Porto Ketiga
-
Upload
muhammad-rifki-el-muammary -
Category
Documents
-
view
244 -
download
0
description
Transcript of Porto Ketiga
21
BAB I
PENDAHULUAN
Suatu kenyataan yang sering terjadi, di ruangan gawat darurat bila kedatangan
pasien dengan kasus neurologi terutama yang berat, maka yang ada di fikiran dokter
adalah rasa pesimistis terhadap prognosis. Pendidikan kedokteran telah membekali
seorang dokter dengan ilmu yang cukup, namun kadangkala pada sebagian dokter
masih ada kecanggungan dalam aplikasi terhadap pasien secara langsung. Pada hal
pada saat itu dokter yang menghadapi pasien harus segera bertindak dan semakin
cepat kita lakukan sesuatu tindakan yang tepat maka semakin besar kemungkinan
pasien tertolong dan tentunya semakin turun tingkat kematian dan kecacatan.
Diperlukan suatu panduan bagi dokter & paramedis di unit pelayanan terdepan
utk mengenali & melakukan tindak lanjut dlm kegawatdaruratan neurologi.
Sindrom Guillain-barre (SGB) atau secara klinis sering disebut “Poli Radikulo
Neuropati inflamasi akut (PIA)”. Sindrom Guillain Barre sering disebut juga acute
inflamating demyelinating polyneuropathy atau acute ascending paralysis yang
merupakan kelainan pada saraf perifer yang bersifat peradangan di luar otak dan
medulla spinalis. Pada Sindrom ini sering dijumpai adanya kelemahan yang cepat atau
bisa terjadi paralysis dari tungkai atas, tungkai bawah, otot-otot pernafasan dan wajah.
Sindrom ini dapat terjadi pada segala umur dan tidak bersifat herediter dan dikenal
sebagai Landry’s Paralisis ascending. Pertama dideskripsikan oleh Landry, 1859
menyebutnya sebagai suatu penyakit akut, ascending dan paralysis motorik dengan
gagal napas.(1)
Penyakit ini terdapat di seluruh dunia pada setiap musim, menyerang semua
umur. Insidensi SGB bervariasi antara 0.6 sampai 1.9 kasus per 100.000 orang
pertahun. SGB sering sekali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik. Insidensi
21
kasus SGB yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56% - 80%, yaitu 1 sampai
4 minggu sebelum gejala neurologi timbul seperti infeksi saluran pernafasan atas atau
infeksi gastrointestinal. Kelainan ini juga dapat menyebabkan kematian, pada 3 %
pasien, yang disebabkan oleh gagal napas dan aritmia. Gejala yang terjadinya biasanya
hilang 3 minggu setelah gejala pertama kali timbul. Sekitar 30 % penderita memiliki
gejala sisa kelemahan setelah 3 tahun. Tiga persen pasien dengan SGB dapat
mengalami relaps yang lebih ringan beberapa tahun setelah onset pertama. Bila terjadi
kekambuhan atau tidak ada perbaikan pada akhir minggu IV maka termasuk Chronic
Inflammantory Demyelinating Polyradiculoneuropathy (CIDP). Sampai saat ini belum
ada terapi spesifik untuk SGB. Pengobatan secara simtomatis dan perawatan yang baik
dapat memperbaiki prognosisnya.(2)
Belum diketahui angka kejadian penyakit ini di Indonesia. Insidens Sindrom ini
termasuk jarang kira-kira 1 orang dalam 100.000. SGB jarang terjadi pada anak-anak,
khususnya selama 2 tahun pertama kehidupan dan setelah umur tersebut frekuensinya
cenderung meningkat. Frekuensi puncak pada usia dewasa muda. SGB tampil sebagai
salah satu penyebab kelumpuhan yang utama di negara maju atau berkembang seperti
Indonesia.(3)
Miastenia gravis adalah salah satu karakteristik penyakit autoimun pada
manusia. Selama beberapa dekade terakhir telah dilakukan penelitian tentang gejala
miastenia pada kelinci yang diimunisasi dengan acetylcholine receptor (AchR).
Sedangkan pada manusia yang menderita miastenia gravis, ditemukan adanya
defisiensi dari acetylcholine receptor (AchR) pada neuromuscular junction. Pada
tahun 1977, karakteristik autoimun pada miastenia gravis dan peran patogenik dari
antibodi AchR telah berhasil ditemukan melalui beberapa penelitian. Hal ini meliputi
demonstrasi tentang sirkulasi antibodi AchR pada hampir 90% penderita miastenia
gravis, transfer pasif IgG pada beberapa bentuk penyakit dari manusia ke tikus,
lokalisasi imun kompleks (IgG dan komplemen) pada membran post sinaptik, dan efek
menguntungkan dari plasmaparesis1.
21
Kemudian terdapat perkembangan dalam pengertian tentang struktur dan
fungsi dari AchR serta interaksinya dengan antibodi AchR. Hubungan antara
konsentrasi,spesifisitas, dan fungsi dari antibodi terhadap manifestasi klinik pada
miastenia gravis telah dianalisis dengan sangat hati-hati, dan mekanisme dimana
antibodi AchR mempengaruhi transmisi neuromuskular telah diinvestigasi lebih jauh1.
