Pokok bahasan : PENINGKATAN NILAI TAMBAH DARI · PDF filemenekan kerusakan lingkungan akibat...
Transcript of Pokok bahasan : PENINGKATAN NILAI TAMBAH DARI · PDF filemenekan kerusakan lingkungan akibat...
1
Pokok bahasan :
PENINGKATAN NILAI TAMBAH DARI BIOKONVERSI
PROSES PRODUKSI TERNAK
Tujuan Instruksional Umum :
Memberikan pengertian dan pemahaman tentang biokonversi yang
berlangsung pada proses produksi ternak dan strategi dalam mendapatkan
nilai tambah
Tujuan Instruksional Khusus :
Memberikan pengertian dan pengetahuan tentang beberapa diversifikasi
usaha ternak potong/kerja/perah/unggas, baik melalui usaha pertanian
terpadu maupun implementasi dari konsep daur ulang, sehingga usaha
peternakan mendapatkan nilai tambah yang tinggi (maksimal)
Uraian :
Prinsip dasar dari usaha meningkatkan nilai tambah dari perubahan proses
biologis (biokonversi) adalah bagaimana mengubah sesuatu dari nilai ekonomi yang
potensial menjadi nilai ekonomi yang riil yang juga meningkatkan nilai manfaat bagi
kepentingan manusia (termasuk konsumen). Sebagai contoh hasil pembuahan ternak
(zygote), secara ekonomi tidak memiliki nilai yang berarti, tetapi setelah zygote
menjadi embrio, kemudian lahir dan tumbuh sampai mencapai bobot potong,
akhirnya menghasilkan daging, ternyata memiliki nilai tambah yang tinggi.
Untuk mendapatkan nilai tambah/manfaat yang lebih tinggi/maksimal,
disamping efisiensi produksi, usaha lain yang perlu dilakukan terhadap proses
produksi ternak adalah diversifikasi usaha dan menerapkan proses daur ulang dalam
sistem usaha pertanian – peternakan yang terintegrasi (integrated farming). Prinsip
proses biokonversi dari integrated farming adalah peningkatan nilai tambah dari
semua produk biologis yang berasal dari ternak. Dalam pertanian terpadu /
terintegrasi digunakan konsep LEISA.
2
LEISA
(Low External Input Sustainable Agriculture)
Konsep LEISA (Low External Input Sustainable Agriculture) sebagai arah baru
bagi pertanian konvensional (HEIA : High External Input Agriculture), sangat cocok
dilaksanakan pada sistim pertanian negara-negara berkembang termasuk Indonesia
mengingat negara kita dengan kekayaan dan keanekaragaman sumber daya alam
yang terkandung di tanah air kita sangat memungkinkan konsep LEISA ini menjadi
konsep pertanian masa depan yang diharapkan mampu mengantarkan bangsa kita
menjadi bangsa yang besar dengan tingkat kemakmuran dan kemandirian yang
lestari sehingga mampu bersaing menghadapi persaingan bebas pada waktu yang
akan datang.
Konsep LEISA merupakan penggabungan dua prinsip yaitu agro-ekologi serta
pengetahuan dan praktek pertanian masyarakat setempat/tradisional.
Agro-ekologi merupakan studi holistik tentang ekosistim pertanian termasuk
semua unsur lingkungan dan manusia. Dengan pemahaman akan hubungan dan
proses ekologi, agroekosistim dapat dimanipulasi guna peningkatan produksi agar
dapat menghasilkan secara berkelanjutan, dengan mengurangi dampak negatif yang
ditimbulkan bagi lingkungan maupun sosial serta meminimalkan input eksternal.
Secara singkat konsep LEISA dapat dijabarkan sebagai berikut :
Mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya lokal
Memaksimalkan daur ulang (Zero waste)
Meminimalkan kerusakan lingkungan (ramah lingkungan)
Secara cermat mendiversifikasikan usaha
Sasaran produksi stabil, memadai dalam jangka panjang
Sasaran akhir adalah menciptakan kemandirian
3
SISTEM PERTANIAN TERPADU
Sistem pertanian terpadu merupakan kombinasi dari berbagai teknologi atau
metoda bertani yang dipadukan dalam rencana manajemen usahatani yang utuh.
Di Amerika Serikat pada bulan Januari 1988 United States Departement of
Agriculturre (USDA) telah lebih dahulu mereformasi kebijakan pertanian yaitu Low
Input Sustainable Agriculture (LISA) merupakan kombinasi teknologi dan metoda
bertani secara terpadu. Kombinasi tersebut merupakan kesatuan dari bermacam-
macam metoda bertani, seperti perpaduan antara pengendalian hama terpadu,
kontrol biolgis, pergiliran tanaman berbasis tanaman kacang-kacangan
(leguminosa). Teknologi tersebut merupakan penyimpangan satu kesatuan
pertanian modern yang diadopsi secara meluas. Situasi tersebut disebabkan para
petani dinegara paman Syam tersebut menghadapi tekanan finasial akibat
penurunan ekspor produk pertanian, harga komoditi, dan nilai tanah. Solusi
tradisional dengan memacu produksi malah semakin menjatuhkan harga komoditas
pertanian. Petani juga berada dalam tekanan publik untuk mengurangi polusi
akibat penggunaan pupuk kimia dan pestisida serta mengurangi erosi lahan.
LISA juga dimaksudkan untuk memenuhi dua kepentingan petani, yaitu produksi
dan konservasi. Pendekatan konvensional dengan teknologi modern cenderung
mengabaikan faktor konservasi sumberdaya atau proteksi lingkungan. Meskipun
konservasi sesuatu yang penting dan dibutuhkan, bagi petani dianggap sebagai
beban atau pembatas maksimalisasi keuntungan. Untuk itu perlu disediakan
bantuan teknis dan finansial dalam rangka mendukung hal tersebut. Kebijakan itu
secara konseptual mempunyai dua tujuan, yaitu untuk memperbesar pendapatan
petani dan memelihara lingkungan melalui pembangunan suatu sistem pertanian
terpadu. Adapun tujuan yang mendasar program ini untuk penyediaan pangan dan
hasil pertanian.
Program LISA dipilih sebagai kebijakan alternatif dengan beberapa
kelebihannya. Secara teknis sistem pertanian yang diterapkan berpotensi
mengurangi ketergantungan para petani kepada pembelian berbagai input eksternal,
sehingga keuntungan yang diperoleh lebih meningkat.
4
Dari peluang kesempatan kerja dan diversifikasi usaha diyakini juga
membangkitkan kekuatan vital dipedesaan. Juga menguntungkan masyarakat dalam
menekan kerusakan lingkungan akibat erosi dan pencemaran bahan kimia terhadap
air, tanah, dan udara, pengurangan beban pajak konsumen dalam program bantuan
harga dari pemerintah, penghematan bahan baakar minyak, serta pemeliharaan
kelanjutan lahan untuk generasi mendatang.
Dampak negatif program ini antara lain ketidak seimbangan perdagangan
(impor ekspor), kenaikan harga beberapa bahan pangan, penurunan pendapatan
perusahaan produsen bahan kimia sintetis, serta ketimpangan produksi dan
pendapatan antar kawasan.
Pendekatan yang dilakukan dalam melaksanakan program LISA yaitu multi
disiplin, regional, dan lintas sektoral, melibatkan instansi publik, swasta, dan para
petani. Para Petani, pakar dari berbagai disiplin ilmu yang berasal dari kalangan
perguruan tinggi, lembaga penelitian, lembaga konsultasi / pelayanan, NGO, dll
bekerjasama secara optimal mulai perumusan tujuan, perioritas, perencanaan
program, pengembangan teknologi sampai proses evaluasi kegiatannya. Pada
awalnya program ini ditekankan pada penyediaan informasi yang lengkap dan siap
pakai berkenaan dengan pertanian berkelanjutan. Informasi tersebut antara lain
berasal dari hasil penelitian yang telah dan sedang berlangsung. Selanjutnya para
petani diberikan insentif yang diperhitungkan dari tingkat keuntungan yang akan
diperoleh petani. Pertimbangan lain dari pemberian insentif adalah resiko kerugian
finansial/kegagalan. Kerugian finansial/kegagalan bisa disebabkan oleh produksi,
pencemaran lingkungan, dan gangguan kesehatan para petani. Kebijakan ini
menunjukan adanya suatu kesadaran baru dengan tidak melihat pencapaian tingkat
produksi tertentu sebagai tujuan. Implikasi tujuan produksi terhadap faktor lain
seperti lingkungan, sosial budaya, ekonomi, dan politik menjadi sama pentingnya.
Berbagai kajian dan penelitian yang bersifat teoritis atau empiris secara intensif.
Petani dan semua pihak yang terkait dilibatkan sepenuhnya. Berbagai akses fasilitas,
insentif, jaminan seharusnya disiapkan. Kajian sementara menunjukan bahwa sistem
5
pertanian berkelanjutan sangat menjanjikan, karena banyak keuntungan yang dapat
diraih secara ekonomis, ekologis, dan sosiologis.
Pembangunan pertanian di Indonesia mensyaratkan paradigma baru dari
para pengambil kebijakan. Sektor pertanian dalam paradigma baru perlu dilihat
sebagai suatu sistem yang integral. Seluruh komponen sistem idealnya harus
diuntungkan dan berkembang secara proporsional. Kondisi ini belum terjadi di
Indonesia. Oleh karena itu diperlukan reformasi kebijakan pembangunan pertanian
yang mengacu konsep pertanian berkelanjutan.
