pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep ...
Transcript of pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep ...
POLA PENGEMBANGAN PELABUHAN PERIKANAN DENGAN KONSEP TRIPTYQUE PORTUAIRE : KASUS
PELABUHAN PERIKANAN NUSANTARA PALABUHANRATU
BUSTAMI MAHYUDDIN
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2007
Ku persembahkan untuk
Anak-anakku tercinta Ade Wiguna Nur Yasin, S.Pi, Adli Ardianto dan Anita Amanda Dewi yang telah mendoakan papanya menyelesaikan kuliah
Isteriku tercinta Yartini, B.Sc yang selalu mendampingi dan memberi semangat
Almarhum ayahku Haji Mahyuddin Majid yang telah berpesan agar selalu menuntut ilmu kapan dan dimanapun dan ibuku tercinta Hajjah Syamsinar yang
selalu mendoakanku.
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi “Pola Pengembangan Pelabuhan Perikanan dengan Konsep Triptyque Portuaire: Kasus Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu” adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor , Mei 2007
Bustami Mahyuddin C 526010164
ABSTRAK BUSTAMI MAHYUDDIN. Pola Pengembangan Pelabuhan Perikanan dengan Konsep Triptyque Portuaire: Kasus Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu. Dibimbing oleh ERNANI LUBIS, DANIEL R MONINTJA, BAMBANG MURDIYANTO, ERNAN RUSTIADI dan SULAEMAN MARTASUGANDA.
Pola pengembangan Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu (PPN Palabuhanratu) harus disesuaikan dengan perkembangan aktivitas perikanan. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan arah pengembangan fasilitas dan operasional PPN Palabuhanratu, memformulasikan pola pengembangan PPN Palabuhanratu dan menentukan prioritas pengembangan PPN Palabuhanratu. Analisis data yang digunakan untuk penentuan arah pengembangan PPN Palabuhanratu yaitu lokasi sektor basis menggunakan location quotient (LQ), indeks relatif nilai produksi (I), kepadatan kolam, persaingan pelabuhan perikanan dengan metode skalogram. Memformulasikan pola pengembangan PPN Palabuhanratu dengan analisis kebutuhan guna menentukan target jumlah produksi, target jumlah kapal, kapasitas fasilitas, dan jumlah konsumen. Prioritas pengembangan PPN Palabuhanratu dengan menggunakan PHA. Berdasarkan hasil penelitian untuk mengoptimalkan fungsi PPN Palabuhanratu diperlukan lahan seluas 30 ha dari kondisi yang ada sekarang 7,2 ha, kolam seluas 8,6 ha dari semula 5 ha, dermaga sepanjang 1452 m’ dari kondisi yang ada sekarang 910 m’, gedung pelelangan ikan dari 900 m2 menjadi 2.600 m2, penambahan kapasitas BBM solar sebesar 37.695 kl/tahun dari kondisi sekarang 10.381 kl/tahun, kapasitas pabrik es 38.000 ton/tahun dari kondisi sekarang 18.250 ton/tahun, kapasitas air bersih 86.272 kl/tahun dari kondisi sekarang 38.370 kl/tahun. Dengan pengembangan fasilitas tersebut, maka dapat meningkatkan jumlah kapal yang mendarat sebanyak 922 unit dari kondisi yang ada sekarang 676 unit, jumlah produksi ikan yang didaratkan meningkat sebesar 19.000 ton dari kondisi sekarang 6.601 ton, jumlah konsumen dalam negeri terhadap ikan dari PPN Palabuhanratu meningkat dari 281.049 orang tahun 2005 menjadi 542.619 orang. Urutan alternatif prioritas pengembangan terpilih adalah peningkatan jumlah kapal, peningkatan jumlah produksi ikan, peningkatan pendapatan pelabuhan perikanan, peningkatan jumlah tenaga kerja dan peningkatan PAD.
Kata kunci: pelabuhan perikanan, pola pengembangan, triptyque portuaire, analisis kebutuhan, PHA dan PPN Palabuhanratu.
ABSTRACT
BUSTAMI MAHYUDDIN. The Development Pattern of Fishing Port Using the Fishing Port System Concept (Triptyque Portuaire): The case of Palabuhanratu Archipelago Fishing Port. Under the direction of ERNANI LUBIS, DANIEL R MONINTJA, BAMBANG MURDIYANTO, ERNAN RUSTIADI and SULAEMAN MARTASUGANDA
The development pattern of Palabuhanratu Archipelago Fishing Port (PAFP) needs to be adjusted to the development of fishery activities. This research is intended to determine the course of the development of PAFP, formulate the development pattern and determine the priority of the development of PAFP. Data analysis used to determine the course of the development of PAFP is determining the need of developing PAFP by considering base-sector location using location quotient (LQ), production value relative index (I), the condition of pond density, competition of fishing port using skalogram method. Formulating the development pattern of PAFP using analysis of necessity, determining the priority of the development of PAFP using AHP. The research outputs are; to optimize the function of PAFP, the size of the pond need to be extended by 8.6 hectares of present pond 5 hectares, wharf extension by 1452 meters of the present wharf 910 m, addition of fuel capacity by 37,695 kl/years of the present condition 10,381 kl/years, ice factory by 38,000 tons/years of the presents conditions 18,250 tons/years, water capacity by 86,272 kl/years of the present condition 38,370 kl/years and the extension of the area by 30 hectares of the present size 7.2 ha. By using the above mentioned development pattern, the number of the fishing vessels can be increased by 922 vessels of the present condition 676 vessels, the number of fish production increases by 19,000 tons of the present production 6,601 tons, the number of domestic fish consumers increase significantly from 281,049 in 2005 to 542,619. The chosen alternative priority of the development of PAFP sequence is the increase of the number of vessels, increase of the fish production, increase of the port’s revenue, increase of the number of the labor and increase of the state revenue (PAD).
Key words : fishing port, development pattern, triptyque portuaire, analysis of necessity, AHP and Palabuhanratu Archipelago Fishing Port (PAFP).
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007 Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa ijin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam
bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya
POLA PENGEMBANGAN PELABUHAN PERIKANAN DENGAN KONSEP TRIPTYQUE PORTUAIRE : KASUS
PELABUHAN PERIKANAN NUSANTARA PALABUHANRATU
BUSTAMI MAHYUDDIN
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2007
Judul disertasi : Pola Pengembangan Pelabuhan Perikanan dengan Konsep Triptyque Portuaire: Kasus Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu
Nama : Bustami Mahyuddin NRP : C 526010164 Program Studi : Teknologi Kelautan
Disetujui, Komisi Pembimbing,
Dr. Ir. Ernani Lubis, DEA Ketua
Prof. Dr. Ir. Daniel R. Monintja, M.Sc Prof. Dr. Ir. Bambang Murdiyanto, M.Sc Anggota Anggota
Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr Dr. Sulaeman Martasuganda, M.Sc Anggota Anggota
Diketahui,
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Teknologi Kelautan
Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
Tanggal ujian : 7 Mei 2007 Tanggal lulus...........................................
LEMBAR PENGESAHAN
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kerinci, Jambi pada tanggal 29 Oktober 1959, sebagai
anak keempat dari pasangan H. Mahyuddin Majid (alm) dan Hj. Syamsinar.
Pada bulan Desember tahun 1977 penulis lulus dari SMA Negeri Sungai
Penuh (Kerinci) dan pada tahun 1978 lulus seleksi masuk IPB melalui jalur
Undangan Seleksi Masuk IPB. Penulis memilih Program Studi Teknologi dan
Manajemen Penangkapan Ikan pada Fakultas Perikanan Institut Pertanian Bogor
dan selesai pada tahun 1982. Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi
asisten muda tidak tetap pada mata kuliah Ekologi Umum pada tahun 1980-1981.
Tahun 1995 menempuh pendidikan Magister Manajemen di IPWIJA Jakarta dan
diselesaikan pada tahun 1997.
Penulis berkarya sebagai Kepala Seksi Identifikasi Pelabuhan Perikanan
pada Direktorat Jenderal Perikanan sejak tahun 1983-1997. Kemudian pada tahun
1998 sampai dengan sekarang penulis berkarya sebagai Kepala Pelabuhan
Perikanan Nusantara Palabuhanratu, Sukabumi Jawa Barat. Selama memimpin
PPN Palabuhanratu telah tiga kali memperoleh penghargaan dari Menteri yakni
penerimaan Piagam Penghargaan Adhi Bakti Tani dari Menteri Pertanian sebagai
unit kerja pelayanan berprestasi pratama atas upaya meningkatkan mutu
pelayanan kepada masyarakat dengan baik yang diterima pada tanggal 17 Agustus
1998, Piala Adhi Bakti Tani penghargaan Menteri Pertanian untuk unit kerja
pelayanan terbaik tahun 1999 yang diterima pada tanggal 17 Agustus 1999, dan
Piala Adhi Bakti Mina Bahari dari Menteri Kelautan dan Perikanan untuk unit
kerja pelayanan yang berprestasi di lingkungan DKP tahun 2005 yang diterima
bulan Januari 2006. Penulis memperoleh penghargaan atas prestasi akademik
gemilang tahun akademik 2001/2002 dari Direktur Program Pascasarjana IPB,
tertuang dalam piagam penghargaan No.287/K13.8/KM/2002 tanggal 5 Agustus
2002. Penulis dinyatakan lulus pada sidang ujian terbuka Doktor IPB, Program
Studi Teknologi Kelautan pada hari Senin tanggal 7 Mei 2007 di IPB Darmaga
Bogor.
PRAKATA
Alhamdulillah, atas karunia Allah SWT disertasi ini dapat diselesaikan. Dengan
telah selesainya disertasi ini, maka merupakan langkah penting selanjutnya untuk
memanfaatkan ilmu yang diperoleh guna diterapkan di tengah-tengah masyarakat
terutama pada masyarakat perikanan.
Terima kasih yang tulus saya sampaikan kepada:
1. Dr.Ir. Made L. Nurdjana selaku Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Departemen
Kelautan dan Perikanan yang telah memberikan izin belajar (surat izin belajar No.
5698/DPT.O/Kp.510.S3/X/2001 tertanggal 5 Oktober 2001) pada Program
Pascasarjana (S-3) IPB.
2. Ir. Ibrahim Ismail selaku Direktur Pelabuhan Perikanan DKP yang telah memberikan
dorongan dan semangat dalam penyelesaian studi penulis.
3. Prof.Dr.Ir. Khairil A. Notodiputro, MS selaku Dekan Sekolah Pascasarjana IPB yang
telah membantu penulis dalam penyelesaian studi.
4. Dr.Ir. Kadarwan Suwardi, M.Sc selaku Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
IPB yang telah membantu penulis dalam penyelesaian studi.
5. Prof.Dr.Ir. John Haluan, M.Sc selaku Ketua Program Studi Teknologi Kelautan IPB
yang telah membantu penulis dalam penyelesaian studi.
6. Dr.Ir. Ernani Lubis, DEA selaku ketua komisi pembimbing dan Prof.Dr.Ir. Daniel R.
Monintja, M.Sc, Prof.Dr.Ir. Bambang Murdiyanto, M.Sc, Dr.Ir. Ernan Rustiadi,
M.Agr dan Dr. Sulaeman Martasuganda, M.Sc, selaku anggota komisi pembimbing
yang telah banyak memberikan arahan dan bimbingan.
7. Komisi pendidikan Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan yang telah
memberikan saran perbaikan disertasi.
8. Penguji luar komisi pada sidang ujian tertutup yakni Dr.Ir. Anwar Bey Pane, DEA
(Staf Pengajar pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan), pada sidang
ujian terbuka yakni Dr.Ir. Ali Supardan, M.Sc (Direktur Jenderal Perikanan Tangkap
DKP) dan Dr.Ir. Budhi H. Iskandar, M.Si (Staf Pengajar pada Departemen
Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan) yang telah memberikan saran-saran perbaikan.
ii
9. Penyelesaian disertasi ini banyak mendapat bantuan dan kerjasama pihak-pihak yang
tidak dapat disebutkan satu per satu. Saya mengucapkan terima kasih kepada semua
pihak yang telah membantu dan bekerja sama dalam penyelesaian disertasi ini. Secara
khusus saya mengucapkan terima kasih kepada isteri tercinta Yartini, B.Sc dan anak-
anak saya Ade Wiguna Nur Yasin, S.Pi, Adli Ardianto, dan Anita Amanda Dewi serta
semua staf PPN Palabuhanratu dan terutama kepada Sdr Lukman Nur Hakim, S.Pi
yang telah banyak memberikan sumbangan pemikirannya.
Semoga disertasi ini bermanfaat. Terima kasih.
Bogor, Mei 2007
Bustami Mahyuddin
i
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ………………………………………………………... iv
DAFTAR GAMBAR …………………………………………………….. vii
DAFTAR LAMPIRAN............................................................................... ix
1 PENDAHULUAN ................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang…………………………………………………… 1
1.2 Perumusan Masalah Penelitian ……………………………….. ... 16
1.3 Tujuan Penelitian.....……………………………………………. 17
1.4 Manfaat Penelitian……....………………………………………. 18
1.5 Ruang Lingkup Penelitian............................................................. 18
1.6 Novelty ........................................................................................... 18
2 KERANGKA PEMIKIRAN………………………………………. ..... 20
3 TINJAUAN PUSTAKA……………………………………………….. 26
3.1 Tujuan Pengelolaan Perikanan....................................................... 26
3.2 Definisi Pelabuhan Perikanan…………………………………… 26
3.3 Pengertian Pola Pengembangan Pelabuhan Perikanan ……. ........ 28
3.4 Landasan Hukum Pengelolaan Pelabuhan Perikanan .................... 29
3.5 Fungsi dan Peranan Pelabuhan Perikanan…….………………. ... 35
3.6 Pelabuhan Perikanan di Negara Lain ............................................. 37
3.7 Persaingan Antar Pelabuhan Perikanan di WPP 9 Samudera Hindia dan Penentuan Sektor Basis .............................. 42
3.8 Hubungan Pelabuhan Perikanan dengan Wilayah ......................... 42
3.9 Konsep Triptyque Portuaire .......................................................... 46
3.10 Penentuan Kualitas Pemasaran Ikan ............................................. 49
3.11 Proses Hierarki Analitik (PHA)……………………………… .. 50
3.12 Kajian Penelitian Terdahulu......................................................... 51
ii
4 METODOLOGI PENELITIAN …………………………………….... 53
4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian………………………………… ..... 53
4.2 Tahap Penelitian………………………………………………..... 53
4.3 Metode Penelitian …………………………………………… ..... 54
4.4 Jenis dan Sumber Data…………………………………………... 54
4.5 Metode Pengambilan dan Analisis Data………………………….. 56 4.5.1 Penentuan arah pengembangan PPN Palabuhanratu ............ 57 4.5.2 Memformulasikan pola pengembangan
PPN Palabuhanratu .............................................................. 62 4.5.3 Menentukan prioritas pengembangan PPN Palabuhanratu . 70
5 HASIL PENELITIAN ……………………………………… ............... 74
5.1 Kondisi Umum Lokasi Penelitian……………………………… ... 74
5.2 Kondisi PPN Palabuhanratu............................................................ 81 5.2.1 Fasilitas PPN Palabuhanratu……......................................... 81 5.2.2 Kondisi operasional PPN Palabuhanratu.............................. 91
5.2.3 Manajemen Pelabuhan Perikanan ......................................... 106
5.3 Arah Pengembangan PPN Palabuhanratu ....................................... 109 5.3.1 Potensi sumberdaya ikan dan daerah penangkapan kapal-kapal dari Palabuhanratu ............................................. 109 5.3.2 Faktor-faktor pendukung pengembangan
PPN Palabuhanratu................................................................ 114 5.3.3 Daerah distribusi hasil tangkapan PPN Palabuhanratu .......... 133
5.4 Pola Pengembangan PPN Palabuhanratu ....................................... 148 5.4.1 Target jumlah produksi PPN Palabuhanratu ........................ 148 5.4.2 Target jumlah kapal ............................................................... 150 5.4.3 Target kapasitas fasilitas........................................................ 151 5.4.4 Pengembangan daerah distribusi (hinterland) ....................... 155
5.5 Prioritas Pengembangan PPN Palabuhanratu................................. 157 5.5.1 Penentuan alternatif prioritas pengembangan...................... 158 5.5.2 Sensitivitas prioritas pengembangan .................................. 171
6 PEMBAHASAN ..................................................................................... 175
6.1 Antisipasi Pengembangan PPN Palabuhanratu ................................ 175 6.1.1 Pemanfaatan sumberdaya ikan di wilayah
produksi (foreland) ................................................................ 175 6.1.2 Fasilitas dan operasional PPS Palabuhanratu......................... 184 6.1.3 Potensi pengembangan wilayah distribusi (hinterland) ......... 190
iii
6.2 Hubungan Alternatif Prioritas Terhadap Fungsi Pelabuhan dan Solusinya .................................................................................. 197
6.3 Dukungan Kelembagaan Terhadap Pengembangan PPN Palabuhanratu ......................................................................... 202
6.4 Peluang Penerapan Peraturan Internasional.................................... 205
7 KESIMPULAN DAN SARAN............................................................... 211
7.1. Kesimpulan..................................................................................... 211
7.2. Saran................................................................................................ 213
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
iv
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman 1. Penyebaran pelabuhan perikanan di Indonesia tahun 2006 ....................... 2 2. Produksi perikanan dan kondisi kapal berdasarkan ukuran di PPN
Palabuhanratu saat sebelum dibangun, estimasi studi kelayakan kondisi pada tahun 2002 dan tahun 2005 .................................................. 8
3. Evaluasi PPN Palabuhanratu kelas B sampai dengan tahun 2005 ……. ... 13
4. Potensi lestari dan peluang pengembangan masing-masing kelompok
sumberdaya ikan laut pada WPP 9 tahun 2000 .......................................... 15 5. Jumlah ikan tuna dan layur yang diekspor dari PPN Palabuhanratu
bulan Januari – Oktober 2006..................................................................... 22
6. Kriteria teknis klasifikasi pelabuhan perikanan (Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.PER.16/MEN/2006 tanggal 23 Juni 2006 tentang Pelabuhan Perikanan)…………………….. 31
7. Evaluasi kondisi fasilitas vital pelabuhan perikanan/ PPI di Pulau Jawa tahun 2005 ........................................................................... 33
8. Evaluasi kondisi fasilitas penting pelabuhan perikanan/ PPI di Pulau Jawa tahun 2005 ........................................................................... 33
9. Evaluasi kondisi fasilitas pelengkap pelabuhan perikanan/ PPI di Pulau Jawa tahun 2005 ........................................................................... 34
10. Tipe dan jumlah pelabuhan perikanan di Jepang tahun 1995 .................... 38 11. Karakteristik pelabuhan perikanan di Perancis .......................................... 40 12. Musim ikan di PPN Palabuhanratu ............................................................ 80 13. Kondisi kelompok usaha bersama (KUB) binaan
PPN Palabuhanratu tahun 2005.................................................................. 95 14. Jumlah kapal/perahu perikanan yang mendarat di PPN Palabuhanratu
periode tahun 1993-2005 ........................................................................... 97
15. Jumlah kapal perikanan yang mendarat di PPN Palabuhanratu berdasarkan daerah asal tahun 2005 ........................................................... 98
v
16. Produksi ikan di PPN Palabuhanratu periode tahun 1993-2005............ ............................................................................ 99 17. Produksi ikan segar dari PPN Palabuhanratu periode tahun 1993-2005............ ............................................................................ 99 18. Produksi ikan pindang dari PPN Palabuhanratu periode
tahun 1993-2005 ........................................................................................ 100 19. Produksi ikan asin dari PPN Palabuhanratu tahun 2004............................ 101 20. Pemakaian BBM solar untuk kapal di PPN Palabuhanratu periode tahun 1993-2005 ........................................................................................ 103 21. Kebutuhan air bersih di PPN Palabuhanratu periode tahun 1993-2005........... ............................................................................. 104 22. Kebutuhan logistik es di PPN Palabuhanratu periode tahun 1993-2005....... ................................................................................. 106 23. Komposisi pegawai PPN Palabuhanratu berdasarkan pendidikan.............. 109 24. Produksi, frekuensi kapal dan CPUE unit penangkapan tuna longline
di PPN Palabuhanratu periode tahun 2003-2006........................................ 111 25. Daerah penangkapan kapal ikan yang mendaratkan hasil
tangkapannya di PPN Palabuhanratu tahun 2004 ...................................... 113 26. Jumlah perahu/kapal perikanan laut menurut daerah perairan
pantai dan provinsi di WPP 9 Samudera Hindia tahun 2004.................... 115 27. Nilai Indeks Relatif Nilai Produksi Perikanan (I)
PPN palabuhanratu periode tahun 2000-2004 ........................................... 128 28. Kondisi kolam PPN Palabuhanratu bulan Maret 2007 .............................. 129 29. Kondisi jumlah kapal di kolam PPN Palabuhanratu tahun 2005 ............... 129 30. Nilai indeks hierarki PPN Palabuhanratu terhadap 5 unit pelabuhan
Perikanan lainnya di WPP 9 Samudera Hindia berdasarkan fasilitas tahun 2005.................................................................................................. 129
31. Nilai indeks hierarki PPN Palabuhanratu terhadap 5 unit pelabuhan
Perikanan lainnya di WPP 9 Samudera Hindia berdasarkan pendidikan (strata) sumberdaya manusia pengelola pelabuhan tahun 2005................. 130
vi
32. Nilai indeks hierarki PPN Palabuhanratu terhadap 5 unit pelabuhan
perikanan lainnya di WPP 9 Samudera Hindia berdasarkan jenis ikan ekonomis penting tahun 2005............................................................ 131
33. Nilai indeks hierarki PPN Palabuhanratu terhadap 5 unit pelabuhan
Perikanan lainnya di WPP 9 Samudera Hindia berdasarkan jenis alat penangkapan ikan tahun 2005 .................................................... 132
34. Nilai indeks hierarki PPN Palabuhanratu terhadap 5 unit pelabuhan Perikanan lainnya di WPP 9 Samudera Hindia berdasarkan jenis kapal tahun 2005 ............................................................................... 132
35. Hasil perhitungan persaingan 6 unit pelabuhan perikanan
di WPP 9 Samudera Hindia tahun 2005..................................................... 133 36. Perhitungan target alokasi pemanfaatan SDI PPN Palabuhanratu............. 149 37. Hasil perhitungan target jumlah kapal untuk pengembangan
PPN Palabuhanratu .................................................................................... 151
38. Hasil perhitungan luas kolam PPN Palabuhanratu .................................... 152
39. Hasil perhitungan panjang dermaga PPN Palabuhanratu........................... 154
40. Hasil perhitungan kebutuhan air bersih PPN Palabuhanratu ..................... 155
41. Pola hinterland hubungannya dengan PPN Palabuhanratu posisi tahun 2005 dan pengembangan PPN Palabuhanratu............................................ 157
42. Pendapatan PPN Palabuhanratu berdasarkan PP 62 tahun 2000 tentang PNBP periode tahun 2001-2006 ................................................................ 165
43. Jumlah tenaga kerja di PPN Palabuhanratu tahun 2005............................. 166
44. Hasil uji sensitivitas terhadap prioritas pengembangan pelabuhan perikanan terpilih ....................................................................................... 172
45. Perhitungan target alokasi pemanfaatan SDI PPS Palabuhanratu.............. 178 46. Hasil studi kelayakan, kondisi tahun 2005 dan pola pengembangan
PPN Palabuhanratu .................................................................................... 200 47. Perubahan pola pengembangan PPN Palabuhanratu dari aspek
operasional ................................................................................................ 201
vii
DAFTAR GAMBAR Gambar Halaman
1. Fish bone analysis rumusan masalah PPN Palabuhanratu......................... 12 2. Kerangka penelitian pola pengembangan PPN Palabuhanratu .................. 25
3. Mekanisme perhitungan target jumlah produksi PPN Palabuhanratu........ 64
4. Mekanisme perhitungan target jumlah kapal PPN Palabuhanratu............. 67
5. Bentuk proses hierarki analitik yang akan ditentukan untuk pengembangan PPN Palabuhanratu............................................................ 73
6. Peta penyebaran lokasi pelabuhan perikanan di Kabupaten Sukabumi ................................................................................................... 76
7. Batimetri perairan dekat site PPN Palabuhanratu ...................................... 78
8. Pasang surut air laut di PPN Palabuhanratu................................................ 79
9. Kebutuhan logistik solar (BBM) di PPN Palabuhanratu periode tahun 1993-2004......................................................................................... 102
10. Perkembangan kebutuhan air di PPN Palabuhanratu periode tahun 1993-2005......................................................................................... 104
11. Perkembangan kebutuhan es di PPN Palabuhanratu periode tahun 1993-2005......................................................................................... 105
12. CPUE unit tuna longline di PPN Palabuhanratu periode tahun 2003-2005......................................................................................... 111
13. Jumlah kapal/perahu perikanan menurut daerah perairan pantai dan propinsi di WPP 9 Samudera Hindia tahun 2004............................... 117
14. Jumlah pelabuhan perikanan dan PPI yang berada di WPP 9 Samudera Hindia tahun 2004.................................................................... 118
15. Pergerakan kapal perikanan dari PPN Palabuhanratu dan fishing ground................................................................................... 119
16. Pola pemasaran ikan di PPN Palabuhanratu tahun 2004......................... 137
viii
17. Distribusi ikan segar di PPN Palabuhanratu periode tahun 1993-2005..................................................................................... 141
18. Distribusi ikan pindang di PPN Palabuhanratu periode tahun 1993-2005.................................................................................... 142
19. Distribusi ikan dari PPN Palabuhanratu tahun 2004............................. 144
20. Hasil proses hierarki analitik untuk alternatif prioritas pengembangan PPN Palabuhanratu....................................................... 159
21. Produksi ikan di PPN Palabuhanratu periode tahun 1993-2005............ 163
22. Produksi dan nilai ikan-ikan ekonomis penting di PPN Palabuhanratu tahun 2004............................................................. 163
23. Posisi masing-masing bentuk solusi permasalahan pada aplikasi program PHA........................................................................... 167
24. Perbandingan peningkatan jumlah kapal dengan peningkatan produksi untuk semua solusi pengembangan....................................... 168
25. Perbandingan peningkatan jumlah kapal dan peningkatan pendapatan untuk semua solusi pengembangan................................... 169
26. Posisi lembaga yang berperan dalam pengembangan PPN Palabuhanratu berdasarkan olahan PHA...................................... 170
27. Hasil uji sensitivitas peningkatan jumlah kapal sebagai prioritas pertama prioritas pengembangan PPN Palabuhanratu.......... 173
28. Rencana kegiatan operasional di darat dan di laut PPS Palabuhanratu.............................................................................. 179
29. Cold chain system di PPS Palabuhanratu............................................. 188
30. Diagram alir rencana distribusi ikan dan hasil tangkapan lainnya di PPS Palabuhanratu............................................................... 194
31. Hubungan alternatif strategi, fungsi dan solusi permasalahan dalam pola pengembangan PPN Palabuhanratu................................... 197
32. Lokasi (25 buah) pelabuhan perikanan yang akan dikembangkan dalam outering fishing port program............................ 204
ix
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
1. Daftar nama responden............................................................................... 223 2. Hasil penilaian 29 responden terhadap prioritas pengembangan PPN Palabuhanratu .................................................................................... 224 3. Hasil penilaian 29 responden terhadap solusi pengembangan PPN Palabuhanratu .................................................................................... 225
4. Bagan struktur organisasi PPN Palabuhanratu (SK Menteri Kelautan dan Perikanan No : KEP.26.I/ MEN/ 2001) ......... 226
5. Frekuensi masuk kapal/perahu perikanan di PPN Palabuhanratu periode tahun 1993-2004........................................................................... 227 6. Frekuensi keluar kapal/perahu perikanan di PPN Palabuhanratu periode tahun 2004..................................................................................... 228 7. PDRB sub sektor perikanan Kabupaten Sukabumi
periode tahun 2000-2004............................ ............................................... 229 8. PDRB Kabupaten Sukabumi atas dasar harga berlaku
menurut sektor periode tahun 2000-2004 .................................................. 230
9. PDRB sub sektor perikanan atas dasar harga yang berlaku Provinsi Jawa Barat periode tahun 2000-2004...................................... .... 231
10. PDRB atas dasar harga berlaku Provinsi Jawa Barat
periode tahun 2000-2004........................................................................... 232
11. Produksi dan nilai produksi ikan di PPN Palabuhanratu periode tahun 2000-2004........................................................................... 233
12. Produksi perikanan laut Kabupaten Sukabumi periode tahun 2000-2004 ........................................................................... 233
13. Produksi dan nilai ikan yang dilelang di PPN Palabuhanratu bulan Januari-Oktober 2005................................................................................ 234
14. Produksi ikan bulan Januari-Oktober 2005 di PPN Palabuhanratu ........... 235
x
15. Jumlah ikan yang didaratkan di dermaga PPN Palabuhanratu periode tahun 2001-2005 ........................................................................... 236
16. Hasil perhitungan indeks fasilitas 6 unit pelabuhan perikanan di WPP 9 Samudera Hindia ...................................................................... 237
17. Perhitungan persaingan jenis pendidikan SDM pada 6 unit pelabuhan perikanan di WPP 9 Samudera Hindia ...................................................... 243
18. Perhitungan indeks jenis ikan ekonomis penting 6 unit pelabuhan
perikanan di WPP 9 Samudera Hindia ...................................................... 245
19. Perhitungan indeks jenis alat tangkap 6 unit pelabuhan perikanan di WPP 9 Samudera Hindia........................................................................... 249
20. Perhitungan indeks jenis kapal 6 unit pelabuhan perikanan di WPP 9 Samudera Hindia....................................................................................... 252
21. Glosari........................................................................................................ 254
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pelabuhan perikanan saat ini semakin menarik bagi investor untuk dijadikan
basis dalam pengembangan industri perikanan karena berbagai alasan yakni
pertama, investor semakin sulit memperoleh tanah yang bebas masalah di luar
kawasan pelabuhan sehingga areal industri perikanan di kawasan pelabuhan
semakin diminati, kedua sesuai dengan ayat 3 pasal 41 UU No.31 tahun 2004
tentang Perikanan yang mengharuskan setiap kapal penangkap ikan dan kapal
pengangkut ikan untuk mendaratkan ikan tangkapan di pelabuhan perikanan,
ketiga adanya kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan bahwa kapal-kapal
asing dilarang melakukan penangkapan ikan di perairan Indonesia kecuali kapal-
kapal asing harus berpangkalan, mendaratkan hasil tangkapannya di pelabuhan
perikanan Indonesia dan membuka industri perikanan di Indonesia dan keempat
semakin banyak kemudahan yang diberikan kepada investor di pelabuhan mulai
dari pelayanan prima sampai kepada murahnya tarif dalam memanfaatkan fasilitas
pelabuhan.
Keberadaan pelabuhan perikanan sangat diperlukan guna menunjang
aktivitas perikanan dalam kegiatan pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya
ikan, kegiatan praproduksi, produksi, pengolahan, pemasaran ikan dan
pengawasan sumberdaya ikan. Keberhasilan pengelolaan pelabuhan perikanan
dalam menjalankan fungsinya merupakan salah satu tujuan dari pembangunan
perikanan. Pelabuhan perikanan dapat dijadikan barometer keberhasilan
pembangunan perikanan laut pada suatu daerah karena aktivitas perikanan
terkonsentrasi dalam kawasan pelabuhan dan sangat mudah dilihat dan dievaluasi
kemajuannya. Pelabuhan perikanan dalam operasionalnya sangat berdampak luas
terhadap tumbuh dan berkembangnya usaha perikanan dan usaha-usaha kecil
lainnya yang mendukung kegiatan perikanan seperti toko logistik, BAP, bengkel
dan lain-lain.
Sejak era reformasi hingga saat ini, pelabuhan perikanan dijadikan ujung
tombak dalam menjalankan kebijakan pemerintah dalam pembangunan perikanan
dan kelautan, hal ini dimungkinkan karena fungsi pelabuhan perikanan sebagai
2
pusat pengembangan ekonomi masyarakat perikanan.
Mengingat pentingnya keberadaan pelabuhan perikanan, maka pemerintah
telah membangun dan mengembangkan pelabuhan perikanan di Indonesia dan
menurut Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (2006), bahwa pemerintah telah
membangun pelabuhan perikanan sebanyak 784 unit yang terdiri dari 5 unit
(0,64%) Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS), 12 unit (1,53%) Pelabuhan
Perikanan Nusantara (PPN), 18 unit (2,17%) Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP)
dan 750 unit (95,66%) Pusat Pendaratan Ikan (PPI). Tabel 1 menunjukkan
penyebaran pelabuhan perikanan.
Tabel 1. Penyebaran pelabuhan perikanan di Indonesia tahun 2006
Satuan: unit
No Kelas WIB WITA WIT Jumlah 1 PPS 4 - 1 5 (0,64%)2 PPN 7 1 4 12 (1,53%)3 PPP 8 6 3 17 (2,17%)4 PPI 483 138 129 750 (95,66%)
Jumlah 502 (64,04%) 145 (18,49%) 137 (17,47%) 784 (100%) Sumber : Ditjen. Perikanan Tangkap, 2006.
Berdasarkan Tabel 1, tentang penyebaran pelabuhan perikanan, ternyata 502
unit atau sebesar 64,04% pelabuhan perikanan berada di wilayah Indonesia bagian
barat (WIB) dan hanya sebagian kecil saja berada di wilayah Indonesia bagian
tengah (WITA) yakni sebanyak 145 unit atau sebesar 18,49% dan di wilayah
Indonesia bagian timur (WIT) sebanyak 137 unit atau sebesar 17,47%, yang
mengakibatkan adanya kesenjangan pemanfaatan sumberdaya ikan di wilayah
Indonesia bagian barat dan wilayah Indonesia bagian timur. Tingkat pemanfaatan
sumberdaya ikan di wilayah Indonesia bagian barat sudah ada yang mengalami
over fishing seperti di perairan Selat Malaka dan Laut Jawa, namun pada WIB
jumlah pelabuhan perikanan justru lebih banyak dibandingkan dengan jumlah
pelabuhan perikanan yang ada di WITA dan WIT. Potensi sumberdaya ikan di
WITA dan WIT justru banyak perairan yang masih besar potensi pemanfaatannya
dan jumlah pelabuhan perikanan lebih sedikit.
3
Menurut Ditjen. Perikanan Tangkap (2005) bahwa untuk wilayah
pengelolaan perikanan (WPP) 9 Samudera Hindia terdapat 216 unit pelabuhan
perikanan, namun hanya ada sebanyak 11 unit pelabuhan perikanan yang dapat
didarati oleh kapal berukuran >30 GT. Kemudian belum ada satu pun pelabuhan
perikanan yang secara khusus dipersiapkan sebagai pangkalan langsung untuk
melakukan kegiatan ekspor, seperti belum dilengkapinya fasilitas crane di
pelabuhan guna memindahkan kontainer, akibatnya selama ini kegiatan ekspor
ikan masih memanfaatkan pelabuhan umum.
Menurut Ditjen. Perikanan Tangkap (2006), komposisi kelas pelabuhan
perikanan menunjukkan bahwa kelas PPS hanya ada 0,64% saja, kelas PPN
sebanyak 1,53% dan PPP sebanyak 2,17% serta PPI memiliki jumlah yang
terbanyak yakni sebanyak 95,66%. Dengan komposisi kelas pelabuhan perikanan
tersebut di atas, maka lebih dari 80% atau sebanyak 627 unit pelabuhan perikanan
mengakomodasikan kapal-kapal berukuran kecil (<10 GT), yang jangkauan
operasional penangkapan ikan dilakukan di sekitar pantai saja dan sedikit kapal-
kapal perikanan memanfaatkan sumberdaya ikan di perairan ZEEI dan laut lepas.
Selain itu terdapat kapal-kapal perikanan berukuran >30 GT memanfaatkan
fasilitas pelabuhan umum seperti di Pelabuhan Umum Benoa Bali, Pelabuhan
Umum Bitung yang pelayanannya belum sesuai dengan tata tertib pelayanan kapal
perikanan, sehingga layanan aktivitas perikanan menjadi tidak optimal.
Berdasarkan UU No.31/2004 tentang Perikanan telah ditetapkan bahwa
selain pemerintah, maka swasta pun diberi hak untuk ikut membangun pelabuhan
perikanan. Selama ini sudah ada pelabuhan perikanan yang telah dibangun oleh
pihak swasta seperti pelabuhan perikanan swasta yang ada di Batam dan Tual
yang secara resmi telah ditetapkan sebagai pelabuhan perikanan oleh Menteri
Kelautan dan Perikanan pada tahun 2006. Namun ada juga tempat pendaratan ikan
seperti Tangkahan di Sumatera Utara yang merupakan dermaga pendaratan ikan
milik swasta serta dermaga-dermaga milik perusahaan perikanan.
Menurut Lubis (2002), bahwa tingkat operasional pelabuhan perikanan bila
dilihat dari aspek jumlah ikan laut yang didaratkan di pelabuhan perikanan adalah
sebesar 793.718 ton (tahun 1997) atau sekitar 22% dari total produksi perikanan
laut sebesar 3.612.961 ton, artinya bahwa ada 80% ikan mendarat di luar
4
pelabuhan perikanan. Kemudian disebutkan bahwa dari 595 unit pelabuhan
perikanan pada tahun 1997 yang tidak berfungsi sebanyak 357 unit atau 60%.
Selanjutnya menurut Lubis et al. (2005) bahwa dari hasil penelitian yang
dilakukan terhadap kondisi fasilitas vital pada 234 unit pelabuhan perikanan yang
ada di pulau Jawa, ternyata 3 unit atau 10% dari jumlah pelabuhan perikanan
sebanyak 30 unit berkategori buruk dan 121 unit atau 59% dari jumlah pangkalan
pendaratan ikan sebanyak 204 unit memiliki kondisi fasilitas vital berkategori
buruk.
Berdasarkan indikasi-indikasi tersebut di atas, maka permasalahan yang
dihadapi pelabuhan perikanan adalah belum sempurnanya pola pengembangan
pelabuhan perikanan baik secara nasional ataupun lokal (regional). Akibat dari
permasalahan tersebut menyebabkan tidak berfungsinya pelabuhan perikanan
secara optimal.
Direktorat Prasarana Perikanan Tangkap (2004), melaporkan bahwa belum
berfungsinya pelabuhan perikanan secara optimal tersebut disebabkan oleh:
(1) Kelembagaan atau struktur organisasi yang ada di pelabuhan perikanan belum
dapat berfungsi secara optimal, seperti halnya kesyahbandaran.
(2) Sebagian pangkalan pendaratan ikan belum dibentuk status kelembagaannya
oleh pemerintah daerah sehingga belum ada kejelasan operasionalnya.
(3) Sumberdaya manusia pelabuhan perikanan yang ada sangat kurang dari segi
kuantitas dan kualitas, sehingga pelabuhan perikanan dijalankan kurang
profesional.
(4) Terbatasnya biaya operasional.
(5) Fasilitas pelabuhan perikanan sebagian kurang memenuhi persyaratan teknis,
kualitas dan kuantitas sehingga pelayanan yang diberikan belum optimal.
(6) Belum efektifnya koordinasi antara pengelola pelabuhan perikanan dengan
instansi terkait.
(7) Rendahnya kepedulian dan partisipasi masyarakat mendukung pengelolaan
pelabuhan perikanan.
(8) Belum jelasnya kebijakan dalam pengelolaan pelabuhan perikanan antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
5
(9) Belum adanya standard operational procedure (SOP) pengelolaan
pelabuhan perikanan.
(10) Masih sedikitnya jumlah pelabuhan perikanan yang ada.
Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu (PPN Palabuhanratu) adalah
salah satu pelabuhan perikanan yang dibangun pemerintah pusat guna menunjang
aktivitas perikanan yang memanfaatkan sumberdaya ikan yang ada di wilayah
pengelolaan perikanan (WPP) 9 Samudera Hindia, melayani kapal-kapal yang
sedang melakukan operasi penangkapan ikan di daerah penangkapan ikan (fishing
ground) dengan menyampaikan informasi yang diperlukan oleh nelayan, seperti
informasi mengenai prakiraan potensi daerah penangkapan ikan, harga ikan,
kondisi cuaca melalui radio komunikasi atau alat elektronik lainnya, melakukan
pelayanan terhadap kapal-kapal perikanan baik untuk keberangkatan maupun pada
saat kedatangan dan saat berada di pelabuhan, memfasilitasi kegiatan pengolahan
ikan guna mempertahankan mutu ikan yang didaratkan sehingga layak
dikonsumsi, memfasilitasi kegiatan pemasaran ikan sehingga ikan yang
dipasarkan memperoleh harga yang wajar, seperti melalui kegiatan pelelangan
ikan. Selain itu fungsi PPN Palabuhanratu guna memperlancar kegiatan distribusi
ikan ke daerah konsumen, melakukan pembinaan terhadap masyarakat perikanan
antara lain melakukan pelatihan-pelatihan dan pembinaan usaha nelayan.
Semua tugas yang dilakukan oleh PPN Palabuhanratu tersebut bertujuan
untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi dan pertumbuhan usaha perikanan
guna meningkatkan pendapatan nelayan dan sekaligus kesejahteraannya. Selain
itu juga bertujuan untuk meningkatkan penerimaan dan devisa negara, mendorong
perluasan dan kesempatan kerja, meningkatkan ketersediaan, mutu, nilai tambah,
daya saing dan konsumsi sumber protein ikan, mengoptimalkan pengelolaan
sumberdaya ikan dan meningkatkan ketersediaan bahan baku untuk industri
pengolahan ikan serta melakukan pengendalian pemanfaatan sumberdaya ikan
seperti kegiatan statistik perikanan dan pemeriksaan dokumen kapal perikanan.
PPN Palabuhanratu mulai dioperasionalkan pada tahun 1993. Sejak
pengembangannya pada periode tahun 1993-2005, PPN Palabuhanratu telah
mengalami dua tahap pembangunan, yaitu pembangunan tahap pertama pada
tahun 1993 dan beroperasi sampai dengan 2002, kemudian pembangunan tahap
6
kedua selama periode tahun 2003-2005, yang merupakan pengembangan
pembangunan tahap pertama. Pembangunan pelabuhan perikanan tahap pertama
ditujukan untuk menunjang aktivitas perikanan terutama unit penangkapan ikan
dengan ukuran kapal sampai 30 GT dan pembangunan pelabuhan perikanan tahap
kedua untuk menunjang aktivitas kapal berukuran 30 GT sampai dengan 150 GT.
Pengembangan suatu pelabuhan perikanan harus direncanakan sesuai
dengan pola pengembangan yang telah ditentukan. Menurut Lubis (2002), pola
pengembangan suatu pelabuhan perikanan adalah acuan awal mengembangkan
suatu pelabuhan perikanan. Pola pengembangan pelabuhan perikanan diperlukan
agar pembangunan dan operasionalnya sesuai dengan fungsi dan tujuan
pengembangannya. Penyusunan pola pengembangan pelabuhan perikanan harus
ada di dalam triptyque portuaire untuk pelabuhan perikanan, yakni keterkaitan
antara aspek wilayah produksi (foreland), wilayah distribusi (hinterland) dan
aspek pelabuhan perikanan (fishing port) agar fungsi dan tujuannya bisa dicapai.
Dalam pembangunan dan operasional pelabuhan perikanan seharusnya
dilakukan evaluasi secara berkala terhadap pelaksanaan pola pengembangannya
guna meningkatkan fungsi pelabuhan perikanan. Di Indonesia, yang menjadi
acuan pola pengembangan pelabuhan perikanan adalah hasil studi kelayakan,
rencana induk pembangunan dan berdasarkan pada kriteria klasifikasi pelabuhan
perikanan yang ditetapkan oleh pemerintah. Menurut UU No.31 tahun 2004
tentang Perikanan, bahwa rencana induk pelabuhan perikanan ditetapkan oleh
Menteri Kelautan dan Perikanan.
Pola pengembangan PPN Palabuhanratu tahap pertama sejak awal
pembangunannya telah ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Perikanan pada tahun
1987 seperti yang tertera di dalam hasil studi kelayakan dan rencana induk
pembangunan Pelabuhan Perikanan Palabuhanratu yang dibuat oleh Rogge
Marine Gmbh (Jerman) dan PT. Inconeb tahun 1987 dan kriteria klasifikasi
sebagai Pelabuhan Perikanan Nusantara (kelas B). Dalam hasil studi kelayakan
dan rencana induk tersebut telah ditentukan, bahwa pemilihan lokasi
Palabuhanratu didasarkan karena Palabuhanratu merupakan pusat perikanan sejak
zaman penjajahan Belanda, dekat dengan daerah penangkapan ikan, berada di
Teluk Palabuhanratu dan mudah diakses ke daerah pemasaran seperti Jakarta dan
7
Bandung. Pembangunan PPN Palabuhanratu sudah disesuaikan dengan rencana
pembangunan perikanan secara nasional dan lokal Jawa Barat bahwa dengan
adanya PPN Palabuhanratu yang berada di Pantai Selatan Jawa Barat akan dapat
meningkatkan pembangunan perikanan di wilayah tersebut terutama untuk daerah
perikanan di Pantai Selatan Jawa Barat. Namun pada kenyataannya melalui
evaluasi tahun 2002, hasil pengoperasian PPN Palabuhanratu tidak sesuai dengan
tujuan yang diharapkan.
Pelabuhan ini pada pembangunan tahap pertama, telah menetapkan pola
pembangunan, yakni dibangun di atas tanah seluas 10,2 ha. Direncanakan bahwa
dengan adanya pembangunan kolam pelabuhan seluas 3 ha dengan kedalaman
kolam bervariasi, yakni 3,5 m, 2 m dan 1 m dan dermaga sepanjang 500 m, maka
akan dapat mengakomodir sebanyak 125 unit kapal, yakni terdiri dari kapal
perikanan berukuran 5-10 GT sebanyak 25 unit, kapal berukuran 10-20 GT
sebanyak 30 unit, kapal berukuran 20-30 GT sebanyak 56 unit, kapal berukuran
30-50 GT sebanyak 10 unit dan kapal berukuran >50 GT sebanyak 4 unit.
Wilayah produksi yang merupakan daerah penangkapan ikan oleh kapal-kapal
perikanan tersebut berada di wilayah pengelolaan perikanan (WPP) 9 Samudera
Hindia dan daerah pemasaran ikan yang meliputi Kabupeten Sukabumi,
Kabupaten Cianjur, Kota Bandung, Kabupaten Bogor, dan DKI Jakarta serta
sebagian untuk diekspor. Diestimasikan sejak tahun 1995 sampai dengan tahun
2010 jumlah ikan yang didaratkan sebanyak 16.000 ton per tahun atau 43,84 ton
per hari. Kapal-kapal kecil berukuran sampai dengan 5 GT tidak diakomodir oleh
PPN Palabuhanratu, melainkan diatur dan diarahkan oleh Pemerintah Daerah
Kabupaten Sukabumi dan Pemerintah Provinsi Jawa Barat untuk mendarat di
tempat pendaratan lain seperti di Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Cisolok yang
berjarak 11 km dari Palabuhanratu dan pendaratan pantai (beach landing) untuk
kapal-kapal kincang (congkreng) ukuran <5 GT yang akan dibangun oleh
Pemerintah Kabupaten Sukabumi di sebelah Selatan PPN Palabuhanratu.
PPN Palabuhanratu mulai dioperasionalkan tahun 1993 dan menurut
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.Per.16/Men/2006 tentang
Pelabuhan Perikanan, bahwa PPN Palabuhanratu adalah pelabuhan perikanan
kelas B, yang skala layanannya sekurang-kurangnya mencakup kegiatan usaha
8
perikanan di wilayah laut teritorial dan wilayah Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia.
PPN Palabuhanratu merupakan unit pelaksana teknis (UPT) Direktorat
Jenderal Perikanan Tangkap yang manajemen pelaksananya diatur oleh Menteri
Kelautan dan Perikanan dan eseloneringnya ditetapkan oleh Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara. Pengaturan tentang kepegawaian, biaya
pembangunan dan operasional berasal dari pemerintah pusat, begitu pula segala
bentuk penerimaan yang merupakan pendapatan pelabuhan yang telah diatur
dalam Peraturan Pemerintah No. 62 tahun 2002 dalam bentuk Penerimaan Negara
Bukan Pajak (PNBP) harus dimasukkan ke kas negara.
Sejak operasional PPN Palabuhanratu tahap pertama periode tahun 1993
hingga tahun 2002 telah mengalami banyak perubahan. Tabel 2 menunjukkan
evaluasi kondisi operasional PPN Palabuhanratu sampai akhir tahun 2002 dan
tahun 2005.
Tabel 2 Produksi perikanan dan kondisi kapal berdasarkan ukuran di PPN Palabuhanratu saat sebelum dibangun, estimasi studi kelayakan, kondisi pada tahun 2002 dan 2005
Kriteria
Kapal ukuran (unit)
Sebelum ada PPN
Palabuhanratu tahun 1986
Estimasi studi
kelayakan periode
tahun 1993-2010
Kondisi
operasional tahun 2002
Kondisi operasional tahun 2005
<5 GT 50 - 317 428 5 – 10 GT 195 25 106 95 10 – 20 GT 15 30 3 4 20 – 30 GT - 56 13 13 30 - 50 GT - 4 13 -30 – 150 GT - - - 68 Total 260 115 452 676Produksi ikan (ton) 3.119 16.000 2.890 6.601
Sumber: Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu, 2005.
Evaluasi terhadap pola pembangunan tahap pertama PPN Palabuhanratu
yang disesuaikan dengan studi kelayakan tahun 1987, yakni kapal berukuran <5
GT tidak diakomodir di PPN Palabuhanratu, ternyata pada tahun 2002 jumlah
kapal berukuran <5 GT yang menggunakan PPN Palabuhanratu justru meningkat
9
menjadi 317 buah. Kondisi ini terjadi karena Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan
Pemerintah Kabupaten Sukabumi belum dapat mempersiapkan pembangunan PPI
Cisolok dan pendaratan pantai (beach landing) di daerah Patuguran, sehingga
manajemen pelabuhan mengalami kesulitan membendung masuknya kapal
berukuran <5 GT. Selanjutnya kapal berukuran 5–10 GT akan berkurang
jumlahnya dari 195 unit menjadi 25 unit, kenyataan jumlahnya turun sedikit atau
menjadi 106 unit pada tahun 2002. Sebaliknya, kapal berukuran 10-20 GT
diestimasikan jumlahnya meningkat dari 15 unit pada saat sebelum adanya
pelabuhan menjadi 30 unit, yang ada hanya 3 unit pada tahun 2002, kapal
berukuran 20–30 GT diestimasikan 56 unit, kenyataannya 13 unit, dan kapal
berukuran 30-50 GT diestimasikan 4 unit, kenyataannya kapal berukuran 30–50
GT sebanyak 13 unit pada tahun 2002. Produksi ikan diestimasikan 16.000 ton,
namun kenyataannya produksi ikan hanya sebesar 2.890 ton atau 7,9 ton/hari
(tahun 2002) atau hanya 18% dari estimasi produksi ikan sebesar 16.000 ton/
tahun.
Pola pembangunan tahap I tidak sesuai dengan pola pembangunan yang
telah ditentukan dalam studi kelayakan disebabkan oleh:
(1) Kapal:
1) Struktur armada didominasi oleh kapal-kapal berukuran kecil berukuran
<10 GT yakni sebanyak 423 unit atau 94% dari jumlah kapal yang ada
pada tahun 2002 sebanyak 452 unit.
2) Kapal-kapal berukuran <5 GT direncanakan berpangkalan di PPI Cisolok
namun sampai saat ini pembangunan konstruksinya belum selesai.
3) Jangkauan kapal ke daerah penangkapan ikan masih berada di sepanjang
pantai (dibawah 12 mil), sehingga jumlah ikan yang didaratkan pada
tahun 2002 adalah 2.890 ton atau hanya 18% dari perkiraan produksi
ikan yang didaratkan menurut hasil studi kelayakan (16.000 ton).
(2) Kolam I:
1) Kolam I sering mengalami pendangkalan karena kedua pintu sungai
sering dibuka sehingga air sungai Cipalabuhan bebas masuk ke kolam
dan sering terjadi banjir.
10
2) Kolam I sudah over capacity, yakni kolam I berkapasitas 125 unit kapal,
namun diisi oleh 452 unit kapal.
(3) Fasilitas pemeliharaan kapal:
1) Fasilitas docking hanya ada 1 unit, namun kondisinya rusak parah dan
kapasitasnya sangat rendah dan hanya dapat mereparasi kapal <30 GT.
2) Fasilitas bengkel milik pelabuhan tidak sempurna karena tidak
dilengkapi peralatan yang lengkap.
(4) Sumberdaya manusia (SDM): kualitas pegawai pelabuhan kurang, 67%
(jumlah pegawai 69 orang) terdiri dari tamatan SLTA yang tidak punya
pengetahuan tentang pelabuhan perikanan. Sisanya 23% tamatan D3, S1 dan
S2 yang belum banyak memiliki pengetahuan teknis kepelabuhanan
perikanan, dan pendidikan nelayan rendah, didominasi tamatan SD.
(5) Jalan sempit: jalan yang menghubungkan antara Palabuhanratu dengan
daerah lain seperti ke kota Cibadak-Sukabumi sangat sempit (lebar 6 m) dan
berbelok-belok, sehingga mobil tronton ukuran besar sulit ke Palabuhanratu.
Pemda Sukabumi berkeinginan untuk memperlebar jalan, namun masih
kekurangan biaya.
(6) Pelelangan ikan belum berjalan optimal :
1) Pengelola pelelangan (KUD Mina) belum mampu dari segi manajemen,
dan permodalan, hal ini diindikasikan oleh lemahnya kondisi
sumberdaya manusia yang ada, terutama keterampilan untuk
menjalankan kegiatan koperasi. Kemajuan koperasi sangat tergantung
kepada partisipasi anggota dan kepemimpinan koperasi. Secara
administrasi sangat sedikit anggota memiliki kartu tanda anggota (KTA),
yakni dari 7.400 orang nelayan hanya 740 orang atau 10% yang
memiliki KTA. Koperasi belum memiliki modal khusus untuk
penjaminan kegiatan pelelangan ikan, sehingga proses transaksi
pelelangan ikan berlangsung secara tidak tunai, kondisi inilah yang
menyebabkan pelelangan ikan belum berfungsi optimal.
2) Kemampuan bakul untuk membeli hasil lelang sangat kurang. Pada
tahun 2005 tercatat sebanyak 125 bakul, diantaranya 120 bakul tidak
mempunyai modal yang cukup sehingga bakul dalam membeli hasil
11
lelang selalu bertransaksi tidak tunai. Kondisi tersebut merugikan pihak
nelayan sebagai penjual dan mengganggu operasional pelelangan ikan.
3) Kondisi keamanan, ketertiban dan kenyamanan di TPI belum kondusif.
Pada saat ikan dalam trays diletakkan di lantai TPI, sering kali orang
yang berlalu lalang di dalam ruang TPI yang sangat mengganggu
aktivitas pelelangan ikan
4) Pembongkaran ikan masih belum tertib. Setiap kali kapal melakukan
pembongkaran ikan ke TPI, terlihat bahwa orang-orang yang tidak
berkepentingan turun dan masuk ke kapal, sehingga mengganggu
ketertiban dan keamanan sewaktu pembongkaran ikan.
(7) Lahan sangat sempit, yakni 12,2 ha termasuk untuk kolam 5 ha, sehingga
industri perikanan sulit untuk diakomodasikan didalam lokasi pelabuhan.
(8) Ketersediaan es belum memenuhi kebutuhan. Saat ini hanya ada satu pabrik
es dengan kapasitas maksimum 1000 balok per hari. Kebutuhan es pada
tahun 2004 rata-rata per hari sebanyak 782 balok pada saat kondisi normal
dan 1500 balok/hari pada kondisi musim ikan, sehingga kapal harus antri
sekitar 3-4 hari untuk memperoleh es.
(9) SPBU BBM khusus untuk kapal berukuran >30 GT pada pembangunan
tahap I belum ada, sehingga kapal mengisi BBM dari SPBU umum.
(10) Industri pengolahan hasil perikanan belum berkembang, karena bahan baku
ikan sangat kurang. Jenis pengolahan ikan yang ada yakni pengeringan dan
pemindangan ikan.
(11) Standard operational procedure (SOP) yang ada belum dijalankan optimal,
karena lemahnya pengawasan, misalnya ada sebagian kapal keluar masuk
pelabuhan tidak melapor ke petugas.
(12) Fungsi kesyahbandaran perikanan masih dijalankan oleh syahbandar umum.
Kondisi tersebut menyebabkan kurangnya kesadaran nelayan terhadap
ketentuan operasional pelabuhan, yakni banyak kapal-kapal ukuran <10 GT
tidak melapor pada saat keluar masuk pelabuhan.
(13) Masalah-masalah yang memerlukan pendanaan cepat tidak dapat diatasi
karena terikat aturan pemerintah, seperti ada kerusakan fasilitas tidak dapat
diperbaiki seketika karena menunggu proses pencairan dana tahun depan.
12
Gambar 1 memperlihatkan rumusan masalah PPN Palabuhanratu secara fish
bone analysis.
Gambar 1 Fish bone analysis rumusan masalah PPN Palabuhanratu.
Berdasarkan permasalahan di atas yang menyebabkan pola pengembangan
pelabuhan yang telah direncanakan tidak tercapai, maka pada pembangunan tahap
kedua telah ditetapkan pola pengembangannya yakni pada tahun 2002 telah
dibangun dermaga II seluas 2 ha dengan kedalaman kolam 4 m dan dermaga
sepanjang 410 m2. Pembangunan tahap II ini bertujuan untuk mengatasi masalah
terbatasnya luas kolam dan dermaga yang telah ada pada pembangunan tahap I
guna meningkatkan produksi sampai dengan 16.000 ton/tahun. Kolam dengan
kedalaman 4 m, dapat mengakomodir kapal sampai ukuran 150 GT, dan dengan
PPN
PALABUHANRATU SUDAH BERFUNGSI
NAMUN BELUM OPTIMAL
PELELANGAN IKAN BLM JALAN
LAHAN SEMPIT
INDUSTRI PENGOLAHAN IKAN BLM BERKEMBANG
ES KURANG
KOLAM SEMPIT
FASILITAS PEMELIHARAAN KAPAL
FASILITAS BENGKEL & DOK KURANG SEMPURNA
SDM KURANG
KUD KURANG PROFESIONAL
TANAH BLM DIBEBASKAN
PABRIK ES KAP 1000 BALOK/HR
SPDN SULIT DPT DO DARI PERTAMINA
AKSES JALAN KELUAR PEL RATU SEMPIT
SOP BELUM DIJALAN SECARA OPTIMAL
PERMEN PEL SESUAI UU 31 BLM ADA
PENGAWASAN KURANG
PENETAPAN RENCANA INDUK, DLKP
DANA KURANG
SDM BIDANG LUAR PERIKANAN KURANG
BAHAN BAKU KURANG
BANYAK KAPAL KECIL
BBM KURANG & MAHAL
PRODUKSI IKAN KURANG
DIDOMINASI KAPAL <10 GT
( 94 %)
13
luas kolam 2 ha dapat menampung kapal berukuran 30 – 150 GT sekitar 40 unit
sekaligus. Kondisi operasional PPN Palabuhanratu sejak pembangunan tahap
kedua, yakni jumlah kapal berukuran <5 GT meningkat jumlahnya menjadi 457
unit, kapal berukuran 5-10 GT berjumlah 95 unit, kapal berukuran 10-20 unit
berjumlah 4 unit, kapal berukuran 20-30 GT berjumlah 13 unit dan kapal 30-150
GT berjumlah 68 unit dan produksi ikan sebesar 6.601 ton atau 18,1 ton/hari
(Tabel 2). Tabel 3 memperlihatkan evaluasi PPN Palabuhanratu.
Tabel 3 Evaluasi PPN Palabuhanratu (kelas B) sampai dengan tahun 2005
Kriteria teknis
Ukuran standar
berdasarkan Permen KP No 16/2006
Kondisi tahap I tahun 2002
Kondisi tahap II tahun 2005
Ukuran standar
Fasilitas tambat labuh
≥ 30 GT ≥30 GT ≥30 GT sesuai
Panjang dermaga 150 m 500 m 410 m melebihiKedalaman kolam 3 m 3,5 m 4 m sesuaiIndustri perikanan ada ada ada sesuai Jangkauan operasional
laut teritorial, ZEEI
laut teritorial, ZEEI
laut teritorial, ZEEI
sesuai
Daya dukung fasilitas
≥75 kapal = 2.250 GT
125 kapal = 3.230 GT
40 kapal = 2.600 GT
sesuai
Sumber: Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu, 2006.
Semua kriteria sesuai dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan
No.16/2006 sebagai Pelabuhan Perikanan Nusantara telah dipenuhi oleh
pelabuhan ini, mulai dari fasilitas tambat labuh, panjang dermaga, kedalaman
kolam, industri perikanan, jangkauan operasional sampai dengan daya dukung
fasilitas. Jumlah produksi ikan yang didaratkan masih sangat rendah, yakni
sebesar 18 ton/hari yang tidak sesuai dengan jumlah produksi ikan yang
ditetapkan didalam studi kelayakan sebesar 43,8 ton/hari atau menurut Keputusan
Menteri Kelautan dan Perikanan No.KEP.10/MEN/2004 tanggal 24 Pebruari 2004
tentang Pelabuhan Perikanan yang menyatakan bahwa jumlah ikan yang
didaratkan rata-rata 30 ton/hari. Kemudian karena terbatasnya areal industri
perikanan maka hanya beberapa perusahaan swasta saja yang memanfaatkannya.
Permasalahan pada operasional tahap kedua adalah belum berfungsi
optimalnya PPN Palabuhanratu yang disebabkan oleh:
14
(1) Kurangnya kapasitas dermaga dan kolam yang tersedia. Kolam I dan kolam II
seluas 5 ha dan kedalaman sampai 4 m, panjang dermaga seluruhnya 910 m
belum mampu menampung perkembangan jumlah dan struktur kapal yang
ada, yakni pada tahun 2005 jumlah kapal 676 unit, terdiri dari kapal berukuran
<10 GT sebanyak 571 unit atau 84,46% dari jumlah kapal yang ada dan kapal
berukuran 10-150 GT sebanyak 105 unit atau 15,54% dari jumlah kapal yang
ada. Kapal yang mendarat mengalami kesulitan melakukan olah gerak di
kolam I dan kolam II.
(2) Daerah penangkapan ikan semakin jauh dari pantai, seperti daerah
penangkapan untuk ikan cucut sudah sampai ke perairan Kepulauan Siberut
dan perairan sebelum Pulau Christmas.
(3) Harga BBM solar untuk kapal berukuran >30 GT tidak disubsidi, sehingga
harganya digolongkan kepada harga solar untuk industri sebesar Rp
5.400/liter. Dengan harga solar tidak bersubsidi tersebut menurunkan daya
beli solar, sehingga lebih dari 85% kapal tidak melakukan operasi ke laut.
(4) Tidak tersedianya es yang cukup. Pasokan es selama ini berasal dari satu
pabrik es yang ada di Palabuhanratu berkapasitas 1000 balok/hari. Kebutuhan
es untuk kapal >30 GT sebesar 1500 balok/hari. Kekurangan es dipasok dari
luar Palabuhanratu dan kapal-kapal harus antri hingga 4-5 hari.
Pola pengembangan PPN Palabuhanratu diperlukan dengan alasan: pertama
menurut BRKP dan LIPI (2005), bahwa potensi sumberdaya ikan di WPP 9,
khususnya untuk kelompok jenis ikan pelagis besar seperti ikan tuna dan cakalang
yang merupakan komoditi ekspor masih besar untuk dapat dieksploitasi yakni
baru dimanfaatkan sebesar 188.280 ton per tahun atau sebesar 51,41% dari potensi
yang ada sebanyak 366.260 ton per tahun (Tabel 4), kedua untuk memanfaatkan
sumberdaya ikan di WPP 9 tersebut diperlukan kapal-kapal perikanan yang
berukuran lebih besar (>30 GT) dan kapal angkut untuk tujuan ekspor berukuran
<1.000 GT, ketiga sejak PPN Palabuhanratu dioperasikan pada tahun 1993
sampai dengan tahun 2002 (pembangunan tahap pertama), kurang berfungsi
optimal terutama target pencapaian produksi sekelas nusantara belum tercapai
karena pendaratan ikan hanya sebesar 2.890 ton atau 18% dari target sebesar
15
16.000 ton, keempat kebutuhan akan ikan berkualitas ekspor semakin meningkat
sehingga diperlukan pelabuhan perikanan berkualitas internasional yang mampu
menyediakan ikan berkualitas ekspor.
Tabel 4 Potensi lestari dan peluang pengembangan masing-masing kelompok sumberdaya ikan laut pada WPP 9 tahun 2000
No Kelompok SDI Potensi
(1000 ton/ tahun)
Produksi (1000 ton/
tahun)
Pemanfaatan (%)
1 Pelagis besar 366,26 188,28 51,412 Pelagis kecil 526,57 265,6 50,443 Demersal 135,13 134,83 99,784 Ikan karang konsumsi 12,88 19,42 150,785 Udang penaeid 10,7 10,24 95,706 Lobster 1,6 0,16 10,007 Cumi-cumi 3,75 6,29 167,73 Jumlah 1076,89 623,78 57,92
Sumber: Badan Riset Kelautan dan Perikanan, 2005.
Dengan alasan tersebut di atas, maka PPN Palabuhanratu perlu dioptimalkan
fungsinya, sehingga harus memiliki pola pengembangan yang lebih jelas dan
terarah. Pola pengembangan pelabuhan perikanan diperlukan untuk menjadi
standar dalam pembangunan dan operasional guna pencapaian tujuan
pembangunan pelabuhan perikanan. Pola pengembangan pelabuhan perikanan
dengan kasus di PPN Palabuhanratu dapat digunakan sebagai acuan untuk
menyusun pola pengembangan pelabuhan perikanan lainnya dengan
menyesuaikan parameter yang ada di komponen triptyque portuaire dari
pelabuhan lain tersebut.
Menurut Chaussade (1986) dalam Lubis (1989) bahwa, pelabuhan perikanan
adalah bagian dari sistem perikanan, dalam operasionalnya sangat terpengaruh
terhadap kondisi yang ada di luar pelabuhan perikanan yaitu kondisi yang ada di
wilayah produksi (foreland) dan wilayah distribusi (hinterland). Selanjutnya
dikatakan bahwa, ketiga komponen tersebut disebut triptyque portuaire untuk
pelabuhan perikanan. Ketiga hubungan antara wilayah produksi, wilayah
distribusi dan pelabuhan perikanan tidak dapat dipisahkan satu sama lain,
melainkan saling terkait dan di dalam pengembangan pelabuhan perikanan harus
16
mengkaitkan ketiganya, seperti pengembangan pelabuhan perikanan harus
tergantung kepada kondisi daerah penangkapan ikan sampai sejauhmana
ketersediaan potensi ikan, kemudian pengembangan pelabuhan perikanan juga
sangat tergantung kepada sampai sejauhmana konsumen membutuhkan ikan dari
pelabuhan perikanan tersebut.
Setelah PPN Palabuhanratu dapat dioptimalkan fungsinya sesuai kriteria
kelas B, maka selanjutnya perlu diantisipasi tentang rencana pengembangan PPN
Palabuhanratu menjadi Pelabuhan Perikanan Samudera Palabuhanratu (PPS
Palabuhanratu). Hal itu berkaitan dengan masih besarnya peluang pemanfaatan
sumberdaya ikan di WPP 9 Samudera Hindia yang merupakan daerah
penangkapan ikan.
Selain itu, menurut Pemerintah Provinsi Jawa Barat (2004), bahwa prioritas
pembangunan perikanan dan kelautan tahun 2005 menitikberatkan pengelolaan
perikanan di wilayah Jawa Barat Bagian Selatan dengan pusat pengembangannya
di Palabuhanratu. PPN Palabuhanratu direncanakan akan ditingkatkan menjadi
PPS Palabuhanratu. Pada tahun 2006 ini, Pemerintah Provinsi Jawa Barat
bekerjasama dengan Pemerintah Kabupaten Sukabumi akan melakukan
pembebasan areal di bagian selatan PPN Palabuhanratu seluas 30 ha untuk tahap
pertama, kemudian sampai dengan 100 ha pada tahap berikutnya. Dengan
demikian keberadaan pelabuhan perikanan di wilayah ini sangat penting dalam
menunjang pembangunan perikanan dan kelautan.
Pemerintah Kabupaten Sukabumi telah memasukkan rencana
pengembangan PPN Palabuhanratu menjadi PPS Palabuhanratu ke dalam rencana
umum tata ruang daerah (RUTRD) yang meliputi areal seluas 500 ha. Selanjutnya
Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (2005) telah memprioritaskan PPN
Palabuhanratu masuk ke dalam program pembangunan pelabuhan perikanan yang
berada di lingkar luar wilayah Indonesia (outer ring fishing port program) dan
merupakan lokasi yang diprioritaskan untuk dikembangkan menjadi PPS
Palabuhanratu. Kriteria pemilihannya terkait dengan pelayanan, bahwa pelabuhan
perikanan tersebut harus dapat melayani kegiatan ekspor dan impor serta terkait
dengan pengembangan wilayah.
17
1.2 Perumusan Masalah Penelitian
Berdasarkan uraian di atas, maka perumusan masalah penelitian adalah:
(1) Masalah pokok PPN Palabuhanratu adalah belum berjalannya fungsi secara
optimal sebagai akibat dari pola pengembangannya yang kurang jelas.
Fasilitas pelabuhan yang tersedia relatif lengkap, namun terdapat beberapa
fasilitas yang telah mengalami daya tampung berlebihan (over capacity)
seperti kolam pelabuhan I dan II, kolam pelabuhan I tidak dapat menampung
kapal ukuran >30 GT serta areal industri perikanan yang sangat kurang
memadai, sehingga memerlukan pengembangan.
(2) Sejak awal pembangunan tahap pertama dan pembangunan tahap kedua
sudah memiliki pola pengembangan pelabuhan, yakni dengan adanya hasil
studi kelayakan dan rencana induk serta kriterianya sebagai kelas B. Pola
pengembangan yang telah disusun tersebut dalam implementasinya sudah
tidak sesuai lagi dengan kondisi perikanan sebagai akibat dari perubahan
yang terjadi pada wilayah produksi (foreland) dan wilayah distribusi
(hinterland). Pada wilayah produksi terjadi perubahan, yakni semakin
menjauhnya potensi sumberdaya ikan dari pantai yang mengakibatkan ukuran
kapal perikanan yang digunakan untuk menangkap bertambah besar.
Perubahan yang terjadi di wilayah distribusi adalah semakin meningkatnya
jumlah dan kualitas ikan yang diminta oleh konsumen sebagai akibat dari laju
pertumbuhan penduduk dan perubahan selera konsumen. Distribusi ikan
semakin meluas, baik untuk konsumen domestik maupun untuk konsumen
manca negara. Dengan demikian untuk mengatasi permasalahan
implementasi pola pengembangan PPN Palabuhanratu diperlukan penetapan
strategi pengembangan PPN Palabuhanratu.
(3) PPN Palabuhanratu berpeluang untuk dikembangkan menjadi PPS
Palabuhanratu. Permasalahannya adalah kelemahan dalam perencanaan,
sehingga perlu diantisipasi agar fungsinya dapat dioptimalkan.
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah:
(1) Menentukan arah pengembangan fasilitas dan operasional PPN Palabuhanratu.
(2) Memformulasikan pola pengembangan PPN Palabuhanratu.
18
(3) Menentukan prioritas pengembangan PPN Palabuhanratu.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat berupa:
(1) Tersedianya suatu pola pengembangan PPN Palabuhanratu.
(2) Memberi masukan dalam pembuatan kebijakan pembangunan dan
pengelolaan PPN Palabuhanratu serta PPS Palabuhanratu.
(3) Dapat dijadikan acuan untuk menyusun pola pengembangan pelabuhan
perikanan lainnya.
(4) Memberikan sumbangan dalam upaya pengembangan konsep atau teori
pelabuhan perikanan.
(5) Membuka wawasan tentang pelabuhan perikanan sehingga berpeluang untuk
penelitian lebih lanjut tentang pelabuhan perikanan.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian dibatasi pada:
(1) Menganalisis arah pengembangan PPN Palabuhanratu.
(2) Memformulasikan pola pengembangan PPN Palabuhanratu.
(3) Merekomendasikan prioritas pengembangan PPN Palabuhanratu.
1.6 Novelty
Berdasarkan hasil penelitian, maka kebaruan (novelty) yang ada dalam
penelitian ini adalah :
(1) Penerapan penggunaan konsep triptyque portuaire dalam menganalisis suatu
pelabuhan perikanan baru pertama kali digunakan dalam penelitian ini.
