yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis tidak
termasuk. Sedangkan peradangan paru yang disebabkan oleh non
mikroorganisme (bahan kimia, radiasi, aspirasi bahan toksik, obat-obatan
dan lain-lain) disebut pneumonitis (Misnadiarly, 2008). Pneumonia
komuniti adalah pneumonia yang didapat di masyarakat. Diagnosis
pneumonia komuniti didapatkan dari anamnesis, gejala klinis
pemeriksaan fisis, foto toraks dan labolatorium. Diagnosis pasti
pneumonia komuniti ditegakkan jika pada foto toraks terdapat infiltrat
baru atau infiltrat progresif ditambah dengan 2 atau lebih gejala di bawah
ini (PDPI, 2011):
a. Batuk-batuk bertambah
b. Perubahan karakteristik dahak / purulent
c. Suhu tubuh > 38oC (aksila) / riwayat demam
d. Pemeriksaan fisis : ditemukan tanda-tanda konsolidasi, suara napas
bronkial dan ronki
e. Leukosit > 10.000 atau < 4500
Pada pasien Tn. A diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
a. Anamnesis : batuk berdahak berwarna putih yang semakin
bertambah, dahak dirasakan semakin banyak, riwayat demam.
b. Pemeriksaan fisik : hipersonor pada kedua lapang paru, pada
auskulatasi terdengar suara tambahan yaitu ronki basah kasar
parahiler (+/+)
c. Pemeriksaan penunjang: hasil pemeriksaan darah lengkap ditemukan
adanya leukositosis
14
2. TB Paru Lesi Luas Kasus Kambuh DD MDR
a. Anamnesis
1) Keluhan utama: batuk berdahak sejak dua bulan sebelum masuk
rumah sakit.
2) Gejala penyerta: sering berkeringat di malam hari, nafsu makan
menurun, berat badan menurun 10 kg dalam kurun waktu 2
bulan terakhir, bibir sering pecah – pecah, serta adanya riwayat
sering demam.
3) Pasien sebelumnya pernah memiliki keluhan yang sama dan
pasien telah menjalani pengobatan OAT selama 6 bulan dan
dinyatakan sembuh.
4) Anak pertama pasien mengalami keluhan yang sama dan sedang
menjalani pengobatan OAT.
5) Pasien mengakui dulu pernah merokok tetapi sekarang sudah
berhenti.
b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan paru ditemukan hipersonor pada kedua lapang paru,
pada auskultasi paru terdapat suara tambahan yaitu terdengar ronki
basah kasar parahiler (+/+)
c. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan mikrobiologi tanggal 22 Juli 2015 (BTA) 3 kali
didapatkan hasil -/+3/+3.
Foto thoraks AP tanggal 22 Juli 2015
Pulmo: corakan vaskuler meningkat, tampak bercak pada lapangan
atas, tengah paru kanan kiri disertai fibrotic line pada lapangan
tengah paru kanan. Tampak pula konsolidasi dengan air bronkogram
pada lapangan tengah, bawah paru kiri menunjukkan gambaran
pneumonia underlying TB.
15
B. Tindak Lanjut Penanganan Pasien
1. Community Acquired Pneumonia
Penderita pneumonia perlu diperhatikan keadaan klinisnya. Bila
keadaan klinis baik dan tidak ada indikasi rawat dapat diobati di rumah.
Penderita pneumonia berat yang datang ke IGD diobservasi tingkat
kegawatannya, bila dapat distabilkan maka penderita dirawat inap di
ruang rawat biasa; bila terjadi respiratory distress maka penderita
dirawat di Ruang Rawat Intensif. Juga diperhatikan ada tidaknya faktor
modifikasi yaitu keadaan yang dapat meningkatkan risiko infeksi dengan
mikroorganisme patogen yang spesifik misalnya S. pneumoniae yang
resisten penisilin. Yang termasuk dalam faktor modifikasis adalah (PDPI,
2003):
a. Pneumokokus resisten terhadap penisilin
1) Umur lebih dari 65 tahun
2) Memakai obat-obat golongan P laktam selama tiga bulan
terakhir
3) Pecandu alcohol
4) Penyakit gangguan kekebalan
5) Penyakit penyerta yang multiple
b. Bakteri enterik Gram negatif
1) Penghuni rumah jompo
2) Mempunyai penyakit dasar kelainan jantung paru
3) Mempunyai kelainan penyakit yang multiple
4) Riwayat pengobatan antibiotik
c. Pseudomonas aeruginosa
1) Bronkiektasis
2) Pengobatan kortikosteroid > 10 mg/hari
3) Pengobatan antibiotik spektrum luas > 7 hari pada bulan terakhir
4) Gizi kurang
Penatalaksanaan pneumonia komuniti dibagi menjadi :
a. Penderita rawat jalan
1) Pengobatan suportif / simptomatik
16
2) Istirahat di tempat tidur
3) Minum secukupnya untuk mengatasi dehidrasi
4) Bila panas tinggi perlu dikompres atau minum obat penurun
panas
5) Bila perlu dapat diberikan mukolitik dan ekspektoran
6) Pemberian antiblotik harus diberikan (sesuai bagan) kurang dari
8 jam
b. Penderita rawat inap di ruang rawat biasa
1) Pengobatan suportif / simptomatik
2) Pemberian terapi oksigen
3) Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi kalori dan
elektrolit
4) Pemberian obat simptomatik antara lain antipiretik, mukolitik
5) Pengobatan antibiotik harus diberikan (sesuai bagan) kurang
dari 8 jam
c. Penderita rawat inap di Ruang Rawat Intensif
1) Pengobatan suportif / simptomatik
2) Pemberian terapi oksigen
3) Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi kalori dan
elektrolit Pemberian obat simptomatik antara lain antipiretik,
mukolitik
4) Pengobatan antibiotik (sesuai bagan.) kurang dari 8 jam
5) Bila ada indikasi penderita dipasang ventilator mekanik
17
Tabel 1. Penatalaksanaan CAP (PDPI, 2003)
Bila dengan pengobatan secara empiris tidak ada perbaikan / memburuk
maka pengobatan disesuaikan dengan bakteri penyebab dan uji
sensitiviti.
