Pilot Project Analisa Situasi Fish Bone
-
Upload
aulia-royyani-elya -
Category
Documents
-
view
65 -
download
7
description
Transcript of Pilot Project Analisa Situasi Fish Bone
BAB 1. LATAR BELAKANG
1.1 Latar Belakang
Penyakit demam berdarah (DBD) merupakan penyakit yang disebabkan
oleh infeksi virus dengue, yang terdiri dari empat tipe, yaitu DEN-1, DEN-2, DEN
3, DEN 4, dan ditularkan melalui gigitan nyamuk beina Aedes aegyti dan Aedes
albopictus yang sebelumnya telah terinfeksi oleh virus dengue dari penderita DBD
lainnya. Kejadian luar biasa (KLB) pertama penyakit demam berdarah dengue
(DBD) di Asia ditemukan di Manila pada tahun 1954 dan wabah demam berdarah
masuk ke Indonesia pada tahun 1968 yaitu di Surabaya dan Jakarta. Pada
pengamatan selama kurun waktu 20 sampai 25 tahun sejak awal ditemukannya
kasus DBD, kejadian luar biasa penyakit ini diestimasikan terjadi setiap lima
tahun dengan angka kematian terbanyak terjadi pada anak-anak.
Menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia pada tahun 2011
jumlah kasus meninggal akibat penyakit demam berdarah di provinsi Jawa Timur
sejumlah 62 orang. Selain itu dilaporkan juga bahwa pada tahun 2010, jumlah
pasien demam berdarah dengue di Jawa Timur mencapai 26.059 orang dengan
angka kesakitan (IR) sebesar 68,53/100.000 penduduk. Hal ini berarti bahwa
terjadi peningkatan kasus dengan laporan dari kabupaten/kota di Jawa Timur yang
telah melaporkan kasusnya menyatakan bahwa DBD tidak lagi hanya menyerang
anak-anak, tetapi juga orang dewasa.
Wilayah Jember pada tahun 2011, insiden DBD sebesar 3,21 per 1000
penduduk dengan jumlah kasus sebesar 77. Insiden DBD mengalami penurunan
dibandingkan pada tahun 2007 yang insidensinya sebesar 0,52 per 1000 penduduk
dengan jumlah kasus sebesar 1.214 dan tahun 2008 yang insidensinya sebesar
0,34 per 1000 penduduk dengan jumlah kasus sebesar 780 (Depkes, tanpa tahun).
Di Jember, wilayah endemik penyakit Demam Berdarah yang patut diwaspadai,
menurut Dokter Burhan ada di lima kecamatan. Untuk wilayah kota ada di
Kecamatan Sumbersari dan Kecamatan Kaliwates. Sedang tiga lainnya meliputi
Kecamatan Wuluhan, Puger dan Kecamatan Balung.
1
1.2 Tujuan
a. Tujuan Umum
Meningkatkan upaya program P2PL
b. Tujuan Khusus
1. Melakukan pembentukan dan pelatihan kader
2. Membentuk Pos demam berdarah dengue
1.3 Manfaat
a. Untuk Mahasiswa
Untuk mengaplikasikan kompetensi keilmuan analisis manajemen layanan kesehatan
b. Untuk masyarakat
1. Meningkatkan derajat kesehatan masyarakat
2. Memandirikan masyarakat
c. Untuk pemerintah
1. Membantu pemerintah melakukan strategi pemberdayaan masyarakat
2. Membantu pemerintah untuk melakukan deteksi, pencatatan, dan
pelaporan kasus demam berdarah dengue.
