PRAKTIK ADAT TUNGGU TUBANG PADA MASYARAKAT …
Transcript of PRAKTIK ADAT TUNGGU TUBANG PADA MASYARAKAT …
PRAKTIK ADAT TUNGGU TUBANG PADA MASYARAKAT SEMENDE
DI TANAH RANTAUAN
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi salah satu
Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH)
Oleh:
Azriyani
1113044000015
P R O G R A M S T U D I HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1438H/2017M
i
PRAKTIK ADAT TUNGGU TUBANG PADA MASYARAKAT SEMENDE
DI TANAH RANTAUAN
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH)
Oleh:
Azriyani
NIM: 1113044000015
Dibawah Bimbingan,
P R O G R A M S T U D I HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1438H/2017M
ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
Skripsi berjudul PRAKTIK ADAT TUNGGU TUBANG PADA
MASYARAKAT SEMENDE DI TANAH RANTAUAN telah diujikan dalam
sidang munaqosah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 21 Juli 2017, skripsi ini telah diterima
sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum (SH) pada Program
Studi Hukum Keluarga.
iii
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan asli hasil karya saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
iv
ABSTRAK
Azriyani. NIM 1113044000015. PRAKTIK ADAT TUNGGU TUBANG
PADA MASYARAKAT SEMENDE DI TANAH RANTAUAN. Program Studi
Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 1438 H / 2017 M., x+79 halaman+29 lampiran
Adat Tunggu Tubang merupakan suatu sistem adat yang terdapat pada
Suku Semende yaitu pembagian harta warisan yang otomatis jatuh secara turun-
temurun kepada anak perempuan. Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui
bagaimana cara pelaksanaan adat Tunggu Tubang pada Suku Semede yang berada
di perantauan. Apakah mereka masih menerapkan adat Tunggu Tubang ini atau
tidak. Dalam skripsi ini juga akan diteliti alasan mengapa mereka masih
menerapkannya atau meninggalkannya. Selain itu juga, akan diuraikan persamaan
dan perbedaan pelaksanaan adat Tunggu Tubang pada Suku Semende di daerah
asalnya dengan di daerah perantauan.
Penelitian ini adalah penelitian lapangan (field research) yang dilakukan
di daerah Waydadi Bandar Lampung. Pendekatan yang dipergunakan adalah
pendekatan sosiologis yaitu pendekatan yang dasar tujuannya pada permasalahan-
permasalahan yang ada dalam masyarakat untuk mengetahui realitas yang ada
dalam masyarakat. Karena suatu tindakan seseorang pada prinsipnya merupakan
hasil proses sosial ketika orang tersebut berinteraksi dengan orang lain. Sehingga
tidak hanya memaparkan ciri tertentu tetapi juga menggali dan menganalisa
bagaimana hal itu terjadi. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah
observasi, wawancara, studi dokumentasi dan studi pustaka. Yang diwawancarai
adalah tokoh adat, tokoh agama, anak Tunggu Tubang serta beberapa elemen
masyarakat Semende yang berada di Kelurahan Waydadi. Dan data yang
terkumpul dianalisa dengan metode komparatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan kewarisan adat Tunggu
Tubang pada Suku Semende di daerah Waydadi ini dapat dilakukan sebelum dan
sesudah orang tuanya meninggal yang cara pelaksanaan dilakukan secara turun
temurun yang otomatis jatuh kepada anak perempuan pertama. Alasan masih
diterapkannya adat Tunggu Tubang ini karena adat ini merupakan warisan dari
nenek moyang yang harus dilestarikan dan juga sebagai pusat tempat
berkumpulnya semua keluarga baik keluarga deket dan keluarga jauh. Persamaan
pelaksanaan adat Tunggu Tubang di daerah asal dan di daearah perantauan dapat
dilihat dari waktu pelaksanaan pembagian, penerimaan harta Tunggu Tubang,
harta Tunggu Tubang dan hak anak Tunggu Tubang. Sedangkan perbedaannya
terletak pada tanggung jawab anak Tunggu Tubang, di daerah asal tanggung
jawab anak Tunggu Tubang harus mengawasi secara langsung harta Tunggu
Tubang dan tidak boleh diwakilkan sedangkan di daerah perantauan, dalam
pengawasannya boleh diwakilkan.
Kata Kunci : Adat Tunggu Tubang, perantauan, Suku Semende
Pembimbing : Dr. Hj. Mesraini, SH, M. Ag
Daftar pustaka : Tahun 1989 s.d. Tahun 2016
v
KATA PENGANTAR
Segala puja dan puji syukur hanya untuk Allah SWT, karena berkat rahmat
nikmat serta anugerah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul
“PRAKTIK ADAT TUNGGU TUBANG PADA MASYARAKAT SEMENDE
DI TANAH RANTAUAN”. Shalawat serta salam penulis curahkan kepada
junjungan Nabi Agung Muhammad SAW yang selalu memberi syafaat kepada
umatnya dari setiap lafadz sholawat yang terucap.
Penulis sadar bahwa dalam menyelesaikan skripsi ini tidak luput dari
dukungan, arahan dan bantuan banyak pihak, dengan segala kerendahan hati dan
rasa syukur penulis ingin menyampaikan terimakasih kepada:
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
beserta jajaran dan staff Fakultas Syariah dan Hukum.
2. Ketua Progam Studi Hukum Keluarga Dr. H. Abdul Halim, M.Ag dan Arip
Purkon, S.HI., MA selaku Sekertaris Progam Studi Hukum Keluarga, serta
Hj. Hotnidah Nasution, MA selaku Dosen Pembimbing Akademik. Terima
kasih atas arahan, bantuan, panutan serta bimbingan yang telah diberikan
selama ini.
3. Dr. Hj. Mesraini, SH., M.Ag, selaku dosen pembimbing skripsi penulis yang
senantiasa memberikan bimbingan, saran dan banyak ilmu kepada penulis
dalam mengerjakan skripsi ini.
4. Seluruh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang telah mendidik dan membimbing penulis selama masa perkuliahaan,
vi
yang tidak bisa penulis sebut semuanya tanpa mengurangi rasa hormat
penulis.
5. Staff Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan Staff
Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum, Staff Perpustakaan Universitas
Indonesia yang telah memberikan pelayanan kepada penulis serta
memberikan fasilitas untuk mengadakan studi kepustkaan guna
menyelesaikan skripsi ini
6. Orang Tua Penulis ayahanda Samsiri, ibunda Zuraida, ayuk penulis Rini
Oktavia dan adik penulis Riski Rizaldi dan Riyan Arisandi yang telah
mencurahkan segalanya, memberikan kasih sayangnya dan doanya untuk
kesuksesan penulis.
7. Sahabat seperjuangan penulis Irdho Florian Darwis, Nur Solehah, yang selalu
memberi semangat kepada penulis dan yang selalu mendengarkan keluh
kesah penulis dalam penulisan skripsi ini
8. Sahabat Dumang penulis Utami Zuraidah, Irma Zhafira Nur Sabrina Hajida,
Indah Ayu Komalasari, Nur Indah Faradhiyah, Hikmah, Vicky Fauziah,
Faraidhika Muadhina, yang telah mewarnai kehidupan penulis selama
menuntut ilmu dan jadi anak rantauan semoga kita sukses di masa yang akan
datang kelak jadi istri yang solehah.
9. Alumni Perguruan Diniyyah Putri Lampung yang hijrah ke UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, khusnya Lia Rizki Ramadhani, Redno Novicta Sari,
Rizka Aulia Puspita yang senantiasa memberi semangat kepada penulis
dalam penyelesaian skripsi ini.
vii
10. Peserta KKN Suvernova, serta masyarakat Kampung Neglasari yang telah
memberikan pengalaman yang luar biasa dan ilmunya kepada penulis yang
tidak pernah penulis dapatkan dari bangku perkuliahan.
11. Himpunan Mahasiswa Lampung dan Keluarga Besar Asrama Putri UIN
Jakarta angkatan 2013, Ali Maksum, Rahmat Ramdhani, Uchal Darwis,
Abdurrahman, Ibnu, Gerry.
12. Teman-teman Hukum Keluarga Uin Jakarta khususnya angkatan 2013 Abi,
Rustanti Aulia dan Nidzom yang telah berbagi ilmu dan bertukar pikiran
dengan penulis. Semoga ilmu yang kita dapatkan menjadi ilmu yang
bermanfaat.
13. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini
semoga Allah membalasnya. Amiin
Semoga skripsi ini bermanfaat bagi yang membacanya khususnya untuk
mahasiswa/i Fakultas Syariah dan Hukum.
Jakarta, Mei 2017
penulis
viii
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING ....................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ................................................................ ii
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................. iii
ABSTRAK ............................................................................................................ iv
KATA PENGANTAR ............................................................................................ v
DAFTAR ISI ....................................................................................................... viii
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ xi
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ..................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ............................................................................ 7
C. Pembatasan dan Rumusan Masalah .................................................... 7
D. Tujuan dan Manfaat Penulisam .......................................................... 8
E. Kajian (Review) Studi Terdahulu ........................................................ 9
F. Metode Penelitian ............................................................................. 10
G. Sistematika Penulisan ....................................................................... 14
BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG KEWARISAN ADAT
TUNGGU TUBANG DAN SUKU SEMENDE
A. Kewarisan Adat ................................................................................. 17
1. Hukum Waris Adat ...................................................................... 17
2. Sistem Kewarisan Adat ................................................................ 21
B. Adat Tunggu Tubang ........................................................................ 24
1. Pengertian Adat Tunggu Tubang ................................................. 24
2. Macam-macam Tunggu Tubang .................................................. 26
3. Hak dan Kewajiban Tunggu Tubang ........................................... 29
4. Pembagian Waris dalam Adat Tunggu Tubang ........................... 30
C. Suku Semende ................................................................................... 33
1. Pengertian Semende ..................................................................... 33
2. Sejarah Semende .......................................................................... 34
3. Tujuan Pendirian Ajaran Semende .............................................. 37
4. Ajaran Semende ........................................................................... 38
BAB III PELAKSANAAN PEMBAGIAN WARIS DI KELURAHAN
WAYDADI KECAMATAN SUKARAME
A. Deskripsi Singkat Kelurahan Waydadi ............................................. 42
1. Letak Geografis ............................................................................ 42
2. Kondisi Sosial Masyarakat ........................................................... 44
3. Kondisi Pendidikan dan Keagamaan ........................................... 45
4. Mata Pencaharian Masyarakat Waydadi ...................................... 47
B. Pelaksanaan Pembagian Waris di Kelurahan Waydadi
Kecamatan Sukarame ....................................................................... 48
ix
BAB IV PEMBAGIAN WARIS ADAT TUNGGU TUBANG PADA
MASYARAKAT SEMENDE DI PERANTAUAN
A. Pelaksanaan Adat Tunggu Tubang di Kelurahan Waydadi
Kecamatan Sukarame ....................................................................... 51
B. Analisis Terhadap Pelakasanaan Kewarisan Adat Tunggu
Tubang masyarakat Semende di Daerah Perantauan ........................ 54
C. Persamaan dan Perbedaan Praktik Adat Tunggu Tubang Suku
Semende di Daerah Asa dan Perantauan .......................................... 68
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ....................................................................................... 74
B. Saran ................................................................................................. 76
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
x
DAFTAR LAMPIRAN
1. Surat Permohonan Pembimbing
2. Surat Telah Melakukan Wawancara
3. Surat Balasan dari Kantor Kecamatan
4. Surat Balasan dari Organisasi IKSS
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia,
yang di dalamnya terdapat beraneka ragam suku bangsa, adat istiadat dan
kebudayaan yang berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya. Salah satu
contoh perbedaan tersebut adalah perbedaan dalam tata cara proses pembagian
harta warisan.
Negara Indonesia memberlakukan tiga macam hukum waris, yaitu
hukum waris adat, hukum waris Islam dan hukum waris barat (dikenal dengan
nama hukum waris perdata). Setiap penduduk, dibolehkan menggunakan salah
satu dari hukum tersebut. Bagi penduduk yang beragama Islam, diberlakukan
penggunaan hukum waris Islam. Bagi penduduk nonmuslim asli pribumi
diberlakukan hukum adatnya masing-masing yang dipengaruhi oleh unsur-
unsur agama dan kepercayaan. Adapun hukum waris barat, diberlakukan
kepada orang-orang Eropa, Timur Asing, dan orang-orang pribumi serta
muslim yang mau tunduk dengan hukum tersebut.1
Hukum waris adat adalah tata cara pewarisan menurut hukum adat
yang yang berlaku. Hukum ini merupakan konsekuensi dari masih
terpeliharanya hukum adat yang ada di beberapa daerah di Indonesia, sebagai
bagian dari kekayaan budaya bangsa Indonesia. Bisa dikatakan bahwa
1Wahyu Kuncoro, Waris Permasalahannya dan Solusinya, (Jakarta: Perum Bukit Permai,
2015), cet. 1, h. 6.
2
keragaman kehidupan masyarakat Indonesia berbanding lurus dengan
keragaman hukum adatnya, tak terkecuali hukum waris.2 Suku Semende
adalah salah satu dari sekian banyak suku di Indonesia yang masih
menerapkan sistem kewarisan adat yang merupakan warisan dari nenek
moyang Suku Semende yang berasal dari daerah asal yaitu daerah Ogan
Komering Ulu (OKU), Semende Lebak, Semende Darat, dan lain sebagainya.
Pada sistem kewarisan, Suku Semende dipandang menganut sistem
kewarisan mayorat perempuan yang dikenal dengan Adat Tunggu Tubang.3
Adat Tunggu Tubang merupakan suatu adat yang terdapat pada masyarakat
Semende yang mengatur tentang pembagian harta warisan dari orang tua
kepada anak perempuan tertua. Adat ini masih berlaku sampai sekarang. Adat
ini menerima harta pusaka warisan dari nenek moyangnya secara turun
temurun.4
Mereka yang dapat dikategorikan sebagai Tunggu Tubang adalah anak
kandung yang sah dari perkawinan orang tuanya dengan kemungkinan sebagai
berikut:
1. Anak pertama dengan jenis kelamin perempuan.
2. Anak kedua, ketiga, dan keempat, tetapi sebelumnya tidak ada anak
perempuan.
3. Anak bungsu, tetapi satu-satunya anak perempuan.
2Wahyu Kuncoro, Waris Permasalahannya dan Solusinya, h. 12.
3Soejono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, (Jakara: cv. Rajawali, 1981), cet. 1, h. 286.
4M. Rendy Praditama, Sikap Masyarakat Terhadap AdatTunggu Tubang di Desa Pulau
Panggung Kecamatan Semende Darat Laut Kabupaten Muara Enim.Skripsi.
(http://digilib.unila.ac.id/760/04 Febuari 2014). Diakses pada 12 November 2016.
3
4. Anak perempuan kedua, akan tetapi kakak-kakak perempuannya meninggal
dunia.
5. Anak laki-laki pertama akan tetapi tidak memiliki saudari perempuan.5
Pembagian warisan Adat Tunggu Tubang ini tampak berbeda dengan
pembagian warisan menurut hukum Islam. Dalam Islam, pembagian harta
warisan antara anak laki-laki dan perempuan itu adalah 2:1, artinya bagian
seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan, dan jika anak
itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagian mereka dua pertiga dari
harta yang ditinggalkan, dan jika anak perempuan itu hanya seorang maka ia
memperoleh separuh dari harta warisan6. Hal tersebut sesuai dengan firman
Allah Surah An-Nisa’ ayat 11:
Artinya: Allah mensyari'atkan (mewajibkan) bagimu tentang
(pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bagian seorang anak lelaki
5I Suntoro, dkk, Sikap Masyarakat terhadap Anak Tunggu Tubang di Desa Pulau Panggung
Kecamatan Semende Darat Laut Kabupaten Muara Enim. Jurnal
(http://digilib.unila.ac.id/760/2013). Diakses pada 12 November 2016. 6 Yusuf Qaradhawi, Fiqih Wanita, (Bandung: Penerbit Jabal, 2012), cet. 10, h. 17-18.
4
sama dengan bagian dua orang anak perempuan. Dan jika anak itu
semuanya perempuan yang jumahnya lebih dari dua, maka bagi mereka dua
pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika anak perempuan itu seorang saja,
maka ia memperoleh setengah harta yang ditinggalkan. Dan untuk dua
orang ibu-bapak, bagian masing-masing seperenam dari harta yang
ditinggalkan, jika yang meninggal itu memiliki anak. Jika orang yang
meninggal tidak memiliki anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja),
maka ibunya mendapat sepertiga. Jika yang meninggal itu memiliki
beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-
pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang di buatnya atau
(dan sesudah dibayar) hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu,
kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak)
manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui, Maha Bijaksana.
Muhammad Ali al-Shabuni dalam buku al-Mawaarist fii al-Syarii’ah
al-Islaamiyah fii Dhlau’ al-Kitaab wa al-Sunah menjelaskan, bahwa Islam
membedakan bagian laki-laki dengan perempuan, yang memiliki alasan
sebagai berikut: Pertama, seorang perempuan telah mencukupi biaya
kebutuhan hidupnya dan nafkahnya dibebankan kepada anak laki-laki. Kedua,
perempuan tidak dibebani tanggung jawab untuk memberi nafkah atas
seseorang, berbeda dengan laki-laki yang dibebani memberi nafkah kepada
keluarga dan kerabat yang berada dalam lingkup tanggung jawabnya. Ketiga,
nafkah laki-laki lebih banyak, kewajiban kebendanya lebih besar dan
kebutuhan materialnya lebih banyak dibandingkan perempuan. Keempat,
seorang laki-laki harus memberikan mahar kepada istrinya, dan dibebani
nafkah berupa tempat tinggal, makanan, dan lain sebagainya. Kelima,
kebutuhan pendidikan anak, pengobatan, dan kebutuhan lain istri dan anak
juga ditanggung oleh laki-laki bukan perempuan.7
7 Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), edisi
revisi, h. 294-295.
5
Perbedaan kewajiban dan tanggungan yang dibebankan pada masing-
masing pria dan wanita itu sesuai dengan syariat. Sebagai contoh, seorang pria
wafat meninggalkan seorang anak laki-laki dan anak perempuan. Kemudian
anak laki-laki itu menikah dan membayar mahar kepada pengantin wanitanya.
Setelah mereka hidup bersama, maka sang suami harus menafkahi isterinya.
Berbeda situasinya saat anak perempuan menikah. Dia mendapatkan mahar
dari suaminya dan saat mereka tinggal bersama, suaminya menafkahi istinya
meskipun sang istri adalah orang kaya. Kaya atau miskin biaya hidup sang
istri ditanggung oleh suaminya.8
Jadi, kehadiran hukum kewarisan Islam dengan sangat tegas
menempatkan anak perempuan dan laki-laki masing-masing memiliki hak dan
kewajiban untuk menerima bagian sesuai dengan ketentuan yang telah
diberlakukan.
Meskipun tampak berbeda dengan sistem kewarisan Islam, namun
sampai saat ini masyarakat Suku Semende dalam sistem kewarisannya masih
menerapkan sistem pembagian Adat Tunggu Tubang yang mana anak
perempuan pertama mendapatkan semua harta warisan dari orang tuanya.
Suku Semende pada awal kelahirannya merupakan keturunan dari Puyang
Awak yang berasal dari Pardipo Pasemah. Pardipo adalah salah satu rumpun
Semende Darat yang perlahan-lahan menyebar ke daerah-daerah sekitarnya,
seperti Semende Lembak (Pulau Beringin), Bayur, Ogan Komering Ulu
(OKU) dan Bengkulu Selatan termasuk, Ulu Danau, Muara Sindang dan
8 Syaikh Kamil Muhammad Uwaidah, Fiqih Wanita Edisi Lengkap, (Jakarta: Pustaka Al-
Kautsar, 2011), cet. 10, h. 539.
6
Marga Ulu Sungai Nasal yang mencakup beberapa Marga, seperti Marga
Kinal, Marga Padang Guci, Marga Kedurang, dan Segimin.9
Suku Semende mulai bermigrasi ke Selatan pada tahun 1876. Salah
satu tempat bermigrasinya masyarakat Semende adalah di Bandar Lampung,
Kelurahan Waydadi, Kecamatan Sukarame. Kebiasaan Suku Semende adalah
ketika mereka melakukan perantauan, mereka ingin tetap berada di satu
lingkungan yang mayoritas itu Suku Semende sendiri, karena dengan tinggal
satu lingkungan sesama masyarakat Semende akan semakin memperkuat
sistem kekerabatan Suku Semende di perantauan.
Masyarakat Semende yang berada di Kelurahan Waydai Bandar
Lampung, ini merupakan masyarakat perantauan, yang mana di daerah asalnya
mereka melaksanakan pembagian waris berdasarkan waris adat Semende yang
disebut dengan “Tunggu Tubang”. Lalu bagaimanakah pembagian waris
masyarakat Semende yang merantau ke daerah Bandar Lampung ini? Apakah
masyarakat Semende di perantauan masih melaksanakan waris adat Tunggu
Tubang secara menyeluruh? ataukah dalam bentuk yang berbeda dalam
warisan adat Tunggu Tubang di daerah asal mereka? Jika mereka masih
menerapkan waris adat Tunggu Tubang secara utuh, apa alasan mereka
mempertahankan hal tersebut? Atau jika waris adat Tunggu Tubang tersebut
telah dimodifikasi, apa alasan mereka mengubahnya? Untuk menjawab
9 Arwin Rio Saputra, dkk, Persepsi Masyarakat Semende Terhadap Harta Warisan Dengan
Sistem Tunggu Tubang. Jurnal sosiologi Mahasiswa Universitas Lampung. (http://
publikasi.fisip.unila.ac.id/index.php/sosiologi/article/view/167.2014). Diakses pada 13 November
2016.
7
pertanyaan-pertanyaan tersebut, peneliti tertarik mengkajinya dalam bentuk
sebuah penelitian skripsi dengan judul “Praktik Adat Tunggu Tubang pada
masyarakat Suku Semende di Tanah Rantauan.”
Identifikasi Masalah
Identifikasi masalah adalah beberapa permasalahan yang berkaitan
dengan tema yang dibahas. Adapun identifikasi masalahnya adalah sebagai
berikut:
1. Apa makna filosofis Tunggu Tubang?
2. Bagaimana sejarah adat Tunggu Tubang?
3. Bagaimana sikap ahli waris yang lain dalam sistem adat Tunggu Tubang?
4. Bagaimana korelasi hukum waris adat Tunggu Tubang dengan Hukum
Islam?
5. Bagaimana pembagian waris masyarakat Semende yang telah pergi
merantau?
6. Apa alasan masyarakat Semende yang merantau ke daerah Waydadi,
Bandar Lampung masih menerapkan sistem kewarisan adat Tunggu
Tubang?
7. Adakah perbedaan dan persamaan penerapan sistem kewarisan adat
Tunggu Tubang Suku Semende di daerah asal dengan di daerah
perantauan?
C. Pembatasan dan Rumusan Masalah
Masyarakat Suku Semende merantau ke banyak daerah, agar lebih fokus
dalam penelitian skripsi ini dibatasi hanya praktik pelaksanaan kewarisan adat
Tunggu Tubang Suku Semende yang merantau ke daerah Waydadi,
8
Kecamatan Sukarame, Bandar Lampung. Permasalahan dalam skripsi ini
dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana pelaksanaan kewarisan adat Tunggu Tubang pada Suku
Semende di Waydadi Bandar Lampung? Dan mengapa diterapkan
demikian?