Kelainan miastenik yang terjadi secara genetik atau kongenital, dapat terjadi
karena berbagai faktor. Hal ini menyebabkan sindrom miastenik kongenital banyak
diteliti dan diinvestigasi. Akhirnya, kelainan pada transmisi neuromuskular yang
berbeda dari miastenia gravis yaitu The Lambert-Eaton Myasthenic Syndrome ternyata
juga merupakan kelainan yang berbasis autoimun. Pada sindrom ini, zona partikel
aktif dari membran presinaptik merupakan target dari autoantibodi yang patogen baik
secara langsung maupun tidak langsung1.
Walaupun terdapat banyak penelitian tentang terapi miastenia gravis yang
berbeda-beda, tetapi tidak dapat diragukan bahwa terapi imunomodulasi dan
imunosupresif dapat memberikan prognosis yang baik pada penyakit ini. Ironisnya,
beberapa dari terapi ini justru diperkenalkan saat pengetahuan dan pengertian tentang
imunopatogenesis masih sangat kurang2
Tidak seperti stroke ataupun cedera kepala, penyakit neuromuskular tidak
terlalu sering dijumpai. Akibatnya banyak dokter dan tenaga medis yang tidak
mengenali penyakit ini. Gangguan neuromuskular memiliki spektrum gejala dan tanda
yang cukup luas. Mulai dari kesemutan di ujung jari hingga kegagalan pernapasan
yang dapat mengancam nyawa. Oleh karenanya mengenali penyakit ini sejak awal
sangatlah penting.
21
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pendekatan dan Penegakan Diagnosa
Kegawatdaruratan Neuromuskular
Umumnya gejala penyakit neuromuskular berupa kelemahan ataupun kesemutan atau
bisa juga keduanya bersamaan, maka penyakit ini mengenai lower motor neuron.
Dengan demikian bila kita mencurigai pasien dengan penyakit neuromuskular langkah
pertama tentunya memastikan bahwa kelainan pada pasien tersebut bukan upper motor
neuron.
Perbedaan upper motor neuron dan lower motor neuron adalah sbb:
UMN LMN
Bentuk kelumpuhan Hemiparesis,
quadriparesis, paraparesis.
Kelemahan pada otot
tertentu sesuai distribusi
radiks atau pleksus
Atrofi Disuse atrophy (muncul
belakangan dan tidak
terlalu jelas)
Atrophy akibat denervase
(muncul lebih cepat dan
lebih jelas)
Fasikulasi dan fibrilasi - +
Refleks fisiologis Meningkat Menurun atau hilang
Klonus + -
Tonus Hipertonus Hipotonus
Refleks patologis + -
21
Beberapa penyakit neuromuskular yang sering ditemui:
Letak lesi Pola kelainan Contoh
Motor Neuron Kelemahan, atrofi, fasikulasi, tidak
ada gangguan sensorik.
Pada ALS, gejala LMN disertai UMN
Polio: kelemahan asimetrik, riw.
Infeksi
Amyotrophic lateral
sclerosis (ALS),
spinal muscular
atrophy, polio
Radiks Kelemahan dan gangguan sensorik
sesuai dengan inervasi radiks yang
terkena
Kompresi radiks ec
HNP
Sindrom Kauda
ekuina
Pleksus (Plexopathy) Sesuai inervasi pleksus yang terkena Trauma pleksus
Neuritis brakialis
akut
Mononeuropati Kelainan sesuai distribusi saraf perifer
yang terkena
Sindrom terowongan
carpal/tarsal
Mononeuropati
multiplex
Proses multifokal yang hanya
mengenai bagian tertentu dari saraf
perifer
Kelainan saraf tepi
pada Morbus Hansen
Poliradikuloneuropati Ascending paralisis, anteceden infeksi
(GIT atau ISPA), refleks patela
menurun
GBS
Neuromuscular
Junction
Kelemahan berfluktuatif terutama
setelah aktivitas, tidak ada gangguan
sensorik, refleks fisiologis normal
Myastenia Gravis
Botulism
Otot Kelemahan otot proksimal yang difus,
tidak ada defisit sensorik
Polimiositis,
muscular distrofi.
21
Bila berbicara tentang kelainan UMN berarti merujuk pada kelainan sepanjang traktus
motorik atau kortikospinal yaitu dari korteks serebri hingga kornu anterior. Sedangkan
kelainan LMN dimulai dari kornu anterior (motor neuron) hingga otot.
Eksplorasi riwayat penyakit pasien akan sangat membantu menegakkan diagnosis.
1. Selalu tanyakan ada tidaknya riwayat trauma baik pada ekstremitas, leher maupun
pinggang.
2. Pastikan pola kelemahannya.
3. Kelainan miogen, kelemahan lebih dominan di proximal. Sedangkan kelainan
neurogen seperti polineruopati di distal.