Selama ini untuk membangun pelabuhan perikanan hanya memperhatikan
keberadaan sumberdaya ikan dan kapasitas fisik pelabuhan perikanan tanpa
mengkaitkan tiga komponen secara terpadu dalam suatu konsep triptyque
portuaire, sehingga tidak jarang pelabuhan perikanan yang telah dibangun
tidak berfungsi optimal. Konsep triptyque portuaire adalah suatu kerangka
analisis geografi yang terdiri dari tiga komponen yang tidak dapat dipisahkan
didalam menganalisis pembangunan suatu pelabuhan perikanan yakni
19
komponen wilayah produksi (foreland), pelabuhan perikanan (fishing port)
dan wilayah distribusi (hinterland). Menurut Chaussade (1986) yang diacu
Lubis (1989), konsep triptyque portuaire pertama kali digunakan untuk
menganalisis pembangunan dan pengembangan pelabuhan perikanan di
negara Perancis. Penerapan konsep triptyque portuaire untuk pengembangan
PPN Palabuhanratu dapat berbeda apabila dibandingkan dengan konsep
triptyque portuaire yang diterapkan pertama kali di Perancis karena adanya
perbedaan penggunaan teknologi baik untuk kegiatan penangkapan ikan,
operasional pelabuhan maupun aktivitas pembinaan mutu dan pemasaran
ikan bahkan dalam kebijakan perikanan yang berlaku.
(2) Pola pengembangan PPN Palabuhanratu dengan konsep triptyque portuaire
dapat dijadikan acuan didalam membangun dan mengembangkan pelabuhan
perikanan lain dengan melakukan penyesuaian terhadap parameter yang
digunakan.
2 KERANGKA PEMIKIRAN
Pelabuhan perikanan merupakan prasarana yang sangat diperlukan guna
mendukung pembangunan perikanan, yang merupakan salah satu sub sistem
dalam sistem pembangunan perikanan. Fungsi pelabuhan perikanan adalah untuk
mendukung kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan
sumberdaya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi,
pengolahan, sampai dengan pemasaran. Dalam pembangunannya pelabuhan
perikanan harus direncanakan secara terintegrasi dengan wilayah produksi
(foreland) dan wilayah distribusi (hinterland).
Pembangunan suatu pelabuhan perikanan harus didasarkan suatu
perencanaan yang matang, baik perencanaan secara nasional, perencanaan
regional maupun untuk perencanaan setiap lokasi pelabuhan perikanan.
Perencanaan perikanan secara nasional yang dibuat oleh Direktorat Jenderal
Perikanan Tangkap dan ditetapkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan harus
mencakup rencana induk pembangunan pelabuhan perikanan nasional. Rencana
induk pelabuhan perikanan secara nasional berdasarkan UU No. 31 tahun 2004
ditetapkan oleh Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan. Menurut Peraturan
Menteri Kelautan dan Perikanan No.Per.16/MEN/2006 tentang Pelabuhan
Perikanan, bahwa rencana induk pelabuhan perikanan disusun dengan
mempertimbangkan daya dukung sumberdaya ikan yang tersedia, daya dukung
sumberdaya manusia, wilayah pengelolaan perikanan (WPP), rencana umum tata
ruang wilayah provinsi/kabupaten/kota, dukungan prasarana wilayah, geografis
daerah dan kondisi perairan.
Berdasarkan rencana induk pelabuhan perikanan nasional, maka masing-
masing daerah secara regional membuat rencana induk pelabuhan perikanan
regional. Kemudian setiap lokasi pelabuhan perikanan menyusun rencana
induknya sendiri-sendiri yang merupakan pedoman atau pola pembangunan suatu
pelabuhan. Ketiga rencana induk tersebut harus saling mendukung dan sinkron,
sehingga tujuan pembangunan suatu pelabuhan perikanan dapat tercapai.
PPN Palabuhanratu dalam tahap pembangunannya sudah ditetapkan pola
pengembangan melalui proses perencanaan, yakni dari hasil studi kelayakan dan
21
rencana induk pembangunannya. Pola pengembangan tersebut kemudian
diimplementasikan pada saat pembangunan, operasional dan pemeliharaan
pelabuhan. Setelah pola pengembangan PPN Palabuhanratu tersebut dilaksanakan
sejak tahun 1993 hingga tahun 2005, pelabuhan perikanan ini ternyata masih
belum optimal menjalankan fungsinya, seperti contoh jumlah produksi ikan yang
didaratkan pada tahun akhir pembangunan tahap pertama PPN Palabuhanratu
tahun 2002 sebesar 7.900 kg/hari atau 18,02% dari tagetnya, sedangkan target
yang harus dicapai menurut hasil studi kelayakan sebesar 43.840 kg/hari, sehingga
tujuan pembangunan pelabuhan perikanan yakni antara lain untuk
mensejahterakan nelayan belum tercapai. Pada tahun 2002 yang merupakan awal
pembangunan tahap kedua, telah tersedia kolam baru seluas 2 ha dengan
kedalaman kolam 4 m dan dermaga sepanjang 410 m’. Sejak operasionalnya
kolam dan dermaga tahap kedua tersebut, maka terjadi perubahan struktur armada
yang dilayani, yakni semula hanya melayani kapal sampai ukuran 30 GT
berkembang menjadi kapal berukuran 30–150 GT dengan alat tangkap longline.
Perkembangan operasional tersebut terlihat bahwa ada sebanyak 68 unit kapal
berukuran 30–150 GT yang menjadikan basisnya di PPN Palabuhanratu pada
tahun 2005, kemudian meningkat menjadi 139 unit kapal pada tahun 2006.
Sementara itu pada tahun 2006, sejak bulan Januari sampai dengan Oktober
tercatat jumlah ikan tuna segar dan ikan layur berkualitas ekspor yang telah
didaratkan sebanyak 1.013.438 kg. Ikan tuna kualitas ekspor yang didaratkan
terdiri dari 2 bentuk, yakni ikan tuna segar dan ikan tuna beku. Ikan tuna kualitas
ekspor dalam bentuk segar setelah pendaratan di dermaga dibongkar untuk
dimasukkan ke dalam mobil berinsulasi yang berisi es curai kemudian langsung
dibawa ke Jakarta. Ikan tuna beku dibongkar dari kapal untuk dipindahkan ke
mobil ber freezer kemudian diangkut ke Jakarta. Perjalanan dari Palabuhanratu ke
Jakarta memerlukan waktu sekitar 4-5 jam. Tabel 5 menunjukkan secara rinci
data ekspor ikan tuna dan ikan layur dari PPN Palabuhanratu.
Ikan layur kualitas ekspor, setelah dibeli dari nelayan oleh pedagang
pengumpul kemudian dijual ke pemilik cold storage yang ada di PPN
Palabuhanratu dan sekitarnya. Ikan layur yang telah dipacking oleh perusahaan
cold storage kemudian diangkut ke Jakarta menggunakan mobil truk kontainer.
22
Tabel 5 Jumlah ikan tuna dan ikan layur yang diekspor dari PPN Palabuhanratu bulan Januari sampai dengan Oktober 2006 Satuan: kg
Bulan Tuna Layur Jumlah Januari 194.360 7.200 201.560Februari 112.700 8.500 121.200Maret 120.700 5.000 125.700April 65.300 4.327 69.627Mei 171.899 5.000 176.899Juni 179.619 - 179.619Juli 57.435 5.400 62.835Agustus 46.250 25.000 71.250September 52.000 25.600 77.600Oktober 13.175 5.000 18.175Jumlah 1.013.438 91.027 1.104.465Rata-rata 101.343,8 9.102,7 110.446,5
Sumber: Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu, 2006.
Ikan tuna kualitas ekspor banyak didaratkan pada bulan Januari sampai
dengan bulan Juni. Menurut Baskoro et al. (2004), pada bulan April-September
merupakan musim ikan dengan tangkapan yang bagus di WPP 9. Ikan layur
banyak didaratkan pada bulan Agustus dan September karena pada saat itu kondisi
perairan di Teluk Palabuhanratu sedang musim ikan layur. Rata-rata per bulan
jumlah ikan tuna yang diekspor sebesar 101.343,8 kg dengan tujuan ke negara
Jepang. Ikan layur yang diekspor ke negara Korea rata-rata per bulan sebanyak
9.102,7 kg.
Kondisi kolam II saat ini sudah dipenuhi oleh kapal-kapal longline, yakni
lebih dari 30 unit kapal (kapasitas kolam II sebanyak 40 unit kapal). Sehingga
perlu dilakukan upaya pengembangan. Untuk itu perlu pengkajian terhadap
operasional pelabuhan melalui monitoring dan evaluasi guna menentukan sampai
sejauhmana operasional berdasarkan fungsi yang ada dan permasalahannya
sehingga sesuai dengan pola pengembangan yang ditentukan. Menurut Lubis
(2002), dalam melakukan monitoring dan evaluasinya akan dikaitkan dengan
seberapa jauh pelabuhan ini telah memanfaatkan wilayah produksinya (foreland)
dan wilayah distribusinya (hinterland) yang merupakan komponen-komponen
dari konsep triptyque portuaire. Pada wilayah produksi, beberapa faktor yang
perlu diperhitungkan adalah kondisi potensi sumberdaya ikan yang masih besar
peluang untuk dimanfaatkan, jumlah dan struktur kapal yang memanfaatkan WPP
23
9, serta pergerakan kapal dari PPN Palabuhanratu ke daerah fishing ground
kemudian kembali ke PPN Palabuhanratu serta berbagai kemungkinan rute kapal
perikanan dari PPN Palabuhanratu ke fishing ground. Pada wilayah distribusi,
faktor-faktor yang perlu diperhitungkan adalah kondisi permintaan ikan oleh
konsumen, kondisi jalan yang menghubungkan PPN Palabuhanratu ke daerah
konsumen terutama ke Jakarta dan Bandung. Dari hasil monitoring dan evaluasi,
kemudian dilakukan identifikasi untuk setiap permasalahan dan akan ditemukan
permasalahannya.
Berdasarkan kondisi dan permasalahannya, maka perlu diupayakan untuk
menentukan apakah PPN Palabuhanratu perlu dikembangkan baik untuk
optimalisasi PPN Palabuhanratu maupun antisipasi menjadi PPS Palabuhanratu.
PPS Palabuhanratu yang akan dibangun harus diarahkan kepada pemanfaatan
potensi ikan di WPP 9. Ikan tuna dan cakalang adalah sumberdaya ikan yang
masih potensial untuk dimanfaatkan yang merupakan komoditi high migration,
sehingga kapal-kapal yang memiliki tonase >30 GT dapat menangkap ikan-ikan
tersebut di perairan ZEEI (12-200 mil) dan samudera lepas (>200 mil).
Untuk mengembangkan PPS Palabuhanratu, maka perlu kajian antara lain
tentang penentuan apakah Kabupaten Sukabumi merupakan lokasi sektor basis,
yakni lokasi yang mencerminkan:
(1) Kondisi sumberdaya ikan nya dapat dijadikan komoditi ekspor.
(2) Bagaimana kualitas pemasaran ikan di PPN Palabuhanratu dibandingkan
dengan daerah lain.
(3) Kondisi tingkat operasional kolam dan dermaga saat ini.
Selanjutnya parameter-parameter tersebut dipakai untuk menyusun pola
pengembangan pelabuhan perikanan yang telah mempertimbangkan konsep
triptyque portuaire.
Pola pengembangan pelabuhan perikanan yang dikaitkan dengan konsep
triprtyque portuaire dirancang dengan tujuan mengoptimalkan fungsi pelabuhan
perikanan berdasarkan permasalahan yang ada guna menentukan target produksi,
target jumlah kapal, luas kolam, kedalaman kolam, panjang dermaga, kapasitas
pabrik es, kebutuhan solar dan kebutuhan air bersih serta manajemen pelabuhan
perikanan.
24
Penentuan prioritas pengembangannya dilakukan dengan mengidentifikasi
dan menentukan prioritas pengembangan melalui proses hierarki analitik (PHA).
Untuk menentukan stabil atau tidaknya prioritas pengembangan maka diperlukan
analisis sensitivitas terhadap prioritas pengembangan yang terpilih.
Dalam pelaksanaan pengembangan berdasarkan pada pola yang didapat,
maka perlu dilakukan antisipasi apabila PPN Palabuhanratu menjadi PPS
Palabuhanratu baik terhadap aktivitas, fasilitas maupun pengelolaannya dengan
konsep triptyque portuaire. Antisipasi pelaksanaan pola pengembangan pelabuhan
perikanan dengan menganalisis perkembangan kondisi foreland dengan kesiapan
PPS Palabuhanratu, yaitu kaitannya dengan berbagai kemungkinan bertambah nya
jumlah kapal yang memanfaatkan PPS Palabuhanratu, sehingga jangkauan dan
bertambah luasnya fishing ground ke arah perairan wilayah pengelolaan perikanan
9 (WPP 9) Samudera Hindia dan kemungkinan kapal-kapal tersebut melakukan
pendaratan di tempat lain. Kaitan hinterland dengan rencana pembangunan PPS
Palabuhanratu, perlu dianalisis banyaknya jumlah ikan yang didaratkan, diolah
dan dipasarkan serta berkembangnya berbagai bentuk transportasi untuk
menjangkau konsumen.
Gambar 2 menunjukkan diagram alir pemikiran pelaksanaan penelitian pada
penyusunan pola pengembangan PPN Palabuhanratu.
25
Gambar 2 Kerangka penelitian pola pengembangan PPN Palabuhanratu.
EVALUASI DAN IDENTIFIKASI PERMASALAHAN PELABUHAN
PERIKANAN
OPERASIONAL PPN PALABUHANRATU
RENCANA INDUK PPN PALABUHANRATU
PRIORITAS PENGEMBANGAN
KONSEP TRIPTYQUE PORTUAIRE :
FORELAND FISHING PORT HINTERLAND
PENENTUAN PERLUNYA PENGEMBANGAN PELABUHAN
PERIKANAN
KONDISI: SDI, SDM, WPP, RUTR,PRASARANA WILAYAH, GEOGRAFIS DAERAH DAN KONDISI PERAIRAN
Pola pengembangan PPN Palabuhanratu
Analisis kebutuhan pengembangan
3 TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Tujuan Pengelolaan Perikanan
Tujuan pengelolaan perikanan menurut pasal 3 UU No. 31 tahun 2004
tentang Perikanan adalah meningkatkan taraf hidup nelayan kecil dan
pembudidaya ikan kecil, meningkatkan penerimaan dan devisa negara,
mendorong perluasan dan kesempatan kerja, meningkatkan ketersediaan dan
konsumsi sumber protein ikan, mengoptimalkan pengelolaan sumberdaya ikan,
meningkatkan produktivitas, mutu, nilai tambah, dan daya saing, meningkatkan
ketersediaan bahan baku untuk industri pengolahan ikan, mencapai pemanfaatan
sumberdaya ikan dan lingkungan sumberdaya ikan secara optimal serta menjamin
kelestarian sumberdaya ikan, dan tata ruang.
Tujuan pembangunan pelabuhan perikanan diarahkan untuk mencapai
tujuan pengelolaan perikanan tersebut di atas.
Kondisi pengelolaan perikanan di Indonesia saat ini belum sesuai dengan
harapan karena tidak dikelola secara baik. Pemanfaatan sumberdaya ikan di
perairan banyak dilakukan secara tidak bertanggung jawab yang menggunakan
alat-alat tangkap yang tidak ramah lingkungan seperti penggunaan bagan dengan
mata jaring berukuran sangat kecil, banyak aktivitas perikanan tidak dilaporkan
secara benar dan akurat sehingga kebijaksanaan yang diambil selalu ada
penyimpangan dan banyak aturan-aturan yang telah dibuat tidak aplikatif di
lapangan, sebagai contoh masih adanya sebagian dari masyarakat nelayan
menggunakan trawl.
3.2 Definisi Pelabuhan Perikanan
Ditinjau dari sub sistem angkutan (transpor), menurut Kramadibrata (1985)
bahwa pelabuhan adalah salah satu simpul dari mata rantai bagi kelancaran
angkutan muatan laut dan darat. Jadi secara umum pelabuhan adalah suatu daerah
perairan yang terlindung terhadap badai/ombak/arus, sehingga kapal dapat
berputar (turning basin), bersandar/membuang sauh, sedemikian rupa hingga
bongkar muat atas barang dan perpindahan penumpang dapat dilaksanakan; guna
mendukung fungsi-fungsi tersebut dibangun dermaga, jalan, gudang, fasilitas
penerangan, telekomunikasi dan sebagainya, sehingga fungsi pemindahan muatan
27
dari/ke kapal yang bersandar di pelabuhan menuju tujuan selanjutnya dapat
dilakukan.
Menurut Ayodhyoa (1975) pelabuhan perikanan adalah:
(1) Pelabuhan khusus merupakan pusat pengembangan ekonomi perikanan, baik
dilihat dari aspek produksi maupun aspek pemasarannya.
(2) Gabungan area perairan dan daratan dengan dilengkapi berbagai fasilitas yang
dapat digunakan oleh kapal perikanan.
(3) Wilayah perairan terbuka dan terlindung dari angin topan, badai sehingga
menjadikannya tempat yang aman dan menyenangkan bagi kapal yang
mencari tempat perlindungan, pengisian bahan bakar, pengisian keperluan
melaut, perbaikan atau aktivitas bongkar.
(4) Pusat berbagai aktivitas industri perikanan, kegiatannya mulai dari kapal
berangkat ke laut dan kembali ke pangkalan.
Selanjutnya menurut Lubis (2002), pelabuhan perikanan adalah suatu
wilayah perpaduan antara wilayah daratan dan lautan yang dipergunakan sebagai
pangkalan kegiatan penangkapan ikan dan dilengkapi dengan berbagai fasilitas
sejak ikan didaratkan sampai ikan didistribusikan. Pelabuhan perikanan adalah
merupakan pusat pengembangan ekonomi perikanan ditinjau dari aspek produksi,
pengolahan dan pemasaran, baik berskala lokal, nasional maupun internasional.
Menurut Direktorat Jenderal Perikanan (1994) yang diacu Lubis (2002),
bahwa aspek-aspek tersebut secara terperinci adalah:
(1) Produksi: bahwa pelabuhan perikanan sebagai tempat para nelayan untuk
melakukan kegiatan-kegiatan produksinya, mulai dari memenuhi kebutuhan
perbekalan untuk menangkap ikan di laut sampai membongkar hasil
tangkapannya.
(2) Pengolahan: bahwa pelabuhan perikanan menyediakan sarana-sarana yang
dibutuhkan untuk mengolah hasil tangkapannya.
(3) Pemasaran: bahwa pelabuhan perikanan merupakan pusat pengumpulan dan
tempat awal pemasaran hasil tangkapannya.
Pengembangan ekonomi perikanan tersebut juga ditunjang oleh industri
perikanan baik hulu maupun hilir dan pengembangan sumberdaya manusia
khususnya masyarakat nelayan.
28
Menurut Murdiyanto (2004), Jepang sebagai negara terkemuka dalam
bidang perikanan mendefinisikan pelabuhan perikanan atau ’Fishing Port’ sebagai
berikut: ..........is a composition of water area, land area and facilities to be used
as a natural or artificial fishing base, which is designated by the Minister of
Agriculture and Forestry………
Definisi pelabuhan perikanan menurut UU No.31 tahun 2004 tentang
Perikanan adalah tempat yang terdiri atas daratan dan perairan di sekitarnya
dengan batas-batas tertentu sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan
sistem bisnis perikanan yang dipergunakan sebagai tempat kapal perikanan
bersandar, berlabuh, dan/atau bongkar muat ikan yang dilengkapi dengan fasilitas
keselamatan pelayaran dan kegiatan penunjang perikanan.
3.3 Pengertian Pola Pengembangan Pelabuhan Perikanan
Menurut Al Barry (1994), yang dimaksud dengan ”pola” adalah model;
contoh; pedoman (rancangan); dasar kerja. Sedangkan pengertian”pola”menurut
Wojowasito (1972) adalah contoh; suri; model. Berdasarkan pengertian ”pola” di
atas, maka yang dimaksud ”pola” dalam penelitian ini adalah suatu contoh atau
pedoman atau ukuran-ukuran dalam mengembangkan suatu pelabuhan perikanan
berdasarkan konsep triptyque portuaire. Ukuran-ukuran yang akan ditentukan
yang merupakan pola pengembangan pelabuhan perikanan terdiri dari ukuran-
ukuran pada komponen wilayah produksi (foreland), komponen pelabuhan
perikanan dan komponen wilayah distribusi (hinterland). Pengembangan adalah
merupakan suatu usaha ke arah perubahan dari kondisi yang dinilai kurang kepada
suatu kondisi baik atau suatu proses untuk mencapai kemajuan. Pengembangan
yang dimaksud dalam penelitian ini adalah suatu proses untuk mencapai kemajuan
pembangunan Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu sesuai dengan pola
pengembangannya guna mengoptimalkan fungsinya.
Pola pengembangan pelabuhan perikanan adalah acuan awal yang sangat
diperlukan didalam mengembangkan pelabuhan perikanan. Selama ini didalam
perencanaan pelabuhan perikanan di Indonesia banyak dilakukan belum
sempurna, yakni dalam penyusunan pola pengembangan tidak mengkaitkan
sinergitas antara wilayah produksi (foreland), pelabuhan perikanan dan wilayah
29
distribusi (hinterland), sehingga mengakibatkan banyak pelabuhan perikanan
yang tidak berkembang dan berfungsi secara optimal. Hal tersebut diindikasikan
bahwa pada tahun 1997 produksi perikanan laut yang didaratkan dipelabuhan
perikanan hanya sebesar 793.710 ton atau sekitar 22% dari total produksi
perikanan laut sebesar 3.612.961 ton. Sebanyak 357 buah atau sekitar 60% dari
total pelabuhan perikanan sebanyak 595 buah belum berfungsi secara optimal
(Lubis, 2002).
3.4 Landasan Hukum Pengelolaan Pelabuhan Perikanan
Undang-undang yang baru tentang perikanan yaitu UU No 31 tahun 2004
tentang Perikanan pada pasal 41, menyatakan bahwa:
(1) Pemerintah menyelenggarakan dan membina pelabuhan perikanan.
(2) Menteri menetapkan:
1) Rencana induk pelabuhan perikanan secara nasional.
2) Klasifikasi pelabuhan perikanan dan suatu tempat yang merupakan
bagian perairan dan daratan tertentu yang menjadi wilayah kerja dan
pengoperasian pelabuhan perikanan.
3) Persyaratan dan/atau standar teknis dan akreditasi kompetensi dalam
perencanaan, pembangunan, operasional, pembinaan, dan pengawasan
pelabuhan perikanan.
4) Wilayah kerja dan pengoperasian pelabuhan perikanan.
5) Pelabuhan perikanan yang tidak dibangun oleh pemerintah.
Penjabaran UU No 31/2004 tentang Perikanan, maka telah diterbitkan
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No: PER.16/MEN/2006 tanggal 23
Juni 2006 tentang Pelabuhan Perikanan antara lain mengatur bahwa:
(1) Rencana induk pelabuhan perikanan secara nasional disusun dengan
mempertimbangkan: daya dukung sumberdaya ikan yang tersedia, daya
dukung sumberdaya manusia, wilayah pengelolaan perikanan (WPP), rencana
umum tata ruang wilayah propinsi/kabupaten/kota, dukungan prasarana
wilayah, dan geografis daerah dan kondisi perairan.
(2) Menteri Kelautan dan Perikanan menetapkan rencana induk secara nasional.
(3) Pemerintah menyelenggarakan dan membina pelabuhan perikanan yang
30
dibangun oleh pemerintah, BUMN maupun perusahaan swasta.
(4) Pemerintah, BUMN maupun perusahaan swasta yang akan membangun
pelabuhan perikanan wajib mengikuti rencana induk pelabuhan perikanan
secara nasional dan peraturan pelaksanaannya.
(5) Pembangunan pelabuhan perikanan dilaksanakan melalui pentahapan study,
investigation, detail design, construction, operation dan maintenance
(SIDCOM).
(6) Selain pemerintah, pihak swasta dapat membangun dan mengoperasionalkan
pelabuhan perikanan.
(7) Klasifikasi pelabuhan perikanan
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No: PER.16/MEN/2006 tanggal 23
Juni 2006 tentang Pelabuhan Perikanan membagi ke dalam 4 kelas Pelabuhan
Perikanan, yakni Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS), Pelabuhan Perikanan
Nusantara (PPN), Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) dan Pangkalan
Pendaratan Ikan (PPI).
Tabel 6 memuat secara rinci kriteria teknis klasifikasi pelabuhan perikanan
menurut Menteri Kelautan dan dan Perikanan
(8) Setiap pembangunan pelabuhan perikanan wajib terlebih dahulu memperoleh
persetujuan Menteri Kelautan dan Perikanan. Lokasi pembangunan pelabuhan
perikanan ditetapkan oleh Bupati/Walikota setempat.
(9) Pengelolaan pelabuhan perikanan dipimpin oleh seorang Kepala Pelabuhan.
Kepala Pelabuhan Perikanan bertindak sebagai koordinator tunggal dalam
penyelenggaraan pelabuhan perikanan.
(10) Dalam menata dan menertibkan penyelenggaraan pelabuhan perikanan,
kepala pelabuhan perikanan dapat menerbitkan ketentuan-ketentuan yang
berkaitan dengan penyelenggaraan pelabuhan perikanan.
(11) Fasilitas-fasilitas yang ada di pelabuhan perikanan:
1) Fasilitas pokok, yaitu fasilitas dasar yang diperlukan dalam kegiatan di
suatu pelabuhan. Fasilitas ini berfungsi untuk menjamin keamanan dan
kelancaran kapal baik sewaktu berlayar keluar masuk pelabuhan
maupun sewaktu berlabuh di pelabuhan. Fasilitas pokok antara lain: (a)
pelindung seperti breakwater, revetment, dan groin dalam hal secara
31
teknis diperlukan, (b) tambat seperti dermaga dan jetty, (c) perairan
seperti kolam, dan alur pelayaran, (d) penghubung seperti jalan,
drainase, gorong-gorong, jembatan, (e) lahan pelabuhan perikanan.
Tabel 6 Kriteria teknis klasifikasi pelabuhan perikanan
Kelas Pelabuhan Perikanan Samudera
Pelabuhan Perikanan Nusantara
Pelabuhan Perikanan Pantai
Pangkalan Pendaratan Ikan
Daerah penangkapan ikan
Laut teritorial, ZEEI, laut lepas
Laut territorial, ZEEI
Perairan pedalaman, Perairan kepulauan, laut teritorial
Perairan pedalaman dan perairan kepulauan
Fasilitas tambat labuh ukuran kapal (GT) ≥60 ≥30 ≥10 ≥3
Panjang dermaga (m) ≥300 ≥150 ≥100 ≥50Kedalaman kolam (m) ≥3 ≥3 ≥2 2
Kapasitas tampung kolam sekaligus
≥100 unit kapal atau ≥6000 GT
≥75 unit kapal atau ≥2250 GT
≥30 unit kapal atau ≥ 300 GT
≥20 unit kapal atau ≥ 60 GT
Pemasaran Sebagian untuk ekspor
- - -
Keberadaan industri perikanan ada ada - -
Sumber: Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No: PER.16/MEN/2006 tanggal 23 Juni 2006 tentang Pelabuhan Perikanan.
2) Fasilitas fungsional, yakni fasilitas yang berfungsi untuk meninggikan
nilai guna dari fasitas pokok sehingga dapat menunjang aktivitas di
pelabuhan, (a) pemasaran hasil perikanan seperti tempat pelelangan
ikan, (b) navigasi pelayaran dan komunikasi seperti telepon, internet,
SSB, rambu-rambu, lampu suar, dan menara pengawas, (c) suplai air
bersih, es dan listrik, (d) pemeliharaan kapal dan alat penangkap ikan
seperti dock/slipway, bengkel dan tempat perbaikan jaring,
(e) penanganan dan pengolahan hasil perikanan seperti transit sheed dan
laboratorium pembinaan mutu, (f) perkantoran seperti kantor
administrasi pelabuhan, (g) transportasi seperti alat-alat angkut ikan dan
32
es dan (h) pengolahan limbah seperti instalasi pengolah air limbah
(IPAL).
3) Fasilitas penunjang adalah fasilitas yang secara tidak langsung
meningkatkan peranan pelabuhan, yakni fasilitas (a) pembinaan
nelayan seperti balai pertemuan nelayan, (b) pengelolaan pelabuhan
seperti mess operator, pos jaga, dan pos pelayanan terpadu, (c) sosial
dan umum seperti tempat peribadatan dan MCK, (d) kios IPTEK, (e)
penyelenggaraan tugas pemerintahan seperti keselamatan pelayaran,
K3, bea dan cukai, keiimigrasian, pengawas perikanan, kesehatan
masyarakat, dan karantina ikan.
Selanjutnya Lubis et al. (2005) mengatakan bahwa selain fasilitas yang vital
juga terdapat fasilitas penting dan fasilitas pelengkap. Fasilitas vital atau fasilitas
yang mutlak diperlukan di pelabuhan perikanan ada 9 jenis yakni dermaga
pendaratan ikan dan muat, kolam pelabuhan, sistem rambu-rambu navigasi yang
mengatur keluar masuknya kapal, tempat pelelangan ikan, dimana dilakukan
transaksi lelang, pabrik es, tangki dan instalasi air, penyediaan bahan bakar,
bengkel reparasi dan kantor administrasi.
Jenis fasilitas lainnya yakni fasilitas penting, adalah fasilitas yang jelas
diperlukan agar pelabuhan perikanan dapat berfungsi dengan baik, namun
realisasinya dapat ditunda. Fasilitas penting tersebut adalah generator listrik,
kantor kepala pelabuhan, tempat parkir, pos penghubung radio (SSB), ruang
pengepakan.
Fasilitas pelengkap adalah jenis fasilitas yang diperlukan agar pelabuhan
perikanan dapat berfungsi dengan baik, tetapi pengadaannya baru pada
pengembangan pelabuhan tahap ketiga. Fasilitas pelengkap ini meliputi dermaga
muat terpisah, slipway, ruang pertemuan, kamar kecil, pos penjagaan, balai
pertemuan nelayan, rumah dinas, mushola, mobil dinas dan motor dinas.
Selanjutnya Lubis et al. (2005) menyatakan bahwa, setelah dilakukan
penelitian terhadap fasilitas pelabuhan perikanan di Laut Jawa, ternyata bahwa
jumlah pelabuhan yang termasuk kategori baik sangat sedikit, yakni 5 unit
pelabuhan perikanan. Sebagian besar pelabuhan perikanan termasuk kategori
33
cukup (73%), tetapi mayoritas PPI termasuk buruk (59%). Tabel 7 menunjukkan
evaluasi kondisi fasilitas vital pelabuhan perikanan/PPI di Pulau Jawa tahun
2005.
Tabel 7 Evaluasi kondisi fasilitas vital pelabuhan perikanan/PPI di Pulau Jawa tahun 2005
No Hasil penelitian % PP % PPI
1 Kategori baik 5 dari 30 (17%) 0 dari 204 (0%)
2 Kategori cukup 22 dari 30 (73%) 83 dari 204 (41%)
3 Kategori buruk 3 dari 30 (10%) 121 dari 204 (59%)
Sumber : Lubis et al. 2005.
Selanjutnya dikatakan bahwa, dari 30 unit pelabuhan perikanan, 14 unit atau
46% diantaranya berkategori buruk, sedangkan 184 unit PPI atau 90% dari 204
unit PPI berkategori buruk. Adanya 90% dari PPI di Pulau Jawa yang masih
termasuk kategori buruk, merupakan suatu jumlah yang besar sekali, dan hal ini
berarti adanya kesulitan yang begitu besar bagi para nelayan dalam melakukan
kegiatan-kegiatannya. Tabel 8 memperlihatkan evaluasi kondisi fasilitas penting
di pelabuhan perikanan/PPI.
Tabel 8 Evaluasi kondisi fasilitas penting pelabuhan perikanan/PPI di Pulau Jawa tahun 2005
No Hasil penelitian % PP % PPI
1 Kategori baik 5 dari 30 (17%) 2 dari 204 (1%)
2 Kategori cukup 11 dari 30 (37%) 18 dari 204 (9%)
3 Kategori buruk 14 dari 30 (46%) 184 dari 204 (90%)
Sumber : Lubis et al, 2005.
Demikian juga keberadaan fasilitas pelengkap, yakni sebanyak 12 unit atau
40% dari 30 unit pelabuhan perikanan memiliki fasilitas pelengkap berkategori
buruk dan ada 183 unit atau 90% dari 204 unit PPI berkategori buruk seperti yang
ditunjukkan pada Tabel 9. Kondisi ini sangat memperlemah kinerja pelabuhan
perikanan/PPI sehingga pelayanan yang diberikan tidak optimal.
34
Tabel 9 Evaluasi kondisi fasilitas pelengkap pelabuhan perikanan/PPI di Pulau Jawa tahun 2005
No Hasil penelitian % PP % PPI
1 Kategori baik 2 dari 30 (7%) 0 dari 204 (0%)
2 Kategori cukup 16 dari 30 (53%) 19 dari 204 (9%)
3 Kategori buruk 12 dari 30 (40%) 183 dari 204 (90%)
Sumber : Lubis et al. 2005.
Menurut pasal 42 UU No. 31/2004 tentang Perikanan bahwa:
(1) Dalam rangka keselamatan pelayaran, ditunjuk syahbandar di pelabuhan
perikanan.
(2) Setiap kapal perikanan yang akan berlayar dari pelabuhan perikanan wajib
memiliki surat izin berlayar kapal perikanan yang dikeluarkan oleh
syahbandar.
(3) Selain menerbitkan surat izin berlayar, syahbandar di pelabuhan perikanan
mempunyai kewenangan lain yakni: memeriksa ulang kelengkapan dokumen
kapal perikanan dan memeriksa ulang alat penangkapan ikan yang ada di
kapal perikanan. Syahbandar di pelabuhan perikanan diangkat oleh Menteri
Kelautan dan Perikanan.
Selain itu, landasan hukum yang mendasari pengelolaan pelabuhan
perikanan adalah:
(1) Peraturan Pemerintah No.19 Tahun 2006 tentang perubahan atas Peraturan
Pemerintah No.62 tahun 2002 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara
Bukan Pajak (PNBP).
(2) Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No.46/MEN/2002 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Pelabuhan Perikanan.
(3) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.Per.17/MEN/2006 tentang
Usaha Perikanan Tangkap.
Peraturan mengenai pelabuhan perikanan sangat tertinggal dibandingkan
dengan peraturan pelabuhan umum, sehingga didalam pelaksanaan pembangunan
dan operasionalnya sejak tahun 1972 (mulai adanya istilah dan pembangunan
pelabuhan perikanan) mengalami banyak hambatan karena setiap kali
35
pembangunan dan operasional pelabuhan perikanan selalu didahului melalui
proses perijinan dari Menteri Perhubungan. Akibatnya perkembangan
pembangunan dan operasional pelabuhan perikanan terganggu. Namun dengan
adanya UU No.31 tahun 2004 tentang Perikanan dan Peraturan Menteri No.16
tahun 2006, maka kedudukan, hak dan kewajiban, tugas dan aturan lainnya
mengenai pelabuhan perikanan semakin jelas dan petugas di lapangan tidak ragu-
ragu lagi untuk mengupayakan agar fungsi pelabuhan perikanan dapat berjalan
secara optimal.
3.5 Fungsi dan Peranan Pelabuhan Perikanan
Menurut Lubis (2002), terdapat dua jenis pengelompokan fungsi pelabuhan
perikanan yakni ditinjau dari pendekatan kepentingan dan pendekatan aktivitas.
Fungsi pelabuhan perikanan berdasarkan pendekatan kepentingan adalah:
(1) Fungsi maritime, dimana pelabuhan perikanan merupakan suatu tempat
kontak bagi nelayan atau pemilik kapal, antara laut dan daratan melalui
penyediaan kolam pelabuhan dan dermaga.
(2) Fungsi pemasaran, dimana pelabuhan perikanan merupakan suatu tempat
awal untuk mempersiapkan pemasaran produksi perikanan dengan
melakukan transaksi pelelangan ikan.
(3) Fungsi jasa, dimana pelabuhan perikanan memberikan jasa-jasa pelabuhan
mulai dari ikan didaratkan sampai ikan didistribusikan.
Fungsi pelabuhan perikanan ditinjau dari segi aktivitas khususnya adalah:
(1) Fungsi pendaratan dan pembongkaran, dalam hal ini pelabuhan perikanan
lebih ditekankan sebagai pemusatan sarana dan kegiatan pendaratan dan
pembongkaran hasil tangkapan di laut.
(2) Fungsi pengolahan, dimana pelabuhan perikanan sebagai tempat membina
peningkatan mutu serta pengendalian mutu ikan dalam menghindari
kerugian dari pasca tangkap.
(3) Fungsi pemasaran, dimana pelabuhan perikanan berfungsi sebagai tempat
untuk menciptakan mekanisme pasar yang menguntungkan atau mendapat
harga yang layak baik bagi nelayan maupun bagi pedagang.
36
(4) Fungsi pembinaan terhadap masyarakat nelayan, dimana pelabuhan
perikanan dapat dijadikan sebagai lapangan kerja bagi penduduk di
sekitarnya dan sebagai tempat pembinaan masyarakat nelayan.
Menurut Murdiyanto (2004), pelabuhan perikanan merupakan basis utama
kegiatan industri perikanan tangkap yang harus dapat menjamin suksesnya
aktivitas usaha perikanan tangkap di laut. Pelabuhan perikanan berperan sebagai
terminal yang menghubungkan kegiatan usaha di laut dan di darat ke dalam suatu
sistem usaha yang berdaya guna tinggi.
Aktivitas unit penangkapan ikan di laut keberangkatannya dari pelabuhan
harus dilengkapi dengan bahan bakar, perbekalan makanan, es dan lain-lain
secukupnya. Informasi tentang data harga dan kebutuhan ikan di pelabuhan perlu
dikomunikasikan dengan cepat dari pelabuhan ke kapal di laut. Setelah selesai
melakukan pekerjaan di laut, kapal akan kembali dan masuk ke pelabuhan untuk
membongkar dan menjual ikan hasil tangkapan. Selain memberikan pelayanan
terhadap kapal, yaitu melayani segala kebutuhan keberangkatan, kedatangan,
berlabuh, perbaikan dan docking, pelabuhan juga melayani aktivitas pemasaran
dan distribusi ikan dan pedagang atau pihak lainnya untuk berusaha dalam bidang
perikanan. Selain itu pelabuhan juga mengumpulkan data statistik perikanan.
Selanjutnya dinyatakan bahwa fungsi khusus pelabuhan perikanan yang
membedakan dengan pelabuhan lain adalah terutama yang dicirikan dari
karakteristik komoditas perikanan yang sifatnya mudah busuk (highly perishable).
Hal ini menghendaki pelayanan khusus berupa perlakukan penanganan,
pendistribusian hasil ikan secara cepat ataupun pengolahan (fish processing) yang
tepat. Untuk komoditas hasil perikanan ini perlu bongkar muatan ikan dilakukan
berkali-kali dalam sehari. Ciri khusus lain adalah ukuran kapal yang relatif kecil
dan berjumlah banyak. Hal ini menyebabkan perlunya bangunan pelabuhan yang
dapat memberikan perlindungan dengan derajat yang lebih tinggi untuk kapal-
kapal ukuran besar. Selain itu sifat usaha perikanan tangkap yang tergantung dari
kondisi alam yang tidak menentu, ada musim ikan, ada musim paceklik
menyebabkan perhitungan arus lalu lintas kedatangan dan keberangkatan kapal
(traffic flow) menjadi tidak teratur sehingga diperlukan alokasi waktu lama dan
area yang cukup lapang untuk kapal bertambat pada musim paceklik.
37
Menurut Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. Per. 16/Men/2006,
pelabuhan perikanan mempunyai fungsi mendukung kegiatan yang berhubungan
dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungannya mulai
dari praproduksi, produksi, pengolahan, sampai dengan pemasaran. Fungsi
pelabuhan perikanan dalam mendukung kegiatan yang berhubungan dengan
pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungannya dapat berupa
pelayanan sandar dan labuh kapal perikanan dan kapal pengawas perikanan,
pelayanan bongkar muat, pelaksanaan pembinaan mutu dan pengolahan hasil
perikanan, pemasaran dan distribusi ikan, pengumpulan data tangkapan dan hasil
perikanan, pelaksanaan penyuluhan dan pengembangan masyarakat nelayan,
pelaksanaan kegiatan operasional kapal perikanan, pelaksanaan pengawasan dan
pengendalian sumberdaya ikan, pelaksanaan kesyahbandaran, pelaksanaan fungsi
karantina ikan, publikasi hasil riset kelautan dan perikanan, pemantauan wilayah
pesisir dan wisata bahari dan pengendalian lingkungan.
Dalam penjelasan pasal 41 ayat 1 UU No.31/2004 tentang Perikanan,
dinyatakan bahwa pelabuhan perikanan berfungsi antara lain sebagai tempat
tambat-labuh kapal perikanan, tempat pendaratan ikan, tempat pemasaran dan
distribusi ikan, tempat pelaksanaan pembinaan mutu hasil perikanan, tempat
pengumpulan data tangkapan, tempat pelaksanaan penyuluhan serta
pengembangan masyarakat nelayan, dan tempat untuk memperlancar kegiatan
operasional kapal perikanan.
3.6 Pelabuhan Perikanan di Negara Lain
Terdapat beberapa pengalaman pembangunan dan pengelolaan pelabuhan
perikanan di negara Jepang, Philipina, Jerman dan Perancis yang dapat dijadikan
contoh keberhasilannya, sehingga perlu meneladani pelabuhan-pelabuhan yang
sudah ada di negara lain.
(1) Pelabuhan perikanan di Jepang
Negara Jepang membagi pelabuhan perikanan menjadi 4 tipe. Tabel 10
menunjukkan tipe dan jumlah pelabuhan perikanan di Jepang tahun 1995.
Dengan jumlah 2.944 unit pelabuhan perikanan tahun 2001 dan panjang
pantai negara Jepang 34000 km berarti setiap pelabuhan perikanan memiliki jarak
38
12 km. Selain itu ada 7000 desa nelayan, 5000 desa nelayan diantaranya berada
dekat dengan pelabuhan perikanan. Bandingkan dengan negara Indonesia yang
memiliki 17.508 buah pulau dan panjang pantai 81000 km, wilayah lautannya
meliputi 5,8 juta km2 atau 70% dari luas total territorial Indonesia hanya memiliki
pelabuhan perikanan sebanyak 784 unit, dengan demikian setiap pelabuhan
perikanan berjarak 103 km.
Tabel 10 Tipe dan jumlah pelabuhan perikanan di Jepang tahun 1995
Tipe Jumlah Karakteristik Tipe 1 2.218 Pelabuhan-pelabuhan yang digunakan untuk perikanan
lokal Tipe 2
512
Pelabuhan-pelabuhan yang kisaran kebutuhannya lebih luas dari tipe 1 dan dibawah tipe 3
Tipe 3
113
Pelabuhan-pelabuhan yang digunakan oleh seluruh kapal Jepang
Tipe 4
101
Pelabuhan-pelabuhan di dalam isolasi (tertutup) oleh pulau-pulau atau tempat terpencil yang dibutuhkan untuk pengembangan daerah penangkapan dan tempat berlindung kapal-kapal penangkapan.
Jumlah 2.944 Sumber: National Fishing Port Association, 1995.
Selanjutnya dikatakan bahwa, jumlah kapal perikanan tahun 1993 di
pelabuhan perikanan terbanyak pada pelabuhan perikanan tipe I yakni sebesar
150.581 unit, pada tipe II sebanyak 91.140 unit, tipe III sebanyak 22.878 unit dan
tipe IV sebanyak 14.331 unit. Jumlah pendaratan ikan pada tahun 1993 terbanyak
pada tipe III yakni sebesar 2.384.000. ton, pada tipe II sebanyak 1.382.000 ton,
pada tipe I sebanyak 1.343.000 ton.
Jepang adalah negara kepulauan yang sering dilanda gempa dan sering
terjadi tsunami. Sebagai contoh tsunami yang terjadi pada tahun 1986 telah
menimbulkan naiknya gelombang air laut setinggi 24,4 m dan telah menewaskan
sebanyak 27.122 orang. Untuk mengatasi masalah tsunami tersebut, maka selain
memperbaiki struktur pantai, pembangunan rumah, gedung tahan gempa, maka
pelabuhan perikanan yang dibangun di sepanjang pantai dirancang sekokoh
mungkin sehingga berfungsi untuk mempertahankan pantai dari serangan
gelombang tsunami. Akibatnya dana pembangunan pelabuhan perikanan menjadi
lebih besar (National Fishing Port Association, 1995).
39
Pelabuhan perikanan dipimpin oleh seorang administrator yang diangkat
oleh walikota. Peraturan pelabuhan perikanan di Jepang mengatur bagaimana
Pemerintah merencanakan, membangun, mengelola dan memelihara pelabuhan
perikanan. Jika pelabuhan perikanan secara legal diakui, maka pertama
rancangannya harus disetujui oleh Pemerintah dalam hal ini Menteri Pertanian,
Kehutanan dan Perikanan setelah mendengar pendapat dari lembaga umum lokal.
Pemerintah Pusat menetapkan rencana induk pelabuhan perikanan 5 sampai 6
tahun ke depan. Administrasi pelabuhan perikanan di Jepang semuanya dikelola
oleh Dinas Perikanan di Kementerian Pertanian, Kehutanan dan Perikanan. Dana
pembangunan breakwater, dermaga, alur pelayaran, kolam pelabuhan, jalan dan
fasilitas transportasi dibiayai 50% dari Pemerintah Pusat dan 50% dari Pemerintah
Daerah. Pembangunan fasilitas yang bersifat komersial seperti unit pembekuan
ikan, pabrik es diserahkan kepada pihak swasta atau koperasi perikanan. Biaya
pemeliharaan dan manajemen ditanggung oleh Pemerintah Daerah.
(2) Pelabuhan perikanan di Perancis
Menurut Lubis (2002), di Perancis sebelum tahun 1965, pelabuhan
mempunyai dua pembagian wewenang yaitu kementerian perhubungan adalah
penanggung jawab infrastruktur dan kamar dagang dan industri adalah
penanggung jawab suprastruktur. Namun sejak tahun 1983, pengelolaan
sepenuhnya dipegang oleh kamar dagang dan industri dan pemerintah pusat tetap
sebagai pemiliknya. Sejak tahun 1992, di beberapa daerah, pengelolaaannya
diserahkan oleh perusahaan swasta yang mempunyai kontrak mengelola
pelabuhan perikanan selama 15 tahun. Perancis pada umumnya mengelompokkan
pelabuhan perikanan menjadi pelabuhan perikanan besar dan kecil, masing-
masing mempunyai karakteristik. Tabel 11 menunjukkan karakteristik pelabuhan
perikanan di Perancis.
Tabel 11 Karakteristik pelabuhan perikanan di Perancis
Jenis Pelabuhan Tipe pelabuhan Ukuran kapal
Distribusi
Pelabuhan besar Industri & semi industri >50 GT Nasional & ekspor Pelabuhan kecil Tradisional atau pantai <50 GT Lokal & nasional
Sumber : Lubis, 2002.
40
Menurut Le Ry JM (2005), bahwa di Cornouaille terdapat 7 pelabuhan
perikanan pada 100 km garis pantai, yakni Douarnenez, Audierne, Saint Guenole,
Guilvinec, Lesconil, Loctudy dan Concarneau. Pada tahun 2004 telah didaratkan
sebanyak 59.000 ton ikan pada 7 pelabuhan perikanan tersebut. Ada sebanyak
500 buah kapal perikanan memanfaatkan pelabuhan perikanan tersebut, mulai dari
handliner berukuran panjang 6 m sampai kepada kapal high sea trawlers
memiliki panjang 30 m dan tuna seiner memiliki panjang lebih dari 75 m. Fasilitas
pokok telah dibangun oleh negara Perancis. Pengelolaan pelabuhan dilakukan
oleh Regional Administration. Kontrak telah dibuat antara Regional
Administration dengan chambers of commerce and industry (CCI) untuk
memelihara pelabuhan perikanan, membangun baru pelabuhan perikanan. CCI
mewakili perusahaan swasta lokal. Pelelangan ikan dilaksanakan satu sampai dua
kali sehari. Beberapa kegiatan di pelabuhan perikanan antara lain penanganan ikan
di kapal oleh koperasi dan perusahaan swasta, penyaluran BBM oleh koperasi,
penyediaan es oleh CCI atau perusahaan swasta, pembangunan kapal oleh
perusahaan swasta, perbaikan kapal oleh perusahaan swasta, slipway atau boat lift
oleh CCI, kredit oleh professional bank Marine Credit, pembongkaran ikan oleh
CCI, penjualan ikan oleh perusahaan swasta, cold storage oleh perusahaan swasta,
pengalengan ikan oleh perusahaan swasta dan transportasi refrigerasi oleh
perusahaan swasta.
(3) Pelabuhan perikanan di Jerman
Menurut Lubis (2002), di Jerman, pengklasifikasian pelabuhan perikanan
lebih ditekankan pada jenis ikan dan atau skala perikanan yang beroperasi, yaitu:
1) Pelabuhan perikanan skala besar/perikanan laut dalam (port of large-scale
deep sea fisheries); pelabuhan ini mempunyai karakteristik sama dengan
pelabuhan besar di Perancis. Seperti contoh: Bremerhaven, Cuxhaven,
Hamburg dan Kiel.
2) Pelabuhan untuk perikanan hering (port of lugger hering fisheries); di
pelabuhan ini terdapat banyak perusahaan-perusahaan penangkapan khusus
untuk ikan hering. Seperti contoh: Bremen-Vegesack, Emden, Gluckstad dan
Laer.
41
3) Pelabuhan perikanan pantai (port of inshore fisheries); pelabuhan ini adalah
tempat mendaratnya kapal-kapal kecil yang beroperasi di perairan pantai.
Hasil tangkapan umumnya dijual pada koperasi dan perusahaan-perusahaan
industri perikanan. Contoh: Dorum, Biisum, Maasholan, dan Nieustad.
(4) Pelabuhan perikanan General Santos-Philipina
Menurut Mahyuddin (2004) bahwa Pelabuhan Perikanan General Santos-
Philipina Selatan adalah salah satu pelabuhan perikanan yang ada di Philipina.
Perencanaan pelabuhan dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat Philipina.
Perencanaan pelabuhan dilakukan dengan pendekatan keterpaduan, yakni
perencanaan yang mensinergikan antara pemanfaatan potensi perikanan di
wilayah foreland dan pelabuhan perikanan sebagai pusat kegiatan dikaitkan
dengan penyerapan hasil produksi ikan dari pelabuhan perikanan ke daerah
hinterland. Pembangunan pelabuhan perikanan dilakukan oleh Pemerintah Pusat,
pengoperasionalannya dilakukan oleh administrator pelabuhan yang diangkat oleh
pemerintah. Pasokan listrik dari Pemerintah sangat murah guna merangsang
pengusaha untuk meningkatkan investasinya di pelabuhan perikanan, seperti
pabrik es, cold storage, industri pengalengan ikan.
Pelabuhan tidak memungut biaya tambat labuh guna mengurangi biaya
operasional setiap kapal penangkap. Berjarak 3 km dari pelabuhan, terdapat
lapangan pesawat terbang yang sehari-harinya dapat digunakan untuk mengekspor
ikan ke luar negaranya. Jalan yang menghubungkan pelabuhan ke daerah
hinterland sangat bagus dan cukup lebar. Di sepanjang pantai kiri-kanan
pelabuhan telah banyak tumbuh pabrik-pabrik yang mendukung kegiatan
perikanan, seperti pabrik es, cold storage, pengalengan ikan. Kegiatan-kegiatan
yang ada di pelabuhan perikanan adalah aktivitas bongkar muat ikan/barang,
aktivitas pelelangan ikan, tambat labuh kapal, aktivitas pengisian perbekalan kapal
melaut, aktivitas distribusi ikan, penyortiran ikan kualitas ekspor, aktivitas
perbaikan kapal dan alat tangkap dan administrasi pelabuhan.
3.7 Persaingan Antar Pelabuhan Perikanan di WPP 9 Samudera Hindia dan Penentuan Sektor Basis
Pelabuhan perikanan dalam operasionalnya diharuskan untuk
mengoptimalkan fungsinya, sehingga masing-masing pelabuhan harus memiliki
42
kesiapan misalnya fasilitas, sumberdaya manusia dan layanan yang semakin
membaik. Semakin besar peranannya, maka semakin lengkap pula fasilitas,
sumberdaya manusia dan layanan yang diberikan. Untuk melihat tingkat
persaingan antar pelabuhan perikanan, maka menurut Rustiadi et al. (2005), dapat
menggunakan metode hierarki perkembangan wilayah (metode skalogram).
Metode skalogram adalah metode untuk menentukan hirarki wilayah termasuk
hierarki pelabuhan perikanan. Rumus dan cara untuk menentukan indeks hierarki
skalogram dapat dilihat pada metodologi.
Menurut Budiharsono (2001), bahwa inti dari model ekonomi basis
(economic base model) adalah arah dan pertumbuhan suatu wilayah ditentukan
oleh ekspor wilayah tersebut. Ekspor tersebut berupa barang-barang dan jasa,
termasuk tenaga kerja. Sektor (industri) yang bersifat seperti ini disebut sektor
basis. Selain sektor basis, ada kegiatan-kegiatan sektor pendukung yang
dibutuhkan untuk melayani pekerja pada sektor basis dan kegiatan sektor basis itu
sendiri. Kegiatan sektor pendukung, seperti perdagangan dan pelayanan
perseorangan, disebut sektor non basis. Kedua sektor tersebut mempunyai
hubungan dengan permintaan dari luar wilayah. Sektor basis berhubungan
langsung, sedangkan sektor non basis berhubungan secara tidak langsung, yaitu
melalui sektor basis dulu. Apabila permintaan dari luar meningkat, maka sektor
basis akan berkembang. Hal ini pada gilirannya nanti akan mengembangkan
sektor non basis. Salah satu metode apakah suatu sektor merupakan sektor basis
atau non basis adalah menggunakan metode pengukuran tidak langsung melalui
metode location quotient (LQ). Alasan penggunaan metode ini karena tidak
memerlukan biaya, waktu dan tenaga yang banyak seperti metode pengukuran
langsung dengan survei lapangan.
3.8 Hubungan Pelabuhan Perikanan dengan Wilayah
Pelabuhan perikanan adalah bagian penting dari wilayah pesisir. Pelabuhan
perikanan adalah pusat aktivitas perikanan dan titik temu antara aktivitas ekonomi
masyarakat berbasis daratan dan lautan. Pelabuhan perikanan adalah tempat yang
strategis di dalam kawasan strategis di wilayah pesisir.
Menurut Rustiadi (2001), bahwa wilayah pesisir adalah kawasan strategis.
Kawasan strategis adalah suatu kawasan ekonomi yang secara potensial memiliki
43
efek ganda (multiplier effect) yang signifikan secara lintas sektoral, lintas spasial
(wilayah) dan lintas pelaku. Dengan demikian, perkembangan wilayah strategis
memiliki efek sentrifugal karena dapat menggerakkan secara efektif
perkembangan ekonomi sektor-sektor lainnya, perkembangan wilayah di
sekitarnya serta kemampuan menggerakan ekonomi masyarakat secara luas,
dalam arti tidak terbatas ekonomi masyarakat kelas-kelas tertentu saja. Peranan
strategis wilayah pesisir hanya tercapai jika memenuhi persyaratan-persyaratan
berikut:
(1) Basis ekonomi (economic base) wilayah yang bertumbuh atas sumberdaya-
sumberdaya domestik yang terbarui (domestic renewable resources).
(2) Memiliki keterkaitan ke belakang (backward linkage) dan ke depan (forward
linkage) terhadap berbagai sektor ekonomi lainnya di daerah yang
bersangkutan secara signifikan, sehingga perkembangan sektor basis dapat
menimbulkan efek ganda terhadap perkembangan sektor-sektor lainnya di
daerah yang bersangkutan.
(3) Efek ganda (multiplier effect) yang signifikan dari sektor basis dan sektor-
sektor turunan dan penunjangnya dengan penciptaan tenaga kerja dan
pendapatan masyarakat (sektor rumah tangga), sektor pemerintah dan PDRB
wilayah.
(4) Keterkaitan lintas regional di dalam maupun antar wilayah yang tinggi (intra
and inter-regional interactions) akan lebih menjamin aliran alokasi dan
distribusi sumberdaya yang efisien dan stabil sehingga menurunkan
ketidakpastian (uncertainty).
(5) Terjadinya learning process secara berkelanjutan yang mendorong terjadinya
koreksi dan peningkatan secara terus menerus secara berkelanjutan.
Menurut Hagget et al. (1977), yang diacu Rustiadi (2001), bahwa konsep
wilayah terdiri dari 3 kategori, yaitu wilayah homogen, wilayah nodal dan wilayah
perencanaan.
Konsep wilayah homogen yang lebih menekankan prinsip pewilayahan yang
menekankan homogenitas (kesamaan) di dalam kelompok dan memaksimumkan
perbedaan antar kelompok tanpa memperhatikan bentuk hubungan fungsional
antar wilayah-wilayahnya. Berbeda dengan konsep homogen, konsep wilayah
44
nodal adalah konsep yang menekankan adanya pemisahan bagian-bagian di dalam
wilayah berdasarkan fungsinya. Konsep wilayah nodal didasarkan atas asumsi
bahwa suatu wilayah diumpamakan sebagai sel hidup yang mempunyai plasma
dan inti. Wilayah perencanaan adalah wilayah yang dibatasi berdasarkan
kenyataan terdapatnya sifat-sifat tertentu pada wilayah baik akibat sifat alamiah
maupun non alamiah sehingga perlu perencanaan secara integral.
Menurut Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan-IPB (2000), proses
pengembangan pelabuhan perikanan dipengaruhi oleh 8 faktor kewilayahan
pelabuhan perikanan yang masing-masing bersifat saling berpengaruh terhadap
pengembangan pelabuhan perikanan. Kedelapan faktor kewilayahan pelabuhan
perikanan adalah sebagai berikut:
(1) Kondisi wilayah perairan laut, meliputi kondisi sumberdaya ikan dan daerah
penangkapan ikan. Besarnya potensi sumberdaya ikan yang tersedia dan
lestari dan adanya daerah-daerah penangkapan ikan yang dapat dijangkau
armada perikanan suatu pelabuhan perikanan akan menentukan
pengembangan pelabuhan perikanan dan sebaliknya.
(2) Aktivitas perikanan wilayah, terutama yang terkait dengan berapa besar
permintaan pasar terhadap komoditi perikanan (lokal, regional dan atau
global) akan mempengaruhi pengembangan pelabuhan perikanan dan
sebaliknya.
(3) Pertumbuhan ekonomi wilayah, seperti yang tergambar dalam PDRB dan
inflasi, dapat memacu pengembangan suatu pelabuhan perikanan baik berupa
kesiapan ekonomi pemerintah, maupun kesiapan ekonomi masyarakat dan
sebaliknya.
(4) Kondisi prasarana dan sarana umum wilayah, merupakan unsur pendukung
penting bagi pengembangan suatu pelabuhan perikanan. Kondisi prasarana
sarana umum yang tersedia (prasarana dan sarana transportasi, air, listrik dan
telekomunikasi) aktivitas-aktivitas didalam dan keluar pelabuhan perikanan
seperti distribusi pemasaran ikan, dan lain sebagainya. Sebaliknya, aktivitas
yang tinggi dari suatu pelabuhan perikanan, akan memberikan tekanan
kepada perlunya dikembangkan prasarana dan sarana umum yang telah ada
disuatu wilayah.
45
(5) Kondisi penduduk suatu wilayah, terutama didalam bentuk pendapatan
perkapita, konsumsi ikan perkapita (yang juga dapat diartikan sebagai potensi
pasar), pertumbuhan penduduk suatu wilayah, dan kondisi aspek sosial
penduduk adalah jelas mempengaruhi pengembangan pelabuhan perikanan.
Pendapatan perkapita yang tinggi, konsumsi ikan yang tinggi, pertumbuhan
penduduk yang tinggi dan kondisi sosial penduduk yang positif akan
memberikan pengaruh positif terhadap pengembangan suatu pelabuhan
perikanan disuatu wilayah. Sebaliknya walau tidak terjadi secara otomatis,
ketersediaan jumlah komoditi ikan yang tinggi akibat pengembangan suatu
pelabuhan perikanan misalnya, akan memberikan tekanan kepada
peningkatan pendapatan, sekurang-kurangnya pada sebagian penduduk suatu
wilayah seperti nelayan dimana suatu pelabuhan perikanan berada.
Demikian pula berdampak sosial positif bagi penduduk tersebut.
(6) Kondisi lahan lokasi pelabuhan perikanan yang meliputi lahan daratan dan
perairan suatu pelabuhan perikanan menentukan pula pengembangan
pelabuhan perikanan tersebut. Keterbatasan lahan daratan suatu pelabuhan
perikanan akan dapat membatasi pengembangannya.
(7) Aktivitas-aktivitas non perikanan wilayah yang terdapat disekitar pelabuhan
perikanan dapat mempengaruhi pengembangan pelabuhan perikanan tersebut.
Aktivitas-aktivitas di sekeliling pelabuhan perikanan yang sudah tertata rapi,
tidak akan mudah untuk diubah peruntukkannya bagi kepentingan pelabuhan
perikanan. Aktivitas-aktivitas pelabuhan perikanan yang mungkin dapat
menghasilkan limbah ke perairan laut misalnya mempengaruhi usaha tambak
masyarakat sekitar pelabuhan perikanan, dapat menimbulkan tekanan yang
negatif bagi pengembangan pelabuhan perikanan tersebut.
(8) Kebijakan pemerintah daerah ataupun pusat, secara jelas akan mempengaruhi
pengembangan suatu pelabuhan perikanan karena pemerintah merupakan
pihak yang melakukan pengarahan bagi pengembangan perikanan; melalui
kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan.
Terhadap kedelapan faktor tersebut diatas maka PPN Palabuhanratu sudah
memenuhi kebutuhan kedelapan faktor tersebut walaupun masih ada masalah-
masalah yang perlu ditindaklanjuti untuk diselesaikan.
46
3.9 Konsep Triptyque Portuaire
Menurut Vigarié (1979) yang diacu oleh Lubis (1989) bahwa ada tiga
komponen yang harus diperhatikan dalam menganalisis suatu pelabuhan niaga
yakni avant pays marin (foreland), port de pêche (fishing port) dan arrière-pays
terrestre (hinterland) yang disebut triptyque portuaire. Dalam bukunya, Vigarié
(1979) menjelaskan pengertian dari triptyque sebagai berikut : "La notion de
triptyque; elle évoque l’image de trois volets qui sont ici : l’arrière-pays, l’avant-
pays océanique, et au milieu, l’étendue correspondant au périmètre portuaire".
Triptyque ini digunakan dalam suatu metode analisis pelabuhan niaga.
Selanjutnya dijelaskan lebih detil tentang pengertian l’arrière-pays dan l’avant-
pays adalah sebagai berikut :
"L’arrière-pays réel d’un port est la partie de l’espace terrèstre dans laquelle il
vend ses services et, par concéquent, recrute sa clientèle; de façon générale, l’on
peut concidérer que celle-ci se trouve en arrière du rivage où se trouvent les
installations portuaires concidérer; mais il peut y avoir à cette interprétation des
exceptions, par exemple dans le cas de trasshipment. D’autre part, cette notion
est souvent obscurcie par celle d’un hinterland théorique" .
"La définition de l’avant-pays repose sur l’existence des routes maritimes. Ces
dernières sont des faisceaux de cheminements permanents que suivent les navires;
elles sont marquées par certains caractères : leur tracé sur le globe dépend des
secteurs côtiers séparés par l’Océan, et que l’on veut relier; elles ont une certaine
largeur : 20-30 milles généralement sauf lorsqu’elles se ressertent dans un détroit
ou dans un canal transisthmique. La notion d’avant-pays peut être approchée soit
en terme de relation maritimes exprimées par le nombre de lignes de navigation,
le nombre de départs ou le tonnage our une certaine direction, soit un termes
d’origine et de distination des marchandises traversant le port ".
Pengertian l’avant-pays dapat didekati melalui hubungan kemaritiman yang
dinyatakan pada jumlah jalur pelayaran, jumlah unit atau GT kapal yang
berangkat dari suatu pelabuhan untuk tujuan tertentu, baik ditinjau dari asal
maupun tujuan barang.
Pengertian l’arrière-pays dan l’avant-pays masing-masing ekivalen dengan
hinterland dan foreland. Hal ini diperjelas lagi oleh Charlier (1983) bahwa : "Les
47
termes arrière-pays et avant-pays ont pour équivalents respectifs hinterland et
foreland en anglais, hinterlandslage et meerslage en allemand, retroterra et
proiezone marittima en italien. La plupart des auteurs donnent des définitions très
voisines de l’arrière-pays, alors que le contenu conféré à l’avant-pays varie
davantage ".
Selanjutnya menurut Chaussade (1986) yang diacu Lubis (1989), konsep
triptyque portuaire tersebut diterapkan untuk pelabuhan perikanan yang terdiri
dari sub sistem wilayah produksi/foreland, sub sistem wilayah distribusi/
hinterland dan sub sistem pelabuhan perikanan/fishing port sendiri. Hinterland
dan foreland adalah dua wilayah yang saling bergantung sama lain yang tidak
dapat dipisahkan. Pelabuhan perikanan adalah sebagai penghubung diantara
keduanya. Dalam merencanakan pelabuhan perikanan perlu dilakukan analisis
secara geografis terhadap tiga elemen tersebut di atas yaitu foreland, pelabuhan
perikanan dan hinterland-nya.
Analisis foreland berkaitan dengan daerah penangkapan ikan, potensi dan
tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan. Secara khusus foreland dapat dikatakan
sebagai fishing ground atau daerah penangkapan ikan dan jalur maritim yang
dilalui oleh kapal-kapal dalam rangka pendistribusian baik secara nasional
maupun ekspor.
Selanjutnya dikatakan oleh Lubis (2003), bahwa foreland selain disebut juga
daerah penangkapan, secara umum juga berarti :
(1) Tempat beroperasinya nelayan-nelayan penangkapan ikan di fishing ground.
(2) Jalur distribusi hasil tangkapan dari fishing ground ke fishing base atau
menuju pasar yang melalui laut.
(3) Wilayah perairan di jalur transportasi maritim nasional atau internasional.
(4) Beberapa wilayah perairan merupakan perairan yang ramai dan dapat
meningkatkan resiko terjadinya tabrakan antar kapal-kapal ikan.
(5) Jalur-jalur maritim yang dilalui oleh kapal penangkapan tersebut untuk
menuju fishing ground dan untuk mendaratkan hasil tangkapan ke pelabuhan
perikanan.
Fishing ground sangat berkaitan dengan pelabuhan perikanan karena:
(1) Fishing ground ini sangat menentukan dalam memperoleh informasi
48
penyebaran ikan yang menjadi tujuan penangkapan, wilayah yang over
fishing, jalur-jalur yang ramai.
(2) Fishing ground dapat berkaitan dengan pembagian wilayah perairan dimana
terdapat wilayah perairan dengan jenis tertentu agar nantinya dapat diketahui
jenis alat tangkap apa saja yang harus dikembangkan di masing-masing
wilayah perairan tersebut.
(3) Fishing ground di daerah tropis mempunyai jenis dan ragam ikan yang lebih
banyak dari pada fishing ground di daerah sub tropis.
Hinterland pelabuhan perikanan secara khusus dapat dikatakan sebagai
daerah konsumen atau hilir dari pelabuhan perikanan (Lubis, 2003). Parameter ini
penting dalam analisis perencanaan pelabuhan perikanan karena berkaitan dengan
pasar atau sampai sejauh mana konsumen menyerap ikan-ikan yang didaratkan di
pelabuhan perikanan. Parameter ini berkaitan dengan jumlah dan daerah
konsumen.
Selanjutnya dikatakan oleh Lubis (2003), bahwa terdapat 3 jenis hinterland:
(1) Hinterland primer adalah hinterland yang merupakan daerah distribusi dari
ikan-ikan hasil pendaratan langsung.
(2) Hinterland sekunder atau tidak langsung adalah hinterland yang merupakan
daerah distribusi ikan hasil pengolahan, hasil pembekuan.
(3) Hinterland perpaduan atau overlap hinterland adalah suatu hinterland yang
didistribusikan oleh beberapa pelabuhan perikanan yaitu dari pelabuhan
perikanan besar dan kecil atau dari beberapa pelabuhan perikanan yang sama
besar atau sama kecil.
Ketiga jenis hinterland tersebut dapat bersifat lokal, interinsuler dan ekspor.
Dengan mengetahui jenis hinterland, maka kita dapat merencanakan
bagaimana pola pendistribusian yang akan dilakukan serta sarana transportasi,
lembaga-lembaga dan organisasi yang diperlukan serta peraturan yang
menyertainya. Luasnya hinterland dari suatu pelabuhan dipengaruhi oleh sampai
sejauh mana proses penanganan, pengolahan dan jenis sarana transportasi yang
digunakan. Semakin baik penanganan ikan yang dilakukan akan semakin jauh
hinterland, berarti jenis pengolahan ikan juga akan mempengaruhi luas
49
hinterland. Demikian halnya jenis transportasi apabila ikan didistribusikan dengan
menggunakan pesawat terbang akan lebih dapat menjangkau hinterland yang
jauh.
Selanjutnya dikatakan oleh Lubis (2003), bahwa keterkaitan hinterland dan
pelabuhan perikanan ini perlu dianalisis agar :
(1) Produksi hasil tangkapan yang didaratkan di pelabuhan perikanan dapat
terserap habis sesegera mungkin tanpa menunggu terlalu lama.
(2) Dapat diketahui kemungkinan dalam memperluas hinterland.
(3) Dapat diketahui berapa produksi ikan yang harus dieksploitasi oleh para
nelayan untuk dapat didaratkan pelabuhan perikanan tersebut.
(4) Dapat diketahui jenis dan kapasitas fasilitas di pelabuhan perikanan untuk
menampung sejumlah ikan tersebut.
(5) Dapat diketahui hubungan antara hinterland yang satu dengan hinterland
yang lain dalam menerima produksi perikanan dari pelabuhan itu dan atau
dari pelabuhan perikanan lain.
(6) Dapat diketahui distribusi jenis olahan di hinterland sehubungan dengan
rencana pengembangan terhadap tipe olahan ikan yang dikembangkan di
pelabuhan.
3.10 Penentuan Kualitas Pemasaran Ikan
Kegiatan pemasaran ikan yang merupakan komponen dari hinterland sangat
berpengaruh terhadap penyerapan produksi ikan di PPN Palabuhanratu.
Bagaimanapun banyaknya produksi ikan yang didaratkan di PPN Palabuhanratu,
jika tidak didukung oleh kegiatan pemasaran yang optimal, maka fungsi PPN
Palabuhanratu tidak akan optimal. Nelayan akan tertarik mendaratkan kapalnya di
suatu pelabuhan, apabila pemasaran ikan di pelabuhan tersebut lebih menarik
dibandingkan dengan tempat lain. Untuk melihat perbandingan kualitas
pemasaran di suatu pelabuhan perikanan dibandingkan dengan di kabupaten/
provinsi, maka menurut Lubis (2003) perlu dihitung indeks relatif nilai
produksinya (I).
50
3.11 Proses Hierarki Analitik (PHA)
Proses Hierarki Analitik (PHA) adalah salah satu metode analisis dalam
mengambil keputusan yang baik dan fleksibel. Salah satu alat analisis yang dapat
menentukan prioritas kegiatan pembangunan adalah PHA.
PHA pada dasarnya didesain untuk mendapatkan persepsi orang yang
berhubungan sangat erat dengan permasalahan tertentu melalui prosedur yang
didesain untuk sampai kepada suatu skala preferensi diantara berbagai set
alternatif.
Menurut Saaty (1988), dalam memecahkan persoalan dengan PHA terdapat
tiga prinsip:
(1) Menyusun hierarki
Menentukan tujuan, kriteria dan aktivitas yang terdapat dalam suatu hirarki
bahkan dalam sistem yang lebih umum. Masalah yang harus dipecahkan
dalam bagian ini adalah menentukan atau memilih tujuan dalam rangka
mengkomposisikan kompleksitas sistem. Perlu pendefinisian tujuan secara
rinci sesuai dengan persoalan yang akan ditangani.
(2) Struktur hierarki
Struktur hirarki merupakan bagian dari suatu sistem yang mempelajari fungsi
intereaksi komponen secara menyeluruh. Struktur ini mempunyai bentuk yang
saling terkait, tersusun dari suatu sasaran utama turun ke sub-sub tujuan, lalu
ke pelaku (aktor) yang memberi dorongan, turun ke tujuan-tujuan aktor dan
kemudian alternatif strategi. Penyusunan hirarki atau struktur keputusan
dilakukan untuk menggambarkan elemen sistem atau alternatif keputusan
yang teridentifikasi.
