pneumonia+tb paru+dih

59
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Infeksi saluran napas bawah masih tetap merupakan masalah utama dalam bidang kesehatan, baik di negara yang sedang berkembang maupun yang sudah maju. Dari data SEAMIC Health Statistic 2001 influenza dan pneumonia merupakan penyebab kematian nomor 6 di Indonesia, nomor 9 di Brunei, nomor 7 di Malaysia, nomor 3 di Singapura, nomor 6 di Thailand dan nomor 3 di Vietnam. Laporan WHO 1999 menyebutkan bahwa penyebab kematian tertinggi akibat penyakit infeksi di dunia adalah infeksi saluran napas akut termasuk pneumonia dan influenza. Insidensi pneumonia komuniti di Amerika adalah 12 kasus per 1000 orang per tahun dan merupakan penyebab kematian utama akibat infeksi pada orang dewasa di negara itu. Angka kematian akibat pneumonia di Amerika adalah 10 %. (1) Di Amerika dengan cara invasif pun penyebab pneumonia hanya ditemukan 50%. Penyebab pneumonia sulit ditemukan dan memerlukan waktu beberapa hari untuk mendapatkan hasilnya, sedangkan pneumonia dapat menyebabkan kematian bila tidak 1

description

PNEUMONIA TB PARU

Transcript of pneumonia+tb paru+dih

BAB IPENDAHULUAN

A. Latar BelakangInfeksi saluran napas bawah masih tetap merupakan masalah utama dalam bidang kesehatan, baik di negara yang sedang berkembang maupun yang sudah maju. Dari data SEAMIC Health Statistic 2001 influenza dan pneumonia merupakan penyebab kematian nomor 6 di Indonesia, nomor 9 di Brunei, nomor 7 di Malaysia, nomor 3 di Singapura, nomor 6 di Thailand dan nomor 3 di Vietnam. Laporan WHO 1999 menyebutkan bahwa penyebab kematian tertinggi akibat penyakit infeksi di dunia adalah infeksi saluran napas akut termasuk pneumonia dan influenza. Insidensi pneumonia komuniti di Amerika adalah 12 kasus per 1000 orang per tahun dan merupakan penyebab kematian utama akibat infeksi pada orang dewasa di negara itu. Angka kematian akibat pneumonia di Amerika adalah 10 %. (1)Di Amerika dengan cara invasif pun penyebab pneumonia hanya ditemukan 50%. Penyebab pneumonia sulit ditemukan dan memerlukan waktu beberapa hari untuk mendapatkan hasilnya, sedangkan pneumonia dapat menyebabkan kematian bila tidak segera diobati, maka pada pengobatan awal pneumonia diberikan antibiotika secara empiris.(1)Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga Depkes tahun 2001, penyakit infeksi saluran napas bawah menempati urutan ke-2 sebagai penyebab kematian di Indonesia(9). Di SMF Paru RSUP Persahabatan tahun 2001 infeksi juga merupakan penyakit paru utama, 58 % diantara penderita rawat jalan adalah kasus infeksi dan 11,6 % diantaranya kasus nontuberkulosis, pada penderita rawat inap 58,8 % kasus infeksi dan 14,6 % diantaranya kasus nontuberkulosis (7). Di RSUP H. Adam Malik Medan 53,8 % kasus infeksi dan 28,6 % diantaranya infeksi nontuberkulosis. Di RSUD Dr. Soetomo Surabaya didapatkan data sekitar 180 pneumonia komuniti dengan angka kematian antara 20 - 35 %. Pneumonia komuniti menduduki peringkat keempat dan sepuluh penyakit terbanyak yang dirawat per tahun.

B. Tujuan Dengan pembuatan laporan kasus ini, dokter muda berharap dapat:1. Mengetahui dan memahami dasar klinis penyakit Pneumonia2. Mampu menganalisa kasus, penegakkan diagnosis dan penatalaksanaan yang tepat untuk penyakit Pneumonia3. Menambah keilmuan dokter muda tentang penyakit di bidang Ilmu Penyakit Dalam4. Penulisan laporan kasus ini dapat dijadikan sumber informasi ilmiah yang dapat dipergunakan oleh sejawat lainnya5. Penulisan laporan kasus ini dapat dijadikan informasi yang komunikatif kepada pembacanya.

BAB IILAPORAN KASUS

A. Identitas PasienNama: Tn. STTL: Purbalingga, 1 Desember 1959Umur : 55 tahunJenis kelamin: Laki-lakiAlamat: Jl. Karya Jaya RT 006 RW 002 Kel. Tugu Selatan, Jakarta UtaraTanggal masuk RS: 31 Oktober 2014No. RM: 197839

B. Anamnesis1. Keluhan utama: Batuk berdahak sejak 3 bulan yang lalu

2. Keluhan tambahan: Berat badan turun, keringat malam, mual, nafsu makan turun, lemas, demam hilang timbul

3. Riwayat penyakit sekarang:Pasien datang ke IGD RSIJ Sukapura dengan keluhan batuk berdahak sejak 3 bulan yang lalu, dahak berwarna putih dan tidak disertai darah. Pasien juga mengeluh suka berkeringat di malam hari, mual namun tidak sampai muntah, perut rasa tidak enak, nafsu makan turun, dan berat badan pasien dalam 3 bulan turun hingga 12kg. Pasien juga sering merasakan demam yang hilang timbul. Kadang demam ringan, namun dapat cepat meningkat hingga menggigil. Pasien merasa lemas pada seluruh anggota tubuhnya. Pasien juga merasa nyeri kepala dan nyeri otot. Sesak (-), nyeri dada (-), BAB dan BAK dalam batas normal.

4. Riwayat penyakit dahulu:Pasien belum pernah menderita keluhan seperti ini sebelumnya, namun sebelum ke IGD pasien telah menjalani perawatan di RSIJ Koja. Riwayat Diabetes Mellitus, Hipertensi, dan Asma disangkal

5. Riwayat penyakit keluarga:Pada keluarga tidak ada yang mengalami keluhan seperti ini. Riwayat Diabetes Mellitus, Hipertensi, dan Asma dalam keluarga disangkal

6. Riwayat pengobatan :Pasien sudah pernah berobat di RSIJ Koja, di diagnosa ada flek dan dirawat selama 6 hari

7. Riwayat allergi :Riwayat allergi makanan, obat-obatan, dan cuaca disangkal

8. Riwayat psikososial :Pasien makan teratur, 2-3 kali sehari. Pasien suka minum kopi, 2 gelas/hari. Pasien merokok (+) 2-3 bungkus/hari. Pasien gemar berolah raga badminton

