PJBL PPOK Untuk Tugas Individu Blok Respirasi
-
Upload
shinta-nyil-unyil -
Category
Documents
-
view
21 -
download
0
description
Transcript of PJBL PPOK Untuk Tugas Individu Blok Respirasi
PJBL I
Blok Respiratori JK FK UB
Kasus
Tn. K, usia 65 tahun datang ke IRD RS dr. Saiful Anwar (RSSA) Malang dengan ditemani oleh
anaknya. Menurut cerita dari anaknya Tn. K satu hari yang lalu kehujanan setelah menengok
cucunya yang ada diluar kota. Serangan sesak nafas yang dialami saat ini dirasakan sejak tadi
malam jam 23.15, dan bertambah sesak sampai pagi ini sehingga keluarga memutuskan dibawa
ke UGD RSSA.Tn. K mengeluh nafasnya terasa sesak sekali berbunyi ngik-ngik bertambah
sesak bila digunakan untuk berjalan dan mengangkat benda-benda berat. Tn. K juga mengeluh
batuk sejak 3 bulan yang lalu dan mengeluarkan banyak dahak berwarna putih kental. Pada saat
dilakukan pengkajian saat ini Tn. K duduk dengan kedua tangan memegang tepi brankart,
Menurut anaknya Tn. K pada waktu muda suka merokok dengan rata-rata 1 pak perhari selama
20 tahun. Serangan batuk yang saat ini dialami ayahnya sudah terjadi sejak 5 tahun yang lalu.
Pasien dalam kondisi sadar, GCS 456, dan tampak gelisah. Setelah dilakukan pemeriksaan fisik
didapatkan hasil RR: 29 x/menit, ronki dan wheezing terdengar di kedua lapang paru, bentuk
dada barrel chest, Pernafasan cuping hidung, terdapat penggunaan otot bantu pernafasan retraksi
otot area supraklavikular dan sternocleidomastoideus, nadi: 115 x/menit, regular, tekanan darah:
145/100 mm Hg, Suhu: 37,5°C. akral dingin dan berkeringat, sianosis pada mukosa bibir, CTR
3“. Rongent toraks: terdapat pelebaran antar iga, diafragma letak rendah, penumpukan udara
daerah retrosternal, tampak penurunan vaskuler dan peningkatan bentuk bronkovaskuler, jantung
tampak membesar. ECG: deviasi aksis kanan, gelombang P pada lead II, III tinggi dan lebih
panjang. Spirometri : FEV1/FVC 60%, BGA: Pa CO2: 52 mmHg, Pa O2: 70 mmHg, Sa O2:
79%, PH: 7,25, H CO3 -: 20 mEq/L, Therapi: IV Line Na Cl 0,9% : 20 tts/menit, Amofilin 250
mg IV (5 mg/kg BB), Metilpredisolon 260 mg IV (4 mg/kg BB), Nebulizer: Ventolin :
Bisolvon : Na CL 0,9% = 1:1:2, Venturi Masker 6 lpm.
SLO
1. Mahasiswa mampu menjelaskan definisi PPOK
2. Mahasiswa mampu menjelaskan etiologi dan pembagian derajat PPOK
3. Mahasiswa mampu menjelaskan epidemiologi PPOK
4. Mahasiswa mampu menjelaskan factor risiko PPOK
5. Mahasiswa mampu menjelaskan patofiosiologi PPOK
6. Mahasiswa mampu menjelaskan manifestasi klinis PPOK
7. Mahasiswa mampu menjelaskan komplikasi PPOK
8. Mahasiswa mampu menjelaskan pemeriksaan diagnostic PPOK
9. Mahasiswa mampu menjelaskan penatalaksanaan PPOK
a. Umum
b. Obat
c. Terapi O2
d. Rehabilitasi
e. Asuhan keperawatan
10. Mahasiswa mampu menyusun SAP PPOK
a. Pengertian
b. Etiologi
c. Pembagian derajat
d. Faktor risiko
e. Tanda dan gejala
f. Komplikasi
g. Penatalaksanaan
PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIK
(PPOK)
DEFINISI
Penyakit paru obstruksi kronik (PPOK) ini memiliki berbagai nama antara lain Penyakit
Obstruksi Menahun (PPOM), empisema pulmonal akibat obstruksi kronik (chronic obstrukctive
pulmonary emphysema/COPE), sindroma pumlonal obstrukstif yang difus (diffuse obstructive
pulmonary syndrome/DOPS) (Tabrani Rab, 1998).
PPOK adalah penyakit kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran pernafasan
yang bersifat progresif secara lambat nonreversibel atau reversible parsial. PPOK terdiri dari
bronchitis kronik dan emfisemia atau gabungan dari keduanya. (Perhimpunan Dokter Paru
Indonesia, 2003)
PPOK adalah gangguan yang memengaruhi pergerakan udara dari dan keluar paru (Black, 1993)
Etiologi dan Pembagian Derajat
Etiologi
Bronkitis Kronis
Gangguan klinis yang ditandai dengan pembentukan mucus yang berlebih dalam bronkus
dan dimanifestasikan dalam bentuk batuk kronis serta membentuk sputum selama 3 bulan
dalam setahun, minimal 2 tahun berturut-turut.
Emfisema
Suatu kelainan anatomis paru yang ditandai oleh pelebaran rongga udara distal
bronkiolus terminal, disertai kerusakan dinding alveoli.