2. TB Paru Lesi Luas Kasus Kambuh DD MDR
Prinsip pengobatan TB yaitu :
a. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat
dengan jumlah cukup dan dosis yang tepat sesuai dengan kategori
pemberian
b. Harus dilakukan pengawasan langsung oleh Pengawas Menelan Obat
(PMO) untuk menjamin agar pasien patuh menelan obat.
18
c. Pengobatan dilakukan dalam 2 tahap, intensif dan lanjutan. Tahap
intensif bertujuan untuk mencegah resistensi obat dan mencegah
penularan. Sedangkan pada tahap lanjutan bertujuan untuk mencegah
kekambuhan, karena itu obat yang diberikan lebih sedikit
dibandingkan pada tahap intensif.
Pada pasien ini adalah kasus kambuh karena pasien sudah pernah
diobati dengan OAT selama 6 bulan, sehingga diberikan OAT kategori
II. OAT kategori II, diberikan untuk pasien dengan:
a. Pasien kambuh
b. Pasien gagal
c. Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default)
Tabel 2. Panduan OAT FDC kategori II
19
Tabel 3. Panduan OAT Kombipak kategori II
Catatan:
1. Untuk pasien yang berumur 60 tahun ke atas dosis maksimal untuk
streptomisin adalah 500mg tanpa memperhatikan berat badan.
2. Untuk perempuan hamil lihat pengobatan TB dalam keadaan khusus.
3. Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan menambah
aquabidest sebanyak 3,7 ml sehingga menjadi 4 ml (1 ml = 250mg).
Pasien ini memiliki berat badan 49 kg, sehingga OAT yang
diberikan adalah OAT 4FDC kategori II tahap intensif yang diminum
setiap hari sebanyak 3 tablet sekali minum dan injeksi streptomisin 750
mg selama 56 hari. Kemudian dilanjutkan sisipan dengan 3 tablet OAT
4FDC saja untuk 28 hari selanjutnya. Jika setelah sisipan BTA masih (+)
atau foto thorax tidak ada perubahan atau memburuk, tahap lanjutan tetap
diberikan yaitu 3 tablet 2FDC ditambah 3 tablet etambutol. Jika
memungkinkan, dilakukan tes kultur, tes resistensi atau rujuk ke layanan
TB MDR.
Penentuan dosis terapi kombinasi dosis tetap 4 obat berdasarkan
rentang dosis yang telah ditentukan oleh WHO merupakan dosis yang
efektif atau masih termasuk dalam batas dosis terapi dan non toksik.
Pada kasus yang mendapat obat kombinasi dosis tetap tersebut,
bila mengalami efek samping serius harus dirujuk ke rumah sakit /
dokter spesialis paru / fasilitas yang mampu menanganinya.
20
Efek samping obat :
1. Isoniazid (INH)
Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan
tanpa efek samping.Namun sebagian kecil dapat mengalami efek
samping, oleh karena itu pemantauan kemungkinan terjadinya efek
samping sangat penting dilakukan selama pengobatan.
Efek samping yang terjadi dapat ringan atau berat, bila efek
samping ringan dan dapat diatasi dengan obat simptomatis maka
pemberian OAT dapat dilanjutkan.
2. Rifampisin
Efek samping ringan yang dapat terjadi dan hanya memerlukan
pengobatan simptomatis ialah :
a) Sindrom flu berupa demam, menggigil dan nyeri tulang
b) Sindrom perut berupa sakit perut, mual, tidak nafsu makan,
muntah kadang-kadang diare
c) Sindrom kulit seperti gatal-gatal kemerahan
Efek samping yang berat tetapi jarang terjadi ialah :
a. Hepatitis imbas obat atau ikterik, bila terjadi hal tersebut OAT
harus distop dulu dan penatalaksanaan sesuai pedoman TB pada
keadaan khusus
b. Purpura, anemia hemolitik yang akut, syok dan gagal ginjal.
Bila salah satu dari gejala ini terjadi, rifampisin harus segera
dihentikan dan jangan diberikan lagi walaupun gejalanya telah
menghilang
c. Sindrom respirasi yang ditandai dengan sesak napas
Rifampisin dapat menyebabkan warna merah pada air seni,
keringat, air mata dan air liur. Warna merah tersebut terjadi karena
proses metabolisme obat dan tidak berbahaya. Hal ini harus
diberitahukan kepada pasien agar mereka mengerti dan tidak perlu
khawatir.