4. Adakah gejala sensorik?
5. Mintalah pasien untuk melokalisasi gejala sensorik yang dirasakannya.
6. Apakah pasien merasakan kedutan otot (fasikulasi) dan kram?
7. Gejala ini sering dijumpai pada kelainan motor neuron dan kelainan miogen.
8. Adakah nyeri?
9. Nyeri mungkin berhubungan dengan kelainan struktur muskuloskeletal seperti
HNP, trauma pleksus. Atau mungkin juga kelainan neuropatik.
10. Adakah gejala otonom?
11. Gangguan BAB dan BAK, gangguan penglihatan, impotensi, anhidrosis, ortostatik
dizziness.
Kegawatdaruratan yang mungkin dijumpai pada penyakit neuromuskular.
Kelemahan akut yang diakibatkan oleh suatu gangguan neuromuscular dapat terjadi
pada seseorang karena terjadinya disfungsi pada kornu anterior, saraf perifer, paut
saraf-otot (Neuromuscular Junction), atau otot (Tabel 1). Walaupun mula-mula
penyebab gangguan neuromuscular belum dapat ditegakkan dengan tepat, dan
diagnosa pasti juga belum dapat ditegakkan, penting diperhatikan fungsi-fungsi vital
pasien seperti fungsi kardiopulmonal dan bila perlu memberikan tindakan-tindakan
suportif untuk menyelamatkan hidup. Setelah fungsi kardiopulmonal stabil, harus
21
dilakukan pemeriksaan serum, likuor, EMG (elektromiografi), kecepatan hantar saraf
(KHS/ NCV = nerve conduction velocity), biopsy otot atau saraf dapat dilakukan agar
dapat dibuat suatu diagnosis yang pasti sehingga dapat diberikan pengobatan yang
lebih optimal.
Umumnya kegawatdaruratan neuromuscular berkembang sebagai suatu problema
sekunder pada pasien yang diketahui mempunyai suatu penyakit neuromuscular atau
sistemik (Tabel 2). Hal ini penting sekali untuk mengantisipasi terjadinya komplikasi.
2.1. Definisi SGB(4)
SGB merupakan Polineuropati akut, bersifat simetris dan ascenden, yang
biasanya terjadi 1 – 3 minggu dan kadang sampai 8 minggu setelah suatu
infeksi akut.
SGB merupakan Polineuropati pasca infeksi yang menyebabkan terjadinya
demielinisasi saraf motorik kadang juga mengenai saraf sensorik.
SGB ialah polineuropati yang menyeluruh, dapat berlangsung akut atau
subakut, mungkin terjadi spontan atau sesudah suatu infeksi.
2.2. Sinonim SGB
Acute Inflammatory Demyelinating Polyneuropathy
Landry Guillain Barre Syndrome
Acute Inflammatory Polyneuropathy
Acute Autoimmune Neuropathy
Inflammatory Polyradiculoneuropathy
2.3. Insidensi SGB
Di Amerika Serikat : insiden SGB per tahun berkisar antara 0,4 – 2,0 per
100.000 orang, tidak diketahui jumlah kasus terbanyak menurut musim yang
ada di Amerika Serikat
21
Internasional : angka kejadian sama yakni 1 – 3 per 100.000 orang per
tahun di seluruh dunia untuk semua iklim dan sesama suku bangsa, kecuali di
China yang dihubungkan dengan musim dan infeksi Campylobacter memiliki
predileksi pada musim panas.
Dapat mengenai pada semua usia, terutama puncaknya pada usia dewasa
muda. Dapat juga terjadi pada usia tua, yang diyakini disebabkan oleh
penurunan mekanisme imunosupresor.
Perbandingan antara pria dan wanita adalah 1,25 : 1
2.4. Klasifikasi SGB
Berikut terdapat klasifikasi dari SGB, yaitu: (2,4)
1. Acute Motor-Sensory Axonal Neuropathy (AMSAN)
Sering muncul cepat dan mengalami paralisis yang berat dengan perbaikan
yang lambat dan buruk. Seperti tipe AMAN yang berhubungan dengan infeksi
saluran cerna C jejuni. Patologi yang ditemukan adalah degenerasi akson dari
serabut saraf sensorik dan motorik yang berat dengan sedikir demielinisasi.
2. Acute Motor-Axonal Neuropathy (AMAN)
Berhubungan dengan infeksi saluran cerna C jejuni dan titer antibody
gangliosid meningkat (seperti, GM1, GD1a, GD1b). Penderita tipe ini memiliki
gejala klinis motorik dan secara klinis khas untuk tipe demielinisasi dengan
asending dan paralysis simetris. AMAN dibedakan dengan hasil studi
elektrodiagnostik dimana didapatkan adanya aksonopati motorik. Pada biopsy
menunjukkan degenerasi ‘wallerian like’ tanpa inflamasi limfositik. Perbaikannya
cepat, disabilitas yang dialami penderita selama lebih kurang 1 tahun.
21
3. Miller Fisher Syndrome
Variasi dari SGB yang umum dan merupakan 5 % dari semua kasus SGB.
