PRAKTIK PERKAWINAN DI BAWAH TANGAN PADA...
Transcript of PRAKTIK PERKAWINAN DI BAWAH TANGAN PADA...
PRAKTIK PERKAWINAN DI BAWAH TANGAN
PADA MASYARAKAT PERKOTAAN
(Studi Tentang Kesadaran Hukum Masyarakat di Kelurahan Bojong Pondok
Terong Kecamatan Cipayung Kota Depok)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi
Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh :
MUHAMMAD ALFAN HAFIDZ
NIM: 1113044000013
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1439 H/2017 M
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh Gelar Strata 1 di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 21 September 2017
Muhammad Alfan Hafidz
ABSTRAK
Muhammad Alfan Hafidz. NIM 1113044000013. PRAKTIKPERKAWINAN DI BAWAH TANGAN PADA MASYARAKATPERKOTAAN (Studi Tentang Kesadaran Hukum Masyarakat Di KelurahanBojong Pondok Terong Kecamatan Cipayung Kota Depok). Program StudiHukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN)Syarif Hidayatullah Jakarta, 1439 H/2017 M. x + 91 halaman
Skripsi ini merupakan hasil penelitian mengenai perkawinan di bawahtangan di Kelurahan Bojong Pondok Terong serta kesadaran hukum masyarakatterhadap pencatatan perkawinan. Perkawinan di bawah tangan adalah perkawinanyang dilaksanakan dengan mengabaikan syarat dan prosedur Undang-undang,dapat terjadi tidak dilakukan di depan KUA tetapi dilakukan di depan pemukaagama. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan faktor penyebab, persepsimasyarakat, serta tingkat kesadaran hukum masyarakat di Kelurahan BojongPondok Terong.
Metode pendekatan yang digunakan oleh penulis dalam penelitian iniadalah menggunakan pendekatan yuridis sosiologis. Dengan metode analisisdeskriptif. Dalam mengumpulkan data-data akurat saat penelitian, penulismenggunakan beberapa teknik, yaitu: Interview (wawancara), Studi kepustakaan,dan Angket.
Penelitian ini menyimpulan bahwa faktor yang mempengaruhi tingginyapraktik perkawinan di bawah tangan di Kelurahan Bojong Pondok Terong, yangterbanyak adalah akibat tidak mempunyai akte cerai resmi dari perkawinansebelumnya. Adapun persepsi masyarakat terhadap pencatatan perkawinan,hampir seluruh responden menyatakan setuju dengan adanya pencatatanperkawinan. Sedangkan untuk tingkat kesadaran hukum masyarakat terhadappencatatan perkawinan, pada indikator pengetahuan hukum, pemahaman hukum,dan sikap hukum sudah cukup baik, namun pada indikator perilaku hukum hampirsetengah responden yang menunjukkan adanya perilaku yang mencerminkankurang baik terhadap pencatatan perkawinan.
Kata kunci : Praktik Perkawinan di Bawah Tangan, Bojong Pondok
Terong, Kesadaran Hukum
Pembimbing : Hj. Rosdiana. M.A
Daftar pustaka : 1976-2015
vi
KATA PENGANTAR
حمن الر حیم بسم اللھ الر
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang Maha
Pengasih lagi Maha Penyayang, yang telah memberikan rahamat, taufik, dan
hidayah-Nya, Sholawat dan salam tak lupa kita curahkan kepada junjungan kita
Nabi Besar Muhammad SAW beserta para keluarga dan sahabatnya, yang telah
mendidik kita sebagai umatnya untuk menuju jalan kebenaran.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis banyak mendapat tantangan dan
hambatan, namun berkat rahmat dan inayah-Nya, kesungguhan seta dukungan dan
bantuan dari berbagai pihak, segala tantangan dan hambatan itu dapat diatasi
dengan sebaik-baiknya sehingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan. Oleh
karena itu, kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA, Ph.D., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. H. Abdul Halim, M.Ag., Ketua Program Studi Hukum Keluarga,
Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Indra Rahmatullah S.H.I., M.H., Sekertaris Program Studi Hukum
Keluarga, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Hj. Rosdiana, M.A. selaku dosen pembimbing yang telah banyak
membantu, meluangkan waktu, tenaga dan pikiran selama membimbing
penulis.
5. Dr. H. Yayan Sopyan, M.Ag, S.H., selaku dosen penasihat akademik yang
telah memberikan bimbingan dan motivasi kepada penulis.
6. Segenap Bapak dan Ibu dosen serta staf pengajar pada lingkungan
program studi Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum yang telah
memberikan ilmu pengetahuannya kepada penulis selama duduk di bangku
perkuliahan.
vii
7. Segenap jajaran Staf dan karyawan akademik Perpustakaan Fakultas
Syariah dan Hukum dan Perpustakaan Utama yang telah membantu
penulis dalam pengadaan referensi-referensi sebagai bahan rujukan skripsi.
8. Kepala kantor Kelurahan Bojong Pondok Terong dan seluruh jajarannya
yang telah memberikan kesempatan kepada penulis dalam mencari data-
data sebagai bahan rujukan skripsi.
9. Yang tercinta Ayahanda dan Ibunda, yang selalu memberikan motivasi,
bimbingan, serta doa dalam setiap sujudnya untuk kebahagiaan dan
kesuksesan penulis.
10. Terima kasih kepada Dwi Herda yang selalu memberikan dukungan dan
motivasi di saat penulis sedang mengalami kesulitan dalam penulisan
skripsi dan senantiasa setia menemani penulis dari awal hingga akhir
penyelesaian penulisan skripsi ini.
11. Teman-teman seperjuanganku, khususnya Muhammad Alwi Munawar,
Muhamad Abi Aulia, Muhammad Irsyad, Utami Zuraidah, dan teman-
teman FORMASAS yang selalu ada dalam suka maupun duka, SAS 2013,
Tim Hadroh al Ahsan at-Tanwir, dan KKN FAST 107.
Semoga amal dan jasa mereka yang telah membantu penulis dalam
penyusunan skripsi ini diterima oleh Allah SWT dan dibalasnya dengan pahala
yang berlipat ganda. Penulis mengakui bahwa skripsi ini masih jauh dari kata
sempurna maka penulis membuka untuk kritik dan saran.
Akhirul kalam, semoga skripsi ini dengan kelebihan dan kekurangan yang
terdapat di dalamnya, kiranya memberi manfaat kepada para pembacanya.
Jakarta, 21 September 2017
Muhammad Alfan Hafidz
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i
LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................. ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI.................................................... iii
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................. iv
ABSTRAK ............................................................................................................. v
KATA PENGANTAR.......................................................................................... vi
DAFTAR ISI....................................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ......................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ............................................................................... 5
C. Pembatasan dan Rumusan Masalah....................................................... 6
1. Pembatasan Masalah .......................................................................... 6
2. Rumusan Masalah .............................................................................. 6
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian............................................................... 7
1. Tujuan Penelitian ............................................................................... 7
2. Manfaan Penelitian............................................................................. 7
E. Review Studi Terdahulu ......................................................................... 7
F. Kerangka Teori ....................................................................................... 9
G. Metode Penelitian ................................................................................. 11
1. Pendekatan Penelitian ...................................................................... 11
2. Jenis Penelitian................................................................................. 12
3. Jenis Data dan Sumber Data ............................................................ 12
4. Populasi dan Sampel ........................................................................ 12
5. Teknik Pengumpulan Data ............................................................... 13
6. Teknik Pengolahan Data .................................................................. 14
ix
7. Metode Analisis ............................................................................... 15
H. Sistematika Penulisan ........................................................................... 15
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCATATAN PERKAWINANDAN TEORI KESADARAN HUKUM
A. Pencatatan Perkawinan ......................................................................... 17
1. Pengertian dan Dasar Hukum Pencatatan Perkawinan .................... 17
2. Urgensi Pencatatan Perkawinan ....................................................... 20
B. Perkawinan di Bawah Tangan .............................................................. 21
1. Pengertian Perkawinan di Bawah Tangan........................................ 21
2. Dampak Perkawinan di Bawah Tangan ........................................... 23
C. Teori Kesadaran Hukum....................................................................... 26
1. Pengertian Kesadaran Hukum.......................................................... 26
2. Indikator Kesadaran Hukum ............................................................ 28
3. Fungsi Kesadaran Hukum ................................................................ 30
D. Teori Persepsi ....................................................................................... 32
1. Pengertian Persepsi .......................................................................... 32
2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Persepsi .................................. 33
BAB III GAMBARAN UMUM MASYARAKAT KELURAHAN BOJONGPONDOK TERONG
A. Kondisi Topografi................................................................................. 35
B. Keadaan Demografi .............................................................................. 35
C. Keadaan Sosial ..................................................................................... 38
BAB IV PERKAWINAN DI BAWAH TANGAN DAN KESADARANHUKUM MASYARAKAT KELURAHAN BOJONG PONDOKTERONG
A. Profil Responden .................................................................................. 42
B. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Praktik Perkawinan di BawahTangan di Kelurahan Bojong Pondok Terong ...................................... 46
x
C. Persepsi Masyarakat Bojong Pondok Terong Terhadap PencatatanPerkawinan dan Perkawinan di Bawah Tangan ................................... 49
D. Pengetahuan Masyarakat Bojong Pondok Terong Terhadap PencatatanPerkawinan ........................................................................................... 52
E. Pemahaman Masyarakat Bojong Pondok Terong Terhadap PencatatanPerkawinan ........................................................................................... 54
F. Sikap Masyarakat Bojong Pondok Terong Terhadap PencatatanPerkawinan ........................................................................................... 57
G. Perilaku Masyarakat Bojong Pondok Terong Terhadap PencatatanPerkawinan ........................................................................................... 60
H. Analisis ................................................................................................. 62
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................................................... 68
B. Saran ..................................................................................................... 69
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................... 70
LAMPIRAN – LAMPIRAN
xi
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin ................................ 36
Tabel 3.2 Jumlah Penduduk Berdasarkan Usia.......................................... 36
Tabel 3.3 Jumlah Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan.................. 38
Tabel 3.4 Lembaga Kemasyarakatan di Kelurahan Bojong PondokTerong ..................................................................................... 38
Tabel 3.5 Jenis Pekerjaan Penduduk di Kelurahan Bojong PondokTerong ..................................................................................... 39
Tabel 3.6 Agama dan Kepercayaan Penduduk .......................................... 40
Tabel 3.7 Kepemilikan Identitas Penduduk ............................................... 40
Tabel 3.8 Keamanan Dan Ketertiban di Kelurahan Bojong PondokTerong ..................................................................................... 41
Tabel 3.9 Pelayanan Kerukunan Beragama ............................................... 41
Tabel 4.1 Daftar Responden...................................................................... 42
Tabel 4.2 Tingkat Pendidikan Responden ................................................. 44
Tabel 4.3 Jenis Pekerjaan Responden ....................................................... 44
Tabel 4.4 Tahun Pernikahan Responden.................................................... 45
Tabel 4.5 Faktor Responden Melakukan Nikah di Bawah Tangan ........... 46
Tabel 4.6 Perkawinan Yang Keberapa Saat Saudara MelakukanPerkawinan di Bawah Tangan? ............................................... 47
Tabel 4.7 Adanya Kesulitan Akibat Nikah di Bawah Tangan ................... 47
Tabel 4.8 Tentang Bentuk Kesulitan Akibat Nikah di Bawah Tangan...... 48
Tabel 4.9 Persepsi Tentang Adanya Pencatatan Perkawinan..................... 49
Tabel 4.10 Persepsi Tentang Undang-Undang Perkawinan....................... 50
Tabel 4.11 Persepsi Tentang perkawinan Wajib Dicatatkan Oleh PPN .... 50
Tabel 4.12 Apakah Saudara Setuju Dengan Perkawinan di BawahTangan? ................................................................................... 51
xii
Tabel 4.13 Persepsi Tentang Nikah di Bawah Tangan di Indonesia.......... 51
Tabel 4.14 Pengetahuan Tentang Sistem Hukum Yang MengaturPerkawinan di Indonesia ........................................................ 52
Tabel 4.15 Menurut Saudara, Adakah Perbedaan Sistem Hukum YangMengatur Perkawinan Di Indonesia? ...................................... 53
Tabel 4.16 Pengetahuan Tentang Fungsi KUA ......................................... 54
Tabel 4.17 Pemahaman Tentang Sistem Hukum Yang DigunakanKetika Menikah ....................................................................... 55
Tabel 4.18 Alasan Menggunakan Sistem Hukum Tersebut....................... 55
Tabel 4.19 Kriteria Ketika Memilih Calon Suami/Istri ............................. 56
Tabel 4.20 Pemahaman Tentang Perlunya Pencatatan Perkawinan........... 57
Tabel 4.21 Apakah Saudara Setuju Tentang Aturan Yang MengharuskanPerkawinan dicatatkan di KUA? ............................................. 58
Tabel 4.22 Apakah Keluarga Saudara Yang Menikah, dicatatkandi KUA? .................................................................................. 58
Tabel 4.23 Apakah Saudara Setuju Dengan Poligami? ............................. 59
Tabel 4.24 Sikap Terhadap Perkawinan Yang Tidak di Catatkan ............. 59
Tabel 4.25 Usia Ketika Menikah ............................................................... 60
Tabel 4.26 Proses Nikah Yang Dilalui....................................................... 61
Tabel 4.27 Prosedur Perkawinan Responden............................................. 61
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia adalah makhluk ciptaan Allah SWT yang memiliki akal yang
sempurna dan kedudukan yang mulia dibanding makhluk ciptaan Allah
lainnya. Dalam kehidupan, manusia saling berhubungan antara satu dengan
yang lainnya. Dari hubungan tersebut timbullah rasa saling membutuhkan,
menghormati dan menyayangi antara satu sama lain.1 Dalam proses
perkembangan meneruskan jenisnya, manusia membutuhkan pasangan hidup
yang dapat memberikan keturunan. Dalam proses tersebut, agar terciptanya
keharmonisan dalam rumah tangga dan masyarakat maka perlu adanya aturan
yang harus diperhatikan salah satunya adalah perkawinan.2
Dalam bahasa Arab, perkawinan disebut dengan al-nikah yang bermakna
al-wathi’ dan al-dammu wa al-tadakhul. Terkadang juga disebut dengan al-
dammu wa al-jam’u, atau ‘ibarat ‘an al-wath’ wa al-‘aqd yang bermakna
bersetubuh.3
Menurut Wahbah al-Zuhaili dalam kitab al-Fiqh al-Islami wa Adhillatuhu,
yaitu:
, أو عبا رةعن الو طءوالعقد جمیعا, وھو في الشرع :النكاح لغة : الضم والجمع
عقد یتضمن إباحة اال ستمتاع با لوطء والباشرة والتقبیل , والزواج شرعا: عقد التز ویج
والضم وغیر ذلك, إذاكا نت المر أة غیر محرم بنسب آو رضاع آو صھر.4
1 Thalib Al Hamdani, Risalah Nikah: Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Risalah Amani,2002) cet ke-2 h. 1
2 Al Thahir Al Haddad, Wanita Dalam Syariah dan Masyarakat, (Jakarta: PustakaFirdaus, 1993) h. 199
3 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam Di Indonesia,(Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2010) h. 38
4 Wahbah az-Zuhaili., al-Fiqih al-Islam wa Adhillatulhu, (Damsyiq: Dar al-Fikr, 2007),cet. Ke-4, h. 6513
2
Artinya: Secara bahasa nikah berarti mengumpulkan, atau sebuah
pengibaratan akan sebuah hubungan intim dan akad sekaligus. Suatu aqad
yang ditetapkan syariat untuk memberikan hak kepemilikan bagi pria untuk
dapat bersenang-senang dengan perempuan, dan menghalalkan seorang
perempuan untuk dapat bersenang-senang dengan laki-laki.5
Menurut Paul Scholten, perkawinan adalah suatu ikatan hukum antara
seorang pria dan seorang wanita untuk hidup bersama dengan kekal yang
diakui oleh negara.6 Suatu keluarga hanya terbentuk melalui perkawinan yang
sah. Tanpa perkawinan yang sah tiada pula keluarga yang sah. Karena itu
perkawinanlah yang membedakan manusia dengan hewan di dalam memenuhi
insting seksualnya.
