POLA KONSUMSI PEMUDA PERKOTAAN PADA PENGGUNAAN …
Transcript of POLA KONSUMSI PEMUDA PERKOTAAN PADA PENGGUNAAN …
POLA KONSUMSI PEMUDA PERKOTAAN PADA
PENGGUNAAN TRANSAKSI DOMPET DIGITAL (E-
WALLET) DI KOTA JAKARTA SELATAN
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh:
Sherin Soraya
11161110000041
PROGRAM STUDI SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2020/1442 H
i
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI
Dengan ini, Pembimbing Skripsi menyatakan bahwa mahasiswa:
Nama : Sherin Soraya
NIM : 11161110000041
Program Studi : Sosiologi
Telah menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul:
POLA KONSUMSI PEMUDA PERKOTAAN PADA PENGGUNAAN
TRANSAKSI DOMPET DIGITAL (E-WALLET) DI KOTA
JAKARTA SELATAN
dan telah memenuhi persyaratan untuk diuji.
Jakarta, 01 September 2020
Mengetahui, Menyetujui,
Ketua Program Studi Pembimbing
Dr. Cucu Nurhayati, M.Si Dr. Cucu Nurhayati, M.Si
NIP. 197609182003122003 NIP. 197609182003122003
iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
SKRIPSI
POLA KONSUMSI PEMUDA PERKOTAAN PADA
PENGGUNAAN TRANSAKSI DOMPET DIGITAL (E-WALLET) DI
KOTA JAKARTA SELATAN
Oleh
Sherin Soraya
11161110000041
Telah dipertahankan dalam sidang ujian skripsi di Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada
tanggal 17 September 2020. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu
syarat memperoleh gelar Sarjana Sosial (S.Sos) pada Program Studi
Sosiologi.
Ketua Sidang, Sekretaris,
Dr. Cucu Nurhayati, M.Si Dr. Joharotul Jamilah, S.Ag., M.Si
NIP. 1976091820031220 NIP. 196808161997032002
Penguji I, Penguji II,
Dr. Ida Rosyidah, MA Kasyfiyullah, M.Si
NIP. 196306161990032002 NIP. -
Diterima dan dinyatakan memenuhi syarat kelulusan pada tanggal 17
September 2020
Ketua Program Studi Sosiologi,
FISIP UIN Jakarta
Dr. Cucu Nurhayati, M.Si
NIP. 1976091820031220
iv
ABSTRAK
Skripsi ini membahas pola konsumsi pada penggunaan transaksi dompet
digital (e-wallet) dengan studi kasus pemuda di Jakarta Selatan. Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah mengetahui pola perubahan konsumsi yang terjadi pada pemuda saat menggunakan transaksi dengan e-wallet di Jakarta
Selatan. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitat if studi kasus dengan Teknik pengambilan data melalui wawancara mendalam
terhadap 10 orang informan yang terdiri dari karyawan dan mahasiswa di kota Jakarta Selatan. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam sebagai data primer dan tinjauan penelitian sebelumnya, sumber informasi dari
internet, dan data BPS Jakarta Selatan sebagai data sekunder.
Teori yang digunakan pada penelitian ini adalah teori Konsumerisme dari Sosiolog Prancis, Jean P. Baudrillard. Hasil penelitian menunjukkan adanya
perubahan pola konsumsi yang terjadi saat menggunakan e-wallet, perubahan ini dilihat dari gaya hidup, pemborosan, pergeseran logika konsumsi, serta penggolongan status sosial di masyarakat. Hal ini terjadi lantaran munculnya
citra sosial dari barang/objek yang ditampilkan oleh produsen iklan dengan bahasa yang persuasif serta tampilan yang menarik mata. Logika konsumsi
masyarakat mulai tergeser dari mengonsumsi sesuatu karena use value dan exchange value, menjadi sign value dan symbolic value. Sarana pembayaran yang paling banyak digunakan dengan transaksi e-wallet ada pada sarana
pembayaran kebutuhan rumah tangga seperti pembayaran listrik, PAM, telepon, dan sebagainya, dan pada sarana kebutuhan sekunder seperti pembayaran
belanja di marketplace, memesan makanan dan transportasi online, dan sebagainya.
Kata Kunci: Konsumsi, E-Wallet, Citra Barang, Masyarakat Konsumeris ,
Use Value, Sign Value.
v
KATA PENGANTAR
Bismillah wa billah wal hamdulillah, syukur dan puji kepada Tuhan
Semesta Alam yang telah memberikan banyak karunia tak terhingga dari
pembuatan alam semesta ini hingga terciptanya Rasulullah Muhammad SAW
beserta keluarganya yang disucikan. Syukur terdalam dan tak terhingga penulis
haturkan kepada Allah SWT yang telah memberikan karunia-Nya yang agung
sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi yang berjudul: Pola Konsumsi
Pemuda Perkotaan Pada Penggunaan Transaksi Dompet Digital (E-wallet) di
Kota Jakarta Selatan. Shalawat serta salam agung penulis haturkan kepada
baginda Rasulullah Muhammad SAW beserta keluarganya yang disucikan yang
dengan kehadiran mereka, alam semesta ini bisa berjalan dengan baik dari
dahulu hingga sekarang.
Penulis menyadari bahwa keberhasilan penulis dalam menyelesa ikan
skripsi ini bukanlah upaya yang seluruhnya datang dari diri penulis. Kehadiran
keluarga yang memberikan support secara materiil dan non materiil memberikan
kekuatan bagi penulis untuk terus maju dan tidak pantang menyerah. Ummi,
bang Haikal, bang Zaky, bang Adib, bang Fahri, ka Fira, Echa, serta Astar dan
kakak ipar; ka Isti, ka Iin, serta ka Devita, dan dua keponakan lucu kaka Ano
dan dede Eure, serta yang terakhir almarhum Abi yang telah meninggalkan dunia
ini menjadi kekuatan dan penopang utama bagi penulis untuk bisa
menyelesaikan skripsi ini. Doa penulis bagi keluarga yang penulis sayangi,
semoga Allah senantiasa memberikan keberkahan pada segala hal yang ada, dari
vi
rezeki, kesehatan, umur, keamanan, kenyamanan, ketenangan serta kebaikan.
Untuk almarhum Abi yang menyaksikan penulis dari dimensi kehidupan lain,
semoga penulis bisa terus melanjutkan pendidikan ke jenjang selanjutnya dan
memberikan manfaat baik bagi sesama sebagaimana pesan Abi dahulu.
Selanjutnya izinkan penulis untuk mengucapkan terima kasih kepada
mereka yang di bawah ini sebagai bagian dari perjalanan penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini dan menjadi bagian penting dalam perjalanan kuliah
penulis:
1. Bapak Prof. Dr. Ali Munhanif, M.A., selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik (FISIP) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Ibu Dr. Cucu Nurhayati, M.Si, selaku Ketua Program Studi Sosiologi dan
dosen pembimbing penulis yang baik hati yang telah memberikan arahan,
motivasi, serta nasihat bagi penulis dalam penulisan skripsi ini.
3. Ibu Joharotul jamilah, S.Ag., M.Si, selaku Sekretaris Program Studi
Sosiologi FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Seluruh Jajaran Dosen Program Studi Sosiologi FISIP UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Terima kasih atas pendidikan pengetahuan yang telah
diberikan bagi penulis baik di dalam maupun di luar kelas, baik dalam
bentuk teori pelajaran, maupun sikap dan cara berpikir yang telah
memotivasi dan memberikan inspirasi bagi penulis.
5. Para staf pengurus Bidang Akademik dan Bidang Administrasi FISIP UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta. Terima kasih telah mempermudah penulis
dalam pengurusan administrasi, khususnya pada bu Sariyah.
vii
6. Bagi seluruh informan penulis yang terdiri dari teman-teman komunitas,
magang, hingga saudara penulis yang telah memberikan pandangannya
kepada penulis hingga skripsi ini bisa diselesaikan dengan baik.
7. Teman-teman penulis di FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang
tergabung dari teman-teman jurusan Sosiologi, Hubungan Internasiona l,
dan Ilmu Politik, baik senior maupun junior yang telah memberikan warna
pertemanan di dunia perkuliahan melalui diskusi, acara, dan obrolan asik
lainnya.
8. Teman-teman Sosiologi di kelas A dan B 2016 yang telah menjadi saksi
serta bagian dari pembelajaran penulis dalam menempuh kuliah. Terkhusus
Ramadhania, Corrie, Eliza, Neti, Syamsa, Ika, Iqbal, Nila, Pingky, Ikhsanti,
dan teman-teman lainnya yang telah bersedia berbagi rasa dan pengalaman
bersama. Perjalanan ini sulit, namun kehadiran teman-teman semua
menjadikan perjalanan ini mudah. Semoga pertemanan kita bisa
memberikan manfaat baik di masa kini hingga di masa depan.
9. Teman-teman di KASOGI (Kajian Sosiologi) yang membuat penulis
menjadi kenal dengan banyak senior keren dan baik hati serta berdedikasi
bagi para juniornya, khususnya bang Rusydan, bang Hasan, bang Oka, dan
para senior lainnya yang juga memberikan ilmu serta pengalaman baik bagi
penulis seperti ka Amel, ka Husnul, bang Abdilah, dan senior lainnya.
Terima kasih.
10. Teman-teman di International Studies Club (ISC) yang telah menjadi tempat
berkembang dan bertumbuh penulis dalam memahami dinamika organisas i
viii
kampus. Dilanjutkan dengan kepanitiaan di Java MUN yang banyak
memberikan pengalaman tak ternilai bagi penulis baik dari sisi akademis
maupun non akademis. Terkhusus teman-teman ISC seperti ka Obi, ka
Nanda, Ka Nisrina, ka Astrid, bang Faisal, bang Ilham, bang Ekal, ka Sipa,
Rizka, Zaky, Rima, Alif, Fajrin, Adila, Farha, Nida, Damar, Adit, Ellena,
Alfi, Aidia, dan teman-teman lainnya yang tidak bisa penulis sebutkan
semua di sini.
11. Teman-teman komunitas di luar kampus seperti Bounce Back dan Pandu
wilayah DKI Jakarta yang juga telah banyak memberikan kontribusi dari
sisi mental dan kedewasaan bagi penulis. Terkhusus teman-teman Bounce
Back; ka Putri, ka Dian, ka Virgi, ka Icha, ka Ucha, Chien, dan teman-teman
lainnya. Terkhusus teman-teman Pandu; Rugayya al-Haddar, Safina al-
Idrus, Mima al-Atas, Bagir al-Atas, Ryanta, Hedar al-Idrus, Mia al-Kaff,
dan teman-teman lainnya yang tak bisa penulis sebutkan. Semoga
pertemanan kita diberkahi hingga hari akhir.
12. Sahabat terkasih penulis yang meski jarak memisahkan tidak membuat
persahabatan ini mengendur, Beatha Aminah Putri. Bea adalah orang yang
akan berdiri, duduk, dan berlari bersama penulis di hari yang cerah maupun
tidak. Terima kasih untuk selalu ada, semoga persahabatan kita memberikan
banyak kebaikan dan manfaat bagi kita berdua.
13. Teman terkasih penulis, Hanifah Rahmah dari Sosiologi Universitas Negeri
Jakarta (UNJ). Pertemuan kita di Jaringan Mahasiswa Sosiologi se-Jawa
(JMSJ) adalah karunia tak terhingga bagi penulis. Memiliki kenalan yang
ix
tak hanya memiliki kepribadian baik hati, namun juga memiliki peran dan
kontribusi besar bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini membuat
penulis tak bisa membalas kebaikannya dengan harga berapa pun.
Terakhir, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada diri penulis
yang telah berusaha untuk tetap maju, bangkit, dan semangat. Menyelesaikan
skripsi di masa pandemi di saat ada banyak keterbatasan, namun tetap yakin dan
percaya bahwa ini semua bisa diselesaikan adalah pencapaian besar bagi penulis.
Gagal tidak apa, asal bangkit kembali. Salah tidak apa, asal mau memperbaik i
diri dan hati.
Semoga untaian terima kasih yang telah penulis sampaikan bisa diterima
di dalam hati mereka yang telah berkontribusi besar bagi penulis. Sebagai
penutup, penulis berharap kehadiran skripsi ini bisa memberikan khazanah
pengetahuan baru bagi masyarakat dan khusunya pada civitas akademika
Sosiologi dan juga pemerintah. Terima kasih.
Wassalammu’alaikum Warohmatullahi Wabarakatuh.
Jakarta, 20 Agustus 2020
Sherin Soraya
x
Masyarakat konsumeris menurut Baudrillard
tidak lagi terikat oleh suatu moralitas dan
kebiasaan yang selama ini dipegangnya.
Mereka kini hidup dalam suatu kebudayaan
baru, kebudayaan yang melihat eksistensi diri
mereka dari segi banyaknya tanda yang
dikonsumsi (Baudrillard, 1997:200).
xi
DAFTAR ISI
ABSTRAK ....................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR.......................................................................................v
DAFTAR ISI .................................................................................................... xi
DAFTAR TABEL .......................................................................................... xiii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1
A. Latar Belakang.......................................................................................... 1
B. Pertanyaan Penelitian ............................................................................... 6
C. Tujuan Penelitian ...................................................................................... 7
D. Manfaat Penelitian .................................................................................... 7
E. Kajian Pustaka .......................................................................................... 8
F. Kerangka Teoritis ................................................................................... 14
G. Metode Penelitian ................................................................................... 20
H. Sistematika Penulisan Skripsi................................................................. 35
BAB II STRUKTUR SOSIAL KOTA JAKARTA SELATAN DAN PROFIL
DOMPET DIGITAL (E-WALLET) ................................................................ 37
A. Profil Kota Administrasi Jakarta Selatan ............................................... 37
B. Dompet Digital (e-wallet) ....................................................................... 50
C. E-wallet dan Masyarakat Perkotaan........................................................ 58
BAB III PERUBAHAN POLA KONSUMSI PEMUDA DI ERA
PENGGUNAAN TRANSAKSI DOMPET DIGITAL (E-WALLET)............ 62
A. Makna Konsumsi dan Konsumerisme .................................................... 63
B. Perubahan Pola Konsumsi Pemuda dengan E-wallet ............................. 65
1. Media Iklan Sebagai Daya Penarik Masyarakat Konsumeris ............. 65
2. Citra yang Muncul Saat Berkonsumsi ................................................ 70
3. Pergeseran Logika Dasar Konsumsi ................................................... 73
4. Perubahan Gaya Hidup ....................................................................... 79
5. Keterkaitan Status Sosial dan Identitas Diri dengan Daya Konsumsi 84
C. Sarana Penggunaan E-Wallet ................................................................. 88
D. Perubahan Sebelum dan Sesudah Berkonsumsi dengan E-Wallet.......... 90
xii
BAB IV PENUTUP ....................................................................................... 96
A. Kesimpulan ............................................................................................. 96
B. Saran ....................................................................................................... 99
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 101
LAMPIRAN .................................................................................................... xv
LAMPIRAN 1: PEDOMAN WAWANCARA............................................... xv
LAMPIRAN 2: DOKUMENTASI WAWANCARA ................................... xvii
LAMPIRAN 3: TRANSKRIP WAWANCARA ......................................... xviii
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel I.G.1.Waktu Wawancara ………………………….…………………..21
Tabel I.G.2.Profil Informan Penelitian……………………….………………23
DAFTAR GAMBAR
Gambar II.A.1.Peta Kota Jakarta Selatan……………………………………36
Gambar II.A.2.Ringkasan Profil Kota Jakarta Selatan……………..……..…38
Gambar Grafik II.A.3.Tingkat Pengangguran Terbuka DKI Jakarta 2019…41
Gambar II.A.5.Capaian IPM DKI Jakarta 2014-2018………………...……..43
Gambar II.A.6.Pengeluaran Per Kapita Sebulan Penduduk Kota Jakarta
Selatan 2018…………………………………………………………………..45
Gambar II.A.7.Persentase Penduduk Berumur 15 Tahun ke Atas yang Melek Huruf Menurut Kelompok Umur, 2018 dan 2019………………………...…..47
Gambar II.B.1.Tiga Dompet Digital Pengguna Teraktif dan Unduhan Aplikasi
Tertinggi di Indonesia……………………………………………..…….…….49
Gambar III.B.1.Iklan Poster Makanan dari OVO dan GoPay……………….67
Gambar III.C.4.1.Poster Cashback OVO……………………………………79
Gambar Skema III.B.5. Analisis Perubahan Pola Konsumsi dengan Teori Jean Baudrillard……………………………………………………..………...86
Gambar III.C.1.Poster Cashback Sociolla dengan GoPay dan Promo
Pembayaran Tagihan Rumah Tangga dengan OVO………………..……...…87
Gambar III.D.Poster Ajakan Tidak Perlu Bawa Cash………………..……...92
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1: Pedoman Wawancara ................................................................. xv
Lampiran 2: Dokumentasi Wawancara ......................................................... xvii
Lampiran 3: Transkrip Wawancara……………………………………….xviii
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagai makhluk hidup, konsumsi adalah hal yang tidak akan pernah
tergantikan. Konsumsi pada hal-hal yang bersifat kebutuhan primer dan
sekunder telah terjadi dari zaman dahulu hingga di masa kini yang sudah
dilakukan oleh tiap-tiap kelompok masyarakat. Ini adalah fenomena
kehidupan yang akan terus berlangsung. Fenomena berulang ini pada
akhirnya membuat terciptanya banyak perubahan untuk memudahkan
manusia dalam menjalankan proses konsumsi. Salah satu perubahan yang
terjadi adalah perkembangan pada dunia teknologi untuk menunjang proses
konsumsi. Tren teknologi itu adalah fintech (financial technology) teknologi
berbasis ekonomi yang menurut Bank Indonesia, fintech merupakan hasil
gabungan antara jasa keuangan dengan teknologi yang pada akhirnya dapat
mengubah model bisnis dari konvensional menjadi moderat (Bank Indonesia,
2016). Perkembangan teknologi ini berbanding lurus dengan perubahan pola
gaya hidup masyarakat yang turut berubah, khususnya pada pola konsumsi.
Manusia tanpa diiming- imingi label dari masyarakat, siapa, dimana
dan kapanpun akan membutuhkan konsumsi. Sekarang kita meliha t,
2
perkembangan financial technology mulai merambah secara masif,
menyeluruh dan mudah dilihat. Salah satu turunan dari perkembangan
financial technology adalah hadirnya dompet digital (e-wallet). Hanya cukup
bermodal kepemilikan smartphone dan pulsa internet, masyarakat mampu
mengakses dan menggunakan e-wallet ini dalam kehidupan sehari-hari. E-
wallet menjadi tren baru di Indonesia sejak pengesahannya pada tahun 2016
yang tercatat di Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/40/PBI/2016 Tahun
2016 Tentang Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Pembayaran
(PBI/18/2016) (Bank Indonesia, 2016).
E-wallet merupakan layanan elektronik berbasis aplikasi (server
based) yang berada di smartphone. Berdasarkan data statistik Bank Indonesia
yang dilansir oleh Tirto.id pada 19 Agustus 2019, jumlah uang elektronik
yang beredar terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2011, tercatat
nominal transaksi instrumen berjenis e-wallet dan e-money mencapai Rp. 981
miliar. Pada tahun 2017, jumlahnya mencapai Rp. 12,375 triliun. Angka
transaksi meningkat lebih dari dua kali lipat pada tahun berikutnya yakni
tahun 2018 yang mencapai angka Rp. 47 triliun. Hingga angkanya meningka t
lagi di pertengahan tahun 2019 yang nominal transaksinya mencapai lebih
dari Rp. 56 triliun (Tirto.id, 2019).
Di Indonesia sendiri, tercatat 38 layanan e-wallet yang diresmikan
pemerintah. Kepemilikan smartphone juga mencapai angka 62,69 juta warga
dan pada data lain menyebutkan 64,8% pengguna internet (Tirto.id, 2019).
Tersedianya puluhan layanan dompet digital, tingginya angka kepemilikan
3
gawai serta tingginya pengguna internet memberikan peluang tingginya
pengguna e-wallet bertumbuh dengan baik dari waktu ke waktu. Menurut
laporan data dari iPrice Group yang berkolaborasi dengan perusahaan analisis
data App Annie; Go-Pay, OVO dan DANA adalah tiga top teratas dompet
digital favorit masyarakat Indonesia, (DetikInet, 2019). GoPay unggul pada
berbagai sarana layanan GO-JEK, mulai dari transportasi publik, pengantar
makanan, pembelian tiket bioskop, pengiriman barang, pembayaran e-
commerce, pembayaran layanan logistik, P2P (peer to peer), pengisian pulsa,
pembayaran di restoran/tempat makan, pembayaran tagihan bulanan dan
penarikan tunai. Sedang OVO yang bekerja sama dengan Grab, unggul pada
layanan transportasi publik, pengantar makanan, pembelian tiket bioskop,
pengisian pulsa, pengiriman barang, pembayaran di restoran/tempat makan.
Dana unggul pada pembayaran tagihan bulanan, pengisian pulsa, pembayaran
pada aplikasi gaming, pembayaran di restoran/tempat makan. Penilaian itu
berdasarkan riset dari DailySocial yang meneliti 651 responden yang
memberikan hasil pengguna aktif Go-Pay pada 83,3%, OVO pada 81,4% dan
DANA pada 68,2%.
Konsumsi masyarakat dari hal primer hingga sekunder mampu
dipenuhi dengan sangat baik oleh e-wallet. Menurut penelitian yang
dilakukan oleh (Katadata, 2019) responden menggunakan layanan dompet
digital berlandaskan pada asas kepercayaan pada produk (81,6%), kebutuhan
(72,2%), dianggap penuh manfaat (72,9%), mudah digunakan (68,3%), dan
menghemat waktu (66,2%). Secara khusus potongan harga (discount),
4
pengembalian uang (cashback), kemudahan, kenyamanan, pencatatan
transaksi belanja, serta keamanan dalam aksesibilitas e-wallet disinya lir
menjadi beberapa alasan kuat masyarakat menggunakannya. Berdasarkan
penuturan salah satu informan kepada penulis, kehadiran e-wallet
membuatnya bisa sigap membawa uang ke mana saja tanpa takut untuk
hilang, rusak, dan ketinggalan. Terlebih pada masyarakat perkotaan, yang
tidak pernah keluar tanpa membawa smartphone, e-wallet yang tersimpan
dalam smartphone menjadi mudah penggunaannya, berikut penuturannya,
Sebenernya saya tipe yang ga bisa pegang uang cash gitu, karena takut
hilang, ketinggalan, dll. E-wallet ini kan ada di hp ya, barang yang ga
pernah ketinggalan, kalau kita kurang duit, tinggal minta orang rumah
kirimin duit ke e-wallet kita (wawancara dengan Ang, 03 Juni 2020).
Selain itu kegiatan pemenuhan makanan dan minuman masyarakat yang
biasanya dilakukan dengan memasak mulai bergeser menjadi masyarakat
yang lebih memilih memesan makanan melalui aplikasi online/daring.
Begitupun dalam pemesanan transportasi untuk kebutuhan mobilisasi sehari-
hari. Berdasarkan catatan Bank Indonesia, pertumbuhan transaksi uang
elektronik naik mencapai 218,9% (Year on Year) pada triwulan IV 2018
dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya (Katadata, 2019).
Berbagai kemudahan serta keuntungan yang ditawarkan oleh e-wallet
ini mampu menjadi salah satu faktor perubahan pola konsumsi. Mudah,
efisien dan efektif adalah hal-hal yang dikejar oleh pemuda dalam tiap aspek.
Pemuda yang melek teknologi, terbuka dengan hal baru serta cukup
berpendidikan menjadi peluang besar bagi masifnya perkembangan e-wallet
5
di tanah air. Pola konsumsi pemuda mulai mengalami transisi dari pemenuhan
kebutuhan hidup menjadi konsumsi simbolis. Pemuda tidak lagi meliha t
konsumsi hanya sebatas pemenuhan kebutuhan primer, akan tetapi,
menimbang nilai sosial, prestise, hingga memuaskan nafsu atas keinginan
berkonsumsi. Bisa kita katakan, e-wallet yang menjadi primadona juga bisa
menjadi buah simalakama. Pemborosan dan hedonisme adalah salah dua
bentuknya. Profesor dari Massachusetts Institute of Technology (MIT)
Drazen Prelec mengatakan kartu kredit dan pembayaran nontunai lainnya
berbahaya lantaran berpotensi membuat konsumen tidak lagi merasakan rasa
‘kehilangan’ saat membayar. Kondisi ini diperparah dengan minimnya
pengetahuan pemuda dalam mengelola keuangan. Melalui riset PwC pada
2014, dari 5.500 responden berusia 22-35 tahun, hanya 24% yang memilik i
pengetahuan pengelolaan keuangan secara memadai (Tirto.id, 2018).
Hal ini didukung pada penelitian yang dilakukan oleh (Ramadani,
2016) dengan judul Pengaruh Penggunaan “Kartu Debit dan Uang Elektronik
(e-money) Terhadap Pengeluaran Konsumsi Mahasiswa” yang menunjukkan
adanya korelasi antara meningkatnya penggunaan kartu debit dan uang
elektronik di kalangan mahasiswa karena kemudahan bertransaksi.
Mahasiswa menjadi cenderung mudah membeli tanpa berpikir panjang serta
menjadi lebih sering memilih untuk memenuhi standar gaya hidup yang ada
dibanding menyesuaikan dengan pemasukan yang dimilikinya. Tidak jarang,
kegiatan ini dilakukan dalam waktu yang berdekatan. Jika ditilik lebih lanjut,
hal ini juga diakibatkan oleh minimnya literasi keuangan oleh masyarakat.
6
Padahal literasi keuangan menjadi bekal masyarakat untuk meningkatkan
kesejahteraan hidupnya. Rendahnya kemampuan masyarakat dalam
mengelola keuangan ditunjukkan oleh rendahnya tingkat tabungan dan
tingginya tingkat konsumsi masyarakat. Hal tersebut dapat diatasi dengan
pendidikan literasi keuangan.
Dari latar belakang di atas, penelitian ini akan membahas Pola
Konsumsi Pemuda Perkotaan Pada Penggunaan Transaksi Dompet Digital (e-
wallet) di Kota Jakarta Selatan. Pemuda yang tinggal di perkotaan, utamanya
di kota besar seperti Jakarta Selatan adalah pemuda yang sudah melek
teknologi dan internet. Kota Jakarta Selatan sebagai kota dengan Indeks
Pembangunan Manusia (IPM) tertinggi selama empat tahun berturut-turut
dari tahun 2014-2018 ditambah tingginya angka angkatan kerja aktif, dan
sedang berada pada rata-rata usia produktif menjadikan kota Jakarta Selatan
sebagai studi kasus yang sangat cocok dengan penelitian penulis. Melalui
sebab-sebab dan masalah yang ada, peneliti ingin menulis lebih lanjut terkait
Pola Konsumsi Pemuda Perkotaan Pada Penggunaan Transaksi Dompet
Digital (e-wallet) di Kota Jakarta Selatan.
B. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis ingin melihat lebih lanjut
terkait pola konsumsi pemuda yang berujung pada hilangnya makna
pemenuhan konsumsi. Utamanya pemuda di kota besar seperti Jakarta Selatan
7
yang menggunakan e-wallet pada kehidupan sehari-hari. Dengan ini penulis
akan merumuskan permasalahan tersebut dalam pertanyaan sebagai berikut:
1. Bagaimana perubahan pola konsumsi pemuda kota Jakarta Selatan pada
penggunaan transaksi dompet digital (e-wallet)?
2. Bagaimana pemanfaatan transaksi yang dipakai pemuda Jakarta Selatan
pada penggunaan dompet digital (e-wallet)?
C. Tujuan Penelitian
Tentunya dalam sebuah penelitian memiliki tujuan yang harus dicapai
untuk memberikan jawaban dari pertanyaan penelitian yang telah dirumuskan
sebelumnya. Adapun tujuan penelitian berdasarkan rumusan permasalahan
penelitian di atas di antaranya adalah:
1. Penelitian ini menjelaskan perubahan pola perubahan konsumsi pemuda
kota Jakarta Selatan saat memilih menggunakan dompet digital (e-wallet).
2. Penelitian ini menganalisis pemanfaatan transaksi yang digunakan
pemuda kota Jakarta Selatan saat menggunakan dompet digital (e-wallet).
D. Manfaat Penelitian
Penulis berharap penelitian ini dapat memberikan manfaat untuk
semua pihak. Adapun dalam manfaat penelitian ini dibagi menjadi dua, antara
lain:
1. Manfaat Akademis
8
a. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi dan informasi pustaka
untuk para peneliti mendatang yang juga mengkaji persoalan pola
konsumsi pemuda perkotaan pada dompet digital (e-wallet).
b. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih terhadap mata
kuliah Sosiologi Ekonomi terkait pola konsumsi pemuda kota Jakarta
Selatan pada penggunaan dompet digital (e-wallet). Selama ini
penggunaan e-wallet lebih banyak dibahas dari sisi ekonomi oleh para
peneliti keuangan dan ekonomi, penelitian dengan menggunakan
perspektif sosiologi yang belum banyak dilakukan.
2. Manfaat Praktis
Diharapkan penelitian ini dapat memberikan rekomendasi dan informas i
bagi pemuda perkotaan untuk memperhatikan pola konsumsi yang mereka
gunakan di e-wallet dengan lebih baik lagi. Sehingga tidak menimbulkan
dampak negatif atau yang tidak diinginkan di masa depan.
E. Kajian Pustaka
Beberapa penelitian mengenai pola konsumsi masyarakat pada
transaksi nontunai sudah banyak diteliti dan dipublikasikan sebelumnya oleh
para peneliti lain di berbagai karya ilmiah. Namun, biasanya fokus penelit ian
terletak pada pola konsumsi berbasis uang elektronik (e-money), ATM, dan
kartu kredit, seperti pada penelitian Laila Ramadani (2016), Raharjo Jati
(2015), Nelasari dan Cahyono (2018). Sekalipun ketiganya memiliki ciri khas
yang sama, akan tetapi, belum ada penelitian yang membahas tentang pola
9
konsumsi pada dompet digital (e-wallet). Dilanjutkan dengan dua penelit ian
lainnya yang berfokus pada konsumsi masyarakat yang mulai memberikan
makna simbol baru dengan terjadinya interaksi simbolis. Kesan yang ingin
dibangun melalui konsumsi menjadi motivasi yang banyak dilakukan
masyarakat saat ini. Seperti penelitian yang telah dilakukan Mufidah (2006)
terkait pembelian makanan di foodcourt dan pembelian pakaian di mall
Rafa’al (2017).
Berdasarkan penelitian Ramadani, 2016 yang berjudul Pengaruh
Penggunaan Kartu Debit dan Uang Elektronik (e-money) Terhadap
Pengeluaran Konsumsi Mahasiswa, masyarakat terutama mahasiswa menjadi
cenderung lebih mudah untuk berbelanja saat menggunakan pembayaran
transaksi nontunai seperti kartu ATM, kartu debit dan uang elektronik (e-
money). Hal ini dilandasi karena alat pembayaran nontunai dinilai lebih
efisien dalam melakukan proses transaksi dan adanya reaksi secara psikologis
pada diri seseorang yang lebih mudah mengeluarkan uang dalam bentuk
nontunai dibanding tunai karena adanya perilaku pertukaran (trade behavior)
manusia atas uang sebagai instrumen fisik dan nonfisik (Ramadani, 2016).
Penelitian serupa juga dilakukan oleh Nelasari dan Cahyono (2018) yang
berjudul Pengaruh Sistem Transaksi Non Tunai Terhadap Tingkat Konsumsi
Masyarakat Di Surabaya yang meneliti pola konsumsi masyarakat kota
Surabaya melalui kajian data dan pustaka di badan pemerintahan kota
Surabaya, Jawa Timur selama tiga tahun. Hasil penelitiannya menemukan
bahwa konsumsi masyarakat berpengaruh positif pada sistem transaksi
10
nontunai, hal ini dilihat dari angka konsumsi masyarakat yang meningka t
setiap tahunnya. Hampir serupa dengan fokus kajian penulis, penelitian yang
dilakukan oleh Raharjo Jati (2015) dengan judul penelitian, Less Cash Sociey:
Menakar Mode Konsumerisme Baru Kelas Menengah Indonesia menjelaskan
teknologi yang berkembang mampu menjadi stimulus dan identitas baru bagi
kelompok kelas menengah di Indonesia. Kelas menengah dipercaya sebagai
bagian dari new consumerism class. Indikasinya bisa disimak dari kenaikan
jumlah transaksi elektronik berbasis teknologi misalnya uang elektronik,
ATM, SMS/phone banking yang makin digemari oleh kelas menengah
Indonesia. Kelas menengah mulai merasakan adanya jenis konsumsi yang
berbeda, mereka meyakini adanya simbol yang akan mengekspresikan
identitasnya, sehingga transaksi berbasis uang elektronik tidak hanya
dikaitkan dengan kemudahan teknologi saja. Simbol itu juga menjadi
artikulasi perilaku sosial yang kemudian menciptakan ekslusifitas kelas.
Penelitian penulis dengan penelitian sebelumnya memuat beberapa
perbedaan, seperti fokus penggunaan alat pembelanjaan nontunai terdapat
pada kartu debit, ATM, dan uang elektronik (e-money) serta pengguna
fasilitas nontunai ini biasanya digunakan oleh masyarakat kelas menengah
atas yang melakukan transaksi di tempat perbelanjaan modern seperti mall
untuk memenuhi kebutuhan gaya hidup. Pada saat ini, pola konsumsi dengan
menggunakan fasilitas nontunai mulai merambah ke arah dompet digital (e-
wallet) yang otomatis terintegrasi dengan gawai yang selalu dibawa setiap
saat dimana pun. Pengguna fasilitas nontunai ini juga bukan hanya dilakukan
11
oleh kelas menengah, namun sudah menyebar di kalangan pemuda perkotaan
dan tidak terbatas hanya pembelian pakaian dan makanan di mall.
Pemanfaatan e-wallet berlaku di beberapa tempat perbelanjaan dengan
kebutuhan konsumsi yang beragam. Kota Jakarta Selatan sebagai salah satu
kota administratif ibukota juga belum pernah menjadi studi kasus penelit ian
sebelumnya.
Penulis tidak menemukan studi kasus yang serupa dengan topik
penelitian dan penggunaan teori yang sama. Namun, ada dua penelit ian
sebelumnya yang memiliki fokus penelitian pada pemaknaan konsumsi yang
mulai bergeser menjadi timbulnya gaya hidup dan citra sosial baru. Penelitian
pertama ada pada Mufidah (2006) dengan judul penelitian, Pola Konsumsi
Masyarakat Perkotaan: Studi Deskriptif Pemanfaatan Foodcourt oleh
Keluarga. Penelitian ini menjelaskan perubahan gaya hidup yang terjadi
khususnya di sebuah keluarga dalam menyantap makanan. Kegiatan makan
bersama yang makanannya dimasak ibu/istri sembari berbagi momen dan
bersenda gurau mulai bergeser menjadi makan fast food bersama di mall.
Makan fast food di foodcourt mall maknanya sudah bergeser menjadi tempat
menjaga gengsi dan martabat seseorang yang membuat munculnya gaya
hidup konsumtif masyarakat. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa
makanan memiliki makna simbolik, orang tidak lagi makan hanya sebagai
pemenuhan kebutuhan hidup, tetapi juga untuk menjaga gengsi dan
martabatnya di mata lingkungan karena saat ini makanan yang dimakan
adalah gambaran dari identitas diri bagi mereka yang mengonsumsinya.
12
Foodcourt yang awalnya dibangun untuk tempat istirahat setelah berbelanja
di dalam mall, mulai memiliki makna dan konsep lain yang lain. Foodcourt
menjadi tempat bertemunya seseorang dengan keluarga, teman, pacar, relasi
bisnis, dan sebagainya dan juga menjadi tempat hangout yang merupakan
gaya hidup dari ciri sebuah modernitas baru.
Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Rafa’al (2017) dengan judul
Gaya Hidup dan Budaya Konsumen dalam Mengkonsumsi Brand The
Executive. Penelitian ini membahas gaya hidup dan budaya konsumen yang
mengonsumsi pakaian dari brand The Executive. Penelitian ini
menitikberatkan pada masyarakat yang menjadikan konsumsi pada merek
adalah hal yang berkaitan dengan kebanggaan diri. Belanja tidak lagi hanya
berkaitan pada utilitas suatu barang, namun menjadi kegiatan pokok dalam
menunjang gaya hidup seseorang. Orang menikmati kegiatan belanja itu
sendiri (Rafa’al, 2017). Brand The Executive yang menjual pakaian
khususnya pada kemeja dan celana memberikan gambaran visual yang
mampu menarik konsumen untuk masuk dan berbelanja ke dalamnya.
Melalui display pakaian yang menarik, penerangan yang cukup, penataan
produk yang teratur, hingga adanya shopping assistant membuat konsumen
menjadi betah untuk berbelanja. Hasil dari penelitian ini mengungkapkan
bahwa pelanggan brand The Executive mulai melakukan interaksi simbolis
dengan cara membeli kesan. Brand The Executive yang hadir di dalam mall
memberikan perasaan diri “lebih” dari orang lain. Iklan visual dengan
penggambaran model yang apik membuat konsumen akan terus
13
memperbaharui orientasi berpakaian mereka sebagai bentuk ekspresi diri
melalui penampilan visual diri yang apik. Penampilan visual yang apik ini
pada tahap selanjutnya akan mempengaruhi tingkatan sosial pergaulan
mereka.
Metode penelitian yang digunakan oleh para peneliti sebelumnya ada
yang menggunakan metode penelitian kualitatif, kuantitatif, serta metode
kepustakaan. Metode penelitian kualitatif dilakukan oleh Mufidah (2016),
metode penelitian kuantitatif dilakukan oleh Ramadani (2016) dan Nelasari
dan Cahyono (2018), terakhir metode kepustakaan dilakukan oleh Raharjo
Jati (2015) dan Rafa’al (2017). Metode penelitian penulis sendiri
menggunakan teknik penelitian kualitatif karena ingin menggali data secara
mendalam dari para informan. Selain itu, teori Jean P. Baudrillard sebagai
teori paradigma kritis diperlukan penggalian data secara lebih mendalam.
Teori yang digunakan oleh para peneliti sebelumnya juga beragam, ada yang
sama dengan penelitian penulis yakni menggunakan teori Konsumsi oleh Jean
P. Baudrillard, seperti yang dilakukan oleh Raharjo Jati (2015), Rafa’al
(2017) dan teori Fungsi Konsumsi oleh Simon Kuznets.
Pada akhirnya berdasarkan beberapa tinjauan pustaka yang diambil,
penulis dapat menggali informasi yang relevan dalam mendukung penelit ian
yang dilakukan terhadap pola konsumsi pemuda perkotaan pada penggunaan
dompet digital (e-wallet). Selain itu, dari sisi metode penelitian serta teori
juga berbeda. Kelima tinjauan penelitian tersebut kemudian dapat membantu
penulis dalam merangkai pola pikir yang sistematis dalam rangka penyusunan
14
skripsi yang akan dilakukan. Melalui tinjauan penelitian ini, penulis juga
mendapat beberapa konsep baru dan memperoleh gambaran mengena i
teknik-teknik dalam penulisan dan menganalisis data yang tepat serta dalam
menuliskan ide-ide dan hasil penelitian yang relevan.
F. Kerangka Teoritis
1. Definisi Konseptual
a. Pemuda
Definisi pemuda secara demografis menurut Persatuan Bangsa-
Bangsa (PBB) yang diwakilkan ILO (International Labor Organizat ion)
adalah penduduk berusia 15-24 tahun. Sedikit berbeda dengan
perundang-undangan Kepemudaan Nomor 40 Tahun 2009 Pasal 1.1 yang
mendefinisikan pemuda yang berusia 16-30 tahun.
Sedangkan definisi pemuda secara struktur sosial memilik i
beberapa arti yakni suatu transisi kehidupan yang bahkan bisa
memberikan perubahan besar (Ningrum, 2017). Konning (1997)
mengungkapkan bahwa pemuda adalah dimensi ‘generasi’ yang
tercermin pada tiga hal yakni, sekelompok usia tertentu (didefinis ikan
secara biologis), relasional yakni pemuda sebagai kategori sosial yang
memiliki relasi-relasi, perbedaan, dan ketimpangan dengan kategori
sosial lainnya, dan yang terakhir adalah pemuda sebagai kategori sosial
15
yang relevan dengan sejarah perjuangan suatu bangsa (Naafs dan White,
2008).
Secara lebih terperinci, Ansori (2009) mengungkapkan bahwa
pemuda adalah kelas menengah usia muda di perkotaan. Hal ini
ditunjukan pada kelompok pemuda yang menjadikan gaya hidup pola
konsumerisme seperti ‘nongkrong di kafe’ atau mengikuti keanggotan
klub seperti ‘gym.’ (Ansori, 2009)
Generasi ini juga sudah akrab dengan penggunaan teknologi
komunikasi mutakhir seperti smartphone yang di dalamnya terdapat
electronic mail (email), instant messaging dan media sosial seperti
Facebook, Twitter, WhatsApp dan Instagram. Lebih lanjut pemuda di era
sekarang juga disebut dengan milenial, yang mana cirinya (Lyons, 2004)
ialah pola komunikasinya yang sangat terbuka dibanding generasi-
generasi sebelumnya, pemakai media sosial yang fanatik dan
kehidupannya sangat terpengaruh dalam perkembangan teknologi, lebih
terbuka dengan pandangan politik dan ekonomi sehingga mereka terlihat
sangat reaktif terhadap perubahan lingkungan yang terjadi di
sekelilingnya, memiliki perhatian yang lebih terhadap kekayaan (Putra,
2016).
Menurut Purwandi (2017) generasi milenial adalah generasi yang
unik, berbeda dari generasi lain, hal ini karena banyak dipengaruhi oleh
teknologi yang sudah maju, sehingga teknologi ini mempengaruhi pola
16
pikir dan perilaku mereka. Adanya perkembangan teknologi ini membuat
generasi milenial mengalami pergeseran pemikiran terutama pada segi
kebutuhan (Widjojo, 2018).
b. Konsumsi
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), konsumsi
artinya pemakaian barang-barang yang langsung memenuhi keperluan
hidup kita, seperti bahan pakaian, makanan, dan sebagainya. Sedangkan
menurut (Samuelson, 2000) konsumsi diartikan sebagai kegiatan
menghabiskan nilai guna barang dan jasa. Konsumsi mempunya i
pengertian yang luas yaitu barang dan jasa akhir yang dibutuhkan untuk
memenuhi kebutuhan manusia (Nopirin, 1997).
Konsumsi (Chaney, 2003) adalah seluruh tipe aktivitas sosial
yang orang lakukan sehingga dapat dipakai untuk mencirikan dan
mengenal mereka, selain apa yang mungkin mereka lakukan untuk hidup.
Konsumsi itu sekaligus sebagai moral dan sistem komunikasi, struktur
pertukaran (Hapsari, Manurung, dan Dewi, 2017).
c. Sistem Pembayaran
Menurut Listfield dan Montes-Negret (1994:27) sistem
pembayaran adalah peraturan, standar, serta instrumen yang digunakan
untuk pertukaran nilai keuangan (financial value) antara dua pihak yang
terlibat untuk melepaskan diri dari kewajiban. Sedangkan menurut UU
Bank Indonesia No. 6/2009 Pasal 1 ayat 6, sistem pembayaran adalah
sistem yang mencakup seperangkat aturan, lembaga, dan mekanisme
17
yang digunakan untuk melakukan pemindahan dana guna memenuhi
suatu kewajiban yang timbul dari suatu kegiatan ekonomi. Kelancaran
sistem pembayaran ini diperlukan untuk mendukung pertimbangan
kebijakan pemerintah baik secara makro (moneter) dan kebijakan para
pengusaha mikro di masa depan. Berdasarkan alat yang digunakan dalam
sistem pembayaran, secara garis besar alat pembayaran dibagi menjadi
dua, yakni:
(1) Alat Pembayaran Tunai adalah pembayaran yang menggunakan
uang kartal/uang tunai yang meliputi Uang Kertas (UK) dan Uang
Logam (UL) (Firmansyah and Purwanta 2014). Saat ini, kehadiran
uang kartal yang berbentuk uang kertas dan uang logam masih
diperlukan, utamanya pada transaksi bernilai kecil di kehidupan
sehari-hari.
(2) Alat Pembayaran Nontunai adalah pembayaran yang menggunakan
berbagai media atau instrumen selain uang tunai, seperti kartu kredit,
ATM, kartu debet, dan uang elektronik (Firmansyah dan Purwanta
2014). Alat pembayaran nontunai dibagi menjadi dua berdasarkan
bentuknya, yakni paper based, seperti cek, bilyet giro, dan nota
debet dan electronic based seperti kartu ATM, kartu debet, kartu
kredit, dan uang elektronik. Menurut PBI nomor 11/12/PBI/2009,
uang elektronik diterbitkan atas dasar nilai uang yang disetor terlebih
dahulu oleh pemegang kepada penerbit yang disimpan secara
elektronik dalam media seperti server atau chip.
18
2. Kajian Teori
Teori Masyarakat Konsumeris Jean P. Baudrillard
Konsumsi masa kini diartikan dengan individu-individu yang
memaksimalkan kepuasan mereka melalui pembelian. Menurut Jean P.
Baudrillard, salah seorang tokoh postmodernisme dari Perancis
mengatakan dalam buku mutakhirnya yang populer, The Consumer
Society (yang sudah diterjemahkan menjadi Masyarakat Konsumeris)
bahwa
Masyarakat dewasa ini sudah menggeser nilai suatu objek yang
dibelinya. Dari yang awalnya suatu objek tersebut memang sesuai
dengan kebutuhannya, sampai sekarang orang sudah tidak lagi
memikirkan nilai tukar dan nilai guna objek tersebut pada dirinya akan
tetapi lebih ke penanda kelas sosial bagi si individu yang membelinya.
Status dan kedudukan seseorang di dalam suatu masyarakat sangat
ditentukan oleh barang yang ia beli dan ia gunakan. (Baudrillard 1998)
Lebih dari itu, Baudrillard juga menganalisis bahwa objek
konsumsi sebagai sesuatu ‘yang diorganisir oleh tatanan produksi’
maknanya adalah kebutuhan dan konsumsi adalah sesuatu yang sudah
direncanakan dari produktif yang aktif. Klaim Baudrillard adalah objek
menjadi tanda (sign) dan nilainya ditentukan oleh sebuah kode.
Baudrillard (dalam Poster, 1988:46) mengatakan kegiatan konsumsi
adalah kegiatan komunikasi, maknanya adalah saat kita mengonsumsi
sesuatu berarti kita mengomunikasikan ke orang sekitar lewat perbedaan
tanda/objek. Konsumerisme melalui pengonsumsian barang dan jasa saat
ini telah menjadi ‘atribut masyarakat’ (Bauman, 2007:28), bukan lagi
hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan dan keberlangsungan hidup.
19
Menurut Baudrillard, saat konsumen membeli barang itu bukan untuk
mengekspresikan perasaan tentang jati dirinya, akan tetapi konsumen
menciptakan perasaan tentang jati dirinya berdasarkan apa yang mereka
beli (Bocock, 1993:67). Ritzer (2003), kita tidak membeli apa yang kita
butuhkan, akan tetapi membeli apa yang kode sampaikan kepada kita
tentang apa yang seharusnya dibeli (Umanailo, 2018).
Bukan berarti menafikan adanya kebutuhan serta keinginan,
namun Baudrillard ingin menekankan bahwa konsumsi juga ditentukan
dari seperangkat hasrat untuk mendapatkan status, penghormatan, prestise,
serta konstruksi identitas baru melalui ‘mekanisme penandaan’ (Bakti,
Nirzalin, and Alwi, 2019). Sistem sign value dan symbol value menjadi
dasar mekanisme sistem konsumsi saat ini terjadi (Baudrillard, 1998). Sign
value dan symbol value adalah pergeseran nilai yang dirasakan Baudrilla rd
dalam mengkritik konsep Karl Marx mengenai tujuan berkonsumsi karena
ada use value dan exchange value. Singkatnya, konsumsi simbolis lebih
mendapatkan perhatian dan penekanan daripada konsumsi atas kegunaan
serta fungsional suatu barang.
Baudrillard melihat bahwa masyarakat kontemporer di masa kini
telah menjadikan konsumsi sebagai motor utama (penggerak) hidupnya
(Bakti et al. 2019). Hal itu dibuktikan dengan kaitan erat yang terjadi
antara masyarakat konsumerisme dengan teknologi.
Teknologi menurut Baudrillard berperan penting, khususnya
manusia sebagai agen yang menyebar imaji-imaji kepada khalayak luas.
20
Keputusan setiap orang untuk membeli atau tidak, benar-benar
dipengaruhi oleh kekuatan imaji tersebut (Umanailo, 2018). Masyarakat
yang secara pasif mengonsumsi imaji- imaji yang tersalurkan melalui iklan
mulai menjadi ‘korban penipuan tanpa akal’ karena bagi masyarakat
konsumeris, iklan adalah teladan yang harus mereka ikuti, sehingga
masyarakat mulai menjauh dari definisi mahluk aktif dan kreatif (Paterson,
2006:26). Baudrillard melihat lebih jauh bahwa konsumsi saat ini telah
menjadi proses aktif bagi konsumen untuk melibatkan konstruksi simbolik
rasa identitas kolektif dan individu (Bakti et al., 2019).
G. Metode Penelitian
1. Pendekatan
Penelitian yang dilakukan oleh penulis menggunakan pendekatan
kualitatif, yakni menekankan pada pencarian data secara detail dari suatu
permasalahan di dalam kehidupan sehari-hari. Penelitian kualitatif adalah
penelitian yang berusaha membangun sebuah realitas sosial, di mana
peneliti terlibat dan memfokuskan diri untuk melihat interaksi maupun
proses yang terjadi pada fenomena maupun objek yang diteliti. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk membuat deskriptif, gambaran atau lukisan
secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta
hubungan antar fenomena yang dimiliki (Moleong, 2008).
21
Penulis menggunakan metode pendekatan ini karena
membutuhkan informasi yang mendalam serta akan mendeskripsikan
bagaimana perubahan pola konsumsi pemuda di Jakarta Selatan dalam
penggunaan dompet digital (e-wallet). Penulis juga berusaha untuk
memahami permasalahan yang sedang diteliti dan kemudian
menganalisanya dengan konsep atau teori yang relevan dengan penelit ian
ini. Selain itu penulis akan melihatnya melalui aspek sosiologi, ekonomi
dan sosial budaya. Lalu dalam subjek penelitiannya, penulis akan
melakukan wawancara mendalam kepada masyarakat yang terlibat dalam
penelitian penulis.
2. Subjek Penelitian
Subjek penelitian menurut (Suharsimi Arikunto, 2016:26) adalah
batasan subjek penelitian sebagai benda, hal, atau orang tempat data untuk
variabel penelitian melekat, dan yang dipermasalahkan. Secara sederhana,
subjek penelitian adalah individu atau kelompok yang dijadikan unit kasus
untuk diteliti. Pada penelitian kualitatif, responden atau subjek penelit ian
disebut dengan istilah informan, yaitu orang yang memberi informas i
tentang data yang diinginkan peneliti berkaitan dengan penelitian yang
sedang dilaksanakan. Pada penelitian ini, informan yang didapat penelit i
menggunakan metode purposive sampling. Menurut (Sugiyono, 2016:85),
purposive sampling adalah teknik pengambilan sampel sumber data
22
dengan pertimbangan tertentu. Pertimbangan atau kriteria tertentu harus
dipenuhi oleh informan dalam penelitian ini
Subjek dalam penelitian ini ada sebanyak 10 informan pemuda
perkotaan yang terbagi menjadi lima karyawan dan lima mahasiswa.
Pemilihan mahasiswa dan karyawan ini didasarkan pada tahapan melek
teknologi dan internet serta kepemilikan pemasukan yang aman tiap
bulannya. Meski mahasiswa belum memiliki penghasilan sendiri, namun
mereka dianggap sudah dewasa dan mandiri sehingga bisa menentukan
jenis konsumsinya sendiri. Untuk lebih jelasnya, berikut kriteria informan:
a. Mahasiswa/Karyawan yang berkuliah atau bekerja di Jakarta
Selatan;
b. Milenial yang lahir dari 1982-2004;
c. Memiliki minimal salah satu dari e-wallet (OVO, GoPay, Dana);
d. Aktif menggunakan transaksi pembayaran dengan e-wallet minimal
seminggu sekali;
e. Sudah menjadi pengguna aktif e-wallet lebih dari satu tahun
lamanya.
23
Tabel I.G.2.Profil Informan Penelitian
a. Informan Z (Mahasiswa)
Z adalah mahasiswa tingkat Strata 1 (S1) di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta jurusan Psikologi yang berusia 21 tahun. Z saat ini menduduk i
semester akhir, yakni semester 8. Z adalah mahasiswi yang mengekos di
kosan dekat kampus karena rumahnya yang jauh. Z adalah mahasiswi
aktif yang banyak mengikuti kegiatan di dalam dan di luar kampus. Di
dalam kampus, Z aktif dari semester satu hingga semester akhir di UKM
No. Inisial Nama Kategori Usia Kecamatan Tempat
Beraktifitas Informan
1. Z Mahasiswa 21 Cilandak, Jakarta Selatan
2. Ang Mahasiswa 21 Setiabudi, Jakarta Selatan
3. N Mahasiswa 24 Pasar Minggu, Jakarta
Selatan
4. F Mahasiswa 24 Mampang Prapatan,
Jakarta Selatan
5. I Mahasiswa 21 Setiabudi, Jakarta Selatan
6. Ad Karyawan 27 Mampang Prapatan,
Jakarta Selatan
7. W Karyawan 29 Pasar Minggu, Jakarta
Selatan
8. G Karyawan 23 Mampang Prapatan,
Jakarta Selatan
9. V Karyawan 25 Kebayoran Baru, Jakarta
Selatan
10. S Karyawan 25 Mampang Prapatan,
Jakarta Selatan
24
Bahasa Flat. Di luar kampus, Z aktif di berbagai kegiatan komunitas dan
juga bekerja serta magang di perusahaan yang berlokasi di Jakarta
Selatan. Bisa dikatakan hidup Z banyak dihabiskan di kota Jakarta
Selatan, karena lokasi yang berdekatan antara kota Jakarta Selatan
dengan lokasi kosan serta kampusnya di Ciputat. Sebagai anak kos, Z
aktif menggunakan e-wallet untuk memesan makanan secara online
sehari 2x, lalu menggunakan transportasi online untuk bepergian,
membayar tagihan token listrik, membeli pulsa dan paket data, sesekali
membayar subscription (langganan), berbelanja skincare di Sociolla
yang tergabung dengan Gopay dan OVO dan berbelanja di Tokopedia
menggunakan OVO. Dalam sebulan, Z bisa menghabiskan Rp. 500.000-
800.000,- untuk konsumsi menggunakan e-wallet. Z memiliki GoPay dan
OVO sebagai dompet digitalnya.
b. Informan Ang (Mahasiswa)
Ang adalah mahasiswa tingkat akhir di Universitas Negeri Jakarta
(UNJ) jurusan Psikologi tingkat Strata 1 (S1) yang berusia 21 tahun.
Lokasi fakultas Psikologi UNJ berada di Jalan Halimun, Jakarta Selatan,
sering juga disebut sebagai Kampus D. Ang tergabung dengan organisas i
BPM (Badan Pengawas Mahasiswa) dan menjadi Sekretaris Jenderal di
BPM Fakultas Psikologi UNJ.
Konsumsi Ang menggunakan e-wallet bisa menghabiskan Rp.
700.000-800.000,-. Konsumsi terbesarnya ada pada belanja skincare dan
kebutuhan hewan-hewan peliharaannya, lalu membayar tagihan seperti
25
token listrik dan PAM dan membeli barang-barang lucu yang muncul di
halaman Tokopedia dan Shopee. Menurut Ang konsumsi terbesarnya ada
pada skincare karena menurutnya itu adalah salah satu kebutuhan hidup
yang harga berapapun tak jadi masalah baginya, karena dia
membutuhkan itu. Platform marketplace online terbesarnya ada pada
Tokopedia dan Shopee dan aktif menggunakan OVO, GoPay dan Dana.
c. Informan N (Mahasiswa)
N adalah mahasiswa Strata tingkat dua (S2) di Universitas Indonesia
jurusan Psikologi. N tinggal di kosan di Jakarta Selatan bersama adik
perempuannya karena mereka adalah mahasiswa rantau dari Makassar.
N aktif bekerja dan berkegiatan di seputar isu kesehatan mental. Sebagai
lulusan sarjana Psikologi di universitas yang sama, N banyak
mengembangkan dirinya di isu kesehatan mental yang juga bagian
darinya mencari uang. Namun, ia tak hanya sibuk bekerja dan kuliah, di
sela waktunya ia masih aktif ikut komunitas anak muda di bidang
kesehatan mental yang bernama Bounce Back. Selama satu periode, dia
pernah menjabat sebagai wakil ketua.
Sebagai mahasiswa rantau, ia kerap kali menggunakan e-wallet
untuk pembayaran kebutuhan hidupnya seperti membayar transportasi
online, memesan makanan online, membeli belanja online, serta
berbelanja kebutuhan sayur, buah, alat mandi dan lain sebagainya di
supermarket. Dalam sebulan, N bisa menghabiskan Rp. 300.000-
26
500.000,- untuk penggunaan konsumsi dengan e-wallet. E-wallet
favoritnya adalah OVO dan GoPay.
d. Informan F (Mahasiswa)
F adalah mahasiswa Psikologi Strata tingkat dua (S2) di Univers itas
Indonesia. Lulus sarjana dari universitas yang sama membuat F aktif
bekerja sebagai seorang konsultan di perusahaan di Jakarta Selatan.
Rumahnya yang juga berlokasi di Jakarta Selatan membuatnya aktif
berkegiatan sosial dan bekerja di Jakarta Selatan. Hobi F adalah
membaca manga, menonton anime Jepang, serta bermain game di laptop
dan di HP. F juga senang menggambar yang membawanya menjadi
bagian dari divisi kreatif di komunitasnya.
F mengaku menggunakan e-wallet untuk memesan transportasi
online, memesan makanan sehari-hari, belanja online di Tokopedia yang
berafiliasi dengan OVO dan belanja skincare di Sociolla yang juga
berafiliasi dengan GoPay, lalu berinvestasi di Bibit yang juga berafilia s i
dengan GoPay. Dalam sebulan, F menghabiskan Rp. 1,5 juta.
e. Informan I (Mahasiswa)
I adalah mahasiswa semester akhir jurusan Sosiologi di Univers ita s
Negeri Jakarta (UNJ). I adalah perempuan yang senang menggunakan e-
wallet, utamanya karena ada banyak promo makanan dan kemudahan
yang ditawarkan aplikasi online, serta fitur yang menarik dalam
penggunaan e-wallet. Dalam sebulan, I memiliki pemasukan sekitar Rp.
1.200.000,- dan mengeluarkan sekitar Rp. 300.000 untuk konsumsinya
27
dengan e-wallet. I senang mengungkapkan pikirannya secara terbuka. I
juga satu-satunya informan yang mengaku tertarik berbelanja dengan e-
wallet karena iklan dari star ambassador.
f. Informan Ad (Karyawan)
Ad adalah lulusan Teknik Informatika di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta yang saat ini sedang bekerja di perusahaan di Bukalapak yang
berlokasi di Jakarta Selatan. Usianya tahun ini menginjak 27 tahun.
Meski sudah berstatus karyawan di perusahaan besar, Ad tetap rajin
mengikuti komunitas. Salah satu komunitasnya adalah komunitas
persahabatan antara negara-negara Asia Tenggara dan Jepang yang
bernama Sing Out Asia.
Pengeluaran Ad untuk berkonsumsi menggunakan e-wallet berkisar
dari 2-5 juta rupiah per bulan. Konsumsi utamanya adalah untuk
memesan makanan online, membeli pulsa serta belanja barang online
seperti gawai, sepatu dan spare part sepeda lipat. Ad mengaku dirinya
adalah pembeli yang terbilang impulsif dan konsumtif. Di masa lalu ia
sering menggunakan fitur pay later di e-wallet dan kartu kredit sebagai
alat pembayaran, hingga akhirnya cukup terkejut dengan tagihan
pembayaran di akhir bulan. Maka itu dia mulai menggunakan e-wallet
untuk pembelian yang menguntungkan dan bermanfaat baginya di masa
depan, seperti spare part sepeda yang dia beli dalam jumlah banyak
sebagai modal usaha bengkel sepeda kecil-kecilannya. Ad mengaku
cukup aktif menggunakan tiga e-wallet dari OVO, GoPay dan Dana.
28
g. Informan W (Karyawan)
W adalah lulusan Universitas Telkom Bandung yang sekarang
bekerja sebagai seorang akuntan di perusahaan asuransi di Jakarta
Selatan, yakni Astra. Ia berusia 29 tahun dan sudah menikah dengan istri
yang juga bekerja di sektor keuangan di salah satu badan negara, yakni
OJK (Otoritas Jasa Keuangan) yang juga berlokasi di Jakarta Selatan.
Sebelum menikah, W suka menggunakan tabungannya untuk bertualang
bersama teman-temannya berkeliling Indonesia, mendaki gunung,
lembah hingga berenang di pantai, menjajaki kaki di kota-kota besar
hingga kota dan daerah terpencil adalah hobi yang menyenangkan
baginya. Setelah menikah, ia bersama istri dan mertuanya juga
bertualang ke beberapa negara Eropa setelah menabung cukup lama.
W yang menyukai kemudahan dan keamanan merasa sangat terbantu dan
merasakan manfaat baik yang besar dari konsumsinya yang
menggunakan e-wallet. Dalam sebulan, W bisa menghabiskan sekitar 2
juta rupiah untuk konsumsi e-wallet. Ia aktif menggunakan OVO, GoPay
dan Dana setiap bulannya. Konsumsinya berada pada sektor membeli
makanan secara online, transportasi online, serta pembayaran kebutuhan
rumah seperti pembayaran PAM dan listrik.
h. Informan V (Karyawan)
V adalah mahasiswa lulusan Psikologi di Universitas Indonesia yang
sekarang sedang menjadi karyawan di salah satu perusahaan decacorn di
Indonesia, yakni GO-JEK. Di kesehariannya yang sibuk V cukup aktif
29
mengikuti kegiatan komunitas anak muda bertema kesehatan mental,
yakni Bounce Back. Di komunitas itu, setelah setahun menjadi anggota,
V terpilih menjadi ketua selama 1 periode.
V yang sangat menyukai es kopi hampir tiap hari membeli es kopi
di sela-sela jam kerjanya menggunakan aplikasi pemesan makanan
online. Dia juga sering memesan makan malam secara online untuk
keluarganya karena ibunya sudah cukup letih untuk memasak setiap hari.
Selain es kopi, V juga suka membeli dessert (makanan penutup manis)
di siang hari untuknya dan keluarga. Dalam sebulan, V bisa
menghabiskan 4 juta rupiah untuk konsumsi menggunakan e-wallet.
i. Informan G (Karyawan)
G adalah mahasiswi lulusan Hubungan Internasional di Univers itas
Presiden di Karawang yang saat ini sedang menjadi karyawan magang di
salah satu perusahaan cabang Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) yang
bernama Indonesia Global Compact Network yang berlokasi di Jakarta
Selatan. Sebagai orang rantau yang pergi dari kota aslinya yakni Medan
untuk berkuliah dan bekerja di ibukota, G sekarang tinggal sendiri di
apartemen Bintaro.
Sebagai seorang pemuda rantau, G sering memesan transportasi dan
makanan secara online untuk kebutuhannya. Dalam sebulan, G
menghabiskan 1,2-1,5 juta rupiah untuk kebutuhannya. E-wallet
andalannya adalah OVO.
j. Informan S (Mahasiswa)
30
S adalah mahasiswa Strata Tingkat dua (S2) di Institut Teknologi
Bandung yang bertempat tinggal di Jakarta Selatan. Sebagai seorang
anak dari pedagang kue dan hidangan-hidangan Arab, S juga menjadi
mahir memasak.
Sebagai mahasiswa jurusan Teknik Informatika, S lebih memilih
OVO untuk konsumsi e-walletnya dibanding GoPay karena UI/UX yang
bagus dan simple ungkapnya. Meski dia juga memiliki GoPay. Dalam
sebulan, S bisa menghabiskan sekitar Rp. 750.000,- dalam sebulan yang
utamanya untuk konsumsi transportasi online, makanan online dan
membeli pulsa dan paket data.
3. Teknik Pengumpulan Data
Penelitian kualitatif menggunakan beberapa teknik pengumpulan data
yang biasanya dilakukan pada natural setting (kondisi yang alamiah), di
antaranya adalah;
a. Wawancara
Wawancara merupakan teknik pengumpulan data dengan
menanyakan langsung dan mendapatkan informasi langsung dari
informannya. Wawancara bertujuan mencatat opini, perasaan,
emosi, dan hal lain yang berkaitan dengan diri informan (Iryana and
Kawasati, 2018). Dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik
wawancara tidak terstruktur secara terbuka. Wawancara ini
dilakukan untuk memberikan kondisi informal dan santai serta
31
kebebasan bagi informan untuk mengutarakan isi pikirannya tanpa
terikat peneliti (Nasution, 1988). Pedoman wawancara tetap dibuat,
namun, susunan pertanyaan penelitian tidak kaku mengikuti
pedoman. Hal ini dibuat untuk peneliti mudah mengembangkan
pertanyaan selagi di lapangan. Wawancara ini dilakukan oleh
peneliti dengan 10 informan yang berasal dari pemuda di Kota
Jakarta Selatan menggunakan alat komunikasi.
Tabel I.G.1.Waktu Wawancara
b. Dokumentasi
Dokumentasi dalam penelitian berguna untuk melengkapi dan
menjadi penunjang data lapangan. Dokumentasi yang digunakan
dalam penelitian ini berupa screenshot bukti telepon, rekaman, serta
No. Inisial Nama Hari/Tanggal
1. G Selasa, 02 Juni 2020
2. Ang Rabu, 03 Juni 2020
3. N Rabu, 03 Juni 2020
4. Z Rabu, 03 Juni 2020
5. I Rabu, 03 Juni 2020
6. Ad Rabu, 03 Juni 2020
7. W Rabu, 03 Juni 2020
8. F Kamis, 04 Juni 2020
9. S Jum’at, 05 Juni 2020
10. V Minggu, 14 Juni 2020
32
wawancara yang dilakukan dengan aplikasi whatsapp. Dokumentas i
ini dibutuhkan sebagai keabsahan penelitian.
c. Studi Pustaka
Studi pustaka dalam penelitian ini menjadi data sekunder
untuk membantu proses penelitian dan melengkapi informasi dari
data primer (wawancara dan dokumentasi). Hal ini berupa buku,
jurnal, karya ilmiah, skripsi, dan artikel ilmiah yang relevan dengan
tema penelitian ini.
4. Lokasi dan Waktu Penelitian
Dalam penelitian kualitatif tidak dikenal istilah populasi dan
sampel. Istilah yang digunakan adalah setting atau tempat penelit ian
(Arikunto, 2006:13). Penelitian dilakukan di kota Jakarta Selatan. Waktu
yang dibutuhkan peneliti untuk mengumpulkan data melalui teknik studi
pustaka, wawancara hingga dokumentasi dilakukan dari akhir bulan April
sampai dengan Agustus 2020.
5. Proses Penelitian
a. Tahap Pertama
Munculnya tema pola konsumsi pemuda perkotaan pada
penggunaan e-wallet sebenarnya berasal dari motivasi diri penulis
disertai dengan obrolan santai penulis dengan teman-teman sebaya.
33
Pada saat penulis sedang melakukan magang di Indonesia Global
Compact Network (IGCN), penulis bertemu dengan kolega sesama
magang yang mengaku mengalami perubahan pola konsumsi. Hal
ini membuat penulis merasa cocok dengan menjadikannya sebagai
informan, meski tetap memperhatikan kriteria informan yang sudah
penulis buat sebelumnya. Mengingat pemberlakuan Pembatasan
Sosial Skala Berskala Besar (PSBB) sudah dilakukan pada bulan
Juni 2020, penulis melakukan wawancara secara daring ke semua
informan yang ada.
b. Tahap Kedua
Penulis cukup aktif di beberapa komunitas sosial dan
organisasi, sehingga memungkinkan bagi penulis untuk
memanfaatkan jaringan (network) yang penulis sudah miliki untuk
mendapatkan informan. Total ada empat informan yang penulis
dapat dari komunitas sosial dan organisasi yang penulis ikuti.
c. Tahap Ketiga
Penulis menceritakan ke beberapa teman penulis sesama
mahasiswa dan meminta mereka untuk merekomendasikan teman
mereka yang memenuhi kriteria untuk penulis jadikan informan,
akhirnya penulis mendapatkan dua informan dari rekomendasi
teman ini.
d. Tahapan Keempat
34
Di tahapan terakhir ini, penulis mencoba menceritakan
kepada keluarga dan bertanya di grup whatsapp keluarga sesama
sepupu terkait kriteria yang penulis butuhkan, setelah
mempertimbangkan beberapa sepupu dengan kriteria penelit ian,
penulis memilih dua sepupu untuk menjadi informan.
6. Analisis Data
Data mentah yang sudah terkumpul dengan teknik pengumpulan
data wawancara dan dokumentasi, selanjutnya penulis olah dan analisis.
Data mentah tersebut akan diklasifikasikan – dikategorikan, melalui
penyandian (coding) sesuai dengan pertanyaan dan tujuan penelitian.
Selanjutnya, data tersebut dilaporkan dalam bentuk karya ilmiah.
Pada urutannya, teknik analisis data pada penelitian ini menggunakan:
• Penyandian terbuka (coding) merupakan pengklasifikasian data mentah
hasil wawancara. Dari sini muncul 15 kategori.
• Penyajian data (data display) adalah deskripsi informasi yang
diklasifikasikan terkait perubahan pola konsumsi yang terjadi pada
transaksi e-wallet di pemuda di Jakarta Selatan.
• Penarikan simpulan merupakan penyajian kesimpulan keseluruhan data
yang didapakan selama penelitian berlangsung.
35
7. Keterbatasan penelitian
Pandemi virus corona atau biasa disebut COVID-19 yang sudah
menyebar ke berbagai tempat menjadikan adanya keterbatasan yang
dirasakan langsung oleh penulis. Penulis harus melakukan wawancara
dengan semua informan menggunakan wawancara daring baik itu melalui
telepon, chatting di whatsapp, hingga pengisian pertanyaan wawancara di
google docs. Kerja dari rumah yang dialami oleh informan karyawan
membuat mereka tidak memiliki waktu yang dirasa cocok dan tepat untuk
melakukan wawancara melalui telepon dengan penulis, sehingga mereka
memilih untuk menuliskan jawabannya. Jika dirasa penulis ada yang
kurang, penulis akan bertanya kembali menggunakan aplikasi whatsapp.
H. Sistematika Penulisan Skripsi
Untuk memperoleh gambaran dan memudahkan pembahasan, maka
dalam skripsi ini dikelompokkan dalam empat bab dengan sistematika
sebagai berikut :
BAB I Pendahuluan, pada bab ini berisi Latar Belakang, Pertanyaan
Penelitian, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Tinjauan Pustaka,
Kerangka Konsep yang berisi tentang beberapa konsep yang digunakan
dalam penelitian, Metodologi Penelitian, dan Sistematika Penulisan Skripsi.
BAB II Gambaran Kota Jakarta Selatan dan Profil E-wallet,
menguraikan tentang Letak Geografis, Demografis, Ketenagakerjaan,
36
Kondisi Sosial dan Kesejahteraan, serta Pendidikan kota Jakarta Selatan. Lalu
profil e-wallet, diakhiri dengan kaitan e-wallet dengan Masyarakat Perkotaan.
