Pneumothorax journal translation

14
Translated Article Respirology (2004) 9, 157-164 INVITED REVIEW SERIES: PLEURAL DISEASES PNEUMOTHORAX MICHAEL H. BAUMANN AND MARC NOPPEN Abstrak: Pneumotoraks spontan dapat terjadi tanpa penyakit dasar paru yang nyata (primer) atau pada pasien yang memiliki penyakit dasar pada paru (sekunder). Manajemen tatalaksana pada pneumotoraks spontan telah dipublikasikan oleh organisasi- organisasi profesi besar, namun tingkat kesadaran dan penggunaannya oleh dokter masih kurang. Episode pertama pada pneumotoraks primer spontan dapat ditatalaksana dengan observasi jika pneumotoraks tersebut kecil. Jika terdapat pneumotoraks yang besar atau menunjukkan gejala pada pasien, aspirasi manual melalui kateter kecil atau insersi lubang-kateter kecil disertai katup Heimlich atau alat penutup air dapat dilakukan. Secara umum, tindakan definitive untuk mencegah rekurensi direkomendasikan setelah rekurensi pertama pneumotoraks, dan dapat didapatkan secara pleurodesis medis (seperti talc) atau pleurodesis bedah (bedah toraks dibantu video). Pneumotoraks sekunder harus ditindak dengan drainase selang dada diikuti dengan pleurodesis setelah episode pertama untuk mengurangi resiko rekurensi. Pneumotoraks traumatic dapat berupa khas (tidak tampak pada Chest X-Ray inisial) atau tidak-khas. Sebagian besar kasus ditatalaksana dengan pemasangan selang dada. Pasien tertentu dapat ditatalaksana secara konservatif, dengan perkiraan 10% dari pasien ini memerlukan pemasangan selang dada. Pneumotoraks iatrogenik memiliki sejumlah penyebab dan biopsi 1

description

review article pneumothorax, water seal drainage, translate journal

Transcript of Pneumothorax journal translation

Page 1: Pneumothorax journal translation

Translated Article

Respirology (2004) 9, 157-164

INVITED REVIEW SERIES: PLEURAL DISEASES

PNEUMOTHORAX

MICHAEL H. BAUMANN AND MARC NOPPEN

Abstrak: Pneumotoraks spontan dapat terjadi tanpa penyakit dasar paru yang nyata (primer) atau pada pasien yang memiliki penyakit dasar pada paru (sekunder). Manajemen tatalaksana pada pneumotoraks spontan telah dipublikasikan oleh organisasi-organisasi profesi besar, namun tingkat kesadaran dan penggunaannya oleh dokter masih kurang. Episode pertama pada pneumotoraks primer spontan dapat ditatalaksana dengan observasi jika pneumotoraks tersebut kecil. Jika terdapat pneumotoraks yang besar atau menunjukkan gejala pada pasien, aspirasi manual melalui kateter kecil atau insersi lubang-kateter kecil disertai katup Heimlich atau alat penutup air dapat dilakukan. Secara umum, tindakan definitive untuk mencegah rekurensi direkomendasikan setelah rekurensi pertama pneumotoraks, dan dapat didapatkan secara pleurodesis medis (seperti talc) atau pleurodesis bedah (bedah toraks dibantu video). Pneumotoraks sekunder harus ditindak dengan drainase selang dada diikuti dengan pleurodesis setelah episode pertama untuk mengurangi resiko rekurensi. Pneumotoraks traumatic dapat berupa khas (tidak tampak pada Chest X-Ray inisial) atau tidak-khas. Sebagian besar kasus ditatalaksana dengan pemasangan selang dada. Pasien tertentu dapat ditatalaksana secara konservatif, dengan perkiraan 10% dari pasien ini memerlukan pemasangan selang dada. Pneumotoraks iatrogenik memiliki sejumlah penyebab dan biopsi paru transtorakal menggunakan jarum merupakan penyebab utama. Pneumotoraks yang disebabkan biopsy jarum transtorakal memiliki gambaran CT-scan yang dapat memprediksi keberadaanya dan perlu atau tidaknya pemasangan selang dada. Pneumotoraks iatrogenic, apapun penyebabnya, dapat ditangani dengan observasi atau pemasangan selang-lubang pada dada, tergantung dari stabilitas pasien dan ukuran pneumotoraks.