Sebelum reformasi itu digulirkan, pemerintah masih harus membenahi
masalah besar yang belum terjawab diera orde baru, yaitu ketidakseimbangan antara
faktor-faktor produksi : tanah, tenaga kerja, dan modal. Pembenahan ini perlu
karena usaha tani berkelanjutan biasanya menempuh strategi diversifikasi usaha tani
dan padat karya.
Agar usaha tani tersebut layak secara ekonomis, dibutuhkan tingkat pemilikan
modal dan tanah tertentu. Oleh karena itu, diperlukan reformasi dibidang
pertanahan dan permodalan agar petani memperoleh kemudahan dan akses
memperoleh modal.
Faktor lain yang perlu disiapkan untuk mendukung sistem pertanian
berkelanjutan adalah kesiapan petani. Hal mendasar yang dibutuhkan petani adalah
suatu model pendidikan yang memicu kesadaran kritis mereka. Hal ini penting agar
para petani dapat mengambil sikap terhadap pilihan-pilihan yang diberikan kepada
mereka, misalnya dalam hal teknologi. Sistem pertanian berkelanjutan juga
mensyaratkan informasi yang utuh, terpercaya, dan dapat diakses dengan mudah
oleh petani.
Dari pihak pemerintah, dituntut kemauan pilitiknya untuk mereformasi
kebijakan, pendekatan, serta metodologi pembangunannya selama ini. Misalnya
untuk mengurangi segala macam peraturan (regulasi) dan pengendalian yang
cenderung berlebihan serta membelenggu kebebasan dan mengingkari hak-hak
6
petani. Dukungan berupa insentif seperti asuransi juga perlu untuk dipertimbangkan
diberikan kepada petani.
Kelembagaan petani juga perlu diperkuat dengan jalan memberikan akses
kepada petani seluas luasnya untuk mengorganisir diri dan memperkuat posisi
mereka tanpa intervensi dan pembatasan oleh pemerintah. Perlu disadari bahwa
agenda pertanian berkelanjutan hanyalah merupakan salah satu dari sekianbanyak
agenda reformasi sektor pertanian yang perlu terus diperjuangkan. Masih banyak
lagi masalah-masalah petani yang sampai sekarang belum teratasi. Semua itu
disebabkan oleh kebijakan pembangunan pertanian selama ini masih belum berpihak
kepada para petani. Petani umumnya dibiarkan berjuang sendiri untuk
memperjuangkan hak-haknya. Aksi-aksi menuntut reformasi yang marak sekarang
ini perlu digunakan sebagai momentum untuk membangun jaringan aliansi yang
lebih luas sambil terus menerus memperjuangkan kebijakan alternatif sistem
pertanian berkelanjutan di Indonesia. Semua itu tentu dalam kerangka
merekonstruksi kebijakan pembangunan pertanian masa lalu yang belum
berpihak kepada petani http://www.deptan.go.id/bpsdm/bbpp-
binuang/index.php?option=com_content&task=view&id=70&Itemid=1
Pertanian terpadu pada hakekatnya adalah memanfaatkan seluruh potensi
energi sehingga dapat dipanen secara seimbang. Pertanian melibatkan makhluk
hidup dalam satu atau beberapa tahapnya dan memerlukan ruang untuk kegiatan itu
serta jangka waktu tertentu dalam proses produksi. Dengan pertanian terpadu ada
pengikatan bahan organik di dalam tanah dan penyerapan karbon lebih rendah
dibanding pertanian konvensional yang pakai pupuk nitrogen dan sebagainya. Agar
proses pemanfaatan tersebut dapat terjadi secara efektif dan efisien, maka
sebaiknya produksi pertanian terpadu berada dalam suatu kawasan. Pada kawasan
tersebut sebaiknya terdapat sektor produksi tanaman, peternakan maupun
perikanan. Keberadaan sektor-sektor ini akan mengakibatkan kawasan tersebut
memiliki ekosistem yang lengkap dan seluruh komponen produksi tidak akan menjadi
limbah karena pasti akan dimanfaatkan oleh komponen lainnya. Disamping akan
terjadi peningkatan hasil produksi dan penekanan biaya produksi sehingga efektivitas
7
dan efisiensi produksi akan tercapai. Selain hemat energi, keunggulan lain dari
pertanian terpadu adalah petani akan memiiki beragam sumber penghasilan. Sistem
Pertanian terpadu memperhatikan diversifikasi tanaman dan polikultur. Seorang
petani bisa menanam padi dan bisa juga beternak kambing atau ayam dan menanam
sayuran. Kotoran yang dihasilkan oleh ternak dapat digunakan sebagai pupuk
sehingga petani tidak perlu membeli pupuk lagi. Jika panen gagal, petani masih bisa
mengandalkan daging atau telur ayam, atau bahkan menjual kambing untuk
mendapatkan penghasilan.
Pertanian terpadu merupakan konsep pemanfaatan lahan yang tersedia
semaksimal mungkin untuk menghasilkan produk pertanian yang beraneka ragam
dengan kualitas tinggi. Hasil yang beragam dari tiap komoditas pertanian tersebut
diolah kembali untuk sumber masukan energi dalam melakukan aktivitas pertanian
lainnya. Pemanfaatan komponen-komponen pertanian yang saling terkait antara satu
dengan yang lainnya akan meningkatkan efektifitas dan efisiensi produksi yaitu
berupa peningkatan hasil produksi yang bersifat ramah lingkungan. Konsep pertanian
terpadu ini juga merupakan upaya petani dalam memperbaiki sifat tanah dengan
penambahan input bahan organik dari dalam sistem pertanian itu sendiri.
Bahan organik tanah adalah semua jenis senyawa organik yang terdapat di
alam tanah, termasuk serasah, fraksi bahan organik ringan, biomassa
mikroorganisme, bahan organik terlarut di dalam air, dan bahan organik yang stabil
atau humus. Bahan organik yang dihasilkan dalam sistem pertanian terpadu ini
memiliki peran penting dalam menentukan kemampuan tanah untuk mendukung
tanaman, sehingga jika kadar bahan organik tanah menurun, kemampuan tanah
dalam mendukung produktivitas tanaman juga menurun.
Bahan organik secara langsung merupakan sumber hara N, P, S, unsur mikro
maupun unsur hara esensial lainnya. Secara tidak langsung bahan organik
membantu menyediakan unsur hara N melalui fiksasi N2 dengan cara menyediakan
energi bagi bakteri penambat N2, membebaskan fosfat yang difiksasi secara kimiawi
maupun biologi dan menyebabkan pengkhelatan unsur mikro sehingga tidak mudah
hilang dari zona perakaran. Membentuk agregat tanah yang lebih baik dan
8
memantapkan agregat yang telah terbentuk sehingga aerasi, permeabilitas dan
infiltrasi menjadi lebih baik. Akibatnya adalah daya tahan tanah terhadap erosi akan
meningkat, meningkatkan retensi air yang dibutuhkan bagi pertumbuhan tanaman,
meningkatkan retensi unsur hara melalui peningkatan muatan di dalam tanah,
mengimmobilisasi senyawa antropogenik maupun logam berat yang masuk ke dalam
tanah dan meningkatkan kapasitas sangga tanah.
Usaha yang dipakai dalam menerapkan pertanian terpadu adalah dengan
menggabungkan dua subsistem utama yaitu peternakan dan pertanian.
Ternak dapat dipelihara sebagai bagaian yang integral dalam system pertanian
tersebut.
KONSEP LEISA
TERNAK
LIMBAH
ORGANIK
TANAMAN
PERTANIAN
(HORTIKULTURA)
BIOGAS
PUPUK ORGANIK
PADAT & CAIR
PRODUK
UTAMA
PERTANIAN
MANUSIA
LIMBAH
PERTANIAN
PASAR, RUMAH
TANGGA
PASAR
9
Analisis input pada peternakan ini adalah kebutuhan pakan sapi sebanyak 50
kilogram per hari. Pakan yang diberikan pada sapi peternakan tersebut adalah jerami
dan shorgum. Terkadang untuk menambah nutrisi pakan jerami biasanya ditambah
dengan pakan konsentrat berupa campuran jagung giling dan katul. Jagung giling
dapat di ganti dengan ubi kayu. Pemberian konsentrat tersebut sebanyak 1% dari
berat bobot pakan. Karena kebutuhan pakan yang cukup banyak, terkadang input
dari dalam belum mampu memenuhi sehingga sebagian kebutuhan mendatangkan
pakan dari luar. Sedangkan air tidak terlalu diperhitungkan karena sapi biasanya
mendapatkan air dari campuran pakan yang telah diberikan.
Analisis output dari peternakan berupa pupuk kandang berupa urin dan feces
yang dihasilkan oleh sapi. Dalam satu tahun sapi dapat menghasilkan pupuk kandang
sekitar 5,4 ton dengan rincian tiap hari menghasilkan 15 kilogram kotoran. Dikaitkan
dengan kebutuhan lahan, informasi yang didapat bahwa sejumlah lima ekor sapi
mampu mencukupi kebutuhan pupuk organik selama satu tahun. Agar kotoran dapat
10
menjadi pupuk kandang biasanya diakukan dekomposisi selama 4 bulan agar pupuk
kandang dapat langsung digunakan pada lahan pertanian. Selain output dari hasil
pupuk kandang, peternakan tersebut juga mendapatkan output dari hasil penjualan
ternak.