Sedangkan pengertian perkawinan menurut UU Perkawinan No. 1 Tahun
1974 pasal 1 menyatakan: “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang
laki-laki dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan
membentuk rumah tangga (keluarga), yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Perkawinan merupakan salah satu sunnatullah yang berlaku pada semua
mahluk-Nya, sebagai sesuatu yang baik yang dipilih oleh Allah SWT.7
Disamping itu, perkawinan merupakan salah satu sarana untuk melahirkan
generasi yang baik (dzurriyyah thayyibah), bahkan Rasulullah SAW.
menegaskan bahwa perkawinan merupakan salah satu sunnah yang
dianjurkan.8
Tujuan perkawinan menurut Islam untuk membentuk suatu keluarga
bahagia dan harmonis, suatu keluarga yang hidup tenang, rukun dan damai
5 Wahbah az-Zuhaili., al-Fiqih al-Islam wa Adhillatulhu, (Jakarta: Gema Insani, 2011),h. 38
6 Kama Rusdiana dan Jaenal Aripin, Perbandingan Hukum Perdata, (Jakarta: UINJakarta Press, 2007), h. 4
7 Selamet Abidin dan Aminuddin, Fiqih Munakahat, (Bandung, CV. Pustaka Setia, 1999),h 9
8 Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan Dan Keluarga, (Jakarta,Graha Pramuda, 2008) h. 41
3
serta diliputi oleh rasa kasih sayang untuk mendapatkan keturunan yang sah
yang akan melanjutkan cita-cita orang tuanya.9
Di dalam UU No. 1 tahun 1974 perkawinan harus dicatatkan, seperti yang
di atur dalam pasal 2 ayat (2) yaitu: “Tiap – tiap perkawinan dicatat menurut
peraturan perundangan yang berlaku”. Ini adalah satu-satunya ayat yang
mengatur pencatatan perkawinan. Walaupun di dalam UU Perkawinan hanya
diatur oleh satu ayat, namun sebenarnya masalah pencatatan ini sangat
dominan. Ini akan tampak dengan jelas menyangkut tata cara perkawinan itu
sendiri yang kesemuanya berhubungan dengan pencatatan.10 Kemudian
pencatatan perkwainan disinggung di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)
pasal 5 ayat (1) bahwa: “Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat
Islam setiap perkawinan harus dicatat”.11
Perkawinan yang tidak dicatatkan disebut dengan perkawinan di bawah
tangan. Perkawinan di bawah tangan adalah perkawinan yang dilaksanakan
dengan tidak memenuhi syarat dan prosedur peraturan perundangan yang
berlaku. Menurut hukum Islam, perkawinan di bawah tangan adalah sah,
asalkan terpenuhi syarat rukun perkawinan.12 Dalam fatwa MUI, perkawinan
di bawah tangan adalah perkawinan yang terpenuhi semua rukun dan syarat
yang ditetapkan dalam Fikih (hukum Islam) namun tanpa pencatatan resmi di
instansi berwenang sebagaimana diatur oleh peraturan perundangan yang
berlaku.13
Di dalam masyarakat masih banyak pelaku pernikahan di bawah tangan,
tidak hanya yang terjadi di pelosok daerah saja, tapi ironisnya di daerah
perkotaan pun masih banyak yang melakukannya, seperti yang terjadi di
9 Masjfuk Zuhdi, Studi Islam Jilid III Muamalah. (jakarta : PT. Raja Grapindo Persada,1993), Cet ke-2 h. 1-2
10 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, h. 12211 Abdul Gani Abdullah, Pengantar Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum
Indonesia, (Jakarta: Gema Insani Press, 1994) h.7912 Abd. Shomad, Hukum Islam: Penormaan Prinsip Syariah Dalam Hukum Indonesia,
(Jakarta: kencana prenada media grup, 2010) h. 30913 Tim Penyusun, Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa Mui Sejak 1975, (Jakarta:
Penerbit Erlangga, 2011) h. 850
4
Kelurahan Bojong Pondok Terong Kecamatan Cipayung Kota Depok.
Masyarakat Kelurahan Bojong Pondok Terong yang tinggal di sekitar Setu
Citayam dan Stasiun Citayam merupakan kelompok miskin dan marjinal.
Dengan penghasilan dan pendidikan yang rendah, mereka umumnya bekerja
di sektor informal antara lain pedagang keliling, buruh, supir, tukang parkir,
pengamen, dan petugas kebersihan.14
Pada penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Tim Pengabdian
Masyarakat Dosen Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2015 di Kecamatan Cipayung Kota Depok
dalam Advokasi Hukum dan Isbat Nikah, terdapat 41 pasangan suami istri
yang mendaftarkan Isbat Nikah karena pasangan tersebut tidak terpenuhi hak–
hak sipilnya dalam administrasi pencatatan perkawinan. Administrasi
pencatatan perkawinan merupakan salah satu problematika hukum yang
terjadi pada masyarakat di Kelurahan Bojong Pondok Terong.15
Disini kesadaran hukum dalam mayarakat sangatlah penting, karena tanpa
adanya kesadaran hukum, masayarakat tidak akan mematuhi peraturan yang
berlaku. Kesadaran merupakan sikap atau perilaku mengetahui atau mengerti
taat dan patuh pada peraturan dan ketentuan perundangan yang ada.16 Tidak
ada hukum yang mengikat masyarakat kecuali atas dasar kesadaran
hukumnya.17
Masyarakat seharusnya memiliki kesadaran hukum yang kuat terhadap
pencatatan perkawinan, karena perkawinan yang dicatatkan mempunyai
kekuatan hukum. Sedangkan perkawinan yang dilakukan dengan tidak
14 Tim Pengabdian Masyarakat,Pemberdayaan dan Advokasi Masyarakat UntukPemenuhan Hak-Hak Pencatatan Sipil (Jakarta: Pusat Pengabdian Masyarakat UIN SyarifHidayatullah Jakarta, 2015) h. 1
15 Tim Pengabdian Masyarakat,Pemberdayaan dan Advokasi Masyarakat UntukPemenuhan Hak-Hak Pencatatan Sipil, h. 30
16 Aw. Widjaja, Kesadaran Hukum Manusia dan Masyarakat Pancasila, (Palembang: EraSwasta, 1984) h. 14
17 Soerjono Soekanto dan Soleman B. Taneko, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: RajawaliPress, 1983), h. 338
5
dicatatkan atau di bawah tangan tidak mempunyai kekuatan hukum, problema
akan muncul berkaitan dengan masalah administratif.18
Penulis akan tertuju kepada praktik perkawinan di bawah tangan di
Kelurahan Bojong Pondok Terong, kesadaran hukum masyarakat di
Kelurahan Bojong Pondok Terong terhadap pencatatan perkawinan masih
kurang, masih banyak masyarakat yang melakukan pernikahan di bawah
tangan.
Berdasarkan alasan tersebut maka penulis ingin mengangkat masalah
tersebut kedalam bentuk skripsi dengan judul PRAKTIK PERKAWINAN DI
BAWAH TANGAN PADA MASYARAKAT PERKOTAAN (Studi
Kesadaran Hukum Masyarakat Di Kel. Bojong Pondok Terong Kec. Cipayung
Kota Depok).
B. Identifikasi Masalah
Dalam mengidentifikasi masalah, maka penulis mengidentifikasikannya
ke dalam beberapa pertanyaan, yaitu:
1. Kenapa pernikahan harus dicatatkan?
2. Apa yang melatarbelakangi perkawinan di bawah tangan?
3. Mengapa pernikahan di bawah tangan masih marak di masyarakat
perkotaan?
4. Apa faktor-faktor penyebab perkawinan di bawah tangan pada masyarakat
perkotaan?
5. Bagaimana praktik perkawinan di bawah tangan di Kelurahan Bojong
Pondok Terong?
6. Sejauh mana pengetahuan masyarakat Bojong Pondok Terong terhadap
pencatatan perkawinan?
7. Apakah masyarakat tersebut tidak mengetahui bahwa perkawinan harus
dicatatkan?
18 Abd. Shomad, Hukum Islam: Penormaan Prinsip Syariah Dalam Hukum Indonesia, h.309
6
8. Apa respon masyarakat Bojong Pondok Terong terhadap pencatatan
perkawinan?
9. Apa dampak dari pelaksanaan perkawinan di bawah tangan?
10. Apa tindakan pejabat yang berwenang terhadap perkawianan di bawah
tangan?
C. Pembatasan dan Rumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Agar tidak mengalami pelebaran dan perluasan serta mempermudah
penelitian yang akan dibahas dan diuraikan dalam skripsi ini, maka skripsi
ini penulis batasi agar nantinya dapat memberikan pemahaman yang
mendalam. Oleh karena itu penulis ingin membatasi susunan skripsi ini
terbatas pada waktu penelitian yang dilakukan sejak Maret tahun 2017
bertempat di Kelurahan Bojong Pondok Terong Kecamatan Cipayung
Kota Depok tentang perkawinan di bawah tangan dengan pendekatan
yuridis sosiologis dan menggunakan metode analisis deskriptif yang
disajikan secara kualitatif dan kuantitatif dalam bentuk uraian dan table.
2. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini, agar lebih jelas pokok
permasalahannya, maka penulis merumuskan sebagai berikut:
a. Apa faktor yang mempengaruhi tingginya praktik perkawinan di
bawah tangan di Kelurahan Bojong Pondok Terong?
b. Bagaimana persepsi masyarakat Kelurahan Bojong Pondok Terong
terhadap pencatatan perkawinan dan perkawinan di bawah tangan?
c. Bagaimana tingkat kesadaran hukum masyarakat di Kelurahan Bojong
Pondok Terong terhadap pencatatan perkawinan?
7
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui dan menjelaskan faktor penyebab praktik
perkawinan di bawah tangan di Kelurahan Bojong Pondok Terong.
b. Mengetahui persepsi masyarakat Kelurahan Bojong Pondok Terong
terhadap pencatatan perkawinan dan perkawinan di bawah tangan.
c. Untuk mengetahui tingkat kesadaran hukum masyarakat di Kelurahan
Bojong Pondok Terong terhadap pencatatan perkawinan.
2. Manfaan Penelitian
a. Teoritis
Memberikan wawasan pengetahuan kepada masyarakat tentang praktik
perkawinan di bawah tangan di Kelurahan Bojong Pondok Terong,
sehingga masyarakat mampu mengetahui penyebab perkawinan di
bawah tangan tersebut.
b. Praktis
1) Memberikan informasi tentang perkawinan di bawah tangan
terhadap lembaga ataupun perorangan.
2) Dapat dijadikan rujukan dalam permasalahan-permasalahan yang
berkaitan dengan perkawinan di bawah tangan.
c. Akademis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan
menambah wawasan serta pengetahuan khususnya dalam bidang
Hukum Keluarga Islam. Menurut penulis, selama ini belum ada yang
menulis tentang ini. Walaupun sudah ada, tetapi tidak seobjektif yang
penulis tulis.
E. Review Studi Terdahulu
Beberapa penelitian yang penulis temukan yang membahas tentang kajian
yang terkait dengan penelitian ini antara lain adalah:
8
No. Identitas substansi Perbedaan
1. Afif, (2012)
Program Studi
Hukum Keluarga.
Efektiftas Nikah
Masal Terhadap
Pencegahan Nikah
di Bawah Tangan
(Studi Kantor
Urusan Agama
Kecamatan
Kalideres Jakarta
Barat).
Dalam skripsi ini Afif
mengulas tentang
efektivitas nikah
massal dalam
pencegahan nikah di
bawah tangan
Sedangkan dalam
skripsi ini mengulas
tentang kesadaran
hukum pada
masyarakat tentang
pencatatan perkawinan
serta praktik
perkawinan dibawah
tangan yang masih
dilakukan oleh
masyarakat di
Kelurahan Bojong
Pondok Terong,
Kecamatan Cipayung,
Kota Depok.
2. Ahmad Buhori
Muslim, (2014)
Konsentrasi
Administrasi
Keperdataan Islam
Program Studi
Hukum Keluarga.
Perkawinan di
Bawah Tangan di
Desa Wibawa Mulya
Kecamatan
Cibarusah
Kabupaten Bekasi.
Dalam skripsi ini
Ahmad Buhori
Muslim menjelaskan
tentang pelaksanaan
dan pandangan
masyarakat wibawa
mulya terhadap
perkawinan dibawah
tangan serta
membahas dampak–
dampak yang terjadi
setelah melakukan
perkawinan dibawah
tangan.
Sedangkan dalam
skripsi ini membahas
tentang praktik
perkawinan dibawah
tangan yang masih
dilakukan oleh
masyarakat di
Kelurahan Bojong
Pondok Terong,
Kecamatan Cipayung,
Kota Depok. Dilihat
dari teori kesadaran
hukum.
9
3. M. Mashud Ali,
(2014) Konsentrasi
Perbandingan
Hukum Program
Studi Perbandingan
Madzhab dan
Hukum, Praktik
Perkawinan Sirri
dan Akibat Hukum
Terhadap
Kedudukan Isteri,
Anak Serta Harta
Kekayaan. (Analisis
Perbandingan Fikih
Dan Hukum Positif).
Dalam skripsi ini M.
Mashud Ali mengulas
tentang praktik dan
akibat hukum dari
perkawinan sirri, serta
menjelaskan pula
perbandingan fikih
dan hukum positif
terhadap perkawinan
sirri.
Sedangkan dalam
skripsi ini mengulas
tentang pelaksanaan
dan faktor yang
membuat praktik
perkawinan dibawah
tangan di kalangan
masyarakat di Kel.
Bojong pondok terong
Kec. Cipayung Kota
Depok dapat terjadi.
Dari ketiga skripsi di atas membahas pencatatan perkawinan dan
perkawinan dibawah tangan. Namun perbedaan dengan skripsi penulis adalah
penulis meneliti tentang praktik perkawinan di bawah tangan pada
masyarakat perkotaan di Kelurahan Bojong Pondok Terong Kecamatan
Cipayung Kota Depok yang dimuat juga tentang teori kesadaran hukum
masyarakat. Selain itu, wilayah tempat penelitian penulis juga berbeda
dengan penelitian terdahulu.
F. Kerangka Teori
Teori yang digunakan sebagai landasan hukum dan landasan berfikir serta
alat untuk menganalisis adalah dengan Teori Persepsi dan Teori Kesadaran
Hukum.
1. Teori Persepsi
Persepsi adalah tanggapan atau temuan gambaran langsung dari
sesuatu atau temuan gambaran langsung dari suatu serapan seseorang
10
dalam mengetahui beberapa hal melalui panca indera. Persepsi memiliki
indikator-indikator sebagai:19
a. penyerapan terhadap rangsang atau objek dari luar individu. Rangsang
atau objek tersebut diserap atau diterima oleh panca indra baik
pengelihatan, pendengaran, peraba, pencium, dan pencecap secara
sendiri-sendiri maupun bersama-sama. Dari hasil penyerapan atau
penerimaan oleh alat-alat indra tersebut akan mendapatkan gambaran,
tanggapan, atau kesan di dalam otak.
b. Pengertian atau pemahaman.
Pengertian yang terbentuk tergantung juga pada gambaran-gambaran
lama yang telah dimiliki individu sebelumnya (disebut apersepsi).
c. Penilaian atau evaluasi
Setelah terbentuk pengertian atau pemahaman, terjadilah penilaian dari
individu. Individu membandingkan pengertian atau pemahaman yang
baru diperoleh tersebut dengan kriteria atau norma yang dimiliki
individu secara subjektif. Penilaian individu berbeda-beda meskipun
objeknya sama. Oleh karena itu persepsi bersifat individual.
2. Teori Kesadaran Hukum
Kesadaran hukum adalah konsepsi-konsepsi abstrak di dalam diri
manusia, tentang keserasian antara ketertiban dengan ketentraman yang
dikehendaki atau yang sepantasnya. Indikator-indikator dari masalah
kesadaran hukum tersebut adalah:20
1. Indikator pertama adalah pengetahuan hukum
Seseorang warga mengetahui bahwa perkawinan itu telah diatur oleh
hukum. Peraturan hukum yang dimaksud di sini adalah tiap-tiap
perkawinan harus dicatatkan.
2. Indikator kedua adalah pemahaman hukum
19 Bimo Walgito, Pengantar Psikologi Umum, (Yogyakarta: Andi Yogyakarta, 2010) Cet.19, h. 54-55
20 Soerjono Soekanto, Kesadaran Hukum Dan Kepatuhan Hukum, Suatu AnalisaSosiologi Hukum, (Jakarta, Cv Rajawaki, 1982), Cet.I, h. 159
11
Seseorang warga mempunyai pengetahuan dan pemahaman mengenai
aturan-aturan tentang pencatatan perkawinan.
3. Indikator yang ketiga adalah sikap hukum
Seseorang warga mempunyai kecenderungan untuk mengadakan
penilaian tertentu terhadap aturan pencatatan perkawinan.
4. Indikator keempat adalah perilaku hukum
Yaitu dimana seseorang warga mematuhi peraturan pencatatan
perkawinan.
G. Metode Penelitian
Metode adalah proses, prinsip-prinsip dan tata cara untuk menyelesaikan
suatu masalah, sedangkan penelitian adalah pemeriksaan secara hati-hati,
tekun, dan tuntas terhadap suatu gejala untuk menambah pengetahuan
manusia.21 Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian
sebagai berikut:
1. Pendekatan Penelitian
Dalam mengumpulkan data yang diperlukan, penulis menggunakan
pendekatan yuridis sosiologis. Penelitian yuridis sosiologis adalah suatu
penelitian yang didasarkan pada suatu ketentuan hukum dan fenomena
atau kejadian yang terjadi di lapangan.22 Metode ini digunakan dalam
rangka memperoleh informasi dengan memberikan gambaran secara
cermat mengenai sifat-sifat individu, keadaan dan respon kelompok
tertentu dalam masyarakat.23 Dalam penelitian ini yang akan penulis cari
yaitu mengenai faktor tingginya praktik perkawinan di bawah tangan di
Kelurahan Bojong Pondok Terong Kecamatan Cipayung dan tingkat
kesadaran hukum masyarakat Kelurahan Bojong Pondok Terong
Kecamatan Cipayung terhadap pencatatan perkawinan.
21 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986) h. 622 Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Raja
Grafindo, 2001) h. 2623 Konijara Ningrat, Pedoman Penelitian, (Jakarta: Rajawali Press, 1993) h. 9
12
2. Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini, jenis penelitian yang digunakan adalah
penelitian kualitatif dan kuantitatif dengan menggunakan metode
deskriptif analisis, penelitian ini didasari dengan data-data yang diperoleh
kemudian dianalisa untuk mendapatkan kesimpulan dari suatu masalah
yang terdapat di dalam masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk
memberikan gambaran tentang suatu masyarakat atau suatu kelompok
orang tertentu.24
3. Jenis Data dan Sumber Data
Dalam penulisan ini penulis menggunakan data primer dan data
sekunder.
a. Data Primer adalah data yang langsung dikumpulkan dari sumber
pertamanya atau diperoleh dari survei dan observasi di lapangan, yaitu
data yang didapat dari hasil wawancara langsung kepada pihak-pihak
yang terkait.
b. Data Sekunder adalah data yang memberikan bahan tidak langsung
atau data yang didapat selain dari data primer. Data ini dikumpulkan
melalui penelusuran berupa kitab-kitab, buku-buku yang berhubungan
dengan pembahasaan ini, kemudian dipadukan kembali unsur-unsur
tersebut sehingga mencapai suatu kesimpulan.
c. Data tersier adalah data yang memberikan petunjuk atau penjelasan
terhadap data primer dan data sekunder.