(Arif Mutaqin, 2008)
Penentuan klasifikasi (derajat) PPOK
Penentuan klasifikasi (derajat) PPOK sesuai dengan ketentuan. Perkumpulan Dokter Paru
Indonesia PDPI/Gold tahun 2005 sebagai berikut:
1. PPOK ringan
Gejala klinis:
Dengan atau tanpa batuk
Dengan atau tanpa produksi sputum
Sesak napas derajat sesak 0 -1
Spirometri:
VEP1 ≥80% prediksi (normal spirometri) atau
VEP1/KVP <70%
2. PPOK Sedang
Gejala klinis:
Dengan atau tanpa batuk
Dengan atau tanpa produksi sputum
Sesak napas : derajat sesak 2 (sesak timbul pada saat aktivitas)
Spirometri:
VEP1/KVP <70% atau
50% < VEP! <80% prediksi
3. PPOK Berat
Gejala klinis:
Sesak napas derajat sesak 3 dan 4 dengan gagal napas kronik
Ekserbasi lebih sering terjadi
Disertai komplikasi kor pulmonale atau gagal jantung kanan
Spirometri:
VEP1/KVP <70%
VEP1 <30% prediksi atau
VEP1 > 30% dengan gagal napa kronik
Gagal napas kronik pada PPOK ditinjukkan dengan hasil pemariksaan analisa gas darah,
dengan criteria:
Hipoksemia dengan normokapnia, atau
Hipoksemia dengan hiperkapnia
Epidemiologi
Data Badan Kesehatan Dunia (WHO), emunjukkan bahwa pada tahun 1990 PPOK menempati
urutan ke-6 sebagai penyebab utama kematian di dunia, sedangkan pada tahun 2002 telah
menempati urutan ke-3 setelah penyakit kardiovaskuler dan kanker (WHO, 2002). Hasil survey
penyakit tidak menular oleh Direktorat Jenderal PPM & PL di 5 rumah sakit propinsi di
Indonesia (Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung, dan Sumatera Selatan) pada tahun
2004, menunjukkan PPOK menempati urutan pertama penyumbang anka kesakitan (35%),
diikuti asma bronchial (33%) dan lainnya (2%) (Depkes RI, 2004).
Berdasarkan hasil SUSENAS (Survei Sosial Ekonomi Nasional) tahun 2001, sebanyak 54,5%
penduduk laki-laki dan 1,2% perempuan merupakan peroko, 92% dari perokok menyatakan
kebiasaan merokok di dalam rumah ketika bersama anggota keluarga, dengan demikian sebagian
besar anggota rumah tangga merupakan perokok pasif (BPS, 2001). Jumlah perokok yang
berisiko menderita PPOK atau Kanker paru berkisar antara 20-25%.
Faktor Risiko
Bertambahnya usia
Jenis kelamin, dimana pasien pria lebih banyak daripada wanita
Status social ekonomi, dimana pada status ekonomi yang rendah memungkinkan untuk
mendapatkan PPOK lebih tinggi
Infeksi bronkus yang berulang
Alergi maupun hipersensitifitas bronkus
Faktor genetic, dimana terdapat alfa2 protease inhibitor yang rendah (penghambat alfa2
protease) (Tabrani Rab, 1998). Faktor risiko genetic yang paling besar dan telah diteliti
lama adalah defisiensi alfa1 antitripsin, yang merupakan protease serin inhibitor,
contohnya pada emfisema paru.
Paparan partikel inhalasi:
Kebiasaan merokok. Pada perokok berat kemungkinan untuk mendapatkan PPOK
menjadi lebih tinggi. Selain itu dapat terjadi penurunan dari reflek batuk.
Paparan lain yang dianggap cukup mengganggu adalah debu-debu yang terkait dengan
pekerjaan (occupational ducts) dan bahan-bahan kimia.
Polusi udara dalam ruangan yang dapat berupa kayu,-kayuan, kotoran hewan, sisa-sisa
serangga, batubara, asap dari kompor juga dapat menyebabkan peningkatan insidensi
PPOK khususnya wanita. Selain itu, polusi udara di luar ruangan seperti emisi bahan
bakar kendaraan dengan kadar sulfur oksida (SO2) dan nitrogen dioksida (NO2) juga
dapat memberikan sumbatan pada saluran nafas kecil (bronkiolitis).
Pertumbuhan dan perkembangan paru
Mengarah kepada status nutrisi bayi pada saat masih dalam kandungan, saat lahir dan
dalam masa pertumbuhannya.
Stres oksidatif
Paparan oksidan yang terus menerus menyebabkan keseimbangan antara anti oksidan dan
oksidan yang ada akan menyebabkan stress oksidasi pada paru-paru, hal ini memainkan
peran penting terhadap pathogenesis PPOK
Komorbiditas
Asma memeiliki faktor risiko terhadap kejadian PPOK, dimana di dapatkan dari suatu
penelitian pada Tucson Epidemiologi Study of Airway Obstructive Disease, bahwa orang
dengan asma akan mengalami 12kali lebih tinggi berisiko menderita PPOK
Patofisiologi
Polusi bahan iritan(asap) atau rokok, riwayat kesehatan (ISPA)
Iritasi jalan nafas
Hipereksresi lendir dan inflamasi peradangan
Peningkatan sel – sel goblet
Penurunan silia
Peningkatan produksi sputum
PPOK
Bronkiolus menyempit dan tersumbat Penurunan nafsu makan
Penurunan BB drastis
Nafas pendek Obstruktif (kerusakan) alveoli
Gangguan pola nafas
Rentan terhadap Alveoli mengalami
infeksi pernafasan kolaps
Penurunan ventilasi paru
Kerusakan campuran gas
Ketidaksamaan ventilasi perfusi Hipoksemia
Gangguan pertukaran gas
Intoleransi aktivitas
Resiko tinggi infeksi
Pola nafas tidak efektif
Perubahan nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh
ADL dibantu
Bersihan jalan nafas tidak efektif
Batuk tidak efektif
Kelemahan
Manifestasi Klinis
Dalam menilai gambaran klinis pada PPOK harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. Onset (awal terjadinya penyakit) biasanya pada usia pertengahan,
b. Perkembangan gejala bersifat progresif lambat
c. Riwayat pajanan, seperti merokok, polusi udara (di dalam ruangan, luar ruangan, dan
tempat kerja)
d. Sesak pada saat melakukan aktivitas
e. Hambatan aliran udara umumnya ireversibel (tidak bisa kembali normal).
