Polimerisasi Asam Laktat

27
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Polimer Polimer adalah suatu makromolekul yang terbentuk dari molekul-molekul kecil dalam jumlah yang sangat banyak. Molekul kecil yang menjadi unsur dasar pembentuk polimer disebut monomer. Proses pembentukan polimer ini disebut dengan istilah polimerisasi. Jumlah monomer yang terlibat dapat mencapai ratusan, ribuan, bahkan lebih. 2.1.1. Polimerisasi Reaksi polimerisasi dapat dilakukan dengan 2 proses, berdasarkan pada mekanisme yang terjadi selama proses polimerisasi, yaitu Step Polymerization dan Chain Polymerization. Step Polymerization adalah reaksi polimerisasi dimana mekanisme reaksi monomer-monomer yang ada terjadi secara bertahap (stepwise). Maksudnya bertahap disini adalah jumlah komponen –mer yang terbentuk berurutan, dari monomer, dimer, trimer, dan seterusnya sampai terbentuk polimer yang berantai panjang, yang jika ditulis dalam bentuk reaksi adalah sebagai berikut : - Monomer + Monomer → Dimer - Monomer + Dimer → Trimer - Dimer + Dimer → Tetramer - Trimer + Dimer → Pentamer 4

Transcript of Polimerisasi Asam Laktat

Page 1: Polimerisasi Asam Laktat

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Polimer

Polimer adalah suatu makromolekul yang terbentuk dari molekul-molekul kecil

dalam jumlah yang sangat banyak. Molekul kecil yang menjadi unsur dasar pembentuk

polimer disebut monomer. Proses pembentukan polimer ini disebut dengan istilah

polimerisasi. Jumlah monomer yang terlibat dapat mencapai ratusan, ribuan, bahkan lebih.

2.1.1. Polimerisasi

Reaksi polimerisasi dapat dilakukan dengan 2 proses, berdasarkan pada

mekanisme yang terjadi selama proses polimerisasi, yaitu Step Polymerization dan Chain

Polymerization. Step Polymerization adalah reaksi polimerisasi dimana mekanisme reaksi

monomer-monomer yang ada terjadi secara bertahap (stepwise). Maksudnya bertahap

disini adalah jumlah komponen –mer yang terbentuk berurutan, dari monomer, dimer,

trimer, dan seterusnya sampai terbentuk polimer yang berantai panjang, yang jika ditulis

dalam bentuk reaksi adalah sebagai berikut :

- Monomer + Monomer → Dimer

- Monomer + Dimer → Trimer

- Dimer + Dimer → Tetramer

- Trimer + Dimer → Pentamer

dan seterusnya sampai terbentuk polimer berantai panjang bergantung pada monomer

yang tersedia sebagai reaktan dalam reaksi polimerisasi. Sebagian besar reaksi

polimerisasi yang mengikuti mekanisme jenis ini menghasilkan produk samping berupa

molekul kecil (misalnya air). Karena seringkali step polymerization menghasilkan air

sebagai produk dalam polimerisasi ini, Step Polymerization seringkali disebut juga

Condensation Polymerization, walaupun sebenarnya, ada beberapa reaksi lain yang

menghasilkan produk selain air, bahkan ada pula reaksi yang tidak menghasilkan produk

samping apapun. Contoh reaksi polimerisasi yang mengikuti mekanisme Step

Polymerization adalah pembuatan polimer Polyamide dan pembuatan polimer

Polyurethane.[2]

4

Page 2: Polimerisasi Asam Laktat

5

Jenis reaksi polimerisasi yang kedua adalah Chain Polymerization. Chain

Polymerization adalah reaksi polimerisasi dimana reaksi antara monomer-monomernya

terjadi secara berantai (chain). Artinya adalah monomer-monomer yang ada langsung

saling “menyatu” membentuk rantai polimer yang panjang, sangat berbeda dengan Step

Polymerization yang reaksi antar monomernya terjadi secara bertahap. Contoh reaksi

polimerisasi yang mengikuti mekanisme reaksi seperti ini adalah reaksi pembuatan

Polyethylene.

Jika dibandingkan, ada factor-faktor mendasar yang membedakan antara Step

Polymerization dengan Chain Polymerization, yaitu :

a. Monomer pada Step Polymerization harus memiliki gugus fungsi (seperti gugus

karboksilat, alkohol, dll) sedangkan monomer pada Chain Polymerization hanya

memiliki ikatan rangkap (dua atau tiga). Pada Step Polymerization, penyatuan 2

monomer terjadi pada gugus fungsi monomer tersebut dan penyatuan tersebut

disertai dengan proses pelepasan molekul kecil (seperti air) sedangkan pada Chain

Polymerization, terjadi pemutusan ikatan rangkap untuk kemudian monomer-

monomer tersebut dapat menyatu. Karena inilah, Chain Polymerization disebut juga

dengan Addition Polymerization.

b. Suhu dan tekanan operasi pembentukan polimer dengan mekanisme Step

Polymerization relatif lebih rendah dari Chain Polymerization.

c. Jika dilihat dari kecepatan pembentukan polimernya, polimerisasi dengan mekanisme