4. Populasi dan Sampel
Populasi adalah suatu keseluruhan kelompok unit dalam ruang lingkup
sebuah studi penelitian atau sekumpulan individu yang menjadi perhatian
dalam suatu penelitian.25 Dalam penelitian ini populasi penelitiannya
24 Irwan Soehartono, Metode Penelitian Sosial, (Bandung, Remaja Rosdakarya, 2011)h.35
25 Syamsir Abduh, Metodelogi Penelitian: Cara Praktis Menulis Disertasi, (Jakarta,Penerbit Universitas Trisakti, 2006) h. 63
13
adalah masyarakat Kelurahan Bojong Pondok Terong Kecamatan
Cipayung Kota Depok.
Sample adalah kelompok yang dipilih dari populasi untuk mewakili
populasi ini. Sample dalam penelitian ini adalah masyarakat Kelurahan
Bojong Pondok Terong Kecamatan Cipayung Kota Depok yang menikah
di bawah tangan.
Dalam pengambilan sample ini, teknik yang digunakan adalah teknik
purposive sampling yaitu sample yang ditetapkan secara sengaja oleh
peneliti berdasarkan kriteria atau pertimbangan tertentu.26
5. Teknik Pengumpulan Data
Dalam mengumpulkan data-data akurat saat penelitian, penulis
menggunakan beberapa teknik, yaitu:
a. Angket
Angket (self administered questionnaire) adalah teknik
pengumpulan data dengan menyerahkan atau mengirim daftar
pertanyaan untuk diisi sendiri oleh responden.
b. Interview (wawancara)
Suatu alat pengumpulan data yang digunakan untuk memperoleh
informasi yang jelas dan akurat yang berkaitan dengan hal yang
diteliti. Wawancara dilakukan dengan cara mengadakan tanya jawab
secara langsung dengan pihak yang terkait.
c. Studi kepustakaan
Studi Kepustakaan (Library Research) yaitu metode yang
digunakan untuk mengumpulkan serta menganalisa data yang
diperoleh dari literatur-literatur yang berkenaan dengan permasalahan
yang diangkat dalam penelitian ini berupa buku, artikel dan
26 Yayan Sopyan, Buku Ajar Pengantar Metode Penelitian, (Jakarta, Fakultas SyariahDan Hukum, 2010) h. 81
14
sebagainyadengan cara menelusuri buku-buku dan literatur yang
berkaitan dengan permasalahan yang dibahas.
6. Teknik Pengolahan Data
Data-data yang diperoleh melalui angket dan wawancara, kemudian
diproses dengan beberapa tahap sebagai berikut:
a. Editing, yaitu memeriksa jawaban-jawaban responden untuk diteliti
dan dirumuskan pengelompokan untuk memperoleh data-data akurat.
b. Tabulating, yaitu metabulasi atau memindahkan jawaban-jawaban
responden ke dalam table, kemudian dicari Persentasenya untuk
kemudian dianalisia.
c. Kesimpulan, yaitu penulis memberikan kesimpulan dari hasil analisa
dan penafsiran data, semua tahapan tersebut akhirnya dijelaskan
pendeskripsiannya dalam bentuk kata-kata maupun angka sehingga
menjadi bermakna.
d. Persentase, dalam hal ini penulis mengklasifikasikan data dengan
menggunakan Persentase sebagai berikut:
P = F× 100%N
Keterangan:
P = Besar Persentase
F = Frekuensi (jumlah jawaban responden)
N = Jumlah responden
Besar persentase dari rumus tersebut akan penulis jelaskan dengan
beberapa kriteria diantaranya:
100% = Seluruhnya 82% - 99% = Hampir Seluruhnya
67% - 81% = Sebagian Besar 51% - 66% = Lebih dari Setengah
50% = Setengahnya 34% - 49% = Hampir Setengah
18% - 33% = Sebagian Kecil
15
7. Metode Analisis
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan
analisis data deskriptif yaitu berupa metode yang menggambarkan tentang
objek yang diteliti yang disajikan secara kualitatif dan kuantitatif dalam
bentuk uraian naratif dan table.
H. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan yang dibuat oleh penulis dalam skripsi ini dibagi
dalam pembagian bab agar memiliki pembahasan yang terarah dan tidak
terlalu luas. Dalam sripsi ini terdiri dari lima bab, dan setiap bab memiliki
subbab yang menjadi penjelasan dari masing-masing bab tersebut. Skripsi
ini diakhiri dengan daftar pustaka yang menjadi rujukan penulis dalam
penulisan skripsi ini dan lampiran-lampiran. Adapun sistematika penulisan
tersebut ialah sebagai berikut:
a. Bab Pertama, merupakan bab pendahuluan dimuat tentang latar
belakang, identifikasi masalah, pembatasan masalah dan perumusan
masalah, tujuan dan manfaat penelitian, review studi terdahulu,
kerangka teori, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
b. Bab kedua, dibahas tentang tentang pengertian pencatatan perkawinan
dan dasar hukum pencatatan perkawinan, urgensi pencatatan
perkawinan, pengertian perkawinan di bawah tangan, dampak
perkawinan di bawah tangan, pengertian kesadaran hukum, indikator
kesadaran hukum dan fungsi kesadaran hukum, serta pengertian
persepsi, dan faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi.
c. Bab Ketiga, gambaran umum tentang Kelurahan Bojong Pondok
Terong Kecamatan Cipayung Kota Depok, Kondisi Topografi,
keadaan demografi, dan keadaan social.
d. Bab Keempat, membahas mengenai hasil penelitian penulis, yaitu:
faktor-faktor yang mempengaruhi perkawinan di bawah tangan,
persepsi masyarakat Bojong Pondok Terong terhadap pencatatan
16
perkawinan, pengetahuan masyarakat Bojong Pondok Terong
terhadap pencatatan perkawinan, pemahaman masyarakat Bojong
Pondok Terong terhadap pencatatan perkawinan, sikap masyarakat
Bojong Pondok Terong terhadap pencatatan perkawinan, perilaku
masyarakat Bojong Pondok Terong terhadap pencatatan perkawinan,
dan analisis.
e. Bab Kelima, merupakan bab penutup yang terdiri dari kesimpulan dan
saran beserta lampiran-lampiran terkait.
17
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG
PENCATATAN PERKAWINAN DAN TEORI KESADARAN HUKUM
A. Pencatatan Perkawinan
1. Pengertian dan Dasar Hukum Pencatatan Perkawinan
Pencatatan perkawinan adalah pencatatan yang dilakukan oleh pejabat
Negara terhadap peristiwa perkawinan. Pencatatan perkawinan dilakukan
oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN) ketika akan melangsukan akad
perkawinan antara calon suami dan calon istri.1
Peraturan mengenai adanya suatu pencatatan perkawinan telah diatur
dalam Undang-undang No. 22 Tahun 1946 Jo Undang-undang No. 32
Tahun 1954 Tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk yang mulanya
hanya berlaku untuk wilayah Jawa dan Madura, kemudian pada tanggal 26
Oktober 1954 Undang-undang tersebut diberlakukan untuk seluruh
wilayah di Indonesia2, setelah itu berlakulah undang-undang No. 1 tahun
1974 tentang perkawinan yang mengharuskan pencatatan terhadap tiap
peristiwa perkawinan dan perceraian.3
Dalam Undang-undang No. 1 tahun 1974 Pasal 2 ayat (2) Undang-
undang Perkawinan menyebutkan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.4 Untuk
pelaksanaannya diatur dalam PP No. 9 Tahun 1975 pasal 2 menyebutkan
1 Muhammad Zein dan Mukhar Al – Shadiq, Membangun Keluarga Harmonis (Jakarta:Graha Cipta, 2006), h. 36
2 Achmad Ihsan, Hukum Perkawinan Bagi Yang Beragama Islam: Suatu Tinjauan DanUlasan Secara Sosiologi Hukum (Jakarta: Pradnya Paramitha, 2000) h. 70
3 Proyek Pembinaan Badan Peradilan Agama, Laporan Seminar tentang PelaksanaanUndang-undang Perkawinan (Jakarta, Departemen Agama: 1979) h. 40
4 Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h.190
18
bahwa, pencatatan dari mereka yang melangsungkan perkawinan menurut
agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN) sebagaimana
dimaksud dalam Undang-undang No. 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan
Nikah, Talak dan Rujuk yaitu Kantor Urusan Agama setempat (daerah
dimana perkawinan dilaksanakan) dan selain yang beragama Islam
dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN) di kantor catatan sipil.5
Dengan adanya ketentuan tersebut dalam Pasal ini maka pencatatan
perkawinan hanya dilakukan oleh dua instansi, yakni Pegawai Pencatat
Nikah Talak dan Rujuk, dan Kantor Catatan Sipil atau instansi/ pejabat
yang membantunya.6
Kemudian pencatatan perkawinan juga diatur dalam Pasal 5 Kompilasi
Hukum Islam (KHI) merumuskan bahwa:
1. Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap
perkawinan harus dicatat.
2. Pencatatan perkawinan sebagaimana tersebut pada ayat (1)
dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaiman diatur dalam
Undang-Undang No. 22 tahun 1946 jo. Undang-Undang No. 32
tahun 1954.
Pasal 5 KHI yang memuat tujuan pencatatan perkawinan adalah agar
terjaminnya ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam, oleh karena itu
perkawinan harus dicatat, merupakan ketentuan lanjutan dari Pasal 2 ayat
(2) Undang-Undang No. 1 tahun 1974, yang pelaksanaannya dimuat dalam
Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 Bab II tentang Pencatatan
Perkawinan.
5 K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1976), h.756 Achmad Ichsan, Hukum Perkawinan Bagi yang Beragama Islam, h.136
19
Selanjutnya dalam Pasal 6 KHI merumuskan bahwa:
1. Untuk memenuhi ketentuan Pasal 5, setiap perkawinan harus
dilangsungkan di hadapan dan di bawah pengawasan Pegawai
Pencatat Nikah.
2. Perkawinan yang dilakukan di luar pegawasan Pegawai Pencatat
Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.
Berdasarkan rangkaian ketentuan pencatatan perkawinan dalam
peraturan perundang-undangan tersebut, tampak bahwa jiwa yang
terkandung dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang No. 1 tahun 1974,
terwujud kembali dalam Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 Pasal 2
ayat (1) dan KHI Pasal 5.7
Selain peraturan diatas, pencatatan perkawinan juga diatur dalam
Undang-undang No. 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan
yang di keluarkan pada tanggal 29 Desember 2006, mengatur tata cara dan
tata laksana pencatatan peristiwa penting atau pencatatan sipil yang
dialami setiap penduduk Republik Indonesia.8
Peristiwa penting menurut Pasal 1 angka 17 Undang-Undang Nomor
23 tahun 2006 tentang Admistrasi Kependudukan, adalah kejadian yang
dialami oleh seseorang meliputi kelahiran, kematian, lahir mati,
perkawinan, perceraian, pengakuan anak, pengesahan anak, pengangkatan
anak, perubahan nama dan perubahan status kewarganegaraan.
Pencatatan perkawinan bagi penduduk yang beragama Islam, Pasal 8
Undang-Undang Nomor 23 tahun 2006 menentukan, bahwa kewajiban
Instansi Pelaksana untuk pencatatan nikah, talak, cerai, dan rujuk bagi
7 Abdul Gani Abdullah, Pengantar Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata HukumIndonesia, (Jakarta: Gema Insani Press, 1994) h.79
8 Neng Djubaidah, Pencatatan Perkawinan & Perkawinan Tidak Dicatat (Jakarta: SinarGrafika, 2012), h. 225
20
penduduk yang beragama Islam pada tingkat Kecamatan dilakukan oleh
pegawai pencatat pada KUA Kecamatan.9
2. Urgensi Pencatatan Perkawinan
pencatatan perkawinan sebagai salah satu upaya untuk mewujudkan
rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warahmah menjadi suatu
keharusan dan keniscayaan. Untuk itu, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan di Indonesia juga mengharuskan adanya pencatatan
perkawinan bagi siapa saja yang melakukan perkawinan.10
Pencatatan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan ketertiban
perkawinan dalam masyarakat. Ini merupakan suatu upaya yang diatur
melalui Undang-undang untuk melindungi martabat dan kesucian
perkawinan. Pencatatan perkawinan asalnya hanya sebuah kebutuhan
administrasi Negara. Namun, fungsi dari pencatatan perkawinan itu sangat
penting khususnya bagi perempuan.11
Sudah cukup banyak perempuan di Indonesia yang menjadi korban
akibat perkawinan yang tidak dicatat ini atau dalam bahasa lain sering
disebut dengan perkawinan liar atau perkawinan di bawah tangan. Ketika
keluarganya bermasalah dan harus berjuang dengan perceraian, maka
nasib dirinya, hartanya dan anaknya menjadi terkatung-katung akibat
ketidak jelasan status pernikahannya.12
Adapun dalil yang menjadikan pencatatan nikah sebagai syarat dan
rukun nikah adalah al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 282:
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara
tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya…
9 Neng Djubaidah., h. 225
10Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h.189
11 Sri Mulyani, Relasi Suami Istri Dalam Islam, (Jakarta: Pusat Studi Wanita UIN SyarifHidayatullah, 2004) h. 9
12 Sri Mulyani, h. 9
21
Untuk urusan utang-piutang saja yang bersifat keduniaan, Allah
memerintahkan untuk mengadakan pencatatan, apalagi masalah
perkawinan yang bukan saja masalah keduniaan, tetapi berdampak pada
kedudukan hukum manusia, harta benda dan pertanggung jawaban di
akhirat kelak. Seharusnya, pencatatan perkawinan lebih harus diwajibkan.
Dalam istilah ushul fiqh dikenal dengan qiyas aulawi.13
Perkawinan yang tidak dicatatkan akan berkonsekuensi buruk terhadap
lembaga perkawinan yang dalam Islam merupakan salah satu pilar penting
yang diakui. Dengan demikian, pencatatan perkawinan yang tidak pernah
ada dalam khazanah fikih konvensional bahkan dalam tumpukan kitab
yang mendasarkan pada perkataan Rasulullah SAW. tetapi karena tujuan
dan urgensinya untuk konteks saat ini sangat mendesak, maka tidak ada
salahnya jika pencatatan perkawinan menjadi salah satu komponen dasar
perkawinan masyarakat modern suatu negara.14
B. Perkawinan di Bawah Tangan
1. Pengertian Perkawinan di Bawah Tangan
Istilah perkawinan di bawah tangan muncul seiring dengan lahirnya
pembaruan hukum keluarga dalam bentuk undang-undang. Di beberapa
negara Muslim, seperti Brunei, Mesir, Iran, India, Pakistan, Yordania,
Tunisia, Irak, Republik Yaman, Lebanon, Maroko, Libya dan Syiria
mengharuskan pencatatan perkawinan. Hanya saja, aturan tersebut tidak
menegaskan pencatatan sebagai syarat sahnya perkawinan.15
Dalam tesis Khoiruddin Nasution, aturan mengenai pencatatan
perkawinan ini dikelompokkan menjadi tiga. Pertama, kelompok yang
menetapkan pencatatan sebagai keharusan dan pihak yang melanggar
dikenakan sanksi atau hukum dan perkawinannya tidak mempunyai
13 Sri Mulyani, Relasi Suami Istri Dalam Islam, h. 1014 Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia, h. 18715 Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia, h. 182
22
kedudukan hukum. Kedua, kelompok yang menjadikan pencatatan sebagai
syarat administrasi, tetapi tidak menegaskan status dan akibat hukum
perkawinan yang tidak dicatatkan. Ketiga, meskipun mengharuskan
pencatatan tetapi masih mengakui perkawinan yang tidak dicatatkan.16
Dalam Undang-undang nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan,
KUH Perdata maupun KHI tidak memberikan definisi mengenai
perkawinan di bawah tangan. 17 Ada beberapa pengertian mengenai istilah
perkawinan di bawah tangan, diantaranya beberapa pendapat
mendefinisikan sebagai berikut:
1. Prof. wahyono Darmabrata, SH., MH, mengartikan bahwa perkawinan
di bawah tangan ialah perkawinan yang dilaksanakan dengan
mengabaikan syarat dan prosedur Undang-undang, dapat terjadi tidak
dilakukan di depan KUA tetapi dilakukan di depan pemuka agama.
Perkawinan demikian dapat diartikan sebagai itikad untuk
penyelundupan ketentuan Negara yang tertuang dalam Undang-
undang.18
2. Perkawinan di bawah tangan atau perkawinan yang sengaja tidak
dicatatkan adalah suatu perkawinan yang dilakukan oleh orang-orang
Islam Indonesia, memenuhi baik rukun dan syarat perkawinan tetapi
tidak didaftarkan pada pejabat pencatat nikah seperti diatur dan
ditentukan oleh Undang-undang No. 1 tahun 1974 Tentang
Perkawinan.19
3. Perkawinan di bawah tangan adalah bentuk perkawinan yang
dilakukan hanya berdasarkan aturan (hukum) agama dan atau adat
istiadat tetapi tidak diumumkan kepada khalayak umum dan juga tidak
16 Dr. Rahmawati, M. Ag. Dinamika Pemikiran Ulama dalam Ranah Pembaruan HukumKeluarga Islam di Indonesia, (Daerah Istimewa Yogyakarta: ladang kata, 2015) h. 167
17Happy Susanto, Nikah Siri Apa Untungnya, (Jakarta: Visimedia, 2007), h. 2218 Wahyono Darmabrata, Tinjauan Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 Tentang
Perkawinan serta Undang-undang dan Peraturan Pelaksanaannya, (Jakarta: CV Citamajaya,2003), h. 102
19 Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, Suatu Analisa dari Undang-undangnomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan dan KHI, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), h. 252
23
dicatatkan secara resmi pada kantor pegawai pencatat nikah, yaitu
KUA bagi yang beragama Islam dan KCS bagi yang non muslim.20
4. Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) memberikan pengertian
pernikahan di bawah tangan yaitu pernikahan yang terpenuhi semua
rukun dan syarat yang ditetapkan dalam fiqh (hukum Islam), namun
nikah ini tanpa pencatatan resmi di instansi berwenang sebagaimana
diatur dalam perundang-undangan.21
2. Dampak Perkawinan di Bawah Tangan
Pencatatan terhadap perkawinan membawa dampak hukum tersendiri
bagi perkawinan tersebut. Dalam pengertian dengan dicatatkannya
perkawinan tersebut menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku
maka perkawinan tersebut diakui oleh Negara. Sebaliknya apabila
pencatatan terhadap perkawinan tersebut tidak dilaksanakan, dengan
sendirinya perkawinan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum.