Gejala PPOK terutama berkaitan dengan respirasi. Keluhan respirasi ini harus diperiksa dengan
teliti karena seringkali dianggap sebagai gejala yang biasa terjadi pada proses penuaan.
Batuk kronik
Batuk kronik adalah batuk hilang timbul selama 3 bulan yang tidak hilang dengan
pengobatan yang diberikan
Berdahak kronik
Kadang kadang pasien menyatakan hanya berdahak terus menerus tanpa disertai batuk
Sesak nafas, terutama pada saat melakukan aktivitas Seringkali pasien sudah mengalami
adaptasi dengan sesak nafas yang bersifat progressif lambat sehingga sesak ini tidak
dikeluhkan. Anamnesis harus dilakukan dengan teliti, gunakan ukuran sesak napas sesuai
skala sesak.
Skala Sesak Keluhan sesak berkaitan dengan aktivitas
0 Tidak ada sesak keciali dengan aktivitas berat
1 Sesak mulai timbul bila berjalan cepat atau naik tangga 1 tingkat
2 Berjalan lebih lambat karena merasa sesak
3 Sesak timbul bila berjalan 100m atau setelah beberapa menit
4 Sesak bila mandi atau berpakaian
*sekala sesak
Pada pemeriksaan fisik seringkali tidak ditemukan kelainan yang jelas terutama auskultasi pada
PPOK ringan, karena sudah mulai terdapat hiperinflasi alveoli. Sedangkan pada PPOK derajat
sedang dan PPOK derajad berat seringkali terlihat perubahan cara bernapas atau perubahan
bentuk anatomi toraks. Secara umum pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan hal-hal sebagai
berikut:
Inspeksi
Bentuk dada: barrel chest (dada seperti tong )
Terdapat cara bernapas purse lips breathing (seperti orang meniup )
Terlihat penggunaan dan hipertrofi (pembesaran) otot bantu nafas
Pelebaran sela iga
Perkusi
Auskultasi
Fremitus melemah,
Suara nafas vesikuler melemah atau normal
Ekspirasi memanjang
Mengi (biasanya timbul pada eksaserbasi)
Ronki
Sepertiga penderita mengalami penurunan berat badan, karena setelah selesai makan
mereka sering mengalami sesak yang berat sehingga penderita menjadi malas makan.
Pembengkakan pada kaki sering terjadi karena adanya gagal jantung.
Pada stadium akhir dari penyakit, sesak nafas yang berat timbul bahkan pada saat
istirahat, yang merupakan petunjuk adanya kegagalan pernafasan akut.
Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada PPOK adalah :
1. Gagal napas
a. Gagal napas kronik
b. Gagal napas akut pada gagal napas kronik
2. Infeksi berulang
Pada pasien PPOK produksi sputum yang berlebihan menyebabkan terbentuk koloni
kuman, hal ini memudahkan terjadi infeksi berulang. Pada kondisi kronik ini imuniti
menjadi lebih rendah, ditandai dengan menurunnya kadar limposit darah.
3. Kor pulmonal
Gagal napas kronik :
Hasil analisis gas darah Po2 < 60 mmHg dan Pco2 > 60 mmHg, dan pH normal,
penatalaksanaan :
- Jaga keseimbangan Po2 dan PCo2
- Bronkodilator adekuat
- Terapi oksigen yang adekuat terutama waktu latihan atau waktu tidur
- Antioksidan
- Latihan pernapasan dengan pursed lips breathing
Gagal napas akut pada gagal napas kronik, ditandai oleh :
- Sesak napas dengan atau tanpa sianosis
- Sputum bertambah dan purulen
- Demam
- Kesadaran menurun
Kor pulmonal :
Ditandai oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit > 50 %, dapat disertai gagal jantung
kanan
Pemeriksaan diagnostic
Tes fungsi paru
Tes fungsi paru menunjukkan obstruksi aliran napas dan menurunnya pertukaran udara
akibat destruksi jaringan paru. Kapasitas total paru bisa normal atau meingkat akibat
udara yang terperangkap. Dilakukan pemeriksaan reversibilitas karena 20% pasien
mengalami perbaikan dari pemberian bronkodilator.
Foto thorak
Bisa normal namun pada emfisema akan menunjukkan hiperinflasi disertai hilangnya
batas paru serta jantung tampak kecil.
Computed tomography
Untuk memastikan adanya bula enfisematosa
Analisa gas darah
Analias gas darah harus dilakukan jika ada kecurigaan gagal napas. Pada hipoksemia
kronis kadar hemoglobin bisa meningkat.
Menurut Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (2003):
Pemeriksaan rutin
1. Faal paru
Spirometri (VEP1, VEP1prediksi, KVP, VEP1/KVP
Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi ( % ) dan atau VEP1/KVP ( % ).
Obstruksi : % VEP1(VEP1/VEP1 pred) < 80% VEP1% (VEP1/KVP) < 75 %
VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk menilai beratnya
PPOK dan memantau perjalanan penyakit.
Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan, APE meter
walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai alternatif dengan memantau
variabiliti harian pagi dan sore, tidak lebih dari 20%
Uji bronkodilator
Dilakukan dengan menggunakan spirometri, uji bronkodilator dilakukan pada
PPOK stabil
2. Darah rutin
Hb, Ht, leukosit
3. Radiologi
Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit paru lain
Pemeriksaan khusus (tidak rutin)
1. Faal paru
2. Uji latih kardiopulmoner
a. Sepeda statis (ergocycle)
b. Jentera (treadmill)
c. Jalan 6 menit, lebih rendah dari normal
3. Uji provokasi bronkus
Untuk menilai derajat hipereaktiviti bronkus, pada sebagian kecil PPOK terdapat
hipereaktiviti
bronkus derajat ringan
4. Uji coba kortikosteroid
Menilai perbaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid oral (prednison atau
metilprednisolon) sebanyak 30 - 50 mg per hari selama 2minggu yaitu peningkatan VEP1
pascabronkodilator > 20 % dan minimal 250 ml. Pada PPOK umumnya tidak terdapat
kenaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid
5. Analisis gas darah
Terutama untuk menilai :
a. Gagal napas kronik stabil
b. Gagal napas akut pada gagal napas kronik
6. Radiologi
a. CT - Scan resolusi tinggi
b. Mendeteksi emfisema dini dan menilai jenis serta derajat emfisema atau bula yang
tidak terdeteksi oleh foto toraks polos
c. Scan ventilasi perfusi
Mengetahui fungsi respirasi paru
7. Elektrokardiografi
Mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh Pulmonal dan hipertrofi
ventrikel kanan.
8. Ekokardiografi
Menilai funfsi jantung kanan
9. bakteriologi
Pemerikasaan bakteriologi sputum pewarnaan Gram dan kultur resistensi diperlukan
untuk mengetahui pola kuman dan untuk memilih antibiotik yang tepat. Infeksi saluran
napas berulng merupakan penyebab utama eksaserbasi akut pada penderita PPOK di
Indonesia.
10. Kadar alfa-1 antitripsin
Kadar antitripsin alfa-1 rendah pada emfisema herediter (emfisema pada usia muda),
defisiensi antitripsin alfa-1 jarang ditemukan di Indonesia.
Penatalaksanaan
a. Umum
Penatalaksanaan secara umum PPOK meliputi :
1. Edukasi
2. Obat - obatan
3. Terapi oksigen
4. Ventilasi mekanik
5. Nutrisi
6. Rehabilitasi
PPOK merupakan penyakit paru kronik progresif dan nonreversibel, sehingga penatalaksanaan
PPOK terbagi atas (1) penatalaksanaan pada keadaan stabil dan (2) penatalaksanaan pada
eksaserbasi akut.
1. Edukasi
Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada PPOK stabil.
Edukasi pada PPOK berbeda dengan edukasi pada asma. Karena PPOK adalah penyakit
kronik yang ireversibel dan progresif, inti dari edukasi adalah menyesuaikan keterbatasan
aktiviti dan mencegah kecepatan perburukan fungsi paru. Berbeda dengan asma yang masih
bersifat reversibel, menghindari pencetus dan memperbaiki derajat adalah inti dari edukasi
atau tujuan pengobatan dari asma.
Tujuan edukasi pada pasien PPOK :
1. Mengenal perjalanan penyakit dan pengobatan
2. Melaksanakan pengobatan yang maksimal
3. Mencapai aktiviti optimal
4. Meningkatkan kualiti hidup
Edukasi PPOK diberikan sejak ditentukan diagnosis dan berlanjut secara berulang pada
setiap
kunjungan, baik bagi penderita sendiri maupun bagi keluarganya. Edukasi dapat diberikan di
poliklinik, ruang rawat, bahkan di unit gawat darurat ataupun di ICU dan di rumah. Secara
intensif edukasi diberikan di klinik rehabilitasi atau klinik konseling, karena memerlukan
waktu
yang khusus dan memerlukan alat peraga. Edukasi yang tepat diharapkan dapat mengurangi
kecemasan pasien PPOK, memberikan semangat hidup walaupun dengan keterbatasan
aktiviti. Penyesuaian aktiviti dan pola hidup merupakan salah satu cara untuk meningkatkan
kualiti hidup pasien PPOK.
Bahan dan cara pemberian edukasi harus disesuaikan dengan derajat berat penyakit, tingkat
pendidikan, lingkungan sosial, kultural dan kondisi ekonomi penderita.
Secara umum bahan edukasi yang harus diberikan adalah
1. Pengetahuan dasar tentang PPOK
2. Obat - obatan, manfaat dan efek sampingnya
3. Cara pencegahan perburukan penyakit
4. Menghindari pencetus (berhenti merokok)
5. Penyesuaian aktiviti
Agar edukasi dapat diterima dengan mudah dan dapat dilaksanakan ditentukan skala prioriti
bahan edukasi sebagai berikut :
1. Berhenti merokok
Disampaikan pertama kali kepada penderita pada waktu diagnosis PPOK ditegakkan
2. Pengunaan obat - obatan
- Macam obat dan jenisnya
- Cara penggunaannya yang benar ( oral, MDI atau nebuliser )
- Waktu penggunaan yang tepat ( rutin dengan selangwaku tertentu atau kalau perlu saja )
- Dosis obat yang tepat dan efek sampingnya
3. Penggunaan oksigen
- Kapan oksigen harus digunakan
- Berapa dosisnya
- Mengetahui efek samping kelebihan dosis oksigen
4. Mengenal dan mengatasi efek samping obat atau terapi oksigen
5. Penilaian dini eksaserbasi akut dan pengelolaannya
Tanda eksaserbasi :
- Batuk atau sesak bertambah
- Sputum bertambah
- Sputum berubah warna
6. Mendeteksi dan menghindari pencetus eksaserbasi
7. Menyesuaikan kebiasaan hidup dengan keterbatasan aktiviti
b. Obat
Bronkodilator
Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator dan disesuaikan dengan
klasifikasi derajat berat penyakit. Pemilihan bentuk obat diutamakan inhalasi, nebuliser tidak
dianjurkan pada penggunaan jangka panjang. Pada derajat berat diutamakan pemberian obat
lepas lambat ( slow release ) atau obat berefek panjang ( long acting ).