Chain Polymerization akan menghasilkan polimer dengan lebih cepat dibandingkan

dengan Step Polymerization (dilihat dari massa molekul relatif polimer pada suatu

waktu tertentu). Ini bisa terjadi dikarenakan pada Step Polymerization, reaksi

pembentukannya terjadi secara bertahap (stepwise) sehingga membutuhkan waktu

lebih lama.

d. Pada Chain Polymerization, mutlak dibutuhkan senyawa yang dapat bertindak

sebagai inisiator reaksi polimerisasi (inisiator ini mirip fungsinya sebagai katalis,

membuat reaksi polimerisasi dapat berjalan) . Untuk Step Polymerization, reaksi

polimerisasi dapat berjalan walaupun tidak ada katalis, yang terpenting adalah

pengambilan molekul-molekul kecil yang terbentuk (karena produk molekul kecil

akan menyebabkan perubahan arah kesetimbangan reaksi).

Page 3: Polimerisasi Asam Laktat

6

Dalam membuat polimer, perlu diperhatikan kondisi operasi agar reaksi

polimerisasi dapat berjalan dengan sempurna dan didapatkan hasil yang diharapkan.

Faktor-faktor yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut[2]:

- Reaktan yang digunakan

Reaktan yang digunakan sebaiknya memiliki kemurnian yang tinggi (hanya

mengandung monomer saja, tidak ada pengotor) karena dengan kemurnian yang

tinggi, reaksi polimerisasi dapat berjalan dengan lebih cepat sehingga waktu bisa

ditekan tidak terlalu lama.

- Suhu operasi

Reaksi yang berbeda membutuhkan kondisi operasi yang berbeda pula. Temperatur

operasi harus optimum sesuai reaksi yang ada sehingga reaksi bisa berjalan dan

didapatkan hasil yang diharapkan, yaitu polimer yang memiliki massa molekul yang

besar.

- Arah kesetimbangan

Hampir semua Condensation Polymerization merupakan reaksi kesetimbangan. Oleh

karena itu, reaksi polimerisasi hendaknya didorong ke arah produk (polimer). Salah

satunya caranya adalah mengambil molekul kecil yang terbentuk sehingga

kesetimbangan diharapkan mengarah ke pembentukan produk polimer.

- Katalis / inisiator

Secara umum, Chain Polymerization membutuhkan katalis dalam prosesnya

sedangkan untuk Step Polymerization tidak diperlukan katalis karena memang reaksi

secara Step Polymerization dapat berjalan walaupun tidak ada katalis.

2.1.2. Sifat Fisika dan Kimia

Secara umum, polimer memiliki sifat fisika juga sifat kimia yang khas, yang

sangat berbeda dengan monomer pembentuk polimer itu sendiri. Contohnya, karakteristik

Polyethylene berbeda dengan monomernya, yaitu ethylene (etena). Berikut adalah

karakter fisik (dan kimia) yang dapat ditentukan dari suatu polimer :

Page 4: Polimerisasi Asam Laktat

7

- Massa molekul relatif

Massa molekul relatif polimer memperlihatkan kekuatan polimer terhadap perlakuan

mekanis dan termal. Semakin besar massa molekul relatifnya, semakin kuat pula

polimer tersebut (dalam hal termal maupun mekanis).

- Bentuk struktur (structural shape)

Menyatakan bentuk ikatan yang terjadi antara monomer-monomer sampai terbentuk

suatu polimer. Bentuk struktur polimer dibagi menjadi 3, yaitu linear (lurus),

branching (bercabang), dan crosslinking (saling berikatan antar polimer). Bentuk

struktur ini akan mempengaruhi sifat fisik polimer, terutama pada kekuatan mekanis

dan termal.

- “Crystalline Melting Temperature” (Tm) dan “Glass Transition Temperature” (Tg)

“Crystalline melting temperature” adalah suhu dimana domain Kristal dari suatu

polimer mulai meleleh sedangkan Glass Transition Temperature adalah suhu dimana

domain amorf dalam polimer mulai mengeras / membeku seperti layaknya gelas.

Nilai Tm dan Tg ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti bentuk struktur

polimer, kristalinitas, dan kepolaran Kristal dalam domain polimer.

- Kristalinitas (crystalines)

Kristalinitas menunjukkan keteraturan molekul polimer dalam struktur mikroskopis.

Kristalinitas dibagi menjadi 3 macam, yaitu crystalline, semi-crystalline, dan

amorphous. Polimer dengan struktur crystalline memiliki susunan molekul yang

teratur dan kompak dalam suatu struktur kristal. Polimer dengan struktur semi-

crystalline mirip crystalline tetapi tidak terlalu teratur. Polimer dengan struktur

amorphous tidak memiliki struktur kristal.

Karakter fisik yang ditentukan untuk karakterisasi suatu polimer adalah massa

molekul relatif polimer (Mn) tersebut. Dalam kasus polimer, massa molekul relatif yang

diukur adalah massa molekul relatif rata-rata. Ini dikarenakan selain polimer itu sendiri,

terdapat juga senyawa-senyawa lain selain polimer itu sendiri, misalnya molekul kecil

hasil samping dari Step Polymerization. Secara umum, kekuatan polimer (mekanis dan

termal) mulai terlihat seiiring dengan meningkatnya massa molekul polimer.