Berikut ini adalah dampak perkawinan di bawah tangan yang tidak
dicatatkan:
1. Terhadap Istri
a. Istri yang telah dinikahi secara perkawinan di bawah tangan tidak
mempunyai kekuatan hukum. Berdasarkan pasal 2 ayat (2) Undang-
undang No. 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan, perkawinan harus
dicatat menurut peraturan yang berlaku. Tidak dicatatnya perkawinan
berarti menyalahi ketentuan ini, sehingga secara hukum perkawinan
tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum. Meskipun pekawinan telah
dilakukan menurut agama dan kepercayaannya, namun di mata Negara
perkawinan tersebut dianggap tidak diakui jika belum dicatat oleh
KUA atau KCS.
b. Karena secara hukum perkawinan tersebut dianggap tidak mempunyai
kekuatan hukum. Jika terjadi perceraian, maka konsekuensinya adalah
20 Happy Susanto, Nikah Siri Apa Untungnya, h. 2221 Tim Penyusun, Himpunan Fatwa MUI Sejak 1975, (Jakarta: Emir, 2015) h. 558
24
tidak dapat diperkarakan secara hukum hal-hal yang berkenaan dengan
perkawinan termasuk dalam soal pembagian harta gono–gini.
c. Istri tidak dapat menggugat suami apabila ditinggalkan oleh suami,
dengan kata lain tidak dapat mengajukan gugatan perkara perceraian
ke Pengadilan Agama atupun ke Pengadilan Negeri.
d. Apabila suami sebagai pegawai, maka istri tidak memperoleh
tunjangan perkawinan dan tunjangan pensiun suami.
Dengan melihat dampak perkawinan tersebut, maka jelas terlihat
bahwa perkawinan tanpa legalisasi hukum akan menempatkan wanita atau
istri dalam posisi yang lemah. Namun hingga saat ini masih banyak wanita
yang mau melakukan perkawinan di bawah tangan.
2. Terhadap anak yang dilahirkan
a. Anak yang lahir dari perkawinan di bawah tangan dianggap tidak dapat
dilegalisasikan oleh Negara melalui akta kelahiran sehingga anak yang
dilahirkan tidak mempunyai status hukum yang jelas. Hal ini
dikarenakan untuk membuktikan status hukum anak diperlukan dua
macam akta, yaitu:
(1) Akta perkawinan orang tuanya, yang dapat menjelaskan dan
membutikan secara otentik peristiwa perkawinan yang dilakukan
oleh orang tuanya. Akta perkawian orang tua juga membuktikan
bahwa perkawinan itu telah dilangsungkan menurut ketentuan
agama yang bersangkutan dan telah dicatatkan di KUA atau di
KCS.
(2) Akta kelahiran, yang membuktikan siapa orang tua anak itu dan
menjelaskan asal usul anak yang dilahirkan. Ketentuan ini terdapat
pada pasal 55 undang-undang no. 1 tahun 1974 tentang
perkawinan, dimana asal usul seorang anak hanya dapat dibuktikan
dengan akta kelahiran yang otentik oleh pejabat yang berwenang.
Keadaan seperti ini tentunya merugikan anak, karena anak tidak
25
mendapatkan hak semestinya termasuk dalam pengurusan
dokumen-dokumen administrasi misalnya untuk keperluan sekolah.
3. Terhadap harta kekayaan.
Dalam hal untuk menentukan status kepemilikan harta selama dalam
hubungan perkawinan adalah penting untuk memperoleh kejelasan
mengenai status harta itu, seperti jika terjadi perceraian atau apabila terjadi
kematian salah satu pihak dengan mudah menentukan mana harta
peninggalan yang dapat diwariskan kepada pihak ahli waris. Berkaitan
dengan ini, maka diperlukan adanya akta perkawinan sebagai bukti otentik
dengan tujuan agar pihak yang bersangkutan dapat mengajukan pembagian
harta bersama ke Pengadilan serta memperoleh kejelasan terhadap hak
para pihak. Untuk terjadinya kepemilikan bersama terhadap harta benda
suami istri, maka mereka harus melangsungkan perkawinannya secara sah.
Tetapi apabila setelah perkawinan tidak dicatatkan maka akan terjadi
ketidakpastian terhadap harta perkawinan. Dalam hal pihak istri ingin
mendapatkan bagian atas harta bersama selama perkawinan harus dapat
membuktikan adanya suatu perkawinan yang sah dengan menunjuan akta
nikah. Apabila akta nikah tersebut tidak ada maka akibat hukum yang
dapat ditimbulkan terhadap harta kekayaannya tersebut adalah:
a. Akan menimbulkan ketidakjelasan terhadap status harta bersama
dalam perkawinan, yaitu hak suami istri terhadap harta bersama.
Ketentuan harta bersama ini terdapat dalam pasal 35 ayat (1)
Undang-undang nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan yang
menetapkan bahwa:
“Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta
bersama”
26
b. Sulit bagi kedua belah pihak untuk mengajukan pembagian harta
bersama ke Pengadilan karena perkawinan tersebut dianggap tidak
pernah ada oleh hukum.22
C. Teori Kesadaran Hukum
1. Pengertian Kesadaran Hukum
Secara bahasa “Kesadaran Hukum” terbentuk dari dua kata yaitu
Kesadaran dan Hukum. Kata “kesadaran” mempunyai kata dasar “sadar”.
Sadar berarti insyaf, paham, mengerti. Kesadaran berarti mengetahui serta
memahami sesuatu hal baik secara kongkrit maupun abstrak.23 Hukum
secara bahasa adalah peraturan yang dibuat oleh suatu kekuasaan atau adat
yang dianggap berlaku oleh dan untuk orang banyak.24
Sedangkan kesadaran hukum menurut kamus besar bahasa Indonesia
adalah kesadaran seseorang akan pengetahuan bahwa suatu perilaku
tertentu diatur oleh hukum.25
Dalam ilmu hukum dikenal dengan adanya beberapa pendapat tentang
keasadaran hukum. Perihal kata atau pengertian kesadaran hukum, ada
juga yang merumuskan bahwa sumber satu-satunya dari hukum dan
kekuatan mengikatnya adalah kesadaran hukum dan keyakinan hukum
individu di dalam masyarakat yang merupakan kesadaran hukum individu,
merupakan pangkal dari pada kesadaran hukum masyarakat.26
Kesadaran hukum diartikan secara terpisah dalam bahasa yang kata
dasarnya adalah sadar, tahu, dan mengerti yang secara keseluruhan
22 Tony Budisarwono, Dampak Perkawinan di Bawah Tangan bagi Istri dan AnakMenurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (Depok, 2008) h. 80-89.
23 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan Dan Pengembangan Bahasa, Kamus BesarBahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), cet. I, h. 765
24 Suharso dan Retnoningsih Anna, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Lux,(Semarang: Widia Karya, 2005), h. 171
25 Suharso, Retnoningsih Anna, h. 17326 Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosioogi Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 1994), h. 147
27
merupakan mengetahui dan mengerti tentang hukum. Menurut Ewick dan
Silbey: “kesadaran hukum” mengacu pada cara-cara dimana orang-orang
memahami hukum dan institusi-institusi hukum, yaitu pemahaman-
pemahaman yang memberikan makna kepada pengalaman dan tindakan
orang-orang.27
Menurut Prof. Soerjono Soekanto kesadaran hukum sebenarnya
merupakan kesadaran atau nilai-nilai yang terdapat di dalam diri manusia
tentang hukum yang ada atau tentang hukum yang diharapkan ada.
Sebenarnya yang ditekankan adalah nilai-nilai tentang fungsi hukum dan
bukan suatu penilaian hukum terhadap kejadian-kejadian yang konkrit
dalam masyarakat yang bersangkutan.28
Sudikno Mertokusumo juga mempunyai pendapat tentang pengertian
kesadaran hukum. Menurutnya kesadaran hukum berarti kesadaran tentang
apa yang seyogyanya kita lakukan atau perbuat atau yang seyogyanya
tidak kita lakukan terutama terhadap orang lain. 29
Berdasarakan pendapat di atas, kesadaran hukum merupakan
kesadaran yang terdapat dalam diri manusia terhadap hukum yang ada,
yaitu yang akan dimanifestasikan dalam bentuk kepatuhan dan
ketidakpatuhan terhadap hukum. Melalui kejiwaan, membedakan perilaku
mana yang harus dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan. Dengan
demikian masyarakat mentaati hukum bukan karena paksaan, melainkan
karena hukum tersebut sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam keadaan
masyarakat sendiri.
27 Ali Acmad, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) Dan Teori Peradilan (JudicialPrudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), (Jakarta: Kencana, 2009) h.510
28 Soerjono Soekanto, Kesadaran Hukum Dan Kepatuhan Hukum, Suatu AnalisisSosiologis Hukum, (Jakarta: CV Rajawali, 1982), cet. I, h. 152
29 Sudikno Mertokusumo, Meningkatkan Kesadaran Hukum Mayarakat, (Yogyakarta:Liberty, 1981) h. 3
28
2. Indikator Kesadaran Hukum
Setiap manusia yang normal mempunyai kesadaran hukum,
masalahnya adalah taraf kesadaran hukum tersebut, yaitu ada yang tinggi,
sedang dan rendah.30 Berkaitan dengan hal tersebut soerjono soekanto
mengemukakan bahwa untuk mengetahui tingkat kesadaran hukum
masyarakat terdapat empat indikator yang dijadikan tolak ukur yaitu
pengetahuan hukum, pemahaman hukum, sikap hukum dan pola perilaku
hukum. Setiap indikator tersebut menunjukan tingkat kesadaran hukum
tertentu mulai dari yang terendah sampai dengan yang tertinggi. 31
Indikator-indikator dari kesadaran hukum tersebut merupakan
petunjuk-petunjuk yang konkrit tentang adanya taraf kesadaran hukum
tertentu. Dengan adanya indikator-indikator tersebut, seseorang yang
menaruh perhatian pada kesadaran hukum akan dapat mengetahui apa
yang sesunggguhnya merupakan kesadaran hukum.32
Empat indikator kesadaran hukum yang masing-masing merupakan
suatu tahapan bagi tahapan berikutnya, yaitu:
a. Pengetahuan hukum adalah pengetahuan seseorang mengenai
beberapa perilaku tertentu yang diatur oleh hukum. Sudah tentu
bahwa hukum yang dimaksud di sini adalah hukum tertulis dan
hukum tidak tertulis. Pengetahuan tersebut berkaitan dengan
perilaku yang dilarang ataupun perilaku yang dibolehkan oleh
hukum.33 Artinya seseorang mengetahui bahwa perilaku – perilaku
tertentu diatur oleh hukum, baik hukum yang tertuis ataupun
hukum yang tidak tertulis. Pengetahuan tersebut menyangkut
perilaku yang dilarang oleh hukum atau perilaku yang
diperbolehkan oleh hukum.
30 Otje Salman, Beberapa Aspek Sosiologi Hukum, (Bandung; PT. Alumni, 2004), h. 5631 Soerjono Soekanto, Kesadaran Hukum Dan Kepatuhan Hukum, Suatu Analisis
Sosiologis Hukum, h. 15932 Zainudin ali, Sosiologi Hukum, (Jakarta, sinar grafika, 2006) h. 10033 Otje Salman, Beberapa Aspek Sosiologi Hukum, h. 56
29
b. Pemahaman hukum dalam arti di sini adalah sejumlah informasi
yang dimiliki seseorang mengenai isi peraturan dari suatu hukum
tertentu, dengan kata lain perkataan pemahaman hukum adalah
suatu pengertian terhadap isi dan tujuan dari suatu peraturan dalam
hukum tertentu, tertulis maupun tidak tertulis, serta manfaatnya
bagi pihak-pihak yang kehidupannya diatur oleh peraturan
tersebut.34 Dalam hal pemahaman hukum, tidak diisyaratkan
seseorang harus lebih dahulu mengetahui adanya suatu aturan
tertulis yang mengatur sesuatu hal. Akan tetapi yang dilihat di sini
adalah bagaimana persepsi ini biasanya diwujudkan melalui sikap
mereka terhadap tingkah laku sehari-hari.35
c. Sikap hukum adalah suatu kecenderungan untuk mengadakan
penilaian tertentu terhadap hukum. Salah satu tugas hukum yang
penting adalah mengatur kepentingan-kepentingan warga
masyarakat tersebut, lazimnya bersumber pada nilai-nilai yang
berlaku yaitu anggapan tentang apa yang baik dan apa yang harus
dihindari. Ketaatan masyarakat terhadap hukum dengan demikian
sedikit banyak tegantung pada apakah kepentingan-kepentingan
warga masyarakat dalam bidang-bidang tertentu dapat ditampung
oleh ketentuan-ketentuan hukum tersebut.36
d. Perilaku hukum adalah dimana seseorang berperilaku sesuai
dengan hukum.37 Indikator perilaku hukum merupakan petunjuk
akan adanya tingkat kesadaran yang tinggi. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa tinggi rendahnya tingkat kesadaran hukum akan
dapat dilihat dari derajat kepatuhan hukum yang terwujud dalam
pola perlaku manusia yang nyata. Kalau hukum ditaati, maka hal
itu merupakan suatu petunjuk penting bahwa hukum tersebut
34 Otje Salman, Beberapa Aspek Sosiologi Hukum, h. 5735 T.O Ihromi, Bianglala Hukum, (Bandung; Tarsito, 1986), Cet I, h.9936 Zainuddin Ali, Sosiologi Hukum, (Jakarta; Sinar Grafika, 2006), Cet I, h.6837 Zainuddin Ali, Sosiologi Hukum, h. 100
30
adalah efektif. Dengan demikian pola perilaku hukum merupakan
hal yang utama dalam kesadaran hukum karena di sini dapat dilihat
apakah suatu peraturan hukum berlaku atau tidak dalam
masyarakat. Dapat dikatakan bahwa seberapa jauh kesadaran
masyarakat terhadap suatu hukum dapat dilihat dari pola perilaku
hukum suatu masyarakat.38
Dari keempat indikator di atas menunjukan pada tingkatan-tingkatan
kesadaran hukum tertentu di dalam perwujudannya. Apabila seseorang
hanya mengetahui hukum, maka dapat dikatakan bahwa tingakat
kesadaran hukum masih rendah, kalau dia telah berperilaku sesuai dengan
hukum, maka kesadaran hukumnya tinggi.
3. Fungsi Kesadaran Hukum
Fungsi kesadaran hukum yaitu agar tercapainya fungsi kontrol
sosial dari hukum, dalam rangka mewujudkan ketertiban, keadilan, dan
ketentraman masyarakat, serta dalam rangka mewujudkan perubahan
kehidupan sosial agar lebih berkualitas, lebih maju dan sejahtera, melalui
dinamika pembangunan yang terarah, komprehensif dan
berkesinambungan.
Pentingnya kesadaran membangun masyarakat yang sadar akan
hukum inilah yang diharapkan akan menunjang dan menjadikan
masyarakat menjunjung tinggi institusi atau aturan sebagai pemenuhan
kebutuhan untuk mendambakan ketaatan serta ketertiban hukum. Peran
dan fungsi membangun kesadaran hukum dalam masyarakat pada
umumnya melekat pada institusi sebagai pelengkap masyarakat dapat
dilihat dengan Stabilitas, Memberikan kerangka social terhadap
kebutuhan-kebutuhan dalam masyarakat, Memberikan kerangka social
institusi berwujud norma-norma, Jalinan antar institusi.
38 Otje Salman, Beberapa Aspek Sosiologi Hukum, h.58
31
Beberapa faktor yang mempengaruhi masyarakat tidak sadar akan
pentingnya hukum adalah:
a. Tidak adanya kepastian hukum;
b. Peraturan-peraturan yang bersifat statis;
c. Tidak efisiennya cara-cara masyarakat untuk
mempertahankan peraturan yang berlaku.39
Berlawanan dengan faktor-faktor di atas salah satu menjadi fokus
pilihan dalam kajian tentang kesadaran hukum adalah:
a. Penekanan bahwa hukum sebagai otoritas, sangat berkaitan
dengan lokasi dimana suatu tindakan hukum terjadi;
b. Studi tentang kesadaran hukum tidak harus
mengistimewakan hukum sebagai sebuah sumber otoritas
atau motivasi untuk tindakan;
c. Studi tentang kesadaran hukum memerlukan observasi,
tidak sekedar permasalahan social dan peranan hukum
dalam memperbaiki kehidupan mereka, tetapi juga apa
mereka lakukan.40
39 Rahardjo Satjipto, Ilmu Hukum, (Bandung, Citra Aditya Bakti, 1991), Edisi Revisi, h.112
40 Ali Achmad, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (JudicialPrudence) Termasuk Interprestasi Undang-undang (Legisprudence), h. 342
32
D. Teori Persepsi
1. Pengertian Persepsi
Pengertian presepsi dalam kamus ilmiah adalah pengamatan,
penyusunan dorongan-dorongan dalam kesatuan-kesatuan, hal
mengetahui, melalui indera, tanggapan (indera) dan daya memahami.41
Oleh karena itu, kemampuan manusia untuk membedakan
mengelompokkan dan memfokuskan yang ada di lingkungan mereka
disebut sebagai kemampuan untuk mengorganisasikan pengamatan atau
persepsi.42
Persepsi pada hakikatnya merupakan proses penilaian seseorang
terhadap obyek tertentu yang didahului oleh proses pengindraan, yaitu
merupakan proses diterimanya stimulus oleh individu melalui alat indra
atau juga disebut proses sensoris.43
Menurut pendapat Kartini kartono, persepsi adalah pengamatan secara
global, belum disertai kesadaran, sedang subyek dan obyeknya belum
terbedakan satu dari lainya (baru ada proses yang memiliki tanggapan).44
Sedangkan menurut Leavitt, persepsi dalam arti sempit ialah
penglihatan, bagaimana seseorang melihat sesuatu, sedangkan dalam arti
luas ialah pandangan atau pengertian, yaitu bagaimana seseorang
memandang atau mengartikan sesuatu.45 Hal tersebut juga berarti bahwa
setiap orang menggunakan kacamata sendri-sendiri dalam memandang
dunianya.
