Praperadilan dan kerawanan rekayasa hukum

3
PRAPERADILAN DAN KERAWANAN REKAYASA Praperadilan sebenarnya bukan sebuah hal yang baru di dunia peradilan Indonesia sehingga tidak ada hal yang terlalu istimewa didalamnya. Namun pasca putusan perkara budi gunawan yang kontroversial tersebut telah membuat Praperadilan menjadi harapan baru bagi para tersangka dan terdakwa namun nampaknya diartikan sebagai sumber permasalahan baru bagi penyidik dan penuntut umum bahkan hakim sediri mengapa demikian? Setidaknya karena praperadilan membuat tambahan pekerjaan baru bagi para penegak hukum tersebut apalagi pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 Oktober 2014 yang telah menambah luas skop Lembaga Praperadilan dari sinilah timbul permasalahan itu, oleh karena menganggap sebagai beban maka timbullah resistansi dari para penegak hukum celakanya lagi entah disengaja atau tidak para pembuat undang-undang memang menyediakan hal itu dalam Pasal 82 ayat 1 huruf d KUHAP yakni tentang pengguguran Praperadilan apabila berkas perkara telah dilimpahkan ke pengadilan bahkan telah menjadi yurisprudensi tetap MA. RAWAN REKAYASA keadaan yang saling bertolak belakang ini sebenarnya tidak perlu terjadi apabila niatnya adalah dalam rangka menegakkan kebenaran dan keadilan namun itu saja tidak cukup yang disertai etos kerja ikhlas tanpa pamrih dan jujur. Para penegak hukum harus berani jujur Apakah pengguguran praperadilan tersebut hanya sekedar menjalankan undang-undang saja atau ada maksud lain? Sehingga memang harus diterapkan secara kaku dan ngotot? Apakah tidak ada tempat bagi fakta dan kebenaran lagi. Para penegak hukum lupa bahwa praperadilan merupakan tempat mengadukan pelanggaran hak azasi manusia sebab niat dibentuknya praperadilan adalah sebagai terjemahan dari habeas corpus yang merupakan substansi HAM, sehingga hak untuk diperiksa dimuka hakim sebelum perkara pokoknya diperiksa inilah disebut habeas corpus Jadi adanya upaya pembonsaian praperadilan hanya terbatas pada ranah sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 77 jo 82 ayat 1 dan 3 jo 95 ayat 2 jo Pasal 97 ayat 3 KUHAP justru tidak sesuai dengan penerapan praperadilan di negeri asalnya bahkan dengan jiwa KUHAP itu sendiri, jika mau fair cobalah lihat kenyataan 1/2

Transcript of Praperadilan dan kerawanan rekayasa hukum

Page 1: Praperadilan dan kerawanan rekayasa hukum

PRAPERADILAN DAN KERAWANAN REKAYASA

Praperadilan sebenarnya bukan sebuah hal yang baru di dunia peradilan Indonesia sehingga tidak ada hal yang terlalu istimewa didalamnya. Namun pasca putusan perkara budi gunawan yang kontroversial tersebut telah membuat Praperadilan menjadi harapan baru bagi para tersangka dan terdakwa namun nampaknya diartikan sebagai sumber permasalahan baru bagi penyidik dan penuntut umum bahkan hakim sediri mengapa demikian? Setidaknya karena praperadilan membuat tambahan pekerjaan baru bagi para penegak hukum tersebut apalagi pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 Oktober 2014 yang telah menambah luas skop Lembaga Praperadilan dari sinilah timbul permasalahan itu, oleh karena menganggap sebagai beban maka timbullah resistansi dari para penegak hukum celakanya lagi entah disengaja atau tidak para pembuat undang-undang memang menyediakan hal itu dalam Pasal 82 ayat 1 huruf d KUHAP yakni tentang pengguguran Praperadilan apabila berkas perkara telah dilimpahkan ke pengadilan bahkan telah menjadi yurisprudensi tetap MA.