2
BAB 2. PENGKAJIAN
2.1 Gambaran umum dan perilaku penduduk
1) Keadaan penduduk
Berdasarkan hasil sensus penduduk pada tahun 2010, jumlah penduduk
Indonesia sebesar 237.641.326 jiwa dengan presentase penduduk perkotaan
sebesar 49,97% (118.320.256 jiwa) dan penduduk pedesaan sebesar 50,21%
(119.321.070 jiwa). Selain itu, persebaran kependudukan di indonesia berdasarkan
luas pulau-pulau besarnya, yaitu:
1. Pulau Sumatera dengan luas 25,2% dari total luas wilayah Indonesia memiliki
penduduk sebesar 21,3% dari total penduduk;
2. Pulau Jawa dengan luas 6,8% dari total luas wilayah Indonesia memiliki
penduduk sebesar 57,5% dari total penduduk;
3. Pulau Kalimantan dengan luas 28,5% dari total luas wilayah Indonesia
memiliki penduduk sebesar 7,3% dari total penduduk;
4. Pulau Sulawesi dengan luas 9,9% dari total luas wilayah Indonesia memiliki
penduduk sebesar 7,3% dari total penduduk;
5. Pulau Maluku dengan luas 4,1% dari total luas wilayah Indonesia memiliki
penduduk sebesar 1,1% dari total penduduk;
6. Pulau Papua dengan luas 21,8% dari total luas wilayah Indonesia memiliki
penduduk sebesar 1,5% dari total penduduk (BPS, 2010).
Jumlah penduduk dari hasil proyeksi penduduk berdasarkan P4B yaitu
sebesar 37.071.731 jiwa dengan pertumbuhan sebesar 2,39 persen, dengan
kepadatan penduduk sebesar 798 jiwa setiap 1 km, dengan rasio rata-rata jiwa/kk
adalah 4 jiwa, kepadatan penduduk di kota umumnya lebih tinggi dibandingkan
dengan kepadatan penduduk di kabupaten (Dinkes, 2006). Berdasarkan hasil
sensus penduduk pada tahun 2010 menyebutkan bahwa jumlah penduduk di Jawa
Timur sebesar 37.476.757 jiwa yang mencakup penduduk di daerah perkotaan
sebesar 17.832.733 jiwa dan (BPS, 2010)
Sedangkan hasil sensus penduduk menyebutkan bahwa kepadatan
penduduk Kabupaten Jember pada tahun 2000 adalah 664 jiwa/km2 yang
3
kemudian meningkat menjadi 707 jiwa/km pada tahun 2010 (BPS, 2010).
Kecamatan dengan penduduk terjarang adalah Kecamatan Tempurejo dengan
tingkat kepadatan 135 jiwa/km2 dan kecamatan terpadat penduduknya adalah
Kecamatan Kaliwates yaitu mencapai 4480 jiwa/Km2. Bagi daerah – daerah yang
memiliki kepadatan jauh diatas ambang batas ideal, 700 jiwa/km2 akan rawan
terhadap berbagai macam permasalahan seperti kesehatan, pengangguran,
kesenjangan sosial, kriminalitas, dan sebagainya akibat dari terbatasnya daya
tampung dan daya dukung daerah (BPS, 2010).
Berdasarkan database kesehatan per kabupaten dari Kemenkes RI, Jember
memiliki jumlah penduduk pada tahun 2007 dan 2008 sebesar 2.327.049 jiwa
dengan kepadatan penduduk sebesar 707 jiwa/km2. Sedangkan pada tahun 2011
terjadi peningkatan jumlah penduduk sebesar 2.395.319 dengan kepadatan
penduduk sebesar 727 jiwa/km2 (Depkes, tanpa tahun).
2) Keadaan ekonomi
Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada September 2012 mencapai
28,59 juta orang (11,66 persen) dan jika dibandingkan dengan jumlah penduduk
miskin pada Maret 2012 , maka selama enam bulan tersebut terjadi penurunan
jumlah penduduk miskin sebesar 0,54 juta orang (BPS, 2013). Berdasarkan
daerah tempat tinggal, pada periode Maret 2012–September 2012, baik penduduk
miskin di daerah perkotaan maupun perdesaan sama-sama mengalami penurunan,
yaitu masing-masing turun sebesar 0,18 persen (0,14 juta orang) dan 0,42 persen
(0,40 juta orang) (BPS, 2013). Pada periode Maret 2012–September 2012, Indeks
Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2)
menunjukkan kenaikan sehingga mengindikasikan bahwa rata-rata pengeluaran
penduduk miskin cenderung semakin menjauhi garis kemiskinan dan
ketimpangan pengeluaran penduduk miskin juga semakin melebar (BPS, 2013).
Pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap kuat didukung dengan stabilitas
makroekonomi dan sistem keuangan yang terjaga yang ditandai dengan:
a. Perekonomian Triwulan III-2011 tumbuh 6.5% didukung oleh konsumsi dan
ekspor.
4
b. Kondisi pasar keuangan domestik semakin membaik seiring dengan respon
kebijakan Bank Indonesia dan Pemerintah dalam memitigasi rambatan
gejolak ekonomi global.
c. Nilai tukar relatif stabil, meskipun masih mengalami tekanan depresiasi.
d. Tekanan inflasi terus menurun dan diprakirakan kedepan tetap terkendali
(Kemenko, 2011).
Menurut BPS Jatim (2013) menyebutkjan bahwa status perekonomian di
Jawa Timur mengalami inflasi sebesar 0,97 persen pada Februari 2013. Meskipun
terjadi inflasi perekonomian di Jawa Timur, tetapi tetap terjadi peningkatan
pendapatan pada triwulan II tahun 2012 sebesar 7,24 persen dengan peningkatan
terbesar pada sektor pengangkutan dankomunikasi (4,22%), sektor perdanganan,
hotel, dan restoran (4,00%), dan sektor industri (2,67%) (BPS, 2013). Sedangkan
penurunan perekonomian terjadi pada sektor pertanian dan sektopr air bersih,
listrik dan gas.
Sedangkan perekonomian pada Kabupaten Jember ditinjau dari besarnya
jumlah penduduk (Depkes, tanpa tahun), rasio beban tanggungan penduduk
Jember pada tahun 2007 sebesar 27,80 per 100 penduduk dan pada tahun 2008
terjadi peningkatan beban tanggungan sebesar 62,28 per 100 penduduk. Pada
tahun 2011 terjadi penurunan rasio beban tanggungan menjadi 44,01 per 100
penduduk. Hal ini mengartikan bahwa seorang penduduk Jember harus
menanggung ekonomi pada 2 hingga 3 orang keluarga sehingga dapat
disimpulkan bahwa status ekonomi penduduk Jember masih dibawah rata-rata dan
memiliki beban tanggungan yang cukup tinggi.
3) Keadaan pendidikan
Berdasarkan database kesehatan per kabupaten dari Kemenkes RI, Jember
memiliki jumlah penduduk yang melek huruf pada tahun 2011 sebesar 13,80
persen dengan penduduk laki-laki yang melek huruf sebesar 14,27 persen dan
penduduk perempuan yang melek huruf sebesar 13,36 persen (Depkes, tanpa
tahun) .
5
4) Keadaan kesehatan lingkungan
Kabupaten Jember merupakan salah satu daerah yang pertumbuhan
penduduknya cukup pesat di Jawa Timur dan menempati peringkat ketiga pada
tahun 2009 dengan jumlah penduduk mencapai 2.179.829 jiwa (Mediawati,
2011). Tingkat pertumbuhan penduduk yang cukup pesat ini tidak diimbangi oleh
pembangunan infrastruktur yang mendukung kualitas kesehatan masyarakat serta
pengelolaan lingkungan seperti air bersih, sanitasi, drainase dan persampahan
(Badan Perencanaan Pembangunan Kabupaten Jember, 2009 dalam Mediawati,
2011). Arahan pengembangan prasarana dasar di Kabupaten Jember adalah
pengembangan sistem setempat secara komunal untuk limbah rumah tangga,
perbaikan dan peningkatan jumlah sarana sanitasi dan program penyuluhan
mengenai sanitasi (Dhokhikah, 2007 dalam Mediawati, 2011). Oleh karena itu,
pemerintah Kabupaten Jember berupaya untuk mengatasi masalah kesehatan
lingkungan melalui program pemerintah dalam bidang pengelolaan lingkungan
seperti pengelolaan sampah, perbaikan saluran drainase dan pembangunan
fasilitas MCK umum.