Macam - macam bronkodilator :
o Golongan antikolinergik
Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai bronkodilator juga
mengurangi sekresi lendir ( maksimal 4 kali perhari ).
o Golongan agonis beta - 2
Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, peningkatan jumlah penggunaan
dapat sebagai monitor timbulnya eksaserbasi. Sebagai obat pemeliharaan sebaiknya
digunakan bentuk tablet yang berefek panjang. Bentuk nebuliser dapat digunakan
untuk mengatasi eksaserbasi akut, tidak dianjurkan untuk penggunaan jangka
panjang. Bentuk injeksi subkutan atau drip untuk mengatasi eksaserbasi berat.
o Kombinasi antikolinergik dan agonis beta - 2
Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek bronkodilatasi, karena
keduanya mempunyai tempat kerja yang berbeda. Disamping itu penggunaan obat
kombinasi lebih sederhana dan mempermudah penderita.
o Golongan xantin
Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan jangka panjang,
terutama pada derajat sedang dan berat. Bentuk tablet biasa atau puyer untuk
mengatasi sesak ( pelega napas ), bentuk suntikan bolus atau drip untuk mengatasi
eksaserbasi akut. Penggunaan jangka panjang diperlukan pemeriksaan kadar
aminofilin darah.
Antiinflamasi
Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi intravena, berfungsi
menekan inflamasi yang terjadi, dipilih golongan metilprednisolon atau prednison. Bentuk
inhalasi sebagai terapi jangka panjang diberikan bila terbukti uji kortikosteroid positif yaitu
terdapat perbaikan VEP1 pascabronkodilator meningkat > 20% dan minimal 250 mg.
Antibiotika
Hanya diberikan bila terdapat infeksi. Antibiotik yang digunakan :
- Lini I : amoksisilin
makrolid
- Lini II : amoksisilin dan asam klavulanat
sefalosporin
kuinolon
makrolid baru
Perawatan di Rumah Sakit :
dapat dipilih
Amoksilin dan klavulanat
Sefalosporin generasi II & III injeksi
Kuinolon per oral
ditambah dengan yang anti pseudomonas
Aminoglikose per injeksi
Kuinolon per injeksi
Sefalosporin generasi IV per injeksi
Antioksidan
Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualiti hidup, digunakan N - asetilsistein.
Dapat diberikan pada PPOK dengan eksaserbasi yang sering, tidak dianjurkan sebagai
pemberian yang rutin
Mukolitik
Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan mempercepat
perbaikaneksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik dengan sputum yang viscous.
Mengurangi eksaserbasi pada PPOK bronkitis kronik, tetapi tidak dianjurkan sebagai
pemberian rutin.
Antitusif
c. Terapi O2
Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang menyebabkan kerusakan
sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen merupakan hal yang sangat penting untuk
mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah kerusakan sel baik di otot maupun organ -
organ lainnya.
Manfaat oksigen
Mengurangi sesak
Memperbaiki aktiviti
Mengurangi hipertensi pulmonal
Mengurangi vasokonstriksi
Mengurangi hematokrit
Memperbaiki fungsi neuropsikiatri
Meningkatkan kualiti hidup
Indikasi
Pao2 < 60mmHg atau Sat O2 < 90%
Pao2 diantara 55 - 59 mmHg atau Sat O2 > 89% disertai Kor Pulmonal, perubahan P
pullmonal, Ht >55% dan tanda - tanda gagal jantung kanan, sleep apnea, penyakit paru lain
Macam terapi oksigen :
Pemberian oksigen jangka panjang
Pemberian oksigen pada waktu aktiviti
Pemberian oksigen pada waktu timbul sesak mendadak
Pemberian oksigen secara intensif pada waktu gagal napas
Terapi oksigen dapat dilaksanakan di rumah maupun di rumah sakit. Terapi oksigen di rumah
diberikan kepada penderita PPOK stabil derajat berat dengan gagal napas kronik. Sedangkan di
rumah sakit oksigen diberikan pada PPOK eksaserbasi akut di unit gawat daruraat, ruang rawat
ataupun ICU. Pemberian oksigen untuk penderita PPOK yang dirawat di rumah dibedakan :
Pemberian oksigen jangka panjang ( Long Term Oxygen Therapy = LTOT )
Pemberian oksigen pada waktu aktiviti
Pemberian oksigen pada waktu timbul sesak mendadak
Terapi oksigen jangka panjang yang diberikan di rumah pada keadaan stabil terutama bila tidur
atau sedang aktiviti, lama pemberian 15 jam setiap hari, pemberian oksigen dengan nasal kanul
1- 2 L/mnt. Terapi oksigen pada waktu tidur bertujuan mencegah hipoksemia yang sering terjadi
bila penderita tidur.
Terapi oksigen pada waktu aktiviti bertujuan menghilangkan sesak napas dan meningkatkan
kemampuan aktiviti. Sebagai parameter digunakan analisis gas darah atau pulse oksimetri.
Pemberian oksigen harus mencapai saturasi oksigen di atas 90%.
Alat bantu pemberian oksigen
Nasal kanul
Sungkup venturi
Sungkup rebreathing
Sungkup nonrebreathing
Pemilihan alat bantu ini disesuaikan dengan tujuan terapi oksigen dan kondisi analisis gas darah
pada waktu tersebut
d. Rehabilitasi
Tujuan program rehabilitasi untuk meningkatkan toleransi latihan dan memperbaiki kualiti hidup
penderita PPOK
Penderita yang dimasukkan ke dalam program rehabilitasi adalah mereka yang telah
mendapatkan pengobatan optimal yang disertai :
Simptom pernapasan berat
Beberapa kali masuk ruang gawat darurat
Kualiti hidup yang menurun
Program dilaksanakan di dalam maupun diluar rumah sakit oleh suatu tim multidisiplin yang
terdiri dari dokter, ahli gizi, respiratori terapis dan psikolog.