Pemilihan sapi sebagai subsistem utama pertanian terpadu tersebut sangat
tepat. Sapi dapat digunakan sebagai sumber pemenuh kebutuhan hara bagi
pertanian lain. Sebagai pertimbangan bahwa pada tahun pertama pertanian tersebut
memiliki 5 ekor sapi, kemudian pada tahun kedua dan ketiga berturut-turut sebanyak
10 dan 15 ekor. Meningkat di tahun ke 4 berjumlah 17 ekor. Dari ke 17 ekor sapi itu
terdiri dari jenis Simental, Limousin dan Berangus. Dari jumlah tersebut sapi dapat
dijual sebagian untuk membantu pemasukan petani. Sisanya berjumlah 8 ekor sapi
tetap dipertahankan untuk pemenuhan kebutuhan hara dan investasi petani ke
depan. Keunggulan lainnya adalah sapi dapat berkembang biak dalam waktu yang
singkat.
Pemeliharaan sapi dengan penggemukan hanya dengan waktu pemeliharaan
8-12 bulan. Hasil pupuk kandang dari peternakan yaitu dalam satu hektar lahan
pertanian tersebut dapat dicukupi kebtutuhan haranya oleh lima ekor sapi.
Satu ekor sapi dapat memproduksi 15 kilogram kotoran tiap hari sehingga dalam
setahun dapat mencapai 5, 4 ton kotoran yang dimanfaatkan sebagai pupuk.
Sistem pertanian dalam sistem pertanian terpadu berupa penanaman secara
multiple cropping. Jenis pertanian yang diusahakan adalah penanaman tanaman
musiman jagung, ketela pohon, cabai, kacang tanah dan sawi serta tanaman keras
berupa jati dan sengon.
Sistem tumpangsari tumbuhan dan ternak pada umumnya banyak
dipraktekkan dengan tanaman perkebunan. Tujuan sistem ini adalah untuk
pemanfaatan lahan secara optimal, namun belum banyak mendapat perhatian. Di
dalam sistem tumpangsari ini tanaman perkebunan sebagai komponen utama dan
tanaman rumput dan ternak yang merumput diatasnya merupakan komponen kedua.
Dari berbagai penelitian dilaporkan bahwa integrasi antara tanaman perkebunan dan
peternakan dapat meningkatkan kualitas tanah, produksi kelapa, produksi kopra,
11
hasil buah sawit segar dan keuntungan ekonomis serta meningkatkan hasil ternak,
menurunkan biaya penyiangan dan mempermudah pengumpulan buah kelapa.
Keuntungan-keuntungan dari sistem ini antara lain : (1) tersedianya tanaman
peneduh bagi ternak sehingga dapat mengurangi stress karena panas, (2)
meningkatkan kesuburan tanah melalui proses kembaliya air seni dan feces ke dalam
tanah, (3) meningkatkan kualitas pakan ternak, membatasi pertumbuhan gulma, (4)
mengurangi penggunaan herbisida, (5) meningkatkan hasil tanaman perkebunan dan
(6) meningkatkan keuntungan ekonomis termasuk hasil ternaknya.
Input yang diberikan pada pertanian ini adalah bahan organik yang berasal
dari seresah daun, jerami, atau hasil sampingan peternakan sapi yang telah
terdekomposisi. Pengolahan feses dan urin sapi masih dengan bantuan petani,
biasanya dilakukan penambahan MARROS Bio-Activa yang berfungsi sebagai
akselerator pematangan feses dan urin agar dapat dijadikan pupuk bagi tanaman.
Jerami juga dapat dikomposkan menjadi pupuk kompos bagi tanaman.
Meskipun jerami tersebut tidak diberi biodekomposer, tetapi telah ada
biodekomposer alami (pelaku/aktor yang merombak bahan organik secara alami).
Bedanya dengan biodekomposer yang ditambahkan, kemampuannya sudah lebih
terseleksi akan lebih cepat terurai. Pada prinsipnya proses pelapukan adalah suatu
proses alamiah dlm rangka mikroba(dekomposer) memanfaatkan jerami sebagai
sumber energinya, untuk membangun biomassa. Untuk pertumbuhan dan
perkembangan butuh rasio C, N, P.
Input lain yaitu berkaitan dengan pengendalian hama dan penyakit
digunakan taktik pengendalian hayati. Pengendalian ini dengan menggunakan
senyawa atraktan, berupa metyl eugenol. Taktik ini berfungsi untuk menarik
serangga lalat buah jantan melalui aromanya. Sehingga lalat akan terkecoh dan
masuk dalam perangkap.
Output yang dihasilkan adalah hasil pertanian utama seperti untuk tanaman
jagung dapat menghasilkan kira–kira 4-5 ton selama 3 tahun, dengan harga jual Rp
2000/kilogram. Ketela pohon dapat menghasilkan lebih dari 9 kg/ batang. Cabe
merah dapat menghasilkan ½ kg satu tanaman dengan harga Rp 2000/kg. Sawi
12
dapat menghasilkan 3 kg / m3 dengan luas lahan 8000 m3 dan harga jual Rp 1000/
kg. Selain itu terdapat hasil sampingan berupa seresah daun, rumput, dan
brangkasan yang berguna untuk pakan sapi pada peternakan disana, atau
dimanfaatkan untuk cadangan pupuk musim tanam berikutnya.
Integrated Farming System, Mungkinkah?
Integrated Farming System, atau sistem pertanian terpadu (Indonesia, red),
didefinisikan sebagai penggabungan semua komponen pertanian dalam suatu sistem
usaha pertanian yang terpadu. Sistem ini mengedepankan ekonomi yang berbasis
teknologi ramah lingkungan dan optimalisasi semua sumber energi yang dihasilkan.
Di Indonesia, model usaha ini masih sebatas wacana karena masih kurangnya
pengetahuan masyarakat dan diperlukan modal yang cukup tinggi. Padahal usaha ini
sangat cocok digunakan di Indonesia yang memiliki iklim tropis dengan limpahan
sinar matahari sepanjang tahun dan curah hujan tinggi. Beberapa metode
diversifikasi pertanian seperti minapadi (padi dengan ikan) dan longyam (balong
ayam/ ikan dengan ayam) mengadopsi model integrated farming system ini.
Komponen Integrated Farming System
Sistem ini memiliki satu pusat dan satu tujuan yaitu manusia yang harus
dipenuhi kebutuhannya. Pusat ini dikelilingi dengan berbagai model kegiatan
ekonomi pertanian yang saling berkaitan satu sama lain misalnya peternakan,
perikanan, ladang/persawahan dan pengelolaan limbah (waste treatment). Satu
persatu kita akan membahas komponenintegrated farming system tersebut:
1. Manusia
Manusia sebagai makhluk hidup membutuhkan energi sebagai motor
kehidupannya. Dengan integrated farming system, manusia tidak hanya
mendapatkan keuntungan finansial tetapi juga pangan sebagai kebutuhan primer
dan energi panas serta listrik.
13
Skema alur interaksi antara satu komponen dengan komponen lainnya
dalam integrated farming system
(Gambar : www.fao.org)
2. Peternakan
Peternakan memainkan peran sebagai sumber energi dan penggerak ekonomi
dalamintegrated farming system. Sumber energi berasal dari daging, susu, telur
serta organ tubuh lainnya bahkan kotoran hewan. Sedangkan fungsi penggerak
ekonomi berasal dari hasil penjualan ternak, telur, susu dan hasil sampingan ternak
(bulu dan kotoran).
Dalam mendesain komponen peternakan yang akan digunakan
untuk integrated farming system faktor biosekuriti adalah faktor penting yang harus
selalu diperhatikan. Adalah pencegahan penularan penyakit antar hewan yang
menjadi fokus biosekuriti tersebut.
Seperti kita ketahui bahwa babi dan unggas air tidak boleh dipelihara
berbarengan dengan ayam. Hal ini dikarenakan unggas air adalah reservoir yang
akan menularkan virus AI ke berbagai hewan termasuk ayam tanpa unggas air
tersebut menderita sakit. Sedangkan babi adalah mixing vessel, yang bila bersamaan
14
terinfeksi virus AI dan influenza manusia, berpotensi menghasilkan virus baru yang
dikhawatirkan dapat menyerang manusia dan ayam. Oleh karena itu, keduanya tidak
boleh dipelihara dalam satu peternakan.
Hal serupa juga berlaku untuk sapi dan babi. Keduanya disarankan tidak
dipelihara dalam satu lokasi karena beresiko terjadi penularan cacing pita dari sapi ke
babi atau sebaliknya.
Di lapangan, kombinasi antar hewan ternak umumnya jarang dilakukan.
Biasanya ternak dikombinasikan dengan ikan. Jikapun ada, biasanya dipelihara dalam
kandang atau lokasi berbeda, terpisah jarak yang jauh juga sistem kerja yang
terpisah, atau dengan kata lain, tidak berhubungan satu sama lain. Contohnya
adalah pekerja di kandang babi tidak boleh masuk ke kandang sapi begitupun
sebaliknya.
3. Persawahan atau Ladang
Syarat tanaman yang bisa diusahakan adalah bernilai ekonomi dan bisa
menyediakan pakan untuk peternakan. Padi, strawberi, apel, anggur, singkong,
tomat, talas dan jamur dapat digunakan dalam integrated farming system.
Perhatikan bahwa padi yang digunakan harus berlabel biru atau yang tahan terhadap
air yang agak tinggi. Hasil samping pertanian berupa jerami, sekam dan sisa batang
dapat digunakan sebagai pakan ternak dan ikan, pembuatan biogas dan kompos.
