POLA ASUH PADA KELUARGA KULI KASAR BANGUNAN …
Transcript of POLA ASUH PADA KELUARGA KULI KASAR BANGUNAN …
POLA ASUH PADA KELUARGA KULI KASAR BANGUNAN
MASYARAKAT JAWA
(Studi Deskriptif di Kelurahan Aek Paing, Kecamatan Rantau Utara,
Kabupaten Labuhanbatu)
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mendapatkan
Gelar Sarjana Ilmu Sosial dalam Bidang Antropologi
Oleh :
Pandu Surya Pangestu
130905068
DEPARTEMEN ANTROPOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2017
Universitas Sumatera Utara
POLA ASUH DALAM KELUARGA KULI KASAR BANGUNAN
PADA MASYARAKAT JAWA Studi Kasus Di Kelurahan Aek Paing, Kecamatan Rantau Utara,
Labuhan Batu
Oleh: Pandu Surya Pangestu
Nim : 130905068 ABSTRAK
Penelitian ini adalah penelitian tentang pola asuh anak pada keluarga kuli
kasar bangunan pada masyarakat Jawa. Penelitian ini melihat fenomena sosial,
dimana di tengah era globalisasi dan kecanggihan teknologi yang sangat pesat,
seorang anak memungkinkan untuk terjerumus dan rentan terhadap prilaku yang
bersifat negative. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui pola asuh yang
diterapkan oleh orang tua terhadap anak dalam keluarga kuli kasar bangunan
masyarakat Jawa di kelurahan Aek Paing, Labuhanbatu. Pola asuh orang tua pada
anak sangat menentukan sifat dan kepribadian anak di masa yang akan datang.
Mengasuh anak menjadi kewajiban bagi orang tua untuk mendidik anak secara terus
menerus sehinggaanak dapat tumbuh dan berkembang sesuai dengan apa yang di
harapkan dan di inginkan orangtua.Penelitian ini fokus pada pengaruh dari tingkat
pendidikan, ekonomi terhadap pola asuh yang di terapkan serta pengaruh etos kerja
dan budaya kemiskinan terhadap prinsip hidup keluarga yang berpengaruh pada
pola asuh. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatifdeskriptif.
Informan penelitian ini adalah masyarakat kelurahan Aek Paing yang berada di
Lingkungan aek Paing Bawah I. Dengan menggunakan teknik pengumpulan data
penelitian berupa observasi partisipasi, wawancara mendalam, dan dokumentasi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola asuh yang diterapkan di keluarga
kuli kasar bangunan masyarakat Jawa di kelurahan sek Paing, kecamatan Rantau
Utara kabupaten Labuhanbatu adalah perpaduan antara pengasuhan liberal dan
pengasuhan demokratis. Dari hasil penelitian ini juga di dapati bahwa pola asuh
orangtua pada keluarga kuli kasar bangunan di pengaruhi oleh beberapa hal seperti
tingkat ekonomi, tingkat pendidikan orang tua, latar belakang budaya, serta etos
kerja yang di pengaruhi nilai-nilai agama yang di anut. Dari pengaruh budaya, di
dapati persepsi masyarakat kelurahan aek Paing bahwa pendidikan bukanlah suatu
yang sangat penting. Terlebih mengenai perhatian dan hubungan komunikasi,
keadaan ini juga berpengaruh besar terhadap tingkat pendidikan anak di keluarga
kuli kasar bangunan di kelurahan Aek Paing. Berdasarkan pada pandangan dan
perilaku orang tua yang di serap oleh anak-anak mereka menyebabkan anak-anak
tersebut tidak memiliki keinginan untuk keluar dari keadaan yang miskin atau
cenderung pasrah. Pada akhirnya, anak-anak yang putus sekolah atau tidak lanjut
sekolah di kelurahan Aek Paing ini kebanyakan dari mereka akan memilih atau di
suruh untuk ikut bekerja dengan orangtuanya sebagai kuli kasar bangunan. Dalam
pola asuh keluarga kuli kasar bangunan masyarakat Jawa di kelurahan Aek Paing,
etos kerja dan budaya kemiskinan memiliki pengaruh tersendiri terghadap pola asuh
yang di terapkan oleh orangtua dalam keluarga kuli kasar bangunan masyarakat
Jawa di kelurahan aek Paing.
Kata-kata Kunci : Pola Asuh, Orang Tua, Kuli Kasar, Etos Kerja
Universitas Sumatera Utara
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
HALAMAN PERSETUJUAN
Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan oleh:
Nama : Pandu Surya pangestu
Nim : 130905068
Departemen : Antropologi Sosial
Judul : Pola Asuh Keluarga kuli Kasar Bangunan Masyarakat jawa
(Studi Deskriptif : di Kelurahan Aek Paing, Kecamatan Rantau
Utara).
Pembimbing Skripsi, Ketua Departemen,
Dra. Nita Savitri, M.Hum Dr. Fikarwin Zuska
NIP. 19610125 198803 2 001 NIP. 19621220 198903 1 005
Dekan,
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sumatera Utara
Dr. Muryanto Amin, S.Sos, M.Si
NIP. 19740930 200501 1 002
Universitas Sumatera Utara
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
PERNYATAAN ORIGINALITAS
POLA ASUH DALAM KELUARGA KULI KASAR BANGUNAN
PADA MASYARAKAT JAWA (Studi Kasus Di Kelurahan Aek Paing, Kecamatan Rantau Utara)
SKRIPSI
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya
yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi,
dan sepanjang pengetahuan saya tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah
ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam
naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka.
Apabila dikemudian hari terbukti lain atau tidak seperti yang saya nyatakan di
sini, saya bersedia diproses secara hukum dan siap menanggalkan gelar kesarjanaan
saya.
Medan, Oktober
2017
Penulis
Pandu surya pangestu
Universitas Sumatera Utara
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji dan syukur saya panjatkan kepadaAllahSWT atas berkat rahmat dan
karunia-Nya saya dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul: POLA ASUH
DALAM KELUARGA KULI KASAR BANGUNAN PADA MASYARAKAT
JAWAini dapat diselesaikan dengan baik.Serta tidak lupa saya mengucapkan
shalawat dan salam atas junjungan Nabi Muhammad SAW yang syafaatnya sangat
diharapkan di hari kemudian.Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S1) pada Departemen Antropologi Sosial
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.
Skripsi ini merupakan akhir dari perkuliahan saya dan merupakan awal untuk
saya mulai belajar hal yang baru kembali. Skripsi ini saya persembahkan kepada
seluruh wanita hebat yang tak kenal lelah mengurusi keluarganya. Saya ucapkan
terimakasih dan penghargaan terbesar kepada kedua orang tua, Bapak Jumari dan Ibu
Rahma yang telah banyak berjuang dan kerja keras serta memberikan semangat agar
sayadapat menyelesaikan kuliah. Mereka bekerja tanpa ingat lelah untuk
keberhasilan saya. Mereka berharap saya menjadi orang yang sukses nantinya di
dunia dan akhirat. Terima kasih juga kepada ketiga adik-adik saya, Eggi Febio
Canavari, Ananda Putri Khairunnisa, dan Dea Tasya Azzahra yang selalu
menyemangati saya agar menyelesaikan skripsi ini.
Terkhusus saya mengucapkan terima kasih banyak kepada Ibu Dra. Nita
Savitri, M. Hum, sebagai dosen pembimbing akademik sekaligus dosen pembimbing
skripsi saya yang telah banyak mencurahkan waktu dan ilmu untuk membantu saya
menyelesaikan masalah perkuliahan dan skripsi. Dimulai dari pengajuan judul skripsi
Universitas Sumatera Utara
hingga pembekalan untuk saya menulis hasil penelitian skripsi. Ibu yang menjadi
tempat berceritaketika ada masalah, apapun itu. Oleh karena itu, saya anggap beliau
sebagai orang tua kedua saya. Semoga ibu dan keluarga selalu diberikan kesehatan
dan kebahagiaan.
Saya juga ucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Fikarwin Zuska, sebagai
Ketua Departemen Antropologi Sosial FISIP Universitas Sumatera Utara. Terima
kasih juga kepada Bapak Agustrisno, M.Sp, sebagai Sekretaris Departemen
Antropologi FISIP Universitas Sumatera Utara. Kepada Kak Nur sebagai staf
Departemen Antropologi dan Kak Sri di bidang pendidikan, saya ucapkan terima
kasih karena telah membantu dan mempermudah segala informasi serta urusan
perkuliahan.
Terima kasih juga kepada dosen-dosen Antropologi Sosial FISIP USU yang
telah memberikan ilmunya dan juga mendidik saya agar menjadi mahasiswa yang
baik Pak Zulkifli, Pak Hamdani, Pak Lister, Pak Ermansyah, Pak Nurman, Bang
Farid, Bang Wan, Ibu Rytha, Ibu Sabariah, Ibu Tjut, Ibu Chalida. Kepada Kak Noor
Aida sebagai asisten Laboratorium Antropologi, saya ucapkan terimakasih telah
membimbing dalam kepanitiaanacara di Departemen Antropologi seperti pada acara
Warkop Antro 2017 dan pembimbing dalam Tim Evaluasi AD/ART INSAN tahun
2017.
Tidak lupa saya ucapkan terima kasih kepada para informan, yaitu Bang
Hombing, Mak Ana,Mak Tama,danMak Usup, yang mana telah memberikan
berbagai macam informasi untuk skripsi saya dan juga membolehkan saya mengikuti
bagaimana kehidupan sehari-hari mereka baik saat bergadang asongan maupun di
dalam kehidupan keluarganya.
Universitas Sumatera Utara
Tidak lupa saya ucapkan terima kasih kepada senior angkatan 2010 (Bang
Sakti, Kak Dina dkk), angkatan 2011 (Bang Bendry, Bang Doni, Bang Rifai, Bang
Tio, Bang Rianda, Kak Sri, Kak Juliani, dkk), senior angkatan 2012 (Bang Arif
Akbar, Bang Trio Wijaya, Bang Ali, Bang Rizki, Bang Drixen, BangFazrin, Bang
Sofwan, Kak Widya dkk). Terima kasih telah berbagi kisah selama kuliah dan
memberikan semangat untuk menyelesaikan skripsi ini.
Kerabat dekat di Antropologi Sosial angkatan 2013 Fadlun, Andira, Indri,
Yusria, Pandu, Sahat, Intan, Mar’ie, Chayrinnisa, Alfi, Yuli, Arif,Ammar, Selvi,
Wilda, Nia. Terimakasih banyak telah menjadi teman berbagi selama kuliahdan juga
memberikan semangat selama menulis skripsi. Buat teman-teman lainnya Annete,
Ammar, Lady,Bukhori, Dedek, Ucok, Angga, Siwa, mas Dewan, Black Dragon dan
kawan-kawan kerabat lainnya yang tak bisa disebutkan satu persatu semoga sukses.
Medan, Oktober 2017
Penulis
Pandu Surya Pangestu
Universitas Sumatera Utara
RIWAYAT HIDUP
PanduSuryaPangestu, lahir pada tanggal 30 Juni 1994 di Kota Rantau Prapat.
Penulis merupakan anak kedua dari lima bersaudara. Anak dari pasangan Bapak
Ponimin dan Ibu Suminah. Penulis memulai pendidikannya di SDN 112146 Medan
tahun 1999 dan selesai pada tahun 2006. Kemudian melanjutkan sekolah menengah
pertama di SMPN Rantauprapat, dan selesai pada tahun 2019. Lalu, melanjutkan
sekolah menengahatas di SMA Negeri 1 Rantauprapat dan selesai belajar pada tahun
2012. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan di Perguruan Tinggi Negeri di
Departemen Antropologi Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas
Sumatera Utara pada tahun 2013 dan selesai tahun 2017.
Selama pendidikan di Departemen Antropologi FISIP USU, penulis juga
mengikuti berbagai kegiatan seperti kepanitiaan inisiasi, seminar di kampus,
berorganisasi dan anggota kepanitiaan dalam organisasi, berikut perinciannya:
1. Peserta Inisiasi Antropologi Sosial FISIP USU di Danau Toba-Parapat,
Sumatera Utara (2013)
2. Panitia Sek. Acara Dies Natalis Antropologi FISIP USU diFISIP USU (2013)
3. Peserta MAPERCA HMI cabang Kota Medan di FKG USU (2014)
4. Grup Tari pada acara Pelantikan Persatuan Wartawan Indonesia di Hotel
Grand Antares (2014)
Universitas Sumatera Utara
5. Peserta seminar Hari HAM Internasional di Fakultas Farmasi USU (2014)
6. Grup Tari pada acara RAKERNAS JKAI di BAPEMMAS (2015)
7. Panitia Sek. Pudekdok Inisiasi Antropologi FISIP USU di Sibolangit (2015)
8. Peserta Training Of Facilitator (TOF) mata kuliah Pengembangan
Masyarakat angkatan ke-VI di Hotel Candi (2015)
9. Mengikuti PKL-TBM di Lingkungan XI, Kelurahan Sei Serayu (2016)
10. Panitia Kordinator PTT pada acara Warkop Antro 2017 di FISIP USU (2017)
11. Sekretaris Tim Evaluasi AD/ART INSAN (HMD Antropologi Sosial USU)
(2017)
Universitas Sumatera Utara
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan atas kehadirat Allah SWT yang mana atas
rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Pola
Asuh Pada keluarga Kuli Kasar Bangunan Masyarakat Jawa”. Penulisan skripsi
ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S1)
pada Departemen Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Sumatera Utara.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari
segi isi maupun teknik penulisan. Oleh karena itu, saran dan kritikan sangat
diharapkan demi kesempurnaan di masa yang akan datang. Semoga skripsi ini
bermanfaat memberikan kontribusi demi kemajuan ilmu pengetahuan.
Medan, Juli 2017
Penulis
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR ISI
HALAMAN PERSETUJUAN Halaman
HALAMAN PENGESAHAN
PERNYATAAN ORIGINALITAS ........................................................ i
ABSTRAK ............................................................................................... ii
UCAPAN TERIMA KASIH ................................................................ iii
RIWAYAT HIDUP .............................................................................. viii
KATA PENGANTAR ............................................................................ xi
DAFTAR ISI ......................................................................................... xii
DAFTAR TABEL ................................................................................ xiv
DAFTAR GAMBAR ..............................................................................xv
BAB I PENDAHULUAN .........................................................................1 1.1 Latar BelakangMasalah................................................................... 1
1.2 Kajian Pustaka ....................................................................................9
1.2.1. Pola Asuh ..................................................................................9
1.2.2. Pola Asuh Keluarga Jawa .......................................................19
1.2.3. Nilai Anak ...............................................................................30
1.2.4. Nilai Anak dalam Budaya Jawa ..............................................32
1.3 Rumusan Masalah .............................................................................39
1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian .........................................................40
1.5 Metode Penelitian .............................................................................40
1.5.1 Teknik Observasi .....................................................................41
1.5.2 Teknik Wawancara ..................................................................42
1.5.3 Pengembangan Raport .............................................................42
1.5.4 Teknik Dokumentasi ...............................................................42
1.5.5 informan ..................................................................................43
1.6 Analisis Data ......................................................................................44
1.7 Pengalaman Penelitian .......................................................................44
BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ......................48 2.1 Letak .................................................................................................48
2.2 Kependudukan ..................................................................................49
2.2.1 Komposisi Penduduk Menurut Jenis Kelamin .............49
2.2.2 Mata Pencarian ........................................................................52
2.2.3 SistemKomunikasidanTransportasi .........................................53
2.3 Pendidikan ..........................................................................................54
2.4 OrganisasiSosialdanSistemKekerabatan ............................................56
2.4.1 Bahasa ......................................................................................57
2.5 Religi .................................................................................................57
2.5.1 Kesenian ..................................................................................58
2.6 Kegiatan Remaja di Kelurahan Aek Paing .......................................60
2.7 Sekilas Kehidupan Buru Bangunan ..................................................61
Universitas Sumatera Utara
BAB III DESKRIPSI POLA PENGASUHAN PADA KELUARGA KULI
BANGUNAN...........................................................................................64 3.1 PolaPengasuhandalamKeluargaJawa .................................................64
3.2 Pola Asuh Keluarga Kuli Bangunan ..................................................65
3.2.1 PolaAsuh yang Kedua Orangtuanya Bekerja ...........................67
3.2.2 Poal Asuh Yang Ibunya Tidak Bekerja...................................79
3.2.3 Psikologis Anak dalam Keluarga ............................................86
3.3 Pengaruh Tingkat Pendidikan, Ekonomi Terhadap Pola Asuh .........91
3.3.1 Pandangan Keluarga Terhadap Pendidikan .............................92
3.3.2 Latar Belakang Rendahnya Tingkat Pendidikan .....................95
3.3.3 Nilai Anak .............................................................................101
BAB IV ETOS KERJA, BUDAYA KEMISKINAN DAN KAITANNYA
DENGAN POLA ASUH ......................................................................107 4.1 EtosKerjadanBudayaKemiskinan ...................................................111
4.2 EtosKerja, BudayaKemiskinan dan PolaAsuh .................. 121
4.2.1 PengaruhEtosKerja, BudayaKemiskinan dan Pola Asuh121
BAB V PENUTUP ..................................................................................131 1.1 Kesimpulan .....................................................................................131
1.2 Saran ...............................................................................................132
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................135
LAMPIRAN
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR TABEL
Tabel 1.Batas Wilayah kabupaten labuhanbatu ................................................ 34
Tabel 2.Jumlah Penduduk ...................................................................................35
Tabel 3. Jumlah penduduk Usia 15 tahun Ke Atas Yang Bekerja ......................36
Tabel 4.Jenis Pekerjaan .......................................................................................38
Tabel 5.Jumlah Fasilitas Pendidikan ...................................................................40
Tabel 6.Jumlah Persentase agama Yang di Anut ................................................43
Tabel 7.Kegiatan Sehari-hari Ibu Sumi ...............................................................55
Tabel 8.Kegiatan Sehari-hari Ibu Prihatin ..........................................................61
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. PetaKabupatenLabuhanbatu ................................................33
Gambar 2. ..............................................................................................122
Gambar 3 ................................................................................................122
Gambar 4 ................................................................................................122
Gambar 5 ................................................................................................122
Universitas Sumatera Utara
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang Masalah
Di dalam kehidupan bermasyarakat ada beberapa wadah kegiatan atau
aktivitas manusia yang mengatur perilaku manusia dalam seluruh aspek kehidupan
baik individu dengan individu, individu dengan kelompok dan kelompok dengan
kelompok. Wadah sebagai tempat manusia beraktivitas dan hidup bersama inilah
yang disebut sebagai lembaga atau institusi. Lembaga bermanfaat bagi manusia
sebagai pengawas atas konsekuensi hidup orang banyak, menjaga kelangsungan
stabilitas sosial dan menjalankan peran sesuai dengan keinginan individu. Lembaga
yang sering kita jumpai dalam kehidupan sehari– hari adalah lembaga keluarga,
lembaga pendidikan, lembaga agama, lembaga ekonomi dan lembaga pemerintahan.
Di dalam kehidupan seseorang pasti memiliki aspek yang selalu berhubungan
dengan keluarga. Keluarga adalah lembaga sosial primer bagi tiap-tiap individu.
Keluarga merupakan wadah orang-orang penting yang selalu ada dalam kehidupan
seseorang. Keluarga adalah kelompok yang mengidentifikasi diri dengan anggotanya
terdiri dari dua individu atau lebih, diikat oleh hubungan darah atau hukum
(perkawinan), tetapi berfungsi sedemikian rupa sehingga mereka menganggap diri
mereka sebagai keluarga. Keluarga adalah kelompok sosial terkecil yang timbul
akibat adanya perkawinan. Perkawinan adalah suatu kesatuan antara seorang laki-
laki dengan seorang perempuan dalam hubungannya dengan suami istri yang dijamin
oleh hukum (hukum agama/hukum negara).
Keluarga merupakan susunan kelembagaan yang terbentuk atas dasar
hubungan perkawinan yang sengaja dibentuk dan dipelihara seperti yang tertulis
Universitas Sumatera Utara
dalam Undang-Undang nomor 10 tahun 19921. Sebagai anggota keluarga, anak
akan mendapat pendidikan dari keluarga mulai dari cara ia berbicara, bertindak dan
berpikir sehingga keluarga merupakan tempat sosialisasi primer dan yang paling
utama, karena dalam keluarga proses memanusiakan manusia terjadi. Di dalam
keluarga, terdiri beberapa anggota keluarga yaitu ayah, ibu dan anak-anak. Orangtua
di dalam keluarga ini bertugas memberikan fungsi keluarga kepada anak-anak seperti
yang di jelaskan di atas. Anggota lain yaitu anak bertugas menyerap apa yang di
berikan orangtuanya terhadap dirinya.
Menurut M. Djawad Dahlan (2004 : 39-41), fungsi dasar dari keluarga adalah
memberikan rasa memiliki, rasa aman, kasih sayang, dan mengembangkan hubungan
yang baik antara anggota keluarga. Hubungan cinta kasih didalam keluarga tidak
hanya sebatas perasaan, akan tetapi juga menyangkut dengan pemeliharaan, rasa
tanggung jawab, perhatian, pemahaman, respect, dan keinginan untuk menumbuh
kembangkan anak yang dicintainya.
Di dalam keluarga, tentu saja anak sangat bernilai dan berharga di mata
orangtuanya. Sehingga orangtua dengan berbagai cara dan upaya berusaha untuk
memberikan segala yang terbaik bagi anak-anaknya agar si anak hidup dengan
bahagia dan mampu tumbuh menjadi seperti apa yang di harapkan dan di inginkan
orangtuanya. Selanjutnya, tidak heranlah ketika kita melihat beragam macam cara
yang dilakukan oleh para orangtua dalam menjalankan fungsi keluarga dengan
sebaik-baiknya kepada anak-anak mereka.
Di dalam keluarga, individu yang bertugas memberikan rasa aman, kasih
1Keluarga adalah unit terkecil terdiri dari suami istri atau suami istri dan anaknya yang merupakan
prasyarat mutlak bagi kelangsungan suatu masyarakat, karena dalam keluarga tercipta generasi yang
baru yang memilki pendidikan nilai–nilai dan norma–norma dalam hidup bermasyarakat.
Universitas Sumatera Utara
sayang, pendidikan dan lain sebagainya adalah orangtua. Namun dalam hal ini akan
lain ceritanya apabila dalam sebuah keluarga tugas-tugas tersebut kurang dijalankan
atau tidak sepenuhnya di berikan terhadap anak. Fungsi keluarga yang tidak
dijalankan dengan baik ini dapat terjadi oleh berbagai faktor seperti perceraian antara
ayah dan ibu serta kematian diantara ayah atau ibu, kurangnya perhatian orangtua
terhadap anak, tingkat ekonomi keluarga, tingkat pendidikan orangtua dalam
keluarga, dan faktor-faktor lainnya. Selanjutnya, anak-anak dengan asuhan orangtua
yang kurang baik akan berakibat pada tumbuh kembangnya si anak. Akibat-akibat
yang dapat timbul dari asuhan yang kurang dari orangtua dapat berupa anak tidak
dapat tumbuh seperti yang diharapkan, dan anak akan mudah terpengaruh oleh hal-
hal lain di luar keluarga. seperti pengaruh teknologi, seperti TV, Internet dan teman-
teman sepergaulan si anak.Salah satuh contoh pengaruh itu adalah besarnya pengaruh
media televisi dan media sosial tanpa kontrol orang tua. Seorang anak bisa saja
terpengaruh pada hal-hal yang bersifat negatif dari media televisi yang dilihatnya
atau media sosial yang di aksesnya. Banyak kasus sekarang ini atau berita di televisi
yang menginformasikan kenakalan-kenakalan remaja yang di sebabkan oleh
lengahnya perhatian orang tua. Pemahaman nilai-nilai universal yang kurang,
kedekatan emosional, tingkat ekonomi orang tua menjadikan seorang anak
mendapatkan pola asuh yang tidak sesuai sehingga si anak mengalami masalah-
masalah seperti terjerumus kedalam prilaku negatif dan rendahnya keinginan belajar
dan lain sebagainya. Pola asuh orang tua terhadap anak ini sangat menentukan sifat
dan kepribadian anak di masa yang akan datang. Mengasuh anak sudah menjadi
kewajiban bagi orang tua untuk mendidik anak secara terus menerus sehingga
dengan demikian si anak dapat tumbuh dan berkembang sesuai dengan apa yang di
Universitas Sumatera Utara
harapkan dan di inginkan orang tua.
Jhon Locke seorang Filosof Inggris yang di kutip oleh Singgih D Gunarso
(2002) mengemukakan bahwa :
“Pengalaman dan pendidikan bagi anak merupakan faktor yang
paling menentukan dalam perkembangan anak. Isi kejiwaan anak ketika di
lahirkan adalah ibarat secarik kertas yang masih kosong, artinya bagaimana
nanti bentuk dan corak kertas tersebut tergantung pada cara bagaimana
kertas tersebut di tulisi”.
Keluarga sebagai institusi pendidikan primer menjadikan seorang anak akan
mendapatkan pendidikan di lembaga ini sebelum di lembaga lain, seperti sekolah,
lingkungan sosial dan lain sebagainya. Pada institusi primer inilah seorang anak
mengalami pengasuhan. Keberhasilan seorang anak dalam hubungan sosialnya
tergantung dari pola pengasuhan yang diterapkan orangtua dalam keluarga. Pada
umumnya pengasuhan diwujudkan dalam bentuk merawat, memelihara, mengajar,
dan membimbing anak.
Pola asuh terhadap anak dalam keluarga yang satu dengan yang lainnya
berbeda-beda.Sa’aadiyyah (1998) mengemukakan bahwa pola pengasuhan anak
dalam sebuah keluarga dipengaruhi oleh umur Kepala Keluarga (KK) dan istri, usia
saat menikah, status pekerjaan istri, jenis pekerjaan utama, besarnya keluarga,
pendapatan keluarga, usia anak, jenis kelamin anak dan nomor urut anak dalam
keluarga. Gunarsa dan Gunarsa (1991) menyebutkan bahwa tingkat pendidikan
orangtua akan berpengaruh terhadap cara, pola dan kerangka berfikir, persepsi,
pemahaman dan kepribadian orangtua tersebut yang secara langsung atau tidak akan
mempengaruhi pola komunikasi antara orangtua dan anak dalam lingkungan
keluarga. Dalam keluarga kuli kasar bangunan dalam penelitian penulis, orang tua
memiliki tingkat pendidikan yang rendah.
Universitas Sumatera Utara
Di wilayah kelurahan Aek Paing, rata-rata pendidikan orang tua dalam
keluarga kuli kasar bangunan hanya sampai pada tingkat SD (Sekolah Dasar) dan
hanya sebagian kecil saja yang sampai menamatkan pendidikan SMP (Sekolah
Menengah Pertama). Hal ini menjadikan kedekatan emosional dan komunikasi antara
orang tua dan anak menjadi kurang baik. Sehingga anak akan sangat mudah
terpengaruh dalam lingkungan yang di huni banyak pengangguran. Anak akan
enggan bercerita kepada orang tuanya ketika dirinya mendapatkan masalah di luar.
Mendapatkan pengalam baru yang bersifat negatif seperti berjudi, mabuk-mabukan
bermain game online dan sebagainya.
Lebih jauh lagi, dampak terburuknya dalam beberapa kasus, anak sampai
putus sekolah karena masalah yang ia timbulkan di sekolah. Namun, di lingkungan
kelurahan Aek Paing tidak semua anak masuk dalam kategori yang di paparkan di
atas. Ada juga yang tetap tidak terpengaruh dan masih bersekolah sampai ke tingkat
atas (SMA). Anak dalam kategori baik ini, ada yang melanjutkan ke perguruan tinggi
ada juga yang tidak. Hal ini di karenakan perintah dari orang tua yang menyuruh
anak untuk tidak bersekolah lagi karena keadaan ekonomi. Anak laki-laki di tuntut
untuk bekerja untuk menanggung dirinya sendiri (dalam kasus lain juga untuk
membantu ekonomi keluarga).
Lain halnya dengan anak perempuan, walaupun tidak terlalu di tuntut untuk
bekerja, namun anak perempuan dalam keluarga buruh bangunan di anjurkan oleh
orang tua untuk segera menikah. Meskipun terkadang ada keinginan untuk
bersekolah ke perguruan tinggi dari si anak, orang tua tetap tidak menyetujui atas
alasan anak perempuan akan ikut suaminya. Hal ini begitu dekat dengan pendapat
Oscar Lewis dalam bukunya Kisah Lima Keluarga : “Ketika budaya kemiskinan itu
Universitas Sumatera Utara
eksis, mereka cenderung memantapkan dirinya dari generasi ke generasi karena
memberikan efek terhadap anak-anak mereka. Tatkala anak-anak miskin itu berusia
enam atau tujuh tahun, mereka biasanya menyerap nilai-nilai dan sikap-sikap dasar
subbudaya mereka, bukanlah terdorong berani mengambil resiko untuk mengubah
kondisi kehidupan mereka, atau meraih kesempatan. (1970:69). Gagasan di atas
dapat di tafsirkan sebagai keyakinan Lewis bahwasannya orang miskin mengidap
sindroma kemiskinan atau jalan hidup yang di peroleh melalui proses belajar dan
sosialisasi generasi yang lebih muda, sehingga gagasan tersebut dengan mudah di
ubah menjadi klaim bahwa orang miskin berprilaku demikian karena pola-pola
kebudayaan yang mereka sadari bukan karena akibat sistem sosial ekonomi yang
menawarkan kesempatan kemajuan ekonomi yang sangat terbatas bagi mereka.
(Saifuddin, 2005).
Seorang anak di dalam keluarga akan di asuh berdasarkan nilai budaya dan
kepercayaan/agama yang di yakini oleh kedua orang tuanya. Proses edukasi dan
sosialisasi dilakukan dengan cara komunikasi yang intensif antara orang tua dan
anak, baik itu komunikasi verbal ataupun non verbal. Pikunas (1976) seperti yang
dikutip oleh Hastuti (2008) mendefinisikan sosialisasi sebagai proses belajar untuk
mengenali nilai-nilai dan ekspetansi kelompok, dan meningkatkan kemampuan untuk
mengikutinya (conform).
Penelitian Hernawati (2002) juga mengungkapkan bahwa persepsi dan
harapan orangtua tentang perkembangan anak berbeda secara nyata menurut budaya.
Pada etnis Jawa di Indonesia yang menganut budaya kolektivistik, seorang anak
dalam keluarga Jawa yang memiliki tingkat ekonomi menengah ke bawah
Universitas Sumatera Utara
dibutuhkan kontribusinya dalam hal pemenuhan kebutuhan keluarga. Pada keluarga
dengan tingkat ekonomi menengah ke atas, anak dipandang sebagai simbol martabat
sebuah keluarga. Keduanya menganggap anak menentukan masa depan keluarga.
Berbeda dengan di Amerika Serikat yang menganut budaya individualistik, dimana
seorang anak tidak dianggap sebagai masa depan kedua orangtuanya.
Lingkungan tempat tinggal juga dapat mempengaruhi pola asuh yang
diterapkan orangtua pada anak-anaknya. Situasi lingkungan tempat tinggal yang
kondusif akan mendorong orangtua untuk memberikan pengasuhan yang baik bagi
anak. Sebaliknya, lingkungan yang tidak kondusif cenderung akan mengakibatkan
orangtua tidak terlalu memperhatikan aspek-aspek penting dalam pengasuhan.
Pengaruh lingkungan sosial terhadap perkembangan anak mencakup faktor-faktor
resiko dan faktor-faktor yang melindungi (protective and risk factors). Faktor resiko
merupakan variabel-variabel yang berhubungan secara signifikan terhadap kegagalan
pertumbuhan seorang anak, sedangkan faktor yang melindungi adalah kondisi yang
berhubungan positif terhadap keberhasilan perkembangan anak meskipun terjadi
peningkatan faktor resiko yang harus dihadapi (Alfiasari, 2008).
Cole (1993) dalam Brooks (1997) seperti yang dikutip oleh Alfiasari (2008)
mengidentifikasi faktor resiko yang secara umum menyebabkan kegagalan
perkembangan seorang anak, yang mana dalam jangka pendek akan menyebabkan
rendahnya tingkat kesehatan, kegagalan pertumbuhan, kegagalan perkembangan
kognitif, dan juga kegagalan perkembangan sosial pada anak. Faktor resiko yang
dimaksud antara lain (1) faktor ekologi yang mencakup lingkungan pertetanggaan
yang tidak nyaman dan aman, ketidakadilan yang muncul akibat perbedaan
ras/suku/etnik, komunitas yang sebagian besar anggotanya adalah pengangguran, dan
Universitas Sumatera Utara
kemiskinan yang ekstrim yang terjadi dalam komunitas; (2) keadaan keluarga yang
mencakup rendahnya kelas sosial, konflik keluarga, gangguan mental yang ada
dalam keluarga, jumlah anggota keluarga yang besar, rendahnya emotional bonding
antara anak dan orangtua, perpecahan keluarga, dan adanya penyimpangan dalam
komunikasi di dalam keluarga.
Berbagai kasus mengenai kenakalan remaja juga tak luput dari pengaruh
polah asuh orang tua, seperti yang di kutip dari Kompas, Surabaya - Tingginya
kenakalan remaja saat ini banyak terjadi akibat salah dalam pengasuhan anak. Baik
pola asuh di sekolah maupun di rumah.Menurut Wali Kota Surabaya Tri
Rismaharini, pengasuhan anak yang baik harus melalui pendekatan emosional.
Diantaranya apa saja kegiatan anaknya di sekolah dan berteman dengan siapa
saja.Selain itu, Risma sapaan akrab wali kota perempuan pertama dalam sejarah
Pemerintahan Kota Surabaya ini juga mencontohkan pertanyaan dapat nilai berapa
pada anak juga sangat mempengaruhi emosional anak."Jadi tidak hanya nilai tapi
harus bersentuhan langsung kepada anak, pendekatan emosional itu penting,"
katanya saat menghadiri Gerakan Nasional Anti Kejahatan Seksual Anak (GN-Aksa)
di Graha Sawunggaling, Rabu (22/6/2016).Di hadapan 300 guru SMP se-Surabaya
barat, Risma juga mengungkap indeks pembangunan manusia di Surabaya yang
rendah. Menurutnya, salah satu penyebab yakni cara pengasuhan anak yang
salah."Pola pengasuhan anak harus memakai pendekatan emosional," pungkasnya
(KOMPAS 22/6/16). Masih banyak kasus-kasus kenakalan remaja yang terjadi
belakangan ini di karenakan pengaruh pola asuh dari orang tuanya, seperti kasus
Klithih di semarang (Liputan 6, 2017), kasus LGBT (Kompas, 2017) dan kasus-
kasus lainnya.