BAB III Temuan dan Analisa, bab ini berisi hasil yang telah
diperoleh penulis setelah melakukan penelitian di kota Jakarta Selatan. Pada
bab ini akan dibagi menjadi tujuh sub-bab besar yakni Makna Konsumsi Dan
Konsumerisme, Citra Yang Muncul Saat Berkonsumsi, Pergeseran Logika
Dasar Konsumsi, Masyarakat Konsumeris Dengan Gaya Hidup Di Era
Penggunaan E-Wallet, Keterkaitan Status Sosial Dengan Daya Konsumsi,
Media Iklan Sebagai Daya Penarik Masyarakat Konsumeris, Dan Perubahan
Sebelum Dan Sesudah Penggunaan E-Wallet.
BAB IV PENUTUP, bab ini berisi kesimpulan mengenai hasil
penelitian yang telah dilakukan, serta saran yang diberikan oleh penulis untuk
berbagai pihak.
37
BAB II
STRUKTUR SOSIAL KOTA JAKARTA SELATAN DAN
PROFIL DOMPET DIGITAL (E-WALLET)
A. Profil Kota Administrasi Jakarta Selatan
1. Letak Geografis
Jakarta Selatan adalah salah satu wilayah administratif ibukota
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang dipimpin oleh seorang
walikota. Terdiri dari 10 kecamatan, yaitu kecamatan Setia Budi, Tebet,
Mampang Prapatan, Kebayoran Baru, Kebayoran Lama, Cilandak, Pasar
Minggu, Pesanggrahan, Pancoran, dan Jagakarsa. Jakarta Selatan dibentuk
berdasarkan SK Gubernur DKI Jakarta No. Id.3/I/I/66 tanggal 12 Agustus
1966. Keputusan tersebut mulai berlaku sejak tanggal 1 September 1966.
Wilayah Jakarta Selatan secara geografis terletak pada 060 15’ 40.8’’ LS
dan 1060 45’ 00.0’’ BT. Kota Jakarta Selatan berbatasan langsung dengan
kota administratif DKI Jakarta lainnya seperti Jakarta Barat, Jakarta Pusat,
Jakarta Timur, kota Tangerang Selatan (Provinsi Banten) serta Kota
Depok (Provinsi Jawa Barat).
38
Gambar II.A.1.Peta Kota Jakarta Selatan
Sumber: www.jakarta.go.id
Batas-batas wilayahnya:
- Sebelah utara meliputi, Kali Grogol-Tembusan Jl. Hang Lekir 1-Jl.
Sudirman-Banjir Kanal;
- Sebelah timur adalah Kali Ciliwung;
- Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Bogor;
- Sebelah barat adalah Kabupaten Tangerang.
Berdasarkan Peta Tematik Kota Jakarta Selatan Tahun 2020 yang
dikutip dari publikasi BPS Jakarta Selatan, Jakarta Selatan mempunya i
luas 141,37 km2 meliputi 21,95% dari total luas wilayah DKI Jakarta.
Kota Jakarta Selatan sebagaimana kota dan daerah lainnya di Indonesia
yang memiliki dua musim, yakni musim panas dan musim hujan, memilik i
sinar matahari yang selalu tersedia sepanjang hari. Sinar matahari yang
39
tersedia sepanjang hari ini menjadikan penduduk kota Jakarta Selatan bisa
beraktivitas dengan baik pada tiap harinya. Untuk iklim, kota Jakarta
Selatan umumnya beriklim panas dengan rata-rata suhu udara 29,8°C dan
curah hujan sepanjang tahun 1635 mm2 (Sumber: BMKG).
Cuaca yang baik sepanjang tahun itu juga diikuti dengan keseharian
pekerjaan penduduk yang berkisar pada usaha sektor perdagangan. Sektor
perdagangan ini ada pada banyaknya jumlah pertokoan, pasar, minimarke t,
serta warung kelontong. Daerah yang memiliki banyak pertokoan adalah
kecamatan Setiabudi, daerah yang memiliki banyak pasar ada pada
kecamatan Kebayoran lama, daerah yang memiliki banyak
minimarket/swalayan dimiliki oleh hampir semua kecamatan, kecuali
kecamatan Setiabudi, Mampang Prapatan, dan Pasar Minggu, serta daerah
yang memiliki banyak warung kelontong ada pada kecamatan Pasar
Minggu dan Pesanggrahan (Sumber: BPS, 2020). Sektor perdagangan
yang menjadi primadona mata pencaharian mayoritas penduduk Jakarta
Selatan ini menunjukkan bahwa penduduk Jakarta Selatan adalah
penduduk yang aktif dalam berproduksi serta berkonsumsi. Hal ini bisa
terjadi karena orang-orang yang banyak bekerja di area perdagangan
mayoritas juga akan mengonsumsi barang dagangan orang (pedagang) di
sebelahnya.
40
2. Demografi
Menurut BPS Kota Jakarta Selatan pada 2019, terdapat 2.264.000
penduduk di Jakarta Selatan dengan pembagian jumlah penduduk laki-lak i
1.130.000 dan perempuan sebanyak 1.131.523 penduduk. Penduduk
adalah mereka yang sudah menetap di suatu wilayah minimal selama 6
bulan atau kurang dari 6 bulan tetapi berniat untuk menetap. Secara Rasio
Jenis Kelamin (Sex Ratio), sex ratio di Jakarta Selatan sebanyak 99,87%
artinya terdapat 99-100 penduduk laki-laki per 100 penduduk perempuan.
Dengan kata lain, jumlah penduduk perempuan lebih banyak dibandingkan
jumlah penduduk laki-laki. Hal ini dilihat dari penerbitan akta kelahiran
bayi dan akta kematian masyarakat kota Jakarta Selatan yang dilansir Unit
Pengelola Statistik Dinas Komunikasi, Informatika dan Statistik Kota DKI
Jakarta. Pada perhitungan bulan Januari-Juni 2019, penerbitan akta
kelahiran bayi laki-laki di Jakarta Selatan mencapai 10.345, bayi
perempuan mencapai 10.190 buah. Pada jumlah penerbitan akta kematian,
penduduk laki-laki mencapai 3.353, sedang perempuan hanya mencapai
2.481. Sex ratio adalah perbandingan antara jumlah penduduk laki-laki dan
perempuan di suatu wilayah pada suatu waktu tertentu.
Gambar II.A.2.Ringkasan Profil Kota Jakarta Selatan
41
Sumber: BPS: Statistik Daerah Kota Administrasi Jakarta Selatan 2020
Jumlah penduduk saat ini terus bertambah tiap tahunnya (lihat
gambar di atas). Dapat dikatakan secara rata-rata bertambah 53 orang per
hari. Berdasarkan data dari BPS pada publikasi berjudul Peta Tematik
Kota Jakarta Selatan 2020 halaman 32, tiga kecamatan dengan penduduk
terbanyak adalah Kecamatan Jagakarsa (401.730 jiwa), Pasar Minggu
(309.032 jiwa) dan Kebayoran Lama (202.633 jiwa). Hampir 50%
penduduk Jakarta Selatan berdomisili di tiga kecamatan tersebut.
Penduduk paling sedikit ada di Kecamatan Setiabudi (142.288 jiwa), hal
ini dikarenakan, kecamatan Setiabudi menjadi kecamatan dengan
pertokoan paling banyak, yakni sejumlah 194.
Persentase pertumbuhan penduduk adalah angka yang menunjukan
tingkat pertambahan penduduk per tahun di suatu wilayah. Pada tahun
2019, tingkat pertumbuhan penduduk Jakarta Selatan mencapai 0,83%
dengan kelompok umur 15-64 tahun menjadi golongan dengan
42
pertumbuhan tertinggi yakni 70,97%. Melihat angka pertumbuhan
penduduk pada generasi muda dan generasi dewasa yang sedang di masa
produktif umurnya untuk mencari pendapatan sangatlah cocok dengan
penelitian penulis. Pemuda sebagai generasi yang akan selalu ada di setiap
zaman memiliki peran yang besar untuk sebuah bangsa bisa menjadi
bangsa yang berdaulat dari sisi konsumsi serta produksinya. Angka
pertumbuhan yang dikelola dan diawasi dengan baik, tentunya akan
memberikan banyak manfaat. Pada jumlah banyaknya generasi pemuda
kali ini, diharapkan bisa memberikan dampak baik dari sisi ekonomi
hingga lingkup sosial lainnya.
Pada penduduk umur 0-14 tahun memiliki laju pertumbuhan
24,37% dan kelompok umur 65 tahun ke atas memiliki laju pertumbuhan
4,85%. Hal ini menjadikan penduduk angkatan kerja di Jakarta Selatan
adalah dominan. Dominannya jumlah penduduk angkatan kerja di suatu
wilayah adalah hal yang baik dan menguntungkan, karena bisa menjadi
penopang ekonomi atau punggung keluarga bagi lingkup sosial terkecil
masyarakat, yaitu keluarga.
Pada gambar II.A.2. tertulis kota Jakarta Selatan mengalami
peningkatan kepadatan penduduk tiap tahunnya. Pada tahun 2010: 14.665
jiwa/km2, pada tahun 2017: 15.763 jiwa/km2, hingga di tahun 2019:
16.031 jiwa/km2. Kepadatan penduduk adalah perbandingan banyaknya
jumlah penduduk dengan luas daerah dalam satuan luas tertentu dalam hal
ini kilometer persegi. Adanya peningkatan kepadatan penduduk ini adalah
43
hal yang sangat wajar mengingat angka kelahiran dan juga angka
perpindahan penduduk dari desa ke kota masih di angka yang cukup tinggi.
Terlebih kota Jakarta Selatan sebagai salah satu kota penopang dan
penunjang ekonomi ibukota negara.
3. Ketenagakerjaan
Angkatan kerja adalah penduduk usia kerja yang bekerja, punya
pekerjaan namun sementara tidak bekerja, maupun yang sedang aktif
mencari pekerjaan. Dari total jumlah penduduk 2,26 juta jiwa di Jakarta
Selatan (2019) sebanyak 1,01 juta jiwa di antaranya merupakan angkatan
kerja dengan rincian 93,16% bekerja dan sisanya 74.898 penduduk dengan
persentase 6,84% adalah pengangguran terbuka. Angka 93,16% ini adalah
angka yang sangat besar, mengingat dari total angkatan pekerja yang ada,
yang aktif menjadi pekerja dan menghasilkan pendapatan adalah angka
tersebut. Menjadi masyarakat yang produktif dari sisi mampu
menghasilkan pendapatan dan mampu menghidupi ekonomi keluarganya
sendiri adalah cita-cita bangsa dan juga tiap individu. Bahkan dilihat dari
sisi jumlah penduduk produktif (15-64 tahun) di Jakarta Selatan ada
sebesar 70,92% yang bekerja di lintas sektor pekerjaan, mayoritas ada di
sektor usaha perdagangan, rumah makan dan jasa akomodasi (35,5%).
Selebihnya ada lapangan usaha jasa kemasyarakatan, sosial dan
perorangan (27,32%), lapangan usaha keuangan, real estat dan jasa
perusahaan (13,81%) dan sektor pertanian yang hanya 0,15%.
44
Gambar Grafik II.A.3.Tingkat Pengangguran Terbuka DKI Jakarta 2019
Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) menunjukan banyaknya
angkatan kerja yang tidak terserap pada pasar kerja. Pada gambar di atas
TPT di Jakarta Selatan pada tahun 2019 sebesar 6,84%. Capaian TPT
Jakarta Selatan termasuk urutan ketiga terkecil, di atas Jakarta Barat
(5,00%) dan Kepulauan Seribu (5,33%). Sedang Jakarta Pusat sebesar
6,64%, Jakarta Timur 6,67%, dan Jakarta Utara 7,01%. Angka TPT
sebesar 6,31% artinya dari 100 penduduk usia 15 tahun ke atas ada
sebanyak 6-7 orang yang pengangguran. Pengangguran memang benar-
benar tidak mungkin tidak ada dalam suatu wilayah. Namun, Jakarta
Selatan mampu terbukti menjadi daerah dengan angka pengangguran
terbuka ketiga terkecil, sehingga hal ini sangatlah mendukung penelit ian
penulis yang melihat pola konsumsi masyarakat pada penggunaan e-
wallet.
0
1
2
3
4
5
6
7
8
Jakarta Barat KepualuanSeribu
JakartaSelatan
Jakarta Pusat Jakarta Timur Jakarta Utara
Tingkat Pengagguran Terbuka DKI Jakarta 2019
45
Dilihat dari tingkat kemiskinan di Jakarta Selatan pun terus
mengalami angka degradasi yang cukup baik. Pada tahun 2017 persentase
penduduk miskin adalah 3,27%. Pada tahun 2018 menjadi 3,14%. Hingga
pada 2019, hanya menjadi 2,73%. Penduduk miskin adalah penduduk yang
memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis
Kemiskinan (Rp. 680.167/bulan). Garis Kemiskinan Non-Makanan
(GKNM) merupakan kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang,
Pendidikan, kesehatan dan kebutuhan dasar lainnya. Angka kemiskinan
pada tahun 2019 yang berada di angka 2,73% adalah pencapaian yang
baik, meskipun hal ini terbilang wajar mengingat kota Jakarta Selatan
adalah bagian dari pusat pergerakan ekonomi Indonesia. Angka
kemiskinan yang kecil ini membuat penulis sekali lagi merasa cocok
menjadikan kota Jakarta Selatan sebagai tempat penelitian.
4. Kondisi Sosial dan Kesejahteraan
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) adalah salah satu faktor
penting dalam melihat perkembangan pembangunan suatu masyarakat.
IPM menjelaskan bagaimana penduduk memperoleh pendapatan,
kesehatan, pendidikan dan sebagainya (Pardosi dalam Dinnata, 2018 yang
dikutip oleh BPS Jakarta Selatan: Statistik Kesejahteraan Rakyat Kota
Adm. Jakarta Selatan 2019, hlm. 66).
Gambar II.A.4.Capaian IPM DKI Jakarta 2014-2018
46
Sumber: BPS: Statistik Kesejahteraan Rakyat Kota Administrasi Jakarta Selatan 2019
Pada gambar di atas, kota Jakarta Selatan dan kota Jakarta Timur
secara konsisten dalam 5 tahun, dari tahun 2014-2018 mencapai IPM
sangat tinggi. Sedang kota Jakarta Pusat, Jakarta Barat dan Jakarta Utara
pada 2014-2015 pernah mengalami kategori tinggi. Hal ini sangat berbeda
dengan Kepulauan Seribu yang hanya mencapai kategori sedang dan
tinggi. Hal itu wajar mengingat kondisi geografis Kepulauan Seribu yang
berbeda dengan kota-kota administrasi lainnya. Bahkan pada tahun 2018,
kota Jakarta Selatan menempati urutan ke-dua IPM tertinggi se Indonesia
(84,44), disusul Jakarta Timur urutan ke-10 (82,06) Jakarta Pusat urutan
ke-17 (81,01), kota Jakarta Barat urutan ke-20 (80,88), kota Jakarta Utara
urutan ke-31 (79,87) dan Kepulauan Seribu urutan ke-169 (70,91).
47
Tingginya IPM di Jakarta Selatan ini diharapkan mampu menjadi
masyarakat lebih sejahtera, baik dari sisi ekonomi, Pendidikan, kesehatan,
dan lain sebagainya. Hal ini juga mesti selaras dengan pemerintah sebagai
pengayom dan penjaga masyarakat. IPM yang dibuat standarnya oleh
UNDP (United Nations Development Programme) menggunakan
beberapa indikator:
1) Umur panjang dan hidup sehat (a long and healthy life) yang
diwakili oleh Umur Harapan Hidup saat lahir (UHH); kota Jakarta
Selatan memiliki 73,93 tahun untuk UHH saat lahir.
2) Dimensi pengetahuan (knowledge) yang diwakili oleh Harapan
Lama Sekolah (HLS) dan indikator Rata-Rata Lama Sekolah
(RLS); kota Jakarta Selatan memiliki 11,31 tahun untuk HLS dan
11,57 tahun untuk RLS.
3) Dimensi Standar Hidup Layak (decent standard of living) yang
diwakili oleh indikator pengeluaran per kapita penduduk yang
mencerminkan daya beli masyarakat.
Gambar II.A.5.Pengeluaran Per Kapita Sebulan Penduduk Kota Jakarta Selatan 2018
48
Sumber: BPS: Kota Jakarta Selatan dalam Angka 2020
Kota Jakarta Selatan menduduki posisi kota dengan pengeluaran
per kapita tertinggi se-Indonesia. Sehingga, daya beli penduduk kota
Jakarta Selatan dijadikan sebagai angka daya beli maksimum untuk
penghitungan IPM seluruh Provinsi dan Kabupaten/Kota di Indonesia
(dikutip dari publikasi BPS tahun 2020: Kota Jakarta Selatan dalam Angka
2020). Melihat fakta bahwa tingginya angka pengeluaran kota Jakarta
Selatan dijadikan sebagai angka daya beli maksimum adalah hal yang
sangat menarik untuk dijadikan topik penelitian. Maka dari itu, tidaklah
mengherankan jika penulis menjadikan kota Jakarta Selatan sebagai studi
kasus pada penelitian ini.
Pertumbuhan ekonomi Jakarta Selatan dalam selang waktu 2014-
2018 juga cenderung fluktuatif. Pertumbuhan ekonomi tertinggi terjadi
pada tahun 2017 mencapai 6,30 persen. Namun demikian, jika
49
dibandingkan Provinsi DKI Jakarta, pertumbuhan ekonomi Jakarta Selatan
selama periode 2014-2018 selalu lebih tinggi sehingga menjadikan Jakarta
Selatan sebagai penggerak perekonomian DKI Jakarta. Penggerak
perekonomian suatu wilayah bisa dilihat dari tingginya angka konsumsi
dan juga angka pendapatan tiap masyarakatnya. Semakin besar angka
konsumsi yang dilakukan oleh masyarakat, semakin baik roda
perekonomian terjadi di suatu negara. Jika suatu negara, terlalu hemat atau
terlalu boros, akan menimbulkan masalah yang tidak diinginkan. Maka
dari itu, sebagaimana hukum dalam ilmu ekonomi, bahwa konsumsi
diperlukan.
5. Pendidikan
Pendidikan merupakan esensi utama yang harus bergerak dan
berkembang menuju lebih baik di tiap masanya. Kota Jakarta Selatan
sebagai salah kota administratif ibukota negara banyak disoroti terkait
pendidikannya. Kabar baiknya, di kota Jakarta Selatan, angka melek huruf
pada penduduk laki-laki di Jakarta Selatan mencapai sempurna, yakni
100% dan angka melek huruf pada penduduk perempuan mencapai
99,51%. Hal ini tentunya adalah berita dalam angka yang begitu baik.
Pemerintah dan masyarakat sama-sama harus bersinergi dan bekerja sama
untuk mewujudkan 100% penduduk yang melek huruf dan
melanggengkannya. Tingginya angka melek huruf pada penduduk kota
Jakarta Selatan juga ditunjang dengan partisipasi sekolah yang dimula i
50
dari usia 7-12 tahun yang mencapai 100% artinya semua anak usia tsb
bersekolah sesuai jenjang Pendidikan (Sumber SuSenas 2018).
Gambar II.A.7.Persentase Penduduk Berumur 15 Tahun ke Atas yang Melek Huruf Menurut Kelompok Umur, 2018 dan 2019
Sumber: BPS, Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas)
Pendidikan sebagai salah satu roda penentu masa depan bangsa
memiliki peran besar. Penduduk yang mempunyai pendidikan yang baik,
aman, serta terjangkau bagi setiap orang diharapkan mampu membentuk
masyarakat untuk memiliki daya berpikir kritis, sehingga tidak mudah
terbujuk oleh rangkaian tanda yang dihasilkan iklan dalam proses
konsumsi.
B. Dompet Digital (e-wallet)
1. Sejarah E-wallet di Indonesia
51
Sebagai salah satu negara yang produk financial technology
(fintech) sedang berkembang secara baik, per bulan Mei 2019, Indonesia
sudah memiliki 38 layanan dompet digital yang telah diresmikan oleh OJK
(Otoritas Jasa Keuangan) Indonesia. OJK tidak hanya merestui tapi juga
mendorong bisnis dompet digital ini maju guna meningkatkan
perkembangan ekonomi Indonesia. Tidak hanya pada sektor dompet
digital, berkembangnya toko belanja online yang sering disebut e-
commerce juga meningkat. Kehidupan masyarakat modern telah
digantikan dari berbelanja secara konvensional menuju belanja online, tak
perlu bertatap muka, tak perlu pergi keluar, semua sudah tersedia di gawai,
dari memesan, membayar hingga menunggu paket barang datang.
Pembelian kebutuhan primer hingga sekunder bisa dilakukan secara online
oleh siapa, di mana dan kapan saja. Kemudahan ini sangat jelas terasa dari
memilih barang, membayar, hingga penggunaan aplikasi dompet digita l
dan toko belanja online.
Head of Mobile Business Samsung Indonesia, Bernard Ang
mengatakan bahwa melejitnya pertumbuhan transaksi online ini bisa
memberikan dampak yang sangat besar utamanya pada PDB (Pendapatan
Domestik Bruto) negara. Dirujuk dari penelitian yang telah dilakukan oleh
website meta-search iPrice Group bersama App Annie, total nilai transaksi
dompet digital Indonesia per tahun 2018 mencapai USD 1,5 miliar dan
diperkirakan akan terus naik hingga tahun 2023 bisa mencapai USD 25
miliar.
52
Menindaklanjuti dari penelitian sebelumnya, iPrice Group dan App
Annie pada tahun 2019 mengungkapkan bahwa GoPay, OVO dan DANA
adalah tiga aplikasi dompet digital teratas berdasarkan pengguna aktif
bulanannya dan dompet digital tertinggi jumlah download aplikasinya di
Play Store dan iOS.
Gambar II.B.1.Tiga Dompet Digital Pengguna Teraktif dan Unduhan Aplikasi Tertinggi di Indonesia
Sumber: https://iprice.co.id/trend/insights/e-wallet-terbaik-di-indonesia/
Artikel dari katadata.co.id yang berjudul Riset: Kalahkan OVO,
GoPay Paling Banyak Digunakan Tahun ini (2019) menjelaskan bahwa
alasan responden menggunakan layanan e-wallet ialah karena percaya
akan produknya, kebutuhan untuk membayar menggunakan e-wallet,
53
dianggap kaya manfaat, kemudahan, menghemat waktu, serta layanan
lengkap dalam 1 aplikasi.
Pengguna terbesar e-wallet menurut studi yang dilakukan oleh
Jakpat Mobile Survey Platform dan DailySocial pada 2018 lalu adalah
pemuda berusia 20-35 tahun sebesar 74,6%. Hal ini sangatlah wajar
mengingat pemuda adalah generasi yang melek teknologi dan internet.
Data dari BPS Jakarta Selatan 2019 menyebutkan bahwa 77 dari tiap 100
penduduk kota Jakarta Selatan dapat mengakses internet. Ditambah
penggunaan dompet digital yang sangat praktis dan mudah yang sangat
cocok dengan kriteria favorit generasi pemuda saat ini. e-wallet Semua
bisa selesai dengan gawai dan internet di tangan. Namun, bukan hanya
dilihat dari sisi kemudahan dan praktis, e-wallet juga menawarkan banyak
promo, diskon, dan cashback yang berkisar dari 10-40%. Hal itu juga yang
meningkatkan penjualan produk merchant yang bekerja sama.
Dari banyaknya fitur yang tersedia di e-wallet data dari iPrice
menyebutkan bahwa transaksi online, pembayaran e-commerce serta
transportasi online adalah tiga hal favorit penggunaan e-wallet.
2. Profil E-wallet
a. Profil GoPay
GoPay adalah metode pembayaran mobile payment yang
disediakan oleh perusahaan GO-JEK untuk mempermudah proses
transaksi bagi pengguna, driver maupun perusahaan itu sendiri
54
(Huwaydi and Persada 2018). Membicarakan GoPay tidak akan lepas
dari peranan GO-JEK sebagai induk semangnya. Mengutip dari
website gojek.com, GO-JEK berdiri pada tahun 2010 oleh Nadiem
Makarim dengan layanan pertama yaitu memesan ojek melalui call-
center di garasi mobil rumahnya. Hingga pada tahun 2015, GO-JEK
berkembang pesat setelah meluncurkan sebuah aplikasi dengan tiga
layanan, yaitu: GoRide, GoSend, dan GoMart. Setelah cukup sukses
dengan usaha transportasi onlinenya, pada tahun 2017 GO-JEK mulai
menerbitkan GoPay, layanan pembayaran dengan uang elektronik
untuk membayar layanan di aplikasi GO-JEK yang per tahun 2020
sudah memiliki 20 layanan di aplikasinya. Hal itu di antaranya ada
transportasi, pesan antar makanan, pembayaran e-commerce, belanja,
kirim barang, pembayaran, pijat, sampai bersih-bersih rumah dan
kendaraan. Kehadiran GoPay sontak membuat lonjakan pengguna di
GO-JEK menjadi tinggi dan agresif. Hal itu didukung juga dengan
inovasi GoPay yang mengekspansi usahanya tidak hanya untuk
pembayaran di fitur GO-JEK, akan tetapi juga bisa untuk membayar
dan mengatur berbagai transaksi keuangan secara nontunai di
berbagai merchant (mitra penjual) seperti Gramedia, Electronic City,
Loket.Com, Optik Seis, Starbucks, dan sebagainya. Katadata.co.id
dalam artikelnya yang berjudul Riset: Kalahkan OVO, “GoPay Paling
Banyak Digunakan Tahun ini” menjelaskan bahwa GoPay per tahun
2019 memiliki 420.000 mitra penjual di 390 kota/kabupaten di
55
Indonesia yang juga telah membantu proses pertumbuhan UMKM di
Indonesia sebesar peningkatan volume transaksi menjadi 93% dan
55% mitra UMKM naik kelas dari sisi klasifikasi omzet (riset
Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi & Bisnis Univers itas
Indonesia, 2018). Hal ini didukung dengan riset dari DailySocial yang
menyebutkan bahwa GoPay adalah e-wallet yang paling banyak
digunakan pada tahun 2019. Dari total responden yang berjumlah 641
orang, ada sebesar 83,3% responden yang menggunakan GoPay.
Bahkan keuntungan GoPay per Februari 2019 berhasil menyentuh
transaksi sebesar USD 6,3 miliar (iPrice, 2019).
Dilansir melalui website GO-JEK.com, GoPay menawarkan
tiga hal: transaksi mudah, hemat waktu, dan banyak bonus. Hal itu
sesuai dengan hasil riset dari DailySocial pada 2019 yang
menyebutkan beberapa alasan responden menggunakan e-wallet
adalah kemudahan, hemat waktu, kaya manfaat, dan percaya pada
produknya. Tingkat keamanan yang diberikan GoPay juga cukup
membuat konsumen senang karena ada fitur PIN untuk keamanan, 1
akun 1 perangkat, memberikan kode verifikasi untuk tiap kali sign up
(daftar), dan adanya layanan bantuan yang mudah dilihat.
b. Profil OVO
OVO adalah layanan dompet digital (e-wallet) yang
merupakan anak perusahaan dari Grup Lippo yaitu LippoX. Pertama
kali diluncurkan pada Maret tahun 2017 di bawah naungan PT
56
Visionet Internasional. OVO adalah layanan e-wallet bersistem open
platform, artinya menerima rangkaian kemitraan dari perusahaan-
perusahaan Indonesia untuk menggunakan layanan e-walletnya pada
jasa dan usaha mereka. Juli 2018 adalah kali pertama OVO
mengumumkan kemitraannya dengan Grab, perusahaan pemesanan
ojek online seperti GO-JEK. Semua fitur layanan dari transportasi,
pemesanan makanan, pembayaran, pengiriman, belanja, kesehatan,
pulsa, pembayaran tagihan, paket langganan, pembelian tiket
bioskop, hotel, hingga rewards dan gifts yang ada pada Grab bisa
dibayar menggunakan OVO. Tidak berhenti pada Grab, OVO
melebarkan kemitraannya ke Bank Mandiri, Alfamart, Moka, hingga
di akhir tahun 2018, OVO menggandeng Tokopedia, salah satu
platform belanja online (e-commerce) terbesar di Indonesia.
Kemitraan dengan Grab dan Tokopedia berhasil
menimbulkan simbiosis mutualisme bagi OVO, yakni keuntungan
yang didapat dari antar pihak. Tokopedia sebagai salah satu platform
e-commerce yang telah berstatus unicorn pada tahun 2019 telah
mencapai transaksi sebesar Rp. 20,8 triliun bersama kemitraannya
dengan OVO (Katadata, 2019). Hal itu didukung riset dari
DailySocial bahwa OVO adalah pembayaran yang paling dikenal
masyarakat (99,5%) yang telah diunduh lebih dari 115 juta kali
sepanjang tahun 2019. Dari total 651 responden, 81,4% responden
menggunakan OVO. Melalui artikel dari (Analisa.id, 2019) yang
57
mengutip ucapan dari Direktur OVO yaitu Harianto Gunawan, pada
tahun 2018 OVO telah memiliki 500.000 merchant di 303 kota di
Indonesia yang 77% penggunanya berada di luar Jabodetabek
(Jakarta Bogor Depok Tangerang Bekasi). Berkat investasi dari
Lippo, OVO menjadi layanan dompet digital yang diterima di
seluruh jaringan pusat belanja milik Lippo yang berjumlah 50 mal
dengan anchor tenant yang berasal dari 600 perusahaan dengan
jumlah penyewa di atas 15.000 (kr.asia.com:2019), rumah sakit
hingga fasilitas Pendidikan milik Lippo (Katadata, 2019). Jika mitra
OVO saja yakni Tokopedia sudah berstatus unicorn, maka OVO
juga telah berstatus unicorn karena telah memiliki valuasi sebesar
2,9 miliar USD setara dengan Rp. 40,6 triliun yang dirujuk dari
laporan CB Insights yang berjudul “The Global Unicorn Club”.
Hingga per tahun 2019 lalu, merujuk dari data Bank Indonesia (BI),
pangsa pasar OVO telah mencapai 37% dari total transaksi digital di
semester pertama tahun 2019 yang mencapai Rp. 56,1 triliun.
c. Profil Dana
Dana didirikan pada tahun 2017 oleh Vincent Iswara yang
bekerja sama dengan Emtek Group dan Ant Financial dan
diluncurkan secara perdana di 5 November 2018. Melalui website
Dana.id dijelaskan Dana adalah dompet digital (e-wallet) yang
berkonsep open platform payment yang digunakan untuk transaksi
nontunai dan nonkartu, baik online maupun offline yang dapat
58
berjalan dengan cepat, praktis dan tetap terjamin keamanannya.
Open platform payment artinya bisa diintegrasikan dan dipakai
dalam berbagai platform. Dilihat dari website Dana.id, Dana
memiliki partner merchant dari usaha online, offline, dan channel.
Dua kemitraan besar yang digandeng Dana adalah Bukalapak; salah
satu situs belanja online terbesar di Indonesia dan TIX ID; aplikasi
memesan tiket bioskop online. Selain itu ada juga kemitraan dengan
BPJS Kesehatan, Alfamart, Lazada, Bank Mandiri, Dan Dan,
UniPin, Parkee, dll. Fitur Dana lainnya adalah pembayaran digita l
seperti membayar tagihan listrik, air, internet, asuransi, cicilan, dan
sebagainya, transfer saldo Dana ke sesama pemilik akun Dana dan
transfer antar bank yang gratis, dan simpan kartu bank.
Riset dari DailySocial pada tahun 2019 menunjukan dari
total 651 responden yang menggunakan Dana ada sebanyak 68,2%
dengan kesadaran masyarakat pada aplikasi Dana ada sebanyak
98,3%, dan sudah menggaet lebih dari 30 juta pengguna. Ini
merupakan angka yang terbilang cukup tinggi mengingat Dana baru
diluncurkan setengah tahun sebelumnya.
C. E-wallet dan Masyarakat Perkotaan
Masyarakat perkotaan sebagai masyarakat unggul yang tinggal di
lokasi peradaban dan perubahan menjadi subjek serta objek terjadinya banyak
perubahan. Salah satu, perubahan besar yang terjadi adalah kemunculan
59
teknologi dan internet. Saat ini kita saksikan, masyarakat perkotaan sudah
tidak asing lagi dengan teknologi dan internet, malah masyarakat perkotaan
menjadikan teknologi dan internet sebagai bagian tak terpisahkan dari hidup
mereka sehari-hari. Kehadiran teknologi dan internet bukan lagi hanya
sebagai pemberi hiburan dan pelengkap hidup, akan tetapi sudah sampai di
dalam tahap kebutuhan primer dan penunjang berlangsungnya kehidupan.
Seperti yang diungkapkan informan W dalam wawancaranya dengan penulis
yang mengungkapkan tidak perlu lagi membawa dompet, karena gawai sudah
bisa diandalkan menjadi tempat penyimpanan uang, dibalik fungsinya
sebagai alat komunikasi, “simpel (bawa gadget kemana-mana cukup, tanpa
bawa dompet).”
Perkembangan internet yang demikian masif tentunya diciptakan
untuk mempermudah dan memberikan efisiensi, kenyamanan, serta
keamanan bagi manusia untuk keberlangsungan hidup. Begitu pun kehadiran
e-wallet yang ditujukan sebagai terobosan baru bagi masyarakat untuk
mempermudah transaksi. Seiring dengan adanya perubahan yang terjadi,
tentunya kita mengharapkan adanya manfaat dan dampak baik yang kita
rasakan, namun, tidak disadari bahwa dampak buruk juga menjadi hasil dari
perubahan yang ada.
Kehadiran e-wallet yang sejatinya untuk mempermudah transaksi,
malah menjadikan masyarakat perkotaan terjebak pada pola hidup
konsumerisme. Pola hidup konsumerisme yang terjadi akibat munculnya
banyak tanda yang tercipta dari berbagai konsumsi yang kita perbuat yang
60
dihasilkan oleh iklan, membuat masyarakat perkotaan mula i
menggantungkan status hidupnya dan juga orang lain pada konsumsi. Pada
gambar di bawah tertera persentase penduduk berdasarkan jenis kelamin,
kelompok umur dan kelompok pengeluaran,
Gambar II.C.1.Persentase Penduduk menurut Karakteristik Jenis Kelamin dan Kelompok Umur
Sumber: BPS: Kota Jakarta Selatan dalam Angka 2020
Berdasarkan gambar di atas, kelompok dengan pengeluaran
tertinggi selama sebulan dimiliki oleh angkatan kerja, yakni generasi pemuda
dan generasi dewasa yang produktif mencari uang. Dalam sebulan, 40%
kelompok berusia 15-64 tahun melakukan kegiatan konsumsi dengan jumlah
biaya sekitar Rp. 988.574,-. Pada kelompok dengan penghasilan menengah,
mengeluarkan 74,55% untuk berkonsumsi atau setara dengan Rp. 2.266.251,-
. Terakhir, pada generasi dengan pendapatan tertinggi yang berjumlah 20%,
mengonsumsi sebanyak Rp. 6.609.949,- dalam sebulan. Rata-rata
61
pengeluaran per kapita sebulan adalah jumlah konsumsi makanan dan bukan
makanan yang dikonversikan ke dalam pengeluaran rata-rata sebulan.
Pada 10 informan yang peneliti tanyakan, 9 dari 10 informan
mengaku memiliki lebih dari dua hingga tiga dompet digital. Kepemilikan
lebih dari satu ini didasari pada beberapa hal, seperti memiliki GoPay karena
sering memakai Gofood dan GoRide dan memiliki OVO karena sering
menggunakan GrabBike. Selain itu, sering terdapat perbedaan promo, diskon,
dan cashback yang membuat para informan cenderung suka membandingkan
antar dompet digital, seperti yang dilakukan oleh informan Z, “bahkan aku
sering juga bandingin satu e-wallet dengan e-wallet lain untuk cari mana
yang lebih murah dan menguntungkan, haha.” Hal ini sangat wajar,
mengingat manusia adalah makhluk realistis dan ekonomis.