C. Pemeriksaan FisikKeadaan umum : tampak sakit sedangKesadaran :composmentisStatus GiziBB sebelum sakit: 81 kgBB ketika sakit: 69 kgTB: 170 cmIMT: 23,8Tanda Vital Tekanan darah : 70/40 mmHgPenafasan : 20 x/ menit Nadi : 84 x/menit Suhu : 40.0CStatus Generalis1. Kepala :normocephal 2. Mata:konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), refleks pupil (+/+) isokor, pergerakan mata kesegala arah baik3. Telinga:normotia, perdarahan (-)4. Hidung :normonasi, epistaksis (-)5. Mulut:mukosa bibir lembab, gusi berdarah (-), lidah kotor(-)6. Thorax a. Inspeksi :normochest, simetris, retraksi dinding dada (-)b. Palpasi:vokal fremitus teraba sama di semua lapang paruc. Perkusi : sonor pada semua lapang parud. Auskultasi :suara napas vesikuler (+/+), ronkhi (+/+), wheezing (-/-)7. Jantunga. Inspeksi:ictus cordis tidak terlihat b. Palpasi:ictus cordis teraba di ICS 5 linea midclavicularis sinistrac. Perkusi: i. Batas atas: ICS 3 linea parasternalis dekstraii. Batas kanan: ICS 4 linea parasternalis dekstraiii. Batas kiri: ICS 5 linea midclavicularis sinistra d. Auskultasi : bunyi jantung I dan II regular, bising jantung (-)8. Abdomena. Inspeksi: datar, supel, bekas trauma (-)b. Auskultasi: bising usus (+) normalc. Perkusi: timpani pada seluruh lapang abdomend. Asites: shifting dullness (-)e. Palpasi : supel, nyeri tekan epigastrium (+)9. Ekstremitasa. Superior: akral hangat, CRT < 2 detik, edema (-/-)b. Inferior:akral hangat, CRT < 2 detik, edema (-/-)

Pemeriksaan laboratorium tanggal 31 Oktober 2014PemeriksaanHasilSatuanNilai Normal

Hematologi rutinHemoglobinJumlah leukositHematokritJumlah trombosit15,37,90045,2298g/dl/l%ribu/ lL=13,8-17,0 P= 11,3-15,5L= 4,5-10,8 P=4,3-10,4L=42,0-50,0 P=36,0-46,0L=185.000-402.000 P=132.000

Ekspertise rontgen thorax tanggal 31 Oktober 2014 Cor : sinus dan diafragma kanan normal. Sinus kiri tumpul. Skeletal dan jaringan lunak normalPulmo : tampak infiltrat di kedua lapang atas dan tengah paruKesan : TB Paru dupleks

Pemeriksaan laboratorium tanggal 1 November 2014PemeriksaanHasilSatuanNilai Normal

BTABTA DirectNegatif Kuman BTANegatif

Pemeriksaan laboratorium tanggal 2 November 2014PemeriksaanHasilSatuanNilai Normal

SEROIMUNOLOGIAnti TB IgGNegatif

ENZYMSGOTSGPT365279U/LU/L0-370-40

D. Resume Tn. S, 55 tahun datang ke IGD RSJ Sukapura dengan keluhan batuk berdahak sejak 3 bulan yang lalu, dahak berwarna putih den tidak diseertai darah. Pasien juga mengeluh suka berkeringat di malam hari, mual, namun tidak sampai muntah. Perut rasa tidak enak, nafsu makan turun, dan berat badan pasien dalam 3 bulan turun dalam 12 kg. Pasien juga sering merasakan demam yang hilang timbul. Kadang demam ringan, namun dapat cepat meningkat hingga menggigil. Pasien jga merasa lemas pada seluruh anggota tubuhnya. Nyeri kepala (+), nyeri otot (+). Riwayat sakit flek (+).Pada pemeriksaan fisik keadaan umum pasien tampak sakit sedang dengan kesadaran komposmentis. Tekanan darah pasien 70/40 mmHg, dan suhu mencapai 40oC. suara ronkhi pada paru (+/+), nyeri tekan epigastrium (+). Pada Ekspertise rontgen thorax terlihat adanya kesan TB Paru dupleks.

E. Follow UpHari/Tgl/JamSOAP

Sabtu, 1 November 201408.00 WIBOs sudah tidak batuk, namun masih sesak (+), pusing (+), Nyeri ulu hati (+), demam (+)TD : 120/80 mmHgRR : 25 x/mntN : 100 x/mntT : 38,2 oCNyeri tekan abdomen (+)Lab :Hb:15,3 g/dl, leukosit 7,900 /l, Ht 45,2%, trombosit 298 ribu/lHasil rontgen thorax : TB paru dupleksPneumonia + Susp. TB Rencana tatalaksana : Sputum BTA 3x Cek anti TB IgG

Therapy : Ceftriaxone 1x2gr Rantin 2x1 NAC 3x1

Senin, 3 November 201408.00 WIBSesak berkurang (+), nafsu makan mulai membaik, demam (-)TD : 120/80 mmHgRR : 18 x/mntN : 84 x/mntT : 36,3 oCNyeri tekan abdomen (-)Hasil pemeriksaan BTA (-)Tes imunoserologi IgG (-)SGOT 365 U/LSGPT 279 U/LPneumonia + TB paru + Susp. Hepatitis Drug InductionRencana tatalaksana : Cek HbsAg

Therapy : Ceftriaxone 1x2gr Rantin 2x1 NAC 3x1 OAT stop dulu

Selasa, 4 November 201409.00 WIBSesak menurun, nafsu makan semakin membaikTD : 110/70 mmHgRR : 18 x/mntN : 80 x/mntT : 36,5 oCPneumonia + TB Paru + DIHTherapy : Ceftriaxone 1x2gr Rantin 2x1 NAC 3x1 Maxiliv 1x1 Curcuma 3x1

BAB IIITINJAUAN PUSTAKA PNEUMONIA

PNEUMONIAA. Definisi

Secara kinis pneumonia didefinisikan sebagai suatu peradangan paru yang disebabkan oleh mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, parasit). Pneumonia yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis tidak termasuk. Sedangkan peradangan paru yang disebabkan oleh nonmikroorganisme (bahan kimia, radiasi, aspirasi bahan toksik, obat-obatan dan lain-lain) disebut pneumonitis. World Health Organization (WHO) mendefinisikan pneumonia hanya berdasarkan penemuan klinis yang didapat pada pemeriksaan inspeksi dan frekuensi pernapasan.

B. EpidemiologiPenyebab kesakitan dan kematian pada anak (terutama pada anak < 5 tahun) di seluruh dunia, terutama di Negara berkembang, bersaing dengan diare sebagai penyebab kematian pada anak. Diperkirakan 146-159 juta kasus baru per tahunnya di negara berkembang dan diperkirakan menyebabkan 4 juta kematian pada anak di seluruh dunia. Insidensi community acquired pneumonia di negara berkembang lebih tinggi daripada negara maju.Di US pada tahun 1939-1996 insidensi ini mengalami penurunan, dihipotesakan karena adanya pengefektifan penggunaan antibiotik yang tepat, vaksin, dan kepastian asuransi kesehatan pada anak.