Massa molekul relatif untuk polimer bermacam-macam jenisnya, tetapi berikut

adalah 3 jenis massa molekul relatif yang paling penting adalah :

Page 5: Polimerisasi Asam Laktat

8

- Number-average molecular weight, disimbolkan dengan Mn, adalah massa

molekular yang didapat dari pengukuran atau pengamatan sifat fisik dari polimer

tersebut, seperti penurunan titik beku, kenaikan titik didih, tekanan osmotic, dan

penurunan tekanan uap.

- Weight-average molecular weight, disimbolkan dengan Mw, adalah massa molekular

yang didapat dari komposisi massa di dalam campuran polimer.

- Viscosity-average molecular weight, disimbolkan dengan Mv, adalah massa

molekular yang didapat dari perhitungan viskositas polimer tersebut.

Untuk number-average molecular weight, nilainya merupakan berat molekul campuran

polimer yang memiliki massa molekular yang kecil sedangkan weight-average molecular

weight merupakan massa molekular berat molekul bagian campuran polimer yang

memiliki massa molekular yang besar. Nilai viscosity-average molecular weight kurang

lebih sama dengan weight-average molecular weight. Kedua nilai Mn dan Mw perlu

ditentukan sehingga dapat diketahui komposisi dalam suatu campuran polimer, apakah

lebih banyak senyawa bermassa molekul besar atau senyawa dengan massa molekul

kecil.[1]

Perbandingan antara Mw dengan Mn dapat disebut angka polidispersitas.[1]

Polidispersitas menunjukkan rentang berat molekul polimer yang ada. Semakin besar

nilai polidispersitas, semakin heterogen campuran polimer tersebut. Hal ini perlu

dihindari karena diinginkan polimer dalam kuantitas yang kurang lebih seragam. Jika

polidispersitas bernilai 1, maka didapatkan polimer yang kira-kira seragam dalam hal

panjang molekul dan jumlah ikatan yang ada. Secara umum, Mw mewakili massa

molekul relatif senyawa yang memiliki massa molekul yang besar (karena sifat polimer

sangat bergantung pada senyawa yang memiliki massa molekul yang besar) sedangkan

Mn membantu kita untuk mengetahui tingkat heterogen suatu campuran polimer dengan

melihat senyawa yang jumlah molekulnya lebih pendek.

Seperti yang telah dijelaskan, polimer merupakan suatu makromolekul yang

terbentuk karena adanya ikatan sejumlah monomer menjadi satu kesatuan. Ada 3

kemungkinan struktur ikatan yang dapat terjadi dalam pembbentukan polimer :

- Lurus (linear) → ikatan yang terbentuk lurus

- Bercabang (branch) → ikatan yang terbentuk bercabang

Page 6: Polimerisasi Asam Laktat

9

- Saling berikatan antar polimer (crosslinking) → ikatan yang terbentuk antara

molekul-molekul polimer yang ada

Untuk struktur linear, polimer tersusun secara teratur (lain halnya dengan 2 struktur

lainnya). Keteraturan ini member efek langsung pada kekuatan polimer dalam hal

mekanis dan termalnya. Polimer yang memiliki struktur linear lebih tahan suhu tinggi

(terdekomposisi pada suhu yang relatif tinggi) dan memiliki tensile strength yang besar.

Polimer yang memiliki struktur linear cenderung lebih teratur sehingga pada proses

kristalisasi suatu polimer (contohnya dengan mendinginkan polimer tersebut), Kristal

yang terjadi akan lebih padat karena struktur penyusun Kristal berbentuk teratur sehingga

dalam 1 kristal, polimer berstruktur linear akan menempati “tempat” dalam Kristal lebih

banyak dan kompak. Contoh polimer dengan struktur semacam ini adalah polyethylene.[3]

Pada struktur bercabang (branch), strukturnya relatif tidak teratur jika

dibandingkan dengan linear. Ketidak-teraturan ini memberikan kecenderungan pada

suatu polimer untuk tidak membentuk suatu struktur Kristal, melainkan struktur amorf

(amorf). Struktur ini bisa terbentuk jika monomer yang digunakan memiliki ikatan yang

bercabang (seperti polyisobutylene). Polimer yang memiliki struktur semacam ini

cenderung tidak memiliki daya tahan termal yang baik. Tetapi, struktur ini memberikan

keuntungan dalam hal daya tahan mekanis karena ketika diberi gaya (misalnya ditarik),

polimer akan mengalami pemanjangan (elongation). Dalam hal ini, kelebihan struktur ini

ada dalam hal fleksibilitasnya karena bersifat elastis. Contoh polimer dengan struktur ini

adalah polyisobutylene.[3]

Untuk struktur saling terhubung (crosslinking), strukturnya relatif lebih teratur

dari branching. Keteraturan ini terlihat dari strukturnya yang saling bercabang tetapi

membentuk struktur tertutup. Polimer dengan struktur seperti ini memiliki kelebihan pada

hal kelarutan. Polimer semacam ini tidak mudah larut dalam pelarut-pelarut. Semakin

kompleks struktur yang ada, semakin sulit pula polimer ini dilarutkan. Jika dibandingkan

dengan struktur linear, polimer dengan struktur crosslinking memberikan ketahanan

termal yang lebih baik karena struktur molekulnya sudah tertentu sehingga sangat

kompak. Jika dilihat dari sisi lingkungan, polimer semacam ini tidak diharapkan karena

proses degradasi polimer ini akan memakan waktu yang lama (bisa disebut juga non

degradable). Contoh polimer dengan struktur semacam ini adalah polyethylene dengan

derajat polimerisasi yang besar.[3]