21
3. Pirazinamid
Efek samping utama ialah hepatitis imbas obat
(penatalaksanaan sesuai pedoman TB pada keadaan khusus). Nyeri
sendi juga dapat terjadi (beri aspirin) dan kadang-kadang dapat
menyebabkan serangan arthritis Gout, hal ini kemungkinan
disebabkan berkurangnya ekskresi dan penimbunan asam urat.
Kadang-kadang terjadi reaksi demam, mual, kemerahan dan reaksi
kulit yang lain.
4. Etambutol
Etambutol dapat menyebabkan gangguan penglihatan berupa
berkurangnya ketajaman, buta warna untuk warna merah dan
hijau.Meskipun demikian keracunan okuler tersebut tergantung pada
dosis yang dipakai, jarang sekali terjadi bila dosisnya 15-25 mg/kg
BB perhari atau 30 mg/kg BB yang diberikan 3 kali seminggu.
Gangguan penglihatan akan kembali normal dalam beberapa minggu
setelah obat dihentikan. Sebaiknya etambutol tidak diberikan pada
anak karena risiko kerusakan okuler sulit untuk dideteksi.
5. Streptomisin
Efek samping utama adalah kerusakan syaraf VIII yang
berkaitan dengan keseimbangan dan pendengaran. Risiko efek
samping tersebut akan meningkat seiring dengan peningkatan dosis
yang digunakan dan umur pasien. Risiko tersebut akan meningkat
pada pasien dengan gangguan fungsi ekskresi ginjal. Gejala efek
samping yang terlihat ialah telinga mendenging (tinitus), pusing dan
kehilangan keseimbangan. Keadaan ini dapat dipulihkan bila obat
segera dihentikan atau dosisnya dikurangi 0,25gr. Jika pengobatan
diteruskan maka kerusakan alat keseimbangan makin parah dan
menetap (kehilangan keseimbangan dan tuli).
Reaksi hipersensitiviti kadang terjadi berupa demam yang
timbul tiba-tiba disertai sakit kepala, muntah dan eritema pada kulit.
Efek samping sementara dan ringan (jarang terjadi) seperti
kesemutan sekitar mulut dan telinga yang mendenging dapat terjadi
22
segera setelah suntikan.Bila reaksi ini mengganggu maka dosis dapat
dikurangi 0,25gr. Streptomisin dapat menembus sawar plasenta
sehingga tidak boleh diberikan pada perempuan hamil sebab dapat
merusak syaraf pendengaran janin.
Terdapat beberapa faktor yang sangat penting dalam
mengevaluasi kemungkinan hasil dari TB. Semakin muda usia, semakin
besar bahaya penyebaran hematogeneous penyakit. Semakin lama durasi
semakin besar kemungkinan komplikasi seperti tuberkulosis
endobronkial, tuberkulosis milier, tuberculosis meningitis, dan lain-lain.
Semakin besar ukuran fokus paru dan kelenjar mediastinal, terutama
kelenjar paratrakeal, semakin besar kemungkinan prognosis yang buruk.
Gizi buruk terutama dalam derajat parah (kwashiorkor dan marasmus)
dapat memperparah TB. Keparahan,perluasan dan prognosis buruk dapat
juga dipicu oleh infeksi kambuhan, terutama campak, batuk rejan, infeksi
saluran pernapasan kronis, tindakan pembedahan dan terapi steroid
(Himayatnagar, 2009).
Pengawas Minum Obat (PMO) merupakan kunci dari
keberhasilan DOTS tersebut. PMO memiliki beberapa tugas penting
yaitu:
a. Mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur sampai
selesai pengobatan (6-9 bulan)
b. Memberi dorongan dan semangat kepada pasien
c. Mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu yang
telah ditentukan ataupun bila terdapat indikasi lain
d. Memberi penyuluhan kepada pasien & keluarga pasien mengenai
penyakit TB dan mengawasi keluarga pasien yang mempunyai
gejala-gejala mencurigakan TB agar melakukan pemeriksaan.
Informasi penting yang perlu dipahami PMO untuk disampaikan
kepada pasien dan keluarganya:
a. TB dapat disembuhkan dengan berobat teratur.
b. TB bukan penyakit keturunan atau kutukan.
23
c. Cara penularan TB, gejala-gejala yang mencurigakan dan cara
pencegahannya.
d. Cara pemberian pengobatan pasien (tahap intensif dan lanjutan).
e. Pentingnya pengawasan supaya pasien berobat secara teratur.
f. Kemungkinan terjadinya efek samping obat dan perlunya segera
meminta pertolongan ke pelayanan kesehatan.
Deteksi dini melalui screening terhadap orang yang beresiko tertular juga penting
dilakukan. Kemungkinan penularan bakteri tuberkulosis lebih cepat dengan
keadaan rumah yang mendukung seperti lembab, matahari tidak masuk, ventilasi
yang tidak memadai. Kemungkinan penularan pada keluarga pasien sangat besar
sehingga perlu dilakukan skrining TB paru terhadap keluarga pasien yang tinggal
serumah dan kontak erat dengan pasien.