C. EtiologiEtiologi pneumonia sulit dipastikan karena kultur sekret bronkus merupakan tindakan yang sangat invasif sehingga tidak dilakukan. Dari hasil penelitian didapat 44-85% CAP disebabkan oleh bakteri dan virus dan 25-40% diantaranya disebabkan lebih dari satu patogen.Patogen penyebab pneumonia pada anak bervariasi, tergantung : 1. Usia1. Status imunologis1. Kondisi lingkungan (epidemiologi setempat, polusi udara)1. Status imunisasi1. Faktor penjamu (penyakit penyerta, malnutrisi)Pada awalnya sebagian besar didahului oleh infeksi virus1. Bayi baru lahir (neonatus 2 bulan) Organisme saluran genital ibu : 1. Streptokokus grup B, 1. Echerichia coli 1. kuman Gram negatif, 1. Listeria monocytogens1. Sifilis congenital (pneumonia alba) Sumber infeksi lain : pasase transplasental, aspirasi mekonium, CAP1. Usia > 2-12 bulanOrgnisme penyebab tersering adalah :1. Streptokokus grup B1. E. Coli1. P. Aeruginosa1. Klebsiela1. S. pneumoniae1. Haemophillus influnzae tipe BOrganisme penyebab yang tidak sering namun fatal :1. Staphilokokus aureus1. Streptokokus grup AOrganisme penyebab tersering pada imunocompromised :1. Pseudomonas spp1. Enterobacter1. Legionella pneumophilia1. Actinomyces1. Bakteri anaerob1. Usia 1-5 tahun1. Streptokokus pneumoniae1. H. influenzae1. Streptokokus grup A1. S. Aureus1. Chlamidia pneumonia (Banyak pada usia 5-14 tahun dan disebut pneumonia atipikal)1. Usia sekolah dan remaja1. S. pneumonie1. Streptokokus grup A1. Mycoplasma pneumonia (pneumonia atipikal)

Tabel 2.1 Etiologi Pneumonia dilihat berdasarkan penyakit penyertaGejala Penyakit PenyertaKemungkinan Etiologi

Abses kulit atau ekstrapulmonerStaphylococcus aureusStreptococcus group A

Otitis media, sinusitis, meningitisS. Pneumonia

Epiglotitis dan perikarditisH. Influenza

D. Klasifikasi1. Berdasarkan lokasi lesi di paru1. Pneumonia lobaris. Sering pada pneumania bakterial, jarang pada bayi dan orang tua. Pneumonia yang terjadi pada satu lobus atau segmen kemungkinan sekunder disebabkan oleh obstruksi bronkus misalnya : pada aspirasi benda asing atau proses keganasan

1. Bronkopneumonia. Ditandai dengan bercak-bercak infiltrat pada lapangan paru. Dapat disebabkan oleh bakteria maupun virus. Sering pada bayi dan orang tua. Jarang dihubungkan dengan obstruksi bronkus

1. Pneumonia interstisial

1. Berdasarkan asal infeksi0. Pneumonia yang didapat dari masyarakat (CAP =community acquired pneumonia)0. Pneumonia yang didapat dari rumah sakit (hospital-based pneumonia)1. Berdasarkan mikroorganisme penyebab0. Pneumonia bakteri0. Pneumonia virus0. Pneumonia mikoplasma0. Pneumonia jamur1. Berdasarkan karakteristik penyakit0. Pneumonia tipikal0. Pneumonia atipikal1. Berdasarkan lama penyakit0. Pneumonia akut0. Pneumonia persisten

Klasifikasi pneumonia (berdasarkan WHO)- Bayi kurang dari 2 bulan Pnemonia berat: nafas cepat atau retraksi yang berat Pnemonia sangat berat: tidak mau menetek/minum, kejang, letargis, demam atau hipotermia, bradipnea atau pernapasan ireguler

- Anak umur 2 bulan 5 tahun Pneumonia ringan: nafas cepat Pnemonia berat: retraksi Pnemonia sangat berat: tidak dapat minum/makan, kejang, letargis, malnutrisi

E. PatogenesisPada keadaan normal saluran respiratorik mulai dari area sublaring sampai daerah parenkim paru adalah steril. Paru terlindungi dari infeksi bakteri oleh berbagai mekanisme perlindungan yang meliputi barier anatomi dan mekanis, serta faktor imunologi lokal dan sistemik. Infeksi paru terjadi apabila > 1 dari mekanisme tersebut berubah atau mikroorganisme yang masuk sangat banyak dan virulen.Inhalasi mikroorganisme atau masuknya kuman flora normalsaluran respiratorik atas, sebagian kecil melalui hematogen

Kedalam alveoli

hiperamenia, eksudasi cairan intra-alveolar, deposisi fibrinserta infiltrasi neutrofil(red hepatization)

Konsolidasi eksudatif lobuler (bronkopneumonia);Konsolidasi eksudatif Lobar (Pneumonia lobaris);Konsolidasi eksudatif Interstitial

Peningkatan aliran darah ke daerah terkena sehinggamengakibatkan ventilation-perfusion mismatching

Hipoksemia

Penurunan compliance dan kapasitas vital paru

Desaturasi oksigen akan mengakibatkan meningkatnya kerja jantung

deposisi fibrin dan disintegrasi sel inflamasi makin meningkat secara progresif(gray hepatization)

resolusi terjadi setelah 8-10 hari bila berlangsung digesti eksudat secara enzimatik

reabsorbsi dan pengeluaran oleh mekanisme batuk.

F. Diagnosis

Gambaran klinisAnamnesis

4. Gambaran klinik biasanya ditandai dengan demam, menggigil, suhu tubuh meningkat dapat melebihi 400C, batuk dengan dahak mukoid atau purulen kadang-kadang disertai darah, sesak napas dan nyeri dada.

4. Pemeriksaan fisik

Temuan pemeriksaan fisis dada tergantung dari luas lesi di paru. Pada inspeksi dapat terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernapas, pasa palpasi fremitus dapat mengeras, pada perkusi redup, pada auskultasi terdengar suara napas bronkovesikuler sampai bronkial yang mungkin disertai ronki basah halus, yang kemudian menjadi ronki basah kasar pada stadium resolusi.

Pemeriksaan penunjang1. Gambaran radiologis

Foto toraks (PA/lateral) merupakan pemeriksaan penunjang utama untuk menegakkan diagnosis. Gambaran radiologis dapat berupa infiltrat sampai konsolidasi dengan " air broncogram", penyebab bronkogenik dan interstisial serta gambaran kaviti. Foto toraks saja tidak dapat secara khas menentukan penyebab pneumonia, hanya merupakan petunjuk ke arah diagnosis etiologi, misalnya gambaran pneumonia lobaris tersering disebabkan oleh Steptococcus pneumoniae, Pseudomonas aeruginosa sering memperlihatkan infiltrat bilateral atau gambaran bronkopneumonia sedangkan Klebsiela pneumonia sering menunjukkan konsolidasi yang terjadi pada lobus atas kanan meskipun dapat mengenai beberapa lobus.

1. Pemeriksaan laboratorium

Pada pemeriksaan labolatorium terdapat peningkatan jumlah leukosit, biasanya lebih dari 10.000/ul kadang-kadang mencapai 30.000/ul, dan pada hitungan jenis leukosit terdapat pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan LED. Untuk menentukan diagnosis etiologi diperlukan pemeriksaan dahak, kultur darah dan serologi. Kultur darah dapat positif pada 20-25% penderita yang tidak diobati. Analisis gas darah menunjukkan hipoksemia dan hikarbia, pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik.