Pemilihan transaksi pembayaran dengan e-wallet juga dilakukan
lantaran adanya keamanan, keuntungan, serta terkesan modern. E-wallet
memberikan kesan pada para penggunanya adalah orang-orang yang melek
dan up to date pada isu terbaru. E-wallet seakan menjadi identitas baru bagi
masyarakat perkotaan untuk menunjukkan betapa efisiensi, ekonomis, melek
teknologi, serta berpendidikannya dari mereka. E-wallet juga kerap kali jadi
ajang pengakraban diri antar pemuda untuk membeli sesuatu. Adanya
beragam fitur, salah satunya fitur patungan, membuat e-wallet menjadi
transaksi primadona bagi siapapun, khususnya pemuda dimana pun dan kapan
pun.
62
BAB III
PERUBAHAN POLA KONSUMSI PEMUDA DI ERA
PENGGUNAAN TRANSAKSI DOMPET DIGITAL
(E-WALLET)
Bab ini akan menjelaskan hasil temuan penulis pada perubahan
pola konsumsi pemuda pada transaksi pembayaran e-wallet di kota Jakarta
Selatan dan pada transaksi apa saja e-wallet digunakan. Pemuda sebagai
generasi yang paling melek dengan teknologi dan dibuktikan sebagai generasi
pengguna e-wallet terbanyak menjadi perhatian penulis di sini. Selain itu,
pemilihan kota Jakarta Selatan juga sudah dipertimbangkan dari sisi
geografis, demografis, ketenagakerjaan, kondisi sosial dan kesejahteraan, dan
Pendidikan.
Pada bab ini akan dibagi menjadi empat subbab besar yakni makna
konsumsi dan konsumerisme, perubahan pola konsumsi pemuda dengan e-
wallet, sarana penggunaan e-wallet dan perubahan sebelum dan sesudah
penggunaan e-wallet.
63
A. Makna Konsumsi dan Konsumerisme
‘I shop therefore I am’ adalah kalimat slengean dari sebuah slogan
terkenal buatan filsuf popular, Decrates, ‘I think therefore I am’ yang
bermakna, ‘aku berpikir, maka aku ada.’ I shop therefore I am juga memilik i
arti yang tak jauh berbeda yaitu, ‘aku mengonsumsi, maka aku ada’. ‘Ada’ di
sini selain bermakna eksistensi, juga memberikan makna status sosial. Hidup
di era modern yang mana konsumsi menjadi kacamata penghitung bagaimana
seseorang akan dilihat dan diperlakukan oleh orang lain adalah realitas yang
mau tidak mau kita hadapi saat ini.
Konsumsi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
bermakna dua hal yakni pemakaian barang hasil produksi dan barang-barang
yang digunakan dalam pemenuhan keperluan hidup. Mengonsumsi suatu
barang berarti bertujuan mengurangi atau menghabiskan daya guna barang
tersebut, baik berupa benda maupun jasa untuk memenuhi kebutuhan dan
kepuasan (Pawanti, 2013). Saat konsumen (pembeli barang) hendak
mengonsumsi sesuatu baik benda maupun jasa, konsumen akan
mengeluarkan sejumlah uang untuk membayarnya. Pemenuhan kebutuhan
hidup primer memang sudah sejatinya akan dilakukan secara terus menerus,
namun semakin lama, pemenuhan keinginan yang bersifat sekunder juga
menjadi sesuatu yang rasanya juga perlu dilakukan/dibelanjakan. Hal ini lama
kelamaan akan berujung pada pola hidup yang konsumtif yang akan
membentuk masyarakat konsumerisme, seperti yang diungkapkan sosiolog
asal Perancis, Jean Baudrillard. Konsumerisme dalam kacamata Baudrilla rd
64
adalah keharusan masyarakat untuk merasa hidup. Masyarakat akan merasa
hidup dan eksis saat memiliki barang-barang yang sudah dibelanjakan
olehnya, padahal dalam barang-barang tersebut sudah disisipkan nilai dan
tanda-tanda tertentu.
Sedang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),
konsumerisme adalah paham atau gaya hidup yang menganggap barang-
barang (mewah) sebagai ukuran kebahagiaan, kesenangan, dan sebagainya.
Konsumerisme adalah suatu pola pikir serta tindakan di mana orang
melakukan tindakan membeli barang bukan karena ia membutuhkan barang
itu, tetapi karena tindakan membeli itu sendiri merupakan kepuasan baginya
(Umanailo, 2018). Sejalan dengan hal itu, informan G mengungkapkan
bahwa konsumerisme adalah gaya hidup yang ditandai dengan pembelanjaan
uang secara berlebihan tanpa adanya pertimbangan, berikut penuturannya,
Konsumerisme adalah gaya hidup yang sering kali ditandai dengan
seseorang (konsumen) yang menggunakan uang/pendapatan secara
berlebihan tanpa mempertimbangkan pentingnya pengeluaran tersebut
(wawancara dengan G, 02 Juni 2020).
Tak jauh berbeda dengan G, informan I mengutarakan bahwa
konsumerisme adalah paham/ideologi seseorang untuk berkonsumsi atau
melakukan perilaku konsumtif, “Ini tuh kaya paham seseorang buat
ngelakuin hal-hal konsumsi atau melakukan perilaku konsumtif. Kayak beli
barang yang berlebihan.” Kemudian, informan F juga mengungkapkan
bahwa konsumerisme adalah pola hidup masyarakat yang didorong keinginan
bukan kebutuhan, “pola hidup di mana masyarakat sangat didorong oleh
keinginan membeli barang atau mengonsumsi sesuatu, bukan berdasarkan
65
kebutuhan.” Informan V juga menuturkan bahwa konsumerisma adalah
tindakan individu saat mengonsumsi sesuatu secara berlebihan, yang mana
hal itu acapkali dilakukan pada pengonsumsian barang yang bukan bersifat
primer, “Kayaknya sih ketika individu atau seseorang telah mengonsumsi
sesuatu secara berlebihan.. Di luar kemampuan diri atau mungkin untuk
sesuatu yang bersifat tersier, bukan untuk memenuhi kebutuhan primer.”
Sikap, pandangan, dan pola hidup konsumtif adalah hal-hal yang
mengakibatkan budaya konsumerisme ini muncul di kalangan masyarakat.
Dampak negatif dari budaya konsumerisme ini adalah munculnya
pemborosan yang berdampak pada penambahan kesenjangan sosial
(Fadhilah, 2011). Menambahkan hal itu, Sembiring (2012:4) mengutarakan
bahwa konsumerisme adalah konsumen atau masyarakat yang pada akhirnya
berperilaku boros dan berlebihan, hidup bermewah-mewahan, lebih
mendahulukan keinginan daripada kebutuhan, serta tidak adanya skala
prioritas.
B. Perubahan Pola Konsumsi Pemuda dengan E-wallet
1. Media Iklan Sebagai Daya Penarik Masyarakat Konsumeris
Pemuda sebagai generasi yang melek teknologi dan internet masa
kini menjadi sektor pemilik smartphone, pengguna media sosial, dan
pemilik akun e-wallet terbanyak dibanding generasi lainnya. Pemuda yang
sehari-harinya akrab dengan media sosial dan internet akan mendapati
dirinya berada di tengah-tengah sistem sosial dan komunitas masyarakat
66
yang memperlihatkannya tentang berbagai jenis konsumsi. Tidak hanya
memperlihatkan jenis konsumsi, akan tetapi citra yang terbangun dari jenis
konsumsi itu juga akan mempengaruhinya.
Pengaruh teknologi dalam hidup, kita rasakan selama 24 jam dalam
7 hari, artinya berturut-turut kita menggunakan berbagai jenis teknologi
untuk menyokong kehidupan kita agar lebih baik dan efisien. Hadirnya
artificial intelligence atau biasa disebut juga dengan AI, internet of things
atau IoT, dan computer vision atau CV adalah 3 hal mutakhir di tahun 2020
yang penerapannya sangat membantu kehidupan manusia.
Jika dahulu produsen hanya bisa memasarkan produknya di kolom
iklan koran dan TV saja, saat ini produsen bisa memasarkan produknya di
ponsel pintar, internet, hingga pemasangan billboard jualan di jalan yang
ramai. Sign value dan symbol value yang ditekankan oleh Baudrilla rd
sebagai inti konsumsi masyarakat konsumeris terdapat pada iklan yang
sering kali kita lihat. Publikasi iklan di berbagai media tanpa mengena l
waktu dan tempat, seakan membuat masyarakat menjadi terkungkung dan
terisolasi dengan citra yang muncul dari tanda-tanda iklan produk tersebut.
Iklan juga berfungsi untuk menghilangkan nilai guna atau use value dari
suatu objek, sehingga konsumen tidak lagi mengonsumsi suatu produk dari
kegunaannya, melainkan berdasarkan citra (image) produk tersebut
(Murti, 2005:39).
Bahasa yang persuasif, tampilan yang menarik, ditambah dengan
selebriti yang menjadi objek iklan dalam memasarkan produk membuat
67
produk tersebut seakan menjadi keharusan bagi masyarakat untuk
membeli dan memilikinya, sehingga status sosial dirinya akan naik dan
terjaga. Hidup individu menjadi tidak bebas, karena akan selalu didikte
oleh barang karena ia harus terus menerus memenuhi keinginannya untuk
memiliki barang yang menjadi tren saat ini (Pawanti, 2013). Masyarakat
seakan teralienasi dengan serbuan iklan tanpa henti. Istilah “korban iklan”
pun tak ayal kita temui saat ini. Iklan yang fungsinya sebagai sarana
promosi produk malah memuat pesan konsumerisme yang membuat
masyarakat melazimkan konsumsi secara terus menerus yang akan
melahirkan identitas baru, status sosial, serta gaya hidup konsumtif. Kita
menghadapi masyarakat yang konsumsinya menjadi penandaan
keberadaan seseorang.
Iklan jelas menjadi salah satu daya tarik bagi konsumen untuk
membelanjakan pendapatannya ke produk tertentu. Akan tetapi,
berkembangnya zaman diiringi juga dengan berkembangnya pola pikir
konsumen serta produsen. Konsumen tak lagi hanya sekedar melihat dari
sisi tampilan dan bahasa iklan, namun juga dari sisi ekonomis dan
keuntungannya, maka dari itu diskon, cashback dan promo juga memilik i
andil besar dalam berlangsung proses konsumsi. Seperti yang diungkapkan
informan W bahwa banyak promo khususnya di bidang makanan
membuatnya sering tak berpikir panjang dalam mengeluarkan uang, “iya,
karena banyak promo khususnya makanan, jadi tanpa pikir panjang untuk
top up saldo tanpa cek budgetnya.” Hal serupa dialami Ang yang sering
68
kali membeli sesuatu yang tidak dibutuhkannya, namun diskon yang
terbatas pada waktu menariknya untuk membeli, “aku mudah banget
tergiur dengan iklan, karna kaya yang aku bilang, sebenernya aku ga
butuh-butuh banget, tapi karna ini diskon dan kapan lagi dia diskon, ya
yaudah beli beli aja.” Hal ini telah diuji dari sisi psikologis (dilansir dari
enterprise.shef.ac.uk) bahwa manusia akan cenderung membeli sesuatu
saat itu juga karena adanya keterbatasan waktu. Waktu yang minim dan
mepet akan membuat konsumen menjadi harus membeli dan membayar
saat itu juga jika tak mau kehabisan barang tersebut. Informan Z juga
melakukan hal yang sama dengan Ang, promo, diskon, dan cashback
adalah hal yang menariknya untuk mengonsumsi sesuatu. Biasanya hal itu
dibarengi dengan pembayaran melalui e-wallet, “haha iya banget, kamu
belum selesai nanya aja, aku udah mau langsung jawab, biasanya aku
karena diskon dan cashback si, karena uang cashbacknya itu bisa aku
manfaatin untuk beli pulsa.” Menarik untuk ditilik lebih jauh, karena
pembayaran dengan e-wallet yang memberikan efisiensi serta keuntungan
membuat gaya hidup masyarakat kita menjadi banyak berubah, informan
G bahkan mengungkapkan bahwa alasannya membeli sesuatu dilandas i
promo dan diskon, “yang mempengaruhi saya untuk membeli biasanya
adalah promo dan diskon.” Informan S juga mengungkapkan bahwa
dirinya sangat menyenangi diskon dan cashback, “DISKON dan
CASHBACK?? YES! YES! (jawabnya sambil sumringah).”
69
Gambar III.B.1.Iklan Poster Makanan dari OVO dan GoPay
Sumber: Twitter GO-JEK dan OVO (diunduh pada 10 Agustus 2020)
Baudrillard yang mengawali konsep konsumerisme ini karena
kritiknya atas konsep ekonomi Karl Marx tidak membuatnya membuang
semua konsep kapitalis ala Marx ini. Menurut Baudrillard (1997:185),
masyarakat konsumeris akan menjadikan iklan (advertising) sebagai guru
dan teladan moral yang harus diikuti, padahal hal itu akan berujung pada
gaya hidup hedonis. Gaya hidup hedonis menjadikan seseorang
individualis dan mendasarkan identitasnya pada kepemilikan barang
tertentu. Hal ini sangat mungkin terjadi karena dalam kapitalisme global,
kegiatan produksi sudah bergeser dari penciptaan barang konsumsi
menjadi penciptaan tanda (Baudrillard, 1998:72-75). Atau dengan kata
lain, kapitalisme global memfokuskan diri pada “manajemen konsumsi”
(Kushendrawati, 2006). Lebih jauh lagi, iklan yang diproduksi oleh
70
produsen ini memuat tanda yang sengaja mereka buat lalu mereka
sebarluaskan hingga akhirnya tanda-tanda tersebut secara halus masuk ke
dalam pikiran konsumen yang menjadi target produsen.
Oleh Baudrillard, pemenuhan diri, kesenangan, kelimpahan, serta
tentunya prestise adalah hal-hal yang dijanjikan produsen pada produk
yang mereka tawarkan. Ironisnya, makna dari tanda yang dikonsumsi
masyarakat konsumeris tidak didapat dari nilai guna (use value), akan
tetapi malah didapat melalui sistem tanda itu sendiri (Piliang, 2004:118).
2. Citra yang Muncul Saat Berkonsumsi
Seorang sosiolog dan filsuf yang banyak meneliti era postmodern
dan post-strukturalisme asal Perancis yakni, Jean P. Baudrillard adalah
yang paling vokal mengkritisi isu konsumerisme. Meski bukan yang
pertama kali mengangkat konsep konsumerisme, akan tetapi Jean P.
Baudrillard sukses mendulang pemikiran baru. Baudrillard mengawali
ide/konsep ini dengan mengkritik ide ekonomi Karl Marx yang
membicarakan sebab konsumsi masyarakat terjadi karena adanya nila i
guna (use value) dan nilai tukar (exchange value) yang biasa terjadi antara
produsen dan konsumen. Secara mudahnya, nilai-guna adalah kegunaan
barang untuk memenuhi kebutuhan, sedangkan nilai-tukar diidentikka n
dengan harga barang tersebut (Bakti et al., 2019). John K. Galbraith,
seorang ekonom yang juga memperhatikan konsep produksi dan konsumsi
yang ditawarkan Karl Marx memaparkan idenya bahwa manusia adalah
homo psycho-economicus, yaitu konsumsi dilakukan oleh faktor
kebutuhan atau hasrat untuk memperoleh kenikmatan. Meski tidak
menyangkal ide Galbraith, Baudrillard memaparkan bahwa konsumsi juga
71
ditentukan oleh seperangkat hasrat untuk memperoleh status,
penghormatan, prestise, dan konstruksi identitas melalui ‘mekanisme
penandaan’ (Bakti et al., 2019).
Masyarakat sebagai konsumen membutuhkan komoditi/barang
guna memenuhi kebutuhan hidup dan menunjang keberlangsungan
hidupnya. Produsen yang menyediakan komoditi itu biasanya akan
menjadi kapitalis yang banyak dikritik oleh Marx. Baudrilla rd
menyimpulkan bahwa konsumsilah yang menjadi inti dari ekonomi saat
ini, bukan lagi produksi (Fadhillah, 2011:1) seperti yang diungkapkan
(Baudrillard, 1998) bahwa sistem nilai tanda dan nilai simbol merupakan
dasar dari mekanisme sistem konsumsi. Secara sederhana, Baudrilla rd
melihat bahwa pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat di era postmodern
kini telah bergeser dari nilai guna dan nilai tukar menjadi nilai tanda dan
simbol. Masyarakat konsumerisme tidak lagi melihat pada kegunaan dan
harga barang, akan tetapi simbol dan tanda yang ditawarkan pada barang
dan jasa tersebut. Hal ini secara jelas diungkapkan oleh informan N bahwa
ada citra yang terbangun dari barang mahal dan jasa tertentu, berikut
ungkapannya;
Iya setuju si kalau ada citra yang terbangun dari barang mahal, memang
beberapa barang yang memang terlihat ya kaya pakaian dan gadget, baik
itu yang kita tunjukan ke orang lain secara langsung ataupun kita
perlihatkan di social media kita, misal kita makan di tempat yang fancy
gitu. Ada orang yang makan di situ mungkin karna makannya memang
enak, tapi ada juga yang makan di situ karna mungkin ini bisa ngebuat
diri gue jadi lebih prestise gitu. Tapi ya gapapa juga si kedua hal itu
(wawancara dengan N, 03 Juni 2020).
72
Hal senada juga diungkapkan informan Ang yang sedang menempuh
Pendidikan Psikologi yang mengaitkan citra barang mahal dengan self-
branding yang sesuai dengan teori yang dia pelajari, “itu sebenernya
sesuai teori di Psikologi, antara barang dengan self-branding.” Informan
F juga menyetujui hal itu dengan mengatakan bahwa manusia adalah
makhluk visual, maka citra yang terbangun dari barang mahal adalah hal
yang wajar, “Tidak dipungkiri pasti ada pengaruhnya (citra sosial dengan
barang mahal). Manusia kan makhluk visual dan suka keindahan.”
Begitupun dengan informan Z yang mengungkapkan dari sisi
pengalamannya yang aktif berorganisasi sambil berkuliah bahwa ada
perbedaan pandangan antara orang yang pakai laptop bermerek MacBook
dengan orang yang tidak menggunakan MacBook, Z mengatakan;
Menurut aku ada citra yang terbangun dari barang mahal karena aku
sering ketemu orang yang ngeliat orang lain dari brand yang dia pakai
gitu. Misalnya gini, pekerja yang pake MacBook dipandang wah banget
dibanding orang lain yang pake non-MacBook. Aku heran gitu si, kenapa
mereka bisa sampe segila itu mikirnya? Ya meski, di MacBook itu ada
beberapa fitur yang ga ada di non-MacBook (windows). Jadi ya
sebenernya ga salah juga si kalau orang mikirnya gitu. Tapi ya tetep aja
aku ga setuju tentang itu (wawancara dengan Z, 03 Juni 2020).
Senada dengan pernyataan Z dan N, informan V menuturkan
bahwa masyarakat kini sangat jeli dengan barang yang berharga mahal, hal
itu pasti akan secara langsung menggolongkan orang itu sebagai golongan
yang kaya raya,
Menurutku sih ada ya pasti kaitan antara citra sosial yang terbangun dari
barang mahal karena orang-orang tuh pasti akan sangat jeli dengan
barang mahal terutama untuk brand yang cukup dikenal orang banyak.
73
Pasti akan dikira orang yang emang kaya banget atau gimana.
(Wawancara dengan V, 14 Juni 2020).
Melihat fenomena sosial seperti ini, citra dan nilai, serta simbol
tertentu yang muncul dari aktivitas konsumsi bukan lagi hanya sekedar
teori belaka. Masyarakat mulai menyadari bahwa mengonsumsi barang
dan jasa tidak lagi hanya sekedar kebutuhan dan kegunaan barang (use
value), ada image diri yang dibangun dari situ. Hal ini juga mengakibatkan
terjadinya pergeseran nilai barang sekunder menjadi barang primer, yang
mengakibatkan perlunya alokasi dana tidak lagi untuk kebutuhan primer
saja, namun juga untuk mengonsumsi kebutuhan sekunder.
3. Pergeseran Logika Dasar Konsumsi
Menurut Baudrillard, masyarakat konsumeris mengonsumsi citra
dan pesan yang disampaikan dari suatu barang, bukan kegunaan barang
tersebut. Seperti saat membeli mobil keluaran Jerman, BMW, ia
membelinya bukan hanya sebagai sarana transportasi saja, namun BMW
juga menawarkan citra tertentu pada konsumen yaitu kemewahan dan
status sosial yang tinggi (Pawanti, 2013). Logika dasar konsumsi yang
harusnya terpaut pada kebutuhan barang primer saja mulai bergeser pada
pengonsumsian barang yang bersifat sekunder dan tersier. Menurut
International Labour Organization (ILO), kebutuhan primer adalah
kebutuhan yang wajib dipenuhi oleh seseorang untuk menjamin
keberlangsungan hidupnya. Sandang, pangan, dan papan adalah contoh
74
implikasi kebutuhan primer. Akan tetapi, seiring berkembangnya zaman,
kesehatan dan pendidikan juga termasuk dari kebutuhan primer yang wajib
dipenuhi.
Selanjutnya kebutuhan sekunder, kebutuhan sekunder adalah
urutan kebutuhan kedua setelah kebutuhan primer manusia tercukupi.
Contoh dari kebutuhan sekunder bisa berbentuk hiburan, kendaraan
pribadi, gawai, traveling, nonton konser, dan sebagainya. Terakhir ada
kebutuhan tersier, kebutuhan tersier berkaitan dengan barang-barang
mewah atau kebutuhan yang bersifat prestisius, seperti kepemilikan
perhiasan mewah, vila, jet pribadi, dan sebagainya.
Hal menarik terjadi di masyarakat konsumeris saat ini. Kita
menyaksikan bahwa terjadi diferensiasi makna di kalangan masyarakat
saat mendefinisikan kebutuhan primer dan sekunder. Nilai barang primer
dan sekunder memiliki banyak kaitan antara satu dengan yang lain, seperti
jumlah pendapatan seseorang, identitas diri dan kelompok, pendidikan,
pengalaman, serta adanya pertimbangan saat membeli barang atau
menggunakan jasa. Seperti yang diungkapkan oleh informan Ang terkait
kebutuhan primernya saat ini adalah skincare atau perawatan kulit yang
mana Ang mengatakan akan berani mengeluarkan uang sebesar apapun itu
demi terpenuhinya skincare, “contohnya kaya skincare, ya mau harganya
gimana, ya beli beli aja.” Tidak hanya pada produk skincare, namun hal
itu biasanya dilanjutkan dengan pembelian barang-barang yang
75
menurutnya meski tidak penting, namun memiliki visual yang menarik,
akan menggodanya untuk membeli,
Kakak pasti ngerti deh sebagai perempuan, Shopee dan Tokopedia
(marketplace online) itu kan 2 maut, kadang butuh ga butuh yaudah check
out check out aja, kadang nyesel si, ‘duh ngapain beli ini ya’ tapi gimana
ya, terus aja diulangin lagi dan lagi, karena kalau pun itu bukan yang
penting-penting banget, pasti tetep dibeli juga si, haha (wawancara
dengan Ang, 03 Juni 2020).
Informan Z juga mengamini hal tersebut dengan mengatakan konsumsi
yang diawali dengan adanya pertimbangan, biasanya ada pada barang-
barang yang bernominal tinggi, sehingga pada konsumsi bernomina l
rendah Z merasa tak perlu untuk mempertimbangkannya, padahal dia
sendiri menyadari bahwa jika dihitung di akhir bulan, maka total
pengeluarannya akan tetap tinggi,
Hm, sebenernya tergantung harganya juga si. Biasanya akan mikir banget
kalau harganya tinggi banget, akan mikir dulu gitu. Tapi kalau harganya
murah banget, ya yaudah beli beli aja. Padahal kalau beli banyak yang
harganya murah kan sama aja ya padahal, sama-sama gede nominalnya
nanti. Kadang suka mikir, padahal ga beli mahal-mahal, tapi uang kok
habis? Ternyata ya karena belanjanya sering, haha. Tapi dari itu semua,
sebenernya tetap mempertimbangkan si. Kaya pas lagi ngitung duit, ini
uang segini bisa untuk beli apa aja ya. Meski ya sama aja si, kalau ada
barang diskon ya beli-beli aja, haha (wawancara dengan Z, 03 Juni 2020).
Konsumsi berlebih pada suatu barang juga tidak terlepas di
kalangan pemuda perkotaan yang menjadi subjek dari penelitian ini. Dari
10 informan, 7 di antaranya mengaku mempunyai setidaknya 1 barang
yang mereka berlebihan dalam mengonsumsi barang tersebut yang dibayar
dengan transaksi e-wallet, informan Ad mengungkapkan dirinya suka
berlebih pada sepatu dan gadget, “aku suka di sepatu dan gadget :D.”
76
Informan G mengungkapkan suka pada baju dan benda-benda dekorasi
kamar, “hm, baju dan benda-benda untuk dekorasi kamar.” Informan Ang
mengungkapkan suka membeli berlebih untuk kebutuhan peliharaannya,
“paling keperluan untuk peliharaan aku, aku kan punya peliharaan
banyak, kucing aja ampe 3, haha plus belum lagi nanti kalau ada kucing
lain main juga ke rumah.” Berbeda dengan informan V yang suka pada
riasan mata,
Ada baru-baru ini yang aku collect lebih dari yang aku butuhkan sih
wkwk yaitu make up! Suka banget soalnya sama make up mata, jadi beli
beberapa hal terkait dengan make up mata gitu, haha (Wawancara dengan
V, 14 Juni 2020).
Dilanjut dengan informan F yang suka beli peralatan game, “aku suka beli
alat-alat di dalam game gitu (untuk kebutuhan main game).” Dilanjutkan
dengan informan I, “makanan sih, soalnya banyak banget promo (di e-
wallet).” Hal serupa juga dialami oleh informan terakhir, yakni Z, “dulu
skincare, sekarang makanan.”
Pemenuhan kebutuhan sekunder yang dalam hal ini berkaitan
dengan hobi adalah sah saja, namun, jika dilakukan secara terus menerus
terlebih dalam jumlah yang besar, maka dipastikan akan menimbulkan
dampak sosial yaitu gaya hidup. Gaya hidup pada tahapan selanjutnya
tidak hanya akan berdampak bagi individu yang bersangkutan tapi juga
pada sistem sosial yang terjadi di masyarakat. Pemenuhan kebutuhan yang
dilakukan secara tidak rasional serta kompulsif secara ekonomis adalah
definisi perilaku konsumtif. Menurut Neufeldt, perilaku konsumtif adalah
tindakan yang bersifat tidak rasional serta kompulsif secara ekonomis yang
77
menimbulkan pemborosan dan inefisiensi biaya (Dewi and Suyasa, 2017).
Istilah konsumtif biasanya digunakan untuk menjelaskan keinginan untuk
mengonsumsi barang-barang yang sebenarnya kurang diperlukan secara
berlebihan untuk mencapai kepuasan yang maksimal (Dewi and Suyasa,
2017).
Dalam melakukan praktik konsumsi, baik primer maupun
sekunder, masyarakat konsumeris tidak lagi melihat barang dan jasa dari
sisi use value dan exchange value, akan tetapi pancaran citra yang dimilik i
barang dan jasa tersebut yang disebut Baudrillard sebagai symbolic value
dan sign value juga terpatri. Proses konsumsi simbolis merupakan tanda
penting dari pembentukan gaya hidup dimana nilai-nilai simbolis dari
suatu produk dan praktik telah mendapat penekanan yang jauh lebih besar
dibandingkan dengan nilai-nilai kegunaan dan fungsional (Bakti et al.,
2019).
Pergeseran logika konsumsi masyarakat konsumeris juga mulai
melahirkan kebimbangan dan kebingungan untuk mendefinisikan antara
kebutuhan dan keinginan hidup, seperti yang diungkapkan informan Ang,
“jelas jadi bingung ngebedain kebutuhan dan keinginan sekarang, karena
hal-hal yang ga penting-penting amat aja aku beli, haha.” Begitupun
informan I dan S juga menuturkan terkadang bingung membedakan
kebutuhan dan keinginan.
Hal menarik dituturkan informan Z, ia mengaku bahwa jika dirinya
mengalami proses kebingungan antara mendefinisikan kebutuhan dan
78
keinginan, ia menyiasatinya dengan menahan diri selama beberapa waktu,
jika masih memikirkannya, berarti itu adalah kebutuhannya dan jika ia
lupa, maka itu hanyalah keinginannya semata,
Bisa dibilang iya (suka bingung), tapi aku biasanya nyiasatinnya dengan
gini, kalau aku mau beli barang, aku tunggu dulu sampe beberapa lama,
misal 2-4 minggu. Kalau tiap hari aku mikirin itu, berarti itu ya kebutuhan
yang harus aku beli, tapi kalau aku ngga pikirin, berarti itu ya ucma laper
mata aja (wawancara dengan Z, 03 Juni 2020).
Senada dengan siasat Z, informan V juga melakukan siasat saat dirinya
bingung membedakan antara kebutuhan dan keinginan dengan cara
meminta pandangan orang lain,
Kadang ingin, tapi ga begitu butuh. Kalau lagi kayak gini posisinya, aku
pasti ngobrol sama orang terpercaya sih buat diajak ngobrol. Biar bisa
bantu ngasih perspektif juga, haha. Biasanya kalau kaya gini-gini
mungkin untuk barang-barang yang harganya lumayan, haha (wawancara
dengan V, 14 Juni 2020).
Menurut penelitian, saat seseorang melihat sesuatu yang bagus dan
menarik hati, otak dengan stimulusnya mengeluarkan hormon untuk kita
bisa membayangkan diri jika kita menggunakannya, secara refleks otak
akan memberikan sinyal bahagia di situ. Maka dari itu penyiasatan dengan
mengatakan akan membeli barang itu nanti -bukan sekarang- adalah hal
yang perlu dilakukan untuk ‘membohongi otak’ kita agar tidak terjebak
pada pengonsumsian barang sekunder terus menerus.
Konsumerisme adalah “atribut masyarakat” (Bauman, 2007: 28),
lebih dari sekedar tindakan mengonsumsi barang dan jasa, bahkan sering
kali tindakan konsumsi yang dilakukan tidak dimaksudkan untuk
memenuhi kebutuhan (Lodziak, 2002: 2) dikutip (Bakti et al., 2019). Hal
79
ini tercermin pada pengonsumsian barang dan jasa yang dibeli bukan
karena use value dan exchange value, akan tetapi berlandaskan keinginan,
status sosial, serta prestise.
4. Perubahan Gaya Hidup
Plummer (1983:97) gaya hidup adalah bagaimana cara individu
menghabiskan waktu mereka (dalam beraktivitas), sesuatu yang mereka
anggap penting dalam hidup (ketertarikan), serta apa yang mereka pikirkan
tentang hal di sekitarnya. Gaya hidup dari mengonsumsi barang seperti
mengikuti tren yang ada dari fesyen, perawatan badan, riasan, elektronik,
kendaraan, berlangganan film dan musik secara online, hingga
mengonsumsi jasa seperti menghabiskan waktu di luar untuk makan,
minum, pergi ke tempat hiburan, mengikuti berbagai pengalaman sosial
serta travelling adalah jenis-jenis gaya hidup masyarakat konsumeris yang
banyak tinggal di area perkotaan. Hal ini sangat dimungkinkan karena kota
didesain sebagai ruang konsumen (consumer space) yang diharapkan
mampu memuaskan kebutuhan kelas menengah baru (Abdullah, 2007:33).
Berkembangnya zaman yang diiringi dengan berkembangnya
teknologi membuat gaya hidup masyarakat juga mengalami perubahan.
Salah satunya adalah tersedianya fitur pembayaran baru, yakni e-wallet,
dompet digital yang memungkinkan kita untuk melakukan transaksi di
mana pun, kapan pun dan pada transaksi apapun. Dikutip dari (Mufidah,
2006) pesatnya teknologi membuat hampir tidak ada batas geografis, etnis,
80
politik, dan sosial antara masyarakat yang satu dengan yang lain, terlebih
dalam gaya hidup pola konsumtif. Pengaruh globalisasi dan modernisas i
menjadi penyebab mobilitas sosial vertikal di masyarakat tumbuh menjadi
lebih besar. Hal itu terjadi lantaran semua orang bisa dengan bebas
menyalurkan pendapatan mereka ke berbagai jenis konsumsi. Konsumsi
barang dan jasa yang di dalamnya sudah terpancar citra membuat tidak
hanya golongan kelas atas melirik lalu ingin mencicipinya, akan tetapi
golongan kelas menengah bahkan hingga kelas bawah ingin mencobanya.
Sehingga gaya hidup konsumerisme tidak lagi dimiliki satu golongan, tapi
juga ada di tiap golongan masyarakat.
Konsumerisme telah menjadi “cara hidup” atau the way of life
(Miles, 2006: 3-4). Hal ini didukung dengan adanya perkembangan pada
pembayaran era baru, yakni e-wallet. Hal ini seperti yang diungkapkan
oleh informan W, “Perubahan yang saya rasa setelah ada e-wallet adalah
suka beli sesuatu tanpa terpikir budget yang ditentukan tiap bulan,
khususnya biaya untuk beli makan.” Informan I menyebutkan kemudahan
yang diberikan e-wallet membuat gaya hidupnya jadi berubah, hasrat
untuk terus mengonsumsi lagi dan lagi sering muncul, “e-wallet ini kan
ngebuat lebih mudah dan lebih cepet kalo mau transaksi, jadinya pengen
beli beli terus.” Dalam budaya masyarakat konsumeris, gaya hidup
mendapat kedudukan yang istimewa, lantaran masyarakat konsumeris
selalu berusaha mencari mode, gaya, serta kesan yang baru (Mufidah,
81
2006). Informan N bahkan menuturkan bahwa gaya hidupnya menjadi
sangat berbeda semenjak ada e-wallet,
Hmm, kerasa lebih tu di makan ya. Dulu pas aku S1 kalau ga makan di
tempat makannya, ya beli bahan terus olah sendiri kan, tapi setelah
banyak menghitung, beli bahan-bahan makanan dan energi masak,
bersih-bersih gitu juga harus disebut cost, kalau dihitung itu jatohnya
lebih mahal dari beli di e-wallet. Jadi ada unsur praktis, ada promo-promo
juga kan yang ngebuat aku sekarang berubah, yang mana promo itu kan
bukan cuma murah tapi juga menguntungkan (wawancara dengan N, 03
Juni 2020).
Gambar III.B.4.1.Poster Cashback OVO
Sumber: www.ovo.id (diunduh pada 15 Agustus 2020)
Kehadiran e-wallet sebagai moda pembayaran baru dirasa N
sebagai salah satu perubahan gaya hidupnya. E-wallet dengan efisiens i
serta keuntungannya membuat N yang dulunya senang masak, memilih
untuk memiliki gaya hidup yang simpel yaitu memesan makanan lewat
aplikasi online lalu, makanan akan diantarkan ke depan kamar. Informan
Ad juga menuturkan perubahan gaya hidup yang ia rasakan, yaitu beralih
dari pembayaran dengan kartu kredit menjadi pembayaran e-wallet,
khususnya pada fitur pay later yaitu metode pembayaran baru yang
memungkinkan konsumen untuk melakukan transaksi tanpa membayar di
awal, tagihan akan diberikan di akhir bulan, “Ada sedikit perubahan,
82
apalagi dengan adanya pay later.” Tak jauh berbeda, informan F
mengungkapkan terjadinya perubahan gaya hidup konsumsinya yang
menjadi meningkat semenjak ada e-wallet, khususnya pada belanja dan
transaksi online di luar makanan, “Frekuensi belanja online atau transaksi
online aku meningkat, salah satunya adalah sekarang beli make up atau
barang yang tidak langsung (di luar makanan) dikonsumsi biasanya lewat
online.” Tidak hanya perubahan pada tingkat frekuensi belanja, tapi juga
pada pemilihan tempat berbelanja. Belanja secara online menjadi pilihan
pertama dari belanja secara langsung di toko. Hal berbeda dituturkan
informan V bahwa sisi tidak mengeluarkan uang ‘secara riil/fisik’ yang
ditawarkan e-wallet membuatnya menjadi terasa lebih mudah untuk
bertransaksi,
Aku merasa kayak ga lagi melakukan pembayaran sih sangking
gampangnya. Semua juga dalam satu device, di HP aja dan jujur aku suka
yang lebih praktis sih emang. Jadi seneng pake e-wallet. Terus ga perlu
ke ATM, nyari kembalian, bikin dompet tebal karena koin atau kertas
selembaran haha, agak males sih (wawancara dengan V, 14 Juni 2020).
Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan (Ramadani,
2016), secara psikologis, seseorang akan lebih mudah mengeluarkan uang
dalam bentuk nontunai dibanding tunai dan kemudahan serta kecepatan
yang ditawarkan e-money.
Perubahan pola konsumsi juga dirasakan informan Z yang
menyatakan bahwa dirinya awalnya tak terlalu memikirkan pandangan
orang lain, akan tetapi setelah pernah diberi komentar buruk terkait
penampilannya, hal itu membuatnya menjadi lebih selektif dengan gaya
83
penampilannya yang membuatnya jadi orang yang mementingkan
penampilan saat ini,
Hm, biasanya aku ngga terlalu pikirin apa yang orang pikirin tentang aku
ya, jadi ya untuk prestise gitu ngga ya, tapi ya sebenernya semua orang
itu kan pengen terlihat baik di hadapan orang-orang jadi ya kalau beli
baju misal ya ga jelek-jelek amat lah, tapi ya ngga bagus-bagus amat yang
sampe narik perhatian gitu. Jadi ya kalau aku beli itu, aku harus pikirin
untuk diri aku dulu, kira-kira aku suka ga ya? jadi ya, terserah orang lain,
suka atau ngga. Tapi dua tahun terakhir ini aku lagi seneng mikir banyak
soal baju yang akan mau aku beli, karena aku pernah diomongin temenku
karena bajuku ngga banget haha dan aku kaya sakit hati gitu, jadi ya
sekarang untuk baju, aku suka mikir yaa ngga malu-maluin lah bajunya
(wawancara dengan Z, 03 Juni 2020).
Berbeda dengan informan V yang menyadari bahwa selain memenuhi
kebutuhan primer, dirinya juga memenuhi kebutuhan tersier yang sudah
diatur dalam jadwal pengeluarannya,
Aku sadar kebutuhan aku. Ya adalah ya beberapa spendings memang
sifatnya tersier, sesuatu yang aku inginkan bukan aku butuhin banget,
untuk self-care haha. Tapi semua itu tetep under my control. Memang
aku jadwalkan aja (wawancara dengan V, 14 Juni 2020).
Senada dengan informan V, informan N juga mengatakan bahwa konsumsi
barang yang dia lakukan biasanya berdasarkan keinginan untuk
memberikan apresiasi pada dirinya setelah melewati atau melakukan
sesuatu, “itu biasanya ke lebih faktor keinginan si, biasanya aku ngasih
reward ke diri sendiri. Reward tu ngasih penghargaan ke diri aku gitu.
Biasanya bentuknya reward makanan si, aku makan enak apa gitu.”
Gaya hidup juga dibungkus dengan status kelas sosial ekonomi
(Pawanti, 2013). Secara tak sadar, masyarakat konsumeris mula i
84
mengklasifikasi gaya hidup orang lain dan dirinya sendiri yang berujung
pada penggolongan suatu kelas sosial ekonomi tertentu. Jika kita refleksi
secara sadar, pakaian bertujuan menutupi dan melindungi tubuh kita dari
cuaca yang terik dan hujan, akan tetapi berkembangnya gaya yang
didukung dengan bertebarannya iklan, merek, dan tren yang dipakai oleh
selebritis yang sering kita lihat setiap saat membuat kita melihat bahwa
pakaian merepresentasikan pesan dan gaya tertentu. Dari satu klasifikas i
itu, kita tidak lagi mendefinisikan seseorang, tapi juga turut
mendefinisikan suatu kelas atau komunitas tertentu.
5. Keterkaitan Status Sosial dan Identitas Diri dengan Daya Konsumsi
Menarik mengutip perkataan dari Lechte (2001:254) bahwa,
Konsumsi menurut Baudrillard memegang peranan penting dalam hidup
manusia. Konsumsi membuat manusia tidak mencari persamaan,
manusia justru melakukan diferensiasi (perbedaan) yang menjadi acuan
gaya hidup dan nilai, bukan kebutuhan ekonomi (Lechte, 2001:254).
Masyarakat modern meyakini bahwa semakin banyak konsumsi yang
dilakukan, maka hal itu akan berdampak pada golongan status sosialnya
yang akan menjadi semakin tinggi. Baudrillard memaparkan bahwa
konsumsi juga ditentukan oleh seperangkat hasrat untuk memperoleh
status, penghormatan, prestise, dan konstruksi identitas melalui
‘mekanisme penandaan’ (Bakti et al., 2019).
Masyarakat mulai meyakini bahwa konsumsi yang mereka lakukan
akan berdampak besar dan panjang bagi kehidupan pribadi mereka ke
85
depan. Masyarakat mulai selalu mengaitkan identitas diri sendiri dan orang
lain berdasarkan seberapa banyak konsumsi barang yang telah dibeli dan
jasa yang digunakan. Sehingga hal itu akan memacu masyarakat sedikit
demi sedikit untuk berkonsumsi secara tidak berhenti dan tidak mudah
puas. Dari situ, perubahan gaya hidup seseorang mulai terbentuk.
Informan Z menuturkan bahwa kondisi masyarakat sudah di tahapan yang
akan berjuang penuh untuk terlihat kaya di depan orang lain agar status
sosial dirinya naik, “menurut aku, that’s why banyak orang yang mati-
matian pengen terlihat kaya di depan orang lain, padahal sebenernya dia
ga punya uang sebanyak itu, karna aku sering lihat itu si.” Hal serupa
diungkapkan juga oleh informan I,
Kalau ngeliat realita sosial yang ada di masyarakat, bisa dibilang iya.
Karena beberapa orang pasti tergabung atau berkumpul dengan orang
yang mempunyai status sosial yang sama di mana gaya konsumsinya
cenderung mirip (wawancara dengan I, 03 Juni 2020).
Informan V mengatakan bahwa perbedaan daya konsumsi yang
berujung pada penggolongan status sosial berawal dari SES (Social
Economy Status) bahwa seseorang yang memiliki SES tinggi akan
cenderung mengonsumsi lebih banyak dibanding seseorang yang memilik i
SES rendah, meskipun tidak menutup kemungkinan keduanya berbalik
posisi,
Hmm aku melihat ada perbedaan aja sih. Mungkin bisa dibilang cukup
menentukan. Karena kalau orang yang mungkin daya belinya rendah bisa
dilihat dari barang-barang yang dibeli atau brand-brand yang jadi
preferensi, bisa dilihat juga dari kualitas atau tampilan barangnya. Hal
tersebut akan berbeda banget dengan orang yang memiliki daya beli
tinggi. Beda kebutuhan juga sih untuk orang yang SES (Social Economy
86
Status)nya tinggi pun akan memiliki kebutuhan yang berbeda juga
dengan yang SES rendah. Tetapi kalau suatu pola perilaku (apakah dia
berlebihan atau tidak) terlepas dari barang yang dibeli itu akan sama-
sama aja. Bisa jadi orang dengan SES rendah jajannya sering banget
sedangkan SES yang lebih tinggi belanja sesuai kebutuhan aja atau
sebaliknya. Sama aja itu disebut pola konsumsi berlebihan (wawancara
dengan V, 14 Juni 2020).
Baudrillard dalam bukunya yang berjudul The Consumer Society
pada tahun 1998 mengungkapkan,
One of the strongest proofs that the principal and finality of consumption
is not enjoyment or pleasure that is now something which is forced upon
us, something institutionalized, not as right or pleasure but as the duty of
citizen (Baudrillard 1998)
Atau bisa diartikan bahwa konsumen tidak lagi melakukan tindakan
konsumsi suatu objek atas dasar kebutuhan atau kenikmatan, tetapi juga
untuk mendapatkan status sosial tertentu dari nilai tanda yang diberikan
(Pawanti, 2013). Implikasinya adalah bahwa konsumsi menjadi bentuk
simbol aktif dari konstruksi identitas (Bakti et al., 2019). Masyarakat
konsumeris mulai mengonstruksi ulang identitas diri mereka dengan cara
berkonsumsi secara terus menerus tanpa melihat dampak buruk di masa
depan baik secara psikologis maupun habisnya pendapatan. Identitas diri
yang akan berimplikasi pada pembawaan status sosial seakan menjadi
faktor penentu nyaman dan tenangnya hidup seseorang. Hal ini didukung
dengan keterangan dari Paul du Gay, et al. dalam bukunya yang berjudul
Doing Cultural Studies: The Stories of the Sony Walkman (1997) yang
menelusuri bahwa sejarah munculnya kritik atas budaya konsumtif dalam
masyarakat konsumeris adalah fakta bahwa kebanyakan konsumen
melakukan kegiatan konsumsi demi penentuan identitas diri mereka.
87
Penentuan ‘siapa aku’ atau status diri ditemukan dengan mengonsumsi
produk yang citra luarnya bisa mengangkat derajat identitas dirinya. (Paul
du Gay, et al, 1997: 99-102). Alhasil masyarakat konsumeris akan
memaknai eksistensi dirinya dan juga orang lain berdasarkan barang-
barang yang sudah dibeli dan konsumsi jasa serta pengalaman yang
didapat. Baudrillard mengungkapkan bahwa masyarakat konsumeris perlu
melakukan kegiatan konsumsi sebagai upaya untuk merasa hidup.
Ritzer dalam kata pengantar di buku The Consumer Society karya
Jean Baudrillard (2010: 137) membahasakan fenomena ini dengan
kalimat, “Ketika kita mengonsumsi objek, maka kita mengonsumsi tanda,
dan sedang dalam prosesnya kita mendefinisikan diri kita.” Tanda yang
terpatri dalam barang dan jasa membuat kita mendefinisikan diri dengan
tanda yang muncul. Padahal sejatinya, tanda itu sendiri dibuat oleh pihak
eksternal di luar diri kita, produsen yang memasarkan barangnya melalui
iklan, lalu dipakai oleh selebriti dan kalangan atas, perlahan mula i
merasuki kehidupan masyarakat perkotaan. Masyarakat perkotaan yang
terpapar dengan paparan citra-citra tersebut akan terus merasa haus
eksistensi, haus dengan konsumsi barang dan pengalaman jasa yang
ditawarkan oleh barang-barang buatan produsen, yang menimbulkan
identitas diri kita adalah citra barang dan jasa yang kita konsumsi selama
ini. Produsen di sini pada akhirnya akan berkembang menjadi kapitalisme
postmodern (Ritzer, 2010:69). Senjata kapitalisme global ini kalau
meminjam istilah Berger (2010: 205-206) dinamakan culture code, sebuah
88
struktur rahasia yang membentuk atau setidaknya mempengaruhi perilaku
masyarakat yang akan membuat hidup masyarakat didikte oleh eksistens i
objek.
Skema III.B.5. Analisis Perubahan Pola Konsumsi dengan Teori Jean
Baudrillard
C. Sarana Penggunaan E-Wallet
Masif dan tingginya pengguna e-wallet salah satunya diliha t
berdasarkan nominal transaksi pada pertengahan tahun 2019 yang mencapai
angka lebih dari Rp 56 triliun (Tirto.id, 2019). Selain itu hal ini ditunjang
dengan terdigitalisasinya berbagai pembayaran, dari hal primer hingga
sekunder, dari pembayaran di toko perbelanjaan (mall) besar hingga warung
makan pinggir jalan. Melihat pada variasi fitur yang bisa dibayar
menggunakan e-wallet, informan W mengungkapkan, pembayaran
Membuat terjadinya
pergeseran nilai
primer dan
sekunder
Produsen
memproduksi
barang secara
melimpah
Terbentuknya
masyarakat
konsumerisme
Berpengaruh pada
identitas diri dan
status soial
Melalui sarana iklan
yang berbahasa
persuasif
Menjadi sign
dan symbol
value
Menimbulkan
pergeseran use
dan exchange
value dalam
berkonsumsi
Kesejahteraan
masyarakat
meningkat
89
kebutuhan rumah tangga sehari-hari menjadi prioritasnya dalam pembayaran
menggunakan e-wallet, “pembayaran PAM rutin tiap bulan lewat GoPay,
beli makanan, serta memesan transportasi online.” Informan Z menuturkan
bahwa pembelian skincare hingga belanja online dibayarnya dengan
penggunaan e-wallet,
Haha banyak banget yang aku pake dari GoRide (memesan transportasi
online), GoFood (memesan makanan online), beli pulsa, bayar pulsa listrik,
bayar skincare di sociolla (bayar dengan GoPay dan OVO), dan bayar
barang di Tokopedia (bayar dengan OVO) (wawancara dengan Z, 03 Juni
2020).
Gambar III.C.1.Poster Cashback Sociolla dengan GoPay dan Promo Pembayaran Tagihan Rumah Tangga dengan OVO
Sumber: Twitter OVO dan Sociolla (diunduh pada 10 Agustus 2020)
Bahkan informan F menuturkan bahwa investasi yang dilakukannya bisa
dibayar dengan e-wallet yang memudahkannya untuk membayar,
Aku pake e-wallet untuk pesan transportasi online, belanja barang-barang
di Tokopedia (bayar dengan OVO), belanja make up di Sociolla (bayar
dengan GoPay dan OVO), investasi di Bibit (bayar dengan GoPay), dan
beli kebutuhan game (wawancara dengan F, 04 Juni 2020).
90
Informan V menyebutkan sebagai karyawan di GO-JEK, transaksi dengan e-
wallet adalah hal yang wajar, mengingat semua keperluan transaksi
menggunakan e-wallet (GoPay),
Karena aku kerja di GO-JEK haha jadi semua transaksi di kantor pakai
GoPay, aku pake untuk pesen transportasi online, bayar tagihan (listrik,
pascabayar, dll), pesen makanan utama juga sering karena bunda suka
capek masak, jadi suka beli makan malam online, kita juga suka pesen
makanan dessert yang manis-manis gitu, terus aku hampir tiap hari beli
kopi-kopi gitu si, haha, di kantor dan di deket rumah aku ada toko
langganan (wawancara dengan V, 14 Juni 2020).
Teknologi pada hakikatnya diciptakan untuk memudahkan
kehidupan manusia menjadi lebih baik dan lebih maju. Manusia sebagai
pencipta dan pemilik teknologi diharap tidak menjadi budak atas ciptaannya
sendiri. Sebagaimana konsumsi dan produksi yang akan terus ada dari hidup
manusia, namun yang membedakan kita dengan ciptaan Tuhan lainnya adalah
kemampuan kita mengendalikan kontrol atas keinginan dan kebutuhan diri.
D. Perubahan Sebelum dan Sesudah Berkonsumsi dengan E-Wallet
Manusia ternyata juga mengalami evolusi (Bakti et al., 2019). Bukan
dalam makna biologis, akan tetapi orientasi manusia dalam berkonsumsi. Pada
awalnya konsumsi dilakukan untuk bertahan hidup (survive) dan memenuhi
kebutuhan (needs), namun sekarang konsumsi dilakukan untuk pemuasan
hasrat (desire) dan gaya hidup (lifestyle).
Konsumsi di era kini beralih dari konsumsi konvensional menjadi
konsumsi modern, dari menyimpan uang di dalam rumah hingga menyimpan
91
di bank dan koperasi, dari menggunakan uang tunai perlahan menggunakan
uang yang tersimpan di dalam kartu sampai akhirnya menyimpan uang dalam
bentuk dompet digital (e-wallet). Semua perubahan ini dirasa masyarakat di
tiap generasi. Generasi pemuda atau biasa disebut generasi Y adalah generasi
yang paling adaptif dan reaktif terhadap perubahan ini, yakni perubahan dari
penggunaan uang tunai menjadi penggunaan dompet digital. Banyak sekali
perubahan yang telah terjadi, salah satunya sekarang kita mengenal belanja
online.
Belanja online adalah tawaran jenis konsumsi baru yang didesain
oleh produsen untuk memudahkan konsumen dalam melakukan konsumsi.
Belanja online tidak hanya terkenal di kalangan generasi pemuda, namun
generasi orang tua juga turut mencoba mengikuti tren ini. Hal ini sangat wajar
mengingat belanja online memiliki beberapa keunggulan, seperti konsumen
tidak lagi perlu keluar rumah untuk membeli kebutuhan primer hingga
sekunder, cukup memesan, transfer uang, tunggu paket datang di depan rumah
dalam beberapa waktu. Bukan hanya dari sisi praktis, bisa dilihat dari segi
ekonomis juga. Harga yang ditawarkan sering kali lebih murah dari pusat
perbelanjaan, mengingat tidak adanya biaya operasional yang dibutuhkan pada
toko online. Saat ini belanja online tidak sekedar menjadi tren, namun belanja
online sudah memasuki tahap gaya hidup modern, karena adanya hemat uang
dan waktu.
Perubahan gaya hidup seperti ini membuat para pemangku bisnis
mencari peluang baru yakni dengan mengeluarkan dompet digital (e-wallet).
92
E-wallet adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan rekening pengguna
untuk dibayarkan kepada penjual berupa pemotongan saldo yang ada pada
rekening pengguna (Suara.com, 2019). E-wallet yang difokuskan peneliti pada
tulisan ini adalah GoPay, OVO, dan Dana. Pembayaran yang dilakukan secara
aman dan nyaman, adanya promo, diskon, dan cashback yang ditawarkan
membuat tingginya minat penggunaan e-wallet di masa kini. Informan Ad
menuturkan bahwa dirinya menggunakan e-wallet karena praktis, mutu
layanan vendor e-wallet yang baik, serta adanya pemasukan dan pengeluaran
yang tercatat dengan baik,
Kalau dari pengalaman saya, saya menggunakan e-wallet karena
kepraktisan dan pencatatan keluar-masuk uang yang rapi dibanding
ketika saya menggunakan dan mencatat pengeluaran saya menggunakan
uang tunai (wawancara dengan Ad, 03 Juni 2020).
Begitupun dengan informan W yang mengungkapkan praktis, simpel, adanya
promo, serta adanya pencatatan setiap transaksi membuatnya menggunakan
e-wallet, “simpel (bawa gadget kemana-mana cukup tanpa bawa dompet),
minim resiko (uang) hilang, historical transaksi terrecord dengan baik, dan
banyak promo.” Hal ini juga turut diamini G, pencatatan tiap transaksi, tidak
perlu membawa uang tunai, serta promo, “untuk memudahkan tracking
pengeluaran setiap bulan, tidak harus membawa banyak cash setiap saat dan
mendapatkan promo-promo tertentu.” Informan Z juga menuturkan hal yang
sama bahwa bagi dirinya yang sering lupa dengan transaksi yang sudah dia
lakukan, pencatatan tiap transaksi sangat membantunya,
Males pegang cash dan kalau di e-wallet kan ada history pemakaiannya
untuk apa aja, karna kadang-kadang kita suka lupa itu uangnya dipake
93
untuk apa aja ya, jadi kalau pake e-wallet itu bisa ke-track penggunaanya
untuk apa aja (wawancara dengan Z, 03 Juni 2020).
Tidak perlu membawa uang tunai yang suka membuat dompet gemuk juga
adalah salah satu keuntungan menggunakan e-wallet. Seperti yang
diungkapkan informan N bahwa harga yang ditawarkan di toko yang
pembayarannya menggunakan e-wallet memberikan banyak manfaat
untuknya, salah satunya cashback,
Jadi gini, misal jajan di warung/tukang konvensional kan kebanyakan ga
bisa pake e-wallet dan kadang harganya itu lebih mahal. Nah kalau aku
belanja di Hypermart misal atau di merchant-merchant yang dia itu kerja
sama dengan e-wallet itu kan ada cashbacknya juga kan. Tapi itu
tergantung kebutuhan juga kan, kaya Hypermart itu kan menyediakan
kebutuhan bulanan yang aku butuh, terus ada juga Alfamart yang sesekali
aku beli (produknya) (wawancara dengan N, 03 Juni 2020).
Manfaat lain dirasakan informan Ang yang menuturkan bahwa kehadiran e-
wallet membuatnya tidak perlu khawatir dengan uang hilang dan ketingga lan
di rumah, karena uang sudah tersimpan dengan baik di dalam ponsel pintar
yang selalu dibawa kemana-mana,
Sebenernya saya tipe yang ga bisa pegang uang cash gitu, karena takut
hilang, ketinggalan, dll. E-wallet ini kan ada di hp ya, barang yang ga
pernah ketinggalan, kalau kita kurang duit, tinggal minta orang rumah
untuk kirimin duit ke e-wallet kita (wawancara dengan Ang, 03 Juni
2020).
Gambar III.D.Poster Ajakan Tidak Perlu Bawa Cash
94
Sumber: www.tokopedia.com (diunduh pada 15 Agustus 2020)
Perubahan dari sisi transaksi ini tidak hanya berpengaruh pada satu
lini, akan tetapi juga berdampak pada beberapa hal. Dari sisi pemerintah,
kehadiran e-wallet diyakini mampu bisa menjadi penggerak utama negara kita
menuju Less Cash Society. Hal ini dilihat berdasarkan manfaat e-wallet yang
tidak hanya memberikan dampak bagi para pemangku bisnis dan juga
konsumen yang menggunakannya, namun juga bagi masa depan negara yang
bertujuan menjadi negara modern, bermartabat, mengikuti zaman, dan turut
membangun perekonomian.
Perubahan-perubahan ini tidak bisa kita sangkal, baik dari sisi
perubahan baik, maupun buruknya. Dari sisi baiknya, masyarakat menjadi
aman dan nyaman untuk melakukan transaksi tanpa harus keluar rumah untuk
berbelanja langsung di toko, masyarakat juga tidak perlu lagi mencatat
pengeluaran dan pemasukan karena semua sudah tercatat rapi di aplikasi e-
wallet, berbagai pembayaran kebutuhan rumah tangga dan keluarga seperti
95
pembayaran PAM, listrik, telepon, wi-fi, BPJS, dan tagihan asuransi lainnya
mampu dengan aman dan tepat waktu dibayar karena e-wallet memberikan
fitur reminder/pengingat. Dari sisi ekonomis, belanja online dan belanja
dengan transaksi e-wallet juga seringkali memberikan harga lebih murah,
sehingga dalam satu bulan dengan nominal angka yang sama masyarakat bisa
membeli beberapa barang dibanding saat berbelanja langsung di toko dengan
uang tunai. Manfaat selanjutnya adalah semakin berangsur-angsur kita akan
melihat minimnya kriminalitas yang terjadi, khususnya pada penggelapan uang
dan pencurian dompet dan uang tunai, karena semua uang sudah dimasukan
dengan aman di dalam kartu dan juga di dompet digital.
Perubahan-perubahan baik ini memang diiringi dengan adanya
perubahan buruk, seperti bertambah banyaknya masyarakat hedonis dan
masyarakat konsumeris, di mana mereka terus melakukan kegiatan konsumsi
tanpa melakukan beberapa pertimbangan terlebih dahulu. Kita menghadapi era
konsumsi tanpa mengeluarkan uang secara fisik yang mana membuat kita
menjadi psikis merasa ‘belum melakukan transaksi’ sehingga keinginan untuk
melakukan konsumsi lagi dan lagi akan terus terjadi dan berulang. Kriminalitas
juga tidak lagi terjadi di jalanan, kriminalitas mulai terjadi di media-med ia
sosial dengan bantuan internet, penipuan berkedok keluarga, teman, dan
sebagainya acap kali terjadi di e-wallet. Perubahan buruk ini tentunya bisa kita
minimalisir sebagai manusia yang berakal, dengan terus belajar dan
memperbaiki sistem yang ada sehingga muatan untuk munculnya kriminalitas
dan dampak negatif lainnya bisa tereduksi.
96
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Saat ini pemuda perkotaan, khususnya di kota Jakarta Selatan telah
mengalami evolusi/perubahan pada esensi pola konsumsi. Konsumsi yang
sejatinya adalah fenomena kehidupan yang lazim tidak akan pernah
tergantikan mulai bergeser esensinya dari motivasi konsumsi yang dilakukan
untuk bertahan hidup dan memenuhi kebutuhan menjadi konsumsi untuk
pemuasan hasrat dan gaya hidup.
Kehadiran transaksi digital hadir untuk memenuhi perubahan pola
konsumsi ini. Sedikit banyak, keduanya saling memberikan pengaruh antara
pola konsumsi yang kian meningkat pada pembelian barang-barang primer
dan sekunder dengan tingginya penggunaan e-wallet yang terbukti pada
tingginya peredaran uang dari tahun ke tahun.
E-wallet melalui berbagai promosi dan iklan yang terpampang di
berbagai tempat dari smartphone, internet, media massa, sosial media, hingga
TV dan billboard dengan bahasanya yang persuasif, serta tampilan gambar
dan warna yang menarik mata membuat siapa saja seakan tersihir untuk
membelinya. Pemuda akhirnya ditemukan pada pilihan jalan untuk terus
melakukan kegiatan transaksi baik secara offline maupun online melalui
online shopping. Hal itu selanjutnya juga akan berdampak pada kebingungan
pemuda dengan definisi ‘keinginan’ dan ‘kebutuhan’ hidupnya.
97
Iklan yang sejatinya dibuat untuk memasarkan produk, sekarang
mulai memuat tanda-tanda dan citra tertentu bagi masyarakat untuk
menggunakan objek tersebut. Masyarakat diiming-iming dengan tanda dan
citra yang akan melekat pada dirinya jika mengonsumsi objek itu. Terlebih
pada pemuda perkotaan yang aktif mengikuti zaman, tak gaul rasanya jika tak
mengikuti perkembangan zaman; gengsi, prestise, dan gaya menjadi
pertimbangan. Logika konsumsi pemuda akhirnya mulai tergeser dari
membeli barang karena use dan exchange value menjadi sign dan symbolic
value.
Pergeseran ini secara nyata dialami dari perubahan nilai barang
primer serta barang sekunder. Semua barang yang ada rasanya adalah
komoditi penunjang sarana hidup. Konsumsi tidak lagi menjadi alasan bagi
pemuda untuk keluar rumah guna membeli barang dan mengonsumsi jasa
karena utilitas dan harganya, namun konsumsi sudah menjadi interaks i
simbolik bagi pemuda untuk mencari dan menemukan identitas diri dan status
sosial mereka melalui penandaan dan penilaian yang diberikan masyarakat
terhadap komoditi itu. Jean Baudrillard dengan apik menggiring konsep
pemikiran ekonomi dari Karl Marx yang mengindikasikan use value dan
exchange value sebagai penggerak utama hadirnya pasar, hingga akhirnya
mulai memudar dan menemukan dua objek baru, yakni sign value dan
symbolic value.
Istilah masyarakat konsumeris mulai melekat bagi mereka yang
menjadikan konsumsi sebagai penanda keberadaan seseorang. Semakin
98
banyak dan beragam konsumsi yang digunakan, akan berdampak pada
semakin tinggi status sosial dirinya di masyarakat. Tidak selesai hanya pada
status sosial, identitas diri sendiri dan orang lain juga mulai dikaitkan dengan
banyaknya konsumsi yang sudah dilakukan. Pemuda mulai melihat jati
dirinya dan jati diri orang lain berdasarkan seberapa banyak konsumsi barang
dan jasa yang sudah digunakan. Pergeseran nilai sosial ini tidak terjadi tiba-
tiba. Dunia yang modern yang diiringi dengan berkembangnya teknologi
membuat proses konsumsi semakin mudah dilakukan. Pembayaran era baru
yang mengusung keamanan, kenyamanan, kecanggihan, efisiensi, serta
keuntungan di sisi ekonomi membuat pemuda tak bisa menutup mata untuk
tidak menggunakan pembayaran ini.
Era pembayaran baru, yakni pembayaran dengan dompet digita l
sedikit banyak telah berperan pada perubahan pola konsumsi yang terjadi.
Perubahan pola konsumsi pada transaksi digital memang sudah terjadi,
bahkan di masa sebelum e-wallet terjadi, tepatnya pada kehadiran e-money
dan kartu ATM. Sedikit banyak, perubahan pola konsumsi ini menjadikan
masyarakat perkotaan mulai menjadikan transaksi digital adalah gaya hidup
mereka sehari-hari.
Melalui kemudahan pembayaran, ekonomis, serta adanya efisiens i
pencatatan pengeluaran dan pemasukan, dompet digital menjadikan
masyarakat milenial kota Jakarta Selatan mulai terubah esensi konsums i
mereka. Hal ini didukung dengan adanya penawaran pembayaran pada
beberapa marketplace yang terintegrasi langsung dengan e-wallet. Sehingga
99
e-wallet memiliki beragam fitur pembayaran dari pembayaran kebutuhan
rumah tangga seperti pembayaran wi-fi, BPJS, PAM, listrik, telepon, tagihan
asuransi, dan lain-lain, hingga pembayaran kebutuhan sekunder, seperti
pembayaran marketplace untuk pembelian alat-alat hobi dan kesenangan.
B. Saran
Jean Baudrillard telah memberikan kita pemahaman bahwa
konsumsi yang kita lakukan saat ini adalah konsumsi tanda. Konsumsi tanda
yang bertujuan untuk meningkatkan status sosial dan juga harga diri
(prestise). Mengetahui realitas ini, kita sebagai masyarakat modern yang
berpikiran maju serta berpendidikan hendaklah tidak terjebak pada delusi
konsumsi seperti ini. Hendaknya konsumsi kita harus didasarkan pada
kebutuhan diri dan kesanggupan diri untuk membayarnya, bukan untuk
meningkatkan prestise, terbujuk rayuan iklan, dan motivasi lainnya. Hal-hal
tersebut nantinya jika dilakukan secara terus menerus oleh banyak orang akan
membentuk masyarakat konsumeris yang lebih memilih untuk menjadi
konsumen daripada menjadi produsen. Selain itu, masyarakat konsumeris
juga bisa tak sehat secara mental karena identitas dirinya sendiri saja harus
ditentukan dari sesuatu yang berasal dari luar dirinya, komoditi yang melekat
pada tubuhnya. Memperhatikan skala prioritas kebutuhan, tidak boros, serta
tidak terbujuk oleh rayuan iklan adalah langkah-langkah yang tepat untuk
digunakan.
100
Bagi pemerintah provinsi DKI Jakarta dan pemerintah kota Jaka
Selatan serta pihak lain yang berkepentingan, tentunya diharapkan untuk
melihat sisi dampak sosial dari konsumsi, bukan hanya pada perkembangan
angka ekonomi. Konsumsi memang harus berjalan demi tingkat ekonomi
yang stabil, namun melihat kota Jakarta Selatan memiliki tingkat konsumsi
tertinggi se-Indonesia selama beberapa waktu juga perlu diperhatikan
alasannya. Apakah hal ini terjadi karena tingkat kemakmuran masyarakat
kian meningkat atau karena ada unsur sosial lain yang dilakukan masyarakat
dalam melakukan kegiatan konsumsi.
Terakhir bagi peneliti selanjutnya bisa melakukan penelit ian
dengan tema yang sama di lokasi yang berbeda. Penelitian ini bisa dilakukan
dengan baik karena melihat kota Jakarta Selatan sebagai penyangga ibukota
yang tingkat kesejahteraan masyarakatnya tinggi, pendidikan yang baik,
memiliki penduduk dengan rata-rata di usia produktif, dan lain sebagainya.
Peneliti berharap, penelitian selanjutnya bisa dilakukan di lokasi-lokasi lain
dengan mempertimbangkan kriteria yang ada. Secara khusus, penelit ian
selanjutnya juga bisa melakukan diferensiasi dari sisi pertanyaan penelitian,
fokus kajian, subjek dan lokasi penelitian, hingga metode penelitian.
101
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Buku:
BPS. 2020. Kota Administrasi Jakarta Selatan Dalam Angka 2020 (Jakarta
Selatan Municipality Figures). Jakarta: Badan Pusat Statistik.
BPS. 2020. Kota Jakarta Selatan dalam Infografis 2019. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
BPS. 2020. Peta Tematik Kota Jakarta Selatan 2020. Jakarta: Badan Pusat
Statistik.
BPS. 2019. Statistik Kesejahteraan Rakyat Kota Administrasi Jakarta Selatan 2019. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
BPS. 2019. Statistik Daerah Kota Administrasi Jakarta Selatan 2019. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
Baudrillard, Jean. 2008. Masyarakat Konsumsi. Seventh. edited by A. Sumrahadi. Jogjakarta: KREASI WACANA.
Firmansyah, Herlan, and Wiji Purwanta. 2014. Buku Panduan Guru Ekonomi SMA/MA Muatan Kebanksentralan. Bank Indonesia; Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Moleong, Lexy J. 2004. “Metodologi Penelitian Kualitatif.” Bandung: Remaja Rosdakarya.
Sumber Jurnal:
Ansori, Mohammad Hasan. 2009. “Consumerism and the Emergence of a New Middle Class in Globalizing Indonesia.” Explorations 9:87–97.
Bakti, Indra Setia, Nirzalin Nirzalin, and Alwi. 2019. “Konsumerisme
Dalam Perspektif Jean Baudrillard.” Jurnal Sosiologi USK (Media Pemikiran & Aplikasi) 13(2):147–66.
Dewi, Fransisca Iriani Roesmala, and P. Tommy Y. Sumatera Suyasa. 2017. “Perbandingan Perilaku Konsumtif Berdasarkan Metode Pembayaran
Perbandingan Perilaku Konsumtif Berdasarkan Metode Pembayaran.” Jurnal Phronesis 7(2):172–99.
Fadhilah. 2011. “Relevansi Logika Sosial Konsumsi Dengan Budaya
Konsumerisme Dalam Epistemologi Jean Baudrillard.” Jurnal Kybernam 2(12):19.
Firmansyah, Herlan, and Wiji Purwanta. 2014. Buku Panduan Guru
Ekonomi SMA/MA Muatan Kebanksentralan. Bank Indonesia;
102
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Hapsari, Paramita W., Sudung M. Manurung, and Putri Andam Dewi. 2017.
“Perilaku Konsumsi Dan Produksi Komunitas Penggemar.” Wahana 1(12):44–52.
Huwaydi, Yasir, and Satria Fadil Persada. 2018. “Analisis Deskriptif
Pengguna Go-Pay Di Surabaya.” Jurnal Teknik ITS 7(1):1–5.
Iryana;, and Rizky Kawasati. 2018. “Teknik Pengumpulan Data Metode Kualitatif.” Ekonomi Syariah Sekolah Tinggi Islam Negeri (STAIN) Sorong 4(1):17.
Kushendrawati, Selu Margaretha. 2006. “Masyarakat Konsumen Sebagai
Ciptaan Kapitalisme Global: Fenomena Budaya Dalam Realitas Sosial.” Makara Human Behavior Studies in Asia 10(2):49.
Mufidah, Nur Lailatul. 2006. “Pola Konsumsi Masyarakat Perkotaan: Studi
Deskriptif Pemanfaatan Foodcourt Oleh Keluarga.” Biokultur 1(2):157–78.
Nelasari, Putri Ratna;, and Hendry Cahyono. 2018. “Pengaruh Sistem
Transaksi Non Tunai Terhadap Tingkat Konsumsi Masyarakat Di Surabaya.” Jurnal Ekonomi Islam 1(2):165–71.
Ningrum, Vanda. 2017. Pemuda Dalam Studi Sosial. Jakarta.
Pawanti, Mutia Hastiti. 2013. “Masyarakat Konsumeris Menurut Konsep
Pemikiran Jean Baudrillard.” 1–9.
Putra, Yanuar Surya. 2016. “Theoritical Review: Teori Perbedaan Generasi.” Among Makarti (1952):123–34.
Rafa’al, Mubaddilah. 2017. “Identitas Gaya Hidup Dan Budaya Konsumen Dalam Mengkonsumsi Brand The Executive.” Jurnal Komunikasi
Profesional 1(1):49–57.
Raharjo Jati, Wasisto. 2015. “Less Cash Society: Menakar Mode Konsumerisme Baru Kelas Menengah Indonesia.” Jurnal
Sosioteknologi 14(2):102–12.
Ramadani, Laila. 2016. “Pengaruh Penggunaan Kartu Debit Dan Uang Elektronik (E-Money) Terhadap Pengeluaran Konsumsi Mahasiswa.”
Jurnal Ekonomi Dan Ekonomi Studi Pembangunan 8(1):1–8.