Page 7: Polimerisasi Asam Laktat

10

Gambar 2.1 Struktur polimer (a)linear, (b)branch, (c)crosslinking

Secara umum, ketika polimer dengan struktur linear dipanaskan sampai suhu

tertentu diatas suhu glass-transitionnya, maka yang akan terjadi adalah struktur kristal

polimer akan meleleh sehingga polimer akan berfasa cairan yang viskos sehingga dapat

mengalir. Ketika dilakukan pendinginan, dengan segera molekul polimer akan

membentuk struktur kristal dengan mudah karena struktur linear yang sederhana sehingga

senyawanya mudah membentuk struktur kristal. Polimer semcam ini disebut sebagai

thermoplastic polymers[1].

Jika polimer dengan struktur crosslinking dipanaskan, struktur molekularnya

tidak akan berubah seperti yang terjadi pada struktur linear. Strukturnya akan tetap pada

bentuk awal dan tidak berubah fasa menjadi cairan, melainkan berbentuk padatan[1]. Di

fasa ini, polimer tidak akan larut pada pelarut-pelarut yang ada. Polimer semacam ini

dapat disebut thermosets polymers[1].

Derajat polimerisasi (degree of polymerization / DP) adalah jumlah unit

monomer yang berulang pada suatu unit polimer[3].Secara umum, semakin besar derajat

polimerisasi, semakin banyak pula unit monomer yang berulang dalam suatu polimer.

Sebagai contoh, jika dalam suatu polylactic acid terdapat 100 unit monomer asam laktat,

maka dapat dikatakan bahwa nilai DPnya adalah 100. Semakin besar DP suatu polimer,

semakin besar pula massa molekul relatif polimer karena unit monomer dalam polimer

semakin banyak.

Salah satu aspek untuk karakterisasi suatu polimer adalah ketaktisan strukturnya

(tacticity). Tacticity adalah susunan molekular polimer dalam menempati struktur

geometris / ruangnya[1]. Tacticity suatu polimer dilihat dari karbon kiral yang ada dalam

struktur polimer. Karbon kiral adalah atom karbon yang memiliki 4 ikatan kovalen

dengan senyawa-senyawa lain yang saling berbeda[3]. Tacticity sendiri terdiri dari 3

macam, yaitu syndiotactic, isotactic, dan atactic. Pada isotactic, atom karbon kiral yang

ada menempati struktur ruang yang sama dengan atom karbon kiral lain yang ada. Pada

Page 8: Polimerisasi Asam Laktat

11

syndiotactic, atom karbon kiral menempati struktur geometris yang berbeda dengan atom

karbon kiral kedua tetapi sama dengan atom karbon kiral yang ketiga (alternating). Pada

atactic, atom karbon kiral menempati struktur geometris yang tidak teratur[3]. Jika

dibandingkan, struktur geometris isotactic merupakan struktur yang paling teratur

sedangkan atactic merupakan struktur yang paling tidak teratur.

Gambar 2.2 Tacticity struktur polimer

Tacticity yang dimiliki polimer akan mempengaruhi kristalinitasnya (crystalline). Polimer

dengan struktur isotactic memiliki kristalinitas yang tinggi karena molekul polimer akan

menempati struktur Kristal dengan lebih kompak dan padat. Sedangkan untuk atactic,

strukturnya tidak teratur sehingga Kristalinitas yang dimiliki polimer kurang tinggi.

Dengan tingkat kristalinitas yang tinggi, ketahanan polimer dalam hal panas akan makin

baik. Ini dapat dilhat dari nilai glass-transition temperature dan melting temperature

yang relatif tinggi. Sebagai contoh, isotactic polipropilena memiliki suhu leleh 160oC

sedangkan atactic polipropilena memiliki suhu leleh sebesar 75oC[3].

2.1.3. Perhitungan Viscosity-Average Molecular Weight

Secara umum, jika hendak mencari viscosity-average molecular weight atau Mv,

perlu diukur terlebih dahulu waktu yang dibutuhkan polimer untuk mengalir pada pipa

kapiler di viskometer Ostwalt. Selain itu, perlu juga diukur waktu yang dibutuhkan

senyawa yang digunakan sebagai pelarut polimer yang ada untuk mengalir. Setelah itu,

nilai viskositas relatif (relative viscosity) dicari dengan rumus

µr = t / to

Page 9: Polimerisasi Asam Laktat

12

dimana t dan to adalah waktu yang dibutuhkan suatu polimer dan suatu pelarut dari

polimer untuk menempuh pipa kapiler pada viscometer Ostwald. Setelah itu, hitung nilai

ln(μr / c) dimana c adalah konsentrasi polimer dalam suatu campuran. Dengan “bantuan”

beberapa data viskositas relatif di berbagai nilai c, diharapkan nilai ln(µrc

) dapat

diekstrapolasi sehingga bisa didapat nilai viskositas intrinsic ( [µ] ). Kemudian, nilai

viskositas intrinsik dapat digunakan untuk mendapatkan nilai viscosity-average

molecular weight dengan rumus

[µ] = K Ma

M = [[µ ]K

]a

dimana K dan a adalah konstanta Mark-Houwink. Nilai K ada di rentang 0,0005 - 0,5

sedangkan nilai a berada di rentang 0,6 – 0,8.[2]