15
Jamur dapat dipilih karena menggunakan kotoran ternak dan tidak membutuhkan
lahan luas
(Gambar : Simon & Schuster 1994)
4. Perikanan
Ikan yang digunakan untuk integrated farming system adalah ikan air tawar
yang dapat beradaptasi dengan lingkungan air yang keruh, tidak membutuhkan
perawatan ekstra, mampu memanfaatkan nutrisi yang ada dan memiliki nilai
ekonomis. Ikan yang sering digunakan adalah ikan nila, gurami, mas, tambakan dan
lele. Ikan dapat dipeli-hara secara tunggal (monoculture) atau campuran
(polyculture), asalkan jenis yang dipelihara mempunyai kebiasaan makan berbeda
agar tidak terjadi perebutan pakan, misalnya ikan mas dengan gurami.
Nutrisi untuk ikan berasal dari jatuhan kotoran ternak yang kering dan sisa
pakan ternak. Selain yang kering, kotoran ternak yang jatuh ke kolam juga memacu
perkembangan plankton yang menjadi makanan ikan. Oleh karena itu, sebaiknya
peternak juga memilih ikan yang dapat memanfaatkan plankton di dalam kolam
seperti ikan tambangan.
16
Ikan nila, gurami, mas dan lele adalah ikan yang dapat digunakan
dalam integrated farming system
(Gambar : wikipedia.com)
5. Waste Treatment
Komponen ini berperan dalam penyediaan energi dan penekan pencemaran
lingkungan. Hasil dari pengolahan limbah tersebut adalah:
Kompos dan pupuk kandang
Bahan pembuat kompos adalah kotoran sapi (80-83%), jerami padi (bisa sekam,
serbuk gergaji dan lain-lain sebanyak 5%), abu dapur (10%),
bakteri starter (0,25%) dan kapur (2%). Bahan lain dapat digunakan asalkan
kotoran sapi minimal 40% dan kotoran ayam 25%.
Teknik pembuatannya adalah sebidang tempat beralas tanah dan dibagi menjadi
4 lokasi (lokasi 1, 2, 3, 4) sesuai dengan ukuran yang dibutuhkan dan tempat
tersebut dinaungi agar pupuk tidak terkena sinar matahari dan air hujan secara
langsung. Proses pembuatannya diawali dengan membiarkan kotoran sapi (feses
dan urin) selama 1 minggu agar kadar air menurun hingga 60%. Lalu kotoran
dipindahkan ke lokasi satu dan dicampur merata dengan jerami padi, abu dapur,
kapur dan bakteri starter.
17
Setelah satu minggu tumpukan dipindahkan ke lokasi kedua dengan cara diaduk/
dibalik secara merata untuk menambah suplai oksigen dan meningkatkan
homogenitas bahan. Pada tahap ini diharapkan terjadi peningkatan suhu hingga
70OC untuk mematikan pertumbuhan biji gulma sehingga kompos yang
dihasilkan bebas dari biji gulma. Dan kompos didapat telah siap digunakan
(www.sinartani.com).
Biogas
Biogas terbentuk dari hasil penguraian kotoran hewan oleh mikroorganisme yang
terdiri atas karbondioksida (30-40%), hidrogen (1-5%), metana (50-70%), uap
air (0,3%), nitrogen (1-2%), dan hidrogen sulfat (endapan). Metana sebagai
komponen terbesar dapat dimanfaatkan untuk memasak dan pemanas.
Banyaknya metana yang dihasilkan juga menentukan daya listrik yang dihasilkan.
Satu meter kubik (m3) metana yang setara dengan 10 kWh atau 0,6 liter bensin,
mampu menghidupkan lampu 60-100 watt selama 6 jam. Cukup 3 ekor sapi
untuk memenuhi kebutuhan energi skala rumah tangga.
Pada dasarnya, biogas dapat diolah dari berbagai macam feses. Hanya, tiap feses
ternyata memiliki kelebihan dan kekurangan. Contoh, feses sapi yang mudah
dibuat biogas karena sedikit mengandung unsur-unsur kimia. Selain itu,
perbandingan C/N (Carbon/Nitrogen) feses sapi adalah yang paling baik sehingga
bakteri pembentuk gas dapat tumbuh lebih baik.
Lain halnya dengan feses ayam yang dipelihara secara intensif. Feses ayam
tersebut memiliki kandungan zat kimia yang tinggi sehingga membutuhkan
perhatian khusus dalam pembuatannya. Terlepas dari itu, feses ini juga
mengandung lebih banyak nitrogen dan mekar lebih banyak sehingga dapat
menghasilkan biogas dan pupuk lebih banyak.
Prinsip utama pembuatan biodigester (tabung pembuatan biogas) adalah
kedap udara. Gambar di bawah ini memperlihatkan biodigester menggunakan
dua tabung yang saling berhubungan. Melalui pipa (lubanginlet), kotoran dan
air dimasukkan menuju tabung pertama. Perbandingan kotoran dengan air
18
adalah 1:2. Jika kotoran terlalu padat maka biogas yang dihasilkan tidak
optimal karena sulit dibebaskan ke biodigester.
Ilustrasi pembuatan biogas dari kotoran ayam
(Gambar: Poultry Indonesia April 2009)
Letak tabung pertama harus lebih rendah daripada tabung kedua. Saat kotoran baru
dimasukkan ke tabung 1, kotoran yang lama akan terdesak ke tabung kedua. Di
tabung pertama inilah tempat keluarnya biogas. Beberapa peternak menggunakan
plastik yang didesain sedemikian rupa membentuk balon berisi biogas sebagai
penampung biogas. Plastik ini biasanya digantung di langit-langit kandang dan
terlindung dari hujan dan panas. Dari penampung biogas inilah, biogas dialirkan ke
rumah-rumah menggunakan selang plastik.
Tabung kedua berfungsi sebagai tempat kontrol kualitas biogas dan juga tempat
pengambilan ampas kotoran. Jika yang terdapat di permukaan tanah adalah endapan
kotoran, berarti proses berjalan baik. Namun jika yang tampak adalah air maka
dipastikan telah terjadi kebocoran instalasi atau terjadi proses biogas yang tidak
optimal (Poultry Indonesia April 2009, hal 55-56).
Satu hal yang perlu diperhatikan adalah jangan memasukkan air yang mengandung
desinfektan dan antibiotik ke dalam tempat pembuatan kompos dan biogas.
Tindakan ini akan mematikan mikroorganisme tersebut.
19
Kelebihan dan Kelemahan Integrated Farming System
Tentunya sistem ini memiliki beberapa kelebihan antara lain:
1. Sepanjang penggunaan obat-obatan masih mengikuti aturan pakai, sistem ini
sangat ramah lingkungan
2. Efisiensi energi, karena tidak ada energi yang terbuang percuma
3. Meningkatkan efektivitas lahan, dengan luas lahan yang sama, peternak bisa
memiliki dua usaha sekaligus
4. Sumber dana terus menerus tanpa waktu kosong
Meski begitu, peternak tetap memperhitungkan beberapa hal yaitu :
1. Resiko penularan penyakit antar hewan. Biosekuriti ketat dan tidak
memelihara lebih dari satu hewan ternak dapat menjadi solusi
2. Daya tampung satu komponen terhadap komponen lain agar tercipta
keseimbangan. Contoh, populasi ayam harus menyesuaikan populasi ikan di
kolam agar ikan tidak keracunan ammonia
3. Peningkatan resistensi antibiotik di lingkungan. Solusinya adalah rolling
antibiotik dilakukan lebih sering dan mengikuti aturan pakai yang telah
ditetapkan
Penerapan sistem pertanian terpadu integrasi ternak dan tanaman terbukti
sangat efektif dan efisien dalam rangka penyediaan pangan masyarakat. Siklus dan
keseimbangan nutrisi serta energi akan terbentuk dalam suatu ekosistem secara
terpadu. Sehingga akan meningkatkan efektifitas dan efisiensi produksi yang berupa
peningkatan hasil produksi dan penurunan biaya produksi.
Kegiatan terpadu usaha peternakan dan pertanian ini, sangatlah menunjang
dalam penyediaan pupuk kandang di lahan pertanian, sehingga pola ini sering
disebut pola peternakan tanpa limbah karena limbah peternakan digunakan untuk
pupuk, dan limbah pertanian untuk makan ternak. Integrasi hewan ternak dan
tanaman dimaksudkan untuk memperoleh hasil usaha yang optimal, dan dalam
rangka memperbaiki kondisi kesuburan tanah. Interaksi antara ternak dan tanaman
20
haruslah saling melengkapi, mendukung dan saling menguntungkan, sehingga dapat
mendorong peningkatan efisiensi produksi dan meningkatkan keuntungan hasil
usaha taninya. Sistem tumpangsari tanaman dan ternak banyak juga dipraktekkan di
daerah perkebunan. Di dalam sistem tumpangsari ini tanaman perkebunan sebagai
komponen utama dan tanaman rumput dan ternak yang merumput di atasnya
merupakan komponen kedua.