TB MDR (MULTI DRUG RESISTANCE)
Definisi
Resistensi ganda adalah M. tuberkulosis yang resisten minimal terhadap
rifampisin dan INH dengan atau tanpa OAT lainnya.Rifampisin dan INH
merupakan 2 obat yang sangat penting pada pengobatan TB yang diterapkan pada
strategi DOTS. Secara umum resitensi terhadap obat anti tuberkulosis dibagi
menjadi :
1. Resistensi primer ialah apabila pasien sebelumnya tidak pernah mendapat
pengobatan OAT atau telah mendapat pengobatan OAT kurang dari 1
bulan.
2. Resistensi initial ialah apabila kita tidak tahu pasti apakah pasien sudah
ada riwayat pengobatan OAT sebelumnya atau belum pernah.
3. Resistensi sekunder ialah apabila pasien telah mempunyai riwayat
pengobatan OAT minimal 1 bulan.
Pada kasus ini, jika hasil pemeriksaan biakan dan uji kepekaan
menunjukkan resistensi terhadap OAT maka pasien dapat dikategorikan dalam
resistensi sekunder karena sebelumnya mempunyai riwayat pengobatan OAT dan
dinyatakan sembuh.
Ada beberapa penyebab terjadinya resistensi terhadap obat tuberkulosis, yaitu:
24
1. Pemakaian obat tunggal dalam pengobatan tuberkulosis
2. Penggunaan panduan pengobatan yang tidak memadai, baik karena jenis
obatnya yang tidak tepat misalnya hanya memberikan INH dan Etambutol
pada awal pengobatan, maupun karena lingkungan itu telah tercatat
adanya resistensi yang tinggi terhadap obat yang digunakan, misalnya
Rifampisin dan INH saja pada daerah dengan resistensi terhadap kedua
obat itu sudah cukup tinggi.
3. Fenomena ”addition syndrome” (crofton, 1987), yaitu suatu obat
ditambahkan dalam suatu panduan pengobatan yang tidak berhasil. Bila
kegagalan itu terjadi karena kuma TB telah resisten pada panduan yang
pertama, maka ”penambahan ” (addition) satu macam obat hanya akan
menambah panjangnya daftar obat yang resisten saja.
4. Penggunaan obat kombinasi yang pencampurannya tidak dilakukan secara
baik sehingga mengganggu bioavailabilitas obat. Hal ini dilaporkan
terjadinya di India.
5. Penyediaan obat yang tidak reguler, kadang-kadang obat datang ke suatu
daerah dan kadang-kadang terhenti pengirimannya sampai berbulan-
bulan.
6. Pemberian obat TB yang tidak teratur, misalnya hanya dimakan dua atau
tiga minggu lalu stop, lalu setelah dua bulan berhenti lalu berpindah
dokter mendapat obat kembali untuk dua atau tiga bulan lalu stop lagi,
dan demikian seterusnya.
Epidemiologi
”WHO Report On Tuberculosis Epidemic 2008” menyatakan bahwa
resisitensi ganda kini menyebar dengan amat cepat di berbagai belahan dunia.
Lebih dari 50 juta orang mungkin telah terinfeksi oleh kuman tuberkulosis yang
resisten terhadap beberapa obat anti tuberkulosis khususunya Rifampisin dan
INH, serta kemungkinan pula ditambah obat lainnya. Pada tahun 2010 WHO
menyatakan infeksi TB-MDR meningkat secara bertahap merata 2% pertahun.
Indonesia menduduki peringkat ke-8 dari 27 negara-negara yang mempunyai
beban tinggi dan prioritas kegiatan untuk MDR.
25
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terjadinya TB-MDR
Kegagalan pada pengobatan poliresisten TB atau TB-MDR akan
menyebabkan lebih banyak OAT yang resisten terhadap kuman M. tuberculosis.
Kegagalan ini bukan hanya merugikan pasien tetapi juga meningkatkan penularan
pada masyarakat.TB resistensi obat anti TB (OAT) pada dasarnya adalah suatu
fenomena buatan manusia,Sebagai akibat dari pengobatan pasien TB yang tidak
adekuat yang menyebabkan terjadinya penularan dari pasien TB-MDR ke orang
lain / masyarakat. Faktor penyebab resitensi OATterhadap kuman M. tuberculosis
antara lain :
1. FAKTOR MIKROBIOLOGIK
Resisten yang natural
Resisten yang didapat
Ampli fier effect
Virulensi kuman
Tertular galur kuman –MDR
2. FAKTOR KLINIK
A. Penyelenggara kesehatan
Keterlambatan diagnosis
Pengobatan tidak mengikuti guideline
Penggunaan paduan OAT yang tidak adekuat yaitu karena jenis obatnya
yang kurang atau karena lingkungan tersebut telah terdapat resitensi yang
tinggi terhadap OAT yang digunakan misal rifampisin atau INH
Tidak ada guideline/pedoman
Tidak ada / kurangnya pelatihan TB
Tidak ada pemantauan pengobatan
Fenomena addition syndromeyaitu suatu obat yang ditambahkan pada satu
paduan yang telah gagal. Bila kegagalan ini terjadi karena kuman
tuberkulosis telah resisten pada paduan yang pertama maka ”penambahan”
1 jenis obat tersebut akan menambah panjang daftar obat yang resisten.