2. Apa persamaan dan perbedaan pelaksanaan kewarisan adat Tunggu
Tubang pada Suku Semende di daerah asalnya dengan di daerah
perantauan?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan
Sehubungan dengan permasalahan diatas, maka tujuan yang hendak dicapai
dalam penulisan ini adalah:
a. Untuk mengetahui pelaksanaan kewarisan adat Tunggu Tubang pada
Suku Semende di Sukadana Bandar Lampung.
b. Untuk mengetahui perbedaan pelaksanaan Tunggu Tubang pada suku
Semende di daerah asalnya dengan di daerah perantauan
2. Manfaat
a. Secara Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran
terhadap masyarakat Semende khususnya masyarakat Semende yang
merantau ke daerah lain, sebagai bahan perbandingan untuk penelitian
yang lebih luas mengenai adat “Tunggu Tubang”
9
b. Secara Praktis
Sebagai bahan kajian penelitian lebih lanjut dan diharapkan dapat
memberikan khazanah pengetahuan di bidang hukum, khususnya
hukum waris.
E. Kajian Studi Terdahulu
Dalam penelitian ini, penulis melakukan analisis pada kajian terdahulu
sebagai bahan pertimbangan dan perbandingan. Adapun kajian terdahulu yang
menjadi acuan antara lain:
1. Skripsi Habidin, Mahasiswa Jurusan Ahwal Asy-Syakhsiyah IAIN
Walisongo Tahun 2012, judul skripsi : Pelaksanaan Kewarisan Tunggu
Tubang Mayarakat Semende dalam Perspektif Hukum Islam di Desa
Pulau Panggung, Kecamatan Semende Darat Laut, Kabupaten Muara
Enim. Hasil penelitian dari skripsi ini adalah masyarakat adat Semende
Desa Mutar Alam, Sukananti, dan Sukaraja Kec. Way Tenong Kab.
Lampung Barat, belum sesuai dengan ketentuan hukum Kewarisan Islam.
2. Tesis Iskandar, Mahasiswa Jurursan Kenotariatan Universitas di Ponegoro
Semarang Tahun 2003, judul tesis : Kedudukan Anak Tunggu Tubang
dalam Pewarisan Masyarakat Adat Semende di Palembang. Hasil
penelitian dari tesis ini bahwa kedudukan anak Tunggu Tubang pada
masyarakat Semende di Palembang adalah bertanggung jawab terhadap
harta Tunggu Tubang dan bertanggung jawab terhadap sanak
keluarganya.
10
Yang membedakan pembahasan penulis dalam skripsi ini dengan
penelitian-penelitian di atas adalah penulis lebih menfokuskan tentang praktik
pelaksanaan kewarisan adat Tunggu Tubang pada masyarakat Suku Semende
yang berada di daerah perantauan, untuk mencari persamaan dan perbedaan
penerapan adat Tunggu Tubang di daerah asal dengan di daerah perantauan.
Serta menggali alasan kenapa masyarakat Semende di perantauan masih
menerapkan sistem yang demikian.
F. Metodologi Penelitian
Metodologi penelitian berarti cara yang dipakai untuk mencari,
mencatat, menemukan dan menganalisis sampai menyusun laporan guna
mencapai tujuan.10
Adapun metodologi penelitian yang digunakan dalam
penyusunan skripsi ini diuraikan sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Penelitian skripsi ini adalah penelitian Field Research, yaitu penelitian
yang dilakukan dengan cara mengunjungi langsung lokasi penelitian
untuk melakukan wawancara terhadap pihak-pihak terkait dan
pengamatan terhadap praktik sistem kewarisan adat Tunggu Tubang pada
Suku Semende di tanah perantauan, yaitu di Kelurahan Waydadi Bandar
Lampung. Selain itu, penelitian ini juga merupakan Library Research,
yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara mengkaji dan menganalis
literatur yang ada yang memiliki relevansi dengan tema skripsi ini.
10
Cholid Nur Boko dan Abu Achmadi, Metode Penelitian, (Jakarta: Bumi Aksara Pustaka,
1997), h. 1.
11
2. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Penggunaan
pendekatan kualitatif yang bertujuan untuk memahami masyarakat,
masalah atau gejala dalam masyarakat dengan mengumpulkan sebanyak
mungkin fakta secara mendalam, dan data disajikan dalam bentuk verbal
bukan dalam bentuk angka.11
Adapun dilihat dari sasaran atau objek penelitian dapat dipahami
bahwa penelitian ini dilakukan menggunakan penelitian atau studi hukum
pada masyarakat yang dilatar belakangi oleh suatu kebutuhan bahwa hukum
lebih dipandang dapat menjalankan fungsinya sebagai “rekayasa sosial”.12
Dalam hal ini peneliti menggunakan pendekatan sosiologis yaitu pendekatan
yang tujuannya pada permasalahan-permasalahan yang ada dalam masyarakat,
digunakan untuk mengetahui realitas yang ada dalam masyarakat. Karena
suatu tindakan seseorang pada prinsipnya merupakan hasil proses sosial ketika
orang tersebut berinteraksi dengan orang lain.13
3. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini ada 2 macam, sebagai berikut:
a. Data Primer, yaitu data yang di dapatkan dari informan yang melalui
wawancara maupun dengan menggunakan metode lainnya.14
Sumber
11
Neong Muhadjir, Metode Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Pilar Media, 1996), edisi
ketiga, h. 20. 12
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2001), edisi 1, cet. 3, h. 75. 13
Fahmi Muhammad Ahmadi dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, (Ciputat:
Lembaga Penelitian Uin Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), cet. 1, h. 58. 14
Anselm Streauss Juliet Corbin, Dasar-dasar Penelitian Kualitatif, (Surabaya: Offse,
1997), h. 128.
12
data primer dalam penelitian ini adalah data hasil wawancara dengan
beberapa tokoh masyarakat Semende yang dinilai mengetahui adat
Tunggu Tubang di Kelurahan Waydadi dan juga dengan masyarakat
Semende yang berada di Kelurahan Waydadi.
b. Data Sekunder, yaitu data yang diperoleh dari dokumen-dokumen yang
berhubungan dengan masalah yang dibahas dalam skripsi ini dalam
bentuk dokumen-dokumen resmi, buku-buku dan hasil-hasil penelitian
yang berwujud laporan.15
Selain itu data sekunder dalam penulisan
skripsi ini juga dapat berupa Al-Qur’an, Hadist, Kompilasi Hukum
Islam (KHI), peraturan-peraturan, serta sejumlah tulisan yang dimuat
dalam koran, jurnal dan internet yang erat kaitannya dengan masalah
yang diajukan.
4. Pengumpulan Data
Data-data dalam penelitian skripsi ini diperoleh melalui:
a. Observasi atau melihat langsung objek penelitian.
Observasi atau disebut juga dengan pengamatan, meliputi kegiatan
pemuatan perhatian terhadap sesuatu objek dengan menggunakan
seluruh alat indra.16
Dalam hal ini penulis bertindak langsung
sebagai pengumpul data dengan melakukan observasi atau
pengamatan terhadap objek penelitian yakni masyarakat Semende
yang berada di Kelurahan Waydadi, Bandar Lampung yang
melakukan pembagian waris Tunggu Tubang.
15
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI-press, 1986), h. 12. 16
Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, Metode Penelitian Survai, (Jakarta: LP3ES,
1989), cet. 1, h.16.
13
b. Wawancara atau Interview
Interview yang sering juga disebut kuisioner lisan adalah sebuah
dialog yang dilakukan oleh pewawancara (interviewer) untuk
memperoleh informasi dari terwawancara.17
Wawancara yang
digunakan dalam penelitian ini adalah interview bebas (ingueded
interview), di mana pewawancara bebas menanyakan apa saja, tetapi
juga mengingat akan data apa yang akan dikumpulkan. Hal ini
dilakukan guna mendapatkan hasil atau data yang valid dan terfokus
pada pokok permasalahan yang sedang diteliti.
Dalam penelitian ini, peneliti melakukan wawancara dengan tokoh
masyarakat Semende, tokoh agama setempat serta masyarakat
Semende yang merantau ke Waydadi, Bandar Lampung dan sudah
berpengalaman melakukan pembagian harta warisan.
c. Dokumentasi
Peneliti menggunakan metode dokumentasi ini untuk memperoleh
data-data dan buku-buku yang berhubungan dengan objek penelitian
di antaranya meliputi arsip jumlah penduduk, pekerjaan, agama,
ekonomi, dan pendidikan penduduk, serta tulisan-tulisan yang
berkaitan dengan objek penelitian ini, kemudian foto-foto selama
penelitian berlangsung dan catatan lapangan atau hasil wawancara
yang nantinya akan diolah menjadi analisis data.
17
Morisan, dkk, Metode Penelitian Survei, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012),
cet. 1, h. 214.
14
5. Pengolahan Data
Dalam mengelola data yang penulis dapatkan baik data dari
wawancara, observasi maupun data tertulis dari berbagai studi
perpustakaan, penulis melakukan analisis terhadap data tersebut dengan
menggunakan analisi komparatif. Analisis komperatif yaitu penelitian
yang bersifat membandingkan. Penelitian ini dilakukan untuk
membandingkan persamaan dan perbedaan dua atau lebih fakta-fakta
dan sifat-sifat objek yang di teliti berdasarkan kerangka pemikiran
tertentu. Dalam penelitian skripsi ini yang dibandingkan adalah
pelaksanaan kewarisan adat Tunggu Tubang di daerah asal dengan di
daerah perantauan.
6. Analisa Data
Dalam penganalisa data, mengugunakan teknik komparatif analisis
yaitu teknik analisa di mana penulis menjabarkan data yang diperoleh
dari hasil wawancara di lapangan kemudian menganalisa dengan
berpedoman pada sumber data tertulis yang didapat dari wawancara
kemudian membanding persamaan dan perbedaan mengenai adat
Tunggu Tubang di daerah asal dan di daerah perantauan.
Sedangkan dalam penulisan skripsi ini, peneliti mengacu kepada
buku “Pedoman Penelitian Skripsi, Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta”.
15
H. Sistematika Penulisan
Agar pembahasan dalam penelitian ini lebih terarah, maka penulis
menjadikan sistematika penulisan dalam lima bab, yang mana dalam kelima
bab tersebut terdiri dari sub-sub yang terkait. Sistematika penulisan sebagai
berikut:
BAB I Pendahuluan. Dalam bab ini dimuat penjelasan tentang latar
belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan dan
perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, review studi
terdahulu, metodologi penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II Kewarisan adat, adat Tunggu Tubang dan Suku Semende. Dalam
bab ini penulis akan membahas secara umum tentang pengertian
kewarisan adat, sistem kewarisan adat, pengertian adat Tunggu
Tubang, macam-macam Tunggu Tubang,tujuan pembagian waris
Tunggu Tubang, pengertian suku Semende, sejarah Semende,
tujuan dan ajaran Semende.
BAB III Dalam bab ini penulis akan membahas tentang masyarakat
Semende serta kondisi sosialnya di Kelurahan Waydadi, yang
meliputi tentang deskripsii singkat tentang Kelurahan Waydadi,
kondisi masyarakat, pendidikan dan mata pencaharian masyarakat
Semende di Kelurahan Waydadi, serta pelaksanaan pembagian
waris di Kelurahan Waydadi, Kecamatan Sukarame.
BAB IV Membahas tentang inti penelitian dan analisis mengenai
pelaksanaan kewarisan adat Tunggu Tubang pada Suku Semende di
Kelurahan Waydadi yang meliputi tentang pelaksanaan pembagian
16
waris Suku Semende di Kelurahan Waydadi, alasan penerapan adat
Tunggu Tubang, serta persamaan dan perbedaan praktik adat
Tunggu Tubang Suku Semende di daerah asal dan di daerah
perantauan.
BAB V Adalah Penutup. Dalam bab ini penulis akan menyimpulkan
berkaitan dengan pembahasan yang penulis lakukan sekaligus
menjawab rumusan masalah skripsi ini. Uraian terakhir adalah
saran yang dapat dilakukan untuk kegiatan lebih lanjutber kaitan
dengan apa yang telah penulis kaji.
17
I BBB
GAMBARAN UMUM TENTANG KEWARISAN ADAT TUNGGU
TUBANG DAN SUKU SEMENDE
A. Kewarisan Adat
1. Hukum Warisan Adat
Hukum Adat di Indonesia tidak lepas dari pengaruh susunan
masyarakat yang kekerabatannya berbeda. Hukum waris adat memiliki
corak tersendiri dari alam pikiran masyarakat yang tradisional dengan
bentuk kekerabatan yang sistem keturunannya patrilineal, matrilineal, dan
bilateral atau parental. Walaupun bentuk kekerabatan yang sama, belum
tentu berlaku sistem kewarisan yang sama.18
Hukum waris adat adalah salah satu aspek hukum dalam lingkup
permasalahan hukum adat yang materiil dan immaterial, yang mana dari
seorang dapat diserahkan kepada keturunannya sekaligus mengatur saat,
cara dan proses peralihan dari harta tersebut.19
Menurut Prof. Betrand Ter Haar, hukum waris adat adalah proses
penerusan dan peralihan kekayaan materiil dan immateriil dari
keturunan20
. Kemudian menurut Prof. Dr. R. Soepomo, hukum waris adat
memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta
18
Elfrida R Gultom, Hukum Waris Adat di Indonesia, (Jakarta: Literata, 2010), h . 22. 19
Tolib Setiady, Intisari Hukum Adat Indonesia, (Bandung: Alfabeta, 2013), cet. 3, h. 281. 20
Zainuddin Ali, Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008),
h.1.
18
mengoperkan harta benda dan benda yang tidak berwujud
(immaterielegoederen) dari suatu angkatan manusia (generatie) kepada
turunannya.21
Sedangkan menurut Prof. H. Hilman Hadikusuma hukum
waris adat adalah aturan-aturan hukum adat yang mengatur bagaimana
harta peninggalan atau harta warisan diteruskan atau dibagi-bagi dari
pewaris kepada para ahli waris dari generasi ke generasi.22
Sebagaimana yang telah dikemukan di atas, jadi hukum waris adat
adalah aturan dan norma hukum yang menetapkan harta kekayaan
seseorang baik materiil dan nonmateriil yang dapat diserahkan kepada
keturunannya.
Hal-hal yang penting dalam masalah hukum waris adat adalah bahwa
pengertian warisan itu memperlihatkan adanya tiga unsur yang masing-
masing merupakan unsur esensial yaitu, seseorang peninggal warisan
yang pada waktu wafatnya meninggalkan warisan, seseorang atau
beberapa orang para ahli waris yang berhak menerima kekayaan yang
ditinggalkan, harta warisan atau harta peninggalan yaitu kekayaan yang
ditinggalkan dan beralih kepada ahli waris.23
Terdapat tiga asas dalam hukum waris adat, diantaranya :
1. Apabila seseorang meninggal dunia maka yang berhak mewarisi adalah
anak-anaknya dan mereka yang garis keturunannya menurun apabila
21
Elfrida R Gultom, Hukum Waris Adat di Indonesia, h. 45. 22
Tolib Setiady, Intisari Hukum Adat Indonesia, h . 282. 23
Tolib Setiady, Intisari Hukum Adat Indonesia, h. 283.
19
tidak ada anak maka yang mewarisi adalah orang tuanya atau saudara-
saudaranya (garis keturunan naik menyamping).
2. Tidak ada ketentuan tentang hak tiap-tiap pewaris atas bagian-bagian
yang mutlak yang telah ditentukan besarnya yang berdasarkan asas
kerukunan dan keadilan sehingga tiap-tiap ahli waris akan
mendapatkan bagiannya masing-masing secara layak.
3. Tidak semua harta peninggalan dapat dibagi-bagi seperti tanah atau
barang pusaka lainnya tetap merupakan harta keluarga secara
bersama.24
Hukum waris adat di Indonesia memiliki sifat tersendiri. Hukum waris
adat di Indonesia memiliki sifat sebagai berikut:
a. Tidak mengenal legitieme portie,25
hukum waris adat menetapkan
dasar persamaan hak. Hak sama ini mengandung hak untuk
diberlakukan sama oleh orang tuanya di dalam proses meneruskan dan
mengoperkan harta benda.
b. Meletakkan dasar kerukunan pada proses pelaksanaan pembagian harta
waris dengan memperhatikan keadaan istimewa setiap pewaris.
c. Harta warisan tidak boleh dipaksakan untuk dibagi antara para ahli
waris.
24
Umar Said Sugianto, Pengantar Hukum Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika, 2013), h.
127. 25
Menurut pasal 913 KUHPerdata yang dimaksud dengan Legitime Portie adalah sesuatu
bagian dari harta peninggalan yang harus diberikan kepada ahli waris, garis
lurus menurut ketentuan undang-undang, sebagaimana pewaris yang meninggal tak diperbolehkan
menetapkan sesuatu, baik selaku pemberian antara yang masih hidup, maupun selaku wasiat.
20
d. Harta peninggalan dapat bersifat tidak dibagi lebih dahulu atau
pelaksanaanya dapat ditangguhkan atau sebagian saja yang dibagi.
e. Memberikan kepada anak angkat, hak nafkah dari harta peninggalan
orang tua angkatnya.
f. Anak perempuan, khususnya di Jawa, apabila tidak ada anak laki-laki
dapat menutup hak mendapat bagian harta peninggalan kakek
neneknya dan saudara orang tuanya.
g. Harta peninggalan bukan merupakan satu kesatuan harta warisan,
melainkan wajib diperhatikan sifat atau macam asal-usul dan
kedudukan hukum dari barang masing-masig yang terdapat dalam harta
peninggalan.26
Masing-masing unsur ini pada pelaksanaan proses penerusan serta
pengoperan kepada yang berhak menerima harta kekayaan itu selalu
menimbulkan persoalan seperti: Pertama, menimbulkan persoalan
bagaimana dan sampai sejauhmana hubungan seseorang peninggal
warisan dengan kekayaan yang dipengaruhi sifat lingkungan kekeluargaan
di mana si peninggal warisan itu berada. Kedua, menimbulkan persoalan
bagaimana dan sejauhmana harus adanya tali kekeluargaan antara si
peninggal warisan dan ahli waris. Ketiga, menimbulkan persoalan
bagaimana serta sampai sejauhmana wujud kekayaan yang beralih itu
26
Umar Said Sugianto, Pengantar Hukum Indonesia, h. 128.
21
dipengaruhi oleh sifat lingkungan kekeluargaan di mana si peninggal
warisan dan ahli waris bersama-sama berada.27
2. Sistem Kewarisan Adat
Di dalam sistem kewarisan adat dapat kita kenal beberapa sistem
kewarisan diantaranya adalah sistem kewarisan individual, sistem
kewarisan kolektif dan sistem kewarisan mayorat.
Sistem kewarisan Individual yaitu sistem kewarisan di mana para
ahli waris mewarisi secara perorangan, seperti suku Batak, Jawa,
Sulawesi, dan lain sebagainya.28
Cirinya adalah bahwa harta peninggalan
dapat dibagi-bagikan diantara para ahli waris seperti pada masyarakat
bilateral.29
Para ahli waris bebas menentukan kehendaknya atas warisan yang
menjadi bagiannya. Kelemahan dari sistem ini bukan saja pecahnya harta
warisan dan merenggangnya hubungan kekerabatan antara para ahli waris
yang satu dengan yang lainnya. Hal ini dapat menyebabkan lemahnya
asas hidup kebersamaan dan tolong menolong antara keluarga yang satu
keturunan, yaitu timbulnya perselisihan antara keluarga pewaris. Hal ini
kebanyakan berlaku di masyarakat adat perantauan yang telah jauh dari
kampungnya.30
27
Tolib Setiady, Intisari Hukum Adat Indonesia, h. 284. 28
Soeryono Soekanto, Hukum Adat Indonesia,(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2015),
cet. 2, h. 260. 29
Tolib Setiady, Intisari Hukum Adat Indonesia, h. 285. 30
Ter Haar, terjemahan Soebakti Poespotono, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat,
(Jakarta: Gunung Agung, 1983), h.281.
22
Sistem kewarisan Kolektif yaitu harta peninggalan itu diwarisi
secara bersama-sama, misalnya harta pusaka tidak dimiliki atau dibagi-
bagikan hanya dapat dipakai atau menjadi hak pakai.31
Hanya penerusan
dan pengalihan hak penguasaan atas harta yang tidak terbagi-bagi itu
dilimpahkan kepada anak-anak tertua yang bertugas sebagai pemimpin
rumah tangga atau kepala keluarga menggantikan kedudukan ayah atau
ibu sebagai kepala keluarga.32
Jadi harta peninggalan diteruskan dan
dialihkan pemilikannya dari pewaris kepada ahli waris sebagai kesatuan
yang tidak terbagi-bagi penguasaan dan pemilikannya, melainkan setiap
ahli waris hanya berhak untuk mengusahakan, menggunakan atau
mendapatkan hasil dari harta peninggalan itu.
Kebaikan dari sistem kewarisan kolektif ini adalah apabila fungsi
harta kekayaan itu dipergunakan untuk kelangsungan hidup keluarga
besar dan masa seterusnya, tolong menolong antara keluarga yang satu
dengan yang lain di bawah pimpinan kepala kerabat yang penuh tanggung
jawab.
Sedangkan kelemahan dari sistem kewarisan kolektif ini adalah
menimbulkan cara berfikir yang sempit dan kurang terbuka bagi orang
luar, karena tidak selamanya suatu kerabat memiliki kepemimpinan yang
31
Elfrida R Gultom, Hukum Waris Adat di Indonesia, h. 47. 32
Arwin Rio Saputra, dkk, Persepsi Masyarakat Semende Terhadap Harta Warisan
Dengan Sistem Tunggu Tubang. Jurnal sosiologi Mahasiswa Universitas Lampung.
(http://publikasi.fisip.unila.ac.id/index.php/sosiologi/article/view/167.2014). Diakses pada 13
November 2016
23
dapat diandalkan dan aktifitas hidup yang makin meluas bagi para
anggota kerabat.33
Sistem kewarisan mayorat yaitu harta peninggalan diwariskan
keseluruhan atau sebagian besarnya pada salah satu anak saja. Sistem
kewarisan mayorat dibagi dua yaitu:34
Pertama, mayorat laki-laki di mana
harta peninggalan jatuh kepada anak laki-laki seperti berlaku di
lingkungan masyarakat adat Lampung, terutama yang beradat pepadun,35
atau juga berlaku sebagaimana di Teluk Yos Soedarso Kabupaten
Jayapura lrian Barat. Kedua, mayorat perempuan yaitu harta peninggalan
jatuh kepada anak perempuan tertua36
seperti berlaku di lingkungan
masyarakat adat Semende Sumatera Selatan.