(3) Penyusunan bobot
Tingkat kepentingan (bobot) dari elemen-elemen keputusan yang ada pada
setiap tingkat hirarki keputusan, ditentukan melalui penilaian pendapat dengan
cara komparasi berpasangan. Komparasi tersebut adalah membandingkan
setiap elemen dengan elemen lainnya pada setiap tingkat hirarki secara
berpasangan, sehingga terdapat nilai tingkat kepentingan. Untuk
menstransformasikan dari data kualitatif menjadi data kuantitatif digunakan
skala penilaian, sehingga diperoleh nilai pendapat dalam bentuk angka yang
51
menggambarkan variabel mana yang mempunyai prioritas tinggi.
3.12 Kajian Penelitian Terdahulu
Menurut Ibrahim (2001), bahwa strategi yang perlu dilakukan dalam
meningkatkan upaya peningkatan kinerja PPN Palabuhanratu adalah peningkatan
sarana dan prasarana. Dalam penelitian tersebut belum terungkap jenis sarana dan
prasarana yang akan dikembangkan, kuantitas setiap sarana dan prasarana yang
akan dikembangkan sehingga perlu penelitian lebih lanjut.
Dalam penelitian Lubis (1998) tentang pola pengembangan pelabuhan
perikanan di wilayah perairan Selat Malaka dan Laut Cina Selatan yang efisien
dan efektif, menyimpulkan bahwa PP dan PPI yang berada di kedua wilayah
perairan tersebut hampir semuanya (90%) tidak berfungsi optimal. Penyebabnya
adalah keterbatasan kondisi dan ketersediaan fasilitas, jarak antara fishing
ground/foreland dan lokasi PP/PPI yang tidak menguntungkan, rendahnya harga
ikan di PP/PPI, jauhnya jarak PP/PPI terhadap pemukiman nelayan dan problem
hasil distribusi hasil tangkapan ikan ke daerah hinterland. Berdasarkan analisis
triptyque portuaire terdapat dua pola dasar, yakni pola dasar I lebih diperuntukkan
bagi pengembangan PP/PPI untuk melayani ekspor hasil tangkapannya. Pola dasar
II lebih ditujukan untuk pengembangan PP/PPI untuk melayani pasar lokal atau
pemerintah kabupaten di masing-masing provinsi.
Pemanfaatan daerah penangkapan ikan oleh nelayan longline dengan perahu
congkreng dan kapal gillnet sering menimbulkan konflik. Menurut Herwening
(2003), bahwa modernisasi perikanan di Palabuhanratu menyebabkan persaingan
pemanfaatan wilayah penangkapan sehingga menimbulkan potensi konflik antar
armada yang meliputi potensi konflik pemanfaatan wilayah penangkapan antara
armada bagan apung dengan perahu congkreng dan antara armada longline
dengan perahu congkreng dan kapal motor gillnet. Dalam kaitan ini, maka
potensi konflik yang melibatkan armada penangkapan di PPN Palabuhanratu dan
merupakan suatu hambatan didalam pengembangan PPN Palabuhanratu.
PPN Palabuhanratu berkewajiban menjaga kualitas ikan sesuai dengan
standar mutu ikan. Menurut Nurani et al. (2004), bahwa kualitas produksi ikan
layur yang dihasilkan nelayan Palabuhanratu berada diluar batas proses produksi
untuk tujuan kualitas ekspor. Secara umum faktor penyebab ikan layur tidak
52
memenuhi kualitas ekspor yaitu pelaku utamanya belum menyadari akan
pentingnya ikan yang berkualitas, kesalahan proses penangkapan, sarana
penanganan tidak mencukupi dan proses transportasi dan alat transportasi belum
memadai. Dalam kaitan ini, karena kualitas beberapa ikan layur tidak memenuhi
standar ekspor, maka akan melemahkan kondisi di hinterland.
4 METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di PPN Palabuhanratu, Kecamatan Palabuhanratu,
Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat dan di Institut Pertanian Bogor. Waktu
penelitian dilaksanakan sejak bulan April tahun 2002 sampai dengan bulan Maret
tahun 2006.
4.2 Tahap Penelitian
Jadwal kegiatan penelitian dibagi ke dalam 5 tahap, yakni tahap persiapan,
tahap pengumpulan data, tahap pengolahan dan analisis data, tahap pembuatan
laporan dan tahap seminar dan ujian.
(1) Tahap persiapan penelitian.
1) Melakukan studi literatur di perpustakaan dan instansi terkait.
2) Menyusun rencana pelaksanaan penelitian secara menyeluruh.
Dalam penyusunan rencana ini, yang perlu dipersiapkan adalah bahan-bahan,
alat-alat, kuesioner. Selanjutnya direncanakan juga bagaimana teknik
pelaksanaan, persiapan penelitian, bilamana dilaksanakan, sasarannya, dan
seterusnya sampai memperoleh data dan informasi yang diperlukan.
(2) Tahap pengumpulan data.
Merencanakan pengumpulan data, yakni pada saat desk study dan pada saat di
lapangan. Ditentukan pula jumlah responden yang akan mengisi kuesioner
dan untuk diwawancara.
(3) Tahap mengolah dan analisis data.
Tahap ini dilakukan pengolahan dan penganalisisan data. Hal ini dilakukan
apabila data dan informasi sudah tersedia. Data dan informasi yang diperoleh
perlu segera dicek kesahihannya.
(4) Tahap pembuatan laporan.
Setelah laporan dibuat, dilakukan konsultasi ke dosen pembimbing dan
perbaikan laporan.
54
(5) Tahap seminar dan ujian.
Laporan yang sudah selesai dikonsep dilakukan sidang komisi pembimbing,
siap untuk diseminarkan dan ujian tertutup. Setelah perbaikan, maka
dilakukan ujian terbuka.
4.3 Metode Penelitian
Penelitian dilaksanakan dalam bentuk studi kasus, yakni di PPN
Palabuhanratu. Dikatakan kasus karena hanya satu aspek yang diteliti yakni
terbatas pada pengembangan pelabuhan perikanan. Penelitian hanya dilakukan di
Palabuhanratu yang sangat berbeda kondisinya dengan daerah lain, baik dari segi
ekonomi, sosial, budaya maupun karakteristik perairan dengan satu aspek
penelitian dan juga merupakan hal yang sangat baru, yakni pengembangan
pelabuhan perikanan dengan konsep triptyque portuaire.
4.4 Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang dikumpulkan adalah data kuantitatif dan kualitatif baik
sifatnya primer maupun sekunder. Pengambilan data primer dilakukan langsung
melalui observasi lapangan, pengisian kuesioner, wawancara, dokumentasi dan
pengamatan langsung di lapangan. Parameter-parameter yang terdapat dalam
kuesioner adalah berdasarkan elemen-elemen dalam pendekatan triptyque
portuaire yang meliputi foreland, fishing port dan hinterland. Data sekunder
diperoleh dari instansi-instansi terkait, studi pustaka dan sumber lainnya. Khusus
untuk data operasional PPN Palabuhanratu didata sejak mulai operasionalnya PPN
Palabuhanratu yakni tahun 1993 sampai dengan tahun 2005.
Jenis dan sumber data adalah:
(1) Data yang berkaitan dengan pelabuhan perikanan (fishing port):
1) Kondisi lahan darat dan perairan wilayah PPN Palabuhanratu, luas lahan
yang tersedia di areal PPN Palabuhanratu yang digunakan untuk
pengembangan.
2) Kondisi fasilitas, yakni kondisi fasilitas pokok, fasilitas fungsional dan
fasilitas penunjang: jenis, ukuran, tahun pembuatan, kondisi fisik, aktivitas
pemeliharaan, penempatan fasilitas yang terdapat di PPN Palabuhanratu
serta lay out pelabuhan.
55
3) Tata letak fasilitas: alir aktivitas (flow of activities), alir barang atau ikan
(flow of goods) dan alir manusia (flow of human).
4) Data teknis: topografi, hidrometri, kondisi alam, sumber air bersih,
fasilitas penunjang di wilayah PPN Palabuhanratu.
5) Kondisi aktivitas perikanan: aktivitas pendaratan dan pembongkaran,
aktivitas pengolahan, aktivitas pemasaran, aktivitas pembinaan terhadap
masyarakat nelayan di wilayah PPN Palabuhanratu.
6) Kondisi organisasi dan pengelolaan: kondisi SDM, layanan prima,
pengelolaan.
7) Sistem peraturan dan kelembagaan: jenis aturan, bentuk kelembagaan.
(2) Data dari wilayah hulu atau wilayah produksi (foreland):
1) Alur pendaratan ikan.
2) Ketersediaan sumberdaya ikan dan daerah-daerah penangkapan yang
dapat dijangkau oleh kapal-kapal ikan.
3) Kondisi pemanfaatan SDI.
4) Kondisi sarana produksi seperti kapal, alat tangkap, nelayan, dan bahan
melaut.
5) Kegiatan pemasaran ikan dari suatu pelabuhan perikanan ke daerah
pemasaran melalui laut.
6) Aktivitas pengendalian dan pengawasan SDI, termasuk penjualan ikan di
tengah laut (ship to ship).
(3) Data dari hilir atau wilayah distribusi (hinterland): kondisi ikan yang
didaratkan (mutu), pasar dari komoditi perikanan yang didaratkan, kondisi
prasarana-sarana pendukung dan tingkat konsumsi.
(4) Data aspek lingkungan, yakni sanitasi, kondisi keamanan, kondisi sosial
politik dan budaya.
(5) Data informasi dan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan otonomi
daerah dan globalisasi dalam rangka pengembangan pelabuhan perikanan.
misalnya tentang peraturan-peraturan daerah, kebijakan-kebijakan daerah,
RUTR daerah, rencana pengembangan akses jalan dan sarana perhubungan,
permintaan ikan tingkat internasional, pemanfaatan sumberdaya ikan di laut di
atas 12 mil (ZEEI) dan laut internasional.
56
Langkah berikutnya adalah pengisian kuesioner oleh responden. Pemilihan
dan jumlah responden serta nara sumber dilakukan dengan sengaja (purposive)
yaitu dengan mempertimbangkan bahwa nara sumber dan responden itu
memahami arti dan maksud serta arah pengembangan PPN Palabuhanratu.
Pemilihan jumlah dan jenis responden telah mempertimbangkan keragaman
responden dan pengetahuan responden tentang pengembangan PPN
Palabuhanratu. Responden yang digunakan berjumlah 29 orang yang berasal dari
staf Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, staf PPN Palabuhanratu, Kepala PPN
Tanjung Pandan (Belitung) (mantan staf PPN Palabuhanratu), staf Dinas
Perikanan dan Kelautan Kabupaten Sukabumi, pengurus KUD Mina, HNSI
Kabupaten Sukabumi, investor, dan nelayan. Lampiran 1 memuat nama-nama dan
jabatan responden.
Data sekunder dikumpulkan melalui studi pustaka dan studi literatur,
meliputi perpustakaan di lingkungan IPB Bogor, lingkungan Departemen
Kelautan dan Perikanan, PPN Palabuhanratu, Dinas Perikanan dan Kelautan
Kabupaten Sukabumi dan Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Barat dan
dari berbagai sumber data yang diperoleh secara perorangan.
4.5 Metode Pengambilan dan Analisis Data
Analisis data dikelompokkan menjadi 4 bagian, yakni:
(1) Menentukan arah pengembangan PPN Palabuhanratu yakni dengan :
1) Mengetahui kondisi PPN Palabuhanratu berdasarkan analisis deskriptif.
2) Penentuan faktor-faktor pendukung perlunya pengembangan PPN
Palabuhanratu antara lain menentukan apakah pelabuhan perikanan
merupakan lokasi sektor basis, yakni dengan menggunakan location
quotient (LQ), indeks relatif nilai produksi (I) dan kondisi kepadatan
kolam pelabuhan, manajemen pelabuhan serta persaingan jenis fasilitas,
sumberdaya manusia, jenis ikan, jenis alat tangkap dan jenis kapal antar
pelabuhan perikanan di WPP 9 Samudera Hindia dengan menggunakan
metode skalogram.
57
3) Penentuan faktor-faktor pendukung perlunya pengembangan menjadi PPS
Palabuhanratu secara deskriptif terhadap komponen foreland, pelabuhan
perikanan dan hinterland.
(2) Memformulasikan pola pengembangan PPN Palabuhanratu dengan
mengoptimalkan fungsi pelabuhan melalui analisis kebutuhan terhadap
pengembangan beberapa fasilitas, operasional dan manajemen pelabuhan
perikanan.
(3) Menentukan strategi pengembangan PPN Palabuhanratu dengan
menggunakan proses hierarki analitik (PHA) (Saaty, 1988).
(4) Antisipasi pengembangan menjadi PPS Palabuhanratu dianalisis secara
kualitatif berdasarkan estimasi kebutuhan fasilitas, hasil tangkapan ikan dan
pendistribusiannya.
4.5.1 Penentuan arah pengembangan PPN Palabuhanratu
(1) Kondisi PPN Palabuhanratu
Analisis terhadap kondisi PPN Palabuhanratu dilakukan secara deskriptif
dengan konsep triptyque portuaire.
1) Kondisi PPN Palabuhanratu:
Kondisi PPN Palabuhanratu yang dianalisis adalah :
(a) Hasil studi kelayakan pembangunan PPN Palabuhanratu yang dilakukan
Rogge et al. (tahun 1987), terutama mengenai pola pembangunan yang
ditentukannya.
(b) Kondisi fasilitas pembangunan tahap pertama dan operasionalnya (periode
tahun 1993-2002) yang meliputi fasilitas pokok, fasilitas fungsional dan
fasilitas penunjang. Kondisi operasional pelabuhan berdasarkan fungsinya.
(c) Kondisi pembangunan dan operasional PPN Palabuhanratu tahap kedua
(periode tahun 2003-2005). Kondisi pembangunan adalah fisik bangunan
dan kondisi operasional adalah tentang pelaksanaan fungsinya.
2) Hubungan pelabuhan perikanan dengan wilayah produksi (foreland), yang
dianalisis adalah kondisi daerah penangkapan ikan di WPP 9 Samudera
Hindia, daerah penangkapan ikan kapal yang mendaratkan hasil tangkapannya
58
di PPN Palabuhanratu, pergerakan kapal perikanan dari PPN Palabuhanratu
dan daerah penangkapan ikan.
3) Hubungan pelabuhan perikanan dengan wilayah distribusi (hinterland), yang
dianalisis adalah pola pemasaran ikan di PPN Palabuhanratu, produksi ikan
segar, daerah distribusi ikan segar (hinterland primer), distribusi ikan pindang
dan distribusi ikan asin (hinterland sekunder), hinterland perpaduan serta
kondisi sarana angkutan dan prasarana jalan.
Analisisi dilakukan terhadap data primer dan sekunder melalui penyajian
tabel, grafik, gambar, peta dan foto.
(2) Faktor-faktor pendukung perlunya pengembangan PPN Palabuhanratu
Indikasi perlunya PPN Palabuhanratu dapat dikembangkan antara lain:
1) Penentuan lokasi pelabuhan perikanan sangat terkait dengan adanya potensi
sumberdaya ikan yang akan dieksploitasi atau sejauh mana kondisi di wilayah
produksinya (foreland). Menurut Rustiadi et al. (2005) bahwa lokasi
keberadaan pelabuhan perikanan di Kabupaten Sukabumi merupakan sektor
basis bagi Kabupaten Sukabumi, dapat ditentukan dengan menggunakan
location quotient (LQ):
t
i
t
i
VVvv
LQ = ,
Dengan:
=LQ Location Quotient.
=iv PDRB sub sektor perikanan Kabupaten Sukabumi (Rp) atas dasar
harga berlaku tahun 2000-2004.
=tv PDRB seluruh sektor Kabupaten Sukabumi (Rp) atas dasar harga
berlaku tahun 2000-2004.
=iV PDRB sub sektor perikanan Provinsi Jawa Barat (Rp) atas dasar
harga berlaku tahun 2000-2004.
=tV PDRB seluruh sektor Provinsi Jawa Barat (Rp) atas dasar harga
berlaku tahun 2000-2004.
59
Apabila nilai:
LQ > 1; maka sektor perikanan tersebut merupakan sektor basis.
LQ < 1; maka sektor perikanan tersebut merupakan sektor non basis.
2) Pengembangan pelabuhan perikanan sangat tergantung kepada sejauh mana
produk ikan yang didaratkan dapat dipasarkan atau didistribusikan ke daerah
hinterland-nya. Kualitas pemasaran ikan di lokasi tersebut dibandingkan
misalnya dengan kualitas pemasaran ikan di kabupaten dimana pelabuhan
perikanan itu berada, yakni dengan menentukan indeks relatif nilai produksi
(I) (Lubis, 2003):
t
p
t
p
QQNN
I =
Dengan,
=pN Nilai produksi perikanan di PPN Palabuhanratu (Rp).
=tN Nilai produksi perikanan di Kab. Sukabumi (Rp).
=pQ Jumlah produksi perikanan di PPN Palabuhanratu (kg).
=tQ Jumlah produksi perikanan di Kabupaten Sukabumi (kg).
=I 1; nilai relatif produksi perikanan dari PPN Palabuhanratu sama
dengan nilai relatif produksi perikanan Kabupaten Sukabumi, yang
berarti pula bahwa kualitas pemasaran ikan di PPN Palabuhanratu
sama bagusnya dengan kualitas pemasaran ikan di Kabupaten
Sukabumi.
I > 1; nilai relatif produksi perikanan dari PPN Palabuhanratu lebih baik
apabila dibandingkan dengan nilai relatif produksi perikanan dari
Kabupaten Sukabumi yang berarti pula bahwa kualitas pemasaran
ikan di PPN Palabuhanratu lebih tinggi dengan kualitas pemasaran
ikan di Kabupaten Sukabumi.
I < 1; nilai relatif produksi perikanan dari PPN Palabuhanratu lebih
rendah apabila dibandingkan dengan nilai relatif produksi perikanan
60
Kabupaten Sukabumi yang berarti pula bahwa kualitas pemasaran
ikan di PPN Palabuhanratu lebih rendah dengan kualitas pemasaran
ikan Kabupaten Sukabumi.
3) Kepadatan kolam pelabuhan yang ada sekarang.
Kepadatan kolam yang ada saat ini perlu dievaluasi tentang kapasitas
pemanfaatannya, apakah kepadatan kolam saat ini sudah sesuai kapasitasnya.
4) Manajemen pelabuhan perikanan
(a) Legalitas pelabuhan perikanan, dianalisis tentang dasar hukum
pembangunan pelabuhan perikanan.
(b) Organisasi pelabuhan perikanan, dianalisis tentang organisasi pelabuhan
termasuk tugas pokok dan fungsinya serta sampai seberapa jauh organisasi
pelabuhan dapat mendukung berfungsinya pelabuhan.
(c) Tata hubungan kerja, dianalisis tentang instansi terkait yang berhubungan
dengan pelaksanaan fungsi pelabuhan.
(d) Sumberdaya manusia, dianalisis tentang kondisi SDM pengelola
pelabuhan.
(e) Standard operational procedure (SOP), dianalisis tentang SOP masing-
masing kegiatan pelabuhan.
(f) Pelayanan operasional pelabuhan, dianalisis tentang layanan operasional
pelabuhan kaitannya dengan fungsi pelabuhan perikanan.
(3) Persaingan antar pelabuhan perikanan di WPP 9 Samudera Hindia.
Pada WPP 9 terdapat 216 unit pelabuhan perikanan, diantaranya terdapat
11 pelabuhan perikanan yang dapat didarati oleh kapal berukuran >30 GT
sehingga dianggap pelabuhan perikanan tersebut dapat saling bersaing yakni
PPN Palabuhanratu, PP Sabang, PPS Bungus, PPN Sibolga, PPI Pulau Baai,
PP Pulau Tello, PPS Jakarta, PPS Cilacap, PPI Muncar, PPN Prigi dan
Pelabuhan Umum Benoa. Namun dalam penelitian ini yang memiliki data
lengkap adalah PPN Palabuhanratu, PPS Jakarta, PPN Sibolga, PPS Bungus,
PPN Prigi dan PPS Cilacap, sehingga hanya ada 6 pelabuhan perikanan yang
dianalisis persaingannya.
61
Rustiadi et al. (2005) menyebutkan bahwa berdasarkan konsep wilayah
nodal, pusat atau hinterland suatu wilayah dapat ditentukan berdasarkan
jumlah dan jenis fasilitas umum, industri dan jumlah penduduknya. Unit
wilayah yang mempunyai jumlah dan jenis fasilitas umum, industri dan jumlah
penduduk dengan kuantitas dan kualitas yang secara relatif paling lengkap
dibandingkan dengan unit wilayah yang lain, akan menjadi pusat atau
mempunyai hierarki lebih tinggi. Sebaliknya jika suatu wilayah mempunyai
jumlah dan jenis fasilitas umum, industri serta jumlah penduduk dengan
kuantitas dan kualitas paling rendah merupakan wilayah hinterland dari unit
wilayah yang lain.
Dalam kaitan penelitian ini, maka yang dijadikan elemen persaingan
adalah fasilitas dan sumberdaya manusia pengelola pelabuhan berdasarkan
strata tingkat pendidikan pegawai untuk masing-masing pelabuhan perikanan,
jenis ikan ekonomis penting dan nilai harga ikan, alat penangkapan ikan, jenis
kapal. Metode yang dipakai dalam analisis persaingan antar pelabuhan didalam
WPP 9 Samudera Hindia adalah metode hierarki perkembangan wilayah
(metode skalogram).
Menurut Rustiadi et al. (2005) bahwa metode skalogram adalah metode
untuk menentukan hierarki wilayah. Dalam metode skalogram, seluruh
fasilitas pelabuhan perikanan (6 unit PP), tingkat pendidikan pegawai, jenis
ikan, jenis alat tangkap dan jenis kapal masing-masing pelabuhan didata dan
disusun dalam suatu tabel. Penyusunan tabel ini menggunakan asumsi bahwa
masing-masing fasilitas yang dimiliki oleh setiap pelabuhan mempunyai bobot
dan kualitas yang bersifat indifferent termasuk juga tingkat pendidikan
pegawai, jenis ikan, alat penangkapan ikan dan kapal. Kemudian langkah
selanjutnya adalah menyusun hierarki yang paling tinggi berdasarkan jumlah
total fasilitas, tingkat pendidikan pegawai, jenis ikan, jenis alat tangkap dan
jenis kapal yang dimiliki masing-masing pelabuhan perikanan. Selanjutnya
menyusun hierarki berdasarkan indeks masing-masing pelabuhan dengan
urutan dari indeks paling tinggi. Terakhir ditentukan urutan indeks yang di
perbandingkan untuk masing-masing pelabuhan. Adapun rumus untuk
menentukan indeks hierarki adalah:
62
Indeks hierarki (Ii) = ).(aknF
n
kik∑
Dengan: akn
adalah bobot fasilitas atau jenis pendidikan SDM atau jenis ikan
yang didaratkan atau jenis alat penangkapan ikan atau jenis kapal /faktor penentu
hierarki, n = Jumlah pelabuhan, k = Jumlah fasilitas atau jenis pendidikan SDM
atau jenis ikan atau jenis alat penangkapan ikan atau jenis kapal, ak = Jumlah
pelabuhan yang memiliki fasilitas atau jenis pendidikan SDM, jenis ikan yang
didaratkan, jenis alat penangkapan ikan dan jenis kapal dan Fik = Fasilitas atau
jenis pendidikan SDM atau jenis ikan yang didaratkan atau jenis alat penangkapan
ikan atau jenis kapal yang dimiliki pelabuhan. Akan ditentukan 6 komponen yang
diperbandingkan melalui 6 skalogram yakni: skalogram berdasarkan jenis
fasilitas, sumberdaya manusia pengelola, jenis ikan, alat penangkapan ikan dan
jenis kapal. Masing-masing skalogram akan ditentukan jumlah jenis variabel
yang dibandingkan, bobot kelangkaan dan bobot jenis. Jumlah jenis variabel
adalah semua jenis komponen yang ada di masing-masing pelabuhan. Bobot
kelangkaan adalah seberapa besar setiap pelabuhan memiliki komponen atau
beberapa komponen sehingga dianggap langka dan diberi nilai besar. Bobot jenis
adalah cara pandang lain untuk menilai persaingan yang memiliki jenis
komponen.
Khusus untuk PPN Palabuhanratu digunakan data sesuai dengan kelasnya
yakni kelas nusantara.
4.5.2 Memformulasikan pola pengembangan PPN Palabuhanratu
Pola pengembangan didalam penelitian ini adalah suatu contoh atau
pedoman atau ukuran-ukuran dalam mengembangkan suatu pelabuhan. Sebagai
contoh atau pedoman atau ukuran, maka diperlukan ukuran-ukuran baik secara
kuantitatif maupun kualitatif terhadap variabel-variabel yang mempengaruhi
pengembangan suatu pelabuhan perikanan berdasarkan konsep triptyque portuaire
yakni ukuran-ukuran komponen wilayah produksi (foreland) terbatas pada
variabel target jumlah produksi ikan yang berasal dari WPP 9 Samudera Hindia,
dan target jumlah kapal yang akan diakomodir oleh PPN Palabuhanratu yang akan
63
dikembangkan. Ukuran-ukuran komponen pelabuhan perikanan (fishing port)
terbatas pada fasilitas pokok seperti lahan, kolam, dermaga, gedung pelelangan
ikan, air bersih, BBM dan es. Komponen wilayah distribusi (hinterland) dibatasi
pada variabel jumlah konsumen, daerah konsumen dan jumlah produksi ikan yang
didistribusikan di daerah hinterland.
(1) Perhitungan target jumlah produksi (ton)
Langkah-langkah pada perhitungan penentuan target jumlah produksi dan
target jumlah kapal:
1) MSY WPP 9 Samudera Hindia di kalikan dengan persentase jumlah tangkapan
yang diperbolehkan (80%) yang disebut jumlah tangkapan yang diperbolehkan
(JTB) (SK Mentan No.995/kpts/ik.210/9/99 tentang Potensi Sumberdaya Ikan
dan Jumlah Tangkapan yang Diperbolehkan (JTB) di Wilayah Perikanan
Republik Indonesia).
2) Jumlah pelabuhan perikanan dan pangkalan pendaratan ikan di WPP 9
Samudera Hindia sebanyak 216 unit yang terdiri dari 3 unit PPS, 3 unit PPN, 3
unit PPP dan 207 unit PPI.
3) Menurut Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No: KEP.10/MEN/2004
tanggal 24 Pebruari 2004 tentang pelabuhan perikanan bahwa bahwa kapasitas
minimum produksi ikan untuk masing-masing kelas pelabuhan perikanan
adalah 60 ton/hari atau 21.900 ton/tahun untuk PPS, 30 ton/hari atau 19.950
ton/tahun untuk PPN. Diperkirakan kapasitas minimum PPP sebesar 10
ton/hari atau 3.650 ton/tahun dan 5 ton/hari atau 1.825 ton/tahun untuk PPI.
4) Kapasitas produksi minimum seluruh kelas pelabuhan perikanan adalah jumlah
hasil tangkapan minimum yang didaratkan di masing-masing kelas pelabuhan
perikanan.
6) Alokasi pemanfaatan SDI bagi masing-masing kelas pelabuhan perikanan
(Pelabuhan Perikanan Samudera, Pelabuhan Perikanan Nusantara, Pelabuhan
Perikanan Pantai dan Pangkalan Pendaratan Ikan) didapatkan dari kapasitas
produksi minimum masing-masing kelas pelabuhan perikanan di WPP 9 per
tahun dibagi dengan kapasitas produksi minimum seluruh kelas pelabuhan
perikanan di WPP 9 kemudian dikalikan dengan JTB WPP 9.
64
7) Alokasi pemanfaatan SDI untuk PPN Palabuhanratu didapatkan dari alokasi
pemanfaatan SDI untuk kelas PPN dibagi jumlah PPN yang ada di WPP 9.
Mekanisme perhitungan target jumlah produksi PPN Palabuhanratu seperti
pada Gambar 3.
MSY WPP 9 Samudera Hindia
JTB = 80% X MSY WPP 9
Jml PP di WPP 9 = A
Jml PPS = 3 unit, Kapasitas
minimum 60 ton/hari
Kap. Produksi minimum seluruh PP di WPP 9= a1+a2+a3+a4 = B
Alokasi pemanfaatan SDI PPN Palabuhanratu = b2/3
Jml PPN = 3 unit, Kapasitas
minimum 30 ton/hari
Jml PPP = 3 unit, Kapasitas
minimum 10 ton/hari
Jml PPI = 207 unit, Kapasitas
minimum 5 ton/hari
Kapasitas minimum
PPS/tahun = 3x60 ton x365= a1
Kapasitas minimum
PPN/tahun = 3x30ton x365= a2
Kapasitas minimum
PPP/tahun = 3x10 ton x365= a3
Kapasitas minimum
PPI/tahun = 207x5 ton x365= a4
Alokasi pemanfaatan SDI PPS = (a1/B)xJTB = b1
Alokasi pemanfaatan SDI PPN =(a2/B)xJTB = b2
Alokasi pemanfaatan SDI PPP =(a3/B)xJTB = b3
Alokasi pemanfaatan SDI PPI =(a4/B)xJTB = b4
Gambar 3 Mekanisme perhitungan target jumlah produksi PPN Palabuhanratu.
65
(2) Perhitungan target jumlah kapal (unit)
Langkah-langkah pada perhitungan penentuan target jumlah kapal
1) Alokasi pemanfaatan SDI untuk PPN Palabuhanratu adalah sebesar 19.000
ton/tahun.
2) Kondisi jumlah unit kapal PPN Palabuhanratu pada tahun 2005 untuk masing-
masing kelompok ukuran kapal <5 GT (A1), 5-30 GT (A2), dan 30-150 GT
(A3) dikalikan dengan rata-rata GT untuk masing-masing kelompok ukuran
kapal <5 GT (B1), 5-30 GT (B2), dan 30-150 GT (B3) maka akan diperoleh
jumlah GT untuk masing-masing kelompok ukuran kapal <5 GT (C1), 5-30 GT
(C2), dan 30-150 GT (C3). Penjumlahan dari semua jumlah GT untuk masing-
masing kelompok ukuran kapal akan menghasilkan jumlah total GT untuk
semua kapal yang ada di PPN Palabuhanratu (D).
3) Posisi awal produktivitas kapal untuk setiap GT adalah jumlah produksi ikan
tahun 2005 dibagi jumlah GT untuk semua kapal yang ada di PPN
Palabuhanratu tahun 2005.
4) Perhitungan target produktivitas unit penangkapan (E) diperoleh dari hasil
perhitungan CPUE untuk masing-masing unit penangkapan yang ada saat ini
di PPN Palabuhanratu. Berdasarkan jenis unit penangkapan yang lebih
prospek ke depan, menurut hasil kajian pemantauan dan evaluasi CPUE PPN
Palabuhanratu tahun 2005 diperoleh hasil bahwa untuk unit penangkapan
longline berukuran 30 GT memiliki nilai produktivitas paling tinggi yakni 1
ton/GT per tahun. Sehingga dalam perhitungan target kapal untuk PPN
Palabuhanratu digunakan produktivitas 1 ton/GT per tahun. Selain itu
longline menangkap ikan tuna. Tuna merupakan ikan yang bernilai ekonomi
tinggi dan berpeluang besar sebagai komoditi ekspor (Departemen Kelautan
dan Perikanan, 2003).
5) Komposisi persentase kapal berdasarkan ukuran <5 GT (E1), 5-30 GT (E2),
dan 30-150 GT (E3) diperoleh dari jumlah GT untuk masing-masing
kelompok ukuran kapal <5 GT (C1), 5-30 GT (C2), dan 30-150 GT (C3)
dibagi jumlah total GT untuk semua kapal (D). Kemudian persentase masing-
masing tersebut dikalikan dengan jumlah alokasi pemanfaatan SDI untuk PPN
Palabuhanratu sehingga diperoleh alokasi pemanfaatan SDI oleh masing-
66
masing kelompok ukuran kapal <5 GT (F1), 5-30 GT (F2), dan 30-150 GT
(F3).
6) Alokasi pemanfaatan SDI masing-masing ukuran kapal dibagi dengan target
produktivitas unit penangkapan, maka diperoleh jumlah GT kapal masing-
masing ukuran <5 GT (G1), 5-30 GT (G2), dan 30-150 GT (G3).
7) Jumlah kapal untuk masing-masing ukuran <5 GT (H1), 5-30 GT (H2), dan
30-150 GT (H3) diperoleh dari jumlah GT kapal untuk masing-masing ukuran
<5 GT (G1), 5-30 GT (G2), dan 30-150 GT (G3) dibagi dengan rata-rata GT
untuk masing-masing kelompok ukuran kapal <5 GT (C1), 5-30 GT (C2), dan
30-150 GT (C3).
8) Jumlah seluruh unut kapal yang akan dikembangkan didapatkan dari
penjumlahan semua kapal untuk masing-masing ukuran.
Mekanisme perhitungan target jumlah kapal PPN Palabuhanratu lebih
jelasnya seperti pada Gambar 4.
(3) Perhitungan kapasitas fasilitas
Jenis fasilitas yang diperhitungkan adalah beberapa fasilitas pokok seperti
lahan, kolam dan dermaga. Fasilitas fungsional seperti gedung pelelangan ikan,
pabrik es, kebutuhan solar dan kebutuhan air bersih. Fasilitas-fasilitas tersebut
menurut Lubis et al. (2005) termasuk fasilitas yang mutlak diperlukan. Pemilihan
jenis fasilitas pokok seperti lahan karena lahan yang ada saat ini seluas 7,2 ha
sudah terpakai untuk berbagai fasilitas pelabuhan sehingga areal untuk
pengembangan dan areal industri perikanan tidak tersedia. Kapasitas kolam dan
dermaga perlu untuk dikembangkan karena saat ini kondisi pemanfaatannya sudah
tidak mampu menampung aktivitas kapal tambahan. Gedung pelelangan perlu
untuk dikembangkan karena adanya tambahan produksi ikan akibat adanya
pengembangan PPN Palabuhanratu. Penyediaan tambahan pabrik es sangat
diperlukan karena hanya tersedia satu pabrik es dengan kapaitas 1000 balok/hari
dan tidak mampu memenuhi kebutuhan es untuk operasional kapal sebanyak 1500
balok/hari. Kebutuhan solar saat ini dipasok oleh SPDN dengan kapasitas 160
kl/bulan dan SPBB dengan kapasitas 250 kl/bulan. Kebutuhan pemakaian solar
rata-rata per hari pada tahun 2004 sebanyak 28 kl (tersedia pasokan 14 kl/hari),
67
sehingga pasokan dari SPDN dan SPBB tidak mencukupi. Selama ini sebagian
kapal memperoleh BBM dari SPBU yang berada diluar pelabuhan. Kebutuhan air
bersih untuk keperluan aktivitas kapal pada tahun 2005 tercatat rata-rata 16,5
ton/hari yang dipasok dari PDAM. Pasokan ini belum memperhitungkan
kebutuhan air untuk pembuatan es, kebutuhan ikan dan untuk aktivitas penghuni.
Target jumlah total unit kapal yang akan dikembangkan = H1+H2+H3
Total GT untuk semua kapal = C1+C2+C3 =D
Alokasi pemanfaatan SDI PPN Palabuhanratu (SDI)
KM <5 GT A1
KM 5-30 GT A2
KM 30-150 GT A3
Rata-rata GT KM <5 GT = B1
Rata-rata GT KM 5-30 GT = B2
Rata-rata GT KM 30-150 GT = B3
Jml GT KM <5 GT = A1xB1=C1
Jml GT KM 5-30 GT = A2xB2=C2
Jml GT KM 30-150 GT = A3xB3=C3
Target produktivitas unit penangkapan = 1 ton/GT
per tahun = E
% KM <5 GT = C1/D=E1
% KM 5-30 GT = C2/D=E2
% KM 30-150 GT = C3/D=E3
Alokasi pemanfaatan SDI KM <5 GT = E1 x SDI = F1
Alokasi pemanfaatan SDI KM 5-30 GT = E2 x SDI = F2
Alokasi pemanfaatan SDI KM 30-150 GT
= E3 x SDI = F3
Jml GT KM <5 GT = F1/ E = G1
Jml GT KM 5-30 GT = F2/ E = G2
Jml GT KM 30-150 GT = F3/ E = G3
Jml KM <5 GT = G1/ B1 = H1
Jml KM 5-30 GT = G2/ B2 = H2
Jml KM 30-150 GT = G3/ B3 = H3
Gambar 4 Mekanisme perhitungan target jumlah kapal PPN Palabuhanratu.
68
1) Perhitungan luas kolam (m2)
Menurut Direktorat Jenderal Perikanan dan PT Inconeb (1981), perhitungan
luas kolam adalah sebagai berikut:
Dengan :
L = Luas kolam pelabuhan (m2)
Lt = Luas untuk memutar kapal (turbin basin) (π r 2)
n = Jumlah kapal maksimal berlabuh setiap hari (unit)
l = Panjang kapal (m)
b = Lebar kapal (m)
2) Perhitungan panjang dermaga (m)
Menurut Direktorat Jenderal Perikanan dan PT Inconeb (1981), dermaga
dengan bentuk yang memanjang sejajar garis pantai dan diperuntukkan bagi kapal
yang berlabuh dengan posisi badan kapal sejajar dengan sisi dermaga, maka
panjang dermaga tersebut dapat dihitung menggunakan rumus sebagai berikut:
Dengan ;
D = Panjang dermaga (m)
l = Ukuran panjang kapal (m)
0,1 = Jarak aman antara dua kapal (m)
3) Luas gedung pelelangan (m2)
Luas gedung pelelangan ikan dihitung berdasarkan perbandingan antara luas
gedung pelelangan yang ada sekarang dan produksi rata-rata per hari dengan rata-
rata target produksi ikan pengembangan dan luas gedung pelelangan yang akan
dikembangkan.
Luas gedung pelelangan pengembangan adalah (rata-rata target produksi ikan
pengembangan x luas gedung pelelangan yang ada sekarang) dibagi (produksi
ikan rata-rata sekarang).
L = Lt + 3 [(n x l x b)]
D = Jumlah frekuensi kapal maksimum x l x (0,1) x l
69
4) Kapasitas pabrik es (ton/tahun)
Menurut Direktorat Jenderal Perikanan dan PT Inconeb (1981), perhitungan
kapasitas pabrik es adalah sebagai berikut:
Dengan :
K = Kapasitas pabrik es
a = 2
5) Kebutuhan solar (kl/tahun)
Menurut Direktorat Jenderal Perikanan dan PT Perentjana Djaja (1999),
perhitungan kebutuhan solar adalah sebagai berikut:
Dengan :
S = Kebutuhan solar ( kl/ tahun)
Kapal ukuran <5 GT = bermesin 15 DK, kapal ukuran 5-30 GT = bermesin 60
DK, kapal berukuran 30-100 GT = bermesin 180 DK, kapal berukuran 100-150
GT = bermesin 225 DK).
6) Kebutuhan air bersih (kl/tahun)
Menurut Direktorat Jenderal Perikanan dan PT Perentjana Djaja (1999),
kebutuhan ABK adalah 20 liter/orang/hari. Kebutuhan bahan baku es adalah 1 kg
air untuk 1 kg es, kebutuhan ikan adalah 1 liter/kg ikan, kebutuhan TPI adalah 1,5
liter/ m2 luas TPI, kebutuhan penghuni adalah 10% dari kebutuhan total.
7) Luas lahan (ha)
Luas lahan yang diperlukan menurut Keputusan Menteri Kelautan dan
Perikanan No. KEP.10/Men/2004 tanggal 24 Februari 2004 tentang pelabuhan
perikanan diperlukan seluas minimal 15 ha belum termasuk kolam pelabuhan.
Sehingga paling tidak maksimum luas lahan yang diperlukan untuk PPN
Palabuhanratu adalah 30 ha (sesuai dengan batas minimum lahan PPS).
K = a x Produksi rata-rata per hari
S = 0,2 liter / DK / jam
70
(4) Perhitungan jumlah konsumen untuk ikan dari PPN Palabuhanratu
Jumlah konsumen diperoleh dari jumlah target produksi untuk dalam negeri
dibagi dengan rata-rata tingkat konsumsi ikan untuk penduduk dalam negeri.
Menurut Barani (2006) bahwa tingkat konsumsi ikan /kapita penduduk secara
nasional pada tahun 2005 sebesar 22,76 kg/kapita/tahun (angka perkiraan).
Distribusi ke daerah hinterland primer untuk produk ikan segar komoditas ekspor
kondisi saat ini sebesar 3% dan untuk pengembangan PPN Palabuhanratu jumlah
ekspor ikan diperkirakan sebesar 35% dari target produksi PPN Palabuhanratu
yang didasarkan kepada jumlah potensi ikan pelagis besar yang ada di WPP 9
Samudera Hindia untuk target jumlah produksi PPN Palabuhanratu.
4.5.3 Menentukan prioritas pengembangan PPN Palabuhanratu
Prioritas pengembangan diperoleh dengan menggunakan proses hierarki
analitik (PHA).
Langkah-langkah yang dilakukan:
(1) Penentuan hierarki
Penentuan hierarki dilakukan penulis bersama-sama dengan responden
berdasarkan kuesioner dan wawancara. Ada 4 tingkatan hierarki yakni:
hierarki pertama adalah goal (tujuan): optimalisasi fungsi PPN
Palabuhanratu, hierarki kedua adalah: pelaku/lembaga yang berpengaruh
terhadap pencapaian tujuan: Ditjen.Perikanan Tangkap, PPN Palabuhanratu,
Pemerintah Daerah (Dinas Perikanan dan Kelautan), KUD Mina Sinar Laut
dan Nelayan. Hierarki ketiga adalah: solusi pengembangan terhadap
alternatif prioritas pengembangan: perluasan kolam dan dermaga, perluasan
lahan, operasional pelelangan ikan, pengadaan BBM dan pelayanan prima.
Hierarki keempat adalah alternatif prioritas pengembangan, adalah
peningkatan pendapatan pelabuhan, peningkatan jumlah kapal, peningkatan
produksi ikan, peningkatan PAD dan peningkatan lapangan kerja.
Hierarki ketiga dan keempat ditentukan dengan menggunakan metode
skoring. Solusi pengembangan dan alternatif prioritas pengembangan untuk
pengembangan PPN Palabuhanratu dipilih berdasarkan tahapan.
Tahap pertama adalah penentuan jenis prioritas pengembangan yakni
71
dengan cara mencari informasi tentang pengembangan PPN Palabuhanratu
kepada beberapa nelayan, tokoh nelayan, ketua HNSI dan ketua KUD Mina,
Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat maupun Pemerintah Kabupaten
Sukabumi. Selanjutnya dari informasi yang diperoleh tersebut untuk
selanjutnya dibicarakan dengan pihak manajemen pelabuhan. Manajemen
pelabuhan memfasilitasi pertemuan guna membicarakan jenis prioritas
pengembangan dan jenis solusi pengembangan PPN Palabuhanratu antara
stakeholder manajemen pelabuhan dan peneliti. Setelah ditetapkan bersama
jenis alternatif prioritas pengembangan dan jenis solusi pengembangan,
kemudian dicari data pendukungnya melalui laporan statistik perikanan,
laporan tahunan pelabuhan, laporan studi pembangunan.
Adapun jenis alternatif prioritas pengembangan yang akan dipilih
berdasarkan kesepakatan dengan stakeholder (Lampiran 2) adalah peningkatan
jumlah kapal, peningkatan produksi ikan, peningkatan pendapatan pelabuhan,
peningkatan PAD, peningkatan lapangan kerja, peningkatan pelelangan ikan,
peningkatan investasi, penyempurnaan docking, peningkatan SDM,
aksesibilitas, peningkatan kapasitas pabrik es, pengadaan SPBB untuk kapal
berukuran >30 GT, peningkatan industri pengolahan, aplikasi SOP dan
operasional syahbandar. Solusi pengembangan dalam pengembangan PPN
Palabuhanratu yang telah ditetapkan secara bersama (Lampiran 3) adalah
pembangunan perluasan kolam dan dermaga, perluasan lahan, operasional
tempat pelelangan ikan (TPI), pengadaan BBM, pelayanan prima, pengadaan
pabrik es, pengerukan alur pelayaran, pemeliharaan lampu navigasi,
rehabilitasi pasar ikan, balai pertemuan nelayan, indtalasi air, pengadaan bak
sampah dan pembuatan jalan kompleks pelabuhan.
Tahap kedua, setelah jenis alternatif prioritas pengembangan tersebut
dimasukkan ke dalam kuesioner, maka selanjutnya responden mengisi
kuesioner tentang penilaiannya mengenai alternatif prioritas pengembangan.
Setelah kuesioner diisi maka dilakukan penilaian responden yakni, penilaian
alternatif prioritas pengembangan apakah alternatif prioritas pengembangan
tersebut sangat tinggi prioritasnya untuk dilaksanakan, prioritas sedang untuk
dilaksanakan dan prioritas kurang untuk dilaksanakan.
72
Kemudian ditentukan nilai masing-masing alternatif prioritas pengembangan
dan ranking setiap alternatif prioritas pengembangan. Penilaian oleh
responden untuk jenis alternatif prioritas pengembangan yang dianggap paling
tinggi bernilai 10, sedang bernilai 5 dan kurang bernilai 3. Setiap jenis
alternatif prioritas pengembangan dijumlahkan nilainya kemudian baru
ditentukan ranking untuk masing-masing alternatif prioritas pengembangan
berdasarkan nilai paling tinggi. Adapun variabel solusi pengembangan yang
terpilih adalah peningkatan pendapatan pelabuhan, peningkatan jumlah kapal,
peningkatan produksi ikan, peningkatan PAD, peningkatan lapangan kerja.
Dalam penentuan jenis solusi pengembangan yang perlu dikembangkan,
mekanismenya hampir sama dengan penentuan jenis alternatif prioritas
pengembangan, yakni pertama mendiskusikan dengan pihak manajemen PPN
Palabuhanratu dan stakeholder lainnya tentang jenis-jenis variabel solusi
pengembangan yang diperlukan. Adapun jenis variabel solusi pengembangan
yang perlu dikembangkan adalah perluasan kolam dan dermaga, penambahan
kapasitas pabrik es dan SPBU, perluasan lahan, operasional lampu navigasi,
operasional TPI, operasional pasar ikan, operasional balai pertemuan nelayan
(BPN), peningkatan kapasitas instalasi air, penambahan bak sampah,
operasional radio SSB dan perbaikan jalan kompleks pelabuhan. Kedua,
setelah variabel solusi pengembangan tersebut dimasukkan ke dalam
kuesioner, selanjutnya 29 responden mengisi kuesioner tentang penilaiannya
mengenai variabel solusi pengembangan. Adapun 29 responden yang dipilih
secara purposive adalah Ditjen. Perikanan Tangkap, PPN Palabuhanratu,
Pemda Kabupaten Sukabumi /Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten
Sukabumi, Kepala PPN Tanjung Pandan, HNSI, KUD Mina Sinar Laut,
nelayan penangkap, nelayan pengolah, nelayan pemasar, investor perikanan.
Setelah kuesioner diisi, dilakukan penilaian responden, yakni penilaian
variabel solusi pengembangan apakah sangat tinggi prioritasnya untuk
dikembangkan, prioritas sedang untuk dikembangkan, dan prioritas kurang
untuk dikembangkan.
Setelah itu, kemudian ditentukan nilai masing-masing solusi
pengembangan dan ranking setiap variabel solusi pengembangan. Penilaian
73
oleh responden untuk jenis variabel solusi pengembangan yang dianggap
paling tinggi bernilai 10, sedang bernilai 5 dan kurang bernilai 3. Tahap
ketiga selanjutnya setiap jenis variabel solusi pengembangan dijumlahkan
nilainya kemudian ditentukan ranking untuk masing-masing jenis solusi
pengembangan berdasarkan nilai paling tinggi. Adapun variabel solusi
pengembangan yang terpilih adalah perluasan kolam dan dermaga, perluasan
lahan, operasional pelelangan ikan, pengadaan BBM untuk kapal, pelayanan
prima.
(2) Membuat skala perbandingan, untuk membandingkan setiap sub kriteria yang
ada pada masing-masing hierarki
(3) Penentuan prioritas: untuk setiap kriteria dan alternatif, perlu dilakukan
perbandingan berpasangan. Nilai-nilai perbandingan relatif kemudian diolah
untuk menentukan peringkat relatif dari seluruh alternatif . Bentuk hierarki
pengembangan PPN Palabuhanratu seperti pada Gambar 5.
OPTIMALISASI FUNGSI PELABUHAN PERIKANAN NUSANTARA PALABUHANRATU
Ditjen Perikanan
Tangkap
Pemda/ Dinas KUD
Nelayan
Peningkatan penda patan pelabuhan
Peningkatan Jlh kapal
Peningkatan produksi
ikan
Peningkatan PAD
Peningkatan lapangan
kerja
SOLUSI
Perluasan kolam dan dermaga
Perluasan lahan Operas ional
pelelangan ikan
Pengadaan BBM
Pelayanan prima
PPN Palabuhanratu
LEMBAGA/ PELAKU
GOAL
ALTERNATIF PRIORITAS PENGEMBANGAN
PENGEMBANGAN
Gambar 5 Bentuk proses hierarki analitik yang akan ditentukan untuk pengembangan PPN Palabuhanratu.
5 HASIL PENELITIAN
Hasil penelitian menyajikan data dan informasi yang meliputi kondisi umum
lokasi penelitian, fasilitas, operasional dan manajemen PPN Palabuhanratu guna
mendukung tujuan penelitian, hasil perhitungan yang berkaitan dengan tujuan
penelitian yakni arah pengembangan, memformulasikan pola pengembangan dan
prioritas pengembangan PPN Palabuhanratu.
5.1 Kondisi Umum Lokasi Penelitian
PPN Palabuhanratu terletak di kota Palabuhanratu yang merupakan ibu kota
Kabupaten Sukabumi. Menurut Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten
Sukabumi (1999) bahwa Palabuhanratu dijadikan ibu kota Kabupaten Sukabumi
yang merupakan pusat pemerintahan Kabupaten Sukabumi, pusat perdagangan
dan jasa, pusat pengembangan perikanan laut dan pusat pengembangan pariwisata.
Dengan adanya perubahan fungsi kota, maka banyak hal yang belum dapat
ditangani dan ditata oleh Pemerintah Kabupaten Sukabumi misalnya tata ruang
wilayah pesisir dan laut belum dapat dibuat karena Pemerintah Daerah masih
mengupayakan agar ada bantuan dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah Provinsi.
Selain itu dengan perubahan fungsi kota, maka kondisi ini membawa dampak
terhadap kemajuan pembangunan kota Palabuhanratu terutama untuk mendukung
pembangunan sektor perikanan dan kelautan.
Kabupaten Sukabumi merupakan salah satu daerah dataran tinggi di Jawa
Barat yang memiliki ketinggian berkisar 0 – 2960 m. Luas wilayah Kabupaten
Sukabumi sekitar 412.799 ha dan merupakan daerah terluas di Jawa Barat. Secara
geografis Kabupaten Sukabumi terletak antara 6o57’-7o25’ LS dan 106o49’-
107o00’ BT, dengan curah hujan rata-rata pada tahun 2000 sebanyak 130 hari
hujan setiap tahun, sehingga bulan basah lebih banyak dibandingkan bulan kering
dengan kelembaban 70-90%. Pada tahun 2000 tercatat jumlah penduduknya
sebanyak 2.038.961 jiwa.
Kota Palabuhanratu berada di ketinggian 0 – 50 meter dari permukaan laut.
Di belakang kota ini terbentang bukit-bukit sehingga sedikit sekali areal
persawahan. Penduduk banyak bekerja di kebun-kebun dan sebagai nelayan. Pada
saat musim ikan, mereka beralih pekerjaannya menangkap ikan di laut. Luas
75
Kecamatan Palabuhanratu adalah 10.288 ha. Jumlah penduduk Kecamatan
Palabuhanratu sebanyak 88.995 orang atau 4% dari jumlah penduduk Kabupaten
Sukabumi.
Kabupaten Sukabumi memiliki 35 desa pesisir dan 9 kecamatan pesisir,
yakni Kecamatan Tegalbuleud, Cibitung, Surade, Ciracap, Ciomas, Simpenan,
Palabuhanratu, Cikakak dan Cisolok. Luas seluruh kecamatan pesisir 141.133 ha
(34,19% dari luas Kabupaten Sukabumi 412.799 ha). Bila dilihat dari luas wilayah
pesisir, maka prioritas pembangunan sebaiknya di arahkan pada daerah pesisir dan
laut. Batas administratif Kabupaten Sukabumi adalah sebelah: Utara berbatasan
dengan Kabupaten Bogor, Selatan dengan Samudera Hindia, Timur dengan
Kabupaten Cianjur, dan Barat dengan Kabupaten Lebak.
Panjang pantainya 117 km membentang dari Mina Jaya (Kecamatan Surade)
sampai Cibangban (Kecamatan Cisolok) dan di sepanjang pantai tersebut terdapat
7 tempat pendaratan ikan dengan jumlah nelayan 11.736 orang atau 0,58% dari
jumlah penduduk Kabupaten Sukabumi pada tahun 2000, dengan rincian
Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Mina Jaya-Kecamatan Surade sebanyak 118
orang, PPI Ujung Genteng-Kecamatan Ciracap 399 orang, PPI Ciwaru-Kecamatan
Ciomas jumlah nelayan 146 orang, PPI Loji-Kecamatan Simpenan 515 orang,
PPN Palabuhanratu-Kecamatan Palabuhanratu 7.400 orang, PPI Cisolok-
Kecamatan Cisolok 2.748 orang dan PPI Cibangban-Kecamatan Cisolok 409
orang. Berdasarkan penyebaran nelayan di masing-masing kecamatan sepanjang
pesisir, maka Palabuhanratu paling banyak jumlahnya, yakni sebanyak 7.400
orang atau 63% dari jumlah nelayan Kabupaten Sukabumi. Diantara ketujuh
tempat pendaratan ikan, PPN Palabuhanratu memiliki fasilitas operasional yang
paling baik. Hasil tangkapan ikan dari kapal yang berasal dari 6 PPI lain tersebut
sebagian diangkut ke Palabuhanratu. Keenam PPI dikelola oleh Pemerintah
Kabupaten Sukabumi. Semua PPI yang ada belum dibentuk unit pelaksana teknis
(UPT)-nya dan belum ada petugas khusus yang menangani PPI tersebut. Gambar
6 memperlihatkan peta penyebaran lokasi pelabuhan perikanan di Kabupaten
Sukabumi.
Semua urusan pembangunan dan operasional PPI ditangani langsung oleh
kepala cabang Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Sukabumi, sehingga
76
operasional PPI tersebut belum optimal. Pengumpulan data statistik dilaksanakan
tidak sempurna dan tidak ada petugas khusus untuk pengumpulan data statistik.
Data statistik dikumpulkan langsung oleh Kepala Cabang Dinas Perikanan dan
Kelautan Kabupaten Sukabumi.
Sumber: Lubis et al. 2005.
Berdasarkan data klimatologi stasiun Maranginan Palabuhanratu, bahwa
musim hujan di Palabuhanratu berlangsung dari bulan November sampai April,
dimana 71% curah hujan tahunan dalam periode tersebut mencapai 1662 mm, dan
rata-rata curah hujan bulanan mencapai 192 mm. Curah hujan tahunannya
termasuk besar yaitu sebesar 2565 mm dan rata-rata bulanan berkisar 84 – 376
mm. Hampir setiap bulan di Palabuhanratu terjadi hujan. Pada tahun 2006 terjadi
kemarau panjang yakni sejak bulan April sampai dengan bulan Oktober 2006.
Gambar 6 Peta penyebaran lokasi pelabuhan perikanan di Kabupaten Sukabumi.
U
106 0 49’ 1070 00’
- 70 25’
- 60 57’
I I
77
Kondisi kemarau panjang ini justru membawa dampak yang positif bagi nelayan
karena hasil tangkapan ikannya lebih banyak dari biasanya. Penyebabnya adalah
terjadi pertumbuhan chlorofil di perairan sehingga menumbuh suburkan perairan.
Temperatur rata-rata bulanan berkisar antara 25,80C sampai 28,80C.
Kawasan Palabuhanratu mempunyai iklim monsoon dan pola angin di sekitar
Palabuhanratu dipengaruhi oleh musim tersebut, yaitu musim barat selama bulan
November-Maret dan musim timur bulan Mei-September. Kecepatan angin
berkisar antara 4,4-23,5 km per jam. Kecepatan angin cukup kencang (>20 km/
jam) bertiup pada bulan-bulan Agustus sampai dengan Desember. Secara
keseluruhan angin dominan bertiup dari Tenggara (22,6%) dan Barat (13,6%).
Bila dipilah menurut bulannya, angin dominan bertiup dari arah: Januari dari
Barat dan Barat Laut, Februari dari Barat Laut, Maret dari Barat Laut, April
sampai Oktober dari Tenggara, November dari Tenggara dan Barat, dan
Desember dari Barat Laut.
Menurut penyelidikan PT. Tripatra Engineering (1989), Palabuhanratu
terletak pada zone gempa 2 yaitu zone gempa dengan aktivitas tinggi, dengan
koefisien gempanya 0,07 g. Oleh karena itu, disamping kerusakan langsung
akibat guncangan gempa, bencana dapat pula timbul akibat gelombang tsunami
yang melanda daerah pantai.
Lahan lokasi PPN Palabuhanratu merupakan daratan yang terbentuk dari
endapan yang dibawa Sungai Cipalabuhan dan Cipanyairan. Jenis sedimen
terutama adalah lanau, pasir, dan kerikil. Lahan semacam ini sangat cocok untuk
penempatan bangunan konstruksi beton pelabuhan.
Topografi lahan di lokasi pelabuhan perikanan dan sekitarnya sepanjang
pantai dapat dikatakan datar, akan tetapi di belakang kota Palabuhanratu
topografinya berbukit-bukit. Ketinggian tanah lahan lokasi pelabuhan perikanan
berkisar +1,0 – 3,5 m LWS.
Gambaran kondisi batimetri di lokasi PPN Palabuhanratu adalah:
(1) Kedalaman -5,0 LWS dicapai dari garis pantai 50 - 80 m ke laut, dengan
kemiringan pantai berkisar 6 -10%.
(2) Pada jarak 50 – 80 m dari garis pantai ke arah laut kemiringan dasar laut
sangat curam yaitu berkisar 25 – 36%.
78
(3) Daerah dengan kemiringan dasar laut yang relatif landai terletak di bagian
Selatan dan Barat Daya pelabuhan.
Gambar 7 menunjukkan gambaran kondisi batimetri di lokasi PPN Palabuhanratu.
Hasil analisis data pasang surut oleh Ditjen. Perikanan dan PT Perentjana
Djaja (1999) adalah:
1) Highest Water Spring (HWS) = 165,2 cm.
2) Mean High Water Spring (MHWS) = 149,9 cm.
3) Mean High Water Level (MHWL) = 113,9 cm.
4) Mean Sea Level (MSL) = 75,3 cm.
Pelabuhan
saat ini
0 m
5 m
U
Skala 1 : 1.500
Gambar 7 Batimetri perairan dekat site PPN Palabuhanratu (Sumber : Ditjen. Perikanan dan PT. Perentjana Djaja, 1999).
Palung dengan kedalaman 10-200 m
79
5) Mean Low Water Level (MLWL) = 35,2 cm.
6) Mean Low Water Spring (MLWS) = 10,5 cm, dan
7) Lowest Water Spring (LWS) = 0 cm.
Gambar 8 menunjukkan korelasi antara rambu pengamatan pasang surut
dan elevasi.
Secara umum gelombang besar terjadi selama musim barat, yaitu pada
bulan November-Maret. Pada musim barat ini banyak nelayan takut melaut karena
mengandung resiko tinggi, terutama untuk kapal-kapal ukuran kecil (<10 GT).
Sebaliknya selama musim timur kondisi perairan Palabuhanratu relatif tenang.
Pada musim ini gelombang didominasi oleh swell dengan arah rambatan menuju
selatan dan barat daya. Pada saat musim barat terjadi pengikisan pantai sehingga
pada bagian-bagian pantai terjadi penggerusan/abrasi pantai ke arah darat, namun
pada saat musim timur, terjadi hal sebaliknya, yakni terjadi penumpukan pasir dan
bibir pantai melebar ke arah laut.
Menurut Adi (1995), perubahan musim di Palabuhanratu sangat
berpengaruh terhadap kegiatan perikanan. Pada umumnya upaya penangkapan
ikan terbesar terjadi pada musim Selatan, ditandai dengan angin yang lemah, laut
Palem rambu pasut
HWS
MHWS
MHWL
MSL
MLWL
MLWS LWS
257,0 cm
241,7 cm
205,7 cm
167,1 cm
127,0 cm
102,3 cm91,8 cm
Referensi
HWS
MHWS
MHWL
MSL
MLWL
MLWSLWS
165,2 cm
149,9 cm
113,9 cm
75,3 cm
35,2 cm
10,5 cm 0.0 cm
0.0 cm
Chart Datum
Gambar 8 Pasang surut air laut di PPN Palabuhanratu (Sumber: Ditjen. Perikanan dan PT. Perentjana Djaja, 1999).
80
tenang serta curah hujan yang rendah. Musim Selatan merupakan musim
terjadinya banyak ikan dan musim tersebut terjadi pada bulan Juni-Oktober.
Sebaliknya pada musim Barat merupakan musim kurang ikan ditandai dengan
angin yang bertiup kencang, gelombang besar dan sering terjadi hujan lebat.
Periode musim barat berlangsung sekitar bulan November – Mei. Tabel 12
menunjukkan periode musim ikan di PPN Palabuhanratu.
Tabel 12 Musim ikan di PPN Palabuhanratu
Bulan Musim
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nop DesSelatan/ banyak ikan √ √ √ √ √
Barat/ kurang ikan
Selanjutnya menurut Baskoro et al. (2004), bahwa pengetahuan mengenai
pola migrasi ikan bagi usaha pemanfaatan sumberdaya adalah dengan mengetahui
pola migrasi ikan yang menjadi tujuan penangkapan, maka efisiensi dan
efektivitas penangkapan ikan dapat dilakukan dengan baik. Selanjutnya dengan
mengetahui pola migrasi ikan, maka kita dapat mengetahui keberadaan ikan
disuatu perairan sekaligus dapat pengetahui swimming layer dari suatu jenis ikan.
Ikan pelagis besar yang merupakan high migration (migrasi jauh) seperti ikan tuna
disebabkan oleh beberapa hal seperti untuk keperluan memijah karena memang
naluri sejak lahirnya memijah disuatu tempat, untuk mencari makan, dan untuk
mencari lingkungan yang optimum. Selanjutnya dikatakan bahwa tuna mata
besar (big eye tuna) menyebar di Samudera Pasifik melalui perairan diantara
pulau-pulau Indonesia ke Samudera Hindia. Pemijahan tuna ini terjadi di bagian
Timur dan bagian Barat Samudera Hindia, di Indonesia ikan ini banyak ditangkap
di laut-laut dalam antara lain di perairan sebelah Selatan Jawa, sebelah Barat Daya
Sumatera Selatan, Bali, Nusa Tenggara, Laut Banda dan Laut Maluku. Untuk
jenis ikan albacore, penangkapannya banyak dilakukan di Samudera Hindia.
Pencatatan di Benoa-Bali yang menjadi salah satu pusat pendaratan ikan tuna
menunjukkan, jenis albacore hampir tertangkap sepanjang tahun, terutama bulan
April-September yang merupakan musim dengan tangkapan yang bagus.
81
Arus di Palabuhanratu sangat lemah, arus umumnya ditimbulkan oleh angin
musim yang dipengaruhi oleh pasang surut dan besarnya kedua komponen arus ini
sangat lemah. Selama musim timur, arus di sepanjang Pantai Selatan Jawa
bergerak menuju barat dan pada musim barat arus berbalik arah.
Sedimentasi yang terjadi di sekitar mulut kolam pelabuhan disebabkan
masuknya sebagian longshore sedimen terdiri dari pasir dengan diameter rata-rata
200 mm. Pada waktu musim hujan atau banjir, material longshore sedimen terdiri
dari campuran sedimen yang berasal dari sungai dan dasar pantai. Sungai
Cipalabuhan yang bermuara di samping kolam pelabuhan adalah sungai yang aktif
membawa endapan sampah kota, lumpur dan pasir. Dalam merencanakan
Pelabuhan Perikanan Samudera Palabuhanratu (PPS Palabuhanratu), faktor
adanya pengaruh sungai ini perlu diperhitungkan dengan matang sehingga dapat
mengeliminir pengaruh masuknya sedimen ke dalam kolam pelabuhan yang akan
dibangun tersebut. Terhindarnya mulut kedua kolam (kolam I dan II) dari
masuknya endapan sedimen disebabkan karena posisi mulut berada pada palung
dengan kedalaman 10-200 m (Gambar 7). Pengalaman meletakkan posisi mulut
kolam ini hendaknya diaplikasikan juga pada kolam III yang akan dibangun pada
PPS Palabuhanratu.
5.2 Kondisi PPN Palabuhanratu
Operasional PPN Palabuhanratu sangat tergantung kepada kondisi fisik
pembangunannya dan sejauh mana hubungan PPN Palabuhanratu dengan wilayah
produksi dan wilayah distribusi.
5.2.1 Fasilitas PPN Palabuhanratu
Fasilitas yang telah dibangun sejak operasionalnya pada tahun 1993 adalah:
1) Fasilitas pokok:
(a) Lahan seluas 12,2 ha. Sebagian lahan digunakan untuk pembangunan
kolam seluas 5 ha dan untuk bangunan darat berupa gedung dan
perkantoran. Pada saat ini, lahan pelabuhan sudah semuanya
dimanfaatkan, sehingga tidak tersedia lagi untuk industri perikanan.
Dalam upaya untuk mengembangkan PPN Palabuhanratu yang ada
sekarang agar lebih optimal fungsinya dan pengembangannya menjadi
82
PPS Palabuhanratu, maka kapasitas beberapa fasilitas pelabuhan
perikanan perlu di tingkatkan sehingga memerlukan tambahan perluasan
areal terutama untuk mengembangkan fasilitas pokok seperti dermaga dan
kolam pelabuhan serta penyediaan areal bagi industri perikanan.
Ketersediaan lahan untuk perluasan areal akan disiapkan oleh pemerintah
daerah di selatan areal pelabuhan perikanan yang ada sekarang. Lahan
yang akan dibebaskan oleh Pemerintah Daerah Propinsi Jawa Barat
tersebut akan digunakan untuk pembangunan fasilitas pokok dan areal
industri perikanan.
(b) Penahan gelombang pada pengembangan PPN Palabuhanratu dan
pengembangan menjadi PPS Palabuhanratu sangat diperlukan karena
adanya penambahan kapasitas kolam pelabuhan. Berdasarkan pengalaman
pembangunan penahan gelombang dermaga I dan penahan gelombang
dermaga II, maka konstruksi yang paling sesuai untuk pembangunan
penahan gelombang baru adalah dengan batu buatan yang disebut dengan
a-jack. A-jack digunakan pertama kalinya di Indonesia pada pembangunan
dermaga PPN Palabuhanratu, namun a-jack juga perlu disempurnakan
dalam pembuatannya yakni dengan penambahan pemakaian tulang besi,
sehingga lebih kokoh dan tidak mudah patah. A-jack telah digunakan
pada pembangunan penahan gelombang dermaga II sejak tahun 2000,
sampai saat ini kondisinya masih baik. Penggunaan a-jack telah digunakan
pula oleh PPS Cilacap dan PPN Prigi. Penggunaan a-jack sebagai
pengganti batu alami sangat tepat, hal ini dikarenakan ketersediaan batu
alami yang sesuai dengan spesifikasi yang diharapkan sangat terbatas
(misalnya dibutuhkan ukuran batu sampai dengan 7 ton). Keunggulan a-
jack dibandingkan dengan batu alami adalah, a-jack mempunyai 11 kali
daya redam gelombangnya dibandingkan dengan daya redam batu alami
(PT. Perentjana Djaja, 1999).
(c) Kolam pelabuhan dermaga I seluas 3 ha dengan kedalaman kolam 1,5 –
3,5 m. Pendangkalan kolam tetap akan terjadi karena adanya sampah-
sampah yang berasal dari limbah padat dan limbah cair yang dibuang dari
kapal-kapal, aktivitas docking dan aktivitas tempat pelelangan ikan serta
83
adanya sampah-sampah yang berasal dari adanya arus pasang ke dalam
kolam. Pihak pelabuhan harus memiliki petugas khusus untuk mengatasi
sedimen ini dengan membersihkan kolam dari sampah-sampah padat dan
cair secara rutin setiap minggu. Pihak pelabuhan dapat saja mengadakan
kapal pemungut sampah di kolam. Untuk limbah padat yang terendap di
dasar kolam, maka pihak pelabuhan harus dapat mengusahakan untuk
melakukan pengerukan kolam secara periodik. Sebaiknya pihak pelabuhan
memiliki back hoe jenis long arm guna mengeruk kolam. Selain itu untuk
pengaturan kapal di kolam, maka zonasi penempatan kapal di kolam
dermga I perlu ditingkatkan kepatuhan pemanfaatannya sehingga tidak
mengganggu aktivitas di kolam terutama pada saat proses bongkar muat
ikan dan tambat kapal. Hal lain yang perlu dipertimbangkan adalah
perlunya peningkatkan keamanan dan ketertiban di kolam dermaga I oleh
tim keamanan terpadu dan pengurus-pengurus kapal.
(d) Kolam dermaga II, seluas 2 ha dioperasionalkan sejak tahun 2002 dengan
kedalaman kolam 4 m. Kolam dermaga II perlu dilakukan pemeliharaan,
terutama menjaga kebersihan kolam dari buangan sampah, selain itu perlu
dijaga ketertiban pemanfaatan kolam. Berdasarkan kondisi kolam dermaga
I dan dermaga II yang sudah penuh (melebihi kapasitas tampung), maka
untuk mengoptimalkan fungsi PPN Palabuhanratu saat ini dan
pembangunan PPS Palabuhanratu diperlukan penambahan kapasitas
kolam baik dari segi perluasannya maupun dari segi kedalaman kolam.
(e) Dermaga (wharf) I sepanjang 500 m berkonstruksi beton dibangun tahun
1993 dan telah berfungsi secara baik. Sepanjang dermaga sudah
disediakan fender agar kapal tidak bersentuhan langsung dengan badan
dermaga yang terbuat dari beton. Kemudian juga tersedia bolard untuk
digunakan sebagai tempat pengikat kapal. Kondisi fender dan bolard saat
ini dalam keadaan rusak, sehingga pihak pelabuhan diharapkan
memperbaiki atau menggantinya dengan yang baru. Dermaga II sepanjang
410 m berkonstruksi beton dibangun tahun 2002 dan telah berfungsi
secara baik. Sebagian fender dan bolard telah rusak sehingga perlu
84
diganti dengan yang baru. Dengan adanya pembangunan kolam baru
sehingga memerlukan dermaga yang baru
(f) Tempat pendaratan di pantai (beach landing) seluas 6600 m2 berfungsi
untuk pendaratan kapal ukuran kecil (jenis kapal kincang) dan untuk
tempat perbaikan kapal. Lokasi beach landing berada di pangkal kolam
dermaga I. Selain itu juga sudah tersedia fasilitas slipway yang dapat
mengakomodir kapal berukuran <30 GT. Kondisi slipway dalam keadaan
rusak namun masih dapat digunakan. PT. CKU sebagai pengelola
diharapkan untuk memperbaikinya. Dengan adanya slipway di kolam
dermaga I , menyebabkan kondisi kolam menjadi kotor karena limbah
hasil perbaikan kapal terbawa hanyut oleh arus pasang surut ke dalam
kolam. Dalam rencana pengembangan PPS Palabuhanratu, maka perlu
dirancang konstruksi dock dan slipway dan secara khusus ditempatkan
dalam satu kolam yang terpisah dengan kolam utama, sehingga tidak
mengganggu aktivitas-aktivitas kapal di kolam dan kebersihan kolam
dapat terjaga. Selain itu perlu dirubah fungsi tempat pendaratan di pantai
ini kearah tempat perbaikan kapal dan diharapkan pemerintah daerah
mampu menyiapkan tempat pendaratan di pantai ke arah selatan
pelabuhan (diluar kolam pelabuhan), yakni di pantai Patuguran sehingga
kapal-kapal kecil berukuran <5 GT dapat memanfaatkan tempat
pendaratan di pantai tersebut, sedangkan untuk menarik kapal-kapal kecil
dalam memanfaatkan tempat pendaratan di pantai patuguran yang akan
dibangun oleh pemerintah daerah, maka perlu dilengkapi dengan fasilitas
pemasaran dan pengolahan hasil perikanan di sekitar tempat pendaratn
tersebut.