Program rehabilitiasi terdiri dari 3 komponen yaitu : latihan fisis, psikososial dan latihan
pernapasan.
1. Ditujukan untuk memperbaiki efisiensi dan kapasiti sistem transportasi oksigen. Latihan
fisis yang baik akan menghasilkan :
Peningkatan VO2 max
Perbaikan kapasiti kerja aerobik maupun anaerobik
Peningkatan cardiac output dan stroke volume
Peningkatan efisiensi distribusi darah
Pemendekkan waktu yang diperlukan untuk recovery
Latihan untuk meningkatkan kemapuan otot pernapasan
a. Latihan untuk meningkatkan otot pernapasan
Latihan ini diprogramkan bagi penderita PPOK yang mengalami kelelahan pada otot
pernapasannya sehingga tidak dapat menghasilkan tekanan insipirasi yang cukup untuk
melakukan ventilasi maksimum yang dibutuhkan. Latihan khusus pada otot pernapasan
akan mengakibatkan bertambahnya kemampuan ventilasi maksimum, memperbaiki kualiti
hidup dan mengurangi sesak napas.
Pada penderita yang tidak mampu melakukan latihan endurance, latihan otot pernapasan
ini akan besar manfaatnya. Apabila ke dua bentuk latihan tersebut bisa dilaksanakan oleh
penderita, hasilnya akan lebih baik. Oleh karena itu bentuk latihan pada penderita PPOK
bersifat individual. Apabila ditemukan kelelahan pada otot pernapasan, maka porsi latihan
otot pernapasan diperbesar, sebaliknya apabila didapatkan CO2 darah tinggi dan peningkatan
ventilasi pada waktu latihan maka latihan endurance yang diutamakan.
b.Endurance exercise
Respons kardiovaskuler tidak seluruhnya dapat terjadi pada penderita PPOK. Bertambahnya
cardiac output maksimal dan transportasi oksigen tidak sebesar pada orang sehat.
Latihan jasmani pada penderita PPOK akan berakibat meningkatnya toleransi latihan karena
meningkatnya toleransi karena meningkatnya kapasiti kerja maksimal dengan rendahnya
konsumsi oksigen. Perbaikan toleransi latihan merupakan resultante dari efisiensinya pemakaian
oksigen di jaringan dari toleransi terhadap asam laktat. Sesak napas bukan satu-satunya keluhan
yang menyebabkan penderita PPOMJ menghenikan latihannya, faktor lain yang mempengaruhi
ialah kelelahan otot kaki. Pada penderita PPOK berat, kelelahan kaki mungkin merupakan faktor
yang dominan untuk menghentikan latihannya.
Berkurangnya aktiviti kegiatan sehari-hari akan menyebabkan penurunan fungsi otot skeletal.
Imobilitasasi selama 4 - 6 minggu akan menyebabkan penurunan kekuatan otot, diameter serat
otot, penyimpangan energi dan activiti enzim metabolik. Berbaring ditempat tidur dalam jangka
waktu yang lama menyebabkan menurunnya oxygen uptake dan control kardiovaskuler.
Latihan fisis bagi penderita PPOK dapat dilakukan di dua tempat :
• Di rumah
Latihan dinamik
Menggunakan otot secara ritmis, misal : jalan, joging, sepeda
• Rumah sakit
o Program latihan setiap harinya 15-30 menit selama 4-7 hari per minggu. Tipe latihan
diubah setiap hari. Pemeriksaan denyut nadi, lama latihan dan keluhan subyektif dicatat.
Pernyataan keberhasilan latihan oleh penderita lebih penting daripada hasil pemeriksaan
subyektif atau obyektif. Pemeriksaan ulang setelah 6-8 minggu di laboratorium dapat
memberikan informasi yang obyektif tentang beban latihan yang sudah dilaksanakan.
o Dua bentuk latihan dinamik yang tampaknya cocok untuk penderita di rumah adalah
ergometri dan walking-jogging. Ergometri lebih baik daripada walkingjogging. Begitu
jenis latihan sudah ditentukan, latihan dimulai selama 2-3 menit, yang cukup untuk
menaikkan denyut nadi sebesar 40% maksimal. Setelah itu dapat ditingkatkan sampai
mencapai denyut jantung 60%-70% maksimal selama 10 menit. Selanjutnya diikuti
dengan 2-4 menit istirahat. Setelah beberapa minggu latihan ditambah sampai 20-30
menit/hari selama 5 hari perminggu. Denyut nadi maksimal adalah 220 - umur dalam
tahun.
o Apabila petunjuk umum sudah dilaksanakan, risiko untuk penderita dapat diperkecil.
walaupun demikan latihan jasmani secara potensial akan dapat berakibat kelainan fatal,
dalam bentuk aritmia atau iskemi jantung.
Hal-hal yang perlu diperhatikan sebelum latihan :
Tidak boleh makan 2-3 jam sebelum latihan
Berhenti merokok 2-3 jam sebelum latihan
Apabila selama latihan dijumpai angina, gangguan mental, gangguan koordinasi atau
pusing latihan segera dihentikan
Pakaian longgar dan ringan
2. Psikososial
Status psikososial penderita perlu diamati dengan cermat dan apabila diperlukan dapat diberikan
obat
3. Latihan Pernapasan
Tujuan latihan ini adalah untuk mengurangi dan mengontrol sesak napas. Teknik latihan meliputi
pernapasan diafragma dan pursed lips guna memperbaiki ventilasi dan menyinkronkan kerja otot
abdomen dan toraks. Serta berguna juga untuk melatih ekspektorasi dan memperkuat otot
ekstrimiti.