Universitas Sumatera Utara
Memang bagi sebagian masyarakat, tidak mudah untuk mengasuh anak dalam
keadaan ekonomi yang rendah, dalam lingkungan dengan tingkat kenakalan remaja
yang tinggi dan pengangguran yang tinggi.Atas dasar itulah maka peneliti tertarik
untuk melihat pola asuh anak pada keluarga buruh kasar bangunan masyarakat Jawa
di kelurahan Aek Paing, Rantauprapat. Penelitian ini juga bertujuan untuk
mengetahui sejauh mana pengaruh budaya, agama, dan faktor-faktor lainnya dalam
proses pengasuhan dan penanaman nilai-nilai kehidupan orang tua terhadap anak.
1.2 Tinjauan Pustaka
1.2.1 Pola Asuh
Pengasuhan merupakan bagian yang penting dalam sosialisasi, proses dimana
anak belajar untuk bertingkah laku sesuai harapan dan standar sosial. Dalam konteks
keluarga, anak mengembangkan kemampuan mereka dan membantu mereka untuk
hidup didunia (Diana Baumrind 1994). Melalui pengasuhan dan interaksi sosial,
dengan demikian pengasuhan dapat diartikan sebagai sosialisasi seperti bayi yang
baru belajar adaptasi saat meminum ASI.
Menurut Berk pola asuh orangtua adalah daya upaya orangtua dalam
memainkan aturan secara luas di dalam meningkatkan pertumbuhan dan
perkembangan anaknya. Kemudian pengasuhan berasal dari kata asuh yang berarti
menjaga, merawat dan mendidik.
Margareth mead (dalam Koentjaraningrat 2009:188) juga pernah melakukan
penelitian yang menghasilkan karangan seperti, Growth And Culture yang ditulisnya
bersama dengan F. C. MacGregor, yang membahas tentang bagaimana masyarakat di
Manus (sebelah utara irian), dalam pengumpulan bahan mengenai pewarisan budaya
pengasuhan anak, atau sekarang disebut secara teknis child training practice, yang
Universitas Sumatera Utara
mencakup didalamnya tentang adat-istiadat pengasuhan anak meliputi hal-hal cara-
cara memandikan dan membersihkan bayi, cara-cara mempelajari disiplin buang air,
cara-cara melatih disiplin makan, adat-istiadat penyapihan, cara-cara menggendong
bayi dan anak-anak, serta cara-cara mendisiplinkan anak.
Menurut George Herbert Mead dalam teorinya yang digunakan buku Mind,
self and society (1972), Mead menguraikan tahap-tahap pengembangan diri (self)
manusia. Manusia yang baru lahir belum mempunyai diri. Diri manusia berkembang
secara bertahap melalui interaksi dengan anggota masyarakat lain. Menurut Mead
pengembangan diri manusia berlangsung melalui beberapa tahap yaitu tahap play
stage, game stage dan tahap generalized other (Sunarto, 1993 ; 28). Mead
menelusuri asal – usul diri melalui ketiga tahap tersebut yaitu :
1. Pada tahap pertama yaitu play stage (bermain) :
Belajar mengambil sikap orang-orang lain tertentu untuk diri mereka. Hal
ini terbatas karena hanya sanggup memainkan peranan orang lain dan berbeda
tanpa memiliki pengertian yang lebih umum dan lebih terorganisir terhadap diri
mereka sendiri. Di sini individu belajar menjadi subjek dan sekaligus objek dan
mulai memiliki kemampuan membangun diri.
Pada tahap bermain anak-anak mampu berorganisasi sosial, mereka dapat
terlibat dalam bentuk-bentuk bermain. Seorang anak kecil mulai belajar
mengambil peranan orang-orang yang berada disekitarnya. Ia mulai menirukan
peranan yang dijalankan oleh orang tuanya, peranan orang dewasa lain dengan
siapa ia sering berinteraksi.dengan demikian kita sering melihat anak kecil
dikala mereka bermain meniru peran yang dijalankan oleh orang-orang yang ada
Universitas Sumatera Utara
disekitarnya misalnya peranan ayah, ibu, kakak, kakek, nenek dan yang lainnya.
Perilaku anak mulai mencontoh peran-peran orang yang terdekatnya. Agen
sosialisasi yang ada disekitar anak biasanya berasal dari lingkungan yang paling
dekat dengannya yaitu keluarga, walupun ada juga agen-agen sosialisasi lain
yaitu: teman bermain lembaga sekolah maupun media massa akan tetapi pusat
perhatian yang lebih terfokus adalah keluarga tempat anak-anak mendapatkan
segala-galanya.
2. Pada tahap game stage (pertandingan)
tahap ini muncul sebgai langkah dalam perkembangan konsep diri.
Seorang anak tidak hanya mengetahui peranan yang harus dijalankan tetapi tetapi
harus mengetahui peranan yang harus dijalankan oleh orang lain dengan siapa ia
berinteraksi. Pada tahap awal sosialisasi-interaksi seorang anak biasanya terbatas
pada sejumlah kecil orang lain, biasanya keluarga terutama kedua orang tuanya.
Oleh Mead orang-orang yang penting dalam sosialisasi ini dinamakan significan
other.
3. Pada tahap ketiga sosialisasi seseorang dianggap telah mampu mengambil
peranan generalized other, anak mampu berinteraksi dengan orang lain dalam
masyarakat karena telah memahami peranannya sendiri serta peranan orang –
orang lain dengan siapa anak berinteraksi. Agen utama pada tahap ini bukan lagi
terdapat dalam keluarga seperti halnya pada tahap play stage akan tetapi ada
beberapa agen sosialisasi lain yang dapat mempengaruhi anak, misalnya teman
bermain, sekolah dan juga media massa yang turut pila mempengaruhi
perkembangan diri seorang anak. Karakteristik kepribadian setiap individu adalah
unik dan berbeda-beda antara satu dengan lainnya. Hal ini disebabkan oleh
Universitas Sumatera Utara
banyak faktor yangmempengaruhinya, salah satunya adalah keluarga. Keluarga
merupakanlingkungan sosial terkecil, namun memiliki peranan yangsangat besar
dalammendidik dan membentuk kepribadian seseorang individu. Struktur
dalamkeluarga dimulai dari ayah dan ibu, kemudian bertambah dengan
adanyaanggota lain yaitu anak. Dengan demikian, terjadi hubungan segitiga
antaraorangtua-anak, yang kemudian membentuk suatu hubungan
yangberkesinambungan. Orang tua dan pola asuh memiliki peranan yang
besardalam menanamkan dasar kepribadian yang ikut menentukan corak
dangambaran kepribadian seseorang setelah dewasa kelak.Orang tua memiliki
cara dan pola tersendiri dalam mengasuh danmembimbing anak. Cara dan pola
tersebut tentu akan berbeda antara satu keluarga dengan keluarga yang lainnya.
Pola asuh orang tua merupakangambaran tentang sikap dan perilaku orang tua
dan anak dalam berinteraksi,berkomunikasi selama mengadakan kegiatan
pengasuhan. Dalam kegiatanmemberikan pengasuhan ini, orang tua akan
memberikan perhatian, peraturan,disiplin, hadiah dan hukuman, serta tanggapan
terhadap keinginan anaknya. Sikap, perilaku, dan kebiasaan orang tua selalu
dilihat, dinilai, dan ditiru oleh anaknya yang kemudian semua itu secara sadar
atau tidak sadar akan diresapikemudian menjadi kebiasaan pula bagi anak-
anaknya.
Margareth mead (dalam Koentjaraningrat 2009:188) juga pernah melakukan
penelitian yang menghasilkan karangan seperti, Growth And Culture yang ditulisnya
bersama dengan F. C. MacGregor, yang membahas tentang bagaimana masyarakat di
Manus (sebelah utara irian), dalam pengumpulan bahan mengenai pewarisan budaya
Universitas Sumatera Utara
pengasuhan anak, atau sekarang disebut secara teknis child training practice, yang
mencakup didalamnya tentang adat-istiadat pengasuhan anak meliputi hal-hal cara-
cara memandikan dan membersihkan bayi, cara-cara mempelajari disiplin buang air,
cara-cara melatih disiplin makan, adat-istiadat penyapihan, cara-cara menggendong
bayi dan anak-anak, serta cara-cara mendisiplinkan anak.
Penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh Baumrind (Santrock,1998)
mengenai perkembangan sosial dan proses keluarga yang telah dilakukan sejak
pertengahan abad ke 20, yang kemudian membagi kategoribentuk pola asuh
berkaitan dengan perilaku remaja. Secara garis besar terdapattiga pola yang berbeda
diantaranya yakni authoritative atau demokratis,authoritarian atau otoriter,
dan permissive (permisif).Berikut ini merupakan penjelasan dari ketiga bentuk pola
asuh danpengaruhnya terhadap anak (Spock, 1994: 259-266) :
a. Pola authoritative atau demokratis.
Sikap orang tua yang mengontrol dan menuntut tetapi dengan sikapyang
hangat, ada komunikasi dua arah antara orang tua dengan anak yangdilakukan secara
rasional. Orang tua memberikan pengawasan terhadapanak dan kontrol yang kuat
serta dorongan yang positif. Anak yang diasuhsecara demokratis cenderung aktif,
berinisiatif, tidak takut gagal, spontankarena anak diberi kesempatan untuk
berdiskusi dan dalam pengambilankeputusan di keluarga. Namun tidak menutup
kemungkinan akanberkembang pada sifat membangkang dan tidak menurut serta
susahmenyesuaikan diri.
b. Pola authoritarian atau otoriter
Ditunjukkan dengan sikap orang tua yang selalu menuntutkepatuhan anak,
mendikte, hubungan dengan anak kurang hangat, kakudan keras. Anak kurang
Universitas Sumatera Utara
mendapat kepercayaan dari orang tuanya, seringdihukum, dan apabila berhasil atau
berprestasi anak jarang diberi pujiandan hadiah. Pola asuh ini akan menghasilkan
anak dengan tingkah lakupasif dan cenderung menarik diri. Sikap orang tua yang
keras akanmenghambat inisiatif anak. Anak yang dididik dengan pola
otoritercenderung lebih agresif. Anak dengan pola asuh ini cenderung memiliki
kompetensi dan tanggung-jawab seperti orang dewasa.Pola asuh ini memberikan
sedikit tuntutan dan sedikit disiplin.Orang tua tidak menuntut anak untuk
bertanggung-jawab terhadap urusanrumah tangga, keinginan dan sikap serta perilaku
anak selalu diterima dandisetujui oleh orang tua. Anak tidak terlatihuntuk mentaati
peraturan yang berlaku, serta menganggap bahwa orang tua bukan merupakan
tokohyang aktif dan bertanggung-jawab.
c. Pola Permissive (permisif).
Karena orang tua bersikap serba bebas dan memperbolehkan segalasesuatunya,
tanpa menuntut anak. Anak yang diasuh secara permisifmempunyai kecenderungan
kurang berorientasi pada prestasi, egois, sukamemaksakan keinginannya,
kemandirian yang rendah, serta kurang bertanggung-jawab. Anak juga akan yang
berperilaku agresif dan antisosial, karenasejak awal tidak diajarkan untuk mematuhi
peraturan sosial, tidak pernahdiberi hukuman ketika melanggar peraturan yang telah
ditetapkan orangtua. Bagi anak, kehadiran orang tua merupakan sumber bagi
tercapainyakeinginan anak.
Menurut Martin & Colbert (dalam Karlinawati Silalahi, 2010), terdapat 4 macam
pola pengasuhan orangtua :
a. Pola Pengasuhan Otoriter
Pola pengasuhan ini cenderung menetapkan standar yang harus dituruti,
Universitas Sumatera Utara
biasanya dengan ancaman-ancaman. Tipe ini cenderung memaksahingga
menghukum. Dalam pola pengasuhan ini terdapat contoh bahwa orangtua jarang
mengikut sertakan anak didalam proses pengambilan keputusan. Hal ini dikarenakan
orangtua merasa tahu akan kebutuhan anaknya. Tanpa harus mendiskusikan atau
membicarakannya kepada anak, yang menjadi keputusan orangtua itulah yang akan
dipilih oleh anak. Orangtua bersikap memaksa atau memerintahkan anak untuk
melakukan sesuatu tanpa kompromi dan bersikap kaku kepada anak.
Sebagai contoh lainnya, dalam pergaulan sehari - hari, adalah hal yang wajar
jika anak yang bermain melebihi waktu dari yang ditentukan oleh orangtua. Karena
remaja adalah masa dimana anak bertumbuh dan berkembang, serta keingin
tahuannya sangat besar, oleh karena itu tidak jarang mereka melakukan hal - hal
yang mereka anggap masih baru. Oleh sebab itu anak sering telat waktu saat mereka
bermain dengan teman - temannya. Dari hasil penelitian, orangtua cenderung
menghukum jika anak bermain melebihi waktu, hal ini di lakukan karena orangtua
tidak ingin anaknya melanggarnya, tanpa memberikan arahan kepada anak. Dari
penjelasan diatas, dapat dikatakan bahwa sikap orangtua lebih cenderung
memberikan hukuman pada anak saat anak bermain melebihi waktu yang telah di
tentukan. Adanya kontrol yang tinggi dari orangtua namun tidak ada bentuk
pengarahan kepada anak dari orangtua.
b. Pola Pengasuhan Demokratis
Pola asuh orangtua yang demokratis pada umumnya ditandai dengan adanya
sikap terbuka antara orangtua dan anak. Pola pengasuhan ini memberikan
kesempatan pada anak untuk berkembang kearah positif. Khusus pada anak remaja,
orangtua harus mampu beradaptasi terhadap kemampuan anak. menyadari kesiapan
Universitas Sumatera Utara
anak terhadap tanggung jawab dan kebebasan. Adanya tuntutan mengacu pada
harapan dan aturan yang ditetapkan orangtua yang masuk akal dan jelas terhadap
tingkah laku anak. Salah satu contoh dalam penelitian lapangan tentang pola
pengasuhan demokratis yang ditulis berdasarkan hasil wawancara dengan informan,
bahwa menurutnya sangat penting untuk mengikutsertakan anaknya didalam
pengambilan keputusan yang berhubungan dengan anaknya, pengambilan keputusan
selalu melibatkan anak karena nantinya sang anak yang akan menjalani keputusan
tersebut. Informan selalu memberi ruang yang cukup untuk anak dalam
mendiskusikan keinginan anak, dan informan selalu bersikap dewasa dalam
berkomunikasi dengan anak, sebagai contoh dia selalu mendukung keinginan anak
dengan memberikan nasehat-nasehat serta arahan yang membangun.
Dari penjelasan tersebut secara teori pola pengambilan keputusan yang
berhubungan dengan anak adalah cenderung bersifat demokratis. Artinya orangtua
didalam menghadapi sikap-sikap, keputusan dan harapan anaknya dalam
keputusan yang berkaitan dengan anaknya selalu melibatkan mereka. Adanya
sikap saling menghargai dan memberikan ruang yang cukup untuk saling
berpendapat antara anak dan orangtua adalah hal penting. Hal ini terjadi karena,
orangtua beranggapan bahwa anaklah yang nantinya akan menjalani keputusan
tersebut.
c. Pola Pengasuhan Liberal
Pola asuh liberal/ permisif ditandai dengan adanya kebebasan tanpa batas
kepada anak untuk berbuat dan berperilaku sesuai dengan keinginan anak.
Pelaksanaan pola asuh permisif atau dikenal pula dengan pola asuh serba
membiarkan dan orangtua yang bersikap mengalah, menuruti semua keinginan,
Universitas Sumatera Utara
melindungi secara berlebihan, serta memberikan atau memenuhi semua keinginan
anak secara berlebihan. Pola pengasuhan ini terlihat dengan adanya kebebasan yang
berlebihan tidak sesuai untuk perkembangan anak, yang dapat mengakibatkan
timbulnya tingkah laku yang lebih agresifdan impulsif, Martin & Colbert (dalam
Karlinawati Silalahi, 2010). Anak dari pola pengasuhan seperti ini tidak dapat
mengontrol diri sendiri, tidak mau patuh, dan tidak terlibat dalam aktifitas di kelas.
Pola Pengasuhan tidak terlibat anak dari orangtua dari pola pengasuhan ini
cenderung terbatas secara akademik dan sosial. Peneliti berpendapat bahwa anak
dengan pola pengasuhan ini lebih cenderung bertindak antisosial pada masa remaja
Menurut Martin & Colbert (dalam Karlinawati Silalahi, 2010). Apabila pola
pengasuhan ini diterapkan sedini mungkin hal ini akan mengakibatkan gangguan
pada perkembangan anak. Ibu dalam pola pengasuhan seperti ini akan memiliki anak
yang defisit dalam fungsi fisiologisnya, penurunan kemampuan intelektual, serta
pemarah.
Meskipun pola pengasuhan terbagi didalam 4 pola pengasuhan, tetapi
pembagian ini bukan merupakan hal yang kaku. tidak ada orangtua yang sempurna.
Orangtua adalah manusia yang bereaksi berbeda diberbagai situasi, tergantung pada
perasaan dan lingkungan mereka. Pola pengasuhan disimpulkan dari reaksi mereka
disebagian situasi Menurut Martin & Colbert (dalam Karlinawati Silalahi, 2010).
Orangtua dengan pola pengasuhan autoritatif memberikan model yang bertanggung
jawab secara sosial, tingkah laku menyayangi anak, yang mendorong anak berbuat
hal yang sama. Orangtua dengan pola pengasuhan otoriter dan permisif lebih
menunjukkan tingkah laku memaksa atau kurang menyayangi anak dan hal ini bukan
contoh yang baik pada anak (Diana Baumrind, 1994). Dengan demikian, orangtua
Universitas Sumatera Utara
dengan pola pengasuhan autoratif memberikan kesempatan yang lebih efektif untuk
melakukan tingkah laku yang bertanggung jawab dengan meminta anak untuk
membuat pilihannya sendiri dengan bimbingan yang jelas dan memberikan umpan
balik terhadap pilihannya tersebut.
d. Pola Pengasuhan tidak terlibat.
Pemberian umpan balik ini dapat mendorong anak untuk mengenali hubungan
antara keputusan, tingkah laku, dan konsekuensi yang diambil, serta merefleksikan
kemampuan mereka sebagai pembuat keputusan. Sebaliknya orangtua dengan pola
pengasuhan permisif tidak memberikan panduan yang jelas, yang sesuai dengan usia
dan pengalaman si anak (Diana Baumrind, 1994). Hubungan hangat dan penerimaan
dalam keluarga autoritatifdapat meningkatkan pengaruh yang positif bagi anak.
Penelitian menunjukkan bahwa hubungan orangtua dengan anak didasari pada rasa
saling percaya, komunikatif dan responsif emosional berhubungan dengan
peningkatan keterampilan dan keberhasilan anak berhubungan dengan oranglain
diluar rumah dan dengan kepuasaan hidup pada umumnya (Diana Baumrind, 1994).
Berdasarkan penjelasan di atas, penelitian ini juga melihat bahwa pola asuh
sangat penting perananya dalam pembentukkan kepribadian serta aspek-aspek
pembentuk kepribadian diantaranya adalah: emosi, sosial, motivasi, intelektual dan
spiritual guna tercapai kedewasaan yang matang, hingga terwujud kepribadian yang
sukses dalam diri anak.
1.2.2 PolaAsuhKeluarga Jawa
Keluarga Jawa merupakan bagian kecil dari berbagai keluargayang ada di dunia.
Keluarga Jawa adalah salah satu keluarga yang berbedadengan keluarga-keluarga
yang lain karena terdapat ciri khas yangterkandung dalam keluarga Jawa ini, yaitu
Universitas Sumatera Utara
dari aspek kebudayaanya. Olehkarena itu, banyak dijumpai berbagai hasil penelitian,
referensi atau buku-buku yang membahas masalah Jawa, termasuk dari sisi keluarga
Jawa.Dalam bahasan mengenai keluarga Jawa, telah dilakukan banyak tokohdan para
ilmuan khususnya para sosiolog dan antropolog dari berbagaiwilayah. Termasuk
peneliti asing atau luar negeri seperti CliffordGeertz, Hildred Geertz, dan lain-lain.
Sedangkan kajian dari ilmuan lokal juga banyak dilakukan, seperti
Koentjaraningrat,Selo Sumardjan, F. Magnis suseno dan lain-lain.Keluarga Jawa
sebagai suatu tempat berlangsungnya kegiatan-kegiatan dan hubungan-hubungan
antara anggota keluarga mengalamisuatu proses yang terjadi antara orang tua dengan
anak.Proses ini disebutdengan proses pengasuhan atau pola asuh anak.
Keluarga dalamhubungannya dengan anak diidentikan sebagai tempat atau
lembagapengasuhan yang paling dapat memberi kasih sayang, kegiatan
menyusui,efektif dan ekonomis. Di dalam keluargalah kali pertama anak-
anakmendapat pengalaman dini langsung yang akan digunakan sebagai
bekalhidupnya dikemudian hari melalui latihan fisik, sosial, mental, emosionaldan
spritual. Karena anak ketika baru lahir tidak memiliki tata cara dankebiasaan
(budaya) yang begitu saja terjadi sendiri secara turun temurundari satu generasi ke
generasi lain, oleh karena itu harus dikondisikan kedalam suatu hubungan
kebergantungan antara anak dengan agen lain (orang tua dan anggota keluarga lain)
dan lingkungan yang mendukungnyabaik dalam keluarga atau lingkungan yang lebih
luas (masyarakat), selainfaktor genetik berperanan pula (Zanden, 1986).
Bagi seorang anak manusia, keluarga inti adalah tempat sosialisasi pertama
bagi dirinya, yang terjalin melalui kasih sayang dan pola asuh. Di setiap kebudayaan,
tentu akan ditemui pola pengasuhan dalam keluarga yang berbeda pula. Seperti
Universitas Sumatera Utara
halnya di dalam kebudayaan, di mulai dari keluarga, terdapat sebuah tata cara
mendidik seorang anak yakni pendidikan karakter, pembentukan moral dan etika,
yang keseluruhan itu terbingkai pada falsafah hidup masyarakat Jawa. Oleh sebab
itu, keluarga inti bagi masyarakat Jawa merupakan kesatuan keluarga yang paling
penting (Geertz, 1983). Hildred Geertz (1983:7) memberikan suatu gambaran ideal
keluarga sebagai berikut : bagi setiap orang Jawa, keluarga yang terdiri dari orang
tua, anak-anak, dan biasanya suami atau istri merupakan orang-orang terpenting di
dunia ini. Mereka itulah yang memberikan kepadanya kesejahteraan emosional serta
titik keseimbangan dalam orientasi sosial. Mereka memberi bimbingan moral,
membantunya dari masa kanak-kanak menempuh usia tua dengan mempelajari nilai-
nilai budaya Jawa.
Secara ideal, pembagian peran dalam sebuah keluarga meliputi keberadaan
ayah menjadi seseorang yang bekerja untuk mencari sumber penghidupan sedangkan
pola pengasuhan akan lebih banyak dijalankan oleh seorang ibu. Untuk itulah posisi
ibu memiliki andil besar dalam proses pembentukan karakter anak, dan pemberian
makna di dalam keluarga. Seorang ibu menjadi sosok pusat bagi sebuah keluarga,
dalam segi sosial dan ekonomi, rumah tangga. Sejatinya, pola asuh terbagi atas
beberapa fase pertumbuhan anak manusia. Pertama adalah fase anak-anak. Usia
tersebut dimulai umur bayi hingga berumur 5 tahun. Disini peranan emosional,
keterikatan lahiriah dan batiniah antara anak dan ibu sangat menentukan.
Pada gilirannya ibu diharuskan mendidik anak dimulai dari anak mulai belajar
berbicara, bermain dan mengenal orang dewasa di sekitarnya. Segala sikap perilaku,
ucapan harus sudah diperhatikan. Awalnya anak akan mengaplikasikannya di
lingkungan keluarga terdekat. Sebagai misal dalam berbahasa. Kepada orang yang
Universitas Sumatera Utara
lebih tua, anak belajar berbahasa krama. Anak juga belajar sopan santunpada konteks
sederhana sebagai misal tata cara makan, menggunakan baju, maupun bersikap.
Ketika beranjak remaja, cara pola asuh anak mulai mengalami proses pemberian nilai
dan makna akan kebudayaan Jawa itu sendiri atau nilai Kejawen. Remaja yang sudah
baligh, yakni ditandai dengan sudah mens atau di khitan. Mereka dianggap sudah
dewasa dan mampu membedakan hal yang baik dan buruk.Sebagai misal ibu saya
selalu dengan nasehat, petuah dan cerewet kepada anak-anak perempuannya untuk
selalu menjaga sikap, membawa diri dan kepribadian. Harus mengasah kepekaan
dalam bersikap, yang dikodratkan untuk cekatan dalam urusan dapur-pekerjaan
rumah tangga ataupun pendidikan.
Para orang tua Jawa selalu berpesan mengenai persoalan tersebut nantinya akan
terkait dalam urusan jodoh/pernikahan. Adapun pandangan hidup Jawa seperti
halnya nasehat berupa pernyataan yang menyangkut kehidupan seperti “urip iku
sawang-sinawang, ngundhuh woh ing laku” (hidup itu tentang melihat dan di lihat,
bertanggung jawab) dan sebagainya. Biasanya kalimat ini kita peroleh dari orang tua,
atau orang sepuh dari keluarga kita. Di dalam konsep batin orang jawa, memegang
teguh dua prinsip penting, yakni tatakrama hormat dan kerukunan. Pada sikap
hormat, merupakan unsur psikologis dalam menciptakan unggah-ungguh sosial.
Hormat kepada orang yang lebih tua, sebagai misal kepada orang tua, dosen, pakde,
bude dsb. Sikap hormat tersebut terbagi lagi dalam konsep khas Jawa, yakni wedi,
isin dan sungkan. Pada fase pertumbuhan anak hingga menuju dewasa, seseorang
akan mulai mengenal konsep ini.
Selain hal tersebut diperoleh dari lingkungan keluarga, pun dalam masyarakat.
Anak akan terbiasa bagaimana ia harus belajar menempatkan diri sebagai seorang
Universitas Sumatera Utara
Jawa, yang memahami dan mengerti akan toto kromo, dalam ketiga konteks diatas.
Menurut saya, ketiga konsep tersebut sangat lumrah ditemui dalam kehidupan sehari-
hari. Wedi diartikan langsung sebagai takut. Isin berarti malu, sebagai misal sudah
dewasa, sudah mahasiswa, tapi masih bersikap seperti anak kecil, maka timbullah
konsep malu (isin) ini. Sungkan, untuk konsep ini saya juga merasa cukup sulit
mengerti dan memahaminya. Sering sekali orang merasa sungkan entah karena kata
ini juga dekat dengan maksud malu-malu. Akan tetapi dalam anggapan saya,
sungkan itu mungkin seperti malu untuk ke dalam diri kita sendiri. Sebagai misal kita
pernah merasa sungkan terhadap orang lain, biasanya kepada orang yang lebih tua,
lebih senior berada di luar lingkungan keluarga kita sebagai bentuk hormat. Konsep
diatas sangat erat kaitannya dengan tata krama, atau sopan santun adalah suatu tata
cara atau aturan turun temurun dan berkembang dalam suatu budaya masyarakat
yang bermanfaat dalam pergaulan dengan orang lain, agar terjalin hubungan akrab
saling pengertian dan hormat menghormati menurut adat yang ditentukan. Sangat
penting untuk diajarkan kepada anak karena akan membawa nama baik keluarga
(Pembinaan budaya dalam lingkungan keluarga DIY, Depdikbud 1995).
Disini tidak hanya monopoli peran ibu saja dalam pola pengasuhan anak, akan
tetapi juga seluruh keluarga, yakni ayah, kakek, nenek, meliputi saudara dan
sebagainya. Oleh karena itu, sosok formal keluarga sebagai simbol moralitas akan
tampak dalam sosok bapak karena posisi pemimpin adalah laki-laki, sedangkan ibu
menjadi simbol moralitas secara spiritual. Dengan demikian, secara formal sosok
bapak akan mendapatkan posisi yang dipercaya, dihormati, dan diteladani, namun
secara spiritual sosok yang dipercaya, dan dihormati adalah sosok ibu. (Handayani,
2004). Segala pembelajaran yang diperoleh anak atas asuhan orang tua menjadi
Universitas Sumatera Utara
pedoman, menjadi nilai yang akan diterapkan keapada masyarakat hingga ia dewasa,
senada dengan pendapat Hildred Geertz (1992:53) mengatakan bahwa orang tua
merupakan pengatur norma-norma masyarakat kepada anaknya. Pada gilirannya pola
pengasuhan anak sangat ditentukan oleh keluarga. keluarga yang secara ideal, setiap
anggota keluarganya membagi fungsi dan peranannya masing-masing. Apabila
peranan diantara keluarga tersebut terjadi perubahan atau pergeseran peran,
dimungkinkan terjadi ketidakselarasan dalam pertumbuhan seorang anak. Di dalam
keluarga luas maupuninti, nantinya nilai budaya Jawa akan bertumbuh melalui cara
mendidik, cara memberi nasehat, dan sebagainya.
Hildred Geertz juga menjelaskan bahwa ada duakaidah yang paling
menentukan pola pergaulan dalam masyarakat Jawa, yang diperoleh dari proses
belajarnya di lingkungan keluarga yaitu melaluipola asuh orang tua Jawa kepada
anaknya. Kaidah yang pertama mengatakan, bahwa dalam setiap situasi manusia
hendaknya bersikapsedemikian rupa hingga tidak sampai menimbulkan konflik.
Kaidah keduamenuntut agar manusia dalam cara berbicara dan membawa diri
selalumenunjukkan sikap hormat terhadap orang lain, sesuai dengan derajat
dankedudukannya. Kaidah pertama disebut dengan prinsip kerukunan, kaidahkedua
sebagai prinsip hormat.Kedua prinsip itu merupakan kerangka normatif yang
menentukanbentuk-bentuk konkret semua interaksi. Tuntutan dua prinsip itu
selaludisadari oleh orang Jawa: sebagai anak ia telah membiarkannya dan iasadar
bahwa masyarakat mengharapkan agar kelakuannya selalau sesuaidengan dua prinsip
itu (Suseno, 2001: 38). Adapun penjelasan mengenaikedua prinsip tersebut sebagai
berikut:
1) Prinsip Kerukunan
Universitas Sumatera Utara
Prinsip kerukunan bertujuan untu mempertahankan masyarakatdalam
keadaan yang harmonis. Keadaan semacam ini disebut rukun.Rukun berarti “berada
dalam keadaan selaras”, “tenang dan tentram”,“tanpa perselisihan dan pertentangan”,
“bersatu dalam maksud untuksaling membantu”.
Keadaan rukun terdapat di mana semua pihak berada dalamkeadaan damai
satu sama lain. Suka bekerja sama, saling menerima,dalam suasana tenang dan
sepakat. Rukun adalah keadaan ideal yangdiharapkan dan dipertahankan dalam
semua hubungan sosial, dalamkeluarga, dalam rukun tetangga, di desa, dalam setiap
pengelompokan tetap. Suasana seluruh masyarakat seharusnya
bernafaskan kerukunan(Suseno, 1992: 39).Perilaku untuk selalu bersikap rukun ini
diperoleh masyarakatJawa melalui proses sosialisasi yang panjang dari dia kecil
sampaidewasa, yaitu melalui pola pengasuhan orang tua Jawa kepadaanaknya. Pada
lingkungan keluarga inilah terjadi pewarisan nilaibudaya masyarakat kepada
anak.Anak dalam lingkungan keluarga Jawa selalu ditertibkan secarasosial. Dalam
penertiban sosial anak Jawa dapat dibedakan dua tahap.Tahap pertama berlangsung
kurang lebih sampai anak berumur 5 tahundan ditandai oleh kesatuan yang akrab
dengan keluarga, tanpa adanyaketegangan-ketegangan apa-apa. Selama waktu ini
anak menjadi pusat perhatian dan kasih sayang lingkungannya. Anak selalu berada
dalam kontak fisik dengan ibunya, atau dengan ayahnya, kakaknya,neneknya, dan
seterusnya.Dalam tahap penertiban sosial yang perlu tercapai melalui duacara.
Pertama, sikap-sikap kelakuan yang terpenting dilatihkan padaanak melalui ulangan-
ulangan halus terus menerus.
Begitu misalnyaagar anak belajar bahwa menerima atau memberikan
sesuatu harusdengan tangan kanan dan bukan dengan tangan kiri, maka ibu
Universitas Sumatera Utara
tidakjemu-jemu mendorong tangan kiri kembali dengan halus dan menariktangan
kanan. Anak kecil terus dihujani dengan segala macamperingatan yang diberikan
dengan tenang, seperti aja rame-rame, matur suwun, mbah, dan seterusnya. Apabila
anak kecil melakukansesuatu yang tidak dapat dibiarkan, maka ia dihentikan dengan
tenang,tanpa reaksi emosional apa-apa pada ibu. Pendidikan kebersihan terjaditanpa
ada ketegangan-ketegangan.Sedangkan ciri kedua pendidikan dalam keluarga Jawa,
anakdituntut untuk taat tidak melalui ancaman hukuman atau teguran olehibu,
melainkan melalui ancaman bahwa sesuatu kekuatan di luarkeluarga, seperti roh-roh
jahat, anjing dan orang asing, akanmengancam anak kalau tidak berlaku baik.
Dengan demikian, anakmengalami keluarganya sebagai sumber dan tumpuan kokoh
keamananpsikis dan fisik.
Tahap kedua penertiban sosial anak mulai sesudah anakmelewati umur 5 tahun.