2) Fasilitas fungsional dan operasionalnya berupa:
(a) Tempat pelelangan ikan (TPI) seluas 900 m2 dalam keadaan baik dan
terpelihara. TPI telah menyediakan fasilitas air bersih, tetapi terbatas
penggunaannya untuk keperluan karyawan TPI. Nelayan cenderung
menggunakan air laut untuk membersihkan ikannya karena mudah
diperoleh di depan dermaga dan ketersediaan air tawar di TPI belum
85
cukup memadai. Pada tahun 2004 telah dilakukan penyediaan pompa air
laut guna memperoleh air laut yang bersih, namun dalam operasionalnya
mengalami kesulitan dalam pemeliharaan karena alat pemompanya mudah
korosi akibat pengaruh air laut. Pada tahun 2005 telah disediakan pompa
air laut bertekanan tinggi guna membersihkan lantai TPI. Setiap hari
dilakukan pembersihan lantai oleh petugas kebersihan. Sampah cair
langsung dibuang ke perairan laut sekitar dermaga. Kondisi ini
menyebabkan kotornya air laut. Kegiatan tersebut dilakukan karena PPN
Palabuhanratu belum mempunyai unit pengolah limbah cair dan limbah
padat. Pembersihan sampah padat dilakukan oleh petugas, kemudian
dikumpulkan dalam tempat sampah sementara yang telah disediakan di
sekitar TPI. Setiap dua hari sampah-sampah yang ada dalam tempat
sampah sementara diangkut oleh mobil sampah, kemudian dibuang ke
tempat pembuangan akhir di daerah Cibadak. PPN Palabuhanratu
sebaiknya memiliki tempat pembakaran limbah padat (incinerator),
sehingga tidak tergantung kepada tempat pembuangan sampah. Pada
saatnya nanti PPN Palabuhanratu diharapkan memiliki instalasi pengolah
limbah (IPAL). Limbah cair, sebaiknya diolah terlebih dahulu hingga
menjadi bersih kemudian dapat dibuang ke laut. Selain itu tersedia pula
fasilitas untuk pelelangan ikan seperti timbangan, trays (keranjang ikan),
gerobak dorong, sound system, kantor TPI. Semua fasilitas tersebut
dikelola oleh KUD dan sebagian alat tersebut disewakan kepada nelayan.
Pengoptimalan fungsi TPI, akan diarahkan untuk menciptakan TPI yang
benar-benar hygienis sesuai dengan persyaratan tempat pelelangan ikan.
Menurut Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No.
KEP.01/MEN/2007 tanggal 5 Januari 2007 tentang Persyaratan Jaminan
Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan pada Proses Produksi, Pengolahan
dan Distribusi, bahwa persyaratan tempat pelelangan ikan adalah :
a) Terlindung dan mempunyai dinding yang mudah untuk dibersihkan.
b) Mempunyai lantai yang kedap air yang mudah dibersihkan dan
disanitasi, dilengkapi dengan saluran pembuangan air dan mempunyai
sistem pembuangan limbah cair yang hygiene.
86
c) Dilengkapi dengan fasilitas sanitasi seperti tempat cuci tangan dan
toilet dalam jumlah yang mencukupi. Tempat cuci tangan harus
dilengkapi dengan bahan pencuci tangan dan pengering sekali pakai.
d) Mempunyai penerangan yang cukup untuk memudahkan dalam
pengawasan hasil perikanan,
e) Kendaraan yang mengeluarkan asap dan binatang yang dapat
mempengaruhi mutu hasil perikanan tidak diperbolehkan berada
dalam TPI.
f) Dibersihkan secara teratur minimal setiap selesai penjualan, wadah
harus dibersihkan dan dibilas dengan air bersih atau air laut bersih.
g) Dilengkapi dengan tanda peringatan dilarang merokok, meludah,
makan dan minum, dan diletakkan ditempat yang mudah dilihat
dengan jelas.
h) Mempunyai pasokan air bersih dan atau air laut bersih yang cukup.
i) Mempunyai wadah khusus yang tahan karat dan kedap air untuk
menampung hasil perikanan yang tidak layak untuk dimakan.
Sebagai akibat adanya penambahan produksi ikan, maka
diperlukan lagi tambahan gedung pelelangan ikan. Dalam operasionalnya
berbeda dengan penataan TPI awal, yakni menampung ikan komoditi
ekspor sehingga fasilitas TPI dan operasionalnya harus mengikuti standar
penanganan ikan untuk ekspor.
(b) Pasar ikan 352 m2 digunakan untuk tempat penjualan ikan secara grosir.
Biasanya jenis-jenis ikan yang dijual disini adalah jenis-jenis ikan untuk
konsumsi lokal dan restoran atau pembeli yang datang dari luar
Palabuhanratu. Jenis-jenis ikan segar yang terjual antara lain adalah
kakap, udang, tongkol, kuwe, cumi-cumi. Selain gedung pasar ikan, pihak
pelabuhan telah membangun lapak-lapak sebanyak 60 lapak yang telah
diisi oleh penjual ikan eceran dan ikan olahan kering. Dengan adanya
lapak-lapak ini, maka kebersihan, ketertiban dan keindahan di sekitar TPI
lebih terjaga. Pihak pelabuhan juga menanam tanaman hias di sekitar TPI
dan menyediakan tempat-tempat sampah. Permasalahan yang dihadapi
adalah belum semua kios atau lapak pasar ikan digunakan oleh pedagang
87
karena kondisi ikan pada saat paceklik sangat kurang. Selain itu adanya
keengganan pemilik lapak menggunakan lapaknya karena lokasi lapak
berada jauh kedalam. Untuk pengembangan PPN Palabuhanratu, maka
pasar ikan ini perlu ditata kembali terutama mengenai tata ruangnya,
sistem drainase, sistem instalasi air bersih, instalasi BBM dan pengaturan
pemanfaatannya oleh pedagang-pedagang serta menjaga kebersihan,
ketertiban dan keindahan pasar agar tidak terlihat kumuh
(c) Kantor pelabuhan 528 m2 digunakan untuk keperluan administrasi
pelabuhan. Kantor utama digunakan untuk keperluan kepala pelabuhan
dan kepala seksi serta untuk perpustakaan, gudang arsip, pusat informasi
pelabuhan perikanan. Kondisi kantor saat ini sudah terisi penuh dan
kondisi fisik bangunannya perlu diperbaharui sehingga untuk pengadaan
kantor pada PPN Palabuhanratu yang akan dikembangkan secara optimal
sebaiknya dibangun gedung baru dengan konstruksi bertingkat empat dan
khusus lantai pertama dibuat tidak memakai ruangan (bebas partisi) guna
mengantisipasi adanya kejadian tsunami.
(d) Pos pelayanan terpadu yang terdiri dari petugas syahbandar, PPN
Palabuhanratu, TNI AL, Polisi Air dan petugas pengawas SDI. Kondisi
fisik gedung saat ini perlu direhab atau dibangun baru, karena sebagian
bangunannya sudah mengalami pelapukan dan belum disiapkan fasilitas
pendingin ruangan (AC). Selain itu petugas kurang disiplin menempati pos
sehingga memperlemah kinerja pelayanan, untuk itu perlu dibuat
kesepakatan bersama tentang operasional pos pelayanan terpadu guna
meningkatkan kinerja pelayanan.
(e) Kantor syahbandar (petugas dari PPN Palabuhanratu). Saat ini syahbandar
di pelabuhan perikanan ada dua yakni syahbandar umum dari Departemen
Perhubungan dan syahbandar perikanan dari Departemen Kelautan dan
Perikanan. Syahbandar perikanan yang telah ditetapkan oleh Menteri
Kelautan dan Perikanan tahun 2006 belum dapat menjalankan tugasnya
karena menurut kesepakatan antara Dirjen. Perikanan Tangkap dan Dirjen.
Perhubungan Laut bahwa syahbandar umum di PPN Palabuhanratu akan
88
ditarik kemudian syahbandar perikanan sudah mulai berfungsi. Kantor
yang digunakan untuk petugas syahbandar sementara berada di pos
pelayanan terpadu, namun pada tahun 2007 akan dibangun kantor khusus
syahbandar di pelabuhan perikanan. Petugas syahbandar perikanan yang
telah dilatih ada dua orang dibantu oleh satu orang staf PPN
Palabuhanratu. Tugas syahbandar adalah untuk mengeluarkan surat ijin
berlayar (SIB). Sebelum syahbandar beroperasional, maka pihak
manajemen PPN Palabuhanratu harus sudah mempersiapkan personil yang
bertugas sebagai syahbandar, administrasi yang diperlukan seperti form
SIB, standard operational procedure (SOP) syahbandar, koordinasi
dengan instansi terkait khususnya mengenai ruang lingkup tugas dan
mempersiapkan kantor operasional sementara syahbandar.
(f) Kantor pengawasan perikanan dan kelautan digunakan untuk aktivitas
pengawasan perikanan dan kelautan. Kondisi kantornya cukup
representatif karena selain baru, setiap ruangan dilengkapi pendingin
ruangan (AC). Jumlah personil pengawasan sebanyak lima orang, yang
telah memiliki kewenangan untuk menyidik sebanyak empat orang karena
telah berstatus sebagai penyidik pegawai negeri sipil (PPNS). Dalam
pelaksanaan tugasnya untuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan
pelimpahan berkas perkara kepada Kejaksaan dibantu oleh petugas
Angkatan Laut, Polisi Air, Dinas Perikanan dan Kelautan. Selama tahun
2006 telah dilakukan dua kali gelar operasi ke laut dan berhasil
menangkap 15 kapal ukuran <30 GT karena tidak memiliki surat ijin
penangkapan. Dari hasil penyelidikan ini telah dilimpahkan perkaranya
kepada PPNS Kabupaten Sukabumi karena menyangkut kapal-kapal
berukuran <30 GT. Menurut petugas pengawasan bahwa lembaga
pengawasan ini akan ditingkatkan menjadi unit pelaksana teknis (UPT)
Ditjen. Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan
Perikanan sehingga tidak tergantung pada pelabuhan perikanan.
Permasalahan yang dihadapi adalah sangat sedikitnya petugas pengawas
(lima orang) sehingga banyak tugas-tugas yang tidak tertangani dengan
baik, sebagai contoh masih banyaknya kapal-kapal yang tidak berijin yang
89
memerlukan pembinaan lebih lanjut. Selain gelar operasi, kegiatan-
kegiatan yang sudah terlaksanan adalah pembentukan dan penumbuhan
kelompok masyarakat pengawas (POKMASWAS) perikanan dan
kelautan. Terhadap permasalahan sedikitnya jumlah petugas dan luasnya
wilayah pengawasan, maka disepanjang 117 km pantai Sukabumi ada
sebanyak 7 tempat pendaratan ikan, pada masing-masing tempat tersebut
telah dibentuk POKMASWAS yang beranggotakan masing-masing 20
orang terdiri dari tokoh nelayan, pengusaha, tokoh masyarakat, petugas
desa, nelayan. Mulai pada tahun 2003, secara resmi POKMASWAS di 7
titik tersebut telah dikukuhkan dengan surat keputusan Bupati. Sebanyak
140 orang telah dilakukan pemusatan latihan di PPN Palabuhanratu guna
menyerap pengetahuan mengenai perikanan dan kelautan serta peraturan-
peraturan yang berkaitan dengan pengawasan. Dalam operasionalnya
POKMASWAS telah dilengkapi radio SSB (single side band) yang dapat
dihubungkan dan didengar nelayan dilaut yang sedang melakukan operasi
penangkapan ikan. Setiap hari petugas POKMASWAS ini diminta untuk
melaporkan kejadian perikanan di wilayahnya kepada pusat
POKMASWAS di PPN Palabuhanratu. Berdasarkan laporan dari
POKMASWAS tersebut, maka PPN Palabuhanratu akan melakukan
koordinasi dengan stakeholder yang terkait dengan permasalahan tersebut.
Jaringan radio SSB ini juga telah dimanfaatkan oleh Pemerintah Daerah,
Angkatan Laut dan Polisi Air. POKMASWAS telah membentuk forum
POKMASWAS yang bertugas untuk mengkoordinasikan masalah-
masalah yang berkaitan dengan tugas pengawasan. Hasil kerja dari
POKMASWAS telah melaporkan tentang kejadian penggunaan alat,
bahan terlarang dalam melakukan penangkapan ikan hias di karang.
Terhadap laporan ini pemerintah daerah telah mengupayakan
penyelesaiannya dengan cara musyawarah. Permasalahannya adalah,
petugas POKMASWAS menghendaki agar pemerintah dapat memberikan
insentif kepada mereka setiap bulan.
90
(g) Laboratorium Bina Mutu Hasil Perikanan seluas 170 m2 digunakan untuk
pemeriksaan hasil tangkapan nelayan, selama ini pengujian yang
dilaksanakan antara lain pengujian organoleptik dan pengujian formalin.
(h) Balai pertemuan nelayan 150 m2 secara aktif digunakan sebagai tempat
pelatihan-pelatihan nelayan, rapat HNSI, pengajian, sunatan. Balai ini
perlu dilengkapi dengan sound system, AC dan penambahan kursi serta
fasilitas audio visual.
(i) Puskesmas nelayan yang beroperasi setiap hari Selasa dan Kamis dengan
jumlah pasien 55 orang setiap hari. Pelayanan dilakukan oleh dokter
umum dari Dinas Kesehatan Kabupaten Sukabumi. Biaya pengobatan
relatif murah sebesar Rp 3.000,- setiap kali berobat. Direncanakan
Puskesmas Nelayan ini akan ditingkatkan menjadi RS Pelabuhan
Perikanan yang berfungsi memberi pelayanan kesehatan nelayan dan
kesehatan lingkungan pelabuhan.
(j) Kantor penjualan BBM 96 m2 dilengkapi dengan tangki BBM
berkapasitas 320 m3 dan 208 m3. Usaha BBM yang bernama SPDN ini
dikelola oleh KUD Mina Sinar Laut bekerjasama dengan Perum Prasarana
Samudera Jakarta. KUD Mina memperoleh aliran minyak sebanyak 160
Kl sebulan untuk keperluan BBM solar bagi kapal-kapal ukuran <30 GT.
Harga jual BBM Solar untuk nelayan sama dengan harga BBM di SPBU.
Kebutuhan solar untuk 628 buah kapal yang ada pada tahun 2005 adalah
sebanyak 1.820 kl/bulan, namun yang tersedia di SPDN sebanyak 160
kl/bulan ditambah 500 kl/bulan di SPBB sehingga kekurangannya
diperoleh dari SPBU. Menurunnya frekuensi jumlah kapal melaut setiap
bulan dari sejumlah 60 kapal per bulan menjadi 5 kapal per bulan sebagai
akibat kenaikan biaya operasional melaut terutama harga solar BBM.
Dengan adanya pengembangan PPN Palabuhanratu, maka SPDN dan
SPBB yang ada perlu ditambah persediaan solarnya sehingga memenuhi
kebutuhan kapal untuk operasi ke laut. Hampir semua nelayan
menghendaki agar harga BBM untuk nelayan diturunkan menjadi
91
Rp 2.500/liter guna menutupi biaya operasional melaut yang terus
membengkak.
(k) Tangki air 400 m3 dan rumah pompa 27 m2 dikelola oleh PT. Eko Mulyo
Sukabumi. Air bersih dialirkan oleh PDAM ke reservoir kemudian baru
dialirkan ke kapal-kapal nelayan yang ada di pinggir dermaga. Apabila
PDAM tidak beroperasi, maka pihak pelabuhan telah menyediakan mobil
tanki air bersih dimana air bersih diambil di sumber mata air milik
perorangan, sehingga penyediaan air bersih untuk kapal-kapal nelayan
tidak mengalami masalah. Untuk jangka menengah dan panjang,
penambahan kapasitas air bersih ini perlu ditingkatkan dengan cara
membuat reservoir baru yang diisi oleh sumber air tanah dan untuk
keperluan lainnya maka perlu dilakukan pemanfaatan air Sungai
Cimandiri untuk dialirkan ke pelabuhan perikanan.
(l) Tempat perbaikan jaring 500 m2 saat ini sudah tidak berfungsi lagi dan
dialih fungsikan menjadi areal industri. Saat ini telah ditempati oleh
perusahaan cold storage.
(m) Gudang box 74 m2 digunakan untuk menyimpan box-box dan trays.
(n) Gardu jaga 52 m2 digunakan untuk pos keamanan pelabuhan.
(o) Toilet umum 45 m2 sudah berfungsi yang dikelola oleh koperasi
karyawan.
3) Fasilitas penunjang berupa rumah operator seluas 131 m2 dan guest house
seluas 150 m2 serta mushola nelayan.
5.2.2 Kondisi operasional PPN Palabuhanratu
Operasional pelabuhan dijalankan oleh satu manajemen yang dibentuk oleh
pemerintah pusat. Berdasarkan tugas pokok dan fungsinya, maka manajemen
pelabuhan saat ini menjalankan fungsi dalam rangka membantu aktivitas
perikanan agar lebih efisien dan efektif, dan ikut membina dan mengembangkan
perekonomian masyarakat nelayan. Pada umumnya nelayan-nelayan tangkap di
Palabuhanratu yang mengoperasikan alat payang, gill net dan pancing kekurangan
modal serta mengalami kesulitan dalam memperoleh faktor produksi seperti alat
tangkap, mesin, bahan bakar dengan harga yang murah, kebutuhan-kebutuhan
92
tersebut harus dibeli dari pedagang perantara dengan harga yang tinggi. Selain itu
biaya operasional melaut diperoleh dari pinjaman uang melalui rentenir/tengkulak
dengan cara yang mudah, dan sebagai imbalannya nelayan harus menjual hasil
tangkapan ikannya kepada rentenir dengan harga yang tidak wajar, akibatnya
pendapatan nelayan semakin berkurang.
Menyadari hal tersebut, maka sejak tahun 2003 Direktorat Jenderal
Perikanan Tangkap telah mencoba meluncurkan program revitalisasi pelabuhan
perikanan dan menumbuhkan unit-unit bisnis perikanan terpadu (UBPT) di
pelabuhan perikanan, dengan tujuan untuk meningkatkan fungsi pelabuhan
perikanan, yang semula hanya melayani aktivitas perikanan di pelabuhan,
kemudian diperluas untuk ikut membina pengembangan ekonomi perikanan.
Dengan demikian tugas dan fungsi pelabuhan perikanan yang dijalankan
merupakan ujung tombak pelaksanaan program DKP di daerah, termasuk juga
menjalankan program-program lain di luar DKP, seperti fungsi kesehatan
pelabuhan, keamanan dan ketertiban pelabuhan, imigrasi dan kesyahbandaran.
Pelaksanaan fungsi PPN Palabuhanratu selama program revitalisasi
pelabuhan perikanan dijalankan sejak periode tahun 2003-2005 adalah:
(1) Sebagai tempat tambat labuh kapal:
1) Menyelenggarakan pemeliharaan vender dan bolard yang ada di dermaga,
lampu suar pintu masuk kolam pelabuhan, penerangan dermaga, instalasi
air di dermaga.
2) Menyelenggarakan fungsi kesyahbandaran, yakni mempersiapkan tenaga
syahbandar.
3) Melakukan fungsi pengawasan terhadap pemanfaatan sumberdaya ikan,
pemberian ijin kapal keluar masuk pelabuhan.
4) Melakukan pemantauan dan pengaturan terhadap kapal yang berlabuh dan
bongkar muat.
5) Menerima dan mengelola jasa tambat.
6) Memberikan kemudahan dalam hal kebutuhan sarana dan jasa komunikasi
dan telekomunikasi.
(2) Tempat pendaratan ikan:
1) Memberikan pelayanan teknis untuk pendaratan ikan.
93
2) Menyediakan tenaga dan sarana pendaratan.
3) Pelayanan untuk mempertahankan mutu hasil tangkapan.
4) Alat bantu bongkar dan alat angkut ikan hasil tangkapan lainnya.
5) Pelayanan terhadap kebutuhan tenaga dan petugas bongkar muat ikan.
(3) Tempat untuk memperlancar kegiatan kapal-kapal perikanan.
1) Memberikan pelayanan teknis untuk memudahkan kapal-kapal melakukan
kegiatan di pelabuhan (merapat, berlabuh, bongkar muat, keluar
pelabuhan).
2) Melayani kebutuhan kapal (BBM, es, garam dan perbekalan lain).
3) Memberikan dokumen perijinan surat tanda bukti lapor kedatangan
/keberangkatan kapal (STBLKK).
4) Membantu pemeriksaan kesehatan kapal.
5) Membantu melaksanakan pemeriksaan dokumen keimigrasian ABK
warga negara asing.
6) Membantu pelaksanaan pemeriksaan muatan sehubungan dengan
peraturan bea dan cukai.
7) Memberikan pelayanan dalam hal kebutuhan perbekalan ABK, jasa
perbengkelan dan perawatan kapal serta jasa lainnya.
(4) Tempat pemasaran dan distribusi hasil tangkapan.
1) Menyediakan dan merawat tempat pelelangan ikan.
2) Menyediakan pasar ikan dan lapak pengecer ikan segar.
3) Menyediakan gedung perkantoran dan toko BAP.
(5) Tempat pelaksanaan pembinaan mutu hasil perikanan.
1) Mengadakan dan mengembangkan berbagai sarana yang mendukung
penanganan pasca penangkapan ikan (tempat/ruangan penanganan,
pengolahan dan pengepakan ikan, ruangan pendingin, pabrik es dll.).
2) Membantu Dinas Perikanan dalam pembinaan kegiatan penanganan,
pengolahan, pengepakan dan pengangkutan hasil perikanan serta
penyuluhannya sebagai upaya untuk menjamin mutu hasil perikanan.
3) Mengkoordinasikan upaya pembinaan mutu hasil perikanan bersama
Dinas Perikanan.
94
4) Membantu kelancaran sertifikasi mutu ikan dari Dinas Perikanan.
5) Melakukan uji tes formalin pada ikan dan bekerja sama dengan Polres
setempat dalam pemberantasan penggunaan formalin.
(6) Tempat pelaksanaan penyuluhan dan pengumpulan data.
1) Mengkoordinasikan pengumpulan data statistik perikanan di pelabuhan
bersama dengan Dinas Perikanan.
2) Mewajibkan kepada unit usaha yang beroperasi di lingkungan pelabuhan
untuk memberikan data yang diperlukan.
3) Melakukan tindakan pemeriksaan teknis kapal perikanan.
4) Melakukan pemantauan tugas dan kegiatan pemeriksaan kapal perikanan
oleh petugas pengawasan penangkapan ikan.
5) Penyuluhan dan sosialisasi hasil riset serta mengadakan pelatihan berkaitan
dengan peningkatan usaha perikanan.
(7) Tempat pelaksanaan pengawasan (MCS) sumberdaya ikan.
1) Penyebaran dan pengumpulan log book.
2) Melakukan pendataan dan evaluasi terhadap log book.
3) Melakukan pendugaan stock.
4) Melakukan perhitungan terhadap CPUE.
5) Memberikan informasi tentang kondisi fishing ground.
Hasil dari program revitalisasi pelabuhan perikanan dari Ditjen. Perikanan
Tangkap yang dijalankan adalah tumbuhnya pelaku-pelaku unit bisnis di
pelabuhan, seperti :
(1) KUD Mina Sinar Laut bergerak dibidang pelayanan SPDN (station package
dealer nelayan) untuk menyediaan solar kapal perikanan ukuran <30 GT,
penyelenggaraan pelelangan ikan.
(2) Yayasan Anak Nelayan bergerak dibidang pengolahan ikan dalam bentuk filet
ikan dan usaha rumpon serta mengasuransikan sebagian nelayan binaannya.
(3) Program pengembangan perikanan tangkap skala kecil dari Ditjen. Perikanan
Tangkap yang bertujuan untuk mengatasi masalah-masalah yang dihadapi
oleh nelayan skala kecil dalam melakukan aktivitas perikanannnya sehingga
pendapatannya semakin meningkat. Kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan
95
adalah berupa optimalisasi kapal dan alat penangkapan ikan (OPTIKAPI),
optimalisasi pelelangan ikan (OPTILANPI), optimalisasi pengolahan ikan
(OPTIHANKAN) dan optimalisasi pemasaran ikan (OPTISARKAN) yakni
berupa pembentukan kelompok usaha bersama (KUB), pelatihan terhadap
nelayan dan memberi bantuan permodalan berupa unit alat tangkap,
pengolahan dan tempat pemasaran ikan.Tabel 14 menunjukkan perkembangan
KUB binaan PPN Palabuhanratu. Berdasarkan Tabel 13, dari 9 KUB yang ada
semuanya telah beroperasional, ditandai oleh jumlah anggota yang terlibat
sebanyak 200 orang. Pada tahun 2005, KUB tersebut telah berhasil
melakukan usaha penangkapan ikan atas bantuan kapal yang diberikan oleh
pemerintah sebanyak 278.870 kg senilai Rp 760.879.200 dan dapat disimpan
sebanyak Rp 46.896.791 untuk dana bergulir bagi anggotanya.
Tabel 13 Kondisi kelompok usaha bersama (KUB) binaan PPN Palabuhanratu tahun 2005
Nama KUB
Jumlah anggota
Jumlah prod (kg)
Nilai Prod (Rp)
Dana bergulir
(Rp)
Majelis Nusantara 1 26 3.814 22.110.200 6.339.000Putra Bahari Nusantara 33 9.655 48.889.250 500.000Cempaka Putih Nusantara 33 22.623 102.817.000 14.000Gumelar Nusantara 16 5.382 48.701.600 100.000Bungsu Nusantara 20 - - -Majelis Nusantara 2 22 12.814 87.006.800 14.000.000Lembayung Nusantara 27 213.544 161.708.750 13.243.791Sumber Bahari 19 29.558 289.645.600 12.600.000Bina Usaha Nusantara 14 - - 100.000
J U M L A H 200 278.870 760.879.200 46.896.791Sumber : Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu, 2006.
(4) PT. Citra Karya Utama bergerak dibidang docking kapal.
(5) PT. AGB bergerak dibidang cold storage dengan membeli semua produk
hasil tangkapan ikan nelayan. Hasil ikan olahan diekspor ke negara Korea.
(6) CV Burhan bergerak penjualan suku cadang alat bahan perikanan.
(7) PT. Sari Sagara bergerak di bidang penangkapan ikan dengan alat tangkap
longline dan cold storage.
96
(8) PT. Paridi mengelola Stasiun Pengisian Bahan Bakar di Bunker (SPBB)
bergerak dibidang penyediaan solar untuk kapal ukuran >30 GT. Menerima
pasokan solar dari Pertamina sebanyak 1.500 kl setiap bulan.
(9) Bank Danamon dalam penyediaan kredit untuk nelayan. Sampai bulan
Agustus 2006 sudah tersalurkan kredit sekitar Rp 4.000.000.000,-.
(10) PT. Ratu Prima bergerak dibidang cold storage dan pabrik es.
(11) Tumbuh dan berkembangnya 8 kelompok masyarakat pengawas perikanan
(POKMASWAS) yang berada di setiap titik pendaratan ikan. Tugasnya
adalah mengawasi kegiatan perikanan di daerahnya dan melaporkan kepada
PPN Palabuhanratu tentang kejadian tersebut melalui radio SSB.
(12) Digunakannya peta prakiraan daerah penangkapan ikan oleh kapal nelayan
sebanyak 52 kapal setiap bulannya, sehingga nelayan memiliki alternatif
petunjuk tentang daerah penangkapan ikan.
(13) Terbangunnya PUSKESMAS nelayan pada tahun 2005 yang melayani rata-
rata sebanyak 15 orang nelayan setiap bulan.
(14) Berfungsinya Pusat Informasi Pelabuhan Perikanan (PIPP) yang memiliki
jaringan langsung internet ke Ditjen. Perikanan Tangkap, sehingga data
pelabuhan on line ke DKP.
(15) Beroperasionalnya kios IPTEK yang menyampaikan hasil-hasil penelitian
dan kegiatan perikanan dan kelautan kepada masyarakat perikanan.
(16) Program statistik perikanan yakni pelaksanaan pengumpulan data secara
benar dan akurat menurut petunjuk yang telah ditetapkan oleh Ditjen.
Perikanan Tangkap. Pelaksanaan program ini telah menghasilkan
tersedianya data statistik perikanan tentang produksi ikan tuna berikut
ukuran dan beratnya, statistik ikan lainnya, statistik distribusi ikan dan
pengolahan ikan. Walaupun di PPN Palabuhanratu sangat baik pendataan
statistiknya, namun sangat disayangkan pendataan kabupaten belum
sempurna terutama pengumpulan data karena keterbatasan petugas.
97
Pelayanan PPN Palabuhanratu terhadap aktivitas-aktivitas perikanan antara
lain adalah:
(1) Kapal perikanan
Kapal-kapal perikanan yang mendarat di PPN Palabuhanratu dan melakukan
operasi penangkapan ikan di WPP 9 sejak periode tahun 1993–2005 dapat dilihat
pada Tabel 14.
Berdasarkan Tabel 14, bahwa komposisi kapal-kapal berukuran kecil (<5
GT) jumlahnya semakin meningkat yakni pada tahun 1993 sebanyak 342 unit
meningkat menjadi 428 unit pada tahun 2005. Kapal motor berukuran 5-30 GT
juga mengalami kenaikan yakni dari 65 unit pada tahun 1993 meningkat menjadi
180 unit pada tahun 2005. Begitu juga untuk kapal motor ukuran 30-150 GT naik
dari 13 unit pada tahun 1993 menjadi 68 unit pada tahun 2005. Tabel 15
menunjukkan jumlah kapal yang mendarat di PPN Palabuhanratu berdasarkan
daerah asalnya.
Tabel 14 Jumlah kapal yang mendarat di PPN Palabuhanratu periode tahun 1993-2005
satuan: unit
Sumber: Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu, 2006.
Berdasarkan Tabel 15, dari 676 unit kapal pada tahun 2005, terdapat
sebanyak 465 unit kapal atau 69% berasal dari Palabuhanratu sedangkan sisanya
berasal dari daerah lain.
Tahun PMT < 5 GT
Kapal Motor 5-30 GT
Kapal Motor >30 – 150 GT Jumlah
1993 342 65 13 420 1994 344 85 16 445 1995 352 94 15 461 1996 365 111 12 488 1997 290 104 12 406 1998 275 137 9 421 1999 278 170 11 459 2000 235 170 11 416 2001 243 188 13 444 2002 317 132 13 462 2003 253 130 11 394 2004 266 125 139 530 2005 428 180 68 676
98
Tabel 15 Jumlah kapal perikanan yang mendarat di PPN Palabuhanratu berdasarkan daerah asal tahun 2005
satuan: unit No Daerah asal Perahu Motor Tempel Kapal Motor Jumlah
1 Palabuhanratu 310 155 465 2 Ujung Genteng 10 - 10 3 Ciwaru 5 - 5 4 Loji 5 - 5 5 Cisolok 87 - 87 6 Cibangban 9 - 9 7 Cisaar - 4 4 8 Binuangeun 2 8 10 9 Cilacap - 44 44 10 Pekalongan - 2 2 11 Jakarta - 16 16 12 Benoa Bali - 9 9 13 Sibolga - 1 1 14 NTT - 1 1 15 NTB - 3 3 16 Jawa Timur - 5 5 Jumlah 428 248 676 Sumber : Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu, 2006.
(2) Produksi ikan
Produksi ikan PPN Palabuhanratu sejak tahun 1993-2005 berfluktuasi setiap
tahunnya, Tabel 16 menunjukkan produksi ikan di PPN Palabuhanratu.
Berdasarkan Tabel 16, jumlah produksi semakin meningkat yakni dari 3.118.782
kg pada tahun 1993 menjadi 12.473.099 kg pada tahun 2005. Produksi ikan pada
tahun 2005 sebesar 6.600.530 kg atau 53% berasal dari pendaratan langsung di
dermaga PPN Palabuhanratu, sedangkan sisanya sebesar 5.872.569 kg atau 47%
berasal dari ikan yang masuk ke PPN Palabuhanratu melalui jalan darat.
Pada tahun 1993, tercatat ikan segar yang didistribusikan sebesar 93.240 kg
dan naik menjadi 3.397.443 kg pada tahun 2005, atau rata-rata kenaikan sebesar
30,77%. Jumlah ikan yang didistribusikan tertinggi adalah sebanyak 3.397.443 kg
pada tahun 2005 dan terendah sebanyak 52.192 kg pada tahun 1995 Sedangkan
distribusi ikan segar dari PPN Palabuhanratu sejak tahun 1993 sampai 2005
ditunjukkan seperti pada Tabel 17.
99
Tabel 16 Produksi ikan di PPN Palabuhanratu periode tahun 1993-2005
Satuan : kg Tahun Produksi ikan
didaratkan Produksi ikan
masuk pelabuhan lewat darat
Jumlah produksi
pelabuhan 1993 3.118.782 - 3.118.782 1994 3.424.725 - 3.424.725 1995 3.521.745 - 3.521.745 1996 3.386.376 - 3.386.376 1997 4.134.871 - 4.134.871 1998 2.381.967 806.223 3.188.190 1999 2.765.495 1.036.144 3.801.639 2000 2.505.091 1.010.060 3.515.151 2001 1.766.963 1.737.487 3.504.450 2002 2.890.118 985.350 3.875.468 2003 4.105.260 520.503 4.625.763 2004 3.367.517 3.036.662 6.404.179 2005 6.600.530 5.872.569 12.473.099
Jumlah 43.969.440 15.004.998 58.974.438 Rata-rata 3.382.265 1.875.625 5.257.890 Sumber : Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu, 2006.
Tabel 17 Produksi ikan segar dari PPN Palabuhanratu periode tahun 1993 -2005
Satuan : kg Tahun Produksi ikan segar
1993 93.240 1994 104.565 1995 52.192 1996 101.198 1997 191.444 1998 633.056 1999 1.187633 2000 1.100.360 2001 579.569 2002 1.384.923 2003 1.985.877 2004 1.605.468 2005 3.397.443
Rata-rata 955.158 Sumber : Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu, 2006.
100
Distribusi ikan pindang dari PPN Palabuhanratu pada periode tahun 1993-
2005 ditunjukkan seperti pada Tabel 18.
Tabel 18 Produksi ikan pindang dari PPN Palabuhanratu periode tahun 1993 – 2005
Satuan : kg
Tahun Ikan pindang
1993 59.942 1994 205.710 1995 25.783 1996 46.990 1997 270.672 1998 930.251 1999 844.678 2000 870.348 2001 777.062 2002 771.770 2003 1.222.139 2004 1.053.441 2005 1.747.187
Rata-rata 678.921 Sumber : Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu, 2006.
Rata-rata pendistribusian ikan pindang sejak tahun 1993 sampai dengan
tahun 2005 adalah 678.921 kg. Volume distribusi ikan pindang mengalami
perkembangan, yakni dari 59.942 kg pada tahun 1993, naik menjadi 1.747.187 kg
pada tahun 2005 atau rata-rata kenaikan sebesar 89,51%.
Distribusi ikan asin dari PPN Palabuhanratu pada periode tahun 1993-
2005 ditunjukkan seperti pada Tabel 19.
Ikan-ikan asin dibuat oleh pengolah ikan asin yang berada di sepanjang
pantai Sukabumi. Bahan-bahan ikan asin umumnya berasal dari PPN
Palabuhanratu yang merupakan hasil tangkapan bagan dan sebagian kecil dari
ikan-ikan hasil tangkapan pancingan. Rata-rata distribusi ikan asin dari
Palabuhanratu sebesar 326.399 kg/tahun. Kota tujuan distribusi ikan asin adalah
ke Palabuhanratu, Sukabumi, Cibadak, Cicurug, Bogor, Cianjur dan Bandung.
101
Tabel 19 Produksi ikan asin dari PPN Palabuhanratu periode tahun 1993-2005
Satuan: kg
Tahun Ikan asin
1993 15.445 1994 6.285 1995 8.600 1996 5.575 1997 10.256 1998 94.326 1999 175.866 2000 156.064 2001 364.193 2002 352.550 2003 894.054 2004 707.385 2005 1.452.585
Rata-rata 326.399 Sumber : Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu, 2006.
(2) Pelayanan logistik
Terdapat tiga kebutuhan kapal yang sangat penting untuk disediakan yaitu
BBM solar, air bersih dan es.
1) Solar
Volume pemakaian solar sejak tahun 1993 sampai dengan tahun 2005 terus
meningkat, peningkatan sangat besar terjadi pada tahun 2002 yakni meningkat
dari 1.045.000 liter tahun 2001 menjadi 4.041.110 liter pada tahun 2002 atau naik
286,71%. Pada tahun 2004, solar meningkat dari 4.821.870 liter pada tahun 2003
menjadi 10.380.781 liter, kemudian pada tahun 2005 jumlah solar yang digunakan
nelayan menurun menjadi sebesar 5.528.785 atau turun sebesar 46,74%. Pada
tahun 2005, nelayan dikejutkan terhadap adanya kenaikan harga BBM untuk kapal
ikan berukuran >30 GT dengan harga Rp 5.300 per liter (Oktober 2005),
akibatnya walaupun Pertamina telah membangun SPBB untuk melayani BBM
solar bagi kapal berukuran >30 GT, namun saat ini tetap saja nelayan mencari
harga solar yang lebih murah yakni di SPDN dan SPBU dengan harga Rp 4.300
102
per liter (Oktober 2005). Hal yang salah ini tidak akan berlangsung lama,
sehingga pemerintah harus membantu kapal-kapal ikan yang berukuran >30 GT
untuk memperoleh solar dengan harga yang sama dengan harga di SPBU.
2.6691.662 1.745 1.847 1.747 1.619 1.917
4.0414.821
10.380
5.528
1.153 1.045
0.000
2.000
4.000
6.000
8.000
10.000
12.000
1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
Tahun
Ton
Gambar 9 Kebutuhan logistik solar (BBM) di PPN Palabuhanratu periode tahun
1993 – 2004.
Pada tahun 2004 permintaan solar naik 115,29%. Kenaikan permintaan solar
tersebut sebagai akibat beroperasinya dermaga II (Gambar 9). Permasalahan yang
ada dalam menyalurkan solar untuk keperluan operasional kapal ikan sampai
dengan tahun 2002 adalah bahwa selama ini kapal-kapal ikan sudah terbiasa
membeli solar dari dua SPBU yang ada di Palabuhanratu. Kegiatan penyaluran
BBM untuk kapal ikan yang diperoleh dari SPBU melanggar peraturan yang ada
karena SPBU hanya diperuntukkan penyediaan solarnya bagi kendaraan bermotor
di darat.
Kebutuhan BBM solar untuk nelayan yang memiliki kapal berukuran <30
GT dipasok dari SPDN (Station Package Dealer untuk Nelayan). Bahan bakar
solar untuk kapal berukuran >30 GT, sebelumnya dipasok dari 2 unit SPBU yang
ada di Palabuhanratu ditambah satu buah SPBU lagi yang baru beroperasi pada
tahun 2004, namun sejak bulan Oktober 2005, kebutuhan solar untuk kapal
berukuran >30 GT juga telah dipasok dari SPBB (stasiun pengisian bahan bakar di
bunker) PPN Palabuhanratu yang dikelola oleh PT Paridi. SPBB tersebut
berlokasi di dalam pelabuhan dan dikhususkan untuk menyalurkan solar ke kapal-
kapal yang berukuran <30 GT dengan harga bersubsidi, yakni Rp 4.300/liter
(bulan Oktober 2005) atau lebih murah Rp 200,- dibandingkan dengan harga di
103
SPBU. Selama ini SPDN memperoleh DO (delivery order) solar dari Pertamina
sebanyak 160 kiloliter/bulan. Solar sebanyak itu cukup untuk kebutuhan kapal
berukuran <30 GT yang berjumlah 608 buah dengan rincian ukuran kapal 5-30
GT sebanyak 180 buah dan kapal ukuran <5 GT sebanyak 428 buah. Kebutuhan
solar setiap hari untuk kapal berukuran 30–150 GT, selama ini rata-rata 60 ton
diperoleh dari tiga buah SPBU yang ada di Palabuhanratu.
Tabel 20 Pemakaian BBM solar untuk kapal di PPN Palabuhanratu periode tahun 1993 - 2005
Satuan : liter Tahun Kebutuhan BBM 1993 1.153.640 1994 2.669.300 1995 1.662.085 1996 1.745.859 1997 1.847.490 1998 1.747.497 1999 1.619.586 2000 1.917.155 2001 1.045.000 2002 4.041.110 2003 4.821.870 2004 10.380.781 2005 5.528.785
Sumber : Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu, 2006.
2) Air
Kebutuhan air bersih untuk nelayan dipasok dari PDAM kemudian dikelola
oleh pihak PPN Palabuhanratu. Gambar 10 menunjukkan gambaran
perkembangan kebutuhan air bersih sejak tahun 1993-2005 di PPN Palabuhanratu.
Berdasarkan Gambar 10, pemakaian air meningkat tajam sampai dengan tahun
2005, yakni sebesar 6.034.700 liter atau rata-rata/hari sebanyak 16.533,42 liter.
Peningkatan penggunaan air bersih ini sebagai akibat semakin banyaknya kapal
perikanan dari luar masuk ke PPN Palabuhanratu. Permasalahan yang ada dalam
menyalurkan air bersih untuk kapal ikan adalah tidak setiap hari PDAM dapat
menyalurkan air bersih untuk keperluan kapal ikan.
104
0.70
2.084
0.99
4.749
6.035
1.5911.48
2.443
0.381.111.212
1.63 1.469
0.00
1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
6.00
7.00
1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
Tahun
Ton
Gambar 10 Perkembangan kebutuhan air di PPN Palabuhanratu periode tahun
1993-2005.
Setiap hari Senin dan Kamis, PDAM memutuskan tidak menyalurkan air ke
PPN Palabuhanratu dengan alasan belum mampu menyalurkan air bersih untuk
kebutuhan maksimal, sehingga pihak manajemen pelabuhan pada tahun 2005
telah mengadakan mobil tangki air guna menyediakan air bersih apabila PDAM
tidak menyalurkan air bersih ke PPN Palabuhanratu. Permasalahan penyediaan
air bersih sudah dapat diatasi oleh manajemen pelabuhan. Selama ini kebutuhan
air bersih di PPN Palabuhanratu digunakan untuk keperluan melaut, aktivitas
kantor, kapal, TPI dan WC umum.
Tabel 21 Kebutuhan air bersih di PPN Palabuhanratu periode tahun 1993-2005
Satuan : liter Tahun Kebutuhan air 1993 697.090 1994 1.211.890 1995 1.629.500 1996 1.469.195 1997 1.110.240 1998 2.084.000 1999 988.000 2000 2.443.000 2001 380.000 2002 1.479.900 2003 1.591.300 2004 4.749.000 2005 6.034.700
Sumber : Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu, 2006.
105
3) Es
Pemerintah seharusnya mendorong penggunaan es sebagai bahan pengawet
untuk menciptakan cold chain system dalam mempertahankan mutu ikan yang
didaratkan di pelabuhan perikanan dan untuk mencegah penggunaan formalin
sebagai bahan pengawet ikan, untuk itu perlu dilakukan sosialisasi terhadap
bahaya penggunaan formalin pada ikan dan perlu dilakukan penegakan hukum
bagi pengguna formalin. Selain itu pemerintah juga harus mengatur tentang tata
perdagangan formalin di pasar.
Penggunaan es sebagai pengawet oleh nelayan Palabuhanratu dari tahun ke
tahun semakin berkembang karena konsumen juga menghendaki ikan yang lebih
segar dan bermutu. Sejak periode tahun 1993-2004 penggunaan es meningkat
yakni dari 152.698 balok pada tahun 1993 meningkat menjadi 285.470 balok
pada tahun 2004. Peningkatan ini disebabkan penggunaan es balok oleh kapal
longline. Es disuplai oleh satu pabrik es di Palabuhanratu yang berkapasitas 1000
balok per hari, padahal kebutuhan es setiap harinya sebasar 1500 balok, sehingga
kapal-kapal yang membutuhkan es harus antri selama 3 hari di pelabuhan.
Banyak investor ingin membangun pabrik es, namun mereka masih
mempertimbangkan keberlangsungan usahanya mengingat kondisi operasional
kapal-kapal sedang mengalami penurunan akibat kenaikan harga BBM. Gambar
11 menunjukkan perkembangan pemakaian es di PPN Palabuhanratu.
152.698136.807 143.560
90.300
11.490
285.470
112.450112.335
219.595
277.704
74.632
132.740122.246
0.000
50.000
100.000
150.000
200.000
250.000
300.000
1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
Tahun
Jum
lah
(bal
ok)
Gambar 11 Perkembangan kebutuhan es di PPN Palabuhanratu periode tahun
1993-2005.
106
Tabel 22 Kebutuhan logistik es di PPN Palabuhanratu periode tahun 1993-2005
Satuan : balok Tahun Kebutuhan es 1993 152.698 1994 136.807 1995 112.335 1996 122.246 1997 132.740 1998 143.560 1999 90.300 2000 74.632 2001 11.490 2002 277.704 2003 219.595 2004 285.470 2005 112.450
Sumber : Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu, 2006.
5.2.3 Manajemen pelabuhan perikanan
Pengelolaan pelabuhan perikanan tergantung antara lain kepada aspek
legalitas, organisasi, tata hubungan kerja, kondisi sumberdaya manusia, standard
operational procedure (SOP) dan pelayanan.
(1) Legalitas pelabuhan perikanan
Sejak tahun 1974, yakni permulaan adanya pelabuhan perikanan di
Indonesia sampai dengan tahun 2004, peraturan yang mengatur mengenai
pelabuhan perikanan belum ada, walaupun UU No.9 tahun 1985 tentang
Perikanan menyebutkan antara lain bahwa pelabuhan perikanan dibina oleh
pemerintah, namun sampai tahun 2004 peraturan pemerintah tentang pelabuhan
perikanan belum diterbitkan sehingga pembangunan dan operasional pelabuhan
sangat tergantung kepada aturan yang dikeluarkan oleh menteri perhubungan.
Sejak tahun 2004 telah ada pengaturan tentang pelabuhan perikanan yakni pada
UU No.31 tahun 2004 tentang Perikanan serta telah dikeluarkannya peraturan
Menteri Kelautan dan Perikanan No.PER.16/MEN/2006 tanggal 23 Juni 2006.
Selain itu terdapat pula peraturan lain yakni :
107
1) Peraturan Pemerintah No.19 Tahun 2006 tentang perubahan atas Peraturan
Pemerintah No.62 tahun 2002 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara
Bukan Pajak (PNBP).
2) Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No.46/MEN/2002 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Pelabuhan Perikanan.
3) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.Per.17/MEN/2006 tentang
Usaha Perikanan Tangkap.
(2) Organisasi pelabuhan perikanan
Didalam Surat Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan RI No.
KEP.26.I/MEN/2001 tanggal 1 Mei 2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Pelabuhan Perikanan, telah ditetapkan bahwa susunan organisasi PPN
Palabuhanratu adalah sebagai berikut :
1) Kepala pelabuhan perikanan, yang mempunyai wewenang melaksanakan tugas
pokok dan fungsi pelabuhan perikanan dan bertanggung jawab terhadap
pembangunan dan operasional pelabuhan.
2) Sub Bagian Tata Usaha, yang mempunyai wewenang melakukan administrasi
keuangan, kepegawaian, persuratan, kearsipan, perlengkapan dan rumah
tangga, pelaporan dan pengembangan serta pengelolaan informasi dan
publikasi perikanan.
3) Seksi Tata Pengusahaan, yang bertugas untuk melakukan pembangunan,
pemeliharaan, pengembangan dan pendayagunaan sarana dan prasarana,
pelayanan jasa, fasilitasi usaha dan wisata bahari, pemberdayaan masyarakat
perikanan, koordinasi peningkatan produksi hasil perikanan, pengendalian
lingkungan, koordinasi urusan keamanan dan ketertiban serta pelaksanaan
kebersihan kawasan pelabuhan perikanan.
4) Seksi Tata Pelayanan, yang bertugas melakukan pelayanan teknis kapal
perikanan dan kesyahbandaran perikanan, memfasilitasi pemasaran dan
distribusi hasil perikanan, pengumpulan, pengolahan dan penyajian data dan
statistik perikanan serta pengembangan dan pengelolaan sistem informasi
perikanan.
5) Kelompok jabatan fungsional, yang terdiri dari jabatan fungsional pengawas
penangkapan yang mempunyai tugas melakukan kegiatan pengawasan
108
penangkapan ikan serta jabatan fungsional kehumasan yang mempunyai tugas
untuk menyampaikan informasi berkaitan dengan fungsi-fungsi
kepelabuhanan.
Struktur organisasi PPN Palabuhanratu dapat dilihat pada Lampiran 4.
(3) Tata hubungan kerja
Di wilayah PPN Palabuhanratu terdapat beberapa lembaga yang terkait
dengan pengelolaan wilayah pelabuhan yang masing-masing mempunyai
kewenangan yang berbeda. PPN Palabuhanratu berkewajiban mengkoordinasikan
segenap kegiatan yang dilakukan oleh instansi terkait agar lebih bersinergi untuk
mencapai tujuan. Instansi tersebut antara lain adalah :
1) UPT Pelabuhan Perikanan
UPT pelabuhan perikanan mempunyai wewenang
(a) Menyelenggarakan pembangunan, pengembangan, pemeliharaan dan
pengelolaan sarana pokok dan penunjang yang menjadi aset pemerintah.
(b) Menyelenggarakan pelayanan teknis terhadap kapal perikanan.
(c) Menyelenggarakan keamanan, ketertiban dan kebersihan di pelabuhan
perikanan.
(d) Menyelenggarakan fungsi kesyahbandaran.
(e) Mengkoordinasikan kegiatan instansi terkait di pelabuhan.
2) Dinas Perikanan
Dinas perikanan mempunyai wewenang dan tanggung jawab melaksanakan
pembinaan teknis perikanan sesuai dengan kewenangan pemerintah daerah
dibidang perikanan
3) Kesehatan Pelabuhan
Kesehatan pelabuhan mempunyai wewenang dan tanggung jawab melakukan
penanganan dan pengawasan kesehatan di pelabuhan.
4) POLISI AIR
Polisi air mempunyai wewenang dan tanggung jawab melaksanakan
penangkapan, penyidikan dan penanggulangan kasus-kasus kejahatan
umum/kriminal.
109
5) TNI Angkatan Laut
TNI AL mempunyai wewenang menjaga pertahanan dan keamanan laut
termasuk melakukan upaya hukum terhadap pelanggaran perikanan di laut.
(4) Sumberdaya manusia
Jumlah pegawai PPN Palabuhanratu saat ini sebanyak 69 orang yang terdiri
dari 57 orang PNS dan 12 orang pegawai honorer. Secara terperinci komposisi
pegawai PPN Palabuhanratu disajikan pada Tabel 23.
Tabel 23 Komposisi pegawai PPN Palabuhanratu berdasarkan pendidikan
Satuan : orang PENDIDIKAN Unit kerja S2 S1 D4 D3 SLTA SLTP SD TSD Jumlah
Kepala pelabuhan 1 - - - - - - - 1Subbag. Tata Usaha 1 1 - - 7 1 1 - 11Seksi Tata Pelayanan - 4 1 2 12 - - - 19Seksi Tata Pengusahaan 1 1 2 - 19 - 3 - 26Honorer - - 1 - 2 1 1 7 12Jumlah 3 6 4 2 40 2 5 7 69
Sumber : Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu, 2005 Keterangan : TSD = Tidak Tamat SD (5) Standard operational procedure (SOP)
Beberapa SOP yang telah dipersiapkan oleh PPN Palabuhanratu antara lain
adalah: operasional pelelangan ikan, operasional bengkel, operasional alat berat,
operasional tambat labuh, operasional K3 (kebersihan, keindahan dan ketertiban),
operasional sewa tanah, gedung bangunan, operasional instalasi air bersih,
instalasi BBM, aliran dari barang (flow of goods), aliran orang (flow of person)
dan tata tertib lainnya seperti keluar masuk kapal.
5.3 Arah Pengembangan PPN Palabuhanratu
5.3.1 Potensi sumberdaya ikan dan daerah penangkapan kapal-kapal dari Palabuhanratu
(1) Sumberdaya ikan
Menurut Pusat Riset Perikanan Tangkap dan Pusat Penelitian dan
Pengembangan Oseanologi (2005), bahwa kelompok ikan pelagis besar di
perairan Samudera Hindia (WPP 9) masih besar peluang untuk dimanfaatkan,
110
karena baru dimanfaatkan sebesar 188.280 ton atau 51,41% dari potensi sebesar
366.260 ton/tahun. Begitu juga untuk kelompok ikan pelagis kecil baru
dimanfaatkan sebesar 264.560 ton atau 50,44% dari potensi sebesar 526.570
ton/tahun. Jenis-jenis ikan pelagis besar yang dominan didaratkan di PPN
Palabuhanratu adalah tuna, cakalang, tenggiri, layaran, tongkol, jangilus, namun
jenis ikan yang merupakan komoditas ekspor adalah ikan tuna dan cakalang, serta
ikan layur yaitu jenis ikan demersal.
Dalam kaitan pengembangan PPN Palabuhanratu, maka pemanfaatan
sumberdaya ikan diarahkan untuk memanfaatkan kelompok SDI pelagis besar,
pelagis kecil dan demersal.
Pendaratan ikan di PPN Palabuhanratu tahun 2005 tercatat sebanyak 67%
terdiri dari jenis ikan pelagis besar, 8% jenis ikan pelagis kecil, 21% jenis ikan
demersal dan 4% jenis ikan lainnya dari produksi sebesar 6.601 ton. Sehingga
arah ke depan dalam pemanfaatan SDI untuk jenis-jenis ikan, sama dengan
kondisi saat ini, yakni lebih mengutamakan untuk memanfaatkan jenis ikan
pelagis besar. Jenis-jenis ikan utama yang akan dimanfaatkan adalah tuna
albacora, tuna big eye, tuna yellowfin, cakalang, tongkol, layur.
Unit penangkapan ikan yang prospek untuk dikembangkan adalah unit
penangkapan ikan tuna longline, hal ini sesuai dengan hasil kajian PPN
Palabuhanratu (2006) bahwa longline adalah unit alat penangkapan ikan yang
paling produktif. Unit penangkapan ikan tuna longline sejak tahun 2003 telah
dimulai penggunaannya di PPN Palabuhanratu bersamaan dengan adanya kolam II
yang dapat mengakomodir kapal-kapal tuna longline berukuran 30-150 GT.
Adapun produksi ikan tuna hasil tangkapan longline dan frekuensi kapal tuna
longline yang mendaratkan ikan tuna periode tahun 2003 – 2006 seperti Tabel 24.
Berdasarkan Tabel 24, bahwa dalam kurun waktu tahun 2003-2005, jumlah
produksi tuna tertinggi terjadi pada tahun 2005 sebesar 1.472.457 kg dan produksi
terendah terjadi pada tahun 2003 yang disebabkan oleh pertama kalinya kapal tuna
longline mendarat di PPN Palabuhanratu. Ikan tuna yang paling banyak
didaratkan di PPN Palabuhanratu berdasarkan jenis pada tahun 2006 adalah tuna
yellow fin. Menurut Fuji Kizae (1960) yang diacu oleh Nurani et al. (2007) bahwa
111
fishing ground tuna untuk bigeye, yellowfin, albacore, swordfish, dan sedikit jenis
sailfish dan southern bluefin berada di Samudera Hindia.
Tabel 24 Produksi, frekuensi kapal dan CPUE unit penangkapan tuna longline di PPN Palabuhanratu periode tahun 2003-2006
Tahun Frekuensi kapal tuna longline yang mendaratkan ikan (kali) Produksi (kg) CPUE
2003 164 449.378 2.740,112004 281 710.131 2.527,162005 579 1.472.457 2.543,102006 223 1.244.068 5.578,78
Rata-rata 311.75 969.008,5 3.347,29Sumber : Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu, 2006.
Adapun perkembangan upaya penangkapan (CPUE) tuna longliner seperti
pada Gambar 12. Berdasarkan Gambar 12 terlihat bahwa sejak tahun 2003 sampai
dengan 2006, secara umum grafik CPUE menunjukkan kenaikan, walaupun pada
tahun 2004 terjadi penurunan yang disebabkan oleh berkurangnya musim ikan
tuna di Samudera Hindia. Kenaikan CPUE terbesar terjadi pada tahun 2006
disebabkan oleh musim ikan tuna di Samudera Hindia.
5578.78
2543.102527.16
2740.11
0
1000
2000
3000
4000
5000
6000
2003 2004 2005 2006
Tahun
Nila
i CPU
E
Gambar 12 CPUE unit tuna longline di PPN Palabuhanratu periode tahun 2003-2006.
112
Adanya kenaikan nilai CPUE untuk unit tuna longline mengindikasikan
bahwa unit alat tangkap tuna longline masih berpeluang untuk dikembangkan
guna mendukung arah pengembangan PPN Palabuhanratu.
(2) Daerah penangkapan ikan nelayan Palabuhanratu
Kapal-kapal nelayan dari Palabuhanratu menangkap ikan di WPP 9
(Samudera Hindia), namun demikian tidak semua WPP 9 dijadikan daerah
penangkapan ikan karena perairan WPP 9 sangat luas yang membentang dari
perairan laut di Propinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD) sampai ke perairan
laut Nusa Tenggara Timur. Jauhnya daerah penangkapan ikan yang ditempuh
tergantung antara lain pada ukuran kapal dan kapasitas mesin kapal yang dimiliki
nelayan (Tabel 25).
Daerah penangkapan ikan untuk kapal perahu motor tempel (< 5 GT) yang
menggunakan jenis alat tangkap payang, pancing ulur, rampus, jaring klitik dan
trammel net, berada di Teluk Palabuhanratu (jalur penangkapan ikan I sepanjang
0-3 mil laut) yang jarak operasinya sekitar 2 jam. Kapal-kapal ini dalam operasi
umumnya tidak membawa es karena lamanya operasi penangkapan hanya satu
hari (one day fishing). Hasil tangkapan ikan ditempatkan di dalam box styrofoam.
Jenis-jenis ikan yang tertangkap khususnya oleh kapal yang menggunakan alat
tangkap payang adalah ikan cakalang, pepetek dan ikan pelagis kecil lainnya.
Pancing ulur biasanya bergabung dengan alat tangkap jaring. Jenis ikan yang
tertangkap lebih dominan adalah ikan layur. Kapal dengan alat tangkap trammel
net memiliki daerah penangkapan di muara sungai untuk menangkap udang.
Daerah penangkapan ikan untuk kapal motor <10 GT yang menggunakan
jaring purse seine, bagan, gillnet, pancing ulur dan rawai memiliki daerah
penangkapan di Teluk Palabuhanratu, Ujung Genteng, Cidaun dan Ujung Kulon
yang berjarak sekitar 2-4 jam (jalur penangkapan ikan I sepanjang 3-6 mil laut
dan jalur penangkapan ikan II, sepanjang >6 mil laut). Jenis-jenis ikan yang
tertangkap, khusus untuk purse seine adalah ikan cakalang dan ikan pelagis kecil
lainnya. Bagan apung tersebar di dalam teluk, jenis ikan yang tertangkap oleh
bagan adalah jenis ikan-ikan pelagis kecil. Bagan saat ini menjadi alat yang
sangat tidak ramah lingkungan karena menggunakan jaring dengan mata jaring
113
yang sangat kecil (< 2 inci) yang mengakibatkan tertangkapnya semua ukuran
ikan.
Tabel 25 Daerah penangkapan ikan dari kapal yang mendaratkan hasil tangkapannya di PPN Palabuhanratu tahun 2004
No
Jenis/ukuran
kapal
Jenis alat tangkap
Daerah penangkapan ikan
Payang Teluk Palabuhanratu Pancing ulur Teluk Palabuhanratu Rampus Teluk Palabuhanratu Jaring klitik Teluk Palabuhanratu
1
Perahu Motor Tempel ( PMT)
Trammel net Teluk Palabuhanratu Purse seine Teluk Palabuhanratu, Ujung Genteng Bagan Teluk Palabuhanratu Gillnet Ujung Genteng, Cidaun, Ujung Kulon
(Perairan Selatan Jawa) Pancing ulur Teluk Palabuhanratu, Ujung Genteng
2 Kapal Motor (KM) < 10 GT
Rawai Teluk Palabuhanratu, Ujung Genteng Gillnet Sumatera, Jawa Tengah 3 Kapal Motor
(KM) 11 - 20 GT
Rawai Sumatera
Gillnet Sumatera, Jawa Tengah 4 Kapal Motor (KM)
21 - 30 GT Rawai Sumatera
Gillnet Sumatera, Jawa Tengah Rawai Sumatera, Jawa Tengah
5 Kapal Motor (KM)
> 30 GT Tuna long line
Samudra Hindia
Sumber : Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu, 2006.
Kapal motor yang berukuran 11 - >30 GT (jalur penangkapan ikan II
sepanjang >6-12 mil laut dan jalur penangkapan ikan III sepanjang >12-200 mil
laut) dengan alat tangkap gillnet dan rawai memiliki daerah penangkapan sampai
ke daerah Sumatera, Samudera Hindia dan Jawa Tengah, bahkan kadang-kadang
menangkap ikan sampai ke perairan Pulau Christmas (Australia). Jarak tempuh ke
daerah penangkapan sekitar 2-4 hari perjalanan. Jenis-jenis ikan yang tertangkap
di daerah tersebut adalah ikan cakalang, tuna, marlin, pari, cucut dan layaran.
Kapal motor berukuran 11- >30 GT umumnya telah memiliki dokumen kapal
yang cukup lengkap, namun banyak kapal-kapal ini tidak memiliki kompas dan
114
peta laut sehingga seringkali menangkap ikan pada wilayah negara lain seperti
Australia.
Permasalahan yang muncul didalam memanfaatkan sumberdaya ikan adalah
tidak ditaatinya ketentuan jalur penangkapan ikan menurut SK Menteri Pertanian
No.392/kpts/IK.120/4/99 sehingga menyebabkan terjadinya konflik antara
nelayan gillnet, payang dengan nelayan longline. Berdasarkan hasil wawancara
dengan nelayan diperoleh informasi bahwa pada tahun 2006 terjadi konflik antara
nelayan gillnet dengan nelayan yang memanfaatkan rumpon, namun telah dapat
diredam konflik tersebut dengan cara mengajak semua nelayan untuk
memanfaatkan rumpon berdasarkan tata tertib yang disepakati. Permasalahan lain
adalah belum tertibnya kapal-kapal dari luar Palabuhanratu mengurus surat ijin
andon kapal dari Dinas Perikanan setempat sehingga hal ini akan berpotensi
menimbulkan konflik.
5.3.2 Faktor-faktor pendukung pengembangan PPN Palabuhanratu
Terdapat beberapa indikasi bahwa PPN Palabuhanratu perlu untuk
dikembangkan yakni berdasarkan lokasi sektor basis (LQ) yang memiliki
komoditas untuk dapat diekspor seperti ikan tuna, indeks relatif nilai produksi (I),
kepadatan kolam pelabuhan. Kemudian perlu ditentukan solusi permasalahan
pengembangan PPN Palabuhanratu dan jenis-jenis fasilitas yang diperlukan,
kekuatan persaingan PPN Palabuhanratu dibandingkan dengan pelabuhan
perikanan lain di WPP 9 Samudera Hindia.
(1) Kapal perikanan di WPP 9 Samudera Hindia
Menurut Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (2003), bahwa terdapat 13
propinsi yang menghadap WPP 9 Samudera Hindia, yakni: Nangroe Aceh
Darussalam, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu, Lampung, Banten, Jawa
Barat, Jawa Tengah, DI. Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, NTB, dan NTT.
Selanjutnya didalam 13 provinsi tersebut ada sebanyak 65 kabupaten, dan 216
pelabuhan perikanan yang mempunyai kontribusi dalam memanfaatkan
sumberdaya ikan di perairan WPP 9 termasuk kapal-kapal dari DKI Jakarta,
disamping itu juga menurut informasi beberapa nelayan yang diperoleh dari
115
wawancara menyatakan bahwa terdapat kapal-kapal nelayan negara asing yang
ikut memanfaatkan secara ilegal penangkapan ikan.
Jumlah kapal dari 13 provinsi yang memanfaatkan sumberdaya ikan di WPP
9 Samudera Hindia seperti Tabel 26.
Tabel 26 Jumlah perahu/kapal perikanan laut menurut daerah perairan pantai dan provinsi di WPP 9 Samudera Hindia, 2004
Satuan: unit
No Perairan Pantai Kapal ukuran 30-100 GT
Kapal ukuran 100->1000
GT
Jumlah kapal provinsi semua ukuran
1 Barat Sumatera NAD Sumatera Utara Sumatera Barat Bengkulu Lampung
93 - 83 -
10 -
9 - 9 - - -
28.925 9.216 9.122 6.897 2.924 766
2 Selatan Jawa Banten Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur
59 -
6 48 2 3
29 -
5 24
- -
19.143 1.586 3.475 3.211 527
10.3443 Bali-Nusatenggara
Bali Nusa Teng.Barat Nusa Teng.Timur
169
157 9
3
107
107 -
-
63.779
13.363 19.916
30.500
4 DKI Jakarta 919 1.166 6.614
Jumlah 1.240 1.311 118.461 Sumber: Ditjen. Perikanan Tangkap, 2006.
Jumlah kapal yang memanfaatkan SDI di WPP 9 tahun 2004 sebanyak
118.461 unit, yakni tersebar di Pantai Barat Sumatera sebanyak 28.925 unit dan
93 unit diantaranya berukuran 30 – 100 GT dan 9 unit berukuran 100-1000 GT,
di Selatan Jawa sebanyak 19.143 unit diantaranya berukuran 30–100 GT sebanyak
59 unit dan berukuran 100-1000 GT sebanyak 29 unit, di perairan Bali-Nusa
Tenggara sebanyak 63.779 unit, diantaranya berukuran 30–100 GT sebanyak 169
116
unit dan berukuran 100-1000 GT sebanyak 107 unit, dan dari DKI Jakarta
sebanyak 6.614 unit diantaranya berukuran 30 – 100 GT sebanyak 919 unit dan
kapal ukuran 100->1000 GT 1.166 unit. Jumlah kapal berukuran 30 – 100 GT
dari WPP 9 tersebut yang berpeluang mendarat di PPN Palabuhanratu yang akan
dikembangkan tersebut sebanyak 1.240 unit (Gambar 13). Menurut Triatmojo
(1996) menyebutkan bahwa kapal sebagai sarana pelayaran mempunyai peran
sangat penting didalam sistem angkutan laut.
(2) Pelabuhan perikanan di WPP 9 Samudera Hindia
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.Kep.11/ Men/ 2004 tentang
Pelabuhan Pangkalan Bagi Kapal Perikanan, menetapkan lokasi pelabuhan
pangkalan bagi kapal yang daerah penangkapannya di WPP 9 Samudera Hindia,
adalah: Pelabuhan Perikanan Sabang-NAD, PPN Sibolga-Sumatera Utara, PPP
Pulau Tello-Sumatera Utara, PPS Bungus-Sumatera Barat, PPI Pulai Baai-
Bengkulu, PPS Nizam Zachman Jakarta, PPN Palabuhanratu-Jawa Barat, PPS
Cilacap-Jawa Tengah, PPI Sadeng-Yogyakarta, PPI Muncar-Jawa Timur, PPN
Prigi-Jawa Timur, PPI Pengambengan-Bali dan Pelabuhan Umum di Benoa-Bali.
Pelabuhan-pelabuhan tersebut menjadi pesaing bagi PPN Palabuhanratu
yang dikembangkan. Namun dari 12 pelabuhan perikanan tersebut yang dapat
didarati oleh kapal >30 GT dan merupakan pesaing bagi PPN Palabuhanratu
adalah PP Sabang, PPS Bungus, PPP Pulau Tello, PPS Nizam Zachman Jakarta,
PPS Cilacap, dan Pelabuhan Umum Benoa, atau dua diantaranya berada di Selatan
Jawa yaitu PPN Palabuhanratu dan PPS Cilacap. Jumlah PP/PPI yang merupakan
basis kapal-kapal penangkapan ikan terdapat 216 unit (Gambar 14) yang
menghadap Samudera Hindia, maka Jawa Timur memiliki jumlah PPI/PP yang
paling banyak, yakni 24 PPI/PP (11,11%), Jawa Barat 23 PPI/PP (10,65%), Jawa
Tengah memiliki 22 PPI/PP (10,18%), dan NTB memiliki 21 PPI/PP (9,7%).
Menurut Pane et al. (2005), bahwa aktivitas perikanan tangkap pulau Jawa
terkonsenterasi di wilayah Pantai Utara Jawa dan selebihnya di Pantai Selatan
Jawa, sehingga perlu ada upaya untuk menyeimbangkan aktivitas perikanan antara
lain dengan mengembangkan perikanan dan pelabuhan perikanan di Selatan Jawa.
117
20° 20°
15° 15°
10° 10°
5°
5°
0°
0°
5°
5°
10° 10°
15° 15°
20° 20°
90 °
90°
95°
95°
100°
100°
105°
105°
110°
110°
115°
115°
120°
120°
125°
125°
130°
130°
135°
135°
140°
140°
N
EW
S
Gambar 13 Jumlah perahu/kapal perikanan laut menurut daerah perairan pantai dan provinsi di WPP 9 Samudera Hindia tahun 2004 (Sumber : Ditjen Perikanan Tangkap, 2006).
0 B
0 A
Jml U
9 B
83 A
Jml U
0 B
10 A
Jml U
0 B
0 A
Jml U
0 B
0 A
Jml U
1.166 B
919 A
Jml U
5 B
6 A
Jml U
24 B
48 A
Jml U
0B
2A
JmlU
0 B
3 A
Jml U
107 B
157 A
Jml U
0B
9A
JmlU
0B
3A
JmlU
0 B
0 A
Jml U
Keterangan :U : Ukuran kapal A : 30 – 100 GT : 1.240 UNIT B : > 100 GT : 1.311 UNIT TOTAL : 2.551 UNIT
117
Sabang
Sibolga
Bungus
Jakarta
P. Ratu Cilacap Prigi
P.Tello
P.Baai
Benoa Kupang
118
20° 20°
15° 15°
10° 10°
5°
5°
0°
0°
5°
5°
10° 10°
15° 15°
20° 20°
90 °
90°
95°
95°
100°
100°
105°
105°
110°
110°
115°
115°
120°
120°
125°
125°
130°
130°
135°
135°
140°
140°
N
EW
S
Gambar 14 Jumlah pelabuhan perikanan dan pangkalan pendaratan ikan yang berada di WPP 9 Samudera Hindia tahun 2004 (Sumber : Ditjen. Perikanan Tangkap, 2006).
0 B
0 A
24 D
1 C
Jml P
1 B
0 A
2 D
1 C
Jml P
0B
1 A
19D
0 C
JmlP
0 B
0 A
12 D
0 C
Jml P
0B
0A
10D
0C
JmlP
0 B
0 A
13 D
0 C
Jml P
0 B
1 A
0 D
0 C
Jml P
1B
0A
22D
0C
JmlP
0B
1A
21D
0C
JmlP
0B
0A
19D
0C
JmlP
1 B
0 A
23 D
0 C
Jml P
0B
0A
11D
0C
JmlP
0B
0A
21D
0C
JmlP
0B
0A
10D
1C
JmlP
Keterangan : P : Jenis Pelabuhan A : PPS : 3 B : PPN : 3 C : PPP : 3 D : PPI : 207 TOTAL : 216 PP PP DIDARATI KAPAL >30 GT : 11 PP
118
Sibolga
Bungus
Jakarta
P. Ratu Cilacap Prigi
Sabang
P.Tello
P.Baai
Benoa Kupang
119
(3) Pergerakan kapal dari PPN Palabuhanratu
Adapun hubungan PPN Palabuhanratu dengan fishing ground dijelaskan
sebagai berikut (Gambar 15):
Gambar 15 Pergerakan kapal perikanan dari PPN Palabuhanratu dan fishing
ground.
Keterangan gambar:
Kapal menuju fishing ground
Kapal menjual ikan
= Kapal berasal dari PPN Palabuhanratu berangkat ke fishing ground (WPP 9 ), mendaratkan ikan di PPN Palabuhanratu.
= Kapal berasal dari PPN Palabuhanratu berangkat ke fishing ground, mendaratkan ikan di tempat lain.
= Kapal berasal dari PPN Palabuhanratu berangkat ke fishing ground, menjual ikan di tengah laut mendarat di PPN Palabuhanratu.
= Kapal berasal dari PPN Palabuhanratu berangkat ke fishing ground, mendaratkan atau menjual ikan di pelabuhan perikanan atau PPI asal kapal atau pelabuhan perikanan lainnya atau di tengah laut.
= Kapal berasal dari tempat lain ke fishing ground, mendaratkan atau menjual ikan di PPN Palabuhanratu.
PPN Palabuhanratu
Cilacap, Jakarta, Binuangeun, P.Baai, Ujung Genteng, Lempasing
Fishing ground di WPP 9 Samudera Hindia
1
4
2
3
5
1
2
3
4
5
120
1) Kapal berasal dari PPN Palabuhanratu berangkat ke fishing ground, kemudian mendaratkan ikan di PPN Palabuhanratu.