Kata kunci: iatrogenic, pneumotoraks, spontan, traumatik

PENGENALAN

Pneumotoraks diklasifikasikan menjadi spontan dan non-spontan. Pneumotoraks spontan terjadi tanpa adanya trauma sebelumnya atau penyebab yang nyata. Pneumotoraks spontan yang terjadi pada pasien tanpa penyakit paru penyerta disebut sebagai pneumotoraks spontan primer (PSP), sedangkan pneumotoraks spontan sekunder (PSS) merujuk kepada kondisi yang ditimbulkan

1

Page 2: Pneumothorax journal translation

oleh penyakit paru penyerta, seperti PPOK, fibrosis kistik, atau Pneumocystis carinii pneumonia. Pneumotoraks non-spontan diklasifikasikan sebagai traumatik dan dibagi menjadi non-iatrogenik dan iatrogenik. Pneumotoraks non-iatrogenik dapat terjadi setelah trauma langsung maupun tidak langsung, seringkali pada dada, tidak berhubungan dengan prosedur medis. Pneumotoraks iatrogenic disebabkan oleh intervensi medis.

Apapun penyebab ataupun tipe pneumotoraks, tension pneumotoraks dapat terjadi. Tension pneumotoraks ada ketika tekanan intrapleura melebihi tekanan atmosfer melalui ekspirasi. Pasien yang menderita tension pneumotoraks dapat secara cepat mengalami dyspnea ekstrim, hiperventilasi dada unilateral, sianosis, dan ketidakstabilan hemodinamik. Terbentuknya suatu tension pneumotoraks biasanya merupakan medical emergency yang membutuhkan intervensi tepat melalui sejumlah teknik drainase dada untuk mengurangi tekanan intrapleura. Sebagai catatan, pergeseran struktur mediastinum ke sisi kontralateral oleh pneumotoraks, yang dapat dideteksi oleh CXR, adalah fenomena normal yang berhubungan dengan masuknya udara ke pleura dan bukan merupakan tanda pasti fisiologi tension. Tension pneumotoraks harus dapat didiagnosis klinis tanpa menunggu konfirmasi CXR.

PNEUMOTORAKS SPONTAN

PSP terjadi dengan frekuensi 7.4-18 kasus (insidensi sesuai umur) per 100 000 populasi per tahun pada laki-laki dan 1.2-6 kasus (insidensi sesuai umur) per 100 000 populasi per tahun pada wanita. Insidensi PSS dapat dibandingkan dengan PSP. Pada PPOK (penyebab paling sering PSS) pneumotoraks spontan terjadi pada 26 kasus per 100 000 populasi per tahun. Pada 2-6% pasien dengan HIV positif, pneumotoraks spontan diketahui dapat terjadi, dan biasanya dihubungkan dengan Pneumocystis carinii pneumonia, walaupun tingkat kejadian yang tinggi ini telah berkurang sejak ditemukannya terapi antiretroviral yang efektif. Pada 8-20% pasien dengan fibrosis kistik, pneumotoraks spontan terjadi pada suatu waktu dalam kehidupan. Karena adanya penyakit paru yang mendasarinya, PSS dianggap suatu keadaan yang mengancam jiwa, sedangkan PSP biasanya lebih dianggap mengganggu daripada kondisi yang mengancam. Maka dari itu, strategi dalam manajemennya sangat berbeda diantara dua keadaan ini.