G. Pengobatan

Pengobatan terdiri atas antibiotik dan pengobatan suportif. Pemberian antibiotik pada penderita pneumonia sebaiknya berdasarkan data mikroorganisme dan hasil uji kepekaannya, akan tetapi karena beberapa alasan yaitu (2) :1. penyakit yang berat dapat mengancam jiwa1. bakteri patogen yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai penyebab pneumonia.1. hasil pembiakan bakteri memerlukan waktu.

maka pada penderita pneumonia dapat diberikan terapi secara empiris. Secara umum pemilihan antibiotik berdasarkan baktri penyebab pneumonia dapat dilihat sebagai berikut(2) :Penisilin sensitif Streptococcus pneumonia (PSSP) Golongan Penisilin TMP-SMZ MakrolidPenisilin resisten Streptococcus pneumoniae (PRSP) Betalaktam oral dosis tinggi (untuk rawat jalan) Sefotaksim, Seftriakson dosis tinggi Marolid baru dosis tinggi Fluorokuinolon respirasiPseudomonas aeruginosa Aminoglikosid Seftazidim, Sefoperason, Sefepim Tikarsilin, Piperasilin Karbapenem : Meropenem, Imipenem Siprofloksasin, LevofloksasinMethicillin resistent Staphylococcus aureus (MRSA) Vankomisin Teikoplanin LinezolidHemophilus influenzae TMP-SMZ Azitromisin Sefalosporin gen. 2 atau 3 Fluorokuinolon respirasiLegionella Makrolid Fluorokuinolon RifampisinMycoplasma pneumoniae Doksisiklin Makrolid FluorokuinolonChlamydia pneumoniae Doksisikin Makrolid Fluorokuinolon

H. Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi: (11) Efusi pleura. Empiema. Abses Paru. Pneumotoraks. Gagal napas. Sepsis

BAB IVTINJAUAN PUSTAKA TUBERKULOSIS

A. Definisi TB Paru Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya.

B. Epidemiologi TB ParuWHO menyatakan bahwa dari sekitar 1,9 milyar manusia, sepertiga penduduk dunia ini telah terinfeksi oleh kuman tuberkulosis. Pada tahun 1993 WHO juga menyatakan bahwa TB sebagai reemerging disease. Angka penderita TB paru di negara berkembang cukup tinggi, di Asia jumlah penderita TB paru berkisar 110 orang penderita baru per 100.000 penduduk.9,11,15Hasil survey prevalensi TB di Indonesia tahun 2004 menunjukkan bahwa angka prevalensi TB BTA positif secara nasional 110 per 100.000 penduduk. Secara regional prevalensi TB BTA positif di Indonesia dikelompokkan dalam 3 wilayah, yaitu: 1. wilayah Sumatera angka prevalensi TB adalah 160 per 100.000 penduduk, 2. Wilayah Jawa dan Bali angka prevalensi TB adalah 110 per 100.000 penduduk, 3. Wilayah Indonesia Timur angka prevalensi TB adalah 210 per 100.000 penduduk. Khusus untuk propinsi DIY dan Bali angka prevalensi TB adalah 68 per 100.000 penduduk. Berdasar pada hasil survey prevalensi tahun 2004, diperkirakan penurunan insiden TB BTA positif secara Nasional 3-4 % setiap tahunnya.

C. Mycobacterium tuberculosisKuman tuberkulosis berbentuk batang dengan ukuran 2-4 x 0,2-0,5m, dengan bentuk uniform, tidak berspora dan tidak bersimpai. Dinding sel mengandung lipid sehingga memerlukan pewarnaan khusus agar dapat terjadi penetrasi zat warna. Yang lazim digunakan adalah pengecatan Ziehl-Nielsen. Kandungan lipid pada dinding sel menyebabkan kuman TB sangat tahan terhadap asam basa dan tahan terhadap kerja bakterisidal antibiotika.M.Tuberculosis mengandung beberapa antigen dan determinan antigenik yang dimiliki mikobakterium lain sehingga dapat menimbulkan reaksi silang. Sebagian besar antigen kuman terdapat pada dinding sel yang dapat menimbulkan reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Kuman TB tumbuh secara obligat aerob. Energi diperoleh dari oksidasi senyawa karbon yang sederhana. CO2 dapat merangsang pertumbuhan. Dapat tumbuh dengan suhu 30-400 C dan suhu optimum 37-380 C. Kuman akan mati pada suhu 600 C selama 15-20 menit. Pengurangan oksigen dapat menurunkan metabolisme kuman

D. Diagnosis TB ParuTB paru sering menimbulkan gejala klinis yang dapat dibagi menjadi 2 yaitu gejala respiratorik dan gejala sistemik. Gejala respiratorik seperti batuk, batuk darah, sesak napas, nyeri dada. Sedangkan gejala sistemik seperti demam, keringat malam, anoreksia, penurunan berat badan, dan malaise.Gejala respiratorik ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai gejala yang cukup berat tergantung dari luasnya lesi. Kadang pasien terdiagnosis pada saat medical check up. Bila bronkus belum terlibat pada proses penyakit, maka mungkin pasien tidak ada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi akibat adanya iritasi bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang dahak keluar. Pada awal perkembangan penyakit sangat sulit menemukan kelainan pada pemeriksaan fisik, kelainan yang dijumpai tergantung dari organ yang terlibat. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior terutama di daerah apeks dan segmen posterior. Pada pemeriksaan fisik dapat dijumpai antara lain suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diapragma, dan mediastinum.Untuk yang diduga menderita TB paru, diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari yaitu sewaktu-pagi-sewaktu (SPS). Berdasarkan panduan program TB nasional, diagnosis TB paru pada orang dewasa ditegakkan dengan dijumpainya kuman TB (BTA). Sedangkan pemeriksaan lain seperti foto thoraks, biakan, dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sesuai dengan indikasinya dan tidak dibenarkan dalam mendiagnosis TB jika diagnosis dibuat hanya berdasarkan foto thoraks.E. Pemeriksaan Penunjanga. Pemeriksaan BakteriologisPemeriksaan bakteriologis untuk menemukan kuman TB mempunyai arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan bakteriologis ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura, bilasam bronkus, liquor cerebrospinal, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar, urin, faeces, dan jaringan biopsi.

b. Pemeriksaan RadiologikPemeriksaan rutin adalah foto toraks PA. Pemeriksaan atas indikasi seperti foto apilordotik, oblik, CT scan. Tuberkulosis memberikan gambaran bermacam-macam pada foto toraks. Gambaran radiologis yang ditemukan dapat berupa: 0. Bayangan lesi di lapangan atas paru atau segmen apikal lobus bawah0. Bayangan berawan atau berbercak0. Bayangan bercak milier0. Bayangan efusi pleura, umumnya unilateral0. Destroyed lobe sampai destroyed lung0. Kalsifikasi 0. SchwarteMenurut Perhimpunan Dokter Paru Indonesia luasnya proses yang tampak pada foto toraks dapat dibagi sebgaai berikut: Lesi minimal (Minimal Lesion)Bila proses tuberkulosis paru mengenai sebagian kecil dari satu atau dua paru dengan luas tidak lebih dengan volume paru yang terletak diatas chondro sternal junction dair iga kedua dan prosesus spinosus dari vertebra torakalis IV atau korpus vertebra torakalis V dan tidak dijumpai kavitas. Lesi luas (Far Advanced) Kelainan lebih luas dari lesi minimal.

c. Pemeriksaan KhususDalam perkembangan kini ada beberapa teknik baru yang dapat mendeteksi kuman TB seperti : a.BACTEC: dengan metode radiometrik , dimana CO2 yang dihasilkan dari metabolisme asam lemak M.tuberculosis dideteksi growth indexnya. b. Polymerase chain reaction (PCR) dengan cara mendeteksi DNA dari M.tuberculosis, hanya saja masalah teknik dalam pemeriksaan ini adalah kemungkinan kontaminasi. c.Pemeriksaan serologi : seperti ELISA, ICT dan Mycodot.

d. Pemeriksaan Penunjang Lain Seperti analisa cairan pleura dan histopatologi jaringan, pemeriksaan darah dimana LED biasanya meningkat, tetapi tidak dapat digunakan sebagai indikator yang spesifik pada TB. Di Indonesia dengan prevalensi yang tinggi, uji tuberkulin sebagai alat bantu diagnosis penyakit kurang berarti pada orang dewasa. Uji ini mempunyai makna bila didapatkan konversi, bula atau kepositifan yang didapat besar sekali