Pada tahap ini ayah mulai mengubahperananannya: dari seorang sahabat akrab, anak
semakin menjadiorang yang jauh dan asing yang oleh ibu dimasukkan ke
dalamlingkungan dunia luar yang berbahaya, terhadapnya anak harus merasatakut
dan menunjukkan hormat. Anak semakin diharapakan bisamembawa diri secara
beradab. Anak harus mempelajari segala unsurtata karma yang diharapkan dari
seorang Jawa dewasa. Penertibananak sekarang tidak lagi melalui ancaman langsung
dengan bahaya-bahaya dari luar, melainkan lebih-lebih melalaui petunjuk-
petunjukmengenai reaksi orang-orang lain.
2) Prinsip Hormat
Kaidah kedua yang memainkan perananan besar dalammengatur pola intraksi
dalam masyarakat Jawa ialah prinsip hormat.Prinsip itu mengatakan bahwa setiap
orang dalam cara berbicara danmembawa diri selalu menunjukkan sikap hormat
Universitas Sumatera Utara
terhadap orang lain,sesuai dengan derajat dan kedudukannya. Prinsip hormat
berdasarkanpendapat, bahwa semua hubungan dalam masyarakat teratur
secarahirarkis, bahwa keteraturan hirarkis itu bernilai pada dirinya sendiridan oleh
karena itu orang wajib untuk mempertahankannya dan untukmembawa diri sesuai
dengannya.
Kefasihan dalam menggunakan sikap-sikap hormat yang tepatdikembangkan
pada orang Jawa sejak kecil melalui pendidikan dalamkeluarga. Sebagaimana
diuraikan oleh HIldred Geertz, pendidikan itutercapai melalui tiga perasaan yang
terpelajari oleh anak Jawa dalamsituasi-situasi yang menuntut sikap hormat,
yaitu wedi, isin dansungkan. Wedi berarti takut, baik sebagai reaksi terhadap
ancamanfisik maupun sebagai rasa takut terhadap akibat kurang enak
suatutindakan.Pertama-tama anak belajar untuk merasa wedi terhadap orangyang
harus dihormati. Anak dipuji apabila bersikap wedi terhadaporang yang lebih tua dan
terhadap orang asing.
Bentuk-bentuk pertamakelakuan halus dan sopan dididik pada anak dengan
menyindir padasegala macam bahaya mengerikan dari pihak-pihak asing dan
kekuatan-kekuatan di luar keluarga yang akan mengancamnya. Tidaklama kemudian
mulailah pendidikan untuk merasa isin.Isin berarti malu. Juga berarti dalam arti
malu-malu, merasabersalah dan sebagainya. Belajar untuk merasa malu (ngerti
isin)adalah langkah pertama kea rah kepribadian Jawa yang matang.Sebaliknya
penilaian ora ngerti isin, ia tidak tahu malu, merupakansuatu kritik yang amat tajam.
Rasa isin dikembangkan pada anakdengan membuat dia malu dihadapan tetangga,
tamu, dan sebagainya,apabila ia akan melakukan sesuatu yang pantas ditegur.
Sebagai akibatmaka anak-anak sering kelihatan amat malu-malu kalau ada
Universitas Sumatera Utara
tamu,seakan-akan mereka dibanjiri oleh suatu perasaan malu total, sehinggamereka
sama sekali tidak bisa disapa, bahkan oleh ibu mereka sendiri.Isin dan sikap hormat
merupakan suatu kesatuan.
Orang Jawamerasa isin apabila ia tidak dapat menunjukkan sikap hormat
yangtepat terhadap orang yang pantas dihormati. Perasaan isin dapatmuncul dalam
semua situasi sosial.Apabila anak sudah kurang lebih berumur lima tahun maka
iasudah mengerti konteks-konteks mana yang harus membuat dia merasaisin.
Semakin ia menjadi dewasa dan semakin dia menguasai tatakramakesopanan,
semakin ia diakui sebagai anggota masyarakat Jawa penuh.Selama tahun-tahun ini
orang Jawa belajar merasa sungkan.Sungkan itu perasaan yang dekat dengan
perasaan isin, tetapi berbedadengan cara seorang anak merasa malu terhadap orang
asing. Sungkan adalah malu dalam arti yang lebih positif. Berbeda dengan
rasa isin,perasaan sungkan bukanlah suatu rasa yang hendaknya
dicegah.Sungkan adalah perasaan malu positif yang dirasakan saat berhadapan
dengan atasan.Wedi, isin dan sungkan merupakansuatukesinambungan perasaan-
perasaan yang mempunyai fungsi sosialuntuk memberi dukungan psikologis
terhadap tuntutan-tuntutan prinsiphormat.
Namun pada sebagian masyarakat Jawa, terutama yang berprofesi sebagai
buruh bangunan, masalah ekonomi menjadi kendala yang penting dalam hidup
mereka. Masalah keadaan ekonomi mampu mempengaruhi hubungan antara orang
tua dan anak. Dengan kata lain, pola asuh adalah hal yang dapat di pengaruhi oleh
nilai-nilai dasar kehidupan manusia seperti yang di sebutkan oleh Kluckhohn.
Menurut Kluckhohn yang dikutip oleh Koentjaraningrat ada lima masalah dasar
dalam kehidupan manusia yang berkaitan dengan nilai budaya, yakni masalah yang
Universitas Sumatera Utara
berkenaan dengan hakekat hidup, karya, waktu, alam dan hubungan antara manusia
(Koentjaraningrat, 1981:28) . Ini artinya, wujud kebudayaan suatu masyarakat yang
merupakan hasil dari tanggapan aktif terhadap lingkungan dalam arti luas tidak lepas
dari pendukungnya didalam memandang hidup, waktu, karya, alam dan hubungan
antar sesamanya. Pandangan inilah yang pada gilirannya mewarnai etos kerja dari
suatu masyarakat. Dalam masyarakat Jawa, lima nilai dasar dari Kluckhon ini di
pahami sebagai apa yang di sebut dengan falsafah orang Jawa. Dalam berfilosofi,
orang Jawa seringkali menggunakan unen-unen untuk menata hidup manusia.
Berikut beberapa dari sekian banyak falsafah yang menjadi pedoman hidup
orang Jawa.Urip Iku Urup yaitu hidup itu nyala, hidupitu hendaknya memberi
manfaat bagi orang lain disekitar kita, semakin besar manfaat yang bisa kita berikan
tentu akan lebih baik. Memayu Hayuning Bawana, yaitu manusia hidup di dunia
harus mengusahakan keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan; serta
memberantas sifat angkara murka, serakah dan tamak.Sura Dira Jaya Jayaningrat,
Lebur Dening Pangastuti, yaitu segala sifat keras hati, picik, angkara murka, hanya
bisa dikalahkan dengan sikap bijak, lembut hati dan sabar.Ngluruk Tanpa Bala,
Menang Tanpa Ngasorake, Sekti Tanpa Aji-Aji, Sugih Tanpa Bandha, yaitu berjuang
tanpa perlu membawa massa. Menang tanpa merendahkan atau mempermalukan.
Berwibawa tanpa mengandalkan kekuasaan, kekuatan,kekayaan atau keturunan.
Kaya tanpa didasari kebendaan.Datan Serik Lamun Ketaman, Datan Susah Lamun
Kelangan, yaitu jangan gampang sakit hati manakala musibah menimpa diri. Jangan
sedih manakala kehilangan sesuatu.Aja Gumunan, Aja Getunan, Aja Kagetan, Aja
Aleman , yaitu jangan mudah terheran-heran, jangan mudah menyesal, jangan mudah
terkejut-kejut, jangan mudah ngambeg, jangan manja. Aja Ketungkul Marang
Universitas Sumatera Utara
Kalungguhan, Kadonyan lan Kemareman, yaitu, janganlah terobsesi atau
terkungkung oleh keinginan untuk memperoleh kedudukan, kebendaan dan kepuasan
duniawi.Aja Kuminter Mundak Keblinger, Aja Cidra Mundak Cilakta, yaitu jangan
merasa paling pandai agar tidak salah arah, jangan suka berbuat curang agar tidak
celaka.Aja Milik Barang Kang Melok, Aja Mangro Mundak Kendo, yaitu jangan
tergiur oleh hal-hal yang tampak mewah, cantik, indah; Jangan berfikir mendua agar
tidak kendor niat dan kendor semangat.Aja Adigang, Adigung, Adiguna, yaitu jangan
sok kuasa, sok besar, sok sakti (sumber: sabdalangit.wordpress.com).
1.2.3. Nilai Anak
Nilai mempunyai banyak pemaknaan dilihat dari berbagai aspek. Dari segi
sosial, nilai adalah kualitas dari suatu objek yang menyebabkan objek tersebut
diinginkan dan dijunjung tinggi serta dianggap penting atau berharga sedangkan dari
segi ekonomi, nilai berwujud dalam nilai tukar (harga) dan nilai guna (utilitas)
(Surachman 2011). Nilai mempunyai ciri yang bermacam-macam yakni dilihat dari
posisinya adalah nilai absolut, nilai normatif, dan nilai relatif, dilihat dari orientasi
nilai yaitu nilai intrinsik dan nilai ekstrinsik, serta jika dilihat dari cakupan nilai
terdiri dari nilai umum dan nilai khusus (Guharjda1992). Nilai absolut merupakan
nilai yang tertanam kuat dalam diri seseorang yang memiliki kecenderungan tidak
dapat berubah karena faktor lingkungan. Nilai normatif merupakan acuan-acuan
tertentu yang digunakan oleh kelompok sosial tertentu. Nilai relatif merupakan nilai
yang dianut oleh seseorang dan berbeda bagi individu maupun kelompok tergantung
dari keadaan dan lingkungan tempat tinggal (Deacon & Firebaugh 1981).
Nilai anak menurut Siregar (2003) terbagi menjadi dua yaitu nilai positif
(kepuasan, kebaikan, dan keuntungan). Menurut Suckow dan Klaus (2002), nilai
Universitas Sumatera Utara
anak terdiri dari tiga dimensi yaitu nilai psikologis-emosional anak, nilai ekonomi-
utilitarian anak, dan nilai sosial-normatif anak. Senada dengan pernyataan Suckow
dan Klaus (2002), Hoffman dan Hoffman (1973) dalam Santrock (2007), nilai anak
adalah harapan orang tua terhadap anak yang terdiri dari nilai psikologi (anak
sebagai sumber kepuasan), nilai sosial (anak sebagai pencegah perceraian dan
meningkatkan status sosial keluarga), dan anak sebagai nilai ekonomi yaitu sebagai
investasi jangka panjang untuk meningkatkan ekonomi keluarga di masa yang akan
datang.
Nilai anak bagi orang tua dalam suatu keluarga melebihi nilai harta
kekayaan (Wulandari 2009).Sheykhi (2009) berpendapat bahwa nilai anak terbagi
menjadi dua yakni nilai positif anak dan nilai negatif anak.Nilai positif adalah nilai
atau aspek dari kebahagiaan yang terdiri dari lima dimensi yaitu keuntungan
ekonomi dan sosial serta keamanan, keuntungan emosional, pengembangan diri,
kohesi dan kontinuitas keluarga, dan identifikasi anak.Sementara itu, nilai negatif
anak dianggap sebagai aspek negatif dari mempunyai anak yang berdampak pada
ketidakbahagiaan keluarga, terdiri dari lima dimensi yaitu biaya ekonomi dan sosial,
biaya emosional, biaya kesempatan atau pembatasan permintaan fisik, dan biaya
keluarga.
Senada dengan pernyataan Sheykhi mengenai nilai positif, Wulandari
(2009) menyatakan nilai anak dalam tiga aspek penting yakni psikologi, ekonomi,
dan sosial.Segi psikologis, anak menjadi tempat orang tua mencurahkan kasih sayang
dan anak menjadi pertimbangan orang tua mengenai keputusan perceraian.Segi
ekonomi, anak merupakan harapan orang tua di masa datang dan tempat mewariskan
Universitas Sumatera Utara
harta kekayaan.Selain itu, nilai anak dari segi sosial adalah kehadiran anak yang
dapat meningkatkan status orang tua di masyarakat.
Menurut Joshi dan Mac Clean (1997) dalam Putri (2006), nilai anak
merupakan persepsi dan harapan orangtua terhadap anak berdasarkan potensi yang
dimiliki oleh anak.Hal ini terkait dengan persepsi nilai anak oleh orangtua
merupakan respon dalam memahami akan adanya anak yang berwujud pendapat-
pendapat sebagai pilihan untuk berorientasi pada suatu hal (Siregar2003).Becker
(1955) dalam Hernawati (2002) menyebutkan bahwa anak dipandang sebagai
sumberdaya yang sangat berharga dan tahan lama. Anak secara alami memiliki nilai
psikis dan materi.
Oleh karena itu, orang tua beranggapan bahwa anak merupakan nilai investasi
di masa depan. Dalam hal ini, orang tua beranggapan bahwa anak dapat memberikan
kebahagiaan dan merupakan jaminan di hari tua serta membantu perekonomian
keluarga.
1.2.4 Nilai Anak dalam Budaya jawa.
Keluarga jawa pada umumnya mulai mendidik anak-anaknya pada anak
tersebut belum lahir, yaitu dengan cara tidak langsung dari ibunya. Wujud
pendidikan itu pada umumnya melalui berbagai larangan atau keharusan yang harus
dijalankan oleh ibu yang sedang hamil tidak boleh makan-makanan sembarangan,
tidak boleh mengatakan kata-kata jelek, tidak boleh membunnuh binatang dan tidak
boleh marah. Karena keyakinan dalam budaya orang jawa perilaku ibu pada saat
mengandung akan turun pada anaknya sehingga para ibu yang sedang mengandung
sehati-hati mungkin dalam berbuat supaya anaknya juga mewarisi sifat dari ibunya.
Universitas Sumatera Utara
Dalam falsafah orang jawa dikenal dengan istilah mendhem jero mikul
dhuwur, anak molah bapa kepradhah, yang berarti menimbun yang dalam dan
memikul yang tinggi, anak yang berbuat bapak yang bertanggung jawab. Sehingga
dalam falsafah hidup orang jawa harus mendidik anak supaya anak mempunyai
kepribadian yang baik seperti:
1. Menanamkan Nilai Religius, eling sangkan paraning dumadi.
Manusia Jawa berkeyakinan bahwa urip ana sing nguripake (hidup ada yang
menghidupkan) dan suatu saat akan kembali kepada yang menghidupkan,
yaitu Tuhan. Oleh karena manusia berasal dari Tuhan dan akan kembali
kepada Tuhan, maka manusia harus bersiap untuk mempertanggungjawabkan
segala perbuatannya selama hidup. Nasihat eling sangkan paraning dumadi
menjadi pengingat agar manusia selalu menjaga sikap dan perbuatan di dunia
karena kelak akan diminta pertanggung jawabannya di hadapan Tuhan.
Sehingga dalam menjalani hidup manusia Jawa akan senantiasa golek dalan
padhang, berbuat lurus, tidak melakukan hal-hal yang dilarang Tuhan. Sikap-
sikap tersebut menunjukkan religiusitas masyarakat Jawa.
2. Urip samadya.
Dalam menjalani hidup, orang Jawa memegang prinsip urip samadya.
Dengan sikap samadya manusia akan dapat mengukur kemampuannya, tidak
memaksakan kehendak untuk meraih sesuatu yang tidak mungkin diraihnya.
Sikap hidup samadya menjauhkan seseorang dari perbuatan yang
menghalalkan segala cara untuk mendapatkan yang diinginkannya. Prinsip
hidup ini juga melahirkan sikap nrima ing pandum, menerima segala yang
Universitas Sumatera Utara
diberikan Yang Maha Kuasa. Namun demikian, tidak berarti sikap hidup
samadya dan nrima ing pandum ini diisi dengan bermalas-malasan, tanpa mau
berusaha.
3. Memiliki watak rereh, ririh, dan ngati-ati.
Rereh, artinya sabar dan bisa mengekang diri. Ririh, artinya tidak
tergesa-gesa dalam bertindak, mempunyai pertimbangan matang untuk
sebuah tindakan dan keputusan. Ngati-ati, artinya berhati-hati dalam
bertindak (Budiono Herusatoto, 2000: 83). Dengan sikap rereh, ririh, dan
ngati-ati, berarti manusia dapat menguasai dirinya, menguasai nafsunya.
Manusia akan sempurna bila dapat menguasai nafsu. Sementara itu, orang
yang dikuasai nafsu akan berbahaya bagi orang-orang di sekitarnya. Dengan
sikap rereh, ririh, dan ngati-ati tentu akan dapat melahirkan penyelesaian
yang baik.
4. Menjauhkan diri dan membenci watak adigang, adigung, adiguna.
Watak adigang adalah watak sombong, karena mengandalkan
kekayaan dan pangkat. Watak adigung adalah watak sombong karena
mengandalkan kepandaian dan kepintaran, lantas meremehkan orang lain.
Watak adiguna adalah watak sombong karena mengandalkan keberanian dan
kepintaran berdebat (Budiono Herusatoto, 2000: 83). Sikap ini menjadikan
seseorang bersikap sapa sira sapa ingsun, yang merupakan gambaran sikap
sombong. Oleh karena itu, sikap-sikap ini harus dihindari. Seseorang justru
harus bersikap ramah dan menghargai sesama manusia. Jangan berlaku
seolah-olah menjadi manusia yang ”paling”.
Universitas Sumatera Utara
5. Aja dumeh
Kata yang singkat ini mengandung ajaran yang sangat luas. Kata ini
dapat diterapkan dalam berbagai sikap dan perbuatan, misalnya aja dumeh
pinter, aja dumeh kuasa, aja dumeh kuwat, dan sebagainya. Aja dumeh sangat
dekat dengan watak adigang, adigung, adiguna. Aja dumeh mengandung
maksud “jangan mentang-mentang”. Sikap hidup aja dumeh akan membawa
seseorang pada sikap rendah hati, sederhana, tidak merasa “paling”
dibandingkan dengan orang lain di sekitarnya.
6. Mawas diri.
Mawas diri adalah tindakan untuk melihat ke dalam diri sendiri,
mengukur nilai dan kemampuan diri. Dengan mawas diri seseorang akan
selalu berupaya melihat kekurangan diri sendiri. Sikap ini menjauhkan
seseorang dari sikap merasa paling benar, sehingga tumbuh rasa saling
menghargai sesama. Menyadari bahwa diri tidak sempurna akan membuat
seseorang menjadi tidak mudah mencela orang lain. Mawas diri menjauhkan
seseorang dari sikap sombong.
7. Tepa slira.
Tepa slira berarti tenggang rasa, tolerasi, menghargai orang lain,
nepakke awake dhewe. Apabila kita merasa senang dan bahagia jika orang
lain berperilaku baik kepada kita, maka hendaknya kita juga berusaha
bersikap baik terhadap orang lain (Heru Satoto, 2000:94). Tepa slira adalah
sikap individu untuk mengontrol pribadinya berdasarkan kesadaran diri.
(Franz Magnis Suseno, 2001: 61) Wujud sikap tepa slira adalah sikap
menjaga hubungan baik dengan sesama sebagai anggota masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
Seseorang yang memiliki sikap tepa slira tidak akan mburu menange dhewe,
nggugu karepe dhewe, dan nuhoni benere dhewe. Bila sikap tepa slira ini bisa
dimiliki oleh setiap orang maka akan tercipta kerukunan dalam masyarakat
sehingga kehidupan akan lebih damai.
8. Unggah-ungguh.
Unggah-ungguh merupakan salah satu bentuk etika atau sikap
manusia Jawa dalam menempatkan diri ketika bergaul dengan sesamanya.
Seseorang yang memiliki dan memahami sikap unggah-ungguh akan
mengetahui bagaimana cara bergaul dan berperilaku dengan orang yang lebih
muda, sederajat, lebih tua, atau yang memiliki jabatan tertentu, bahkan dalam
situasi tertentu. Dengan menerapkan unggah-ungguh dalam bergaul maka
akan tercipta hubungan yang harmonis. Seseorang yang memiliki unggah-
ungguh akan dapat menempatkan diri dalam menjalin pergaulan dengan
orang lain sesuai dengan tempat dan situasinya, empan papan. Istilah lain
unggah-ungguh adalah suba sita.
9. Jujur.
Jujur merupakan karakter yang sifatnya universal. Masyarakat Jawa
pun menganggap sikap jujur sebagai etika yang harus dipegang teguh dan
dimiliki oleh setiap orang Jawa. Hal ini tercermin dalam ungkapan-ungkapan
Jawa seperti, jujur bakal mujur, artinya orang yang jujur akan mendapatkan
keberuntungan. Kebalikannya adalah goroh growah, yaitu orang yang
berbohong akan mendapat kerugian. Akhir-akhir ini, ungkapan jujur bakal
mujur sering diplesetkan menjadi jujur bakal ajur atau jujur bakal kojur. Hal
ini tidak terlepas dari kenyataan bahwa dalam kehidupan masyarakat dewasa
Universitas Sumatera Utara
ini sering terjadi fenomena orang yang berperilaku jujur malah tidak
beruntung, sementara yang tidak jujur malah beruntung. Melihat kondisi ini
maka perlu dipahamkan bahwa keberuntungan yang didapatkan oleh orang
jujur sesungguhnya tidak serta merta dan tidak hanya bersifat fisik. Artinya
keberuntungan itu bisa jadi baru didapatkannya kelak dan hanya bisa
dirasakan oleh batin. Oleh karena itu, sikap jujur jangan sampai ditinggalkan
dan tetap yakin bahwa becik ketitik ala ketara, kebaikan akan terlihat dan
keburukanpun akan tampak nyata.
10. Rukun.
Hidup rukun selalu menjadi dambaan manusia yang hidup
bermasyarakat. Demikian pula pada masyarakat Jawa yang juga
mendambakan kehidupan yang selalu cinta damai. Cinta damai dapat
terwujud jika antarsesama anggota masyarakat tersebut dapat hidup rukun.
Sehingga dalam masyarakat Jawa terdapat ungkapan rukun agawe santosa,
yaitu bahwa hidup rukun sesama manusia akan membuat kehidupan menjadi
sentosa.
11. Kerja keras.
Manusia Jawa tidak boleh lalai untuk selalu berupaya mencukupi
kebutuhannya. Oleh karena itu manusia Jawa harus senantiasa bekerja keras
akan mampu hidup mandiri dan layak tanpa bergantung pada belas kasihan
orang lain. Sikap hidup semacam ini tercermin dalam ungkapan Jawa sapa
ubet, ngliwet yaitu siapa yang kreatif dalam berusaha mencari rezeki, maka
pasti akan mendapatkan hasilnya. Di samping itu, dalam bekerja manusia
Jawa juga berprinsip bahwa bekerja tidak melihat pada besar kecilnya hasil
Universitas Sumatera Utara
yang harus diperoleh, tetapi lebih mementingkan apa yang harus dikerjakan.
Hasil menjadi perkara belakangan, sebagaimana ungkapan sepi ing pamrih,
rame ing gawe. Etos kerja ini sangat luar biasa karena menunjukkan semangat
pengabdian yang besar. Orang yang bekerja dengan semangat pengabdian ini
sangat diperlukan dalam membangun bangsa.
13. Tanggung jawab.
Tanggung jawab merupakan sikap yang juga harus dimiliki oleh
manusia Jawa. Sehingga dalam masyarakat Jawa ditemukan juga ungkapan
tinggal glanggang colong playu yang arti harfiahnya meninggalkan
gelanggang dan secara diam-diam melarikan diri. Ungkapan ini merupakan
sindiran bagi seseorang yang suka lepas tangan, cuci tangan dari tanggung
jawab yang seharusnya diembannya. Oleh karena itu, perilaku tinggal
glanggang colong playu harus dihindari karena merupakan perilaku negatif
dan jauh dari sikap ksatria sejati.
14. Rumangsa melu handarbeni, rumangsa wajib hangrungkebi.
Merasa ikut memiliki, merasa wajib membela. Sikap ini wajib dimiliki
oleh setiap orang agar keadaan dan situasi terjaga dengan baik. Dengan
merasa memiliki orang akan punya keinginan untuk menjaga dan
melestarikan serta membela sesuatu yang menjadi miliknya. Sikap ini sangat
tepat untuk ditanamkan kembali pada generasi ditengah-tengah keterpurukan
bangsa. Bila generasi muda memiliki sikap ini mereka akan berupaya untuk
turut berperan dalam memperbaiki kondisi bangsa dan tidak justru merusak
citra bangsa.
15. Memayu hayuning bawana.
Universitas Sumatera Utara
Memayu berarti membuat selamat. Sedangkan bawana berarti bumi.
Memayu hayuning bawana merupakan sikap dan tindakan untuk menjaga
keselamatan dan kelestarian bumi. Sikap ini perlu ditanamkan pada semua
orang, termasuk generasi muda agar kerusakan bumi dapat dicegah sehingga
bumi tetap lestari. Bila bumi terjaga maka manusia juga terhindar dari
bencana, seperti banjir, tanah longsor, kekeringan, dan sebagainya. Memayu
hayuning bawana juga bisa diterjemahkan sebagai sikap dan tindakan
menjaga keselamatan bumi dari segi ketenteraman dan kedamaian. Jika
penghuni bumi ini saling bertengkar dan berperang maka bumi pun akan
rusak.
1.3 Rumusan Masalah
Rumusan masalah bertujuan agar masalah yang ditulis tidak lari dari
permasalahan yang diteliti. Adanya pembatasan masalah berguna untuk membahas
permasalahan secara fokus dan ada kaitannya dengan latar belakang yang ditulis,
maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu bagaimanapola asuh
orangtua keluarga kuli kasar dalam mengasuh anakdalam kehidupannya sehari-hari.
Dari rumusan masalah maka di dapat pertanyaan-pertanyaan penelitian sebagai
berikut :
1. Melihat cara orangtua pada keluarga kuli dalam mengasuh anak.
2. Melihat orangtua dalam keluarga kuli menjalankan fungsi keluarga.
1.4 Tujuan dan Maaat Penelitian
Tujuan penelitian berfungsi sebagai acuan penulis dan pembaca untuk
Universitas Sumatera Utara
menggali informasi dan menambah pengetahuan mengenai pola asuh keluarga kuli
kasar dalam mengasuh anak yang dilakukannya dalam sehar-hari. Dan sebagai
manfaat penelitian merupakan dampak dari tercapainya tujuan dan terjawabnya
rumusan masalah secara akurat yaitu berupa hasil penelitian mengenai hubungan
komunikasi antara orangtua dan anak dalam keluarga serta mengetahui pengaruh
tingkat pendidikan dan ekonomi orangtua terhadap pola asuh pada anak dan memiliki
manfaat praktis berupa tulisan hasil penelitian yang digunakan sebagai bahan
evaluasi.
1.5 Metode Penelitian
Jenis penelitian yang akan dilakukan adalah kualitatif dengan metode etnografi.
Dimana penelitian ini bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang
dialami oleh subjek penelitian misalnya, perilaku, persepsi, motivasi, tindakan,
secara holistic dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada
suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode
ilmiah. Untuk memperoleh data penelitian yang dibutuhkan, peneliti menggunakan
beberapa teknik pengumpulan data.
1.5.1 Teknik Observasi
Pengamatan (observasi) adalah suatu tindakan untuk meneliti suatu
gejala (tingkah laku ataupun peristiwa) dengan cara mengamati. Peneliti akan
melakukan teknik observasi guna memperoleh gambaran penuh tentang segala
tindakan, percakapan, tingkah laku, dan semua hal yang akan ditangkap oleh
panca indera terhadap apa yang dilakukan masyarakat yang diteliti
Universitas Sumatera Utara
dilapangan.Proses pengamatan dilakukan dengan mengamati ruang dan tempat,
pelaku-pelaku yang terlibat, waktu, peristiwa serta aktivitas yang dilakukan
keluarga buruh kasar bangunan.
Melalui observasi, maka peneliti mampu memahami permasalahan yang
akan diteliti secara lebih mendalam. Dalam penelitian yang dilakukan ini,
peneliti menggunakan teknik observasi partisipasi. Dalam melakukan observasi
partisipasi ini, peneliti mengamati sesuatu gejala dalam kedudukannya sebagai
orang yang terlibat dalam kegiatan dari masyarakat yang diteliti. Seperti yang
peneliti lakukan dalam mengamati kehidupan sehari-hari keluarga kuli kasar
bangunan yang peneliti pilih, mulai dari bangun pagi, memasak hingga malam
hari sebelum istrahat. Peneliti juga sesekali turut berpartisipasi membantu
kegiatan-kegiatan para keluarga kuli kasar bangunan, antara lain membantu
istri buruh kasar bangunan membersihkan rumah, ikut bekerja dengan para
buruh bangunan, ikut bermain dengan anak-anak keluarga kli kasar bangunan,
dan juga kegiatan-kegiatan lainnya.
1.5.2. Teknik Wawancara
Teknik lain yang akan digunakan peneliti dalam mengumpulkan data
yaitu teknik wawancara. Wawancara adalah suatu percakapan yang mewakili
pertanyaan yang sudah terstruktur dan dengan maksud tertentu. Wawancara
yang akan dilakukan yaitu teknik wawancara mendalam. Wawancara
Universitas Sumatera Utara
mendalam akan menggali informasi lebih mendalam, terbuka, tegas dan bebas
tetapi tetap dalam fokus pada apa yang akan diteliti.
Peneliti melakukan wawancara dengan para pekerja kuli kasar bangunan,
para istri-istri pekerja, anak-anak mereka dan orang-orang lain diluar keluarga
kuli kasar bangunan yang bertetangga dengan keluarga kuli kasar bangunan.
Peneliti juga turut mewawancarai para tokoh-tokoh masyarakat di lingkungan
tempat keluarga kuli kasar bangunan tinggal.
1.5.3. Pengembangan Rapport
Dalam melakukan observasi maupun wawancara, membangun rapport
sangat diperlukan dalam penelitian, agar tercipta hubungan yang baik dengan
informan sehingga data-data yang dihasilkan benar-benar sesuai fakta di
lapangan.
1.5.4. Teknik Dokumentasi
Melalui teknik dokumentasi ini, peneliti mengumpulkan data-data yang
diperlukan dengan cara pengambilan gambar melalui bantuan alat visual seperti
kamera handphone.
1.5.5. Informan
Bentuk penelitian ini adalah menggambarkan dan mendeskripsikan tujuan
masalah yang ingin diteliti dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Metode ini
juga menggambarkan secara terperinci tentang individu yang menjadi objek
penelitian. Mengenai Informan dalam penelitian ini, penulis mengkategorikan dari
Universitas Sumatera Utara
informan pangkal, informan pokok/kunci, dan informan biasa. Yang dimaksud
dengan ketiganya yaitu:
1. Informan pangkal adalah ibu S istri seorang kuli kasar bangunan
selama 20 tahun.
2. Informan pokok/kunci adalah 4 orang pasangan suami istri yang
suaminya bekerja sebagai buruh bangunan dan istrinya bekerja
sebagai pembantu rumah tangga (PRT).
3. Informan biasa adalah keluarga dekat dan tetangga sekitar yang
mengetahui keadaan informan pangkal dan informan pokok/kunci.
Dalam pemilihan informan terdapat beberapa alasan yaitu, penulis memilih
informan karena beberapa keluarga memiliki jarak rumah yang tidak terlalu jauh
dengan penulis, sehingga dapat di jangkau. Penulis memahami beberapa informan
tidak terlalu sibuk dalam pekerjaan dan aktifitas masing-masing sehingga dipastikan
tidak mengganggu selama proses penelitian berlangsung, selain itu juga penulis
mengikutsertakan anak dari orangtua tersebut sebagai informan karena beberapa dari
anak beliau tersebut adalah teman penulis. Kemudian pada tinjauan pustaka penulis
menyinggung mengenai usia, disini penulis sangat terdukung karena beberapa anak
kandung dari masing-masing orangtua tersebut memiliki usia yang berbeda-beda,
sehingga penulis dapat menggali informasi yang berbeda-beda mengenai pola
pengasuhan sesuai usia informan.
1.6 Analisa Data
Dalam analisis data penulis menentukan teknik analisis data berupa observasi
dan wawancara yang sesuai dengan proposal penelitian, mengembangkan bentuk
Universitas Sumatera Utara
sajian data dengan mendeskripsikan mengenai pola asuh anak dalam keluarga kuli
kasar bangunan yang didalamnya dibahas tentang bagaimana hubungan komunikasi
antara orangtua dan anak dan pengaruh tingkat pendidikan, ekonomi orangtua dalam
pengasuhan. Selanjutnya melakukan penyaringan berupa menuliskan hasil temuan
informasi yang sesuai permasalahan guna pemantapan data, kemudian data hasil
penelitian disimpulkan. Dalam tahap ini analisis data adalah membuat kesimpulan
akhir sebagai temuan penelitian yaitu hubungan komunikasi antara orangtua
dalammengasuh anak dan menggambarkanperubahan peran didalam keluarga
masing-masing informan.
1.7 Pengalaman Penelitian
Penelitian ini penulis mulai pertengahan bulan Maret sampai awal bulan Mei
di Kecamatan Rantau Utara, Kabupaten Labuhanbatu, Sumatera Utara. Pada saat
penulis bimbingan proposal dengan dosen pembimbing yaitu Ibu Nita Savitri,
penulis memberitahukan bahwa cukup rumit sekali untuk menentukan judul yang
sesuai dengan yang penulis dan Pak Fikarwin Zuska diskusikan selaku Ketua
Jurusan, pada saat itu judul skripsi yang penulis ajukan “Pola Asuh pada Keluarga
Kuli Kasar Bangunan Masyarakat Jawa”. Dan pada akhirnya setelah beberapa kali
bimbingan akhirnya judul inipun di acc oleh bapak Fikarwin Zuska.
Setelah proposal penelitian penulis di acc oleh jurusan dan mendapatkan surat
izin ke lapangan, penulis tidak langsung melakukan penelitian. Hal ini dikarenakan
adanya kegiatan “Warkop Antro”, penulis turut andil di dalam kegiatan tersebut
sebagai kordinator Acara.
Universitas Sumatera Utara
Pada awalnya, penulis merasakan kegugupan yang teramat sangatMeskipun
penulis telah mengenal baik beberapa keluarga kuli kasar bangunan yang memang
sudah sejak lama berjiran tetangga dengan penulis.