PNEUMOTORAKS SPONTAN PRIMER

PSP biasanya terjadi pada dewasa muda (usia terbanyak 20-30 tahun). Factor risisko adalah jenis kelamin laki-laki, merokok, dan bentuk tubuh astenik. Pasien dengan PSP biasanya datang dengan nyeri dada yang tiba-tiba atau rasa tidak nyaman. Diagnosis ditegakkan melalui rontgen

2

Page 3: Pneumothorax journal translation

dada posisi tegak postero-anterior saat inspirasi. Tidak diperlukan radiografi sistemik yang diambil saat ekspirasi.

Tidak adanya pencetus biasanya dapat diidentifikasi pada setiap episode pada PSP di setiap pasien. Kebanyakan episode terjadi pada saat istirahat. Peranan tekanan atmosfer atau perubahan cuaca dalam penjelasan pada temuan terjadinya pneumotoraks secara berkelompok masih belum jelas.

Manajemen PSP biasanya dicirikan oleh luasnya variasi tindakan dan kebanyakan bergantung pada spesialisasi dokter yang berwenang (pulmonologis, dokter bedah, dokter IGD, radiologis, dll), dan ketersediaan pilihan terapi, khususnya video-assisted thoracoscopic surgery (VATS). Variasi praktik demikian menimbulkan pengembangan pada manajemen tatalaksana oleh British Thoracic Society pada tahun 1993 dan 2003, dan oleh American College of Chest Physician. Bagaimanapun, bukti menunjukkan bahwa tatalaksana tersebut jarang digunakan dan diaplikasikan pada praktek klinis. Jika manajemen tatalaksana dilaksanakan, bagaimanapun, hasil terapi tampak meningkat.

Tatalaksana yang disebutkan diatas setuju bahwa episode PSP awal yang kecil dan asimptomatik harus diobservasi selama beberapa jam, diikuti oleh pemulangan pasien jika pasien stabil. Episode PSP yang besar dan simptomatik harus dirawat dengan teknik evakuasi udara, yang sebaiknya setidak-invasif mungkin. Aspirasi manual dengan kateter kecil pada rawat jalan dan insersi kateter kecil (14-Fr) secara perkutan yang dipasangi katup Heimlich (rawat jalan) atau dengan alat penutup air (rawat inap), sukses dalam sebagian besar kasus. Dalam kasus pengembangan paru inkomplit dan/atau kebocoran udara persisten, torakoskopi medikamentosa/bedah, atau jika tidak tersedia, torakotomi terbatas harus dilakukan dalam 3-4 hari.

Terapi definitive untuk mencegah rekurensi tidak disarankan setelah hanya satu episode PSP karena sebagian besar pasien tidak akan pernah mengalami rekurensi. Pengecualian ada pada pasien dengan risiko profesi (seperti personil pesawat terbang). Ada banyak consensus, bagaimanapun, dan juga bukti klinis, bahwa pencegahan rekurensi harus selalu ditawarkan setelah rekurensi pertama pneumotoraks.

Beberapa kontroversi masih tetap ada berkaitan dengan prosedur optimal untuk mencegah rekurensi dari pneumotoraks. Hal ini terjadi karena adanya perbedaan pandangan mengenai patofisiologi PSP, khususnya pada peranan penyebab seperti rupturnya gelembung atau bula (yang disebut emphysema-like changes, ELC) dalam terbentuknya PSP. Walaupun ELC, khususnya pada apeks paru, tidak terdapat pada mayoritas pasien PSP, mereka bukan selalu menjadi lokasi tempat bocornya udara. Kebocoran udara dapat terjadi di tempat lain pada visceral pleura ada atau tidaknya ELC (‘porositas pleura’), atau udara dapat lewat melalui pleura mediastinum yang diawali dengan rupture alveoli ke dalam interstisial peribronkovaskular. Hal ini dapat menjelaskan mengapa tingkat rekurensi pada PSP tampak lebih tinggi pasca terapi ELC