F. Klasifikasi TB ParuDalam Klasifikasi TB Paru ada beberapa pegangan yang prinsipnya hampir bersamaan. PDPI membuat klasifikasi berdasarkan gejala klinis, radiologis dan hasil pemeriksaan bakteriologis dan riwayat pengobatan sebelumnya. Klasifikasi ini dipakai untuk menetapkan strategi pengobatan dan penanganan pemberantasan TB: 1. TB Paru BTA positif yaitu:- Dengan atau tanpa gejala klinis - BTA positif mikroskopis + - Mikroskopis + biakan + - Mikroskopis + radiologis + - Gambaran radiologis sesuai dengan TB Paru

2. TB Paru (kasus baru) BTA negatif yaitu:-Gejala klinis dan gambaran radiologis sesuai dengan TB Paru aktif-Bakteriologis (sputum BTA): negatif, jika belum ada hasil tulis belum diperiksa. -Mikroskopis -, biakan, klinis dan radiologis + 3. TB Paru kasus kambuh : - Riwayat pengobatan OAT yang adekuat, gejala klinis dan gambaran radiologis sesuai dengan TB Paru aktif tetapi belum ada hasil uji resistensi.4. TB Paru kasus gagal pengobatan : - Gejala klinis dan gambaran radiologis sesuai dengan TB Paru aktif, pemeriksaan mikroskopis + walau sudah mendapat OAT, tetapi belum ada hasil uji resistensi.5. TB Paru kasus putus berobat : - Pada pasien paru yang lalai berobat 6. TB Paru kasus kronik, yaitu:-Pemeriksaan mikroskopis + , dilakukan uji resistensi.

G. BronkoskopiDi negara-negara berkembang dengan kemampuan diagnostik yang terbatas, kasus-kasus TB paru pada daerah endemis dapat diberikan terapi empiris. Namun jika memungkinkan, diagnosis definitif sebaiknya tetap didapatkan. Jika hasil pemeriksaan bakteriologis tidak dijumpai kuman BTA, sedang dugaan yang mengarah ke diagnosis adanya TB paru sangat kuat maka selanjutnya tindakan bronkoskopi dapat menjadi langkah untuk menegakkan diagnostik.Bronkoskopi (bronkos=saluran napas, skopi=melihat) adalah tindakan pemeriksaan untuk menilai saluran napas penderita dengan alat bronkoskopi. Pertama kali diperkenalkan penggunaan bronkoskopi kaku (berupa pipa logam) oleh Gustav Killian tahun 1897 dan kemudian dikembangkan oleh Chavalier Jackson dan putranya. Awalnya Gustav killian melakukan bronkoskopi dengan menggunakan laringoskop dan esofagoskop rigid, untuk mengambil benda asing pada bagian proksimal bronkus utama kanan. Pada tahun 1963, Dr. Shigeto Ikeda memperkenalkan Bronkoskopi Serat Optik Lentur (BSOL) yang tujuan utamanya adalah sebagai alat diagnostik.Tindakan bronkoskopi merupakan tindakan yang invasif. Komplikasi dapat terjadi mulai pada saat premedikasi, saat tindakan bronkoskopi maupun sesudahnya. Berbagai komplikasi yang dapat terjadi antara lain: Kesulitan melakukan intubasi Cedera pada trakea dan bronkus Perdarahan Spasmus pada bronkus dan laring Aritmia Henti jantung Pneumotoraks Emfisema mediastinumPasien yang akan dilakukan tindakan bronkoskopi umumnya diberikan premedikasi dengan obat antikolinergik seperti atropine atau glikopirolat untuk mengurangi resiko reaksi vasovagal (bradikardi) dan mengurangi sekresi jalan napas. Diikuti dengan pemberian anestesi lokal pada saluran napas atas, laring dan percabangan tracehobronkial secara topikal dan inhalasi dan secara bronkoskopi dengan instilasi lidokain. 22,28 Tindakan pada bronkoskopi terdiri dari bronchoalveolar lavage (BAL), bronchial washing (bilasan bronkus), bronchial brushing (sikatan bronkus), transbronchial biopsy (biopsi transbronkial) dan postbronchoscopy sputum collection (kumpulan dahak selama 24 jam setelah bronkoskopi 24,29 Kegunaan bonkoskopi dalam mendiagnosis TB adalah : 1. Bisa dilakukan pada penderita yang tidak dapat mengeluarkan dahak secara spontan 2. Merupakan cara mendapatkan diagnosis dengan cepat (melalui hapusan langsung ataupun histopatologi). Tetapi bronkoskopi juga mempunyai beberapa kelemahan yaitu memerlukan biaya yang lebih besar dibandingkan dahak spontan dan induksi, serta kemungkinan adanya penularan pada pekerja kesehatan (operator bronkoskopi) 24 Gambaran yang dijumpai pada TB yang dapat dilihat melalui bronkoskopi adalah inflamasi endobronkial dan didapati juga pembesaran kenjar limfe. Kelainan yang dijumpai bisa berupa pembengkakkan mukosa, sekresi purulen atau darah, terkadang granuloma, ulserasi pada percabangan bronkus atau segmen. Gambaran inflamasi yang terjadi pada TB ini bisa kembali normal dengan kemoterapi atau berubah menjadi jaringan parut (bronchial scarring) dan bisa pula menjadi stenosis kontraktif.H. Penatalaksanaan TuberkulosisPengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip-prinsip sebagai berikut : OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih mengunqtungkan dan sangat dianjurkan. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO). Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan. Tahap awal (intensif)o Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.o Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.o Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan. Tahap Lanjutano Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lamao Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga mencegah terjadinya kekambuhan