Sebagian dari keluarga kuli tersebut penulis mintai kesediaannya untuk
membantu penulis melakukan penelitian. Awalnya mereka takut dan enggan untuk di
wawancarai, mereka takut bahwa mereka akan di nilai “buruk/jelek” oleh penulis,
mereka adalah Ibu Sumi dan suaminya. Lalu penulis sedikit menjelaskan tentang
perspektif Antropologi yang memandang sesuatu secara Emik (memandang sesuatu
dari “kacamata” mereka sendiri) untuk membuat informan percaya kepada penulis.
Setelah mereka mengetahui hal tersebut lalu mereka antusias untuk
membantu penulis untuk menyelesaikan tugas akhir perkuliahan ini.Akan tetapi hal
tersebut diatas berbeda dengan yang penulis temukan pada anak mereka yang
bernama Topan, tanpa ada rasa curiga ia langsung antusias saja dengan penelitian
penulis, bahkan ia bertanya, “kapan mau kerumah (rumah keluarga ibu Sumi)?”.
Yang penulis rasakan, ia amat senang kegiatannya diabadikan dalam tugas seperti
ini. Hal serupa juga ditunjukkan oleh Ibu Prihatin, ia tidak ada rasa keberatan untuk
dijadikan informan oleh penulis.
Beberapa waktu kemudian saya mewawancarai para informan ketika mereka
sedang berada di tempat kerja. Namun, penulis tidak memiliki banyak waktu untuk
mewawancarai informan sebab penulis takut menggangu pekerjaan para informan.
Jadi penulis hanya mengumpulkan sedikit data ketika mereka bekerja.
Keesokan harinya, penulis memilih untuk datang kerumah parakeluarga kuli
bangunan tersebut. Pada kesempatan ini penulis lebih banyak mengamati aktivitas
Universitas Sumatera Utara
para istri dan anak dari kuli kasar bangunan tersebut. Mereka cukup ramah kepada
penulis dan bertanya tentang keperluan penulis, mereka merasa senang dengan
kedatangan penulis karena penulis dianggap sebagai teman mereka untuk mengobrol
dalam sambil melakukan kegiatan rumahan..
Pada hari tersebut, data yang penulis dapatkan lumayan banyak dikarenakan
para istri dari kuli bangunan sedang berada dirumah dan anak-anak mereka sudah
pulang dari sekolahnya. Mereka makan siang ketika penulis sedang berada di
rumahnya, namun mereka sangat baik karena mengajak penulis untuk ikut makan
bersama dengan mereka... Hal ini sering penulis lakukan dengan beberapa keluarga
seperti keluarga dariIbu Sumi, Ibu Ina, dan Ibu Prihatin.
Keesokan harinya, penulis memilih untuk datang kerumah para keluarga kuli
bangunan tersebut. Pada kesempatan ini penulis lebih banyak mewawancarai para
istri dan anak dari kuli kasar bangunan tersebut. Mereka cukup ramah kepada penulis
dan bertanya tentang keperluan penulis, mereka merasa senang dengan kedatangan
penulis karena penulis dianggap sebagai teman mereka untuk mengobrol dalam
sambil melakukan kegiatan rumahan.
Di hari berikutnya, penulis datang dengan berjalan kaki di karenakan sepeda
motor penulis sering di pakai untuk keperluan orangtua penulis sendiri. Penulis
melakukan hal ini agar dalam pengumpulan data penulis tidak sering mondar-mandir
dari riumah penulis ke rumah informan. Bagi penulis hal itu sangat menggangu,
apalagi ketika sedang melakukan sesi wawancara. Maka dari itu penulis memutuskan
untuk berjalan kaki agar tidak terjadi hal-hal yang dapat mengganggu penulis dalam
pencarian data lapangan.
Universitas Sumatera Utara
BAB II
DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN
2. 1 Letak Kabupaten Labuhan Batu
Kabupaten Labuhan Batu dengan Ibukota Rantau Prapat merupakan salah
satu kabupaten yang berada pada kawasan pantai timur Provinsi Sumatera Utara
yang terletak pada koordinat 1°41’- 2°44’ Lintang Utara dan 99°33’ - 100°22’ Bujur
Timur dengan ketinggian 0 - 700 meter diatas permukaan laut.
Kabupaten Labuhan Batu mempunyai kedudukan yang cukup strategis yaitu
berada pada jalur lintas timur Sumatera dan berada pada persimpangan menuju
Propinsi Sumatera Barat dan Riau, yang menghubungkan pusat-pusat perkembangan
wilayah di Sumatera dan Jawa serta mempunyai akses yang memadai ke luar negeri
karena berbatasan langsung dengan Selat Malaka. Kawasan Kabupaten Labuhanbatu
terdiri dari kawasan perkotaan, kawasan, kawasan pesisir/pantai dan kawasan
perbatasan/pedalaman.
Gambar 1. Peta Kabupaten Labuhanbatu
Sumber: http://bappeda. labuhanbatukab. go. id
Universitas Sumatera Utara
Tabel 1. Batas Wilayah Kabupaten Labuhanbatu
LUAS 256. 138 HA atau 2. 561,38 KM²
BATAS-BATAS:
Ut
ara
KabupatenLabuhanBatu Utara &SelatMalaka
Ti
mur
Provinsi Riau
Se
latan
KabupatenLabuhanBatu Selatan &Kabupaten Padang Lawas
Utara
Ba
rat
KabupatenLabuhanBatu Utara
Sumber: http://bappeda. labuhanbatukab. go. Id
2.2 Kependudukan
2. 2. 1 Komposisi Penduduk Menurut Umur dan Jenis Kelamin
Komposisi penduduk menurut umur dan jenis kelamin dapat digolongkan
secara garis besar menjadi tiga kategori, Usia muda/ belum produktif yaitu usia 0-
14 tahun, Usia remaja dan dewasa/ produktif yaitu usia 15-54 tahun, Usia tua/ tidak
produktif yaitu usia 55 tahun keatas. Jumlah penduduk kabupaten labuhanbatu
menurut umur dan jenis kelamin dari data monografi tahun 2014 tercatat 453. 630
jiwa.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2. Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Jenis
Kelamin di Kabupaten Labuhanbatu
Tahun 2014
Kelompok
Umur / Age Group
Penduduk / Population (Orang)
Laki-
laki / Male
Pere
mpuan /
Female
Ju
mlah /
Total
0 – 4 27. 890 27.
463
55.
353
5 – 9 26. 143 25.
041
51.
184
10 – 14 24. 137 23.
067
47.
204
15 – 19 23. 360 22.
307
45.
667
20 – 24 20. 678 19.
895
40.
573
25 – 29 19. 584 19.
002
38.
586
30 – 34 17. 855 17.
560
35.
415
35 – 39 15. 717 15.
496
31.
213
40 – 44 13. 622 13.
258
26.
880
45 – 49 11. 688 11.
825
23.
513
50 – 54 9. 832 9. 847 19.
679
Universitas Sumatera Utara
55 – 59 7. 635 7. 286 14.
921
60 – 64 4. 785 4. 821 9.
606
65 – 69 2. 632 3. 009 5.
641
70 – 74 1. 750 2. 312 4.
062
75 + 1. 802 2. 331 4.
133
Labuhanb
atu 229. 110
224.
520
453
. 630
Sumber: http://labuhanbatukab. bps. go. id.
Dari keterangan tabel diatas dapat dijelaskan bahwa penduduk kabupaten
labuhanbatu sebagian besar merupakan golongan usia remaja dan dewasa (usia
produktif), yaitu sebanyak 261. 526 jiwa, bila dibandingkan dengan usia muda yaitu
153. 741 jiwa dan golongan usia tua (usia non produktif), yaitu 38. 363 jiwa.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 3. Banyaknya Penduduk 15 Tahun ke Atas yang
BekerjaMenurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin
Tahun 2013
Kelompok
Umur / Age
Group
Penduduk / Population (Orang)
Laki-
laki / Male
Pere
mpuan /
Female
Ju
mlah /
Total
15 – 19 14. 416 1. 818
16.
234
20 – 24 12. 790 8. 312
21.
102
25 – 29 18. 459 6. 250
24.
709
30 – 34 16. 449
10.
839
27.
288
35 – 39 14. 507 6. 935
21.
442
40 – 44 13. 254 7. 220
20.
474
45 – 49 8. 714 5. 066
13.
780
50 – 54 10. 084 5. 162
15.
246
55 – 59 3. 882 778 4.
Universitas Sumatera Utara
660
60 + 7. 297 1. 332
8.
629
Labuhanb
atu
119. 852
53.
712
173
. 564
Sumber: http://labuhanbatukab. bps. go. id.
2. 2. 2 Mata Pencaharian
Mata pencaharian merupakan sumber pendapatan bagi kehidupan manusia
dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup. Dalam memenuhi kebutuhan hidup
manusia memiliki pekerjaan sesuai dengan usia kemampuan yang dimiliki. Dengan
memiliki pekerjaan manusia akan memperoleh pendapatan yang dapat digunakan
memenuhi kebutuhan hidup.
Penduduk Kabupaten labuhanbatu mempunyai mata pencaharian yang sangat
beraneka ragam. Dalam hal itu sektor industri pengolahan masih merupakan
penyumbang terbesar dalam perekonoMn Labuhanbatu. Kontribusinya terhadap
PDRB pada tahun 2013 mencapai 43,79 persen. Sektor pertanian menjadi
penyumbang terbesar kedua dengan kontribusi sebesar 19,78 persen. Penyumbang
terbesar ketiga adalah sektor perdagangan, hotel dan restoran dengan kontribusi
sebesar 16,55 persen. Kemudian diikuti dengan sektor jasa-jasa sebesar 9,86 persen,
sektor pengangkutan dan komunikasi 4,21 persen, sektor bangunan 2,41 persen,
sektor pertambangan dan penggalian 1,64 persen, sektor keuangan, persewaan dan
jasa perusahaan 1,41 persen, serta sektor listrik, gas dan air bersih sebesar 0,36
Universitas Sumatera Utara
persen.
Tabel 5. Jenis pekerjaan di kelurahan Aek Paing.
N
O
JENIS
PEKERJAAN
JUMLAH/
JIWA
PERSE
NTASE
1
.
PETANI 213 12.21%
2
.
WIRASWASTA 1045 59.91%
3
.
PEGAWAI
NEGERI SIPIL
81 4.64%
4
.
ABRI 18 1.03%
5
.
POLISI 13 0.74%
6
.
BANGUNAN 225 12.90%
7
.
KEBUN 100 5.73%
8
.
ANGKUTAN 49 2.84%
Jumlah 1744 100%
Sumber: Kantor kelurahan Aek Paing.
Penduduk kelurahan Aek Paing memiliki mata pencarian yang beragam,
seperti yang di tunjukan tabel 5. di atas. Ada yang berprofesi sebagai PNS, TNI,
POLRI, pedagang, Angkutan dan Wiraswasta. Menurut data yang di peroleh,
mayoritas penduduk kelurahan Aek Paing berprofesi sebagai Wiraswasta (Buruh
Bangunan), dengan menyumbangkan angka mencapai kurang lebih 1225 jiwa.
2. 2. 3 Sistem Komunikasi dan Transportasi
Universitas Sumatera Utara
Komunikasi dan transportasi sangat penting bagi kemajuan dan lancarnya
kegiatan penduduk di suatu daerah. Dengan adanya komunikasi yang baik akan
mempermudah pekerjaan manusia dan mengetahui segala informasi yang ada. Sarana
komunikasi yang ada di Kabupaten ini khususnya di kota rantauprapat telah cukup
baik antara lain : telepon, televisi, radio, surat kabar, antena parabola, dan internet.
Sarana komunikasi yang ada didukung pula dengan tersedianya sarana transportasi
yang cukup memadai dan memiliki posisi yang menguntungkan bagi perekonomian,
hal ini dikarenakan kota Rantauprapat yang merupakan ibukota Kabupaten
labuhanbatu terletak tidak jauh dari pusat kota, sehingga sebagian besar jalannya
merupakan jalur kendaraan darat.
2. 3 Pendidikan
Pendidikan merupakan alat yang penting bagi kehidupan manusia dalam
mengembangkan dirinya baik secara afektif, kognitif maupun psikomotor.
Pendidikan diperlukan dalam tercapainya suatu bangsa yang maju di berbagai bidang
kehidupan. Dengan adanya pendidikan masyarakat dapat meningkatkan kualitas
hidupnya serta ikut serta dalam pembangunan, baik dari segi sosial, intelektual,
mental dan spritual yang nantinya berpengaruh pada kualitas pembangunan. Oleh
karena itu, kemajuan suatu bangsa ditentukan oleh pendidikan.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 6. Jumlah Fasilitas Pendidikan yang tersedia di Kabupaten
Labuhanbatu
Kecamata
n
JumlahSarana Pendidikan
Umum Agama
S
D
SLTP/
SMP
S
MA
S
MK
M
I
M
Ts
M
A
Bilah
Hulu
4
8
6 2 8 1
1
1
6
Pangkatan
2
8
4 1 1 - 4 1
Bilah
Barat
3
2
5 2 1 2 6 2
BilahHilir
3
0
7 2 - 4 9 4
Panai
Hulu
2
2
7 3 1 3 4 2
Panai
Tengah
3
4
6 2 - 6 4 2
PanaiHilir 3
1
8 1 1 8 8 4
Rantau
Selatan
2
2
5 3 8 5 4 2
Rantau
Utara
3
3
13 9 9 4 7 3
Universitas Sumatera Utara
Sumber: http://labuhanbatukab. bps. go. id.
Berdasarkan data dari badan pusat statistik Kabupaten labuhanbatu dapat
terlihat dari tabel diatas bahwa secara keseluruhan tingkat pendidikan di Kabupaten
labuhanbatu sangat beragam. Pada table tersebut, terlihat bahwa jenjang pendidikan
tertinggi yang di miliki kecamatan Rantau Utara adalah yang terbanyak, yaitu 13
sekolah untuk SMA/SLTA, 18 untuk SMP 27 sekolah. Namun hal ini tidak
menjamin pendidikan yang tinggi untuk anak keluarga kuli kasar bangunan yang ada
di kabupaten Labuhanbatu, kecamatan Rantau utara, khususnya kelurahan Aek
Paing. Di kelurahan Aek Paing, akses untuk kesekolah-sekolah ini tidak jauh dan
sarana yang ada pun tidak menghambat. Bahkan ada beberapa sekolah yang jaraknya
terbilang cukup dekat, yaitu sekitar 500 meter.
2. 4 Organisasi Sosial dan Sistem Kekerabatan
Masyarakat di Kabupaten labuhanbatu khususnya di Kecamatan rantau utara
termasuk masyarakat yang heterogen dengan latar belakang pendidikan, agama, mata
pencaharian yang berbeda-beda, namun dalam pola kehidupan sehari-hari
masyarakat begitu menjaga keselarasan hidup bersama dengan saling menghargai
dan menghormati satu dengan yang lain.
Sebagian besar masyarakat masih sangat melestarikan kebudayaan yang
masih melekat kuat, seperti gotong royong, kekeluargaan, dan acara-acara tradisi
yang dilakukan oleh warga masyarakat baik religius maupun tradisional. Pola
JUMLAH 2
80
61
2
5
2
9
3
3
5
7
2
6
Universitas Sumatera Utara
kehidupan yang bersifat kekeluargaan masih sangat terasa, hal ini dapat terjaga
karena masyarakat senantiasa menghargai satu sama lain. Selain itu apabila ada
tetangga yang memiliki hajatan pernikahan, penduduk di sekitar akan membantu
dengan sukarela. Seperti misalnya bapak-bapak bertugas mengatur perlengkapan dan
peralatan pernikahan, ibu-ibu bertugas mengatur konsumsi dan pemuda-pemudi akan
membantu dalam hal yang lainnya.
Semangat kerukunan dan kekeluargaan merupakan fondasi yang terus dijaga
dalam kehidupan bersama demi terciptanya keharmonisan dan keselarasan. Hal ini
kemudian diaplikasikan dalam bentuk organisasi masyarakat yang terus berjalan,
seperti perwiridan bapak-bapak pada malam-malam tertentu, serta pengajian ibu-ibu
pada sore hari yang dilaksanakan pada hari tertentu juga.
2. 4. 1 Bahasa
Kabupaten labuhanbatu terkhusus kota rantauprapat merupakan kota multi
etnis, yang dihuni oleh suku jawa, suku melayu, suku batak, suku mandailing, dan
suku tionghoa. Kemajemukan etnis menjadikan kota rantauprapat kaya akan
kebudayaan yang beragam. Bahasa yang digunakan oleh masyarakat kota
rantauprapat tergantung dari suku mana mereka dilahirkan dan lingkungan tempat
tinggal. Contohnya ketika tinggal di daerah yang mayoritasnya bersuku mandailing
maka bahasa yang dominan adalah bahasa mandailing. Namun tentu tidak semua
orang di daerah tersebut bias bahasa Mandailing dan sudah pasti menggunakan
bahasa nasional kita yaitu bahasa Indonesia. Hal serupa juga terjadi di daerah dengan
mayoritas suku lainnya. Namun juga tidak sedikit masyarakat yang bias berbahasa
diluar dari sukunya dan memilih berkomunikasi dengan bahasa tersebut. Untuk
Universitas Sumatera Utara
kawasan rantau utara sendiri misalnya yang secara jelas sistem kekeluargaan banyak
yang bersuku mandailing, maka bisa kita dengar sering kali berkomunikasi dengan
bahasa mandailing yang digunakan.
2. 5 Religi
Agama merupakan sesuatu yang pokok dalam kehidupan masyarakat, dimana
agama memberi ajaran mengatur mengenai tata cara beribadah dan tata kelakuan
yang dalam kehidupan bersama. Penduduk di Kabupaten labuhanbatu khususnya
kecamatan rantau utara memeluk agama yang berbeda-beda. Dari data sensus
penduduk tahun 2010 dapat dijelaskan bahwa mayoritas penduduk di Kabupaten
labuhanbatu beragama Islam sebanyak 344. 244 orang, sedangkan Kristen sebanyak
57. 921 orang, Katolik 48. 11 orang, Hindu sebanyak 53 orang, Budha sebanyak 6.
637 orang, Khong Hu Chu sebanyak 9 orang, dan terdapat 31 orang menganut
kepercayaan lainnya. Sebagian besar penduduk memeluk agama dan menjalankan
kaidah-kaidah sesuai dengan ajaran agama masing-masing.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 7. Jumlah Persentase Agama Yang di Anut Penduduk
Labuhanbatu
N
o
AGAMA JUMLAH/
ORANG
PERSE
NTASE
1
.
ISLAM 334.244 74.49%
2
.
KRISTEN 57.921 12.96%
3
.
KATOLIK 48.011 10.74%
4
.
HINDU 53 0.01%
5
.
BUDHA 6.637 1.49%
6
.
KHONG HU
CHU
9 0.002%
7
.
KEPERCAYAA
N LAIN
31 0.006%
JUMLAH TOTAL 446.906 100%
Sumber: http://labuhanbatukab. bps. go. id
2. 5. 1 Kesenian
Pada Era sebelum tahun 1960 sebenarnya telah lahir kesenian dari
masyarakat daerah Labuhanbatu, yaitu kesenian tertua yang di namakan “Dzikir”
yang diambil dari peninggalan syeik dan penyair-penyair yang pernah tinggal di
Labuhanbatu. Dzikir ini sendiri begitu membudaya, karena di setiap acara syukuran
yang dilakukan penduduk, sering di tampilkan kesenian Dzikir ini. Dari kesenian ini
pula melahirkan pemikiran-pemikiran dari pendiri Kesenian Sinandong Bilah, untuk
menciptakan suatu karya seni yang menyerupai kesenian Dzikir tersebut. Dengan
menyimak dan mendengarkan nada-nada yang di lantunkan pada kesenian Dzikir
Universitas Sumatera Utara
tersebut, maka terciptalah nada-nada yang di ciptakan secara tanpa sengaja, yang
menjadi cikal bakal terciptanya Lagu Sinandong Bilah.
Peralatan Kesenian terdiri dari Gendang, piul (biola), Bangsi (sejenis suling
kecil), Gambang (sejenis gamelan yang terbuat dari kayu nibung), losung dagang
(sejenis lumpang yang terbuat dari kayu aloban) gong kecil, kicir (tamborin yang
terbuat dari kelapa kecil berbentuk bulat ).
Kesenian sinandong bilah ini adalah penyampaian syair atau pantun yang
digubah dengan menggunakan irama sendu atau mendayu dengan diiringi gesekan
biola, yang syairnya berisi pantun nasehat, pengalaman hidup, tuntunan bahkan kisah
yang menyelimuti terjadinya sinandong bilah tersebut.
Dalam masa perkembangan kesenian di Labuhanbatu, telah terbentuk tiga
kesenian di Labuhan batu yaitu :
1. Kesenian Dzikir
2. Kesenian Sinandong Bilah
3. Kesenian Bordah
Pada umumnya kesenian ini diadakan pada acara perkawinan, khitanan anak
atau pada acara peringatan hari besar termasuk Hari Kemerdekaan dan hari besar
lainnya.
Universitas Sumatera Utara
2.6 Kegiatan Anak Remaja di Kelurahan Aek Paing
Di kelurahan Aek paing, ada beberapa kegiatan yang dilakukan para remajanya
di sana. Dengan jumlah remaja yang cukup banyak, mnjadikan daerah ini tetap
terlihat ramai ketika sore ataupun malam hari. Beberapa kegiatan remaja i kelurahan
Aek paing adalah sebagai berikut :
1. Remaja Mesjid
Remaja mesjid di kelurahan ini di isi oleh paling banyak anak-anak
berumur sekitar 15-19 tahun, sedangkan sisanya adalah remaja berumur
20an keatas. Banyak hal yang dilakukan remaja Aek Paing dalam
kelompok remaja ini, seperti melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan
seperti mesjid peringatan Isra’ dan Mi’raj, peringatan Maulid Nabi, dan
beberapa kegiatan pemacu kreatifitas wirausaha seperti menanam
kangkung untuk di jual, membuka tempat percetakan, dan beberapa
kegiatan keolahragaan seperti futsal dan bola kaki.
2. Game Online
Beberapa remaja yang tidak tergabung dengan remaja mesjid di
kelurahan Aek Paing ini biasanya memilih menghabiskan waktu luang
baik sore maupun malam hari dengan bermain game online di warnet
yang berada di lingkungan Aek Paing Bawah I. Kegiatan ini di isi oleh
remaja-remaja yang rata-rata duduk di mangku SMP sampai SMA.
3. Judi dan mabuk-mabukan
Di daerah Kelurahan Aek Paing ini, juga terkenal dengan anak
mudanya yang suka berjudi dan mabuk-mabukan. Biasanya kegiatan
semacam ini dilakukan oleh pemuda-pemuda yang telah berumur 20
Universitas Sumatera Utara
tahun ke atas dan ada juga yang berumur 20 tahun kebawah namun
sudah tidak bersekolah lagi (putus sekolah) dan telah bekerja. Kegiatan
ini tidak dilakukan setiap hari, melainkan di malam-malam hari yang
keesokan harinya libur kerja atau tidak masuk kerja.
2.7 Sekilas Kehidupan Buruh Bangunan di Kelurahan Aek Paing
Di Kecamatan Rantau Utara ini, khususnya di kelurahan Aek Paing sendiri,
pekerja buruh bangunan cukup banyak. Persebarannya mulai dari; Lingkungan Aek
Paing Bawah I, Aek Paing Bawah II, Aek Paing Tengah, Aek Paing Atas, hingga
Dusun Wonosari. Penulis memfokuskan penelitian di lingkungan Aek Paing Bawah I
sebab lebih mudah di akses dan juga lebih banyak jumlah keluarga buruh kasar
bangunannya di bandingkan wilayah lingkungan lain. Dari kelima lokasi persebaran
pekerja buruh bangunan tersebut, di dapati bahwa laki-laki yang telah berkeluarga
mendominasi pekerjaan sebagai pekerja buruh bangunan.
Jenis kegiatan para pekerja buruh bangunan di lokasi penelitian ialah; tukang,
pemborong dan kernet (pemula). Tukang adalah seorang buruh bangunan yang
memiliki tugas memasang batu, memplaster, dan menentukan sudut bangunan
dengan perhitungan pribadinya. Pemborong adalah seorang yang bisa saja berkerja
sebagai tukang dan bisa saja tidak yang memiliki wewenang penuh atas sebuah
proyek bangunan, karena iya merpakan tingkat pertama dari pihak pembangun.
Biasanya pemborong menggunakan uang pribadinya terlebih dahulu untuk
membeli perlengkapan-perlengkapan bangunan seperti semen, pasir dan batu serta
alat-alat bangunan lainnya. Setelah itu baru sang pemilik bangunan akan memberikan
Universitas Sumatera Utara
biaya pembangunan kepada si pemborong setelah bangunan berdiri atau setidaknya
ranpung beberapa persen, sesuai perjanjian pemilik dengan pemborong. Kernet
(pemula) adalah tingkatan yang paling bawah dari struktur kuli bangunan. Kernet
biasanya bekerja sebagai pembantu tukang atau asisten tukang dalam membangun
sebuah bangunan seperti rumah, toko, sekolah dan sebagainya. Tugas-tugas seorang
kernet meliputi mengangkat batu, membuat adonan semen, dan lain sebagainya,
tergantung pada keperluan yang di butuhkan tukang.
Di wilayah kelurahan Aek Paing, kebanyakan kernet adalah pria yang masih
lajang atau belum menikah. Rata-rata pekerja kuli bangunan yang berposisi sebagai
kernet berumur sekitar 17-25 tahun. Ada juga beberapa kernet yang berumur di atas
30 tahun, dan beberapa yang sudah memiliki keluarga atau telah menikah. Ketika
seorang kernet sudah berada di kisaran umur 25 tahun atau sudah bekerja sebagai
kernet lebih dari 5 tahun, biasanya seorang ernet sudah ahli dan berpindah posisi
sebagai tukang.
Mengenai gaji atau ongkos pembayaran, rata-rata seorang kuli bangunan yang
berposisi sebagai tukang mendapatkan bayaran 80-100 ribu perhari, tergantung pada
keahliannya dan kecakapannya dalam bekerja. Sedangkan kuli bangunan yang
berposisi sebagai kernet mendapatkan bayaran sebesar 50-60 ribu perhari, tergantung
juga kepada kecakapan dan kelihaiannya dalam bekerja. Lain halnya dengan
pemborong. Biasanya dalam kehidupan kuli bangunan, pemborong adalah orang
yang paling mendapatkan bayaran paling besar. Karena atas kematangan
perhitunganya mengenai biaya dan waktu pengerjaan, pemborong mendapatkan sisa
Universitas Sumatera Utara
uang yang di berikan pemilik bangunan kepada dirinya untuk biaya peralatan dan
bahan serta biaya pengerjaan.
Pekerja buruh bangunan di Kelurahan Aek Paing ini bekerja di tiga lokasi
yaitu, daerah kota Rantauprapat, perumnas Kampung Baru, dan daerah Kota Pinang
(Biasanya para pekerja buruh bangunan melakukan manda atau merantauuntuk
beberapa waktu), dan di beberapa daerah lainnya di sekitar kota Rantauprapat.
Universitas Sumatera Utara
BAB III
DESKRIPSI POLA PENGASUHAN ORANGTUA PADA KELUARGA
KULI BANGUNAN MASYARAKAT JAWA
3. 1 Pola Pengasuhan Orangtua Dalam Keluarga Jawa
Pola pengasuhan merupakan proses memanusiakan atau mendewasakan
manusia secara manusiawi yang harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi serta
perkembangan jaman. Berdasarkan pengertian dirumuskan bahwa pola pengasuhan
adalah suatu cara, kebiasaan dan perilaku yang standar dalam proses pengasuhan
terhadap anak dalam suatu lingkungan keluarga, pola asuh orangtua merupakan
interaksi antara anak dan orangtua selama mengadakan kegiatan pengasuhan.
Bagi setiap orang Jawa, keluarga yang terdiri dari orang tua, anak-anak, dan
biasanya suami atau istri merupakan orang-orang terpenting di dunia ini. Pembagian
peran dalam sebuah keluarga meliputi keberadaan ayah menjadi seseorang yang
bekerja untuk mencari sumber penghidupan, sedangkan pola pengasuhan akan lebih
banyak dijalankan oleh seorang ibu. Untuk itulah posisi ibu memiliki andil besar
dalam proses pembentukan karakter anak, dan pemberian makna di dalam keluarga.
Seorang ibu menjadi sosok pusat bagi sebuah keluarga, dalam segi sosial dan
ekonomi, rumah tangga.Hal ini menjadikan kedekatan emosional antara ayah dan
anak menjadi kurang di karenakan waktu berkomunikasi antara ayah dan anak tidak
begitu banyak lantaran ayah bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup.Dalam
keluarga Jawa biasanya si anak memiliki kedekatan emosional yang lebih tinggi
terhadap ibu di bandingkan dengan ayah.Ibu menjadi satu-satunya sosok pelindung
dari gangguan dan hal-hal asing bagi si anak.Sosialisasi mengenai nilai-nilai
Universitas Sumatera Utara
kehidupan juga di dapat dari si ibu di bandingkan dengan ayah. Ayah hanya akan
mengiyakan perkataan si ibu saat ibu menasehati si anak ketika sedang dalam waktu
berkumpul dirumah.
3.2 Pola Asuh Keluarga kuli Kasar Bangunan.
Dalam keluarga kuli kasar bangunan, pembagian peran hampir sama dengan
penjelasan mengenai pembagian peran di keluarga Jawa di atas. Yaitu keberadaan
ayah menjadi seseorang yang bekerja untuk mencari sumber penghidupan,
sedangkan pola pengasuhan akan lebih banyak dijalankan oleh seorang ibu. Namun
tidak di semua keluarga buru kasar bangunan hanya ayah saja yang bekerja mencari
nafkah dan kebutuhan hidup, namun di beberapa keluarga, ada juga si ibu yang
bekerja membantu meringankan beban kebutuhan keluarga. Dalam hal ini pola asuh
dalam keluarga sangat di pengaruhi dengan berkurangnya peran ibu sebagai aktor
utama dalam pengasuhan anak. Dalam kasus demikian, kebanyakan saat si ibu
bekerja, anak di titipkan pada keluarga terdekat (biasanya nenek) atau di jaga oleh
sang kakak/abang. Dalam keluarga kuli kasar, tingkat pendidikan juga
mempengaruhi pola pemikiran orang tua dalam mendidik anak. Dalam penelitian ini,
akan dapat terlihat perbedaan pemikiran orang tua dengan tingkat pendidikan yang
lebih rendah. Para orangtua yang mengenyam pendidikan sampai SMA, sudah mulai
memiliki pandangan bahwa pendidikan adalah sesuatui hal yang sangat penting,
meskipun pada kasus ini pendidikan terhadap anak belum sepenuhnya memjadi
prioritas utama bagi keluarga. Seperti apa yang di ungkapkan oleh bapak Riadi atau
Juragan panggilan akrabnya :
Universitas Sumatera Utara
“Sebenarnya, pendidikan menurut saya adalah sesuatu hal yang
sangat penting. Nilai itu juga yang telah saya tanamkan kepada
keluarga kami. Namun saya juga menyadarkan kepada anak-anak
saya bahwa keluarga kami bukanlah keluarga dengan keadaan
ekonomi yang berlebih. Saya mengatakan kepada anak-anak jika
ingin berhasil di dunia pendidikan, belajar lah yang rajin, Insyaallah
bapak dan ibu akan berusaha mencukupi kebutuhan kalian”..(hasil
wawancara pada Minggu 16 April 2017).
Berbeda dengan pandangan orangtua yang mengenyam pendidikan hanya
sampai tingkat SD atau SMP. Pandangan para orangtua pada tingkat pendidikan
yang rendah menganggap bahwa sekolah itu cukup sampai bisa membaca, menulis
danh berhitung, seperti apa yang di sampaikan oleh bapak Gimang :
“Pendidikan kami tidak perlu tinggi-tinggi, kalau mampu untuk
bekerja, langsung kami hadapkan untuk bekerja. Yang penting bisa
mencari uang, apalagi kami seorang kuli kalau bukan anak-anak kami
siapa lagi yang akan membantu untuk member uang kepada mereka
kecuali mereka sendiri. .(hasil wawancara pada Minggu 16 April
2017).
Pandangan tentang pendidikan yang tidak perlu tinggi-tinggi dan kurang
mementingkan pendidikan itulah yang disampaikan oleh bapa Gimang.
Sementara menurut ibu Prihatin :
“Anak-anak cukup sekolah sampai bisa baca tulis karena pada
akhirnya kakankan akan dihadapkan pada lapangan pekerjaan.Selain
itu anak-anak harus diajarkan pendidikan bertahan hidup agar
mereka dapat cukup makan memenuhi kebutuhannya, dan yang
terpenting anak-anak perempuan harus belajar dalam lingkungan
rumah tangga seperti memasak. (wawancara pada Minggu tanggal 16
April 2017 )
Ibu Prihatin juga mengatakan hal yang sama, beliau kurang mementingkan
sekolah anak-anak meraka, anak-anak cukup bisa membaca dan menulis saja.
Universitas Sumatera Utara
3.2.1 Pola Asuh dalam Keluarga Kuli Kasar yang Kedua Orangtuanya Bekerja
(Profil Informan).
Dalam keluarga, kedaan ekonomi yang kurang baik memaksa kedua orangtua
harus sama-sama bekerja membanting tulang demi mencukupi kehidupan
keluarga.Penelitian yang dilakukan berikut ini melihat bahwa hal ini berdampak
sangat besar pada anak-anak. Dalam hal ini si anak berpikir bahwa teman-temannya
akan membicarakan hal itu di sekolah maupun diluar sekolah atau menyebabkan
anak menjadi sering untuk menyendiri. Dengan kesedihan, kemarahan,
ketidaknyamanan, dan kecemburuan yang dirasakan akan sangat mengganggu
konsentrasi belajar anak.