5) Keadaan perilaku masyarakat
Kabupaten jember merupakan daerah endemis penyakit demam berdarah. Dari
catatan medis jumlah penderita demam berdarah dengue di wilayah kerja
Puskesmas Sumbersari pada tahun 2009 dari bulan Januari – Desember dengan
jumlah total kasus sebanyak 110 orang, penderita tersebut menyebar di 5
kelurahan yaitu kelurahan Sumbersari 78 orang, Tegalgede 23 orang, Wirolegi 6
orang, Karangrejo 3 orang, Antirogo 0. Dan meningkat pada tahun 2010 dari
bulan Januari sampai Desember dengan total jumlah kasus 164 orang, penderita
menyebar yaitu kelurahan Sumbersari 126 orang, Tegalgede 20 orang, Wirolegi 9
orang, Karangrejo 5 orang, Antirogo 4 orang. Dan untuk tahun 2011 terhitung
mulai Januari sampai Mei penderita berjumlah 8 orang, penderita tersebut
menyebar di wilayah Kelurahan Sumbersari 6 orang, Tegalgede 0, Wirolegi 1
orang, Karangrejo 0, Antirogo 1 orang. Dari kelima wilayah kerja puskesmas
6
Sumbersari, Kelurahan Sumbersari merupakan jumlah kasus terbanyak penderita
DBD. (Data Puskesmas Sumbersari Mei 2011. Kabupaten Jember)
Banyak faktor yang mempengaruhi kejadian penyakit demam berdarah dengue
di kabupaten Jember hal ini dikarenakan perilaku masyarakat yang masih
membuang sampah di pinggir sungai, kurangnya pengetahuan masyarakat tentang
penyakit demam berdarah, kurangnya perilaku masyarakat terhadap pembersihan
sarang nyamuk, dan pembangunan pemukiman perumahan yang masih padat
penduduk.
2.2 Situasi derajat kesehatan
1) Mortalitas
Pada tahun 2007 jumlah kasus demam berdarah dengue adalah sebnyak
158.115 kasusu dengan jumlah kematian 1.559 kasus kematian penduduk
Indonesia dengan nilai prosentase Jawa Timur adalah 1,43%. Case Fatality Rate
(CFR) pada tahun 2007 sebessar 1,01%. CFR DBD pada tahun 2003 berfluktuasi,
namun dalam dua tahun terakhr cenderung menurun.(depkes.co.id).
Pada tahun 2011 menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia jumlah
kasus meninggal akibat penyakit demam berdarah di provinsi Jawa Timur
sejumlah 62 orang dari total kasus 5.372.
2) Morbiditas
Indonesia masih memiliki peningkatan transisi epidemiologi yang
menyebabkan beban ganda (double burden) yang dihadapkan pada penyakit
infeksi (baik re-emerging maupun new emerging) dan gizi kurang, serta
meningkatnya penyakit non infeksi dan degeneratif. Apabila morbiditas terjadi
pada kelompok usia produktif, maka akan mempengaruhi produktivitas dan
pendapatan keluarga yang dapat mempengaruhi status ekonomi dan peningkatan
kemiskinan.