Praktek penerapan pola usaha tani konservasi ini hendaknya dilakukan secara
terpadu, seperti sistem multiple croping (pertanaman ganda / tumpang sari),
agroforestry, perternakan, dan dipadukan dengan pembuatan teras. Misalnya dalam
praktek PHBM, tanaman pangan ditanam pada bidang teras meliputi kedelai, kacang
tanah, jagung dan kacang panjang yang di tanaman diantara tanaman tahunan
(misal: jati, mauni atau pinus sebagai tanaman pokok). Pada tepi teras ditanami
dengan tanaman penguat teras yang terdiri dari tanaman rumput, lamtoro dan dapat
ditanami tanaman hortikultura seperti srikaya ataupun nanas dan pisang. Tanaman
rumput pada tepi teras disamping berfungsi sebagai penguat teras juga sebagai
sumber pakan ternak (sapi atau kambing)
http://berusahatani.blogspot.com/2010/12/pertanian-terpadu.html
Contoh Integrated Farming System
Beberapa contoh integrated farming system adalah:
1. Ayam-Ikan-Padi
Di Indonesia, adaptasi sistem ini adalah longyam atau balong ayam.
Keuntungan sistem ini adalah:
Efisiensi pakan ikan yang berasal dari kotoran ayam dan jatuhan pakan ayam
(± 1-5% dari pakan yang diberikan ke ayam)
Efisiensi lahan diatas kolam yang tidak dimanfaatkan
Sistem ini lebih dianjurkan untuk ayam kampung karena kepadatan ayam
yang berada di atas kolam lebih rendah. Ayam kampung pun dinilai lebih mudah
beradaptasi terhadap lingkungan kandang longyam.
21
Kandang dibangun di atas kolam berbentuk bujur sangkar dengan ketinggian
1,2 meter dari permukaan air dan kedalaman kolam 1,5 meter. Tujuannya untuk
sirkulasi udara dan mencegah pelembaban lantai kandang oleh kolam. Ikan nila dan
lele direkomendasikan untuk sistem ini karena sangat toleran dengan level oksigen
yang rendah. Satu hektar kolam dapat menampung 12500 ekor ikan nila ukuran 3-5
cm.
Padi sebagai komponen terakhir akan memanfaatkan air dari kolam ikan yang
kaya dengan unsur-unsur hara. Timbal baliknya adalah sisa panen padi berupa
sekam dapat dimanfaatkan sebagai litter kandang dan jerami dapat dijadikan
kompos.
2. Tebu-Sapi-Cacing Tanah-Biogas
Model ini juga menarik untuk dikembangkan. Tebu yang akan diolah menjadi
gula dan menyisakan ampas tebu, daun dan tetes tebu. Umumnya ampas tebu
digunakan untuk bahan bakar pemasak (ketel) di pabrik. Selain itu, digunakan untuk
briket, bahan baku pulp, bahan kimia (xylitol, methanol dan metana) dan bioetanol
melalui fermentasi.
Tetes tebu (molasses) popular sebagai sumber energi dalam pakan ternak.
Penambahan maksimal 5% dalam pakan akan meningkatkan berat badan sapi
karena peningkatan jumlah energi dalam pakan. Penambahan 2-5% akan
meningkatkan palatabilitas (cita rasa) pakan. Dalam industri pakan, molasses juga
berfungsi sebagai pembentuk pellet (pellet binder). Jika dicampur dengan pupuk
urea, bungkil kelapa, tepung batu gamping, dedak padi, gandum, dan garam dapat
membentuk UMB (urea molasses block) yang dapat digunakan sebagai suplemen
pakan.
22
Model integrated farming system tebu-sapi-cacing tanah-biogas diterjemahkan
dari grafik ini
(Gambar : www.fao.org)
Dalam sistem ini, kotoran sapi berfungsi sebagai media pembiakkan cacing
tanah dan bahan baku biogas. Ternyata feses sapi adalah media terbaik untuk
membiakkan cacing tanah karena kandungan protein tercernanya rendah. Sebelum
dijadikan media pembiakkan, feses tersebut harus difermentasikan selama tiga
minggu.
Cacing tanah yang dapat dibiakkan ialah Lumbricus rubellus dan Eisenia
foetida. Setelah 40 hari di-biakkan, telur dan cacing tanah dapat dipanen. Bahkan,
media pembiakkan cacing tanah juga bernilai ekonomi yang disebut vermikompos.
Dari 100 kg media pembiakkan, dapat diperoleh 70 kg vermikompos. Vermikompos
mengandung Phospor (0,6-0,7%), Kalium (1,6-2,1%), Nitrogen total (1,4-2,2%), C/N
rasio (12,5-19,2), Magnesium (0,4-0,95%), Calsium (1,3-1,6%), pH 6,5-6,8 dengan
kandungan bahan organik mencapai 40,1–48,7%. Vermikompos dan pupuk kompos
dari biogas dapat digunakan untuk pupuk bagi tanaman tebu dan juga buah-buahan.
23
Pembuatan Integrated Farming System
Proses mendesain integrated farming system harus mencakup faktor-faktor di
bawah ini yaitu:
1. Modal
Penekanan faktor modal meliputi modal teknis dan non teknis. Modal teknis
meliputi biaya pembuatan kandang, pembuatan kolam, harga tanah untuk lahan
persawahan/ ladang dan sebagainya. Peternak dapat meninjau modal teknis dari
kondisi lingkungan seperti ketersediaan air bersih, agen penyakit, suhu, kondisi
tanah dan sebagainya. Lakukan survei pendahuluan untuk memetakan bagaimana
desain integrated farming system yang akan dibuat. Lalu perhitungkan berapa modal
yang dibutuhkan, kapan modal akan kembali, berapa besar resiko yang akan
dihadapi dan sebagainya.
Modal non teknis menyangkut perizinan usaha tersebut. Integrated farming
system merupakan gabungan dari pertanian, peternakan dan perikanan maka
peternak wajib mengantongi izin untuk ketiganya.
2. Tenaga Kerja
Tabel 1 menerangkan bagaimana perbandingan kebutuhan tenaga kerja jika
Anda akan membangun suatu integrated farming system. Misalnya, akan lebih hemat
jika menggabungkan padi dengan ikan dibandingkan buah dengan babi.
3. Teknologi
Pemakaian teknologi lebih baik tentu berakibat pada dua hal yaitu modal dan
tenaga kerja. Penggunaan teknologi yang modern dalam budidaya buah dan ikan
tentunya akan menurunkan biaya untuk tenaga kerja.
4. Keuntungan
Keuntungan bersih didapatkan dari selisih antara biaya (cost) dan pendapatan
kotor (bruto). Gunakan perhitungan biaya berdasarkan kegiatan produksi (FC, VC,
dan TC). Biaya tetap (fixed cost/ FC) digunakan untuk biaya yang harus keluar meski
usaha sedang tidak berjalan misalnya penyusutan kandang, retribusi dan sebagainya.
24
Biaya berubah (variable cost / VC) adalah biaya yang jumlahnya mengikuti volume
produksi. Contoh, biaya pakan, pupuk, obat-obatan dan sebagainya. Keduanya harus
dijumlahkan dan digabungkan menjadi biaya total (total cost / TC).
Keuntungan berasal dari penjualan hasil produksi. Berdasarkan tabel 1, usaha
yang paling menguntungkan dalam integrated farming system adalah perikanan.
Penyebab utama adalah biaya pakan ikan turun drastis. Suatu farm
sistem longyam di Amerika Serikat diberitakan mengantungi keuntungan US$ 1883/
hektar atau Rp. 17.888.500,-/ hektar (Kurs Rupiah = Rp 9500,-) yang 87% berasal
dari ikan (± Rp. 15,6 juta).
Tabel 1. Perbandingan tenaga kerja, modal, teknologi dan keuntungan berbagai
komponen integrated farming system
http://chickaholic.wordpress.com/2010/07/09/integrated-farming-system-mungkinkah/
Sebagai contoh pada ternak potong, nilai tambah / manfaat dari proses
produksi ternak potong tidak hanya berasal dari produk daging (karkas), tetapi juga
pemanfaatan produk lain yang menghasilkan nilai tambah seperti kulit, tanduk, feses
dan energi mekanik. Dengan skill dan teknologi, produk sampingan ternak tersebut
dapat diubah menjadi produk lain yang mempunyai nilai ekonomi lebih tinggi.
Produk sampingan kulit, dapat diubah menjadi hasil kerajinan berupa sepatu,
tas dan sebagainya yang nilai ekonominya lebih tinggi. Demikian pula dengan
tanduk. Limbah ternak yang berupa feses, tidak hanya digunakan sebagai pupuk
organik saja, tetapi nilai tambahnya dapat ditingkatkan dengan memanfaatkan
limbah tersebut menjadi sumber energi gas bio dan pupuk sludge. Sumber energi
gas bio dapat digunakan untuk keperluan memasak dan penerangan. Di beberapa
negara gas bio bahkan telah digunakan sebagai pengganti bahan bakar minyak
untuk kendaraan bermotor atau mennggerakkan generator listrik. Sludge hasil sisa
25
gas bio dapat dimanfaatkan sebagai pupuk dengan kualitas yang lebih tinggi atau
sebagai pakan ikan.
Energi mekanik yang berasal dari biokonversi nutrisi melalui proses
metabolisme, aktivitas fisiologi (terutama kontaksi dan relaksasi otot) dan pelatihan
terprogram pada ternak (terutama ruminansia besar (sapi dan kerbau) dan non
ruminansia (kuda)) dapat menghasilkan prestasi kerja, misalnya pengolahan lahan
pertanian, sarana transportasi dan menggerakkan generator/dinamo untuk
elektrifikasi melalui gerakan berputar dari sapi/kerbau.
Dengan rekayasa dan pengembangan teknologi, yang didasarkan dari hasil
penelitian mutakhir, nilai tambah melalui biokonversi tersebut dapat ditingkatkan.