Bagi sebagian anak di sini, masalah yang ditimbulkan cenderung ke bathin
dan pikiran. Bathin yang dipenuhi dengan tekanan,serta pikiran-pikiran negatif
selalu muncul yang akhirnya tidak dapat mereka kendalikan. Secara fisik tidak
begitu terlihat, namun sikis dan kepribadiannya sangatlah terganggu dan berantakan.
Yang menjadi ketakutan bagi beberapa orangtua adalah secara perlahan, sebagai
pelarian yang buruk anak-anak akan terjerumus dalam pergaulan bebas, seperti : seks
bebas, narkoba, mabuk-mabukan, memakai obat-obatan terlarang, atau hal-hal
negatif lainnya yang dapat merugikan dirinya sendiri maupun orang lain.
Universitas Sumatera Utara
Berikut hasil wawancara dengan istri dari seorang kuli kasar bangunan yang
juga bekerja paruh waktu sebagai pembantu rumah tangga (PRT).
1. Keluarga Ibu Sumi (37 Tahun)
Ibu Sumi yang sekarang berumur 37 tahun biasa menjalani hari-harinya
dengan bekerja sebagai pembantu rumah tangga (PRT) mulai dari pukul 07.30 wib
hingga pukul 02.00 wib.Setiap hari ibu Sumi menjalankan aktifitas ini kecuali hari
minggu.Suaminya bernama bapak Ponidi bekerja sebagai buruh bangunan yang
kurang lebih sudah 20 tahun. Setiap hari kecuali hari minggu, sang suami berangkat
kerja dari rumah pukul 07.00 wib sampai ia kembali kerumah pada pukul 17.30 wib
atau paling sering pada pukul 18.00 wib. Ibu Sumi memiliki 5 anak, 2 laki-laki dan 3
perempuan.Anak yang pertama seorang perempuan bernama keke.Keke telah
menikah dan tinggal bersama suaminya yang jaraknya tidak terlalu jauh dengan
rumah orangtuanya.Anak kedua bernama Topan.Topan adalah seorang mahasiswa di
salah satu Universitas Negeri di Medan.Anak ketiga bernama Frendy.Frendy adalah
anak laki-laki kedua dari keluarga ibu Sumi dan bapak Ponidi yang saat ini duduk di
bangku kelas 3 sekolah menengah atas (SMA).Anak ke-empat dan kelima masing-
masing bernama Puspa dan bernama Dila.Puspa adalah seorang siswa kelas VIII
disekolah SMP N3 Padang Matinggi Rantau Utara.Dan Dila adalah anak perempuan
terakhir ibu Sumi yang masih berusia 4 tahun.
Setiap hari sebelum berangkat bekerja ibu Sumi terlebih dahulu melakukan
kewajibannya sebagai seorang istri dan seorang ibu.Pada pukul kira-kira 06.00 wib
ibu Sumi telah selesai masak dan menyiapkan segala keperluan kerja
suaminya.Anak-anak ibu Sumi sudah biasa mempersiapkan dirinya dan peralatannya
sendiri sebelum berangkat kesekolah. Berikut perkataan ibu Sumi mengenai kegiatan
Universitas Sumatera Utara
pagi hari dirumah mereka :
“sudah dari dulu anak-anak selalu saya biasakan menyiapkan
dirinya sendiri sebelum berangkat ke sekolah. Maklum lah, karena
saya juga tidak memiliki banyak waktu mengurus mereka lantaran
harus sudah berangkat kerja pagi-pagi.
Ibu Sumi sendiri harus berangkat pagi-pagi karena beliau menempuh jarak 5
kilometer setiap harinya dengan mengayuh sebuah sepeda tua dengan cat antara biru
dan merah yang keduanya sudah memudar.Setiap pagi gambaran seperti itu lah terus
beliau ceritakan kepada saya. Mengenai uang jajan/saku, belau juga memberikan
kepada setiap anaknya dengan nilai rupiah yang berbeda-beda pada masing-masing
anak. Anak yang sedang duduk di kelas 3 SMA waktu itu di beri uang jajan/saku
yang sama debgan anak perempuannya yang duduk di kelas VIII SMP senilai Rp,
5000/hari. Sedangkan anak perempuannya yang paling kecil, setiap harinya ibu Sumi
memberikan uang senilai Rp, 2000 setelah sampai kerumah anak perempuannya
yang paling besar yang telah menikah. Ibu Sumi menitipkan anak perempuannya
yang paling kecil yang bernama Dila itu kepada kakaknya setiap hari. Sambil
berangkat kerja dengan mengayuh sepeda tua itu Ibu Sumi menggendong Dila
sampai kerumah kakak tertuanya dan menitipkannya di sana. Ibu Sumi akan
menjemput kembali anaknya itu setelah iya selesai bekerja dan menyinggahkan
kerumah anak tertuanya iitu untuk menjemput Dila sebelum kembali kerumah.
Kemudian penulis juga melihat dan mengamati kegiatan ibu Sumi dalam
keseharian mendidik dan mengasuh anak, dari pengamatan penulis mengenai beliau,
Ibu Sumi merupakan wanita yang giat dalam bekerja. Berikut merupakan tabel
kegiatan beliau dalam sehari-hari membagi kegiatan dirumah.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 7. kegiatan sehari-hari jika ibu Sumi Bekerja
Sumber : Dokumen pribadi penulis
Wak
tu (Jam)
Kegiatan
05.
00 wib
-Bangun tidur
-Sholat subuh
-Memasak untuk sarapan sekaligus untuk makan siang
06.
00 wib
- Membangunkan anak dan suami
- mempersiapkan anak untuk berangkat ke sekolah
07.
00 wib
- Mengantarkan anak ke rumah anak tertuanya sambil
berangkat kerja
14.
00-16.00
wib
- Pulang dari bekerja
- menjemput Dila dari rumah anak tertuanya dan kembali
kerumah
-membuat kacang goreng (kacang tojen) untuk di titipkan
di warung bakso di depan rumah.
16.
00-17. 00
wib
- Sholat ashar
- membersihkan rumah (mencuci,menyapu)
- mengawasi anak bermain disekitar rumah
17.
00 wib
- menonton tv bersama anak
- bercerita dengan tetangga sekitar rumah
18.
30 wib
- Sholat maghrib
-makan malam
19.
00 wib
- berkumpul dengan keluarga
20.
00-21. 00
wib
- Menonton tv bersama keluarga
- tidur/ istirahat
Universitas Sumatera Utara
Setiap harinya, selepas pulang bekerja, ibu Sumi membuat kacang goreng
untuk di titipkan di warung bakso di depan rumah milik tetangganya. Beliau tampak
begitu mengerti akan kondisi ekonomi keluarganya dan sadar akan gaji suami yang
tidak cukup di pakai untuk memenuhi semua kebutuhan hidup keluarga.
Berikut pernyataan ibu Sumi mengenai keadaan ekonomi keluarga :
“setiap hari saya seperti ini, membuat kacang goreng
untuk di jual sebagai tambahan untuk uang jajan anak.
Seberapalah gaji seorang buruh kasar bangunan, kalau bekerja
terus-terusan saja sudah syukur Alhamdulillah.Kadang-kadang
ada masa dimana para tukang bangunan disini sangat sulit
mendapatkan pekerjaan.Hal itu lah yang membuat saya berfikir
bagaiman untuk terus bisa menghasilkan uang.Belum lagi kalau
anak di Medan minta kiriman uang makan, buku dan sebagainya.
Keadaan dimana saat susah-susahnya tukang bangunan dapat
kerja, dan disitu saat anak sekolah banyak biaya yang harus di
bayar, di saat itu saya dan suami sering bertengkar. Belum lagi si
kecil ini, jajannya banyak, kalau tidak di turuti pasti nagis dan
gak mau diam sampai saya penuhi kemauannya.Yah, begitulah,
bagi kami ekonomi memang sangat penting”.
Disini terlihat bahwa bagi keluarga ibu Sumi, uang adalah sesuatu yang
sangat penting. Sesuatu yang harus terus difikirkan bagaimana cara menghasilkannya
lagi dan lagi. Dengan keadaan ekonomi seperti ini memaksa keluarga Ibu Sumi,
terutama ibu Sumi sendiri beserta suami terkadang melupakan tugasnya yang lain
yaitu mengontrol dan mendidik anak. Menurut mereka, bisa memenuhi kebutuhan
anak-anaknya saja rasanya sudah sangat lega dan bahagia.
Berikut pernyataan ibu Sumi :
Universitas Sumatera Utara
“Kami jadi sering lupa untuk mengontrol anak-anak kami,
apalagi yang sedang bersekolah, karena sibuk cari uang dan saat
malam telah kelelahan, kami tidak sempat dan tidak pernah
memeriksa nilai, PR, atau bahkan sekedar bercerita menyakan
bagaimana tadi di sekolah ?.hal itu hampir tidak pernah kami
lakukan sekarang, saya rasa sudah ada 5 Tahun lebih saya tidak
pernah mengecek anak saya yang sedang berswekolah ketika malam
hari dirumah. Dan si anak pun hanya melapor kalau ada
pembayaran atau meminta uang untuk biaya yang tadi di
informasikan di sekolah.
Mengenai kontrol anak, ibu Sumi mengaku tidak terlalu keras dan ketat.Dari
hasil pengamatan penulis, ibu Sumi dan suami cenderung membiarkan bebas dalam
hal-hal tertentu dan memberi batasan atau larangan yang lemah.Dalam pengasuhan,
ibu Sumi sendiri masih sangat di pengaruhi oleh kebudayaan Jawa yang sebenarnya
tidak begitu kental pada masyarakat di kelurahan Aek Paing ini.Seperti untuk
melarang anaknya yang paling kecil, ibu Sumi selalu melarang anaknya itu dengan
mentakut-takuti anaknya dengan sesuatu di luar rasional agar anaknya hanya takut
kemudian diam dan tidak melakukan hal yang di larangnya.
Seperti ketika malam hari si anak sedang merengek minta di belikan sesuatu,
sedangkan diluar sedang hujan, ibu Sumi cukup berkata kepada anaknya itu “jangan
nangis, di luar ada jin penunggu hujan itu, nanti kalau dia dengar suara kita, kita
akan di bawanya”.Cukup dengan perkataan seperti itudan si anak langsung diam dan
berhenti menangis.
Mengenai pendidikan, ibu Sumi senbenarnya tidak memaksakan kehendak
mereka kepada anak-anaknya.Hanya saja keputusan yang di ambil oleh keluarga ibu
Sumi di dasari oleh keterbatasan ekonomi dan berdasarkan pengamatan penulis, juga
atas dasar adanya provokasi dari jiran tetangga.Sebenarnya, provokasi dari jiran
tetangga ini bukan berarti bentuk ketidaksukaan atau iri, namun sebagai bentuk
Universitas Sumatera Utara
kepedulian terhadap sesama jiran tetangga utnuk mempertimbangkan tingkat
pendidikan anak dari contoh yang sudah-sudah.
2. Keluarga Ibu Prihatin (33 Tahun)
Informan kedua bernama ibu Prihatin.Ibu Prihatin yang sekarang berumur 33
tahun biasa menjalani hari-harinya dengan mengasuh anak dan membersihkan rumah
serta membuka usaha parut kelapa dirumah.Suaminya bernama bapak Pawiro
bekerja sebagai buruh bangunan yang kurang lebih sudah 17 tahun. Setiap hari
kecuali hari minggu, sang suami berangkat kerja dari rumah pukul 07.00 wib sampai
ia kembali kerumah pada pukul 17.30 wib atau paling sering pada pukul 18.00 wib.
Ibu Prihatin memiliki 6 anak, 3 laki-laki dan 3 perempuan.Anak yang
pertama seorang laki-laki bernama royan. Royan telah bekerja dan dalam waktu
dekat akan menikah. Royan bekerja sebagai penjual susu kedelai keliling. Anak
kedua bernama Lulu.Lulu adalah seorang siswa kelas 2 SMA/sederajat di sekolah
MAS atau Madrasah Aliyah Swasta.Anak ketiga bernama Nur.Nur adalah anak
perempuan kedua dari keluarga ibu Prihatin dan bapak Pawiroi yang saat ini duduk
di bangku kelas 1 sekolah menengah atas (SMA). Anak ke-empat dan kelima
masing-masing bernama Irul dan bernama Roman.Irul dan Roman adalah seorang
siswa kelas III disekolah SDN 112146 Janji, Bilah Barat.Dan tila adalah anak
perempuan terakhir ibu Prihatin yang masih berusia 5 tahun.
Setiap hari sebelum sang suami berangkat bekerja ibu Prihatin seperti biasa
melakukan kewajibannya sebagai seorang istri dan seorang ibu. Pada pukul kira-kira
06.00 wib ibu Prihatin telah selesai masak dan menyiapkan segala keperluan kerja
suaminya.Anak-anak ibu Prihatin sudah biasa mempersiapkan dirinya dan
peralatannya sendiri sebelum berangkat kesekolah. Berikut perkataan ibu Prihatin
Universitas Sumatera Utara
mengenai kegiatan pagi hari dirumah mereka :
“sudah dari dulu anak-anak selalu saya biasakan menyiapkan
dirinya sendiri sebelum berangkat ke sekolah. Maklum lah,
karena saya juga tidak memiliki banyak waktu mengurus
mereka lantaran harus sudah menyiapkan kebutuhan suami
berangkat kerja pagi-pagi.Terkecuali si Irul, dia memang
harus saya siapkan.
Ibu Prihatin sendiri mengerjakan kewajiban paginya dengan selalu
menggendong anak terakhirnya itu sambil menyiapkan bekal untuk suami dan juga
menyiapkan Irul untuk pergi kesekolah.Setiap pagi gambaran seperti itu lah terus
beliau ceritakan kepada saya. Mengenai uang jajan/saku, belau juga memberikan
kepada setiap anaknya dengan nilai rupiah yang berbeda-beda pada masing-masing
anak. Anak yang sedang duduk di kelas 2 SMA itu di beri uang jajan/saku yang sama
dengan anak perempuannya yang duduk di kelas 1 SMA senilai Rp, 5000/hari.
Sedangkan kedua anak laki-lakinya yang masih duduk di Sekolah Dasar itu, setiap
harinya ibu Prihatin memberikan uang senilai Rp, 2000.
Setelah semua anak-anaknya berangkat sekolah, kini giliran ibu Prihatin yang
beraksi membereskan rumah dan seluruh isinya. Anak perempuan yang paling kecil
ia letakkan bersama dengan beberapa mainan di teras rumah.
Kemudian penulis juga melihat dan mengamati kegiatan ibu Prihatin dalam
keseharian mendidik dan mengasuh anak, dari pengamatan penulis mengenai beliau,
Ibu Prihatin merupakan wanita yang giat dalam bekerja. Berikut merupakan tabel
kegiatan beliau dalam sehari-hari membagi kegiatan dirumah
Setiap harinya, selepas melakukan kewajiban pagi, ibu Prihatin menjalankan
usaha parut kelapa.Setiap 1 kelapa yang telah di parut dihargai Rp, 5000 dan setiap ½
parutah kelapa dihargai Rp, 2500. Sama seperti ibu Sumi Beliau tampak begitu
Universitas Sumatera Utara
mengerti akan kondisi ekonomi keluarganya dan sadar akan gaji suami yang tidak
cukup di pakai untuk memenuhi semua kebutuhan hidup keluarga.
Berikut pernyataan ibu Prihatin mengenai keadaan ekonomi keluarga :
“setiap hari saya seperti ini, memarutkan kelapa orang-orang yang datang
kesini. Seberapalah gaji seorang buruh kasar bangunan, kalau bekerja terus-terusan
saja sudah syukur Alhamdulillah.Kadang-kadang ada masa dimana para tukang
bangunan disini sangat sulit mendapatkan pekerjaan.Hal itu lah yang membuat saya
berfikir bagaiman untuk terus bisa menghasilkan uang.Belum lagi kalau anak minta
uang sekolah, buku dan sebagainya. Keadaan dimana saat susah-susahnya tukang
bangunan dapat kerja, dan disitu saat anak sekolah banyak biaya yang harus di
bayar, di saat itu saya dan suami sering sering bertukar fikiran bagaimana agar
tetap bisa memenuhi kebutuhan anak-anak..Belum lagikebutuhan si kecil ini yang
minta ini itu.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 8. kegiatan sehari-hari ibu Prihatin
Sumber : dokumen pribadi Penulis
Disini terlihat bahwa bagi keluarga ibu Prihatin, uang adalah sesuatu yang
sangat penting. Sesuatu yang harus terus difikirkan bagaimana cara menghasilkannya
lagi dan lagi. Dengan keadaan ekonomi seperti ini memaksa keluarga Ibu Prihatin,
terutama ibu Prihatin sendiri beserta suami terkadang melupakan tugasnya yang lain
Wak
tu (Jam)
Kegiatan
05.
00 wib
-Bangun tidur
-Sholat subuh
-Memasak untuk sarapan sekaligus untuk makan siang
06.
00 wib
- Membangunkan anak dan suami
- mempersiapkan anak untuk berangkat ke sekolah
07.
00-12.00
wib
- membereskan rumah
- bermain dengan anak di depan, sesekali membersihkan
tanaman ubi di belakang rumah
-menunggu orang-orang datang memarutkan kelapa.
12.
00-16.00
wib
- shalat Zuhur
- menunggu anak pulang sekolah di depan rumah
- bercerita dengan ttetangga sambil menunggu parutan
kelapa.
16.
00-17. 00
wib
- Sholat ashar - membersihkan rumah (mencuci,menyapu)
- mengawasi anak bermain disekitar rumah
17.
00 wib
- bercerita dengan tetangga sekitar rumah
18.
30 wib
- Sholat maghrib
-makan malam
19.
00 wib
- berkumpul dengan keluarga
20.
00-21. 00
wib
- Menonton tv bersama keluarga
- tidur/ istirahat
Universitas Sumatera Utara
yaitu mengontrol dan mendidik anak. Menurut mereka, bisa memenuhi kebutuhan
anak-anaknya saja rasanya sudah sangat lega dan bahagia.
Berikut pernyataan ibu Prihatin :
“Kami jadi sering lupa untuk mengontrol anak-anak kami,
apalagi yang sedang bersekolah, karena sibuk cari uang dan saat
malam telah kelelahan, kami tidak sempat dan tidak pernah
memeriksa nilai, PR, atau bahkan sekedar bercerita menyakan
bagaimana tadi di sekolah ?.
Mengenai kontrol anak, ibu Prihatin mengaku tidak terlalu keras dan
ketat.Dari hasil pengamatan penulis, ibu Prihatin dan suami cenderung membiarkan
bebas dalam hal-hal tertentu dan memberi batasan atau larangan yang lemah.Dalam
pengasuhan, ibu Prihatin sendiri masih sangat di pengaruhi oleh kebudayaan Jawa
yang sebenarnya tidak begitu kental pada masyarakat di kelurahan Aek Paing
ini.Seperti untuk melarang anaknya yang paling kecil, ibu Prihatin selalu melarang
anaknya itu dengan mentakut-takuti anaknya dengan sesuatu di luar rasional agar
anaknya hanya takut kemudian diam dan tidak melakukan hal yang di larangnya.
Mengenai pendidikan, ibu Prihatin senbenarnya tidak memaksakan kehendak
mereka kepada anak-anaknya.Hanya saja keputusan yang di ambil oleh keluarga ibu
Prihatin di dasari oleh keterbatasan ekonomi dan berdasarkan pengamatan penulis,
juga atas dasar adanya provokasi dari jiran tetangga.Ibu Prihatin membenarkan
ungkapan penulis mengenai provokasi yang di lakukan para jiran tetangga.
Kebanyakan dari warga disini yang memiliki anak yang baru saja lulus SMA, mereka
akan mendapatkan provokasi dari warga sekitar untuk jangan menguliahkan anaknya
di Medan atau di luar kota. Dari pengetahuan penulis sendiri setelah menelusuri hal
ini, provokasi ini di dasari oleh pengalaman anak-anak kelurahan yang berkuliah di
luar kota. Menurut ungkapan sejumlah warga yang penulis temui untuk menanyakan
Universitas Sumatera Utara
hal ini, anak-anak disini yang berkuliah di luar kota akan menjadi rusak dan nakal.
Mereka akan terkena dampak dari negatifnya sisi kota metropolitan. Dan dari
pengakuan warga, ternyata memang ada beberapa contoh yang sesuai dengan apa
yang mereka sebutkan di atas. Salah satunya anak dari bapak T yang tidak
menamatkan kuliahnya di UMSU karena DO dan ketika pulang ke kampung sudah
membawa seorang anak perempuan.Padahal menurut ungkapan beberapa warga,
bapak T ini yang berprofesi sebagai agen tunggal penyedia minyak tanah di
kelurahan Aek Paing ini, sangat baik dan rajin beribadah. Menurut beberapa warga
juga, masih ada beberapa contoh yang kasusnya hampir sama seperti ini.
Berdasarkan hasil pengamatan penulis, isi provokasi yang dilakukan warga
terhadap warga lainnya tidak lain adalah “jangan sampai anakmu jadi seperti anak si
anu, orang susah aja kok sok kuliah di Medan, kalau dia mau kuliah, betul-betul mau
kuliah, kuliahkan disini aja. Banyak anak orang yang lebih berduit kuliahnya disini
juga”.
Seperti itulah perkataan beberapa warga kepada warga lainnya yang memiliki
anak yang berkeinginan kuliah di luar kota. Pada keadaan sebenarnya, terlepas dari
keadaan ekonomi yang dimiliki, jauh dari lubuk hati yang paling dalam tersimpan
keinginan para orang tua khususnya ibu untuk mewujudkan keinginan anaknya
tersebut untuk kuliah di luar kota. Seperti apa yang juga di sampaikan oleh ibu Sumi
dan ibu Prihatin. Mereka berdua sangat berkeinginan sekali untuk menguliahkan
anak-ankanya ke universitas terkemuka seperti universitas-universitas yang ada di
Medan.Namun keadaan ekonomi menghambat keinginannya tersebut dan lebih
memilih keputusan suami untuk menyuruh anaknya mengurungkan niatnya tersebut.
3.2.2 Pola Asuh Pada keluarga Kuli Bangunan yang Ibunya Tidak bekerja (Profil
Informan).
Universitas Sumatera Utara
Dalam pekerjaan kuli bangunan, ada beberapa jenis pekerjaan yang
dikategorikan sebagai jabatan, seperti pemborong, tukang dan kernet.Bagi seseorang
yang pekerja bangunan, jabatan-jabatan ini silih berganti di sandang sesuai dengan
jenis pekerjaan apakah itu borongan atau harian.Jika borongan, maka seorang kuli
bangunan yang sudah senior dan yang mendapatkan borongan ini bertindak sebagai
pemborong, terkadang juga merangkap sebagai tukang. Kemudian bagi kuli
bangunan yang masih junior akan bertindak sebagai kernet.
Sedangkan jika itu harian, maka jabatan yang di sandang oleh para pekerja
bangunan hanyalah tukang dan kernet.Jabatan ini juga menentukan bayaran yang di
terima oleh setiap pekerja bangunan. Jabatan tukang akan mendapatklan bayaran
yang lebih tinggi dari jabatan kernet, dikarenakan untuk bisa menjadi tukang seorang
pekerja bangunan harus memiliki skil dan pengalaman yang mumpuni di bidang
tersebut. Bagi keluarga yang kepala keluarganya memiliki jabatan pemborong dan
tukang, keadaan ekonomi yang di sandang tidak begitu sulit dan ada beberapa
keluarga yang hanya ayahnya saja yang bekerja, sedangkan ibunya tidak bekerja.
Penelitian yang dilakukan berikut ini melihat bahwa hal ini berdampak juga
pada anak-anak. Dalam hal ini si anaklebih banyak mendapatkan perhatian dari sang
ibu dan lebih banyak mendapatkan kebutuhan apa yang mereka inginkan dari
orangtuanya. Untuk hal psikologis anak, si anak lebih memiliki kepercayaan diri dari
pada anak-anak lain sesame keluarga kuli bangunan yang ayahnya bekerja sebagai
kernet.Sang anak tidak begitu malu mengakui ayahnya berprofesi sebagai
pemborong atau tukang.
1. Keluarga Ibu Ina (33 tahun)
Ibu Ina yang sekarang berumur 33 tahun biasa menjalani hari-harinya dengan
Universitas Sumatera Utara
bekerja sebagai ibu rumah tangga.Setiap hari ibu Ina menjalankan aktifitas sebagai
seorang istri dan seorang ibu.Suaminya bernama bapak Juragan bekerja sebagai
buruh bangunan yang kurang lebih sudah 15 tahun. Setiap hari kecuali hari minggu,
sang suami berangkat kerja dari rumah pukul 07.00 wib sampai ia kembali kerumah
pada pukul 17.30 wib atau paling sering pada pukul 18.00 wib. Ibu Ina memiliki 3
anak, 2 laki-laki dan 1 perempuan. Anak yang pertama seorang laki-laki bernama
Aldy..Aldy adalah seorang mahasiswa di salah satu Sekolah Kelautan di
Medan.Anak kedua bernama Mayang.Mayang adalah anak perempuan kedua dari
keluarga ibu Ina dan bapak Ponidi yang saat ini duduk di bangku kelas 2 sekolah
menengah atas (SMA).Anak 3 bernama Agung. Agung adalah seorang siswa kelas
VII SMP di sebuah sekolah Islam yang berada di kelurahan Aek Paing..Setiap hari
ibu Ina melakukan kewajibannya sebagai seorang istri dan seorang ibu.Pada pukul
kira-kira 06.00 wib ibu Ina telah selesai masak dan menyiapkan segala keperluan
kerja suaminya.Anak-anak ibu Ina biasa disiapkan segala perlengkapannya sebelum
berangkat kesekolah. Berikut perkataan ibu Ina mengenai kegiatan pagi hari dirumah
mereka :
“setiap pagi ya begini kerjaan saya, mengurus suami dan anak
sebelum mereka berangkat kerja dan sekolah. Saya biasa
menyiapkan semua keperluan anak saya sebelum mereka
berangkat.Setelah itu baru saya membereskan rumah.
Setiap pagi gambaran seperti itu lah terus beliau ceritakan kepada saya.
Mengenai uang jajan/saku, belau juga memberikan kepada setiap anaknya dengan
nilai rupiah yang berbeda-beda pada masing-masing anak. Anak yang sedang duduk
di kelas 2 SMA waktu itu di beri uang jajan/saku senilai Rp, 10.000/hari, sedangkan
anak yang duduk di kelas VII SMP di beri uang saku/jajan senilai Rp, 5000/hari.
Universitas Sumatera Utara
Kemudian penulis juga melihat dan mengamati kegiatan ibu Ina dalam
keseharian mendidik dan mengasuh anak, dari pengamatan penulis mengenai beliau,
Ibu Ina merupakan wanita yang giat dan rajin..
Berikut pernyataan ibu Ina mengenai keadaan ekonomi keluarga :
“setiap hari saya seperti ini, hanya membereskan rumah
sambil terkadang bercerita kepad tetanga menyanyakan hari ini
masak apa sambil menunggu anak-anak pulang sekolah mengenai
keuangan saya kami tidak begitu kesulitan lantaran
Alhamdulillah suami saya sering mendapatkan borongan
membangun rumah atau ruko di kota..
Disini terlihat bahwa bagi keluarga ibu Ina, dalam masalah ekonomi mereka
masih tergolong berkecukupan. Walaupun terlkadang saat masa-masa sulit untuk
pekerja bangunan mendapatkan pekerjaan/borongan, beliau harung ,mengutang
kepada mertua atau jiran tetangga. Dengan keadaan ekonomi seperti ini keluarga Ibu
Ina, terutama ibu Ina sendiri beserta suami sangat memikirkan tugasnya sebagai
orangtua yaitu mengontrol dan mendidik anak.
Mengenai kontrol anak, ibu Ina mengaku tidak terlalu keras dan ketat.Dari
hasil pengamatan penulis, ibu Ina dan suami cenderung membiarkan bebas dalam
hal-hal tertentu dan memberi batasan atau larangan yang lemah.
Mengenai pendidikan, ibu Ina senbenarnya tidak memaksakan kehendak
mereka kepada anak-anaknya. Berdasarkan pengamatan penulis dan pengakuan ibu
Ina sendiri, beliau juga menyadari akan adanya provokasi dari jiran tetangga.
Sebenarnya, provokasi dari jiran tetangga ini bukan berarti bentuk ketidaksukaan
atau iri, namun sebagai bentuk kepedulian terhadap sesama jiran tetangga untuk
mempertimbangkan tingkat pendidikan anak dari contoh yang sudah-sudah.
2. Keluarga Bapak Gimang (50 Tahun)
Bapak gimang adalah seorang ayah yang berprofesi sebagai kuli bangunan
Universitas Sumatera Utara
(kernet).Jumlah anak beliau ada 3 orang, 2 sudah dewasa dan 1 masih bersekolah.
Yang pertama laki-laki usia 24 tahun dan yang kedua perempuan usia 21 tahun dan
anak yang ketiga laki-laki usia 16 tahun dan masih menjadi tanggungannya karena
masih sekolah. Menurut beliau, ia merupakan bapak yang tidak terlalu sibuk
mengurusi tingkah laku anaknya, hanya saja dalam kepentingan yang penting saja
seperti sekolah dan ekonomi. Dalam hal lainnya bapak ini selalu mempercayakan
anaknya yang sudah dewasa yaitu laki-laki dan perempuan dalam menentukan
pilihan. Beliau selalu memberikan apa yang diinginkan anaknya karena beliau ingin
anaknya senang dengan pilihan-pilihan yang diambil sendiri berdasarkan kemauan
dan ajaran abang dan kakaknya.
Berikut pernyataan beliau:
“saya selalu memberi dukungan kepada anak saya dalam
menentukan pilihan, tetapi dalam hal ini abang dan kakaknya juga
ikut serta karena saya menyadari abang dan kakaknya lah
yang masih mengerti kemauan dan kehendak seusianya. ”
Beliau berpendapat bahwa tidak pernah membatasi waktu kepada
anaknya dalam bergaul, karena menurutnya batasan waktu yang dia berikan akan
mempengaruhi sosialisasi dalam berteman dan karena anaknya juga seorang laki-
laki.
Berikut pernyataan beliau:
“saya tidak ada patokan waktu kepada anak saya, karena nanti
dia malah tertekan, apalagi disaat bermain dengan teman sekolah
ataupun teman sekitaran rumah, saya biarkan dia banyak bergaul
dengan teman-temannya. ”
Beliau juga berpendapat bahwa tidak pernah menghukum berat kepada
Universitas Sumatera Utara
anaknya jika anaknya didalam bermain ,berkelahi dan melakukan aktifitas negatif
diluar. Menurutnya itu hal yang wajar dilakukan oleh anak muda tetapi jika
sudah kelewatan biasanya abang dan kakaknya menegur.
Berikut pernyataan beliau:
“Sebenarnya tidak perlu memberi hukuman berat kepada anak
jika anak melakukan kenakalan, toh itu hal yang wajar saja kok
dilakukan oleh anak seusianya, paling kalo sudah kelewat batas saya
menyuruh abang dan kakaknya untuk menegur dan memastikan apa
saja tindakannya diluar rumah asalkan tidak memakai narkoba.
Karena menegurnya terus menerus dan dalam hal yang biasa dia akan
merasa bersalah terus-terusan. ”
Beliau berpendapat bahwa berkomunikasi tidak terlalu sering dengan
anaknya, karena selain ada abang dan kakaknya yang selalu mendidik saya juga
harus bekerja diluar rumah. Berikut pernyataan beliau:
“komunikasi dengan anak saya terbilang jarang, karena saya
seringan diluar rumah untuk mencari nafkah,. Tetapi saya bisa
mengerti tentang kebutuhannya. Tapi dalam suatu kesempatan saya
juga memperhatikan dan memberi kesempatan pada anak saya untuk
mengungkapkan pendapatnya dan keinginannya meskipun hal ini bisa
terbilang jarang sekali, dan saya juga sesekali memberikan nasihat
untuknya agar menjadi seorang yang mandiri, jangan menyusahkan
keluarga dan membuat malu keluarga. ”
Dalam hal pola pengasuhan, beliau lebih memberikan tanggung jawab ini
kepada istri. Karena beliau sangat sering bekerja di luar kota (merantau),jadibeliau
mengatakan istri saya yang lebih tau tentang anak saya.Kemudian penulis juga
menggali informasi mengenai pola pengasuhan dari anak-anak bapak Gimang
terapkan, berikut pernyataan anak pertama beliau:
“Bagi saya bapak adalah seorang yang tegar, tidak banyak
omong dan rajin bekerja. Saya merasa bapak adalah yang mengerti
saya, dalam keseharian kami di didik untuk mampu mandiri dan tidak
bergantung pada orang lain, apalagi saya sekarang sudah dewasa,
Universitas Sumatera Utara
malah diberikan wewenang untuk memperhatikan adik-adik saya.
Kepada ibuk saya jarang komunikasi.
Kemudian juga anak perempuan beliau menambahkan pendapatnya tentang
keadaan yang ia rasakan, berikut penuturannya:
“Mengenai didikan untuk kami, bapakmengatakan selalu ada
kesepakatan dengan ibuk, untuk hal-hal yang berkaitan dengan kami.
Mulai dari sekolah, hingga pilihan aktivitas yang terbaik untuk kami.
Namun apa yang kami lakukan di luar bapak selalu menganggap hal
itu dengan wajar dan tidak berlebihan.
Sebenarnya saya juga butuh arahan dari seorang ayah,
apalagi orangtua sendiri, saya juga harus tau bagaimana seorang
perempuan dewasa nantinya menjalani hidup.Sekarang saya hanya
bisa belajar dari kawan-kawan sebaya maupun yang lebih tua.
Kemudian penulis dalam beberapa kesempatan juga menanyakan pendapat
tentang pola pengasuhan yang dialami anak yang paling kecil bapak Gimang, berikut
pernyataannya:
“Bapak menurut saya orangnya tidak terlalu sibuk urus aku,
kanada abang dan kakak juga, jadinya hampir semua urusan dikasi ke
mereka, yang pasti bapak selalu mengajarkan mandiri dan harus
menghargai abang dan kakak. ”
Tanpa adanya keterlibatan keluarga luas baik dari keluarga bapak Gimang
maupun keluarga istri membuat anak-anak bapak T berusaha mandiri dan tetap
bekerja sama untuk menjadi keluarga inti yang baik-baik saja. Hal ini terlihat dari
pola pengasuhan yang diterapkan oleh bapak Gimang dan istri yang tidak terlalu ikut
serta dalam pengasuhan, dari pengamatan yang didapat juga beliau sering diluar
rumah untuk bekerja, jadi beliau berharap besar kepada anak-anaknya yang paling
besar untuk membantu beliau mendidik adiknya yang sedang dalam usia peralihan.