Penatalaksanaan PPOK stabil
Kriteria PPOK stabil adalah :
Tidak dalam kondisi gagal napas akut pada gagal napas kronik
Dapat dalam kondisi gagal napas kronik stabil, yaitu hasil analisa gas darah
menunjukkan PCO2 < 45 mmHg dan PO2 > 60 mmHg
Dahak jernih tidak berwarna
Aktivitas terbatas tidak disertai sesak sesuai derajat berat PPOK (hasil spirometri)
Penggunaan bronkodilator sesuai rencana pengobatan
Tidak ada penggunaan bronkodilator tambahan
Tujuan penatalaksanaan pada keadaan stabil :
Mempertahankan fungsi paru
Meningkatkan kualiti hidup
Mencegah eksaserbasi
Penatalaksanaan PPOK stabil dilaksanakan di poliklinik sebagai evaluasi berkala atau dirumah
untuk mempertahankan PPOK yang stabil dan mencegah eksaserbasi
Penatalaksanaan di rumah
Penatalaksanaan di rumah ditujukan untuk mempertahankan PPOK yang stabil. Beberapa hal
yang harus diperhatikan selama di rumah, baik oleh pasien sendiri maupun oleh keluarganya.
Penatalaksanaan di rumah ditujukan juga bagi penderita PPOK berat yang harus menggunakan
oksigen atau ventilasi mekanik.
Tujuan penatalaksanaan di rumah :
a. Menjaga PPOK tetap stabil
b. Melaksanakan pengobatan pemeliharaan
c. Mengevaluasi dan mengatasi eksaserbasi dini
d. Mengevaluasi dan mengatasi efek samping pengobatan
e. Menjaga penggunaan ventilasi mekanik
f. Meningkatkan kualiti hidup
Penatalaksanaan di rumah meliputi :
1. Penggunakan obat-obatan dengan tepat.
Obat-obatan sesuai klasifikasi (tabel 2). Pemilihan obat dalam bentuk dishaler, nebuhaler atau
tubuhaler karena penderita PPOK biasanya berusia lanjut, koordinasi neurologis dan kekuatan
otot sudah berkurang. Penggunaan bentuk MDI menjadi kurang efektif. Nebuliser sebaiknya
tidak digunakan secara terus menerus. Penggunaan nebuliser di rumah sebaiknya bila timbul
eksaserbasi, penggunaan terus menerus, hanya jika timbul eksaserbasi.
2. Terapi oksigen
Dibedakan untuk PPOK derajat sedang dan berat. Pada PPOK derajat sedang oksigen hanya
digunakan bila timbul sesak yang disebabkan pertambahan aktiviti. Pada PPOK derajat berat
yang terapi oksigen di rumah pada waktu aktiviti atau terus menerus selama 15 jam terutama
pada waktu tidur. Dosis oksigen tidak lebih dari 2 liter
3. Penggunaan mesin bantu napas dan pemeliharaannya. Beberapa penderita PPOK dapat
menggunakan mesin bantu napas di rumah (lihat hal 25)
4. Rehabilitasi
Penyesuaian aktiviti
Latihan ekspektorasi atau batuk yang efektif (huff cough)
"Pursed-lips breathing"
Latihan ekstremiti atas dan otot bantu napas
5. Evaluasi / monitor terutama ditujukan pada :
Tanda eksaserbasi
Efek samping obat
Kecukupan dan efek samping penggunaan oksigen
e. Asuhan keperawatan
Pengkajian (terlampir)
Analisa Data
No. Data Etiologi Masalah Keperawatan
1. DS: mengeluh sesak napas,
mengeluh bertambah sesak
jika melakukan pekerjaan
DO: RR: 29 x/menit, nadi
115x/mnt, tampak gelisah,
Pernafasan cuping hidung,
sianosis pada mukosa bibir,
CTR 3“,penumpukan udara
daerah retrosternal, tampak
penurunan vaskuler dan
peningkatan bentuk
bronkovaskuler, Spirometri
: FEV1/FVC 60%, BGA:
Pa CO2: 52 mmHg, Pa O2:
70 mmHg, Sa O2: 79%,
PH: 7,25, H CO3 -: 20
mEq/L
Gangguan pergerakan
udara kedalam dan keluar
paru
Peningkatan usaha dan
frekuensi pernapasan,
penggunaan otot bantu
pernapasan
Peningkatan kerja
pernapasan, hipoksemia
secara reversible
Gangguan pertukaran gas
Gangguan pertukaran
gas
2. DS: -mengeluh batuk sejak
3bln
-mengeluh sesak nafas
DO: - terlihat gelisah
-batuk
-mengeluarkan banyak
dahak putih kental
-merokok 1pak/hari selama
20th
- ronki dan wheezing
terdengar di kedua lapang
Penyempitan jalan nafas
Serangan paroksimal
Dispnea, wheezing,
batuk, sputum
Infeksi bersihan jalan
nafas
Bersihan jalan nafas
tidak efektif
paru
- penggunaan otot bantu
pernafasan retraksi otot
area supraklavikular dan
sternocleidomastoideus
3. DS: -klien mengeluh
sesak nafas
-nafas sesak dan berbunyi
ngikngik
-mengeluh bertambah sesak
jika melakukan pekerjaan
DO: -ronki dan wheezing
terdengar dikedua lapang
paru
-bentuk dada barrel chest
-pernafasan cuping hidung
-penggunaan otot bantu
pernapasan
Infeksi saluran
pernafasan
Inflamasi, sekresi,
bronchospasme, edema
mukosa
Penyempitan jalan nafas
Pola nafas tidak efektif
pola nafas tidak efektif
Intervensi
Gangguan pertukaran gas
Tujuan : dalam waktu 3 x 24 jam setelah diberikan intervensi pertukaran gas membaik
Kriteria evaluasi : frekuensi napas 16-20x/mnt, frekuensi nadi 70-90x/mnt dan warna kulit
kembali normal dan GDA dalam batas normal
Intervensi :
Rencana Intervensi Rasional
Kaji keefektifan jalan napas Brokospasme dideteksi ketika terdengar
mengi saat diauskultasi dengan stetoskop.