Jenis dan sifat Obat Anti Tuberkulosis (OAT) yaitu: (a) Isoniazid (H) bersifat bakterisid, (b) Rifampisin (R) bersifat bakterisid, (c) Pirazinamid (Z) bersifat bakterisid, (d) Streptomisin (S) bersifat bakterisid, (e) Etambutol (E) bersifat bakteriostatik. Pemberian OAT disesuaikan dengan kondisi pasien dengan aturan pakai tersendiri. Ada dua kategori paduan OAT di Indonesia, yaitu: (a) kategori I: 2(HRZE)/4(HR)3, (b) kategori II: 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3. Kategori I diberikan untuk pasien baru TB paru BTA positif, pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif, pasien TB ekstra paru. Kategori II diberikan untuk pasien TB BTA positif yang telah diobati sebelumnya. Seiring dengan berkembangnya pengetahuan dibidang farmakologi, saat ini telah dibuat tablet kombinasi OAT yang dikenal dengan OAT Kombinasi Dosis Tetap atau disingkat dengan OAT-KDT (sering disebut KDT saja). Dengan adanya KDT ini diharapkan kepatuhan pasien TB dalam minum OAT dapat ditingkatkan sehingga akan meningkatkan kesembuhan pasien.Paduan OAT yang digunakan di IndonesiaPaduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia:o Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3o Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan obat sisipan (HRZE)o Kategori Anak: 2HRZ/4HRo Obat yang digunakan dalam tatalaksana pasien TB resistan obat di Indonesia terdiri dari OAT lini ke-2 yaitu Kanamycin, Capreomisin, Levofloksasin, Ethionamide, sikloserin dan PAS, serta OAT lini-1, yaitu pirazinamid and etambutol.Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk paket berupa obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien.Paket Kombipak.Adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin, Pirazinamid dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan OAT ini disediakan program untuk digunakan dalam pengobatan pasien yang mengalami efek samping OAT KDT.Strategi terapi untuk penyakit TB dikenal sebagai strategi DOTS (Directly Observed Treatment Short-course). Strategi terapi ini direkomendasikan oleh WHO pada tahun 1995 sebagai penganggulangan TB. DOTS terdiri dari 5 komponen, yaitu (a) komitmen politis, (b) pemeriksaan dahak mikroskopis yang terjamin mutunya, (c) pengobatan jangka pendek yang standar bagi semua kasus TB dengan tatalaksana kasus yang tepat, termasuk pengawasan langsung pengobatan, (d) jaminan ketersediaan OAT yang bermutu, (e) sistem pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan penilaian terhadap hasil pengobatan pasien dan kinerja program secara keseluruhan. Fokus utama DOTS adalah penemuan dan penyembuhan pasien, prioritas diberikan kepada pasien TB tipe menular. Strategi ini akan memutuskan penularan TB dan dengan demikian menurunkan insiden TB di masyarakat. Dalam strategi DOTS, pengobatan TB dilakukan baik dengan pemberian OAT dalam bentuk tablet terpisah maupun dengan pemberian OAT-FDC. Kedua jenis OAT ini dapat diperoleh pada unit pelayanan kesehatan meliputi puskesmas, rumah sakit pemerintah dan swasta, rumah sakit paru, Balai Pengobatan Penyakit Paru (BP4), klinik pengobatan lain serta dokter praktek swasta. Di Indonesia OAT tersebut diberikan secara cuma-cuma dan dijamin ketersediannya oleh pemerintah. Selain itu pasien TB juga diharuskan memiliki PMO (Pengawas Minum Obat) sehingga dapat menjamin kepatuhan pasien dalam minum OAT. Setiap pasien TB harus memiliki kartu pengobatan dan kartu identitas pasien. Kedua kartu tersebut diperoleh saat pasien berobat di unit pelayanan kesehatan. Adapun fungsi kedua kartu tersebut yaitu sebagai laporan terhadap hasil pengobatan pasien sehingga jalannya pengobatan dapat terkontrol dengan baik.

Panduan OAT lini pertama dan peruntukannya0. Kategori-1 (2HRZE/4H3R3)Panduan OAT ini diberikan untuk pasien baru : Pasien baru TB paru BTA positif Pasien TB paru BTA negatif foto thoraks positif Pasien TB ekstra paru

0. Kategori-2 (2HRZES/HRZE/5HER3E3)Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati sebelumnya: Pasien kambuh Pasien gagal Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default)

Catatan:Untuk pasien yang berumur 60 tahun ke atas dosis maksimal untuk streptomisin adalah 500mg tanpa memperhatikan berat badan.Untuk perempuan hamil lihat pengobatan TB dalam keadaan khusus. Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan menambahkan aquabidest sebanyak 3,7ml sehingga menjadi 4ml. (1ml = 250mg).0. OAT sisipan (HRZE)Paket sisipan KDT adalah sama seperti paduan paket untuk tahap intensif kategori 1 yang diberikan selama sebulan (28 hari)

I. Efek Samping OAT dan PenatalaksanaannyaTabel berikut menjelaskan efek samping ringan maupun berat dengan pendekatan gejalaEfek SampingPenyebab Penatalaksanaan

Tidak ada nafsu makan, mual, sakit perutRifampisinSemua OAT diminum malam sebelum tidur

Nyeri sendiPirasinamidBeri Aspirin

Kesemutan s/d rasa terbakar di kakiINHBeri vitamin B6 (piridoxin) 100mg per hari

Warna kemerahan pada air seni (urine)Rifampisin Tidak perlu diberi apa-apa, tapi perlu penjelasan kepada pasien

Efek SampingPenyebab Penatalaksanaan

Gatal dan kemerahan kulitSemua jenis OATIkuti petunjuk penatalaksanaan

TuliStreptomisinStreptomisin dihentikan, ganti etambutol

Gangguan keseimbanganStreptomisinStreptomisin dihentikan, ganti etambutol

Ikterus tanpa penyebab lainHampir semua OATHentikan semua OAT sampai ikterus menghilang

Bingung dan muntah-muntah (permulaan ikterus karena obat)Hampir semua OATHentikan semua OAT, segera lakukan tes fungsi hati

Gangguan penglihatan EtambutolHentikan etambutol

Purpura dan renjatan (syok)RifampisinHentikan Rifampisin

Penatalaksanaan pasien dengan efek samping gatal dan kemerahan kulit:Jika seorang pasien dalam pengobatan OAT mulai mengeluh gatal-gatal singkirkan dulu kemungkinan penyebab lain. Berikan dulu anti-histamin, sambil meneruskan OAT dengan pengawasan ketat. Gatal-gatal tersebut pada sebagian pasien hilang, namun pada sebagian pasien malahan terjadi suatu kemerahan kulit. Bila keadaan seperti ini, hentikan semua OAT. Tunggu sampai kemerahan kulit tersebut hilang. Jika gejala efek samping inibertambah berat, pasien perlu dirujuk. Pada Fasyankes Rujukan penanganan kasus-kasus efek samping obat dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:Bila jenis obat penyebab efek samping itu belum diketahui, maka pemberian kembali OAT harus dengan cara drug challenging dengan menggunakan obat lepas. Hal ini dimaksudkan untuk menentukan obat mana yang merupakan penyebab dari efek samping tersebut. Efek samping hepatotoksisitas bisa terjadi karena reaksi hipersensitivitas atau karena kelebihan dosis. Untuk membedakannya, semua OAT dihentikan dulu kemudian diberi kembali sesuai dengan prinsip dechallenge-rechalenge. Bila dalam proses rechallenge yang dimulai dengan dosis rendah sudah timbul reaksi, berarti hepatotoksisitas karena reaksi hipersensitivitas.

BAB VTINJAUAN PUSTAKA DRUG INDUCED HEPATITIS (DIH)

A. Pendahuluan Salah satu fungsi hati yang penting ialah melindungi tubuh terhadap terjadinya penumpukan zat berbahaya yang masuk dari luar, misalnya obat. Banyak diantara obat yang bersifat larut dalam lemak dan tidak mudah diekskresikan oleh ginjal. Untuk itu maka sistem enzim pada mikrosom hati akan melakukan biotransformasi sedemikian rupa sehingga terbentuk metabolit yang lebih mudah larut dalam air dan dapat dikeluarkan melalui urin atau empedu. Dengan faal sedemikian ini, tidak mengherankan bila hati mempunyai kemungkinan yang cukup besar pula untuk dirusak oleh obat. Hepatitis karena obat pada umumnya tidak menimbulkan kerusakan permanen, tetapi kadang-kadang dapat berlangsung lama dan fatal.