Disini penulis melihat bahwa keluarrga bapak Gimang tidak begitu mencampuri
urusan anaknya, kecuali mengenai urusan ekonomi dan pendidikan.Mengenai
Universitas Sumatera Utara
pendidikan, bapak Gimang sendiri mengaku tidak terlalu mementingkan anak-
anaknya untuk bersekolah lanjut keperguruan tinggi, hal ini juga iya tuturkan
lantaran ada keterbatasan di bidang ekonomi keluarga. Berikut pernyataan bapak
Gimang tentang pendidikan anak :
“saya tidak begitu mementingkan anak-anak saya harus kuliah, sudah
bisa sampai SMA saja rasanya sudah syukur Alhamdulillah. Saya hanya
seorang kernet bangunan dan istri saya juga tidak bekerja.Jadi yang penting
mereka sudah bisa bersekolah sampai batas wajib saja sudah syukur, dan
untungnya anak-anak saya sudah mengerti tanpa harus di jelaskan.
Menurut penuturan anak tertua dari bapak Gimang, memang dia dan kedua
adiknya tidak memiliki keinginan untuk melanjut ke perguruan tinggi.Ia mengerti
dengan keadaan ekonomi keluarga, apalagi beliau tidak tega melihat ayanhya yang
hanya seorang diri bekerja memenuhi kebutuhan keluarga dan adik kecilnya yang
masih duduk di bangku SMP. Ia juga menyatakan tidak pernah ada paksaan untuk
tidak melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi, mereka sadar sendiri dengan keadaan
ekonominya sekarang.
Sejalan dengan itu apa yang dikemukakan oleh Oscar Lewis dalam bukunya
“Lima Keluarga Miskin” itu.“Ketika budaya kemiskinan itu eksis, mereka cenderung
memantapkan dirinya dari generasi ke generasi karena memberikan efek terhadap
anak-anak mereka. Tatkala anak-anak miskin itu berusia enam atau tujuh tahun,
mereka biasanya menyerap nilai-nilai dan sikap-sikap dasar subbudaya mereka,
bukanlah terdorong berani mengambil resiko untuk mengubah kondisi kehidupan
mereka, atau meraih kesempatan. (1970:69).
3. 2. 3 Psikologis Anak dalam Keluarga Kuli bangunan
Bagi seorang anak, hidup dalam keadaan ekonomi yang kekurangan bukanlah
hal yang baik, antara keterbatasan dan kekurangan terkadang membuiat mereka
Universitas Sumatera Utara
menjadi liar dan berupaya sedari dini bagaimana caranya menghasilkan uang.
Pemikiran anak dalam keluarga kuli bangunan di bentuk oleh keadaan untuk berfikir
praktis tentang uang, dan cara menghasilkannya.. Kesulitan mereka akan tampak
lewat gejala-gejala psikologis seperti, menangis, sulit tidur, dan sulit berkonsentrasi
terkadang merasa bersalah dan bertanya-tanya, apakah mereka penyebab kesusahan
mereka karena menjadi anak yang nakal. Sebagaian mereka juga merasakan gejala-
gejala psikologis tersebut di atas ketika kedua orangtua bertengkar mengenai
masalah ekonomi.
Mengenai permasalahan yang ingin dituliskan, dalam hal ini penulis
memfokuskan menggali informasi dari anak Bapak Gimang yang dimana menurut
penulis pada saat penelitian mengalami perasaan yang begitu Gunda saat harus
memilih antara bekerja atau bersekolah.
Berikut hasil wawancara dengan anak kandung bapak Gimang :
M adalah anak pertama dari 3 bersaudara, saat ini M juga bekerja
sebagai kuli banguan (kernet). M adalah seorang laki-laki dengan tinggi kurang lebih
167 cm dan berkulit putih namun agak gelap. Pada saat bertemu dengan penulis, M
terlihat menerima kedatangan peneliti dengan senyuman yang tertampak di
wajahnya. M terlihat bugar dan siap untuk diwawancarai oleh penulis. Penulis
menjelaskan maksud dan tujuan wawancara tersebut dan penulis juga meminta ulang
kesediaan M untuk menjadi subjek penelitian.
Dari hasil wawancara, didapatkan bahwa M memiliki kepribadian tidak
terlalu terbuka tapi juga bukan tipe yang tertutup, hal ini dapat dilihat dari
keseharian M yang memiliki cukup banyak teman dan juga hubungan yang terbuka
dengan keluarganya, dalam menghadapi masalah M cenderung berbagi masalah
Universitas Sumatera Utara
dengan orang sekitarnya seperti orangtua, teman, dan saudara. Namun untuk
masalah pribadi M tidak pernah berbagi dengan orangtuanya.
M merupakan anak pertama dari tiga saudara, adiknya yang perempuan saat
ini sedang bekerja sebagai pegawai toko dan yang paling kecil sedang duduk di
bangku SMP. M tidak terlalu dekat dengan ayahnya, M lebih dekat dengan ibunya.
seperti pada kebanyakan remaja sering kali M melakukan hal-hal yang tidak disukai
ayahnya. Setiap kali ayah M marah, dia hanya akan diam dan berusaha untuktidak
mengulangi kesalahannya. Ayah M juga akan mulai membaik ketika M sudah
menyadari kesalahnnya dan berlaku lebih baik. Walaupun M tidak terlalu dekat
dengan ayahnya tapi dia cukup sering cerita atau curhat mengenai hal-hal yang dia
alami pada saat dulu sekolah atau apa yang dia rasakan hari itu. M tidak pernah
menceritakan masalah pribadinya yang berhubungan dengan asmara kepada ayahnya.
Dilihat dari penjelasan tersebut dapat dilihat bahwa komunikasi antara M dengan
ayahnya terjalin tidak begitu baik dan tidak sering.
M merupakan anak yang rajin pergi keluar rumah untuk bermain
bersama teman-temannya. Ayah M tidak terlalu mengekang M pergi apalagi saat
malam hari. M juga mengatakan kondisi fisik ayah M saat ini. Menurutnya kondisi
ayanhnya dengan umur yang sudah termasuk tua dan dengan pekerjaan seperti itu,
ayahnya tidak dalam keadaan yang benar-benar sehat. Menurut penuturan M, sang
ayah kerap sekali menderita sakit Meriang ketika pulang bekerja.. M merasa dirinya
benar-benar harus menjadi penganti ayahnya sebagai tulang punggung keluarga.
Namun ada saat dimana M kehilangan kesadaraan akan dirinya yang di
anggap menjadi tulang punggung keluarga. Saat-saat seperti itu terjadi dimana ketika
para kuli bangunan di kelurahan Aek Paing sulit mendapatkan pekerjaan.Ketika
Universitas Sumatera Utara
perasaan kehilangan kesadaran itu muncul, ia kerap kali mabuk-mabukan bersama
teman-temannya dan tak jarang mencuri sawit milik PTPN III yang memang
tertanam luas di sepanjang jalan Kelurahan Aek Paing. Dalam keadaan yang seperti
itu, memang banyak pemuda-pemuda di kelurahan Aek Paing yang berprilaku sama
seperti apa yang dilakukan M.Mendapatkan dukungan dari teman-teman yang
sesame pengangguran, dan tak jarang keluarga merasa acuh tak acuh membuat M
dan pemuda-pemuda lainnya sudah merasa biasa untuk melakukan hal-hal seperti itu.
Bagi M dukungan dan larangan bagi anak-anak sepertinya sangat mereka butuhkan
dari orangtua. Saat merekia meilih bekerja dari pada sekolah untuk membantu
memenuhi kebutuhan hidup, harusnya ada apresiasi dari orangtua dengan keputusan
M dan anak-anak lainnya yang seperti M.menurut M, para orangtua mereka
menganggap hal itu sudah biasa karena saat orangtua mereka dulu seumuran M,
mereka juga melakukan hal yang seperti M lakukan. Seiring berjalannya waktu, M
kembali menyadari posisi dia sebagai anakpertama laki-laki dalam keluarga yang
harus membimbing adiknya danmenjaga dan terus memberi semangat kepada adik-
adiknya.
Kemudian kesadaraan itu kembali lagi dan M kembali pada kehidupan
normalnya. Seperti itulah siklus kehidupan dan psikologis anak-anak keluarga kuli
bangunan yang sama seperti M.
Kemudian penulis juga menggali informasi tentang perasaan anak laki-laki
yang paling kecil dari ibu Ina, dalam hal ini sebenarnya penulis ingin sekali
mendapatkan informasi dari semua anak beliau, tetapi karena anak beliau yang laki-
laki merupakan orang yang tertutup semenjak penulis mengenalnya dari sekolah
dulu, sehingga informasi hanya penulis dapatkan dari anak ibu Ina yang yang ketiga,
Universitas Sumatera Utara
Berikut hasil wawancara dengan anak ketiga ibu Ina,
Agung adalah anak ketiga dari Ibu Ina. Saat ini Agun sedang menempuh
studinya di salah satu SMP di Rantauprapat. Agung merupakan pribadi yang tidak
terlalu banyak bicara dan kalem. Sehari-hari disibukkan dengan sekolah dan juga
bermain-main dengan teman-temannya dan game online. Kebiasaan Agung setiap
malam minggu adalah bermain game online.Agung mengaku kedua orangtuanya
tidak melarang kegiatan yang dilakukannya ini. Menurut Agung, kedua orangtuanya
jarang sekali berkomunikasi dengannya, walaupun satu rumah dan berjumpa setiap
hari. Memang, penulis mengakui sendiri bahwa ada semacam kekakuan bagi anak
laki-laki dalam keluarga kuli bangunan untuk bersendagurau dengan orangtua baik
ibu ataupun ayah.
Setiap kali Agung merasakan kesepian dan bosan, dia akan pergi berm,ain
dengan teman-temannya atau bermain game online di warnet. Agung juga
menuturkan hal yang sama dialami olehnya dan juga teman-temannya. Saat
berkumpul dengan teman-temannya, Agung mengaku mereka sering curhat satu
sama lain untuk menceritakan unek-unek yang sungkan mereka ceritakan dengan
orangtua mereka masing-masing. Disini penulis melihat, ada hubungan komunikasi
yang kurang baik antara orangtua dengan anak mereka juga yang masih remaja
(seumuran agung).
Dari hasil wawancara dengan sejumlah informan di atas maka penulis dapat
menarik kesimpulan bahwa keadaan hunbungan keluarga dalam keluarga kuli kasar
bangunan terjalin tidak begitu harmonis. Dapat dilihat dengan kecendrungan seorang
oyah yang jarang sekali berkomunikasi dengan anak-anaknya, terutama kepada anak
laki-lakinya. Hal ini bisa saja menimbulkan gejala psikis terhadap sang anak dimana
Universitas Sumatera Utara
ia tidak mendapatkan support dari sang ayah secara moril. Mengenai kenakalan-
kenakalan remaja yang sudah penulis jelaskan diatas, seorang ayah dalam keluarga
kuli bangunan juga tidak terlalu ambil pusing dengan apa yang di lakukan anak-
anaknya diluar rumah. yang penting bagi seorang ayah dalam keluarga kuli kasar
bangunan ini adalah bagaimana caranya agar tidak kekurangan dan mampu
memenuhi kebutuhan finansial keluarga.
Dalam hal pendidikan, tanpaknya seperti apa yang telah kita lihat pada
wawncara dengan beberapa informan di atas, kedua orangtua khususnya sang ayah
tidak begitu memaksakan anaknya untuak memiliki pendidikan yang tinggi dan
bagus. Yang terpenting dalam keluarga kuli kasar bangunan ini adalah anaknya
sudah bisa baca dan tulis. Dari beberapa wawancara dengan informan, penulis juga
mendapatkan beberapa pengakuan kalau sebenarnya bagi beberapa ibu dalam
keluarga kuli kasar bangunan sangat ingin melihat anaknya memiliki pendidikan
yang tinggi dan bagus. Namun terkadang keinginan itu hanya tersimpan dalam
hatinya karena tak kuasa menentang kehendak sang suami.
3.3 Pengaruh Tingkat Pendidikan dan Ekonomi Orangtua Terhadap Pola Asuh
Anak.
Pola asuh terhadap anak dalam keluarga yang satu dengan yang lainnya
berbeda-beda.Sa’aadiyyah (1998) mengemukakan bahwa pola pengasuhan anak
dalam sebuah keluarga dipengaruhi oleh umur Kepala Keluarga (KK) dan istri, usia
saat menikah, status pekerjaan istri, jenis pekerjaan utama, besarnya keluarga,
pendapatan keluarga, usia anak, jenis kelamin anak dan nomor urut anak dalam
keluarga. Gunarsa dan Gunarsa (1991) menyebutkan bahwa tingkat pendidikan
Universitas Sumatera Utara
orangtua akan berpengaruh terhadap cara, pola dan kerangka berfikir, persepsi,
pemahaman dan kepribadian orangtua tersebut yang secara langsung atau tidak akan
mempengaruhi pola komunikasi antara orangtua dan anak dalam lingkungan
keluarga.
Dalam keluarga kuli kasar bangunan dalam penelitian penulis, orang tua
memiliki tingkat pendidikan yang rendah. Di wilayah kelurahan Aek Paing, rata-rata
pendidikan orang tua dalam keluarga kuli kasar bangunan hanya sampai pada tingkat
SD (Sekolah Dasar) dan hanya sebagian kecil saja yang sampai menamatkan
pendidikan SMP (Sekolah Menengah Pertama). Hal ini menjadikan kedekatan
emosional dan komunikasi antara orang tua dan anak menjadi kurang baik (seperti
yang penulis kemukakan pada bab III sebelumnya). Sehingga anak akan sangat
mudah terpengaruh dalam lingkungan yang di huni banyak pengangguran. Anak
akan enggan bercerita kepada orang tuanya ketika dirinya mendapatkan masalah di
luar. Mendapatkan pengalam baru yang bersifat negatif seperti berjudi, mabuk-
mabukan bermain game online dan sebagainya.
3.3.1 Pandangan Keluarga Kuli Kasar Terhadap Pendidikan di Kelurahan Aek
Paing.
Pandangan masyarakat yang maju tentu berbeda dengan masyarakat yang dan
tradisional, masyarakat yang maju tentu pendidikan mereka maju pula, demikian
pula anak-anak mereka akan menjadi maju pula pendidikannya dibanding orang tua
mereka. Maju mundurnya suatu masyarakat, bangsa dan negara juga ditentukan
dengan maju mundurnya pendidikan yang dilaksanakan.Pada umumnya masyarakat
tradisional mereka kurang memahami arti pentingnya pendidikan, sehingga
Universitas Sumatera Utara
kebanyakan anak-anak mereka tidak sekolah dan kalau sekolah kebanyakan putus di
tengah jalan.
Golongan orang tua pada masyarakat pedesaan umumnya memegang peranan
penting. Orang akan selalu meminta nasihat kepada mereka apabila ada kesulitan-
kesulitan yang dihadapi. Kesukarannya adalah golongan orang tua itu mempunyai
pandangan yang didasarkan pada tradisi yang kuat sehingga sukar untuk mengadakan
perubahan-perubahan yang nyata dan membuka wawasan yang lebih luas.
Sementara hasil wawancara peneliti dengan bapak Abdurrachman Wahid
selaku informan dan tokoh masyarakat:
”Menurut saya pendidikan belakangan ini sudah menjadi hal yang
sangat penting, Karena dengan pendidikan masyarakat dapat
meningkatkan taraf hidup mereka.Karena mereka sudah mendapatkan
bekal ilmu-ilmu yang mereka pelajari.Tetapi karena kebiasaan-
kebiasaan wariskan turun temurun makanya banyak masyarakat yang
tidak memilih bersekolah karena membantu bekerja. (wawancara pada
Sabtu tanggal 15 April 2017).
Dari hasil wawancara peneliti dengan bapak Abdurrachman, beliau
mengatakan bahwa pendidikan itu sangat penting bagi anak-anak untuk
meningkatkan taraf hidup dikemudian hari karena dengan pendidikan
mereka mendapat bekal ilmu-ilmu yang mereka pelajari.
Selanjutnya peneliti mewawancarai ibu Qomaruddin yang merupakan
Kepala Sekolah :
“Pendidikan sangat penting buat kehidupan, saya sebagai pendidik
hanya memberikan pengarahan bagi perbuatan dalam kenyataan hidup
mereka, namun bagi orang tua di kelurahan Aek Paing ini khususnya
bagi orang tua yang berprofesi sebagai Kuli bangunan sulit untuk
merubah pandangan mereka untuk mementingkan pendidikan, mereka
lebih memilih untuk mencari uang”. (wawancara pada Sabtu tanggal 15
April 2017)
Universitas Sumatera Utara
Pendidikan sangat penting bagi anak-anak kuli itulah yang dikatakan
oleh ibu Qomar, tetapi karena pandangan orang tua khususnya yang bermata
pencaharian kuli bangunan yang kurang mementingkan pendidikan.
Sedangkan menurut bapak Segarsono selaku kepala lingkungan
mengungkapkan :
“Pendidikan buat anak-anak itu buat saya sangat penting, di
kelurahan aek Paing, banyak anak-anak tidak melanjutkan
sekolah.mereka lebih memilih untuk bekerja sebagian besar mereka
adalah murid yang putus di SLTP. Mereka bekerja adalah dengan
alasan untuk membantu orang tua.Anak laki-laki biasanya bekerja
sebagai buruh bangunan, sedangkan anak perempuan kebanyakan
menjadi penjaga kantin, dan warung-warung nasi, dan lain sebagainya.
(wawancara pada Sabtu tanggal 15 April 2017).
Senada dengan perkataan bapa Abdurrachman dan Ibu Qomar, bapak
Segarsono memandang bahwa pendidikan itu sangat penting.Karena
berbagai alasan maka banyak anak putus sekolah atau tidak melanjutkan
sekolah lagi di kelurahan Aek Paing.
Selanjutnya peneliti juga melakukan wawancara kepada orang tua
yang anaknya putus sekolah dan berprofesi sebagai Kuli, bapak Gimang
mengungkapakan:
“Pendidikan kami tidak perlu tinggi-tinggi, kalau mampu untuk bekerja,
langsung kami hadapkan untuk bekerja. Yang penting bisa mencari
uang, apalagi kami seorang kuli kalau bukan anak-anak kami siapa lagi
yang akan membantu untuk memberi uang kepada mereka kecuali
mereka sendiri. .(hasil wawancara pada Minggu 16 April 2017)
Pandangan tentang pendidikan yang tidak perlu tinggi-tinggi dan
kurang mementingkan pendidikan itulah yang disampaikan oleh bapa
Gimang.
Universitas Sumatera Utara
Sementara menurut ibu Prihatin :
“Anak-anak cukup sekolah sampai bisa baca tulis karena pada akhirnya
kakankan akan dihadapkan pada lapangan pekerjaan.Selain itu anak-
anak harus diajarkan pendidikan bertahan hidup agar mereka dapat
cukup makan memenuhi kebutuhannya, dan yang terpenting anak-anak
perempuan harus belajar dalam lingkungan rumah tangga seperti
memasak. (wawancara pada Minggu tanggal 16 April 2017 ).
Ibu Prihatin juga mengatakan hal yang sama, beliau kurang
mementingkan sekolah anak-anak meraka, anak-anak cukup bisa membaca
dan menulis saja.
Sedangkan ibu Mesni mengungkapkan :
“Ya pendidikan itu penting, namun karena sudah keadaan kami seperti
ini, jadi terpaksa anak kami berhenti sekolah. (wawancara pada Minggu
tanggal 16 April 2017).
Ibu Mesni juga menambahkan :
“Anak-anak sekolah cukup sampai dia bisa bekerja terlebih lagi anak
perempuan, karena pada akhirnya akan menikah sehingga akan menjadi
tanggung jawab suami.(wawancara pada Minggi tanggal 16 April 2017).
Orang tua juga memiliki pandangan bahwa pendidikan itu penting, itulah yang
disampaikan oleh ibu mesni, namun karena keadaan yang membuat mereka
memutuskan untuk berhenti sekolah, khusus untuk anak perempuan lebih memilih
untuk menikah.
Peneliti juga menanyakan kepada anak-anak yang putus sekolah, M
mengungkapkan :
“Saya merasa pendidikan itu biasa saja, cukup lulus SD atau SMP
sudah bisa membantu orang tua cari uang. (wawancara pada Minggu
tanggal 16 April 2017).
Dari hasil wawancara kepada anak kuli yang putus sekolah, M mengatakan
bahwa pendiikan itu tidak terlalu penting, dia lebih memilih untuk mencari uang.
Universitas Sumatera Utara
Dari temuan hasil penelitian yang dilakukan peneliti, keluarga kuli mempunyai
pandangan bahwa pendidikan kurang begitu penting dan hanya memilih pendidikan
yang seperlunya saja, mereka lebih memilih untuk bekerja dari pada meneruskan
sekolah.Kemudian ada juga keluarga kuli yang memiliki pandangan bahwa
pendidikan itu sangat penting namun karena banyak faktor yang mempengaruhi
maka banyak anak-anak mereka yang putus sekolah.
3.3.2. Latar Belakang Rendahnya Tingkat Pendidikan di Kelurahan Aek
Paing
Dalam pembahasan ini akan diuraikan temuan hasil penelitian yang telah
dilakukan di lapangan membahas tentang latar belakang rendahnya tingkat
pendidikan di keluarga kuli bangunan kelurahan Aek Paing, Kec Rantau Utara Kab
Labuhanbatu, sumatera Utara. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa latar
belakang rendahnya tingkat pendidikan adalah karena masalah kurangnya biaya,
kebudayaan yang mereka miliki, dan kurangnya mementingkan Pendidikan.
Banyak anak-anak putus sekolah atau tidak melanjutkan sekolah di kelurahan
Aek Paing.Mereka beranggapan bahwa sekolah hanya cukup bisa membaca dan
menulis saja. Mengingat kemampuan membaca dan menulis sudah dicapai pada
sekolah dasar maka orang tua kadang kadang telah menganggap tidak perlu anaknya
bersekolah sampai tamat SMP atau SMA. Apalagi kalau mengingat kondisi
pekerjaan yang ada di daerah mereka. Kemampuan berproduksi antara yang tamat
SMP dan yang hanya sampai tamat SMA misalnya tidak banyak berbeda, oleh sebab
itu, wajarlah kalau bukti-bukti yang ada menunjukkan sebagian orang tua yang tidak
mampu melanjutkan pendidikan anaknya ke sekolah lanjutan, percaya bahwa tidak
ada gunanya mengeluarkan biaya untuk pendidikan yang lebih tinggi.
Universitas Sumatera Utara
Putus sekolah/tidak melanjutkan sekolah lagi di Kelurahan Aek Paing
khusususnya pada keluarga kuli bangunan tidak hanya merupakan masalah
pendidikan tetapi juga sebagai masalah sosial dan ekonomi.Berbagai faktor sosial
ekonomi (maupun budaya) dapat mempengaruhi tinggi rendahnya tingkat putus
sekolah.Di samping itu putus sekolah kelihatannya agak terselubung, karena mereka
langsung dimanfaatkan sebagai tenaga kerja, mereka langsung menjadi pekerja
keluarga. Kalau mereka sudah jenuh dengan bidang ini atau memang di daerahnya
tidak ada lapangan pekerjaan lain maka mereka cenderung lari ke kota untuk mencari
pekerjaan.
Putus sekolah/tidak melanjutkan sekolah lagi bagi keluarga kuli, tidak hanya
berasal dari keluarga kuli miskin yang tidak mampu, tetapi tidak jarang juga berasal
dari keluarga kuli menengah.Hal ini banyak disebabkan oleh faktor ekonomi.
Adapun sebab-sebab putus sekolah/tidak melanjutkan sekolah lagi di kelurahan Aek
Paing adalah :
1. Faktor pertama yang menyebabkan anak tidak dan putus sekolah adalah
faktor ekonomi.
Keluarga kuli di kelurahan Aek Paing banyak mengatakan biaya yang
kurang menyebabkan mereka putus sekolah. Senada dengan pendapat Candra
(2010 : 4) putus sekolah disebabkan ketidakmampuan keluarga si anak untuk
membiayai segala proses yang dibutuhkan selama menempuh pendidikan atau
sekolah dalam jenjang tertentu walaupun pemerintah telah mencanangkan
wajib belajar 9 tahun, namun belum berimplikasi secara maksimal terhadap
penurunan jumlah anak yang tidak dan putus sekolah. Selain itu, program
Universitas Sumatera Utara
pendidikan gratis yang telah dilaksanakan belum tersosialisasi hingga ke level
bawah.
Konsep gratis belum jelas saasaran pembiayaannya oleh sekolah sehingga
masih dianggap sebagai beban bagi keluarga yang kurang mampu.Sebab, selain
biaya yang dikeluarkan selama sekolah anak harus mengeluarkan biaya untuk
pakaian sekolah, uang daftar, buku dan alat tulis lainnya serta biaya
transportasi atau akomodasi bagi siswa yang jauh dari sekolah.Hal-hal tersebut
masih dianggap sebagai beban oleh orang tua sehingga membuat mereka
enggan untuk menyekolahkan anaknya.Selain itu, mata pencaharian orang tua
anak tidak dan putus sekolah sebagian besar kuli bangunan.
Sejalan juga dengan pendapat Nico (2012) kurangnya pendapatan
keluarga menyebabkan orang tua terpaksa bekerja keras mencukupi kebutuhan
pokok sehari-hari, sehingga pendidikan anak kurang terperhatikan dengan baik
dan bahkan membantu orang tua bekerja, karena dianggap meringankan beban
orang tua anak di ajak ikut orang tua ke tempat kerja yang jauh dan
meninggalkan sekolah dalam waktu yang cukup lama.
Penyebabkan orang tua kurang pendapatan karena proyek pembangunan
sangat minim, dan kekalahan mereka dari kuli-kuli yang berasal dari daerah
kisaran dan Medan yang masih bisa di bayar jauh lebih murah dari kuli
setempat, hal ini menjadikan kuli-kuli di daerah Rantauprapat umumnya dan
kelurahan Aek Paing khususnya lebih sering menganggur dari pada bekerja.
2. Putus/tidak melanjut sekolah karena rendahnya atau kurangnya minat anak
untuk bersekolah.
Universitas Sumatera Utara
Anak-anak kuli putus sekolah di kelurahan Aek Paing mengatakan bahwa
keinginan atau minat dia untuk sekolah memang kurang. Sejalan dengan yang
dikatakan oleh Candra (2010 : 4) bahwa rendahnya minat anak dapat
disebabkan oleh perhatian orang tua yang kurang, jarak antara tempat tinggal
anak dengan sekolah yang jauh, fasilitas belajar yang kurang, dan pengaruh
lingkungan sekitarnya. Minat yang kurang dapat disebabkan oleh pengaruh
lingkungan misalnya tingkat pendidikan masyarakat rendah yang diikuti oleh
rendahnya kesadaran tentang pentingnya pendidikan.Adapula anak putus
sekolah karena malas untuk pergi ke sekolah karena merasa minder, tidak dapat
bersosialisasi dengan lingkungan sekolahnya, sering dicemoohkan karena tidak
mampu membayar kewajiban biaya sekolah.Ketidakmampuan ekonomi
keluarga dalam menopang biaya pendidikan yang berdampak terhadap masalah
psikologi anak sehingga anak tidak bisa bersosialisasi dengan baik dalam
pergaulan dengan teman sekolahnya selain itu adalah peranan lingkungan.
Kemudian Nico (2012) juga mengatakan yang menyebabkan anak putus
sekolah bukan hanya disebabkan lemahnya ekonomi keluarga tetapi juga
datang dari dirinya sendiri yaitu kurangnya minat anak untuk bersekolah atau
melanjutkan sekolah.
Anak usia wajib belajar semestinya menggebu-gebu ingin menuntut ilmu
pengetahuan namun karena sudah terpengaruh oleh lingkungan yang kurang
baik terhadap perkembangan pendidikan anak, sehingga minat anak untuk
bersekolah kurang perhatian sebagaimana mestinya, adapun yang
menyebabkan anak kurang berminat untuk bersekolah adalah anak kurang
mendapat perhatian dari orang tua terutama tentang pendidikannya, juga karena
Universitas Sumatera Utara
kurangnya orang-orang terpelajar sehingga yang mempengaruhi anak
kebanyakan adalah orang yang tidak sekolah sehingga minat anak untuk
sekolah sangat kurang.
3. Faktor ketiga adalah kurangnya perhatian orang tua.
Orang tua di kelurahan Aek Paing banyak yang meminta anaknya untuk
membantu orang tua mencari uang atau bekerja dan kurangnya perhatian orang
tua untuk menyekolahkan anaknya. Senada dengan pendapat Candra (2010 : 4)
mengatakan rendahnya perhatian orang tua terhadap anak dapat disebabkan
karena kondisi ekonomi atau rendahnya pendapataan orang tua si anak
sehingga perhatian orang tua lebih banyak tercurah pada upaya untuk
memenuhi keperluan keluarga.Jumlah anak yang tidak/putus sekolah karena
rendahnya kurangnya perhatian orang tua sangatlah banyak. Dalam keluarga
miskin cenderung timbul berbagai masalah yang berkaitan dengan pembiayaan
hidup anak, sehingga mengganggu kegiatan belajar dan kesulitan mengikuti
pelajaran.Menurut Nico (2012) Pendapatan keluarga yang serba kekurangan
juga menyebabkan kurangnya perhatian orang tua terhadap anak karena setiap
harinya hanya memikirkan bagaimana caranya agar keperluan keluarga bisa
terpenuhi, apalagi kalau harus meninggalkan keluarga untuk berusaha
menempuh waktu berbulan-bulan bahkan kalau sampai tahunan, hal ini tentu
pendidikan anak menjadi terabaikan.
4. Faktor keempat adalah kendala budaya untuk sekolah.
Keluarga kuli di kelurahan Aek Paing mempunyai budaya yang
beranggapan bahwa sekolah kurang begitu penting dan menyekolahkan anak
hanya cukup bisa membaca dan menulis. Sejalan dengan pendapat Candra
Universitas Sumatera Utara
(2010 : 5) kendala budaya yang dimaksudkan adalah pandangan masyarakat
yang menganggap bahwa pendidikan tidak penting. Pandangan banyak anak
banyak rezeki membuat masyarakat Jawa di pedesaan lebih banyak
mengarahkan anaknya yang masih usia sekolah diarahkan untuk membantu
orang tua dalam mencari nafkah.
Pandangan masyarakat yang maju tentu berbeda dengan masyarakat yang
tradisional, masyarakat yang maju tentu pendidikan mereka maju pula,
demikian pula anak-anak mereka akan menjadi maju pula pendidikannya
dibanding orang tua mereka. Maju mundurnya suatu masyarakat, bangsa dan
negara juga ditentukan dengan maju mundurnya pendidikan yang
dilaksanakan. Pada umumnya masyarakat tradisional mereka kurang
memahami arti pentingnya pendidikan, sehingga kebanyakan anak-anak
mereka tidak sekolah dan kalu sekolah kebanyakan putus di tengah jalan.
3.4 Nilai anak Bagi keluarga Kuli Kasar Bangunan.
Anggapan bahwa anak atau keturunan merupakan bagian yang sangat
penting dari tujuan sebuah pernikahan tersebut menimbulkan pendapat dalam
masyarakat, bahwa citra sebuah keluarga tanpa anak akan menjadi suatu hal yang
dapat memunculkan pergunjingan. Bahkan akan mengurangi kebahagiaan individu
tersebut dan menyebabkan penderitaan batin. Semaksimal mungkin keluarga
berusaha untuk mendapatkan anak atau keturunan. Berbagai upaya dilakukan baik
dengan pengobatan medis maupun dengan berbagai rmacam terapi dari dunia
kedokteran seperti pemakaian obat penyubur kandungan, bahkanseiring dengan
berkembangnya zaman untuk mendapatkan keturunan dengan cara
Universitas Sumatera Utara
cloning dan inseminasi buatan (bayi tabung), pengobatan alternatif dan lain
sebagainya.
Apabila anak sudah lahir maka kehadiran anak ditengah keluarga
akanmemberikan dampak yang baik buat ayah dan ibu, karena akan menambah
rasatanggung jawab terhadap keluarga dengan adanya kehadiran anak. Peran
sebagaiorang tua dimulai ketika anak hadir di tengah kehidupan pasangan suami
istri.Seperti yang diungkapkan oleh Kartono (1992) justru dengan kehadiran
dankalahiran anak tersebut nantinya, akan semakin membuat matang fungsi
keayahan
dan semakin matang pula fungsi keibuan. Senada dengan hal itu Chugani
&Woyne (Nugroho, 2003) menyatakan bahwa “orang tua mungkin tidak dapat
berbuat banyak untuk mengubah apa yang terjadi sebelum anak dilahirkan, tetapi
orang tua dapat mengubah apa yang terjadi sesudah anak lahir”.Anak
dianggap penting oleh keluarga dan diharapkan kehadirannya.Berbagai usaha
dilakukan orang tua untuk mendapatkan anak tersebut, makasetelah anak lahir
sepantasnya orang tua merawat dan mendidik buah hatinya.Solihin (2002)
berpendapat bahwa tugas utama setiap orang tua adalah: (a)memberikan fasilitas bagi
perkembangan anak dan (b) membantu memperlancarperkembangan anak menurut
irama dan temponya sendiri-sendiri.Dalam rangka memenuhi tumbuh kembang buah
hatinya tersebut makaorang tua mengikhtiarkan segala daya upaya dengan cara
bekerja untuk memenuhikebutuhan anak. Kamerman dan Kahn (Santrock, 2002)
menyatakan bahwakebijakan keluarga dapat dibagi ke dalam kebijakan yang dapat
menolong peranorang tua sebagai pencari nafkah dan kebijakan yang berkonsentrasi
pada peranorang tua dalam pengasuhan dan perawatan. Kebijakan keluarga sebagai
Universitas Sumatera Utara
pencarinafkah mendukung keluarga sebagai suatu unit ekonomi yang aktif, baik
denganmempertahankan penghasilan minimal tertentu dalam keluarga atau
denganmemberi perawatan dan pengasuhan terhadap anak-anak ketika orang tua
bekerja.