41 Pitus A Partanto, M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer (Surabaya: Arkola,2001), h. 591
42 Sarlito Wirawan Sarwono, Pengantar Psikologi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), h. 3943 Bimo Walgito, Pengantar Psikologi Umum, (Yogyakarta: Andi Yogyakarta, 2010) Cet.
19, h. 8744 Kartini Kartono, Psikologi Umum, (Bandung: Alumni Bandung, 1984) h. 7745 Muslichah Zarkasi, Psikologi Manajemen, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1986), h. 63
33
2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Persepsi
Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi bisa terletak dalam diri
pembentuk persepsi, dalam diri objek atau target yang diartikan, atau
dalam konteks situasi dimana persepsi tersebut dibuat.46
Miftah Thoha menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi
persepsi seseorang adalah sebagai berikut:
a. Faktor Internal
Faktor internal berasal dari dalam diri individu, seperti perasaan,
sikap dan kepribadian individu, perhatian (focus), proses belajar,
keadaan fisik, gangguan kejiwaan, nilai dan kebutuhan juga minat,
dan motivasi.
a. Faktor Eksternal
Faktor eksternal berasal dari luar diri individu, seperti latar
belakang keluarga, informasi yang diperoleh, pengetahuan dan
kebutuhan sekitar, intensitas, ukuran, keberlawanan, pengulangan
gerak, hal-hal baru dan familiar atau ketidak asingan suatu objek.47
Menurut David Krech dan Richard, ada empat faktor yang
mempengaruhi persepsi, yaitu:48
a. Faktor Fungsional, adalah faktor yang berasal dari kebutuhan,
pengalaman masa lalu dan hal-hal yang termasuk apa yang kita sebut
sebagai faktor-faktor personal. Faktor personal yang menentukan
persepsi adalah objek-objek yang memenuhi tujuan individu yang
melakukan persepsi.
46 Bimo Walgito, Pengantar Psikologi Umum, (Yogyakarta: Andi Yogyakarta, 2010) Cet.19, h. 90
47 Miftah Thoha, Perilaku Organisasi: Konsep Dasar Dan Aplikasinya, (Jakarta:Rajawali Pres, 2009), cet. 19, h. 154
48 Jalaludin Rakhmat, Psikologi Komunikasi. (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2000), h.52
34
b. Faktor Struktural, adalah faktor yang berasal semata-mata dari sifat.
Stimulus fisik efek-efek saraf yang ditimbulkan pada system saraf
individu.
c. Faktor-faktor situasional, Faktor ini banyak berkaitan dengan bahasa
nonverbal. Petunjuk proksemik, petunjuk kinesik, petunjuk wajah,
petunjuk paralinguistik adalah beberapa dari faktor situasional yang
mempengaruhi persepsi.
d. Faktor personal. Faktor personal ini terdiri atas pengalaman, motivasi
dan kepribadian.
Dengan demikian dari beberapa konsep persepsi diatas dapat
dismpulkan bahwa persepsi adalah proses pengorganisasian dan proses
penafsiran seorang terhadap stimulasi yang dipengaruhi oleh berbagai
pengetahuan, keinginan dan pengalaman yang relevan terhadap stimulasi
yang dipengaruhi oleh perilaku manusia dalam menentukan pilihan
hidupnya.
35
BAB III
GAMBARAN UMUM MASYARAKAT
KELURAHAN BOJONG PONDOK TERONG
A. Kondisi Topografi
Kelurahan Bojong Pondok Terong merupakan salah satu kelurahan yang
berada pada wilayah Kecamatan Cipayung Kota Depok dengan luas wilayah +
186.328 Ha, yang terdiri dari 13 (tiga belas) Rukun Warga (RW) serta 90
Rukun Tetangga (RT) .
Kelurahan Bojong Pondok Terong memiliki batas wilayah administrasif
sebagai berikut:
a. Sebelah Utara berbatasan dengan Kelurahan Ratu Jaya
b. Sebelah Timur berbatasan dengan Kelurahan Pondok Jaya
c. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kelurahan Pabuaran
d. Sebelah Barat berbatasan dengan Kelurahan Cipayung Jaya
B. Keadaan Demografi
Berdasarkan data monografi Kelurahan Bojong Pondok Terong, jumlah
penduduk Kelurahan Bojong Pondok Terong adalah sebanyak 26.465 Jiwa,
terdiri atas 6.672 Kepala Keluarga.
Jumlah penduduk menurut jenis kelamin, laki – laki sebanyak 14.211 jiwa,
dan jenis kelamin perempuan sebanyak 12.254 jiwa.
36
Tabel 3.1
Jumlah penduduk menurut jenis kelamin
NO JENIS KELAMIN JUMLAH
1. Laki-laki 14.211
2. Perempuan 12.254
3. Jumlah KK 6.672
Sedangkan jumlah pendduk menurut usia, untuk setiap usia tertentu adalah
seperti yang terlihat pada tabel 3.2 berikut ini.
Tabel 3.2
Jumlah Penduduk Berdasarkan Usia
NO USIA LAKI-LAKI PEREMPUAN JUMLAH
1. 0-4 1.549 1.391 2.940
2. 5-9 1.422 1.267 2.689
3. 10-14 1.189 1.045 2.234
4. 15-19 1.013 1.015 2.028
5. 20-24 1.215 1.145 2.360
6. 25-29 1.032 1.037 2.069
7. 30-34 1.025 893 1.918
8. 35-39 881 628 1.509
9. 40-44 736 512 1.248
10. 45-49 716 654 1.370
11. 50-54 680 486 1.166
12. 55-59 685 464 1.149
13. 60-64 509 417 926
14. 65-69 412 347 759
15. 70-74 389 328 717
16. 75-79 380 320 700
37
17. 80 Keatas 378 305 683
JUMLAH 14.211 12.254 26.465
Tabel tersebut menunjukan kelas 0-4 tahun sebanyak 2.940 orang, dengan
jumlah laki-laki 1.549 orang dan jumlah perempuan 1.391 orang. kelas 5-9
tahun sebanyak 2.689 orang dengan jumlah laki-laki 1.422 orang dan jumlah
perempuan 1.267 Orang. kelas 10-14 tahun sebanyak 2.234 orang dengan
jumlah laki-laki 1.189 orang dan jumlah perempuan 1.045 Orang. kelas 15-19
tahun sebanyak 2.028 orang dengan jumlah laki-laki 1.013 orang dan jumlah
perempuan 1.015 Orang. kelas 20-24 tahun sebanyak 2.360 orang dengan
jumlah laki-laki 1.215 orang dan jumlah perempuan 1.145 Orang. Kelas 25-
29 tahun sebanyak 2.069 orang dengan jumlah laki-laki 1.032 orang dan
jumlah perempuan 1.037 Orang. kelas 30-34 tahun sebanyak 1.918 orang
dengan jumlah laki-laki 1.025 orang dan jumlah perempuan 893 Orang. kelas
35-39 tahun sebanyak 1.509 orang dengan jumlah laki-laki 881 orang dan
jumlah perempuan 628 Orang. kelas 40-44 tahun sebanyak 1.248 orang
dengan jumlah laki-laki 736 orang dan jumlah perempuan 512 Orang. kelas
45-49 tahun sebanyak 1.370 orang dengan jumlah laki-laki 716 orang dan
jumlah perempuan 654 Orang. kelas 50-54 tahun sebanyak 1.166 orang
dengan jumlah laki-laki 680 orang dan jumlah perempuan 486 Orang. kelas
55-59 tahun sebanyak 1.149 orang dengan jumlah laki-laki 685 orang dan
jumlah perempuan 464 Orang. kelas 60-64 tahun sebanyak 926 orang dengan
jumlah laki-laki 509 orang dan jumlah perempuan 417 Orang. kelas 65-69
tahun sebanyak 759 orang dengan jumlah laki-laki 412 orang dan jumlah
perempuan 347 Orang. kelas 70-74 tahun sebanyak 717 orang dengan jumlah
laki-laki 389 orang dan jumlah perempuan 328 Orang. kelas 75-79 tahun
sebanyak 700 orang dengan jumlah laki-laki 380 orang dan jumlah
perempuan 320 Orang. kelas 80 tahun keatas sebanyak 683 orang dengan
jumlah laki-laki 378 orang dan jumlah perempuan 305 Orang.
38
Sedangkan jumlah penduduk berdasarkan tingkat pendidikan dapat dilihat
pada tabel di bawah ini.
Tabel 3.3
Jumlah Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan
No. Tingkat pendidikan Jumlah (orang) Persentase
1. Tidak Sekolah 3.804 15.50%
2. Tamat SD/MI 6.270 26%
3. Tamat SLTP (SMP/Tsanawiyah) 6.159 25.30%
4. Tamat SLTA (SMA/SMK) 4.068 16.70%
5. D1/D2/D3/D4 1.530 6.20%
6. Sarjana Strata 1 2.483 10.1%
7. Sarjana Strata 2 53 0.21%
Dapat diketahui bahwa jumlah penduduk menurut pendidikan, yang Tidak
Sekolah sebanyak 3.804 orang, Tamat SD/MI sebanyak 6.270 orang, Tamat
SMP/Tsanawiyah sebanyak 6.159 orang, Tamat SMA/SMK sebanyak 4.068
orang, Tamat D1/D2/D3/D4 sebanyak 1.530 orang, Sarjana Strata 1 sebanyak
2.483 orang dan Sarjana Strata 2 sebanyak 53 orang.
C. Keadaan Sosial
Lembaga Kemasyarakatan yang ada di Kelurahan Bojong Pondok Terong,
yaitu :
Tabel 3.4
Lembaga Kemasyarakatan di Kelurahan Bojong Pondok Terong
No. Lembaga kemasyarakatan Jumlah
1. LPM 1 Buah
2. PKK 22 orang/kader
3. BKM 1 buah
4. Pokdar 1 buah
39
5. Karang taruna 10 anggota
6. UPZ kelurahan 1 unit
7. UPS kelurahan 1 unit
8. Satgas siaga kel 1 buah
9. Satgas siaga RW 13 buah
Jenis pekerjaan penduduk di Kelurahan Bojong Pondok Terong adalah
sebagai berikut:
Tabel 3.5
Jenis Pekerjaan Penduduk di Kelurahan Bojong Pondok Terong
No. Jenis Pekerjaan Jumlah
1. Pegawai Negeri Sipil 499
2. TNI/POLRI 65
3. Pegawai Swasta 6.785
4. Dagang 2.784
5. Tani 2.580
6. Wiraswasta 4.952
7. Pensiunan/Purnawirawan 81
8. Buruh 8.687
Dari tabel diatas bahwa penduduk yang bekerja sebagai Pegawai Negeri
Sipil sebanyak 499 orang, yang bekerja sebagai TNI/POLRI sebanyak 65
orang, yang bekerja sebagai Pegawai Swasta sebanyak 6.785 orang, yang
bekerja sebagai Pedagang sebanyak 2.784 orang, yang bekerja sebgai
Wiraswasta sebanyak 4.952 orang, pensiunan/purnawirawan sebanyak 81
orang, dan yang bekerja sebagai buruh sebanyak 8.687 orang.
Sedangkan keadaan penduduk menurut Agama di Kelurahan Bojong
Pondok Terong adalah sebagai berikut:
40
Tabel 3.6
Agama dan Kepercayaan Penduduk
No. Agama Jumlah (orang)
1. Islam 24.245
2. Protestan 580
3. Katolik 673
4. Hindu/Budha 935
Jumlah pemeluk Agama mayoritas adalah Islam sebanyak 24.245 orang,
kemudian Agama Kristen Protestan sebanyak 580 orang, Agama Kristen
Katolik sebanyak 673 orang dan Agama Hindu/Budha sebanyak 935 orang.
Kemudian jumlah kepemilikan identitas penduduk di Kelurahan Bojong
Pondok Terong adalah sebagai berikut:
Tabel 3.7
Kepemilikan Identitas Penduduk
No. Kepemilikan Identitas Penduduk Jumlah (Orang)
1. Penduduk yang wajib ber KTP 24.379
2. Penduduk yang memiliki KTP 15.322
3. Penduduk yang memiliki KTP / Domisili 9.004
4. Yang Wajib memiliki kartu KK 6.672
5. Yang Memiliki Kartu KK 4.753
6. Yang belum memiliki Kartu KK 1.919
7. Target Perekaman e-KTP 17.602
8. Realisasi Perekaman e-KTP 17.533
9. Sisa Target 69
41
Fasilitas keamanan dan ketertiban di Kelurahan Bojong Pondok Terong
sudah lengkap dan memadai, adapun keterangan lebih lanjut dijelaskan
sebagai berikut:
Tabel 3.8
Keamanan Dan Ketertiban di Kelurahan Bojong Pondok Terong
No. Keamanan dan Ketertiban Jumlah
1. Kantor Pos Polisi Kelurahan 1 Buah
2. Petugas Kepolisian yang diperbantukan 2 Orang
3. Petugas Pol. PP Kelurahan 2 Orang
4. Anggota Hansip/Kamra/Satpam/Linmas 22 Orang
5. Pos Keamanan di tk. RW dan RT 87 Buah
Pelayanan kerukunan beragama di Kelurahan Bojong Pondok Terong
difasilitasi dengan fasilitas ibadah sebagai berikut:
Tabel 3.9
Pelayanan Kerukunan Beragama
No. Rumah Ibadah Jumlah
1. Jumlah Masjid 13
2. Jumlah Musholla 28
3. Jumlah Gereja Katolik -
4. Jumlah Gereja Prostestan -
5. Jumlah Wihara -
6. Jumlah Kelentang -
42
BAB IV
PERKAWINAN DI BAWAH TANGAN DAN KESADARAN HUKUM
MASYARAKAT KELURAHAN BOJONG PONDOK TERONG
A. Profil Responden
Obyek yang menjadi penelitian penulis adalah pasangan suami-istri
masyarakat Kelurahan Bojong Pondok Terong Kecamatan Cipayung Kota
Depok yang melakukan perkawinan di bawah tangan. Pasangan suami-istri
tersebut adalah sebagai berikut:
Tabel 4.1
Daftar Responden
No. Nama Responden Umur Alamat
1. Sarmilih 54 Tahun Kp. Pasar Rebo RT. 07/10 Kel.
Bojong Pondok Terong2. Eli 36 Tahun
3. Samsudin 54 Tahun Jalan Assalamah RT. 03/13
Kel. Bojong Pondok Terong4. Manih 41 Tahun
5. Arifin 37 TahunRT. 02/10 Kel. Bojong Pondok
Terong6. Nurhayanti 38 Tahun
7. Sutisna Subuh 53 Tahun RT. 05/10 No. 20 Kel. Bojong
Pondok Terong8. Atikah 40 Tahun
9. Hamdani 58 Tahun Jalan Assalamah RT. 02/13
Kel. Bojong Pondok Terong10. Yati Sunarti 45 Tahun
43
11. Rian Nanda 30 Tahun RT. 04/10 No. 19 Kel. Bojong
Pondok Terong12. Wiwi Arsya 35 Tahun
13. Nowo Satriopung 34 Tahun Rawa Indah RT.07/01 Kel.
Bojong Pondok Terong14. Hafidhoh 22 Tahun
15. Dedi 47 Tahun RT. 04/10 Kel. Bojong Pondok
Terong16. Setianawati 41 Tahun
17. Sayid Sungsang 37 Tahun Jalan Rawa Indah RT.01/02
Kel. Bojong Pondok Terong18. Riliana 37 Tahun
19. Niang 58 Tahun Kp. Pasar Rebo RT. 07/10
No.76 Kel. Bojong Pondok
Terong20. Maskanah 48 Tahun
21. Maruloh 62 Tahun Kp. Pasar Rebo RT. 07/10 No.
39 Kel. Bojong Pondok Terong22. Ayanih 64 Tahun
23. Abdullah 32 Tahun Kp. Lio RT. 02/08 Kel. Bojong
Pondok Terong24. Siti Rumiati 31 Tahun
25. Adi 46 Tahun Kp. Pasar Rebo RT. 07/10
No.38 Kel. Bojong Pondok
Terong26. Mahiah 40 Tahun
Sember: Data primer berdasarkan penelitian diolah September 2017
Dari tabel di atas responden yang melakukan perkawinan di bawah tangan
sebanyak 26 orang atau 13 pasang. Adapun deskripsi profil responden
mengacu pada tiga indikator, yaitu: (1) Tingkat Pendidikan, (2) Pekerjaan, (3)
Tahun Pernikahan.
44
Tabel 4.2
Tingkat Pendidikan Responden
No. Tingkat Pendidikan Jumlah (F) Persentase (P)
1. Tamat SD/MI 12 orang 46%
2. Tamat SMP/MTS 4 orang 15%
3. Tamat SMA/SMK/MA 9 orang 35%
4. Sarjana Strata 1 1 orang 4%
Jumlah (N) 26 orang 100%
Sember: Data primer berdasarkan penelitian diolah September 2017
Berdasarkan table 4.2 diatas mengenai tingkat pendidikan, suami dan istri
yang berpendidikan SD/MI berjumlah 12 orang (46%), yang berpendidikan
SMP/MTS berjumlah 4 orang (15%), untuk responden yang berpendidikan
SMA/SMK/MA berjumlah 9 orang (35%), sedangkan responden yang
menempuh pendidikan sampai dengan perguruan tinggi berjumlah 1 orang
(4%) dari total keseluruhan responden yakni 26 orang. Dari keterangan tabel
di atas maka dapat disimpulkan bahwa responden yang melakukan
perkawinan di bawah tangan tingkat pendidikannya sebagian besar adalah
SD/MI.