2.2. Asam Laktat

2.2.1. Sifat Fisika dan Kimia

Asam laktat (lactic acid) merupakan nama dagang dari asam-2-hidroksi

propanoat (2-hydroxypropionic acid)[5]. Nama lain dari asam laktat adalah α-

hydroxypropionic acid[6]. Asam laktat terdiri dari 2 gugus fungsi, yaitu gugus hidroksil /

alkohol (-OH) dan gugus karboksil (-COOH). Kehadiran gugus hidroksil membuat

molekul ini bersifat asam karena senyawa dengan gugus karboksil cenderung melepas ion

H+ dan membuat senyawa menjadi bersifat asam[6].

Gambar 2.3 Struktur Molekular Asam Laktat

Asam laktat larut di dalam air dengan komposisi 86% di suhu 20oC[5]. Selain itu,

asam laktat sangat larut dalam kloroform dengan koefisien distribusi yang sangat besar [5].

Koefisien distribusi asam laktat dalam pelarut adalah perbandingan konsentrasi asam

laktat yang terlarut dalam pelarut organik dibandingkan dengan konsentrasi asam laktat

Page 10: Polimerisasi Asam Laktat

13

yang terlarut dalam pelarut air. Berikut disajikan tabel pengaruh pelarut yang digunakan

terhadap koefisien distribusi asam laktat yang didapat :

Tabel 2.1 Koefisien Distribusi Asam Laktat dalam Pelarut-pelarut[5]

Pelarut Temperatur (oC)

Koefisien distribusi

Isobutanol 31 1,37Isopropyl ether 28 35

Diisobutyl ketone 25 36Ethyl Carbonate 25 21

Kloroform 25 106Kloroform 28 100

Asam laktat bersifat non-volatile (tidak mudah menguap), tidak berbau

(odorless), dan tidak berwarna (colourless). Selain itu, karena bersifat asam dan

cenderung bersifat sebagai akseptor electron, asam laktat bereaksi dengan logam

membentuk gas hydrogen dan garam logam (metal salt)[5].

2.2.2. Struktur Optis

Pada suatu struktur ruang, atom karbon kiral tersebut dapat menempati keadaan

yang berbeda. Perbedaan tersebut didasarkan pada letak senyawa yang berikatan pada

atom karbon kiral tersebut pada struktur 3 dimensi. Susunan letak senyawa yang

berikatan dengan atom karbon kiral pada struktur 3 dimensi ini dapat disebut

konfigurasi[4]. Berdasarkan arah putaran atom karbon kiral yang terjadi, konfigurasi dapat

dibedakan menjadi 2 macam[4] :

- Rectus (disimbolkan dengan R), arah putaran atom karbon kiral searah jarum jam

(clockwise)

- Sinister (disimbolkan dengan S), arah putaran atom karbon kiral berlawanan arah

jarum jam (counter clockwise)

Berdasarkan pada konfigurasi yang ada, asam laktat dibedakan menjadi (S)-asam laktat

dan (R)-asam laktat. Secara fisik, perbedaan antara (S)-asam laktat dan (R)-asam laktat

adalah titik lelehnya. Untuk (S)-asam laktat, titik lelehnya sebesar 53oC sedangkan (R)-

Page 11: Polimerisasi Asam Laktat

14

asam laktat mempunyai titik leleh 52,8oC[5]. Keduanya merupakan senyawa dasar untuk

membentuk polylactic acid.

Gambar 2.4 (S)-asam laktat (kiri) dan (R)-asam laktat

Selain dilihat dari perputaran atom karbon kiralnya, suatu senyawa dapat

diketahui struktur geometrinya dari arah perputaran bidang polarisasi cahaya oleh

senyawa[4] (senyawa harus memiliki karbon kiral). Menurut arah perputaran yang terjadi,

dapat dibedakan menjadi 2 macam :

- Dextrorotatory (disimbolkan dengan d, bukan D), senyawa memutar bidang

polarisasi searah jarum jam (clockwise)

- Levorotatory (disimbolkan dengan l), senyawa memutar bidang polarisasi

berlawanan arah jarum jam (counter-clockwise)

Asam laktat yang memutar bidang polarisasi secara dextrorotary disebut juga (d)-asam

laktat atau (+)- asam laktat sedangkan untuk asam laktat yang memutar bidang polarisasi

secara levorotatory disebut juga dengan (l)-asam laktat atau (-)-asam laktat[4].

Secara umum, tidak ada hubungan antara konfigurasi asam laktat (dinyatakan

dengan R dan S) dengan perputaran bidang polarisasi yang dilakukan oleh asam laktat

(dinyatakan dengan d dan l) karena perbedaan prinsip penentuan perputaran / rotasi. Pada

penentuan konfigurasi, penamaan dilakukan dengan melihat perputaran atom kiral saja

sedangkan pada perputaran bidang polarisasi, penamaan dilakukan berdasarkan pada

perputaran yang dilakukan oleh seluruh senyawa, dalam hal ini dilakukan oleh asam

laktat secara keseluruhan, bukan dari perputaran atom karbon kiralnya.