B. Metabolisme Obat Metabolisme obat terjadi dalam 2 tahap.Pada tahap 1 reaksi, obat dijadikan polar oleh proses oksidasi atau hydroxilasi. Tidak semua obat-obatan melalui tahap ini, beberapa dapat langsung menjalani reaksi tahap 2. Enzim cytochrome P-450 enzim mengkatalisis reaksi tahap 1. Sebagian besar produk intermediatnya bersifat transient dan sangat reaktif. Ini dapat menyebabkan reaksi pembentukan metabolit yang jauh lebih beracun dari substrat obatnya dan dapat menyebabkan kerusakan hati. Enzim Cytochrome P-450 adalah hemoprotein yang terdapat pada reticulum endoplasmic hati. Setiap enzim P-450 dapat metabolisme banyak obat-obatan. Tahap 2 reaksi mungkin terjadi di dalam maupun di luar hati. Obat-obatan dikonjugasi dengan asetat, asam amino, sulfate, glutathione, asam glucuronic, yang selanjutnya akan meningkatkan daya larut.

C. Definisi Hepatitis karena obat adalah peradangan/inflamasi pada hati yang disebabkan oleh reaksi obat.

D. EpidemiologiHepatitis karena obat terjadi pada delapan dalam setiap 10.000 orang. Perempuan cenderung terpengaruh hampir dua kali dibandingkan laki-laki. Orang dewasa lebih rentan terhadap jenis hepatitis ini karena tubuh mereka tidak mampu memperbaiki dengan cepat sel-sel hepatosit yang rusak seperti pada orang muda.

E. Faktor ResikoBeberapa faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya hepatitis karena obat, yaitu :1. Ras : Beberapa obat memiliki toksisitas yang berbeda tergantung ras. Misalnya, kulit hitam lebih rentan terhadap isoniazid (INH). 2. Hepatitis karena obat jarang ditemukan pada anak-anak. Resikonya meingkat pada orang tua. 3. Jenis kelamin : Dengan alasan yang tidak diketahui, hepatitis jenis ini lebih sering terjadi pada perempuan. 4. Konsumsi alkohol : orang yang mengkonsumsi alkohol lebih rentan terhadap hepatiis karena obat karena kerusakn hati mengubah metabolisme obat-obatan. Alkohol menyebabkan penipisan glutathione (hepatoprotektif) yang membuat orang lebih rentan. 5.Faktor resiko lain : Orang dengan AIDS, malnutrisi, dan berpuasa mungkin rentan terhadap narkoba karena rendahnya glutathione.

F. EtiologiBeberapa contoh obat-obatan yang dapat menyebabkan terjadinya hepatitis karena obat, yaitu :1.Acetaminophen: Hepatoksisitas dari acetaminophen disebabkan oleh senyawa metabolit NAPQI (N-acetyl-p-benzoquinone-imine). Ini adalah senyawa metabolit yang dihasilkan oleh cytochrome P-450-2E1.2.Amoxicillin: Amoxicillin menyebabkan peningkatan kadar SGOT, SGPT, atau keduanya. 3.Amiodarone: Amiodarone menyebabkan hasil tes fungsi hati tidak normal dalam 15-50% dari pasien. 4.Chlorpromazine: Kerusakan hati akibat Chlorpromazine menyerupai hepatitis infeksi dengan fitur laboratorium jaundice obstruktif lebih jelas daripada kerusakan parenkim. 5.Ciprofloxacin : Kira-kira 1,9% dari pasien yan menggunakan ciprofloxacin menunjukkan tingkat SGPT tinggi, 1,7% mengalami peningkatan SGOT, 0,8% mengalami peningkatan alkalin phosphatase, dan 0,3% kadar bilirubin meningkat. 6. Diclofenac: Perempuan tua lebih rentan terhadap kerusakan hati akibat diclofenac. Peningkatan dari satu atau lebih hasil tes hati mungkin terjadi. 7.Erythromycin: Erythromycin dapat menyebabkan kerusakan hati, termasuk peningkatan enzim hati dan hepatocellular dan/atau hepatitis cholestatis dengan atau tanpa jaundice. 8.Fluconazole: Menyebabkan peningkatan transaminase. 9.Isoniazid : Hepatitis berat telah dilaporkan pada pasien yang mendapat terapi INH. Pasien yang diberikan INH harus diawasi secara hati-hati.10. Methyldopa: Methyldopa merupakan antihipertensi yang merupakan kontraindikasi pada pasien dengan penyakit hati aktif. 11. Kontrasepsi oral : kontrasepsi oral dapat mengakibatkan intrahepatic cholestasis dengan pruritus dan jaundice dalam sejumlah kecil pasien. 12. Statin/HMG-COA reductase inhibitors : Penggunaan statin terkait dengan abnormalitas biokimiawi dari fungsi hati. 13. Rifampicin: Rifampicin biasanya diberikan dengan INH. Rifampin sendiri dapat menyebabkan hepatitis ringan.

G. Patogenesis1. Mekanisme patofisiologia.Gangguan hepatosit : Ikatan kovalen dari obat dengan protein intrasellular dapat menyebabkan penurunan ATP, yang menyebabkan gangguan aktin. Gangguani aktin di permukaan hepatosit menyebabkan pecahanya membrane hepatosit. b.Gangguan transportasi protein: Obat-obatan yang mempengaruhi transportasi protein di membrane canalicular dapat mengganggu arus empedu. Hilangnya processus villous dan gangguan pompa transportasi seperti resistensi multidrug-protein 3 menghambat ekskresi bilirubin, menyebabkan cholestasis. c.Aktivasi sel Cytolytic T : Ikatan kovalen obat pada enzim P-450 bertindak sebagai immunogen, mengaktifkan sel T dan cytokines dan merangsang kekebalan tubuh yang multi respon. d.Apoptosis hepatosit : Aktivasi jalur apoptotic oleh reseptor faktor tumor nekrosis-alpha receptor oleh Fas memicu kaskade intraselular, yang menghasilkan kematian sel. e.Gangguan mitokondria : Beberapa obat menghambat fungsi mitokondria dengan efek ganda terhadap produksi energi beta-oksidasi oleh hambatan sintesis Nikotinamid adenin dinukleotida dan flavin adenin dinukleotida, mengakibatkan penurunan produksi ATP. f. Kerusakan saluran empedu : metabolit toksik yang dieksresikan di empedu dapat menyebabkan kerusakan epitel saluran empedu.

2.Mekanisme toksisitas obatSecara patofisiologik, obat yang dapat menimbulkan kerusakan pada hati dibedakan atas dua golongan yaitu hepatotoksin yang predictable dan yang unpredictable.a.Hepatotoksin yang predictable (intrinsik) : merupakan obat yang dapat dipastikan selalu akan menimbulkan kerusakan sel hepar bila diberikan kepada setiap penderita dengan dosis yang cukup tinggi. Dari golongan ini ada obat yang langsung merusak sel hati, ada pula yang merusak secara tidak langsung yaitu dengan mengacaukan metabolisme atau faal sel hati. Obat hepatotoksik predictable yang langsung merusak sel hati umumnya tidak digunakan lagi untuk pengobatan. Contohnya ialah karbon tetraklorid dan kloroform. Hepatotoksin yang predictable yang merusak secara tidak langsung masih banyak yang dipakai misalnya parasetamol, tetrasiklin, metotreksat, etanol, steroid kontrasepsi dan rifampisin. Tetrasiklin, etanol dan metotreksat menimbulkan steatosis yaitu degenerasi lemak pada sel hati. Parasetamol menimbulkan nekrosis, sedangkan steroid kontrasepsi dan steroid yang mengalami alkilasi pada atom C-17 menimbulkan ikterus akibat terhambatnya pengeluaran empedu. Rifampisin dapat pula menimbulkan ikterus karena mempengaruhi konyugasi dan transpor bilirubin dalam hati.