Teknologi baru yang juga dipertimbangkan implementasinya dalam biokonversi
ternak antara lain teknologi embryo transfer, rekayasa genetik pada hewan dan
mikroba (termasuk kloning hewan), optimalisasi peranan mikroba dalam rumen,
teknologi pengawetan pakan melalui rekayasa mikroba dan sebagainya. Peningkatan
nilai tambah melalui biokonversi dapat dilakukan pula dengan penerapan usaha
peternakan yang dikombinasikan dengan sektor pertanian, perikanan, kehutanan
atau perkebunan dalam konsep usaha pertanian terintegrasi atau implementasi dari
konsep daur ulang (recycling process). Contoh – contoh :
Pemanfaatan feses ternak untuk pupuk, sludge untuk pupuk dan gas bio
sebagai bahan bakar, implikasinya dapat menghemat pengeluaran petani,
peternak untuk pembelian bahan bakar (kayu, minyak tanah) dan pupuk.
Pemanfaatan sludge untuk menumbuhkan dan memproduksi pakan ikan
merupakan diversifikasi usaha untuk meningkatkan nilai tambah dan
peningkatan pendapatan.
Pemanfaatan energi untuk gerakan mekanik dalam rangka pengolahan lahan
pertanian dapat menunjang kegiatan produksi di sektor pertanian,
implikasinya dapat meningkatkan pendapatan petani/peternak. Pendapat
peternak yang sebelumnya hanya berasqal dari penjualan anak/ternak dewasa
atau nilai dari daging termasuk non karkas, dapat ditingkat melalui uang sewa
dari pemanfaatan ternak kerja, peningkatan produksi pertanian dari
26
penggunaan pupuk, peningkatan produksi ikan dari pemanfaatan sludge dan
penghematan bahan bakar dari pemanfaatan biomassa.
Dalam konteks proses daur ulang dan sistem pertanian terpadu tersebut,
pemilihan spesies komoditi ternak menjadi faktor utama yang berpengaruh terhadap
besarnya peningkatan nilai tambah dari biokonversi. Pada ternak babi atau kelinci
(non ruminansia), proses daur ulang tersebut tidak semuanya dapat dilakukan
karena babi, kelinci dan ruminansia kecil (domba, kambing) tidak mungkin energi
mekanik yang dihasilkan dapat digunakan sebagai tenaga kerja.
Penerapan biokonversi yang menghasilkan peningkatan nilai tambah pada
semua proses biologis (baik ternak, ikan maupun tanaman) perlu dilakukan secara
selektif, namun untuk penngembangannya perlu dilakukan penelitian yang
mendalam untuk menemukan teknologi baru.
Biokonversi Sampah Organik Menjadi Silase Ransum Komplit
Sampah merupakan konsekuensi dari adanya aktifitas manusia. Setiap
aktifitas manusia pasti menghasilkan buangan atau sampah. Jumlah atau volume
sampah sebanding dengan tingkat konsumsi kita terhadap barang/material yang kita
gunakan sehari-hari. Demikian juga dengan jenis sampah, sangat tergantung dari
jenis material yang kita konsumsi. Oleh karena itu pegelolaan sampah tidak bisa
lepas juga dari „pengelolaan‟ gaya hidup masyarakat. Peningkatan jumlah penduduk
dan gaya hidup sangat berpengaruh pada volume sampah. Misalnya saja, kota
Jakarta pada tahun 1985 menghasilkan sampah sejumlah 18.500 m3 per hari dan
pada tahun 2000 meningkat menjadi 25.700 m3 per hari. Jika dihitung dalam
setahun, maka volume sampah tahun 2000 mencapai 170 kali besar Candi
Borobudur (volume Candi Borobudur = 55.000 m3) [Bapedalda, 2000].
Searah dengan perkembangan wilayah yang pesat kearah modernisasi,
permasalahan penanganan Sampah semakin komplek, bahkan cenderung kontradiksi
dengan orientasi tuntutan kehidupan modern. Bahkan yang terjadi di perkotaan
adalah adanya gangguan polusi udara (bau), pencemaran air, dan bahaya banjir
yang secara langsung menurunkan tingkat kesehatan masyarakat. Selain itu, wilayah
27
perkotaan dihadapkan pada kondisi tingginya konversi lahan untuk ruang terbuka
hijau (lahan pertanian) ke bangunan dan perumahan. Hal ini menyebabkan
ketersediaan pakan sapi, kerbau, kambing dan domba menurun drastis akibat dari
berkurangnya lahan pengangonan. Padahal ternak tersebut selain makan hijauan
juga dapat memanfaatkan bahan organik seperti Sampah, tetapi dengan prasyarat
Sampah tersebut harus diolah terlebih dahulu untuk menghilangkan bahan yang
merugikan kesehatan ternak seperti cacing dan bakteri patogen.
Berdasarkan hasil analisis kimia, perbandingan kandungan nutrisi bahan baku
pakan ternak yang sudah biasa di konsumsi ternak (hijauan, konsentrat) dengan
sampah organik (limbah sayuran, limbah restoran, dll) tidak begitu jauh berbeda. Hal
yang perlu menjadi perhatian adalah pada proses pengelolaannnya sehingga
diperoleh pakan jadi yang berkualitas dan palatable bagi jenis ternak yang
mengkonsumsinya. Salah satu teknologi yang dapat digunakan untuk mencapai
kondisi tersebut adalah teknologi biokonversi melalui proses fermentasi sampah
organik dengan campuran bahan baku pakan lainnya (konsentrat).
Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa pengolahan Sampah Organik di
Perkotaan melalui teknologi biokonversi/fermentasi menjadi pakan komplit
merupakan solusi yang tepat. Biokonversi ini memberikan dua kontribusi positif;
pertama kontribusi positif terhadap permasalahan Sampah, yaitu mengeliminasi
gangguan kesehatan, karena semua Sampah Organik Perkotaan dapat diserap dalam
jumlah yang besar. Kedua, memberikan kontribusi positif terhadap perekonomian
wilayah dan membangun ”masyarakat sehat” dan ”kota lingkungan”.
PAKAN BERBASIS SAMPAH ORGANIK
Terdapat tiga unsur utama yang menentukan produktivitas usaha peternakan,
yang dikenal dengan istilah gold triangle, yaitu : Breeding, Feeding, Management.
Unsur penentu dalam keberhasilan teknis dan ekonomis peternakan adalah
kemampuan mengintegrasikan ketiga faktor di atas (Breeding-Feeding-
Management), sehingga tercapai hasil yang efisien. Fungsi pakan bagi ternak,
terutama ruminansia tidak hanya sebagai sumber energi untuk hidup, tetapi pakan
tersebut juga berperan sebagai bahan yang akan diubah bentuknya menjadi daging
28
dan susu, sehingga ketersediaan pakan berkualitas menjadi syarat utama untuk
dapat menghasilkan daging dan susu yang berkualitas juga. Pakan yang berkualitas
tinggi tentunya akan memberikan tingkat efisiensi dalam penggunaan sumber daya
dan pembiayaan usaha, karena kualitas pakan yang baik akan memberikan implikasi
positif terhadap aspek produksi dalam budidaya ternak.
Pemanfaatan pakan, terutama dari bahan baku yang bersumber dari sampah
organik, merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk menanggulangi
permasalahan ketersediaan pakan. Untuk lebih menjamin ketersediaan dan kualitas
pakan asal sampah organik, teknologi fermentasi pakan menjadi silase merupakan
metode pengolahan yang tepat untuk diterapkan. Beberapa hal yang menjadi
pertimbangan penggunaan teknologi fermentasi untuk bahan baku pakan dari
sampah organik adalah sebagai berikut :
Ekonomis.
Pembuatan silase tidak membutuhkan peralatan yang rumit dan mahal.
Peralatan untuk pembuatan silase dapat dibuat sendiri dan tidak lagi
membutuhkan pengering. Peralatan utama yang disediakan adalah silo
(wadah fermentasi) yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi
setempat. Silo tersebut dapat dibuat dalam skala besar maupun skala kecil.
Tahan lama (awet).
Bila kondisi anaerob telah tercapai, mikroorganisme aerob akan lenyap dan
mikroorganisme anaerob, khususnya bakteri penghasil asam laktat akan
berkembang. Kondisi tersebut tercapai pada hari ke-21 dan pH 3,8-4,2.
Praktis untuk bahan agroindustri yang mempunyai kadar air tinggi.
Bahan baku yang berkadar air tinggi jika dikeringkan akan membutuhkan
waktu yang relatif lama dan dibutuhkan biaya dan tenaga yang cukup besar.
Lebih jauh metode ini akan beresiko terhadap kerusakan nutrien bahan.
29
Dapat dimanipulasi kualitasnya.
Kualitas bahan fermentasi dapat dimanipulasi sesuai dengan keinginan
pembuat. Inovasi silase ransum komplit diantaranya bertujuan untuk dapat
meningkatkan kualitas pakan dan memudahkan teknis pemberiannya pada
ternak.
Produk/pakan yang dihasilkan lebih ramah lingkungan.
Sampah organik yang tidak terolah dengan cepat tidak hanya menimbulkan
polusi bau tetapi juga pencemaran terhadap air dan udara, khususnya
pencemaran karena mikroorganisme. Teknologi fermentasi dapat mengubah
bau menjadi asam, dan cenderung memberikan aroma yang wangi.
Teknologi fermentasi dapat membunuh mikroorganisme patogen dan cacing
(parasit lainnya) yang terdapat dalam sampah organik.
Oleh karena itu pakan yang dihasilkan akan terbebas dari mikroorganisme
patogen, cacing dan parasit lainnya, dan aman untuk dikonsumsi ternak.