Kebijakan keluarga tentang pengasuhan dan perawatan berfokus pada
kehidupaninternal keluarga, dengan cara meningkatkan fungsi keluarga yang positif
danpengembangan serta kesejahteraan anggota keluarga secara individual. Orangtua
dengan kebijakan-kebijakan tersebut dalam keluarga berusahasemaksimal mungkin
untuk memenuhi kebutuhan anak-anak dengan bekerjakeras. Ratnawati (2000)
berpendapat bahwa kebanyakan orang tua mempunyaituntutan yang tinggi dan
terkesan tidak realistis. Orang tua menuntut dirinyamenjadi orang tua yang dapat
memenuhi semua keinginan anaknya, memberikankasih sayang, bekerja keras untuk
memenuhi kebutuhan anak dan sebagainya.
Tuntutan yang berlebihan itu malah menghambat tugasnya sebagai orang
tua.Disisi lain, dalam keluarga modern seperti ini umumnya kedua orang tua
bekerja.Dampak dari krisis moneter salah satunya adalah bertambahnya kebutuhan
yangtidak dapat terpenuhi, karena harga semakin meningkat. Salah satu cara
untukmemenuhi kebutuhan tersebut adalah dengan menambah penghasilan.
Perubahansosial turut mengubah pola pengasuhan orang tua. Dahulu ibu yang
dirumah, ayahbekerja, maka sekarang keduanya bekerja (Serambi Indonesia, Edisi: 7
juni 2008).Seperti yang dijelaskan oleh Hoffman (Santrock, 2002) bahwa ibu-ibu
bekerjaadalah suatu bagian dari kehidupan modern. Hal itu bukan suatu aspek
kehidupanyang menyimpang dari kebiasaan, tetapi suatu tanggapan terhadap
perubahan-perubahansosial.Tanggapan terhadap perubahan sosial tersebut
Universitas Sumatera Utara
menyebabkan ibu-ibubekerja untuk membantu memenuhi kebutuhan keluarga.
Jumlah keluarga dimanakedua orang tua bekerja menjadi bertambah.
Gambaran di atas hampir sama dengan apa yang penulis temukan pada
keluarga kuli kasar bangunan di kelurahan Aek Paing. Tuntutan untuk memenuhi
kebutuhan anak menyebabkan beberapa di antara orangtua perempuan (ibu) dalam
keluarga kuli memilih ikut bekerja membantu mencukupi kebutuhan keluarga. Disini
penulis mengamati yang terjadi di dalam keluarga kuli kasar bangunan adalah bahwa
tugas utama memberikan kasih-sayang dalam bentuk perhatian telah di gantikan
posisinya lebih kearah pemenuhan kebutuhan materi. Orangtua terlihat cenderung
mengabaikan kebutuhan moril anak, anak kurang mendapatkan perhatian yang lebih
intens dari kedua orangtuanya khususnya ibu. Seperti apa yang di ungkapkan oleh
ibu sumi :
“saya mengakui bahwa memang kami sebagai orangtua kurang
memperhatikan anak. Yang terpenting bagi kami adalah bagaimana supaya kami
bisa tetap memenuhi kebutuhan dan tidak sampai berhutang”.
Disini penulis menyaksikan sendiri hampir setiap hari ibu Sumi ketika setelah
pulang bekerja sebagai pembantu rumah tangga, hal yang pertama iya tanyakan
kepada anak-anaknya adalah “udah makan apa belum ?”. kemudian setelah itu
beliau beristirahat sebentar dan langsung membuat kacang goreng untuk di jual.
Sementara anak bungsu beliau sedang asik berkeliaran di luar rumah tanpa ada
pengawasan dari beliau. Anak bungsunya hanya akan di suruh masuk dan tidur siang
jika beliau mendengar anaknya itu menangis atau berkelahi dengan teman
sepermainannya.
Universitas Sumatera Utara
Konsekuensinya bagi orang tua yang keduanya bekerja adalah setiap orangtua
sering menyangka dengan dipenuhinya kebutuhan biologis, fisik, kesehatan,dan
materi sudah cukup bagi anak. Shochib (dalam Harian Kompas, 1998)menyatakan
bahwa orang tua cenderung hanya memberikan kebutuhan materikepada anak,
sehingga anak menjadi pribadi yang tidak lengkap. Orang tuaberusaha dengan segala
daya upaya melalui kerja keras. Kedua orang tua yangbekerja mempunyai dampak
positif dan negatif terhadap anak. Menurut Santrock(2002) bahwa seorang ibu yang
bekerja purna waktu di luar rumah dapatberpengaruh positif dan negatif bagi anak,
tidak ada indikasi bahwa pengaruhjangka panjang sama sekali negatif.
Dampak positif yang muncul dari orang tua yang keduanya bekerja
yaitukebutuhan anak lebih terpenuhi dari segi materi seperti rumah tinggal
yangnyaman, mainan yang mahal, baju yang bagus untuk anak, kendaraan
untukmengantar jemput dari sekolah dan menyekolahkan anak ditempat favorit
dananak juga lebih mandiri. Menurut psikolog Adelar (dalam Ratnawati,
2000)bahwa sisi positif meninggalkan anak adalah anak menjadi cepat
mandiridibandingkan dengan anak yang terus-menerus dibantu. Anak-anak yang
biasaditinggal orang tua menjadi terbiasa memenuhi kebutuhannya sendiri dan
belajarmencari kesibukan sendiri. Ditambah lagi anak menjadi terbiasa
memegangtanggung jawab.Padahal dengan waktu yang banyak tersita untuk bekerja
tersebut dapatmenimbulkan dampak negatif juga yaitu semakin sedikit waktu yang
tersisa untukmemenuhi kebutuhan sosial dan pengajaran bagi anak, anak kurang
perhatian,sehingga anak kurang dekat dengan orang tua. Ratnawati (2000)
menyatakanbahwa di sisi lain, kalau anak terus dibiarkan sendirian, ada dampak
Universitas Sumatera Utara
kehilanganyang bisa terjadi. Yang paling mungkin adalah kehilangan teman
berbincang-bincangserta tidak ada respon dari orang yang lebih dewasa.
Dari hasil pengamatan penulis selama melakukan penelitian ini, hampir
semua keluarga kuli kasar bangunan menunjukan sikap kasih dan saying serta
perhatian hanya kepada anak-anak mereka yang berumur di bawah 10 Tahun. Anak-
anak di atas 10 tahun cenderung di biarkan, dan kalau anak-anaknya itu meminta,
barulah orangtua merespon. Bentuk pemberian kasih-sayang dan perhatian kepada
anak-anaknya secara umum di wujudkan dalam bentuk pemberian materi. Seperti
membelikan mainan, membelikan jajanan apa yang anaknya inginkan, dan lain
sebagainya.
Orangtua dalam keluarga kuli ini memiliki pandangan yang berbeda dari
kebanyakan orangtua lainnya mengenai kasih-sayang terhadap anak. Khususnya
dalam masalah pendidikan anak. Jika pada keluarga batak ada istilah biar rumah
gubuk asalkan anak sekolah tinggi, namun pada keluarga kuli Jawa ini tidak
demikian. Orangtua dalam keluarga kuli ini tidak terlalu memprioritaskan pendidikan
bagi anak-anaknya. Seperti yang terjadi pada salah satu keluarga kuli di kelurahan
Aek Paing. Ibu Sumi mengatakan suaminya sempat melarang anak sulungnya untuk
kuliah di Medan. Namun anaknya tetap kukuh untuk kuliah, alhasil suaminya
memberikan penawaran kepada anaknya itu untuk membelikannya sepeda motor asal
anaknya tidak berangkat kuliah di Medan. Menurut penuturan dari beberapa
informan mengenai kurangnya dukungan orangtua terhadap pendidikan anak, penulis
menemukan adanya sebuah ketakutan dari segi financial bahwa para orangtua ini
tidak akan sanggup membiayai anak-anaknya yang berkuliah di kota Medan, dan
takut kalau-kalau nantinya anak-anak mereka itu putus sekolah di tengah jalan. Dari
Universitas Sumatera Utara
apa yang di sampaikan ibu Sumi di atas, penulis mendapatkan suatu gambaran bahwa
pada masyarakat kelurahan Aek Paing memang ada terbentuk pola pemikiran
bahwaorang lain akan bangga kepada mereka jika anaknya telah bekerja dan
memiliki kendaraan sendiri, bukan bersekolah.
Universitas Sumatera Utara
BAB IV
ETOS KERJA BUDAYA KEMISKINAN DAN POLA ASUH
Pada sebagian masyarakat Jawa, terutama yang berprofesi sebagai buruh
bangunan, masalah ekonomi menjadi kendala yang penting dalam hidup mereka.
Masalah keadaan ekonomi mampu mempengaruhi hubungan antara orang tua dan
anak. Dengan kata lain, pola asuh adalah hal yang dapat di pengaruhi oleh nilai-nilai
dasar kehidupan manusia seperti yang di sebutkan oleh Kluckhohn. Menurut
Kluckhohn yang dikutip oleh Koentjaraningrat ada lima masalah dasar dalam
kehidupan manusia yang berkaitan dengan nilai budaya, yakni masalah yang
berkenaan dengan hakekat hidup, karya, waktu, alam dan hubungan antara manusia
(Koentjaraningrat, 1981:28) . Ini artinya, wujud kebudayaan suatu masyarakat yang
merupakan hasil dari tanggapan aktif terhadap lingkungan dalam arti luas tidak lepas
dari pendukungnya didalam memandang hidup, karya, waktu, alam dan hubungan
antar sesamanya. Pandangan inilah yang pada gilirannya mewarnai etos kerja dari
suatu masyarakat. Dalam masyarakat Jawa, lima nilai dasar dari Kluckhon ini di
pahami sebagai apa yang di sebut dengan falsafah orang Jawa. Dalam berfilosofi,
orang Jawa seringkali menggunakan unen-unen untuk menata hidup manusia.
Berikut beberapa dari sekian banyak falsafah yang menjadi pedoman hidup
orang Jawa.Urip Iku Urup yaitu hidup itu nyala, hidupitu hendaknya memberi
manfaat bagi orang lain disekitar kita, semakin besar manfaat yang bisa kita berikan
tentu akan lebih baik. Memayu Hayuning Bawana, yaitu manusia hidup di dunia
harus mengusahakan keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan; serta
memberantas sifat angkara murka, serakah dan tamak.Sura Dira Jaya Jayaningrat,
Lebur Dening Pangastuti, yaitu segala sifat keras hati, picik, angkara murka, hanya
Universitas Sumatera Utara
bisa dikalahkan dengan sikap bijak, lembut hati dan sabar.Ngluruk Tanpa Bala,
Menang Tanpa Ngasorake, Sekti Tanpa Aji-Aji, Sugih Tanpa Bandha, yaitu berjuang
tanpa perlu membawa massa. Menang tanpa merendahkan atau mempermalukan.
Berwibawa tanpa mengandalkan kekuasaan, kekuatan,kekayaan atau keturunan, kaya
tanpa didasari kebendaan.Datan Serik Lamun Ketaman, Datan Susah Lamun
Kelangan, yaitu jangan gampang sakit hati manakala musibah menimpa diri. Jangan
sedih manakala kehilangan sesuatu.Aja Gumunan, Aja Getunan, Aja Kagetan, Aja
Aleman , yaitu jangan mudah terheran-heran, jangan mudah menyesal, jangan mudah
terkejut-kejut, jangan mudah ngambeg, jangan manja. Aja Ketungkul Marang
Kalungguhan, Kadonyan lan Kemareman, yaitu, janganlah terobsesi atau
terkungkung oleh keinginan untuk memperoleh kedudukan, kebendaan dan kepuasan
duniawi.Aja Kuminter Mundak Keblinger, Aja Cidra Mundak Cilakta, yaitu jangan
merasa paling pandai agar tidak salah arah, jangan suka berbuat curang agar tidak
celaka.Aja Milik Barang Kang Melok, Aja Mangro Mundak Kendo, yaitu jangan
tergiur oleh hal-hal yang tampak mewah, cantik, indah; jangan berfikir mendua agar
tidak kendor niat dan kendor semangat.Aja Adigang, Adigung, Adiguna, yaitu jangan
sok kuasa, sok besar, sok sakti (sumber: sabdalangit.wordpress.com).
Berikut ini lima masalah dasar dalam kehidupan manusia yang berkaitan
dengan nilai budaya pada keluarga kuli di kelurahan Aek Paing :
1. Hakekat Hidup
Pada dasarnya, hakekat hidup keluarga kuli kasar bangunan tidak terlalu
jauh berbeda dengan hakekat hidup masyarakat jawa pada umumnya. Secara
umum mereka masih memegang dan menjalankan falsafah jawa sepertiMemayu
Universitas Sumatera Utara
Hayuning Bawana, yaitu manusia hidup di dunia harus mengusahakan
keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan; serta memberantas sifat angkara
murka, serakah dan tamak.Sura Dira Jaya Jayaningrat, Lebur Dening
Pangastuti, yaitu segala sifat keras hati, picik, angkara murka, hanya bisa
dikalahkan dengan sikap bijak, lembut hati dan sabar, Datan Serik Lamun
Ketaman, Datan Susah Lamun Kelangan, yaitu jangan gampang sakit hati
manakala musibah menimpa diri. Jangan sedih manakala kehilangan sesuatu.Aja
Gumunan, Aja Getunan, Aja Kagetan, Aja Aleman , yaitu jangan mudah
terheran-heran, jangan mudah menyesal, jangan mudah terkejut-kejut, jangan
mudah ngambeg, jangan manja. Dan lain sebagainya.
2. Karya.
Dalam keluarga kuli kasar bangunan, bekerja dengan ikhlas dan tulus
adalah sebuah karya yang mereka lakukan dalam kehidupan sehari-hari. Bagi
mereka, bekerja bukan hanya soal menghasilkan uang, walaupun hal ini adalah
tujuan utama dalam bekerja. Namun di sisi lain, bekerja juga merupakan suatu
rutinitas yang harus mereka lakukan agar hidup menjadi berkah, badan menjadi
sehat dan juga bekerja juga merupakan salah satu kewajiban ibadah yang harus
mereka lakukan dalam pertanggung jawabaan di hadapan Allah SWT nantinya.
Seperti halnya yang di sampaikan oleh salah satu informan yaitu bapak Ponidi :
“Hidup itu memang bukan hanya tentang mencari uang (bekerja), tapi
bekerjalah demi untuk tetap hidup dan jangan hidup jika tidak mau bekerja”
3. Waktu
Dalam kehidupan keluarga kuli kasar bangunan, waktu merupakan hal yang
sangat berharga, hampir sejalan dengan sebuah pribahasa yang mengatakan
Universitas Sumatera Utara
“waktu adalah uang”. Seperti itu lah yang dituturkan oleh bapak Riadi, salah
satu informan dalam penelitian ini. Bagi keluarga kuli, tidak ada waktu untuk
tenang-tenang atau berdiam diri, tidak ada waktu untuk meratapi nasib yang
terjadi, waktu harus di gunakan sebaik mungkin untk terus bekerja, bekerja, dan
bekerja. Selagi masih ada kesempatan untuk bekerja, maka kesempatan itu harus
di manfaatkan sebaik mungkin, karena, kita tidak tau kedepannya kita akann
dapat kesempatan itu lagi atau tidak.
4. Alam
Dalam kehidupan keluarga kuli kasar bangunan, alam adalah teman hidup
selain sesame manusia. Bagi mereka, merusak alam sama dengan merusak
kehidupan. Alam memberikan feedback yang berbanding lurus dengan apa yang
dilakukan manusia, jika perlakuan manusianya baik, maka alam juga akan
memberikan feedback yang baik pula, begitu juga dengan sebaliknya.
Berdasarkan hasil pengamatan penulis selama melakukan penelitian ini, memang
tampak terlihat rata-rata masyarakat kelurahan Aek paing begitu memelihara
alam sekitar lingkungan mereka. Halk ini tampak dengan banyaknya tanaman-
tanaman obat-obatan, pepohonan hijau, dan bunga-bunga yang mereka Tanami
masing-masing di area sekitar rumah mereka.
5. Hubungan Manusia dengan Manusia
Berkaitan hubungan manusia dengan manusia, keluarga kuli kasar bangunan
masih teguh melandaskan masalah ini pada falsafah kesukuan mereka, yaitu
falsafah Jawa. Ada beberapa falsafah yang masih bisa kita lihat dengan mudah
pada masyarakat ini beberapa di antaranya yaitu, Sura Dira Jaya Jayaningrat,
Lebur Dening Pangastuti, yaitu segala sifat keras hati, picik, angkara murka,
Universitas Sumatera Utara
hanya bisa dikalahkan dengan sikap bijak, lembut hati dan sabar.Ngluruk Tanpa
Bala, Menang Tanpa Ngasorake, Sekti Tanpa Aji-Aji, Sugih Tanpa Bandha,
yaitu berjuang tanpa perlu membawa massa. Menang tanpa merendahkan atau
mempermalukan. Berwibawa tanpa mengandalkan kekuasaan,
kekuatan,kekayaan atau keturunan, kaya tanpa didasari kebendaan.Datan Serik
Lamun Ketaman, Datan Susah Lamun Kelangan, yaitu jangan gampang sakit
hati manakala musibah menimpa diri. Jangan sedih manakala kehilangan
sesuatu.Aja Gumunan, Aja Getunan, Aja Kagetan, Aja Aleman , yaitu jangan
mudah terheran-heran, jangan mudah menyesal, jangan mudah terkejut-kejut,
jangan mudah ngambeg, jangan manja.
4.1 Etos Kerja dan Budaya kemiskinan
Budaya/Etos kerja adalah suatu falsafah dengan didasari pandangan hidup
sebagai nilai-nilai yang menjadi sifat, kebiasaan dan juga pendorong yang
dibudayakan dalam suatu kelompok dan tercermin dalam sikap menjadi perilaku,
cita-cita, pendapat, pandangan serta tindakan yang terwujud sebagai kerja. Dalam
keluarga kuli kasar bangunan masyarakat Jawa, mengenai etos kerja tidak dapat
dipisahkan dari agama dan budaya Jawa yang mereka anut. Disini penulis akan
mngemukakan sedikit mengenai etos kerja dalam Islam karena seluruh keluarga kuli
bangunan di kelurahan Aek Paing beragama Islam.
Meminjam pisau analisis Geertz (1983)tentang varian Abangan, Santri,dan
Priyayi maka tradisi dan kepercayaan kuli Jawa ini lebih cocok diklasifikasikan
dalam varian Islam abangan. Sebagai Islam abangan, mereka teramat longgar dalam
menyarikan ajaran dan menjalankan syariat Islam. Longgarnya praktik menjalankan
Universitas Sumatera Utara
syariat Islam dapat diindikasikan dari berbagai aktivitas sosial serta tingkah laku
sehari-hari. Dari hasil obserevasi penulis, kebanyakan kepala keluarga dari keluarga
kuli kasar bangunan dapat dikatakan sangat jarang sekali Shalatdi masjid, dan rata-
rata anak-anak mereka khususnya yang laki-laki yang sudah menginjak masa remaja
dan juga dewasa juga melakukan hal yang sama. Pengawa- san mengenai kewajiban-
kewajiban terhadap syariat agama tampaknya luput sebagaitanggungjawab orangtua
di dalam keluarga. Seperti apa yang di ungkapkan oleh M anak dari keluarga bapak
Gimang dan ibu Mesni :
“saya bukan tidak mau shalat, tapi belum dapat hidayah.
Karena sudah kebiasaan tidak shalat dari kecil sih, makanya
sampai udah sebesar ini jadi kebawa. Memang orangtua saya
tidak pernah marah kalau kami semua (anak-anaknya) tidak ada
yang shalat, ya paling merepet sedikit, abis itu udah, gitu aja.
Lagian bapak juga jarang shalat, kek mana anaknya mau shalat
orang bapaknya aja enggak shalat. (wawancara tanggal 28 Mei
2017)
Rata-rata kuli bangunan sebenarnya memiliki semangat kerja tinggi, tetapi
etika kerja yang difahami tidak sesuai dengan ajaran Al Quran dan Hadits Nabi.
Longgarnya pemahaman nilai agama dan tatanan etika yang dianut inilah kiranya
yang membentuk sifat dan karakter kuli cenderung “permisif, foya-foya dan boros.
Kurang adanya keseimbangan antara nafsu pemenuhan duniawi dengan praktek
ajaran agama. Hal ini bisa di buktikan dengan keadaan keluarga kuli di kelurahan
Aek Paing, seperti mabuk-mabukan selepas gajian yang dilakukan oleh para pemuda-
pemudanya, berbelanja hal-hal yang tidak perlu oleh beberapa orangtua, dan lain
sebagainya.Peneliti menyaksikan langsung pada salah satu keluarga kuli kasar
bangunan yang juga merupakan informan dalam penelitian ini. Ketika mereka baru
tiba di rumah dengan barang-barang bawaan yang bisa di katakan cukup banyak, ada
Universitas Sumatera Utara
barang-barang keperluan rumah tangga, mainan anak-anak, dan banyak sekali
makanan dan buah-buahan. Berikut hasil penuturan ibu Sumi mengenai hal tersebut :
“Bapaknya baru dapat balen (Keuntungan) dari proyek
perumnas yang tempo hari nak pandu ikut kesana. Karena sudah
janji dengan si Puspa dan Dila untuk membelikan buah dan
mainan boneka. Saya juga tempo hari sudah bilang ke bapaknya
bahwa Ricecooker di dapur sudah rusak. Jadi mumpung lagi ada
uang lebih, kami belikan lah keperluan-keperluan seperti yang
anak lihat ini.(wawancara tanggal 27 Mei 2017)
Rendahnya pemahaman agama dan kepatuhan terhadap perintah agama
menjadikan mereka salah menafsirkan ajaran-ajaran Islam, seperti pasrah akan
keadaan karena suatu keadaan atau nasib datangnya dari Allah dan akan kembali
kepadaNya. Sejalan dengan apa yang di tuturkan informan kepada peneliti mengenai
hal tersebut, menurut bapak Gimang :
“bagi saya, hidup semata-mata bukan soal kaya dan serba
berkecukupan. Tapi hidup lebih ke bagaimana cara kita
menikmati dan mensyukuri apa yang telah ada. Menjadi kaya
juga tidak pernah di wajibkan dalam ajaran apapun dan dalam
Undang-Undang 1945. Saya menikmati hidup kami seperti ini, ya
walaupun terkadang keadaan susah juga menjadi masalah,
namun menurut saya itulah letak kenikmatannya. Namanya juga
hidup, ya harus punya masalah, kalau tidak mau punya masalah
mending tidak usah hidup, iya kan ?. masalah dalam hidup itu
bumbu-bumnya lah di ibaratkan. Kalau kita makan sayur tidak
pakai bumbu kan kurang sedap. (wawancara tanggal 26 Mei
2017)
Sama halnya juga dengan apa yang di kemukakan oleh bapak Ponidi :
“Kami bukan malas bekerja, anak lihat saja sendiri, kan
sudah pernah ikut bapak kerja toh ?, pasti anak tahu bagaimana
kami bekerja. Maslahnya kenapa masih susah begini ya kembali ke
pribadi masing-masing. Kalau saya sih berfikirannya mungkin
belum di izinkan Allah untuk hidup dalam kelebihan. Lah wong
begini saja sering lupa dan malas untuk bersujud kok, konpon lagi
kalau kaya. Tapi untungnya keluarga saya mengerti, istri dan
anak-anak saya. Istri saya tidak pernah iri dengan tetangga
sebelah yang sering gonta-gantii emas (kalung dan gelang), sering
gonta-ganti kereta (sepeda motor). Begitu juga dengan anak-anak
Universitas Sumatera Utara
saya, mereka tidak pernah menuntut untuk di belikan sesuatau.
Kalau mereka ingin, ya mereka cari uang sendiri. Anak-anak saya
itu memang anak-anak yang budiman. (wawancara tanggal 26 Mei
2017)
Pemahaman ini menjadikan keluarga kuli terkesan menerima keadaan dan
cenderung tidak memikirkan trobosan untuk keluar dari keadaan miskin yang mereka
alami.Keadaan miskin yang dialami secara terus-menerus bahkan turun-temurun
dimaknai sebagai cobaan dari Allah dan atas pemahaman perintah agama mereka
memilih menerima (terkesan pasrah) dan bersyukur masih bisa bertahan hidup
sampai sekarang.Seperti apa yang diungkapkan oleh bapak Riadi :
“Saya kira untuk memikirkan harta dalam hidup itu terlalu
naif, banyak hal yang bisa kita lakukan walau dengan hidup
seadanya. Ada rezeki hari ini ya di syukuri, kalu tidak ada ya
besok di cari. Semudah itu jika kita memaknai hidup atas dasar
kepasrahan terhadap takdir Allah. Jika hari ini kamu susah, ya
terima. Mungkin itu pelajaran dari Allah agar kamu tau
bagaimana caranya bekerja dan menghasilkan uang. Jika
kemudian kamu kaya, syukuri, karena bisa jadi itu tidak
selamanya. Pada akhirnya, tujuan kamu hidup bukan semata-
mata mencari harta atau kekayaan. Tapi bagaimana hidup ketika
kamu mampu bersabar dalam susah, dan bersyukur dalam
kaya.(wawancara tanggal 26 Mei 2017)
Menegenai etos kerja berdasarkan suku Jawa,bagi masyarakat Jawa kelas
bawah yang tinggal di pedesaan atau di perkotaan jarang memikirkan hakikat kerja
dan usaha, termasuk juga pada masyarakat jawa di kelurahan aek paing.Mereka
hanya tahu bahwa mereka harus terus berikhtiar dan bekerja. Bagi mereka bekerja itu
merupakan suatu keharusan untuk mempertahankan hidup karena itu di kalangan
masyarakat kelas bawah dikenal dengan falsafah “ Ngupaya upa” yang artinya
bekerja hanya untuk mendapatkan makan. Sebaliknya masyarakat kelas menengah
Universitas Sumatera Utara
dan masyarakat kelas atas telah memilki tujuan dan hakekat kerja, sehingga segala
usaha yang dijalankan selalu dihubungkan dengan hasil yang diharapkan. Falsafah
yang banyak dipahami oleh mereka adalah “jer basuki nawa beya” artinya bekerja
merupakan segala sesuatu dicita-citakan dan harus disertai dengan usaha yang
sungguh-sungguh. Falsafah lain yang sering dihubungkan dengan hakekat kerja
adalah “sepi ing pamrih rame ing gawe”. Falsafah ini mengandung arti bahwa setiap
orang mau menolong orang lain tanpa mengharapkan pujian dan imbalan
materi.(Margaret. P. Guatama 2003:17)
Mengenai etos kerja suku Jawa yang terkenal ulet dan rajin, hal ini di buktikan
dengan jam kerja perhari yang dilakukan para kuli kasar di kelurahan Aek Paing.
Para Kuli kasar di kelurahan Aek Paing bekerja selama 9 (sembilan) sampai 10
(sepuluh) jam/hari. Hal ini berarti para kuli kasar bangunan di kelurahan Aek Paing
bekerja di atas jam kerja normal pada setiap harinya. Pembuktian lainnya dapat
dilihat dari hari kerja yang dilakukan para pekerja bangunan setiap pekannya.
Dalam satu pekan (minggu).Dalam satu pekan (minggu) para pekerja kuli
bangunan di kelurahan Aek Paing bekerja selama 6 (enam) hari dari 7 (tujuh) hari
yang tersedia.Terkadang mereka juga harus lembur di hari minggu untuk
menyiapkan target pekerjaan agar tidak molor pada waktu yang telah ditetapkan.Ini
juga berarti bahwa para pekerja kuli bangunan di kelurahan Aek Paing bekerja di atas
hari normal orang-orang lain bekerja.
Sejalan dengan apa yang di ungkapkan Margaret P. Gutama di atas, meskipun
dengan semnagat kerja yang seperti ini, para pekerja kuli bangunan masih tetap
tergolong dalam kategori miskin atau berada dalam taraf ekonomi rendah karena
mereka (para pekerja kuli kasar bangunan) tidak memiliki tujuan dan hakekat kerja.
Universitas Sumatera Utara
Mereka hanya bekerja untuk keperluan sandang, pangan dan papan. Mereka tidak
bekerja untuk tujuan meningkatkan taraf hidup dan menigkatkan keadaan ekonomi.
Para kuli kasar bangunan cenderung bekerja hanya untuk lepas makan, jika di rasa
cukup, maka tidak kerja, jika uang sudah mulai menipis, maka bekerja lagi.Seperti
apa yang di ungkapkan oleh bapak Gimang :
“Saya bekerja tidak tentu, kadang sebulan penuh, kadang
dalam satu bulan hanya kerja 2 minggu yang penting masih bisa
untuk makan dan biaya keperluan lain untuk anak-anak.
Namanya juga bangunan (pekerja kuli bangunan) ya memang
begini, tidak tentu kerjanya, kadang sampai panjang, 3 (tiga)
sampai 5 (lima) bulan terus-terusan kerja. Kalau seperti ini
berarti besar proyeknya, seperti membangun sekolah atau
komplek perumnas. Tapi kadang-kadang seperti yang saya bilang
tadi, cuman 2 minggu. Kadang kalau seperti proyek yang sampai
5 (lima) bulan itu, ketika sudah selesai proyeknya dan dapat
balen (keuntungan), bisa sampai 2 (dua) atau 3 (tiga) minggu
saya tidak kerja. Ya saya di rumah saja. Lah wong uangnya
masih banyak, hehehe. (wawancara tanggal 26 Mei 2017)
Sejalan dengan apa yang di sampaikan oleh bapak Ponidi :
“Bangunan itu capek kerjanya, kadang saya juga sering
sakit 2 (dua) sampai 3 (tiga) hari. Makanya wajar kalau orang-
orang bangunan (para pekerja kuli) 3 (tiga) minggu kerja 1 (satu)
minggu nggak kerja. Saya juga sering begitu. Apalagi kalau
sudah merantau/manda.
Kadang sampai 2 (dua), 3 (tiga) bulan gak pulang. Itu
selama 2 (dua), 3 (tiga) bulan full kerjanya, nonstop tanpa libur
satu hari pun. Kalau merantau/manda memang biasa kayak gitu,
untuk mempercepat waktu pekerjaan, semakin lama disana kan
semakin banyak keluar biaya, ya seperti makan, untuk cuci baju,
belum lagi rokok, pulsa ya macamlah. Belum lagi kalau di daerah
perantauan itu harga apapun jadi mahal-mahal. Kayak pula yang
10 ribu aja harganya bisa jadi 15 ribu. Kalau uda kerja nonstop
gitu, begitu pulang (kerumah) ya bisa sampai 2 (dua) minggu gak
kerja. Karena harus istirahatin badan dulu, kadang uda dua
minggu pun capeknya masih belum hilang juga. Di tambah lagi
memang tidak ada beban, karena persediaan uang masih cukup.
Kalau uang sudah mulai menipis, baru terpaksa, mau gak mau
harus cari kerja lagi. (wawancara tanggal 26 Mei 2017)
Universitas Sumatera Utara
Namun tidak serta-merta keadaan miskin kehidupan kuli kasar bangunan ini di
dasari oleh etos kerja yang seperti di jelaskan di atas. Lebih jauh lagi, ada beberapa
faktor eksternal yang juga turut mengambil peran terhadap keadaan kehidupan
keluarga kuli kasar bangunan yang tergolong miskin.
Dari hasil penelitian, penulis mengungkapkan beberapa temuan yang dapat
menjadi alasan mengenai keadaan statis kemiskinan yang di alami para keluarga kuli
bangunan di kelurahan aek paing sebagai berikut :
1. Keterbatasan proyek pembangunan di Kabupaten Labuhanbatu yang
menyebabkan para pekerja bangunan di kabupaten Labuhanbatu umumnya dan
di kelurahan Aek Paing khusunya sulit mendapatkan pekerjaan.Selain itu,
keadaan ekonomi masyarakat Labuhanbatu yang rata-rata tergolong ekonomi
menengah kebawah membuat proyek-proyek pembangunan seperti rumah, toko
dan bangunan lainnya terbilang jarang muncul. Hal ini membuat para pekerja
bangunan menjadi sulit untuk mendapatkan pekerjaan mengingat pekerjaan
mereka yang berkecimpung dalam bidang pembangunan.
Hal ini di kemukakan oleh salah satu informan bernama bapak Ponidi :
“Di Ranto (Rantauprapat) ini, payah kali kerjaan kek gini
(kuli bangunan). Kamu lihat lah setiap pagi di depan gang sana,
banyak bapak-bapak duduk-duduk itu kan ?. itu bukan karena
orang tiu hobi kombur (ngobrol), tapi gak betah dirumah karena
istrinya merepet (mengoceh) aja dia gak kerja-kerja. Jadi di
situlah tempat orang-orang bangunan (pekerja kuli) mencari
informasi mengenai kerjaan.
Di Ranto (Rantauprapat) ini payah kali kerjaan karena
proyek dari bupati payah kali turun. Udah berapa kali ganti
bupati pun yang di bangun cuman kalau gak jalan, jembatan
sama puskesmas. Jarang kali proyek besar, hampir gak pernah
pun. Udah gitu pun kalau paling ada ya perumnas lah, kalau gak
orang cina bangun ruko, atau orang-orang kyak kita gini
Universitas Sumatera Utara
ngerenop (renovasi) rumah atau bangun rumah
biasa.(wawancara tanggal 26 Mei 2017)
2. Kurangnya skill dan pengetahuan serta modal usaha di bidang lain membuat
para pekerja bangunan di Aek Paing tidak bisa beralih ke profesi lain yang lebih
menjanjikan ketimbang menjadi kuli bangunan. Keterbelakangan pendidikan,
informasi serta pengetahuan dan keahlian menjadikan para buruh bangunan di
kelurahan Aek Paing sangat tidak mungkin untuk beralih profesi ke yang lain.