Kapal-kapal jenis motor tempel berukuran <5 GT dengan alat tangkap
bagan, payang, pancing ulur, jaring rampus, jaring klitik, dan jaring dogol
yang berjumlah 266 unit (tahun 2004) melakukan operasi penangkapan ikan
harian (one day fishing) hanya di sekitar perairan pantai Sukabumi/Teluk
Palabuhanratu dengan lama tempuh dari PPN Palabuhanratu ke daerah
penangkapan ikan antara 1 – 2 jam. Musim penangkapan ikan untuk alat-alat
tersebut tergantung kepada banyaknya keberadaan ikan di laut, dan kondisi
gelombang, ombak dan angin. Walaupun musim barat, ternyata kapal-kapal
ukuran kecil ini banyak juga melakukan operasi penangkapan ikan, mungkin
mereka sudah terbiasa dengan kondisi musim barat.
Jumlah nelayan per unit penangkapan ikan antara 1–3 orang. Mereka
melaut membawa es setengah balok yang dimasukkan ke dalam box
styrofoam. BBM yang digunakan adalah bensin dan minyak tanah yang
mudah diperoleh di pelabuhan. Jenis ikan yang didaratkan berupa ikan layur,
kakap merah, kerapu, baronang, kuwe, udang, lobster, cumi-cumi, teri,
selayang dan kembung. Karena operasi penangkapannya one day fishing,
maka ikan yang didaratkan masih segar dan disukai oleh sea food restaurant.
Produksi ikan yang didaratkan oleh perahu motor tempel ini pada tahun 2004
sebanyak 1.377.854 kg atau 40,92% dari jumlah produksinya sebesar
3.367.517 kg, Pasarnya cukup bagus dan banyak penampungnya di PPN
Palabuhanratu, maka mereka tidak pernah menjual hasil tangkapannya ke
tempat pendaratan ikan lain atau menjualnya di tengah laut. Selain alasan itu,
umumnya nelayan kecil ini sudah terikat kepada pemodal/tengkulak/rentenir
dalam menjual hasil tangkapan ikannya. Dengan terikatnya nelayan kepada
tengkulak, maka sistem pelelangan ikan tidak berfungsi sehingga gedung
pelelangan ikan tidak berfungsi optimal. Akibat keterikatan nelayan kepada
tengkulak, maka nelayan tidak memperoleh harga jual ikan yang normal.
Sampai saat ini belum ada satu lembaga atau aturan pun yang dapat membantu
melepaskan keterikatan nelayan terhadap tengkulak, walaupun sudah ada
121
upaya pemerintah memberikan jaminan kredit kepada nelayan melalui
perbankan.
2) Kapal-kapal yang berasal dari PPN Palabuhanratu berangkat ke fishing ground, kemudian mendaratkan ikan di pelabuhan perikanan lain
Kapal motor berukuran 5-10 GT dengan alat tangkap purse seine, gill
net dan rawai melakukan operasi penangkapan ikan dengan lama operasi
sekitar seminggu di Teluk Palabuhanratu, Ujung Genteng, Cidaun, dan Ujung
Kulon. Waktu tempuh ke daerah penangkapan ikan sekitar 3–5 jam. Jumlah
ABK sebanyak 4–10 orang. Sewaktu ke laut mereka mengisi BBM solar
sekitar 600 liter, air bersih sebanyak 100 liter, dan es sebanyak 20 balok.
Semua kebutuhan melaut mereka peroleh di pelabuhan. Frekuensi keluar
kapal motor berukuran 5-10 GT pada tahun 2004 tercatat untuk unit
penangkapan purse seine sebanyak 1119 kali atau rata-rata sebulan sebanyak
93 kali, unit alat tangkap gillnet sebanyak 483 kali atau rata-rata sebulan
sebanyak 40 kali dan unit alat tangkap pancing/rawai sebanyak 1017 setahun
atau rata-rata sebulan sebanyak 85 kali. Frekuensi kapal masuk untuk kapal
ukuran 5-10 GT pada tahun 2004 sebanyak 187 kali untuk jenis unit alat
tangkap purse seine atau rata-rata 16 kali sebulan, sedikitnya unit alat tangkap
purse seine masuk kembali ke Palabuhanratu disebabkan antara lain
banyaknya kapal purse seine mendarat di tempat lain misalnya di Sibolga
karena kapal purse seine melakukan penangkapan ikan pada fishing ground
yang dekat dengan Sibolga.
Unit alat tangkap gillnet sebanyak 1603 kali atau 134 kali sebulan dan
unit alat tangkap pancing/rawai sebanyak 355 kali setahun atau atau rata-rata
30 kali sebulan. Setelah mereka memperoleh hasil tangkapan berupa ikan
tuna, cakalang, tongkol, layur dan jenis ikan pelagis lainnya, maka sebagian
didaratkan di PPN Palabuhanratu dan ada sebagian menjual/mendaratkan
hasil tangkapan ikan ke tempat pendaratan lain seperti di daerah Binuangeun
atau ke Ujung Genteng. Umumnya kapal dari Palabuhanratu yang
mendaratkan hasil tangkapan ke daerah lain dengan alasan harga dan layanan
di TPI di luar Palabuhanratu lebih baik.
122
Kapal motor ukuran 10-30 GT dengan alat tangkap gillnet, rawai dan purse
seine mengisi perbekalan melaut berupa solar, es, air bersih dan makanan di
PPN Palabuhanratu. Setelah melakukan operasi penangkapan ikan selama
7–14 hari, hasil tangkapannya didaratkan di PPI Binuangeun (Banten) atau
PPI Pulau Baai (Bengkulu) atau PPI Lempasing (Lampung). Jumlah kapal
ukuran 10–30 GT yang melakukan kegiatan seperti ini berjumlah 5 unit kapal.
Kegiatannya tidak berlangsung lama, hanya sewaktu-waktu saja tergantung
pada harga ikan. Apabila harga ikan lebih baik di luar PPN Palabuhanratu,
maka kapal-kapal tersebut akan mendaratkan hasil tangkapannya ke
pelabuhan di luar PPN Palabuhanratu.
3) Kapal-kapal yang berasal dari PPN Palabuhanratu berangkat ke fishing ground, kemudian mendaratkan/menjual ikan di tengah laut.
Menurut informasi dari beberapa orang nelayan bahwa kapal-kapal
ukuran 10-30 GT dijalankan oleh ABK yang ditunjuk oleh pemilik kapal
(juragan), dari PPN Palabuhanratu kapal tersebut berangkat ke fishing ground,
hasil tangkapannya dijual kepada kapal-kapal lain di tengah laut tanpa
sepengetahuan pemilik kapal. Jumlah kapal seperti ini sedikit sekali (5 unit
kapal). Kegiatan ini terjadi karena ABK yang menjalankan kapal tersebut
ingin mendapatkan penghasilan lebih, akibatnya pemilik kapal sangat
dirugikan.
Kapal motor berukuran 10-30 GT dengan alat tangkap gillnet dan rawai
dengan lama operasi sampai 3 minggu mempunyai daerah pangkapan ikan di
perairan Lampung, Bengkulu, Jawa Barat Bagian Selatan dan Jawa Tengah
bagian Selatan. Waktu tempuh ke daerah penangkapan ikan antara 2-4 hari.
Jumlah ABK sebanyak 5-6 orang. Semua kebutuhan BBM, air bersih dan es
diperoleh di PPN Palabuhanratu. Sebagian kapal jenis ini setelah melakukan
operasi penangkapan akan mendaratkan hasil tangkapannya berupa ikan tuna,
cakalang, tongkol, tenggiri, layur, cucut dan jenis ikan pelagis lainnya di PPI
lain seperti di Lampung dan Bengkulu, atau ke Binuangeun. Sebagian lagi
mendaratkan hasil tangkapan ikannya ke PPN Palabuhanratu.
Mutu ikan yang didaratkan umumnya sudah menurun, dikarenakan tidak
sempurnanya palkah kapal dan buruknya penanganan ikan pasca
123
penangkapan. Frekuensi kapal keluar pada tahun 2004 untuk ukuran kapal 10-
30 GT dengan alat tangkap gillnet sebanyak 147 kali dan rawai sebanyak 9
kali. Frekuensi kapal masuk pada tahun 2004 untuk ukuran 10-30 GT
sebanyak 200 kali, rawai sebanyak 54 kali.
4) Kapal-kapal yang berasal dari PPN Palabuhanratu berangkat ke fishing ground, kemudian mendaratkan/menjual ikan di PPN Palabuhanratu atau pelabuhan perikanan/pangkalan pendaratan ikan lainnya atau di tengah laut.
Kapal berukuran 30-150 GT dengan alat tangkap gillnet, rawai dan long
line dengan lama operasi 2 sampai 3 bulan melakukan penangkapan ikan ke
Perairan Pantai Selatan Jawa Barat, Jawa Tengah, Lampung, Bengkulu,
Sumatera Barat dan Sumatera Utara. Waktu tempuh ke daerah penangkapan
ikan selama 4-5 hari. Frekuensi kapal masuk selama tahun 2004 rata-rata 27
kali per bulan (Lampiran 5) dan keluar sebanyak 24 kali per bulan (Lampiran
6). Semua kapal jenis ini sudah memiliki kelompok tangkapan, yakni mereka
sudah memiliki kapal khusus untuk mengumpulkan hasil tangkapan ikan.
Kapal-kapal tangkapan akan berkomunikasi melalui radio SSB dengan kapal
pengumpul setelah hasil tangkapannya diperoleh, kemudian kapal pengumpul
membawanya ke PPN Palabuhanratu. Semua hasil tangkapan yang
dikumpulkan tersebut sudah didata oleh kapal pengumpul untuk disampaikan
kepada petugas produksi/statistik di PPN Palabuhanratu terutama dalam
pengisian log book. Terdapat juga sebagian kecil atau sekitar 10% kapal jenis
ini setelah menangkap ikan, hasil tangkapannya dibawa ke pelabuhan lain
seperti ke PPS Nizam Zachman atau ke PPS Cilacap.
5) Kapal berasal dari tempat lain ke fishing ground mendaratkan atau menjual ikan ke PPN Palabuhanratu
Selama ini banyak kapal andon dari luar Palabuhanratu setelah
melakukan penangkapan ikan di tengah laut kemudian kapal tersebut
mendaratkan atau menjual ikan ke PPN Palabuhanratu. Ukuran kapal yang
melakukan operasi penangkapan ikan di tengah laut adalah >10 GT. Akhir-
akhir ini banyak sekali kapal-kapal melakukan kerja sama dalam satu
kelompok untuk meningkatkan pendapatan kelompok usaha penangkapan
124
tersebut, sebagai contoh setiap 10 kapal longline yang sedang melakukan
operasi penangkapan di tengah laut, hasilnya langsung dikumpulkan dalam
satu kapal angkut untuk didaratkan atau dijual di PPN Palabuhanratu.
Dari uraian di atas, maka sistem pendaratan ikan dari kapal-kapal yang
berasal dari PPN Palabuhanratu beragam, tidak semua data hasil tangkapan kapal-
kapal PPN Palabuhanratu tercatat, hal ini berkaitan dengan semakin luasnya
wilayah foreland dan kapal-kapal dari PPN Palabuhanratu memiliki daerah
penangkapan yang semakin jauh ke laut bebas. Kondisi tersebut sesuai dengan
pernyataan Lubis (2002), yang menyatakan bahwa hubungan pelabuhan perikanan
dengan foreland ditandai dengan aktivitas kapal yang melalukan operasi
penangkapan di daerah fishing ground kemudian setelah memperoleh hasil maka
kapal-kapal tersebut bisa saja kembali ke pangkalan atau mendarat ke tempat
pendaratan lainnya.
Dari kelima pergerakan kapal perikanan dari PPN Palabuhanratu ke fishing
ground, maka yang paling banyak terjadi saat ini adalah bentuk pergerakan kapal
pertama, yakni kapal dari PPN Palabuhanratu ke fishing ground kemudian
mendaratkan hasilnya di PPN Palabuhanratu yang diperkirakan pada tahun 2005
sebanyak 608 unit kapal atau 90%, sisanya sebanyak 10% atau 68 unit kapal
bergerak dari PPN Palabuhanratu ke fishing ground kemudian mendaratkan ikan
di tempat lain atau menjualkan ikan atau transhipment di tengah laut. Selanjutnya
dari pergerakan kapal tersebut diatas, ada beberapa hal yang kemungkinan dapat
menimbulkan masalah yakni :
1) Apabila kapal berasal dari PPN Palabuhanratu, berangkat ke fishing ground
mendaratkan ikan di tempat lain menyebabkan terganggunya operasional
pelabuhan, karena produksinya tidak tercatat di Palabuhanratu dan
mengurangi pendapatan pelabuhan dan pendapatan masyarakat pemasar ikan.
Kondisi tersebut terjadi karena adanya selisih harga antara PPN
Palabuhanratu yang lebih rendah dibandingkan dengan harga ikan di tempat
lain, atau kondisi keamanan, ketertiban di tempat lain jauh lebih kondusif
dibandingkan dengan di PPN Palabuhanratu. Untuk mencegah hal tersebut
125
tidak terjadi, maka PPN Palabuhanratu selain mempersiapkan fasilitas juga
melakukan pelayanan prima terhadap aktivitas-aktivitas perikanan.
2) Apabila kapal berasal dari PPN Palabuhanratu, berangkat ke fishing ground,
menjual ikan di tengah laut, kemudian mendaratkan kapalnya di PPN
Palabuhanratu, juga akan mempengaruhi operasional pelabuhan. Kondisi
tersebut dapat dicegah dengan meningkatkan pengawasan oleh aparat
pengawas.
Kondisi yang diharapkan adalah kapal-kapal yang berasal dari PPN
Palabuhanratu, berangkat ke fishing ground mendaratkan ikan di PPN
Palabuhanratu atau kapal-kapal yang berasal dari tempat lain ke fishing ground,
mendaratkan atau menjual ikannya di PPN Palabuhanratu.
(4) Lokasi PPN Palabuhanratu sebagai sektor basis
Berdasarkan data PDRB sub sektor perikanan Kabupaten Sukabumi atas
dasar harga berlaku rata-rata setiap tahun selama tahun 2000-2004 adalah sebesar
Rp 136.699,94 juta (Lampiran 7), PDRB seluruh sektor dalam Kabupaten
Sukabumi atas dasar harga berlaku rata-rata setiap tahun selama tahun 2000–2004
sebesar Rp 7.366.411,51 juta (Lampiran 8), PDRB sub sektor perikanan Provinsi
Jawa Barat atas dasar harga berlaku rata-rata selama tahun 2000-2004 sebesar Rp
2.540.043,03 juta (Lampiran 9) dan PDRB seluruh sektor Provinsi Jawa Barat
atas dasar harga berlaku rata-rata setiap tahun selama tahun 2000-2004 sebesar Rp
231.985.884,60 juta (Lampiran 10), maka diperoleh nilai LQ sebagai berikut :
60,884.985.23103,043.540.251,411.366.7
44,699.136
=LQ =1,69
LQ = 1,69
LQ>1, artinya bahwa sub sektor perikanan di Kabupaten Sukabumi adalah
sektor basis. Sukabumi sebagai sektor basis akan menghasilkan produk yang
dapat di ekspor berupa ikan. Sektor basis ini apabila berkembang akan
mempengaruhi sektor non basis seperti kegiatan pelayanan jasa tenaga kerja dan
sebagainya. Sehingga arah pengembangan PPN Palabuhanratu dalam kaitannya
126
sebagai lokasi sektor basis adalah bahwa PPN Palabuhanratu sebagai sentra
produksi ikan terutama ikan komoditas untuk ekspor seperti tuna.
(5) Indeks relatif nilai produksi (I)
Kualitas pemasaran ikan dari ikan yang didaratkan di PPN Palabuhanratu
sejak tahun 2000 sampai dengan tahun 2004 ditentukan dengan menggunakan
Indeks Relatif Nilai Produksi (I).
Berdasarkan produksi ikan dan nilai produksi ikan di PPN Palabuhanratu
tahun 2000 sebesar 3.515.151 kg dan Rp 3.857.799.500 (Lampiran 11) dan
produksi ikan dan nilai produksi ikan laut di Kabupaten Sukabumi periode tahun
2000 sebesar 4.353.000 kg dan Rp 21.791.572.500 (Lampiran 12), maka diperoleh
nilai indeks relatif nilai produksi (I) sebagai berikut:
000.353.4000.515.3
500.572.791.21500.799.857.3
=I = 0,22
Berdasarkan produksi ikan dan nilai produksi ikan di PPN Palabuhanratu
tahun 2001 sebesar 3.504.450 kg dan Rp 4.793.207.839 (Lampiran 11) dan
produksi ikan dan nilai produksi ikan laut di Kabupaten Sukabumi periode tahun
2001 sebesar 4.825.000 kg dan Rp 23.951.778.000 (Lampiran 12), maka diperoleh
nilai indeks relatif nilai produksi (I) sebagai berikut:
000.825.4450.504.3
000.778.951.23839.207.793.4
=I = 0,28
Berdasarkan produksi ikan dan nilai produksi ikan di PPN Palabuhanratu
tahun 2002 sebesar 3.875.468 kg dan Rp 15.335.105.315 (Lampiran 11) dan
produksi ikan dan nilai produksi ikan laut di Kabupaten Sukabumi periode tahun
2002 sebesar 6.286.270 kg dan Rp 31.902.950.000 (Lampiran 12), maka diperoleh
nilai indeks relatif nilai produksi (I) sebagai berikut:
270.286.6468.875.3
000.950.902.31315.105.335.15
=I = 0,78
127
Berdasarkan produksi ikan dan nilai produksi ikan di PPN Palabuhanratu
tahun 2003 sebesar 4.625.763 kg dan Rp 18.154.560.568 (Lampiran 11) dan
produksi ikan dan nilai produksi ikan laut di Kabupaten Sukabumi periode tahun
2003 sebesar 7.069.860 kg dan Rp 35.643.248.000 (Lampiran 12), maka diperoleh
nilai indeks relatif nilai produksi (I) sebagai berikut:
860.069.7763.625.4
000.248.643.35568.560.154.18
=I = 0,78
Berdasarkan produksi ikan dan nilai produksi ikan di PPN Palabuhanratu
tahun 2004 sebesar 6.404.179 kg dan Rp 31.566.769.254 (Lampiran 11) dan
produksi ikan dan nilai produksi ikan laut di Kabupaten Sukabumi periode tahun
2004 sebesar 9.120.320 ton dan Rp 45.601.600.000 (Lampiran 12), maka
diperoleh nilai indeks relatif nilai produksi (I) sebagai berikut:
320.120.9179.404.6
000.600.601.45254.769.566.31
=I = 0,99
Berdasarkan produksi ikan dan nilai rata-rata produksi ikan di PPN
Palabuhanratu periode tahun 2000–2004 sebesar 4.385 ton dan Rp 14.741.488.500
(Lampiran 11) dan produksi ikan dan nilai produksi ikan laut rata-rata di
Kabupaten Sukabumi periode tahun 2000 – 2004 sebesar 6.330,89 ton (Lampiran
12) dan produksi (I) rata-rata sebagai berikut:
89,330.600,385.4
700.229.778.31500.488.741.14
=I = 0,67
Jika dilihat indeks relatif nilai produksi (I) PPN Palabuhanratu (I) selama
periode tahun 2000-2004, maka diperoleh perkembangan indeks relatif nilai
produksinya seperti pada Tabel 27.
128
Tabel 27 Nilai indeks relatif nilai produksi (I) PPN Palabuhanratu periode tahun 2000-2004
Tahun Indeks relatif nilai produksi
(I) Keterangan
2000 0,22 Kualitas pemasaran PPNP lebih rendah dari Sukabumi
2001 0,28 Kualitas pemasaran PPNP lebih rendah dari Sukabumi
2002 0,78 Kualitas pemasaran PPNP lebih rendah dari Sukabumi
2003 0,78 Kualitas pemasaran PPNP lebih rendah dari Sukabumi
2004 0,99 Kualitas pemasaran PPNP lebih rendah dari Sukabumi
Rata-rata 0,67 Kualitas pemasaran PPNP lebih rendah dari Sukabumi
Berdasarkan Tabel 27, terlihat bahwa indeks relatif nilai produksi dari tahun
ke tahun terjadi peningkatan bahkan pada tahun 2004 nilainya hampir mendekati
angka 1, artinya bahwa kualitas pemasaran ikan di PPN Palabuhanratu selalu
mengalami perbaikan kualitas setiap tahun. Sehingga berdasarkan indeks relatif
nilai produksi tersebut, maka arah pengembangan PPN Palabuhanratu adalah
melakukan upaya agar mutu produk ikan dapat dipertahankan mulai dari
penangkapan ikan di laut, penanganan ikan di atas kapal sampai ke pelabuhan dan
persiapan distribusinya. Kemudian mekanisme pemasaran ikan melalui mekanime
pelelangan ikan agar dibenahi terutama tentang manajemen pengelolaan
pelelangan ikan dan bakul. Dengan cara mempertahankan mutu dan pelaksanaan
penjualan ikan melalui mekanisme pelelangan ikan maka harga atau nilai ikan
akan semakin besar dan pada akhirnya akan menaikkan pendapatan nelayan.
(6) Kapasitas kolam pelabuhan
PPN Palabuhanratu saat ini memiliki 2 kolam. Fungsi kolam PPN
Palabuhanratu saat ini selain untuk tempat berlabuh, juga sebagai tempat istirahat
dan seringkali juga untuk tempat perbaikan ringan kapal. Kondisi kolam sangat
tenang karena kolam terlindung oleh dermaga dan breakwater. Tinggi maksimum
gelombang di kolam sekitar 50 cm terjadi pada saat musim barat. Kolam juga
129
relatif aman terhadap pengaruh sedimentasi karena kuantitas sedimen yang masuk
ke kolam relatif sedikit.
Tabel 28 Kondisi kolam PPN Palabuhanratu tahun 2007
Kolam Luas (ha)
Kedalaman (m)
Kapasitas (unit)
Jlh kapal (unit) di kolam bln Maret 2007
Keterangan
I
II
3
2
1,2, dan 3
4
125
40
334
24
Penuh
Lebih dari setengah kolam
digunakan Sumber: Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu, 2006.
Kolam I memiliki luas 3 ha dengan kedalaman 1,5 m, 2 m dan 3 m. Kolam I
dipenuhi oleh kapal-kapal berukuran <30 GT. Pada saat musim barat yang terjadi
pada bulan Maret 2007, di kolam I terdapat 334 unit kapal (terdiri dari 215 unit
kapal ukuran <5 GT dan 119 unit kapal ukuran 5-30 GT) dan di kolam II
sebanyak 24 unit kapal (ukuran kapal 30-150 GT). Kondisi kolam II cukup tenang
dengan luas kolam 2 ha dan kedalaman kolam 4 m, berkapasitas 40 kapal yang
berukuran 30 – 150 GT. Penuhnya kolam disebabkan oleh banyaknya kapal yang
tidak melaut akibat biaya operasional semakin tinggi dan kurang lamanya musim
ikan atau kondisi kapal sedang docking atau rusak atau sedang diservis atau
sedang musim barat. Sehingga arah pengembangan kolam sebaiknya diperluas
Tabel 29 Kondisi jumlah kapal di kolam tahun 2005
Jenis kapal Rata-rata keluar
(kali)/hari
Rata-rata masuk
(kali)/hari
Jumlah kapal di kolam yang sedang docking/
rusak/ servis(unit) tahun 2005
Perahu motor tempel KM 10-20 GT KM 20-30 GT KM 30-150 GT Jumlah
60,1
19,7 1,1 0,3 81,2
60,3
19,8 1,1 0,3 81,5
368
132 27 67
594 Sumber: Diolah dari data statistik PPN Palabuhanratu tahun 2005.
130
(7) Persaingan PPN Palabuhanratu dibandingkan dengan 6 unit pelabuhan perikanan yang ada di WPP 9 Samudera Hindia
Berdasarkan metode skalogram, maka diperoleh nilai indeks hierarki (Ii)
berdasarkan fasilitas, pendidikan sumberdaya manusia, jenis ikan, jenis alat
tangkap dan jenis kapal dari 6 unit pelabuhan perikanan di WPP 9 Samudera
Hindia seperti pada Tabel 30, 31, 32, 33 dan 34.
Tabel 30 Nilai indeks hierarki PPN Palabuhanratu terhadap 5 unit pelabuhan perikanan lainnya di WPP 9 Samudera Hindia berdasarkan fasilitas tahun 2005.
Pelabuhan Perikanan (PP) Jumlah Jenis
Fasilitas Index A Index B PPS Jakarta 58 93,1 12,723PPN Palabuhanratu - Jabar 54 88,9 11,897
PPS Bungus- Sumbar 47 77,1 10,376PPS Cilacap - Jateng 47 63,3 10,100PPN Prigi - Jatim 39 53,9 8,472PPN Sibolga - Sumut 32 43,7 6,890
Keterangan : Index A = bobot kelangkaan. Index B = bobot fasilitas. Berdasarkan Tabel 30 bahwa nilai indeks hierarki untuk persaingan
pelabuhan berdasarkan fasilitas ternyata PPS Jakarta lebih unggul dibandingkan
pelabuhan perikanan lainnya baik dari segi jumlah jenis fasilitas dengan nilai 58
maupun dari segi kelangkaan dengan nilai 93,1 dan dari segi bobot fasilitas
dengan nilai 12,7. Hasil perhitungan persaingan pelabuhan berdasarkan fasilitas
seperti pada Lampiran 16.
Hasil persaingan pendidikan sumberdaya manusia berdasarkan strata
pelabuhan seperti pada Tabel 31. Berdasarkan sumberdaya manusia pengelola
pelabuhan bahwa PPN Palabuhanratu lebih unggul dibandingkan dengan 5 unit
pelabuhan perikanan lainnya baik dari segi jumlah jenis pendidikan SDM
pengelola pelabuhan dengan nilai 7, bobot kelangkaan dengan nilai 10,2 dan
bobot SDM pengelola pelabuhan dengan nilai 2,4. Hasil perhitungan persaingan
pelabuhan berdasarkan jumlah jenis pendidikan SDM pengelola pelabuhan seperti
pada Lampiran 17.
131
Tabel 31 Nilai indeks hierarki PPN Palabuhanratu terhadap 6 unit pelabuhan perikanan lainnya di WPP 9 Samudera Hindia berdasarkan pendidikan (starata) sumberdaya pengelola pelabuhan tahun 2005
Pelabuhan Perikanan Jumlah Jenis
Pendidikan SDM Index A Index B PPN Palabuhanratu - Jabar 7 10,4 2,4 PPS Jakarta 6 7,4 2,1 PPS Cilacap - Jateng 6 7,4 2,1 PPS Bungus- Sumbar 5 5,9 1,8 PPN Prigi - Jatim 5 5,9 1,6 PPN Sibolga - Sumut 4 6,2 1,4
Keterangan : Index A = bobot kelangkaan. Index B = bobot jenis pendidikan SDM.
Berdasarkan jenis ikan ekonomis penting yang didaratkan di pelabuhan
(Tabel 32), bahwa PPN Palabuhanratu lebih unggul dibandingkan dengan 5 unit
pelabuhan perikanan lainnya baik dari segi jumlah jenis ikan yang didaratkan
dengan nilai 34, bobot kelangkaan dengan nilai 94,4 dan bobot jenis ikan dengan
nilai 7,3. Hasil perhitungan persaingan pelabuhan berdasarkan jenis ikan
ekonomis penting seperti pada Lampiran 18.
Tabel 32 Nilai indeks hierarki PPN Palabuhanratu terhadap 6 unit pelabuhan perikanan lainnya di WPP 9 Samudera Hindia berdasarkan jenis ikan ekonomis penting tahun 2005
Pelabuhan Perikanan (PP) Jumlah Jenis ikan Index A Index B PPN Palabuhanratu - Jabar 34 94,4 7,3 PPS Cilacap – Jateng 28 73,4 6,1 PPN Prigi – Jatim 18 33,9 3,9 PPS Jakarta 15 22,9 3,3 PPN Sibolga – Sumut 9 13,4 2,0 PPS Bungus- Sumbar 6 14 1,3
Keterangan : Index A = bobot kelangkaan. Index B = bobot jenis ikan.
132
Tabel 33 Nilai indeks hierarki PPN Palabuhanratu terhadap 6 unit pelabuhan perikanan lainnya di WPP 9 Samudera Hindia berdasarkan jenis alat penangkapan ikan tahun 2005
Pelabuhan Perikanan (PP) Jumlah jenis alat
penangkapan ikan Index A Index B PPN Palabuhanratu - Jabar 11 32,6 2,760 PPS Jakarta 7 24,6 1,943 PPN Prigi - Jatim 7 19,4 1,864 PPN Sibolga - Sumut 5 10,4 1,226 PPS Bungus- Sumbar 3 3,6 0,706 PPS Cilacap - Jateng 3 5,4 0,723
Keterangan : Index A = bobot kelangkaan Index B = bobot jenis alat penangkapan ikan
Berdasarkan jenis alat penangkapan ikan di pelabuhan (Tabel 33), bahwa
PPN Palabuhanratu lebih unggul dibandingkan dengan 5 unit pelabuhan perikanan
lainnya baik dari segi jumlah jenis alat tangkap dengan nilai 11, bobot kelangkaan
dengan nilai 32,6 dan bobot jenis alat tangkap dengan nilai 2,76. Hasil
perhitungan persaingan pelabuhan berdasarkan jenis alat penangkapan ikan seperti
pada Lampiran 19.
Tabel 34 Nilai indeks hierarki PPN Palabuhanratu terhadap 6 unit pelabuhan perikanan lainnya di WPP 9 Samudera Hindia berdasarkan jenis kapal (GT) tahun 2005
Pelabuhan Perikanan (PP) Jumlah jenis ukuran
kapal Index A Index B PPS Jakarta 7 13,4 2,107 PPN Palabuhanratu - Jabar 7 10,4 2,057 PPS Cilacap - Jateng 6 7,4 1,707 PPS Bungus- Sumbar 5 5,4 1,387 PPN Sibolga - Sumut 5 5,4 1,387 PPN Prigi - Jatim 4 6 1,152
Keterangan : Index A = bobot kelangkaan. Index B = bobot jenis kapal. Berdasarkan ukuran kapal di pelabuhan (Tabel 34), bahwa PPS Jakarta dan
PPN Palabuhanratu lebih unggul dibandingkan dengan 4 unit pelabuhan perikanan
lainnya baik dari segi jumlah jenis alat tangkap dengan nilai 7, PPS Jakarta
133
dengan bobot kelangkaan sebesar 13,4 dan bobot ukuran kapal dengan nilai 2,107.
Hasil perhitungan persaingan pelabuhan berdasarkan ukuran kapal seperti pada
Lampiran 20.
Berdasarkan perhitungan di atas, maka secara keseluruhan hasil perhitungan
persaingan seperti Tabel 35.
Tabel 35 Hasil perhitungan persaingan 6 unit pelabuhan perikanan di WPP 9 Samudera Hindia tahun 2005
Jenis persaingan Fasilitas SDM Ikan Alat
tangkap Kapal Pelabuhan
Perikanan A B C A B C A B C A B C A B C
PPN Palabuhanratu 54 89 12 7 10 2 34 94 7 11 33 3 7 10 2 PPS Jakarta 58 93 13 6 7 2 15 23 3 7 25 2 7 13 2 PPS Cilacap 47 63 10 6 7 2 28 73 6 3 5 1 6 7 2 PPN Prigi 39 54 9 5 6 2 18 34 4 7 19 2 4 6 1 PPS Bungus 47 77 10 5 6 2 6 14 1 3 4 1 5 5 1 PPN Sibolga 32 44 7 4 6 1 9 13 2 5 10 1 5 5 1
Keterangan : A = jenis. B = bobot kelangkaan. C = bobot jenis.
Persaingan 6 unit pelabuhan perikanan di WPP 9 Samudera Hindia
diperoleh hasil bahwa PPN Palabuhanratu unggul dari segi jenis pendidikan SDM
pengelola pelabuhan, jenis ikan ekonomis penting yang didaratkan dan jenis alat
penangkapan ikan. PPS Jakarta unggul dari segi jenis fasilitas dan jenis kapal.
5.3.3 Daerah distribusi hasil tangkapan PPN Palabuhanratu
Luasnya daerah distribusi sangat tergantung kepada teknik pengolahan,
pengaturan sarana transportasi, konsentrasi konsumen dan kebiasaan makan
konsumen (Lubis, 2002).
(1) Daerah distribusi berdasarkan pada teknik pengolahan
Di PPN Palabuhanratu dan daerah sekitarnya, teknik pengolahan ikan masih
didominasi oleh teknik pengolahan tradisional seperti pindang, pengasinan, terasi,
kerupuk kulit ikan. Terdapat pula produk olahan lain seperti bakso ikan, fish
nugget dan abon ikan. Ikan-ikan segar yang dikumpulkan oleh pengusaha cold
storage selanjutnya dilakukan processing-nya kemudian diekspor ke negara lain
134
melalui Jakarta. Akibat dari kondisi teknik pengolahan masih didominasi oleh
teknik pengolahan tradisional, maka luas hinterland terbatas hanya di dalam
negeri, dengan daerah pendistribusian ke Jakarta, Bandung, Cianjur, Sukabumi.
Ikan-ikan segar seperti tuna dan layur diekspor ke Jepang dan Korea. Arah tehnik
pengolahan ikan lebih mengutamakan mutu sehingga program cold chain system
harus dijalankan terutama untuk ikan-ikan segar yang akan diekspor ataupun
untuk konsumsi lokal. Menurut Hanafiah (1983) bahwa cold chain system
mencakup penggunaan metode-metode icing, chiling dan freezing pada hasil
perikanan selama proses-proses pengangkutan, penyimpanan dan penjualan
sehingga kesegaran dari hasil perikanan tersebut dapat dipertahankan. Peranan
pelabuhan didalam penyiapan cold chain system adalah melengkapi kapasitas
pabrik es, menyiapkan atau memfasilitasi adanya cool room dan mobil truck
freezer. Daerah distribusi ikan mencapai negara Jepang atau Korea bahkan
sampai ke pasar Uni Eropa atau Amerika untuk produk ikan segar terutama ikan
tuna. Diupayakan pula peningkatan teknik pengolahan tradisional dan
diversifikasi hasil olahan terutama dalam menjaga hygienitas produk. Diharapkan
dalam jangka pendek daerah distribusi ikan dari Palabuhanratu tidak akan
mengalami perubahan karena melemahnya kondisi perekonomian dalam negeri
termasuk sektor perikanan tangkap.
(2) Sarana transportasi
Sarana transportasi berkaitan dengan masalah pengangkutan. Menurut
Hanafiah (1983), bahwa pengangkutan berarti bergeraknya atau pemindahan
barang-barang dari tempat produksi dan / atau tempat penjualan ke tempat-tempat
dimana barang-barang tersebut akan dipakai. Pengangkutan dengan bantuan
komunikasi akan memperluas daerah pasar dari barang. Pengangkutan hasil-hasil
perikanan yang sifatnya cepat dan mudah rusak itu memerlukan kecepatan dan
perawatan serta handling tambahan selama di perjalanan. Perkembangan teknologi
dibidang pengangkutan darat, laut dan udara telah memberikan sumbangan sangat
berarti bagi distribusi hasil perikanan. Pengangkutan tersebut dapat dilaksanakan
dengan cepat dan volume lebih besar. Perkembangan refrigerated transportation
telah memungkinkan pengangkutan jarak jauh untuk hasil perikanan. Kondisi
sarana transportasi hasil perikanan dari PPN Palabuhanratu ke luar dengan
135
menggunakan sarana transportasi darat berupa kendaraan roda empat (mobil pick
up), truk cool room, truk freezer dan angkutan kendaraan roda dua untuk jarak
yang lebih dekat. Arah pengembangan sarana transportasi adalah menyiapkan
sarana transportasi darat yang memenuhi syarat untuk mengangkut hasil perikanan
yakni dalam bentuk kendaraan roda empat yang memiliki cool room dan freezer
sehingga jangkauan pengangkutan produk semakin luas dan jauh. Selama ini
pengangkutan produk melalui udara diangkut dari Palabuhanratu ke pabrik
pengepakan ikan di Jakarta kemudian diangkut keluar negeri dengan pesawat
udara. Adanya rencana pemerintah provinsi untuk menyiapkan lapangan udara di
Palabuhanratu sangat mendukung arah pengembangan transportasi pengangkutan
ikan yang lebih cepat dengan volume yang lebih besar dan menerapkan prinsip-
prinsip cold chain system. Angkutan melalui laut tetap menggunakan pelabuhan
umum di Jakarta untuk keperluan ekspor.
(3) Konsentrasi dan kebiasaan makan konsumen
Semua kegiatan distribusi ditujukan untuk menyediakan kepada konsumen
berupa ikan pada waktu, tempat dan dalam waktu yang diinginkan. Menurut
Hanafial (1983) bahwa distribusi ikan dilakukan produsen, wholesaler ataupun
retailer harus dimulai dengan menganalisa konsumen antara lain berapa jumlah
konsumen, tempat tinggal mereka, berapa pendapatan mereka, serta bagaimana
penggunaannya, apa kesukaannya bagaimana susunan kebutuhan mereka dan
sebagainya.
Tingkat konsumsi ikan rata-rata penduduk Indonesia tahun 2005 masih
rendah yakni sebesar 22,76 kg/kapita/tahum (Barani, 2006), belum sesuai dengan
standar FAO sebesar 30 kg/kapita/tahun dan jika dibandingkan dengan negara
Jepang yang tingkat konsumsi ikan penduduknya mencapai 150 kg/kapita/tahun,
Malaysia 48 kg/kapita/tahun dan Thailand 32,4 kg/kapita/tahun (Ditjen. Perikanan
Tangkap, 2006). Masih rendahnya tingkat konsumsi ikan masyarakat di Indonesia
disebabkan antara lain adalah masih rendahnya kesadaran masyarakat untuk mau
memilih ikan sebagai pilihan menu utamanya dan tingkat pendapatan yang belum
mampu untuk membeli ikan. Dengan bertambahnya jumlah penduduk, tingkat
pendapatan dan kesadaran pentingnya ikan sebagai sumber protein yang rendah
kolesterol maka kebutuhan ikan akan semakin meningkat. Dalam hal ini
136
diperlukan peranan pelabuhan untuk mendistribusikan ikan bermutu ke daerah
konsumen dalam jumlah yang cukup.
Distribusi produk perikanan dari Palabuhanratu selama ini terkonsentrasi
pada konsumen di daerah Jakarta dan Jawa Barat yang jumlah penduduknya
menurut hasil sensus penduduk dari Biro Pusat Statistik tahun 2000 sekitar 44
juta. Jumlah konsumen akan bertambah banyak akibat dari peningkatan jumlah
produksi. Permintaan akan produk perikanan akan bertambah dan semakin
berkualitas akibat dari semakin berubahnya selera konsumen akibat bertambahnya
pendapatan dan semakin banyaknya tempat-tempat penjualan ikan baik dipasar
tradisional maupun di supermarket serta akibat pengaruh melemahnya permintaan
akan produk protein dari daging sapi, ayam karena adanya wabah flu burung dan
penyakit sapi gila (Direktorat Standardisasi dan Akreditasi, 2005). Tuntutan
makanan yang bergizi dan rendah kolesterol banyak terdapat pada produk
perikanan sehingga jumlah permintaan ikan akan meningkat. Peranan pelabuhan
perikanan terhadap konsentrasi konsumen adalah mempersiapkan produk ikan
yang didaratkan dan ikan yang didistribusikan dalam keadaan bermutu baik
sehingga pelabuhan perikanan harus mempersiapkan hygienitas penanganan ikan
di pelabuhan perikanan. PPN Palabuhanratu telah mempersiapkan laboratorium
bina mutu guna dipakai sebagai sarana pemeriksaan kualitas ikan sebelum keluar
dari PPN Palabuhanratu.
(4) Pemasaran ikan di hinterland
Pemasaran ikan di hinterland akan dijelaskan mulai dari PPN
Palabuhanratu, hinterland primer, hinterland sekunder dan hinterland perpaduan.
1) Pemasaran ikan di PPN Palabuhanratu
Terdapat dua bentuk kegiatan pemasaran ikan di PPN Palabuhanratu yakni
yang mengikuti pelelangan ikan di tempat pelelangan ikan (TPI) dan tidak
melalui TPI (Gambar 16). Ikan-ikan yang tidak dilelang ada yang berasal dari
pendaratan langsung dan ada dari ikan-ikan yang berasal dari luar pelabuhan
masuk melalui jalan darat seperti ikan-ikan dari Jakarta, Cianjur, Binuangeun,
Ujung Genteng, Ciwaru, Cisolok, Cibangban, Loji. Kondisi ini dikarenakan ikan-
ikan dari daerah tersebut yang masuk ke PPN Palabuhanratu telah
137
memperlihatkan surat keterangan asal ikan dan telah membayar retribusi di
tempat asal ikan tersebut sehingga di PPN Palabuhanratu tidak membayar
retribusi lagi. Ikan-ikan dari luar Palabuhanratu melalui darat terjadi pada saat di
Palabuhanratu tidak musim ikan guna memenuhi bahan baku untuk unit
pengolahan pindang.
Gambar 16 Pola pemasaran ikan di PPN Palabuhanratu tahun 2004.
Penjualan ikan melalui pelelangan ikan di TPI harus mengikuti aturan
sebagaimana yang diatur oleh Perda Provinsi No 8 dan 9 tahun 2000, antara lain
bahwa semua ikan yang didaratkan diharuskan untuk dilelang di TPI, dikecualikan
untuk ikan-ikan sebagai lauk-pauk, hasil tangkapan yang diperoleh dari
penangkapan yang bertujuan olah raga dan hasil penangkapan untuk kepentingan
Bakul
Produksi ikan PPN Palabuhanratu
TPI
Agen longline
Cold storage di Jakarta
Ekspor melalui Jakarta
Konsumen lokal
Agen layur
Cold storage P.Ratu
Ekspor melalui Jakarta
Non TPI
Ikan dari luar PPNP lewat jalan darat
Ikan didaratkan langsung di dermaga PPNP
Pengecer Pengolah
Agen Ikan segar untuk
konsumsi lokal Pengecer
Non TPI
Konsumen luar Palabuhanratu : Jakarta, Bandung, Sukabumi, Cianjur, Bogor
Ke Jepang Ke Korea
Pengecer Pengolah
Konsumen lokal
138
penelitian. Ikan-ikan yang dilelang adalah ikan dengan kategori baik secara
organoleptik. Sampai bulan Oktober dalam tahun 2005 tercatat jumlah ikan yang
dilelang sebesar 1.469.763 kg dengan nilai Rp 4.541.600.000,00 (Lampiran 13).
Jika dibandingkan dengan produksi ikan PPN Palabuhanratu (Lampiran 14), maka
jumlah ikan yang dilelang dalam kurun waktu yang sama hanya 22,76% dari total
produksi pelabuhan sebesar 6.099.116 kg. Rendahnya produksi ikan yang dilelang
penyebab utamanya adalah lemahnya manajemen KUD sebagai pengelola TPI.
Jumlah ikan yang masuk melalui darat sampai bulan Nopember dalam
tahun 2005 tercatat sebesar 4.560.244 kg atau 75,77% dari produksi ikan yang
didaratkan langsung atau 43,11% dari jumlah produksi seluruh pelabuhan sebesar
10.578.535 kg.
Tata cara pelaksanaan pelelangan ikan di TPI Palabuhanratu adalah sebagai
berikut:
1) Setelah kapal melaporkan kedatangannya ke petugas pelabuhan, maka kapal
akan mendapatkan nomor urut pendaratan di dermaga.
2) Setelah ikan didaratkan di dermaga di depan TPI, pemilik harus melapor
kepada petugas TPI.
3) Ikan dicuci dengan air laut, kemudian dipisahkan menurut jenis dan ukuran
untuk menentukan harga, dimasukkan kedalam keranjang yang disediakan
oleh pengelola TPI.
4) Ikan ditimbang oleh petugas TPI, kemudian ikan yang sudah ditimbang
mendapat label/karcis yang berisikan nama pemilik dan nomor urut lelang.
5) Para bakul/pembeli diijinkan untuk melihat ikan-ikan yang akan dilelang.
6) Lelang dilaksanakan secara terbuka dan bebas. Penawaran dimulai dengan
harga terendah. Penawaran tertinggi dinyatakan sebagai pemenang dan berhak
menjadi pembeli ikan yang dilelang. Pemenang lelang dicatat dalam karcis
lelang.
7) Bakul sebagai pembeli membayar tunai hasil pembeliannya kepada petugas
TPI ditambah biaya retribusi lelang 3%. Apabila pembayaran tidak tunai,
maka harus ada persetujuan dari manajer TPI.
8) Pihak TPI membayarkan hasil pelelangan kepada nelayan setelah dipotong
retribusi sebesar 2%.
139
9) Kemudian ikan masuk ke ruang pengepakan untuk selanjutnya didistribusikan
ke luar TPI.
Berbagai pihak yang terlibat dalam pelelangan ikan adalah nelayan sebagai
penjual, bakul sebagai pembeli dan KUD Mina Sinar Laut sebagai penyelenggara
lelang. Permasalahan dalam pelelangan ikan adalah belum tertibnya pelaksanaan
pelelangan ikan, seperti para bakul tidak menitip uang jaminan lelang karena
bakul-bakul kurang memiliki modal, dengan kata lain setelah pelelangan
dilaksanakan nelayan peserta lelang tidak memperoleh uang tunai dari bakul
sebagai pembeli. Bakul sudah dapat membayar uang lelang kepada nelayan
tersebut setelah beberapa hari kemudian (5 hari). Kondisi ini terjadi karena bakul
menunggu uang hasil pembelian ikan dari pihak konsumen (pengolah dan
pengusaha cold storage). Apabila bakul tidak dapat membayar hasil lelang maka
seharusnya pihak KUD Mina sebagai penyelenggara lelang harus bertanggung
jawab terhadap kasus tersebut. Jumlah bakul/pembeli besar di TPI sebanyak 144
orang dan pengecer ikan segar 51 orang. Selain itu ada sebanyak 32 orang tenaga
kerja bongkar muat ikan yang terlibat di TPI. Pengurus kapal/penjual ada
sebanyak 171 orang.
Berdasarkan wawancara dengan nelayan dan pengusaha perikanan bahwa
solusi terhadap permasalahan pelelangan ikan antara lain dapat ditempuh melalui :
1) Menghadirkan investor lain selain bakul untuk membeli hasil pelelangan ikan.
Diharapkan pemerintah daerah dapat mengundang pengusaha untuk
membantu pembelian ikan di pelelangan. Ajakan tersebut dapat melalui
promosi atau temu mitra usaha. Alternatif lain, para bakul diberikan kredit
murah sebagau jaminan untuk mengikuti pelelangan ikan.
2) Manajemen KUD sebagai pelaksanan lelang harus dilakukan perombakan,
terutama untuk memasukan tenaga yang berpendidikan dan berpengalaman
dalam bidang perkoperasian
Peranan pelabuhan perikanan dalam mengembangkan sistem pelelangan
ikan adalah untuk menciptakan sistem pelelangan sesuai dengan aturan dan
mencari pembeli potensial sebanyak mungkin untuk menjual ikan hasil tangkapan
nelayan pada tingkat harga yang menguntungkan nelayan tanpa merugikan
pedagang pengumpul.
140
Ikan yang didaratkan langsung dijual melalui non TPI:
1) Ikan-ikan tuna segar yang didaratkan oleh kapal longline selama bulan Januari
sampai dengan bulan September 2005 sebanyak 1.170.538 kg atau rata-rata
sebulan sebanyak 4,58 ton per hari. Ikan-ikan tersebut selanjutnya diurus oleh
agen untuk segera diangkut menggunakan mobil cool box ke Jakarta.
Sesampainya di Jakarta diproses untuk tujuan ekspor.
2) Semua ikan hasil pancingan dalam bentuk segar ditampung oleh agen
penjualan/ lapak yang merangkap tengkulak, kemudian dijual ke bakul/
pengecer dan konsumen lokal, atau ke restoran-restoran.
Ikan layur segar dijual oleh agen penjual ke perusahaan cold storage yang
ada di Palabuhanratu. Ikan-ikan layur tersebut diproses pengepakannya dan
dimasukkan kedalam cold storage, kemudian diekspor. Kegiatan pemasaran ikan
di luar sistem pelelangan ikan diarahkan kepada tuntutan pasar secara bebas dan
peranan pelabuhan perikanan mempersiapkan atau memfasilitasi adanya fasilitas
untuk menampung produk perikanan baik dalam bentuk lahan maupun gudang-
gudang untuk industri perikanan menciptakan iklim yang kondusif dilingkungan
pelabuhan perikanan sehingga pengusaha dapat berusaha tanpa gangguan.
2) Hinterland primer
Hinterland primer adalah daerah distribusi untuk ikan-ikan segar. Pada
tahun 1993, tercatat ikan segar yang didistribusikan sebesar 93.240 kg dan naik
menjadi 3.397.443 kg pada tahun 2005, atau rata-rata kenaikan sebesar 30,77%.
Jumlah ikan yang didistribusikan tertinggi adalah sebanyak 3.397.443 kg pada
tahun 2005 dan terendah sebanyak 52.192 kg pada tahun 1995. Gambar 17
menunjukkan perkembangan distribusi ikan segar dari PPN Palabuhanratu periode
tahun 1993-2005.
Tujuan distribusi terbanyak adalah ke Jakarta pada tahun 2004 yaitu sebesar
1.312.381 kg (81,74%), sebagian besar untuk tujuan ekspor ke Cina, Jepang dan
Korea yang diangkut dengan pesawat terbang melalui bandara Soekarno Hatta.
Selebihnya didistribusikan ke Palabuhanratu, Sukabumi, Bandung, Bogor,
Cikotok, Cianjur dan Cirebon. Wilayah distribusi tersebut menurut Lubis (2002)
termasuk dalam hinterland primer. Wilayah hinterland primer dalam negeri
141
tersebut terfokus kepada produk ikan yang bukan komoditas ekspor untuk
memenuhi pasaran dalam negeri seperti supermarket, restoran dan pasar retail
yang menyiapkan fasilitas untuk penjualan ikan segar.
53
1385
1986
3398
1605
580
11001187
634192102
10493
0
500
1000
1500
2000
2500
3000
3500
4000
1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
Tahun
Jum
lah
(Ton
)
Arah pengembangan hinterland primer lebih diutamakan untuk memasarkan
produk ikan segar ke luar negeri karena lokasi PPN Palabuhanratu termasuk
lokasi sektor basis yang mana produk unggulannya berupa ikan tuna dan ikan
layur yang merupakan komoditas ekspor, sehingga ikan segar lebih dominan
untuk diekspor ke negara Jepang, Amerika, Korea, Taiwan bahkan sampai ke
negara Uni Eropa.
3) Hinterland sekunder
Hinterland sekunder atau tidak langsung adalah hinterland yang merupakan
daerah distribusi ikan hasil pengolahan dan hasil pembekuan (Lubis, 2002). Jenis-
jenis ikan olahan di PPN Palabuhanratu yang didistribusikan adalah pindang, ikan
asin dan abon. Volume distribusi ikan pindang mengalami perkembangan, yakni
dari 60 ton pada tahun 1993, naik menjadi 1.747 ton pada tahun 2005 atau rata-
rata kenaikan sebesar 89,51%. Kenaikan tersebut disebabkan oleh tersedianya
bahan baku yang cukup berupa ikan cakalang untuk dijadikan pindang. Adanya
kenaikan permintaan pindang oleh daerah konsumen di Sukabumi, Cibadak,
Bogor, Jakarta dan Cianjur (Gambar 18).
Gambar 17 Distribusi ikan segar dari PPN Palabuhanratu periode tahun 1993-2005.
142
Ikan pindang ini didistribusikan ke Palabuhanratu, Sukabumi, Bogor,
Cianjur, dan Bandung dengan jumlah distribusi terbanyak ke Bogor dan Bandung.
Jumlah unit pengolahan/rumah tangga perikanan adalah pemindangan 27 RTP dan
108 rumah tangga buruh perikanan (RTBP), pengeringan 30 RTP dan 90 RTBP,
pendinginan/segar 20 RTP dan 91 RTBP, pembekuan 1 RTP dan 15 RTBP, terasi
6 RTP dan 22 RTBP, bakso ikan 5 RTP dan 10 RTBP, abon ikan 2 RTP dan 50
RTBP dan kerupuk ikan 2 RTP dan 11 RTBP.
206
930777 772
1.747
1.0531.222
870845
27147
2660
0200400600800
1.0001.2001.4001.6001.8002.000
1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
Tahun
Prod
uksi
(To
n)
Unit pengolahan atau rumah tangga perikanan (RTP) tersebut berada di
dalam pelabuhan seperti 2 unit cold storage dan lainnya berada tersebar di
Palabuhanratu. Saat ini terdapat tiga unit perusahaan cold storage milik Korea di
Palabuhanratu, terutama menampung ikan layur untuk diekspor ke Korea.
Ikan-ikan asin dibuat oleh pengolah ikan asin yang berada di sepanjang
pantai Sukabumi. Bahan-bahan ikan asin umumnya berasal dari PPN
Palabuhanratu yang merupakan hasil tangkapan bagan dan sebagian kecil dari
ikan-ikan hasil tangkapan pancingan. Tahun 2004, jumlah ikan asin dari
Palabuhanratu yang didistribusikan ke kota Palabuhanratu, Sukabumi, Bogor,
Cianjur dan Bandung sebesar 707.385 kg atau pendistribusian terbanyak adalah
ke Sukabumi dan Bogor.
Menurut Mahyuddin et al. (2005), Saat ini telah berkembang luas
pemakaian formalin terhadap produk ikan di kalangan pedagang ikan di PPN
Gambar 18 Distribusi ikan pindang dari PPN Palabuhanratu periode tahun 1993-2005.
143
Palabuhanratu. Kondisi ini selain mengakibatkan rusaknya kesehatan masyarakat
yang memakan produk perikanan berformalin tersebut, juga membuat lemahnya
kualitas pemasaran di PPN Palabuhanratu. Pihak pelabuhan sejak tahun 2005
telah memiliki laboratorium sendiri dalam memeriksa kandungan formalin pada
ikan. Berdasarkan hasil pengujian formalin yang telah dilaksanakan terhadap
beberapa jenis ikan segar dan ikan olahan yang dijual di pasar ikan PPN
Palabuhanratu, serta produk ikan olahan dari pengolah Palabuhanratu, diperoleh
bahwa beberapa ikan segar seperti ikan marlin, ikan layur, cumi-cumi, kembung
dan peperek mengandung formalin. Jenis olahan ikan asin seperti cumi asin, pari
asin, jambal roti asin positif mangandung formalin. Pemakaian formalin secara
bebas terjadi karena ada dorongan dari pedagang pengecer untuk mempertahan
mutu ikan dengan harga yang murah sehingga kualitas ikan dan harganya dapat
dipertahankan tanpa memperhatikan bahayanya terhadap kesehatan manusia.
Selain itu lemahnya pengawasan terhadap penjualan formalin dan pemakaian
formalin pada produk perikanan serta belum adanya bahan pengganti formalin
sebagai bahan pengawet ikan
Saat ini pihak manajemen pelabuhan telah memasang spanduk tentang
bahaya penggunaan formalin sebagai bahan pengawet ikan. Pihak PPN
Palabuhanratu telah melakukan kerja sama dengan pihak POLRI guna mencegah
penggunaan formalin. Pihak POLRI telah menggunakan laboratorium milik PPN
Palabuhanratu untuk melakukan pengujian formalin.
Secara keseluruhan mekanisme pendistribusian ikan yang didaratkan di
PPN Palabuhanratu dan dari luar PPN Palabuhanratu pada tahun 2005 terlihat
pada Gambar 19.
Arah pengembangan hinterland sekunder adalah untuk mendistribusikan
ikan-ikan olahan dalam bentuk ikan beku, ikan pindang, ikan asin dan produk ikan
olahan lainnya untuk tujuan ekspor ataupun dipasarkan di dalam negeri. Ikan
beku yang di produksi oleh perusahaan cold storage bertujuan untuk melakukan
ekspor ikan beku ke luar negeri seperti ikan layur beku dipasarkan ke Korea, ikan
tuna beku dipasarkan ke Jepang dan sebagiannya lagi untuk keperluan pembuatan
ikan kaleng dan pindang. Ikan pindang, ikan asin dan produk ikan olahan lainnya
adalah komoditas untuk pasaran dalam negeri.
144
4) Hinterland perpaduan
Hinterland perpaduan atau overlapping hinterland adalah suatu hinterland
yang merupakan wilayah pendistribusian ikan dari beberapa pelabuhan perikanan
yaitu dari pelabuhan perikanan besar dan kecil atau dari beberapa pelabuhan
perikanan yang sama besar atau sama kecil (Lubis, 2002). Hinterland perpaduan
dari PPN Palabuhanratu adalah kota-kota Jakarta, Bandung, Sukabumi, Bogor,
Cianjur dan Cirebon serta ekspor ke luar negeri (ke Jepang dan Korea). Pada
daerah-daerah tersebut dipasok juga ikan-ikan dari pelabuhan perikanan lain
seperti dari Pekalongan, Pati, Tegal, Batang, Indramayu, Lampung dan daerah
lain di luar Jawa. Hal ini dikarenakan kebutuhan ikan untuk daerah-daerah
tersebut cukup besar walaupun tingkat rata-rata konsumsi ikan penduduknya di
Gambar 19 Distribusi ikan dari PPN Palabuhanratu tahun 2005.
Produksi ikan PPN Palabuhanratu 12.173.099 kg
Ikan dari luar PPNP lewat jalan darat
5.872.569 kg
Ikan didaratkan langsung di
dermaga PPNP 6.600.530 kg
Pal.ratu (9%) Sukabumi (1%) Bandung (2%) Bogor (0%) Jakarta (82%) Ekspor (6%)
Pal.ratu (5%) Sukabumi (34%) Bogor (31%) Cianjur (24%) Bandung (6%)
Pal.ratu (12%) Sukabumi (13%) Bogor (23%) Cianjur (25%) Bandung (21%) Garut (6%)
Pal.ratu (100%)
Ikan segar 3.397.443 kg
Ikan asin 1.452.585 kg
Ikan pindang bahan baku dari PPNP 1.747. 187 kg Ikan pindang bahan baku dari luar 5.872.569 kg
Proses lainnya 3.315 kg
145
bawah rata-rata konsumsi ikan nasional pada tahun 2005 yakni sebesar 22,76
kg/kapita/tahun (Barani, 2006). Tingkat konsumsi ikan daerah Sukabumi 16,82
kg/kapita/tahun. Umumnya ikan-ikan dari Pantai Utara Jawa adalah ikan untuk
konsumsi lokal, sedangkan ikan-ikan dari kawasan Timur Indonesia yang
mendarat di Pelabuhan Perikanan Samudera Nizam Zachman Muara Baru Jakarta
adalah ikan-ikan untuk diekspor.
Hinterland perpaduan Jakarta selain hasil tangkapan dari PPN
Palabuhanratu juga dari tempat-tempat pendaratan ikan di sepanjang Pantai
Sukabumi yaitu PPI Cisolok sebesar 244 ton, PPI Ujung Genteng sebesar 459 ton,
tempat pendaratan ikan Cibitung sebesar 77 ton, tempat pendaratan ikan Tegal
Buled sebesar 85 ton, PPI Mina Jaya sebesar 420 ton, PPI Ciwaru sebesar 1.331
ton, PPI Loji sebesar 480 ton, tempat pendaratan ikan Cipatuguran sebesar 407
ton dan PPI Cibanban sebesar 452 ton pada tahun 2005. Adapun jenis-jenis ikan
yang dikirim ke daerah hinterland perpaduan di Jakarta adalah ikan cakalang,
layur, tongkol dan tuna serta ikan demersal seperti ikan kuwe, udang lobster.
Selain dari PPI di sepanjang pantai Sukabumi, Jakarta juga mendapat pasokan
ikan dari wilayah lain baik dari Pulau Jawa maupun dari luar Pulau Jawa seperti
Sumatera.
Dengan adanya hinterland perpaduan ini, maka PPN Palabuhanratu harus
mempersiapkan diri untuk bersaing terutama kesiapan fasilitas dan pelayanan
serta penyediaan ikan yang berkualitas baik.
(5) Prasarana perhubungan
Prasarana perhubungan selain jalan, laut juga ada prasarana udara sangat
penting untuk menghubungkan pelabuhan dengan daerah konsumen. Dari
Palabuhanratu ke daerah lain atau menuju Jakarta, Bandung, Sukabumi dan
Cianjur, Bogor dapat ditempuh melalui jenis prasarana:
1) Melalui Cikidang, dengan jarak tempuh sampai ke Cibadak sekitar 40 km atau
dapat ditempuh sekitar 1 jam dengan kondisi jalan lebar 6 m beraspal cukup
baik untuk dilalui jenis kendaraan roda empat kecil seperti sedan, minibus.
Truk atau kontainer mengalami kesulitan melewati jalan ini karena berliku-
liku dan menempuh medan yang cukup berat, sehingga kurang baik dilalui
oleh mobil truk atau mobil kontainer. Jalan ini sering digunakan untuk mobil
146
touring sejenis mobil pick up mitsubithsi diesel atau truk ukuran kecil. Jalan
melalui Cikidang ini telah ditetapkan sebagai jalan provinsi sehingga ada
kewajiban pemerintah provinsi untuk mengembangkan jalan ini.
Direncanakan jalan ini untuk diperlebar dari lebar 6 meter menjadi lebih lebar
lagi (sekitar 10 meter), kemudian mengurangi tanjakan-tanjakan dan belokan-
belokan jalan yang cukup berbahaya. Dengan adanya rencana pengembangan
jalan melalui Cikidang ini, maka diharapkan mobil kontainer dan truk ukuran
besar dapat melaluinya dengan mudah, sehingga memperlancar arus distribusi
ikan dan waktu tempuh lebih cepat dari Palabuhanratu ke Jakarta atau
Bandung melalui Cikidang.
2) Melalui Cikembang, dengan waktu tempuh sampai ke Cibadak 1,5 jam atau
jaraknya sekitar 55 km. Kondisi jalan ini relatif baik, beraspal dengan lebar
jalan 8 m. Mobil kontainer ukuran sedang sering menggunakan jalan ini untuk
mengangkut ikan tujuan Jakarta. Permasalah jalan melalui Cikembang adalah
kondisi jalan yang berliku-liku, relatif sempit dan banyak tanjakan. Jalan
melalui Cikembang ini telah ditetapkan sebagai jalan negara, sehingga
pemerintah pusat, pemerintah provinsi berkewajiban untuk mengembangkan
jalan ini. Direncanakan jalan ini akan diperlebar sampai dengan 10 m dan
mengurangi tanjakan dan belokan sehingga dapat mengurangi waktu tempuh
dan dapat memperlancar arus distribusi ikan dari Palabuhanratu ke Cibadak
melalui Cikidang.
3) Melalui Cikembar, dengan jarak tempuh sampai ke Sukabumi sekitar 2 jam
dengan jarak sekitar 70 km. Jalan ini telah ditetapkan juga sebagai jalan negara
sehingga perbaikan jalan juga menjadi tanggung jawab pemerintah pusat dan
pemerintah daerah. Kondisi jalan beraspal dengan lebar 8 meter. Jalan ini
sering digunakan mobil kontainer ukuran sedang untuk mengangkut ikan
tujuan Sukabumi atau Cianjur dan Bandung. Jenis angkutan untuk mengangkut
ikan dari pelabuhan adalah mobil pick up touring, truk, truk box serta truk
thermoking ber-freezer. Diharapkan jalan ini dapat diperlebar menjadi 10
meter.
4) Jalan lainnya adalah Palabuhanratu – Cisolok – Bayah – Pandeglang - Jakarta.
Kondisi jalan ini belum sempurna, sehingga praktis belum digunakan untuk
147
jalan mengangkut ikan. Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten akan
merehab dan memperlebar jalan yang keluar dari Palabuhanratu. Diharapkan
adanya perbaikan dan pelebaran jalan ke Pandeglang ini dapat memperlancar
arus distribusi ikan ke daerah lain.
5) Saat ini Pemerintah Provinsi telah membuat jalan lingkar luar trans selatan
Jabar yang menghubungkan Bandung – Pangandaran - Ciamis, Garut –
Tasikmalaya – Cianjur - Palabuhanratu sejauh 367 km. Dengan adanya jalan
lingkar luar trans Selatan Jabar, maka diharapkan hubungan dan distribusi ikan
dari Palabuhanratu atau dari daerah sekitarnya ke Palabuhanratu dapat berjalan
lancar dengan daerah pemasaran yang luas, selain itu juga akan menambah
kuantitas mobil yang melewatinya.
6) Direncanakan juga membuat lapangan terbang berlokasi di Palabuhanratu guna
mengakomodasi perkembangan perikanan dan pariwisata. Rencana ini sudah
sesuai dengan kebutuhan distribusi ikan yang memerlukan sarana yang lebih
cepat sehingga ikan dari Palabuhanratu akan cepat sampai ke konsumen.
Daerah-derah konsumen yang akan dituju adalah Jepang, Korea, Amerika,
China. Pasar dalam negeri adalah Jakarta, Sukabumi, Cianjur, Bogor,
Bandung, Depok, Tangerang, Bekasi dan Serang. Keuntungan lain dari
adanya sarana pesawat terbang ini adalah akan mempercepat pembangunan
daerah sekitarnya karena akan mendukung wilayah Kabupaten Sukabumi
sebagai lokasi sektor basis.
7) Pemerintah Pusat telah merencanakan membangun jalan tol dari Ciawi ke
Sukabumi-Cianjur-Bandung. Dengan adanya rencana ini, maka Palabuhanratu
akan berkembang pesat dan akan berpengaruh kepada operasional dan
pengembangan PPN Palabuhanratu.
5.4 Pola Pengembangan PPN Palabuhanratu
Dalam penelitian ini, pola pengembangan pelabuhan ditentukan dengan
mengoptimalkan fungsi pelabuhan dengan berbagai permasalahan yang ada
melalui analisis kebutuhan terhadap produksi, kapal dan fasilitas.
148
5.4.1 Target jumlah produksi PPN Palabuhanratu
(1) Jumlah MSY WPP 9 Samudera Hindia sebesar 1.056.890 ton, sehingga
jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) 80% sebesar 845.510 ton.
(2) Kapasitas minimum untuk PPS diperoleh dari kapasitas minimum standar
untuk PPS sebesar 60 ton/hari atau 21.900 ton/tahun dikalikan dengan
jumlah PPS di WPP 9 sebanyak 3 unit sehingga menjadi 65.700 ton/tahun.
Kapasitas minimum untuk PPN diperoleh dari kapasitas minimum standar
untuk PPN sebesar 30 ton/hari atau 10.950 ton/tahun dikalikan dengan
jumlah PPN di WPP 9 sebanyak 3 unit sehingga menjadi 32.850 ton/tahun.
Kapasitas minimum untuk PPP diperoleh dari kapasitas minimum standar
untuk PPP sebesar 10 ton/hari atau 3.650 ton/tahun dikalikan dengan
jumlah PPP di WPP 9 sebanyak 3 unit sehingga menjadi 10.950 ton/tahun.
Kapasitas minimum untuk PPI diperoleh dari kapasitas minimum standar
untuk PPI sebesar 5 ton/hari atau 1.825 ton/tahun dikalikan dengan jumlah
PPI di WPP 9 sebanyak 207 unit sehingga menjadi 377.775 ton/tahun.
Jumlah seluruh kapasitas minimum untuk pelabuhan perikanan adalah
sebesar 487.275 ton/tahun.
(3) Kapasitas minimum PPN diperoleh dari jumlah kapasitas minimum untuk
PPN sebesar 32.850 ton/tahun dibagi dengan jumlah semua kapasitas
minimum pelabuhan perikanan sebesar 487.275 ton/tahun dikalikan
dengan JTB WPP 9 Samudera Hindia sebesar 845.512 ton/tahun diperoleh
57.001 ton/tahun. Alokasi pemanfaatan SDI untuk PPN Palabuhanratu
diperoleh dari kapasitas minimum PPN sebesar 57.001 ton/tahun dibagi
dengan jumlah PPN di WPP 9 sebanyak 3 unit, diperoleh hasil sebesar
19.000 ton/tahun.
Perhitungan target alokasi pemanfaatan SDI untuk PPN Palabuhanratu
seperti pada Tabel 36.
149
Tabel 36 Perhitungan target alokasi pemanfaatan SDI di WPP 9 untuk PPN Palabuhanratu Tipe pelabuhan PPS PPN PPP PPI Kapasitas minimum (ton)/hari 60 30 10 5 Jumlah PP/PPI (unit) 3 3 3 207
Kapasitas minimum masing-masing tipe pelabuhan perikanan berdasarkan kelompok SDI (ton/tahun)
PPS PPN PPP PPI Jumlah Sumberdaya Ikan
Potensi lestari (ton)
Estimasi JTB (80% potensi)
(ton)
180 x 365 = 65.700
90 x 365 = 32.850
30 x 365 =10.950
1035 x 365 = 377.775 487.275
Alokasi pemanfaatan
SDI untuk PPN Palabuhanratu
(Ton)
Pelagis besar 366.260 293.008 39.507 19.753 6.584 227.164 293.008 6.584Pelagis kecil 526.570 421.256 56.799 28.399 9.466 326.592 421.256 9.466Demersal 135.130 108.104 14.576 7.288 2.429 83.811 108.104 2.429Ikan karang 12.880 10.304 1.389 695 232 7.988 10.304 232Udang paneid 10.700 8.560 1.154 577 192 6.636 8.560 192Lobster 1.600 1.280 173 86 29 992 1.280 29Cumi-cumi 3.750 3.000 404 202 67 2.326 3.000 67Jumlah 1.056.890 845.512 114.002 57.001 19.000 655.509 845.512 19.000
Produksi ikan yang didaratkan di dermaga PPN Palabuhanratu periode tahun 1993-2005 (ton) = 43.969 ton Rata-rata/tahun = 3.382 ton Peluang pengembangan penangkapan PPN Palabuhanratu (ton) = 19.000 - 3.382 = 15.618 ton
149
150
5.4.2 Target jumlah kapal yang akan diakomodir oleh PPN Palabuhanratu
(1) Berdasarkan jenis unit penangkapan yang lebih prospek ke depan, menurut
hasil kajian pemantauan dan evaluasi CPUE PPN Palabuhanratu tahun 2005
diperoleh hasil bahwa untuk unit penangkapan longline berukuran 30 GT
memiliki nilai produktivitas paling tinggi yakni 1 ton/GT per tahun.
Kemudian diikuti dengan unit penangkapan ikan longline berukuran 50 GT
dengan nilai 0,4 ton/GT per tahun, longline 100 GT dengan nilai 0,24 ton/GT
per tahun, longline 150 GT dengan nilai 0,2 ton/GT per tahun, payang dengan
nilai 0.09 ton/GT per tahun, bagan dengan nilai 0,02 ton/GT per tahun, purse
seine dengan nilai 0,06 ton/GT per tahun. Dengan demikian dalam
perhitungan target kapal untuk PPN Palabuhanratu digunakan produktivitas 1
ton/GT per tahun.
(2) Persentase jumlah masing-masing tipe kapal diperoleh dari jumlah GT untuk
masing-masing tipe kapal dibagi dengan jumlah semua tipe kapal sehingga
diperoleh persentase awal sebesar 17% untuk kapal <5 GT, 29% untuk kapal
5-30 GT dan 54% untuk kapal 30-150 GT. Persentase pengembangan kapal
diperoleh 15% (lebih kecil dari persentase awal) yakni adanya pengurangan
2% dari kondisi semula karena beberapa kapal ukuran kecil (<5 GT) tidak
semua diakomodir di PPN Palabuhanratu. Persentase pengembangan untuk
kapal 5-30 GT dikurangi menjadi 25% dari kondisi semula 29% karena
jumlah kapal-kapal ukuran tersebut saat ini sudah cukup memadai sehingga
penambahan jumlahnya diharapkan tidak terlalu besar.
Persentase pengembangan kapal 30-150 GT mengalami kenaikan dari 54%
menjadi 60% disebabkan oleh adanya rencana penambahan kolam baru.
(3) Persentase GT masing-masing ukuran kapal yang akan dikembangkan (15%,
25% dan 60%) dikalikan dengan target jumlah produksi maksimum PPN
Palabuhanratu perhitungan target jumlah produksi (19.000 ton/tahun)
diperoleh produksi maksimum tipe kapal <5 GT sebesar 2.850 ton, kapal 5-30
GT sebesar 4.750 ton dan kapal 30-150 sebesar 11.400 ton.
(4) GT kapal yang diperlukan untuk pengembangan diperoleh dari produksi
maksimum masing-masing tipe kapal dibagi 1 ton/GT (target produktivitas)
151
sehingga diperoleh untuk kapal <5 GT sebesar 2850 GT, kapal 5-30 GT
sebesar 4750 GT dan kapal 30-150 GT sebesar 11400 GT.