Ketiga sistem kewarisan ini masing-masing tidak langsung
menunjuk kepada suatu bentuk susunan masyarakat tertentu di mana
sistem kewarisan ini berlaku, sebab suatu sistem itu dapat dikemukakan
juga dalam berbagai bentuk susunan masyarakat ataupun dalam suatu
sistem kewarisan dimaksud. 37
33
Tamakiran, Asas-Asas Hukum Waris menurut Tiga Sistem Hukum, (Bandung: Pionir
Jaya, 1992), h.79. 34
Soerjono Soekanto dan Soleman b. Taneko , Hukum Adat Di Indonesia, (Jakarta:
CV.Rajawali, 1981), h. 285-286. 35
Pepadun adalah adalah salah satu dari dua kelompok adat besar dalam masyarakat
Lampung 36
Elfrida R Gultom, Hukum Waris Adat di Indonesia, h. 47. 37
Umar Said Sugianto, Pengantar Hukum Indonesia, h. 286.
24
B. Adat Tunggu Tubang
1. Pengertian Adat Tunggu Tubang
Tunggu Tubang terdiri dari dua kata yang sangat berlainan artinya
yaitu, “Tunggu” dan “Tubang”. Kata “Tunggu” dapat diartikan menanti
atau menunggu, sedangkan kata “Tubang” berasal dari bahasa semende
yang memiliki arti sepotong bambu, yang tutupnya terbuat dari bambu
yang kegunaannya untuk menyimpan alat-alat atau bahan-bahan dapur.38
Tunggu Tubang juga berarti menunggu barang yang dijadikan keluarga
sebagai tempat untuk menyimpan bahan keperluan sehari-hari ini
merupakan makna kiasan dari menunggu harta orang tua. Dinisbahkan
kepada anak perempuan tertua pada masyarakat Suku Semende yang garis
keturunannya dari ibu. Dengan demikian, seorang yang menjadi Tunggu
Tubang harus sanggup memikul berbagai masalah dan tanggung jawab
yang dibebankan kepadanya, baik yang berat maupun yang ringan.39
Jadi, Tunggu Tubang adalah suatu adat yang terdapat pada masyarakat
Semende yang masih berlaku sampai sekarang dan berjalan secara turun
temurun, di mana harta pusaka warisan dari nenek moyang jatuh kepada
anak perempuan tertua.
Adat atau tradisi Tunggu Tubang merupakan wujud kebudayaan,
norma atau seperangkat aturan yang diyakini oleh masyarakat Semende,
38
Yuni Sartika, Kadar Mahar Perkawinan terhadap Anak Tunggu Tubang di Kecamatan
Semende Darat Muara Enim di tinjau dari Mazhab Syafi’i dan Mazhab Hanafi. Skripsi,
(http://eprints.radenfatah.ac.id/648/ 07 juni 2016). Dikases pada 23 Desember 2016 39
Habidin, Pelaksanaan Kewarisan Tunggu Tubang Masyarakat Adat Semende dalam
Persfektif Hukum Islam. Tesis, (http://eprints.walisongo.ac.id/521/2012). Diakses pada 20
Desember 2016.
25
yang merupakan warisan turun temurun dari nenek moyang yang
dibebankan dan diberlakukan pada anak perempuan tertua dalam sebuah
keluarga yang harta warisannya tidak dapat dibagikan.
Dalam penguasaan harta, anak yang mendapatkan sebutan Tunggu
Tubang diawasi dan dibantu anak laki-laki yang disebut Payung Jurai.
Jabatan Tunggu Tubang hanya bisa diterima oleh orang-orang tertentu
saja. Adapun yang berhak menerima jabatan tersebut adalah:40
a) Anak perempuan tertua sampai turun temurunnya yang disebut dengan
istilah “Anak Tue” .
b) Bagi anak tunggal, maka secara otomatis pula menjabat sebagai
Tunggu Tubang. Hal ini dikuatkan oleh Mr. B. Ter Haar yang
menerangkan: “Di kalangan orang-orang Semende dan Rebang di
Sumatera Selatan yang susunannya berhukum ibu, maka anak tertua
bersama inti kekayaannya mempertahankan hukum ibu dengan jalan
bentuk perkawinan yang dipilihnya (Tunggu Tubang).
c) Jika dalam keluarga tidak ada keturunan, maka dilaksanakan
musyawarah keluarga untuk menentukan siapa yang berhak untuk
menduduki jabatan sebagai anak Tunggu Tubang yang dihadiri oleh
apit jurai41
yang bertujuan agar harta Tunggu Tubang tetap terjaga dan
terpelihara.
40
Kurnaesih, Hak dan Kewajiban Anak Tunggu Tubang dalam Adat Semende. Jurnal
(http://alhukama.uinsby.ac.id/index.php/alhukama/article/view/130/2015). Diakses pada 23
Desember 2016.
41
Apit jurai adalah sebutan istilah keluarga dekat maupun saudara jauh pada masyarakat
Semende.
26
d) Jika dalam keluarga hanya ada anak kandung laki-laki saja, maka
dilaksanakan musyawarah keluarga untuk menentukan siapa yang akan
menjabat sebagai anak Tunggu Tubang.
2. Macam-macam Tunggu Tubang
Adapun macam dari adat Tunggu Tubang terdiri dari:
1. Tunggu Tubang Ulucunjung, yaitu Tunggu Tubang yang menduduki
keturunan kedua atau ketiga yang lazim disebut Tunggu Tubang turun-
temurun.
2. Tunggu Tubang Tihi, yakni Tunggu Tubang yang baru satu generasi
yaitu anak dari anak perempuan yang nomor dua dan seterusnya.
3. Tunggu Tubang Tugane, yaitu Tunggu Tubang yang betul-betul
menuruti dan menjalankan tugasnya sebagaimana mestinya.
4. Tunggu Tubang Ngancur Kapur, yaitu Tunggu Tubang yang tidak
menjalankan tugasnya sebagaimana mestinya, atau lazim disebut
“Tunggu Tubang Dik Belakham”.42
Orang yang menjadi Tunggu Tubang harus mengamalkan dasar-dasar
atau fungsi Tunggu Tubang. Dasar atau fungsi Tunggu Tubang itu adalah
sebagai berikut :43
1. Memegang pusat jale (jala), yang artinya bila dikipaskan batu jale itu
bertaburan dan apabila ditarik kembali bersatu. Dengan kata lain,
42
HS Dova, dkk, Peranan Tokoh Adat dalam Mempertahankan Adat Tunggu Tubang pada
Masyarkat Semende. Jurnal (http://jurnal.fkip.unila.ac.id, 02 januari 2016). Diakses pada 27
Desember 2016. 43
Tholhon Abd Ra’uf, Jagat Bersemah Lebar Semende Panjang, ( Palembang:Pustaka
Dzumirroh,1997), h. 138
27
menghimpun semua sanak keluarga, baik yang jauh maupun yang
dekat.
2. Memegang kapak, artinya segala pengurusan tidak boleh berbeda-beda
antara kedua belah pihak, tidak boleh memihak kepada siapapun baik
dari keluarga dari suami ataupun keluarga dari pihak isteri. Yang
keduanya itu harus adil, tidak boleh berat sebelah.
3. Harus bersifat balau (tombak), yang artinya kalau dipanggil atau
diperintahkan harus segera melaksanakan, yang menurut kebiasaannya,
perintah itu datang dari Entue Meraje.
4. Harus bersifat guci yang artinya orang yang menjadi Tunggu Tubang
harus tabah dalam menghadapi segala macam persoalan yang menimpa
diri mereka.
5. Memelihara tebat (kolam) yang artinya menggambarkan ketenangan
dan ketentraman dalam rumah tangga, tidak membocorkan rahasia
rumah tangga. Walaupun ada masalah dalam rumah tangga, harus
dijaga jangan sampai bocor, terutama kepada Entue Meraje.44
Kesemuanya ini harus dijaga dengan sebaik-baiknya.
Berdasarkan penjelasan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa orang
yang akan menjadi Tunggu Tubang haruslah bisa menjadi panutan bagi
sanak saudara terutama adik-adiknya, harus bersikap adil, dapat
44
Entue Meraje adalah istilah bahasa Semende yang artinya kakak atau adik dari anak
perempuan yang mendapat julukan Anak Tunggu Tubang
28
diandalkan, sabar dalam menghadapi segala persoalan dalam rumah
tangga dan dapat dipercaya.45
Menurut Chopa CH Mulkan, selain memiliki kewajiban dan tanggung
jawab, Tunggu Tubang memiliki larangan-larangan yang harus dijauhi,
larangan tersebut antara lain adalah sebagai berikut :46
1. Menolak keluarga yang datang ke rumahnya.
2. Berperilaku kasar terhadap keluarga.
3. Menjual harta keluarga atau harta tubang.
4. Menggadaikan harta keluarga atau harta tubang tanpa meminta izin dan
pertimbangan dari jenang jurai (musyawarah keluarga).
5. Menelantarkan saudara-saudaranya sekandung yang belum berkeluarga
yang berada di bawah asuhannya sebagai pengganti orang tua.
6. Membuka rahasia keluarga.
Falsafah Tunggu Tubang merupakan Pusat Jala, artinya di sanalah
tempat seluruh keluarga berkumpul. Hal ini merupakan simbol bahwa
Tunggu Tubang utamanya adalah rumah sebagai tempat jala (tempat
pulang) dan berkumpulnya sebuah keluarga. Adanya konsep Tunggu
Tubang ini pada awalnya memang menyebabkan anak laki-laki yang telah
berkeluarga “mencar” atau mencari sumber kehidupan keluarga (atau
yang sering disebut bahasa semendo anak ambur-amburan atau semendo
45
Muhammad Hamka, dkk, Sikap Masyarakat terhadap Anak Tunggu Tubang di Desa
Pulau Panggung Kecamatan Semende Darat Laut Kabupaten Muara Enim. Jurnal,
(http://jurnal.fkip.unila.ac.id/index.php/JKD/article/view/1951/2014). Diaskes pada 12 November
2016. 46
Alip Susilowati Utama, Budaya Politik Perempuan Semende di Kabupaten Ogan
Komering Ulu Selatan. Tesis, (http://digilib.unila.ac.id, 26 Oktober 2016). Diakses pada 20
Desember 2016.
29
rajo-rajo). Pada umumnya pencarian sumber kehidupan baruini sangat
bergantung kepada hutan yang kemudian dirambah, hal ini terpaksa
dilakukan karena kurangnya tingkat pendidikan dan kesadaran akan
lingkungan dari masyarakat Semende.47
Berbeda dengan saat ini, di
manaanak laki-laki Suku Semende telah menyadari akan pentingnya
pendidikan. Hal ini yangmenyebabkan anak laki-laki Suku Semende tidak
lagi mencari kehidupan di hutan, akan tetapi kebanyakan dari mereka
pada saat ini yang telah menjadi Wiraswasta, Polisi, PNS dan lain
sebagainya.
3. Hak dan Kewajiban Pewaris Tunggu Tubang
Tunggu Tubang diberikan hak dari kedua orang tuanya yaitu untuk
memakai, menempati, memelihara dan mengambil harta pusaka tersebut
tetapi tidak berhak menjualnya, karena harta tersebut milik bersama
seluruh anggota kerabat.48
Hak anak Tunggu Tubang setelah kedua orang tuanya meninggal dunia
yaitu tetap melanjutkan hak yang telah diberikan kepadanya. Hanya saja
bedanya, ketika kedua orang tua masih hidup, anak Tunggu Tubang masih
minta persetujuan orang tua dalam memanfaatkan harta. Namun setelah
orang tua meninggal, jika ingin membelanjakan hasil dari harta Tunggu
47
M. Rendy Praditama, Sikap Masyarakat terhadap Anak Tunggu Tubang di Desa Pulau
Panggung Kecamatan Semende Darat Laut Kabupaten Muara Enim. Skripsi
(http://digilib.unila.ac.id/760/04 Febuari 2014). Diaskes pada 12 November 2016. 48
Hasil wawancara pribadi dengan Tokoh Adat Semende Drs. H. Asy’ari, di Waydadi, 20
April 2017.
30
Tubang dalam jumlah besar, maka ia bisa langsung membelanjakannya
dengan syarat yang digunakan dalam hal kebaikan.49
Kewajiban yang harus dijalankan dari anak Tunggu Tubang yaitu
memelihara dan mengurusi harta pusaka yang telah diwariskan
kepadanya, memelihara dan mengurus kedua orang tua, mertua, kakek,
nenek, serta membiayai adik-adik yang belum dapat hidup mandiri dan
menjaga hubungan baik kepada keluarga besar.50
Berdasarkan hak dan kewajiban bahwa adanya pembagian harta waris
Tunggu Tubang bertujuan, agar harta pusaka warisan dari nenek moyang
yang bersifat turun temurun tetap terjaga dengan baik, dan sebagai tempat
berkumpulnya sanak keluarga.
4. Pembagian Waris dalam Adat Tunggu Tubang
Suku Semende dalam pembagian waris adat Tunggu Tubang tidak
mengatur secara rinci tentang pelaksanaannya, karena dalam adat Tunggu
Tubang pembagian harta warisan disesuaikan dengan adat saja yakni
secara turun temurun yang otamatis jatuh kepada anak perempuan tertua
dan tidak ada upacara dalam pembagian adat Tunggu Tubang tersebut.51
Harta warisan yang menjadi harta Tunggu Tubang pada masyarakat
Semende terdiri dari rumah, tanah dan sawah. Sedangkan harta selain
49
M. Rendy Praditama, Sikap Masyarakat terhadap Anak Tunggu Tubang di Desa Pulau
Panggung Kecamatan Semende Darat Laut Kabupaten Muara Enim. Skripsi
(http://digilib.unila.ac.id/760/04 Febuari 2014). Diaskes pada 12 November 2016. 50
Hasil wawancara pribadi dengan tokoh agama dan ketua masyarakat Adat Semende Drs.
H. Darmi Ujang, di Waydadi, 19 April 2017. 51
Hasil wawancara pribadi dengan Tokoh Adat Semende Drs. H. Asy’ari, di Waydadi, 20
April 2017.
31
harta Tunggu Tubang seperti uang dibagi sama rata kepada setiap ahli
waris.52
Pembagian harta Tunggu Tubang dapat dikelompokkan menjadi dua
bagian:53
1. Ketika pewaris masih hidup, di mana harta warisannya dapat diberikan
kepada anaknya, yaitu anak perempuan tertua (Tunggu Tubang) yang
biasanya dilakukan setelah anaknya melangsungkan pernikahan atau
memasuki umur dewasa, dialah yang berhak melanjutkan dan
meneruskan harta kekayaan dari orang tuanya yang berasal dari harta
turun-temurun itu. Ketika, orang tua masih hidup, ahli waris yang
menduduki sebagai Tunggu Tubang jika ada sesuatu atau hal yang
berkaitan tentang harta Tunggu Tubang, ia harus minta persetujuan
terlebih dahulu kepada orang tuanya meskipun harta tersebut sudah
menjadi miliknya.
2. Setelah orang tuanya meninggal, karena menurut adat kebiasaan Suku
Semende, harta peninggalan dapat diwariskan oleh setiap ahli
warisnya, yaitu dari seluruh anak-anaknya yang telah ditinggalkan oleh
orang tuanya, adapun hal tersebut dapat dilaksanakan karena adanya
suatu permintaan dari salah seorang dari ahli warisnya. Dan kewajiban
anak Tunggu Tubang setelah orang tuanya meninggal ia mengambil
alih semua tanggung jawab orang tuanya dan mengurusi saudara-
saudaranya sampai menikah.
52
Hasil wawancara pribadi dengan tokoh agama dan ketua masyarakat Adat Semende Drs.
H. Darmi Ujang, di Waydadi, 19 April 2017. 53
Hasil wawancara pribadi dengan pelaku Tunggu Tubang Hj. Sukmawati, M.Pd, di
Waydadi, 19 April 2017.
32
Anak perempuan pertama yang tidak bisa menjalankan kewajibannya
sebagai Tunggu Tubang dapat digantikan dan dilakukan dengan jalan
musyawarah keluarga. Musyawarah tersebut bertujuan untuk menentukan
siapa yang dapat menggantikan dan berhak menduduki kewajiban sebagai
anak Tunggu Tubang. Harta warisan yang tidak termasuk dari harta
Tunggu Tubang dibagi rata kepada semua ahli waris. Begitu halnya jika di
dalam keluarga tidak memiliki anak perempuan, maka keluarga
bermusyawarah dengan anak-anaknya dan menanyakan kepeda mereka
siapa yang sanggup menduduki jabatan sebagai Tunggu Tubang.54
Selanjutnya, Anak perempuan yang memiliki kedudukan sebagai
Tunggu Tubang harus tetap tinggal di daerah tanah warisan yang menjadi
harta tungguan dari nenek moyang. Mereka tidak boleh meninggalkan
harta Tunggu Tubang tersebut, karena ketika mereka meninggalkan harta
Tunggu Tubang kehidupan mereka menjadi tidak tenang dan diyakini
kehidupan mereka akan tertimpa banyak masalah.55
Harta yang menjadi harta Tunggu Tubang itu tidak boleh dijual,
digadaikan, dihibahkan oleh anak Tunggu Tubang, ia (Anak Tunggu
Tubang) hanya boleh mengambil manfaat dari harta itu saja. Apabila
suatu waktu ada keinginan dan keperluan dari anak Tunggu Tubang untuk
menjual harta Tunggu Tubang tersebut, maka ia harus meminta izin
kepada entue meraje (paman-pamannya) karena harta tersebut bukan
54
Hasil wawancara pribadi dengan pelaku Tunggu Tubang Rusmianah, di Waydadi, 20
April 2017. 55
Hasil wawancara pribadi dengan pelaku Tunggu Tubang Hj. Sukmawati, M.Pd, di
Waydadi, 19 April 2017.
33
milik individu akan tetapi milik bersama yang sudah menjadi harta pusaka
secara turun temurun.56
C. Suku Semende
1. Pengertian Semende
Menurut Thohlon Abd Rauf, secara bahasa kata Semende memiliki
tiga pengertian, yakni : Pertama, Semende berarti akad nikah atau kawin.
Kedua, kata Semende merupakan rangkaian dari kata same dan nde. Same
artinya sama dan nde artinya sama miliki atau kepunyaan bersama.
Ketiga, kata Semende berasal dari kata Semahnde, Se artinya satu atau
kesatuan, mah artinya rumah, dan nde artinya milik, kepunyaan, atau hak.
Jadi semahnde maknanya rumah kesatuan milik bersama.57
Adapun pengertian Semende secara istilah memiliki tiga pengertian
juga yaitu : Pertama, Semende sama dengan akad nikah, dengan artian
ikatan tali Allah dan tali Rasulullah, karena itu Semende juga
berarti syahâdatain yang menjelaskan bahwa orang-orang Semende telah
memiliki kesaksian bahwa Allah Yang Maha Esa sebagai Tuhannya dan
Muhammad SAW sebagai Rasulullah yang di buktikan melalui dua
kalimat syahadat. Kedua,kata Semende merupakan gabungan dari
kata Semahnde, yang artinya rumah kesatuan milik bersama. Semende
mengajarkan supaya setiap pribadi merasa terikat dengan rumah keluarga,
dan rumah keluarga ini mesti terikat dalam satu kesatuan dengan rumah
induk yang secara adat Semende dinamakan Rumah Tunggu Tubang.
56
Hasil wawancara pribadi dengan Tokoh Adat Semende Drs. H. Asy’ari, di Waydadi, 20
April 2017. 57
Tholhon Abd Ra’uf, Jagat Bersemah Lebar Semende Panjang, hal.12-13.
34
Ketiga, kata Semende merupakan gabungan dari kata Samende, yang
berarti sama memiliki atau persamaan kedudukan. Jelasnya bahwa
Semende mengajarkan semua manusia laki-laki dan perempuan memiliki
persamaan derajat dihadapan Allah SWT dan sesama manusia dengan
pembagian tugas dalam persamaan kewajiban dan persamaan hak yang
disesuaikan dengan fitrah dan kemampuan masing-masing.58
2. Sejarah Semende
Menurut H. Kohafah, bahwa Suku Semende mulai ada pada tahun
1650 M atau tahun 1072 H yang dibentuk oleh Puyang yang bernama
Syekh Nurqadim al-Baharuddin. Dia lebih dikenal dengan sebutan
Puyang Awak. Ditambahkan oleh Kohafah, bahwa Puyang Awak
merupakan keturunan Sunan Gunung Jati melalui silsilah Puteri Sulung
Panembahan Ratu Cirebon yang menikah dengan Ratu Agung Mpu
Hyang Dade Abang. Beliau mewarisi ilmu kewalian dan kemujahidan
Sunan Gunung Jati.59
Syekh Nurqadim al-Baharuddin dan ketiga adiknya dibesarkan oleh
ayah dan bundanya di Istana Pelang Kedidai, yang terletak di Tanjung
Lematang. Pada waktu kecilnya, beliau dididik akhlâq al-
karîmah dan aqîdah Islâmiyah. Pada masa remajanya, beliau mendapat
gemblengan para ulama dari Aceh Darussalam yang sengaja didatangkan
ayahnya.
58
Tholhon Abd Ra’uf, Jagat Bersemah Lebar Semende Panjang, h. 14-16 59
M. Rendy Praditama, Sikap Masyarakat terhadap Anak Tunggu Tubang di Desa Pulau
Panggung Kecamatan Semende Darat Laut Kabupaten Muara Enim. Skripsi,
(http://digilib.unila.ac.id/760/04 Febuari 2014). Diakses pada 12 November 2016.
35
Ketika tiba masanya untuk menikah, ia menyunting seorang gadis dari
Muara Siban, sebuah desa di kaki gunung Dempo. Setelah mufakat
dengan mantap, beliau sekeluarga beserta keluarga adik-adiknya dan
keluarga para sahabatnya membuka tanah di Talang Tumutan Tujuh
sebagai wilayah yang direncanakan beliau untuk menjadi pusat daerah
Semende.60
Lama-kelamaan tersebarlah berita bahwa di daerah Batang Hari
Sembilan telah ada seorang wali Allah yang bernama Syekh Nurqadim al-
Baharuddin, banyaklah para penghulu atau pemuka agama dari berbagai
daerah berdatangan memenuhi ajakan Nurqadim untuk bermukim di
Talang Tumutan Tujuh. Setelah banyak orang yang berdiam di sana,
diresmikanlah talang itu oleh Ratu Agung Dade Abang menjadi dusun
yang dinamakan Pardipeyang artinya “Para penghulu agama”. Peresmian
itu terjadi pada tahun 1650 M atau 1072 H. Pada akhirnya, nama Para
Dipe ini lebih mudah disebut orang dengan Pardipe. Di Pardipe inilah,
Syekh Nurqadim al-Baharuddin Puyang Awak bersama para keluarga dan
sahabatnya memulai penerapan ajaran Islam, sekaligus penerapan ajaran
adat yang mereka namakan Semende.61
Adapun yang melatar belakangi berdirinya Semende adalah sebagai
berikut :62
60
I Suntoro, dkk, Sikap Masyarakat terhadap Anak Tunggu Tubang di Desa Pulau
Panggung Kecamatan Semende Darat Laut Kabupaten Muara Enim. Jurnal,
(http://digilib.unila.ac.id/760/2013). Diakses pada 12 November 2016. 61
M. Rendy Praditama, Sikap Masyarakat terhadap Anak Tunggu Tubang di Desa Pulau
Panggung Kecamatan Semende Darat Laut Kabupaten Muara Enim. Skripsi,
(http://digilib.unila.ac.id/760/04 Febuari 2014). Diakses pada 12 November 2016. 62
Tholhon Abd Ra’uf, Jagat Bersemah Lebar Semende Panjang, h. 24.