Sindroma ini terdiri dari ataksia, optalmoplegia dan arefleksia. Ataksia terlihat
pada gaya jalan dan pada batang tubuh dan jarang yang meliputi ekstremitas.
Motorik biasanya tidak terkena. Perbaikan sempurna terjadi dalam hitungan
minggu atau bulan
4. Chronic Inflammatory Demyelinative Polyneuropathy (CIDP)
CIDP memiliki gambaran klinik seperti AIDP, tetapi perkembangan
gejala neurologinya bersifat kronik. Pada sebagian anak, kelainan motorik lebih
dominant dan kelemahan otot lebih berat pada bagian distal
5. Acute pandysautonomia
Tanpa sensorik dan motorik merupakan tipe SGB yang jarang terjadi.
Disfungsi dari sistem simpatis dan parasimparis yang berat mengakibatkan
terjadinya hipotensi postural, retensi saluran kemih dan saluran cerna, anhidrosis,
penurunan salvias dan lakrimasi dan abnormalitas dari pupil.
2.5. Etiologi SGB
Mikroorganisme penyebab belum pernah ditemukan pada penderita dan bukan
merupakan penyakit yang menular juga tidak diturunkan secara herediter. Penyakit ini
merupakan proses autoimun. Tetapi sekitar setengah dari seluruh kasus terjadi setelah
penyakit infeksi virus atau bakteri seperti dibawah ini :
Infeksi virus : Citomegalovirus (CMV), Ebstein Barr Virus (EBV),
enterovirus, Human Immunodefficiency Virus (HIV).
Infeksi bakteri : Campilobacter Jejuni, Mycoplasma Pneumonie.
Pascah pembedahan dan Vaksinasi.
50% dari seluruh kasus terjadi sekitar 1-3 minggu setelah terjadi penyakit
Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA) dan Infeksi Saluran Pencernaan.
21
2.6. Patogenesis SGB(5)
Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain yang
mempresipitasi terjadinya demielinisasi akut pada SGB masih belum diketahui dengan
pasti. Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang terjadi pada
sindroma ini adalah melalui mekanisme imunlogi. Bukti-bukti bahwa
imunopatogenesa merupakan mekanisme yang menimbulkan jejas saraf tepi pada
sindroma ini adalah:
1. Didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler (cell mediated
immunity) terhadap agen infeksius pada saraf tepi.
2. Adanya auto antibodi terhadap sistem saraf tepi.
3. Didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran pada
pembuluh darah saraf tepi yang menimbulkan proses demielinisasi saraf tepi
Proses demielinisasi saraf tepi pada SGB dipengaruhi oleh respon imunitas seluler
dan imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa sebelumnya. Pada SGB,
gangliosid merupakan target dari antibodi. Ikatan antibodi dalam sistem imun tubuh
mengaktivasi terjadinya kerusakan pada myelin. Alasan mengapa komponen normal
dari serabut mielin ini menjadi target dari sistem imun belum diketahui, tetapi infeksi
oleh virus dan bakteri diduga sebagai penyebab adanya respon dari antibodi sistem
imun tubuh. Hal ini didapatkan dari adanya lapisan lipopolisakarida yang mirip
dengan gangliosid dari tubuh manusia. Campylobacter jejuni, bakteri patogen yang
menyebabkan terjadinya diare, mengandung protein membran yang merupakan tiruan
dari gangliosid GM1. Pada kasus infeksi oleh Campylobacter jejuni, kerusakan
terutama terjadi pada degenerasi akson. Perubahan pada akson ini menyebabkan
adanya cross-reacting antibodi ke bentuk gangliosid GM1 untuk merespon adanya
epitop yang sama. Berdasarkan adanya sinyal infeksi yang menginisisasi imunitas
humoral maka sel-T merespon dengan adanya infiltrasi limfosit ke spinal dan saraf
perifer. Terbentuk makrofag di daerah kerusakan dan menyebabkan adanya proses
demielinisasi dan hambatan penghantaran impuls saraf.
21
2.7. Gejala Klinis dan Penegakan Diagnosa SGB
1. Kelemahan
Gambaran klinis yang klasik adalah kelemahan yang ascending dan simetris secara
natural. Anggota tubuh bagian bawah biasanya terkena duluan sebelum tungkai
atas. Otot-otot proksimal mungkin terlibat lebih awal daripada yang lebih
distal. Tubuh, bulbar, dan otot pernapasan dapat terpengaruh juga. Kelemahan otot
pernapasan dengan sesak napas mungkin ditemukan, berkembang secara akut dan
berlangsung selama beberapa hari sampai minggu. Keparahan dapat berkisar dari
kelemahan ringan sampai tetraplegia dengan kegagalan ventilasi.
2. Keterlibatan saraf kranial
Keterlibatan saraf kranial tampak pada 45-75% pasien dengan SGB. Saraf kranial
III-VII dan IX-XII mungkin akan terpengaruh. Keluhan umum mungkin termasuk
sebagai berikut; wajah droop (bisa menampakkan palsy Bell), Diplopias, Dysarthria,
Disfagia, Ophthalmoplegia, serta gangguan pada pupil.