Organisasi program nasional TB yang kurang baik
26
B. Obat
Pengobatan TB jangka waktunya lama lebih dari 6 bulan sehingga
membosankan pasien
Obat toksik menyebabkan efek samping sehingga pengobatan kompllit
atau sampai selesai gagal
Obat tidak dapat diserap dengan baik misal rifampisin diminum setelah
makan, atau ada diare
Kualitas obat kurang baik misal penggunaan obat kombinasi dosis tetap
yang mana bioavibiliti rifampisinnya berkurang
Regimen / dosis obat yang tidak tepat
Harga obat yang tidak terjangkau
Pengadaan obat terputus
C. Pasien
Kurangnya informasi atau penyuluhan
Kurang dana untuk obat, pemeriksaan penunjang dll
Efek samping obat
Sarana dan prasarana transportasi sulit / tidak ada
Masalah sosial
Gangguan penyerapan obat
3. FAKTOR PROGRAM
Tidak ada fasilitas untuk biakan dan uji kepekaan
Ampli fier effect
Tidak ada program DOTS-PLUS
Program DOTS belum berjalan dengan baik
Memerlukan biaya yang besar
4. FAKTOR AIDS–HIV
Kemungkinan terjadi TB-MDR lebih besar
Gangguan penyerapan
Kemungkinan terjadi efek samping lebih besar
5. FAKTOR KUMAN
27
Kuman M. tuberculosis super strains
Sangat virulen
Daya tahan hidup lebih tinggi
Berhubungan dengan TB-MDR
Kategori Resistensi M. Tuberculosis Terhadap OAT
Terdapat lima jenis kategori resistensi terhadap obat TB:
1. Mono- resistance : kekebalan terhadap salah satu OAT
2. Poly-resistance : kekebalan terhadap lebih dari satu OAT, selain
kombinasi isoniazid dan rifampisin
3. Multidrug-resistance (MDR): Kekebalan terhadap sekurang-kurangnya
isoniazid dan rifampicin.
4. Extensive drug-resistance (XDR) : TB-MDR ditambah kekebalan
terhadap salah satu obat golongan fluorokuinolon, dan sedikitnya salah
satu dari OAT injeksi lini kedua (kapreomisin, kanamisin, dan amikasin)
5. Total Drug Resistance : resisten baik dengan lini pertama maupun lini
kedua. Pada kondisi ini tidak ada lagi obat yang bisa dipakai
Patofisiologi
Multidrug resistant tuberculosis (MDR Tb) adalah Tb yang disebabkan
oleh Mycobacterium Tuberculosis (M. Tb) resisten in vitro terhadap isoniazid (H)
dan rifampisin (R) dengan atau tanpa resisten obat lainnya. Terdapat 2 jenis kasus
resistensi obat yaitu kasus baru dan kasus telah diobati sebelumnya.Kasus baru
resisten obat Tb yaitu terdapatnya galur M. Tb resisten pada pasien baru
didiagnosis Tb dan sebelumnya tidak pernah diobati obat antituberkulosis (OAT)
atau durasi terapi kurang 1 bulan.Pasien ini terinfeksi galur M. Tb yang telah
resisten obat disebut dengan resistensi primer.Kasus resisten OAT yang telah
diobati sebelumnya yaitu terdapatnya galur M. Tb resisten pada pasien selama
mendapatkan terapi Tb sedikitnya 1 bulan. Kasus ini awalnya terinfeksi galur M
Tb yang masih sensitif obat tetapi selama perjalanan terapi timbul resistensi obat
atau disebut dengan resistensi sekunder (acquired).
28
Secara mikrobiologi resistensi disebabkan oleh mutasi genetik dan hal ini
membuat obat tidak efektif melawan basil mutan.Mutasi terjadi spontan dan
berdiri sendiri menghasilkan resistensi OAT.Sewaktu terapi OAT diberikan galur
M. Tb wild type tidak terpajan.Diantara populasi M. Tb wild type ditemukan
sebagian kecil mutasi resisten OAT.Resisten lebih 1 OAT jarang disebabkan
genetik dan biasanya merupakan hasil penggunaan obat yang tidak adekuat.
Sebelum penggunaan OAT sebaiknya dipastikan M. Tb sensitif terhadap OAT
yang akan diberikan. Sewaktu penggunaan OAT sebelumnya individu telah
terinfeksi dalam jumlah besar populasi M. Tb berisi organisms resisten obat.
Populasi galur M. Tb resisten mutan dalam jumlah kecil dapat dengan mudah
diobati.Terapi Tb yang tidak adekuat menyebabkan proliferasi dan meningkatkan
populasi galur resisten obat.Kemoterapi jangka pendek pasien resistensi obat
menyebabkan galur lebih resisten terhadap obat yang digunakan atau sebagai efek
penguat resistensi.Penularan galur resisten obat pada populasi juga merupakan
sumber kasus resistensi obat baru.Meningkatnya koinfeksi Tb HIV menyebabkan
progresi awal infeksi MDR Tb menjadi penyakit dan peningkatan penularan MDR
Tb.