36
a. Kemunduran kekuasaan umat Islam di Barat, Timur Tengah dan
Timur Jauh, khususnya di Asia Tenggara.
b. Pimpinan, persiapan gerakan menghadap serbuan Perang Salib dari
Bangsa Barat.
c. Nusantara Semende Raye sudah mulai diserbu tentara Salib Belanda,
Portugis, Inggris, Spanyol, Prancis dengan cara perampokan
ekonomi, pecah belah untuk mencapai perampasan kekuasaan
menuju penghancuran Islam secara total dan terus menerus.
d. Kebangsawanan Kesultanan di Nusantara Semende Raye mabuk
nafsu kemewahan dunia dan sangat takut untuk mati.
e. Kesultanan dan Umat Islam bangsa melayu sedang dilanda musibah
besar berupa: Tarekat, Tasawuf, dan Filsafat. Syirik yang
menghancurkan Aqidah dan Ahlak yakni paham bahwa manusia
dapat menyatu dengan Allah, paham emanasi, dan tajali.
f. Adanya persengkokolan Yahudi dan Cina untuk menghancurkan
Islam melalui penghancuran ekonomi Islam yakni menghancurkan
semua usaha umat Islam yang memungkinkan mereka mampu
berzakat dan berinfaq fisabilillah.
g. Masih ada suku bangsa melayu dan daerah yang sangat potensial dan
strategis keadaan kemuslimannya dalam tingkatan mu’allaf yang
sangat memerlukan Ulama pemimpin.
h. Ratu kesultanan Aceh sudah di bawah pengaruh Portugis sedangkan
Kerajaan Malaka telah jatuh dalam penjajahan Portugis, Kesultanan
Mindanau telah dirampas Spanyol, Bengkulu mulai dicaplok Inggris,
37
Pulau Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Indonesia Timur telah
dirampok Belanda, dan lain-lain.
Tokoh-tokoh yang berkontribusi dalam berdirinya Semende ini di
antaranya adalah Puyang Awak Syaikh Nurqodim Al Baharudin, Kiyai
Masende Sultan Abdurrahman Khalifatul Mukminin, dan Baginde Hulu
Lurah Kerie Arasy.
3. Tujuan Pendirian Ajaran Semende
Dari uraian terdahulu dapat disimpulkan bahwa tujuan berdirinya
ajaran Semende adalah:63
a. Gerakan Da’wah dan Pedidikan Islam.
b. Hijrah penyusunan kekuatan dan Jihad fisabilillah menghadapi
perampok penjajah kafir Barat.
c. Mewujudkan lembaga kesatuan kepemimpinan agama, peradaban,
tungguan perjuangan dan kebudayaan. Untuk mengerjakan amar
ma’ruf nahi mungkar yang melekat didalam tubuh dan prilaku umat
Islam.
4. Ajaran Semende
Ajaran Adat Semende disesuaikan dengan ajaran Islam (ilmu
tauhid dan syariat Islam) untuk keselamatan dunia akhirat. Jadi adat
Semende itu termasuk kebudayaan Islam. Di dalam Al-Qur'an berbunyi
63
Tholhon Abd Ra’uf, Jagat Bersemah Lebar Semende Panjang, h.25-27.
38
artinya “bertaqwalah kepada Allah dengan mengerjakan yang diperintah
dan meninggalkan yang dilarang.”64
Dalam Adat Semende terdapat perintah atau suruhan dan larangan.
Adapun perintah atau suruhan dari ajaran Semende diantaranya menganut
atau memeluk agama, beradat Semende, beradab Semende, dan harus
membela kebenaran. Sedangkan larangan dari ajarannya terdiri dari:
bahwa sesama Tunggu Tubang pantang untuk dimadukan, karena
mengingat tanggung jawabnya berat, tidak boleh menikah dengan satu
dusun, sirik, dan melanggar larang.
Ajaran Semende adalah sistem hasil dari musyawarah dengan
penguasa research yang terdiri dari beberapa ajaran diantaranya :
1) Tauhid Semende yang meliputi tentang:65
a) Pendalaman pengajian Al-Qur’an, Terjemah, dan Tafsirannya.
b) Penghayatan Hadist Shahih dengan sarahnya.
c) Pemahaman yang benar tentang Asmaul Husna.
d) Pemahaman sifat Allah yang 20.
Pimpinan terdiri dari Mas Penghulu Geci Mataram, anggotanya:
Syaikh Putre Sunan Bonang dan Waliullah Nakanadin.
64
Habidin, Pelaksanaan Kewarisan Tunggu Tubang Masyarakat Adat Semende dalam
Persfektif Hukum Islam. Tesis, (http://eprints.walisongo.ac.id/521/2012). Diakses pada 20
Desember 2016. 65
Tholhon Abd Ra’uf, Jagat Bersemah Lebar Semende Panjang, h.28
39
2) Adat Semende yang meliputi tentang :66
a) Mengokohkan para pemimpin Agung Jagat Lampike Empat
Merdike Due (Jagat Bersemah Lebar Semende Panjang).
b) Menyempurnakan lembaga Adat Keluarga Jagat Bersemah Lebar
menjadi Lembaga Adat Semende Meraje Anak Belai.
c) Menyempurnakan Lembaga Adat Minang Kabau menjadi Adat
Smende, Meraje Anak Belai.
d) Menyesuaikan Adat Melayu lama dengan cahaya (petunjuk) Al-
Qur’an dan Sunah Rasullah SAW yang kemudian termasyur
dengan nama Selimbur Caye.
e) Menetapkan status adat Berumah Tangga dalam Keluarga setelah
akad menikah: semendean yaitu berkedudukan yang sama baik
dirumah orang tua atau mertua (anak adalah keturunan Bapak
sekaligus keturunan Ibu), teambik anak yaitu laki-laki yang
dinyatakan berkedudukan dirumah keluarga perempuan turun-
temurun,yaitu ngangkit perempuan dinyatakan berkedudukan di
rumah keluarga laki-laki turun temurun.
Pimpinan terdiri dari Ahmad Pendekar dan Pagar Ruyung Minang
Kabau, anggotanya: Puyang Belulus Jemaring, Jagat Bersemah Lebar,
Baginde Kerie Lebar.67
66
Iskandar, Kedudukan Anak Tunggu Tubang dalam Pewarisan Masyarakat Semende di
Kota Palembang. Tesis, (http://eprints.undip.ac.id/10748/2003). Diaskes pada 20 Desember 2016. 67
Tholhon Abd Ra’uf, Jagat Bersemah Lebar Semende Panjang, h. 30.
40
3) Adab Semende yaitu Akhlaqul Karimah yang intinya menjaga :68
a) Sikap seluruh tubuh dan bagian anggota badan.
b) Sikap rohani, fikiran, perasaan, kemauan dan lain-lain.
c) Tingkah laku.
d) Peribahasa.
4) Tungguan Semende
Tungguan Semende adalah mengetahui Tungguan, berarti
mempelajari tentang kesetiaan, janji, sumpah ucapan, jihad,
kepahlawanan. Tungguan menjelaskan pembelaan pribadi dan
semua warga terhadap rukun Semende ajaran Puyang Awak yakni
pembelaan atau pengorbanan dengan salah satu, kedua, atau
ketiganya dari harta, tenaga, dan nyawa.69
Tungguan Semende adalah Tungguan Jagat Bersemah Panjang,
sendi Tungguan menurut Puyang Awak ialah Betunam (Memiliki
yang enam), yakni:70
a) Begantian, ialah cepat tanggap, peka waspada, siap membela
keluarga, saudara, tetangga dan kaum muslimin dengan tenaga,
harta maupun nyawa.
68
Tholhon Abd Ra’uf, Jagat Bersemah Lebar Semende Panjang, h. 32. 69
H Setiawan, dkk, Upaya Pelestarian Adat Semende di Desa Ulu Danau, Provinsi
Sumatera Selatan. Journal of Urban Society's Arts, (journal.isi.ac.id/02 Oktober 2016). Diakses
pada 20 Febuari 2017. 70
Tholhon Abd Ra’uf, Jagat Bersemah Lebar Semende Panjang, h. 40.
41
b) Bepatian, ialah memiliki cita dan citra luhur, hidup dalam
rencana shaleh, menjaga harga diri, keluarga, suku, bangsa, dan
agama.
c) Bersindat, artinya orang yang tahu dengan garis batas, dapat
membedakan dan bersikap yang benar terhadap, tua muda, laki-
laki, perempun, suami-isteri, nenek-cucu, mertua-mantu, orang
tua, kakak-adek, dan lain-lain.
d) Bemalu, artinya memiliki malu sebagai iman, sebagaimana sabda
Rasullah SAW “Al-Haya’u Minal Iman”. Malu apabila tidak
Bepatian,
e) Besingkuh, adalah wujud ketaatan pada perintah Allah “Laa
taqrobuz Zina” (jangan mendekati zina) yaitu segala sikap
rohani, jasmani, tingkah laku, dan pribahasa wajib ada dalam
jalan lurus.
f) Besundi, adalah kelanjutan watak pribadi Besingkuh dalam
tingkat yang lebih tinggi, yakni dalam keteladanan orang tua,
pemimpin agama, dan pemimpin adat. Bersikap, memberi
teladan, langsung mendidik, amar ma’ruf nahi munkar pada
generasi muda atau anak buahnya.
42
BAB III
ADAT TUNGGU TUBANG PADA MASYARAKAT SEMENDE DI
KELURAHAN WAYDADI KECAMATAN SUKARAME
A. Deskripsi Singkat Kelurahan Waydadi Kecamatan Sukarame
1. Letak Geografis
Kecamatan Sukarame merupakan sebagian wilayah Kota Bandar Lampung
yang terletak di ujung timur Kota Bandar Lampung. Letak geografis dan
wilayah administratif Kecamatan Sukarame memiliki batas-batas sebagai
berikut:
1. Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Lampung Selatan.
2. Sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Sukabumi.
3. Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Lampung Selatan.
4. Sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Way Halim dan
Kecamatan Kedamaian.71
Secara keseluruhan Kecamatan Sukarame terdiri dari dataran rendah
dan sedikit berbukit, di bagian dataran rendah tanahnya tersusun dari
lapisan tanah keabu-abuan dan tanah liat berwarna merah, sedangkan di
bagian dataran berbukit terdiri dari lapisan batu putih.
Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Bandar Lampung Nomor 04
Tahun 2012, tentang Penataan dan Pembentukan Kelurahan dan
71
Sumber Monografi Kelurahan Waydadi, 2014, diperoleh dari Kantor Kelurahan
Waydadi, 20 Maret 2017.
43
Kecamatan, wilayah Kecamatan Sukarame dibagi menjadi 6 (enam)
kelurahan, yaitu:72
a. Kelurahan Sukarame
b. Kelurahan Sukarame Baru
c. Kelurahan Waydadi
d. Kelurahan Waydadi Baru
e. Kelurahan Kopri Jaya
f. Kelurahan Kopri Raya
Kelurahan Waydadi merupakan kelurahan yang terletak pada bagian
sebelah Utara dari kecamatan Sukarame Bandar Lampung. Jarak tempuh
kelurahan Waydadi ke kecamatan ± 4 KM, sedangkan jarak tempuh ke
Kota Bandar Lampung ± 12 KM, dengan batas wilayah Kelurahan sebagai
berikut:
a) Sebelah Utara berbatasan dengan Kelurahan Sukarame.
b) Sebelah Selatan berbatasan dengan kelurahan Way Kandis.
c) Sebelah Barat berbatasan dengan kota Bandar Lampung.
d) Sebelah Timur bebatasan dengan kelurahan Harapan Jaya Bandar
Lampung.
Luas keseluruhan kelurahan Waydadi adalah ±360 Ha, yang terbagi
dalam dua lingkungan, diantaranya lingkungan I seluas ± 215 Ha yang
terbagi dalam 2 RW dan 7 RT dan lingkungan II seluas ± 145 Ha, yang
72
Sumber Monografi Kecamatan Sukarame, 2015, diperoleh dari Kantor Kecamatan
Sukarame, 19 Maret 2017.
44
terbagi dalam 7 Rw dan 32 RT. Dengan jumlah penduduk sebanyak 7.377
jiwa.73
Masyarakat yang berada di Kelurahan Waydadi terbagi dari beberapa
suku. Diantaranya Suku Lampung, Suku Jawa, Suku Sunda, Suku Padang
dan Suku Semende. Menurut data yang diperoleh penulis dari ketua RW 02
di Kelurahan Waydadi bahwa jumlah Suku Semende yang berada di
Kelurahan Waydadi sekitar 130 kepala keluarga yang terbagi dari 2 RT
yaitu RT 03 dan RT 04.74
2. Kondisi Sosial Masyarakat
Di Kelurahan Waydadi masyarakat hidup saling berdampingan dan
saling melengkapi satu sama lain. Di daerah ini juga masih terdapat
hubungan kekeluargaan yang erat, karena pada mulanya penduduk daerah
ini adalah transmigran dari Pulau Jawa dan Sumatra. Meskipun
beranekaragam suku dan bahasa yang berbeda, masyarakat di Kelurahan
Waydadi masih menghormati dan menghargai antara satu dengan yang
lainnya.
Kelurahan Waydadi merupakan satu dari empat puluh satu kelurahan
yang ada di wilayah Kotamadya Bandar Lampung, yang corak kehidupan
masyarakatnya masih memiliki kepedulian sosial yang tinggi. Kegiatan
remaja di Kelurahan Waydadi dalam berorganisasi dapat dikatakan baik,
dengan berjalannya kegiatan Karang Taruna dan berbagai kegiatan
73
Sumber Monografi Kelurahan Waydadi, 2014, diperoleh dari Kantor Kelurahan
Waydadi, 20 Maret 2017. 74
Hasil wawancara pribadi via telepon dengan ketua RW 02 Kelurahan Waydadi Ibrahim,
di Ciputat, 29 Mei 2017.
45
masyarakat yang aktif yang dilaksanakan pada waktu-waktu yang telah
ditentukan. Masyarakat juga aktif dalam kegiatan pengajian dan memiliki
uang kas untuk kematian.75
Hubungan sosial sesama masyarakat Semende yang berada di
Keluruhan Waydadi sangatlah erat. Terbukti dengan adanya ketika sebuah
keluarga sesama orang Semende tertimpa musibah, salah satu keluarganya
meninggal dunia. Maka, tanpa adanya sosialisasi pun mereka dengan
sendirinya ikut merasakan kesedihan keluarga tersebut atau ikut simpati.
Hal demikian, merupakan wujud kepedulian masyarakat Semende di
perantauan begitu tinggi dengan sesamanya.76
3. Kondisi Pendidikan dan Keagamaan
Pendidikan adalah suatu usaha untuk mewujudkan dan mengembangkan
proses pembelajaran secara aktif tentang potensi diri untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
berakhlak baik, serta keterampilan yang di perlukan dalam kehidupan
masyarakat.Sarana pendidikan yang ada di Kelurahan Waydadi sudah
cukup memadai dengan tersedianya sekolah dari tingkat PAUD sampai
dengan SMU. Hal ini dapat dilihat dari :77
1. Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) terdapat 3 gedung yang mempunya
10 tenaga pengajar (guru) dengan jumlah 95 siswa.
75
Sumber Monografi Kelurahan Waydadi, 2014, diperoleh dari Kantor Kelurahan
Waydadi, 20 Maret 2017. 76
Hasil wawancara pribadi dengan tokoh agama dan ketua masyarakat Adat Semende Drs.
H. Darmi Ujang. Waydadi, 13 Juni 2017. 77
Sumber Monografi Kelurahan Waydadi, 2014, diperoleh dari Kantor Kelurahan
Waydadi, 20 Maret 2017.
46
2. TK terdapat 6 gedung yang memiliki 11 tenaga pengajar (guru) dengan
jumlah 160 siswa.
3. Sekolah Dasar (SD) terdapat 1 gedung yang memiliki 25 tenaga
pengajar (guru) dengan jumlah 555 siswa.
4. Sekolah Menengah Pertama (SMP) terdapat 2 gedung yang memiliki 50
tenaga pengajar (guru) dengan jumlah 644 siswa.
5. Sekolah Menengah Atas (SMA) terdapat 3 gedung yang memiliki 159
tenaga pengajar (guru) dengan jumlah 1659 siswa.
Sebagian besar masyarakat Waydadi beragama Islam. Dan sebagian lagi
ada yang beragama kristen Protestan, kristen Katolik, Budha dan Hindu.
Terbukti data dari kelurahan Waydadi yang memiliki sarana peribadatan
yang terdiri dari, 8 buah masjid dan 2 buah musholah dengan jumlah 6851
umat Islam.78
Semua masyarakat Semende yang tinggal di Kelurahan Waydadi adalah
beragama Islam. Ini terbukti dengan adanya data yang diperoleh penulis
dari ketua RW 02 di Kelurahan Waydadi. Sedangkan pendidikan
masyarakat Semende di Waydadi mereka memiliki kesadaran yang tinggi
akan pentingnya pendidikan sehingga memfasilitasi anak-anak mereka
sampai ke jenjang pendidikan yang tinggi.79
78
Sumber Monografi Kelurahan Waydadi, 2014, diperoleh dari Kantor Kelurahan
Waydadi, 20 Maret 2017. 79
Hasil wawancara pribadi dengan tokoh agama dan ketua masyarakat Adat Semende Drs.
H. Darmi Ujang. Waydadi, 13 Juni 2017.
47
4. Mata Pencaharian Masyarakat Waydadi
Masyarakat Waydadi memiliki beraneka ragam mata pencaharian, di
antaranya Pegawai Negeri Sipil (PNS), TNI, POLRI, karyawan swasta,
pedagang/wiraswasta, petani, tukang, buruh tani, pensiunan dan karyawan.
Masyarakat Semende di kelurahan Waydadi sebagian besar bermata
pencaharian sebagai wiraswasta atau dagang.
Lebih jelasnya, penulis akan menguraikan penduduk menurut jenis
profesi atau pekerjaan melalui tabel berikut:80
Tabel 3.1
Jumlah Penduduk Menurut Jenis Profesi atau Pekerjaan
NO Jenis Mata Pencaharian Laki Perempuan Jumlah
1 Pegawai Negeri Sipil 293 235 528
2 TNI/ POLRI 62 2 64
3 Dagang/ Wiraswasta 503 265 768
4 Petani 83 27 110
5 Tukang 98 70 168
6 Buruh 365 70 435
7 Pensiunan 186 168 354
8 Karyawan 343 174 517
9 Lain-lain 1.677 2.756 2.944
80
Sumber Monografi Kelurahan Waydadi, 2014, diperoleh dari Kantor Kelurahan
Waydadi, 20 Maret 2017.
48
Tabel 3.2
Mata Pencaharian Masyarakat Semende di Waydadi81
No Jenis Mata Pencaharian Laki Perempuan
1 PNS 30 25
2 TNI/POLRI 6 -
3 Dagang/ Wiraswasta 56 36
4 Pensiunan 7 3
5 Karyawan 11 9
6 Petani 20 13
B. Pelaksanaan Pembagian Waris di Kelurahan Waydadi Kecamatan
Sukarame
Pada umumnya masyarakat yang berada di Kelurahan Waydadi terdiri
dari berbagai suku dan budaya, yang memiliki cara dan gaya tersendiri
mengenai pembagian harta warisan. Secara umum pelaksanaan pembagian
harta warisan masyarakat di Kelurahan Waydadi adalah di mana anak laki-laki
dan perempuan mendapatkan bagian yang sama dari harta warisan sedangkan,
rumah warisan jatuh kepada anak terakhir dari keluarga tersebut baik anak
laki-laki maupun anak perempuan.82
Masyarakat Semende yang berada di Kelurahan Waydadi memiliki
cara pembagian harta waris yang masih menggunakan adat dari nenek
81
Ketua Organisasi Ikatan Keluarga Seghase Semende (IKSS) Jukman Efendi, di Waydadi,
12 Juni 2017. 82
Hasil wawancara pribadi via telepon dengan ketua RW 02 Kelurahan Waydadi Ibrahim,
di Ciputat, 29 Mei 2017.
49
moyang mereka yaitu dengan adat Tunggu Tubang. Di mana pada adat
Tunggu Tubang anak perempuanlah yang lebih banyak mendapatkan harta
dari kedua orang tuanya daripada anak laki-laki.83
Tidak semua masyarakat Semende yang berada di Kelurahan Waydadi
menerapkan sistem adat Tunggu Tubang tersebut, hal itu disebabkan karena
terjadi nikah beda suku yang mana keduanya tidak saling memahami adat satu
sama lain. Sebagaimana hasil wawancara yang didapatkan oleh penulis
dengan elemen masyarakat Suku Semende yang berada di Kelurahan Waydadi
yaitu Jumirawati. Beliau salah satu contoh anak Tunggu Tubang yang berada
di Kelurahan Waydadi yang tidak menerapkan adat Tunggu Tubang karena
menikah dengan beda suku.84
Masyarakat Semende yang masih menerapkan adat Tunggu Tubang
dikarenakan mereka ingin melestarikan warisan dari nenek moyang yang
menjadi ciri khas dari adat Semende itu sendiri. Sebagaimana hasil wawancara
yang didapatkan oleh penulis dengan elemen masyarakat Suku Semende yang
berada di Kelurahan Waydadi yaitu Sukmawati. Beliau adalah anak Tunggu
Tubang yang masih menerapkan sistem adat tersebut karena ingin
melestarikan adat yang merupakan warisan dari nenek moyang.85
Jika kita perhatikan masyarakat yang bukan Suku Semende, misalnya
Suku Lampung, mereka memiliki cara pembagian harta warisan dari adat
83
Hasil wawancara pribadi dengan Tokoh Adat Semende Drs. H. Asy’ari, di Waydadi, 20
April 2017. 84
Hasil wawancara pribadi dengan pelaku Tunggu Tubang Jumirawati, di Waydadi, 20
April 2017. 85
Hasil wawancara pribadi dengan pelaku Tunggu Tubang Hj. Sukmawati, M.Pd, di
Waydadi, 19 April 2017.
50
mereka sendiri, di mana anak laki-laki pertama mendapatkan bagian yang
lebih besar dibandingkan dengan saudara yang lainnya. Pada kasus lainnya
yang terjadi pada Suku Padang, anak perempuan mendapatkan seluruh harta
warisan dari kedua orang tuanya.86
Namun, fakta yang terjadi di masyarakat bahwasaannya tidak semua
masyarakat di Kelurahan Waydadi menerapkan sistem pembagian waris sesuai
adat mereka masing-masing. Pembagian harta waris yang mereka terapkan
didasarkan pada kesepakatan antara orang tua. Hal ini dilakukan untuk
meminimalisir terjadi perselisihan antar saudara.87
86
Hasil wawancara pribadi via telepon dengan ketua RW 02 Kelurahan Waydadi Ibrahim,
di Ciputat, 29 Mei 2017. 87
Hasil wawancara pribadi via telepon dengan ketua RW 02 Kelurahan Waydadi Ibrahim,
di Ciputat, 29 Mei 2017.