Angka kesakitan Demam Berdarah Dengue (DBD) dapat diperoleh dari
laporan pada sarana pelayanan kesehatan, baik di rumah sakit maupun di
puskesmas melalui pencatatan dan pelaporan maupun dari community based data
7
dari hasil pengamatan (surveilance). Berdasarkan pengamatan penyakit
brpotensial KLB dan penyakit tidak menular yang diamati di Puskesmas dan
Rumah Sakit sentinel yang merupakan gardu pandang suatu pola dan trend
penyakit didapatkan 10 besar kunjungan kasus sebagai berikut (Dinkes, 2010)
Tabel 1. Penyakit terbanyak di Rumah Sakit Sentinel
di Provinsi Jawa Timur 2008-2011
NoTahun 2008 Tahun 2009 Tahun 2010Penyakit % Penyakit % Penyakit %
1. Diare 33,06 Diare 21,58
Diare 19,76
2. DBD 23,75 DBD 14,15
DBD 18,75
3. Demam dengue 8,38 Kecelakaan lalu lintas
11,57
Kecelakaan lalu lintas
9,60
4. Pneumonia 6,70 TBC paru BTA (+)
5,43 Demam dengue 6,04
5. TBC paru BTA (+)
6,47 Pneumonia 5,05 Hipertensi esensial
4,89
6. Tifus perut klinis
5,45 Hipertensi esensial
4,20 TBC paru BTA (+)
4,21
7. Hepatitis klinis 3,06 Demam dengue
4,12 Pneumonia 4,04
8. Tersangka TBC paru
2,69 DM YTT 3,93 DM YTT 3,11
9. Tetanus 1,99 Tifus perut klinis
3,36 Tifus perut widal (-)
2,999
10. Influenza 0,82 Tifus perut widal (-)
3,35 DM tak bergantung insulin
2,81
Sumber: Profil Kesehatan Provinsi Jawa Timur 2010
Berdasartkan data diatas, dapat disimpulkan bahwa DBD masih tetap
menempati urutan ke-2 berturut-turut pada kasus terbanyak dalam kurun waktu 3
tahun (2008-2010). Hal ini mengartikan bahwa kondisi lingkungan masyarakat
Jawa Timur masih belum memenuhi kriteria standar sehat.
Selain itu, telah dilaporkan juga bahwa pada tahun 2010, jumlah pasien
demam berdarah dengue di Jawa Timur mencapai 26.059 orang dengan angka
8
kesakitan (IR) sebesar 68,53/100.000 penduduk. Hal ini berarti bahwa terjadi
peningkatan kasus dengan laporan dari kabupaten/kota di Jawa Timur yang telah
melaporkan kasusnya menyatakan bahwa DBD tidak lagi hanya menyerang anak-
anak, tetapi juga orang dewasa. Data yang diambil pada tahun 2010 membuktikan
bahwa rasio insiden (incident rate) kasus DBD di Jember sebesar 63,9 per
100.000 penduduk telah menempati di bawah rata-rata incident rate Jawa Timur,
yaitu sebesar 69,5 per 100.000 penduduk.
Pada tahun 2011, insiden DBD di jember sebesar 3,21 per 1000 penduduk
dengan jumlah kasus sebesar 77. Insiden DBD mengalami penurunan
dibandingkan pada tahun 2007 yang insidensinya sebesar 0,52 per 1000 penduduk
dengan jumlah kasus sebesar 1.214 dan tahun 2008 yang insidensinya sebesar
0,34 per 1000 penduduk dengan jumlah kasus sebesar 780 (Depkes, tanpa tahun).
3) Dampak kesehatan akibat penyakit
Dampak kesehatan akibat penyakit demam berdarah dengue di daerah
Jember bisa mengakibatkan kematian jika tidak segera mendapatkan penanganan
dari petugas kesehatan.
2.3 Situasi upaya kesehatan
1) Pelayanan kesehatan dasar
Pelayanan kesehatan dasar di kabupaten Jember yaitu meliputi Puskesmas
dengan jumlah 49 buah, Puskesmas Pembantu 131 buah, Puskesmas Keliling 28
buah, dan Posyandu 2.755 buah.