Tabel 4.3
Jenis Pekerjaan Responden
No. Jenis pekerjaan Jumlah (F) Persentase (P)
1. Buruh 8 orang 31%
2. Wiraswasta 3 orang 12%
3. Pedagang 1 orang 4%
45
4. PNS 1 orang 4%
5. Ibu Rumah Tangga 13 orang 50%
Jumlah (N) 26 orang 100%
Sember: Data primer berdasarkan penelitian diolah September 2017
Berdasarkan Tabel 4.3 mengenai jenis pekerjaan setiap responden yang
melakukan pernikahan di bawah tangan diperoleh data sebanyak 8 orang
(31%) yang bekerja sebagai buruh, 3 orang (12%) yang bekerja sebagai
wiraswasta, 1 orang (4%) yang bekerja sebagai pedagang, 1 orang atau (4%)
yang bekerja sebagai PNS dan 13 orang (50%) yang bekerja sebagai ibu
rumah tangga. Jadi dari 26 orang responden, pekerjaan yang paling banyak
adalah sebagai ibu rumah tangga yaitu 13 orang (50%).
Tabel 4.4
Tahun Pernikahan Responden
No. Tahun Pernikahan Jumlah (F) Presentasi (P)
1. 1974-1984 2 pasang 15%
2. 1985-1995 2 pasang 15%
3. 1996-2006 3 pasang 23%
4. 2007-2017 6 pasang 46%
Jumlah (N) 13 pasang 100%
Sember: Data primer berdasarkan penelitian diolah September 2017
Berdasarkan tabel 4.4 di atas dapat diketahui bahwa responden yang
menikah dari tahun 1974-1984 berjumlah 2 pasang (15%), kemudian dari
tahun 1985-1995 terdiri dari 2 pasang (15%), antara tahun 1996-2006 terdiri 3
pasang (23%) dan responden yang menikah dari tahun 2007-2017 terdapat 6
pasang (46%).
46
B. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Praktik Perkawinan di Bawah
Tangan di Kelurahan Bojong Pondok Terong
Dari hasil penelitian lapangan yang dilakukan oleh peneliti, bahwa faktor-
faktor yang mempengaruhi masyarakat melakukan perkawinan dibawah
tangan adalah karena tidak mempunyai akte cerai dari perkawinan
sebelumnya, faktor ekonomi, karena kesalahan amil/penghulu sehingga buku
nikah tidak keluar, dan karena poligami liar.
Tabel 4.5
Faktor Responden Melakukan Nikah di Bawah Tangan
No. Jawaban Jumlah (F) Persentase (P)
1. Tidak Mempunyai Akte Cerai 10 orang 38%
2 Faktor Ekonomi 8 orang 31%
3. Kesalahan Amil/Penghulu 4 orang 15%
4. Poligami Liar 2 orang 8%
5.Kawin Lari/Tidak Direstui Orang
Tua2 orang 8%
Jumlah (N) 26 orang 100%
Sember: Data primer berdasarkan penelitian diolah September 2017
Berdasarkan tabel 4.5 di atas dapat diketahui bahwa faktor yang
mempengaruhi masyarakat melakukan perkawinan di bawah tangan karena
mereka tidak memiliki akte cerai dari perkawinan sebelumnya dan berdampak
tidak dapat dicatatkan perkawinan selanjutnya secara resmi di hadapan PPN
sehingga mereka tidak mencatatkan perkawinannya berjumlah 10 orang (38%)
dan perkawinan mereka adalah perkawinan yang kedua. Responden yang
melakukan perkawinan di bawah tangan karena faktor ekonomi sebanyak 8
orang (31%), faktor kesalahan amil/penghulu atau responden yang sudah
47
mendaftarkan perkawinannya tetapi karena amil yang tidak bertanggung
jawab maka buku nikahnya tidak keluar berjumlah 4 orang (15%), responden
yang melakukan poligami liar sehingga tidak dapat dicatatkan secara resmi
perkawinannya sebanyak 2 orang (8%) dan responden yang melakukan kawin
lari atau tidak direstui orang tua sehingga perkawinannya dilakukan secara di
bawah tangan sebanyak 2 orang atau sebesar 8 %. Maka dapat disimpulkan
bahwa faktor terbesar responden melakukan perkawinan di bawah tangan
adalah karena tidak memiliki akte cerai dari perkawinan yang sudah dilakukan
sebelumnya.
Tabel 4.6
Perkawinan Yang Keberapa Saat Saudara Melakukan Perkawinan di Bawah
Tangan?
No. Jawaban Jumlah (F) Persentase (P)
1. Perkawinan Pertama 12 orang 46%
2. Perkawinan Kedua 14 orang 54%
Jumlah (N) 26 orang 100%
Sember: Data primer berdasarkan penelitian diolah September 2017
Berdasarkan tabel 4.6 di atas, bahwa mereka yang melakukan perkawinan di
bawah tangan pada perkawinan pertamanya sebanyak 12 orang (46%) dan
yang melakukan perkawinan di bawah tangan pada perkawinan keduanya
sebanyak 14 orang (54%). Maka perkawinan di bawah tangan paling tinggi
dilakukan pada perkawinan yang kedua yaitu sebanyak 54%.
Tabel 4.7
Adanya Kesulitan Akibat Nikah di Bawah Tangan
No. Jawaban Jumlah (F) Persentase (P)
48
1. Ya 22 orang 85%
2. Tidak 4 orang 15%
Jumlah (N) 26 orang 100%
Sember: Data primer berdasarkan penelitian diolah September 2017
Berdasarkan table 4.7 di atas sebanyak 22 orang (85%) menyatakan
adanya kesulitan akibat nikah di bawah tangan dan sebanyak 4 orang (15%)
tidak merasakan adanya kesulitan akibat nikah di bawah tangan.
Tabel 4.8
Tentang Bentuk Kesulitan Akibat Nikah di Bawah Tangan
No. Bentuk Kesulitan Jumlah (F) Persentase (P)
1. Mengurus Akte Kelahiran Anak 7 orang 27%
2. Mengurus Sekolah Anak 5 orang 19%
3. Mengurus Paspor 4 orang 15%
4. Mengurus Kartu Keluarga 10 orang 38%
Jumlah (N) 26 orang 100%
Sember: Data primer berdasarkan penelitian diolah September 2017
Berdasarkan table 4.8 di atas, responden yang menjawab adanya kesulitan
yang dialami selama mereka tidak memiliki buku nikah di antaranya adalah
mengurus akte kelahiran anak sebanyak 7 orang (27%), kesulitan dalam mengurus
sekolah anak sebanyak 5 orang (19%), kesulitan dalam mengurus paspor
sebanyak 4 orang (15%) dan kesulitan dalam mengurus kartu keluarga sebanyak
10 orang (38%). Dapat ditarik kesimpulan bahwa bentuk kesulitan yang paling
banyak dirasakan oleh responden adalah mengurus kartu keluarga sebanyak 10
orang (38%).
49
C. Persepsi Masyarakat Bojong Pondok Terong Terhadap Pencatatan
Perkawinan dan Perkawinan di Bawah Tangan
Persepsi pada hakikatnya merupakan proses penilaian seseorang terhadap
objek tertentu yang didahului oleh proses pengindraan, objek penelitian disini
adalah persepsi masyarakat pelaku nikah di bawah tangan terhadap pencatatan
perkawinan dan perkawinan di bawah tangan. Hasil penelitiannya dapat di
lihat sebagai berikut:
Tabel 4.9
Persepsi Tentang Adanya Pencatatan Perkawinan
No. Adanya Pencatatan Perkawinan Jumlah (F) Persentase (P)
1. Sangat Setuju 2 orang 8%
2. Setuju 21 orang 81%
3. Tidak Setuju 3 orang 12%
4. Sangat Tidak Setuju - 0%
Jumlah (N) 26 orang 100%
Berdasarkan tabel 4.9 di atas bahwa responden yang sangat setuju dengan
adanya pencatatan perkawinan sebanyak 2 orang (8%), yang setuju dengan
adanya penctatan perkawinan sebanyak 21 orang (81%), dan yang tidak setuju
dengan adanya pencatatan perkawinan sebanyak 3 orang (12%), sedangkan
yang menjawab sangat tidak setuju berjumlah 0 orang atau 0% yang berarti
tidak ada sama sekali. Maka dapat disimpulkan bahwa persepsi responden
terhadap adanya pencatatan perkawinan hampir seluruhya setuju, yaitu
sebanyak 21 orang (81%) dari 26 orang (100%).
50
Tabel 4.10
Persepsi Tentang Undang-Undang Perkawinan
No. Jawaban Jumlah (F) Persentase (P)
1. Tahu 17 orang 65%
2. Kurang Tahu 4 orang 15%
3. Tidak Tahu 5 orang 19%
5. Sangat Tahu - 0%
Jumlah (N) 26 orang 100%
Sember: Data primer berdasarkan penelitian diolah September 2017
Berdasarkan tabel 4.10 di atas bahwa sebanyak 17 orang (65%) responden
mengetahui adanya Undang-Undang perkawinan, 4 orang (15%) kurang
mengetahui adanya Undang-Undang perkawinan, dan sebanyak 5 orang (19%)
tidak mengetahui adanya Undang-Undang perkawinan, sedangkan yang
menjawab sangat tahu berjumlah 0 orang atau 0% yang artinya tidak ada
responden yang menjawab sangat tahu tentang Undang-undang perkawinan.
Tabel 4.11
Persepsi Tentang perkawinan Wajib Dicatatkan Oleh PPN
No. Jawaban Jumlah (F) Persentase (P)
1. Wajib 16 orang 62%
2. Tidak 10 orang 38%
Jumlah (N) 26 orang 100%
Sember: Data primer berdasarkan penelitian diolah September 2017
51
Berdasarkan tabel 4.11 di atas bahwa persepsi responden yang menjawab
wajibnya pencatatan perkawinan sebanyak 16 orang (62%), dan yang
menjawab tidak wajibnya pencatatan perkawinan sebanyak 10 orang (38%).
Tabel 4.12
Apakah Saudara Setuju Dengan Perkawinan Di Bawah Tangan?
No. Jawaban Jumlah (F) Persentase (P)
1. Setuju 17 orang 65%
2. Tidak Setuju 9 orang 35%
3. Sangat Setuju - 0%
4. Sangat Tidak Setuju - 0%
Jumlah (N) 26 orang 100%
Sember: Data primer berdasarkan penelitian diolah September 2017
Berdasarkan tabel 4.12 di atas bahwa responden yang setuju dengan
perkawinan di bawah tangan sebanyak 17 orang (65%) dan responden yang
tidak setuju sebanyak 9 orang (35%), sedangankan yang menjawab sangat
setuju dan sangat tidak setuju berjumlah 0 orang atau 0%.
Tabel 4.13
Persepsi Tentang Nikah di Bawah Tangan di Indonesia
No.Persepsi Tentang Nikah di Bawah
Tangan di IndonesiaJumlah (F) Persentase (P)
1. Diperbolehkan 9 orang 35%
2. Tidak Diperbolehkan 7 orang 27%
3. Kurang Tahu 5 orang 19%
52
4. Tidak Tahu 5 orang 19%
Jumlah (N) 26 orang 100%
Sember: Data primer berdasarkan penelitian diolah September 2017
Berdasarkan tabel 4.13 di atas bahwa responden yang menjawab
perkawinan di bawah tangan diperbolehkan di Indonesia sebanyak 9 orang
(35%), yang menjawab tidak diperbolehkan sebanyak 7 orang (27%), yang
menjawab kurang tahu sebanyak 5 orang (19%), dan yang menjawab tidak
tahu sebanyak 5 orang (19%).
D. Pengetahuan Masyarakat Bojong Pondok Terong Terhadap Pencatatan
Perkawinan
Pengetahuan hukum adalah pengetahuan seseorang mengenai beberapa
perilaku tertentu yang diatur oleh hukum. Pengetahuan tersebut berkaitan
dengan perilaku yang dilarang ataupun perilaku yang dibolehkan oleh hukum.
Pengetahuan hukum merupakan salah satu indikator dari kesadaran hukum.
Untuk itu pada bagian ini akan dikemukakan pengetahuan responden seputar
hukum perkawinan. Pada tabel 4.14 di bawah menunjukan jumlah responden
yang mengetahui sistem yang digunakan dalam mengatur perkawinan di
Indonesia.
Tabel 4.14
Pengetahuan Tentang Sistem Hukum Yang Mengatur Perkawinan
Di Indonesia
No. Jenis Sistem Hukum Jumlah (F) Persentase (P)
1. Hukum Adat 1 orang 4%
2. Hukum Islam 15 orang 58%
3. Hukum Nasional 10 orang 38%
53
Jumlah (N) 26 orang 100%
Sember: Data primer berdasarkan penelitian diolah September 2017
Berdasarkan tabel 4.14 di atas bahwa responden yang menjawab sistem
hukum yang mengatur perkawinan di Indonesia adalah hukum adat sebanyak
1 orang (4%), sedangkan 15 orang (58%) menjawab hukum Islam, dan 10
orang (38%) menjawab hukum Nasional. Maka dapat disimpulkan bahwa
lebih dari setengah responden berpendapat bahwa hukum yang mengatur
perkawinan di Indonesia adalah hukum Islam.
Tabel 4.15
Menurut Saudara, Adakah Perbedaan Sistem Hukum Yang Mengatur
Perkawinan Di Indonesia?
No. Perbedaan Sistem Jumlah (F) Persentase (P)
1. Ada 21 orang 81%
2. Tidak Ada 2 orang 8%
3. Tidak Tahu 3 orang 12%
Jumlah (N) 26 orang 100%
Sember: Data primer berdasarkan penelitian diolah September 2017
Berdasarkan tabel 4.15 ada atau tidaknya perbedaan dari setiap hukum
yang telah disebutkan dalam tabel 4.14 adalah 21 orang (81%) menjawab
adanya perbedaan antara sistem hukum adat, hukum Islam dan hukum
Nasional, kemudian 2 orang (8%) menjawab tidak adanya perbedaan dan 3
orang (12%) menjawab tidak mengetahui adanya perbedaan antara ketiga
hukum tersebut. Maka dapat disimpulkan bahwa hamper seluruh responden
berpendapat adanya perbedaan antar sistem hukum yang telah disebutkan
dalam tabel 4.13.
54
Tabel 4.16
Pengetahuan Tentang Fungsi KUA
No. Pengetahuan Tentang Fungsi KUA Jumlah (F) Persentase (P)
1. Tahu 19 orang 73%
2. Tidak Tahu 7 orang 27%
3. Tidak menjawab 0 orang 0%
Jumlah (N) 26 orang 100%
Sember: Data primer berdasarkan penelitian diolah September 2017
Berdasarkan tabel 4.16 tentang pengetahuan fungsi KUA, dari 26 orang
responden, 19 orang atau 73% diantaranya mengetahui fungsi KUA,
sedangkan 7 orang (27%) menjawab tidak mengetahui fungsi KUA,
sedangkan yang tidak menjawab berjumlah 0 orang yang berarti semua
responden memberikan jawaban sesuai dengan sepengetahuan mereka.
E. Pemahaman Masyarakat Bojong Pondok Terong Terhadap Pencatatan
Perkawinan
Pemahaman hukum adalah suatu pengertian terhadap isi dan tujuan dari
suatu peraturan dalam hukum tertentu, tertulis maupun tidak tertulis, serta
manfaatnya bagi pihak-pihak yang kehidupannya diatur oleh peraturan
tersebut. Pemahaman hukum merupakan indikator kedua dari kesadaran
hukum. Untuk itu pada bagian ini akan dikemukakan pemahaman responden
terhadap hukum perkawinan. Pada tabel 4.17 di bawah menunjukan
pemahaman responden tentang sistem hukum yang digunakan ketika menikah.
55
Tabel 4.17
Pemahaman Tentang Sistem Hukum Yang Digunakan Ketika Menikah
No. Sistem Hukum Jumlah (F) Persentase (P)
1. Hukum Islam 22 orang 85%
2. Hukum Adat 4 orang 15%
3. Hukum Nasional - 0%
Jumlah (N) 26 orang 100%
Sember: Data primer berdasarkan penelitian diolah September 2017
Pada tabel 4.17 di atas menunjukkan pemahaman responden terhadap
sistem hukum yang digunakan ketika menikah, sebanyak 22 orang (85%)
menggunakan sistem hukum Islam dalam pernikahannya, dan 0% atau tidak
ada sama sekali yang menggunakan sistem hukum Nasional, sedangkan 4
orang (15%) menggunakan hukum adat. Berdasarkan data tersebut,
disimpulkan bahwa hampir semua responden menggunakan sistem hukum
Islam dalam melakukan pernikahannya.
Tabel 4.18
Alasan Menggunakan Sistem Hukum Tersebut
No. Alasan
Jumlah (F) Persentase (P)
Hukum
Islam
Hukum
Adat
Hukum
Islam
Hukum
Adat
1.Karena
Keyakinan13 orang 2 orang 50%
7.5%
2. Ikut Lingkungan 2 orang 2 orang 8% 7.5%
3. Lebih Mudah 7 orang - 27% 0%
56
Jumlah (N)
22 orang 4 orang 85% 15%
26 orang 100%
Sember: Data primer berdasarkan penelitian diolah September 2017
Berdasarkan tabel 4.18 di atas bahwa responden yang menggunakan
sistem hukum Islam dengan alasan karena keyakinan berjumlah 13 orang
(50%), dengan alasan karena ikut lingkungan berjumlah 2 orang (8%), dan
responden yang menggunakan hukum Islam dengan alasan karena lebih
mudah berjumlah 7 orang (27%). Kemudian responden yang menggunakan
sistem hukum adat dengan alasan karena keyakinan sebanyak 2 orang (7.5%)
dan responden yang menggunakan hukum adat karena ikut lingkungan
sebanyak 2 orang (7.5%).