RAWAN REKAYASA keadaan yang saling bertolak belakang ini sebenarnya tidak perlu terjadi apabila niatnya adalah dalam rangka menegakkan kebenaran dan keadilan namun itu saja tidak cukup yang disertai etos kerja ikhlas tanpa pamrih dan jujur. Para penegak hukum harus berani jujur Apakah pengguguran praperadilan tersebut hanya sekedar menjalankan undang-undang saja atau ada maksud lain? Sehingga memang harus diterapkan secara kaku dan ngotot? Apakah tidak ada tempat bagi fakta dan kebenaran lagi.

Para penegak hukum lupa bahwa praperadilan merupakan tempat mengadukan pelanggaran hak azasi manusia sebab niat dibentuknya praperadilan adalah sebagai terjemahan dari habeas corpus yang merupakan substansi HAM, sehingga hak untuk diperiksa dimuka hakim sebelum perkara pokoknya diperiksa inilah disebut habeas corpus Jadi adanya upaya pembonsaian praperadilan hanya terbatas pada ranah sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 77 jo 82 ayat 1 dan 3 jo 95 ayat 2 jo Pasal 97 ayat 3 KUHAP justru tidak sesuai dengan penerapan praperadilan di negeri asalnya bahkan dengan jiwa KUHAP itu sendiri, jika mau fair cobalah lihat kenyataan pada proses penetapan jadwal sidang praperadilan. Sebuah permohonan pemeriksaan praperadilan yang demi menghindari eksepsi kurang pihak menarik 2 pihak yang berbeda (2 polres yang berbeda), permohonan tersebut telah didaftarkan pada tanggal 09 Juni 2015 dan diberi nomor perkara namun ternyata oleh hakim yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Negeri sebagai hakim tunggal praperadilan. ditetapkan sidang perdana tanggal 2 Juli 2015 oleh karena alasan urusan surat menyurat (pendelegasian) dsbnya kepada pihak termohon II yang termasuk dimohonkan tetapi berada di wilkum kabupaten tetangga (PN B) namun untuk urusan itu harus menghabiskan waktu +/- 3 minggu padahal jaraknya dari PN A ke PN B sebenarnya dapat ditempuh kurang dari 4 jam dengan kendaraan darat. Ini artinya ada 3 minggu waktu yang diluar penguasaan dan tanggung jawab pemohon yang tidak jelas penggunaannya yang sepenuhnya ada ditangan pengadilan tanpa dapat dikontrol oleh Pemohon namun akibatnya harus diterima oleh pemohon adalah Permohonan Pemohon praperadilannya digugurkan dengan alasan Pasal 82 ayat 1 huruf d tersebut, karena pada tanggal 26 Juni 2015 berkas perkara yang dilimpahkan oleh Termohon I dinyatakan lengkap oleh Kejaksaan Negeri A dan tanggal 29 Juni 2015 dilimpahkan ke Pengadilan Negeri A dan disidangkan tanggal 6 Juli 2015. Permohonan Praperadilan tersebut sedang diperjalanan dan baru selesai diperiksa tanggal 10 Juli 2010. Alhasil permohonan praperadilan pemohon digudurkan dan seluruh pembuktian menjadi tidak relevan lagi untuk dipertimbangkan.

1/2

Page 2: Praperadilan dan kerawanan rekayasa hukum

PERLU DIREVIEW

Dalam hal diatas maka penerapan hukum terhadap Pasal 82 ayat 1 huruf d KUHAP boleh jadi telah benar namun jelas tidak adil. Bukankah hal yang berada diluar kendali dan kekuasaan pemohon tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada pemohon? Seperti yang dapat dijelas oleh sebuah azas didalam Pasal 1340 KUH Perdata dapat menjadi referensi yang baik untuk menjelaskan masalah ini : Persetujuan hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya. Persetujuan tidak dapat merugikan pihak ketiga; persetujuan tidak dapat memberi keuntungan kepada pihak ketiga.

Masalah waktu dan penetapan tanggal sidang harus dapat dijelaskan secara terbuka oleh pihak pengadilan sehingga tidak perlu menjadi sumber kerawanan dalam menerapkan Pasal 82 ayat 1 huruf d KUHAP jika tidak melalui tulisan ini kami mendorong berbagai stakeholder untuk mengkaji ulang bahkan mungkin “mereview” pembatasan hak tersangka dan terdakwa menurut ketentuan tersebut.

2/2