(5) Target jumlah kapal untuk masing-masing tipe ukuran kapal diperoleh dari GT
kapal untuk pengembangan dibagi dengan rata-rata GT masing-masing tipe
kapal (<5 GT = 5 GT, 5-30 GT = 20 GT dan 30-150 GT = 100 GT). Untuk
kapal <5 GT diperoleh hasil sebanyak 570 unit dari semula 428 unit, untuk
kapal 5-30 GT sebanyak 238 unit dari semula 180 unit dan untuk kapal 30-
150 GT sebanyak 114 unit dari semula 68 unit. Dari hasil penjumlahan
jumlah kapal masing-masing ukuran diperoleh target jumlah seluruh kapal
yang akan dikembangkan untuk pola ini sebesar 922 unit.
Hasil perhitungan target jumlah kapal dengan target produksi ikan sebesar
19.000 ton/tahun seperti pada Tabel 37.
Tabel 37 Hasil perhitungan target jumlah kapal untuk pengembangan PPN Palabuhanratu dengan target produksi ikan 19.000 ton/tahun
Target produksi maksimum PPNP (ton) 19.000Target produktivitas unit penangkapan (ton/GT) 1Ukuran kapal (GT) < 5 5-30 30-150 Jumlah Jumlah kapal tahun 2005 (unit) 428 180 68 676Rata-rata GT 5 20 100 125Jumlah GT kapal tahun 2005 2140 3600 6800 12540Persentase awal (%) 17 29 54 100Persentase pengembangan (%) 15 25 60 100Produksi (ton) 2.850 4.750 11.400 19.000GT kapal yg diperlukan 2850 4750 11400 19000Target jml kapal pengembangan (unit) 570 238 114 922
5.4.3 Target kapasitas fasilitas
(1) Perhitungan luas kolam (m2)
L = Lt + 3 [(n x l x b)]
Lt = π r 2
Radius putar (r), D = 2r = 3 x panjang kapal terbesar
2r = 3 x 30 meter , r = 45 meter.
Lt = 3,14 x 45 x 45 = 6.359 m2
152
3 [(n x l x b)] = 79.590
Luas kolam = 6.359 + 79.590 = 85.949 m2.
Hasil perhitungan luas kolam selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 38.
(2) Perhitungan kebutuhan panjang dermaga (m)
Hasil perhitungan seperti Tabel 39 , yakni panjang dermaga = 1.452 m.
(3) Kedalaman kolam (m)
Kedalaman kolam untuk kapal <5 GT – 30 GT sama dengan kedalaman
kolam pola lama yakni sampai dengan 3,5 meter dan kedalaman kolam untuk
kapal 30-150 GT sedalam 4 m.
Tabel 38 Hasil perhitungan luas kolam PPN Palabuhanratu
Variabel Volume Jumlah kapal maksimum berlabuh pada peak season (n) (unit) < 5 GT 286 5-30 GT 157 30-150 GT 40 Jumlah 483 Jumlah frekuensi kapal pada peak season (unit / hari) < 5 GT 69 5-30 GT 17 30-150 GT 2 Jumlah 88 Panjang kapal (l) (m) < 5 GT 10 5-30 GT 18,5 30-150 GT 30 Jumlah 58,5 Lebar kapal (b) (m) < 5 GT 2 5-30 GT 4,5 30-150 GT 6,45 Jumlah 12,95 Luas putaran (π r 2) (m2) 6.359 ( n x (l x b)) < 5 GT 5.720 5-30 GT 13.070 30-150 GT 7.740 Jumlah 26.530 3 ( n x (l x b)) 79.590 Luas kolam (m2) 85.949
D = Jumlah frekuensi kapal maksimum x l x ( jarak aman antar kapal = 0,1) x l
153
(4) Luas Gedung TPI
Untuk menampung produksi 19.000 ton/tahun atau 52 ton per hari maka
dibutuhkan bangunan TPI seluas : (52/18) x 900 = 2.600 m2.
(5) Kapasitas pabrik es (ton/tahun)
K = 2 x 19.000 ton = 38.000 ton/tahun.
(6) Kebutuhan solar (kl/tahun)
S = 0,2 liter per DK per jam (Ditjen Perikanan dan PT. Perentjana Djaja,
1999).
Ukuran kapal < 5 GT = mesin 15 DK , ukuran kapal 5-30 GT = mesin 60
DK, ukuran kapal 30 – 100 GT = mesin 180 DK, ukuran kapal 100-150 GT =
mesin 225 DK.
1) Kebutuhan solar untuk kapal ukuran <5 GT adalah jumlah kapal x (0,2) x
(jumlah trip per tahun) x (24 jam) x (jumlah hari operasi per trip) x (15 DK)
= 570 x 0,2 x 120 x 24 x 1 x 15 = 4.924.800 liter = 4.925 kl/tahun.
2) Kebutuhan solar untuk kapal ukuran 5-30 GT adalah jumlah kapal x (0,2) x
(jumlah trip per tahun) x (24 jam) x (jumlah hari operasi per trip) x (60 DK)
= 238 x 0,2 x 12 x 24 x 14 x 60 = 11.515.392 liter = 11.515 kl/tahun.
3) Kebutuhan solar untuk kapal ukuran 30-100 GT adalah jumlah kapal x (0,2)
x (jumlah trip per tahun) x (24 jam) x (jumlah hari operasi per trip) x (180
DK) = 80 x 0,2 x 6 x 24 x 30 x 180 = 12.441.600 liter = 12.442 kl/tahun.
4) Kebutuhan solar untuk kapal ukuran 100-150 GT adalah jumlah kapal x (0,2)
x (jumlah trip per tahun) x (24 jam) x (jumlah hari operasi per trip) x (225
DK) =34 x 0,2 x 4 x 24 x 60 x 225 = 8.812.800 liter = 8.813 kl/tahun.
5) Jumlah solar yang dibutuhkan adalah : 37.695 kl/tahun.
(7) Kebutuhan air bersih (kl/tahun)
1) Menurut Ditjen. Perikanan dan PT Perentjana Djaja (1999) standar kebutuhan
air bersih untuk ABK sebesar 20 liter/orang/hari sehingga :
- Untuk kapal <5 GT ada sebanyak 570 x (5 ABK) x (20 liter) x (120 trip) x
(1hari) = 6.840 kl/tahun.
154
- Untuk kapal 5-30 GT ada sebanyak 238 x (8 ABK) x (20 liter) x (12 trip)
x (14 hari) = 6.397 kl/tahun.
- Untuk kapal 30-100 GT ada sebanyak 80 x (15 ABK) x (20 liter) x (6 trip)
x (30 hari) = 4.320 kl/tahun.
- Untuk kapal 100-150 GT ada sebanyak 34 x (15 ABK) x (20 liter) x (4
trip) x (60 hari) = 2.448 kl/tahun.
Tabel 39 Hasil perhitungan panjang dermaga PPN Palabuhanratu
2) Kebutuhan baku es (ton/tahun)
Menurut Ditjen. Perikanan dan PT Perentjana Djaja (1999) kebutuhan air
untuk TPI adalah 1 kl air untuk 1 ton es = 38.000 kl.
3) Kebutuhan ikan (kl/tahun)
Menurut Ditjen. Perikanan dan PT Perentjana Djaja (1999) kebutuhan air
untuk TPI adalah 1 liter per kg ikan = 19.000 kl/tahun.
4) Kebutuhan TPI
Menurut Ditjen. Perikanan dan PT Perentjana Djaja (1999) kebutuhan air
untuk TPI adalah 1,5 liter / m2 . TPI yang ada saat ini seluas 900 m2 dengan
No Variabel Volume
1 Jumlah frekuensi kapal pada peak season / hari (unit)
< 5 GT 69 5-30 GT 17 30-150 GT 2 Jumlah 882 Panjang kapal (l) (m) < 5 GT 10 5-30 GT 18,5 30-150 GT 30 Jumlah 58,53 Panjang dermaga (D) (m) < 5 GT 690 5-30 GT 582 30-150 GT 180 Jumlah 1.452
155
produksi 18 ton/ hari. Untuk menampung produksi 19.000 ton/tahun atau 52 ton
per hari maka dibutuhkan bangunan TPI seluas : (52/18) x 900 = 2.600 m2.
Jadi kebutuhan air untuk TPI yang akan dikembangkan adalah : 1,5 x 2.600 m2 =
3.900 liter/m2 per hari, atau 1.424 kl/m2 per tahun.
5) Kebutuhan penghuni
Menurut Ditjen. Perikanan dan PT Perentjana Djaja (1999), kebutuhan air
untuk penghuni adalah 10% dari kebutuhan total = 7.843 kl/tahun.
Tabel 40 Hasil perhitungan kebutuhan air bersih
Satuan : kl/tahun No Variabel Volume 1 Kebutuhan ABK < 5 GT 6.840 5-30 GT 6.397 30-100 GT 4.320 100-150 GT 2.4482 Kebutuhan baku es 38.0003 Kebutuhan ikan 19.0004 Kebutuhan TPI 1.4245 Kebutuhan penghuni 7.843 Jumlah 86.272
(8) Luas lahan (ha)
Luas lahan yang diperlukan menurut Keputusan Menteri Kelautan dan
Perikanan No. KEP.10/Men/2004 tanggal 24 Februari 2004 tentang pelabuhan
perikanan diperlukan seluas minimal 15 ha belum termasuk kolam pelabuhan.
Sehingga paling tidak maksimum luas lahan yang diperlukan untuk PPN
Palabuhanratu adalah 30 ha (sesuai dengan batas minimum lahan PPS).
5.4.4 Pengembangan wilayah distribusi (hinterland)
Pengembangan wilayah distribusi berkaitan dengan daerah konsumen atau
hilir dari pelabuhan perikanan yakni sampai sejauh mana konsumen menyerap
ikan yang didaratkan di pelabuhan perikanan sehingga perlu suatu pola
pengembangan mengenai jumlah dan daerah konsumen.
Jumlah penduduk disuatu tempat atau negeri merupakan konsumen
potensial. Berdasarkan jumlah produksi ikan yang ada saat ini dan target produksi
156
serta rata-rata tingkat konsumsi penduduk, maka akan diperoleh jumlah konsumen
untuk produksi ikan PPN Palabuhanratu. Menurut Barani (2006), bahwa tingkat
konsumsi/kapita penduduk secara nasional pada tahun 2005 sebesar 22,76 kg/
kapita /tahun (angka perkiraan). Apabila dari target jumlah produksi PPN
Palabuhanratu sebesar 19.000.000 kg/tahun untuk dipasarkan didalam negeri
sebanyak 65% atau 12.350.000 kg dan sisanya 35% atau 6.650.000 kg untuk
diekspor, maka diperkirakan jumlah konsumen dalam negeri yang akan
mengkonsumsi ikan dari PPN Palabuhanratu sebanyak 12.350.000 kg dibagi
22,76 kg menjadi 542.619 orang. Dari produksi ikan yang akan dikonsumsi oleh
penduduk dalam negeri sebesar 12.350.000 kg, maka didistribusikan untuk
hinterland primer dalam negeri sebesar 32% atau sebesar 6.162.650 kg dan untuk
hinterland sekunder dalam negeri sebesar 33% atau sebesar 6.187.350 kg.
Rincian jumlah konsumen seperti pada Tabel 41.
Daerah konsumen untuk ikan yang berasal dari Palabuhanratu apabila
diasumsikan sama dengan kondisi tahun 2005, maka dari produksi ikan
19.000.000 kg diperoleh penyebaran untuk distribusi hinterland primer dalam
negeri sebesar 6.162.650 kg dan hinterland primer untuk ekspor sebesar
6.650.000 kg, hinterland sekunder sebesar 6.187.350 kg. Adapun pengembangan
penyebaran produksi untuk hinterland primer sebesar 12.812.650 kg yakni daerah
Sukabumi sebesar 653.241 kg, Bandung sebesar 129.416 kg, Jakarta sebesar
5.379.993 kg dan untuk ekspor sebesar 6.650.000 kg. Hinterland sekunder untuk
ikan pindang sebesar 3.403.043 kg tersebar ke Sukabumi sebesar 1.327.387 kg,
Bogor sebesar 1.054.943 kg, Cianjur sebesar 816.730 kg, Bandung sebesar
204.183 kg. Hinterland sekunder untuk ikan asin sebesar 2.784.307 kg tersebar ke
Sukabumi sebesar 696.077 kg, Bogor sebesar 640.391 kg, Cianjur sebesar
696.077 kg, Bandung sebesar 584.704 kg dan Garut sebesar 167.058 kg.
Berdasarkan kondisi tersebut terlihat bahwa untuk hinterland primer penyebaran
yang dominan adalah Jakarta (42%) dan untuk ikan ekspor (35%), sedangkan
pada hinterland sekunder penyebarannya merata.
157
Tabel 41 Pola hinterland hubungannya dengan PPN Palabuhanratu posisi tahun 2005 dan pengembangan PPN Palabuhanratu
Variabel
Posisi tahun 2005 Pengembangan PPN
Jumlah produksi (kg)
6.601.000 19.000.000
Distribusi di hinterland primer dalam negeri (kg)
3.193.596(48%) 6.162.650(32%)
Distribusi di hinterland primer luar negeri/ekspor (kg)
203.847 (3%) 6.650.000(35%)
Distribusi di hinterland sekunder (kg)
3.203.087(49%) 6.187.350(33%)
Jumlah konsumen dalam negeri (orang)
281.049 542.619
Daerah sebaran produksi a. Hinterland primer (kg) -Sukabumi (10%) (kg) -Bandung (2%)(kg) -Jakarta (82%) -Ekspor (6%)(kg) b.Hinterland sekunder (kg) Ikan pindang (55%) (kg) - Sukabumi (39%)(kg) - Bogor (31%) (kg) - Cianjur (24%) (kg) - Bandung (6%) (kg) Ikan asin (45%) (kg) - Sukabumi (25%) (kg) - Bogor (23%) (kg) - Cianjur (25%) (kg) - Bandung (21%) (kg) - Garut (6%) (kg)
3.397.443 (51%) 339.744 (10%) 67.949 (2%)
2.785.903 (82%) 203.847 (6%)
3.203.557(49%) 1.747.187
681.403541.628419.325104.831
1.459.685364.921335.728364.921306.53487.581
12.812.650 (77%)
653.241(5%) 129.416(1%)
5.379.993(42%) 6.650.000 (52%)
6.187.350 (33%)
3.403.043 1.327.187 1.054.943
816.730 204.183
2.784.307 696.077 640.391 696.077 584.704 167.058
5.5 Prioritas Pengembangan PPN Palabuhanratu
Prioritas pengembangan PPN Palabuhanratu yang akan ditentukan,
diperlukan agar pola pengembangan yang telah disusun tersebut dapat dijalankan
lebih terarah. Dalam penentuan prioritas pengembangan ini ditentukan alternatif
prioritas pengembangan, kemudian dari alternatif prioritas pengembangan
tersebut, maka ditentukan prioritas pengembangan PPN Palabuhanratu.
158
5.5.1 Penentuan alternatif prioritas pengembangan dan solusinya
Jenis alternatif prioritas pengembangan PPN Palabuhanratu berturut-turut
adalah: Peningkatan jumlah kapal, peningkatan jumlah ikan, peningkatan jumlah
tenaga kerja, peningkatan pendapatan pelabuhan, peningkatan PAD.
Prioritas pengembangan PPN Palabuhanratu diperoleh setelah penetapan
alternatif prioritas pengembangan melalui analisis PHA. Didalam analisis PHA
akan terjadi interaksi antar berbagai komponen pada jenis solusi pengembangan,
jenis alternatif prioritas pengembangan dan keterkaitan pelaku guna
mengoptimalkan fungsi PPN Palabuhanratu. Komponen pelaku/lembaga yang
dianggap berperan untuk mengoptimalkan fungsi PPN Palabuhanratu adalah :
Ditjen. Perikanan Tangkap, PPN Palabuhanratu, Pemerintah Daerah Kabupaten
Sukabumi (Dinas Perikanan), KUD Mina Sinar Laut, nelayan.
Selanjutnya solusi pengembangan, pelaku/lembaga dan alternatif prioritas
pengembangan berdasarkan interaksi keterkaitannya dalam bentuk struktur hirarki
PHA seperti Gambar 20. Pada Gambar 20 terlihat bahwa, dalam penentuan
prioritas pengembangan pelabuhan perikanan dilakukan terhadap lima alternatif
solusi pengembangan dan lima alternatif pelaku/lembaga, setiap alternatif
prioritas pengembangan dipertimbangkan untuk setiap solusi pengembangan yang
akan dijalankan dan pelaku/lembaga yang berperan dalam pengembangan PPN
Palabuhanratu. Agar semua kepentingan dapat diakomodasikan maka setiap
bentuk solusi pengembangan, pelaku/lembaga dan alternatif prioritas
pengembangan diminta pertimbangannya kepada stakeholder melalui kuesioner.
Berdasarkan lima alternatif prioritas pengembangan yaitu: (1) Peningkatan
pendapatan pelabuhan, (2) Peningkatan jumlah kapal, (3) Peningkatan produksi
ikan, (4) Peningkatan PAD dan (5) Peningkatan lapangan kerja maka urutan
prioritas pengembangan yang dianggap paling sesuai untuk pengembangan PPN
Palabuhanratu adalah:
(1) Peningkatan jumlah kapal yang mendarat di PPN Palabuhanratu, dengan nilai
prioritas paling tinggi sebesar 0,244 pada inconsistency 0,01. Batas
inconsistency yang diperbolehkan secara statistik adalah maksimum 0,1
(Gambar 20). Masih sedikitnya kapal berukuran >30 – 150 GT mendarat di
kolam pelabuhan. Pada tahun 2002 terdapat kapal >5 GT yang mendarat
159
sebanyak 145 buah kapal atau 31% dari jumlah kapal sebanyak 462 unit
(Tabel 14). Hal ini disebabkan terbatasnya kemampuan kolam I untuk
menampung kapal-kapal >30 GT karena dengan luas kolam 3 ha dominan
diisi oleh kapal-kapal ukuran <10 GT (95%). Kapal-kapal ukuran <10 GT
hanya melakukan penangkapan ikan di sepanjang perairan pantai sampai
dengan 12 mil sehingga produksi ikan yang diperoleh tidak sesuai dengan
harapan sekelas PPN Palabuhanratu. Menurut Dinas Perikanan dan Kelautan
Kabupaten Sukabumi (2001), bahwa potensi ikan-ikan pelagis besar seperti
tuna dan cakalang sudah sangat jauh dari perairan pantai. Sebagai akibatnya,
maka kapal-kapal penangkap ikan harus diperbesar ukurannya menjadi >10
GT, khususnya kapal berukuran >30 GT sehingga dapat menjangkau daerah
penangkapan ikan pada jalur >12 mil dari pantai atau menarik kapal-kapal
dari luar masuk ke Palabuhanratu.
OPTIMALISASI FUNGSI PELABUHAN PERIKANAN NUSANTARA PALABUHANRATU
Ditjen Perikanan
Tangkap (0.244)
Pemda/ Dinas
(0.112)
KUD (0.122)
Nelayan (0.214)
Peningkatan penda patan pelabuhan
(0.221)
Peningkatan Jlh kapal (0.244)
Peningkatan produksi
ikan (0.232)
Peningkatan PAD
(0.143)
Peningkatan lapangan
kerja (0.160)
SOLUSI PENGEMBANGAN Perluasan
kolam dan dermaga
Perluasan lahan
Operas ional
pelelangan ikan Pengadaan
BBM
Pelayanan prima
PPN Palabuhanratu (0.308)
LEMBAGA/PELAKU
GOAL
ALTERNATIF
PRIORITAS PENGEMBANGAN
(0.290) (0.253)
(0.086) (0.272) (0.099)
Gambar 20 Hasil proses hirarki analitik untuk alternatif prioritas pengembangan PPN Palabuhanratu.
160
Peningkatan jumlah kapal yang mendarat adalah merupakan alternatif
prioritas pengembangan yang pertama untuk dilaksanakan terutama untuk
kapal-kapal yang berukuran >30 GT, karena saat ini struktur armada di PPN
Palabuhanratu komposisinya >95% terdiri dari kapal-kapal ukuran kecil (<10
GT). Tercatat pada tahun 2002 jumlah kapal 30-150 GT mendarat di PPN
Palabuhanratu sebanyak rata-rata 16 unit kapal dalam satu bulan atau rata-rata
4 buah kapal dalam seminggu. Kapal ukuran kecil <10 GT sangat
mendominasi dengan jumlah 423 unit atau 93,58% dari jumlah kapal yang ada
pada tahun 2002 sebanyak 452 unit kapal, daerah operasi penangkapan kapal-
kapal tersebut masih berada di sepanjang pantai Kabupaten Sukabumi.
Akibatnya produksi ikan yang didaratkan juga rendah yakni sebesar 2.890.118
kg atau 240.843 kg/bulannya. Banyaknya kapal-kapal ukuran kecil, akan
menimbulkan permasalahan operasional pelabuhan terutama kesulitan dalam
pengaturan kapal di kolam yang berdampak terhadap frekuensi kapal yang
akan melakukan pendaratan di PPN Palabuhanratu. Menurut Rogge et al.
(1987) bahwa untuk mewujudkan PPN Palabuhanratu, maka kapal-kapal yang
berukuran <5 GT berbasis di PPI Cisolok (berjarak 11 km dari Palabuhanratu)
sehingga kapal-kapal berukuran kecil akan berkurang di PPN Palabuhanratu
dan memberi peluang kapal-kapal berukuran >5 GT berbasis lebih banyak di
PPN Palabuhanratu. Prioritas pengembangan peningkatan jumlah kapal
berukuran besar akan mempengaruhi produksi ikan yang didaratkan dan
peningkatan aktivitas di pelabuhan sehingga fungsi pelabuhan akan lebih
dioptimalkan. Apabila prioritas pengembangan ini dilaksanakan maka
terhadap solusi pengembangan perlu diupayakan untuk direalisasikan terutama
keputusan untuk memperluas kolam dan dermaga, perluasan lahan,
operasional pelelangan ikan, penyediaan BBM serta pelayanan prima oleh
pelabuhan (Gambar 20).
(2) Alternatif kedua adalah peningkatan jumlah produksi ikan yang didaratkan
dengan nilai rasio kepentingan 0, 232 pada inconsistency 0,01. Pelaksanaan
alternatif ini sejalan dengan pelaksanaan alternatif peningkatan jumlah kapal
berukuran 30 GT – 150 GT mendarat di PPN Palabuhanratu.
161
Jumlah ikan yang didaratkan belum sesuai dengan jumlah ikan yang
seharusnya mendarat di PPN Palabuhanratu. Kondisi ini disebabkan oleh
sedikitnya kapal-kapal ukuran >10 GT mendarat di PPN Palabuhanratu. Pada
tahun 2002 tercatat jumlah kapal yang berukuran >30 GT mendarat di PPN
Palabuhanratu hanya 13 unit dan yang berukuran >10 GT sebanyak 29 unit
(PPN Palabuhanratu, 2003).
Produksi ikan yang didaratkan mengalami peningkatan yang berfluktuatif
sejak tahun 2001 – 2005. Rata-rata ikan yang didaratkan setiap tahun sejak
tahun 2001 sampai dengan 2005 yakni 3.746 ton. Produksi ikan yang
didaratkan tertinggi pada tahun 2005 sebesar 6.601 ton dan produksi terendah
pada tahun 2001 sebesar 1.766 ton (Lampiran 15). Penurunan produksi
tersebut antara lain disebabkan oleh kondisi cuaca terutama gelombang di laut
cukup besar yang terjadi berbulan-bulan sehingga mengurangi jumlah kapal
yang melaut. Disamping karena faktor alam, hal tersebut disebabkan juga oleh
musim ikan sangat berkurang dan potensi perikanan di fishing ground-nya
sudah menurun. Menurut Lubis (2002), bahwa produksi perikanan yang
didaratkan menurun disuatu pelabuhan disebabkan antara lain:
1) Harga ikan di pelabuhan perikanan tidak layak. Pada tahun 2001 kondisi
pemasaran ikan melalui aktivitas pelelangan tidak berjalan sempurna
akibat lemahnya manajemen KUD Mina sebagai pengelola pelelangan
ikan sehingga harga ikan tidak sesuai dengan harga pasar. Rata-rata harga
ikan cakalang di pasaran sebesar Rp 5.000/kg, namun karena tidak ada
proses lelang maka harga ikan turun menjadi sekitar Rp 3.000/kg.
Akibatnya banyak kapal-kapal dari luar Palabuhanratu seperti dari Cilacap
sedikit (2 buah kapal setiap bulan) mendarat di PPN Palabuhanratu.
2) Lokasi pelabuhan perikanan berjauhan dengan lokasi perumahan nelayan.
Kondisi ini tidak berlaku untuk PPN Palabuhanratu karena perumahan
nelayan relatif dekat dengan lokasi pelabuhan perikanan.
3) Daerah pemasarannya jauh atau terdapat permasalahan dalam
pendistribusian ikan. Kondisi di PPN Palabuhanratu memang jarak antara
pelabuhan perikanan dengan daerah pemasaran relatif jauh yakni di Jakarta
162
dan Bandung dengan kondisi jalan yang sempit dan berliku-liku sehingga
mempersulit pendistribusian ikan ke daerah konsumen.
4) Potensi perikanan di daerah penangkapan ikan sudah menurun. Hal ini
disebabkan banyaknya alat tangkap bagan yang berada di Teluk
Palabuhanratu yang menyebabkan ikan-ikan pelagis besar jumlahnya
sedikit memasuki teluk.
5) Tidak terdapatnya fasilitas yang diperlukan dan atau beberapa fasilitas
yang ada sudah rusak. Kondisi ini memang sesuai dengan PPN
Palabuhanratu, dimana kondisi fasilitasnya tidak dapat mengakomodir
kapal-kapal berukuran >30 GT. Akibatnya banyak kapal-kapal dari luar
tidak masuk ke PPN Palabuhanratu.
6) Tidak terdapatnya pengorganisasian aktivitas yang baik di pelabuhan
perikanan. Hal ini tidak berlaku bagi PPN Palabuhanratu karena
aktivitasnya terorganisir dengan baik, walaupun beberapa SOP yang ada
belum dijalankan oleh petugas secara optimal.
Menurut statistik PPN Palabuhanratu 2005, bahwa jenis-jenis ikan
yang banyak didaratkan adalah ikan cakalang (Katsuwonus pelamis)
917.429 kg dengan nilai Rp 4.270.593.510,-, ikan tongkol lisong ( Auxis
thazard) 230.787 kg dengan nilai produksi Rp 1.074.328.700,-, tongkol
abu-abu (Thunnus tonggol) 86.447 kg dengan nilai produksi Rp
385.583.100,-, tongkol banyar 18.993 kg dengan nilai produksi Rp
89.249.400,-, ikan eteman/koyo (Menemaculata sp) 153.897 kg dengan
nilai produksi Rp 198.610.750,-, ikan layur (Trichiurus sp) 145.537 kg
dengan nilai produksi Rp 730.159.250,-, ikan tuna albakora (Thunnus
alalunga) 51.311 kg dengan nilai produksi Rp 378.615.176,-, tuna yellow
fin (Thunnus albacares) 641.702 kg dan nilai produksi Rp 4.961.427.350,-
,ikan tembang (Sardinella fimbriata) 109.270 kg dengan nilai produksi Rp
132.242.400,- dan ikan layang (Decapterus ruselli) 186.791 kg dengan
nilai produksi Rp 310.533.550,-.
163
0
2000
4000
6000
8000
10000
12000
14000
1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005Tahun
Jumlah (Ton)
Produksi Ikan Didaratkan Produksi Ikan Masuk Pelabuhan Jumlah Produksi Pelabuhan
Selain ikan yang didaratkan oleh kapal penangkap, banyak juga ikan yang
masuk melalui darat ke pelabuhan yakni dari Jakarta, Cianjur, Binuangeun,
Ujung Genteng, Ciwaru, Cisolok, Cibangban, Loji dan dari Lampung. Jenis
ikan yang masuk lewat darat ke pelabuhan antara lain cakalang, layaran,
layur, peperek, tembang, tuna dan tongkol. Pada tahun 2004 tercatat
sebanyak 3.036.662 kg ikan masuk ke pelabuhan melalui darat.
86
917
231 19 154 145 51642
109 187386
4271
1074
89 199730 379
4961
132 310
0
1000
2000
3000
4000
5000
6000
Cakalang Tongkollisong
Tongkolabu-abu
Tongkolbanyar
Eteman Layur Tunaalbakora
Tunayellow fin
Tembang Layang
Jenis ikan
Nilai
Produksi (ton) Nilai (Rp. jutaan)
Gambar 21 Produksi ikan di PPN Palabuhanratu periode tahun 1993-2005.
Gambar 22 Produksi dan nilai produksi ikan-ikan ekonomis penting di PPN Palabuhanratu tahun 2004 (Sumber : PPN Palabuhanratu, 2005).
164
Sebagian ikan yang ada di PPN Palabuhanratu didistribusikan untuk
keperluan bahan baku pengolahan ikan seperti pindang yang berlokasi di
Palabuhanratu, ikan asin, abon ikan yang berlokasi di Cisolok, dan untuk
ikan-ikan jenis tertentu seperti layur diekspor ke Korea. Selain itu ikan-
ikan olahan juga dijual ke Jakarta, Bandung, Sukabumi, Cianjur, Bogor
dan Cirebon. Lokasi tersebut menurut Lubis (2002) termasuk hinterland
sekunder yaitu daerah distribusi dari ikan-ikan olahan.
(3) Alternatif ketiga adalah peningkatan pendapatan pelabuhan dengan nilai
rasio kepentingan 0,221 pada inconsistency 0,01. Pendapatan pelabuhan
akan meningkat apabila terjadi peningkatan perluasan kolam dan dermaga,
perluasan lahan, peningkatan operasional pelelangan ikan, penyediaan
BBM dan pelayanan prima oleh pelabuhan. Pendapatan pelabuhan sangat
kecil. Sebagai akibat jumlah produksi ikan yang belum sesuai dengan
harapan sekelas PPN Palabuhanratu, maka pendapatan PPN Palabuhanratu
juga relatif kecil, disamping itu PPN Palabuhanratu belum memiliki areal
khusus untuk industri perikanan. Pada tahun 2005 tercatat pendapatan
pelabuhan sebesar Rp 166.766.050 yang diperoleh dari sewa tanah dan
bangunan, sewa peralatan, sewa gedung, pas pintu masuk (uang peron),
retribusi dari pedagang, sewa listrik dan usaha air bersih. Jumlah
pendapatan pelabuhan rata-rata per tahun sejak periode tahun 2001-2006
adalah sebesar Rp 103.056.097 (Tabel 42). Relatif kecilnya pendapatan
pelabuhan disebabkan oleh kecilnya tarif yang diatur oleh PP 62 tahun
2000, seperti sewa lahan Rp.1.000 / m2 per tahun. Banyak pendapatan lain
yang dihasilkan oleh pelabuhan misalnya retribusi lelang tidak masuk
menjadi pendapatan pelabuhan melainkan menjadi PAD.
Menurut PKSPL-IPB dan Ditjen. Perikanan (2000) bahwa pungutan
perikanan termasuk pendapatan pelabuhan merupakan pungutan non
pajak. Hasil pungutan tersebut dapat digunakan untuk meningkatkan
kinerja pengelolaan pelabuhan perikanan sehingga layanan terhadap
aktivitas perikanan dapat dijalankan dengan lebih efisien dan efektif.
165
Tabel 42 Pendapatan PPN Palabuhanratu berdasarkan PP 62 tahun 2000 tentang PNBP periode tahun 2001-2006
Tahun Jumlah (Rp)
2001 29.706.444
2002 74.507.270
2003 92.763.415
2004 153.984.400
2005 166.766.050
2006 100.609.000
Jumlah 618.336.579
Rata-rata 103.056.097
(4) Alternatif keempat adalah peningkatan lapangan kerja dengan nilai rasio
kepentingan sebesar 0,160 pada inconsistency 0,01. Peningkatan lapangan
kerja bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat terutama
masyarakat nelayan yakni dengan adanya pelaksanaan alternatif prioritas
pengembangan pertama dan kedua, yang berdampak terhadap peningkatan
penyerapan tenaga kerja. Apabila alternatif prioritas pengembangan ini
dijalankan memerlukan peningkatan perluasan kolam dan dermaga, perluasan
lahan, peningkatan operasional pelelangan ikan, penyediaan BBM dan
pelayanan prima oleh pelabuhan. Jumlah tenaga kerja yang terserap relatif
kecil disebabkan belum berkembangnya kapal-kapal berukuran besar (>30
GT) yang mendarat di PPN Palabuhanratu, belum banyaknya industri
perikanan yang tumbuh di PPN Palabuhanratu. Pada tahun 2005 jumlah
tenaga kerja sebanyak 4.301 orang terdiri dari nelayan yang langsung terlibat
dalam produksi sebanyak 3.498 orang, nelayan yang tidak langsung terlibat
dalam produksi sebanyak 803 orang (Tabel 43). Dengan adanya
pengembangan PPN Palabuhanratu, maka diperkirakan jumlah tenaga kerja
akan semakin meningkat.
166
Tabel 43 Jumlah tenaga kerja di PPN Palabuhanratu tahun 2005
Jenis-jenis tenaga kerja Jumlah (orang)
Nelayan 3.498
Bakul 150
Pedagang ikan segar 60
Pedagang ikan asin 15
Pemindang 8
Penyedia es 10
Penyedia garam 5
Penyedia BBM 11
Penyedia alat tangkap 5
Tenaga kerja bongkar muat 40
Pengurus dan penjual kapal 175
Tukang roda 50
Docking 67
Juru batu 70
Pengrajin alat tangkap 14
Motoris 24
Jumlah 4.301
(5) Alternatif kelima adalah peningkatan pendapatan asli daerah (PAD)
dengan nilai rasio kepentingan sebesar 0,143 pada inconsistency 0,01.
PAD sangat kecil, disebabkan oleh terbatasnya tanah areal industri yang
ada di dalam pelabuhan, sehingga PAD daerah Kabupaten Sukabumi dari
pelabuhan sangat sedikit. Sumber PAD terbanyak berasal dari retribusi
lelang, namun banyak sekali sumber-sumber pendapatan daerah tidak
langsung, sebagai contoh tumbuhnya usaha-usaha pendukung aktivitas
perikanan seperti perhotelan, toko-toko yang menjual kebutuhan
masyarakat nelayan, perbankan dan industri-industri perikanan lainnya
seperti cold storage dan pabrik es yang menghasilkan PAD dari pajak.
167
Berdasarkan Gambar 23 bahwa untuk mengoptimalkan fungsi PPN
Palabuhanratu maka prioritas solusi pengembangan yang perlu dijalankan adalah:
(1) Pembangunan kolam dan dermaga dengan nilai rasio kepentingan paling
penting dibandingkan dengan bentuk solusi permasalahan lainnya yaitu 0,290
pada inconsistency 0,01. Batas inconsistency yang diperbolehkan secara
statistik adalah maksimum 0,1. Keputusan ini dianggap tepat karena selama
ini masalah yang dihadapi adalah terbatasnya kapasitas kolam dan dermaga.
(2) Penambahan kapasitas penyediaan BBM dengan nilai 0,272 adalah merupakan
bentuk solusi pengembangan kedua yang perlu dijalankan untuk
mengoptimalkan fungsi PPN Palabuhanratu. Hal ini beralasan karena semakin
banyak dan semakin besar ukuran kapal yang mendarat maka memerlukan
BBM yang banyak pula.
Gambar 23 Posisi masing-masing bentuk solusi pengembangan pada aplikasi program PHA.
168
(3) Perluasan lahan dengan nilai 0,253 adalah solusi pengembangan yang sangat
mendesak untuk dilakukan dan merupakan satu paket dengan pembangunan
kolam dan dermaga. Lahan yang berada di sebelah selatan pelabuhan sekarang
adalah merupakan lahan yang cocok untuk membangun kolam dan dermaga.
Lahan tersebut akan dibebaskan oleh pemerintah daerah.
(4) Pelayanan prima dengan nilai adalah syarat mutlak yang diperlukan agar
aktivitas pelabuhan berjalan efisien dan efektif sehingga dengan nilai 0,099
maka pelayanan prima adalah salah satu solusi pengembangan yang sangat
diperlukan untuk meningkatkan fungsi PPN Palabuhanratu.
(5) Penyelenggaraan lelang dengan nilai 0,086 adalah solusi pengembangan untuk
menggerakkan aktivitas pemasaran ikan di PPN Palabuhanratu.
Penyelenggaraan lelang yang baik akan meningkatkan harga jual ikan yang
pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan nelayan.
Gambar 24 Perbandingan peningkatan jumlah kapal dengan peningkatan produksi untuk semua solusi pengembangan.
169
Sebagai perbandingan menyeluruh antara prioritas pengembangan yang
terpilih terhadap semua alternatif prioritas pengembangan maka ditunjukkan dua
perbandingan yaitu pertama peningkatan jumlah kapal dan peningkatan jumlah
produksi, kedua peningkatan jumlah kapal dan peningkatan jumlah pendapatan
pelabuhan seperti yang ditunjukkan pada Gambar 24.
Pada Gambar 24 terlihat bahwa solusi pengembangan perluasan lahan dan
penyediaan BBM diakomodir pada peningkatan jumlah kapal masing-masing
lebih tinggi dari peningkatan produksi. Solusi pengembangan penyediaan BBM
diakomodir pada prioritas pengembangan peningkatan jumlah kapal dengan nilai
lebih tinggi dari penyediaan lahan (Gambar 25). Penyediaan BBM selama ini
mengalami kendala karena pasokan sangat kurang dan harganya relatif mahal
yakni lebih besar dari harga solar bersubsidi sebesar Rp 4.800 (beda harga Rp
500), sehingga mengganggu operasional kapal melaut dan berdampak pada
operasional PPN Palabuhanratu.
Gambar 25 Perbandingan peningkatan jumlah kapal dan peningkatan pendapatan untuk semua solusi pengembangan.
170
Dari aspek kelembagaan untuk merealisasikan prioritas pengembangan PPN
Palabuhanratu, maka berdasarkan olahan PHA diperoleh bahwa, lembaga yang
berperan dalam pembangunan PPN Palabuhanratu adalah Ditjen.Perikanan
Tangkap, PPN Palabuhanratu, Pemerintah Daerah Kabupaten Sukabumi, KUD
Mina Sinar Laut dan nelayan. Gambar 26 memperlihatkan posisi masing-masing
lembaga untuk mengoptimalkan fungsi PPN Palabuhanratu.
Posisi pertama adalah PPN Palabuhanratu yang merupakan instansi pusat
yang ada di daerah dan merupakan UPT Departemen Kelautan dan Perikanan
sehingga sangat berkepentingan untuk mengembangkan PPN Palabuhanratu dan
sebagai pelaksana program. Posisi ketiga adalah Ditjen. Perikanan Tangkap yang
merupakan instansi pemerintah pusat yang akan mengeluarkan kebijakan dapat
tidaknya PPN Palabuhanratu dikembangkan karena segala kebijakan
pengembangan PPN Palabuhanratu termasuk aspek pendanaannya dikeluarkan
Gambar 26 Posisi lembaga yang berperan dalam pengembangan PPN Palabuhanratu berdasarkan olahan PHA.
171
oleh Dirjen. Perikanan Tangkap. Posisi ketiga adalah nelayan yang berpengaruh
terhadap pengembangan PPN Palabuhanratu dari aspek pengguna, karena semakin
berkembang PPN Palabuhanratu, maka diharapkan aktivitas perikanan yang
melibatkan nelayan akan semakin bekembang. Posisi keempat adalah KUD Mina
sebagai lembaga usaha nelayan sangat berperan didalam mengembangkan PPN
Palabuhanratu guna mengoptimalkan fungsinya sehingga berkembangnya PPN
Palabuhanratu akan menjadikan secara otomatis usaha KUD akan berkembang.
Posisi kelima adalah Pemerintah daerah yang sangat diharapkan dukungannya
dalam meyiapkan lahan guna pembangunan fasilitas dan lahan industri yang akan
dikelola oleh pemerintah daerah. Selain itu pemerintah daerah berkewajiban untuk
mempersiapkan prasarana untuk kelancaran aksesibilitas dari Palabuhanratu ke
luar Palabuhanratu. Pemerintah Kabupaten Sukabumi dan Pemerintah Jawa Barat
sangat berkepentingan untuk mengembangkan PPN Palabuhanratu karena akan
berdampak terhadap pembangunan ekonomi daerah. Pemerintah daerah
diharapkan membantu penyediaan lahan, jalan dan pelabuhan udara untuk
kepentingan PPN Palabuhanratu mengembangkan dan mengoptimalkan
fungsinya. KUD dan nelayan berperan dalam hal penggunaan PPN Palabuhanratu
sebagai basis usaha.
Pada Gambar 26 terlihat bahwa PPN Palabuhanratu mempunyai rasio
kepentingan paling tinggi (pertama), yaitu 0,308 pada inconsistency 0,02. Hal ini
cukup beralasan karena PPN Palabuhanratu adalah pelaksana sehingga
mempunyai komitmen besar untuk mengoptimalkan fungsi PPN Palabuhanratu.
Kebijakan pembangunan PPN Palabuhanratu dihasilkan Ditjen. Perikanan
Tangkap dengan nilai rasio kepentingan kedua sebesar 0,244 dan inconsistency
0,02. Pelaku yang berperan dalam pengembangan PPN Palabuhanratu : nelayan,
KUD dan PEMDA masing – masing memiliki nilai rasio kepentingan ketiga,
keempat dan kelima sebesar 0,112, 0,122, dan 0,214.
5.5.2 Sensitivitas prioritas pengembangan PPN Palabuhanratu
Berdasarkan prioritas pengembangan yang telah ditentukan di atas, maka
perlu ditentukan seberapa besar persentase perubahan yang terjadi pada strategi
prioritas yang telah ditetapkan, yakni dengan melakukan perubahan terhadap
172
parameter-parameter yang mempengaruhinya seperti strategi, solusi
pengembangan dan stakeholder-nya.
Kestabilan prioritas pengembangan pelabuhan perikanan yang telah dipilih
perlu dilakukan uji sensitivitas terhadap strategi terpilih tersebut. Untuk melihat
sensitifnya perubahan strategi maka berdasarkan simulasi terhadap grafik
sensitivitas (Gambar 27) diperoleh hasil seperti pada Tabel 44 :
Tabel 44 Hasil uji sensitivitas terhadap prioritas pengembangan pelabuhan perikanan terpilih
Hasil uji sensitivitas terhadap peningkatan jumlah kapal sebagai
prioritas pertama No Aspek/kriteria Rasio
kepentingan (RK )awal Range RK stabil Range RK sensitif
1 Ditjen. PT 0,244 0 – 1 Tidak ada
2 PPNP 0,308 0 – 1 Tidak ada
3 PEMDA 0,112 0 – 0,987 Tidak ada
4 KUD 0,122 0 – 0,995 Tidak ada
5 Nelayan 0,214 0 – 0,992 Tidak ada
Hasil uji sensitivitas terhadap prioritas pengembangan PPN Palabuhanratu
terpilih (peningkatan jumlah kapal sebagai prioritas pertama) terlihat pada Tabel
44. Berdasarkan Tabel 44, RK Ditjen Perikanan Tangkap masih di range RK
stabil, artinya bahwa Ditjen Perikanan Tangkap sangat mendukung
pengembangan PPN Palabuhanratu dengan prioritas pengembangan peningkatan
jumlah kapal. Begitu juga untuk pelaku yang lain seperti PPN Palabuhanratu, ,
Pemda, KUD dan nelayan tidak mengganggu kestabilan alternatif prioritas
pengembangan. Hal tersebut dimungkinkan karena keempat pelaku/lembaga
tersebut lebih besar dukungannya terhadap pengembangan PPN Palabuhanratu.
Pemerintah daerah akan membantu terhadap proses pembebasan lahan dalam
rangka pengembangan PPN Palabuhanratu (Gambar 27).
Pemerintah daerah juga berkewajiban untuk mempersiapkan aksesibilitas
prasarana perhubungan. Selanjutnya untuk menciptakan iklim yang kondusif bagi
investor, maka pemerintah harus memberikan insentif keringanan pajak kepada
pengusaha, menghindari adanya pajak yang berlebihan akibat adanya otonomi
173
daerah serta memberikan kemudahan didalam proses perijinan dan menciptakan
kondisi keamanan yang kondusif dalam berusaha.
Pengembangan PPN Palabuhanratu dengan prioritas pengembangan
peningkatan jumlah kapal yang mendarat menghendaki untuk segera dilengkapi
fasilitas terutama perluasan kolam pelabuhan dan penambahan kapasitas dermaga,
kapasitas BBM, dan perluasan lahan. Kendala yang mungkin akan timbul dalam
melaksanakan prioritas pengembangan ini adalah tidak tersedianya dana untuk
pengembangan PPN Palabuhanratu, sehingga pembangunan fasilitas belum dapat
dilakukan atau terkendala karena adanya kebijakan pemerintah, misalnya tentang
kenaikan BBM sehingga menyebabkan menurunnya aktivitas perikanan. Kondisi
Gambar 27 Hasil uji sensitivitas peningkatan jumlah kapal sebagai prioritas pertama prioritas pengembangan PPN Palabuhanratu.
174
tersebut menyebabkan jumlah kapal yang melakukan operasi penangkapan relatif
sedikit atau ada pengaruh global tentang embargo ekspor ikan sehingga
menyebabkan unit penangkapan mengurangi aktivitasnya.
Dengan kemungkinan adanya kejadian tersebut diatas, maka perlu dilakukan
beberapa skenario terhadap pelaksanaan prioritas pengembangan PPN
Palabuhanratu. Ada beberapa skenario pengembangan PPN Palabuhanratu yakni:
(1) Akibat terbatasnya dana pembangunan, maka dilakukan skala prioritas tentang
pentahapan pembangunan fisik, misalnya membangun kolam dan dermaga
terlebih dahulu, kemudian apabila dana sudah tersedia lagi, maka dilakukan
pembangunan fisik lainnya.
(2) Akibat adanya kebijakan pemerintah tentang kenaikan BBM, maka
pembangunan fasilitas fisik pelabuhan tetap dilakukan.
(3) Membangun semua fasilitas fisik yang ditentukan sehingga semua kendala-
kendala yang ada dapat diatasi.
6 PEMBAHASAN
6.1 Antisipasi Pengembangan PPN Palabuhanratu
PPN Palabuhanratu yang akan dikembangkan berdasarkan konsep triptyque
portuaire perlu diantisipasi agar berfungsi optimal terutama setelah tercapainya
kapasitas pelabuhan untuk type B (nusantara) dan selanjutnya berkembang kearah
type A (samudera). Pengembangan PPN Palabuhanratu ke arah type A ini telah
diwacanakan dalam beberapa pertemuan antara Dirjen Perikanan Tangkap dengan
Gubernur Jawa Barat pada bulan Oktober tahun 2005. Wacana-wacana tersebut
telah didukung oleh pemerintah daerah untuk membangun airport di
Palabuhanratu guna memperlancar distribusi produk perikanan, akan
memperlebar jalan dari Palabuhanratu ke Cibadak sehingga mobil-mobil yang
berkapasitas besar seperti mobil truk berkontainer dapat dengan mudah melalui
jalan tersebut untuk mendistribusikan produk perikanan, selain itu sedang
dilakukan penyelesaian jalan lingkar pantai selatan yang menghubungkan
Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Garut, Kabupaten
Tasikmalaya, dan Kabupaten Ciamis. Pemerintah pusat akan mengusahakan dana
pembangunan fisiknya. Dalam hal ini penulis mencoba menguraikan berbagai
antisipasi yang dilakukan apabila hal tersebut benar-benar akan dilaksanakan
adanya kemungkinan status PPN Palabuhanratu menjadi PPS Palabuhanratu
sehingga aspek-aspek operasional, penyediaan fasilitas, manajemen, pembinaan
mutu, pemasaran dan distribusi ikan serta industri perikanan maupun peranan
pemerintah dalam mendukung pengembangan PPN Palabuhanratu serta perlunya
keterkaitan antara pengaturan internasional yang berkaitan dengan pelabuhan
perikanan. Adapun pola kegiatan operasional PPS Palabuhanratu, baik untuk
kegiatan operasional di laut, maupun kegiatan operasional di pelabuhan perikanan
dan distribusi ikan (Gambar 28) adalah sebagai berikut:
6.1.1 Pemanfaatan sumberdaya ikan dan fishing ground (foreland)
Berdasarkan potensi MSY di WPP 9 Samudera Hindia, maka hasil
perhitungan target produksi ikan untuk pengembangan PPN Palabuhanratu adalah
19.000 ton/tahun atau 52 ton/hari, sehingga masih dibawah target minimum kelas
176
PPS yaitu sebesar 60 ton/hari. Target produksi ikan sebesar 52 ton/hari tersebut
apabila diasumsikan bahwa pelabuhan perikanan/pangkalan pendaratan ikan yang
ada di WPP 9 Samudera Hindia semuanya berfungsi. Menurut Lubis (2002),
bahwa 40% PPI tidak berfungsi, maka apabila hal tersebut diberlakukan, target
produksi ikan adalah sebesar 35.476 ton/tahun atau 97 ton/hari yang melebihi
target minimum produksi ikan PPS (Tabel 45). Fishing ground dari kapal-kapal
yang berukuran >30 GT – 150 GT akan mencapai perairan Samudera Hindia baik
yang ada di Perairan Sebelah Barat Sumatera, Perairan Selatan Jawa, Perairan
Selatan Bali dan Nusa Tenggara yang jaraknya lebih besar dari 12 mil atau
mencapai ZEEI.
Kegiatan penangkapan ikan di laut yang dilakukan oleh kapal-kapal ukuran
<10 GT adalah untuk daerah penangkapan ikan di sepanjang pantai sampai
dengan jarak 3 mil dari pantai. Alat tangkap yang digunakan adalah jaring payang,
pancing ulur, gillnet, jaring dogol, bagan apung. Jenis-jenis ikan yang tertangkap
kebanyakan ikan-ikan dasar seperti udang, tongkol kuwe, lobster, bambangan,
kakap hitam. Jenis-jenis ikan pelagis yang tertangkap seperti cakalang, pepetek,
teri. Kelompok kedua adalah kegiatan kapal-kapal ukuran 10–30 GT yang
melakukan penangkapan ikan di wilayah 3 mil sampai 12 mil dari pantai. Alat
tangkap yang digunakan umumnya adalah gillnet dan pancing ulur. Pada wilayah
ini sudah terpasang beberapa buah rumpon. Rumpon laut dalam ini sangat
menguntungkan karena cepat mendatangkan gerombolan ikan sehingga
mempermudah nelayan menangkapnya. Jenis-jenis ikan yang tertangkap adalah
tuna, cakalang, layur, layaran, cucut, pari dan ikan pelagis besar lainnya.
Kelompok ketiga adalah kapal-kapal berukuran 30–150 GT. Dengan
bertambahnya kapal berukuran besar, maka kapal-kapal tersebut yang akan
beroperasi melakukan penangkapan ikan sampai ke laut lepas internasional di
Samudera Hindia (WPP 9). Jenis-jenis ikan utama yang menjadi tujuan
penangkapan adalah jenis tuna. Dalam kegiatan penangkapan ikan ini mencakup
pula kegiatan penanganan ikan di atas kapal berupa pembersihan (cleaning),
pengawetan dengan pendinginan /pembekuan menggunakan es (icing/freezing)
atau penggaraman (salting) dan penyimpanan dalam fish hold (storage). Semua
177
kebutuhan kapal untuk melakukan operasi penangkapan ikan tersebut akan dapat
difasilitasi oleh PPS Palabuhanratu.
Penanganan ikan yang baik adalah dengan menjaga agar ikan tetap segar
setelah ditangkap. Ikan-ikan hasil tangkapan tersebut dibersihkan dari kotoran isi
perut dan insangnya. Ikan-ikan tersebut disimpan dalam palkah (fish hold) dan
diawetkan dengan es. Sebagian kapal yang memiliki mesin pendingin/pembeku
akan menyimpan dalam ruangan pendingin. Dengan demikian ikan-ikan tersebut
tetap dingin dan segar selama perjalanan di laut. Sehubungan dengan hal itu,
maka kapal-kapal penangkapan ikan yang berlayar harus dibekali dengan es yang
cukup untuk menjaga mutu ikan selama operasi penangkapan. Semua es yang
diperlukan agar difasilitasi oleh pelabuhan untuk memperolehnya.
Berdasarkan pengkajian status pemanfaatan sumberdaya ikan di WPP 9
Samudera Hindia, ternyata bahwa sumberdaya jenis ikan pelagis besar masih
besar potensi untuk dimanfaatkan terutama untuk ikan tuna. Jenis ikan tuna yang
bersifat high migration melintasi antar perairan negara saat ini telah diatur
pemanfaatannya oleh organisasi internasional seperti Indian Ocean Tuna
Comission (IOTC), Convention for the Conservation of South Bluefin Tuna
(CCSBT) dan WCPFC (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2003). Saat ini
Indonesia belum menjadi anggota organisasi internasional yang mengatur tuna
tersebut sehingga Indonesia tidak diperhitungkan didalam pengaturan
pemanfaatan tuna yang menyebabkan kepentingan Indonesia untuk memanfaatkan
tuna terbatas bahkan akan ada embargo terhadap ekspor tuna ke luar negeri.
Kondisi ini akan berdampak kepada pemanfaatan tuna oleh nelayan Palabuhanratu
sehingga pemerintah diharapkan berperan dalam organisasi perikanan regional
dan peningkatan intensitas loby perdagangan internasional. Pelaksanaan
monitoring terhadap pemanfaatan sumberdaya ikan oleh PPN Palabuhanratu
selama ini telah dilakukan dengan baik dalam arti bahwa kegiatan pengumpulan
data dilakukan oleh petugas yang terlatih dan diatur pelaksanaannya selama 24
jam. Hasil pelaksanaan pendataan statistik perikanan dilaporkan kepada Direktorat
Sumberdaya Hayati Ditjen. Perikanan Tangkap di Jakarta.
178
Tabel 45 Perhitungan target alokasi pemanfaatan SDI PPS Palabuhanratu
Tipe pelabuhan PPS PPN PPP PPI Kapasitas minimum (ton)/hari 60 30 10 5 Jumlah PP/PPI (unit) 3 3 3 83
Kapasitas minimum masing-masing tipe pelabuhan perikanan berdasarkan kelompok SDI (ton/tahun)
PPS PPN PPP PPI Jumlah Sumberdaya Ikan
Potensi lestari (ton)
Estimasi JTB (80% potensi) (
ton)
180 x 365 = 65.700
90 x 365 = 32.850
30 x 365 =10.950
1035 x 365 = 151.475 260.975
Alokasi pemanfaatan
SDI untuk PPN Palabuhanratu
(Ton)
Pelagis besar 366.260 293.008 73.764 38.882 12.294 170.068 293.008 12.294Pelagis kecil 526.570 421.256 106.050 53.025 17.675 244.505 421.256 17.675Demersal 135.130 108.104 27.215 13.607 4.536 62.746 108.104 4.536Ikan karang 12.880 10.304 2.594 1.297 432 5.981 10.304 432Udang paneid 10.700 8.560 2.155 1.077 359 4.968 8.560 359Lobster 1.600 1.280 322 161 54 743 1.280 54Cumi-cumi 3.750 3.000 755 378 126 1.741 3.000 126Jumlah 1.056.890 845.512 212.856 106.428 35.476 490.752 845.512 35.476
Produksi ikan yang didaratkan di dermaga PPN Palabuhanratu periode tahun 1993-2005 (ton) = 43.969 ton Rata-rata/tahun = 3.382 ton Peluang pengembangan penangkapan PPN Palabuhanratu (ton) = 35.476 - 3.382 = 32.094 ton
178
179
Aktivitas di laut Aktivitas di darat
Pembersihan Pendinginan Penyimpanan
Penangkapan Di Laut Bongkar Angkut Sortir
Tabur Es
Pemasaran Antar Pulau
Transportasi Darat
Tabur Es
Pemasaran Lokal
Suplai Air Suplai BBM
Suplai Makanan
Pelayanan
Kapal Mesin Alat
Perbaikan
Pembersihan
Istirahat
Tambat / Istirahat
Pendaratan
Lelang
Angkut
Pembersihan
Pelelangan
Pember sihan
Packing
Freezer
Pembersihan Sortir
Packing
Cold Storage
Penyortiran Pengepakan
Angkut Pember sihan Packing Tabur Es
Pengolahan
PengeringanPenggara man PengalenganFilletingTepung IkanKrupuk IkanMinyak
dll
Gambar 28 Rencana kegiatan operasional di darat dan di laut PPS Palabuhanratu.
179
180
Dalam hal pengawasan, telah dibentuk satuan pengawas perikanan yang
sehari-harinya bertugas sebagai pengawas dan mengeluarkan surat laik
operasional (SLO) untuk setiap kapal yang melakukan operasi penangkapan ikan.
Selain itu pula dibentuk penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) PPN Palabuhanratu
yang juga sekaligus sebagai satuan pengawas perikanan untuk melakukan
tindakan hukum terhadap pelanggaran perikanan yang dilakukan oleh masyarakat
perikanan. Dengan adanya pengawas perikanan ini maka pemanfaatan
sumberdaya akan lebih terkendali.
PPN Palabuhanratu berada di WPP 9 Samudera Hindia, sehingga dalam
operasionalnya harus menghadapi persaingan dengan pelabuhan-pelabuhan
perikanan yang ada di WPP 9 Samudera Hindia. Dari 216 unit pelabuhan
perikanan yang ada di WPP 9 hanya ada 11 unit pelabuhan perikanan yang dapat
mengakomodasi kapal-kapal perikanan berukuran >30 GT. Berdasarkan data
yang tersedia dari 6 unit pelabuhan perikanan yang terdapat di WPP 9 yakni PPS
Jakarta, PPN Palabuhanratu, PPS Bungus, PPS Cilacap, PPN Prigi dan PPN
Sibolga, maka bentuk persaingan yang dibandingkan adalah fasilitas pelabuhan,
jenis pendisikan SDM, jenis ikan, jenis alat penangkapan ikan dan jenis kapal
pelabuhan perikanan.
Dari hasil perhitungan menurut metode skalogram terhadap persaingan 6
unit pelabuhan perikanan, ternyata bahwa:
(a) Dari segi jumlah jenis fasilitas, kelangkaan fasilitas dan bobot fasilitas, maka
PPS Jakarta memiliki nilai indeks hierarki pelabuhan perikanan (Ii) lebih
besar dibandingkan dengan 5 unit pelabuhan perikanan lainnya. Hal tersebut
disebabkan oleh besarnya peranan PPS Jakarta dalam menjalankan fungsinya
sehingga memiliki fasilitas yang relatif lengkap. Menurut Rustiadi et al.
(2005) bahwa semakin besar nilai indeks hierarki maka semakin besar pula
peranannya sebagai pusat pengembangan wilayah dalam hal ini berkaitan
dengan pengembangan ekonomi perikanan. Sehingga PPS Jakarta dapat
dikatakan sebagai inti dalam wilayah nodal yang diasumsikan sebagai pusat
kegiatan industri perikanan, pusat pasar serta pusat inovasi yang berkaitan
dengan aktivitas perikanan. Sedangkan 5 unit pelabuhan perikanan lainnya
dapat sebagai plasma atau hinterland yang memasok bahan mentah ke PPS
181
Jakarta. Kondisi ini tergambar bahwa PPN Palabuhanratu pada tahun 2005
memasok ikan segar ke PPS Jakarta sebanyak 2.780.734 kg berupa ikan tuna.
Berkaitan dengan pengembangan PPN Palabuhanratu, maka pengembangan
fasilitas fisik diarahkan untuk meningkatkan kapasitas fasilitas terutama
perluasan kolam, perluasan dermaga dan perluasan areal.
(b) Dari segi sumberdaya manusia pengelola pelabuhan bahwa PPN
Palabuhanratu memiliki keunggulan baik dari jumlah jenis pendidikan SDM,
bobot kelangkaan SDM, dan bobot SDM. Keunggulan PPN Palabuhanratu
ini disebabkan oleh semakin membaiknya pembinaan yang dilakukan oleh
manajemen pelabuhan terutama adanya kemudahan yang diberikan dalam
mengembangkan kualitas pendidikan sehingga saat ini sudah tersedia 3 orang
berpendidikan S2, 8 orang berpendidikan S1, 4 orang berpendidikan DIV, 2
orang berpendidikan D3, dan sisannya SLTA, SLTP dan SD. Kemudian saat
ini sedang diberi kesempatan sebanyak 11 orang berpendidikan SLTA
mengikuti jenjang S1. Dengan demikian dilihat dari segi SDM, maka PPN
Palabuhanratu sudah menyiapkan diri untuk menjadi PPS Palabuhanratu.
Menurut Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (1998) bahwa semua
pegawai harus bersifat proaktif meningkatkan partisipasi masyarakat dalam
melaksanakan pembangunan. Hal ini berarti pelayanan yang diberikan oleh
pegawai harus memberikan nilai tambah berupa pemberdayaan masyarakat,
mengayomi masyarakat dan meningkatkan produktivitas masyarakat.
(c) Dari segi jenis ikan yang didaratkan ternyata bahwa PPS Cilacap memiliki
jumlah jenis ikan, bobot kelangkaan jenis ikan dan bobot jenis ikan lebih
besar dibandingkan dengan 5 pelabuhan perikanan lainnya karena PPS
Cilacap terletak dekat dengan daerah penangkapan ikan di perairan Segara
Anakan, Teluk Pangandaran dan Samudera Hindia yang merupakan tempat
berbagai jenis ikan. Selain itu PPS Cilacap terletak diantara beberapa tempat
pendaratan seperti PPI Pangandaran, PPI Sadeng dan merupakan tempat
pendaratan alternatif untuk kapal-kapal yang melakukan operasi penangkapan
di Laut Jawa Bagian Selatan. Pengembangan PPN Palabuhanratu diarahkan
untuk memperbanyak jumlah jenis ikan yang didaratkan yang berasal dari
kapal-kapal yang melakukan operasi penangkapan di Samudera Hindia.
182
Selain itu diupayakan untuk bekerjasama dengan Balai Besar Penangkapan
Ikan Semarang dan perguruan tinggi untuk mengintrodusir jenis alat
penangkapan ikan yang baru seperti alat penangkapan untuk ikan laut dalam
dan penggunaan alat bantu penangkapan ikan yakni rumpon.
(d) Jenis alat penangkapan ikan yang paling banyak terdapat di PPN
Palabuhanratu sebanyak 11 jenis, kemudian bobot kelangkaannya paling
besar, dan bobot jenis alat tangkap memiliki nilai paling besar. Hal tersebut
terkait dengan pelayanan yang diberikan oleh PPN Palabuhanratu terhadap
semua jenis tipe kapal sehingga hasil tangkapan yang didaratkan bervariasi.
Arah pengembangan PPN Palabuhanratu untuk jenis alat penangkapan ikan
terutama pengembangan alat bantu penangkapan ikan berupa rumpon,
pemanfaatan purse seine dan pengenalan alat penangkapan ikan yang lebih
modern.
(e) Berdasarkan jenis kapal ikan ternyata bahwa PPS Jakarta dan PPN
Palabuhanratu memiliki nilai yang paling besar, namun dari segi indeks bobot
kelangkaan, maka PPS Jakarta lebih unggul dibandingkan dengan PPN
Palabuhanratu. Berdasarkan bobot jenis kapal ternyata bahwa PPS Jakarta
dan PPN Palabuhanratu memiliki angka yang sama untuk jumlah jenis kapal.
Perbedaannya adalah bahwa PPN Palabuhanratu banyak melayani kapal-
kapal ukuran kecil.
Berdasarkan data teknis dan operasional untuk masing-masing pelabuhan,
maka PPS Bungus memiliki kedalaman kolam pelabuhan sampai dengan
8 m sehingga dapat didarati oleh kapal >30 GT. Pada tahun 2005 menurut
Ditjen Perikanan Tangkap (2005) tercatat kapal ukuran >30 GT jumlahnya
sekitar 10-15 unit kapal yang mendarat di pelabuhan ini. Prospek
pemanfaatan PPS Bungus cukup bagus mengingat Bandara Internasional
Minangkabau sudah dapat berfungsi untuk melayani kargo ikan, namun tetap
saja ikan ekspor tersebut diangkut ke Jakarta. PPS Cilacap hanya memiliki
kedalaman kolam 3 m, sehingga kapal-kapal berukuran >30 GT sulit masuk
ke kolam, dan aksesibilitas dari PPS Cilacap ke Jakarta cukup jauh
dibandingkan dengan posisi PPN Palabuhanratu. Selanjutnya untuk PPS
183
Jakarta memiliki tempat yang strategis karena berada di ibu kota negara,
kondisi kolamnya cukup dalam sampai dengan 6 m sehingga dapat
menampung kapal ukuran >30 GT, industri perikanan sudah tumbuh, saat ini
menjadi pusat pertumbuhan perikanan di DKI Jakarta karena PPS Jakarta
menampung sebagian produksi ikan yang datang dari berbagai daerah di
Pulau Jawa termasuk dari Palabuhanratu dan dekat dengan Bandara
Internasional Sukarno-Hatta. Pelabuhan umum Benoa memiliki keunggulan
dekat dengan Bandara Internasional Ngurah Rai Bali sehingga kegiatan
ekspor ikan segar cukup mudah. PPN Sibolga kondisi teknis kolam dan
dermaga hanya dapat menampung kapal <30 GT, selain itu banyak kapal
melakukan pendaratan di masing-masing Tangkahan sehingga PPN Sibolga
kurang berfungsi. Kemudian aksesibilitas dari PPN Sibolga ke kota Medan
relatif jauh berjarak 384 km dengan kondisi jalan yang berliku-liku dan
sempit. Pelabuhan Perikanan Sabang adalah basis bagi kapal-kapal yang
melakukan operasi penangkapan di Perairan Aceh dan Samudera Hindia.
Kondisi teknis kolam dan dermaga dapat menampung kapal berukuran >30
GT. Aksesibilitas menuju Banda Aceh harus ditempuh melalui jalan laut.
Adanya persaingan pelabuhan, mendorong PPN Palabuhanratu untuk
memberikan hal-hal yang menarik bagi kapal-kapal untuk datang ke PPN
Palabuhanratu mulai dari penyediaan fasilitas vital seperti kondisi dermaga dan
kolam yang memenuhi syarat sehingga kapal-kapal cukup terlindung, hal tersebut
sesuai dengan pernyataan Ayodhyoa (1975), bahwa pelabuhan perikanan adalah
suatu tempat di wilayah perairan yang terlindung bagi kapal-kapal untuk
melakukan bongkar muat maupun berlabuh. Selanjutnya PPN Palabuhanratu telah
memfasilitasi perusahaan untuk menyiapkan BBM, air bersih dan es yang
merupakan keperluan pokok kapal-kapal, sehingga dengan penyediaan fasilitas
tersebut menyebabkan kapal-kapal dari luar akan tertarik untuk mendarat di PPN
Palabuhanratu. Saat ini terlihat bahwa banyak kapal-kapal dari Cilacap, Benoa
dan Jakarta mendarat di PPN Palabuhanratu. Sejak tahun 2002 sampai tahun 2005
ada sebanyak 139 unit kapal berukuran 30–150 GT mendarat di PPN
Palabuhanratu atau 11,2% dari total kapal ukuran 30-100 GT sebanyak 1.240 unit
yang memanfaatkan WPP 9 Samudera Hindia.
184
6.1.2 Fasilitas dan operasional PPS Palabuhanratu
Direncanakan ada pengembangan kolam III dengan kedalaman 6 m,
sehingga dapat mengakomodir kapal sampai ukuran 1000 GT. Kegiatan
pendaratan kapal penangkap ikan di dermaga mencakup bongkar ikan
(unloading), pengangkutan ikan ke cold storage, ke tempat pengalengan ikan atau
pengolahan ikan lainnya atau pengangkutan ke TPI dan pembersihan
(sortir/cleansing).
Dalam rangka pembangunan PPS Palabuhanratu, maka direncanakan ada 3
kolam yang berfungsi untuk tempat labuh kapal sekaligus tempat membongkar
ikan di dermaga bongkar. Hasil tangkapan ikan kapal-kapal kecil (<30 GT) di
dermaga I setelah dibongkar di dermaga bongkar, kemudian diangkut ke areal TPI
untuk dilakukan pelelangan. Setelah dilelang, maka sebagian ikan dijual dalam
bentuk segar guna keperluan konsumsi masyarakat lokal atau restoran.
Sebagiannya lagi dibawa ke tempat pengolahan ikan untuk diolah menjadi ikan
pindang atau sebagian dibawa ke Jakarta untuk bahan baku industri pengolahan
ikan. Kapal-kapal berukuran 30–100 GT yang mendarat dan membongkar hasil
tangkapannya di dermaga II hampir semuanya jenis-jenis ikan untuk ekspor
seperti ikan tuna.
Kapal-kapal yang telah selesai melakukan pembongkaran ikan hasil
tangkapannya, akan menuju ke dermaga pelayanan (service berth) untuk memuat
perbekalan melaut berupa bahan bakar minyak, air bersih, es, bahan makanan dan
keperluan lainnya. Dalam perencanaannya, dermaga pelayanan akan dipisahkan
dengan dermaga bongkar, sehingga kegiatan-kegiatan pembongkaran ikan
memiliki dermaga khusus untuk mempercepat pembongkaran ke TPI atau mobil
angkutan.
Kapal-kapal yang telah beroperasi memerlukan pemeliharaan dan perbaikan.
Biasanya setiap 6 bulan kapal akan naik dock. Kegiatan ini mencakup perbaikan
bagi kapal-kapal yang rusak berat/rusak ringan, penggantian suku cadang, maupun
perawatan rutin sebelum melaut. Pihak pelabuhan harus menyiapkan tempat
perbaikan kapal berupa slipway, bengkel, dan toko tempat pembelian spare part
kapal maupun mesin dan alat tangkap untuk melaksanakan kegiatan ini
185
Kapal-kapal yang telah selesai membongkar hasil tangkapannya maupun
yang belum selesai membongkar hasil tangkapannya dan kapal yang telah selesai
diperbaiki, akan tambat dan istirahat sambil menunggu operasi penangkapan ikan
berikutnya. Selama menunggu masa tambat/istirahat, maka ABK akan beristirahat
di darat. Banyak hotel-hotel dan penginapan murah yang tersedia di
Palabuhanratu. Sebagian hotel tersebut juga menyediakan berbagai hiburan. Di
pelabuhan juga tersedia mushola, masjid, puskesmas nelayan, wartel, bank,
pegadaian yang dapat digunakan oleh ABK. Lokasi ini berdampingan dengan
pasar yang menyediakan keperluan untuk nelayan.
Hasil tangkapan ikan dari kapal-kapal ukuran <30 GT umumnya dilakukan
pelelangan terlebih dahulu, karena umumnya jenis-jenis ikan yang didaratkan
mutunya sudah menurun sehingga produknya dijual untuk konsumsi masyarakat
lokal atau sebagai bahan baku pindang. Kegiatan pelelangan ikan hasil tangkapan
ini merupakan kegiatan utama dan dilakukan di tempat pelelangan ikan (TPI).
Didalam kegiatan pelelangan ikan ini mencakup kegiatan administrasi
(pencatatan, penarikan retribusi, dan lain-lain) yang dilakukan oleh petugas TPI,
kegiatan jual beli yang melibatkan pemilik ikan/penjual dan pedagang/pembeli.
Pelabuhan perikanan akan membangun gedung baru pelelangan, untuk
mengantisipasi produksi hasil tangkapan yang lebih banyak. Direncanakan gedung
pelelangan yang lama akan dijadikan areal untuk pemasaran ikan segar.
Bagi ikan-ikan hasil tangkapan yang telah dilelang selanjutnya disortir dan
dipak untuk kemudian dipasarkan atau diolah lebih lanjut. Kegiatan ini dilakukan
pada satu ruangan di dalam TPI. Apabila terjadi produksi yang melimpah, maka
penyortiran dilakukan di atas meja sortir yang dirancang khusus, kemudian
menambah tenaga kerja untuk penyortiran ikan.
Dalam proses pembongkaran ikan dari laut ke dermaga dan pengangkutan
ikan ke TPI atau ke cold storage atau ke tempat pengolahan ikan lainnya,
diperlukan penanganan ikan yang lebih baik agar mutu tetap terjaga. Pada saat
kapal merapat di dermaga, ikan-ikan yang dibongkar dari palkah, dibersihkan dari
kotoran dan es dengan menggunakan air bersih bukan dengan air dari kolam
pelabuhan, kemudian disortir dan disusun dalam keranjang dengan ditaburi es.
Selanjutnya keranjang-keranjang yang berisi ikan tersebut diangkut ke tempat
186
penyimpanan atau tempat pengolahan atau langsung dipasarkan. Pelabuhan juga
akan menyediakan ruangan khusus untuk penanganan jenis ikan tuna yang
diproses dalam bentuk segar atau tuna loin.