Tabel 4.19
Kriteria Ketika Memilih Calon Suami/Istri
No. Jenis kriteria Jumlah (F) Persentase (P)
1. Harta Kekayaan 2 orang 8%
2. Agama 3 orang 12%
3. Penampilan 7 orang 27%
4. Tanpa Kriteria 14 orang 54%
Jumlah (N) 26 orang 100%
Sember: Data primer berdasarkan penelitian diolah September 2017
Dalam tabel 4.19 di atas bahwa kriteria responden dalam milih pasangan
suami/isteri berdasarkan harta kekayaan sebanyak 2 orang (8%), berdasarkan
agamanya berjumlah 3 orang (12%), kriteria memilih pasangan berdasarkan
penampilan berjumlah 7 orang (27%), dan yang memilih pasangannya tanpa
kriteria apapun berjumlah 14 orang (54%). Sehingga dapat disimpulkan
57
bahwa, sebagian besar responden yang menikah di bawah tangan memilih
pasangannya tanpa berdasarkan kriteria apapun.
Tabel 4.20
Pemahaman Tentang Perlunya Pencatatan Perkawinan
No. Perlunya Pencatatan Perkawinan Jumlah (F) Persentase (P)
1. Perlu 20 orang 77%
2. Tidak Perlu 6 orang 23%
3. Tidak Peduli - 0%
4. Tidak tahu - 0%
Jumlah 26 orang 100%
Sember: Data primer berdasarkan penelitian diolah September 2017
Pada tabel 4.20 mengenai pemahaman tentang perlunya pencatatan
perkawinan, 20 orang (77%) responden menjawab perlu dan 6 orang (23%)
menjawab tidak perlu, sedangkan yang menjawab tidak peduli berjumlah 0 orang
atau 0%, dan 0 orang atau 0% menjawab tidak tahu. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa sebagian besar responden yang melakukan perkawinan di
bawah tangan berpendapat perlu adanya pencatatan perkawinan.
F. Sikap Masyarakat Bojong Pondok Terong Terhadap Pencatatan
Perkawinan
Sikap hukum adalah suatu kecenderungan untuk mengadakan penilaian
tertentu terhadap hukum. Penilaian tersebut berkaitan aturan pencatatan
perkawinan. sikap hukum merupakan indikator ke tiga dari kesadaran hukum.
Untuk itu pada bagian ini akan dikemukakan sikap responden terhadap
pencatatan perkwinan.
58
Tabel 4.21
Apakah Saudara Setuju Tentang Aturan Yang Mengharuskan Perkawinan
dicatatkan di KUA?
No. Jawaban Jumlah (F) Persentase (P)
1. Setuju 20 orang 77%
2. Tidak Setuju 6 orang 23%
3. Tidak Perlu - 0%
4. Tidak Menjawab - 0%
Jumlah (N) 26 orang 100%
Sember: Data primer berdasarkan penelitian diolah September 2017
Pada tabel 4.21 di atas bahwa sebagian besar responden setuju dengan
aturan yang mengharuskan perkawinan dicatatkan di KUA sebanyak 20 orang
(77%), 0 orang atau 0% untuk jawaban tidak perlu begitupula untuk jawaban
tidak menjawab, dan 6 orang (23%) responden tidak setuju dengan aturan ini.
Tabel 4.22
Apakah Keluarga Saudara Yang Menikah, dicatatkan di KUA?
No. Jawaban Jumlah (F) Persentase (P)
1. Ya 12 orang 46%
2. Tidak 1 orang 4%
3. Sebagian 13 orang 50%
4. Tidak Tahu - 0%
Jumlah (N) 26 orang 100%
Sember: Data primer berdasarkan penelitian diolah September 2017
59
Berdasarkan tabel 4.22 di atas mengenai ada atau tidaknya keluarga yang
menikah dicatatkan di KUA, 12 orang (46%) menjawab iya, 1 orang (4%)
menjawab tidak ada, 0 orang atau 0% untuk jawaban tidak tahu dan 13 orang
(50%) menjawab sebagian keluarganya menikah dan dicatatkan di KUA.
Tabel 4.23
Apakah Saudara Setuju Dengan Poligami?
No. Jawaban Jumlah (F) Persentase (P)
1. Setuju 4 orang 15%
2. Tidak Setuju 22 orang 85%
Jumlah (N) 26 orang 100%
Sember: Data primer berdasarkan penelitian diolah September 2017
Pada tabel 4.23 tentang setuju atau tidaknya responden terhadap poligami,
sebanyak 4 orang (15%) responden setuju dengan adanya poligami, dan 22 orang
(85%) tidak setuju dengan poligami.
Tabel 4.24
Sikap Terhadap Perkawinan Yang Tidak di Catatkan
No. Jawaban Jumlah (F) Persentase (P)
1. Setuju 15 orang 58%
2. Tidak Setuju 9 orang 35%
3. Tidak Tahu 2 orang 8%
Jumlah (N) 26 orang 100%
Sember: Data primer berdasarkan penelitian diolah September 2017
60
Berdasarkan tabel 4.24 di atas bahwa 15 orang (58%) menjawab setuju
dengan perkawinan yang tidak dicatatkan, 9 orang (35%) menjawab tidak setuju
dengan perkawinan yang tidak dicatatkan, dan 2 orang (8%) menjawab tidak tahu.
G. Perilaku Masyarakat Bojong Pondok Terong Terhadap Pencatatan
Perkawinan
Perilaku hukum masyarakat merupakan indikator keempat dari kesadaran
hukum. Untuk itu pada bagian ini akan dikemukakan perilaku responden
terhadap pencatatan perkwinan.
Tabel 4.25
Usia Ketika Menikah
No. Usia Ketika Menikah Jumlah (F) Persentase (P)
1. 15-19 4 orang 15%
2. 20-24 3 orang 12%
3. 25-29 7 orang 27%
4. 30-34 4 orang 15%
5. 35-39 4 orang 15%
6. 40-44 2 orang 8%
7. 45-49 2 orang 8%
Jumlah (N) 26 orang 100%
Sember: Data primer berdasarkan penelitian diolah September 2017
Berdasarkan tabel 4.25 tentang usia responden pada saat menikah, didapat
data bahwa yang menikah pada usia antara 15 sampai 19 tahun berjumlah 4
orang (15%), pada usia antara 20 sampai 24 tahun berjumlah 3 orang (12%),
pada usia antara 25 sampai 29 berjumlah 7 orang (27%), yang berusia antara
61
30 sampai 34 berjumlah 4 orang (15%), pada usia 35 sampai 39 adalah 4
orang (15%), sedangkan yang menikah pada usia antara 40 sampai 44 adalah 2
orang (8%), dan pada usia antara 45 sampai 49 berjumlah 2 orang (8%).
Tabel 4.26
Proses Nikah Yang Dilalui
No. Proses nikah yang dilalui Jumlah (F) Persentase (P)
1. Dijodohkan Orang Tua 4 orang 15%
2. Menentukan Sendiri 22 orang 85%
Jumlah (N) 26 orang 100%
Sember: Data primer berdasarkan penelitian diolah September 2017
Pada tabel 4.26 di atas tentang proses pernikahan yang dilalui oleh setiap
responden, terdapat 4 orang (15%) responden yang menikah karena
dijodohkan oleh orang tua, dan 22 orang (85%) responden yang menikah
dengan menentukan sendiri pasangannya.
Tabel 4.27
Prosedur Perkawinan Responden
No. Prosedur Perkawinan Jumlah (F) Persentase (P)
1.Dicatatkan di hadapan penghulu
KUA0 orang 0%
2.Dilakukan oleh Amil tanpa
dicatatkan di KUA26 orang 100%
Jumlah (N) 26 orang 100%
Sember: Data primer berdasarkan penelitian diolah September 2017
62
Berdasarkan tabel 4.27 di atas bahwa sebanyak 0 orang (0%) atau tidak
ada satupun responden yang melakukan pencatatan perkawinannya di hadapan
penghulu KUA, sedangkan seluruh responden atau 26 orang (100%)
melakukan perkawinannya oleh Amil dan tidak dicatatkan di KUA atau
perkawinannya di bawah tangan.
H. Analisis
Semakin berkembangnya kehidupan masyarakat, maka segala sesuatu
yang dilakukan haruslah memerlukan suatu kepastian hukum.1 Seperti halnya
dengan perkawinan, pencatatan perkawinan sangatlah penting karena apabila
perkawinan tidak dicatatkan maka perkawinan tersebut tidak mempunyai
kekuatan hukum dan tidak diakui oleh negara. Agar perkawinan tersebut
diakui oleh negara dan mendapatkan kekuatan hukum, maka perkawinan yang
dilakukan harus didaftarkan dan dicatatkan kepada pegawai yang berwenang
untuk mendapatkan alat bukti dan pengakuan yang sah dari negara.
Mengenai praktik perkawinan yang terjadi di masyarakat, masih banyak
masyarakat yang tidak mencatatkan perkawinannya, tidak hanya terjadi pada
masyarakat pedesaaan atau pelosok daerah saja, akan tetapi pada masyarakat
perkotaanpun masih banyak yang tidak mencatatkan perkawinanya, seperti
yang terjadi di Kelurahan Bojong Pondok Terong Kecamatan Cipayung Kota
Depok.
Faktor yang mendorong masyarakat perkotaan tidak melakukan pencatatan
perkawinan tidak jauh berbeda dengan faktor yang mendorong masyarakat
pedesaan yang tidak melakukan pencatatan perkawinan, yaitu karena
rendahnya kesadaran hukum masyarakat terhadap aturan pencatatan
perkawinan.
Dari hasil penelitian yang dilakukan di Kelurahan Bojong Pondok Terong,
lebih dari setengah atau sebanyak 53% masyarakat yang melakukan
1 Asrorun Ni’Am Sholeh, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, (Jakarta:Graha Paramuda, 2008), h. 150
63
perkawinan di bawah tangan adalah pada perkawinan yang kedua.2 Faktor
yang paling tinggi penyebab perkawinan di bawah tangan adalah karena tidak
memiliki akte cerai resmi dari Pengadian. Perceraian yang dilakukan di luar
sidang Pengadilan tidak akan mendapatkan akta cerai yang resmi. Sebanyak
38% masyarakat Bojong Pondok Terong tidak mencatatkan perkawinannya
karena tidak mempunyai akta cerai yang resmi dari Pengadilan.
Penyebab masyarakat Bojong Pondok Terong tidak melakukan perceraian
di Pengadian dipengaruhi oleh pemahaman mereka yang menganggap proses
perceraian melalui Pengadilan terlalu berbelit-belit, memakan waktu yang
tidak sedikit dan mahalnya biaya perceraian.3 Secara hukum, kedua belah
pihak, baik suami maupun istri tidak mempunyai kekuatan hukum yang jelas
apakah duda/janda.4 Sehingga ketika mereka melakukan perkawinan
selanjutnya dengan orang yang berbeda, perkawinan terebut tidak dapat
dicatatkan di KUA, karena tidak ada bukti otentik yang membuktikan bahwa
mereka sudah tidak terikat lagi dengan perkawinan sebelumnya.
Faktor kedua yang mempangaruhi tingginya perkawinan di bawah tangan
di Kelurahan Bojong Pondok Terong adalah faktor ekonomi. Biaya
pendaftaran nikah sebesar Rp. 600.000 kurang dapat dijangkau oleh
masyarakat Bojong Pondok Terong yang sebagian besar berprofesi sebagai
buruh.5
Dalam persepsi masyarakat Bojong Pondok Terong terhadap pencatatan
perkawinan, menunjukkan bahwa responden justru setuju dengan adanya
pencatatan perkawinan, yakni mencapai 81%.6 Jika dilihat dari hasil penelitian
ini, ternyata terjadi disparitas yang tinggi antara apa yang dikatakan oleh
responden dan praktik di masyarakat. Persepsi masyarakat dipengaruhi oleh
2 Lihat tabel 4.6 (perkawinan Keberapa Saat Saudara Melakuakan Perkawinan di BawahTangan?)
3 Wawancara Pribadi Dengan Bapak Sarmilih Tokoh Masyarakat di Kelurahan BojongPondok Terong, (selasa, 12 september 2017 pukul 16:20 WIB), di Sekretariat RW 10 KelurahanBojong Pondok Terong.
4 Yayan Sopyan, Islam Negara: Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam HukumNasional, (Jakarta: RM Books, 2012), h. 195
5 Lihat tabel 3.5 (Jenis Pekerjaan Penduduk di Kelurahan Bojong Pondok Terong)6 Lihat tabel 4.9 (Persepsi Masyarakat Tentang Adanya Pencatatan Perkawinan)
64
dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal.7 Faktor internal yang
mempengaruhi persepsi masyarakat Bojong Pondok Terong berasal dari diri
individu masyarakat itu sendiri, masyarakat mengatahui bahwa sebenarnya
pencatatan perkawinan itu adalah penting baginya, namun karena alasan yang
tidak memungkinkan dilakukannya pencatatan perkawinan, maka mereka
melakukan perkawinan di bawah tangan. Faktor eksternal yang mempengaruhi
persepsi masyarakat Bojong Pondok Terong berasal dari luar diri individu,
seperti latarbelakang keluarga, informasi yang diperoleh, dan familiarnya
nikah di bawah tangan di Kelurahan Bojong Pondok Terong sehingga hal
tersebut bukan hal yang asing lagi apabila masyarakat tersebut melakukan
perkawinan di bawah tangan.
Untuk mengetahui tingkat kesadaran hukum masyarakat Bojong Pondok
Terong terhadap pencatatan perkawian, maka penulis menggunkana beberapa
indikator dalam kesadaran hukum, yakni pengetahuan tentang hukum,
pemahaman tentang hukum, sikap dan pola perilaku hukum. Dari indikator
tersebut dapat dihubungkan dengan kepatuhan hukum untuk memperoleh
informasi tentang seberapa jauh indikator-indikator itu berpengaruh kepada
tingkat ketaatan hukum masyarakat.8
Pertama, indikator kesadaran hukum yang pertama yakni pengetahuan
hukum. Dalam hal pengetahuan masyarakat tentang fungsi Kantor Urusan
Agama (KUA) sebanyak 19 orang (73%), sedangkan responden yang tidak
mengetahui sebanyak 7 orang (27%) dari 26 orang responden. Masih adanya
masyarakat yang tidak mengetahui fungsi KUA, yaitu karena beberapa faktor,
salah satu faktornya adalah kurangnya sosialisasi hukum yang dilakukan oleh
instansi terkait kepada masyarakat. Sosialisasi dan penyuluhan hukum
merupakan salah satu solusi agar hukum dapat dilaksanakan dan dapat
dipatuhi oleh masyarakat.
7 Miftah Thoha, Perilaku Organisasi: Konsep Dasar Dan Aplikasinya, (Jakarta: RajawaliPres, 2009), cet. 19, h. 154
8 Soerjono Soekanto, Kesadaran Hukum Dan Kepatuhan Hukum, Suatu AnalisisSosiologis Hukum, h. 159
65
Kedua, indikator kesadaran hukum yang kedua yakni pemahaman hukum.
Dari penelitian ini penulis memperoleh gambaran tentang pemahaman
masyarakat terhadap hukum Islam, hukum adat, dan hukum nasional. Ketika
responden ditanya sistem hukum mana yang digunakan ketika menikah,
hampir seluruh responden (85%) menjawab dengan sistem hukum Islam
kemudian sebanyak (15%) menjawab menggunakan sistem hukum adat dan
tidak ada responden yang menggunakan hukum nasional ketika
melangsungkan perkawinan. Dari sini dapat disebutkan bahwa perkawinan
menurut hukum Islam adalah lebih penting daripada perkawinan menurut
hukum yang berlaku di Indonesia.
Dalam kondisi seperti ini, faktor yang menjadikan kesadaran hukum
masyarakat semakin lemah adalah karena adanya dualisme hukum dalam
Undang-undang perkawinan. Pencatatan perkawinan yang hanya berstatus
administratif ini justru memberikan ambiguitas dalam pemahaman dan
penerapannya. Pencatatan perkawinan yang tidak termasuk syarat sahnya
perkawinan melahirkan konsekuensi yuridis, bahwa setiap perkawinan yang
dilakukan menurut agama yang bersangkutan dapat dianggap sah meski tidak
dicatatkan, karena dalam pasal 2 ayat (1) Undang-undang perkawinan
disebutkan “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.” Dan bagi yang tidak
dicatatkan, maka tidak mempunyai kekutan hukum.9
Dalam praktiknya, ambiguitas antara hukum positif dan hukum Islam
seringkali tidak diselesaikan secara jelas, yang memungkinkan adanya pilihan-
pilihan masyarakat untuk melanggar aturan hukum yang telah ditetapkan.
Seperti dalam hal pencatatan perkawinan, tidak dicatatkannya perkawinan
tidak hanya disebabkan oleh faktor tidak memunyai akte cerai resmi dari
pengadilan, tetapi karena adanya keyakinan bahwa perkawinan yang tidak
dicatatkan pun dianggap sah di mata agama atau kepercayaan.
9 Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia, h. 190
66
Ketiga, indikator kesadaran hukum yang ketiga yakni sikap hukum. Dalam
membahas aturan yang mengharuskan setiap perkawinan dicatatkan di KUA,
sebagian besar responden (77%) menjawab setuju dengan aturan ini. Maka
dapat disimpulkan bahwa sebenarnya masyarakat mengetahui dan sadar akan
manfaat dan pentingnya perkawinan yang dicatatkan. Pencatatan Perkawinan
memegang peranan yang sangat menentukan karena apabila perkawinan tidak
dicatatkan maka perkawinan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum,
begitu pula sebagai akibat yang timbul dari perkawinan tersebut. Walaupun
dalam syariat Islam hukum asalnya bukan wajib (mubah), tetapi eksistensinya
menjadi krusial, maka beralihlah hukum mubah itu menjadi wajib.10
Dalam Fatwa Majelis Ulama Indonesia dijelaskan tentang ketentuan
hukum nikah di bawah tangan:
1. Pernikahan di bawah tangan hukumnya sah karena telah terpenuhi
syarat dan rukun nikah, tetapi haram jika terdapat mudharat.
2. Pernikahan harus dicatatkan secara resmi pada instansi berwenang,
sebagai langkah preventif untuk menolak dampak negatif/mudharat.
Dalam Fatwa tersebut, nikah di bawah tangan disepakati sebagai
perkawinan yang sah. Namun, menjadi haram kalau sampai terjadi korban.