SILASE RANSUM KOMPLIT BERBASIS SAMPAH ORGANIK
Kondisi iklim tropis wilayah Indonesia, menuntut adanya terobosan teknologi
dalam manajemen penyediaan dan pemberian pakan yang semakin mendesak.
Kurangnya pakan hijauan pada musim kemarau dan rendahnya kualitas pakan
konsentrat menyebabkan kebutuhan gizi untuk asupan ternak tidak dapat tercukupi
dengan optimal. Akibatnya adalah produksi daging dan atau susu pada ternak
ruminansia tidak mencapai harapan bahkan tingkat produksinya pun menurun. Selain
itu, para peternak masih terbiasa memberikan pakan hijauan dan konsentrat secara
terpisah. Hal ini mengakibatkan tidak seimbangnya kandungan nutrisi pakan yang
diberikan dan tidak sesuai dengan kebutuhan ternak. Permasalahan dalam
pemberian pakan ini biasa terjadi pada ternak-ternak yang dikandangkan.
Produktivitas ternak akan optimal secara teknis maupun ekonomis jika persediaan
bahan pakan kontinu (tersedia sepanjang waktu), pakan yang diberikan dapat
memenuhi kebutuhan gizi ternak serta mudah dalam pemberiannya.
30
Ransum komplit untuk ternak ruminansia merupakan campuran dari berbagai
macam bahan makanan yang mengandung nilai gizi yang lengkap dan dapat
memenuhi kebutuhan hidup dan produksi bagi ternak. Bentuk pakan komplit dapat
berupa pakan kering (dry feed) maupun pakan basah (silase). Pakan komplit ini
merupakan pakan yang di dalamnya tercampur antara pakan hijauan dan pakan
penguat (konsentrat) yang sebagian besar berupa bahan pakan sumber protein dan
kalori yang cukup tinggi seperti bungkil dan dedak atau limbah seperti ampas kecap
atau tahu, onggok, dll. Dibandingkan dengan pakan komplit kering, pakan basah
(silase) memiliki beberapa kelebihan, yaitu, selain proses pembuatannya yang relatif
sederhana dan mudah, kualitasnya juga lebih baik serta memiliki daya tahan yang
cukup lama.
PROSES PEMBUATAN SILASE RANSUM KOMPLIT
A. Peralatan yang Digunakan
Alat-alat yang dibutuhkan dalam pembuatan silase ransum komplit sangatlah
sederhana. Peralatan yang paling umum adalah ketersediaan silo yang merupakan
alat utama dalam proses fermentasi bahan pakan. Silo dapat dibuat dengan berbagai
macam bentuk tergantung pada lokasi, kapasitas, bahan yang digunakan dan luas
areal yang tersedia. Secara umum, jenis-jenis silo dibedakan menjadi dua, yaitu
tower silo dan bunker silo. Tower silo adalah silo yang dirancang membentuk sebuah
menara menjulang ke atas yang bagian atasnya tertutup rapat. Sedangkan bunker
silo adalah silo yang rancangannya dibuat dengan cara menggali tanah, sehingga
berbentuk lubang atau parit, yang nantinya dilakukan penutupan silo tersebut
dengan menimbunnya kembali.
Beberapa bentuk silo dari kedua jenis tersebut secara umum adalah :
Pit Silo: silo yang dirancang berbentuk silindris (seperti sumur) dan di bangun di
dalam tanah.
Trech Silo: silo yang dibangun berupa parit dengan struktur membentuk huruf V.
Fench Silo: silo yang bentuknya menyerupai pagar atau sekat yang terbuat dari
bambu atau kayu.
31
Box Silo: silo yang rancangannya berbentuk seperti kotak.
Namun demikian, selain silo-silo tersebut, sebenarnya para petani peternak
yang mengolah bahan pakan dengan teknologi silase juga dapat memanfaatkan
alternatif lain sebagai silo. Alternatif lain yang dapat digunakan sebagai silo adalah
dengan menggunakan drum plastik atau plastik polybag. Khusus untuk plastik
polybag, dapat digunakan untuk membuat silase dengan porsi atau jumlah produksi
silase yang dihasilkan adalah untuk sekali makan (1 kantong plastik = 1 porsi pakan
yang akan dimakan oleh seekor ternak).
Selain silo, peralatan lainnya yang digunakan antara lain meliputi pemotong
(Copper), pencampur (mixer), truck, ban berjalan(conveyor), sekop, dan plastik
untuk alas atau penutup.
B. Metode
Metode pembuatan silase ransum komplit, dimulai dengan pemilihan bahan
baku yang dapat berasal dari sampah organik untuk selanjutnya dilakukan
pencampuran sesuai dengan komposisi kandungan gizi yang diinginkan. Selanjutnya
bahan campuran tersebut dimasukkan ke dalam silo, dipadatkan dan ditutup untuk
mendapatkan suasana anaerob. Silase akan terbentuk setelah 2-3 minggu kemudian.
Tahap 1. Pemilihan Bahan
Tahap pertama dalam pembuatan silase adalah melakukan pemilihan dan
penentuan jenis dan standar kualitas bahan yang akan digunakan. Beberapa hal
yang menjadi pertimbangan dalam pemilihan bahan adalah bahwa bahan tersebut
terjamin ketersediaanya sepanjang tahun dan berada dilokasi pembuatan silase,
dalam arti bahwa bahan tersebut tidak harus didatangkan dari tempat lain, terlebih
lagi memerlukan biaya transportasi. Pertimbangan tersebut akan membantu efisiensi
biaya, sehingga bahan yang digunakan benar-benar merupakan bahan yang murah.
Selain itu, bahan-bahan yang digunakan juga perlu dipilih berdasarkan kandungan
nutrisinya yang sesuai dengan kebutuhan ternak. Bahan-bahan yang dipilih harus
merupakan bahan pakan yang menjadi sumber protein, energi, vitamin, mineral
serta serat.
32
Bahan-bahan yang dipilih hendaknya dipertahankan kandungan airnya
sedapat mungkin seperti kondisi asalnya, sekitar 50-60% untuk bahan sampah
organik. Hal ini akan membantu memudahkan proses silase dengan mengoptimalisasi
proses fermentasinya serta memberikan efisiensi ekonomis. Selain kandungan nutrisi,
hal lain yang juga harus menjadi perhatian adalah bentuk fisik bahan pakan tersebut,
apakah butiran, tepung/serbuk atau mungkin batangan. Terutama untuk bahan yang
berbentuk batangan, sebelum dicampur harus dipotong-potong/dicopper terlebih
dahulu dengan ukuran sekitar 3-5 cm, sehingga akan memudahkan proses
pencampuran dengan bahan-bahan dalam bentuk fisik lainnya.
Tahap 2. Formulasi/Penyusunan Ransum
Formulasi atau penyusunan ransum dapat dilakukan dengan cara
komputerisasi atau dengan cara manual. Persyaratan utama untuk menyusun
ransum adalah diketahuinya kandungan/komposisi kimia dan nutrisi dari bahan-
bahan yang akan digunakan tersebut. Untuk mengetahuinya dapat dilakukan dengan
analisis laboratorium atau melihat daftar kandungan/komposisi kimia dan nutrisi yang
sudah ada dari hasil penelitian. Oleh karena itu, alat-alat yang sangat diperlukan
pada tahap ini, selain computer dan software-nya juga diperlukan alat-alat analisis
laboratorium lainnya.
Tahap 3. Pencampuran
Proses pencampuran bahan memerlukan tempat atau wadah yang bersih,
untuk menghindari kontaminasi terhadap campuran yang dihasilkan. Untuk
pembuatan silase dalam skala besar, pencampuran hendaknya dilakukan dengan
menggunakan mixer atau mesin pencampur, sehingga campuran merata. Namun
apabila jumlah tenaga kerja cukup banyak, pencampuran bahan silase dalam skala
besar dapat dilakukan secara massal. Sementara itu, untuk pencampuran bahan
dalam skala kecil, dapat dilakukan secara manual dengan menggunakan sekop.
Tempat atau wadah yang digunakan sebaiknya didalam ruangan dan berbentuk
flat/datar, berbentuk kolam/bak dengan alas keras atau tembok. Alat-alat lain yang
harus tersedia diantaranya adalah; sekop, timbangan, mixer, alas pencampur, dan
lain sebagainya.
33
Proses pencampuran harus dilakukan secara merata, untuk menghasilkan
silase yang berkualitas baik, dan hal ini akan berkaitan dengan bentuk fisik dan
ukuran bahan yang digunakan. Oleh karena itu, proses pemilihan bahan dan
pengelolaan bahan batangan pada tahap 1 perlu menjadi perhatian. Proses
pencampuran sebaiknya dilakukan dari bahan yang jumlahnya sedikit. Hal ini
dilakukan karena dalam kapasitas yang cukup besar, dikhawatirkan bahan
aditif/suplemen yang ditambahkan tidak tercampur dengan merata, sehingga kualitas
silase yang dihasilkan tidak bagus.
Tahap 4. Fermentasi
Setelah dicampur, material silase ransum komplit dengan kandungan air 45-60
%, dimasukan ke dalam silo untuk disimpan selama kurang lebih 2-3 minggu, dalam
kedaan tertutup rapat. Bahan-bahan yang dimasukan ke dalam silo harus dalam
kondisi padat dan tertutup dengan rapat untuk selanjutnya disimpan. Selama
penyimpanan tersebut akan terjadi proses fermentasi, dalam kondisi anaerob. Silase
akan terbentuk sempurna pada minggu ke 2-3 tergantung pada bahan dan volume
yang digunakan..