Umanailo, M. Chairul Basrun. 2018. “Konsumerisme.” Kajian Dan Analisis Sosiologi Dalam Bentuk Kumpulan Essay, Makalah Dan Opini (March):107.
WIDJOJO, AHMAD TANOE. 2018. “ANALISIS NILAI-NILAI MODAL
SOSIAL SEBAGAI KONSTRUKSI KESEJAHTERAAN GENERASI MILLENIAL.” UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
103
Sumber Internet:
Bank Indonesia. Edukasi – Financial Technology.
https://www.bi.go.id/id/edukasi-perlindungan-konsumen/edukasi/produk-dan-jasa-sp/fintech/Pages/default.aspx,
diunduh pada 16 April 2020.
Bank Indonesia. Sistem Pembayaran. https://www.bi.go.id/id/peraturan/sistem-pembayaran/Pages/pbi_184016.aspx, diunduh pada 16 April 2020.
Analisa.id. 2019. “Sejarah Panjang Ovo : Startup Unicorn Kelima
Indonesia.”
DetikInet, Rachmatunnisa. 2019. “10 Fakta Persaingan GoPay, Ovo, LinkAja, Dan Dana Cs.” Retrieved April 20, 2020
(https://inet.detik.com/business/d-4666061/10-fakta-persaingan-gopay-ovo-linkaja-dan-dana-cs).
IPrice, Vivin Dian. 2019. “Siapa Aplikasi E-Wallet Dengan Pengguna
Terbanyak Di Indonesia?” Retrieved June 30, 2020 (https://iprice.co.id/trend/insights/e-wallet-terbaik-di- indonesia/).
Katadata, Desy Setyowati. 2019. “Riset: Kalahkan OVO, GoPay Paling Banyak Digunakan Tahun Ini.” Retrieved April 20, 2020
(https://katadata.co.id/berita/2019/11/27/riset-kalahkan-ovo-gopay-paling-banyak-digunakan-tahun- ini,).
Katadata, Pingit Aria. 2019. “OVO Jadi Dompet Digital Terbesar Di
Indonesia Berkat Ekosistem Grab.” Retrieved June 30, 2020 (https://katadata.co.id/berita/2019/09/25/ovo-jadi-dompet-digital-terbesar-di-indonesia-berkat-ekosistem-grab).
Katadata, Tim Publikasi. 2019. “Transaksi Digital Ubah Pola Konsumsi Masyarakat.” Katadata. Retrieved April 16, 2020 (https://katadata.co.id/infografik/2019/04/11/transaksi-digital-ubah-
pola-konsumsi-masyarakat#).
Suara.com, Tri Apriyani. 2019. “E-Wallet Alat Transaksi Dan Pembayaran Zaman Now.” Retrieved June 25, 2020
(https://www.suara.com/yoursay/2019/12/19/140313/e-wallet-alat-transaksi-dan-pembayaran-zaman-now?page=1,).
Tirto.id, Ahmad Zaenudin. 2019. “Gopay Vs OVO Dompet Digital Bertarung Memaksimalkan Dukungan.” Retrieved November 1, 2019
(https://tirto.id/gopay-vs-ovo-dompet-digital-bertarung-memaksimalkan-dukungan-egmF).
Tirto.id, Ringkang Gumiwang. 2018. “Candu Uang Elektronik Para
104
Milenial.” Retrieved April 17, 2020 (https://tirto.id/candu-uang-
elektronik-para-milenial-c5jY).
www.jakarta.go.id
Diunduh pada 20 Juni 2020.
gojek.com
Diunduh pada 20 Juni 2020.
www.grab.com
Diunduh pada 20 Juni 2020.
dana.id
Diunduh pada 20 Juni 2020.
https://kbbi.kemdikbud.go.id
Diunduh pada 20 Juni 2020.
http://statistik.jakarta.go.id/jumlah-penerbitan-akta-kelahiran-dan-kematian-
penduduk-dki-jakarta-sepanjang-tahun-2018-dan-2019/
Diunduh pada 19 Oktober 2020.
Sumber Wawancara:
Wawancara pribadi dengan informan G (Karyawan), 02 Juni 2020
Wawancara pribadi dengan informan W (Karyawan), 03 Juni 2020
Wawancara pribadi dengan informan Ad (Karyawan), 03 Juni 2020
Wawancara pribadi dengan informan N (Mahasiswa), 03 Juni 2020
Wawancara pribadi dengan informan Ang (Mahasiswa) 03 Juni 2020
Wawancara pribadi dengan informan Z (Mahasiswa), 03 Juni 2020
Wawancara pribadi dengan informan I (Mahasiswa), 03 Juni 2020
Wawancara pribadi dengan informan F (Mahasiswa), 04 Juni 2020
105
Wawancara pribadi dengan informan S (Karyawan), 05 Juni 2020
Wawancara pribadi dengan informan V (Karyawan), 14 Juni 2020
xv
LAMPIRAN
LAMPIRAN 1: PEDOMAN WAWANCARA
A. Gambaran Umum
No. Pertanyaan Pokok
1. Pemasukan dalam sebulan
2. Pengeluaran dalam sebulan
3. Mempertimbangkan pandangan orang lain terkait konsumsi
dengan e-wallet
B. Konsumerisme
No. Pertanyaan Pokok
1. Definisi Konsumerisme
2. Tujuan konsumsi menggunakan e-wallet
3. Perubahan gaya konsumsi sebelum dan sesudah menggunakan e-
wallet
4. Ada pertimbangan saat memulai konsumsi
5. Citra terbangun dari barang-barang mahal
6. Tergiur dengan iklan, promo, cashback, diskon dari e-wallet
7. Dampak positif dan negatif saat berbelanja secara berlebihan
8. Pandangan atas orang lain yang konsumtif
9. Menggolongkan diri sebagai konsumerime atau tidak
xvi
C. Dompet Digital
D. Milenial
No. Pertanyaan Kunci
1. Menjelaskan milenial Jakarta Selatan
2. Perbedaan milenial Jakarta Selatan dengan milenial daerah lain
3. Pengaruh identitas diri dengan gaya konsumsi
No. Pertanyaan Pokok
1. Waktu memulai menggunakan e-wallet
2. Jumlah kepemilikan e-wallet
3. Fitur tersering yang digunakan di e-wallet
4. Sarana top up e-wallet
5. Batasan maksimal dan minimal saat top up e-wallet
6. Frekuensi penggunaan e-wallet dalam seminggu
xvii
LAMPIRAN 2: DOKUMENTASI WAWANCARA
xviii
LAMPIRAN 3: TRANSKRIP WAWANCARA
Transkrip Wawancara 1
Keterangan
Pn: Peneliti
Nr: Narasumber
Nama : V
Usia : 25 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Profesi : Karyawan
Tanggal Wawancara : 14 Juni 2020/11:28 WIB
Sarana : Google Docs
Pn: Berapa pemasukan Anda dalam sebulan?
Nr: Dibuat dalam bentuk range aja yaa :) 15 - 25 juta
Pn: Berapa pengeluaran Anda dalam sebulan menggunakan e-wallet?
Nr: Sekitar 4 jutaan kayaknya
Pn: Apakah Anda mempertimbangkan pandangan orang lain tentang diri Anda?
Nr: Tergantung sih yaa. Kalau memang pandangan tersebut merupakan suatu
feedback yang membangun/konstruktif pasti bakal aku pertimbangkan dengan
sangat karena fungsinya untuk perbaikan diri. Namun, kalau kritik yang sifatnya
menjelekkan, tidak didasari bukti dan masukan-masukan agar lebih baik lagi gak
terlalu aku pikirin sih..
Pn: Menurut Anda, apakah konsumerisme itu?
Nr: Kayaknya sih ketika individu atau seseorang telah mengonsumsi sesuatu secara
berlebihan.. Di luar kemampuan diri atau mungkin untuk sesuatu yang bersifat
tersier, bukan untuk memenuhi kebutuhan primer
Pn: Apakah Anda menjadikan konsumsi sebagai inti aktivitas kehidupan Anda?
xix
Nr: Tidak
Pn: Apa tujuan Anda saat melakukan konsumsi menggunakan e-wallet?
Nr: Untuk bayar transportasi online, food delivery, untuk bayar tagihan, bayar kopi
di kantor atau daerah sekitar kantor, pengiriman paket, beberapa kali pakai untuk
bayar makan di restoran atau jajan-jajan minuman to-go seperti Tuku, Chatime,
Kokumi, dll
Pn: Apakah terjadi perubahan gaya konsumsi Anda di masa sebelum dan sesudah
penggunaan e-wallet?
Nr: Sebenernya sejak punya tools financial kayak m-banking, e-wallet gitu jadi
lebih banyak konsumsinya sih dibanding sebelumnya yang mengandalkan cash
Pn: Jika iya, sejauh mana perubahan itu terjadi?
Nr: Hmm mungkin ini juga dipengaruhi oleh daya beli dan kebutuhan aku di usia
sekarang dengan di usia sebelumnya. Kalau sekarang kebutuhannya lebih banyak
jadi spendings lebih banyak, tapi itu semua kebutuhan primer sih. Mungkin untuk
hal-hal tersier atau mungkin yang gak aku butuhin banget sih ga terlalu jauh ya.
Semua masih aku kontrol atau dalam budget aku.
Pn: Menurut Anda, apa yang membuat pola konsumsi Anda jadi berubah setelah
berkonsumsi menggunakan e-wallet?
Nr: Kalau pake e-wallet tuh sebenernya intensi untuk membeli sesuatu lebih tinggi
dibanding sebelumnya saat belum menggunakan e-wallet. Karena kemudahan
untuk membayar yang ditawarkan. Dan ga kerasa gitu kalau uangnya keluar karena
kita lihat angka aja di HP bukan liat secara fisik seberapa banyak uang yang
dikeluarkan. Makanya aku kontrol dengan budgeting. Jadi menjaga aku untuk ga
boros juga. Walaupun kadang suka kaget kok tiba-tiba saldo GoPay habis wkwk
Pn: Apakah kemudahan yang ditawarkan e-wallet membuat pola konsumsi Anda
berubah?
Nr: Aku merasa kayak ga lagi melakukan pembayaran sih sangking gampangnya.
Semua juga dalam satu device, di HP aja, dan jujur aku suka yang lebih praktis sih
emang. Jadi seneng pake e-wallet. Terus ga perlu ke ATM, nyari kembalian, bikin
dompet tebal karena koin atau kertas selembaran haha agak males sih.
xx
Pn: Adakah pertimbangan yang Anda pikirkan saat memulai, sedang dan akan
berkonsumsi?
Nr: Harganya, barangnya lagi dibutuhin atau ga, masih dalam budget atau ga
Pn: Menurut Anda, apakah perubahan itu terjadi karena anda mulai bingung saat
mendefinisikan kebutuhan dan keinginan?
Nr: Hmm aku agak bingung sama pertanyaan ini.. Oh ngerti2 sekarang. Iya itu juga
bisa sih. Kadang ingin, tapi ga begitu butuh. Kalau lagi kayak gini posisinya aku
pasti ngobrol sama orang terpercaya sih buat diajak ngobrol. Biar bisa bantu ngasih
perspektif juga haha. Biasanya kalau kayak gini2 mungkin untuk barang2 yang
harganya lumayan.. Haha. Kalau kayak jajan kopi2 gitu udah aku masukkin budget
juga karena aku suka minum kopi. Selama ini pun pengeluaran untuk kopi ga lebay
sih..
Pn: Apakah Anda membeli barang dari sisi kebutuhan dan kegunaan? Atau ada
gengsi, prestise dan gaya hidup yang jadi patokan?
Nr: Ngga sih ga ngikutin gaya hidup tertentu wkwk. Aku sadar kebutuhan aku. Ya
adalah ya beberapa spendings memang sifatnya tersier, sesuatu yang aku inginkan
bukan aku butuhin banget, untuk self-care haha. Tapi semua itu tetep under my
control. Memang aku jadwalkan aja.
Pn: Apakah pola konsumerisme Anda didasari oleh bagaimana orang lain akan
melihat diri Anda?
Nr: Nope, ngga sih..
Pn: Menurut Anda, apakah ada citra yang terbangun dari barang-barang mahal?
Nr: Menurutku sih ada yaa pasti. Orang-orang tuh pasti akan sangat jeli dengan
barang mahal terutama untuk brand yang cukup dikenal orang banyak. Pasti akan
dikira orang yang emang kaya banget atau gimana.
Pn: Apakah Anda membeli barang karena barang itu akan membuat status Anda
terangkat?
Nr: Ngga wkwk. Jadi kebetulan aku dan temen-temenku lifestyle dan preferensi
sama gitu sih. Hmm misalnya pemilihan HP pun juga karena itu preferensi dan aku
memang bisa untuk belinya. Jadi ga maksain beli hal tersebut untuk mengangka t
status.
xxi
Pn: Apakah menurut Anda, status sosial ditentukan dari gaya konsumsi seseorang?
Nr: Hmm aku melihat ada perbedaan aja sih. Mungkin bisa dibilang cukup
menentukan. Karena kalau orang yang mungkin daya belinya rendah bisa dilihat
dari barang2 yang dibeli atau brand2 yang jadi preferensi, bisa dilihat juga dari
kualitas atau tampilan barangnya. Hal tersebut akan beda banget dengan orang yang
memiliki daya beli tinggi. Beda kebutuhan juga sih untuk orang yang SESnya tinggi
pun akan memiliki kebutuhan yang berbeda juga dengan yang SES rendah.
Tapi kalau suatu pola perilaku (apakah dia berlebihan atau tidak) terlepas dari
barang yang dibeli itu akan sama2 aja. Bisa jadi orang dengan SES rendah jajannya
sering bangeeet sedangkan SES yang lebih tinggi belanja sesuai kebutuhan aja atau
sebaliknya. Sama aja itu udah disebut pola konsumsi berlebihan.
Pn: Untuk lebih spesifiknya, apakah Anda tergiur iklan, promo, cashback, diskon,
atau bahkan star ambassador untuk membeli barang?
Nr: Haha star ambassador ga memengaruhi sama sekali. Paling itu cuma membantu
ningkatin awareness aja terhadap barang tersebut. Aku pun juga jadinya tahu ada
barang tertentu.
Nr: Nah untuk barang-barang promo sebenernya sama, ningkatin awareness, dan
aku jadi pengen ngeliat juga. Ada intensi untuk membeli NAMUN aku akan
kembali melihat pada kualitas dan fungsi barang. Males banget kalau beli barang
promo tapi ga tahan lama. Sering banget ngeliat barang2 yang kurang bagus gitu
dijual dengan promo. Jadi males . Mending sekalian mahal tapi tahan lama. Jadi ga
perlu beli2 lagi. Itung2 investasi.
Pn: Adakah dampak positif dan negatif saat Anda melakukan konsumsi di luar
kebutuhan Anda?
Nr: Dampak positifnya adalah aku seneng aja sih mendapatkan barangnya, ada rasa
kepuasan haha. Negatifnya adalah karena barang tersebut bukan sesuatu yang aku
butuhkan jadi masa penggunaannya ga lama.
Pn: Pada hal apa biasanya Anda berlebihan saat berkonsumsi? Makanan? Gadget?
Baju? Sepatu? Atau yang lain?
Nr: Jujur ya selama ini banyak hal yang aku beli selalu kepake, jadi ga berlebihan
karena tetap ada fungsinya, tidak useless. Tapi ada hal yang baru-baru ini aku
xxii
collect lebih dari yang aku butuhkan sih wkwk yaitu make up! Suka banget soalnya
sama make up mata jd beli beberapa hal terkait make up mata gitu haha
Pn: Bagaimana pandangan Anda terhadap orang yang berlebihan saat berkonsumsi
menggunakan e-wallet?
Nr: Hmm ngga punya pandangan tertentu sih. Karena aku ga tau juga ketika orang
tersebut membeli sesuatu sudah tergolong berlebihan atau ga. Karena itu lebih ke
persoalan pribadi masing-masing ya. Paling cuma mikir aja kayak ini orang kalau
konsumsinya “terlihat” berlebihan memang sudah diprediksi oleh orang tersebut
atau impulsif aja.
Pn: Apakah Anda memiliki kenalan yang Anda rasa dia berlebihan saat
berkonsumsi menggunakan e-wallet?
Nr: Ngga sih..
Pn: Setelah berbagai pertanyaan di atas, apakah Anda berani dan menilai diri Anda
juga termasuk orang yang berlebihan saat berkonsumsi dengan e-wallet?
Nr: Aku ga menilai diri aku berlebihan saat berkonsumsi dengan e-wallet.
Pn: Bisakah kamu ceritakan pandangan kamu soal e-wallet? Seperti, kapan kamu
mengetahui dan menggunakan e-wallet?
Nr: E-wallet itu ya dompet digital ya.. Kapan aku mengetahuinya itu sekitar
beberapa tahun ke belakang lupa, 2 tahun lalu kali ya. Karena aku pakai Gojek dan
waktu itu Gojek ngeluarin GoPay terus aku coba2 pake karena waktu itu masih
mahasiswa dan banyak promo kan (maklum saat itu mahasiswa) jd yaudah coba
pake deh.
Pn: Apakah kamu memiliki OVO, Go-Pay atau Dana?
Nr: Iya aku punya tiga-tiganya
Pn: Mana yang paling kamu sering gunakan di antara ke-tiga e-wallet di atas?
Alasannya kenapa?
Nr: GoPay dan OVO
-GoPay karena aku kerja di Gojek haha jadi semua transaksi di kantor pakai
GoPay. Terus kalau pergi2 pun aku juga lebih sering pakai Gojek dibanding
Grab, pesen makanan juga gitu jadi lebih ke GoPay.
xxiii
-Karena aku cukup sering belanja kebutuhan di e-commerce Tokped, jadi
bayarnya pakai OVO. Kalau belanja suka dapat points, bisa dipake untuk
hal lainnya seperti bayar tagihan
Pn: Dari sekian banyak fitur yang ada di OVO, Go-Pay dan Dana yang mana yang
paling sering kamu gunakan? Kendaraan? Beli makanan? Pengantaran barang?
Membeli barang; baju, sepatu, dll? Membayar kebutuhan; token listrik, PAM,
pulsa, dll?
Nr: Transportasi online, food delivery, bayar tagihan (listrik, pascabayar, dll)
Pn: Biasanya top up e-wallet lewat sarana apa?
Nr: M-banking/langsung dari dalam aplikasi
Pn: Apakah ada batasan nominal dan target waktu saat kamu top up? Atau kamu
akan top up asal di waktu yang tidak tertentu dengan nominal sesuka hati?
Nr: Aku budgetin gitu sih per minggu
Pn: Jika kamu memberikan batasan nominal pada saat top up, berapa minimal dan
maksimal uang yang kamu top up di e-wallet kamu?
Nr: 500 - 800 ribu per minggu
Pn: Jika dihitung dalam waktu seminggu, berapa nominal jumlah penggunaan e-
wallet Anda?
Nr: Sekitar segitu kayak diatas atau lebih dikit mungkin 900 ribu (sekarang karena
bunda capek masak, jadi sering beli makanan lewat gofood)
Pn: Jika dihitung salam waktu seminggu, berapa kali kamu menggunakan fitur e-
wallet?
Nr: Berapa kali yaa cukup banyak wkwk. Ga ngitungg.
Pn: Bagaimana kamu menjelaskan milenial Jakarta?
Nr: Hmm menjelaskannya gimana yaa. Di Jakarta pun bisa terbagi-bagi sih, ada
perbedaan gaya hidup dan akses pada milenial yang tinggal di daerah deket Jakarta
Selatan atau Pusat, atau di daerah lainnya seperti Jakarta Utara, Timur, Barat.
Aku mungkin menjelaskan dari Jakarta Selatan atau Pusat yaa karena banyak
banget kegiatan aku dan kalau main sama temen-temen di daerah sini. Gaya hidup,
akses terhadap suatu hal (macem2 ya), preferensi itu cukup berbeda sih kalau aku
coba bandingkan dengan teman aku yang dari Jakarta lainnya. Banyak juga tempat-
xxiv
tempat nongkrong atau kopi-kopi enak, atau mall yang terkenal adanya di daerah
Jakarta Selatan atau Pusat, terpusat di sini. Banyak juga akses transportasi terbaru
(MRT misalnya) di daerah sini.
Aku bisa bilang anak-anak milenial di sini lebih dahulu terpapar hal-hal baru, lebih
terkini mencoba hal-hal ter-update yang lagi ngetrend, terutama soal lifestyle. Baik
itu tempat nongkrong (banyak banget tempat nongkrong yang suasanya high-end
atau ngetrend di sini), cara berpakaian sangat modern and fashionable wkwk, cara
bicara ya sering banget campur2 Bahasa Indonesia dengan Bahasa Inggris.
Behaviornya juga beda banget ya, kalau temen-temenku udah cukup liberal, lebih
western.
Pn: Apakah ada perbedaan antara milenial Jakarta dengan milenial di kota-kota
lain?
Nr: Ada banget sih
Pn: Apakah sebagai millenial Jakarta, identitas kamu dipengaruhi oleh gaya
konsumsi?
Nr: Ngga sih..
xxv
Transkrip wawancara (2)
Keterangan
Pn: Peneliti
Nr: Narasumber
Nama : Z
Usia : 21
Jenis Kelamin : Perempuan
Profesi : Mahasiswa
Tanggal Wawancara : 03 Juni 2020
Sarana : Telfon WhatsApp
Pn: Kalau aku boleh tau, berapa pemasukan kamu dalam sebulan? Ini boleh total
dari uang jajan, uang freelance, dll
Nr: ini berarti pas aku ngekos kemarin aja kali ya? Karena sekarang aku lagi di
rumah (karena covid-19)
Pn: yep, boleh banget, ini kita anggapnya di masa normal sebelum covid menyerang
yaa
Nr: aku sebulan dapet Rp. 2.000.000,-
Pn: Kalau pengeluaran kamu dalam sebulan menggunakan e-wallet?
Nr: hm, bisa Rp. 500.000 bahkan bisa lebih si, karena kalau lagi ikutan subscription
dari gojek, grab, kan bayar lebih lagi, bahkan pernah Rp. 800.000 juga
Pn: Emang kamu punya e-wallet apa aja?
Nr: ovo, gopay, eh emang ada apa aja si e-wallet itu?
Pn: ada banyak banget, di Indonesia e-wallet yang sudah disahkan itu ada 36, tapi
yang spesifik aku bahas cuma OVO, Gopay dan Dana si.
Nr: oh oke
Pn: kamu tu tipe orang yang mempertimbangkan pandangan orang lain tentang diri
kamu terkait konsumsi dengan e-wallet ga si?
xxvi
Nr: Engga, karna kan untuk konsumsi pribadi kan, jadi kenapa harus mikirin orang
lain? hehe
Pn: Menurut Anda, apakah konsumerisme itu?
Nr: hm, apa ya, konsumsi akan sesuatu yang berlebihan, jadi beli sesuatu yang
bukan keinginan kali ya
Pn: kamu menjadikan konsumsi sebagai inti aktivitas kehidupan kamu ga?
Nr: mungkin dulu pas masih kos, iya, beli makan selalu di luar/pun pesen di go-
food, terus cuci baju di laundry terus menerus
Pn: Motivasi kamu pake e-wallet tu apa?
Nr: males pegang cash dan kalau di e-wallet kan ada history pemakaiannya untuk
apa aja, karna kadang-kadang kita suka lupa itu uangnya dipake untuk apa aja ya,
jadi kalau pake e-wallet itu bisa ke track penggunaannya untuk apa aja
Pn: wah kamu udah melek finansial ya anaknya ya, haha, harus dicatet pengeluaran
itu. Kalau dari sisi kamu ada perubahan gaya konsumsi di masa sebelum dan
sesudah penggunaan e-wallet ga?
Nr: tadinya mungkin dullu beli makan itu ya jalan, sekarang kan bisa pesen makan
di aplikasi. Jadi konsumtif juga si jujur, haha karena memudahkan banget pake e-
wallet ini. Pn: sejauh mana perubahan itu terjadi?
Nr: Mungkin dari kecepatan bertransaksi, terus ada fitur cashback, royalti program
gitu kan, terus bisa dipake di banyak merchant; contoh mau belanja di Tokopedia
kan bisa pake OVO, mau pesen grabride, bisa pake OVO, atau belanja
skincare/make up di Sociolla, juga bisa pake OVO. Kalau bisa pake e-wallet kenapa
harus pake cash lagi?
Pn: Hm kalau gitu, menurut kamu kemudahan yang ditawarkan e-wallet salah satu
yang membuat pola konsumsi kamu jadi berubah ga?
Nr: kemudahan itu faktor yang bener-bener cukup berpengaruh ya, karena tingga l
klik-klik aja, kalau dulu kan harus ke bank dulu, kalau sekarang tinggal klik aja,
paket dateng
Pn: kamu biasanya suka memikirkan pertimbangan yang kamu pikirkan saat
memulai, sedang dan akan berkonsumsi ga?
xxvii
Nr: hm, sebenernya tergantung harganya si. Biasanya akan mikir banget kalau
harganya tinggi banget, akan mikir dulu gitu. Tapi kalau harganya murah banget,
ya yaudah beli beli aja. Padahal kalau beli banyak yang harganya murah, kan sama
aja ya padahal, sama-sama gede nominalnya nanti. Kadang suka mikir, padahal ga
beli mahal-mahal, tapi uang kok habis? Ternyata ya karena belanjanya sering, haha.
Tapi dari itu semua, sebenarnya tetap mempertimbangkan si. Kaya ngitung duit, ini
uang segini bisa untuk beli apa aja ya. Meski ya sama aja si, kalau ada barang diskon
ya beli-beli aja, haha
Pn: Nah kalau gitu, sekarang kamu mulai bingung ga si saat membedakan
kebutuhan dan keinginan?
Nr: bisa dibilang iya, tapi aku biasanya nyiasatinnya dengan gini, kalau aku mau
beli barang, aku tunggu dulu sampe beberapa lama, misal 2-4 minggu. Kalau tiap
hari aku mikirin itu, berarti itu ya kebutuhan yang harus aku beli, tapi kalau aku
ngga pikirin, berarti ya itu cuma laper mata aja.
Pn: wah, keren, itu sebenernya sama dengan konsep decluterring baju ya haha. Nah,
terus kamu biasanya beli barang dari sisi kebutuhan dan kegunaan? Atau ada
gengsi, prestise dan gaya hidup yang jadi patokan?
Nr: hm, biasanya aku ngga terlalu pikirin apa yang orang pikirin tentang aku ya,jadi
ya untuk prestise gitu ngga ya, tapi ya sebenernya semua orang itu kan pengen
terlihat baik di hadapan orang-orang jadi ya kalau beli baju misal ya ga jelek-jelek
amat lah, tapi ya ngga bagus-bagus amat yang sampe narik perhatian gitu. Jadi ya
kalau aku beli itu, aku harus pikirin untuk diri aku dulu, kira-kira aku suka ga ya?
Jadi ya, terserah orang lain, suka atau ngga. Tapi 2 tahun terakhir ini aku lagi sering
mikir banyak soal baju yang akan mau aku beli, karena aku pernah diomongin
temenku karena bajuku ngga banget haha dan aku kaya sakit hati gitu, jadi ya
sekarang untuk baju, aku suka mikir yaa ngga malu-maluin lah bajunya
Pn: kalau gaya hidup gimana? Kamu jadiin patokan belanja ga?
Nr: ngga si, ya harus tau diri lah, kalau ngga punya duit, ya ga mau beli lah. Aku
juga menghindari banget paylater si, ya meski bunganya cuma Rp. 25.000 perbulan,
tapi kalau dihitung-hitung kan bakal banyak juga. Coba Rp. 25.000x2 aja udah bisa
beli 1 marugame, hehe.
xxviii
Pn: terus pola konsumerisme kamu didasari oleh bagaimana orang lain akan melihat
diri kamu ga?
Nr: aku bakal bilang punya keinginan untuk dilihat baik di mata orang lain tu ada,
tapi ga terobsesi dengan itu si. Jadi ya 75% tentang diri aku, sisanya tentang
bagaimana orang lain pikirkan aku.
Pn: Oh gitu ya, jadi porsi orang lain melihat diri kamu tu ada, tapi ya ga sebesar
kamu melihat diri kamu sendiri. Oke anyway, kan di sekitar kita ni ada banyak
banget ya barang mahal, barang branded, menurut kamu ada citra yang terbangun
dari barang-barang mahal ga si?
Nr: iya menurut aku ada, karena aku sering ketemu orang yang ngeliat orang lain
dari brand yang dia pake gitu. Misalnya gini, pekerja yang pake MacBook
dipandang wuah banget dibanding orang yang pake non-MacBook. Aku heran gitu
si, kenapa mereka bisa sampe segila itu mikirnya? Ya meski, di MacBook itu ada
beberapa fitur yang ga ada di non-MacBook (windows). Jadi ya sebenernya ga salah
juga si, kalau orang mikirnya gitu. Tapi ya tetep aja aku ga setuju tentang itu.
Pn: oh gitu, kalau menurut kamu, status sosial ditentukan dari gaya konsumsi
seseorang ga si? Kaya status diri dia bakal terangkat karna konsumsi gitu
Nr: hm, iya. Karena mnurutku, thats why banyak orang yang mati-matian pengen
terlihat kaya di mata orang lain, padahal sebenernya dia ga punya uang sebanyak
itu, karna aku sering lihat itu si.
Pn: kalau kamu pernah ga beli barang karena barang itu akan membuat status kamu
terangkat?
Nr: hm, gatau ya, kayaknya kalau soal status sosial ngga deh, karna aku tipe yang
beli barang karena fungsinya. Contoh kaya aku beli HP, aku bisa beli HP yang
cukup mahal, tapi aku jadinya beli HP ini karna ternyata fitur di HP ini bisa
menunjang kebutuhanku juga, jadi ga harus mahal. Contohnya kaya orang-orang
yang pake iPhone ga bakal mau pake hp selain iPhone.
Pn: Untuk lebih spesifiknya, kamu tergiur iklan, promo, cashback, diskon, atau
bahkan star ambassador untuk membeli barang ga si?
xxix
Nr: HAHA iya banget, kamu belum selesai nanya aja, aku udh mau langsung jawab,
biasanya aku karena diskon dan cashback si, karena uang cashbacknya itu bisa aku
manfaatin untuk beli pulsa.
Pn: haha iyaya, jadi kaya sekali dayung 2 pulau terlampaui ya? haha
Nr: iya bangett. Karena bahkan aku sering juga bandingin 1 e-wallet dengan e-
wallet lain untuk cari mana yang lebih murah dan menguntungkan haha
Pn: Pada hal apa biasanya kamu berlebihan saat berkonsumsi?
Nr: hm, dulu skincare sekarang makanan.
Pn: terus ada dampak positif dan negatifnya ga, saat kamu beli berlebihan
kebutuhan kamu?
Nr: hm negatifnya kadang keburu expired, pernah aku beli sheetmask terus aku taro
di dekat buku-buku, eh lupa ga dipake-pake. Sampe akhirnya pas mau dipake, udh
keburu expired deh. Tapi kadang merasa beruntung juga, karena punya stok di masa
depan nanti kalau butuh. Misal beli lotion, beli 1 gratis 1. Kan lumayan untuk 4
bulan ke depan. Kadang-kadang ya menguntungkan, kadang-kadang rugi juga.
Pn: Kalau pandangan kamu terhadap orang yang berlebihan saat berkonsumsi
menggunakan e-wallet gimana?
Nr: ya gapapa kalau punya duit. Kan di sisi lain, itu kan bisa membantu
perekonomian, apalagi kalau beli di UMKM, kan bisa membantu perekonomian
juga, apalagi kalau itu masih masuk di budget dia, ya gapapa. Jadi kaya dia ga
berhutang untuk itu ya gapapa.
Pn: Kamu punya kenalan yang Anda rasa dia berlebihan saat berkonsumsi
menggunakan e-wallet?
Nr: hm, kayaknya ngga ada ya
Pn: Setelah berbagai pertanyaan di atas, kamu sendiri berani menilai diri kamu
termasuk orang yang berlebihan saat berkonsumsi dengan e-wallet?
Nr: aku bakal kasih 6 dari 10, 10 itu paling konsumtif, 1 itu tidak konsumtif
Pn: Oke, kamu kan tadi bilang, kamu punya OVO dan Gopay ya. Nah mulai dari
kapan kamu mengetahui dan menggunakan e-wallet?
xxx
Nr: hm, pas pertama muncul Gojek, udh ada gopay belum si? Eh belum ya? Aku
pakenya pas ada promo gopay yang Rp. 1.000 terus mulai konsumtifnya pas ada m-
banking.
Pn: oh kamu biasanya top up e-wallet lewat m-banking?
Nr: yep, makanya jadi mudah banget kan untuk top up itu, tinggal mindahin uang
semudah itu, haha
Pn: di antara OVO dan Gopay kamu lebih sering pake apa dan kenapa?
Nr: hm, aku pake 2 2 nya si, karena yang aku kejar itu diskonnya, jadi aku ga loyal
ke salah 1 brand. Misal OVO itu lebih banyak promo di grabfood, tapi kalau gopay
lebih banyak promo di goride dan kadang gopay juga. Jadi aku pake 2 2 nya secara
seimbang aja.
Pn: Dari sekian banyak fitur yang ada di OVO dan Go-Pay yang mana yang paling
sering kamu gunakan?
Nr: haha banyak banget dari goride, gofood, beli pulsa, bayar token listrik, bayar
skincare di sociolla, bayar barang di tokopedia
Pn: kamu biasanya kasih batasan nominal dan target waktu saat kamu top up?
Nr: ngga si, klo habis ya top up aja. Tapi aku suka lihat riwayat pembelian aku,
untuk apa aja, makan kah, kendaraan atau yang lain gitu.
Pn: kamu biasanya kasih batasan nominal pada saat top up, berapa minimal dan
maksimal uang yang kamu top up di e-wallet kamu?
Nr: ngga pernah kasih batesan, jadi misal aku beli sesuatu harganya sekian yaudah
yang aku top up ya segitu
Pn: Jika dihitung dalam waktu seminggu, berapa nominal jumlah penggunaan e-
wallet Anda?
Nr: aku seminggu bisa Rp. 200.000 pas aku ngekos dulu
Pn: Jika dihitung salam waktu seminggu, berapa kali kamu menggunakan fitur e-
wallet?
Nr: anggep aja ni aku gofood 2x sehari, jadi 2x7 hari jadi itu udah 14x pemakaian,
terus kalau lagi banyak agenda di luar atau misal ada kebutuhan UKM, itu ya naik
goride dan itu ga bisa dirata-ratain si, karna seminggu bisa 10x, bisa juga cuma 2-
4x
xxxi
Pn: Bagaimana kamu menjelaskan milenial Jakarta?
Nr: hm, apa ya, mungkin melek teknologi, karena kita tumbuh dikelilingi dengan
teknologi, jadi kita punya privilege di sisi itu. Kemudahan mengakses internet
besar, aplikasi-aplikasi baru mudah ditemukan, kemudahan bertransaksi secara
online juga besar banget ,kita jadi mudah untuk generasi cashless. Terus dari gaya
hidup, banyak dari kita yang pengen dibilang keren dari orang lain. Mungkin itu
ya? Terus banyak juga yang boros. Dan pengguna sosial media aktif kan milenia l
Jakarta.
Pn: Kamu ngerasa ada perbedaan antara milenial Jakarta dengan milenial di kota-
kota lain?
Nr: jelas beda lah, saat orang Jakarta ga perlu mikirin sinyal internet terus akses
pada teknologi, sedang milenial di kota-kota lain mungkin masih struggle dengan
itu. Jadinya milenial Jakarta tu lebih mudah hidupnya, terus paparan pada informas i
baru juga. Milenial Jakarta tu ga dapat hal-hal seperti itu.
Pn: Menurut kamu, identitas millenial Jakarta dipengaruhi oleh gaya konsumsi?