Oleh karena itu, dianjurkan untuk dicatat.11
Keempat, indikator yang terakhir adalah perilaku hukum. Perilaku hukum
merupakan hal yang utama dalam kesadaran hukum, karena disini dapat
dilihat apakah suatu peraturan hukum dapat berlaku atau tidak dalam
masyarakat.12 Namun, berdasarkan hasil penelitian ini, kesadaran hukum
masyarakat Bojong Pondok Terong masih rendah. Rendahnya kesadaran
10 Saidus Sahar, Undang-undang Perkawinan dan Masalah Pelaksanaannya (Jakarta:Alumni, 1981), h.108
11 Yayan Sopyan, Islam Negara: Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam HukumNasional,h. 137
12 Otji Salman, Beberapa Aspek Sosiologi Hukum, h. 58
67
hukum tersebut dipengaruhi oleh responden yang tidak menerapkan aturan
pencatatan perkawinan.
Pada daerah perkotaan, seharusnya tingkat pendidikan masyarakatnya
cenderung tinggi, dan tertib administrasi cenderung ditaati. Namun, beda
halnya dengan yang terjadi di masyarakat Bojong Pondok Terong. Secara
keseluruhan, masyarakat Kelurahan Bojong Pondok Terong yang tidak pernah
duduk di bangku sekolah dan hanya tamat SD/MI berjumlah 41.5% atau
hampir setengahnya.13 Masyarakat yang melakukan perkawinan di bawah
tanganpun adalah masyarakat yang tingkat pendidikannya rendah. Sebanyak
46% masyarakat yang melakukan perkawinan di bawah tangan di Kelurahan
Bojong Pondok Terong adalah mereka yang menyelesaikan pendidikannya
hanya sampai tingkat SD/ MI.
13 Lihat tabel 3.3 (Jumalah Penduduk Berdasarkan Tingkat Pedidikan)
68
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan teori-teori yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya, dan
berdasarkan hasil penelitian tentang praktik perkawinan dibawah tangan yang
dilakukan di Kelurahan Bojong Pondok Terong, maka penulis dapat
menyimpulkan:
1. Pencatatan perkawinan tidak termasuk syarat sahnya perkawinan,
perkawinan yang dilakukan menurut agama yang telah terpenuhi syarat
dan rukun dapat dianggap sah meski tidak dicatatkan, karena dalam pasal
2 ayat (1) Undang-undang perkawinan disebutkan “Perkawinan adalah sah
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu”. Namun, bagi yang tidak dicatatkan, maka tidak
mempunyai kekutan hukum.
2. Faktor yang paling tinggi penyebab perkawinan di bawah tangan adalah
karena tidak memiliki akte cerai resmi dari Pengadian. Sebanyak 38%
masyarakat Bojong Pondok Terong tidak mencatatkan perkawinannya
karena tidak mempunyai akta cerai yang resmi dari Pengadilan. Sehingga
ketika mereka melakukan perkawinan selanjutnya dengan orang yang
berbeda, perkawinan terebut tidak dapat dicatatkan di KUA, karena tidak
ada bukti otentik yang membuktikan bahwa mereka sudah tidak terikat
lagi dengan perkawinan sebelumnya.
3. Adapun persepsi masyarakat Bojong Pondok Terong terhadap pencatatan
perkawinan, menunjukkan bahwa responden justru setuju dengan adanya
pencatatan perkawinan, yakni mencapai 81%. Persepsi masyarakat
dipengaruhi oleh Faktor internal yang berasal dari diri individu masyarakat
itu sendiri, masyarakat mengatahui bahwa sebenarnya pencatatan
perkawinan itu adalah penting baginya, namun karena alasan yang tidak
69
memungkinkan dilakukannya pencatatan perkawinan, maka mereka
melakukan perkawinan di bawah tangan.
4. Sedangkan untuk tingkat kesadaran hukum masyarakat terhadap
pencatatan perkawinan, pada indikator pengetahuan hukum, pemahaman
hukum, dan sikap hukum sudah cukup baik, namun pada indikator
perilaku hukum, kesadaran hukum masyarakat Bojong Pondok Terong
masih rendah. Rendahnya kesadaran hukum tersebut dipengaruhi oleh
responden yang tidak menerapkan aturan pencatatan perkawinan.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan diatas, maka dirimuskan saran-saran tersebut
sebagai berikut:
1. Kepada pihak pemerintah, perlu adanya fasilitas atau media untuk
berkomunikasi dan bersosialisasi kepada masyarakat agar dapat
meningkatkan kesadaran hukum masyarakat terhadap pencatatan
perkawinan. maka sosialisasi kepada masyarakat tersebut harus
dilakukan secara efektif dan berkesinambungan.
2. Perlu adanya sinergi antara pemerintah dan tokoh masyarakat dalam
mensosialisasikan Undang – undang perkawinan serta pentingnya
pencatatan perkawinan.
3. Kepada masyarakat Kelurahan Bojong Pondok Terong agar lebih
ditekankan pemahaman tentang pencatatan perkawinan dan dampak
buruknya apabila perkawinan tidak dicatatkan, supaya tidak ada lagi
masyarakat lain yang tidak mencatakan perkawinannya.
Apabila hal ini dapat dilakukan, masyarakat akan lebih mengetahui dan
memahami tentang pencatatan perkawinan, jika masyarakat sudah mengetahui
dan memahami, maka masyarakat akan bersikap positif dan berperilaku sesuai
dengan hukum yang mengatur pencatatan perkawinan. Maka kesadaran
hukum masyarakat terhadap pencatatan perkawinan akan semakin baik.
70
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Abdul Gani, Pengantar Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia,
Jakarta: Gema Insani Press, 1994
Abduh, syamsir, Metodelogi Penelitian: Cara Praktis Menuis Disertasi, Jakarta: Penerbit
Universitas Trisakti, 2006
Abidin, Selamet dan Aminuddin, Fiqih Munakahat, Bandung, CV. Pustaka Setia, 1999
Acmad, Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) Dan Teori Peradilan (Judicial
Prudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), Jakarta: Kencana,
2009
Al Hamdani, Thalib, Risalah Nikah: Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: Risalah Amani,
Cet.II, 2002
Al Haddad, Al Thahir, Wanita Dalam Syariah Dan Masyarakat, Jakarta: Pustaka Firdaus,
1993
Ali, Zainuddin, Sosiologi Hukum, Jakarta; Sinar Grafika, 2006
Az-Zuhaili, Wahbah, al-Fiqih al-Islam wa Adhillatulhu, Damsyiq: Dar al-Fikr, 2007
Az-Zuhaili, Wahbah, al-Fiqih al-Islam wa Adhillatulhu, Jakarta: Gema Insani, 2011
Budisarwono, Tony, Dampak Perkawinan di Bawah Tangan bagi Istri dan Anak Menurut
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Depok, 2008
Darmabrata, Wahyono, Tinjauan Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 Tentang
Perkawinan bserta Undang-undang dan Peraturan Pelaksanaannya, Jakarta: CV
Citamajaya, 2003
71
Djubaidah, Neng, Pencatatan Perkawinan & Perkawinan Tidak Dicatat, Jakarta: Sinar
Grafika, 2012
Ihsan, Achmad, Hukum Perkawinan Bagi Yang Beragama Islam: Suatu Tinjauan Dan
Ulasan Secara Sosiologi Hukum, Jakarta: Pradnya Paramitha, 2000
Ihromi, T.O, Bianglala Hukum, Bandung; Tarsito, Cet I, 1986
Kharlie, Ahmad Tholabi, Hukum Keluarga Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2013
Kartono, Kartini, Psikologi Umum, Bandung: Alumni Bandung, 1984
Mertokusumo, Sudikno, Meningkatkan Kesadaran Hukum Mayarakat, Yogyakarta: Liberty,
1981
Mulyani, Sri, Relasi Suami Istri Dalam Islam, Jakarta: Pusat Studi Wanita UIN Syarif
Hidayatullah, 2004
Ningrat, Konijara, Pedoman Penelitian, Jakarta: Rajawali Press, 1993
Nuruddin, Amiur dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Jakarta:
Kencana Prenada Media Grup, 2010
Partanto, Pitus A dan M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Arkola, 2001
Proyek Pembinaan Badan Peradilan Agama, Laporan Seminar tentang Pelaksanaan
Undang-undang Perkawinan, Jakarta: Departemen Agama 1979
Rusdiana, Kama dan Jaenal Aripin, Perbandingan Hukum Perdata, Jakarta: UIN Jakarta
Press, 2007
Rahmawati, Dinamika Pemikiran Ulama dalam Ranah Pembaruan Hukum Keluarga Islam
di Indonesia, Daerah Istimewa Yogyakarta: ladang kata, 2015
Ramulyo, Mohd. Idris, Hukum Perkawinan Islam, Suatu Analisa dari Undang-undang
nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan dan KHI, Jakarta: Bumi Aksara, 1996
72
Rakhmat, Jalaludin, Psikologi Komunikasi. Bandung : Remaja Rosdakarya, 2000
Sahar, Saidus, Undang-undang Perkawinan dan Masalah Pelaksanaannya Jakarta: Alumni,
1981
Saleh, K. Wantjik, Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1976
Salman, Otje, Beberapa Aspek Sosiologi Hukum, Bandung; PT. Alumni, 2004
Satjipto, Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991
Sarwono, Sarlito Wirawan, Pengantar Psikologi, Jakarta: Bulan Bintang, 1976
Sholeh, Asrorun Ni’am, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan Dan Keluarga, Jakarta, Graha
Pramuda, 2008
Shomad, Abd., Hukum Islam: Penormaan Prinsip Syariah Dalam Hukum Indonesia,
Jakarta: kencana prenada media grup, 2010
Soehartono, Irwan, Metode Penelitian Sosial, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011
Soekanto, Soerjono dan Soleman B. Taneko, Hukum Adat Indonesia, Jakarta: Rajawali
Press, 1983
Soekanto, Soerjono, Kesadaran Hukum Dan Kepatuhan Hukum, Suatu Analisa Sosiologi
Hukum, Jakarta, Cv Rajawaki, Cet.I, 1982
Soekanto, Soerjono, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
1994
Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1986
Soekanto, Soerjono, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tunjauan Singkat, Jakarta: Raja
Grafindo, 2001
Soimin, Soedharyo, Hukum Orang Dan Keluarga, Jakarta: Sinar Grafika, cet. 2, 2004
73
Sopyan, Yayan, Islam Negara: Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum
Nasional, Jakarta: RM Books, 2012
Sopyan, Yayan, Buku Ajar Pengantar Metode Penelitian, Jakarta: Fakultas Syariah Dan
Hukum, 2010
Suharso, Retnoningsih Anna, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Lux, Semarang: Widia
Karya, 2005
Susanto, Happy, Nikah Siri Apa Untungnya, Jakarta: Visimedia, 2007
Thoha, Miftah, Perilaku Organisasi: Konsep Dasar Dan Aplikasinya, Jakarta: Rajawali
Pres, cet. 19, 2009
Tim Penyusun, Himpunan Fatwa MUI Sejak 1975, Jakarta: Emir, 2015
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan Dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, cet. I, 1988
Tim pengabdian masyarakat, Pemberdayaan Dan Advokasi Masyarakat Untuk Pemenuhan
Hak-Hak Pencatatan Sipil, Jakarta: Pusat Pengabdian Masyarakat UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2015
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Widjaja, Aw, Kesadaran Hukum Manusia dan Masyarakat Pancasila, Palembang: Era
Swasta, 1984
Walgito, Bimo, Pengantar Psikologi Umum, Yogyakarta: Andi Yogyakarta, Cet. 19, 2010
Zarkasi, Muslichah, Psikologi Manajemen, Jakarta: Penerbit Erlangga, 1986
Zein, Muhammad, dan Mukhar Al – Shadiq, Membangun Keluarga Harmonis, Jakarta:
Graha Cipta, 2006
Zuhdi, Masfuk, Studi Islam Jilid III Muamalah. (jakarta : PT. Raja Grapindo Persada, Cet.II,
1993
74
75
LAMPIRAN – LAMPIRAN
76
77
78
79
80
KUESIONER PENELITIAN
Bapak/ Ibu yang saya hormati,
Assalammualaikum Wr, Wb
Dalam rangka menyelesaikan studi akhir pada program Studi Hukum Keluarga, saya
mohon dengan hormat kesediaan Bapak/ Ibu untuk meluangkan waktunya. Maksud dari
kuesioner ini semata-mata hanya untuk kepentingan ilmiah. Jawaban yang anda berikan sangat
berharga bagi kami sebagai bahan untuk menyelesaikan skripsi. Oleh karena itu jawaban yang
sejujur-jujurnya merupakan harapan kami.
Terimakasih atas bantuan dan kerjasamanya.
Wassalammualaikum Wr. Wb.
Hormat Saya
Muhammad Alfan Hafidz
Petunjuk pengisian:
1. Bacalah dengan cermat dan teliti pada setiap item pertanyaan.
2. Pilihlah salah satu jawaban yang menurut Bapak/Ibu paling sesuai dengan kondisi yang
dialami dengan memberikan tanda silang (x) pada plihan tang tersedia.
3. Isilah titik yang tersedia dengan jawaban yang benar.
A. Identitas Responden
1. Nama Lengkap : ……………………………………
2. Jenis Kelamin : a. Laki – Laki b. Perempuan
3. Umur : ……………………………………
4. Pendidikan Terakhir : a. SD/ MI b. SMP/ MTs
c. SMA/ SMK d. Lainnya
5. Pekerjaan : ……………………………………
6. Alamat : ……………………………………
81
7. Tahun Pernikahan : ……………………………………
8. No. Telepon : ……………………………………
B. Faktor – Faktor yang mempengaruhi Praktik Perkawinan di Bawah Tangan
1. Bagaimana prosedur pernikahan saudara?
a. Di catatkan di hadapan penghulu KUA
b. Di lakukan oleh pemuka agama/tokoh masyakat tanpa di catatkan di KUA
2. Menurut saudara, faktor apa yang mendorong saudara tidak mencatatkan perkawinansaudara di KUA?
a. Masih di Bawah Umur
b. Faktor Ekonomi
c. Hamil diluar Nikah
d. Poligami Liar
e. Lainnya ............
3. Apakah saudara pernah menemukan kesulitan sebagai akibat pernikahan saudarayang tidak dicatatkan di KUA?
a. Ya
b. Tidak
4. Jika saudara menjawab “Ya”, apa bentuk kesulitan tersebut?
a. Mengurus Akte Kelahiran Anak
b. Mengurus Sekolah Anak
c. Status Hukum Anak
d. Lainnya …………….
C. Persepsi Masyarakat Terhadap Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan di Bawah Tangan
5. Pencatatan perkawinan adalah perkawinan yang di daftarkan di KUA dan akadnikahnyanya dilaksanakan dihadapan penghulu atau pegawai pencatat nikah (PPN).Apakah saudara setuju dengan adanya pencatatan perkawinan tersebut?
a. Sangat Setuju
82
b. Setuju
c. Tidak Setuju
d. Sangat Tidak Setuju
6. Apakah saudara tahu bahwa pencatatan perkawianan itu diatur dalam Undang –undang dan KHI?
a. Sangat tahu
b. Tahu
c. Kurang Tahu
d. Tidak Tahu
7. Menurut saudara, apakah orang yang menikah wajib dicatatkan pernikahannya olehPegawai Pencatat Nikah (PPN)?
a. Wajib
b. Tidak Wajib
8. Perkawinan di bawah tangan ialah perkawinan yang dilaksanakan denganmengabaikan syarat dan prosedur Undang-undang, dan tidak dilakukan di depanpenghulu KUA tetapi dilakukan di depan pemuka agama. Apakah saudara setujudengan perkawinan di bawah tangan tersebut?
a. Sangat Setuju
b. Setuju
c. Tidak Setuju
d. Sangat Tidak Setuju
9. Menurut saudara, apakah perkawinan di bawah tangan diperbolehkan di Indonesia?
83
a. Diperbolehkan
b. Tidak Diperbolehkan
c. Kurang Tahu
d. Tidak Tahu
D. Pengetahuan Hukum
10. Menurut saudara, sistem hukum apa yang mengatur pencatatanperkawinan di Indonesia?
a. Hukum Adat b. HukumIslam
c. Hukum Nasional
11. Sepengetahuan saudara, adakah perbedaan dalam sistem-sistem hukumtersebut?
a. Ada b. Tidak ada
c. Tidak tahu
12. Apakah saudara mengetahui fungsi Kantor Urusan Agama (KUA)?
a. Tahu b. Tidak tahu
c. Tidak menjawab
E. Pemahaman Hukum
13. Siatem hukum apa yang saudara gunakan ketika menikah?
a. Hukum Islam b. HukumAdat
c. Hukum Nasional
14. Mengapa anda memilih ketentuan tersebut?
a. Karena keyakinan d. lainnya ….
b. Ikut lingkungan
c. Lebih mudah
15. Apakah kriteria utama yang akan anda pilih ketika menentukan calonsuami/ isteri?
84
a. Harta kekayaan b. Keturunan
c. Agama d. Penampilan
16. Menurut saudara, perlukah pencatatan dalam pernikahan?
a. Perlu b. Tidak perlu
c. Tidak peduli d. Tidak tahu
F. Sikap Hukum
17. Apakah saudara setuju tentang aturan yang mengharuskan perkawinandicatatkan di KUA?
a. Setuju b. Tidak setuju
c. Tidak perlu d. Tidakmenjawab
18. Apakah keluarga saudara melangsungkan pencatatan pernikahan diKUA?
a. Ya b. Tidak
c. Sebagian d. Tidak tahu
19. Apakah saudara setuju dengan poligami?
a. Setuju b. Tidak setuju
20. Bagaimana sikap saudara terhadap perkawinan yang tidak dicatatkan?
a. Setuju b. Tidak setuju
c. Tidak tahu
G. Perilaku Hukum
21. Berapa usia ketika anda menikah?..............................tahun
22. Bagaimana proses perkawinan dilalui?
a. Dijodohkan orangtua b. Menentukansendiri
JAZAKUMULLAH KHAYRAN KATSIRAN