Kegiatan pengolahan meliputi kegiatan pengalengan ikan (canning),
pendinginan/pembekuan di dalam cold storage atau freezer, pengawetan dengan
pengeringan (drying), pembuatan abon ikan, baso ikan, kerupuk ikan, kerupuk
kulit ikan, terasi, pemindangan dan sebagainya. Kegiatan industri pengolahan ikan
akan ditempatkan dalam satu kawasan berikat industri perikanan yang dikelola
Pemerintah Daerah. Kegiatan pengolahan ini akan banyak melibatkan para
pengolah tradisional, maupun para pengolah modern yang mengolah ikan untuk
kepentingan pemasaran antar pulau maupun ekspor. Kegiatan ini akan banyak
menyerap tenaga kerja lokal sehingga masyarakat pencari kerja tidak perlu ke luar
daerah mencari kerja dan kegiatan ini akan mengurangi jumlah pengangguran.
Jaringan drainase, untuk setiap gedung harus ada dengan kedalaman dan
lebar yang cukup serta mempunyai pengaturan kemiringan ke arah outlet.
Kemudian di sisi jalan komplek harus terdapat drainase. Agar air laut tetap bersih,
maka outlet air kotor akan diarahkan ke jaringan IPAL.
PPS Palabuhanratu dapat berperan sebagai pusat pembinaan penanganan
ikan hasil tangkapan mulai dari pembinaan penanganan ikan di atas kapal hingga
didaratkan di pelabuhan (TPI). Tujuan pembinaan penanganan ikan ini adalah
untuk menghasilkan produk yang memenuhi standar mutu dan memperoleh
jaminan keamanan pangan untuk memperluas pasar dan untuk mendukung
kebutuhan bahan baku industri. Strategi yang dijalankan untuk mencapai tujuan
tersebut adalah :
(a) Mempersiapkan fasilitas pelabuhan perikanan sesuai dengan standar
pembangunan pelabuhan perikanan sehingga aktivitas perikanan yang
dilayani berjalan seefisien mungkin, misalnya fasilitas instalasi penyediaan
air, instalasi BBM, crane untuk bongkar muat harus selalu ada ditepi
dermaga.
(b) Membangun sistem rantai dingin (cold chain system). Pengembangan cold
chain system di Pelabuhan Perikanan, meliputi:
187
a) Penyediaan pabrik es oleh pihak swasta dalam kuantitas dan kualitas es
yang terjamin mutunya dengan harga yang terjangkau.
b) Mempersiapkan alat penghancur es (ice crusher) dalam jumlah yang
cukup.
c) Mempersiapkan kapal yang memenuhi syarat untuk penanganan ikan
dengan konstruksi palkah yang memenuhi kriteria penanganan mutu,
dan melengkapi freezer pada kapal-kapal yang berukuran besar (>30
GT).
d) Mempersiapkan awak kapal yang terlatih untuk menangani ikan di atas
kapal.
e) Penanganan ikan sampai di TPI, mulai dari persiapan pemindahan ikan
dari palkah atau freezer, pengangkutan ikan ke TPI atau truk
berefrigerasi. TPI harus dirancang agar tercipta kondisi kegiatan
pelelangan ikan yang dapat mempertahan mutu ikan. Sebaiknya TPI
selalu dijaga kondisi kebersihan, ketertiban dan keamanannya. Di
sekeliling TPI atau di luar pintu masuk TPI harus terdapat tempat
penampung air bersih agar peserta lelang dapat membersihkan kakinya
sebelum masuk ke TPI. Penerangan di dalam TPI agar disesuaikan
dengan kebutuhan sehingga setiap tempat di dalam TPI memperoleh
cahaya penerangan yang cukup. Perlu pula dipersiapkan lampu
serangga di dalam ruang TPI. Di ruang peragaan ikan yang hendak
dilelang perlu dilengkapi dengan kran air bersih. Lantai TPI harus
memiliki kemiringan sekitar 5% sehingga mencegah adanya genangan
air. Lantai TPI dibuat licin guna mencegah kerusakan tubuh ikan pada
saat dilelang. Sistem drainase gedung TPI agar dirancang sehingga
mengalir ke tempat instalasi pengolahan air limbah (IPAL). Pintu
masuk ke dalam TPI perlu dilengkapi dengan sistem entry yakni setiap
orang dapat masuk apabila menggunakan kartu masuk sehingga pintu
dapat terbuka. Begitu juga orang yang akan keluar, perlu ada bukti
karcis masuk, agar kegiatan nelayan berjalan efisiensi dan produktif,
sehingga aktivitas mereka dapat dipantau dan dikendalikan.
188
Di atas Kapal
TPI/PPI/ Pelabuha
Cold Storage
UPITruk berefrigerasi
Gerobak Dorong
Sepeda berinsulasi
Motor berinsulasi
Truk berefrigerasi
Super Market
Pasar Dalam Negeri
Pasar Tradisional
Perkantoran
Perumahan
RefrigratedContainer
Pesawat
Es crusher Pabrik es
Domain Perikanan Tangkap
Gambar 29 Cold chain system di PPS Palabuhanratu.
f) Disediakan pula tempat parkir yang luas untuk truk-truk berefrigerasi.
Motor berinsulasi, sepeda berinsulasi dan gerobak dorong perlu pula
dipersiapkan, kendaraan-kendaraan tersebutlah yang mengantarkan
ikan-ikan ke cold storage, refrigerated container, atau ke pesawat
terbang, ke pasar dalam negeri, super market, pasar tradisional,
perkantoran atau ke perumahan. Gambar 29 menunjukkan pola cold
chain system usaha perikanan.
189
Umumnya bila kita berkunjung ke pelabuhan perikanan, hal pertama yang
kita rasakan adalah bau, kotor, penuh sampah, saluran drainase mampat, genangan
air kotor, terkesan buruk sanitasinya dan tidak hygienis. Kondisi tersebut pada
umumnya disebabkan oleh:
(1) Kepadatan kegiatan di pelabuhan perikanan yang tinggi.
(2) Kurang atau tidak berfungsinya sarana dan prasarana air bersih, drainase, air
limbah, pengelolaan sampah.
(3) Kurangnya kesadaran masyarakat pengguna pelabuhan akan kebersihan.
Sebuah pelabuhan memerlukan pemeliharaan secara periodik untuk menjaga
fungsi/perannya sebagai pusat kegiatan pendaratan hasil perikanan, tempat
pemasaran hasil laut, tempat penyimpanan, suplai kebutuhan bahan bakar dan air
besih kapal, tempat pemeliharaan dan perbaikan kapal. Seluruh kegiatan tersebut
akan menghasilkan pencemar (polutant) baik limbah padat maupun cair. Jika
sarana dan prasarana tidak mencukupi, maka lingkungan pelabuhan akan menjadi
buruk, kualitas air dan tingkat kebersihan rendah. Sumber pencemaran di
Pelabuhan perikanan dapat dikategorikan sebagai berikut:
(a) Limbah buangan padat (sampah organik, sampah non organanik dan sampah
beracun). Penanganan produk sampah tersebut dilakukan dengan:
- Menyiapkan pewadahan sampah. Sebaiknya disediakan tempat sampah yang
sudah dipisahkan. Setiap kapal diminta untuk menyediakan tempat sampah
di kapalnya.
- Pengumpulan sampah secara periodik.
- Pengangkutan sampah ke TPS dan TPA.
- Pihak pelabuhan harus menyewa/memiliki alat crane yang lebih besar
kapasitasnya atau back hoe guna menghancurkan bangkai kapal di kolam
pelabuhan.
(b) Limbah buangan cair (ceceran bahan bakar, oli, minyak, air limbah dari toilet,
air bekas pencucian ikan, air limbah industri). Cara penanganannya sesuai
dengan karekteristik limbah tersebut, namun yang lebih penting adalah
adanya kesadaran pemakai pelabuhan terhadap pentingnya kebersihan
pelabuhan.
190
Peningkatan kebersihan lingkungan pelabuhan yang meliputi lingkungan
darat dan lingkungan air. Penyediaan alat-alat kebersihan seperti truk sampah,
truck crane, forklift, tungku pembakaran (insimirator), dan peralatan kebersihan
lainnya seperti keranjang, cangkul dan tempat-tempat sampah perlu segera
disiapkan guna menjaga kebersihan lingkungan darat dan lingkungan air (kolam).
Selain itu sistem drainase pelabuhan perlu ditata ulang dan direhabilitasi sesuai
dengan hasil studi amdal. Didalam kawasan pelabuhan agar diberi petunjuk-
petunjuk tentang peringatan kepada pengguna pelabuhan agar selalu menjaga
kebersihan, keindahan dan ketertiban.
6.1.3 Potensi pengembangan wilayah distribusi (hinterland)
Kegiatan pemasaran meliputi pemasaran lokal, antar pulau, dan ekspor.
Pemasaran lokal meliputi kota-kota yang ada di Jawa Barat dan DKI Jakarta.
Pemasaran ke luar negeri meliputi negara Jepang, Taiwan, Korea, dan Uni Eropa.
Pengembangan fasilitas pemasaran dilakukan dengan penyedian informasi
harga melalui PIPP yang telah on line dengan semua pelabuhan perikanan melalui
jaringan internet, media elektronik dan media cetak, penyelenggaraan pelelangan
sesuai dengan ketentuan aturan, menghadirkan banyak pembeli ke PPN
Palabuhanratu dengan cara promosi, temu mitra dengan pihak investor perikanan,
perbankan dan investor-investor yang terkait dengan usaha pemasaran.
Pengembangan sarana transportasi distribusi ikan berupa penyediaan mobil-mobil
berpendingin sehingga wilayah distribusi ikan semakin jauh, mendorong
pemerintah daerah membangun lapangan terbang yang saat ini sedang dilakukan
studi sehingga berpeluang besar untuk menjangkau distribusi ikan keluar negeri,
selain itu mendorong pemerintah daerah memperlebar jalan antara Pelabuhanratu-
Cibadak, Pelabuhanratu-Cikidang dan Pelabuhanratu–Bayah Pandeglang sehingga
mobil-mobil ukuran besar seperti kontainer dapat lebih leluasa mengangkut ikan
dalam jumlah besar dari Pelabuhanratu. Mendukung upaya pemerintah provinsi
untuk menyelesaikan jalan trans Jabar mulai dari Bandung, Cianjur,
Palabuhanratu sehingga akan mendorong PPN Palabuhanratu sebagai pusat
pertumbuhan (growth center).
191
Pengangkutan hasil produksi merupakan penghubung mata rantai kegiatan
perikanan yang sangat penting. Pengangkutan hasil produksi perikanan (ikan
segar maupun olahan) dari pelabuhan ke kota-kota tujuan pemasaran dalam
negeri, maupun ke negara-negara tujuan ekspor, merupakan komponen penting
yang mempengaruhi harga penjualan. Kegiatan pengangkutan ini melibatkan
sarana dan prasarana transportasi darat (jalan, jembatan, truk, trailer, peti kemas),
laut (pelabuhan umum, kapal carrier) dan udara (pelabuhan udara, pesawat
terbang). Pemerintah Daerah akan memperlebar jalan akses masuk ke
Palabuhanratu, yakni jalan Palabuhanratu – Cikidang - Cibadak, jalan
Palabuhanratu – Cikembang - Cibadak, jalan Palabuhanratu - jalan pelabuhan II-
Sukabumi, jalan tembus ke daerah Pandeglang, jalan lingkar Selatan Jawa Barat.
Menurut Gubernur Provinsi Jawa Barat pada saat kunjungan kerja Dirjen
Perikanan Tangkap bulan Oktober tahun 2005, pemerintah provinsi sedang
merencanakan pembuatan landasan pesawat terbang di Palabuhanratu untuk
mendukung pariwisata dan perikanan tuna ekspor di Palabuhanratu. Jalan TOL
dari Ciawi akan disambung sampai ke Sukabumi-Bandung. Semua sarana dan
prasarana transportasi akan mempercepat kemajuan pembangunan di Selatan Jawa
Barat khususnya Palabuhanratu sebagai pusat kota perikanan dan kelautan.
Jaringan jalan dari Palabuhanratu ke Cibadak diperlebar, adanya rencana
pembangunan jalan TOL dari Ciawi ke Sukabumi dan Cianjur akan mempercepat
distribusi ikan ke daerah konsumen. Jalan tembus lingkar Selatan Jawa Barat
mulai dari Palabuhanratu sampai Pangandaran sudah hampir selesai dibangun oleh
pemerintah Propinsi Jawa Barat. Fasilitas bandara sedang dilakukan studi
pembangunannya oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat.
Hasil perikanan yang didaratkan di dermaga I, dermaga II dan dermaga III,
setelah dilelang, maka dijual dalam bentuk segar untuk konsumsi lokal, atau
dijual ke pedagang pengolah (ikan asin, ikan pindang, ikan asap maupun hasil
fermentasi) untuk selanjutnya hasil olahan dijual ke kota-kota terdekat dari
Palabuhanratu, yakni Jakarta, Bandung, Sukabumi, Bogor dan Cianjur. Ikan yang
akan dijual dalam keadaan segar, memerlukan penanganan yang baik selama
pengangkutan agar tetap terjaga mutunya. Apabila jarak pengangkutan cukup
jauh, maka ikan-ikan tersebut harus diangkut dalam keadaan tetap dingin dengan
192
cara disimpan dalam peti berinsulasi dan ditaburi es. Sementara untuk jarak yang
relatif dekat, diangkut bersama-sama dengan keranjangnya dan ditaburi es curai.
Ikan beku diekspor dengan kapal carrier, disimpan dalam keadaan beku di dalam
palkah kapal carrier yang biasanya sudah dilengkapi dengan pendingin, atau
dengan container yang memakai sistem pendingin. Sistem pendingin ikan dengan
rantai dingin (cold chain system) merupakan alternatif terbaik dalam
mempertahankan dan peningkatan mutu serta pengembangan ekspor hasil-hasil
perikanan.
Dengan meningkatnya jumlah produksi ikan, maka perlu diantisipasi
perluasan pasar baik lokal, regional, nasional, maupun ekspor. Mengingat
Palabuhanratu adalah lokasi sektor basis, maka sebagian produksinya seperti ikan
tuna segar, ikan layur beku dan produk olahan seperti cumi-cumi olahan, abon
ikan dan ikan kaleng akan diekspor ke pasar Korea, Jepang dan Cina bahkan
sampai ke Amerika Serikat. Menurut Soepanto (2003), ikan tuna di Indonesia
dipasarkan dalam bentuk ikan segar, ikan beku dan ikan kaleng. Selanjutnya
dikatakan bahwa tuna segar bukan hanya untuk konsumsi domestik tetapi untuk
pasar luar negeri yang menuntut kesegaran tinggi dengan target pasarnya adalah
Jepang, Amerika Serikat dan Eropa. Sebagian produk lainnya seperti ikan pelagis
besar (tongkol, cakalang, cucut dll) akan dijual ke pasar lokal baik dalam bentuk
segar maupun dalam bentuk beku sebagai bahan produk ikan olahan seperti ikan
pindang. Begitu juga untuk ikan-ikan demersal seperti ikan kakap, lobster, kuwe,
sebelah dan ikan dasar lainnya merupakan pangsa pasar lokal baik untuk restoran
maupun untuk rumah tangga dan pasar regional seperti Jakarta dan Bandung.
Antisipasi ini dimaksudkan untuk penyerapan produksi hasil tangkapan, sehingga
harga ikan yang maksimal dapat tercapai.
Seperti yang telah dikatakan oleh Mappangara (2005), bahwa pelabuhan
sebagai pintu strategis memegang peranan vital terhadap kelangsungan interaksi,
barter produksi dan jasa. Pelabuhan sebagai tempat perpindahan intra dan antar
moda transportasi serta sebagai pintu gerbang perekonomian yang sangat
tergantung dari pengaruh eksternal baik yang bersifat internasional maupun
nasional.
193
PPS Palabuhanratu dalam operasionalnya sangat tergantung kepada kondisi
kapal-kapal ikan yang berukuran 30-150 GT yang melakukan penangkapan ikan
di fishing ground WPP 9 Samudera Hindia dan permintaan ikan dari daerah
hinterland pelabuhan. Semakin baik pelayanan yang diberikan oleh PPS
Palabuhanratu terhadap aktivitas perikanan maka semakin banyak permintaan
ikan oleh konsumen, serta semakin jauh ikan didistribusikan ke daerah lain
bahkan sampai diekspor, sehingga semakin maju pula operasional pelabuhan
perikanan. Adapun gambaran rencana distribusi ikan dari PPS Palabuhanratu
seperti pada Gambar 30.
Semua ikan yang didaratkan melalui PPS Palabuhanratu, baik yang berasal
dari laut maupun dari darat akan dipasarkan sebagian besar untuk pasaran ekspor
dan sebagian kecil untuk pemasaran dalam negeri. Kebutuhan ikan untuk ekspor
akan semakin meningkat dengan adanya perluasan pasar misalnya ke pasar Uni
Eropa untuk komoditi ekspor tuna.
Pemasaran ekspor dari PPN Palabuhanratu ditujukan untuk ikan-ikan jenis
tuna segar, tuna beku dan ikan beku lainnya serta ikan segar atau untuk keperluan
hotel. Sebelum ikan-ikan tersebut diekspor, khusus untuk tuna segar, dilakukan
intial proses yakni ikan tuna mengalami pembersihan kemudian dilakukan
pengepakan dan langsung dibawa ke bandara untuk tujuan ekspor. Ikan tuna
beku, layur beku dilakukan ekspor melalui kapal cargo yang telah ada di PPS
Palabuhanratu. Begitu juga untuk jenis crustacea seperti udang, lobster, kepiting,
rajungan, cumi-cumi, ubur-ubur, kerang-kerangan dilakukan proses pembersihan
sebelum dibekukan di cold storage dengan suhu -30oC, kemudian produk tersebut
diangkut ke kapal untuk diekspor. Khusus untuk jenis ikan olahan seperti pindang,
ikan asin, abon, kerupuk, terasi langsung dijual di pasar dalam negeri.
Di wilayah PPN Palabuhanratu dan daerah sekitarnya, teknik pengolahan
ikan masih didominasi oleh teknik pengolahan tradisional seperti pemindangan,
pengasinan, pembuatan terasi, pembuatan kerupuk kulit ikan. Ada pula pengolah
yang membuat bakso ikan, kaki naga (fish nugget) dan abon ikan. Ikan-ikan segar
yang dikumpulkan oleh pengusaha cold storage dilakukan processing-nya
kemudian diekspor ke negara lain. Akibat dari kondisi teknik pengolahan masih
didominasi oleh teknik pengolahan tradisional, maka luas hinterland terbatas di
194
dalam negeri, dalam hal ini didistribusikan ke Jakarta, Bandung, Cianjur,
Sukabumi. Hinterland ikan segar seperti tuna dan layur dapat lebih jauh karena
diekspor ke Jepang dan Korea dengan menggunakan pesawat terbang.
Sarana transportasi untuk distribusi ikan dari PPN Palabuhanratu, terbatas
pada kendaraan jenis pick up (Mitsubishi L 300) khususnya untuk pengangkutan
Gambar 30 Diagram alir rencana distribusi ikan dan hasil tangkapan lainnya di PPS Palabuhanratu.
Ikan segar yang didaratkan dari kapal
Ikan segar budidaya
Crustacea : (udang. Lobster, kepiting, rajungan) Moluska (Cumi2, ubur2, kekerangan)
Tuna beku
Pabrik pembekuan dan cold storage
Ikan segar untuk eksport / hotel
Proses penbekuan
Pembekuan
Wholesale market
Retail
Proses
Proses Pengemasan
Pasar d alam negeri
Ekspor
Tuna segar
Ikan beku
Transhipment
Proses
Cold storage (- 50 C )
Cold storage
(- 300 C )
Bandara
Pelabuhan laut
Intial process
195
ikan cakalang atau tuna kualitas sedang yang dijual ke Jakarta. Pengangkutan ikan
cakalang dan tuna kualitas sedang ke Jakarta, dilakukan dengan menambahkan es
curah. Lama perjalanan adalah sekitar 4-5 jam. Kendaraan pick up sewaan banyak
tersedia di depan PPN Palabuhanratu. Ikan segar tuna untuk ekspor setelah
diturunkan dari kapal-kapal longline, kemudian diangkut ke Jakarta menggunakan
truk berpendingin. Jenis kendaraan ini cukup tersedia di Palabuhanratu, biasanya
kendaraan ini disewa oleh pemilik kapal longline. Permasalahan yang dihadapi
oleh sarana transportasi semacam ini adalah kondisi jalan yang sempit dan
berliku-liku serta naik turun melintasi pegunungan. Ikan-ikan pindang diangkut ke
Sukabumi, Bandung, Bogor, Cianjur dan Jakarta dengan menggunakan kendaraan
pick up. Jarak tempuh ke daerah konsumen sekitar 2-4 jam. Ikan segar ekspor
seperti tuna diangkut ke Jakarta menggunakan kendaraan mobil box yang
memiliki cool room. Mobil angkutan ini memilih berangkat ke Jakarta pada
malam hari untuk menghindari macet. Selanjutnya ikan tuna segar langsung di
pack dan diekspor ke Jepang via pesawat terbang. Khusus layur yang telah
terkumpul di cold storage dan telah di pack, dikirim ke Jakarta kemudian diekspor
ke negara Korea melalui kapal laut.
Konsentrasi konsumen berada di Jakarta, Bandung, Sukabumi dan Cianjur.
Jumlah penduduk yang memanfaatkan ikan kiriman dari Palabuhanratu cukup
banyak dan selalu meningkat, sebagai contoh bahwa ikan segar pada tahun 2005
tercatat sebesar 3.397.443 kg atau 52% dari total produksi (Tabel 16). Kualitas
ikan yang diinginkan oleh masyarakat konsumen semakin meningkat sehingga
pihak PPN Palabuhanratu telah mempersiapkan laboratorium bina mutu yang
digunakan sebagai sarana pemeriksaan kualitas ikan sebelum keluar dari PPN
Palabuhanratu.
Selanjutnya Monintja (2002), menjelaskan bahwa pengembangan perikanan
tangkap berbudaya industri dengan penerapan sistem akuabisnis dapat
meningkatkan kinerja perikanan tangkap yang ada dan pendapatan yang
kompetitif. Sistem akuabisnis terdiri dari beberapa subsistem yakni sarana
produksi, usaha penangkapan (proses produksi), prasarana (pelabuhan), unit
pengolahan, unit pemasaran dan unit pembinaan masyarakat. Pengembangan
industri perikanan sangat tergantung kepada hubungan yang baik antar sub sistem
196
didalam sistem akuabisnis termasuk peranan pelabuhan perikanan sebagai
prasarana penunjang untuk kegiatan proses produksi unit pengolahan, unit
pemasaran dan pembinaan masyarakat perikanan.
Kondisi di PPN Palabuhanratu menunjukkan bahwa sistem akuabisnis telah
terjadi hubungan antar subsistem. Namun tingkat hubungannya belum optimal,
sebagai contoh bahwa PPN Palabuhanratu telah berfungsi untuk menunjang
aktivitas perikanan baik untuk mengakomodir kebutuhan kapal untuk beroperasi
di laut, penanganan mutu hasil perikanan maupun proses pemasaran ke daerah
hinterland. Permasalahan yang muncul adalah masih sedikitnya investasi di
bidang industri perikanan yang disebabkan oleh terbatasnya produksi ikan yang
didaratkan sebagai bahan baku dan tidak tersedianya areal industri perikanan di
PPN Palabuhanratu, sehingga kedepan perlu pengembangan PPN Palabuhanratu
ke arah PPS Palabuhanratu dengan penyediaan areal industri yang cukup.
Bidang investasi yang dapat dilakukan pada PPS Palabuhanratu sebagai
akibat penyedian kawasan industri yang diperkirakan seluas 500 ha adalah pabrik
bahan jaring, pabrik alat tangkap, galangan kapal, program latihan, pabrik
instrumen perikanan, kapal perikanan, tenaga kerja, alat bantu penangkapan, fish
carrier, pabrik es, cold storage, canning factory, fish meal plan, fish oil factory,
aktivitas pengolahan (pemindangan, pengasapan, pengasinan), pemasaran,
transportasi, perhotelan dan wisata bahari. Bidang investasi tersebut akan ada di
PPS Palabuhanratu apabila rencana PPS Palabuhanratu terlaksana sesuai dengan
master plan nya (pola pengembangannya) dengan memperhatikan pro-business
environment. Menurut Monintja (2002), bahwa pro-business environment terdiri
dari adanya konsistensi atau kepastian hukum bisnis, jaminan keamanan,
tersedianya infrastruktur, tersedianya sumberdaya manusia dan adanya perpajakan
atau retribusi yang cukup rasional. Adanya kepastian hukum dimaksudkan untuk
menjamin terselenggaranya bisnis yang tertib, aman dan berkelanjutan, sehingga
diharapkan pemerintah untuk menciptakan hukum yang berpihak kepada
pengusaha dan masyarakat. Begitu pula untuk jaminan keamanan sangat perlu
tercipta guna menjaga proses industri dalam menjalankan misinya sehingga
memperoleh keuntungan usaha. Perpajakan atau retribusi yang dibebankan kepada
pengusaha harus cukup rasional dan dihindari biaya ekonomi tinggi, sebagai
197
contoh saat ini terjadi pungutan ganda untuk hasil perikanan mulai dari
pengurusan surat ijin usaha perikanan, surat ijin penangkapan ikan, retribusi
lelang dan retribusi angkutan jalan untuk setiap kabupaten yang dilintasi selama
pendistribusian hasil tangkapan.
6.2 Hubungan Alternatif Prioritas Terhadap Fungsi Pelabuhan dan Solusinya
Pola pengembangan pelabuhan adalah suatu contoh, pedoman atau
penetapan ukuran-ukuran dalam mengembangkan suatu pelabuhan perikanan.
Penyusunan pola pengembangan PPN Palabuhanratu dibatasi pada penyediaan
pola pengembangan target produksi, target kapal dan fasilitas pelabuhan
perikanan terutama fasilitas pokok dikaitkan dengan upaya mengoptimalkan
beberapa fungsi pelabuhan perikanan serta pola distribusi di hinterland.
Pengembangan merupakan suatu usaha ke arah perubahan dari kondisi yang
dinilai kurang kepada suatu kondisi baik atau suatu proses untuk mencapai
kemajuan.
Adapun hubungan antara alternatif prioritas, fungsi dan solusi permasalahan
dalam pola pengembangan PPN Palabuhanratu adalah seperti Gambar 31.
Gambar 31 Hubungan alternatif prioritas, fungsi dan solusi pengembangan dalam pola pengembangan PPN Palabuhanratu.
1. Jumlah kapal 2. Produksi ikan 3. Tenaga kerja 4. Pendapatan
pelabuhan 5. PAD
Alternatif prioritas 1. Tambat labuh
2. Pendaratan ikan 3. Keperluan kapal 4. Pemasaran &
distribusi 5. Pembinaan mutu 6. Penyuluhan &
Pengumpulan data 7. Pengawasan SDI
Fungsi PPN Palabuhanratu
1. Kolam 2. Dermaga 3. Lahan 4. BBM 5. Pelelangan
ikan 6. Pelayanan
Solusi pengembangan
198
Berdasarkan Gambar 31, bahwa jumlah kapal adalah merupakan gambaran
seberapa jauh PPN Palabuhanratu dapat difungsikan sebagai tempat tambat labuh
kapal, tempat pendaratan ikan, tempat memperlancar kegiatan kapal perikanan,
tempat penyuluhan dan pengumpulan data, tempat pembinaan mutu hasil
perikanan, tempat pelaksanaan penyuluhan dan pengumpulan data serta tempat
pelaksanaan pengawasan sumberdaya ikan sehingga diperlukan pengembangan
kolam, dermaga, lahan, BBM, pelelangan ikan dan pelayanan pelabuhan
perikanan.
Ilustrasinya adalah bahwa berdasarkan perhitungan JTB untuk PPN
Palabuhanratu diperoleh sebesar 19.000 ton/tahun yakni terdiri dari pelagis besar
sebanyak 6.584 ton/tahun, pelagis kecil 9.466 ton/tahun dan demersal sebesar
2.429 ton/tahun serta kelompok sumberdaya ikan lainnya sebesar 521 ton/tahun.
Dari JTB 19.000 ton/tahun tersebut telah dimanfaatkan rata-rata per tahun selama
periode 1993-2005 sebesar 3.382 ton/tahun sehingga peluang pengembangan
penangkapan ikan untuk PPN Palabuhanratu sebesar 15.618 ton/tahun. Kemudian
berdasarkan perhitungan target jumlah kapal untuk diakomodir oleh
pengembangan PPN Palabuhanratu sebanyak 922 unit yakni terdiri dari 676 unit
yang ada pada tahun 2005 ditambah dengan target jumlah kapal tambahan
sebanyak 246 unit yang terdiri dari 142 unit kapal berukuran <5 GT, 58 unit
kapal berukuran 5-30 GT dan 46 unit kapal berukuran 30-150 GT. Tambahan 246
unit kapal sebagian berasal dari kapal andon dan sebagian kecil dari hasil
pembangunan kapal baru di PPN Palabuhanratu. Kondisi kolam I dan kolam II
pemanfaatannya sudah melebihi kapasitasnya yang disebabkan oleh banyaknya
kapal-kapal yang tidak melakukan operasional karena besarnya biaya operasional
melaut terutama naiknya harga BBM. Sehingga dalam operasionalnya untuk
menampung kapal dan produksi ikan diperlukan penambahan kolam dan dermaga,
BBM, air, dan es.
Hasil perhitungan kebutuhan kolam untuk pengembangan pelabuhan seluas
8,6 ha yakni terdiri dari luas kolam I sebesar 2 ha, luas kolam II sebesar 3 ha dan
luas kolam III sebesar 3,6 ha. Hasil perhitungan kolam III seluas 3,6 ha memiliki
daya tampung sebanyak 46 unit kapal berukuran 30-150 GT. Tambahan kapal
untuk pengembangan PPN Palabuhanratu yang berukuran 5-30 GT sebanyak 58
199
unit diakomodir oleh kolam II dan kapal berukuran <5 GT sebanyak 142 unit
diakomodir oleh kolam I.
Secara keseluruhan, kebutuhan tambahan panjang dermaga 1.452 meter
untuk melayani frekuensi kapal sebanyak 88 kali sehari. Agar kebutuhan es
terhadap ikan adalah 2 : 1, maka kapasitas pabrik es yang diperlukan sebesar
sebesar 38.000 ton/tahun atau 104 ton/hari. Kondisi pabrik es yang ada sekarang
berkapasitas 50 ton/hari sehingga untuk mencapai kapasitas 104 ton diperlukan
tambahan kapasitas pabrik es sebesar 54 ton/hari.
Kebutuhan solar sebanyak 37.695 kl/tahun, kondisi saat ini sebanyak 10.381
kl/bulan, sehingga perlu ada penambahan solar sebanyak 27.314 kl/tahun
sehingga diperlukan penambahan SPDN.
Kebutuhan air bersih untuk operasional pelabuhan perikanan sebanyak
86.272 kl/tahun yang antara lain untuk kebutuhan ABK sebesar 20.005 kl/tahun,
kebutuhan baku es sebesar 38.000 ton/tahun, kebutuhan ikan sebesar 19.000
ton/tahun, kebutuhan TPI sebesar 1.424 ton/tahun, kebutuhan penghuni sebesar
7.843 kl/tahun dan untuk kebutuhan pendingin mesin-mesin sebesar 7.843
kl/tahun.
Lahan darat menurut Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No.
KEP.10/Men/2004 tanggal 24 Februari 2004 tentang pelabuhan perikanan
diperlukan seluas minimal 15 ha belum termasuk kolam pelabuhan. Sehingga
paling tidak luas lahan yang diperlukan untuk PPN Palabuhanratu adalah 30 ha.
Menurut hasil pertemuan Bupati Kabupaten Sukabumi dengan Pemda Provinsi
Jawa Barat dan Ditjen. Perikanan Tangkap pada tanggal 25 Agustus 2006
dinyatakan bahwa ketersediaan lahan yang ada seluas 500 ha dan untuk
memperkuat jaminan ketersediaan lahan, maka lahan seluas 500 ha ini akan
dimasukan dalam RUTR tentang peruntukannya bagi pengembangan industri
perikanan. Khusus lahan industri akan dikelola oleh Pemerintah Daerah Jawa
Barat dan Kabupaten Sukabumi.
Dari perhitungan pengembangan daerah hinterland primer dalam negeri
sebanyak 32% dari target produksi 19.000 ton didistribusikan untuk ikan segar
kebutuhan konsumen dalam negeri. Sebesar 35% atau 6.650 ton didistribusikan
200
di hinterland primer luar negeri, sebesar 6.187 ton didistribusikan di hinterland
sekunder dan jumlah konsumen dalam negeri sebanyak 542.619 orang.
Adapun hasil studi kelayakan yang merupakan pola pengembangan awal,
pola saat ini dan pola pengembangan PPN Palabuhanratu seperti pada Tabel 46.
Tabel 46 Hasil studi kelayakan, kondisi tahun 2005 dan pola pengembangan PPN Palabuhanratu
Variabel Hasil studi kelayakan tahun 1987
Kondisi tahun 2005
Pola pengembangan
Perbedaan
(1) (2) (3) (4) (4) – (3) Jumlah kapal (unit) 125 676 922 246
Produksi ikan (ton) 16.000 6.601 19.000 12.399
Luas kolam (ha) 3 5 8,6 3,6 Kedalaman kolam (m) 1, 2 dan 3 3,5 dan 4 3,5 dan 4 -
Lahan (ha) 7,2 7,2 30 22,8 Dermaga (m) 500 910 1.452 542 Solar (kl/thn) 10.423 10.381 37.695 27.314 Pabrik es (ton/thn) 32.000 18.250 38.000 19.750
Gedung TPI (m2) 900 900 1.424 524
Air bersih (kl/thn) 54.385 38.370 86.272 47.902
Distribusi di hinterland primer dalam negeri (ton)
- 3.194 6.163 2.969
Distribusi di hinterland primer luar negeri (ton)
- 204 6.650 6.446
Distribusi di hinterland sekunder (ton)
- 3.203 6.187 2.984
Jumlah konsumen dalam negeri (orang)
- 281.049 542.619 261.570
201
Dari aspek operasional, maka pola pengembangan PPN Palabuhanratu akan
disesuaikan terlebih dahulu dengan kondisi pengembangan fisik yang diarahkan
untuk mengoptimalkan fungsi PPN Palabuhanratu yang ada saat ini sehingga
terdapat perubahan kapasitas layanan yang berkaitan dengan penyiapan standard
operational procedure. Adapun perubahan-perubahan dari aspek operasional
terhadap pola pengembangan PPN Palabuhanratu seperti pada Tabel 47.
Berdasarkan Tabel 47 maka banyak perubahan-perubahan yang akan terjadi
apabila pola pengembangan PPN Palabuhanratu yang baru dilaksanakan terutama
untuk optimalisasi fungsi PPN Palabuhanratu mulai dari kegiatan tambat labuh,
pendaratan ikan, pemasaran dan distribusi ikan, pembinaan mutu, penyuluhan dan
pengumpulan data serta pengawasan SDI dan adanya perubahan struktur
organisasi serta syahbandar perikanan.
Tabel 47 Perubahan pola pengembangan PPN Palabuhanratu dari aspek operasional
Variabel
Kondisi tahun 2005 Pola pengembangan
Tambat labuh Pengaturan zonasi kapal, dermaga I untuk kapal <30GT, dermaga II untuk kapal 30-150 GT
Tambahan dermaga III , kapal 30-150 GT
Pendaratan ikan
Pendaratan ikan sebesar 6.601 ton
Pendaratan ikan sebesar 19.000 ton/tahun
Pemasaran dan distribusi
Ekspor sebesar 3%, pemasaran dalam negeri 97%
Ekspor sebesar 35%, pemasaran dalam negeri 65%
Pembinaan mutu
Belum ada Uji formalin setiap bulan dan belum ada laboratorium
Uji formalin, organoleptik, histamin, mikrobiologi, logam berat di laboratorium
Penyuluhan dan statistik
Dilakukan oleh petugas PPNP berstatus bukan penyuluh
Dilakukan oleh petugas PPNP melakukan penyuluhan dan pengumpulan data
Pengawasan SDI
Masih dibawah pembinaan PPN Palabuhanratu
Langsung dilakukan oleh Satker dari P2SDKP.
SDM Dominan sarjana perikanan dan SLTA umum
Disesuaikan dengan kebutuhan pengembangan dengan menambah sarjana teknik,hukum, komputer, lingkungan, statistik.
Struktur organisasi
Sederhana dan belum kaya fungsional
Disesuaikan dengan kebutuhan dengan menambah kesyahbandaran dan memperkaya jabatan fungsional
Syahbandar Dilaksanakan oleh syahbandar umum
Dilaksanakan oleh syahbandar perikanan
202
6.3 Dukungan Kelembagaan Terhadap Pengembangan PPN Palabuhanratu
Dukungan pemerintah sangat diharapkan dalam upaya pengembangan PPN
Palabuhanratu menjadi PPS Palabuhanratu. Dirjen Perikanan Tangkap dan
Gubernur Jawa Barat telah sepakat untuk membangun PPS Palabuhanratu secara
bersama. Telah disepakati bahwa pemerintah daerah menyiapkan lahan dan
infrastruktur sedangkan pemerintah pusat menyiapkan dana untuk pembangunan
fisik. Sebagai dukungannya, seperti yang telah dilaporkan oleh Gubernur Jawa
Barat (2005), bahwa saat ini sudah terbangun jalan tembus trans Jabar Selatan
yang menghubungkan Palabuhanratu, Cianjur, Pangandaran, Bandung sejauh 367
km. Pada tahun 2005 Pemerintah Provinsi Jawa Barat telah merencanakan
pembangunan lapangan terbang di Palabuhanratu guna menunjang aktivitas
pariwisata dan perikanan yang ditandai dengan telah dimulainya pelaksanaan studi
pembangunannya di lapangan.
Selanjutnya Pemerintah Pusat telah merencanakan pembangunan jalan tol
yang menghubungkan Ciawi, Sukabumi, Cianjur, Bandung. Dengan adanya
sarana jalan dan lapangan terbang tersebut, maka ikan-ikan yang didaratkan di
PPS Palabuhanratu akan terdistribusi secara luas dan jauh. Sebagai akibat
kemudahan distribusi ikan ke hinterland, maka aktivitas perikanan di
Palabuhanratu akan semakin meningkat sehingga PPS Palabuhanratu yang
dibangun akan berfungsi optimal.
Pemerintah Provinsi Jawa Barat pada tahun 2006 telah menetapkan Selatan
Jawa Barat merupakan daerah yang akan diprioritaskan untuk pengembangan
sektor perikanan laut yang berpusat di Palabuhanratu guna mendukung
pemanfaatan potensi sumberdaya ikan yang berlimpah di pantai Selatan Jawa
Barat, sehingga perlu adanya peningkatan status PPN Palabuhanratu menjadi PPS
Palabuhanratu.
Sejalan dengan program pengembangan pelabuhan perikanan lingkar luar
wilayah Indonesia (outer ring fishing port) dari Direktorat Jenderal Perikanan
Tangkap yang bertujuan untuk mempersiapkan pelabuhan perikanan yang berada
di lingkar luar wilayah perairan Indonesia guna mengamankan potensi perikanan,
maka Palabuhanratu telah ditetapkan sebagai salah satu pelabuhan dari 25 buah
203
pelabuhan perikanan yang akan diprioritaskan untuk dikembangkan menjadi PPS
Palabuhanratu (Gambar 32).
Pada bulan Oktober tahun 2005, Gubernur Jawa Barat dan Dirjen Perikanan
Tangkap pada saat pertemuan di Bandung telah sepakat bahwa PPS Palabuhanratu
akan diprioritaskan pembangunannya melalui program outering fishing port.
Hasil analisis pola pengembangan PPN Palabuhanratu yang direncanakan ini
telah sejalan dengan rencana pemerintah daerah, namun perbedaannya adalah
bahwa pemerintah menginginkan langsung dibangun fasilitas dengan kapasitas
PPS alasan mereka bahwa untuk fasilitas laut sebaiknya dibangun sekaligus. Hasil
penelitian ini merencanakan pengembangan dilakukan secara bertahap yakni
pertama membangun fasilitas untuk mengoptimalkan fungsi PPN Palabuhanratu,
kemudian apabila sudah optimal fungsi yang dijalankan, maka perlu
pengembangan kolam III untuk meningkatkan statusnya menjadi PPS
Palabuhanratu. Seperti telah dijelaskan pada halaman 16, sesuai dengan RUTR,
pemerintah daerah telah menyediakan areal industri perikanan seluas 100 ha
sampai 500 ha guna mendukung pembangunan PPS Palabuhanratu disertai dengan
kemudahan-kemudahan investasi akan menjadi daya tarik bagi investor untuk
berusaha di PPS Palabuhanratu dan akan berdampak positif terhadap
perekonomian daerah, penyerapan tenaga kerja, pendapatan pelabuhan, PAD dan
kesejahteraan nelayan.
Berdasarkan hasil uji sensitivitas terhadap alternatif prioritas pengembangan
terpilih yakni prioritas pertama untuk peningkatan jumlah kapal, maka diperoleh
kesimpulan bahwa alternatif prioritas pengembangan apabila diterapkan sangat
stabil karena semua lembaga yang terkait terhadap pengembangan PPN
Palabuhanratu yakni, Ditjen. Perikanan Tangkap, PPN Palabuhanratu, pemerintah
daerah, KUD Mina dan nelayan sangat mendukung alternatif prioritas ini. Bentuk
dukungan yang mungkin diberikan oleh Ditjen. Perikanan Tangkap adalah dalam
hal antara lain peraturan yang berkaitan dengan pelabuhan perikanan, penyediaan
dana fisik maupun operasional dan SDM pengelola pelabuhan.
Pemerintah daerah dapat memberikan dukungan dalam hal penyediaan areal
untuk pengembangan, penyiapan aksesibilitas jalan, peraturan daerah yang
mendukung investasi perikanan. KUD Mina dan nelayan mempersiapkan
204
anggotanya untuk memanfaatkan PPN Palabuhanratu yang sudah dikembangkan
baik persiapan kemampuan teknis dan manajemen untuk menjalankan usaha dan
membina anggotanya untuk patuh terhadap aturan yang ada.
Pembiayaan untuk merealisasikan pola pengembangan PPN Palabuhanratu
dapat berasal dari pemerintah (pusat dan daerah), swasta atau berasal dari negara
lain. Peran swasta perlu ditingkatkan lagi terutama untuk menginvestasikan usaha
di Palabuhanratu baik dalam usaha penangkapan ikan, pengolahan maupun
distribusi ikan. Guna merangsang masuknya investasi ke Palabuhanratu, maka
perlu adanya kelembagaan kredit maritim yang memudahkan pengusaha
perikanan untuk mengakses modal dalam mengembangkan usahanya. Kemudian
menghapus semua bentuk pungutan atau retribusi ganda yang memberatkan
pengusaha perikanan dan memberikan insentif berupa keringanan pajak untuk
usaha-usaha perikanan yang produktif seperti usaha penangkapan ikan,
pengolahan dan distribusi ikan. Pemerintah daerah secara proaktif menciptakan
Gambar 32 Lokasi (25 buah) pelabuhan perikanan yang akan dikembangkan dalam outering fishing port program (Ditjen. Perikanan Tangkap, 2005).
Pelabuhan perikanan
950 1000 1050 1100 1150 1200 1250 1300 1350 1400
00
50
50
100
100
150
950 1000 1050 1100 1150 1200 1250 1300 1350 1400
00
50
50
100
100
150
205
kondisi keamanan, ketertiban dan keindahan di daerah perusahaan perikanan
sehingga perusahaan perikanan dapat berjalan sempurna.
6.4 Peluang Penerapan Peraturan Internasional
PPN Palabuhanratu sebagai pelabuhan perikanan yang akan ditingkatkan
kapasitasnya menjadi PPS Palabuhanratu, akan melayani kapal-kapal perikanan
lintas negara, sehingga perlu dipersiapkan PPS Palabuhanratu sesuai dengan
aturan internasional. Menurut Nugroho (2004), bahwa pengaturan/konvensi
internasional yang terkait dengan pelabuhan perikanan dan operasional kapal ikan
adalah:
1) Agreement to promote compliance with international conservation and
management measures by fishing vessels on the high seas (compliance
agreement 1993).
2) Code of conduct for responsible fisheries (CCRF, 1995).
3) The amendments to the convention for the safety at sea (SOLAS 1974) dan
ISPS code 2002.
4) The joint ILO/IMO code of practice (COP) on security in ports (2002).
Selanjutnya dikatakan bahwa persyaratan yang perlu diperhatikan pada
pelabuhan perikanan untuk dukungan ekspor adalah:
1) Aspek teknis, yakni untuk membangun:
-Fasilitas pelabuhan dengan memperhatikan bobot kapal yang akan dilayani,
panjang dermaga, kedalaman di depan dermaga dan pengaturan zonasi
pelabuhan.
- Jumlah armada yang akan dilayani.
- Volume produksi ikan yang akan ditampung.
- Pengaturan dampak erosi dan endapan lumpur.
2) Aspek kelembagaan, yakni
- Penyusunan struktur organisasi harus menjangkau semua lini pekerjaan,
- Peraturan operasional pelabuhan perikanan, misalnya harus ada standard
operational procedure (SOP).
- Penegakan hukum.
- Penetapan kawasan industri perikanan.
206
- Penetapan kawasan peti kemas.
3) Aspek teknologi, yakni
- Mutu produk perikanan harus diperhatikan.
- Sistem pembuangan limbah.
4) Aspek anggaran, yakni
- Anggaran operasional.
- Anggaran pemeliharaan harus cukup.
5) Aspek informasi, yakni
- Informasi harga ikan.
- Informasi traceability.
- Informasi mutu produk.
6) Aspek pengamanan kapal dan fasilitas pelabuhan, menggunakan international
ships and port security facility (ISPS).
ISPS adalah suatu penerapan sistem kode pengamanan kapal dan fasilitas
pelabuhan internasional. Pelabuhan perikanan yang bersifat internasional harus
disertifikasi melalui ISPS. Ketentuan ISPS code diterima dan disahkan di forum
international maritime organization (IMO) pada tanggal 12 Desember 2002 dan
menjadi Bab XI-2 dari konvensi SOLAS 1974 tentang keselamatan jiwa di laut.
Aturan baru ini akan diterapkan terhadap kapal-kapal yang melakukan pelayaran
internasional. Hal ini penting karena jika kapal dan pelabuhan internasional di
Indonesia belum disertifikasi, kapal Indonesia tidak akan diterima atau ditolak di
pelabuhan asing. Sementara pelabuhan Indonesia juga tidak akan dapat dikunjungi
kapal asing. Persyaratan penetapan ISPS di pelabuhan perikanan adalah:
1) Pengumpulan dan pemeriksaan informasi yang berkaitan dengan ancaman
keamanan dan pertukaran informasi tersebut antar negara.
2) Mewajibkan pemeliharaan protokol komunikasi untuk kapal dan fasilitas
pelabuhan.
3) Pencegahan akses yang tidak berkepentingan ke kapal, fasilitas pelabuhan dan
area terlarang untuk umum.
4) Mencegah membawa senjata api yang tidak memiliki ijin, alat pembakar atau
bahan peledak ke kapal atau fasilitas pelabuhan.
207
5) Menyediakan peralatan untuk membunyikan alarm sebagai reaksi terhadap
ancaman/insiden keamanan.
6) Mewajibkan rancangan keamanan kapal dan fasilitas pelabuhan berdasarkan
pada hasil penilaian keamanan.
7) Mewajibkan pelatihan gladi dan latihan untuk memastikan agar terbiasa
dengan rancangan dan prosedur pengamanan.
Ketentuan Uni Eropa tentang penerapan standarisasi mutu di pelabuhan
perikanan (Direktur Standardisasi dan Akreditasi DKP, 2005) adalah:
1) Peralatan yang digunakan selama pembongkaran dan pendaratan harus
dikonstruksi dengan bahan yang mudah dibersihkan dan disinfektan serta di
tempat yang bersih.
2) Selama pembongkaran dan pendaratan harus dihindarkan produk perikanan
tersebut dari kontaminasi dan ditangani secara khusus antara lain: operasi
pembongkaran dan pendaratan dilakukan secara cepat; produk perikanan
harus ditempatkan tanpa mengalami penundaan dan dilindungi dari
lingkungan suhu yang tinggi dan selalu menggunakan es selama transportasi,
kemudian disimpan dalam cold storage; tidak diijinkan menggunakan
peralatan dan cara penanganan yang dapat menyebabkan rusaknya nilai gizi
dari produk-produk perikanan.
3) TPI harus dilengkapi dengan atap dan dindingnya mudah dibersihkan;
lantainya harus tahan air dan mudah dibersihkan, mempunyai fasilitas
drainase dan sistem pembuangan air kotor; peralatan harus dilengkapi
dengan fasilitas sanitasi, antara lain untuk pencucian dan kamar mandi/wc
terbuat dari bahan yang mudah dibersihkan; pembersihan harus dilakukan
secara teratur baik sebelum maupun sesudah pelelangan, lantai TPI
dibersihkan baik bagian luar maupun dalam dengan menggunakan air
laut/air minum dan harus dengan disinfektan; tidak diperkenankan merokok,
makan dan minum di area penjajaan ikan; mempunyai suplai air bersih;
khusus untuk ikan-ikan harus ditempatkan pada alat yang tidak berkarat;
produk perikanan setelah pendaratan harus aman, selama transportasi tidak
mengalami penundaan; jika produk perikanan tersebut mengalami
penundaan pendistribusian, maka harus disimpan diruangan dingin/cool
208
room dalam kondisi yang baik dan pada suhu yang sesuai daripada suhu
pelelehan es/mendekati suhu pelelehan es; untuk pedagang besar produk-
produk perikanan harus dijajakan pada kondisi yang bersih.
4) Persyaratan pelabuhan perikanan dalam mencapai standar sanitasi dan
hygiene: bangunan, fasilitas dan lingkungan harus sesuai dengan
persayaratan pelabuhan perikanan yang hygienis dan berstandar sanitasi;
sanitation standard operating procedured (SSOP) adalah prosedur
pelaksanaan standar sanitasi dan hygiene yang harus dipenuhi oleh
pelabuhan untuk mencegah terjadinya kontaminasi terhadap produk yang
ditangani; setiap pelabuhan harus memiliki rencana SSOP yang tertulis dan
spesifik sesuai dengan lokasi, peralatan dan jenis penanganan serta
diterapkan secara konsisten.
5) Penanganan mutu ikan: pengembangan fasilitas penanganan ikan-ikan yang
didaratkan di pelabuhan seperti penyediaan laboratorium mutu hasil
perikanan, penyediaan air bersih, penyediaan es, garam, kebersihan TPI dan
alat angkut ikan, penerangan (instalasi listrik), penyuluhan mengenai
penanganan ikan, penyediaan petugas pengolahan ikan, penyediaan data
statistik penanganan ikan, keranjang ikan, WC umum, drainase TPI yang
baik, pengaturan lalu lintas orang di TPI, penyediaan keamanan, ketertiban
dan keindahan pelabuhan serta pengaturan petugas pelayanan penanganan
ikan yang dilengkapi dengan standard operational procedure (SOP) yang
jelas serta pengawasan pelaksanaannya dilakukan oleh manajemen
pelabuhan. Hal itu dilakukan dengan maksud agar semua ikan-ikan yang
akan didistribusikan dari PPN Palabuhanratu hingga ke tangan konsumen
telah memperoleh jaminan mutu.
Peraturan Uni Eropa yang berkaitan dengan penanganan ikan juga telah
dikemukakan oleh Le Ry (2005), bahwa sejak 22 Juli 1991 diatur tentang
peraturan-peraturan hygienitas untuk nelayan di kapal, kondisi penanganan ikan di
kapal, kondisi penanganan pada saat pembongkaran ikan dan kondisi prosessing
dan pengepakan ikan. Selanjutnya pada tanggal 1 Januari 2007 dikeluarkan
peraturan baru tentang Undang-undang pangan yang mengatur tentang
209
traceability, informasi mengenai pelanggan, tanggung jawab dari comercial
operator. Begitu pentingnya penanganan ikan di negara-negara Uni Eropa, maka
sudah selayaknya perlu diterapkan juga di Indonesia khususnya di pelabuhan
perikanan dalam menghadapi era globalisasi untuk perdagangan hasil perikanan
tujuan ekspor.
Menurut FAO (1995) tentang Code of Conduct for Responsible Fisheries
(CCRF), bahwa persyaratan lokasi pelabuhan perikanan dan kaitannya dengan
lokasi PPS Palabuhanratu adalah:
1) Tempat berlindung yang aman bagi kapal penangkap ikan dan disediakan
pelayanan yang memadai bagi kapal, pedagang dan pembeli. Kondisi lokasi
(site) yang akan dijadikan kolam PPS Palabuhanratu berada pada bagian
Selatan Pelabuhan yang ada sekarang. Direncanakan akan dibangun kolam
seluas 20 ha dengan kedalaman kolam bervariasi antara -4 m, -6 m dan -8 m.
Hal penting yang perlu diperhatikan adalah penentuan mulut masuk kolam
pelabuhan harus tepat pada tempat yang telah diperhitungkan dengan
mempertimbangkan kondisi oceanografi nya terutama arus, gelombang,
sedimentasi, dan kedalaman perairan.
2) Pasokan air tawar yang memadai dan pengaturan sanitasi harus disediakan.
Kondisi pasokan air tawar di Palabuhanratu saat ini berasal dari PDAM
dengan kondisi debit air yang kadang-kadang tidak cukup terutama pada saat
musim kemarau. Pihak PDAM merencanakan menambah kapasitasnya dengan
merehab dan mengembangkan instalasi air tawar. Selain itu air bersih berasal
dari sumur air tanah yang dikelola oleh penduduk. Seringkali air tawar dari
PDAM tidak mengalir, maka pihak PPN Palabuhanratu dengan menggunakan
mobil tanki air melakukan pengangkutan air dari sumber air tanah tersebut,
sehingga sampai saat ini tidak ada keluhan dari kapal tentang pasokan air
tawar ini. Perusahaan pabrik es memasok air tawar dari Sungai Cimandiri
yang berada sekitar 2 km dari PPN Palabuhanratu. Sehingga masalah pasokan
air untuk keperluan industri perikanan bisa berasal dari air Sungai Cimandiri
yang harus diolah terlebih dahulu. Dalam pembangunannya, PPS
Palabuhanratu harus membuat fasilitas yang berkaitan dengan sanitasi
lingkungan, terutatam sistem drainase dan tempat pembuangan sampah.
210
3) Sistem pembuangan limbah, termasuk pembuangan minyak, air berminyak dan
alat penangkapan ikan harus diintroduksikan. Pembangunan IPAL merupakan
keharusan dalam membangunan PPS Palabuhanratu, sehingga perlu adanya
studi AMDAL. Dari hasil studi AMDAL, tentu harus ada tindak lanjutnya
seperti perlunya IPAL. Kebersihan kolam harus dijaga. Hal yang harus
dilakukan adalah bagaimana menyadarkan pemakai kolam agar menjaga
kebersihan kolam, sehingga perlu adanya sosialisasi terus menerus mengenai
cara menjaga kebersihan kolam, termasuk keamanan dan ketertiban memakai
kolam. Saat ini sudah ada alat pembersih kolam secara manual dan secara
mesin. Secara manual, petugas cukup menggunakan skop untuk
membersihkan kolam pelabuhan, secara mesin, maka petugas menggunakan
kapal yang dilengkapi alat penyedot sampah dan minyak di kolam.
4) Pencemaran dan kegiatan perikanan dan sumber eksternal harus
diminimumkan. Sehingga dalam hal ini perlu penyadaran pengguna pelabuhan
tentang pentingnya menjaga pelabuhan agar tidak tercemar dari bahan yang
merugikan aktivitas perikanan. Apalagi akhir-akhir ini banyak pedagang dan
nelayan menggunakan formalin untuk mengawetkan ikannya, yang sangat
membahayakan kesehatan manusia. Seperti yang telah dijelaskan pada
halaman 181 bahwa pihak PPN Palabuhanratu telah melakukan kerja sama
dengan pihak kepolisian untuk mencegah penggunaan pemakaian formalin
dan telah melakukan pengujian formalin pada berbagai produk perikanan di
laboratorium milik PPN Palabuhanratu pada ikan segar dan ikan olahan.
Ternyata terbukti memang ada masyarakat yang menggunakan formalin. Pihak
Kepolisian telah menggunakan bukti uji formalin tersebut untuk menangkap
para pelaku yang berakibat berkurangnya penggunaan formalin oleh
masyarakat.
5) Pengaturan untuk menanggulangi efek erosi dan siltasi harus dibuat. Dalam
perencanaan PPS Palabuhanratu harus diperhitungkan dampak atau efek
terhadap bangunan yang direncanakan terhadap bangunan lain atau pantai
yang ada di sekitarnya.
7 KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan
(1) PPN Palabuhanratu sangat perlu dikembangkan guna mengoptimalkan
fungsinya. Pengembangan PPN Palabuhanratu diarahkan untuk
mengembangkan fasilitas dan operasionalnya guna menunjang aktivitas
perikanan yang memanfaatkan potensi SDI di WPP 9 Samudera Hindia.
Alokasi pemanfaatan SDI di WPP 9 untuk PPN Palabuhanratu sebesar
19.000 ton/tahun, yang terdiri dari potensi kelompok SDI pelagis besar
sebesar 6.584 ton/tahun, kelompok SDI pelagis kecil sebesar 9.466 ton/tahun,
kelompok SDI demersal sebesar 2.429 ton/tahun dan kelompok SDI lainnya
sebesar 521 ton/tahun. Target jumlah kapal yang akan memanfaatkan SDI
tersebut untuk PPN Palabuhanratu sebanyak 922 unit yang terdiri dari kapal
ukuran <5 GT sebanyak 530 unit, kapal ukuran 5-30 GT sebanyak 238 unit
dan kapal ukuran 30-150 GT sebanyak 114 unit.
Pemanfaatan kolam pelabuhan sudah melebihi kapasitasnya, yakni
kapasitas kolam I sebanyak 125 unit kapal berukuran 5-30 GT dimuati oleh
kapal sebanyak 527 unit kapal yang sedang ada di kolam atau melakukan
docking atau mengalami kerusakan, kolam II berkapasitas 40 unit kapal
berukuran 30-150 GT dimuati oleh 67 unit kapal yang ada di kolam atau
melakukan docking atau mengalami kerusakan, sehingga memerlukan
perluasan kolam.
Sesuai dengan analisis location quoatient (LQ) Kabupaten Sukabumi,
sektor perikanan adalah sektor basis yang berpotensi mengembangkan sektor
non basis dan perekonomian kawasan. Indeks relatif nilai produksi (I) sebesar
0.6 menunjukkan bahwa pemasaran ikan di PPN Palabuhanratu perlu
dikembangkan.
Hasil skalogram menunjukkan bahwa terjadi persaingan antar 6 unit
pelabuhan perikanan (PPS Jakarta, PPS Bungus, PPS Cilacap, PPN Sibolga,
PPN Palabuhanratu dan PPN Prigi) yang menunjukkan bahwa dari segi
fasilitas PPS Jakarta lebih unggul, dari segi SDM PPN Palabuhanratu lebih
unggul, dari segi jenis ikan yang didaratkan PPS Cilacap lebih unggul, dari
212
segi alat penangkapan ikan PPN Palabuhanratu lebih unggul dan dari segi
jenis kapal PPS Jakarta lebih unggul. Pengembangan fasilitas dan operasional
PPN Palabuhanratu terlebih dahulu adalah mengoptimalkan fungsi PPN
Palabuhanratu yang selanjutnya akan diarahkan untuk meningkatkan kelasnya
menjadi pelabuhan perikanan samudera berdasarkan indikasi foreland dan
hinterland nya .
(2) Pola pengembangan PPN Palabuhanratu untuk mengoptimalkan fungsinya,
telah diformulasikan sebagai berikut : diperlukan perluasan kapasitas kolam
dari 5 ha menjadi 8,6 ha dengan kedalaman 4 m, panjang dermaga dari 910
meter menjadi 1.452 meter, penambahan luas gedung TPI dari 900 m2
menjadi 1.424 m2, kebutuhan solar dari 10.381 kl/tahun menjadi 37.695
kl/tahun, kebutuhan es dari 18.250 ton/tahun menjadi 38.000 ton/tahun,
kebutuhan air bersih dari 38.370 kl/tahun menjadi 86.272 kl/tahun dan
penambahan luas areal dari 7,2 ha menjadi 30 ha. Dengan pengembangan
fasilitas tersebut, maka diharapkan tercapai target jumlah kapal yang
mendarat sebesar 922 unit/tahun, target jumlah produksi ikan sebesar 19.000
ton/tahun yang berasal dari WPP 9 Samudera Hindia.
Distribusi ikan di hinterland primer dalam negeri dari ikan segar PPN
Pabuhanratu akan meningkat dari 3.194 ton tahun 2005 menjadi 6.163 ton
setelah PPN Palabuhanratu dikembangkan, distribusi ikan di hinterland
primer luar negeri (ekspor) dari ikan segar PPN Palabuhanratu meningkat
dari 204 ton tahun 2005 menjadi 6.650 ton pada saat pengembangan PPN
Palabuhanratu. Distribusi ikan di hinterland sekunder dari jenis ikan olahan
dari PPN Palabuhanratu sebesar 3.203 ton tahun 2005 menjadi 6.187 ton
pada saat pengembangan PPN Palabuhanratu. Daerah distribusi
pengembangan hinterland relatif tetap yakni Jawa Barat dan DKI Jakarta
serta negara tujuan ekspor diperkirakan semakin luas sampai ke Uni Eropa.
Jumlah konsumen dalam negeri terhadap ikan dari PPN Palabuhanratu
sebanyak 281.049 orang tahun 2005 meningkat menjadi 542.619 orang. Hal-
hal tersebut akan berdampak terhadap perubahan pola operasional pelabuhan
pada kegiatan tambat labuh, pendaratan ikan, penanganan ikan, pemasaran
213
dan distribusi ikan, penyuluhan dan pengumpulan data statistik, manajemen
pelabuhan serta kegiatan pengawasan sumberdaya perikanan.
(3) Urutan prioritas pengembangan PPN Palabuhanratu adalah: peningkatan
jumlah kapal, peningkatan jumlah ikan, peningkatan pendapatan pelabuhan
perikanan, peningkatan jumlah tenaga kerja dan peningkatan PAD.
7.2 Saran
(1) Pola pengembangan PPN Palabuhanratu dapat dijadikan bahan pertimbangan
untuk merevisi pola pengembangan PPN Palabuhanratu yang ada.
(2) Pola pengembangan pelabuhan perikanan ini dapat dijadikan acuan dalam
menyusun pola pengembangan pelabuhan perikanan, namun perlu
memperhatikan kondisi masing-masing komponen triptyque portuaire.
DAFTAR PUSTAKA
Adi I.S. 1995. Fungsi Tempat Pelelangan Ikan dalam Tata Niaga Ikan di Daerah Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi (tesis). Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 145 hlm.
Al Barry M.D. 1994. Kamus Moderen Bahasa Indonesia. Yogyakarta: PT. Arkola.
hlm 519. Alkadri R. 1997. Analisis Hasil Tangkapan Cakalang (Katsuwonus pelamis,Linn)
di Perairan Pelabuhanratu, Jawa Barat (skripsi). Bogor: Program Studi Ilmu Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. 46 hlm.
Ayodhyoa. 1975. Lokasi dan Fasilitas Pelabuhan Perikanan. Bahan untuk kursus Administrasi Pelabuhan Angkatan ke-2, Direktorat Jenderal Perikanan. Bagian Penangkapan Ikan Fakultas Perikanan. Bogor. Institut Pertanian Bogor : hlm 1.
Barani H.M. 2006. Pelaksanaan dan Evaluasi Kebijaksanaan Teknologi Penangkapan Ikan yang Bertanggung Jawab di Indonesia. Di dalam: Prosiding Seminar Perikanan Tangkap ”Menuju Paradigma Teknologi Perikanan Tangkap yang Bertanggung Jawab dalam Mendukung Revitalisasi Perikanan. Bogor: Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. hlm 14.
Baskoro M.S, Ronny I Wahyu, Arif Effendy. 2004. Migrasi dan Distribusi Ikan. Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan (skripsi). Bogor: Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. 154 hlm.
[BPS-BAPPEDA] Badan Pusat Statistik-Badan Penelitian dan Badan Perencanaan
Daerah Kabupaten Sukabumi. 2000. Kabupaten Sukabumi dalam Angka. Sukabumi: BPS Kabupaten Sukabumi. 261 hlm.
Budiharsono S. 2001. Teknik Analisis Pembangunan Wilayah Pesisir dan
Lautan. Jakarta: Pradnya Paramita. 159 hlm. Charlier J. 1983. Ports et régions Françaises: une Analyse Macro-Géographique.
177 hlm. Chaussade. 1986. La Baie de Bourgneuf: les formes socio-spatiales de la pêche.
Di dalam Cahier Nantais No.27: ATP-CNRS. Socio economic du littorale ” Baie de Bourgneuf ”. Institut de Geographic et d’Amenagement Regional. Univ. Nantes. France. 15 hlm.
215
[DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2002. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan RI No.46/MEN/2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja Pelabuhan Perikanan. Jakarta: DKP. 10 hlm.
[DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2003. Kebijakan dan Program
Pembangunan Kelautan dan Perikanan tahun 2004. Jakarta: DKP. 25 hlm. [DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2004. Keputusan Menteri Kelautan
dan Perikanan Republik Indonesia Nomor KEP.10/MEN/2004 tanggal 24 Februari 2004 tentang Pelabuhan Perikanan. Jakarta: DKP. 10 hlm.
[DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2004. Keputusan Menteri Kelautan
dan Perikanan Republik Indonesia Nomor KEP.11/MEN/2004 tentang Pelabuhan Pangkalan Bagi Kapal Perikanan. Jakarta: DKP. 6 hlm.
[DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2006. Peraturan Menteri Kelautan
dan Perikanan No: PER.16/MEN/2006 tanggal 23 Juni 2006 tentang Pelabuhan Perikanan. Jakarta: DKP. 15 hlm.
[DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2006. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.Per.17/MEN/2006 tentang Usaha Perikanan Tangkap. Jakarta: DKP. 30 hlm.
[DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2007. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. KEP.01/MEN/2007 tanggal 5 Januari 2007 tentang Persyaratan Jaminan Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan pada Proses Produksi, Pengolahan dan Distribusi. Jakarta: DKP. 10 hlm.
Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Sukabumi. 2001. Laporan Akhir Survey dan Pendataan Potensi Perikanan dan Kelautan Sukabumi. Sukabumi: Dinas Perikanan Kabupaten Sukabumi. 74 hlm.
Ditjen Perikanan dan PT. Inconeb. 1981. Standar Rencana Induk dan Pokok-pokok Desain Untuk Pelabuhan Perikanan dan Pangkalan Pendaratan Ikan. Jakarta: Direktorat Jenderal Perikanan. 168 hlm.
Direktorat Jenderal Perikanan. 1994. Petunjuk Teknis Pengelolaan Pelabuhan Perikanan. Jakarta: Departemen Pertanian. hlm 10.
Ditjen Perikanan dan PT. Perentjana Djaja. 1999. Perencanaan dan Perancangan Detail Desain Pengembangan Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu dan Review Master Plan. Jakarta: Direktorat Jenderal Perikanan. 157 hlm.
Direktorat Jenderal Perikanan. 2000. Rencana Induk Pengelolaan dan
Pengembangan Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu. Jakarta: Departemen Kelautan dan Perikanan. 43 hlm.
216
Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. 2002. Pedoman Pengelolaan Pelabuhan Perikanan. Jakarta: Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap Departemen Kelautan dan Perikanan dan Japan Internatinal Cooperation Agency (JICA).hlm 35.
Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. 2003. Profil Pelabuhan Perikanan di
Indonesia. Jakarta: Departemen Kelautan dan Perikanan. 146 hlm. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. 2003. Revitalisasi Pelabuhan Perikanan
Menunjang Pengembangan Perikanan Nasional. Jakarta: Departemen Kelautan dan Perikanan.. 76 hlm.
Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, 2005. Statistik Perikanan Tangkap
Indonesia tahun 2003. Jakarta: Departemen Kelautan dan Perikanan. 104 hlm.
Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. 2006. Statistik Perikanan Tangkap
Indonesia tahun 2004. Jakarta: Departemen Kelautan dan Perikanan. 130 hlm.
Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. 2006. Program Pengembangan Pelabuhan
Perikanan tahun 2006. Jakarta: Departemen Kelautan dan Perikanan. 20 hlm.
Direktorat Prasarana Perikanan Tangkap. 2004. Rencana Pengembangan
Prasarana Perikanan Tangkap tahun 2005. Didalam; Rapat Kerja Teknis Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap tahun 2004. Jakarta. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. Departemen Kelautan dan Perikanan. hlm 15. (Tidak dipublikasikan)
Direktorat Pemasaran Dalam Negeri Ditjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil
Perikanan. 2007. Warta Pasar Ikan No. 42 Edisi Februari 2007. hlm 11. Direktorat Standardisasi dan Akreditasi. 2005. Penerapan Standardisasi Mutu di
Pelabuhan Perikanan. Di dalam: Temu Koordinasi Pelabuhan Perikanan sebagai Pusat Pengembangan Unit Bisnis Perikanan Terpadu. Batam, 5-8 Desember 2005. Departemen Kelautan dan Perikanan. hlm 20. (Tidak dipublikasikan).
Food and Agriculture Organization of The United Nations. 1995. Code of
Conduct for Responsible Fisheries (CCRF). hlm 15. Fuzi Kizae. 1960. Catalogue. Japan : Fuzi Kizae Co.,Ltd. Hagget P, AD Cliff, A Frey. 1977. Locational Analysis in Human Geography.
John Willey and Sons. 605 hlm.
217
Hanafiah A.M. 1983. Tata Niaga Hasil Perikanan. Jakarta: Universitas Indonesia Press. 208 hlm.
Herwening E. 2003. Modernisasi Perikanan dan Potensi Konflik (Studi kasus di
Kelurahan Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi) (tesis). Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 158 hlm.
Haluan J, Tri Wiji Nurani, Sugeng Hari Wisudo, Eko Sri Wiyono, Mustaruddin.
2004. Manajemen Operasi: Teori dan Praktek pada Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Bogor: Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. hal 47-80.
Ibrahim RHS. 2001. Strategi Peningkatan Kinerja Pelabuhan Perikanan Nusantara
Palabuhanratu, Sukabumi Jawa Barat (tesis). Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 190 hlm.
Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara. 1998. Program Model Pelayanan.
Jakarta: Menko Pengawasan Pembangunan dan Pendayagunaan Aparatur Negara. hlm 6.
Keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia No.995/kpts/ik.210/9/99 tentang
Potensi Sumberdaya Ikan dan Jumlah Tangkapan yang Diperbolehkan (JTB) di Wilayah Perikanan Republik Indonesia). 15 hlm.
Keputusan Menteri Pertanian No.392/kpts/IK.120/4/99 tentang Jalur Penangkapan
Ikan. 10 hlm. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan RI No. KEP.26.I/MEN/2001 tanggal
1 Mei 2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Pelabuhan Perikanan. 20 hlm. Kramadibrata S. 1985. Perencanaan Pelabuhan. Bandung: PT Ganeca Exact. 479
hlm. Le Ry J M. 2005. Cornouaille Fishing Harbours. Di dalam: Sosialisasi Buku Atlas
Perikanan Tangkap dan pelabuhan Perikanan di Pulau Jawa tahun 2005. Bogor, 7 Juni 2005. 6 hlm. (Tidak dipublikasikan).
Lubis E. 1989. L’ Organisation et L’ amenagement des ports de peche
Indonesiens. Comparaison avie l’organisation et l’amenagement des port Francais et Europeens. Disertasi S3. Univ. Nantes. France. 366 hlm.
Lubis E. 1998. Pola Pengembangan Pelabuhan Perikanan di Wilayah Perairan
Selat Malaka dan Laut Cina Selatan yang Efisien dan Efektif. Laporan Akhir Penelitian Hibah Bersaing V Perguruan Tinggi Tahun Anggaran 1997/1998. Bogor: Direktorat Pembinaan Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat Dikti Departemen Pendidikan Kebudayaan dan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. 107 hlm.
218
Lubis E. 2002. Pengantar Pelabuhan Perikanan. Buku I Bahan Kuliah Program Pascasarjana m.a Pelabuhan Perikanan. Bogor : Laboratorium Pelabuhan Perikanan Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. 73 hlm.
Lubis E. 2002. Analisis Sistem Pelabuhan Perikanan. Buku I Bahan Kuliah
Program Pascasarjana m.a Pelabuhan Perikanan. Bogor: Laboratorium Pelabuhan Perikanan Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. 10 hlm.
Lubis E. 2003. Analisis Produksi Hasil Tangkapan di Pelabuhan. Bahan Kuliah
Pascasarjana m.a Pelabuhan Perikanan. Bogor: Laboratorium Pelabuhan Perikanan Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. 10 hlm.
Lubis E, Anwar Bey Pane, Yeyen Kurniawan, Jean Chausade, Christine Lamberts,
Patrick Pottier. 2005. Atlas Perikanan Tangkap dan Pelabuhan Perikanan di Pulau Jawa, Suatu Pendekatan Geografi Perikanan Tangkap Indonesia.Atlas Bogor: PK2PTM LP-IPB. 120 hlm.