Pasien yang dicurigai kemungkinan TB-MDR adalah :
1. Kasus TB paru dengan gagal pengobatan pada kategori 2. Dibuktikan
dengan rekam medis sebelumnya dan riwayat penyakit dahulu
2. Pasien TB paru dengan hasil pemeriksaan dahak tetap positif setelah
sisipan dengan kategori 2
3. Pasien TB yang pernah diobati di fasilitas non DOTS, termasuk yang
mendapat OAT lini kedua seperti kuinolon dan kanamisin
4. Pasien TB paru yang gagal pengobatan kategori 1
5. Pasien TB paru dengan hasil pemeriksaan dahak tetap positif setelah
sisipan dengan kategori 1
6. TB paru kasus kambuh
7. Pasien TB yang kembali setelah lalai/default pada pengobatan kategori 1
dan atau kategori 2
29
8. Suspek TB dengan keluhan, yang tinggal dekat dengan pasien TB-MDR
konfirmasi, termasuk petugas kesehatan yang bertugas dibangsal TB-MDR
9. TB-HIV
Pasien yang memenuhi ‘kriteria suspek’ harus dirujuk ke laboratorium dengan
jaminan mutu eksternal yang ditunjuk untuk pemeriksaan biakan dan uji kepekaan
obat.
Diagnosis TB-MDR
Diagnosis TB-MDR dipastikan berdasarkan uji kepekaan
Semua suspek TB-MDR diperiksa dahaknya untuk selanjutnya dilakukan
pemeriksaan biakan dan uji kepekaan. Jika hasil uji kepekaaan terdapat
M.tuberculosis yang resisten minimal terhadap rifampisin dan INH maka
dapat ditegakkan diagnosis TB-MDR
Diagnosis dan pengobatan yang cepat dan tepat untuk TB-MDR didukung oleh:
Pengenalan faktor risiko untuk TB-MDR
Pengenalan kegagalan obat secara dini
Uji kepekaan obat di laboratorium yang sudah tersertifikasi
Pengenalan kegagalan pengobatan secara dini:
Batuk tidak membaik yang seharusnya membaik dalam waktu 2 minggu
pertama setelah pengobatan
Tanda kegagalan : sputum tidak konversi, batuk tidak berkurang, demam,
berat badan menurun atau tetap
Hasil uji kepekaan diperlukan:
Untuk diagnosis resistensi
Sebagai acuan pengobatan
Bila kecurigaan resistensi sangat kuat kirim sampel sputum ke
laboratorium untuk uji resitensi kemudian rujuk ke spesialis paru.
Penatalaksanaan TB-MDR
Klasifikasi OAT untuk MDR
Kriteria utama berdasarkan data biologi dibagi menjadi 3 kelompok OAT:
30
1. Obat dengan aktiviti bakterisid : aminoglikosid, tionamid dan pirazinamid
yang bekerja pada pH asam
2. Obat dengan aktiviti bakterisid rendah : fluorokuinolon
3. Obat dengan aktiviti bakteriostatik : etambutol, cycloserin, dan PAS
Fluorokuinolon
Fluorokuinolon (moksifloksasin, levofloksasin, ofloksasin dan siprofloksasin)
dapat digunakan untuk kuman TB yang resisten terhadap lini-1.
Resistensi silang
Pada pengobatan MDR TB harus dipertimbangkan resistensi silang dalam
memilih jenis OAT. Tidak efektif memberikan OAT dari golongan yang sama
atau paduan OAT yang berpotensi terjadi resistensi silang.
* Tionamid dan tiosetason
Etionamid adalah golongan tionamid yang dapat menginduksi terjadinya
resistensi silang dengan proteonamid karena satu golongan. Sering ditemukan
resistensi silang antara tionamid dengan tiosetason, galur yang biasanya resisten
dengan tiosetason biasanya masih sensitif dengan etionamid dan proteonamid.
Galur yang resisten terhadap etionamaid dan proteonamid biasanya juga resisten
terhadap tiosetason pada lebih dari 70% kasus.
* Aminoglikosid
Galur yang resisten terhadap streptomisin biasanya sensitif terhadap
kanamisin dan amikasin. Galur yang resisten terhadap kanamisin dapat
menyebabkan resisten silang terhadap amikasin. Galur yang resisten terhadap
kanamisisn dan amikasin juga menimbulkan resisten terhadap steptomisin. Galur
yang resisten terhadap streptomisin, kanamisin, amikasin biasanya masih sensitif
terhadap kapreomisin.
Kesimpulan :
- Resistensi terhadap streptomisin gunakan kanamisin atau amikasin
- Resisten terhadap kanamisin atau amikain gunakan kapreomisin
* Fluorokuinolon
Ofloksasin dan siprofloksasin dapat menginduksi terjadinya resistensi
silang untuk semua fluorokuinolon. Itulah sebabnya penggunaan ofloksasin harus
31
hati-hati karena beberapa kuinolon yang lebih aktif (levofloksasin dan
moksifloksasin) dapat menggantiakn ofloksasin di masa datang.
* Sikloserin dan terizidon
Terdapat resistensi silang antara dua macam obat ini. Tidak terdapat
resistensi silang dengan obat golongan lain.