Nr: iya, karena fasilitas dan privilege yang dimiliki milenial Jakarta itu beda dengan
milenial di daerah, kaya sekarang aku yakin, pengguna m-banking tertinggi itu pasti
orang-orang ibukota, terus pembeli aktif di online shopping pasti lebih banyak
orang-orang Jakarta dibanding orang daerah, kaya gratis ongkos kirim, lebih mudah
untuk orang Jakarta dibanding untuk orang daerah, karena waktu pengiriman juga
pasti beda, ke daerah pasti lebih lama kan. Jadi menurut aku, orang-orang Jakarta
itu lebih konsumtif ya, jadi bisa jadi identitas mereka itu dipengaruhi oleh gaya
konsumsi.
xxxii
Transkrip Wawancara (3)
Keterangan
Pn: Peneliti
Nr: Narasumber
Nama : Ad
Usia : 27 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Status : Karyawan
Tanggal Wawancara : 03 Juni 2020
Sarana : Google Docs
Pn: Berapa pemasukan Anda dalam sebulan?
Nr: Range: 20 - 50 Juta
Pn: Berapa pengeluaran Anda dalam sebulan menggunakan e-wallet?
Nr: Sekitar 2 - 5 Juta Per bulan
Pn: Apakah Anda mempertimbangkan pandangan orang lain tentang diri Anda?
Nr: Tidak terlalu
Pn: Menurut Anda, apakah konsumerisme itu?
Nr: Mengkonsumsi (membeli) sesuatu dengan cara berlebihan
Pn: Apakah Anda menjadikan konsumsi sebagai inti aktivitas kehidupan Anda?
Nr: Tidak Terlalu, namun kebutuhan primer saya pastinya membutuhkan aktifitas
konsumsi
Pn: Apa tujuan Anda saat melakukan konsumsi menggunakan e-wallet?
Nr: Kepraktisan, dan juga mutu layanan yang diberikan oleh vendor e-wallet yang
saya pakai, biasanya saya gunakan untuk belanja online, membayar tagihan di
xxxiii
restoran, atau sekedar membeli makanan online
Pn: Apakah terjadi perubahan gaya konsumsi Anda di masa sebelum dan sesudah
penggunaan e-wallet?
Nr: Lumayan, ada perbedaan
Pn: Jika iya, sejauh mana perubahan itu terjadi?
Nr: Saya cenderung melakukan pembayaran menggunakan e-wallet apabila
merchant tempat saya berbelanja menyediakanya
Pn: Menurut Anda, apa yang membuat pola konsumsi Anda jadi berubah setelah
berkonsumsi menggunakan e-wallet?
Nr: Ada sedilkit perubahan, apalagi dengan adanya pay later
Pn: Apakah kemudahan yang ditawarkan e-wallet membuat pola konsumsi Anda
berubah?
Nr: Tentu, saya jadi lebih wise dalam pengeluaran menggunakan e-wallet, karena
semua otomatis tercatat
Pn: Adakah pertimbangan yang Anda pikirkan saat memulai, sedang dan akan
berkonsumsi?
Nr: Saya biasanya sudah membagi pos2 keuangan saya dengan lumayan rapi, jadi
budget untuk konsumsi dan budget wajib bulanan sudah dipisah.
Pn: *Menurut Anda, apakah perubahan itu terjadi karena anda mulai bingung saat
mendefinisikan kebutuhan dan keinginan?
Nr: Ya, terkadang saya dihadapkan pada posisi seperti itu
Pn: *Apakah Anda membeli barang dari sisi kebutuhan dan kegunaan? Atau ada
gengsi, prestise dan gaya hidup yang jadi patokan?
Nr: Biasanya saya mengedepankan kegunaan dan kebutuhan, namun jika
penawaran menarik maka saya menerapkan 7 days challange, jika dalam 7 hari
saya masih kepingin, maka saya akan membelinya :D
Pn: Apakah pola konsumerisme Anda didasari oleh bagaimana orang lain akan
melihat diri Anda?
Nr: Ya, terkadang
Pn: Menurut Anda, apakah ada citra yang terbangun dari barang-barang mahal?
Nr: Kalo saya tidak melihat dari sudut pandang itu saja, tapi biasanya barang
xxxiv
dengan harga mahal memiliki kualitas yang lebih baik, jadi ini sebenernya part of
investment. Dari pada beli murah2 tapi cepat rusak
Pn: Apakah Anda membeli barang karena barang itu akan membuat status Anda
terangkat?
Nr: Tidak terlalu
Pn: Apakah menurut Anda, status sosial ditentukan dari gaya konsumsi
seseorang?
Nr: Dalam beberapa aspek, iya. Contohnya kaum socialita
Pn: Untuk lebih spesifiknya, apakah Anda tergiur iklan, promo, cashback, diskon,
atau bahkan star ambassador untuk membeli barang?
Nr: Biasanya saya tidak langsung percaya, jadi saya lebih melihat ke testimoni
orang terdekat ataupun rekan2 saya dulu sebelum menggunakan
Pn: Adakah dampak positif dan negatif saat Anda melakukan konsumsi di luar
kebutuhan Anda?
Nr: Keuagan jadi tidak ter-kontrol (negative), positive nya mungkin ada
kesenangan batin sesaat aja :D
Pn: Pada hal apa biasanya Anda berlebihan saat berkonsumsi? Makanan? Gadget?
Baju? Sepatu? Atau yang lain?
Nr: Sepatu :D dan gadget
Pn: Bagaimana pandangan Anda terhadap orang yang berlebihan saat
berkonsumsi menggunakan e-wallet?
Nr: Menurut saya, kurang baik, karena e-wallet harusnya bisa membuat seseorang
lebih aware terkait cash-flow mereka. Karena kepraktisan e-wallet dalam
pencatatan history pembelian dan keluar-masuk uang
Pn: Apakah Anda memiliki kenalan yang Anda rasa dia berlebihan saat
berkonsumsi menggunakan e-wallet?
Nr: Ya, tentu
Pn: Setelah berbagai pertanyaan di atas, apakah Anda berani dan menilai diri
Anda juga termasuk orang yang berlebihan saat berkonsumsi dengan e-wallet?
tidak
xxxv
Pn: Bisakah kamu ceritakan pandangan kamu soal e-wallet? Seperti, kapan kamu
mengetahui dan menggunakan e-wallet?
Nr: Setau saya E-wallet adalah metode pembayaran elektronik yang memudahkan
pengguna nya dan kalo dari pengalaman saya, saya menggunakan e-wallet karena
kepraktisan dan pencatatan keluar-masuk uang yang rapih, dibanding ketika saya
menggunakan dan mencatat pengeluaran saya menggunakan uang tunai
Pn: Apakah kamu memiliki OVO, Go-Pay atau Dana?
Nr: Ya Ketiganya
Pn: Mana yang paling kamu sering gunakan di antara ke-tiga e-wallet di atas?
Alasannya kenapa?
Nr: Gopay > Dana > Ovo
Gopay: karena ini praktis
Dana: karena sebagian payroll saya masuk ke dana
Ovo: karena dipaksa merchant, saat membeli kopi kekinian :D
Pn: Dari sekian banyak fitur yang ada di OVO, Go-Pay dan Dana yang mana yang
paling sering kamu gunakan? Kendaraan? Beli makanan? Pengantaran barang?
Membeli barang; baju, sepatu, dll? Membayar kebutuhan; token listrik, PAM,
pulsa, dll?
Nr: Membeli Makanan, dan beli pulsa, dan belanja online
Pn: Biasanya top up e-wallet lewat sarana apa?
Nr: M-Banking, Payroll
Pn: Apakah ada batasan nominal dan target waktu saat kamu top up? Atau kamu
akan top up asal di waktu yang tidak tertentu dengan nominal sesuka hati?
Nr: Based on schedule dan pos budget yang sudah saya siapkan
Pn: Jika kamu memberikan batasan nominal pada saat top up, berapa minimal dan
maksimal uang yang kamu top up di e-wallet kamu?
Nr: Biasanya saya topup maksimal 1 - 1,5 juta
Pn: Jika dihitung dalam waktu seminggu, berapa nominal jumlah penggunaan e-
wallet Anda?
Nr: 200 - 300 rb
xxxvi
Pn: Jika dihitung salam waktu seminggu, berapa kali kamu menggunakan fitur e-
wallet?
Nr: 3 kali
Pn: Bagaimana kamu menjelaskan milenial Jakarta?
Nr: Milenial yang banyak tidak mempersiapkan kematangan keuangan, Milenial
yang konsumtif, dan juga cenderung acuh terhadap kebutuhan jangka panjang
Pn: Apakah ada perbedaan antara milenial Jakarta dengan milenial di kota-kota
lain?
Nr: Pola perilaku sosial dan konsumtif nya beda
Pn: Apakah sebagai millenial Jakarta, identitas kamu dipengaruhi oleh gaya
konsumsi?
Nr: Tentu
xxxvii
Transkrip wawancara (4)
Keterangan
Pn: Peneliti
Nr: Narasumber
Nama : G
Usia : 23 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Status : Karyawan
Tanggal Wawancara : 03 Juni 2020
Sarana : Google Form
Pn: Berapa pemasukan Anda dalam sebulan?
Nr: 4,5 juta
Pn; Berapa (kira-kira) pengeluaran Anda dalam sebulan menggunakan e-wallet?
Nr: 1,2-1,5 juta
Pn: Apakah Anda mempertimbangkan pandangan orang lain tentang diri Anda
terkait gaya konsumsi?
Nr: Hanya pandangan keluarga.
Pn: Menurut Anda, apakah konsumerisme itu?
Nr: Gaya hidup yang sering kali ditandai dengan seseorang (konsumen) yang
menggunakan uang/pendapatan secara berlebihan tanpa mempertimbangkan
pentingnya pengeluaran tersebut.
Pn: Apakah Anda menjadikan konsumsi sebagai inti aktivitas kehidupan Anda?
Nr: Ya
Pn: Apa tujuan Anda saat melakukan konsumsi menggunakan e-wallet?
xxxviii
Nr: Untuk memudahkan tracking pengeluaran setiap bulan, tidak harus membawa
banyak cash setiap saat dan mendapatkan promo-promo tertentu.
Pn: Apakah terjadi perubahan gaya konsumsi Anda di masa sebelum dan sesudah
penggunaan e-wallet?
Nr: Ya
Pn: Jika iya, sejauh mana perubahan itu terjadi?
Nr: Tergantung pada keadaan, terkadang menjadi lebih hemat karena tahu persis
jumlah sisa uang Setelah melakukan transaksi tapi tidak jarang juga terdorong untuk
membeli barang/makanan yang kurang perlu karena ada promo menarik.
Pn: Menurut Anda, apa yang membuat pola konsumsi Anda jadi berubah setelah
berkonsumsi menggunakan e-wallet?
Nr: Karena kemudahannya.
Pn: Apakah kemudahan yang ditawarkan e-wallet membuat pola konsumsi Anda
berubah?
Nr: Ya
Pn: Adakah pertimbangan yang Anda pikirkan saat memulai, sedang dan akan
berkonsumsi?
Nr: Apakah barang tersebut benar-benar perlu untuk dibeli dan apakah setelah
melakukan transaksi saya tidak akan menyesal.
Pn: Menurut Anda, apakah perubahan itu terjadi karena anda mulai bingung saat
mendefinisikan kebutuhan dan keinginan? Ya
Pn: Apakah Anda membeli barang dari sisi kebutuhan dan kegunaan? Atau ada
gengsi, prestise dan gaya hidup yang jadi patokan?
Nr: Saya tidak terlalu memikirkan prestise, namun terkadang agak sulit untuk
mengidentifikasi apakah suatu barang memang benar-benar perlu untuk dibeli
apalagi tanpa pertimbangan yang matang.
Pn: Apakah pola konsumerisme Anda didasari oleh bagaimana orang lain akan
melihat diri Anda?
Nr: Tidak
Pn: Apakah Anda membeli barang karena barang itu akan membuat status Anda
terangkat?
xxxix
Nr: Tidak
Pn: Apakah menurut Anda, status sosial ditentukan dari gaya konsumsi seseorang?
Nr: Ya
Pn: Untuk lebih spesifiknya, apakah Anda tergiur iklan, promo, cashback, diskon,
atau bahkan star ambassador untuk membeli barang?
Nr: Yang mempengaruhi saya untuk membeli biasanya adalah promo dan diskon.
Pn: Adakah dampak positif dan negatif saat Anda melakukan konsumsi di luar
kebutuhan Anda?
Nr: Dampak positifnya saya merasa senang karena barang yang diinginkan terbeli,
namun sering kali berujung kepada dampak negatif dimana saya menyesal sudah
mengeluarkan uang yang seharusnya bisa ditabung untuk barang yang mungk in
tidak akan semenarik itu lagi dalam beberapa bulan ke depan.
Pn: Pada hal apa biasanya Anda berlebihan saat berkonsumsi? Makanan? Gadget?
Baju? Sepatu? Atau yang lain?
Nr: Baju dan benda-benda untuk dekorasi kamar.
Pn: Bagaimana pandangan Anda terhadap orang yang berlebihan saat berkonsumsi
menggunakan e-wallet?
Nr: Saya tidak merasa perlu menghakimi seseorang berdasarkan konsumsinya yang
berlebihan karena saya tidak tahu keadaan finansial orang tersebut secara pasti.
Pn: Apakah Anda memiliki kenalan yang Anda rasa dia berlebihan saat
berkonsumsi menggunakan e-wallet?
Nr: Tidak
Pn: Setelah berbagai pertanyaan di atas, apakah Anda berani dan menilai diri Anda
juga termasuk orang yang berlebihan saat berkonsumsi dengan e-wallet? Nr: Saya
rasa penggunaan e-wallet saya memang tidak terlalu teratur dan penuh
pertimbangan, tapi saya juga tidak merasa menggunakannya dengan terlalu
berlebihan.
Pn: Bisakah kamu ceritakan pandangan kamu soal e-wallet? Seperti, kapan kamu
mengetahui dan menggunakan e-wallet?
xl
Nr: Saya mulai mengetahui tentang e-wallet pada tahun 2017 saat masih kuliah dan
mulai menggunakannya hampir setiap hari pada tahun 2018 saat sedang magang
untuk transportasi.
Pn: Apakah kamu memiliki OVO, Go-Pay atau Dana?
OVO
Pn: Mana yang paling kamu sering gunakan di antara ke-tiga e-wallet di atas?
Alasannya kenapa?
Nr: Saya paling sering menggunakan OVO karena perlu menggunakan aplikas i
Grab setiap hari.
Pn: Dari sekian banyak fitur yang ada di OVO, Go-Pay dan Dana yang mana yang
paling sering kamu gunakan? Kendaraan? Beli makanan? Pengantaran barang?
Membeli barang; baju, sepatu, dll?
Nr: Membayar kebutuhan; token listrik, PAM, pulsa, dll? Yang paling sering saya
gunakan adalah untuk kebutuhan transportasi dan makanan.
Pn: Biasanya top up e-wallet lewat sarana apa?
Nr: M-banking
Pn: Apakah ada batasan nominal dan target waktu saat kamu top up? Atau kamu
akan top up asal di waktu yang tidak tertentu dengan nominal sesuka hati?
Nr: Saya biasanya top-up OVO setiap sepuluh hari sebesar IDR 400,000.
Pn: Jika kamu memberikan batasan nominal pada saat top up, berapa minimal dan
maksimal uang yang kamu top up di e-wallet kamu?
Nr: Batasan minimal IDR 100,000 dan maksimal IDR 400,000
Pn: Jika dihitung dalam waktu seminggu, berapa nominal jumlah penggunaan e-
wallet Anda?
Nr: Sekitar IDR 300,000 sampai IDR 350,000.
Pn: Jika dihitung salam waktu seminggu, berapa kali kamu menggunakan fitur e-
wallet?
Nr: Sekitar 10-15 kali.
Pn: Bagaimana kamu menjelaskan milenial Jakarta?
Nr: Milenial Jakarta adalah orang-orang yang gaya hidupnya bisa cenderung
mengikuti pola tertentu yang biasanya tidak jauh dari kata-kata ‘woke’, ‘out-
xli
spoken’, ‘social butterfly’, ‘hedonisme’, dan sebagainya, yang secara tidak
langsung dapat mempengaruhi gaya hidup orang lain yang ingin dilihat sebagai
‘Anak Milenial Jakarta’ karena ingin dicap sebagai anak gaul ibu kota.
Pn: Apakah ada perbedaan antara milenial Jakarta dengan milenial di kota-kota
lain?
Nr: Anak Milenial Jakarta nampaknya selalu satu langkah lebih depan dari pada
daerah lain karena mudahnya sarana dan prasarana yang tersedia di ibu kota.
Pn: Apakah sebagai millenial Jakarta, identitas kamu dipengaruhi oleh gaya
konsumsi?
Nr: Ya
xlii
Transkrip Wawancara (5)
Keterangan
Pn: Peneliti
Nr: Narasumber
Nama : W
Usia : 29 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Status : Karyawan
Tanggal Wawancara : 03 Juni 2020
Sarana : Google Docs
Pn: Berapa pemasukan Anda dalam sebulan?
Nr: 10 s.d 12 Juta
Pn: Berapa pengeluaran Anda dalam sebulan?
Nr: 5s.d 10 Juta
Pn: Apakah Anda mempertimbangkan pandangan orang lain tentang diri Anda?
Nr: Tidak
Pn: Menurut Anda, apakah konsumerisme itu?
Nr: Istilah manusia untuk memenuhi kebutuhan hidup (Pokok & Tersier)
Pn: Apakah Anda menjadikan konsumsi sebagai inti aktivitas kehidupan Anda?
Nr: Ya
Pn: Apa tujuan Anda saat melakukan konsumsi menggunakan e-wallet?
Nr: Simpel (bawa gadget kemana mana cukup tanpa bawa dompet, minim risiko
hilang, Historical transaksi terecord dengan baik, banyak promo
Pn: Apakah terjadi perubahan gaya konsumsi Anda di masa sebelum dan sesudah
penggunaan e-wallet?
xliii
Nr: Ya,
Pn: Jika iya, sejauh mana perubahan itu terjadi?
Nr: Beli sesuatu tanpa terpikir budget yang ditentukan tiap bulan, khususnya biaya
untuk beli makan
Pn: Menurut Anda, apa yang membuat pola konsumsi Anda jadi berubah setelah
berkonsumsi menggunakan e-wallet?
Nr: Banyak promo khususnya makanan
Pn: Apakah kemudahan yang ditawarkan e-wallet membuat pola konsumsi Anda
berubah?
Nr: Ya, tanpa pikir panjang, lebih mudah untuk top up saldo tanpa cek budgetnya.
Pn: Adakah pertimbangan yang Anda pikirkan saat memulai, sedang dan akan
berkonsumsi?
Nr: Ada
Pn: Menurut Anda, apakah perubahan itu terjadi karena anda mulai bingung saat
mendefinisikan kebutuhan dan keinginan?
Nr: Tidak bingung, masih bisa terkontrol (Balancing Kebutuhan, Manage Timing
consume)
Pn: Apakah Anda membeli barang dari sisi kebutuhan dan kegunaan? Atau ada
gengsi, prestise dan gaya hidup yang jadi patokan?
Nr: Kebutuhan & Kegunaan + mahal asal tahan lama
Pn: Apakah pola konsumerisme Anda didasari oleh bagaimana orang lain akan
melihat diri Anda?
Nr: Tidak
Pn: Apakah Anda membeli barang karena barang itu akan membuat status Anda
terangkat?
Nr: Tidak, lebih karean butuh dan disesuaikan dengan budget saja.
Pn: Apakah menurut Anda, status sosial ditentukan dari gaya konsumsi seseorang?
Nr: Tidak
Pn: Untuk lebih spesifiknya, apakah Anda tergiur iklan, promo, cashback, diskon,
atau bahkan star ambassador untuk membeli barang?
Nr: Ya
xliv
Pn: Adakah dampak positif dan negatif saat Anda melakukan konsumsi di luar
kebutuhan Anda?
Nr: Positif : tidak ada, Negatif : tidak ada, karena konsumsi yang dilakukan based
on kemampuan dan kebutuhan, jika belum mampu dan butuh , menunggu sampai
mampu/ manfaatkan kartu kredit dengan kalkulasi yang ideal.
Pn: Pada hal apa biasanya Anda berlebihan saat berkonsumsi? Makanan? Gadget?
Baju? Sepatu? Atau yang lain?
Nr: Tidak ada yang berlebihan
Pn: Bagaimana pandangan Anda terhadap orang yang berlebihan saat berkonsumsi
menggunakan e-wallet?
Nr: Tidak peduli
Pn: Apakah Anda memiliki kenalan yang Anda rasa dia berlebihan saat
berkonsumsi menggunakan e-wallet?
Nr: Tidak Tahu
Pn: Setelah berbagai pertanyaan di atas, apakah Anda berani dan menilai diri Anda
juga termasuk orang yang berlebihan saat berkonsumsi dengan e-wallet?
Nr: So far masih wajar
Pn: Bisakah kamu ceritakan pandangan kamu soal e-wallet? Seperti, kapan kamu
mengetahui dan menggunakan e-wallet?
Nr: Mengetahui setelah launch appsnya, dan marketing program yang dilakukan
oleh perusahaan tersebut menarik.
Pn: Apakah kamu memiliki OVO, Go-Pay atau Dana?
Nr: Ya (semua punya)
Pn: Mana yang paling kamu sering gunakan di antara ke-tiga e-wallet di atas?
Alasannya kenapa?
Nr: Gopay & Ovo : Random preferensi saja misal keduanya tidak ada promo yang
menarik
Pn: Dari sekian banyak fitur yang ada di OVO, Go-Pay dan Dana yang mana yang
paling sering kamu gunakan? Kendaraan? Beli makanan? Pengantaran barang?
Membeli barang; baju, sepatu, dll?
xlv
Nr: Membayar kebutuhan; token listrik, PAM, pulsa, dll? Beli Makanan &
Kendaraan,, pembayaran PAM Rutin tiap bulan lewat Gopay
Pn: Biasanya top up e-wallet lewat sarana apa?
Nr: Mobile Banking
Pn: Apakah ada batasan nominal dan target waktu saat kamu top up? Atau kamu
akan top up asal di waktu yang tidak tertentu dengan nominal sesuka hati?
Nr: Waktu habis saja, tidak ter Pola,
Pn: Jika kamu memberikan batasan nominal pada saat top up, berapa minimal dan
maksimal uang yang kamu top up di e-wallet kamu?
Nr: Maksimum top up 200 ribu
Pn: Jika dihitung dalam waktu seminggu, berapa nominal jumlah penggunaan e-
wallet Anda?
Nr: 500 rb
Pnn: Jika dihitung salam waktu seminggu, berapa kali kamu menggunakan fitur e-
wallet?
Nr: 2-3 hari dalam seminggu, fleksibel
Pn: Bagaimana kamu menjelaskan milenial Jakarta?
Nr: Reaktif, Agile, Gadget oriented
Pn: Apakah ada perbedaan antara milenial Jakarta dengan milenial di kota-kota
lain?
Nr: Ada, depend on perkembangan ekonomi, social dll dari wilayah masing masing
Pn: Apakah sebagai millenial Jakarta, identitas kamu dipengaruhi oleh gaya
konsumsi?
Nr: Tidak
xlvi
Transkrip Wawancara (6)
Keterangan
Pn: Peneliti
Nr: Narasumber
Nama : N
Usia : 24 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Status : Mahasiswi
Tanggal Wawancara : 03 Juni 2020
Sarana : Telfon WhatsApp
Pn: Maaf banget ni kak, kalau langsung masalah personal, tapi aku boleh tau ga
pemasukan kamu dalam sebulan?
Nr: Aku kasih range aja kali ya, di 5-6 juta saat aku full time kerja, sekarang kan
aku lagi lanjut S2 jadi aku ga full time kerja, sekarang aku 1-2 juta
Pn: Kalau e-wallet yang kakak punya apa aja ni ka?
Nr: aku aktif pake OVO dan Gopay
Pn: nah kan, fiturnya ada banyak ya, kakak biasanya pakai apa aja ka?
Nr: aku biasanya grabbike, gobike, gofood dan untuk bayar-bayar belanja
Pn: Kalau pengeluaran kakak dalam sebulan menggunakan e-wallet itu berapa?
Nr: kalau dulu biasanya aku budgetin, kan biasanya paling gede di transport,
mungkin rangenya di Rp. 300.000- 500.000,- kali ya untuk maksimalnya, karna
biasanya yang gede tu gini, misal aku makan bareng temen-temen aku terus
bayarnya pakai gopay aku, nanti di akhir bulan kan biasanya ada gopay diaries, nah
di summary itu kan keliatannya kaya banyak banget jajan aku, padahal mah itu
makan bareng-bareng
xlvii
Pn: kan ada fitur patungan kak di gopay dan OVO
Nr: nah, biasanya aku ga pake fitur itu, aku kan biasanya jajan di OVO, nah di OVO
itu kan belum ada fitur itu, jadi ya gitu
Pn: kakak sendiri mempertimbangkan pandangan orang lain tentang konsumsi e-
walllet kakak ga?
Nr: ngga, aku anaknya ya ekonomis aja, ga peduli dengan omongan orang, kecuali
kalau dia yang ngisiin saldo OVO dan Gopay aku, hehe
Pn: Menurut kakak, apakah konsumerisme itu?
Nr: menurutku itu, konsumsi sesuatu yang kita ga butuhin, misalnya kaya kita
punya gadget dan fungsinya masih bagus, nah kalau orang yang konsumtif itu kan
dilihat dari habitnya kan, gaya hidupnya yang apakah dia beli dari kebermanfaatan
barang itu atau ngga. Jadi aku ngeliatnya konsumtif itu gaya hidup belanja dia.
Pn: Nah kalau kakak menjadikan konsumsi sebagai inti aktivitas kehidupan kakak
ga?
Nr: sebenernya makan kita setiap hari itu kan konsumsi ya, kita pake layanan ojek
online itu kan juga konsumsi, nah hal-hal itu kan membantu kita untuk lebih
produktif kan. Kaya makan, itu kan memberikan energi bagi tubuh kita yang
jadinya kita bisa beraktivitas dengan baik kan, terus kaya pake layanan dari ojek
online yang membawa kita dari 1 tempat ke tempat lain supaya kita bisa beraktivitas
kan, jadi menurut aku konsumsi itu penunjang buat kita untuk produktif dalam
hidup sehari-hari.
Pn: wah anaknya filosofis banget yaa, haha
Nr: haha, ini karna kamu nanya ke aku di tahun 2020, coba kalau kamu tanya di
tahun 2018 yang belum mindfull spending dari sekarang, jadi kalau sekarang kalau
beli tu juga nanya ini tu penting ga si? Atau cuma sekedar lucu-lucu aja?
Pn: Hm, wah aku baru tau tu kak, istilah mindfull spending
Nr: Iya, itu tu diliat dari valuenya gitu, misal beli chatime Rp. 30.000, itu kan enak
ya, minuman manis dengan bubble, tapi dengan uang segitu misalnya kita juga bisa
beli ayam penyet dan nasi gitu kan. Nah memang si yang manis itu enak ya, tapi
kan ga bernutrsi kan, jadi aku tu lebih milih dengan uang segitu ya beli makan berat
xlviii
aja. Ataupun kalau memang mau makan manis ya, aku beli yang tetep ada
kandungan nutrisinya, misal buah, jus gitu
Pn: oh, jadi ada banyak faktor di balik beli-beli itu ya.
Nr: iyaa, jadi mindfull spending itu bukan cuma sekedar beli, tapi juga ada alasan
kaya, oh gue beli ini karna ini memberikan nilai/manfaat buat diri kita, bukan cuma
sekedar seneng-seneng aja.
Pn: Kalau tujuan kakak saat melakukan konsumsi menggunakan e-wallet?
Nr: praktis si, ga perllu pegang duit cash, ngasih duit kembalian, plus sekarang aku
jarang pegang uang cash juga. Bahkan di kantin kampusku itu, makan pakai gopay
terus nanti dapet cashback yang cashbacknya itu bisa aku pake untuk gobike/gocar,
dll. Aku jarang tergiur dengan beli karna cashbacknya gede, tapi ya aku beli sesuai
kebutuhan aku aja si.
Pn: kalau dari sisi perubahan gaya konsumsi kakak di masa sebelum dan sesudah
penggunaan e-wallet?
Nr: hmm, kerasa lebih tu di makan ya. Dulu pas aku S1 kalau ga makan di tempat
makannya ya beli bahan terus olah sendiri kan, tapi setelah banyak menghitung,
beli bahan-bahan makanan dan energi masak, bersih-bersih gitu juga harus disebut
cost, kalau dihitung itu jatohnya malah lebih mahal dari beli di e-wallet. Jadi ada
unsur praktis dan ada promo-promo juga kan yang ngebuat aku sekarang berubah,
yang mana promo itu kan bukan cuma murah tapi juga menguntungkan. tapi pastiin
juga si kalau kita beli di e-wallet itu tetep mindfull.
Pn: Kalau dari sisi kemudahan yang ditawarkan e-wallet membuat pola konsumsi
Anda berubah?
Nr: hm iya si, jadi gini misal jajan di warung/tukang konvensional kan kebanyakan
ga bisa pake e-wallet dan kadang harganya itu lebih mahal. Nah kalau aku belanja
di hypermart misal atau di merchant-merchant yang dia itu kerja sama dengan e-
wallet itu kan ada cashbacknya juga kan. Tapi itu tergantung kebutuhan juga kan,
kaya hypermart itu kan menyediakan kebutuhan bulanan yang aku butuh, terus ada
juga alfamart yang sesekali aku beli.
Pn: kakak biasanya ada pertimbangan ga saat memulai, sedang dan akan
berkonsumsi?
xlix
Nr: hm, jarang si, itu lebih ke kebutuhan tersier. Misal aku mau beli chatime, eh
ternyata ga bisa, ya yaudah ga usah beli aja gitu. Jadi kalau promonya ga berlaku,
ya yaudah ga beli, atau misalnya di tempat lain ada promo lebih menguntungkan,
yaudah ga beli yang ini gitu.
Pn: Terus kakak jadi mulai bingung saat mendefinisikan kebutuhan dan keinginan?
Nr: ngga, justru lebih mudah si, mungkin karna terbiasa juga si, karna keinginaku
juga ga yang gimana-gimana, jadi misal mau makan yang baru, ya yaudah beli, tapi
kalau sesuatu yang ga relevan gitu ngga pernah si.
Pn: kakak biasanya pakai membeli barang dari sisi kebutuhan dan kegunaan? Atau
ada gengsi, prestise dan gaya hidup yang jadi patokan?
Nr: itu biasanya lebih ke faktor keinginan si, biasanya aku ngasih reward ke diri
sendiri gitu, reward tu ngasih penghargaan ke diri aku gitu. Biasanya bentuknya
reward makanan si, aku mau makan enak apa gitu.
Pn: Kalau menurut kakak ada citra yang terbangun dari barang-barang
mahal/branded gitu ga?
Nr: Iya setuju si, ada memang beberapa barang yang memang terlihat ya kaya
pakaian dan gadget, baik itu yang kita tunjukan ke orang lain secara langsung
ataupun kita perlihatkan di sosial media kita, misal kita makan di tempat yang fancy
gitu. Ada orang yang makan di situ mungkin karna makanannya emang enak, tapi
ada juga yang makan di situ karna mungkin ini bisa ngebuat diri gue jadi lebih
prestise gitu. Tapi ya gapapa juga si k2 hal itu. Kalau aku tipe yang beli sesuatu dari
yang aku suka gitu, kalau dari yang aku butuhkan lebih dari sisi valuablenya gitu.
Nah misalnya gini, ada beberapa supermarket juga yang menurut orang-orang itu
premium gitu, misal Ranch Market, itu kerasa banget kan bedanya kalau kita
belanja di situ dengan di Hypermart, Superindo, apalagi Tiptop. Itu karna
kelihatannya kan lebih fancy gitu plus ada beberapa barang yang memang cuma
ada di situ aja dan di supermarket lain ga ada, tapi kan dia harganya lebih tinggi
juga dari biasanya kan. Tapi harus liat lagi si, misal apa yang aku mau itu cuma ada
di Ranch Market ya, yaudah beli di situ, tapi kalau barang itu ada di Hypermart,
Tiptop, dll ada ya aku beli di tempat-tempat itu aja.
l
Pn: Kalau menurut kakak barang-barang itu membuat citra/status sosial kita naik
ga si?
Nr: Hm, mungkin bisa jadi ya. Misal kita lagi di 1 event yang mana orang-orang itu
melihat diri kita dari penampilan kita, padahal kita ga ngeliat itu semua si.
Pn: Tapi kakak pernah ga beli barang untuk hal-hal kaya gitu ga?
Nr: hm, aku tipe yang jarang beli barang si. Jadi kayaknya ngga ya. Kaya aku beli
baju itu biasanya di akhir tahun, karna ada sale gitu, itu juga ga tiap tahun si.
Pn: Nah kalau menurut kakak, status seseorang ditentukan dari gaya konsumsi
seseorang?
Nr: hm, bisa jadi. Misal Hotman Paris yang dia punya Lamborghini banyak terus
pergi ke bar-bar di Bali juga, itu sebenernya lebih menonjolkan citra lawyernya dia
si. Kaya kalau lo jadi lawyer, lo tu pasti bisa sukses kaya gini juga, karna kasus
yang dia tangani kan juga bukan kasus yang ecek-ecek ya, kasusnya selebriti dan
orang-orang atas gitu kan.
Pn: Untuk lebih spesifiknya, apakah Anda tergiur iklan, promo, cashback, diskon
untuk membeli barang?
Nr: Aku tu sebenernya jarang ke mall, jadi biasanya aku cuma liat secara virtual
aja. Dan aku bakal tanya aku butuh ga ya, tapi pernah si waktu itu aku beli minuman
pake Dana karna emang lagi haus waktu itu, atau pernah juga waktu itu lagi di mall
terus laper, liat ada promo di Tawan (nama restoran), karna lagi di mall juga yang
pilihan makanannya kaya gitu, yaudah beli aja.
Pn: oh, berarti kakak bukan tipe yang mengejar diskon ya, kalau kebetulan lliat ada
ya yaudah beli aja.
Nr: huum, aku emang follow beberapa akun diskon gitu si di sosial media tapi aku
bakal beli ya kalau aku butuh aja. Misal pas kemarin akhir tahun lagi banyak diskon,
aku bakal beli sesuai kebutuhan aja si. Jadi aku bakal cari diskon sesuai kebutuhan
aku aja. Ya seputar gini aja biasanya.
Pn: kalau dari sisi kakak, ada ga si yang kakak beli secara berlebihan ga?
Nr: hm, jarang si. Berlebihan itu mungkin di awal aja, kaya lagi numpuk aja di awal
stoknya, misal aku kan pake lotion tiap hari, nah pas di awal aku beli banyak, tapi
kan itu emang bakal dipake terus tiap hari, jadi yang lama lama bakal habis gitu.
li
Pn: Kakak punya kenalan yang kakak rasa dia berlebihan saat berkonsumsi
menggunakan e-wallet ga?
Nr: ada si ya mungkin. Tapi itu kan berdasarkan sudut pandang kita ya, karna bisa
jadi menurut dia ngga. Tapi ngga sampe aku tegur juga si.
Pn: Kalau pandangan kakak terhadap orang yang berlebihan saat berkonsumsi
menggunakan e-wallet?
Nr: hm, kita kan ga berkontribusi di e-wallet dia, jadi ya yaudah gapapa.
Pn: Setelah berbagai pertanyaan di atas, apakah Anda berani dan menilai diri Anda
juga termasuk orang yang berlebihan saat berkonsumsi dengan e-wallet?
Nr: hm, ngga si.
Pn: Biasanya top up e-wallet lewat sarana apa kak?
Nr: lewat driver atau m-banking si.
Pn: kakak biasanya kasih batasan nominal dan target waktu saat kamu top up ga?
Atau kakak akan top up asal di waktu yang tidak tertentu dengan nominal sesuka
hati?
Nr: intinya perbulan sekitar Rp. 300-500.000,- itu, tergantung kalau lagi sering
keluar, bisa top up sampai 4x atau bisa juga cuma 2x aja.
Pn: dihitung dalam waktu seminggu, berapa nominal jumlah penggunaan e-wallet
kakak?
Nr: hm, tergantung ya itu, kira-kira aja kali ya di angka Rp. 150.000-200.000
Pn: kalau dalam seminggu, berapa kali kakak menggunakan fitur e-wallet?
Nr: seminggu bisa 15x kayaknya, karna hampir tiap hari pake si.