51
BAB IV
PEMBAGIAN WARIS ADAT TUNGGU TUBANG PADA MASYARAKAT
SEMENDE DI PERANTAUAN
A. Pelaksanaan Adat Tunggu Tubang di Kelurahan Waydadi Kecamatan
Sukarame
Pada umumnya masyarakat Semende di Kelurahan Waydadi masih
tetap berpegang teguh terhadap tata tertib adat yang dibawa orang tua mereka
dari tempat asalnya. Sebagaimana yang masih tampak sampai saat ini
mengenai pembagian harta waris berdasarkan Tunggu Tubang.
Pelaksanaan pembagian warisan Tunggu Tubang masyarakat Semende
di daerah ini dapat dilakukan sebelum dan sesudah orang tuanya meninggal.88
Dimana ketika pembagian orang tua masih hidup, anak yang menjadi Tunggu
Tubang diberitahu bahwasanya ia menjadi anak Tunggu Tubang dan hal apa
saja yang menjadi kewajibannya sebagai anak Tunggu Tubang tersebut. Dan
ketika orang tua telah wafat maka ia (anak Tunggu Tubang) yang mengambil
alih semua tanggung jawab dari kedua orang tuanya.89
Dari hasil wawancara pribadi penulis dengan Tokoh adat (Asy’ari) dan
pelaku Tunggu Tubang (Sukmawati) dipahami bahwasannya memang
pelaksanaan pembagian waris Tunggu Tubang dapat dilakukan sebelum dan
sesudah orang tuanya meninggal.
88
Hasil wawancara pribadi dengan Tokoh Adat Semende Drs. H. Asy’ari, di Waydadi, 20
April 2017. 89
Hasil wawancara pribadi dengan elemen masyarakat Suku Semende Uliana Ma’mur, di
Waydadi, 21 April 2017.
52
Dalam penerimaan warisan harta Tunggu Tubang pada masyarakat
Semende di Waydadi ditemukan informasi bahwasannya, yang berhak
menerima warisan Tunggu Tubang adalah anak yang perempuan tertua. Dan
jika dalam suatu keluarga tidak ada anak perempuan maka solusi yang diambil
adalah melakukan musyawarah keluarga dan menanyakan kepada anak laki-
laki yang lebih tua dulu, apakah istri mereka sanggup (jika ia sudah
berkeluarga) untuk menjalankan kewajibannya sebagai anak Tunggu Tubang.
Jika istri dan anak laki-laki tersebut tidak sanggup, maka orang tua akan
menanyakan kepada saudara-saudara yang laik tujuannya, agar harta Tunggu
Tubang yang menjadi harta pusaka dari nenek moyang ini tidak hilang begitu
saja.90
Asy’ari sebagai tokoh Adat masyarakat Semende di Kelurahan
Waydadi pun menegaskan dan membenarkan bahwasannya memang benar
jika tidak ada anak perempuan dalam keluarga tersebut harus dilakukan
musyawarah keluarga untuk menentukan siapa yang berhak menduduki
jabatan sebagai Tunggu Tubang.91
Cara pelaksanaan warisan Tunggu Tubang pada masyarakat Semende
di Waydadi ini dilakukan secara turun temurun, sehingga harta Tunggu
Tubang akan jatuh secara otomatis kepada anak perempuan yang tertua di
dalam keluarganya.92
Karena, memang dari dulu tidak ada tata cara
90
Hasil wawancara pribadi dengan pelaku Tunggu Tubang Rusmianah, di Waydadi, 20
April 2017. 91
Hasil wawancara pribadi dengan Tokoh Adat Semende Drs. H. Asy’ari, di Waydadi, 20
April 2017. 92
Hasil wawancara pribadi dengan elemen masyarakat Suku Semende Andri Suhendri, di
Waydadi, 21 April 2017.
53
pelaksanaan seperti upacara dan lain sebagainya. Sifat dari pelaksanaan
Tunggu Tubang ini, akan secara otomatis jatuh kepada anak perempuan tertua
dan pertama dalam keluarga terus sampai keturunan-keturunan berikutnya.93
Dahulu anak yang berkedudukan sebagai Tunggu Tubang tidak boleh
pergi merantau dan pendidikan anak Tunggu Tubang menjadi terbatas. Karena
menurut pemikiran masyarakat dahulu, ketika anak Tunggu Tubang merantau
dan mendapat kenyaman di tempat barunya ditakutkan mereka tidak mau
menjalankan kewajibannya sebagai Tunggu Tubang. Namun saat ini kebiasaan
tersebut sudah tidak diterapkan lagi karena perkembangan pola pikir
masyarakat yang mulai beranggapan bahwa kebiasaan seperti itu membatasi
ruang gerak anak Tunggu Tubang yang ingin merantau dan mencari ilmu baik
untuk kemanjuan pendidikan maupun kemajuan ekonomi.94
Prinsip dari orang Semende ketika mereka merantau mereka harus
memiliki rumah, tanah, dan sawah karena harta tersebut bisa dijadikan harta
Tunggu Tubang yang baru untuk keturunan mereka dan agar adat yang
merupakan warisan dari nenek moyang tidak hilang begitu saja. Walaupun
demikian, tidak semua masyarakat Semende yang merantau ke daerah
Waydadi menerapkan sistem adat tersebut.95
Sebagian masyarakat Semende di
Kelurahan Waydadi ini ternyata tidak lagi menerapkan sistem waris adat
Tunggu Tubang.
93
Hasil wawancara pribadi dengan tokoh agama dan ketua masyarakat Adat Semende Drs.
H. Darmi Ujang. Waydadi, 19 April 2017. 94
Hasil wawancara pribadi dengan elemen masyarakat Suku Semende Uliana Ma’mur, di
Waydadi, 21 April 2017. 95
Hasil wawancara pribadi dengan pelaku Tunggu Tubang Jumirawati, di Waydadi, 20
April 2017.
54
Dari hasil wawancara pribadi penulis dengan Uliana Makmur dan
Jumirawati diketahui bahwa sebagian masyarakat Semende yang merantau ke
Waydadi yang tidak lagi menerapkan sistem adat Tunggu Tubang bukan
berarti ingin melupakan warisan dari nenek moyang mereka, tetapi karena
pernikahan pasangan mereka dengan beda suku,96
sehingga ada kesepakatan
suami istri yang berbeda suku tersebut untuk tidak menerapkan adat mereka
masing-masing. Jadi, masyarakat Semende yang merantau dan menikah
dengan pasangan yang beda suku biasanya yang tidak menerapkan pembagian
waris adat Tunggu Tubang.97
Sedangkan, masyarakat Semende yang merantau
ke Waydadi dan menikah dengan sesama Suku Semende, mereka masih
menerapkan sistem Tunggu Tubang yang merupakan warisan nenek moyang
mereka tersebut.98
B. Analisis terhadap Pelaksanaan Kewarisan Adat Tunggu Tubang di
Daerah Perantauan
Bentuk pelaksanaan dan pembagian harta warisan Tunggu Tubang
pada Suku Semende di perantauan merupakan cara yang memiliki sistem dan
gaya tersendiri. Dimana hukum adat waris Tunggu Tubang ini memuat
peraturan-peraturan yang mengatur proses penerusan serta pengalihan harta
96
Hasil wawancara pribadi dengan elemen masyarakat Suku Semende Uliana Ma’mur, di
Waydadi, 21 April 2017. 97
Hasil wawancara pribadi dengan pelaku Tunggu Tubang Jumirawati, di Waydadi, 20
April 2017. 98
Hasil wawancara pribadi dengan tokoh agama dan ketua masyarakt Adat Semende Drs.
H. Darmi Ujang. Waydadi, 19 April 2017.
55
benda dari generasi manusia kepada keturunannya. Proses tersebut mulai dari
orang tua kepada anaknya.
Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat Semende yang
merantau di Kelurahan Waydadi, sebagaimana yang dijelaskan pada sub bab
A terdahulu dipahami bahwasannya Suku Semende yang sudah merantau pun
tetap mempertahankan sistem kewarisan mayorat perempuan, di mana harta
Tunggu Tubang dari peninggalan orang tuanya diberikan kepada anak
perempuan yang pertama. Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh tokoh
Adat Asy’ari bahwa yang berhak menerima harta Tunggu Tubang adalah anak
perempuan pertama dalam keluarganya. Lebih lanjut, beliau menjelaskan
bahwa pelaksanaan pembagian harta Tunggu Tubang itu terjadi secara turun
temurun yang otomatis jatuh kepada anak perempuan pertama yang dapat
dilaksanakan sebelum dan sesudah orang tuanya meninggal, sekalipun anak
perempuan tersebut anak terakhir namun sifatnya ia anak perempuan pertama
dalam keluarganya.99
Akan tetapi, anak perempuan tertua yang menjadi Tunggu Tubang
hanya berhak memelihara dan menikmati hasilnya saja, tidak berhak untuk
menjualnya.100
Karena dalam proses pemeliharaan harta Tunggu Tubang di
perantauan, ia diawasi oleh anak laki-laki yang tertua atau meraje anak
belai.101
Tugas anak laki-laki tertua dari harta Tunggu Tubang di perantaun ini
99
Hasil wawancara pribadi dengan Tokoh Adat Semende Drs. H. Asy’ari, di Waydadi, 20
April 2017.
100
Hasil wawancara pribadi dengan tokoh agama dan ketua masyarakat Adat Semende Drs.
H. Darmi Ujang. Waydadi, 19 April 2017. 101
Meraje anak belai adalah istilah bahasa Semende yang artinya anak laki-laki yang tertua
di dalam keluarga.
56
adalah melindungi, mengawasi serta mempertahankan harta tungguan tersebut.
Ketika ada yang ingin merebut atau merampas harta Tunggu Tubang tersebut
ia (meraje anak belai) yang wajib mempertahankan dan melakukan yang
terbaik agar harta tersebut tetap terjaga.102
Hal seperti ini diungkapkan juga
oleh Bapak Asy’ari selaku tokoh adat masyarakat Semende.103
Suku Semende yang diperantaun tidak mengatur tentang sanksi atau
hukuman bagi ahli waris yang menjual harta pusaka dari nenek moyang
mereka. Apabila terjadi penjualan atau penggadaian harta dari harta pusaka
oleh anak Tunggu Tubang, maka tidak ada hukum adat yang diterima olehnya,
tetapi ia mendapat tuntutan dari saudara-saudaranya yang lain dan hidupnya
tidak tentram dan masyarakat Semende meyakini bahwa dia ( anak Tunggu
Tubang) itu akan sering mendapatkan musibah. Karena pada prinsipnya harta
Tunggu Tubang itu milik bersama setiap individu.104
Walaupun tidak diatur tentang cara pelaksanaannya secara rinci,
namun pembagian harta Tunggu Tubang pada masyarakat Semende di
perantauan dapat dilakukan ketika orang tua pewaris sebelum meninggal atau
juga setelah meninggal dunia.
Berdasarkan data hasil wawancara penulis dengan Drs. H. Asy’ari
sebagai Ketua Adat atau sesepuh masyarakat Semende di daerah rantauan,
102
Hasil wawancara pribadi dengan elemen masayarakat Suku Semende Andri Suhendri.
Waydadi, 21 April 2017. 103
Hasil wawancara pribadi dengan tokoh Adat Semende Drs. H. Asy’ari , di Waydadi, 20
April 2017. 104
Hasil wawancara pribadi dengan pelaku elemen masyarakat Suku Semende Uliana
Ma’mur, di Waydadi, 21 April 2017.
57
khususnya di Waydadi bahwasanya pembagian harta Tunggu Tubang di
perantauan bisa dikelompokkan menjadi dua bagian:
1. Ketika pewaris masih hidup, di mana harta warisannya dapat diberikan
kepada anaknya, yaitu anak perempuan tertua (Tunggu Tubang) yang
biasanya dilakukan setelah anaknya melangsungkan pernikahan atau
memasuki umur dewasa, dan dialah yang berhak melanjutkan dan
meneruskan harta kekayaan dari orang tuanya yang berasal dari harta turun-
temurun itu. Ketika, orang tua masih hidup dan ahli waris yang menduduki
peran sebagai Tunggu Tubang memerlukan sesuatu atau hal yang berkaitan
tentang harta Tunggu Tubang itu, ia harus minta persetujuan terlebih
dahulu kepada orang tuanya, walaupun harta Tunggu Tubang telah
berpindah tangan kepada dirinya.
2. Setelah orang tuanya meninggal. Hak anak Tunggu Tubang di perantauan,
dalam hal harta ketika orang tuanya meninggal adalah memelihara,
menjaga dan mengambil manfaat dari harta tersebut. Pemeliharaan harta
Tunggu Tubang di perantaun ini boleh diwakilkan kepada orang lain.105
Dan kewajiban anak Tunggu Tubang setelah orang tuanya meninggal ia
mengambil alih semua tanggung jawab orang tuanya dan mengurusi
saudara-saudaranya sampai menikah.106
Walaupun semua masyarakat Semende yang berada di Kelurahan
Waydadi 100% beragama Islam, namun dalam pembagian warisan mereka
tidak berdasarkan sebagaimana yang telah diatur di dalam Al-Qur’an surat
105
Hasil wawancara pribadi dengan Tokoh Adat Semende Drs. H. Asy’ari, di Waydadi, 20
April 2017. 106
Hasil wawancara pribadi pelaku Tunggu Tubang Jumirawati, di Waydadi, 20 April 2017.
58
an-Nisa’ ayat 11, 12 dan ayat 176.107
Alasan mereka tersebut bertujuan
agar harta Tunggu Tubang selalu dijaga keutuhannya, kelestarian dan
kemaslahatan untuk saudara-saudaranya dan ahli waris yang akan datang.
Ini yang menjadi alasan Suku Semende untuk tidak membagikan harta
Tunggu Tubang. Karena, jika harta Tunggu Tubang itu dibagikan ke setiap
ahli waris, otomatis ahli waris dapat menjual harta itu kepada siapa saja
karena sudah menjadi milik sepenuhnya. Sehingga harta warisan Tunggu
Tubang tersebut untuk masa akan datang dapat berkurang dan bisa jadi
habis karena dijual oleh ahli waris generasi pertama dan tidak ada lagi
benda pusaka warisan dari nenek moyang.108
Argumentasi bahwa harta Tunggu Tubang tidak dapat dibagikan
kepada setiap individu ini sesuai dengan surat an-Nisa’ ayat 9
Artinya: Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang
sekiranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka
yang mereka khawatir terhadap kesejahteraannya. Oleh sebeb itu,
hendaklah mereka bertakwa kepada Allah, dan hendaklah mereka berbicara
dengan tutur kata yang benar.
107
Intisari dari al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 11 , ayat 12 dan ayat 176 adalah bahwa laki-
laki memperoleh bagian lebih banyak atau dua kali lipat dari yang diperoleh oleh anak perempuan.
Dan ditinjau dari segi jumlah yang diperoleh saat menerima hak, memang terdapat ketidaksamaan.
Akan tetapi, hal tersebut bukan tidak adil karena, keadilan dalam pandangan Islam tidak hanya
diukur dengan jumlah yang didapat saat menerima hak waris tetapi juga dikaitkan kepada
kegunaan dan kebutuhan. Secara umum, dapat dikatakan pria membutuhkan lebih banyak materi
dibandingkan wanita. Hal tersebut karena pria dalam ajaran Islam memikul kewajiban ganda yaitu
untuk dirinya sendiri dan terhadap keluarganya termasuk para wanita. 108
Hasil wawancara pribadi dengan pelaku Tunggu Tubang Hj. Sukmawati, M.Pd, di
Waydadi, 19 April 2017.
59
Dalam tafsir An-Nukat wa Al-‘Uyun Ibnu Abi Hatim dan Al Mawardi
dari buku Tafsir As-Saidi bahwa yang dimaksud dengan firman Allah
tersebut adalah seseorang yang akan meninggal dunia, sementara dia
memiliki beberapa anak yang masih kecil-kecil, yang dikhawatirkan akan
menjadi gembel dan terlantar, serta dikhawatirkan orang yang mengurus
mereka tidak akan berbuat baik kepada mereka. Allah berfirman,
”Sesungguhnya wali keturunannya itu memiliki tanggung jawab yang lebih
besar daripada wali anak-anak yatim. Wali keturunannya itu harus berbuat
baik kepada mereka, tidak boleh memakan harta mereka lebih dari batas
kepanutan, dan tidak boleh pula tergesa-gesa membelanjakan hartanya
sebelum mereka dewasa.” Hendaklah dia berkata kepada Allah dan
mengatakan perkataan yang benar.109
Pendapat yang sama yang di sampaikan oleh Abu Ja’far, ia
berpendapat bahwa tafsir dari surah an-Nisa’ ayat 9 ini adalah, “ Hendaklah
takut kepada Allah orang-orang yang seandainya mereka meninggalkan di
belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatirkan anak-
anak itu akan terlantar bila mereka membagikan harta semasa hidup, atau
membagikannya sebagi wasiat dari mereka kepada keluarga mereka, anak-
anak yatim, dan orang-orang miskin. Oleh karena itu mereka menyimpan
harta mereka untuk anak-anak mereka, karena mereka takut anak-anak
mereka akan terlantar sepeninggalan mereka, di samping karena kondisi
109
Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di, Tafsir As-Sa’di, (Jakarta: Pustaka Sahifa,
2007), h. 522.
60
anak-anak mereka itu memang lemah dan tidak mampu memenuhi
tuntutan.110
Ketentuan tersebut yang menjadi dasar dan alasan orang Semende
tidak menerapkan ketentuan hukum kewarisan Islam secara sepenuhnya,
menurut Hukum Kewarisan Islam anak laki-laki mendapatkan 2x lipat harta
dari anak perempuan (2:1) , karena memang berbeda ketentuan kewarisan
Tunggu Tubang adat Semende dengan kewarisan hukum Islam. Tradisi
kewarisan Tunggu Tubang ini sudah lama terjadi secara turun-temurun dan
sudah dilakukan sejak nenek moyang terdahulu dan menurut orang
Semende ini tidak menyalahi ketentuan syari’at Islam karena hal ini sudah
menjadi naluri adat orang Semende agar selalu terjaga harta keluarga
mereka dan sistem kekeluargaanya.111
Dapat kita pahami, bahwa dalam ayat di atas kita diperintahkan untuk
bersikap mengatisipasi untuk menjaga harta agar anak keturunan kita tidak
dalam kesulitan, kekurangan dan kemiskinan ketika orang tuanya
meninggal dunia. Demikian juga praktik adat Tunggu Tubang yang masih
diterapkan oleh masyarakat Semende di perantauan yang bertujuan untuk
menjaga dan memelihara anak keturunan mereka untuk masa yang akan
datang.
Kemudian hal ini senada dengan Hadist Nabi yang diriwayatkan dari
Sa’d bin Waqqash menurut riwayat al-Bukhariy
110
Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di, Tafsir As-Sa’di, h. 524. 111
Hasil wawancara pribadi dengan tokoh agama dan ketua masyarakat Adat Semende Drs.
H. Darmi Ujang, di Waydadi, 19 April 2017.
61
“Dari Sa’d bin Waqqash berkata: “ Saya pernah sakit di Makkah,
sakit yang membawa kematian. Saya dikunjungi oleh Nabi SAW.
Saya berkata kepada Nabi: “Ya Rasul Allah, saya memiliki harta yang
banyak, ada ada yang akan mewarisi harta kecuali anak perempuan,
bolehkah saya sedekahkan dua pertiganya?. “Jawab Nabi: “Tidak”.
“Saya berkata lagi: “Bagaimana kalau separuhnya ya Rasul Allah?”
jawab Nabi: “Tidak”. “Saya berkata lagi: “sepertiga?” Nabi berkata:
“Sepertiga itu sudah banyak. Sesungguhnya bila kamu meninggalkan
keluargamu berkecukupan lebih baik dari meninggalkannya
berkekurangan, sampai-sampai meminta kepada orang”.”
Begitu juga jika dilihat dari konsep Maqashid Syariah, menurut Imam
Al-Syaatibi dalam kitabnya al-Muwaafaqaat fi Ushuul as-Syari’ah bahwa
tujuan pokok disyariatkannya Hukum Islam adalah untuk menjaga,
melindungi dan kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat.112
Adapun
lima dari maqashid Syariah diantaranya:
1. Perlindungan terhadap agama (Hifdz Ad-Din).
2. Perlindungan terhadap jiwa (Hifdz An-Nafs).
3. Perlindungan terhadap akal (Hifdz Al-‘Aql).
4. Perlindungan terhadap keturunan (Hifdz An-Nasb).
5. Perlindungan terhadap harta (Hifdz Al-Maal).
112
Alaiddin Koto, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2011), cet. 4, h.
121.
62
Dari lima Maqasshid Syariah yang telah disebutkan di atas ada yang
berada pada tingkatan kebutuhan yang dharuriyat, hajiyat dan tahsiniyah.
Kebutuhan yang dharuriyat adalah segala hal yang menjadi sendi
eksistensi kehidupan manusia yang harus ada demi kemaslahatan mereka.
Hal ini tersimpul kepada lima sendi utama diantaranya agama, nyawa atau
jiwa, akal, keturunan dan harta. Bila sendi itu tidak ada atau tidak
terpelihara secara baik, maka kehidupan manusia akan kacau, kemaslahatan
tidak terwujud, baik di dunia maupun di akhirat.113
Kebutuhan hajiyat adalah segala sesuatu yang sangat dihajatkan oleh
manusia untuk menghilangkan kesulitan dan menolak segala halangan.
Prinsip utama dalam hajiyat adalah untuk menghilangkan kesulitan,
meringankan beban taklif114
dan memudahkan urusan mereka. Contohnya,
diperbolehkannya seseorang tidak berpuasa dalam bulan Ramadhan karena
ia dalam berpergian atau sakit.115
Kebutuhan tahsiniyah adalah tindakan atau sifat-sifat yang pada
prinsipnya berhubungan dengan al-Makarim al-Akhlaq, serta pemeliharaan
tindakan-tindakan utama dalam bidang ibadah, adat dan muamalah.
Artinya, ketika aspek ini tidak terwujud, maka kehidupan manusia manusia
tidak akan terancam kekacauan, seperti kebutuhan dharuriyat dan
hajiyat.116
113
Alaiddin Koto, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, h. 122. 114
Taklif adalah hukum atau ketentuan dari Allah kepada seorang mukallaf (orang yang
sudah baligh untuk melaksanakan atau meninggalkan suatu perbuatan. 115
Alaiddin Koto, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, h. 123. 116
Alaiddin Koto, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, h. 125.
63
Berkaitan dengan penelitian skripsi ini, maka praktik adat Tunggu
Tubang pada masyarakat Semende di perantauan yang tidak memberikan
harta Tunggu Tubang kepada ahli waris secara individu, tetapi diberikan
kepada anak perempuan yang tertua adalah dalam rangka untuk menjaga
harta dan keturunan agar harta tersebut tetap terpelihara secara baik dan
untuk menjaga kemaslahatan keturunan yang akan datang dan praktik adat
Tunggu Tubang ini ada pada peringkat kebutuhan yang tahsiniyah.