2) Pelayanan kesehatan rujukan
Salah satu rumah sakit yang menjadi rujukan penyakit demam berdarah di
Jember adalah RSUD Dr. Soebandi Kabupaten Jember yang merupakan rumah
sakit kelas B Non Pendidikan yang ditetapkan sesuai Keputusan Menteri
Kesehatan Nomor : 1162/Menkes/SK/IX/1992.
RSUD Dr. Soebandi ditetapkan menjadi rumah sakit pusat rujukan untuk
wilayah bagian timur Propinsi Jawa Timur meliputi empat Kabupaten sekitar
Jember yaitu Kabupaten Banyuwangi, Bondowoso, Situbondo, Lumajang dengan
9
cakupan seluruh penduduknya sekitar 8 juta jiwa. Sebagai rumah sakit rujukan
dengan letak RSUD Dr. Soebandi yang berada di tengah kota Jember cukup
strategis karena berada pada titik sentral dari 4 (empat) Kabupaten diatas.
3) Pelayanan jaminan kesehatan masyarakat
Pada tahun 2010 pemegang kartu Jamkesmas di Jember berjumlah
382.229 orang, sedang penerima Jamkesda 13.061 orang dan pada tahun 2011
pemegang Jamkesmas meningkat menjadi 395.360 orang dan Jamkesda menjadi
33.061 orang.
Bagi penduduk Jember yang tidak masuk dalam daftar jaminan kesehatan
masyarakat Jember tidak bisa memperoleh peleayan kesehatan gratis. Walaupun
demikian, Dinas Kesehatan Jember masih menyediakan anggaran Rp 500 juta
bagi warga miskin yang belum tercatat sebagai penerima Jamkesmas dan
Jamkesda. Jika sakit dan harus menjalani rawat inap di rumah sakit, mereka diberi
kesempatan memperoleh biaya yang disediakan dari APBD, menggunakan surat
keterangan miskin. Untuk memperoleh surat keterangan miskin setiap pasien
harus mendapat rekomendasi dari kepala desa/lurah dan camat.
(http://bappeda.jatimprov.go.id).
4) Pencegahan dan pemberantasan penyakit
Adanya peningkatan kasus DBD pada provinsi Jawa Timur menyebabkan
angka morbiditas dan mortalitas akibat DBD menjadi meningkat. Upaya
pencegahan telah dilakukan dengan gerakan pemberantasan sarang nyamuk
dengan pencapaian keberhasilannya dilihat dari angka bebas jentik (ABJ) maupun
jumlah kasus yang terjadi, ternyata Jawa Timur kurang berhasil dalam melakukan
gerakan pemberantasan sarang nyamuk karena angka bebas jentik nyamuk (ABJ)
masih tergolong rendah dengan target dibawah 95 persen.
Meskipun upaya pencegahan dan penanggulangan antara lain melalui
fogging dan pemberantasan sarang nyamuk melalui gerakan ”3M PLUS”
(menguras ,mengubur, dan menutup tempat penampungan air), pelatihan jumantik
dan lain sebagainya telah digalakkan oleh pemerintah, tetapi partisipasi
masyarakat dalam penanggulangan penyakit DBD masih rendah yang dibuktikan
10
dengan cakupan Angka Bebas Jentik (ABJ) sebesar 83,50%. Diharapkan pada
tahun mendatang capaian angka Bebas Jentik (ABJ) tersebut dapat ditingkatkan
menjadi 100%, sehingga tidak memberi kesempatan nyamuk untuk berkembang
biak.
2.4 Situasi sumber daya kesehatan
1) Sarana kesehatan
Sarana kesehatan dasar yang ada di Jember berupa polindes, posyandu,
dan puskesmas. Pada tahun 2007, jumlah polindes sebesar 116 buah, jumlah
posyandu masih belum terdata, jumlah puskesmas sebesar 49 buah, dan jumlah
pustu sebesar 126 buah. Pada tahun 2008, jumlah polindes sebesar 110 buah,
jumlah posyandu sebesar 2.819 buah, jumlah puskesmas sebesar 49 buah, dan
jumlah pustu sebesar 120 buah. Sedangkan pada tahun 2011, jumlah polindes
belum terdata, jumlah posyandu sebesar 2.819 buah, jumlah puskesmas sebesar 1
buah, dan jumlah pustu tidak terdata.