3

Page 4: Pneumothorax journal translation

(seperti bullectomy) saja (hingga 20% rekurensi) jika dibandingkan dengan pleurodesis oleh abrasi mekanikal, pleurectomy parsial atau talc poudrage (0-10% rekurensi). Walau tidak adanya studi prospektif random berskala besar yang membandingkan berbagai teknik pencegahan rekurensi, data yang tersedia menunjukkan bahwa VATS bullectomy plus pleurodesis dan medical talc poundrage tanpa terapi bulla sama efektifnya. Pendekatan algoritmik pada tatalaksana PSP ditampilkan dalam gambar.1.

Beberapa pertanyaan praktik mengenai manajemen PSP membutuhkan pertimbangan:

1. Haruskah pasien PSP berhenti merokok? Merokok tidak diragukan lagi meningkatkan risiko timbulnya PSP. Tidak terlalu jelas apakah berhenti merokok mengurangi kemungkinan rekurensi PSP. Berhenti merokok tampak mengurangi tingkat rekurensi dalam satu studi. Dalam studi lain, berhenti merokok tidak mengurangi tingkat kejadian PSP kecuali ketika pasien telah berhenti merokok selama lebih kurang 1 tahun sebelum pneumotoraks pertamanya. Bagaimanapun, ada banyak alas an penting untuk menyarankan berhenti merokok terutama pada pasien yang sebagian besar masih muda ini.

2. Apakah pasien sebaiknya dianjurkan istirahat untuk mengurangi aktivitas fisik setelah episode PSP? Aktivitas fisik bukan merupakan factor risiko terjadinya PSP. Maka dari itu, tidak rasional untuk menganjurkan pasien istirahat setelah pasien tersebut sembuh dari episode PSP

3. Apakah rekurensi PSP meningkatkan terjadinya rekurensi selanjutnya? Tingkat rekurensi setelah episode pertama PSP yang diterapi dengan teknik evakuasi udara bervariasi dari 16-52%, dengan rata-rata 30%. Setelah rekurensi pertama, kemungkinan timbulnya rekurensi selanjutnya tampak meningkat secara progresif hingga 62% setelah rekurensi kedua dan 83% setelah rekurensi ketiga. Temuan ini mungkin menjadi bias oleh fakta bahwa usia yang lebih muda dalam timbulnya PSP untuk pertama kali merupakan factor independen untuk rekurensi di masa yang akan datang.

4. Haruskah pasien PSP diizinkan untuk terbang? Karena perubahan berulang-ulang tekanan udara selama perjalanan (tekanan kabin diturunkan ke sekitar 550 mmHg ketika terbang), penerbang yang sering (seperti pilot, pramugari) secara teori mungkin memiliki peningkatan risiko terjadinya PSP, walaupun hal ini belum diamati. Meskipun, karena pengembangan pneumotoraks segera sebelum atau pada awal penerbangan lebih berbahaya (sesuai hukum Boyle, volume udara akan mengembang dengan turunnya tekanan udara), peraturan militer, dan juga peraturan penerbangan internasional, menganjurkan terapi pencegahan rekurensi setelah episode pertama PSP pada personil penerbangan. Penumpang potensial yang telah mengalami PSP secara teori boleh menaiki pesawat terbang komersil hanya jika seluruh udara telah dievakuasi dari rongga pleura, walaupun beberapa data menunjukkan bahwa perjalanan udara yang aman hanya dapat dijamin setelah masa menunggu selama 2 minggu. Peraturan keamanan menyebutkan masa menunggu selama 3 minggu setelah kejadian pneumotoraks yang telah diterapi.

4

Page 5: Pneumothorax journal translation

Pasien dengan pneumotoraks dapat diangkut melalui udara selama terdapat hubungan terbuka antara rongga pleura dengan atmosfer sekitarnya jika ada (seperti selang udara yang digabungkan dengan alat penutup udara atau ke katup Heimlich).