Pn: Oke, kak ini kita udah mau sampai di beberapa pertanyaan terakhir, kalau
menurut kakak milenial Jakarta tu gimana si?
Nr: milenial itu dihitung dari 1985-1995 kan ya? Hm, aku tu kenal beberapa
milenial yang mereka itu konsumsi itu untuk experience misal kaya travelling,
makan atau hang out di tempat-tempat kece. Aku bukan tipe yang suka hunting
tempat untuk hang out gitu, kalau diajak ya ayo. Terus milenial sekarang suka
subscription gitu kan kaya Netflix, Viu, dll. Aku juga pernah ngurusin ginian pas
di kantor dulu tentang e-wallet, brand di mata milenial. Menarik juga tentang
milenial yang vegan di mana mereka itu konsumsi sesuatu yang mana pastinya lebih
lii
mahal kan, karna sayurnya sayur organik yang mana harganya lebih mahal kan
ataupun tempat makan yang menyediakan makanan-makanan itu kan, ga murah
gitu. Oh iya tentang anak-anak muda yang ikut di Gym juga, kaya temen aku dia
ikutan di Gym bukan untuk diet, tapi emang pengen sehat dan suka aja dengan
banyak jenis olahraga.
Pn: Apakah ada perbedaan antara milenial Jakarta dengan milenial di kota-kota
lain?
Nr: Ya pasti si ya, karna di Jakarta itu kan banyak pilihan beda dengan di daerah
lain. Misal mau makan sushi, di Jakarta itu dari yang termurah sampe termewah tu
ada, kalau di kota lain tu cuma ada yang harganya menengah aja.
Pn: Kalau menurut kakak, identitas milenial Jakarta dipengaruhi oleh gaya
konsumsi dia ga?
Nr: Bisa, tapi bukan cuma konsumsi aja ya, bisa juga dari value diri dia. Misal ada
lho anak-anak muda yang ga mau nonton film bajakan di web illegal, makanya dia
subscription di netflix atau ada juga yang ga mau baca di e-book bajakan, makanya
dia beli di tempat yang legal. Jadi sebelum ke konsumsi itu, pasti ada value yang
dia anut. Misal dia vegan, jadinya dia beli makanan organik, ga mungkin kan dia
makan nasi goreng. Jadi ada valuenya diri dia sebelum dia mencoba untuk bergaya
hidup vegan itu.
liii
Transkrip Wawancara (7)
Keterangan
Pn: Peneliti
Nr: Narasumber
Nama : Ang
Usia : 21
Jenis Kelamin : Perempuan
Profesi : Mahasiswa
Tanggal Wawancara : 03 Juni 2020
Sarana : Telfon WhatsApp
Pn: Mungkin ini rada private ya, tapi boleh ga aku tau berapa pemasukan kamu
dalam sebulan? Jadi ditotal aja, kalau kamu punya uang jajan atau mungkin punya
tambahan dari freelance juga
Nr: Oke sebentar, karena aku nih murni kuliah dan ga ada tambahan dari manapun,
jadi rinciannya sehari dapet Rp. 35.000, jadi 35.000x30 hari ya sekitar Rp.
1.500.000,-
Pn: Ini gapapa banget, kamu pake perspektif sebelum covid menyerang, karna
mungkin dari beberapa pertanyaan aku ada yang kurang relate, oke sebelumnya
kamu pake e-wallet apa aja?
Nr: Dana, OVO, Gopay
Pn: Yang paling sering dipake apa?
Nr: ketiga-tiganya sering dipake, tergantung aja yang mana diskonnya, kan
mahasiswa hehe
Pn: Kalau pengeluaran kamu dalam sebulan biasanya pakai e-wallet berapa?
Nr: terlepas dari diskon ya, karna kan banyak kebutuhan yang dibeli kaya skincare
gitu-gitu kan kebutuhan ya, ada ga ada diskon ya emang harus beli, ya sekitar Rp.
700.000-800.000,-
Pn: Kamu emang biasanya pake fitur e-wallet apa aja?
liv
Nr: paling sering kendaraan dan bayar-bayar seperti bayar tagihan (token, PAM)
dab bayar skincare.
Pn: kalau kamu sendiri mempertimbangkan pandangan orang lain tentang gaya
konsumsi diri kamu?
Nr: hm, ngga si, karna ini kan uang ya, ranah pribadi, kebetulan temen-temen aku
juga ga ada yang nanya-nanya dan aku juga ga nanya-nanya tentang mereka
Pn: kamu tau ga konsumerisme itu apa?
Nr: hm apa ya, mungkin sama kaya konsumtif kali ya
Pn: kamu menjadikan konsumsi sebagai inti aktivitas kehidupan kamu ga?
Nr: ya jelas, kan kita manusia ga bisa lepas dari jual beli, bedanya sekarang kita ga
konvensional dengan pake cash aja, kita beralih ke e-wallet
Pn: hm gitu ya, jadi kapanpun itu, jual beli itu pasti selalu ada ya. Kalau kamu
sendiri sebenarnya tujuan pakai e-wallet itu apa?
Nr: sebenernya saya tipe yang ga bisa pegang uang cash gitu, karena takut hilang,
ketinggalan, dll. E-wallet ini kan ada di hp ya, barang yang ga pernah ketingga lan,
kalau kita kurang duit, tinggal minta orang rumah kirimin duit ke e-wallet kita.
Pn: Iya juga ya, kalau dari gaya konsumsi kamu ada yang berubah ga si di masa
sebelum dan sesudah penggunaan e-wallet? Karna e-wallet ini kan belum lama ya,
pengeshanya aja baru di tahun 2016 ya.
Nr: kakak pasti ngerti deh sebagai sesama perempuan, shopee, tokopedia itu kan 2
maut, kadang butuh ga butuh yaudah co co aja, kadang nyesel si, duh ngapain ya
beli ini? Tapi ya terus aja diulangin lagi dan lagi haha
Pn: nah, perubahan gaya konsumsi kamu itu berubah karna apa? Karna kemudahan
pakai e-walletnya atau gimana?
Nr: e-wallet itu kan lebih banyak diskonnya, jadi lebih konsumtif dan impuls ive
buying gitu apalagi pake e-wallet itu kan tinggal klik klik aja nanti barangnya sampe
haha
Pn: haha iya, jadi one click away ya untuk semua yang kita pesen di e-wallet tu. oh
iya, kalau kamu tu biasanya ada pertimbangan dulu ga si saat memulai, sedang dan
akan beli sesuatu?
lv
Nr: biasanya untuk hal-hal penting, ya beli aja contohnya kaya skincare ya mau
harganya gimana, ya beli beli aja, tapi gimana ya, kalau pun itu bukan yang penting-
penting banget, pasti tetep dibeli-beli juga si hahaa
Pn: haha, pertimbangannya berarti kurang dalem gitu ya? Tapi kamu mulai bingung
ga si saat mendefinisikan kebutuhan dan keinginan?
Nr: jelas, jadi bingung
Pn: patokan kamu beli barang itu sebenarnya dari sisi kebutuhan dan kegunaan,
keinginan Atau ada gengsi, prestise dan gaya hidup gitu ga si?
Nr: ngga si, semua tergantung kebutuhan dan keinginan aja.
Pn: kalau menurut kamu, dari 1 barang aja, kadang bisa ngebuat citra diri kita
berubah? Ya ga si menurut kamu?
Nr: itu sebenarnya sesuai dengan teori yang ada si, antara barang dengan self-
branding, tapi kalau menurut aku, ya ada tapi intensitasnya ga banyak ya, aku beli
barang itu bukan untuk memuaskan orang lain, tapi ya untuk diri aku sendiri.
Pn: oh gitu, jadi ga perlu banyak pikirin orang lain tentang gaya konsumsi kamu
gitu ya?
Nr: iya lah, aku ga pikirin orang aja, belanja aku udah banyak banget ya, haha
Pn: menurut kamu, ada citra yang terbangun dari barang-barang mahal gitu ga?
Nr: itu ada teorinya di psikologi, tapi ya buat aku ga penting gitu si.
Pn: oh berarti, gaya konsumerisme kamu tu bukan didasari dari bagaimana orang
lain akan melihat kamu ya?
Nr: engga, aku ngeliatnya ya dari satisfiction aku, terserah orang mau lihatnya
gimana, ya yang penting aku suka
Pn: kalau menurut kamu status sosial ditentukan dari gaya konsumsi seseorang?
Nr: manusia itu lebih kompleks dari sekedar dinilai berdasarkan itu aja
Pn: kamu tipe yang mudah tergiur dengan iklan, promo, cashback, diskon, atau
bahkan star ambassador untuk membeli barang?
Nr: iya, aku mudah banget tergiur, karna kaya yang aku bilang, sebenernya aku ga
butuh-butuh banget, tapi karna ini diskon dan kapan lagi dia diskon, ya yaudah beli
beli aja.
lvi
Pn: di luar dari kebutuhan kamu, ada ga hal yang kamu berlebihan saat
berkonsumsi?
Nr: ada, bukan dari segi kuantitasnya si, tapi lebih ke kegunaannya sebenernya ga
ada, tapi yaudah dibeli beli aja.
Pn: emang apa biasanya?
Nr: paling keperluan untuk peliharaan aku, aku kan punya peliharaan banyak. Jadi
daripada nanti butuh-butuh lagi, yaudah beli aja
Pn: pasti punya kucing ya? Kucing kan punya banyak kebutuhan tu biasanya
Nr: yup bener banget! Kucing aku aja mpe 3, haha plus nanti kalau ada kucing lain
main juga ke rumah
Pn: oh gitu ya, kamu ngerasa ada dampak positif dan negatifnya ga si saat konsumsi
di luar kebutuhan kamu?
Nr: ya kerasa, positifnya si karna rumahku kan jauh dari pet shop, jadi untuk nyetok
tu enak. Mostly negatif si, karna yaudah beli-beli aja gitu.
Pn: coba dijelasin, sisi negeatifnya tu dari sisi apa?
Nr: nyesel aja si karna uang berkurang, cuma ya nanti siklusnya ya berulang aja
terus, ada promo, ya beli, karna ini jadi repetitif beli lagi dan lagi.
Pn: kamu punya ga kenalan yang kamu rasa dia berlebihan saat berkonsumsi
menggunakan e-wallet?
Nr: gatau ya, aku ga perhatiin banget
Pn: kalau pandangan kamu terhadap orang yang berlebihan saat berkonsumsi
menggunakan e-wallet gimana?
Nr: aku si ya terserah aja, selama dia ga minta duit ke aku dan ga berdampak buruk
ke aku ya gapapa
Pn: Setelah berbagai pertanyaan di atas, kamu menilai diri kamu termasuk orang
yang berlebihan saat berkonsumsi dengan e-wallet?
Nr: iya jelas, karna ga punya kontrol diri
Pn: haha, kamu straight bener ya. Oiya, tadi di atas kan kamu bilang punya OVO,
Gopay, dan Dana ya. Nah itu biasanya kamu klo top up e-wallet via apa?
Nr: m-banking
Pn: wah itu tambah memudahkan untuk top up ya haha
lvii
Nr: yup, betul banget haha
Pn: kamu biasanya ngebuat batasan nominal dan target waktu saat top up ga? Atau
kamu akan top up asal di waktu yang tidak tertentu dengan nominal sesuka hati?
Nr: biasanya 2-3x dalam sebulan, seadanya uang ada aja. Biasanya pas kuliah
kemarin lebih boros, seminggu bisa abis Rp. 120.000
Pn: Jika dihitung salam waktu seminggu, berapa kali kamu menggunakan fitur e-
wallet?
Nr: sekitar 3x
Pn: kalau kamu diminta jelasin milenial Jakarta Selatan, apa si yang kamu pikirin?
Nr: serba mudah kali ya, karna hidupnya udah bergantung pada teknologi
Pn: menurut kamu, ada perbedaan antara milenial Jakarta dengan milenial di kota-
kota lain?
Nr: hm apa ya,
Pn: menurut kamu, sebagai millenial Jakarta, identitas kamu dipengaruhi oleh gaya
konsumsi?
Nr: iya si, karena gaya hidup
lviii
Transkrip Wawancara (8)
Keterangan
Pn: Peneliti
Nr: Narasumber
Nama : I
Usia : 21
Jenis Kelamin : Perempuan
Profesi : Mahasiswa
Tanggal Wawancara : Rabu, 3 Juni 2020. 12:34 WIB
Sarana : Google Docs.
Pn: Berapa pemasukan Anda dalam sebulan?
Nr: karena masih kuliah jadi blm ada pemasukan sendiri. Paling kalo bulanan dari
ortu sekitar 1,2.
Pn: Berapa pengeluaran Anda dalam sebulan menggunakan e-wallet?
Nr: Ngga tau pasti yaa, tergantung kebutuhan juga sih. Mungkin 300k
Pn: Apakah Anda mempertimbangkan pandangan orang lain tentang diri Anda?
Nr: Iya
Pn: Menurut Anda, apakah konsumerisme itu?
Nr: Ini tuh kayak paham seseorang buat ngelakuin hal hal konsumsi atau
melakukan perilaku konsumtif. Kayak beli barang yang berlebihan
Pn: Apakah Anda menjadikan konsumsi sebagai inti aktivitas kehidupan Anda?
Nr: Ngga juga sih
Pn: Apa tujuan Anda saat melakukan konsumsi menggunakan e-wallet?
Nr: Biar mudah aja kalo mau ngelakuin proses transaksi
Pn: Apakah terjadi perubahan gaya konsumsi Anda di masa sebelum dan sesudah
penggunaan e-wallet?
Nr: Iyaa berubah pasti, soalnya jadi lebih mudah aja gitu
Pn: Jika iya, sejauh mana perubahan itu terjadi?
lix
Nr: Lebih cepet kalo mau transaksi, terus karena kemudahan yang didapet itu juga
kadang jadi pengen beli beli terus
Pn: Menurut Anda, apa yang membuat pola konsumsi Anda jadi berubah setelah
berkonsumsi menggunakan e-wallet?
Nr: Jadi suka belanja hal hal sepele sih.
Pn: Apakah kemudahan yang ditawarkan e-wallet membuat pola konsumsi Anda
berubah?
Nr: Lebih cepat, banyak promo juga, fiturnya menarik juga
Pn: Adakah pertimbangan yang Anda pikirkan saat memulai, sedang dan akan
berkonsumsi?
Nr: Ada, pasti ada pertimbangan yang dilakuin kayak penting ngga ya kalo beli ini
barang. Takutnya cuma jadi beli aja ngga kepake
Pn: Menurut Anda, apakah perubahan itu terjadi karena anda mulai bingung saat
mendefinisikan kebutuhan dan keinginan?
Nr: Iya kadang punya pikiran kayak gini. Tapi kalo mau beli emang harus mikir
bener bener dulu takutnya malah ngga penting penting banget.
Pn: Apakah Anda membeli barang dari sisi kebutuhan dan kegunaan? Atau ada
gengsi, prestise dan gaya hidup yang jadi patokan?
Nr: Pertama tentunya karena kebutuhan, itu pasti. Kedua karena pengen beli aja
tapi tetep dipikirin ini barang fungsinya gimana.
Pn: Apakah pola konsumerisme Anda didasari oleh bagaimana orang lain akan
melihat diri Anda?
Nr: Ngga juga sih yaa, emang beli ya sesuai kemauan aja
Pn: Menurut Anda, apakah ada citra yang terbangun dari barang-barang mahal?
Nr: Ada sih ya, pasti biar keliatan orang gitu.
Pn: Apakah Anda membeli barang karena barang itu akan membuat status Anda
terangkat?
Nr: Ngga juga, beli barang itu ya karena emang pengen beli aja dan sesuai
kemauan. Kalo menurut kita bagus ya dibeli.
Pn: Apakah menurut Anda, status sosial ditentukan dari gaya konsumsi
seseorang?
lx
Nr: Kalo ngeliat realita sosial yang ada di masyarakat, bisa dibilang iya. Karena
beberapa orang pasti tergabung atau berkumpul dengan orang yang mempunyai
status sosial yang sama dimana gaya konsumsinya cenderung mirip
Pn: Untuk lebih spesifiknya, apakah Anda tergiur iklan, promo, cashback, diskon,
atau bahkan star ambassador untuk membeli barang?
Nr: Oh ini iyaa sih kadang lol.
Pn: Adakah dampak positif dan negatif saat Anda melakukan konsumsi di luar
kebutuhan Anda?
Nr: Ada, negatifnya tiba2 udah keluar uang banyak aja gitu
Pn: Pada hal apa biasanya Anda berlebihan saat berkonsumsi? Makanan? Gadget?
Baju? Sepatu? Atau yang lain?
Nr: Makanan sih soalnya banyak banget promo. Selain itu emang kebetulan kalo
mau beli pasti ada promonya
Pn: Bagaimana pandangan Anda terhadap orang yang berlebihan saat
berkonsumsi menggunakan e-wallet?
Nr: Ngga apa2 selain pemasukannya masih mencukupi daya belinya. Tapi hal
yang disayangkan pasti dalam membeli barang yang berlebihan bisa bikin
barangnya cuma sekali pake aja dan dibiarin lama
Pn: Apakah Anda memiliki kenalan yang Anda rasa dia berlebihan saat
berkonsumsi menggunakan e-wallet?
Nr: Ada
Pn: Setelah berbagai pertanyaan di atas, apakah Anda berani dan menilai diri
Anda juga termasuk orang yang berlebihan saat berkonsumsi dengan e-wallet?
Nr: sebenarnya ngga juga sih karena saya juga memperhatikan dulu barangnya
sebelum dibeli. Walaupun tergiur promo dan brand ambassador nya pasti tetap
melihat kegunaannya untuk apa
Pn: Bisakah kamu ceritakan pandangan kamu soal e-wallet? Seperti, kapan kamu
mengetahui dan menggunakan e-wallet?
Nr: Kalo awal pake mungkin pas sma. Itu kayak pemakaian gopay. Penggunaan e
wallet tentunya pasti memudahkan orang lain dalam bertransaksi
Pn: Apakah kamu memiliki OVO, Go-Pay atau Dana?
lxi
Nr: Iyaa punya
Pn: Mana yang paling kamu sering gunakan di antara ke-tiga e-wallet di atas?
Alasannya kenapa?
Nr: Yang paling sering go pay. Tapi ketiganya juga dipake terutama kalau ada
promo tertentu di 3 e wallet tersebut
Pn: Dari sekian banyak fitur yang ada di OVO, Go-Pay dan Dana yang mana yang
paling sering kamu gunakan? Kendaraan? Beli makanan? Pengantaran barang?
Membeli barang; baju, sepatu, dll? Membayar kebutuhan; token listrik, PAM,
pulsa, dll?
Nr: Beli makanan sih lebih sering untuk itu.
Pn: Biasanya top up e-wallet lewat sarana apa?
Nr: Mbanking, atau alfamaret
Pn: Apakah ada batasan nominal dan target waktu saat kamu top up? Atau kamu
akan top up asal di waktu yang tidak tertentu dengan nominal sesuka hati?
Nr: Ngga ada batasan sih, cuma kalo liat saldo kira kira tinggal sedikit lebih baik
dikeep aja.
Pn: Jika kamu memberikan batasan nominal pada saat top up, berapa minimal dan
maksimal uang yang kamu top up di e-wallet kamu?
Pn: Ngga ada
Pn: Jika dihitung dalam waktu seminggu, berapa nominal jumlah penggunaan e-
wallet Anda?
Nr: Ngga tentu sih, karena bukan yang pemakaiannya setiap hari pake e wallet.
Cuma dalam keadaan atau kebutuhan tertentu aja jadi kurang tau deh
Pn: Jika dihitung salam waktu seminggu, berapa kali kamu menggunakan fitur e-
wallet?
Nr: Biasanya mungkin 1-3x tergantung jugaa sih itupun kalo lagi keadaan di luar
rumah dan pengen pake aja kalo promo. Bisa seminggu juga ngga pake
Pn: Bagaimana kamu menjelaskan milenial Jakarta?
Nr: Milenial sendiri kan generasi yang lahir di kisaran tahun 90an - 2000 ya kalo
ga salah. Kalau untuk milenial jakarta sendiri sih pastinya udah banyak yang
punya style atau lebih fleksibel. Pola pikirnya juga banyak yang kritis
lxii
Pn: Apakah ada perbedaan antara milenial Jakarta dengan milenial di kota-kota
lain?
Nr: Perbedaanya mungkin dari gaya, karena tinggal di ibukota yang lebih
heterogen penduduknya
Pn: Apakah sebagai millenial Jakarta, identitas kamu dipengaruhi oleh gaya
konsumsi?
Nr: Gaya konsumsi memang punya pengaruh dalam kehidupan sehari hari.
Namun dalam porsi yang masih terbilang cukup dan sewajarnya
lxiii
Transkrip Wawancara (9)
Keterangan
Pn: Peneliti
Nr: Narasumber
Nama : S
Usia : 25 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Profesi : Karyawan
Tanggal Wawancara : 5 June 2020. 4.30-5.00 pm
Sarana : Google Docs
Pn: Berapa pemasukan Anda dalam sebulan?
Nr: 5000K - 6000K
Pn: Berapa pengeluaran Anda dalam sebulan menggunakan e-wallet?
Nr: During normal era (before covid), 15-20% dari pengeluaran
Pn: Apakah Anda mempertimbangkan pandangan orang lain tentang diri Anda?
Nr: Yes. Of course.
Pn: Menurut Anda, apakah konsumerisme itu?
Nr: Budaya transaksi berlebihan. Fokus terlalu pada keinginan daripada kebutuhan.
Pn: Apakah Anda menjadikan konsumsi sebagai inti aktivitas kehidupan Anda?
Nr: Konsumsi? Of course. Sebagai mahluk hidup, mahluk sosial, aplagi pekerja
seperti aku pasti menjadikan konsumsi sebagai aktivitas. Karna kita harus
memenuhi basic need, serta extra need kita untuk menjalani keseharian.
Pn: Apa tujuan Anda saat melakukan konsumsi menggunakan e-wallet?
Nr: Kemudahan. Simple.
Pn: Apakah terjadi perubahan gaya konsumsi Anda di masa sebelum dan sesudah
penggunaan e-wallet?
Nr: Tidak. Masih under control.
lxiv
Pn: Jika iya, sejauh mana perubahan itu terjadi?
-
Pn: Menurut Anda, apa yang membuat pola konsumsi Anda jadi berubah setelah
berkonsumsi menggunakan e-wallet?
-
Pn: Apakah kemudahan yang ditawarkan e-wallet membuat pola konsumsi Anda
berubah?
Nr: Yes.
Pn: Adakah pertimbangan yang Anda pikirkan saat memulai, sedang dan akan
berkonsumsi?
Nr: Is it really something that I need? Do I really have to buy it now?
Pn: *Menurut Anda, apakah perubahan itu terjadi karena anda mulai bingung saat
mendefinisikan kebutuhan dan keinginan?
Nr: Sometimes.
Pn: *Apakah Anda membeli barang dari sisi kebutuhan dan kegunaan? Atau ada
gengsi, prestise dan gaya hidup yang jadi patokan?
Nr: Kebutuhan dan kegunaan
Pn: *Apakah pola konsumerisme Anda didasari oleh bagaimana orang lain akan
melihat diri Anda?
Nr: Nope. Prefer yang lebih membuat aku nyaman.
Pn: Menurut Anda, apakah ada citra yang terbangun dari barang-barang mahal?
Nr: Nope.
Pn: Apakah Anda membeli barang karena barang itu akan membuat status Anda
terangkat?
Nr: Nope.
Pn: Apakah menurut Anda, status sosial ditentukan dari gaya konsumsi seseorang?
Nr: Not really. Karna bisa aja yang status sosialnya tinggi kuantitas konsumsinya
rendah. (lebih fokus ke volume)
Pn: Untuk lebih spesifiknya, apakah Anda tergiur iklan, promo, cashback, diskon,
atau bahkan star ambassador untuk membeli barang?
Nr: Cashback?Discount? YES YES!
lxv
Pn: Adakah dampak positif dan negatif saat Anda melakukan konsumsi di luar
kebutuhan Anda?
Nr: Nyesel aja gitu, terus mikir ‘ mestinya bisa bermanfaat buat yg lain ya.’,
‘mestinya bisa ditabung yaa.’
Pn: Pada hal apa biasanya Anda berlebihan saat berkonsumsi? Makanan? Gadget?
Baju? Sepatu? Atau yang lain?
Nr: Apa ya.. Hampir seimbang semua sih. Cuma karna seringnya gunain buat grab,
jadi paling banyak ya buat transportasi dan makanan.
Pn: Bagaimana pandangan Anda terhadap orang yang berlebihan saat berkonsumsi
menggunakan e-wallet?
Nr: It’s their choice. Selagi mereka banyak uang dan itu emang jadi
kebutuhan/keinginan mereka ya gapapa. Yang penting gak merugikan orang lain.
Pn: Apakah Anda memiliki kenalan yang Anda rasa dia berlebihan saat
berkonsumsi menggunakan e-wallet?
Nr: Ada.
Pn: Setelah berbagai pertanyaan di atas, apakah Anda berani dan menilai diri Anda
juga termasuk orang yang berlebihan saat berkonsumsi dengan e-wallet?
Nr: Nope. Masih under control.
Pn: Bisakah kamu ceritakan pandangan kamu soal e-wallet? Seperti, kapan kamu
mengetahui dan menggunakan e-wallet?
Nr: Pertama kenal TCash dari Telkomsel, tapi gak tertarik pake. Karna kebetulan
pengguna setia grab, pas grab introduction new payment with OVO ya langsung
ngikut. Eh sampe sekarang masih setia & tetep suka sama OVO.
Pn: Apakah kamu memiliki OVO, Go-Pay atau Dana?
Nr: OVO punya, Go-Pay punya.
Pn: Mana yang paling kamu sering gunakan di antara ke-tiga e-wallet di atas?
Alasannya kenapa?
Nr: OVO! UI/UX bagus. Simple. Enak fiturnya. Integrasinya gampang (pas awal
awal sih, kayaknya skrng udah agak ribet). Free fee for bank transaction and top up
(dulu sih ini, skrng udah berbayar semua-,-) Cuma faktor terbesar emang karna pake
grab sih.
lxvi
Pn: Dari sekian banyak fitur yang ada di OVO, Go-Pay dan Dana yang mana yang
paling sering kamu gunakan? Kendaraan? Beli makanan? Pengantaran barang?
Membeli barang; baju, sepatu, dll? Membayar kebutuhan; token listrik, PAM,
pulsa, dll?
Nr: Transportasi, Makanan, Pulsa Paket
Pn: Biasanya top up e-wallet lewat sarana apa?
Nr: Mandiri Online, Jenius & Abang Grab
Pn: Apakah ada batasan nominal dan target waktu saat kamu top up? Atau kamu
akan top up asal di waktu yang tidak tertentu dengan nominal sesuka hati?
Nr: Iya sesuka hati..
Pn: Jika kamu memberikan batasan nominal pada saat top up, berapa minimal dan
maksimal uang yang kamu top up di e-wallet kamu?
Nr: Kallo nominal di OVOnya pasti ada. Jangan lebih dari 400ribu
Pn: Jika dihitung dalam waktu seminggu, berapa nominal jumlah penggunaan e-
wallet Anda?
Nr: In normal time, 100-200 ribu minimum. Maksimum bisa sampe 200+
Pn: Jika dihitung salam waktu seminggu, berapa kali kamu menggunakan fitur e-
wallet?
Nr: Tiap hari, pagi siang malem.
Pn: Bagaimana kamu menjelaskan milenial Jakarta?
Nr: Terbanyak jumlahnya. Produktif, Konsumtif. Suka cashback. Sulit
berkomitmen.
Pn: Apakah ada perbedaan antara milenial Jakarta dengan milenial di kota-kota
lain?
Nr: Of course, dari culturenya aja beda. Lebih gaul lah kalo bisa dibilang. Karna
tools untuk dapet informasinya juga lebih kaya. Tingkat pendapatannya juga lebih
tinggi kan di Ibukota.
Pn: Apakah sebagai millenial Jakarta, identitas kamu dipengaruhi oleh gaya
konsumsi?
Nr: Nope.
lxvii
Transkrip Wawancara
Keterangan
Pn: Peneliti
Nr: Narasumber
Nama : F
Usia : 24
Jenis Kelamin : Perempuan
Profesi : Mahasiswa
Tanggal Wawancara : 04 Juni 2020
Sarana : Google Docs
Pn: Berapa pemasukan Anda dalam sebulan?
Nr: Rp 3.000.000
Pn: Berapa pengeluaran Anda dalam sebulan menggunakan e-wallet?
Nr: Rp 1.500.000
Pn: Apakah Anda mempertimbangkan pandangan orang lain tentang diri Anda?
Nr: Cukup mempertimbangkan
Pn: Menurut Anda, apakah konsumerisme itu?
Nr: Pola hidup di mana masyarakat sangat didorong oleh keinginan membeli barang
atau mengkonsumsi sesuatu, bukan berdasarkan kebutuhan
Pn: Apakah Anda menjadikan konsumsi sebagai inti aktivitas kehidupan Anda?
Nr: Kadang iya, karena membeli sesuatu yang enak atau bagus menjadi hal ya ng
menyenangkan. Namun masih bisa dikontrol
Pn: Apa tujuan Anda saat melakukan konsumsi menggunakan e-wallet?
Nr: Kemudahan, kadang ada diskon
Pn: Apakah terjadi perubahan gaya konsumsi Anda di masa sebelum dan sesudah
penggunaan e-wallet?
Nr: Ya, frekuensi belanja online atau transaksi online meningkat
Pn: Jika iya, sejauh mana perubahan itu terjadi?
lxviii
Nr: Sekarang beli make up atau barang yang tidak langsung dikonsumsi biasanya
lewat online (di luar makanan)
Pn: Menurut Anda, apa yang membuat pola konsumsi Anda jadi berubah setelah
berkonsumsi menggunakan e-wallet?
Nr: Karena e-wallet memudahkan transaksi dan memiliki banyak promo sehingga
membuat menggunakannya menyenangkan
Pn: Apakah kemudahan yang ditawarkan e-wallet membuat pola konsumsi Anda
berubah?
Nr: Ya
Pn: Adakah pertimbangan yang Anda pikirkan saat memulai, sedang dan akan
berkonsumsi?
Nr: Apakah saya butuh konsumsi itu, Apakah masih masuk ke dalam budget saya,
Apakah hal itu akan membuat saya senang
Pn: Menurut Anda, apakah perubahan itu terjadi karena anda mulai bingung saat
mendefinisikan kebutuhan dan keinginan?
Nr: Tidak sih, karena masih bisa membedakan antara kebutuhan dan keinginan
Pn: Apakah Anda membeli barang dari sisi kebutuhan dan kegunaan? Atau ada
gengsi, prestise dan gaya hidup yang jadi patokan?
Nr: Kebutuhan dan kegunaan yang utama, tapi jika masih ada uang lebih, sekali-
sekali memanjakan diri sendiri tidak masalah
Pn: Apakah pola konsumerisme Anda didasari oleh bagaimana orang lain akan
melihat diri Anda?
Nr: Tidak terlalu
Pn: Menurut Anda, apakah ada citra yang terbangun dari barang-barang mahal? Nr:
Tidak dipungkiri pasti ada pengaruhnya. Manusia kan makhluk visual dan suka
keindahan
Pn: Apakah Anda membeli barang karena barang itu akan membuat status Anda
terangkat?
Nr: Tidak
Pn: Apakah menurut Anda, status sosial ditentukan dari gaya konsumsi seseorang?
lxix
Nr: Tidak, karena tidak ada gunanya juga jika memaksakan membeli barang tanpa
melihat kemampuan
Pn: Untuk lebih spesifiknya, apakah Anda tergiur iklan, promo, cashback, diskon,
atau bahkan star ambassador untuk membeli barang?
Nr: Jika memang barangnya saya butuhkan dan masuk budget, iya
Pn: Adakah dampak positif dan negatif saat Anda melakukan konsumsi di luar
kebutuhan Anda?
Nr: Biasanya konsumsi di luar kebutuhan untuk memenuhi kesenangan saya, jadi
dampak positifnya membuat saya senang. Tapi dampak negatifnya tentunya duit
habis
Pn: Pada hal apa biasanya Anda berlebihan saat berkonsumsi? Makanan? Gadget?
Baju? Sepatu? Atau yang lain?
Nr: Makanan dan game
Pn: Bagaimana pandangan Anda terhadap orang yang berlebihan saat berkonsumsi
menggunakan e-wallet?
Nr: Sebisa mungkin dikurangi
Pn: Apakah Anda memiliki kenalan yang Anda rasa dia berlebihan saat
berkonsumsi menggunakan e-wallet?
Nr: Tidak ada
Pn: Setelah berbagai pertanyaan di atas, apakah Anda berani dan menilai diri Anda
juga termasuk orang yang berlebihan saat berkonsumsi dengan e-wallet? Nr: Saya
tidak merasa berlebihan mengkonsumsi
Pn: Bisakah kamu ceritakan pandangan kamu soal e-wallet? Seperti, kapan kamu
mengetahui dan menggunakan e-wallet?
Nr: Konsep e-wallet sebenarnya sudah ada dari lama. Dulu awalnya dalam bentuk
e-money yang penggunaannya di Indonesia terbatas untuk tol, KRL, busway. Tapi
kemudian dikembangkan konsepnya jadi e-wallet. Pertama kali benar-benar pakai
e-wallet mungkin tahun 2016/2017. Yang pertama dipakai adalah Gopay karena
kebutuhan untuk menggunakan Gojeknya tinggi. Perkembangan penggunaan e-
wallet pada akhirnya mengikuti perkembangan Gojek sendiri, yang makin lama
lxx
makin mengenalkan berbagai macam fitur. Kemudian karena online shop banyak
yang bekerja sama dengan e-wallet jadi semakin sering pakai
Pn: Apakah kamu memiliki OVO, Go-Pay atau Dana?
Nr: Punya ketiganya tapi pakai Dana hanya pernah 1 kali
Pn: Mana yang paling kamu sering gunakan di antara ke-tiga e-wallet di atas?
Alasannya kenapa?
Nr: OVO. Karena sekarang lebih sering pakai Grabbike/Grabcar dan mudah
bertransaksi di Tokped maupun sociolla
Pn: Dari sekian banyak fitur yang ada di OVO, Go-Pay dan Dana yang mana yang
paling sering kamu gunakan? Kendaraan? Beli makanan? Pengantaran barang?
Nr: Membeli barang; baju, sepatu, dll? Membayar kebutuhan; token listrik, PAM,
pulsa, dll? Kendaraan
Pn: Biasanya top up e-wallet lewat sarana apa?
Nr: ATM
Pn: Apakah ada batasan nominal dan target waktu saat kamu top up? Atau kamu
akan top up asal di waktu yang tidak tertentu dengan nominal sesuka hati?
Nr: Top-up tidak tentu sesuai kebutuhan
Pn: Jika kamu memberikan batasan nominal pada saat top up, berapa minimal dan
maksimal uang yang kamu top up di e-wallet kamu?
Nr: tidak ada
Pn: Jika dihitung dalam waktu seminggu, berapa nominal jumlah penggunaan e-
wallet Anda?
Nr: Sebelum pandemi, sekitar 250.000 karena termasuk biaya makan siang
Pn: Jika dihitung salam waktu seminggu, berapa kali kamu menggunakan fitur e-
wallet?
Nr: 7-10 kali sebelum pandemi karena termasuk makan siang
Pn: Bagaimana kamu menjelaskan milenial Jakarta?
Nr: Tidak berbeda jauh dengan milenial pada umumnya. Milenial pada umumnya
senang mengikuti tren, terbiasa dengan penggunaan teknologi digital dan frekuensi
penggunaan media sosial tinggi.
lxxi
Pn: Apakah ada perbedaan antara milenial Jakarta dengan milenial di kota-kota
lain?
Nr: Yang membedakan milenial Jakarta dan milenial non-kota mungkin adalah
paparan dan kesempatan bersentuhan dengan teknologinya
Pn: Apakah sebagai millenial Jakarta, identitas kamu dipengaruhi oleh gaya
konsumsi?
Nr: Tidak terlalu. Saya tidak terlalu up-to-date atau mengikuti tren.