Sedangkan sarana rumah sakit yang tersedia berupa RS dr. Soebandi, RS
Balung, RS Paru, RS Bina Sehat, RS Citra Husada, dan RS Jember Klinik.
2) Tenaga kesehatan
Berdasarkan database kesehatan per kabupaten dari Kemenkes RI, tenaga
kesehatan yang tersedia di Jember berupa tenaga medis, perawat dan bidan, tenaga
farmasi, tenaga gizi, tenaga teknisi medis, tenaga sanitasi, tenaga kesmas, dan
dokter gigi. Berikut ini merupakan daftar tenaga kesehatan yang ada di Jember
(Dinkes, 2011).
Tabel 2. Jumlah tenaga kesehatan Kabupaten Jember
No. Jenis tenaga kesehatanTahun
2007 2008 2011
1. Tenaga medis 102 391 59
2. Perawat dan bidan 618 1500 16
3. Tenaga farmasi 22 143 2
4. Tenaga gizi 14 56 6
11
5. Tenaga teknisi medis 9 2 72
6. Tenaga sanitas 22 34 17
7. Tenaga kesmas 1 14 8
8. Dokter gigi - 114 44
Sumber: database kesehatan per kabupaten Kemenkes RI
3) Pembiayaan kesehatan
Pembiayaan kesehatan Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur pada tahun
2011 sebanyak 29% menggunakan Jamkesmas (Jaminan Keehatan Masyarakat),
sebanyak 3% menggunakan Jamkesda (Jaminan Kesehatan Daerah), sebanyak 8%
menggunakan Askes (Ansuransi Kesehatan), sebanyak 2% menggunakan
Jamsostek. Selain itu pembiayaan kesehatan bisa didapatkan dari Bantuan
Operasional Kesehatan (BOK).
2.5 Perbandingan Indonesia dengan negara anggota ASEAN dan SEARO
1) Kependudukan
Perbandingan beberapa data kependudukan negara Indonesia dengan
negara anggota ASEAN dan SEARO yaitu jumlah penduduk (juta jiwa)
pertengahan tahun 2012 adalah 238,2 juta jiwa (hasil sensus penduduk tahun
2010: 237,6 juta jiwa). Indonesia menduduki peringkat ke dua dari jumlah 18
anggota ASEAN dan ASERO yang meliputi Brunei Darussalam sebanyak 0,4 juta
jiwa; Filifina sebanyak 95,7 juta jiwa; Kamboja 14,7 juta jiwa; Laos 6,3 juta jiwa,
Malaysia 28,9 juta jiwa, Singapura 5,2 juta jiwa; Vietnam 87,9 juta jiwa ;
Myanmar 54,0 juta jiwa; Thailand 69,5 juta jiwa; Bangladesh 150,7 juta jiwa;
Bhutan 0,7 juta jiwa; India 1241,3 juta jiwa; Korea Utara 24,5 juta jiwa;
Maladewa 0,3 juta jiwa; Nepal 30,5 juta jiwa; Sri Langka 20,9 juta jiwa; dan
Timor Leste 1,2 juta jiwa.
2) Derajat kesehatan
Pada tahun 2007 angka kematian bayi di lima negara ASEAN yaitu
Singapura, Brunei Darussalam, Malysia, Vietnam, dan Thailand termasuk negara
12
dengan angka kematian bayi rendah. 2 negara yaitu Filifina dan Indonesia
termasuk kelompok sedang. Sedangkan 3 negara lainnya masukdalam kelompok
negara yang memiliki angka kematian bayi tinggi. Tidak ada negara yang masuk
ke dalam kelompok anggka kematian bayi sangat tinggi (.100 per 1000 kelahiran
hidup).