5. Haruskah pasien PSP diizinkan untuk menyelam? Udara intrapulmonal (seperti emfisema, bleb, bulla) atau udara intrapleural (seperti pneumotoraks) akan mengembang ketika penyelam muncul ke permukaan (hukum Boyle). Riwayat PSP, atau adanya riwayat emfisema, bleb, atau bulla dianggap kontraindikasi untuk menyelam.

Pneumotoraks Spontan Sekunder

Semenjak PSP hampir selalu merupakan gangguan ringan tanpa membutuhkan intervensi segera, PSS berpotensi mengancam jiwa karena cadangan respirasi yang berkurang yang diakibatkan oleh penyakit paru penyerta. Secara umum setiap penyakit paru telah dilaporkan memiliki hubungan dengan PSS, namun PPOK sejauh ini merupakan penyakit dasar yang paling sering.

Berlawanan dengan PSP, dyspnea yang terjadi biasanya lebih parah dan bahkan kadangkala mengancam jiwa pada pasien PSS. Diagnosis biasanya dapat ditegakkan melalui Rontgen dada posisi tegak posteroanterior, walaupun CT-scan biasanya diperlukan untuk membedakan pneumotoraks dari bulla berdinding tipis yang berukuran besar.

Karena adanya penyakit paru yang mendasarinya, tingkat rekurensi pada PSS lebih tinggi, berkisar antara 40-80% tergantung dari penyebab yang mendasari. Pasien dengan PSS biasanya membutuhkan terapi yang cepat dan efektif untuk menangani episode pneumotoraks, dan sebagian besar penulis juga merekomendasikan terapi definitive yang segera untuk pencegahan rekurensi setelah episode pertama PSS. Guideline oleh The British Thoracic Society menganjurkan evakuasi pneumotoraks dengan aspirasi manual pada pasien muda (<50 tahun) yang asimptomatis dengan pneumotoraks kecil, dan setelah re-ekspansi paru yang sukses, dilanjutkan dengan observasi pasien selama 24 jam. Guideline oleh The American College of Chest Physician juga menyarankan pasien dirawat di rumah sakit pada setiap kasus. Pneumotoraks kecil dapat diobservasi atau ditindak dengan selang dada lubang kecil. Pneumotoraks yang besar dan simptomatik harus selalu ditindak dengan selang dada (digabungkan dengan katup Heimlich atau alat penutup air). Pada pneumotoraks yang sangat besar dan/atau tidak stabil, insersi selang dada ukuran sedang dianjurkan, dan selang dada berlubang besar dianjurkan ketika kebocoran udara yang luas dicurigai atau ketika ventilasi tekanan positif diperlukan.

Pencegahan rekurensi setelah episode pertama PSS dianjurkan oleh sebagian besar. Pendekatan torakoskopik (medical atau bedah) dengan teknik pleurodesis yang efektif (abrasi pleura, partial pleurectomy, atau talc poudrage) lebih dianjurkan jika dibandingkan dengan memasukkan sklerosan (tetrasiklin, talc slurry, dll) melalui selang dada. Dalam kasus kebocoran udara persisten, intervensi torakoskopik awal (dalam 3-5 hari) dianjurkan. Idealnya, khususnya pada rumah sakit dimana torakoskopi siap dan tersedia, pasien dengan PSS harus menjalani

5

Page 6: Pneumothorax journal translation

torakoskopi segera. Jika anestesi umum dan ventilasi tekanan positif digunakan, penggantian selang dada lubang kecil sebelumnya juga mungkin dianjurkan.