Kelemahan wajah dan orofaringeal biasanya muncul setelah tubuh dan tungkai
yang terkena. Varian Miller-Fisher dari SGB adalah unik karena subtipe ini dimulai
dengan defisit saraf kranial.
3. Perubahan Sensorik
Gejala sensorik biasanya ringan. Dalam kebanyakan kasus, kehilangan sensori
cenderung minimal dan variabel.
Kebanyakan pasien mengeluh parestesia, mati rasa, atau perubahan sensorik
serupa. Gejala sensorik sering mendahului kelemahan. Parestesia umumnya dimulai
pada jari kaki dan ujung jari, berproses menuju ke atas tetapi umumnya tidak melebar
keluar pergelangan tangan atau pergelangan kaki. Kehilangan getaran, proprioseptis,
sentuhan, dan nyeri distal dapat hadir.
4. Nyeri
Dalam sebuah studi tentang nyeri pada pasien dengan SGB, 89% pasien
melaporkan nyeri yang disebabkan SGB pada beberapa waktu selama perjalanannya.
21
Nyeri paling parah dapat dirasakan pada daerah bahu, punggung, pantat, dan paha dan
dapat terjadi bahkan dengan sedikit gerakan. Rasa sakit ini sering digambarkan
sebagai sakit atau berdenyut.
Gejala dysesthetic diamati ada dalam sekitar 50% dari pasien selama
perjalanan penyakit mereka. Dysesthesias sering digambarkan sebagai rasa terbakar,
kesemutan, atau sensasi shocklike dan sering lebih umum di ekstremitas bawah
daripada di ekstremitas atas. Dysesthesias dapat bertahan tanpa batas waktu pada 5-
10%pasien. Sindrom nyeri lainnya yang biasa dialami oleh sebagian pasien dengan
SGB adalah sebagai berikut; Myalgic, nyeri visceral, dan rasa sakit yang terkait
dengan kondisi imobilitas (misalnya, tekanan palsi saraf, ulkus dekubitus).
5. Perubahan otonom
Keterlibatan sistem saraf otonom dengan disfungsi dalam sistem simpatis dan
parasimpatis dapat diamati pada pasien dengan SGB. Perubahan otonom dapat
mencakup sebagai berikut; Takikardia, Bradikardia, Facial flushing, Hipertensi
paroksimal, Hipotensi ortostatik. Retensi urin karena gangguan sfingter urin, karena
paresis lambung dan dismotilitas usus dapat ditemukan.
6. Pernapasan
Empat puluh persen pasien SGB cenderung memiliki kelemahan pernafasan
atau orofaringeal. Keluhan yang khas yang sering ditemukan adalah sebagai berikut;
Dispnea saat aktivitas, Sesak napas, Kesulitan menelan, Bicara cadel.
Kegagalan ventilasi yang memerlukan dukungan pernapasan biasa terjadi pada
hingga sepertiga dari pasien di beberapa waktu selama perjalanan penyakit mereka.
Ciri-ciri kelainan cairan serebrospinal yang kuat menyokong diagnosa: Protein
CSS. Meningkat setekah gejala 1 minggu atau terjadi peningkatan pada LP serial;
jumlah sel CSS < 10 MN/mm3;Varian ( tidak ada peningkatan protein CSS setelah 1
minggu gejala dan Jumlah sel CSS: 11-50 MN/mm3 ).
Gambaran elektrodiagnostik yang mendukung diagnose adalah perlambatan
konduksi saraf bahkan blok pada 80% kasus. Biasanya kecepatan hantar kurang 60%
dari normal.
21
2.8. Definisi Miastenia Gravis
Miastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu
kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara
terus-menerus dan disertai dengan kelelahan saat beraktivitas3,4.
Bila penderita beristirahat, maka tidak lama kemudian kekuatan otot akan pulih
kembali. Penyakit ini timbul karena adanya gangguan dari synaptic transmission
atau pada neuromuscular junction7.
2.9. Epidemiologi Miastenia Gravis
Miastenia gravis merupakan penyakit yang jarang ditemui, dan dapat terjadi
pada berbagai usia. Biasanya penyakit ini lebih sering tampak pada usia 20-50
tahun. Wanita lebih sering menderita penyakit ini dibandingkan pria. Rasio
perbandingan wanita dan pria yang menderita miastenia gravis adalah 6 : 4. Pada
wanita, penyakit ini tampak pada usia yang lebih muda, yaitu sekitar 28 tahun,
sedangkan pada pria, penyakit ini sering terjadi pada usia 42 tahun8,9.
2.10. Patofisiologi Miastenia Gravis
Mekanisme imunogenik memegang peranan yang sangat penting pada
patofisiologi miastenia gravis. Observasi klinik yang mendukung hal ini mencakup
timbulnya kelainan autoimun yang terkait dengan pasien yang menderita miastenia
gravis, misalnya autoimun tiroiditis, sistemik lupus eritematosus, arthritis
rheumatoid, dan lain-lain7.