Asam laktat dengan konfigurasi (S), (S)-asam laktat, seringkali disebut juga

dengan L-asam laktat. Asam laktat dengan konfigurasi (S) memutar bidang polarisasi

searah jarum jam. Oleh karena itu, (S)-asam laktat seringkali ditulis dalam bentuk lain,

Page 12: Polimerisasi Asam Laktat

15

yaitu L-(+)-asam laktat. Stereoisomer dari L-(+)-asam laktat adalah D-(-)-asam laktat.

Keduanya merupakan senyawa dasar untuk membuat polylactic acid.

Senyawa asam laktat yang ada dapat ditemui dalam bentuk L-(+)-asam laktat

murni, D-(-)-asam laktat murni, atau campuran dari kedua stereisomer asam laktat. Jika

kadar L-(+)-asam laktat dalam campuran lebih besar dari D-(-)-asam laktat, maka

campuran tersebut memutar bidang polarisasi searah jarum jam dan begitu juga untuk

campuran dengan D-(-)-asam laktat yang lebih banyak. Ketika komposisinya sama,

campuran tersebut tidak akan memutar bidang polarisasi ke arah kiri maupun kanan.

Campuran semacam ini disebut sebagai campuran rasemic[4].

2.2.3. Sintesis Asam Laktat

Secara umum, asam laktat merupakan produk dari fermentasi karbohidrat dalam

suasana anaerob. Karbohidrat yang digunakan dapat berupa pentose (pentose, jumlah

atom karbon sebanyak 5) dan atau heksosa (hexose, dengan jumlah atom karbon

sebanyak 6). Sumber karbohidrat dapat berupa tebu, pati, sampai selulosa[5]. Berikut

adalah reaksi yang terjadi :

Gambar 2.5 Proses Pembentukan Ion Laktat

Fermentasi dilakukan dengan bantuan bakteri agar dapat memecah struktur yang

relatif kompleks menjadi asam laktat. Perbedaan pada bakteri yang digunakan akan

menghasilkan asam laktat dengan struktur geometris yang berbeda. Contoh bakteri yang

dapat menghasilkan L-(+)-asam laktat adalah Lactobacillus sp, Rhizopus sp,

Streptococcus sp, dan Sporolactobacillus inulinus[5]. Bakteri yang dapat menghasilkan D-

(-)-asam laktat adalah Sporolactobacillus laevovolacticus dan Lactobacillus

delbrueckii[5].

Page 13: Polimerisasi Asam Laktat

16

Selain dengan proses fermentasi, D-(-)-asam laktat dapat diperoleh dengan

proses rasemisasi (racemization) senyawa L-(+)-asam laktat pada suhu tinggi dengan

bantuan katalis logam, seperti logam natrium dan potasium[7].

Alternatif lain dalam memproduksi asam laktat adalah dengan mereaksikan

asetaldehida (acetaldehyde) dengan hidrogen sianida (hydrogen cyanide) sehingga

terbentuk lactronitrile kemudian dihdrolisis sehingga terbentuk asam laktat[5].

2.2.4. Laktida, Senyawa Turunan Asam Laktat

Laktida (lactide) merupakan senyawa siklik yang terbentuk karena proses

kondensasi dimer dari asam laktat (seringkali disebut Lactoyl Lactic Acid)[5]. Laktida

memiliki nama IUPAC 3,6-dimetyhl-1,4-dioxane-2,5-dione. Terbentuknya laktida

dikarenakan adanya proses transesterifikasi secara spontan dari asam laktat pada suhu

diatas 200oC dengan kehadiran logam Al dan Fe[5].

Karena laktida terbentuk karena reaksi antara 2 asam laktat, maka laktida sendiri

memiliki 2 karbon kiral. Jika dilihat dari struktur optiknya, laktida memiliki 3 buah

stereoisomer, yaitu (R,R)-laktida / D-laktida, (S,S)-laktida / L-laktida, dan (R,S)-laktida /

meso-laktida[5]. Laktida merupakan senyawa dasar untuk membuat polylactic acid dengan

mekanisme Ring Opening Polymerization (ROP)[5].

Gambar 2.6 Stereoisomer dari Senyawa Laktida

2.3. Poli(Asam Laktat)

Poli(asam laktat) merupakan polimer yang disintesis dengan menggunakan

senyawa asam laktat sebagai basis pembuatannya. Poli(asam laktat) merupakan polimer

yang dapat dengan mudah terdegradasi jika dibandingkan dengan polyethylene dan polimer

semacamnya[5]. Oleh karena inilah poli(asam laktat) seringkali disebut biopolymer.

Page 14: Polimerisasi Asam Laktat

17

2.3.1. Sintesis Poli(Asam Laktat)

Sintesis poli(asam laktat) dapat dilakukan dengan 2 metode umum, yaitu

Polycondensation dan Ring Opening Polymerization (ROP)[5]. Perbedaan antara 2 metode

tersebut berada pada mekanisme yang dilalui agar didapat polimer poli(asam laktat).