Salah satu tipe spesifik PSS adalah pneumotoraks catamenial, terjadi dalam 24-72 jam setelah onset menstruasi. Studi prospektif baru-baru ini mengindikasikan bahwa pneumotoraks catamenial mungkin lebih sering terjadi dibandingkan yang diperkirakan sebelumnya, dan seharusnya ditelaah secara sistemik pada wanita yang sedang menstruasi dan mengalami pneumotoraks. Dalam sebagian besar kasus, abnormalitas diafragma yang dihubungkan dengan endometriosis sering ditemukan dalam torakoskopi. Karena rekurensinya sering, terapi pencegahan rekurensi diindikasikan setelah kejadian pertama pneumotoraks catamenial. Selain itu, terapi supresi hormonal menstruasi juga dapat dilakukan.

PNEUMOTORAKS NON SPONTAN

Berlawanan dengan pasien dengan pneumotoraks spontan, tidak ada guideline profesi yang ada dalam penanganan pasien dengan pneumotoraks non spontan. Informasi yang ada terbatas namun beberapa publikasi menyediakan informasi yang berguna untuk membimbing perawatan pasien ini.

Pneumotoraks Traumatik Non Iatrogenik

Setiap tahun, lebih dari 50 000 pneumotoraks yang berhubungan dengan trauma ( pneumotoraks traumatic non iatrogenic) terjadi di Amerika Serikat, dengan trauma dada berperan langsung kepada 25% kematian akibat hal ini dan secara signifikan ke tambahan 50%. Pneumotoraks memiliki posisi kedua setelah fraktur iga dan merupakan tanda paling sering pada cedera dada dan dapat tampak pada 40-50% pasien dengan trauma dada. Trauma tumpul pada abdomen juga dapat menimbulkan terjadinya pneumotoraks traumatic.

Hingga 51% pasien trauma yang datang mengalami khas pneumotoraks, yang tidak tampak pada CXR awal namun selanjutnya tampak dengan pencitraan tambahan. Keterlibatan CT-scan dada rutin yang dini pada setiap pasien trauma dada dan multitrauma, dan mempertahankan kecurigaan tinggi mungkin diperlukan untuk mendiagnosa pneumotoraks traumatic. Dengan adanya kemungkinan perbaikan dengan ventilasi mekanik, deteksi dini sangatlah penting, khususnya pada pasien yang mungkin membutuhkan ventilasi tekanan positif.

Pneumotoraks traumatic biasanya ditangani dengan pemasangan selang dada. Sekitar 20% pneumotoraks traumatic mengalami hemotoraks penyerta, yang secara potensial menghambat drainase dada yang tidak tergantung oleh adanya udara pleura. Bagaimanapun, pemasangan selang dada mungkin tidak dibutuhkan pada semua pneumotoraks traumatic tanpa memikirkan presentasi khas maupun tidak-khas. Tingkat kegagalan sebesar 7-9% telah dilaporkan pada manajemen konservatif (observasional) pada pneumotoraks traumatic tidak-khas. Studi yang paling besar membatasi pemasangan selang dada pada 804 pasien pneumotoraks traumatic yang memiliki: kolaps paru > 1.5 cm pada CXR; pneumotoraks yang

6

Page 7: Pneumothorax journal translation

lebih kecil namun bilateral; kebutuhan pemasangan ventilasi mekanik; dan pada pasien dengan kapasitas cadangan paru yang terbatas. Studi ini tidak menjelaskan apakah jarak 1.5 cm dihitung dari apeks paru atau dari tempat lain. Semua pasien dirawat di rumah sakit dan hanya empat pasien yang mengalami pneumotoraks akibat luka tembak. Dari 804 pasien, 329 (41%) dirawat secara konservatif (hanya observasi) dan 29 (8.8%) membutuhkan pemasangan selang dada karena pembesaran pneumotoraks.