Mereka hanya bisa pasarah dan menunggu datangnya pekerjaan karena tidak ada
hal lain yang bisa mereka lakukan selain menjadi buruh kasar bangunan.
Seperti apa yang di sampaikan oleh bapak Abdurrachman selaku tokoh
masyarakat di likngkungan Aek Paing ini yang juga merupakan pensiunan
pegawai negri sipil :
“Orang bangunan (pekerja kuli bangunan) disini memang
susah juga untuk nyari kerjaan. Udah gitupun, mereka enggak
punya keahlian di bidang lain untuk beralih profesi semisal jadi
tukang pangkas, sopir, atau berjualan. Kalau untuk jualan susah
juga sih, modal mereka juga gak ada. Pendidikannya rendah sih,
jadi wawasannya kurang, kurang bijak gitu untuk melihat
peluang usaha-usaha lain. Lagian memang kampung ini pun
orang-orangnya lamban dapat informasi, males gitu. Orang
kalau nonton tv pun yang di lihat cuman acara dangdut, india,
kalau gak sinetron tukan bubur naik haji. Malas nonton-nonton
berita, paling-paling mentok nonton berita itupun berita
olahraga.(wawancara tanggal 26 Mei 2017)
Penulis juga sempat mengklarifikasi pendapat yang disampaikan oleh bapak
Abdurrachman tersebut dengan beberapa informan yang termasuk dalam
kelompok kuli kasar bangunan. Namun hal ini juga sejalan dengan apa yang di
sampaikan oleh bapak Riadi :
“Kalau saya mau kerja apalagi selain kerja bangunan (kuli
bangunan), wong saya juga gak punya keahlian lain selain
Universitas Sumatera Utara
masang batu, mlaster dan masang keramik. Kalau mau jualan,
jualan apa lah coba ?, modal pun gak ada”.
“Kalau mau cari informasi tentang kerjaan pun ya dari mulut
ke mulut. Mau baca koran, korannya gak ada, nonton tv ya paling
acara dangdut aja, itupun kalau gak kalah sam istri yang nonton
sinetron. Paling nonton berita pagilah, berita
olahraga”.(wawancara tanggal 26 Mei 2017)
3. Kalah bersaing dengan pekerja bangunan yang berasal dari kota Kisaran dan
kota Medan yang masih bersediah di bayar lebih murah di bandingkan dengan
kuli-kuli lokal. Walaupun jika dilihat kualitas pekerjaan kuli-kuli lokal jauh
lebih baik di banding dengan kuli-kuli luar kota. Namun para pemborong atau
pemilik proyek cenderung lebih memilih kuli-kuli dengan bayaran murah atas
alasan dapat menekan budget. Dari hasil analisis penulis, mahalnya ongkos atau
biaya pembayaran kuli-kuli lokal di karenakan biaya kehidupan mereka yang
juga semakin meningkat. Hal ini sesual dengan penuturan salah satu informan
penulis yang bernama bapak Pawiro :
“Memang susah orang-orang bangunan disini sekarang
nyari kerja. Udalah proyeknya kecil-kecilan, eh malah di tambah
lagi perantau-perantau dari kisaran sama medan. Sekarang uda
banyak pemborong-pemborong di Ranto ini pake tukang dan
kernet orang-orang itu. Memang murah sih bayarannya, cuman
kalog masalah hasil, kualitas dan kerapiannya jauh lebih bagus
tukang-tukang disini ketimbang orang itu.
Hal serupa juga hampir sam di kemukakan oleh beberapa
informan lain seperti bapak Gimang, bapak Riadi, M, bapak dan juga
bapak Ponidi. Pendapat yang selaras ini memungkinkan terjadi
karena memang perasaan yang gerah dengan mulai maraknya
kehadiran tukang-tukang bangunan dari kota Kisaran dan Medan.
Universitas Sumatera Utara
Biaya hidup di daerah labuhanbatu tidaklah murah, harga-harga sembako dan
harga-harga barang-barang lainnya sangat tidak jauh berbeda dengan yang sering kita
lihat di Jakarta melalui televisi. Sedangkan jika pekerja dari luar kota seperti Kisaran
dan Medan, mereka manda di sini. Biaya makan dan kehidupan selama mereka
bekerja disini juga ditanggung oleh pemborongnya. Dan mereka juga bersedia makan
seadanya. Maka sebab itulah para kuli-kuli dari luar kota masih bersedia di bayar
lebih murah di bandingkan dengan kuli-kuli lokal itu sendiri.
Alasan-alasan di atas adalah hasil temuan penulis yang juga turut
menyebabkan para keluarga kuli kasar bangunan di kelurahan Aek Paing masih tetap
dalam keadaan ekonomi yang rendah dan kekurangan. Dengan hal ini, berakibat pada
polah asuh terhadap anak-anak seperti apa yang telah di jelaskan di atas. Tidak hanya
mengenai perhatian dan hubungan komunikasi, keadaan ini juga berpengaruh besar
terhadap tingkat pendidikan anak di keluarga kuli kasar bangunan di kelurahan Aek
Paing.
Prinsip hidup keluarga yang di dasari etos kerja pada keluarga kuli kasar
bangunan juga mendasari apa yang telihat pada tulisan ini. Keadaan ekonomi dan
kehidupan kuli kasar bangunan yang terkesan “begitu-begitu saja” di dasari oleh
pemahaman yang kurang atas tafsiran perintah Tuhan melalui Al-Quran menjadikan
kuli kasar bangunan di kelurahan Aek Paing terkesan pasrah dan menerima keadaan
seperti itu atas dasar takdir dari yang Maha Kuasa.
4. 2 Etos Kerja Budaya Kemiskinan dan Polah asuh.
Dalam pola asuh keluarga kuli kasar bangunan masyarakat Jawa di kelurahan
Aek Paing, etos kerja dan budaya kemiskinan memiliki pengaruh tersendiri
Universitas Sumatera Utara
terghadap pola asuh yang di terapkan oleh orangtua dalam keluarga kuli kasar
bangunan masyarakat Jawa di kelurahan aek Paing. Pengaruh terhadap pola asuh
yang di terapkan oleh orangtua dalam keluarga kuli kasar bangunan berimbas pada
kepribadian dan psikologis anak. Anak-anak dari keluarga kuli kasar bangunan
cenderung memperhatikan dan mengamalkan apa yang ia lihat dan pahami dari
keadaan hidup dan prilaku orangtuanya.
4.2.1 Pengaruh Etos Kerja dan Budaya Kemiskinan dan Pola Asuh
Seperti apa yang telah di jelaskan pada bab IV awal, bahwa etos kerja
masyarakat Jawa tidak memiliki tujuan dan hakekat kerja. Hal ini menyebabkan para
keluarga kuli kasar bangunan hanya bekerja untuk keperluan sandang, pangan dan
papan. Mereka tidak bekerja untuk tujuan meningkatkan taraf hidup dan
menigkatkan keadaan ekonomi.
Para kuli kasar bangunan cenderung bekerja hanya untuk lepas makan, jika di
rasa cukup, maka tidak kerja, jika uang sudah mulai menipis, maka bekerja lagi.
Keadaan seperti ini menyebabkan tingkat ekonomi keluarga kuli kasar bangunan
cenderung statis atau tetap berada dalam kategori miskin dalam waktu yang sangat
panjang, bahkan turun-temurun. Keadaan miskin yang cenderung terus menerus ini
membentuk pola pengasuhan yang cenderung seperti apa yang di ungkapkan Martin
& Colbert dalam Karlinawati silalahi (2010) yaitu pola pengasuhan Liberal. Pola
asuh liberal/ permisif ditandai dengan adanya kebebasan tanpa batas kepada anak
untuk berbuat dan berperilaku sesuai dengan keinginan anak. Pelaksanaan pola asuh
permisif atau dikenal pula dengan pola asuh serba membiarkan dan orangtua yang
bersikap mengalah, menuruti semua keinginan, melindungi secara berlebihan, serta
memberikan atau memenuhi semua keinginan anak secara berlebihan. Pola
Universitas Sumatera Utara
pengasuhan ini terlihat dengan adanya kebebasan yang berlebihan tidak sesuai untuk
perkembangan anak, yang dapat mengakibatkan timbulnya tingkah laku yang lebih
agresifdan impulsif, Martin & Colbert dalam Karlinawati Silalahi, (2010). Anak dari
pola pengasuhan seperti ini tidak dapat mengontrol diri sendiri, tidak mau patuh, dan
lain sebagainya.
Hal yang hampir sejalan di lakukan oleh para orangtua dalam keluarga kuli
kasar bangunan seperti apa yang di gambarkan pada model pola asuh
Liberal/permisif. Seperti apa yang telah penulis uraikan pada bab III, para orangtua
dalam keluarga kuli kasar bangunan cenderung membiarkan anak melakukan
kegiatan apapun. Anak menjadi tidak terkontrol karena bertindak sesuka hati dalam
pengawasan lemah yang dilakukan orangtua.
Orangtua dalam keluarga kuli kasar bangunan hanya akan mengambil sikap
tegas jika si anak telah melampaui batas kenakalannya. Namun hal ini berlaku untuk
anak-anak mereka pada usia dibawah masa remaja. Ketika menjelang dewasa,
orangtua dalam keluarga kuli kasar bangunan telah membiarkan anak-anak mereka
melakukan hal apa saja dan bertanggungjawab atas akibat apa yang telah mereka
perbuat. Hal-hal seperti ini mereka lakukan kerena paksaan melakuakan pekerjaan
sebagai buruh bangunan yang melelahkan sehingga tidak memiliki waktu untuk
berkomunikasi dengan anak demi mencukupi kebutuhan hidup keluarga. Kemiskinan
mengambil peranan penting dalam pembentukan pola asuh terhadap anak pada
keluarga kuli kasar bangunan. Berikut penuturan ibu Sumi :
“Kami jadi sering lupa untuk mengontrol anak-anak kami,
apalagi yang sedang bersekolah, karena sibuk cari uang dan saat
malam telah kelelahan, kami tidak sempat dan tidak pernah
memeriksa nilai, PR, atau bahkan sekedar bercerita menyakan
bagaimana tadi di sekolah ?.hal itu hampir tidak pernah kami
Universitas Sumatera Utara
lakukan sekarang, saya rasa sudah ada 5 Tahun lebih saya tidak
pernah mengecek anak saya yang sedang berswekolah ketika malam
hari dirumah. Dan si anak pun hanya melapor kalau ada
pembayaran atau meminta uang untuk biaya yang tadi di
informasikan di sekolah.
Seirama dengan ibu sumi, bapak Gimang juga menuturkan hal yang hampir
sama. berikut penuturan bapak Gimang :
“Komunikasi dengan anak saya terbilang jarang, karena saya
seringan diluar rumah untuk mencari nafkah,. Tetapi saya bisa
mengerti tentang kebutuhannya. Tapi dalam suatu kesempatan saya
juga memperhatikan dan memberi kesempatan pada anak saya untuk
mengungkapkan pendapatnya dan keinginannya meskipun hal ini bisa
terbilang jarang sekali, dan saya juga sesekali memberikan nasihat
untuknya agar menjadi seorang yang mandiri, jangan menyusahkan
keluarga dan membuat malu keluarga. ”
Anak-anak dalam keluarga kuli kasar bangunan meresa lebih senang berada di
luar rumah dengan teman-temannya di karenakan hubungan komunikasi yang dingin
antara orangtua dan anak, khususnya ayah dengan anak-anaknya. Sejalan dengan apa
yang di kemukakan oleh Agung (anak dari keluarga ibu Ina dan bapak Riadi) kepada
penulis :
“Kedua orangtuanya tidak melarang kegiatan yang saya
lakukan ini (bermain game online). Kedua orangtua saya jarang
sekali berkomunikasi dengan saya, walaupun satu rumah dan
berjumpa setiap hari(disini penulis mengakui sendiri bahwa ada
semacam kekakuan bagi anak laki-laki dalam keluarga kuli
bangunan untuk bersendagurau dengan orangtua baik ibu ataupun
ayah).Setiap kali saya merasakan kesepian dan bosan, saya akan
pergi bermain dengan teman-teman saya atau bermain game online
di warnet.Teman-teman saya juga sama dengan saya. Saat
berkumpul dengan teman-teman, saya sering mendengar mereka
sering curhat satu sama lain untuk menceritakan unek-unek yang
sungkan mereka ceritakan dengan orangtua mereka masing-masing.
Disini penulis melihat, ada hubungan komunikasi yang kurang baik antara
orangtua dengan anak mereka, khususnya antara ayah dengan lanak laki-laki. Seperti
Universitas Sumatera Utara
apa yang di kemukakan oleh anak laki-laki dari keluarga bapak Gimang dan ibu
Mesni yang telah menginjak usia dewasa ini :
Aku adalah orang yang rajin pergi keluar rumah untuk
bermain bersama teman-teman. Ayah tidak terlalu mengekangaku
pergi apalagi saat malam hari. Kondisi fisik ayah saat ini dengan
umur yang sudah termasuk tua dan dengan pekerjaan seperti itu,
ayahnya tidak dalam keadaan yang benar-benar sehat. Ayah kerap
sekali menderita sakit Meriang ketika pulang bekerja.. Aku jadi merasa
diriku benar-benar harus menjadi penganti ayahnya sebagai tulang
punggung keluarga.
Namun ada saat dimana aku kehilangan kesadaraan akan diriku
yang di anggap menjadi tulang punggung keluarga. Saat-saat seperti
itu terjadi dimana ketika para kuli bangunan di kelurahan Aek Paing
sulit mendapatkan pekerjaan.Ketika perasaan kehilangan kesadaran
itu muncul, akukerap kali mabuk-mabukan bersama teman-temanku
dan tak jarang mencuri sawit milik PTPN III yang memang tertanam
luas di sepanjang jalan Kelurahan Aek Paing. Dalam keadaan yang
seperti itu, memang banyak pemuda-pemuda di kelurahan Aek Paing
yang berprilaku sama seperti apa yang kulakukan .Mendapatkan
dukungan dari teman-teman yang sesame pengangguran, dan tak
jarang keluarga merasa acuh tak acuh membuat ku dan pemuda-
pemuda lainnya sudah merasa biasa untuk melakukan hal-hal seperti
itu.
Bagi ku dukungan dan larangan bagi anak-anak sepertiku sangat
kami butuhkan dari orangtua. Saat merekia meilih bekerja dari pada
sekolah untuk membantu memenuhi kebutuhan hidup, harusnya ada
apresiasi dari orangtua dengan keputusan ku dan anak-anak lainnya
yang seperti ku.menurutku, para orangtua mereka menganggap hal itu
sudah biasa karena saat orangtua mereka dulu seumuran ku, mereka
juga melakukan hal yang seperti yang ku lakukan. Seiring berjalannya
waktu, akukembali menyadari posisi ku sebagai anakpertama laki-laki
dalam keluarga yang harus membimbing adik-adiku danmenjaga dan
terus memberi semangat kepada mereka. Kemudian kesadaraan itu
kembali lagi danakukembali pada kehidupan normalku.
Seperti itulah siklus kehidupan dan psikologis anak-anak keluarga kuli
bangunan yang sama seperti M. banyak dari mereka yang pada akhirnya
melampiaskan kekesalan dan maslah-masalah yang mereka alami dalam hidup
dengan melakukan hal-hal negatif seperti mabuk-mabukan dan mencuri. Hal ini di
dasari oleh tidak adanya fungsi orangtua sebagai tempat bersandar dan mengaduh
Universitas Sumatera Utara
serta meminta solusi.
Meskipun pola pengasuhan terbagi beberapa model pola pengasuhan, tetapi
pembagian ini bukan merupakan hal yang kaku atau baku, tidak ada orangtua yang
sempurna. Orangtua adalah manusia yang bereaksi berbeda diberbagai situasi,
tergantung pada perasaan dan lingkungan mereka. Menurut Martin & Colbert dalam
(Karlinawati Silalahi, 2010) pola pengasuhan disimpulkan dari reaksi mereka
disebagian situasi.
Dari penjelasan-penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa betapa kemiskinan
memberikan pengaruh yang besar terhadap penduk pengasuhan orangtua terhadap
anak pada keluarga kuli kasar bangunan. Keadaan kemiskinan memaksa para
orangtua bekerja dan hal itu menyebabkan mereka tidak memiliki waktu dengan anak
untuk menjalin hubungan komunikas yang baik serta memberikan perhatian-
perhatian dan dukungan-dukungan moril bagi anak-anak mereka.
Pada keluarga kuli kasar bangunan masyarakat Jawa di kelurahan Aek Paing,
penulis memasukkan etos kerja keluarga kuli kasar bangunan dalam pandangan etos
kerja Islam. Dengan meminjam analisis dari Cliford Geerzt (1983), tentang varian
Abangan, Santri,dan Priyayi maka tradisi dan kepercayaan kuli Jawa ini lebih cocok
diklasifikasikan dalam varian Islam abangan. Sebagai Islam abangan, mereka teramat
longgar dalam menyarikan ajaran dan menjalankan syariat Islam.
Kelonggaran dalam menjalankan ajaran-ajaran Islam ini sebagaimana telah di
kemukakan pada bab IV awal, tentang pelaksanaan shalat di kalangan kuli kasar
bangunan, membuat anak-anak dalam keluarga kuli kasar bangunan sulit menyerap
bahkan tidak mengetahui nilai-nilai kebaikan yang terkandung dalam ajaran islam itu
sendiri. Sehingga prilaku dalam menanggapi masalaha pribadi yang ada, anak-anak
Universitas Sumatera Utara
dalam keluarga kuli kasar bangunan yang telah menginjak usia remaja sampai
dewasa dapat di tandai dengan melakukan hal-hal negatif atau menyimpang seperti
bermain game online, mabuk-mabukan, mencuri dan lain sebagainya. Hal ini sangat
jelas seperti apa yang di kemukakan oleh Frendy (anak ke 2 dari keluarga ibu Sumi
dan bapak Ponidi) :
“jujur saya sangat jarang sekali ke masjid, jangankan untuk hal-
hal seperti Tadarus di bulan puasa, untuk Sahalat lima waktu itu pun
bisa di hitung jumlahnya. Paling ke masjid cuman 1 minggu sekali,
untuk shalat jumat. Karena malu sama kawan kalau tidak shalat jumat.
Mengenai kenakalan-kenakalan remaja disini, tidak munafik saya juga
melakukannya, ya seperti bermain game online, saya paling suka itu,
berjudi, begadang sampai pagi, dan macam lah. Tapi saya tidak untuk
mabuk-mabukan. Bukan karena takut dosa, ya tidak shalat juga uda
berdosakan ?, tapi karena saya tidak suka bau dan rasa minuman keras
itu
Hal ini sejalan dengan apa yang di katakan M anak dari keluarga bapak
Gimang dan ibu mesni pada sub bab di atas, hal-hal negatif seperti mabuk-mabukan,
game online, berjudi dan lain sebagainya sudah menjadi hal-hal yang sangat akrab
dengan kalangan remaja di kelurahan Aek Paing, khusunya pada keluarga kuli kasar
bangunan. Kelumrahan ini juga di akui oleh bapak Abdurrachman selaku tokoh
masyarakat di kelurahan Aek Paing, iya membenarkan hal apa yang telah penulis
sampaikan di atas. Berikut penuturan dari beliau :
“Disini, kalau mabuk-mabukan, mencuri sawit PTPN III, judi dan
lain sebagainya sudah biasa di lakukan oleh bocah-bocah tanggung itu
(kalangan remaja), namun mereka tidak pernah meresahkan
masyarakat, orangtuanya saja tidak resah dan tidak melarang, kami
bisa apa ?. asal jangan menggangu keluarga saya saja. Kalau sampai
mengganggu, akan saya aduhkan ke polisi, biar tau rasa.
Seperti yang telah di tuturkan bapak Abdurrachman, keadaan biasa ini tidak
serta-merta terbuka dan dapat dilihat semua orang. Para remaja yang terbiasa
melakukan hal-hal negatif tersebut negatif seperti mabuk-mabukan, game online,
Universitas Sumatera Utara
berjudi dan lain sebagainya, tidak melakukan hal-hal ini di tempat umum atau di
tempat yang mudah di lihat orang lain. Mereka kebanyakan melakukannya pada saat
larut malam, sekitar pukul 00.00 wib. Sesuai dengan penuturan salah satu pemuda
yang juga merupakan anak dari pekerja kuli bangunan yang orangtuanya tidak
penulis jadikan informan. Berikut penuturannya :
“memang disini yang kek-kek gitu uda biasa (negatif seperti
mabuk-mabukan, game online, berjudi dan lain sebagainya), tapi anak-
anak sini pande, orang itu kek-kek gitu waktu malam-malam, kalau uda
jam 12 malam kan disini uda sunyi, barulah orang itu beraksi, ya ntah
itu nyolong, mabuk, judi, macamlah, abang pun kadang-kadang ikut
juga.
Dalam hal kemiskinan, budaya yang terus menerus di serap anak-anak pada
keluarga kuli kasar bangunan, seperti apa yang di kemukakan Oscar Lewis dalam
bukunya “Lima Keluarga Miskin’, membuat pola fikir anak-anak dalam hal
pendidikan menjadi berubah orientasi. Anak-anak menjadi malas belajar dan ingin
segera lulus atau berhenti sekolah untuk segera bekerja dan mampu menghasilkan
uang. Bukan hanya itu, budaya kemiskinan yang terus menerus di serap oleh anak-
anak mereka secara tidak langsung mempengaruhi pola pemikiran sang anak. Ke-
inginan bersekolah yang tinggi dan tidak adanya keinginan untuk keluar dari keadaan
juga menjadi salah satu faktor yang kuat terhadap gambaran kemiskinan keluarga
kuli kasar bangunan di wilayah keluarahan Aek Paing.
Tingkat ekonomi orang tua menjadikan seorang anak mendapatkan pola asuh
yang tidak sesuai sehingga si anak mengalami masalah-masalah seperti terjerumus
kedalam prilaku negatif dan rendahnya keinginan belajar dan lain sebagainya. Pola
asuh yang tidak sesuai di sini seperti apa yang di kemukakan pada sub bab di atas.
Anak mendapatkan pola asuh yang cenderung di biarkan, tanpa pengawasan dan
Universitas Sumatera Utara
tanpa dukungan moril dari orangtua. Orangtua hanya memprioritaskan kebutuhan
materil dari si anak.
Keadaan ekonomi yang miskin membuat para orangtua dalam keluarga kuli
bangunan hanya memprioritaskan kepada kebutuhan materil. Para orangtua
cenderung melalaikan kewajiban lain seperti membimbing anak dalam masa
perkembangan anak. Hal ini menjadikan kedekatan emosional dan komunikasi antara
orangtua dan anak menjadi kurang baik. Sehingga anak akan sangat mudah
terpengaruh dalam lingkungan yang di huni banyak pengangguran. Anak akan
enggan bercerita kepada orangtuanya ketika dirinya mendapatkan masalah diluar.
Dari penagruh kemiskinan, penulis menitik beratkan pada akibat terbesarnya
yaitu dalam pendidikan anak. Anak-anak di bawah usia remaja sangat rentan
mengalami masalah di sekolah di akibatkan oleh keadaan ekonomi keluarga. Anak-
anak juga cenderung bersikap apatis terhadap masalah yang mereka alami. Hal ini di
sebabkan karena luputnya mereka dari ajaran-ajaran nilai-nilai universal yang tidak
di ajarkan orangtua kepada anak di dalam keluarga.
Dalam menghadapi masalah, anak cenderung menutup diri, bersikap menjadi
penbenci, dan cenderung menyalahkan keadaan. banyak kasus-kasus mengenai
maslah yang di hadapi oleh anak dari keluarga kuli kasar bangunan yang mereka
hadapi di sekolah, seperti merasa minder, susah membeli buku, tidak mau bersekolah
lagi akrena malu di panggil ke kantor kareena belum membayar uang sekolah, dan
masih banyak lagi kasus-kasus lainnya yang hampir sama.
Mengenai permasalahan ini, penulis sangat sulit mendapatkan data dari
informan. Para informan cenderung tertutup untuk bercerita mengenai permasalahan
ini. Data-data seperti yang penulis sampaikan ini penulis sedikit dapatkan dari salah
Universitas Sumatera Utara
satu pegawai swasta yang juga merupakan jiran tetangga informan yang tidak ingin
disebutkan namanya. Berukut penuturan beliau :
“Kalau dalam keluarga orang-orang ini (keluarga kuli bangunan),
anaknya rata-rata malas sekolah, bukan karena bodoh atau gak mau,
tapi karena malu di sekolah, minder gitu. Apalagi kalau namanya di
panggil pakai mic karena belum bayar uang sekolah, pasti besoknya
anak itu tidak mau lagi berangkat ke sekolah.
Berdasarkan analis penulis, dari hasil observasi dan wawancara yang telah
dilakukan selama penelitian, keadaan psikologi seperti ini di sebabkan oleh
pengasuhan orangtua yang kurang tepat, hubungan komunikasi yang kurang baik dan
lingkungan sekolah yang kurang menghargai.
Keadaan seperti ini tidak semata-mata di sebabkan oleh ekonomi keluarga yang
pas-pasan, meskipun dalam beberapa hal memiliki pengaruh yang cukup besar, pola
asuh yang kurang tepat dapat kita lihat dari cara orangtua menyikapi kesalahan anak,
seperti yang telah di kemukakan di atas, sosialisasi nilai-nilai universal dan
keagamaan yang kurang, sikap berlebihan dalam hal konsumsi ketika memiliki uang
lebih, dan kurang adanya dorongan semangat terhadap anak untuk maju dalam
bidang pendidikan.
Universitas Sumatera Utara
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang diuraikan pada bab-bab
sebelumnya, akhirnya dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Menjadi kuli kasar bangunan merupakan salah satu kegiatan ekonomi
sektor informal yang sudah lama ada dan masih bertahan hingga saat ini.
Oleh karena itu, hampir di setiap kelurahan bahkan lingkungan masih
banyak kita temui para pekerja kuli bangunan dan kuli bangunan
merupakan pekerjaan dengan jumlah terbanyak di wilayah Kelurahan Aek
Paing.
2. Hampir 100% para pekerja kuli kasar bangunan di wilayah keluraha Aek
Paing beragama Islam dan bersuku Jawa, meskipun secara keseluruhan
mereka adalah Jawa peranakan atau orang Jawa yang lahir di Sumatera.
3. Tingkat pendidikan orangtua dari keluarga kuli kasar bangunan di wilayah
Kelurahan Aek Paing sangat rendah yaitu hanya selesai sampai tingkat
pendidikan SD (sekolah Dasar) dan SMP (Sekolah Menengah Pertama).
4. Ketidak harmonisan hubungan antar anggota keluarga terutama antara
ayah dan anak di karenakan keadaan miskin sehingga sang ayah berusaha
sekuat tenaga memenuhi kebutuhan keluarga dan tak jarang mengabaikan
perkembangan anak-anaknya.
5. Keadaan ekonomi yang tergolong dalam kategori miskin yang telah lama
memebelenggu menjadikan budaya kemiskinan yang terus menerus
diserap oleh anak-anak dalam keluarga kuli kasar bangunan di wilayah
Universitas Sumatera Utara
kelurahan Aek Paing sehingga menjadikan mereka enggan dan terkesan
pasrah untuk keluar dari keadaan tersebut.
6. Pemahaman yang kurang terhadap ajaran agama pada keluarga kuli kasar
bangunan menjadikan etos kerja keluarga kuli kasar bangunan di
kelurahan Aek Paing tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam.
7. Adanya faktor-faktor lain seperti minimnya proyek pembangunan,
kurangnya skill, adanya pesaing dan lain-lain juga turut membantu
keluarga kuli kasar bangunan di kelurahan Aek Paing tetap berada dalam
keadaan ekonomi yang tergolong dalam kategori miskin.
5.2 Saran
Dengan memperhatikan hal-hal yang terdapat dalam kesimpulan di atas,
maka ada beberapa saran yang penulis ingin sampaikan yaitu sebagai berikut:
1. Bagi masyarakat yang ingin mencoba berkecimpung dalam kegiatan
ekonomi sektor informal, tentu harus terus berupaya berinovasi agar
tidak terlindas roda perekonomian yang kian menyengsarakan.
Dengan berinovasi dan memperbanyak serta melatih skill maka kita
mampu untuk bersaing dengan orang lain di dunia pekerjaan..
2. Menjadi kuli kasar bangunan adalah profesi terbanyak yang ada di
kelurahan Aek Paing. Oleh karena itu, bagi pemerintah terkait,
sebaiknya mampu melihat kebutuhan yang mereka butuhkan dan
mampu mengadakan kegiatan pemberdayaan kepada para keluarga
kuli kasar bangunan tersebut, agar Selain berguna untuk kelangsungan
hidup masyarakat, juga dapat membantu mereka keluar dari jeratan
Universitas Sumatera Utara
kemiskinan dan menjadi masyarakat yang lebih kreatif serta inovatif
dengan adanya trobosan-trobosan baru.
3. Pendidikan juga menjadi penting bagi setiap orang, bukan hanya
untuk orang-orang yang berkecukupan, namun terlebih lagi untuk
orang-orang yang kurang mampu. Jangan takut untuk mengambil
resiko besar ini, karena pemerintah juga telah banyak mengeluarkan
program-program beasiswa bagi masyarakat yang berprestasi dan
yang kurang mampu.
4. Bagi orangtua, pemenuhan kebutuhan anak secara materil bukan lah
satu-satunya tugas atau kewajiban orangtua terhadap anak. Tidak
kalah pentingnya komunikasi yang baik serta pengawasan dan
pengarahan terhadap anak juga menjadi sesuatu yang juga tak kalah
pentingnya dan sangat dibutuhkan oleh anak dalam masa
perkembangannya menuju tahap dewasa.
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR PUSTAKA
Alfiasari, . Pengasuhan : Peran Strategis Orangtua dan Komunitas. Bogor: IPB
Press, 2008
Baumrind, Diana. Psikologi Perkembangan Anak. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.. 1994.
Dharma,2013. AnalisisPenyebabAnakPutusSekolah.(Online).
(http://dir.groups.yahoo.com/group/Kasih-DhrmaPeduli/Message/us,
diakses28 Juni 2017).
Geertz, Clifford.Abangan, Santri dan Priyayi Dalam Masyarakat Jawa.Jakarta:
Pustaka Jaya, 1983.
Geertz, H. Aneka Budaya dan Komunitas di Indonesia. Jakarta: Yayasan Ilmu-Ilmu
sosial & FIS UI, 1992.
Gunarsa, Singgih D. Psikologi Perjembangan Anak dan Remaja. Jakarta:
BPKGunung Muria. 2002.
Gunarsa. Singgih dan Ny. SD. Gunarsa. Psikologi Praktis Anak Remaja dan
Keluarga.Jakarta : BPK Gunung Muria. 1991.
Gutama, P. Margaret. Budaya Jawa dan Masyarakat Modern. Jakarta: BPPT, 2003.
Hastuti Dwi. Pengasuhan : Teori, prinsip dan Aplikasinya. Bogor : IPB. 2008.
Koentjaraningrat. Pengantar Ilmu Antropologi.Rev.ed. Jakarta: PT. Rineka Cipta,
2009.
_____________.Pengantar Antropologi Jilid II. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2005.
_____________. Manusia dan Kebudayaan indonesia. Djakarta: Djambatan, 1983.
Lewis. Oscar. Kisah Lima Keluarga.Penerjemah : Rochmulyati Hamzah. Jakarta :
Yayasan Obor Indonesia, 1988.
Nico Selim, 2012, Hal- Hal yang Menyebabkan Anak Putus
Sekolah (Online). (http://www.oke-belajar-
bersama.blogspot.com/2012/10/hal-hal-yang-menyebabkan anak putus
sekolah, diakses 18 Maret 2013).
Pikunas.Perkembangan Manusia. Jakarta: Salemba Humaniora.1976.
Saifuddin. Achmad. Catatan Reflektif Antropologi Sosial Budaya. Jakarta : Kencana
Prenada Media Group. 2005
Santrock, J. W. Masa Perkembangan Anak.Jakarta: salemba humanika, 2011.
Silalahi, Karlinawati dan Meinarno, Eko. A. (2010). Keluarga Indonesia: Aspek dan
Dinamika Zaman. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Spock, Benyamin. Membina Watak Anak. Gunung Jati. 1992
Spradley, James P. Silalahi, Karlinawati. Metode etnografi. Yogyakarta: Tiara
Wicana. 2007.
Sunarto H,Hartono Agung B. Perkembangan Peserta Didik. Jakarta. Rineka Cipta.
2006.
Susono. M 2001. Etika Jawa. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2001.
Sumber lain:
[BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Labuhan Batu, 2015.
Universitas Sumatera Utara
https://labuhanbatu.go.id/m/ (Diakses pada tanggal 07 Juni 2017, pukul 19.50
WIB).
www.Liputan6.com/tag/kenakalanremaja (Diakses pada tanggal 12April 2017, pukul 19.50 WIB).
www.kompas.com/kasus/kenakalan/remaja (Diakses pada tanggal 12April 2017, pukul 19.50 WIB)
Skripsi/Tesis/Jurnal/Artikel:
Hernawati, “Nilai Anak dan Pola Pengasuhan Berdasarkan Gender Pada anak Usia 2-3 Tahun di Kota Bogor..
Sa’adiyyah, Nino Yahya, “Pengaruh Karakteristik Keluarga dan Pola
pengasuhan terhadap Pertumbuhan dan Perkembangan Anak (Studi kasus pada
Etnik jawa dan Minang)”..
Universitas Sumatera Utara
LAMPIRAN
Gambar.2
Sumber : Dokumen Pribadi penulis
Keterangan : Ibu Sumi dan anaknya yang ke empat sedang membuat
kacang goreng.
Gambar.3
Sumber : Dokumen Pribadi penulis
Keterangan : M dan Bapak Riadi sedang mengayak pasir.
Gambar.4
Universitas Sumatera Utara
Sumber : Dokumen Pribadi penulis
Keterangan : Bapak Ponidi sedang memasang batu bata.
Gambar.5
Sumber : Dokumen Pribadi penulis
Keterangan : Pondok tempat berkumpul para buruh sebelum berangkat
bekerja
Universitas Sumatera Utara