Sejak tahun 1960, telah didemonstrasikan bagaimana autoantibodi pada serum
penderita miastenia gravis secara langsung melawan konstituen pada otot. Hal
inilah yang memegang peranan penting pada melemahnya otot penderita dengan
miatenia gravis. Tidak diragukan lagi, bahwa antibody pada reseptor nikotinik
21
asetilkolin merupakan penyebab utama kelemahan otot pasien dengan miastenia
gravis. Autoantibodi terhadap asetilkolin reseptor (anti-AChRs), telah dideteksi
pada serum 90% pasien yang menderita acquired myasthenia gravis generalisata2.
Mekanisme pasti tentang hilangnya toleransi imunologik terhadap reseptor
asetilkolin pada penderita miastenia gravis belum sepenuhnya dapat dimengerti.
Miastenia gravis dapat dikatakan sebagai “penyakit terkait sel B”, dimana antibodi
yang merupakan produk dari sel B justru melawan reseptor asetilkolin. Peranan sel
T pada patogenesis miastenia gravis mulai semakin menonjol. Timus merupakan
organ sentral terhadap imunitas yang terkait dengan sel T. Abnormalitas pada
timus seperti hiperplasia timus atau thymoma, biasanya muncul lebih awal pada
pasien dengan gejala miastenik8.
Pada pasien miastenia gravis, antibodi IgG dikomposisikan dalam berbagai
subklas yang berbeda, dimana satu antibodi secara langsung melawan area
imunogenik utama pada subunit alfa. Subunit alfa juga merupakan binding site
dari asetilkolin. Ikatan antibodi reseptor asetilkolin pada reseptor asetilkolin akan
mengakibatkan terhalangnya transmisi neuromuskular melalui beberapa cara,
antara lain : ikatan silang reseptor asetilkolin terhadap antibodi anti-reseptor
asetilkolin dan mengurangi jumlah reseptor asetilkolin pada neuromuscular
junction dengan cara menghancurkan sambungan ikatan pada membran post
sinaptik, sehingga mengurangi area permukaan yang dapat digunakan untuk insersi
reseptor-reseptor asetilkolin yang baru disintesis9.
2.11 Gejala Klinis Miastenia Gravis
Miastenia gravis dikarakteristikkan melalui adanya kelemahan yang
berfluktuasi pada otot rangka dan kelemahan ini akan meningkat apabila sedang
beraktivitas. Penderita akan merasa ototnya sangat lemah pada siang hari dan
kelemahan ini akan berkurang apabila penderita beristirahat8. Gejala klinis
miastenia gravis antara lain :
21
Kelemahan pada otot ekstraokular atau ptosis
Ptosis yang merupakan salah satu gejala kelumpuhan nervus okulomotorius,
seing menjadi keluhan utama penderita miastenia gravis. Walaupun pada
miastenia gravis otot levator palpebra jelas lumpuh, namun ada kalanya otot-
otot okular masih bergerak normal. Tetapi pada tahap lanjut kelumpuhan otot
okular kedua belah sisi akan melengkapi ptosis miastenia gravis7. Kelemahan
otot bulbar juga sering terjadi, diikuti dengan kelemahan pada fleksi dan
ekstensi kepala7.
Gambar 3. Penderita Miastenia Gravis yang mengalami kelemahan otot esktraokular (ptosis).
Kelemahan otot penderita semakin lama akan semakin memburuk. Kelemahan
tersebut akan menyebar mulai dari otot ocular, otot wajah, otot leher, hingga ke
otot ekstremitas7.
Sewaktu-waktu dapat pula timbul kelemahan dari otot masseter sehingga mulut
penderita sukar untuk ditutup. Selain itu dapat pula timbul kelemahan dari otot
faring, lidah, pallatum molle, dan laring sehingga timbullah kesukaran menelan
dan berbicara. Paresis dari pallatum molle akan menimbulkan suara sengau.
Selain itu bila penderita minum air, mungkin air itu dapat keluar dari hidungnya.
21
2.12. Klasifikasi Miastenia Gravis
Menurut Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA), miastenia gravis
dapat diklasifikasikan sebagai berikut7:
a. Klas I
Adanya kelemahan otot-otot okular, kelemahan pada saat menutup mata, dan
kekuatan otot-otot lain normal.
b. Klas II
Terdapat kelemahan otot okular yang semakin parah, serta adanya kelemahan
ringan pada otot-otot lain selain otot okular.
c. Klas IIa
Mempengaruhi otot-otot aksial, anggota tubuh, atau keduanya. Juga terdapat
kelemahan otot-otot orofaringeal yang ringan.
d. Klas IIb
Mempengaruhi otot-otot orofaringeal, otot pernapasan atau keduanya.