Pneumotoraks traumatic yang khas juga dapat ditangani secara konservatif pada beberapa pasien. Bagaimanapun, hingga 38% pasien dengan pneumotoraks khas dapat membaik dengan penggunaan ventilasi tekanan positif. Menggunakan klasifikasi berdasarkan ukuran CT-scan pada pneumotoraks, Wolfman et al menyediakan pendekatan sistematis pada tatalaksana konservatif pada pneumotoraks traumatic non iatrogenic yang khas. Pneumotoraks minuscule ditetapkan sebagai pengumpulan udara ≤ ketebalan 1 cm dan tampak tidak lebih dari empat gambar dengan ketebalan 10 mm. Pneumotoraks anterior adalah kumpulan udara yang terletak anterior, > 1 cm tebalnya, tidak meluas ke garis mid coronal, dan tampak pada 4 atau lebih gambar. Pneumotoraks anterolateral adalah kumpulan udara pleural meluas ke paling sedikit garis mid coronal. Karena adanya kecenderungan dari dokter bedah pada institusi tersebut, selang dada dipasang pada setiap pasien dengann pneumotoraks anterolateral. Dan juga, semua pasien dengan ventilasi mekanik dengan pneumotoraks anterior menerima selang dada. Dengan batasan-batasan tersebut, 24 dari 27 pasien (89%) dengan pneumotoraks minuscule atau panterior, tidak memerlukan selang dada ketika ditatalaksana secara konservatif. Namun berlawanan dengan hal itu, lebih dari satu pada 10 pasien yang ditangani secara konservatif, pada akhirnya memerlukan selang dada.

Kesimpulannya (gambar.2), pemasangan selang dada pada pneumotoraks traumatic khas maupun tidak khas merupakan pendekatan awal yang logis pada sebagian besar pasien. Namun, pasien yang dipilih secara hati-hati mungkin dapat dimonitor secara ketat tanpa membutuhkan pemasangan selang dada; sekitar 10% pasien ini pada akhirnya mungkin akan membutuhkan selang dada. Diberikannya ventilasi tekanan positif harus menjadi pertimbangan pada pemasangan selang dada pada semua pasien pneumotoraks traumatic non iatrogenic. Dengan adanya potensi untuk mendrainase baik darah maupun udara, dan adanya potensi kebocoran udara yang signifikan pada pasien yang diberi ventilasi mekanik, selang dengan lubang besar (28-36 Fr) harus dipertimbangkan.

Pneumotoraks Traumatik Iatrogenik

Dengan meningkatnya penggunaan diagnostik invasif dan intervensi terapetik tidak diragukan lagi meningkatkan insidensi yang memang sudah tinggi pada kejadian pneumotoraks iatrogenic. Dokter harus teliti akan kemungkinan terjadinya bahkan ketika intervensi pada tubuh pasien jauh dari lokasi dada. Waktu jeda yang lama antara kejadian pemicu dengan penemuan telah timbulnya pneumotoraks iatrogenic menyelimuti masalah ini dengan banyak kemungkinan penyebab. Hingga 4% pasien dengan pneumotoraks iatrogenic, setelah pemasangan intravena,

7

Page 8: Pneumothorax journal translation

memiliki jeda diagnosis CXR hingga 8-96 jam. Pneumotoraks iatrogenic mungkin secara umum dihubungkan dengan biaya termasuk kemungkinan morbiditas, mortalitas, dan dalam satu waktu, peningkatan masa rawatan pada 8% pasien yang terkena. Manifestasi klinis pada pasien dapat bervariasi secara mencolok berdasarkan mekanisme penyebabnya, penyakit paru yang mendasari, dan ada atau tidaknya ventilasi mekanik.

Angka kejadian yang pasti dari pneumotoraks iatrogenic tidak diketahui. Enam penyebab paling sering pneumotoraks iatrogenic diantara 535 pasien Administrasi Veteran diantaranya biopsy jarum paru transtorakal (24%), kateterisasi vena subklavia (22%), torakosentesis (20%), biopsy paru transbrokhial (10%), biopsy pleura (8%), dan ventilasi tekanan positif (7%).