Secara umum, metode Polycondensation melibatkan reaksi langsung antara oligomer-

oligomer asam laktat yang ada, sedangkan pada ROP, pembentukan polimer akibat

adanya reaksi antara senyawa laktida yang ada[5].

Gambar 2.7 Mekanisme Sintesis Polylactic Acid dengan ROP[7]

2.3.1.1. Polycondensation Polymerization

Polycondensation merupakan salah satu metode untuk membuat poli(asam

laktat) yang cukup banyak dilakukan. Polycondensation merupakan metode

pembuatan poli(asam laktat) dengan mekanisme reaksi antara senyawa-senyawa

oligomer dari asam laktat yang telah terbentuk sehingga oligomer tersebut akan saling

menyatu sehingga membentuk ikatan yang panjang[5]. Bersatunya oligomer-oligomer

yang ada akan disertai dengan proses kondensasi (pelepasan molekul air).

Proses polycondensation dilakukan pada suhu yang tidak terlalu tinggi

(<200oC) karena pada suhu tinggi, dapat terjadi transeterifikasi asam laktat menjadi

laktida. Kehadiran laktida ini akan menyebabkan massa molekular polimer menjadi

rendah (akibat campuran menjadi tidak seragam) karena ukuran molekul dalam

campuran menjadi tidak seragam (dengan asam laktat[5])dan membuat yield operasi

Page 15: Polimerisasi Asam Laktat

18

menjadi kecil[5]. Selain itu, karena proses polimerisasi asam laktat merupakan reaksi

kesetimbangan, maka reaksi harus didorong ke arah pembentukan produk agar yield

yang diperoleh dapat besar. Salah satunya adalah dengan mengambil air yang

terbentuk selama proses polimerisasi sehingga laju pembentukan produk polimer akan

lebih baik[5]. Selain itu, penerapan kondisi vakum selama proses operasi dapat

mempercepat laju reaksi ke arah pembentukan produk[5].

Metode pembentukan poli(asam laktat) secara polycondensation sendiri

dibagi lagi menjadi 3 macam[5], yaitu :

a. Direct Condensation

Pada metode ini, proses polimerisasi dilakukan melalui 3 tahap yaitu

penghilangan air yang terkandung dalam umpan asam laktat yang dipakai, reaksi

mengubah asam laktat menjadi poli(asam laktat) dengan massa molekular yang

rendah, dan penghilangan air yang terbentuk selama proses polimerisasi.

Polimerisasi dilakukan dalam reactor yang memiliki pengaduk karena semakin

lama, campuran polimer akan semakin viscous[5]. Selain itu, sistem harus dibuat

vakum agar proses penghilangan air yang terbentuk selama reaksi dapat berjalan

dengan lebih mudah. Kelemahan dari metode ini adalah massa molekular polimer

yang didapat relatif kecil karena suhu operasi yang terbatas[5].

b. Solid-state Polycondensation

Metode ini identik dengan metode direct condensation hanya ditambah 1 tahap

lagi, yaitu proses pendinginan di bawah melting temperature. Di bawah melting

temperature, campuran akan terdiri dari fasa Kristal dan fasa amorf. Ada asumsi

bahwa reaksi polimerisasi akan terjadi secara terpusat pada interphase dari fasa

Kristal dengan fasa amorf yang ada. Dengan pendinginan yang dilakukan,

diharapkan asam laktat yang masih ada dapat bereaksi menjadi poli(asam laktat).

Ini akan membuat massa molekular yang didapat akan semakin besar dan

meningkatkan yield operasi[5].

c. Azeotropic Dehydration

Metode ini identik dengan direct condensation tetapi terdapat perbedaan pada

proses penghilangan kandungan air yang terbentuk dalam campuran. Secara

umum, proses polimerisasi dilakukan dalam larutan solvent, seperti pelarut

organic dan diphenyl ether. Selama proses polimerisasi, air yang terbentuk akan

larut dalam pelarut yang digunakan. Ini akan membuat reaksi kesetimbangan

Page 16: Polimerisasi Asam Laktat

19

berjalan ke arah pembentukan produk. Kelemahan dari metode ini adalah kurang

ekonomis (terutama jika menggunakan pelarut organik)[5].

Penggunaan katalis dapat meningkatkan laju reaksi polimerisasi secara

signifikan, dilihat dari massa molekul polimer yang didapat. Dengan menggunakan

katalis titanium (IV) butoxide, weight-average molecular weight poli(asam laktat)

yang didapat adalah 130000 grammol

dengan metode direct condensation sedangkan

dengan menggunakan katalis stannum chloride, weight-average molecular weight dari

poli(asam laktat) yang didapat bisa mencapai 320000grammol

dengan metode azeotropic

dehydration[5].

2.3.1.2. Ring Opening Polymerization (ROP)

Metode ini merupakan metode yang paling banyak dipakai di berbagai

industri untuk memproduksi poli(asam laktat). Metode ini lebih disukai karena

mudahnya melakukan kontrol dan massa molekular poli(asam laktat) yang dapat

diperoleh relatif lebih besar dari poli(asam laktat) yang dibuat dengan metode

polycondensation[5].