Kelemahan pada otot-otot anggota tubuh dan otot-otot aksial lebih ringan
dibandingkan klas IIa.
e. Klas III
Terdapat kelemahan yang berat pada otot-otot okular. Sedangkan otot-otot lain
selain otot-otot ocular mengalami kelemahan tingkat sedang.
f. Klas IIIa
Mempengaruhi otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya secara
predominan. Terdapat kelemahan otot orofaringeal yang ringan.
g. Klas IIIb
Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan, atau keduanya secara
predominan. Terdapat kelemahan otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau
keduanya dalam derajat ringan.
21
h. Klas IV
Otot-otot lain selain otot-otot okular mengalami kelemahan dalam derajat yang
berat, sedangkan otot-otot okular mengalami kelemahan dalam berbagai derajat.
i. Klas IVa
Secara predominan mempengaruhi otot-otot anggota tubuh dan atau otot-otot
aksial. Otot orofaringeal mengalami kelemahan dalam derajat ringan.
j. Klas IVb
Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan atau keduanya secara
predominan. Selain itu juga terdapat kelemahan pada otot-otot anggota tubuh,
otot-otot aksial, atau keduanya dengan derajat ringan. Penderita menggunakan
feeding tube tanpa dilakukan intubasi.
k. Klas V
Penderita terintubasi, dengan atau tanpa ventilasi mekanik.
Biasanya gejala-gejala miastenia gravis sepeti ptosis dan strabismus tidak akan
tampak pada waktu pagi hari. Di waktu sore hari atau dalam cuaca panas, gejala-
gejala itu akan tampak lebih jelas. Pada pemeriksaan, tonus otot tampaknya agak
menurun3.
Miastenia gravis juga dapat dikelompokkan secara lebih sederhana seperti dibawah
ini3 :
a. Miastenia gravis dengan ptosis atau diplopia ringan.
b. Miastenia gravis dengan ptosis, diplopi, dan kelemahan otot-otot untuk untuk
mengunyah, menelan, dan berbicara. Otot-otot anggota tubuhpun dapat ikut
menjadi lemah. Pernapasan tidak terganggu.
c. Miastenia Gravis yang berlangsung secara cepat dengan kelemahan otot-otot
okulobulbar. Pernapasan tidak terganggu. Penderita dapat meninggal dunia.
21
2.13. Diagnosis Miastenia Gravis
1. Penegakan Diagnosis Miastenia Gravis
Pemeriksaan fisik yang cermat harus dilakukan untuk menegakkan
diagnosis suatu miastenia gravis. Kelemahan otot dapat muncul dalam
berbagai derajat yang berbeda, biasanya menghinggapi bagian proksimal
dari tubuh serta simetris di kedua anggota gerak kanan dan kiri. Refleks
tendon biasanya masih ada dalam batas normal8.
Miastenia gravis biasanya selalu disertai dengan adanya kelemahan
pada otot wajah. Kelemahan otot wajah bilateral akan menyebabkan
timbulnya a mask-like face dengan adanya ptosis dan senyum yang
horizontal9.
Kelemahan otot bulbar juga sering terjadi pada penderita dengan
miastenia gravis. Pada pemeriksaan fisik, terdapat kelemahan otot-otot
palatum, yang menyebabkan suara penderita seperti berada di hidung (nasal
twang to the voice) serta regurgitasi makanan terutama yang bersifat cair ke
hidung penderita. Selain itu, penderita miastenia gravis akan mengalami
kesulitan dalam mengunyah serta menelan makanan, sehingga dapat terjadi
aspirasi cairan yang menyebabbkan penderita batuk dan tersedak saat
minum. Kelemahan otot-otot rahang pada miastenia gravis menyebakan
penderita sulit untuk menutup mulutnya, sehingga dagu penderita harus
terus ditopang dengan tangan. Otot-otot leher juga mengalami kelemahan,
sehingga terjadi gangguan pada saat fleksi serta ekstensi dari leher7.
Otot-otot anggota tubuh tertentu mengalami kelemahan lebih sering
dibandingkan otot-otot anggota tubuh yang lain, dimana otot-otot anggota
tubuh atas lebih sering mengalami kelemahan dibandingkan otot-otot
anggota tubuh bawah. Deltoid serta fungsi ekstensi dari otot-otot
pergelangan tangan serta jari-jari tangan sering kali mengalami kelemahan.
Otot trisep lebih sering terpengaruh dibandingkan otot bisep. Pada
21
ekstremitas bawah, sering kali terjadi kelemahan saat melakukan fleksi
panggul, serta melakukan dorsofleksi jari-jari kaki dibandingkan dengan
melakukan plantarfleksi jari-jari kaki4.
Kelemahan otot-otot pernapasan dapat menyebabkan gagal napas akut,
dimana hal ini merupakan suatu keadaan gawat darurat dan tindakan
intubasi cepat sangat diperlukan. Kelemahan otot-otot interkostal serta
diafragma dapat menyebabkan retensi karbondioksida sehingga akan
berakibat terjadinya hipoventilasi. Kelemahan otot-otot faring dapat
menyebabkan kolapsnya saluran napas atas, pengawasan yang ketat terhadap
fungsi respirasi pada pasien miastenia gravis fase akut sangat diperlukan4.