Hingga saat ini belum ada panduan pengobatan yang distandarisasi untuk
pasien MDR TB. Pemberian pengobatan pada dasarnya ”tailor mode”, bergantung
dari hasil uji resistensi dengan menggunakan minimal 4 OAT masih sensitif. Obat
lini-2 yang digunakan yaitu golongan fluorokuinolon,aminoglikosida, etionamid,
sikloserin, klofazimin, amoksilin+as klavulanat. Saat ini panduan yang dianjurkan
ialah OAT yang masih sensitif minimal 2-3 OAT lini 1 ditambah dengan obat lini
2, yaitu Siprofloksasin dengan dosis 1000-1500 mg atau ofloksasin 600-800 (obat
dapat diberikan single dose atau 2 kali sehari). Pengobatan terhadap tuberkulosis
resisten ganda sangat sulit dan memerlukan waktu yang lama yaitu minimal 18
bulan. Prioritas yang dianjurkan bukan pengobatan MDR, tetapi pencegahan
MDR TB.
Tabel 3. Tingkatan OAT untuk pengobatan MDR TB
Ting-katan
Obat Dosis Harian Aktiviti antibakteri Rasio kadarPuncak Serum terhadap MIC
1 Aminoglikosida.Streptomisinb. Kanamisin atau amikasinc. Kapreomisin
15 mg/kg Bakterisid menghambat organisme yang multiplikasi aktif
20-305-7,5
10-15
2 Thionamides(etionamidProtinamid)
10-20 mg/kg Bakterisid 4-8
3 Pirazinamid 20-30 mg/kg Bakterisid pada pH asam
7,5-10
4 Ofloksasin 7,5-15 mg/kg Bakterisid mingguan
2,5-5
5 Ethambutol 15-20 mg/kg Bakteriostatik 2-3
6 Sikloserin 10-20 mg/kg Bakteriostatik 2-4
32
7 PAS asam 10-12 g Bakteriostatik 100
Regimen standar TB MDR di Indonesia adalah:
6Z-(E)-Kn-Lfx-Eto-Cs/18Z-(E)-Lfx-Eto-Cs. Dengan penjabaran fase inisial
selama 6 bulan menggunakan 5 atau 6 jenis obat, dan dilanjutkan dengan 18 bulan
menggunakan 4 atau 5 jenis obat (Z: Pirazinamid, E: Etambutol, Kn: Kanamisin,
Lfx: Levofloksasin, Eto: Etionamid, Cs: Sikloserin). Etambutol tidak diberikan
bila terbukti resisten.
Prinsip Pengobatan TB-MDR
1. Setiap rejimen TB MDR terdiri dari paling kurang 4 macam obat dengan
efektifitas yang pasti atau hampir pasti.
2. PAS ditambahkan ketika ada resistensi diperkirakan atau hampir
dipastikan ada pada fluorokuinolon. Kapreomisin diberikan bila terbukti
resisten kanamisin.
3. Dosis obat berdasarkan berat badan.
Obat suntikan (kanamisin atau kapreomisin) digunakan sekurang-
kurangnya selama 6 bulan atau 4 bulan setelah terjadi konversi
biakan.Periode ini dikenal sebagai fase intensif. Lama fase intensif:
Pemberian obat suntik atau fase intensif yang direkomendasikan adalah
berdasarkan kultur konversi. Obat suntik diteruskan sekurang-kurangnya
6 bulan dan minimal 4 bulan setelah hasil sputum atau kultur yang
pertama menjadi negatif. Pendekatan individual termasuk hasil kultur,
sputum, foto thorax dan keadaan klinis pasien juga dapat membantu
memutuskan menghentikan pemakaian obat suntik.
4. Lama pengobatan minimal adalah 18 bulan setelah konversi biakan
5. Definisi konversi dahak: pemeriksaan dahak dan biakan 2 kali berurutan
dengan jarak pemeriksaan 30 hari menunjukkan hasil negatif. `
6. Suntikan diberikan 5x/minggu selama rawat inap dan rawat jalan. Obat
per oral diminum setiap hari. Pada fase intesif obat oral diminum didepas
petugas kesehatan kecuali pada hari libur diminum didepan PMO.
Sedangkan pada fase lanjutan obat oral diberikan maksimum 1 minggu
33
dan diminum didepan PMO. Setiap pemberian suntikan maupun obat oral
dibawah pengawasan selama masa pengobatan.