Alat-alat yang digunakan dalam proses fermentasi ini antara lain adalah
pemanfaatan silo-silo yang dibuat dalam beragam bentuk atau dengan
memanfaatkan wadah-wadah yang telah ada, misalnya drum plastik, atau bahkan
kantong plastik/polybag. Untuk skala kecil, penggunaan kantong plastic atau drum
plastic sangat disarankan, namun untuk skala yang lebih besar sebaiknya digunakan
bunker silo. Dibandingkan dengan tower silo, bunker silo lebih tepat digunakan,
disamping biayanya yang relative murah juga proses pembuatannya tidak sulit.
Beberapa hal yang harus menjadi perhatian dalam penggunaan bunker silo adalah;
sudut kemiringan pada tata letak silo, konstruksi bagian tutup yang harus gampang
untuk dibuka namun tertutup dengan rapat, lubang saluran pembuangan, dan harus
terletak ditempat yang teduh tidak terkena secara langsung (ternaungi) dari sinar
matahari dan hujan.
34
Tahap 5. Produk Silase
Pada hari ke-21 (duapuluhsatu) atau sekitar minggu ke-3 (tiga), silase ransum
komplit siap untuk diberikan kepada ternak. Pada saat dibuka, disarankan
produk/silase tidak diberikan langsung ke ternak. Produk fermentasi mengandung
sejumlah gas yang dihasilkan selama proses fermentasi berlangsung. Kondisi ini
dapat menekan konsumsi dan dapat berbahaya bagi ternak. Oleh karena itu,
sebelum diberikan pada ternak, silase perlu diangin-anginkan terlebih dahulu, untuk
menghilangkan aromanya yang menyengat, dan juga perlu dilakukan uji terhadap
logam-logam berat yang mungkin mencemarinya. Produk silase yang dijatahkan
untuk diberikan pada ternak harus habis untuk sekali pemberian dan tidak
diperkenankan disisakan untuk pemberian keesokan harinya.
C. Karakteristik Silase Ransum Komplit Yang Baik
Ciri-ciri yang baik dari produk silase dapat diidentifikasikan secara kualitatif
dan kuantitatif. Secara kualitatif, ciri-ciri produk silase yang baik adalah sebagai
berikut :
Aroma : Asam Laktat
Warna : Segar seperti warna aslinya
Tekstur : Tidak Menggumpal
Tidak berjamur
Sedangkan secara kuantitaif, ciri-ciri produk silase yang baik, diidentifikasikan
sebagai berikut :
Berada pada pH 3,8 – 4,2 dengan kandungan asam laktat yang cukup banyak
Disukai ternak/palatabilitas tinggi
D. Manajemen Silase Ransum Komplit
Mengingat proses fermentasi terjadi dalam waktu yang relatif panjang, sekitar
21 (duapuluhsatu) hari, para peternak perlu mengantisipasi ketersediaan silase untuk
menjaga kontinuitas pemberian pakan. Apabila pembuatan silase dalam skala kecil,
35
para peternak harus membuat silase dan menyimpannya dalam silo secara bergiliran,
sejumlah kebutuhan dan sesuai dengan siklus pembuatan silase. Silo yang dapat
digunakan adalah drum plastik atau kantong plastik/polybag dengan porsi untuk
sekali pemberian.
Apabila pembuatan silase dilakukan dalam skala besar dan dilakukan secara
kolektif/bersama-sama, sebaiknya para petani peternak (misal jumlah ternak 10-15
ekor) memiliki sedikitnya 10 (sepuluh) buah drum plastik untuk ditukarkan dengan
drum plastik yang berisi silase ditempat pembuatan kolektif tadi. Drum plastik
tersebut berfungsi sebagai silo bergerak dan alat kemas kedap udara sekaligus
sebagai alat transportasi silase jika lokasi ternak jauh dari lokasi pembuatan silase,
sehingga produk silase dapat disimpan dan kebusukan dapat dicegah dengan
kemasan drum plastik ini. Dengan sistem yang menyerupai sistim isi ulang, setiap
peternak cukup hanya memiliki drum plastik berpelat yang kosong, untuk kemudian
ditukarkan/diisi ulang dengan drum yang sudah berisi silase, untuk mengadakan
penyediaan pakan bagi ternaknya.
KANDUNGAN NUTRISI SILASE RANSUM KOMPLIT
Hasil penelitian yang dilakukan di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan
Fakultas Peternakan IPB, untuk mengetahui kandungan nutrisi dari Silase Ransum
Komplit dengan bahan baku limbah sayuran dan limbah restoran, memberikan bukti
yang positif tentang kandungan nutrisi dalam pakan tersebut. Kandungan nutrisi
tersebut dapat diidentifikasi dan diuraikan sebagai berikut :
Silase ransum komplit dengan bahan baku tersebut di atas memiliki pH yang
cukup rendah, yaitu sekitar 3,82-4,28 dan berada pada kondisi asam, yang
menunjukan bahwa silase tersebut adalah silase dengan kualitas yang sangat
baik. Hal ini dipertimbangkan karena pada kisaran pH 3,5 – 4,0 adalah kunci
untuk mencegah mikroorganisme penyebab kebusukan dan atau
mikroorganisme patogen.
Dengan penambahan konsentrat, kandungan bahan kering dalam silase
ransum komplit menjadi lebih tinggi, yaitu sekitar 38,70 - 45,42%. Hal ini
36
menunjukan bahwa dengan kandungan bahan kering tersebut, kualitas silase
sangat baik dan layak untuk dikonsusmi ternak.
Mengingat silase ransum komplit dibuat sesuai kebutuhan nutrisi ternak, maka
kandungan gizi dan nutrisinya dapat dijamin sesuai dengan kebutuhan ternak
tersebut.
Konsentrasi NH3 yang dihasilkan sangat optimum bagi pertumbuhan mikroba,
yaitu sekitar 9,42 -14,11 mM. Hal ini berarti bahwa produksi amonia sebagai
sumber nitrogen utama dalam pembentukan protein mikroba telah terpenuhi,
sehingga dapat memberikan sumbangan protein yang cukup bagi kebutuhan
ternak ruminansia.
Daya cerna ternak terhadap produk silase ransum komplit berada dalam batas
nilai cerna yang normal. Hasil penelitian menunjukan bahwa kecernaan bahan
kering terhadap silase ransum komplit dengan bahan baku sampah organik
adalah sebesar 60,09-62-25%, dan kecernaan bahan organik sebesar 60,07-
63-24%. Nilai kecernaan tersebut sangat tergantung pada bahan suplemen
yang dipakai.
CATATAN PENUTUP
Pengolahan sampah organik menjadi pakan ternak dalam bentuk silase
ransum komplit melalui teknologi biokonversi telah terbukti menunjukan hasil dan
keuntungan yang perlu dikembangkan dan diaplikasuikan lebih lanjut. Dampak positif
terhadap kondisi lingkungan sedikit demi sedikit akan mampu teratasi, terlebih lagi
apabila skala pengolahan sampah organik tersebut dapat dilakukan dalam skala
industri.
Namun demikian, keberhasilan dan dampak positif dari wacana dan aplikasi
biokonversi sampah organik menjadi silase ransum komplit ini perlu didukung oleh
hal-hal lain yang juga sama pentingnya. Hal-hal tersebut diantaranya adalah;
pertama, perlunya perubahan wacana dan perubahan kebiasaan dalam diri
masyarakat dan lingkungannya untuk lebih peduli dan mandiri dalam proses
pengumpulan dan pemilihan sampah organik dan anorganik, sehingga akan
37
memudahkan proses pengolahan lebih lanjut sebagai pakan ternak tadi. Selain juga
memberikan dampak ekonomis dan kondisi yang lebih kondusif dari sampah. Kedua,
dalam pengembangannya, orientasi industri pakan ternak berbasis sampah organik
perlu didukung dan dilakukan secara terpadu dengan usaha ternak (penggemukan
ternak untuk ternak ruminansia) disekitar lokasi industri pakan tersebut yang juga di
konsentrasikan berada di sekitar tempat pembuangan sampah akhir. Usaha-usaha
penggemukan ternak tersebut dapat diarahkan dalam bentuk kemitraan dengan
masyarakat disekitar lokasi TPA, sehingga dapat memberikan dampak ekonomi bagi
kesejahteraan hidup mereka. http://darsonoww.blogspot.com/2010/09/biokonversi-
sampah-organik-menjadi.html
Latihan soal :
1. Berilah contoh fakta di lapangan konsep “pola pertanian terintegrasi” yang
melibatkan ternak (potong, perah, unggas). Berikan analisa apakah
keuntungan dan penerapan sistem tersebut!
2. Penerapan teknologi gas bio merupakan implementasi dari teori daur ulang,
jelaskan!!!
Rangkuman Singkat :
Untuk meningkatkan nilai tambah dari usaha peternakan, maka biokonversi
yang berlangsung pada proses produksi ternak, perlu dikembangkan dan diperluas
ke beberapa sektor produksi.
Diversifikasi usaha yang diharapkan dapat meningkatkan nilai tambah antara
lain :
1. Penggunaan feses ternak untuk pupuk dan bahan bakar gas bio
2. Penggunaan energi mekanik dari ternak untuk aktivitas kerja
3. Penggunaan hasil sampingan lain (kulit, tanduk dan lain – lain) untuk komoditi
kerajinan dan sebagainya.