b. Hepatotoksin yang unpredictable : kerusakan hati yang timbul disini bukan disebabkan karena toksisitas intrinsik dari obat, tetapi karena adanya reaksi idiosinkrasi yang hanya terjadi pada orang-orang tertentu. Ciri dari kelainan yang bersifat idiosinkrasi ini ialah timbulnya tidak dapat diramalkan dan biasanya hanya terjadi pada sejumlah kecil orang yang rentan. Menurut sebab terjadinya, reaksi yang berdasarkan idiosinkrasi ini dapat dibedakan dalam dua golongan yaitu karena reaksi hipersensitivitas dan karena kelainan metabolisme. Yang timbul karena hipersensitivitas biasanya terjadi setelah satu sampai lima minggu dimana terjadi proses sensitisasi. Biasanya dijumpai tanda-tanda sistemik berupa demam, ruam kulit, eosinofilia dan kelainan histologik berupa peradangan granulomatosa atau eosinofilik pada hati. Dengan memberikan satu atau dua challenge dose, gejala-gejala di atas biasanya segera timbul lagi. Reaksi idiosinkrasi yang timbul karena kelainan metabolisme mempunyai masa laten yang sangat bervariasi yaitu antara satu minggu sampai lebih dari satu tahun. Biasanya tidak disertai demam, ruam kulit, eosinofilia maupun kelainan histopatologik yang spesifik seperti di atas. Dengan memberikan satu atau dua challenge dose kelainan ini tidak dapat diinduksi untuk timbul lagi ; untuk ini obat perlu diberikan lagi selama beberapa hari sampai beberapa minggu. Hal ini menunjukkan bahwa diperlukan waktu yang cukup lama agar penumpukan metabolit hepatotoksik dari obat sampai pada taraf yang memungkinkan terjadinya kerusakan hati.

H. GejalaGejala-gejala yang dapat ditemukan pada hepatitis karena obat, yaitu : demam, ruam dan gatal pada kulit, diare, nyeri sendi, mual, vomitingmuntah, headachesakit kepala, anorexiaanorexia, jaundice jaundice, feses berwarna seperticlay color stools tanah liat, dark urineair kencing gelap, dan hepatomegaly.

I. DiagnosisKemungkinan hepatitis karena obat selalu perlu dipikirkan pada penderita dengan ikterus. Diagnosa kerja dapat dibuat atas dasar anamnesis mendapat obat tertentu, adanya kelainan spesifik yang disebabkan obat tertentu dan usaha mencari bukti penunjang. Adanya demam dan eosinofilia menyokong diagnosa, tetapi kedua gejala ini tidak selalu dijumpai. Kolestasis intrahepatik relatif sering disebabkan oleh obat, lebih-lebih bila dijumpai adanya peradangan dan sebukan eosinofil di daerah portal. Tetapi ikterus kolestatik akibat steroid mungkin tidak disertai peradangan daerah portal. Berulangnya gangguan faal hati atau hiperbilirubinemia setelah pemberian suatu challenge dose merupakan petunjuk berharga untuk menegakkan diagnosa hepatitis karena obat. Selama tiga hari setelah pemberian challenge dose ini diperiksa kadar fosfatase alkali, SGOT, SGPT dan bilirubin. Kurang lebih 40-60% penderita akan memperlihatkan reaksi berupa kambuhnya gangguan faal hati dalam waktu relatif singkat. Untuk mencegah terjadinya hal yang tidak diinginkan maka pemberian challenge dose ini sebaiknya hanya dibatasi pada obat yang menimbulkan kelainan yang bersifat kolestasis dan obat tersebut masih diperlukan sekali oleh penderita. Challenge dose ini diberikan selama satu hari. Untuk obat yang menimbulkan kerusakan hepatoseluler tindakan ini sebaiknya tidak dilakukan karena membahayakan penderita.

J. PengobatanPengobatan hepatitis karena obat pada prinsipnya sama dengan pengobatan penyakit hati yang ditimbulkan oleh penyebab lain. Obat yang dicurigai sebagai penyebab harus dihentikan. Penderita diberi diet 2500-3000 kalori, 70-100 g protein dan 400-500 g karbohidrat sehari. Bila ada tanda akan terjadi koma hepatikum, protein tidak diberikan dan juga diberikan neomisin per oral. Bila penderita jatuh ke dalam koma, diberikan infus glukosa. Keseimbangan asam-basa dan kebutuhan cairan harus diperhatikan dengan baik. Untuk ikterus yang disebabkan kolestasis hepatokanalikuler, diberikan terapi suportif. Jenis ini umumnya tidak terlalu berbahaya. Bila ikterus menghebat dan timbul rasa gatal, dapat diberikan kortikosteroid atau kolestiramin. Perlu dicatat bahwa kortikosteroid tidak mempercepat sembuhnya penyakit.

K. Diagnosis BandingDiagnosis banding hepatitis karena obat, yaitu : hepatitis virus akut, hepatitis autoimun, shock hati, cholecystitis, cholangitis, sindrom Budd-Tundo, penyakit hati karena alcohol, cholestatic, penyakit Wilson, hemochromatosis, gangguan pembekuan.

DAFTAR PUSTAKA

1. American thoracic society (ATS). 2001.Guidelines for management of adults with community-acquired pneumonia. Diagnosis, assessment of severity, antimicrobial therapy, and prevention. Am J Respir Crit. Care Med;163: 1730-54 1. Canadian acquired pneumonia working group. 2000. Canadian guidelines for the initial management of community acquired pneumonia and evidence based up date by the canadian thoracic society. Clin Infect Dis;31: 383-4211. Fauci. 2009. Harrisons manual of Medicine 17th ed:Pneumonia. North America: Mc Graw Hill 1. Gerberding JL, Sande MA. 2000. Infection Diseases of the lung:Textbook of respiratory medicine. Philadelphia:WB Saunders Co1. Hadiarto M. 1995. Pneumonia atipik, masalah dan penatalaksanaannya. Jakarta:FKUI1. Infectious Disease Society of America (IDSA). 2000. Practice guidelines for management community-acquired pneumonia in adults. Clin Infect Dis;31:347-821. RSUP Persahabatan. 2000. Laporan Tahunan bagian Pulmonologi. Jakarta1. Nathwani D. 1998. Sequential switch therapy for lower respiratory tract infections. Chest;113:211s-218s1. Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT). 1995. Badan Litbang Depkes RI. Jakarta1. Sabatine, Marc S. 2008. Pocket medicine 3rd ed:Pneumonia. Philadelphia: Lippincott & Wilkins1. Sylvia A, Loraine M. patofisiologi : Konsep Klinis Proses- Proses Penyakit vol. 2 ed. 6. Jakarta : EGC, 2005 1. Zul, Dahlan. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II ed. IV:Pneumonia. Jakarta:FKUI1. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). 2003. Pneumonia Komuniti. Jakarta:FKUI1. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. 20111. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia 20071. Setiabudy, R. Hepatitis Karena Obat. www.cerminduniakedokteran.com. Diakses : 5 November 20081. Nilesh M. Drug-Induced Hepatotoxicity. http://www.emedicine.com/. Diakses : 6 November 20081. Thomas S. Drug Induced Hepatitis. http://www.healthatoz.com/. Diakses : 6 November 20081. Univeritas Virginia. Drug-Induced Hepatitis. In : Liver, Biliary, and Pancreatic Disorders. http://www.healthsystem.virginia.edu/. Diakses : 6 November 200840