Penyebab paling sering dari semua, yaitu biopsy jarum paru transtorakal dihubungkan dengan beberapa variable yang dapat memprediksi risiko pneumotoraks. Cox et al mencatat bahwa bukti CT-scan emfisema pada lobus paru pada biopsy (P=0.01) dan lesi paru lebih kecil (≤ 2 cm, P=0.001) berkorelasi dengan timbulnya pneumotoraks. Selain itu, adanya daerah berisi udara menuju lesi target meningkatkan angka kejadian timbulnya pneumotoraks dibandingkan dengan biopsy lesi juxtapleural (tingkat pneumotoraks sekitar 50% vs 15%, secara berurutan). Jumlah jarum yang lewat, ukuran jarum dan lokasi lesi tidak berhubungan dengan tingkat pneumotoraks. Juga dapat diperdebatkan, fungsi paru preoperative dapat memprediksi angka kejadian pneumotoraks iatrogenic namun hasil studi menunjukkan banyak perbedaan.

Terapi pneumotoraks iatrogenic harus dititikberatkan pada intervensi paling tidak invasive yang cocok pada keadaan klinis pasien dan penyakit paru penyertanya. Dengan mengadopsi derajat kolaps dari literature pneumotoraks spontan sebagai indicator pilihan terapi, suatu pneumotoraks iatrogenic dengan ukuran ≥ 3 cm (dari apeks ke paru) atau ≥ 15% dalam ukuran CXR harus dipertimbangkan dilakukan drainase menggunakan selang dada lubang kecil (≤ 16 Fr). Aspirasi sederhana pada pneumotoraks memungkinkan namun melihat bermacam-macam selang dada lubang kecil yang tersedia secara komersial dan dapat dipasang ke katup Heimlich atau katup satu arah yang sejenis, penggunaan alat-alat ini menawarkan kebergunaan yang lebih besar. Aspirasi dapat dilakukan dengan selang berlubang kecil, dan jika tidak berhasil, alat tersebut dapat ditinggalkan pada tempatnya, sebagai upaya menggantikan usaha aspirasi sederhana menjadi pemasangan selang dada lubang kecil.

Perlunya drainase dapat diprediksi setelah dilakukannya biopsy jarum paru transtorakal. Cox et al mencatat bahwa adanya bukti CT-scan emfisema memprediksi kebutuhan pemasangan selang dada tiga kali lipat lebih besar (27% dengan emfisema vs 9% tanpa emfisema; P<0.01) pada pasien yang mengalami pneumotoraks akibat biopsy jarum pada paru. Observasi secara hati-hati pada pasien dengan pneumotoraks iatrogenic dengan ukuran < 15% atau < 3 cm tanpa bukti emfisema melalui CT-scan, versus pemasangan awal selang dada pada pasien dengan bukti CT-scan emfisema, apapun ukuran pneumotoraksnya, tampak sebagai pendekatan terapeutik yang baik. Pasien yang dipilih secara bijak dengan pneumotoraks iatrogenic dapat ditangani secara aman dengan pemasangan selang dada dan follow up pasien rawat jalan. Pasien manapun

8

Page 9: Pneumothorax journal translation

dengan pneumotoraks iatrogenik dengan ventilasi mekanik terpasang harus dipertimbangkan pemasanga selang dada dan diikuti dengan observasi.

Pneumotorak traumatik iatrogenik dapat disebabkan oleh berbagai macam intervensi diagnostik dan terapeutik dan memiliki presentasi yang tertunda (gambar.3). Biopsi jarum paru transtorakal adalah penyebab paling sering timbulnya pneumotoraks iatrogenik. Temuan CT-scan yang terkait dapat memprediksi kemungkinan terjadinya pneumotoraks dan kebutuhan akan pemasangan selang dada. Pneumotoraks iatrogenic kecil dari penyebab lainnya pada pasien yang stabil secara klinis dapat diobservasi secara hati-hati; ketidakstabilan klinis, gejala signifikan, atau pneumotoraks yang lebih besar harus dilakukan pemasangan selang dada lubang kecil yang lebih awal.

9