Pada metode ini, reaktan yang digunakan adalah laktida, dapat berupa L-

laktida, D-laktida, maupun meso-laktida. Senyawa yang digunakan dan komposisi

campuran laktida akan mempengaruhi sifat dan struktur poli(asam laktat) yang

dihasilkan. Sesuai namanya, struktur siklik dari laktida akan terpecah dan berikatan

dengan molekul laktida yang lain disertai dengan proses kondensasi. Begitu seterusnya

sampai terbentuk poli(asam laktat) berantai panjang.

Untuk ROP, reaksi polimerisasi dilakukan dalam kondisi suhu yang relatif

lebih tinggi, 130oC-230oC pada kondisi tekanan rendah[5]. Selain itu, seringkali

digunakan katalis untuk mempercepat laju reaksi. Katalis yang umum digunakan

adalah tin(II)bis-2-ethylhexanoic acid (tin octoate)[7]. Selain dapat meningkatkan laju

reaksi, tin octoate sering digunakan karena kelarutan yang tinggi dalam laktida cair

dan sedikit menyebabkan rasemisasi (racemization) pada laktida yang ada, dan

tentunya konversi yang diperoleh besar (>90%)[7]. Pada perkembangannya, katalis tin

Page 17: Polimerisasi Asam Laktat

20

octoate mulai dicari subtituennya karena katalis dengan basis tin bersifat racun[5].

Alternatif lain yang bisa digunakan sebagai katalis adalah Zinc lactate[5].

2.3.2. Struktur & Sifat Fisika dan Kimia dari PLA

Berdasarkan pada struktur optik yang terdapat pada struktur, poli(asam laktat)

sendiri dapat dibedakan lagi menjadi 3 macam Poly-(L)-Lactic Acid (PLLA), Poly-(D)-

Lactic Acid (PDLA), dan Poly-(DL)-Lactic Acid (PDLLA). PLLA dibuat dengan

mereaksikan L-asam laktat murni, PDLA dibuat dengan mereaksikan D-asam laktat

murni, sedangkan PDLLA didapat dengan mereaksikan campuran rasemik (campuran

yang komposisinya sama) dari L-asam laktat dengan D-asam laktat[5]. Struktur optis yang

berbeda akan memberikan sifat fisika dan kimia yang berbeda pula.

Jika dilihat dari struktur Kristal yang terbentuk, PLLA dan PDLA menghasilkan

struktur Kristal yang teratur dan kompak karena ukuran molekular yang lebih seragam

dibandingkan dengan PDLLA. Keteraturan struktur Kristal ini akan memberikan

perbedaan dalam hal ketahanan mekanis dan termal. Glass-temperature (Tg) dari PLLA

dan PDLA sedikit lebih besar dari PDLLA; Tg PLLA dan PDLA berkisar antara 55-65 oC

sedangkan Tg PDLLA bernilai 53oC[7].

PLLA dan PDLA bersifat kristalin sedangkan PDLLA bersifat amorf. Oleh

karena inilah PLLA dan PDLA lebih kuat tetapi bersifat brittle pada suhu kamar,

sedangkan PDLLA bersifat lebih lentur dan plastis karena dapat mengalami pemanjangan

dan pemendekan (elongation)[7].

Secara umum, PLA merupakan polimer dengan struktur linear, dimana

monomer-monomernya terhubung secara lurus tanpa adanya cabang-cabang. Oleh karena

struktur inilah PLA merupakan polimer dengan sifat thermoplastic[5] yang dapat diubah

bentuknya sesuai kebutuhan. Selain itu, PLA lebih mudah terdegradasi karena

strukturnya yang relatif sederhana.

Jika digunakan campuran reaktan L-asam laktat dan D-asam laktat dengan

komposisi yang berbeda, maka ada kemungkinan poli(asam laktat) yang terbentuk

memiliki struktur khusus, yaitu stereoblock dan stereocomplex[5]. Stereocomplex

polylactic acid, atau seringkali ditulis sc-PLA, merupakan PLA yang terdiri dari

campuran PLLA dan PDLA yang terpisah satu sama lain dengan komposisi tertentu

sedangkan stereoblock polylactic acid, ditulis sb-PLA, merupakan PLA yang terbentuk

karena adanya interaksi PLLA dengan PDLA pada sb-PLA menjadi 1 kesatuan sehingga

Page 18: Polimerisasi Asam Laktat

21

membentuk suatu block, dimana block tersebut dibagi menjadi block PLLA dan block

PDLA[5].

Gambar 2.8 Pembentukan sb-PLA dan sc-PLA

PLA yang memilki struktur stereoblock mempunyai ketahanan termal dan fisik

yang lebih baik dari PLA tanpa struktur stereoblock[5]. Tg dari sc-PLA bernilai 65-72oC

sedangkan Tm dari sc-PLA bernilai 220-240oC[5], lebih besar dari PLA yang nilai Tg-nya

hanya 50-65oC dan Tm-nya 170-190oC[5]. Selain itu, sc-PLA lebih plastis dari PLA

karena dapat mengalami elongasi sebesar 30% (PLLA hanya dapat mengalami elongasi

sebesar 12-26%)[5]. Sc-PLA dapat dibuat dengan melakukan pencampuran antara lelehan

PLLA dan PDLA (secara melt blend) sedangkan sb-PLA dibuat dari sc-PLA melalui

proses solid-state polycondensation[5].