7. Pada pasien yang mendapat sikloserin harus ditambahkan Piridoxin
(vit.B6), dengan dosis 50 mg untuk setiap 250 mg sikloserin
8. Semua obat sebaiknya diberikan dalam dosis tunggal
Fase-Fase Pengobatan TB MDR
I. Fase Pengobatan intensif
Fase intensif adalah fase pengobatan dengan menggunakan obat injeksi
(kanamisin atau kapreomisin) yang digunakan sekurang-kurangnya selama 6
bulan atau 4 bulan setelah terjadi konversi biakan
a. Fase rawat inap di RS 2-4 minggu
Pada fase ini pengobatan dimulai dan pasien diamati untuk:
Menilai keadaan pasien secara cermat
Tatalaksana secepat mungkin bila terjadi efek samping
Melakukan komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) yang intensif
Dokter menentukan kelayakan pasien untuk rawat jalan berdasarkan:
Tidak ditemukan efek samping
Pasien sudah mengetahui cara minum obat dan suntikan sesuai dengan
pedoman pengobatan TB MDR
b. Fase rawat jalan
Selama fase intensif baik obat injeksi dan obat minum diberikan oleh petugas
kesehatan dengan disaksikan PMO kepada pasien. Pada fase rawat jalan ini obat
oral ditelan di rumah pasien hanya pada libur
II. Fase pengobatan lanjutan
Fase setelah pengobatan injeksi dihentikan
Fase lanjutan minimum 18 bulan setelah konversi biakan
Pasien yang memilih menjalani pengobatan di RS Rujukan TB MDR
mengambil obat setiap minggu dan berkonsultasi dengan dokter setiap 1
bulan
34
Pemantauan dan Hasil Pengobatan
Pasien harus dipantau secara ketat untuk menilai respons terhadap pengobatan dan
mengidentifikasi efek samping pengobatan.Gejala klasik TB seperti batuk,
berdahak, demam dan BB menurun, umumnya membaik dalam beberapa bulan
pertama pengobatan.Penilaian respons pengobatan adalah konversi dahak dan
biakan.Hasil uji kepekaan TB MDR dapat diperoleh setelah 2 bulan.Pemeriksaan
dahak dan biakan dilakukan setiap bulan pada fase intensif dan setiap 2 bulan
pada fase lanjutan. Evaluasi pada pasien TB MDR adalah:
Penilaian klinis termasuk berat badan
Penilaian segera bila ada efek samping
Pemeriksaan dahak setiap bulan pada fase intensif dan setiap 2 bulan pada
fase lanjutan
Pemeriksaan biakan setiap bulan pada fase intensif sampai konversi biakan
Uji kepekaan obat sebelum pengobatan dan pada kasus kecurigaan akan
kegagalan pengobatan
Periksa kadar kalium dan kreatinin sepanjang pasien mendapat suntikan
(Kanamisin dan Kapreomisin)
Pemeriksaan TSH dilakukan setiap 6 bulan dan jika ada tanda-tanda
hipotiroid
Konversi dahak
Definisi konversi dahak : pemeriksaan dahak dan biakan 2 kali berurutan dengan
jarak pemeriksaan 30 hari menunjukkan hasil negatif. `Tanggal set pertama dari
sediaan apus dahak dan kultur yang negatif digunakan sebagai tanggal konversi
(dan tanggal ini digunakan untuk menentukan lamanya pengobatan fase intensif
dan lama pengobatan).
Penyelesaian pengobatan fase intensif
Lama pemberian suntikan atau fase intensif di tentukan oleh hasil konversi
kultur
Anjuran minimal untuk obat suntikan harus dilanjutkan paling kurang 6
bulan dan sekurang-kurangnya 4 bulan setelah pasien menjadi negatif dan
tetap negatif untuk pemeriksaan dahak dan kultur
35
Lama pengobatan
Lama pengobatan yang dianjurkan ditentukan oleh konversi dahak dan
kultur
Anjuran minimal adalah pengobatan harus berlangsung sekurang-
kurangnya 18 bulan setelah konversi kultur sampai ada bukti-bukti lain
untuk memperpendek lama pengobatan
36
BAB III
KESIMPULAN
1. Tuberkulosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi
Mycobacterium tuberculosis.
2. Penegakkan diagnosis penyakit TB didasarkan dari anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang.
3. Hal-hal yang perlu dievaluasi selama pengobatan TB antara lain: keadaan
klinis, sputum bakterologis, foto radiologis, efek samping obat dan keteraturan
pengobatan.
4. Keberhasilan pengobatan TB berdasarkan pada kepatuhan minum obat, faktor
pencetus, dan penyakit yang menyertai.
37
DAFTAR PUSTAKA
Aditama, Tjandra Yoga., et al. 2007. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis Edisi 2. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2006. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis Edisi 2 Cetakan Pertama. Jakarta.
Himayatnagar. 2009. Achar’s Textbook of Pediatrics Fourth Edition. India: Universities Press (India) Private Limited.
Misnadiarly. 2008. Penyakit Infeksi Saluran Napas Pneumonia pada Anak, Orang Dewasa, Usia Lanjut, Pneumonia Atipik dan Pneumonia Atipik Mycobacterium. Jakarta : Pustaka Obor Populer.
Nawas, A. 2010.Penatalaksanaan TB MDR dan Strategi DOTs Plus.Jurnal Tuberculosis Indonesia. Vol 7: 1-7.
PDPI (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia). 2003. Pneumonia Komuniti. Pedoman Diagnosis Dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta : PDPI.
PDPI (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia). 2011. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) Pedoman Diagnosis Dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta : PDPI.
PDPI. 2006. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Indah Offset Citra Grafika.
Pedoman Nasional. 2012. Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2009. Tuberculosis Paru dalam IPD’s Compedium of Indonesia Medicine 1st Edition. Jakarta: PT. Medinfocomm Indonesia.
Soepandi, P.Z. 2010.Diagnosis dan Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya TB-MDR. Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK UI-RS Persahabatan. Jakarta.
World Health Organization (WHO).Guideline for The Programmatic Management of Drug Resistant Tuberculosis . Emergency Update 2008.
38