Peningkatan pembentukan mucus sejalan
dengan penurunan aksi mukosiliar menunjang
penurunan lebih lanjut diameter bronki dan
mengakibatkan penurunan aliran udara serta
penurunan aliran pertukaran gas, yang
diperburuk oleh kehilangan daya elastisitas
Kolaborasi untuk pemberian bronkodilator
secara aerosol
Terapi aerosol dapat membantu
mengencerkan sekresi sehingga dapat
dibuang.
Lakukan fisioterapi dada Setelah inhalasi bronkodilator nebulizer, klien
disarankan untuk meminum air putih untuk
mengencerkan sekresi. Kemudian
membatukkan dengan ekspulsi atau postural
drainase akan membantu dalam pengeluaran
sektresi.
kolaborasi untuk pemantauan analias gas
darah
Sebagai bahan evaluasi setelah melakukan
intervensi
Kolaborasi untuk memantau pemberian
oksigen via nasal
Oksigen diberikan ketika terjadi hipoksemia.
Perawat haru memantau kemanjuran terapi
oksigen dan memastikan bahwa klien patuh
dalam menggunakan alat pemberian oksigen
Ketidakefektifan bersihan jalan napas
Tujuan : dalam waktu 3 x 24 jam setelah diberikan intervensi jalan napas kembali efektif
ditandai dengan berkurangnya kuantitas dan viskositas sputum untuk memperbaiki ventilasi
paru dan pertukaran gas.
Kriteria hasil : klien dapat menyatakan dan mendemonstrasikan batuk efektif, tidak ada
suara napas tambahan, wheezing (-) dan oernapasan klien normal (16-20)/x/menit) tanpa
adanya otot bantu pernapasan.
Intervensi :
Rencana Intervensi Rasional
Kaji warna, kekentalan dan jumlah sputum Karakteristik sputum dapat menunjukkan berat
ringannya obstuksi
Atur posisi semifowler Meningkatkan ekspansi paru
Ajarkan cara batuk efektif Batuk yg terkontrol dpt memudahkn
pengeluaran & secret yg melekat di jalan napas
Bantu klien latihan napas dalam Ventilasi maksimal membuka lumen jalan
napas dan meningkatkan gerakan secret ke
dalam jalan napas besar untuk dikeluarkan
Pertahankan intake cairan sedikitnya
2500ml/hari kecuali diindikasikan
Hidrasi yang adekuat membantu
mengencerkan secret dan mengefektifkan
pembersihan jalan napas
Kolaborasi pemberian obat:
Bronkodilator
Nebulizer (via inhalasi) dgn golongan
terbutaline 0,25mg, fenoterol HBr 0,1%
solution, orciprenaline sulfur 0,75mg
Agen mukolit dan ekspetoran
kortikosteroid
Pembarian bronkodilator via inhalasi akan
langsung menuju area bronchus yang
mengalami spasme sehingga lebih cepat
berdilatasi.
Agen mukolitik menurunkan kekentalan dan
perlengketan secret.
Kortikosteroid berguna dgn keterkibatan luas
pada hipoksemia dan menurunkan reaksi
inflamasi akibat edema mukosa dan dinding
bronkus.
Ketidakefektifan pola pernafas
tujuan : dalam waktu 3x24jam setelah diberikan intervensi pola napas kembali efektif
criteria evaluasi: klien mampu melakukan batuk efektif, irama, frekuensi dan kedalaman
pernapasan dalam batas normal.
Intervensi :
Rencana Intervensi Rasional
Kaji fungsi pernapasan, catat kecepatan
pernapasan, dispnea, sianosis dan perubahan
TTV
Dengan mengidentifikasi penyebab, kita
dapat mengambil tindakan yang tepat.
Auskultasi bunyi paru Bunyi napas dapat menurun/tak ada pada area
kolaps yang meliputi satu lobus, segmen paru,
atau seluruh are paru.
Kaji pengembangan dada dan posisi trakea Ekspansi paru menurun pada area kolaps
Berikan posisi semi fowler/fowler tinggi dan
miring pada sisi yang sakit, bantu klien
latihan napas dalam dan batuk efektif
Posisi fowler memaksimalkan ekspansi paru
dan menurunkan upaya bernapas. Ventilasi
maksimal membuka area etelektasis dan
meningkatkan gerakan secret ke jalan napas
besar untuk dikeluarkan
Daftar Pustaka
Djojodibroto, Darmanto. 2007. Repirologi (Respiratory Medicine). Jakarta: EGC
Mutaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem
Pernapasan. Jakarta : Salemba Medika
Rab, Tabrani. 1998. Agenda Gawat Darurat. Bandung: Alumni
Somantri, Irman. 2007. Asuhan keperawatan pada Pasien Dengan Gangguan Sistem Pernapasan.
Jakarta: Salemba Medika.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2003. Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK). Pedoman
Diagnosa & Penatalaksanaan di Indonesia.
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1022/MENKES/SK/XI/2008 tentang
Pedoman Pengendalian Penyakit Paru Obstruktif Kronik
http://medicastore.com/penyakit/455/Penyakit_Paru_Obstruktif_Menahun_PPOM.html di akses
pada senin, 27 Febuari 2012 pukul 19.17 WIB
http://zulliesikawati.staff.ugm.ac.id/wp-content/uploads/copd.pdf di akses pada Senin, 27
Febuari 2012 pada pukul 19.45 WIB