Selanjutnya, dilihat dari segi diterapkannya atau tidak diterapkan
sistem adat Tunggu Tubang di daerah perantauan, dapat dibagi menjadi dua
kelompok:
1. Kelompok masyarakat Semende perantauan yang menikah dengan
pasangan dari satu suku sesama orang Semende, mereka masih
menerapkan adat Tunggu Tubang meski sudah merantau jauh dari
daerah asalnya.
2. Kelompok masyarakat Semende perantauan yang menikah dengan
pasangan dari luar Suku Semende, mereka tidak menerapkan adat
Tunggu Tubang.
Kelompok masyarakat Semende perantauan yang menikah dengan
pasangan dari satu suku dan masih menerapkan sistem Tunggu Tubang ini,
mereka berpendapat bahwa sistem waris adat Tunggu Tubang merupakan
warisan dari nenek moyang yang sudah mendarah daging pada masyarakat
Suku Semende di perantauan dan suatu adat yang memang harus
64
dilestarikan. Karena, pembagian harta Tunggu Tubang ini merupakan pusat
jala, di mana anak Tunggu Tubang itu dapat menghimpun seluruh keluarga
yang jauh maupun keluarga yang dekat agar kembali bersatu dalam jala
tersebut. Memang, masyarakat Semende di perantauan tidak menerapkan
secara utuh aturan Tunggu Tubang ini, yang mana dulu anak Tunggu
Tubang tidak boleh merantau tetapi sekarang mereka boleh merantau
kemana saja.117
Hal ini juga dibenarkan oleh ketua adat Semende di perantauan, Drs.
H. Asy’ari, ia berpendapat bahwa memang tidak ada yang berbeda tentang
pelaksanaan Tunggu Tubang ini. Walaupun mereka sudah tinggal di daerah
perantauan yang bukan mayoritas suku mereka. Hanya saja, terdapat
transformasi kebiasaan dari Suku Semende yang dulunya tidak
membolehkan anak Tunggu Tubang merantau pergi meninggalkan harta
Tunggu Tubang tersebut, tetapi sekarang boleh merantau asalkan
kedudukan sebagai anak Tunggu Tubang tetap harus dilaksanakan.118
Sama halnya hasil wawancara penulis dengan ibu Sukmawati yang
menjadi anak Tunggu Tubang dan beliau menerapkan sistem adat Tunggu
Tubang tetapi tidak secara utuh. Yang mana dahulu anak yang
berkedudukan sebagai Tunggu Tubang tidak boleh pergi dari tanah
tungguan tetapi beliau akan menerapkan sistem adat tersebut kepada
anaknya yang akan menjadi anak Tunggu Tubang dan beliau
membolehkannya pergi merantau. Alasannya, karena dengan
117
Hasil wawancara pribadi dengan pelaku Tunggu Tubang Hj. Sukmawati, M.Pd, di
Waydadi, 19 April 2017. 118
Hasil wawancara pribadi dengan Tokoh Adat Semende Drs. H. Asy’ari, di Waydadi, 20
April 2017.
65
memperbolehkan anak Tunggu Tubang merantau, berarti itu tidak
membatasi ruang gerak dan lingkup anak tersebut. Menurut beliau,
kemajuan teknologi dan pola pikir masyarakat juga yang sudah mengubah
Suku Semende di perantauan tidak menerapkan lagi secara utuh adat
Tunggu Tubang tersebut.119
Adapun alasan kelompok yang tidak menerapkan adat Tunggu
Tubang disebabkan karena menikah dengan pasangannya yang berasal dari
beda suku. Banyak di antara mereka yang tidak mengetahui kebiasaan adat
satu sama yang lain. Bukan mereka tidak ingin menjalankan adat mereka,
tetapi adanya saling menghargai antara satu dengan yang lain. Walaupun
ia (anak Tunggu Tubang) yang menikah dengan beda suku dan tidak
menerapkan sistem adat tersebut karena, adanya kesepakatan antara kedua
belah pihak untuk tidak dominan kepada salah satu adat yang mereka anut.
Wawancara penulis dengan dua orang masyarakat Semende yang
melakukan pembagian harta waris, memang pernikahan yang beda suku
menyebabkan mereka tidak menerapkan pembagian harta waris Tunggu
Tubang, terlebih karena mereka ikut dengan suami mereka.120
Dimana
antara kedua belah pasangan tidak mengetahui dan menjalankan adat
pasangan mereka masing-masing. Dimana terjadinya kesepakatan untuk
119
Hasil wawancara pribadi dengan pelaku Tunggu Tubng Rusmianah, di Waydadi, 20
April 2017. 120
Hasil wawancara pribadi dengan elemen masyarakat Semende Uliana Ma’mur, di
Waydadi, 21 April 2017.
66
tidak menerapkan adat mereka demi terjaminya keutuhan keluarga
mereka.121
Solusi yang ditempuh masyarakat Suku Semende perantauan ketika
anak yang berperan sebagai Tunggu Tubang, itu menikah dengan orang
yang berasal dari beda suku dan mereka tidak menyanggupi kewajiban
sebagai Tunggu Tubang adalah adanya musyawarah keluarga yang
bertujuan untuk menentukan siapa yang akan menjadi anak Tunggu
Tubang, agar harta Tunggu Tubang tetap terjaga sampai kapanpun. Ini
merupakan pengakuan wawancara dari ibu Jumirawati yang ia menduduki
sebagai anak Tunggu Tubang akan tetapi ia tidak menyanggupi untuk
melaksanakan adat ini.122
Pernikahan dengan orang yang berbeda suku memang menyebabkan
mereka jarang menerapkan adat Tunggu Tubang. Ini merupakan salah satu
faktor adat Tunggu Tubang tidak diterapkan di perantauan. Kesepatan
antara suami istri untuk tidak menjalankan adat kebiasaan dari suku mereka
masing-masing agar terjalaninnya komunikasi yang baik dan untuk
menjaga keutuhan dari keluarga mereka. Karena jika mereka memang
mengakui diri mereka sebagai orang Semende mereka akan menjalankan
adat tersebut yang sudah mendarah daging setiap orang Semende
diperantauan.123
121
Hasil wawancara pribadi dengan adat Tunggu Tubang Jumirawati, di Waydadi, 20 April
2017. 122
Hasil wawancara pribadi dengan pelaku adat Tunggu Tubang Jumirawati, di Waydadi,
20 April 2017. 123
Hasil wawancara pribadi dengan Tokoh adat Drs. H. Asy’ari, di Waydadi, 20 April
2017.
67
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan kewarisan
adat Tunggu Tubang masih tetap diterapkan walaupun mereka sudah
berada di tanah perantauan, hanya saja ada perubahan (modifikasi) dalam
bagian- bagian tertentu. Di mana dulu anak yang menduduki posisi sebagai
Tunggu Tubang tidak boleh merantau dan harus mengurusi secara langsung
harta Tunggu Tubang tersebut, akan tetapi sekarang mereka boleh
merantau dan pemeliharaan harta Tunggu Tubang boleh diwakilkan dalam
asalkan mereka (Anak Tunggu Tubang) harus selalu siap kapan saja jika
suatu waktu dibutuhkan menyangkut harta tungguan tersebut.
Dalam pandangan sosiologi hukum, bahwa hukum pada awalnya lahir
dari nilai yang ingin dipertahankan oleh masyarakat (nilai yang baik) atau
nilai yang tidak diinginkan.124
Persoalan hukum bukanlah realitas pasal-
pasal dalam peraturan perundang-undangan melainkan hubungan yang
sinergis dalam interaksi sosial sehari-hari di masyarakat.125
Dalam kontruksi keilmuaan sosiologi hukum, secara umum, diketahui
bahwa interaksi sosial yang terjadi dalam masyarakat dapat mengubah dan
mempengaruhi pola pikir untuk menyiapkan diri secara utuh agar dapat
menguatkan atau menjatuhkan teori yang kemudian dapat menghasilkan
teori-teori baru.126
Dengan demikian, terbuktilah bahwa perubahan
komunitas interaksi sosial suatu masyarakat dapat mempengaruhi pola pikir
dan juga pola sikap masyarakat Semende di perantauan.
124
Rianto Adi, Sosiologi Hukum kajian Hukum secara Sosiologis, (Jakarta: Yayasan
Pustaka Obor Indonesia, 2012) cet. 1, h.11. 125
Saifullah, Refleksi Sosiologi Hukum, (Bandung: PT Refika Aditama, 2007) cet. 1, h.6. 126
Saifullah, Refleksi Sosiologi Hukum, h.7.
68
C. Persamaan dan Perbedaan Praktik Adat Tunggu Tubang Suku Semende
di Daerah Asal dan di Daerah Perantauan
Berdasarkan penjelasan dari bab-bab yang sebelumnya tentang
pelaksanaan praktik pembagian adat Tunggu Tubang diketahui bahwasannya
persamaan dan perbedaan pelaksanaan yang dilaksanakan di daerah asal dan
di perantauan dapat kita kelompokkan menjadi empat bagian:
1. Waktu pelaksanaan pembagian
Waktu pelaksanaan tentang pembagian harta Tunggu Tubang yang
dilakukan di daerah asal dengan di perantauan sama saja. Tidak terjadi
perbedaan, dimana harta Tunggu Tubang dapat dibagikan sebelum orang
tua meninggal (pewaris) dan setelah orang tuanya meninggal yang
dibagikan otomatis peralihan harta itu kepada anak perempuan pertama
atau tertua secara turun temurun.
Dari hasil wawancara yang penulis lakukan dengan beberapa elemen
masyarakat Semende di perantauan dan juga wawancara dengan tokoh adat,
mengenai pelaksanaan dan cara pembagian harta Tunggu Tubang tersebut
tidak diatur secara rinci mengenai proses peralihan tersebut. Karena, harta
Tunggu Tubang diberikan secara otomatis kepada anak perempuan tertua
dari turun temurun.
2. Penerimaan sebagai anak Tunggu Tubang
Penerimaan harta Tunggu Tubang pada masyarakat Semende di daerah
asal dan juga di daerah perantauan adalah sama-sama tetap diberikan
kepada anak perempuan yang pertama dan tertua. Walaupun dia di
69
keluarganya anak terakhir, namun pada dasarnya didalam keluarganya dia
lah yang menempati sebagai anak Tunggu Tubang karena kedudukannya
sebagai anak perempuan yang pertama dan tertua.
Masyarakat Semende daerah asal dan juga daerah perantauan sama-
sama menganut sistem kewarisan mayorat di mana harta peninggalan dari
pewaris diwariskan atau sebagian besar kepada anak perempuan. Di daerah
asal dan di perantauan mengenai siapa yang berhak menerima harta Tunggu
Tubang yaitu tetap jatuh kepada anak perempuan yang pertama dan tertua
di mana tidak terdapat perbedaan mengenai siapa yang dapat dikatakan
sebagai anak Tunggu Tubang.
Wawancara yang penulis lakukan dengan bapak Asy’ari dan bapak
Darmi Ujang pun mengatakan memang yang dapat dikatakan sebagai anak
Tunggu Tubang adalah dia (anak perempuan) yang pertama meskipun di
dalam keluarganya ia sebagai anak terakhir atau kedua dan ketiga tetapi
yang pertama anak laki-laki, maka yang dapat dikatakan sebagai anak
Tunggu Tubang tetap jatuh ke anak perempuan yang kedua atau ketiga tadi
karena dialah anak perempuan yang pertama dan tertua dalam keluarga
itu.127
Tetapi, ketika di dalam keluarganya hanya ada anak laki-laki semua
dan tidak ada anak perempuan, maka jalan yang ditempuh oleh Suku
Semende di daerah asal dan juga di daerah perantauan adalah dengan jalan
musyawarah keluarga. Ketika semua anak laki-laki dari keluarga sudah
127
Hasil wawancara pribadi dengan Tokoh Adat Semende Drs. H. Asy’ari dan Drs.
H.Darmi Ujang, di Waydadi, 19 dan 20 April 2017.
70
menikah, maka para istri dari anak laki-laki tersebut ditanya sanggup atau
tidak jika harta Tunggu Tubang yang merupakan warisan nenek moyang
yang turun temurun ini diberikan kepadanya. Dengan syarat ia harus
menyanggupi beban keluarga dan tanggung jawabnya sebagai anak Tunggu
Tubang. Hal ini sama halnya dilakukan oleh Suku Semende pada saat anak
Tunggu Tubang tidak sanggup menjadi anak Tunggu Tubang.128
3. Harta Tunggu Tubang
Harta pusaka yang menjadi harta Tunggu Tubang pada masyarakat
Semende baik yang di daerah asal, maupun yang di daerah perantauan
adalah rumah, sawah dan tanah. Dari zaman nenek moyang Suku Semende
yang dahulu menjadi harta Tunggu Tubang sampai sekarang masyarakat
Semende berada di perantauan masih sama dengan yang di daerah asalnya
yaitu rumah, sawah dan tanah.129
Tetapi, mengenai harta yang bukan menjadi harta Tunggu Tubang
biasanya setiap pewaris pada masyarakat Semende baik di daerah asal
maupun di daerah rantau adalah sama- sama dibagi rata kepada ahli
warisnya masing-masing, namun harta pusaka tetap tidak dapat dibagikan
sampai kapapun. Dari wawancara yang yang penulis lakukan dengan tokoh
adat dan elemen masyarakat Semende diketahui bahwa, harta yang bukan
menjadi harta Tunggu Tubang dibagikan secara rata, namun pembagiaan
harta ini melihat kondisi anak mereka masing-masing. Jika anak yang
menjadi anak Tunggu Tubang kebutuhannya sudah tercukupi atau lebih
dari saudara-saudaranya, maka biasanya saudara-saudaranya lebih besar
128
Hasil wawancara pribadi dengan Tokoh Adat Semende Drs. H. Asy’ari. Waydadi, 20
April 2017. 129
Hasil wawancara pribadi dengan tokoh agama dan ketua masyarakat Adat Semende Drs.
H. Darmi Ujang. Waydadi, 19 April 2017.
71
bagiannya dari harta yang ditinggalkan dibanding anak Tunggu Tubang itu
sendiri.
Hanya saja ada satu prinsip dari masyarakat Suku Semende yang
berada di perantauan ini yang patut dicatat bahwa ketika mereka merantau
mereka harus memiliki rumah, sawah dan tanah agar dapat dijadikan
sebagai harta Tunggu Tubang yang baru supaya warisan turun temurun dari
nenek moyang tidak hilang begitu saja.130
4. Hak dan kewajiban anak Tunggu Tubang
Hak dari anak Tunggu Tubang di daerah asalnya yaitu dia (anak
Tunggu Tubang) boleh memakai, menempati, memelihara dan mengambil
manfaat dari harta Tunggu Tubang tersebut. Oleh karena itu, anak Tunggu
Tubang tidak berhak untuk menjual harta Tunggu Tubang, karena harta itu
merupakan harta pusaka yang bukan milik pribadi. Dan anak yang menjadi
anak Tunggu Tubang harus tetap tinggal di daerah harta tungguan, tidak
boleh pergi dari tanah harta tungguan tersebut dan harus mengawasi harta
tersebut secara langsung.
Sedangkan bagi masyarakat Semende di perantauan, anak yang
menjadi anak Tunggu Tubang masih sama mendapatkan hak mereka
sebagai anak Tunggu Tubang yaitu mereka boleh memakai, menempati,
memelihara, dan mengambil manfaat dari harta Tunggu Tubang.
130
Hasil wawancara pribadi dengan elemen masyarakat Semende Andri Suhendri, di
Waydadi, 21 April 2017.
72
Kewajiban anak Tunggu Tubang ketika di daerah asal ialah dia harus
secara langsung mengawasi dan menjaga harta tungguan tersebut dan tidak
boleh diwakilkan kepada orang lain. Harus tinggal di daerah tempat harta
pusaka tersebut dan tidak diperbolehkan merantau. Sedangkan di daerah
perantauan anak yang menjadi Tunggu Tubang dalam pemeliharaan harta
Tunggu Tubang ia boleh mewakilkan harta Tunggu Tubang tersebut untuk
dipelihara oleh orang lain, asalkan ketika ada hal yang menyangkut
keluarga atau harta Tunggu Tubang ia harus selalu siap membantunya.
Selain mengawasi secara langsung, kewajiban anak Tunggu Tubang di
daerah asli dan di perantauan, ia harus memikul tanggung jawab penuh
terhadap saudara-saudaranya sama seperti halnyanya yang dilakukan ketika
orang tuanya masih hidup.
Dari uraian tentang persamaan dan perbedaan praktik pelaksanaan adat
Tunggu Tubang di daerah asal dan di daerah perantauan dapat disimpulkan
dengan tabel sebagai berikut:
73
No Adat Tunggu Tubang Persamaan Perbedaan
1 Waktu Pelaksanaan
Pembagian
Daerah
asal
Dibagikan
sebelum dan
sesudah orang
tua meninggal
yang otomatis
jatuh kepada
anak perempuan
pertama secara
turun temurun
x
Daerah
rantau
Dibagikan
sebelum dan
sesudah orang
tua meninggal
yang otomatis
jatuh kepada
anak perempuan
pertama secara
turun temurun
2 Penerimaan harta
Tunggu Tubang
Daerah
Asal
Anak perempuan
pertama dalam
keluarga
X Daerah
Rantau
Anak perempuan
pertama dalam
keluarga
3 Harta Tunggu Tubang Daerah
Asal
Sawah, rumah
dan tanah
X Daerah
Rantau
Sawah, rumah
dan tanah
4 Hak dan Kewajiban
Tunggu Tubang
Daerah
Asal
Boleh memakai,
menempati,
memelihara dan
mengambil
manfaatnya
Kewajibannya
harus
mengawasi
secara
langsung harta
Tunggu
Tubang tidak
boleh
diwakilkan
Daerah
Rantau
Boleh memakai,
menempati,
memelihara dan
mengambil
manfaatnya
Boleh
diwakilkan
dalam
pemeliharaan
harta Tunggu
Tubang
74
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan pada bab-bab sebelumnya, penulis dapat
menyimpulkan sebagai berikut:
1. Bahwasannya pelaksanaan kewarisan adat Tunggu Tubang pada
masyarakat Semende di Waydadi sama seperti pelaksanaan kewarisan
adat Tunggu Tubang di daerah asal. Di mana pelaksanaan kewarisan adat
Tunggu Tubang ini dapat dibagikan sebelum dan sesudah orang tuanya
meninggal sedangkan cara pembagiannya yaitu jatuh secara otomatis
kepada anak perempuan yang tertua pada masyarakat Suku Semende yang
terjadi secara turun temurun. Alasan masih diterapkannya adat Tunggu
Tubang ini karena adat ini merupakan warisan dari nenek moyang dan
adat Tunggu Tubang ini sebagai pusat tempat berkumpulnya semua
keluarga, baik keluarga yang dekat maupun keluarga jauh.
2. Terdapat sejumlah persamaan dan perbedaan waris adat Tunggu Tubang
di daerah asal dengan di daerah perantauan. Peramaannya adalah:
a. Waktu pelaksanaan pembagian waris. Di daerah asal dan di daerah
perantauan, pembagian waris adat Tunggu Tubang sama-sama dapat
dilakukan sebelum ataupun sesudah orang tua meninggal.
b. Anak yang berhak sebagai anak Tunggu Tubang. Di daerah asal
maupun di daerah perantauan, anak yang berhak sebagai anak Tunggu
75
Tubang adalah anak perempuan. Jika tidak ada anak perempuan, maka
anak laki-laki tertua. Jika tidak ada anak, maka diputuskan dengan
jalan musyawarah keluarga besar untuk menetukan siapa yang berhak
menjadi anak Tunggu Tubang.
c. Harta Tunggu Tubang. Di daerah asal maupun di daerah perantauan,
harta yang dapat dijadikan harta Tunggu Tubang adalah sam-sama
rumah, sawah dan tanah.
d. Hak anak Tunggu Tubang. Di daerah asal maupun di daerah
perantauan anak Tunggu Tubang berhak memakai, menempati,
memelihara dan mengambil manfaat dari harta Tunggu Tubang.
Sedangkan perbedaan pelaksanaan adat Tunggu Tubang di daerah asal
dengan di daerah perantauan hanya dalam satu hal saja, yaitu anak
Tunggu Tubang di daerah asal diwajibkan untuk mengurusi secara
langsung harta Tunggu Tubang dan tidak boleh boleh diwakilkan kepada
orang lain. Sedangkan di daerah perantauan, anak Tunggu Tubang
dibolehkan untuk mewakilkan pengolahan harta Tunggu Tubang yang
sudah dia terima itu kepada orang lain.
B. Saran
1. Bagi masyarakat hendaknya tetap melestarikan adat kebudayaan yang
telah mendarah daging pada Suku Semende di perantauan yang merupakan
ciri khas dari adat Semende itu sendiri.
76
2. Bagi mahasiswa fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta agar tertarik membahas tentang Hukum Adat yang ada di
Indonesia, tujuannya untuk menambah wawasan kita mengenai hukum
adat, setelah itu kita bisa melihat dan mengamati adat yang beraneka
macam dengan sisi pandang Hukum Islam maupun Hukum Konvensional
yang ada.
3. Hendaknya dibentuk suatu kompilasi hukum adat yang mengatur tentang
sistem kewarisan Suku Semende untuk suatu kepastian hukum.
77
DAFTAR PUSTAKA
Adi, Rianto. Sosiologi Hukum Kajian Hukum Secara Sosiologi. Jakarta: Yayasan
Pustaka Obor Indonesia, 2012.
Aripin, Jaenal dan Fahmi Muhammad Ahmadi. Metode Penelitian Hukum.
Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010.
Arwin Rio Saputra, dkk. Persepsi Masyarakat Semende terhadap Pembagian
Waris dengan Sistem Tunggu Tubang. Studi kasus di Desa Sukananti Kec.
Way Tenong Kab. Lampung Barat (Jurnal http://publikasi.fisip.
unila.ac.id/2013). Diaskes pada 13 November 2016.
Boku, Nur Cholid dan Abu Achmadi. Metode Penelitian. Jakarta: Bumi Aksara
Pustaka, 1997.
Corbin, Anselm Streauss Julliet. Dasar-dasar Penelitian Kualitatif. Surabaya:
Offse, 1997.
E Guspitawaty. Penyimpangan Sistem Pewarisan yang terjadi pada Masyarakat
Hukum Adat Semende Pulau Beringin Kabupaten Ogan Komering Ulu
Provinsi Sumatera Selatan (Skripsi eprints.undip.ac.id/2002). Diaskes
pada 12 November 2016.
Gultom, Elfrida R. Hukum Waris Adat di Indonesia. Jakarta: Literata, 2010.
HS Dova, dkk. Peranan Tokoh Adat dalam Mempertahankan Adat Tunggu
Tubang pada Masyarkat Semende. (http://jurnal.fkip.unila.ac.id/2016).
Diaskes pada 27 Desember 2017.
H Setiawan, dkk. Upaya Pelestarian Adat Semende di Desa Ulu Danau, Provinsi
Sumatera Selatan. (Journal of Urban Society's Arts. journal.isi.ac.id/2012).
Diaskes pada 20 Febuari 2017.
Irfan, Muhammad Nurul. Nasab dan Status Anak dalam Hukum Islam, cet. 1,
Jakarta: Amzah, 2012.