Mahyuddin B. 2004. Overseas Training on Community Based Fisheries
Resources Management in Philipines. General Santos, 5-8 December 2004. Proyek Pembangunan Masyarakat Pantai dan Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan. 10 hlm. (Tidak dipublikasikan)
Mahyuddin B, Lukman Nur Hakim, Passion C.Z, Agus Nugraha A. 2005.
Laporan Pengujian Formalin Pada Ikan yang didaratkan di PPN Palabuhanratu. Sukabumi: PPN Palabuhanratu. 30 hlm.
Mappangara A C. 2005. Penentuan Hierarki Pelabuhan sebagai Konsep
Pengembangan Pelabuhan Kawasan Timur Indonesia. Neptunus vol 12 no.1: 11-18.
Marimin. 2004. Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk.
Jakarta: Grasindo. 197 hlm. Monintja D.R. 2002. Pengembangan Industri Perikanan Tangkap Provinsi Jawa
Barat. Disampaikan dalam Makalah Rapat Kerja Teknis Perikanan Provinsi Jawa Barat tahun 2002. hlm 2. (Tidak dipublikasikan)
Muthukude P, James L Novak, Curtis Jolly. 1991. A goal Programming
evaluation of fisheries development plans for Sri Lanka’s coastal fishing fleet, 1988-1991. Fisheries Research vol 12: 325-339.
219
Murdiyanto B. 2004. Pelabuhan Perikanan: Fungsi, Fasilitas, Panduan Operasional, Antrian Kapal. Bogor: Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu kelautan. Institut Pertanian Bogor. 143 hlm.
Murdiyanto B. 2004. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Pantai. Jakarta: Proyek
Pembangunan Masyarakat Pantai dan Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. Departemen Kelautan dan Perikanan. 200 hlm.
National Fishing Port Association. 1995. Fishing Port of Japan. National Fishing
Port Association. hlm 11. Nugroho A. 2004. International Ships and Port Security Facility Sebagai Salah
Satu Persyaratan Pelabuhan Perikanan Ekspor. Makalah. Di dalam: Rapat koordinas Evaluasi Pembangunan Pelabuhan Perikanan/PPI; Bogor, 18 Desember 2004. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. Departemen Kelautan dan Perikanan. 15 hlm. (tidak dipublikasikan).
Nurani Tri W, Anita. 2004. Penerapan Manajemen Kualitas pada Proses Produksi
Ikan Layur untuk Tujuan Ekspor. Bul PSP Vol.14 No.2: 1-15. Nurani Tri W, Sugeng Hari Husodo. 2007. Bisnis Perikanan Tuna Longline.
Institut Pertanian Bogor. 58 hlm. Pane A.B, B. Ibrahim, Dinarwan, E. Lubis, D. Rochnadi, Diniah, I. Mukhsin, S.
Amanah. 2005. Tinjauan dan Kajian Perikanan Tangkap di Pulau Jawa: Peran Strategis dan Prospeknya Kedepan dalam Pembangunan Perikanan Indonesia dan Menghadapi Tantangan Nasional dan Global. Di dalam: Makalah Semiloka Internasional ”Revitalisasi Dinamis Peran Pelabuhan Perikanan dan Perikanan Tangkap di Pulau Jawa dalam Pembangunan Perikanan Indonesia; Bogor, 6-7 Juni 2005. hlm 1. (Tidak dipublikasikan)
Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu. 1998. Statistik Perikanan PPN Palabuhanratu tahun 1993-1997. Sukabumi: PPN Palabuhanratu. 205 hlm.
Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu. 1999. Statistik Perikanan PPN Palabuhanratu tahun 1998. Sukabumi: PPN Palabuhanratu. 116 hlm.
Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu. 2000. Statistik Perikanan PPN Palabuhanratu tahun 1999. Sukabumi: PPN Palabuhanratu. 118 hlm.
Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu. 2001. Statistik Perikanan PPN Palabuhanratu tahun 2000. Sukabumi: PPN Palabuhanratu. 79 hlm.
Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu. 2002. Statistik Perikanan PPN Palabuhanratu tahun 2001. Sukabumi: PPN Palabuhanratu. 69 hlm.
220
Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu. 2003. Statistik Perikanan PPN Palabuhanratu tahun 2002. Sukabumi: PPN Palabuhanratu. 97 hlm.
Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu. 2004. Statistik Perikanan PPN Palabuhanratu tahun 2003. Sukabumi: PPN Palabuhanratu. 77 hlm
Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu.2005. Statistik Perikanan PPN Palabuhanratu tahun 2004. Sukabumi: PPN Palabuhanratu. 78 hlm.
Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu.2006. Statistik Perikanan PPN Palabuhanratu tahun 2005. Sukabumi: PPN Palabuhanratu. 78 hlm.
Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu.2005. Laporan Pemantauan dan Evaluasi CPUE Unit Penangkapan Ikan di PPN Palabuhanratu tahun 2005. Sukabumi: PPN Palabuhanratu. 41 hlm. (Tidak dipublikasikan).
Pemerintah Daerah Tk.II Kabupaten Sukabumi. 1994. Rencana Teknik Ruang Kota (RTRK) Kawasan Perencanaan Palabuhanratu 1994-2004. Sukabumi: PEMDA Kabupaten Sukabumi. 57 hlm.
Pemerintah Daerah Tk. II Kabupaten Sukabumi. 1999. Rencana Detail Tata Ruang Kota Palabuhanratu. Sukabumi: PEMDA Kabupaten Sukabumi. 53 hlm.
Pemerintah Provinsi Jawa Barat. 2004. Prioritas Pembangunan Perikanan dan Kelautan tahun 2005 di Provinsi Jawa Barat. Sukabumi: PEMDA Kabupaten Sukabumi. hlm 15.
[PKSPL-IPB] Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. 2000. Studi
Pengembangan Pelabuhan Perikanan di Pantura Jawa Serta Sistem Data dan Informasi. Bogor: PKSPL-IPB. 201 hlm.
[PRTK BRKP – LIPI] Pusat Riset Perikanan Tangkap BRKP-DKP - Pusat
Penelitian dan Pengembangan Oseanologi LIPI. 2005. Pengkajian Stok Ikan di Perairan Indonesia. Jakarta: Badan Riset Kelautan dan Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan. 66 hlm.
Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No 8 tahun 2000 tentang Pengelolaan
Tempat Pelelangan Ikan. 8 hlm. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No 9 tahun 2000 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Pengelolaan Tempat Pelelangan Ikan. 15 hlm. Peraturan Pemerintah No.62 tahun 2002 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan
Negara Bukan Pajak (PNBP). 25 hlm. Peraturan Pemerintah No.19 tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan
Pemerintah no.62 tahun 2002 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). 30 hlm.
221
PT. Tripatra Enginering. 1989. Perencanaan Detail Desain Pembangunan Pelabuhan Perikanan Palabuhanratu. Jakarta: PT. Tripatra Enginering. Hlm 15-50.
Rogge, Marine and PT.Inconeb. 1987. Feasibility Study Province West Java, Sub
Project: Pelabuhanratu. Jakarta: Directorate General of Fisheries. hlm 60-70.
Rustiadi E., Sunsun Saefulhakim dan Dyah R.Panuju. 2005. Perencanaan dan
Pengembangan Wilayah. Diktat Edisi Januari 2006. Bogor: Fakultas Pertanian IPB. 333 hlm.
Rustiadi E., Sunsun Saefulhakim dan Dyah R.Panuju. 2005. Penuntun Praktikum
Perencanaan Pengembangan Wilayah. Bogor: Fakultas Pertanian IPB. hlm 20-50.
Rustiadi E. 2001. Pengembangan Wilayah Pesisir Sebagai Kawasan Strategis
Pembangunan Daerah. Di dalam: Pelatihan Pengelolaan dan Perencanaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu. Bogor: Fakultas Pertanian IPB. hlm 1-10.
Saaty T.L. 1988. Multicriteria Decision Making The Analytic Hierarchy Process.
Planning, Priority Setting, Resource Allocation. USA: University of Pittsburgh. 153 hlm.
Subandi W. 2000. Jenis-jenis Ikan Laut Ekonomis Penting di Indonesia. BPPL
Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pertanian. hlm 1.
Soepanto. 2003. Analisis Perilaku Pemasaran Tuna Segar Indonesia di Pasar
Dunia Menggunakan Metode Ekonometrika. Buletin PSP vol 12 no.1: hlm 34-59.
Sultan M. 2004. Pengembangan Perikanan Tangkap di Kawasan Taman Nasional
Laut Taka Bonerate (disertasi). Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 174 hlm.
Triatmodjo B. 1996. Pelabuhan. Yogyakarta: Beta Offset. hlm 1-41. Undang-undang No.9 tahun 1985 tentang Perikanan. hlm 10. Undang-undang No.31 tahun 2004 tentang Perikanan. hlm 44-46. Vigarie A. 1979. Port de Commerce et Vie Littorale. Hachette. Paris. 392 hlm. Wojowasito S. 1972. Kamus Bahasa Indonesia. Bandung: Shinta Dharma.
hlm 150.
223
Lampiran 1 Daftar nama responden
Nama responden
Jabatan
Imas Masriah, S.Pi Petugas statistik PPNP Abdulrahman Ekaputra,SE Petugas laporan tahunan PPNP Tatang Suherman, A.Pi Kepala seksi pelayanan teknis PPNP Drs. Eno Sandy Prayitno,MM Ka.Sub Bag TU PPNP Edi Ruhendi, SE Petugas Pusat Informasi PPNP Hendi Supriyadi, S.Pi Pegawai Bank Danamon PPNP M.Trimurti , A.Md Pegawai PT.AGB Badri Suhendri Pengurus longline H. Unang Pengusaha cold storage Marzuki Daud Pengusaha docking Asep Lukman Manajer TPI Ujang SB Nelayan gillnet Nasir Pengurus longline Ujang Suprihatin Ketua KUD Maman Suparman Tokoh nelayan Ceceng Sofyan Juragan Suhendar Pengusaha pindang Murtado Bakul Sudiarto Pemilik kapal KUB Ujang Mitra Tokoh nelayan Ir. Hanura Petugas statistik Dinas Kelautan Sukabumi Rawida Nelayan gillnet Suhebot Petugas perijinan Dinas Kelautan
Kabupaten Sukabumi Ir. Dedah Petugas Dinas Perikanan Kab. Sukabumi Iwan Priyatna Petugas Dinas Perikanan Kab. Sukabumi Ir. Nina Nirmala Ka. Sub Dit PPI DKP Ir. Arif R. Lamatta Kepala PPN Tanjung Pandan / mantan staf
PPN Palabuhanratu Ir. S. Komariah Ka.Sie Monev Pelabuhan DKP Hendrawan, S.Pi Petugas Pusat Informasi Pelabuhan
Perikanan DKP
224
Lampiran 2 Hasil penilaian 29 responden terhadap prioritas pengembangan PPN Palabuhanratu
Penilaian responden Kendala
Tinggi Sedang Kurang Nilai Rangking
Peningkatan jumlah kapal 28 1 0 285 1Peningkatan produksi ikan 27 2 0 280 2Perluasan kolam 18 11 0 235 11Peningkatan pelelangan ikan 22 7 0 255 7Peningkatan pendapatan pelabuhan 26 3 0 275 3
Peningkatan lapangan kerja 25 4 0 270 4Peningkatan PAD 24 5 0 265 5Peningkatan investasi 23 6 0 260 6Penyempurnaan docking 16 11 2 221 12Peningkatan SDM 15 10 4 212 13Aksesibilitas 14 9 6 203 14Perluasan lahan 19 10 0 240 10Peningkatan kapasitas pabrik es 21 8 0 250 8Pengadaan SPBB kapal >30 GT 20 9 0 245 9Peningkatan industri pengolahan 13 12 4 202 15Aplikasi SOP 10 15 4 187 16Operasional syahbandar perikanan 9 11 9 172 17
Catatan: Tinggi =10, sedang = 5, kurang = 3
225
Lampiran 3 Hasil penilaian 29 responden terhadap solusi pengembangan PPN Palabuhanratu
Dikembangkan
Jenis fasilitas Tinggi Sedang Kurang
Nilai Ranking
Kolam dan dermaga 28 1 0 285 1 Perluasan lahan 27 2 0 280 2 Operasional TPI 26 3 0 275 3 Pabrik es 17 10 2 226 8 Pengadaan SPBB 25 4 0 270 4 Pelayanan prima 24 4 1 263 5 Alur pelayaran 20 8 1 243 6 Lampu navigasi 18 9 2 231 7 Pasar ikan 15 14 0 220 9 Balai pertemuan nelayan 13 12 4 202 10 Instalasi air 11 15 3 197 11 Bak sampah 10 15 4 187 12 Jalan kompleks pelabuhan 3 21 5 150 13
Keterangan: Tinggi=10, Sedang=5, Kurang=3
226
Lampiran 4 Bagan struktur organisasi PPN Palabuhanratu ( SK Menteri Kelautan dan Perikanan No : KEP.26.I/ MEN/ 2001 )
KEPALA PELABUHAN Ir. Bustami Mahyuddin, MM
SEKSI TATA PENGUSAHAAN
Tatang Suherman, A.Pi
SUB BAG TATA USAHA Drs. Eno Sandy Prayitno, MM
SEKSI TATA PELAYANAN Maulana Raphita, A.Pi
KELOMPOK JABATAN FUNGSIONAL
250
Lampiran 5 Frekuensi masuk kapal/perahu perikanan di PPN Palabuhanratu periode tahun 2004
Per jenis kapal/perahu perikanan per alat tangkap (kali)
KM 11 - 20 GT KM 21 - 30 GT KM > 30 GT No
Bulan
Gill Net Rawai Gill Net Rawai Gill Net Rawai Tuna longline
Jumlah (kali)
1 Januari 35 - 8 - 2 4 25 74 2 Februari 13 - 5 - 7 5 26 56 3 Maret 7 10 11 1 5 3 27 64 4 April 1 35 8 - 1 9 38 92 5 Mei 14 - 3 1 2 - 25 45 6 Juni 5 - 7 - 6 3 36 57 7 Juli 10 - 15 - 9 4 25 63 8 Agustus 5 - 14 - 3 4 23 49 9 September 1 - 10 3 9 3 39 65 10 Oktober 5 - 9 2 26 2 15 59 11 November 2 - 4 - 10 3 14 33 12 Desember 3 - 5 2 10 5 30 55 Jumlah 101 45 99 9 90 45 323 712 Rata-rata perbln 8 4 8 1 8 4 27 59 Rata-rata perhari 2 Kondisi Maksimum 35 35 15 3 26 9 39 92
Sumber : PPN Palabuhanratu, 2005.
227
251
Lampiran 6 Frekuensi keluar kapal/perahu perikanan di PPN Palabuhanratu tahun 2004
Jenis alat tangkap KM < 10 GT KM 11 - 20 GT KM 21 - 30 GT KM > 30 GT
No Bulan Purse seinne Gill net Pancing
ulur/rawai Gill net Rawai Gill net Rawai Gill net Rawai Tuna longline
1 Januari 103 13 78 4 2 6 - 5 - 202 Februari 125 14 90 3 2 6 - 5 - 243 Maret 161 13 177 4 2 6 - 5 - 274 April 258 16 169 4 - 11 - 5 - 65 Mei 257 24 20 14 3 2 - 24 - 126 Juni 96 11 20 3 - 7 - 14 - 417 Juli 13 239 24 3 - 7 - 30 - 268 Agustus 68 53 119 4 - 24 - 15 - 429 September 38 58 160 4 - 7 - 13 - 4410 Oktober - 17 90 5 - 8 - 22 - 811 November - 13 20 3 - 4 - 12 - 1612 Desember - 12 50 3 - 5 - 9 - 19
Jumlah 1.119 483 1.017 54 9 93 - 159 - 285Rata-rata 93 40 85 5 1 8 - 13 - 24Kondisi Maksimum 258 239 177 14 3 24 - 30 - 44Rata-rata per hari 9
Sumber : PPN Palabuhanratu 2005 228
229
Lampiran 7 PDRB sub sektor perikanan atas dasar harga yang berlaku Kabupaten Sukabumi tahun 2000-2004
Satuan: dalam juta rupiah
Tahun PDRB
2000 109.131,36
2001 125.334,53
2002 136.498,00
2003 149.246,91
2004 163.288,89
Rata-rata 136.699,94
Sumber: BPS Kabupaten Sukabumi, 2005.
240
Lampiran 8 PDRB Kabupaten Sukabumi atas dasar harga berlaku menurut sektor periode tahun 2000 – 2004 Satuan: juta rupiah
Sektor 2000 2001 2002 2003* 2004**
Pertanian 2.146.545,50 2.505.020,57 2.834.225,89 3.140.787,79 3.342.354,25
Pertambangan & Penggalian 302.355,65 364.876,90 395.700,08 420.114,59 483.460,47
Industri pengolahan 906.851,09 1.093.753,10 1.207.572,03 1.394.413,96 1.505.879,22
Listrik,gas & air minum 48.201,55 62.057,62 70.023,64 101.108,22 130.620,10
Bangunan & Konstruksi 82.265,00 9.501,01 111.766,42 190.162,47 295.613,84
Perdagangan,Hotel&Restoran 586.200,65 1.196.968,35 1.206.409,37 1.283.952,45 1.472.768,61
Angkutan & Komunikasi 310.364,94 375.695,31 422.941,85 468.725,80 625.969,01
Keuangan,Persewaan & jasa perusahaan 199.422,37 241.451,01 267.595,37 292.315,26 332.428,98
Jasa-jasa 659.575,15 815.571,79 915.041,07 974.517,57 1.038.911,67
PDRB 5.241.781,90 6.664.895,66 7.431.275,72 8.266.098,11 9.228.006,15
Rata-rata PDRB = 7.366.411,51 Sumber: BPS Kabupaten Sukabumi, 2005. Keterangan: *) angka diperbaiki **) angka sementara
230
231
Lampiran 9 PDRB sub sektor perikanan atas dasar harga yang berlaku Provinsi Jawa - Barat tahun 2000 – 2004
Tahun PDRB
2000 1.744.492,72 2001 2.268.421,02 2002 2.732.966,42 2003* 2.718.168,52 2004** 3.236.166,49 Rata-rata 2.540.043,03
Sumber: Jawa Barat dalam angka, 2005. Keterangan: *) angka diperbaki **) angka sementara
242
Lampiran 10 PDRB Provinsi Jawa Barat atas dasar harga berlaku menurut sektor periode tahun 2000 - 2004
Sektor 2000* 2001* 2002* 2003* 2004** Pertanian,peternakan,kehutanan dan perikanan 29.135.323,89 30.987.527,27 33.465.518,60 36.358.471,17 40.162.265,47Pertambangan dan penggalian 18.597.723,64 20.784.668,70 22.170.507,05 16.006.590,04 20.543.169,26Industri pengolahan 67.750.802,37 73.633.845,15 79.911.695,26 115.267.941,97 123.471.213,49Listrik, gas dan air 3.700.173,11 4.852.728,33 5.702.977,49 6.273.427,06 7.948.353,59Bangunan 5.254.511,71 5.540.795,54 6.389.815,32 7.133.557,43 8.479.964,12Perdagangan,hotel dan restoran 25.309.138,21 26.925.720,54 30.883.177,81 46.894.010,52 53.857.801,61Pengangkutan dan komunikasi 7.089.545,26 8.094.492,51 9.934.813,36 13.453.428,44 16.125.218,22Keuangan,persewaan dan jasa perusahaan 5.062.255,96 5.910.959,16 7.077.409,26 8.064.022,99 8.718.983,06Jasa-jasa 14.750.974,96 16.395.327,41 18.826.332,77 21.253.558,86 25.778.685,30PDRB 176.650.449,11 193.126.064,61 214.362.246,92 270.705.008,48 305.085.654,12Rata-rata PDRB = 231.985.884,60 Sumber: Jawa Barat Dalam Angka, 2005. Keterangan: *) angka diperbaiki **) angka sementara
232
233
Lampiran 11 Produksi dan nilai produksi ikan di PPN Palabuhanratu periode tahun 2000 - 2004
Tahun Produksi (kg) Nilai Produksi (Rp)
2000 3.515.151,00 3.857.799.500,00
2001 3.504.450,00 4.793.207.839,00
2002 3.875.468,00 15.335.105.315,00
2003 4.625.763,00 18.154.560.568,00
2004 6.404.179,00 31.566.769.254,00
Rata-rata 4.385.002,20 14.741.488.495,20
Sumber: PPN Palabuhanratu, 2005. Lampiran 12 Produksi perikanan laut Kabupaten Sukabumi periode tahun 2000-
2004
Tahun Produksi (ton) Nilai (x Rp.1000)
2000 4.353,00 21.791.572,50
2001 4.825,00 23.951.778,00
2002 6.286,27 31.902.950,00
2003 7.069,86 35.643.248,00
2004 9.120,32 45.601.600,00
Rata-rata 6.330,89 31.778.229,70
Sumber: Dinas Perikanan dan Kelautan Kab. Sukabumi, 2005
234
Lampiran 13 Produksi dan nilai ikan yang dilelang di PPN Palabuhanratu bulan Januari-Oktober tahun 2005
Bulan Produksi (kg) Nilai (Rp)
Januari 201.160 663.873.450
Februari 185.173 623.408.510
Maret 188.694 611.318.040
April 177.816 402.000.000
Mei 191.213 546.000.000
Juni 183.519 565.000.000
Juli 112.813 417.000.000
Agustus 170.000 440.000.000
September 58.522 170.000.000
Oktober 853 103.000.000
Sumber : PPN Palabuhanratu, 2005.
238
Lampiran 14 Produksi ikan bulan Januari-Oktober tahun 2005 di PPN Palabuhanratu
Yang didaratkan di pelabuhan Dari luar pelabuhan Jumlah Bulan
Produksi (kg) Nilai (Rp) Produksi (kg) Nilai (Rp) Produksi (kg) Nilai (Rp)
Januari 251.835 1.610.690.627 581.710 3.222.730.000 833.545 4.833.420.627Februari 433.331 2.468.397.950 578.235 3.105.958.400 1.011.566 5.574.356.350Maret 528.960 2.841.230.794 552.125 3.138.490.000 1.081.085 5.979.720.794April 866.482 3.045.571.683 635.232 3.735.496.000 1.501.714 6.781.067.683Mei 1.359.537 5.616.690.434 169.270 754.280.000 1.528.807 6.370.970.434Juni 757.949 3.410.348.426 294.172 1.489.830.000 1.052.121 4.900.178.426Juli 425.963 2.023.290.828 373.030 1.821.000.000 798.993 3.844.290.828Agustus 623.020 2.862.882.458 224.200 1.063.350.000 847.220 3.926.232.458September 472.700 1.895.590.122 354.680 2.322.560.000 827.380 4.218.150.122Oktober 379.339 1.675.397.899 399.060 2.490.370.000 778.399 4.165.767.899Nopember 119.175 789.395.477 398.530 2.055.660.000 517.705 2.845.055.477Desember 582.239 3.914.448.126 409.415 2.958.392.500 991.654 6.872.840.626Jumlah 6.800.530 32.153.934.824 4.969.659 28.158.116.900 11.770.189 60.312.051.724Rata-rata perbln 550.044 2.679.494.569 414.138 2.346.509.742 964.182 5.026.004.310
Sumber : PPN Palabuhanratu, 2005.
235
236
Lampiran 15 Jumlah ikan yang didaratkan di dermaga PPN Palabuhanratu periode tahun 2001-2005
Satuan: ton Tahun Jumlah 2001 1.767 2002 2.890 2003 4.105 2004 3.368 2005 6.601
Jumlah 18.731 Rata-rata 3.746
Sumber : Statistik PPN Palabuhanratu 2006.
237
252
Lampiran 16 Hasil perhitungan indeks fasilitas 6 unit pelabuhan perikanan di WPP 9 Samudera Hindia
No Nama Pelabuhan Perikanan (PP)Areal
Pelabuhan (Ha)
Dermaga (m)
Kolam Pelabuhan
(Ha)
Jalan Komplek
(m)
Revetment (m) Trotoar (m) TPI (m2)
Tangki BBM dan Instalasi
(m3)
Listrik dan Instalasi
(KVA)
Kantor Administrasi
(m2)
Areal Parkir (m2) Pagar (m) Pos Satpam/
Jaga (m2) SSB (unit)Pompa Air/
Hydrant (unit)
Drainase (m)
1 PP Samudera Jakarta 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 12 PP Samudera Bungus 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 13 PP Samudera Cilacap 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 14 PP Nusantara Sibolga 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 15 PP Nusantara Pelabuhan Ratu 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 16 PP Nusantara Pelabuhan Prigi 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
Jumlah 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6Jumlah PP yang terisi 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6Jumlah PP 6Bobot Kelangkaan 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1Bobot Fasilitas 0.2083 0.2085 0.2086 0.2087 0.2088 0.2090 0.2091 0.2092 0.2094 0.2095 0.2097 0.2098 0.2100 0.2102 0.2103 0.2105
No Nama Pelabuhan Perikanan (PP)Areal
Pelabuhan (Ha)
Dermaga (m)
Kolam Pelabuhan
(Ha)
Jalan Komplek
(m)
Revetment (m) Trotoar (m) TPI (m2)
Tangki BBM dan Instalasi
(m3)
Listrik dan Instalasi
(KVA)
Kantor Administrasi
(m2)
Areal Parkir (m2) Pagar (m) Pos Satpam/
Jaga (m2) SSB (unit)Pompa Air/
Hydrant (unit)
Drainase (m)
1 PP Samudera Jakarta 75 74 73 72 71 70 69 68 67 66 65 64 63 62 61 602 PP Samudera Bungus 74 73 72 71 70 69 68 67 66 65 64 63 62 61 60 593 PP Samudera Cilacap 73 72 71 70 69 68 67 66 65 64 63 62 61 60 59 584 PP Nusantara Sibolga 72 71 70 69 68 67 66 65 64 63 62 61 60 59 58 575 PP Nusantara Pelabuhan Ratu 71 70 69 68 67 66 65 64 63 62 61 60 59 58 57 566 PP Nusantara Pelabuhan Prigi 70 69 68 67 66 65 64 63 62 61 60 59 58 57 56 55
435 429 423 417 411 405 399 393 387 381 375 369 363 357 351 345Bobot Fasilitas 0.2083 0.2085 0.2086 0.2087 0.2088 0.2090 0.2091 0.2092 0.2094 0.2095 0.2097 0.2098 0.2100 0.2102 0.2103 0.2105
No Index B1 PP Samudera Jakarta 0.2083 0.2085 0.2086 0.2087 0.2088 0.2090 0.2091 0.2092 0.2094 0.2095 0.2097 0.2098 0.2100 0.2102 0.2103 0.21052 PP Samudera Bungus 0.2083 0.2085 0.2086 0.2087 0.2088 0.2090 0.2091 0.2092 0.2094 0.2095 0.2097 0.2098 0.2100 0.2102 0.2103 0.21053 PP Samudera Cilacap 0.2083 0.2085 0.2086 0.2087 0.2088 0.2090 0.2091 0.2092 0.2094 0.2095 0.2097 0.2098 0.2100 0.2102 0.2103 0.21054 PP Nusantara Sibolga 0.2083 0.2085 0.2086 0.2087 0.2088 0.2090 0.2091 0.2092 0.2094 0.2095 0.2097 0.2098 0.2100 0.2102 0.2103 0.21055 PP Nusantara Pelabuhan Ratu 0.2083 0.2085 0.2086 0.2087 0.2088 0.2090 0.2091 0.2092 0.2094 0.2095 0.2097 0.2098 0.2100 0.2102 0.2103 0.21056 PP Nusantara Pelabuhan Prigi 0.2083 0.2085 0.2086 0.2087 0.2088 0.2090 0.2091 0.2092 0.2094 0.2095 0.2097 0.2098 0.2100 0.2102 0.2103 0.2105
No Index A1 PP Samudera Jakarta 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 12 PP Samudera Bungus 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 13 PP Samudera Cilacap 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 14 PP Nusantara Sibolga 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 15 PP Nusantara Pelabuhan Ratu 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 16 PP Nusantara Pelabuhan Prigi 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
Rumah Jaga (m2)
11111166
10.2107
Rumah Jaga (m2)
595857565554
3390.2107
0.21070.21070.21070.21070.21070.2107
111111
Lanjutan lampiran 16
No Nama Pelabuhan Perikanan (PP) Garasi (m2)Rambu
Navigasi (unit)
Tangki Air dan Instalasi
(m3)
Genset dan Instalasi
(KVA)
Gedung Pertemuan
Nelayan (m2)
MCK (m2)Gedung
Pengepakan (m2)
Gapura (unit)
Tempat Pengolahan
Ikan (m2)
Gudang Penyimpanan Keranjang
(m2)
Mess Operator
(unit)
Breakwater (m)
Pabrik Es (ton/hari)
Bengkel (m2)
Rumah Genset (m2)
Slipway (GT/unit)
1 PP Samudera Jakarta 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 12 PP Samudera Bungus 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 13 PP Samudera Cilacap 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 14 PP Nusantara Sibolga 1 1 1 1 1 1 1 1 15 PP Nusantara Pelabuhan Ratu 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 16 PP Nusantara Pelabuhan Prigi 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
Jumlah 6 6 5 5 5 5 5 5 5 5 5 4 4 4 4 4Jumlah PP yang terisi 6 6 5 5 5 5 5 5 5 5 5 4 4 4 4 4Jumlah PPBobot Kelangkaan 1 1 1.2 1.2 1.2 1.2 1.2 1.2 1.2 1.2 1.2 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5Bobot Fasilitas 0.2109 0.2111 0.2113 0.2115 0.2118 0.2120 0.2122 0.2125 0.2128 0.2130 0.2133 0.2136 0.2140 0.2143 0.2146 0.2150
No Nama Pelabuhan Perikanan (PP) Garasi (m2)Rambu
Navigasi (unit)
Tangki Air dan Instalasi
(m3)
Genset dan Instalasi
(KVA)
Gedung Pertemuan
Nelayan (m2)
MCK (m2)Gedung
Pengepakan (m2)
Gapura (unit)
Tempat Pengolahan
Ikan (m2)
Gudang Penyimpanan Keranjang
(m2)
Mess Operator
(unit)
Breakwater (m)
Pabrik Es (ton/hari)
Bengkel (m2)
Rumah Genset (m2)
Slipway (GT/unit)
1 PP Samudera Jakarta 58 57 56 55 54 53 52 51 50 49 48 47 46 45 44 432 PP Samudera Bungus 57 56 55 54 53 52 51 50 49 48 47 46 45 44 43 423 PP Samudera Cilacap 56 55 54 53 52 51 50 49 48 47 46 45 44 43 42 414 PP Nusantara Sibolga 55 54 53 52 51 50 49 48 47 46 45 44 43 42 41 405 PP Nusantara Pelabuhan Ratu 54 53 52 51 50 49 48 47 46 45 44 43 42 41 40 396 PP Nusantara Pelabuhan Prigi 53 52 51 50 49 48 47 46 45 44 43 42 41 40 39 38
333 327 321 315 309 303 297 291 285 279 273 267 261 255 249 243Bobot Fasilitas 0.2109 0.2111 0.2113 0.2115 0.2118 0.2120 0.2122 0.2125 0.2128 0.2130 0.2133 0.2136 0.2140 0.2143 0.2146 0.2150
No Index B1 PP Samudera Jakarta 0.2109 0.2111 0.2113 0.2115 0.2118 0.2120 0.2122 0.2125 0.2128 0.2130 0.0000 0.2136 0.2140 0.2143 0.2146 0.21502 PP Samudera Bungus 0.2109 0.2111 0.2113 0.2115 0.0000 0.2120 0.2122 0.2125 0.2128 0.2130 0.2133 0.0000 0.2140 0.2143 0.2146 0.21503 PP Samudera Cilacap 0.2109 0.2111 0.2113 0.2115 0.2118 0.2120 0.2122 0.2125 0.2128 0.2130 0.2133 0.2136 0.0000 0.2143 0.2146 0.21504 PP Nusantara Sibolga 0.2109 0.2111 0.2113 0.0000 0.2118 0.2120 0.0000 0.2125 0.0000 0.2130 0.2133 0.0000 0.2140 0.0000 0.0000 0.00005 PP Nusantara Pelabuhan Ratu 0.2109 0.2111 0.2113 0.2115 0.2118 0.2120 0.2122 0.0000 0.2128 0.0000 0.2133 0.2136 0.0000 0.2143 0.2146 0.21506 PP Nusantara Pelabuhan Prigi 0.2109 0.2111 0.0000 0.2115 0.2118 0.0000 0.2122 0.2125 0.2128 0.2130 0.2133 0.2136 0.2140 0.0000 0.0000 0.0000
No Index A1 PP Samudera Jakarta 1 1 1.2 1.2 1.2 1.2 1.2 1.2 1.2 1.2 0 1.5 1.5 1.5 1.5 1.52 PP Samudera Bungus 1 1 1.2 1.2 0 1.2 1.2 1.2 1.2 1.2 1.2 0 1.5 1.5 1.5 1.53 PP Samudera Cilacap 1 1 1.2 1.2 1.2 1.2 1.2 1.2 1.2 1.2 1.2 1.5 0 1.5 1.5 1.54 PP Nusantara Sibolga 1 1 1.2 0 1.2 1.2 0 1.2 0 1.2 1.2 0 1.5 0 0 05 PP Nusantara Pelabuhan Ratu 1 1 1.2 1.2 1.2 1.2 1.2 0 1.2 0 1.2 1.5 0 1.5 1.5 1.56 PP Nusantara Pelabuhan Prigi 1 1 0 1.2 1.2 0 1.2 1.2 1.2 1.2 1.2 1.5 1.5 0 0 0
Rumah Pompa Air/
Hydrant (m2)
111
1
44
1.50.2154
Rumah Pompa Air/
Hydrant (m2)
424140393837
2370.2154
0.21540.21540.21540.00000.21540.0000
1.51.51.5
01.5
0
Lanjutan lampiran 16
No Nama Pelabuhan Perikanan (PP) Tower (unit) Area Dock (m2)
Docking (unit)
Dump Truck (unit)
Lahan Kawasan
Industri (Ha)
Fish Room (ton/hari)
Masjid/ Musholla
(m2)
Rumah Kepala
Pelabuhan (m2)
Groin (m)Kantor
Syahbandar (m2)
Fork Lift (unit)
Cold Storage
(unit)
Winch House (m2)
Ruang Generator
(m2)
Rumah Pompa BBM
(m2)
Kantor Samsat (m2)
1 PP Samudera Jakarta 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 12 PP Samudera Bungus 1 1 1 1 1 1 1 1 13 PP Samudera Cilacap 1 1 1 1 1 1 1 1 1 14 PP Nusantara Sibolga 1 1 15 PP Nusantara Pelabuhan Ratu 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 16 PP Nusantara Pelabuhan Prigi 1 1 1 1 1 1 1
Jumlah 4 4 4 4 4 4 4 4 3 3 3 3 3 3 3 3Jumlah PP yang terisi 4 4 4 4 4 4 4 4 3 3 3 3 3 3 3 3Jumlah PPBobot Kelangkaan 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5 2 2 2 2 2 2 2 2Bobot Fasilitas 0.2158 0.2162 0.2167 0.2171 0.2176 0.2182 0.2188 0.2194 0.2200 0.2207 0.2214 0.2222 0.2231 0.2240 0.2250 0.2261
No Nama Pelabuhan Perikanan (PP) Tower (unit) Area Dock (m2)
Docking (unit)
Dump Truck (unit)
Lahan Kawasan
Industri (Ha)
Fish Room (ton/hari)
Masjid/ Musholla
(m2)
Rumah Kepala
Pelabuhan (m2)
Groin (m)Kantor
Syahbandar (m2)
Fork Lift (unit)
Cold Storage
(unit)
Winch House (m2)
Ruang Generator
(m2)
Rumah Pompa BBM
(m2)
Kantor Samsat (m2)
1 PP Samudera Jakarta 41 40 39 38 37 36 35 34 33 32 31 30 29 28 27 262 PP Samudera Bungus 40 39 38 37 36 35 34 33 32 31 30 29 28 27 26 253 PP Samudera Cilacap 39 38 37 36 35 34 33 32 31 30 29 28 27 26 25 244 PP Nusantara Sibolga 38 37 36 35 34 33 32 31 30 29 28 27 26 25 24 235 PP Nusantara Pelabuhan Ratu 37 36 35 34 33 32 31 30 29 28 27 26 25 24 23 226 PP Nusantara Pelabuhan Prigi 36 35 34 33 32 31 30 29 28 27 26 25 24 23 22 21
231 225 219 213 207 201 195 189 183 177 171 165 159 153 147 141Bobot Fasilitas 0.2158 0.2162 0.2167 0.2171 0.2176 0.2182 0.2188 0.2194 0.2200 0.2207 0.2214 0.2222 0.2231 0.2240 0.2250 0.2261
No Index B1 PP Samudera Jakarta 0.2158 0.2162 0.2167 0.2171 0.2176 0.2182 0.2188 0.0000 0.0000 0.2207 0.2214 0.2222 0.2231 0.2240 0.2250 0.22612 PP Samudera Bungus 0.0000 0.2162 0.2167 0.0000 0.2176 0.2182 0.2188 0.2194 0.0000 0.0000 0.2214 0.2222 0.0000 0.2240 0.0000 0.00003 PP Samudera Cilacap 0.0000 0.2162 0.2167 0.2171 0.2176 0.2182 0.0000 0.2194 0.2200 0.2207 0.0000 0.0000 0.2231 0.0000 0.2250 0.00004 PP Nusantara Sibolga 0.2158 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.2188 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.22615 PP Nusantara Pelabuhan Ratu 0.2158 0.2162 0.2167 0.2171 0.0000 0.0000 0.2188 0.2194 0.2200 0.2207 0.2214 0.0000 0.2231 0.2240 0.2250 0.22616 PP Nusantara Pelabuhan Prigi 0.2158 0.0000 0.0000 0.2171 0.2176 0.2182 0.0000 0.2194 0.2200 0.0000 0.0000 0.2222 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
No Index A1 PP Samudera Jakarta 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5 0 0 2 2 2 2 2 2 22 PP Samudera Bungus 0 1.5 1.5 0 1.5 1.5 1.5 1.5 0 0 2 2 0 2 0 03 PP Samudera Cilacap 0 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5 0 1.5 2 2 0 0 2 0 2 04 PP Nusantara Sibolga 1.5 0 0 0 0 0 1.5 0 0 0 0 0 0 0 0 25 PP Nusantara Pelabuhan Ratu 1.5 1.5 1.5 1.5 0 0 1.5 1.5 2 2 2 0 2 2 2 26 PP Nusantara Pelabuhan Prigi 1.5 0 0 1.5 1.5 1.5 0 1.5 2 0 0 2 0 0 0 0
Gedung Penyaluran BBM (m2)
1
11
33
20.2273
Gedung Penyaluran BBM (m2)
252423222120
1350.2273
0.22730.00000.00000.22730.22730.0000
200220
Lanjutan lampiran 16
No Nama Pelabuhan Perikanan (PP) Truck Folder Crane (unit)
Guest House(m2)
Toko BAP (m2)
Zona Pengemban
gan (Ha)
Lampu Tanda
Pelabuhan (unit)
Jetty (m2) Pasar Ikan (m2)
Shelter Nelayan
(m2)
Gedung Peralatan
(m2)
Reservoir (m3)
Fasilitas Olah Raga
(unit)
Vessel Lift (GT)
Vessel Lift House (m2)
Laboratorium BMHP
(m2)
Gedung Utility (m2) IPAL (unit)
1 PP Samudera Jakarta 1 1 1 1 1 1 1 1 1 12 PP Samudera Bungus 1 1 1 1 13 PP Samudera Cilacap 1 1 1 14 PP Nusantara Sibolga 1 15 PP Nusantara Pelabuhan Ratu 1 1 1 1 1 1 1 16 PP Nusantara Pelabuhan Prigi 1 1 1
Jumlah 3 3 3 3 3 2 2 2 2 2 2 1 1 1 1 1Jumlah PP yang terisi 3 3 3 3 3 2 2 2 2 2 2 1 1 1 1 1Jumlah PPBobot Kelangkaan 2 2 2 2 2 3 3 3 3 3 3 6 6 6 6 6Bobot Fasilitas 0.2286 0.2300 0.2316 0.2333 0.2353 0.2375 0.2400 0.2429 0.2462 0.2500 0.2545 0.2600 0.2667 0.2750 0.2857 0.3000
No Nama Pelabuhan Perikanan (PP) Truck Folder Crane (unit)
Guest House(m2)
Toko BAP (m2)
Zona Pengemban
gan (Ha)
Lampu Tanda
Pelabuhan (unit)
Jetty (m2) Pasar Ikan (m2)
Shelter Nelayan
(m2)
Gedung Peralatan
(m2)
Reservoir (m3)
Fasilitas Olah Raga
(unit)
Vessel Lift (GT)
Vessel Lift House (m2)
Laboratorium BMHP
(m2)
Gedung Utility (m2) IPAL (unit)
1 PP Samudera Jakarta 24 23 22 21 20 19 18 17 16 15 14 13 12 11 10 92 PP Samudera Bungus 23 22 21 20 19 18 17 16 15 14 13 12 11 10 9 83 PP Samudera Cilacap 22 21 20 19 18 17 16 15 14 13 12 11 10 9 8 74 PP Nusantara Sibolga 21 20 19 18 17 16 15 14 13 12 11 10 9 8 7 65 PP Nusantara Pelabuhan Ratu 20 19 18 17 16 15 14 13 12 11 10 9 8 7 6 56 PP Nusantara Pelabuhan Prigi 19 18 17 16 15 14 13 12 11 10 9 8 7 6 5 4
129 123 117 111 105 99 93 87 81 75 69 63 57 51 45 39Bobot Fasilitas 0.2286 0.2300 0.2316 0.2333 0.2353 0.2375 0.2400 0.2429 0.2462 0.2500 0.2545 0.2600 0.2667 0.2750 0.2857 0.3000
No Index B1 PP Samudera Jakarta 0.2286 0.2300 0.2316 0.0000 0.2353 0.2375 0.2400 0.2429 0.2462 0.0000 0.2545 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.30002 PP Samudera Bungus 0.0000 0.0000 0.0000 0.2333 0.0000 0.2375 0.0000 0.0000 0.0000 0.2500 0.0000 0.2600 0.2667 0.0000 0.0000 0.00003 PP Samudera Cilacap 0.2286 0.0000 0.0000 0.2333 0.2353 0.0000 0.0000 0.2429 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.00004 PP Nusantara Sibolga 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.2462 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.2857 0.00005 PP Nusantara Pelabuhan Ratu 0.2286 0.2300 0.2316 0.0000 0.2353 0.0000 0.2400 0.0000 0.0000 0.2500 0.2545 0.0000 0.0000 0.2750 0.0000 0.00006 PP Nusantara Pelabuhan Prigi 0.0000 0.2300 0.2316 0.2333 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
No Index A1 PP Samudera Jakarta 2 2 2 0 2 3 3 3 3 0 3 0 0 0 0 62 PP Samudera Bungus 0 0 0 2 0 3 0 0 0 3 0 6 6 0 0 03 PP Samudera Cilacap 2 0 0 2 2 0 0 3 0 0 0 0 0 0 0 04 PP Nusantara Sibolga 0 0 0 0 0 0 0 0 3 0 0 0 0 0 6 05 PP Nusantara Pelabuhan Ratu 2 2 2 0 2 0 3 0 0 3 3 0 0 6 0 06 PP Nusantara Pelabuhan Prigi 0 2 2 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Tempat Penjemuran Jaring (m2)
1
11
60.3200
Tempat Penjemuran Jaring (m2)
876543
330.3200
0.00000.00000.00000.00000.32000.0000
000060
Lanjutan lampiran 16
No Nama Pelabuhan Perikanan (PP)Sumur Artesis (buah)
Mess Nelayan (unit)
1 PP Samudera Jakarta2 PP Samudera Bungus 13 PP Samudera Cilacap4 PP Nusantara Sibolga5 PP Nusantara Pelabuhan Ratu6 PP Nusantara Pelabuhan Prigi 1
Jumlah 1 1Jumlah PP yang terisi 1 1Jumlah PPBobot Kelangkaan 6 6Bobot Fasilitas 0.3500 0.4000
No Nama Pelabuhan Perikanan (PP)Sumur Artesis (buah)
Mess Nelayan (unit)
1 PP Samudera Jakarta 7 62 PP Samudera Bungus 6 53 PP Samudera Cilacap 5 44 PP Nusantara Sibolga 4 35 PP Nusantara Pelabuhan Ratu 3 26 PP Nusantara Pelabuhan Prigi 2 1
27 21Bobot Fasilitas 0.3500 0.4000
No Index B1 PP Samudera Jakarta 0.0000 0.00002 PP Samudera Bungus 0.0000 0.40003 PP Samudera Cilacap 0.0000 0.00004 PP Nusantara Sibolga 0.0000 0.00005 PP Nusantara Pelabuhan Ratu 0.0000 0.00006 PP Nusantara Pelabuhan Prigi 0.3500 0.0000
No Index A1 PP Samudera Jakarta 0 02 PP Samudera Bungus 0 63 PP Samudera Cilacap 0 04 PP Nusantara Sibolga 0 05 PP Nusantara Pelabuhan Ratu 0 06 PP Nusantara Pelabuhan Prigi 6 0
242
Lanjutan lampiran 16 Hasil perhitungan nilai indeks hierarki PPN Palabuhanratu terhadap 6 unit pelabuhan perikanan lainnya di WPP 9 Samudera Hindia berdasarkan fasilitas.
Pelabuhan Perikanan (PP) Jumlah jenis fasilitas Index A Index B
PP Samudera Jakarta 58 93.1 12.723 PP Samudera Bungus 47 77.1 10.376 PP Samudera Cilacap 47 63.3 10.100 PP Nusantara Sibolga 32 43.7 6.890 PP Nusantara Palabuhanratu 54 88.9 11.897 PP Nusantara Prigi 39 53.9 8.472
Keterangan : Index A = bobot kelangkaan Index B = bobot fasilitas
Lampiran 17 Perhitungan persaingan jenis pendidikan SDM berdasarkan strata pada 6 unit pelabuhan perikanan di WPP 9 Samudera Hindia
1 PP Samudera Jakarta 1 1 1 1 1 12 PP Samudera Bungus 1 1 1 1 13 PP Samudera Cilacap 1 1 1 1 1 14 PP Nusantara Sibolga 1 1 1 15 PP Nusantara Pelabuhan Ratu 1 1 1 1 1 1 16 PP Nusantara Pelabuhan Prigi 1 1 1 1 1
1 = ada0 = tdk ada
1 PP Samudera Jakarta 1 1 1 1 1 12 PP Samudera Bungus 1 1 1 1 13 PP Samudera Cilacap 1 1 1 1 1 14 PP Nusantara Sibolga 1 1 1 15 PP Nusantara Pelabuhan Ratu 1 1 1 1 1 1 16 PP Nusantara Pelabuhan Prigi 1 1 1 1 1
Jumlah 4 5 6 6 2 6 4Jumlah PP yang terisi 4 5 6 5 2 6 4Jumlah PP 6Bobot Kelangkaan 1.5 1.2 1 1.2 3 1 1.5Bobot Pendidikan 0.275 0.2857 0.3 0.32 0.35 0.4 0.5
1 PP Samudera Jakarta 11 10 9 8 7 6 52 PP Samudera Bungus 10 9 8 7 6 5 43 PP Samudera Cilacap 9 8 7 6 5 4 34 PP Nusantara Sibolga 8 7 6 5 4 3 25 PP Nusantara Pelabuhan Ratu 7 6 5 4 3 2 16 PP Nusantara Pelabuhan Prigi 6 5 4 3 2 1 0
51 45 39 33 27 21 15Bobot Pendidikan 0.2750 0.2857 0.3000 0.3200 0.3500 0.4000 0.5000
Index BPP Samudera Jakarta 0.275 0.2857 0.3 0.32 0 0.4 0.5PP Samudera Bungus 0 0.2857 0.3 0.32 0 0.4 0.5PP Samudera Cilacap 0.275 0.2857 0.3 0.32 0 0.4 0.5PP Nusantara Sibolga 0 0 0.3 0.32 0.35 0.4 0PP Nusantara Pelabuhan Ratu 0.275 0.2857 0.3 0.32 0.35 0.4 0.5PP Nusantara Pelabuhan Prigi 0.275 0.2857 0.3 0.32 0 0.4 0
Index APP Samudera Jakarta 1.5 1.2 1 1.2 0 1 1.5PP Samudera Bungus 0 1.2 1 1.2 0 1 1.5PP Samudera Cilacap 1.5 1.2 1 1.2 0 1 1.5PP Nusantara Sibolga 0 0 1 1.2 3 1 0PP Nusantara Pelabuhan Ratu 1.5 1.2 1 1.2 3 1 1.5PP Nusantara Pelabuhan Prigi 1.5 1.2 1 1.2 0 1 0
No Nama Pelabuhan Perikanan (PP)Pendidikan
SD SLTP SLTA D3 D4 S1 S2
No Nama Pelabuhan Perikanan (PP)Pendidikan
SD SLTP SLTA D3 D4 S1 S2
No Nama Pelabuhan Perikanan (PP)Pendidikan
S2 S1 D4 D3 SLTA SLTP SD
244
Lanjutan lampiran 17 Nilai indeks hierarki PPN Palabuhanratu terhadap 6 unit pelabuhan perikanan lainnya di WPP 9 Samudera Hindia berdasarkan pendidikan sumberdaya manusia pengelola pelabuhan
Pelabuhan Perikanan Jumlah jenis pendidikan
SDM Index A Index B
PP Samudera Jakarta 6 7,4 2,1 PP Samudera Bungus 5 5,9 1,8 PP Samudera Cilacap 6 7,4 2,1 PP Nusantara Sibolga 4 6,2 1,4 PP Nusantara Palabuhanratu 7 10,4 2,4 PP Nusantara Prigi 5 5,9 1,6
Keterangan : Index A = bobot kelangkaan Index B = bobot SDM
Lampiran 18 Perhitungan indeks jenis ikan ekonomis penting di 6 unit pelabuhan perikanan di WPP 9
No Nama Pelabuhan Perikanan 1 PP Samudera Jakarta 12 PP Samudera Bungus3 PP Samudera Cilacap 1 1 1 14 PP Nusantara Sibolga 15 PP Nusantara Pelabuhan Ratu 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 16 PP Nusantara Pelabuhan Prigi 1 1 1 1
Jumlah 1 1 1 1 1 3 2 2 2 2 2 2 2Jumlah PP yang terisi 1 1 1 1 1 3 2 2 2 2 2 2 2Jumlah PP 6Bobot Kelangkaan 6 6 6 6 6 2 3 3 3 3 3 3 3Bobot jenis ikan 0.2100 0.2102 0.2103 0.2105 0.2107 0.2109 0.2111 0.2113 0.2115 0.2118 0.2120 0.2122 0.2125
No Nama Pelabuhan Perikanan 1 PP Samudera Jakarta 63 62 61 60 59 58 57 56 55 54 53 52 512 PP Samudera Bungus 62 61 60 59 58 57 56 55 54 53 52 51 503 PP Samudera Cilacap 61 60 59 58 57 56 55 54 53 52 51 50 494 PP Nusantara Sibolga 60 59 58 57 56 55 54 53 52 51 50 49 485 PP Nusantara Pelabuhan Ratu 59 58 57 56 55 54 53 52 51 50 49 48 476 PP Nusantara Pelabuhan Prigi 58 57 56 55 54 53 52 51 50 49 48 47 46
363 357 351 345 339 333 327 321 315 309 303 297 291Bobot jenis ikan 0.2100 0.2102 0.2103 0.2105 0.2107 0.2109 0.2111 0.2113 0.2115 0.2118 0.2120 0.2122 0.2125
No Index B1 PP Samudera Jakarta 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.2118 0.0000 0.0000 0.00002 PP Samudera Bungus 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.00003 PP Samudera Cilacap 0.0000 0.2102 0.0000 0.0000 0.0000 0.2109 0.2111 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.21254 PP Nusantara Sibolga 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.2109 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.00005 PP Nusantara Pelabuhan Ratu 0.2100 0.0000 0.2103 0.2105 0.2107 0.2109 0.2111 0.2113 0.2115 0.2118 0.2120 0.2122 0.21256 PP Nusantara Pelabuhan Prigi 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.2113 0.2115 0.0000 0.2120 0.2122 0.0000
No Index A1 PP Samudera Jakarta 0 0 0 0 0 0 0 0 0 3 0 0 02 PP Samudera Bungus 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 03 PP Samudera Cilacap 0 6 0 0 0 2 3 0 0 0 0 0 34 PP Nusantara Sibolga 0 0 0 0 0 2 0 0 0 0 0 0 05 PP Nusantara Pelabuhan Ratu 6 0 6 6 6 2 3 3 3 3 3 3 36 PP Nusantara Pelabuhan Prigi 0 0 0 0 0 0 0 3 3 0 3 3 0
Tembang Talang-talang Swangi Selar Pedang-
pedang
Tembang Talang-talang Swangi Selar Pedang-
pedang
Julung-julung Sunglir Eteman/koyo TetengkekTeri Remang Cendro Deles
Julung-julung Sunglir Eteman/koyo TetengkekTeri Remang Cendro Deles
Lanjutan lampiran 18
1 1 1 1 1 1 1 1 1 11 1 1
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 11 1 1 1 1 1
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 11 1 1 1 1 1 1 1 1 1 12 2 3 4 5 4 4 4 1 6 2 6 1 2 3 5 42 2 3 4 5 4 4 4 1 6 2 6 1 2 3 5 4
3 3 2 1.5 1.2 1.5 1.5 1.5 6 1 3 1 6 3 2 1.2 1.50.2128 0.2130 0.2133 0.2136 0.2140 0.2143 0.2146 0.2150 0.2154 0.2158 0.2162 0.2167 0.2171 0.2176 0.2182 0.2188 0.2194
50 49 48 47 46 45 44 43 42 41 40 39 38 37 36 35 3449 48 47 46 45 44 43 42 41 40 39 38 37 36 35 34 3348 47 46 45 44 43 42 41 40 39 38 37 36 35 34 33 3247 46 45 44 43 42 41 40 39 38 37 36 35 34 33 32 3146 45 44 43 42 41 40 39 38 37 36 35 34 33 32 31 3045 44 43 42 41 40 39 38 37 36 35 34 33 32 31 30 29
285 279 273 267 261 255 249 243 237 231 225 219 213 207 201 195 1890.2128 0.2130 0.2133 0.2136 0.2140 0.2143 0.2146 0.2150 0.2154 0.2158 0.2162 0.2167 0.2171 0.2176 0.2182 0.2188 0.2194
0.0000 0.0000 0.2133 0.2136 0.2140 0.2143 0.2146 0.0000 0.0000 0.2158 0.0000 0.2167 0.0000 0.0000 0.2182 0.2188 0.21940.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.2158 0.0000 0.2167 0.0000 0.2176 0.0000 0.0000 0.00000.0000 0.0000 0.2133 0.2136 0.2140 0.2143 0.2146 0.2150 0.0000 0.2158 0.2162 0.2167 0.0000 0.2176 0.2182 0.2188 0.21940.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.2140 0.0000 0.0000 0.2150 0.0000 0.2158 0.2162 0.2167 0.0000 0.0000 0.0000 0.2188 0.00000.2128 0.2130 0.2133 0.2136 0.2140 0.2143 0.2146 0.2150 0.2154 0.2158 0.0000 0.2167 0.2171 0.0000 0.2182 0.2188 0.21940.2128 0.2130 0.0000 0.2136 0.2140 0.2143 0.2146 0.2150 0.0000 0.2158 0.0000 0.2167 0.0000 0.0000 0.0000 0.2188 0.2194
0 0 2 1.5 1.2 1.5 1.5 0 0 1 0 1 0 0 2 1.2 1.50 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 1 0 3 0 0 00 0 2 1.5 1.2 1.5 1.5 1.5 0 1 3 1 0 3 2 1.2 1.50 0 0 0 1.2 0 0 1.5 0 1 3 1 0 0 0 1.2 03 3 2 1.5 1.2 1.5 1.5 1.5 6 1 0 1 6 0 2 1.2 1.53 3 0 1.5 1.2 1.5 1.5 1.5 0 1 0 1 0 0 0 1.2 1.5
Layang Sardin Bawal Alu-alu Manyung Cucut Kembung Layur Pisang-pisang Tongkol Sebelah Cakalang Beronang Kerapu Jangilus Kuwe Kakap
Layang Sardin Bawal Alu-alu Manyung Cucut Kembung Layur Pisang-pisang Tongkol Sebelah Cakalang Beronang Kerapu Jangilus Kuwe Kakap
Lanjutan lampiran 18
Jumlah Jenis ikan Index A Index B
1 1 1 1 15 22.9 3.31 1 1 6 14.0 1.3
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 28 73.4 6.11 1 9 13.4 2.01 1 1 1 1 1 1 34 94.4 7.3
1 1 1 18 33.9 3.94 4 4 1 2 1 1 1 1 2 6 34 4 4 1 2 1 1 1 1 2 6 3
1.5 1.5 1.5 6 3 6 6 6 6 3 1 20.2200 0.2207 0.2214 0.2222 0.2231 0.2240 0.2250 0.2261 0.2273 0.2286 0.2300 0.2316
33 32 31 30 29 28 27 26 25 24 23 2232 31 30 29 28 27 26 25 24 23 22 2131 30 29 28 27 26 25 24 23 22 21 2030 29 28 27 26 25 24 23 22 21 20 1929 28 27 26 25 24 23 22 21 20 19 1828 27 26 25 24 23 22 21 20 19 18 17
183 177 171 165 159 153 147 141 135 129 123 1170.2200 0.2207 0.2214 0.2222 0.2231 0.2240 0.2250 0.2261 0.2273 0.2286 0.2300 0.2316
0.2200 0.2207 0.2214 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.2300 0.00000.0000 0.0000 0.0000 0.2222 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.2300 0.23160.2200 0.2207 0.2214 0.0000 0.2231 0.2240 0.2250 0.2261 0.2273 0.2286 0.2300 0.23160.2200 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.2300 0.00000.2200 0.2207 0.2214 0.0000 0.2231 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.2286 0.2300 0.23160.0000 0.2207 0.2214 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.2300 0.0000
1.5 1.5 1.5 0 0 0 0 0 0 0 1 00 0 0 6 0 0 0 0 0 0 1 2
1.5 1.5 1.5 0 3 6 6 6 6 3 1 21.5 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 01.5 1.5 1.5 0 3 0 0 0 0 3 1 2
0 1.5 1.5 0 0 0 0 0 0 0 1 0
Cumi-cumi Layaran Tenggiri Teripang Udang jerbung Udang dogol Tuna LobsterUdang barat Udang
kerosok Udang tiger Setuhuk
Cumi-cumi Layaran Tenggiri Teripang Udang jerbung Udang dogol Tuna LobsterUdang barat Udang
kerosok Udang tiger Setuhuk
248
Lanjutan lampiran 18 Perhitungan indeks jenis ikan ekonomis penting 6 unit pelabuhan perikanan di WPP 9
Pelabuhan Perikanan (PP) Jumlah jenis ikan Index A Index B
PP Samudera Jakarta 15 22,9 3,3 PP Samudera Bungus 6 14 1,3 PP Samudera Cilacap 28 73,4 6,1 PP Nusantara Sibolga 9 13,4 2,0 PP Nusantara Pelabuhan Ratu 34 94,4 7,3 PP Nusantara Pelabuhan Prigi 18 33,9 3,9
Nama Pelabuhan Perikanan (PP) Jumlah Jenis Alat tangkap Index A Index BPP Samudera Jakarta 7 24.6 1.943PP Samudera Bungus 3 3.6 0.706PP Samudera Cilacap 3 5.4 0.723PP Nusantara Sibolga 5 10.4 1.226PP Nusantara Pelabuhan Ratu 11 32.6 2.760PP Nusantara Pelabuhan Prigi 7 19.4 1.864
Index A (bobot kelangkaan)Index B(bobot fasilitas)
Keterangan: 1 = Ada Fasilitas0 = Tidak Ada Fasilitas
251
Lanjutan lampiran 19 Perhitungan indeks jenis alat tangkap 6 unit pelabuhan perikanan
di WPP 9 Samudera Hindia
Pelabuhan Perikanan (PP) Jumlah jenis alat tangkap Index A Index B
PP Samudera Jakarta 7 24,6 1,943 PP Samudera Bungus 3 3,6 0,706 PP Samudera Cilacap 3 5,4 0,723 PP Nusantara Sibolga 5 10,4 1,226 PP Nusantara Pelabuhan Ratu 11 32,6 2,760 PP Nusantara Pelabuhan Prigi 7 19,4 1,864
Lampiran 20 Perhitungan indeks jenis kapal 6 unit pelabuhan perikanan di WPP 9
No Nama Pelabuhan Perikanan (PP) 5-10 GT 10-20 GT 20-30 GT 30-50 GT 50-100 GT 100-200 GT <5 GT 200-300 GT Jumlah Jenis ukuran kapal Index A Index B
1 PP Samudera Jakarta 1 1 1 1 1 1 1 7 13.4000 2.10742 PP Samudera Bungus 1 1 1 1 1 5 5.4000 1.38743 PP Samudera Cilacap 1 1 1 1 1 1 6 7.4000 1.70744 PP Nusantara Sibolga 1 1 1 1 1 5 5.4000 1.38745 PP Nusantara Pelabuhan Ratu 1 1 1 1 1 1 1 7 10.4000 2.05746 PP Nusantara Pelabuhan Prigi 1 1 1 1 4 6.0000 1.1517
Jumlah 6 6 6 5 5 3 2 1Jumlah PP yang terisi 6 6 6 5 5 3 2 1Jumlah PP 6Bobot Kelangkaan 1 1 1 1.2 1.2 2 3 6Bobot Fasilitas 0.2600 0.2667 0.2750 0.2857 0.3000 0.3200 0.3500 0.4000
No Nama Pelabuhan Perikanan (PP) 5-10 GT 10-20 GT 20-30 GT 30-50 GT 50-100 GT 100-200 GT <5 GT 200-300 GT1 PP Samudera Jakarta 13 12 11 10 9 8 7 62 PP Samudera Bungus 12 11 10 9 8 7 6 53 PP Samudera Cilacap 11 10 9 8 7 6 5 44 PP Nusantara Sibolga 10 9 8 7 6 5 4 35 PP Nusantara Pelabuhan Ratu 9 8 7 6 5 4 3 26 PP Nusantara Pelabuhan Prigi 8 7 6 5 4 3 2 1
63 57 51 45 39 33 27 21Bobot Fasilitas 0.2600 0.2667 0.2750 0.2857 0.3000 0.3200 0.3500 0.4000
No Index B1 PP Samudera Jakarta 0.2600 0.2667 0.2750 0.2857 0.3000 0.3200 0.0000 0.40002 PP Samudera Bungus 0.2600 0.2667 0.2750 0.2857 0.3000 0.0000 0.0000 0.00003 PP Samudera Cilacap 0.2600 0.2667 0.2750 0.2857 0.3000 0.3200 0.0000 0.00004 PP Nusantara Sibolga 0.2600 0.2667 0.2750 0.2857 0.3000 0.0000 0.0000 0.00005 PP Nusantara Pelabuhan Ratu 0.2600 0.2667 0.2750 0.2857 0.3000 0.3200 0.3500 0.00006 PP Nusantara Pelabuhan Prigi 0.2600 0.2667 0.2750 0.0000 0.0000 0.0000 0.3500 0.0000
No Index A1 PP Samudera Jakarta 1 1 1 1.2 1.2 2 0 62 PP Samudera Bungus 1 1 1 1.2 1.2 0 0 03 PP Samudera Cilacap 1 1 1 1.2 1.2 2 0 04 PP Nusantara Sibolga 1 1 1 1.2 1.2 0 0 05 PP Nusantara Pelabuhan Ratu 1 1 1 1.2 1.2 2 3 06 PP Nusantara Pelabuhan Prigi 1 1 1 0 0 0 3 0
253
Lanjutan lampiran 20 Perhitungan indeks jenis kapal 6 unit pelabuhan perikanan di WPP 9 Samudera Hindia
Pelabuhan Perikanan (PP) Jumlah jenis ukuran kapal Index A Index B
PP Samudera Jakarta 7 13,4 2,107 PP Samudera Bungus 5 5,4 1,387 PP Samudera Cilacap 6 7,4 1,707 PP Nusantara Sibolga 5 5,4 1,387 PP Nusantara Pelabuhan Ratu 7 10,4 2,057 PP Nusantara Pelabuhan Prigi 4 6 1,152
254
Lampiran 21 Glosari
1. AMDAL : Hasil studi mengenai dampak penting suatu usaha atau kegiatan yang direncanakan terhadap lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan.
2. Break water : salah satu fasilitas pelabuhan perikanan yang berfungsi untuk menahan gelombang.
3. Bobot kelangkaan : Suatu ukuran keunggulan pelabuhan perikanan yang tidak dimiliki oleh pelabuhan lain sehingga memiliki nilai bobot yang tinggi.
4. Bobot jenis : Suatu ukuran keunggulan pelabuhan perikanan yang memiliki secara lengkap jenis (fasilitas, SDM, ikan, alat penangkapan ikan dan kapal perikanan). Semakin banyak jenis yang dimiliki oleh suatu pelabuhan maka semakin tinggi nilai bobotnya.
5. Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) : Tata laksana yang memuat asas dan standar internasional mengenai sikap atau perilaku dalam praktek yang bertanggung jawab di perairan nasional, Zona Ekonomi Eksklusif maupun pengelolaan perikanan di Laut Lepas.
6. Chlorofil : zat hijau yang terdapat pada tumbuhan.
7. Cold chain system : suatu system rantai dingin yang berfungsi untuk mempertahankan mutu ikan.
8. Cold storage : suatu fasilitas pelabuhan perikanan yang berfungsi untuk mempertahankan mutu dengan proses pendinginan.
9. Crane : fasilitas pelabuhan perikanan yang berfungsi untuk alat bongkar muat dan pemindahan ikan.
10. Daerah lingkungan kepentingan pelabuhan (DLKP) : batas areal yang dimiliki oleh pelabuhan.
11. Daerah lingkungan kerja pelabuhan (DLKR) : batas areal sejauh pengaruh operasional pelabuhan.
12. Dock : fasilitas pelabuhan yang berfungsi sebagai tempat pembangunan atau perbaikan kapal.
13. Fasilitas fungsional : fasilitas yang berfungsi untuk meninggikan nilai guna dari fasilitas pokok sehingga dapat menunjang aktifitas di pelabuhan.
14. Fasilitas pelengkap : jenis fasilitas yang diperlukan agar pelabuhan perikanan dapat berfungsi dengan baik, tetapi pengadaannya baru pada tahap pengembangan pelabuhan.
15. Fasilitas penting : fasilitas yang jelas diperlukan agar pelabuhan perikanan dapat berfungsi dengan baik, namun realisasinya dapat ditunda.
16. Fasilitas penunjang : fasilitas yang secara tidak langsung meningkatkan peranan pelabuhan.
255
Lanjutan lampiran 21
17. Fasilitas pokok : fasilitas dasar yang diperlukan dalam kegiatan di suatu pelabuhan.
18. Fasilitas vital : fasilitas yang mutlak diperlukan di pelabuhan perikanan.
19. Fish bone analysis : suatu metode analisis dengan menggunakan kerangka tulang ikan, guna menentukan masalah pokok.
20. Fish processing : suatu kegiatan yang ditujukan untuk penanganan ikan dengan berbagai metode guna mempertahankan mutu ikan ataupun menghasilkan produk baru.
21. Fishing ground : daerah penangkapan ikan yang menjadi tujuan kegiatan penangkapan.
22. Foreland pelabuhan perikanan : wilayah produksi atau daerah penangkapan ikan yang merupakan salah satu sub sistem dalam tryptique portuaire untuk pelabuhan perikanan.
23. Groin : jenis bangunan untuk mempertahankan tanah agar tidak berubah strukturnya.
24. Growth center : pusat pertumbuhan suatu wilayah.
25. Hand liner : salah satu alat penangkap ikan yang menggunakan pancing dan dalam operasionalnya menggunakan tangan.
26. Highly Perishable : suatu sifat produk perikanan yang sangat cepat membusuk sehingga memerlukan penanganan khusus.
27. Hinterland pelabuhan perikanan : wilayah distribusi ikan yang merupakan salah satu sub sistem tryptique portuaire untuk pelabuhan perikanan.
28. Hinterland perpaduan atau overlapping hinterland : hinterland yang merupakan wilayah pendistribusian dari beberapa pelabuhan perikanan.
29. Hinterland primer : daerah konsumen untuk ikan segar.
30. Hinterland sekunder : daerah konsumen untuk ikan olahan.
31. Ikan demersal : jenis ikan yang hidup di dasar perairan.
32. Ikan pelagis : jenis ikan yang hidup diatas dasar perairan dan permukaan perairan.
33. Indeks relatif nilai produksi (I) : suatu metode untuk mengukur seberapa jauh kualitas pemasaran ikan disuatu daerah.
34. Instalasi Pengolah Air Limbah (IPAL) : suatu system yang digunakan untuk menangani limbah.
35. Jetty : suatu fasilitas pelabuhan yang berfungsi untuk pendaratan ikan.
36. Kelompok Masyarakat Pengawas (POKMASWAS) : suatu kelompok masyarakat yang bertugas untuk mengawasi aktivitas perikanan.
256
Lanjutan lampiran 21
37. Kelompok usaha bersama (KUB) : organisasi usaha masyarakat perikanan yang dibentuk secara berkelompok.
38. Labuh : Apabila kapal telah membongkar hasil tangkapannya, kemudian bersandar atau mengikat tali ditempat tertentu yang bukan tempat bongkar, untuk beristirahat dan menunggu keberangkatan ke laut atau menunggu naik dok, maka kapal tersebut dikatakan berlabuh.
39. Lautan lepas : bagian dari laut yang tidak termasuk dalam ZEEI, laut teritorial Indonesia, perairan kepulauan Indonesia dan perairan pedalaman Indonesia.
40. Laut territorial : jalur laut selebar 12 mil laut yang diukur dari garis pangkal kepulauan Indonesia.
41. Liniear, Interactive, Descret, Optimizer (LINDO) : suatu program komputer yang dapat mengoptimalkan fungsi tujuan dengan kendala-kendala yang ada.
42. Linear goal programming : Adalah suatu model matematika yang dapat mengoptimalkan fungsi tujuan dengan kendala-kendala yang ada.
43. Location quotient (LQ) : model matematika yang dapat menentukan sektor basis.
44. Log Book : suatu informasi mengenai aktivitas kapal perikanan di laut.
45. Longshore sediment : pergerakan sediment disepanjang pantai.
46. Nelayan skala kecil : orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari..
47. Outering Fishing Port Program : suatu program untuk membangun pelabuhan-pelabuhan perikanan yang berada di wilayah terluar Indonesia.
48. Over fishing : suatu kondisi tangkap lebih disuatu perairan.
49. Proses Hierarki Analisis (PHA) : suatu metode yang dapat dipergunakan untuk membantu proses pengambilan keputusan pada masalah-masalah yang kompleks dan tidak terstruktur.
50. Pelabuhan Perikanan : tempat yang terdiri atas daratan dan perairan disekitarnya dengan batas-batas tertentu sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan sistem bisnis perikanan yang dipergunakan sebagai tempat kapal perikanan bersandar, berlabuh dan/ atau bongkar muat ikan yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan pelayaran dan kegiatan penunjang perikanan.
51. Perikanan : semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungannya, mulai dari pra produksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran, yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan.
52. Purposive : suatu metode yang disengaja dalam pemilihan responden yang dianggap dapat mewakili tujuan penelitian.
257
Lanjutan lampiran 21
53. Pusat Informasi Pelabuhan Perikanan (PIPP) : suatu lembaga di dalam pelabuhan perikanan yang berfungsi untuk menyusun, menginformasikan segenap aktivitas pelabuhan perikanan.
54. Standard Operational Procedure (SOP) : standar prosedur yang ditetapkan oleh pelabuhan untuk pedoman pelaksana.
55. Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) : Izin tertulis yang harus dimiliki setiap kapal perikanan untuk melakukan penangkapan ikan.
56. Tambat : Kapal dikatakan bertambat apabila kapal bersandar atau mengikat tali ditempat tertentu untuk melakukan kegiatan membongkar hasil tangkapan.
57. Triptyque portuaire : suatu sistem kepelabuhanan yang terdiri dari tiga komponen yang saling terkait, yakni foreland, fishing port dan hinterland.
58. Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia (ZEEI) : jalur di luar dan berbatasan dengan laut teritorial Indonesia sebagaimana ditetapkan berdasarkan undang-undang yang berlaku tentang perairan Indonesia yang meliputi dasar laut, tanah dibawahnya dan air diatasnya dengan batas terluar 200 mil laut yang diukur dari garis pangkal laut teritorial Indonesia.