Biasanya kelemahan otot-otot ekstraokular terjadi secara asimetris.
Kelemahan sering kali mempengaruhi lebih dari satu otot ekstraokular, dan
tidak hanya terbatas pada otot yang diinervasi oleh satu nervus cranialis. Hal
ini merupakan tanda yang sangat penting untuk mendiagnosis suatu
miastenia gravis. Kelemahan pada muskulus rektus lateralis dan medialis
akan menyebabkan terjadinya suatu pseudointernuclear ophthalmoplegia,
yang ditandai dengan terbatasnya kemampuan adduksi salah satu mata yang
disertai nistagmus pada mata yang melakukan abduksi7.
Untuk penegakan diagnosis miastenia gravis, dapat dilakukan pemeriksaan
sebagai berikut8 :
1. Penderita ditugaskan untuk menghitung dengan suara yang keras. Lama
kelamaan akan terdengar bahwa suaranya bertambah lemah dan menjadi
kurang terang. Penderita menjadi anartris dan afonis.
2. Penderita ditugaskan untuk mengedipkan matanya secara terus-menerus.
Lama kelamaan akan timbul ptosis. Setelah suara penderita menjadi parau
atau tampak ada ptosis, maka penderita disuruh beristirahat.. Kemudian
tampak bahwa suaranya akan kembali baik dan ptosis juga tidak tampak
lagi.
21
Untuk memastikan diagnosis miastenia gravis, dapat dilakukan beberapa tes
antara lain7 :
1. Uji Tensilon (edrophonium chloride)
Untuk uji tensilon, disuntikkan 2 mg tensilon secara intravena, bila tidak
terdapat reaksi maka disuntikkan lagi sebanyak 8 mg tensilon secara
intravena. Segera sesudah tensilon disuntikkan hendaknya diperhatikan
otot-otot yang lemah seperti misalnya kelopak mata yang memperlihatkan
ptosis. Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis, maka
ptosis itu akan segera lenyap. Pada uji ini kelopak mata yang lemah harus
diperhatikan dengan sangat seksama, karena efektivitas tensilon sangat
singkat.
2. Uji Prostigmin (neostigmin)
Pada tes ini disuntikkan 3 cc atau 1,5 mg prostigmin methylsulfat secara
intramuskular (bila perlu, diberikan pula atropin ¼ atau ½ mg). Bila
kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis maka gejala-gejala
seperti misalnya ptosis, strabismus atau kelemahan lain tidak lama
kemudian akan lenyap.
3. Uji Kinin
Diberikan 3 tablet kinin masing-masing 200 mg. 3 jam kemudian
diberikan 3 tablet lagi (masing-masing 200 mg per tablet). Bila kelemahan
itu benar disebabkan oleh miastenia gravis, maka gejala seperti ptosis,
strabismus, dan lain-lain akan bertambah berat. Untuk uji ini, sebaiknya
disiapkan juga injeksi prostigmin, agar gejala-gejala miastenik tidak
bertambah berat.
21
DAFTAR PUSTAKA
1. Guillain-Barré Syndrome. Available from: http://www.medicinenet.com/guillain-
barre_syndrome/article.htm. [diakses tanggal 29 Juli 2012].
2. Overview of Guillain-Barre Syndrome. http:// www.mayoclinic.com /health/
guillain-barre- syndrome /DS00413/ DSECTION. [diakses tanggal 29 Juli 2012].
3. Munandar A. Laporan Kasus Sindroma Guillan-Barre dan Tifus Abdominalis.
Unit Neurologi RS Husada Jakarta. Available from : URL :
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/14SindormGuillainBarre93.pdf/14Sindo
rmGuillainBarre93.html. [diakses tanggal 28 Juli 2012].
4. Newswanger Dana L., Warren Charles R., Guillain-Barre Syndrome,
http://www.americanfamilyphysician.com. [diakses tanggal 28 Juli 2012].
5. Japardi I. Sindroma Guillan-Barre. FK USU Bagian Bedah. Available from :
URL : http://library.usu.ac.id/download/fk/bedah-iskandar%20japardi46.pdf.
[diakses tanggal 29 Juli 2012].
6. Mardjono Mahar, Sidharta Priguna. Sindroma Guillain-Barre : Neurologi Klinis Dasar,
Cetakan ke 8. Dian Rakyat, Jakarta, 2000.
7. Engel, A. G. MD. Myasthenia Gravis and Myasthenic Syndromes. Ann Neurol 16:
Page: 519-534. 1984.
8. Lewis, R.A, Selwa J.F, Lisak, R.P. Myasthenia Gravis: Immunological
Mechanisms and Immunotherapy. Ann Neurol. 37(S1):S51-S62. 1995.
9. Ngoerah, I. G. N. G, Dasar-dasar Ilmu Penyakit Saraf. Airlanga University Press.
Page: 301-305. 1991.
10. Howard, J. F. Myasthenia Gravis, a Summary. Available at :
http://www.ninds.nih.gov/disorders/myasthenia_gravis/detail_myasthenia_gravis.h
tm. Accessed : March 22, 2008.