I Suntoro, dkk. Sikap Masyarakat terhadap Anak Tunggu Tubang di Desa Pulau
Panggung Kecamatan Semende Darat Laut Kabupaten Muara Enim.
(jurnal http://digilib.unila.ac.id/760/2013). Diaskes pada 12 November
2016.
Iskandar, Kedudukan Anak Tunggu Tubang dalam Pewarisan Masyarakat
Semende di Kota Palembang. (Tesis http://eprints. undip.ac.id/
10748/2003). Diaskes pada 20 Desember 2016.
78
Jauhar, Ahmad Al-Mursi Husain. Maqashid Syariah. Jakarta: Amzah, 2009.
Khallaf, Abdul Wahhab. Ilmu Ushul Fiqh. Semarang: Toha Putra Group, 1994.
Koto, Alaiddin. Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh. Jakarta: PT Raja Grafindo, 2011.
Kuncoro, Wahyu. Waris Permasalahan dan Solusinya, cet.10, Jakarta: Raih Asa
Sukses, 2015.
Muhajirin, Neong. Metode Penelitian Kualitatif. Jogjakarta: Pilar Media, 1996.
Ma’mur, Uliana. Tinjauan Hukum Islam atas Adat Perkawinan Semendo. (Skripsi
pada tahun 1981 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta).
Praditama, Muhammad Rendy. Sikap Masyarakat Terhadap Adat Tunggu Tubang
di Desa Pulau Panggung Kecamatan Semende Kabupaten Muara Enim.
Skripsi.
Ra’uf, Thohlon Abd. Jagat Bersemah Lebar Semende Panjang. Palembang:
Pustaka Dzumairoh, 1989.
Rofiq, Ahmad. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Rajawali, 2013.
Saifullah. Refleksi Sosiologi Hukum. Bandung: PT Refika Aditama, 2007.
Singarimbun, Marisa dan Soffian Effendi. Metode Penelitian Survai. Jakarta:
LP3ES, 1989.
Syarifuddin, Amir. Hukum Kewarisan Islam. Jakarta Timur: Prenada Media,
2004.
Setiady, Tolib. Intisari Hukum Adat Indonesia. Bandung: Alfabeta, 2013.
Soekanto, Soejono. Hukum Adat Indonesia, cet. 1, Jakarta: Cv. Rajawali, 1981.
Soekanto, Soerjono dan Soleman b. Taneko. Hukum Adat Indonesia. Jakarta: Cv.
Rajawali, 1986.
Sugiarto, Umar Said. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2013.
Utama, Alip Susilawati. Budaya Politik Perempuan Semende di Kabupaten Ogan
Komering Ulu Selatan. (Tesis diakses pada tahun digilib.unila.ac.id
diakses).
Utsman, Sabian. Dasar-dasar Sosiologi Hukum. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2009.
79
Uwaidah, Muhammad Kamil. Fiqih Wanita Edisi Lengkap, cet. 10, Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, 2011.
Qaradhwi, Yusuf. Fiqih Wanita, cet. 10, Bandung: Penerbit Jabal, 2012.
Wulan, Dwi. Persepsi Masyarakat Semende di Palembang dihubungkan dengan
UUD Nomor 1 Tahun 1974 dan Intruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991
tentang Kompilasi. Skripsi.
Wawancara dengan Tokoh Adat
Nama: Drs.H. Darmi Ujang
Pertanyaan : apakah keluarga disini masih menerapkan sistem adat Tunggu
Tubang?
Jawaban : jelas masih, kan jeme Semende
Pertanyaan : apa yang menjadi alasannya masih menerapkan sistem adat
Tunggu Tubang tersebut?
Jawaban : karena suatu adat yang turun temurun dari adat semende yang
sistemnya matrelinear ibu yang harus kita jaga warisan dari nenek
moyang makanya adat Tunggu Tubang masih diterapkan sampai
sekarang. Adat Tunggu Tubang ini kan menjadi pusat
berkumpulnya semua keluarga karena memang sistem
kekerabatan masyarakat Semende ini sangat erat.
Pertanyaan : mengenai cara pelaksanaan kewarisan adat Tunggu Tubang pada
Suku Semende di daerah ini pak? Apakah memang jatuh secara
otomatis? Atau ada cara dari adat gitu gak pak?
Jawaban : pelaksanaan adat Tunggu Tubang ini memang secara otomatis
jatuh ke anak perempuan tertua, dan apabila terjadi anak
perempuan yang tertua tidak sanggup maka, dari karib kerabat,
saudara-saudara mufakat dialihkan kepada anak perempuan kedua
apabila dia anak perempuan yang kedua sanggup lalu
dimusywarahkan tentang peralihan perpindahan itu yang
dimusyawarahkan.
Pertanyaan : tapi kalau misalkan dari keluarga hanya ada satu anak perempuan,
dan anak perempuan tidak mau melaksanakan kewajibannya
sebagai Tunggu Tubang itu gimana pak?bagaimana cara
pelaksanaan kewarisan adat Tunggu Tubang pada Suku Semende
di daerah ini?
Jawaban : biasanya ditanya dari anak laki-laki itu dilihat dari umur yang
tertua, ditanya dari anak cowok itu siapa yang sanggup jadi anak
Tunggu Tubang.
Pertanyaan : jadi yang ditanya siapa yang sanggup jalanin sebagai anak
Tunggu Tubang itu anak laki-laki atau istri dari anak laki-laki itu
pak?
Jawaban : istrinya ditanya karena dia sudah menjadi bagian keluarga dan
istri dari anak yang pertama. Jadi ketika istrinya menyanggupi
mengenai tanggung jawab Tunggu Tubang berarti dia ikut adat
Semende itu yang biasanya kami sebut dengan Semahde.
Pertanyaan : siapa saja yang dapat disebut dengan sebutan Tunggu Tubang?
Jawaban : anak perempuan yang tua. Dialah sebagai pewaris dari harta
peninggalan orang tuanya. Walaupun misalkan dia anak terakhir
dan gak ada amak perempuan sebelumnya maka dia itulah yang
jadi anak Tunggu Tubang.
Pertanyaan : kapan harta warisan Tunggu Tubang dapat dibagi?
Jawaban : nah harta Tunggu Tubang itu dapat dibagikan sebelum orang tua
meninggal, bisa juga setelah orang tuanya meninggal, kalo itu
mah tergantung setiap keluarga kapan mau dibagikannya harta
Tunggu Tubang itu.
Pertanyaan : dalam pembagian harta warisan, apakah ada perbedaan bagian
antara anak laki-laki dan perempuan?
Jawaban : kalo masalah harta yang bukan harta Tunggu Tubang biasanya
dibagi rata bagi setiap ahli warisnya, cuma diliat dulu keadaan
ekonominya kalo misalkan anak Tunggu Tubang kebutuhan
ekonominya lebih dari saudaranya biasanya dia lebih kecil, dan
memang dari anak Tunggu Tubang biasa mengerti apa yang
dimaksud dari orang tuanya.
Pertanyaan : apakah ada perbedaan pelaksanaan pembagian adat Tunggu
Tubang didaerah asal dengan daerah perantauan? Bagaimana
perbedaan pelaksanaannya?
Jawaban : perbedaan pelaksanaan mengenai adat Tunggu Tubang ini saya
rasa tidak ada yah, memang dari daerah asalnya pembagiannya itu
secara otomatis dari turun temurun, jadi memang tidak ada
bedanya. Memang anak dulu kalo anak Tunggu Tubang itu gak
boleh dia merantau dari daerahnya, hanya boleh di daerah itu saja.
Dan sekarang karena tinggal di daerah perantauan hanya ada
perubahan kebiasaan itu akhirnya anak Tunggu Tubang itu tidak
dibatasi lagi ruang geraknya. Asalkan mereka itu harus selalu
standby kalo dibutuhkan. Makanya ada kan dalam sifat anak
Tunggu Tubang itu harus balau (tombak) jadi kalau dipanggil
atau diperintahkan harus segera melaksanakannya.
Pertanyaan : apakah ada masyarakat disini yang pembagian waris tidak
berdasarkan adat tersebut?
Jawaban : ada pastinya, cuman kalo mereka benar-benar Suku Semende asli
pasti menerapkan adat itu, kan udah mendarah dagng bagi Suku
Semende itu sendiri. Memang, biasanya mereka (Suku Semende)
yang tidak menerapkan adat itu biasanya karena menikah dengan
beda suku. Misalkan istrinya orang Semende suaminya bukan nah
istri itu ikut suaminya jadi gak mungkin dia mau menjalankan
adat itu, tapi biasanya ada kesepakatan sih untuk tidak
menjalankan adatnya yah itu untuk mensejahterahkan keluarga
agar terjalin hubungan yang damai antar keluarga.
Pertanyaan : dengan tinggal di daerah yang berbeda suku bangsa, adakah
sistem waris ini dimodifikasi?
Jawaban : yah itu gada modifikasi tapi hanya ada pergesaran kebiasaan adat
Semende yang dulu anak Tunggu Tubang gak boleh merantau
sekarang boleh.
Pertanyaan : tapi pak, maaf kalau menurut bapak ini pembagian seperti ini
menyalahi aturan yang sudah ditetapkan dalam al-qur’an gak sih
pak?
Jawaban : tidak karena kan tujuan dari adat Tunggu Tubang ini agar terjaga
keutuhan harta pusakanya, untuk kelestarian dan kemaslahatan
saudara-saudaranya dan ahli waris yang akan datang. Ini alasan
kenapa sampai sekarang harta Tunggu Tubang tidak boleh
dibagikan, karena kalo dibagikan nanti bisa saja dari ahli waris
bisa dijual, nanti kalau sudah dijual tidak ada lagi harta
peningglan dari nenek moyang.
Bandar Lampung, 19 April 2017
Narasumber
Wawancara dengan Tokoh Adat
Nama: Asy’ari (66 tahun)
Pertanyaan : Apakah masyarakat disini masih menerapkan sistem adat Tunggu
Tubang?
Jawaban : Sebagian besar masyarakat disini masih menerapkan sistem itu
Pertanyaan : Apa yang menjadi alasan masih menerapkan sistem Tunggu Tubang?
Jawaban : Karena, adat Tunggu Tubang itu warisan dari nenek moyang yang tidak dapat kita tinggalkandan kita lupakan begitu saja, dan dengan diterapkannya adat Tunggu Tubang ini menjadi pusat tempat berkumpulnya semua keluarga saat ada saudara kita yang hajatan jadi rumah Tunggu Tubang itu pusat berkumpulnya semua keluarga.
Pertanyaan : Bagaimana cara pelaksanaan kewarisan adat Tunggu Tubang pada Suku Semende di daerah ini?
Jawaban : kewarisan Tunggu Tubang di daerah ini sama dengan pembagian Tunggu Tubang di daerah asalnya. Tidak ada perayaan atau cara adat dalam pembagian, karena warisan Tunggu Tubang secara otomatis jatuh kepada anak perempuan secara turun temurun.
Pertanyaan : Siapa saja yang dapat disebut dengan sebutan anak Tunggu Tubang?
Jawaban : Anak perempuan tertua, sekalipun didalam keluarga anak perempuan tersebut bukan anak pertama dalam keluarganya. Misalkan didalam keluarga ada 5 anak yang terdiri dari anak pertama, kedua dan ketiga yaitu anak laki-laki sedangkan anak keempat anak perempuan. Jadi yang menjadi anak Tunggu Tubang itu anak perempuan yang keempat karena anak perempuan tersebut anak perempuan tertua dalam keluarganya.
Pertanyaan : Kapan harta warisan dapat dibagi?
Jawaban : Harta warisan itu dapat dibagikan ketika orang tua meninggal dunia.
Pertanyaan : Dalam pembagian harta warisan, apakah ada perbedaan bagian antara laki-laki dan perempuan?
Jawaban : Dalam pembagian warisan dalam adat kami (Semende) itu tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan semua dibagi sama rata, karena adat kami itu ada adat waris Tunggu Tubang jadi, harta itu saja yang diberikan kepada anak perempuan tertua.
Pertanyaan : Bagaimana pendapat anak laki-laki jika bagian anak perempuan lebih besar?
Jawaban : Anak laki-laki menerima tentang besarnya bagian anak perempuan dalam warisan tersebut, karena anak laki-laki telah menyadari bahwa Tunggu Tubang itu adalah hukum adat yang masih berlaku sampai sekarang yang merupakan warisan dari nenek moyang.
Pertanyaan : Bagaimana peranan anak perempuan tertua setelah mendapat warisan yang disebut Tunggu Tubang tersebut?
Jawaban : Peranan anak perempuan setelah mendapat harta Tunggu Tubang yaitu merawat, menjaga harta yang telah ditelah diberikan kepadanya dan mengurusi adik-adiknya sampai berkeluarga.
Pertanyaan : Apakah ada perbedaan pelaksanaan pembagian tentang kewarisan adat Tunggu Tubang di daerah asal dengan perantauan? Dan bagaimana perbedaan pelaksanaannya?
Jawaban : Tidak ada perbedaan dalam pembagian waris dalam adat Tunggu Tubang ini, cuma bedanya dulu ketika anak perempuan menduduki Tunggu Tubang mereka harus tetap tinggal di daerah tempat harta Tunggu Tubang tersebut, akan tetapi sekarang mereka boleh tidak tinggal di tempat harta Tunggu Tubang tersebut yang penting ketika ada keperluan di tempat harta Tunggu Tubang yang bersangkutan (mendudukin Tunggu Tubang) harus selalu siap jika diperlukan.
Pertanyaan : Apakah ada masyarakat disini yang pembagian warisan tidak berdasarkan dengan adat Tunggu Tubang?
Jawaban : Jika mereka suku Semende pasti mereka menerapkan sistem warisan Tunggu Tubang tersebut. tapi kalau orang Semende menikah beda suka itu jarang mereka masih menerapkan sistem itu yah mungkin untuk memelihara keutuhan rumah tangga mereka.
Pertanyaan : Dengan tinggal di daerah yang sukunya berbeda-beda, adakah sistem waris ini dimodifikasi?
Jawaban : Tidak ada modifikasi masalah sistem waris Tunggu Tubang hanya saja terdapat transformasi kebiasaan dari Suku Semende yang dulunya tidak membolehkan anak Tunggu Tubang merantau dari harta Tunggu Tubang tersebut tetapi sekarang boleh merantau tetapi kedudukan sebagai anak Tunggu Tubang tetap harus dilaksanakan.
Bandar Lampung, 20 April 2017
Narasumber
Wawancara dengan Elemen masyrakat yang mejadi Anak Tunggu Tubang
Nama: Rusmianah (60 tahun)
Pertanyaan : Apakah keluarga ibu disini masih menerapkan sistem adat
Tunggu Tubang?
Jawaban : Iya keluarga saya masih menerapkan adat Tunggu Tubang
Pertanyaan : Apa yang menjadi alasannya masih menerapkan sistem adat Tunggu Tubang tersebut?
Jawaban : Karena adat Tunggu Tubang ini warisan dari nenek moyang kami yang tidak dapat kami tinggalkan dan harus kami laksanakan dan sebagai pusat jala kalo menurut orang Semende karena sebagai tempat berkumpulnya keluarga.
Pertanyaan : Bagaimana cara pelaksanaan kewarisan adat Tunggu Tubang pada Suku Semende di daerah ini?
Jawaban : Tidak ada tata cara pembagian warisan dalam adat Tunggu Tubang ini, karena pelaksanaannya sesuai dengan adat saja yaitu dengan cara turun temurun dan tidak ada upacara dalam pembagiannya karena otomatis harta tersebut jatuh kepada anak perempuan tertua.
Pertanyaan : Siapa saja yang dapat disebut dengan sebutan Tunggu Tubang?
Jawaban : Anak perempuan pertama, anak ketiga tetapi sebelumnya tidak ada anak perempuan, anak bungsu tetapi satu-satunya anak perempuan, yang paling penting Tunggu Tubang itu anak perempuan tertua dalam suatu keluarga
Pertanyaan : Kapan harta warisan Tunggu Tubang dapat dibagi?
Jawaban : Dibagikannya harta Tunggu Tubang ketika kedua orang tua telah meninggal dunia.
Pertanyaan : Dalam pembagian harta warisan, apakah ada perbedaan bagian antara anak laki-laki dan perempuan?
Jawaban : Dalam pembagian harta (uang) tidak ada perbedaan, tetapi harta pusaka itu yang tidak dapat dibagi karena harta tersebut warisan dari nenek moyang.
Pertanyaan : Bagaimana pendapat dari adik atau kakak laki-laki ibu jika bagian ibu lebih besar?
Jawaban : Mereka menyadari tentang adat kami jadi tidak ada kecemburuan sosial antara kami karena anak laki-laki juga mempunyai peranan dalam harta Tunggu Tubang dimana mereka (anak-laki-laki yang tertua) mereka melindungi harta Tunggu Tubang misalkan ada yang menggugat dari harta tersebut jadi peranan anak laki-laki
tertua (meraje kalo kata orang Semende) yang mempertahankan harta tersebut.
Pertanyaan : Bagaimana peranan ibu sebagai anak Tunggu Tubang?
Jawaban : Perananan jadi anak Tunggu Tubang ini berat sekali karena jadi tumpuan keluarga, selalu siap kalo
Pertanyaan : Apakah ada perbedaan pelaksanaan pembagian adat Tunggu Tubang didaerah asal dengan daerah perantauan? Bagaimana perbedaan pelaksanaannya?
Jawaban : Tidak ada perbedaan tentang pelaksanaan pembagiaan adat Tunggu Tubang tersebut, cuma dulu saya ini tidak boleh pergi dari harta Tunggu Tubang tersebut sebab kalo saya pergi, saya akan celake (bahaya) karena tidak bisa melaksanakan kewajiban saya sebagai Tunggu Tubang, nah ketika saya mau merantau ke daerah Waydadi ini, dikumpulkan terlebih dahulu Entue Meraje (kakak dari ibu) dan paman bahwa saya ini akan merantau kalo kata mereka pergi maka boleh saya meninggalkan harta Tunggu Tubang itu.
Pertanyaan : Apakah ada masyarakat disini yang pembagian waris tidak berdasarkan adat tersebut?
Jawaban : Ada menurut saya, tetapi kalo mereka memang orang Semende asli pasti menerapkan sistem adat tersebut
Pertanyaan : Dengan tinggal di daerah yang berbeda suku bangsa, adakah sistem waris ini dimodifikasi?
Jawaban : Tidak ada dimodifikasi masalah Tunggu Tubang ini, tetapi ada sedikit pergeseran yang dulunya anak Tunggu Tubang tidak boleh pergi dari harta Tunggu Tubang tersebut dan jaman sekarang boleh merantauan tetapi ketika suatu waktu dibutuhkan harus selalu siap.
Bandar Lampung, 20 April 2017
Narasumber
Wawancara dengan Elemen Masyarakat yang menjadi Tunggu Tubang
Nama: Jumirawati (32 tahun)
Pertanyaan : Apakah keluarga ayu disini masih menerapkan sistem adat
Tunggu Tubang?
Jawaban : di keluarga orang tua saya sih masih menerapkan sistem adat itu,
tapi dikelurga saya sudah tidak menerapkannya
Pertanyaan : kenapa ayuk tidak lagi menerapkan adat itu?
Jawaban : Gimana ya, karena pernikahan satu suku dimana suami saya itu
tidak tau adat kebiasaan di suku saya, saya pun begitu. Akhirnya
kami membuat kesepakatan untuk tidak menerapkan adat kita
masing-masing untuk menjaga keutuhan dan keharmonisan untuk
keluarga saya. Terlebih saya kan anak Tunggu Tubang juga,
tanggung jawabnya berat juga dek kalo jadi anak Tunggu Tubang,
jadi mending saya tidak menerapkan adat itu.
Pertanyaan : Memang tanggung jawab seperti apa yuk, sehingga ayuk tidak
menerapkan adat itu?
Jawaban : Ya saya gak sanggup, banyak tanggung jawabnya. Dari segi
adatnya ada, jadi kalo dulu waktu saya dikampung, kalo anak
Tunggu Tubang itu harus ikut setiap acara yang ada dikampung
itu. Kalo gak ikut biasanya ya saya dibilang sombong, gak mau
bersosialisasi lah, gada tanggung jawab. Karena gak ikut acara
yang ada dikampung saya itu. Gak cuma itu juga sih, kalo orang
tua masih hidup mah gak sepenuhnya tanggung jawab itu, cuma
kalo orang tua udah meninggal ya banyak bener lah.
Pertanyaan : siapa saja yang dapat disebut dengan sebutan Tunggu Tubang?
Jawaban : Anak perempuan pertama, anak ketiga tetapi sebelumnya tidak
ada anak perempuan, anak bungsu tetapi satu-satunya anak
perempuan, yang paling penting Tunggu Tubang itu anak
perempuan tertua dalam suatu keluarga. Walaupun misalkan ibu
adek punya anak 5 nah terakhir perempuan nah anak yang
terakhir perempuan itu yang anak Tunggu Tubang karena kan itu
jatohnya seperti anak perempuan.
Pertanyaan : Terus, kalo ayuk gak mau nerapin harta Tunggu Tubang itu,
kemana harta itu? Siapa yang bakal menggantikannya yuk?
Jawaban : Yah, nanti kalo adek cowok ku yang pertama udah menikah,
paling nanti keluarga-keluarga dikumpulin terkait warisan
Tunggu Tubang itu karena saya gak mau jadi anak Tunggu
Tubang. Musyawarah biasanya mau diserahkan ama siapa harta
Tunggu Tubang ini, istri adek ku yang pertama ini ditarik jadi
anak Tunggu Tubang. Tapi sbelumnya ditanya dulu, mau gak jadi
anak Tunggu Tubang yang tanggung jawab nya inilah itulah, kalo
kata dia sanggup yah berarti harta itu dia yang menguasinya.
Pertanyaan : Kapan harta warisan Tunggu Tubang dapat dibagi?
Jawaban : Harta Tunggu Tubang dibagi ketika orang tua telah meninggal
dunia, tetapi kadang sebelum orang tuanya meninggal harta itu
sudah dibagikan. Ya itu setalah anak nya menikah dibilang harta
Tunggu Tubang ini dikasih kekamu, dibilang dari orang tuanya
tanggung jawab terkait kewajiban Tunggu Tubang itu.
Pertanyaan : Tetapi, dalam pembagian harta warisan, ada gak sih yuk
perbedaan bagian antara anak laki-laki dan perempuan?
Jawaban : Gak ada sih kalo itu mah setau saya di dalam keluarga saya dibagi
rata. Tapi harta pusaka itu gabisa dibagi-bagi karena kan itu
warisan dari turun temurun. Kalo harta pusaka itu dibagi, udah
jadi milik pribadi bisa aja suatu waktu dijual. Mungkin itu alasan
orang Semende gamau harta pusaka itu dibagi-bagi.
Pertanyaan : Nah, pendapat dari adik atau kakak laki-laki ayuk jika bagian
ayuk lebih besar?
Jawaban : Gada pendapat apa-apa sih, cemburu sosial juga gak tuh kakak
beradik saya, karena mereka udah tau juga adat kebiasaan dari
suku mereka itu apa.
Pertanyaan : Pelaksanaan pembagian harta Tunggu Tubang itu kayak mana
yuk? Ada gak tata caranya?
Jawaban : Setau saya gada upacara-upacara gitu sih mengenai pembagian
warisan Tunggu Tubang ini. karena, warisan ini tuh dari nenek
moyangnya emang udah otomatis aja jatuh ke anak perempuan
yang pertama di keluarga itu. Mungkin kayak adat lampung yang
ada upacara-upacaranya gitu. Tapi, di adat Semendo sejauh ini
gak pernah saya tau pembagiannya ada upaca-upacara. Paling
kalo di keluarga gada anak cewek ama anak Tunggu Tubang yah
paling musyawarah aja udah setau saya cuma itu.
Pertanyaan : Apakah ada perbedaan pelaksanaan pembagian adat Tunggu
Tubang didaerah asal dengan daerah perantauan? Bagaimana
perbedaan pelaksanaannya di daerah asal dengan daerah
rantauan?
Jawaban : Kalau masalah perbedaan pelaksanaan sih gak ada, karena dari
Suku Semende itu tidak mengatur secara rinci tentang
pelaksanaanya, cuma kalo dulu anak Tunggu Tubang itu gak
boleh buat pergi dari tanah tungguan itu, karena kalo anak
Tunggu Tubang itu pergi dibilang kualat sama orang Semende.
Makanya dulu anak Tunggu Tubang terbatas bener pergaulannya,
pendidikannya, kalo bisa mereka itu harus nikah ama orang yang
dari sanalah asalnya. cuma kan kalo sekarang udah boleh pergi
dari tanah Tungguan itu apalagi orang tua- oran tua yang
pikiranny udah modern, udah ngeliat perkembangn zaman ini.
Pertanyaan : Apakah ada masyarakat disini yang pembagian waris tidak
berdasarkan adat tersebut?
Jawaban : Ada sih, saya aja anak Tunggu Tubang tapi saya gak sanggup
karena berat tanggung jawabnya, apalagi saya nikah dengan beda
suku, suami saya ada adat sendiri saya juga punya adat sendiri.
Pertanyaan : Tapi alasan dari orang Semende itu masih nerapin sistem adat
Tunggu Tubang itu apa yuk?
Jawaban : Ya karena itu warisan dari nenek moyang secara turun temurun
jadi memang harus dirawat dan dijaga. Pusatnya tempat
berkumpul semua keluarga. Kalo saya bukan gak mau nerapin,
karena saya nikah beda suku juga kan, suami saya orang Padang,
saya Semende otomatis kan saya gak tau adat kebiasaan suami
saya, begitu juga dengan suami saya yang gak tau adat dikeluarga
saya. Jadi yah saya dengan suami saya netral-netral saja.
Bandar Lampung, 20 April 2017
Narasumber
Wawancara dengan Elemen Masyarakat
Nama: Hj.Sukmawati, M.Pd (48 tahun)
Pertanyaan : Apakah keluarga ibu disini masih menerapkan sistem adat
Tunggu Tubang?
Jawaban : Iya masih
Pertanyaan : Terus,apa yang menjadi alasan masih diterapkannya sistem adat
Tunggu Tubang ini?
Jawaban : Karena sudah menjadi warisan adat turun temurun dari nenek
moyang, dan harta Tunggu Tubang tubang ini menjadi pusat
tempat kumpul keluarga, seperti saya kan tidak semuanya tau
saudara-saudara saya, jadi ketika ada salah satu saudara kita
menikah nah saudara-saudara yang tadinya tidak tau menjadi tau
ya karena berkumpul di rumah warisan itu. Makanya sampe
sekarang adat itu masih diterapkan.
Pertanyaan : Selama menjadi anak Tunggu Tubang, tanggung jawab seperti
apa yang ibu laksanakan?
Jawaban : Ya ngurusin keluarga besar, misalkan ada adik sakit, atau ada
acara di rumah saudara harus kesini dulu beri tau saya terlebih
dahulu. Pokoknya kalo ada masalah atau urusan keluarga harus
kasih tau saya terlebih dahulu. Anak Tunggu Tubang ini harus tau
segala masalahnya tentang keluarganya.
Pertanyaan : Tapi, cara pelaksanaan kewarisan adat Tunggu Tubang itu gimana
sih bu?
Jawaban : Ya gak ada pelaksanaan, karena setau saya mengenai harta
Tunggu Tubang pembagiannya ini secara otomatis jadi turun
temurun sifatnya, emang dari dulu-dulunya pelaksanaannya
otomatis. Jadi kita ikutin penerapannya. Tapi kalo adat mengatur
secara rinci saya rasa tidak ada.
Pertanyaan : Jadi, yang dapat disebut dengan sebutan Tunggu Tubang siapa
saja bu?
Jawaban : Ya anak perempuan tertua itulah yang disebut sebagai anak
Tunggu Tubang. Tapi kalau dari keluarganya dia anak terakhir
tetapi sebelumnya tidak ada anak perempuan tetap saja dia yang
disebut sebagai anak Tunggu Tubang.
Pertanyaan : Kalau harta warisan Tunggu Tubang itu kapan dapat dibagi bu?
Jawaban : Bisa sebelum orang tuanya meninggal atau sesudah orang tuanya
meninggal. Tapi biasanya seperti saya, waktu anak saya sudah
gadis seperti ini saya kasih tau kalau dia ini nanti jadi Tunggu
Tubang. Kewajiban dia untuk keluarga-keluargnya seperti apa
saya kasih tau.
Pertanyaan : Kalau mengenai harta yang selain harta Tunggu Tubang itu
sistem pembagiannya seperti apa bu?
Jawaban : Ya dibagi rata kepada anak-anak saya.
Pertanyaan : Berarti bagian anak perempuan lebih besar ya bu daripada anak
laki-laki?
Jawaban : Iya, tapi kan tanggung jawab dari anak perempuan ini lebih besar
tanggung jawabnya terhadap keluarga-keluarganya.
Pertanyaan : Menurut ibu, ada gak sih masyarakat disini yang pembagian waris
tidak berdasarkan adat tersebut?
Jawaban : Ada sih sepertinya, itu biasanya kalo mereka nikah beda suku,
apalagi kalau perempuannya yang Semende sedangkan suaminya
bukan itu biasanya ikut suaminya tapi kadang ada kesepakatan
antara suami istri tersebut
Pertanyaan : Memang kalo dulu, anak Tunggu Tubang itu harus tinggal di
daerah harta tungguan ya bu?
Jawaban : Iya benar, tidak boleh pergi kemana-mana kalo bisa harus
menikah dengan orang sana juga, serba susah kalo dulu anak
Tunggu Tubang mau hijrah mah.
Pertanyaan : Kenapa seperti itu bu? Kok dibatasi ruang gerak anak Tunggu
Tubang itu?
Jawaban : Saya juga gak tau, mungkin karena takut kalau sudah
meninggalkan tanah tungguan, kalau merantau gak mau balik ke
daerahnya lagi.
Pertanyaan : Terus kok ibu sekaarang boleh merantau ke daerah sini bu?
Jawaban : Yah itu juga bukan hal yang mudah nak, dulu sebelum ibu mau
merantau, ibu ini harus izin dulu sama uwak,paman ibu yang
dikampung. Dikumpulin dlu sanak keluarga. Diberi tau kalo ibu
ini mau merantau, mau ninggalin harta tungguan, dan itupun ibu
harus kasih alasan yang tepat biar dibolehkan merantau. Terus
kata uwak ama paman boleh akhirnya ibu merantau karena
kebetuan suami pindah dinas. Nah waktu ibu sudah boleh
merantau ibu dikasih syarat kalau misalkan ada urusan atau
masalah ibu harus selalu ada dan siap untuk membantunya,
tanggung jawab dan kedudukan harus tetap dilaksanakan.
Pertanyaan : Apakah ibu akan menerapkan sistem itu untuk Tunggu Tubang
selanjutnya seperti dahulu bu?
Jawaban : Sekarang mah, kita liat zaman semakin maju. Jadi saya tidak mau
membatasi gerak anak Tunggu Tubang mereka bebas mau
merantau kemana saja. Kasian kalau mereka terbatas dalam hal
apapun saya juga kan merasakan gimana rasanya terbatas dalam
hal apapun, jadi saya tidak mau anak saya merasakan hal yang
sama. Merantau kemana saja boleh, asalkan kedudukannya
sebagai anak Tunggu Tubang harus tetap dilaksanakan itu sih
yang saya bilang kepada anak saya.
Bandar Lampung, 19 April 2017
Narasumber
Wawancara dengan Elemen Masyarakat
Nama: Uliana Ma’mur (52 tahun)
Pertanyaan : apakah keluarga ibu disini masih menerapkan sistem adat Tunggu
Tubang?
Jawaban : dikeluarga saya sudah tidak ada penerapan adat itu
Pertanyaan : lah kenapa bu? Bukankah ibu orang Semende asli? Kenapa tidak
diterapkan lagi bu?
Jawaban : iya gimana, saya kan gak menikah dengan satu suku, suami saya
orang jawa, kan dia yang jadi pemimpn keluarga otomatis saya
mematuhi gak mungkin dong harus menuntut da untuk ikut
mejalankan adatnya, sedangkan dia sendiri pasti punya adat
kebiasaan dari adat jawa itu sendiri. Makanya kami sepakat untuk
netral saja biar gak ada cekcok antara kami
Pertanyaan : hmm...kalo cara pelaksanaan kewarisan adat Tunggu Tubang
pada Suku Semende itu sendiri bagaimana sih bu?
Jawaban : gak ada cara-cara adat sih pembagian Tunggu Tubang nih karena
memang dari dulu itu udah otomatis jatuh ke anak perempuan
yang tertua secara turun temurun, jadi sampai sekarang pun suku
Semende yang di perantauan pun penerapannya masih sama
seperti yang dulu
Pertanyaan : siapa saja yang dapat disebut dengan sebutan Tunggu Tubang?
Jawaban : anak perempuan yang pertama dan tertua di dalam keluarganya.
Pertanyaan : tapi mengenai waktu pembagian harta Tunggu Tubang itu kapan
bu?
Jawaban : tergantung dari orang tuanya ada yang dibagikan sebelum orang
tuanya meninggal, ada juga setelah orang tuanya meninggal.
Pertanyaan : apakah ada perbedaan pelaksanaan kewarisan adat Tunggu
Tubang waktu di daerah asal dengan daerah perantauan bu?
Jawaban : perbedaan sih tidak ada memang dari dulu cara pembagiannya
sama seperti di daerah asal secara turun temurun yang diberikan
kepada anak perempuan tertua. Mungkin kalo dulu anak Tunggu
Tubang tidak boleh merantau tetapi kalau sekarang boleh, itu sih
setau saya.
Pertanyaan : dalam pembagian harta warisan, apakah ada perbedaan bagian
antara anak laki-laki dan perempuan?
Jawaban : tidak ada, semua dibagi rata
Pertanyaan : bagaimana pendapat dari anak laki-laki jika bagian anak
perempuan lebih besar?
Jawaban : tidak ada pendapat apa-apa, syirik dengan anak Tunggu Tubang
juga karena memang mereka sudah tau adat kebiasaan dari adat
mereka sendiri.
Pertanyaan : apakah ada masyarakat disini yang pembagian waris tidak
berdasarkan adat tersebut?
Jawaban : ada, saya buktinya tidak menarapkannya hehe... bukan ingin
meninggalkan atau melupakan hanya saja saya dan suami saya
sepakat untuk tidak menerapkan adat kami masing-masing agar
tidak ada perselisihan.
Bandar Lampung, 21 April 2017
Narasumber
Wawancara dengan Elemen Masyarakat
Nama: Andri Suhendri (49 tahun)
Pertanyaan : apakah keluarga disini masih menerapkan sistem adat Tunggu
Tubang?
Jawaban : iya masih
Pertanyaan : apa yang menjadi alasannya masih menerapkan sistem adat
Tunggu Tubang tersebut?
Jawaban : ya, karena warisan dari nenek moyang secara turun temurun yang
harus tetap dijaga dan dilestarikan
Pertanyaan : terus harta Tunggu Tubangnya dari mana pak? Maksudnya harta
Tunggu Tubangnya itu dari yang turun temurun atau gimana pak?
Jawaban : ya, saya buat harta Tunggu Tubang yang baru, jadi harta saya
yang berupa tanah, sawah dan rumah saya jadi kan sebagai harta
Tunggu Tubang.
Pertanyaan : bagaimana cara pelaksanaan kewarisan adat Tunggu Tubang pada
Suku Semende di daerah ini?
Jawaban : secara otomatis saja peralihannya jadi tidak ada pembagian secara
adat, mungkin musyawarah itu pun dilakukan jika anak Tunggu
Tubang tidak snggup untuk menjalankan kedudukannya sebagai
Tunggu Tubang.
Pertanyaan : ada gak sih pak perbedaan pelaksanaan di daerah asal dan daerah
setelah bapak merantau?
Jawaban : tidak ada sih, mungkin kalo dulu di daerah asal memang anak
Tunggu Tubang itu tidak boleh merantau, karena ditakutkan
dengan orang dulu, kalo anak Tunggu Tubang nanti gak mau
balik ke daerah asalnya lagi dan gak mau menjalankan sebagai
anak Tunggu Tubang. Kalo sekarang saya rasa tidak seperti itu
lagi boleh merantau, tetapi kedudukan harus tetap dijalnkan
Pertanyaan : siapa saja yang dapat disebut dengan sebutan Tunggu Tubang?
Jawaban : anak perempuan itulah yang dikatakan anak Tunggu Tubang
Pertanyaan : kapan harta warisan Tunggu Tubang dapat dibagi?
Jawaban : setelah orang tuanya meninggal, tapi kadang sebelum orang
tuanya meninggal sudah dibagikan
Pertanyaan : dalam pembagian harta warisan, apakah ada perbedaan bagian
antara anak laki-laki dan perempuan?
Jawaban : tidak ada, semua dibagi rata. Tetapi perlu diingat bahwa harta
Tunggu Tubang tetap tidak boleh dibagikan
Pertanyaan : bagaimana pendapat bapak, bahwa bagian adik bapak lebih besar?
Jawaban : yah gak gimana-gimana memang dari adatnya seperti itu, tapi
saya juga punya perananan dalam pemeliharaan harta itu.
Pertanyaan : apakah terjadi modifikasi dalam sistem waris ini pak? Setelah
bapak tinggal dengan berbeda suku bangsa dan bahasa?
Jawaban : tidak ada sih, semua masih tetap sama seperti yang dulu
Pertanyaan : apakah ada masyarakat disini yang pembagian waris tidak
berdasarkan adat
Jawaban : ada pasti, tapi kalo mereka Suku Semende asli pasti masih
menerapkan adat itu.
Bandar Lampung, 21 April 2017
Narasumber
it
t
I(EMENT'ERIAN AGAMAUNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)SYARIF TIIDAYATULLAH JAKARTA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUI(UM
Jl. Ir. H. Juanda No. 95 Ciputat Tangerang SelatanTelp. (02r) 747rrs37
Website: www.uinjkt.ac.it i , Email: [email protected]
r I I - ,
\llr r
Nomor : l)n.01. / F4/ PP.00.9 / 37e Z / 2076Lamp :1 (satu) Berkas ProposalHal : Mohon Kesediaan menjadi Pembimbing Skripsi
NamaNIMProdi
Judul Skripsi
Yang TerhormatDr. Hi. Mesraini, SH, M. AgDosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta
As s al amualaikum w ar ahm a tullah w ab ar akatuh
Pimpinan Fakultas Syariah dan Hukum UiN Syarif Hidayatullah Jakarta mengharapkankesediaan Saudara untuk menjadi pembimbing skripsi mahasiswa:
Jakarta, B November 2016 M8 Safar 1438 H
Azriyani1113044000015Hukum Keluarga (Ahwal Syakhshiyyah)Praktek Masyarakat Sentende Dalam Adat Tunggu Tubang di TanahRantauan
Beberapa hal yang dapat dipertimbangkan adalah sebagai berikui:l. Topik bahasan dan out line dimana perlu dapat diadakan perubahan dan penyempurnaan2. Tekiiik penulisan supaya merujuk kepada buku "Pedoman Penrrlisan Skripsi Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakaria"
Demikianlah atas kesediaan saudara kami ucapkan terima kasih.
Wass,ilamualaikun t zo ar ohmafitllnl i q ab ar akatuh
.eluarga
Tembusan:
Disarrtpaikan dengan hormat kepada:L Kasubag Akademik & Kemahasiswaan Fakultas Syariah dan Hukum2. Sekretaris Program Studi Hukum Keluarga3. Arsip
\
KENTBNTERTAN AGAMAUNIVERSIITAS ISLAM NEGERI (UIN)SYARIF HIDAYAT ULLAH JAKARTA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
Jl. Ir. H. Juanda No. 95 Ciputat Tangerang Selatan we b s it e : www ui nj kt. a c. id, E m ai l :, " Jilo;rlldrlffi f jl
Nomor
Lampiran
Hal
u N. 0 1 /F4lKM.0 1,03 | /2r/20 1 7
Permohonan DataMawancara
KepadaYth. Tokoh Masyarakat
Kelurahan Waydaadi, Bandar Lampungd i
Tempa t
Assalammu'alaikum, Wr. Wb.Dekan Faku l t as Sya r i ah dan Hukum U IN
menerangkan bahwa :
Jakarta, 31 Maret201T
Sya r i f H idaya tu l l ah Jaka r ta
AzriyaniLampung Utara 104 Mei 199511130440000158Hukum Keluarga (Ahwal Syat<hshiyyah)Jln.Pulau Baweyan l i , Sukarame. Bandar Lampung
0821840444424
. . . . . u9 "1 "1 bena r yang be rsangku tan mahas i swa Faku l t as Sya r i ah dan HukumUIN syar i f Hidayatu l lah Jakar ta yang sedang n lenyusun skr ips ioengan luout :
Praktik Adat Tunggu Tubang Pada Masyarakat Semende di Tanah Rantauan
Untuk melengkapi bahan.penulisan skripsi, dimohon kiranya Bapak/lbu dapat menerimayang bersangkutan untuk wawancara serta memperoleh data guna penulisan skripsid imaksud.
A tas ke r jasama dan ban tuannya , kami ucapkan te r ima kas ih .Wa ssal am u' alaiku m, Wr.Wb.
?.tr , DekanKepala Bagian Tata Usaha
NamaTempat/TanggalN IMSemesterProgram StudiAlamat
Telp/Hp
t-t l
Tembusan :1. Dekan Fakurtas Syariah dan Hukum UrN Syarif Hidayatuilah Jakarta2. Kaprodi/Sekprodi l-, lukum Keluarqa (Ahwal Svakhshivvah\
Drs. Mocha uruh, M.FdN I P : 1 9 6 2 0 4 98710 1 001
EIJEEfi#
tt\
KEMBNTERIAN AGAMA
Jl. Ir. H. Juanda No. 95 Ciputat Tangerang Selatan
UNIVFRSITAS ISLAM NEGERI (UIN)SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
website : www.u inj kt. ac.id, Email : r " Jilo;lH]ffifl
Nomor : LiN.01 tF4 tKM.01.$l/dy/t2017 Jakarta, 22 Maret2017Lampiran : -Hal Permohonan Data dan Ll/uwuncar,z
Kepada Yth.Kepala Kanlor Kelurahan Waydadidi-
Tempat
Ass alamu' alqikum, Wr. lYb,
Dekan Fakultas Syariah dan Hukuin UIN Syarif Hidayahtullah Jakarta, menerangkalbahwa:
NamaTempat/ Tanggal lahirNIMSemesterProgram Studi
AzriyaniKotabumi/04 Mei 1995l l 1304400001 58 (Delapan)Hukum keluarga
Adalah benar mahsis-wa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayahtullah Jakartayang sedang menyelesaikan Skripsi dengan Topik / Judul :"Praktik Adat Tunggu Tubang pcda Masyarakttt semende di ranah Rantauan'
Untuk melengkapi bahan pcnulisan skripsi, djmohon kiranya Bapak / Ibu dapat menerimayang bersangkutan untuk wawancara serta memperoleh data guna penulisan proposal s,kripsi danpenulisan skipsi dimaskud.
Demikian surat permohonan ini dosampaikan atas perhatian dan kerjasamanya kamiucapkan terima kasih.
Vl/as s al amu' a laik um. LYr. lVb.
An. Dekan,Kabag Tata Usaha
Tembusan :
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
, Drs. NloCh/mmad Guruh, NlPd/ 'NIP. 19620408 19871 o I ooJ
I
PEMERINTAH KOTA BANDAR LAMPUNGKECAMATAN SUKARAME
I(ELMWAYDADI. la lan Pulau TegalNo.0l Kel. way Dadi Kec. sukarame Kota Bandar Lampung
NomorLampPerihal
tzu ?s. lvr,L7 ltv 12017
Permohonan Data danWawancara
Bandar Lampung, 26 April Z0t7
Kepada Yth :Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UINSyarif Hidayatullah Jakarta
Di -Jakatta
( UIN ) Syarif
I 2017 Tanggal
Kelurahan Way
'r- Dengan hormat,' Menindaklanjuti Surat dari Universitas Islam Negeri
l--ridayatullah Jakarta Nomor : UN.01 I F4 I KM.01.03 I IZAI22 Maret 2017 Perihal permchonan Data dan Wawancar.a diDadi Kecamatan Sukarame Atas nama :
Nama
NPM
Alamat
Lokasi
Jurusan
Penanggung Jawab
Judul
AZRIYAT.II
1 1 13044000015
Jl.Pulau Bawean 2 Rt.02 Lk.II
Kantor Kelurahan Way Dadi
l-'lukum Keluarga
Dekan Fakultas S),ariah dan Hukum
: Praktik Adat Tunggu Tubang pada l4asyarakat
Semende di Tanah Rantauan "
Demikian atas perhatian dan kerjasamanya diucapkan terima kasih.
Tembusan : Disampaikan Kepada yth :1. Bapak Camat Sukarame ( Sebagai Laporan )2. Bapak Lurah Way Dadi3. _____--____ Arsip ______
h15 198603 1 010
I
{ffie. IKATAN KELUARGA SEGHASE SEMENDE[rKSS)
JL. Pembangunan F No 53 Waydadi - Sukarame, Bandar LampungHp.085279500395
No :0L4/ tKSS-BDwil l20L7Lampiran : -
FIal : Surat Keterangan
Kepada Yth,Pimpinan Fakultas Syariah dan HukumUIN Syarif Hidayatullah JakartaDi
TempatIkatan Keluarga Seghase Seme,nde (IKSS), menyatakan bahwa:
Azriyani
I I 13044000015
Iiukum Keluarga (Ahwal Syakhsiyyah)
8 (delapan)
Benar telah memperoleh data dan wawancara pada IKSS Waydadi, Bandar Lampung
sehubungan dengan skripsi yang berjudul "PRAKTIK ADAT TIINGGU TUBANG PADA
I{ASYARAKAT SEMENDE DI TANAH RANTAUAIY.'
Ot:** surat keterangan ini kami buat, untuk digunakan sebagaimana mestrnva.
Bandar Lampung, 12 Jluuni 2017
Mengetahui
L
Nama
NIM
Jurusan
Semester
DARMI UJA}IG