Berdasarkan klasifikasi yang sama maka 2 negara di SEARO, yaitu Sri
Lngka dan Thailand masuk dalam kategori negara dengan angka kematian bayi
rendah, 5 kategori sedang dan sisanya, yaitu 4 termasuk kategori tingi.
Berdasarkan angka kematian bayi di negara-negara ASEAN dan SEARO
antara 2,4 dan 88 . Indonesia memilki angka kematian bayi 34 per 1000 kelahiran
hidup dan berada di peringkayt 10 di antara 18 negara tersebut.
3) Upaya kesehatan
Perbandingan upaya kesehatan di negara Indonesia dengan ASEAN dan
SEARO pada tahun 2000 sampai 2010 yang meliputi presentase KB aktif pada
PUS pada tahun 2011 Brunei Darrussalam dan Malaysia sebanyak 0%, Filifina
sebanyak 34%, Kamboja 35%, Laos 29%, Singapura 55%%, Vietnam 68%,
Myanmar 38%, Thailand 77%, Bangladesh 48, Bhutan 65%, India 47%, Korea
Utara 58%, Maladewa 27%, Nepal 44%, Sri Langka 53%, Timor Leste 21%, dan
Indonesia mempunyai presentase KB aktif pada PUS yaitu sebanyak 57%.
Perbandingan upaya kesehatan di negara Indonesia dengan ASEAN dan
SEARO pada tahun 2000 sampai 2010 yang meliputi pemeriksaan antenatal pada
tahun 2000 samapi 2010 yaitu Brunei Darrussalam, Malaysia, Singapura, Laos
dan Bhutan adalah sebanyak 0%, Filifina sebanyak 78%, Kamboja 27%, Vietnam
29%, Myanmar 43, Thailand 80%, Bangladesh 21, India 50%, Korea Utara 95%,
Maladewa 27%, Nepal 29%, Sri Langka 93%, Timor Leste 55%, dan Indonesia
mempunyai presentase pemeriksaan antenatal yaitu sebanyak 82%.
Perbandingan upaya kesehatan di negara Indonesia dengan ASEAN dan
SEARO pada tahun 2000 sampai 2010 yang meliputi presentase persalianan oleh
tenaga kesehatan pada tahun 2011 Brunei Darrussalam 100%, Malaysia sebanyak
62%, Filifina sebanyak 44%, Kamboja 20%, Laos 100%, Singapura 100%,
13
Vietnam 88%, Myanmar 37%, Thailand 99%, Bangladesh 18%, Bhutan 72%,
India 47%, Korea Utara 97%, Maladewa 95%, Nepal 19%, Sri Langka 99%,
Timor Leste 30%, dan Indonesia mempunyai presentase persalinan oleh tenaga
kesehatan yaitu sebanyak 73%.
Perbandingan upaya kesehatan di negara Indonesia dengan ASEAN dan
SEARO pada tahun 2000 sampai 2010 yang meliputi anak dengan ASI eksklusif
(6 bulan) pada tahun 2000 sampai 2012 yaitu Brunei Darrussalam, Singapura,
Malaysia adalah sebanyak 0%, Filifina sebanyak 34%, Kamboja 34%, Laos 66%,
Singapura 26%, Vietnam 17%, Myanmar 31, Thailand 15%, Bangladesh 43,
Bhutan 10%, India 46%, Korea Utara 65%, Maladewa 48%, Nepal 53%, Sri
Langka 76%, Timor Leste 52%, dan Indonesia mempunyai presentase anak
dengan ASI eksklusif (6 bulan)yaitu sebanyak 32%.
2.6 Analisa Situasi
1) Perencanaan
Program pemerintah untuk memberantas wabah DBD sampai saat ini
masih belum mencapai indikator keberhasilan yang optimal. Strategi yang
digunakan oleh Depkes RI pada awalnya digunakan untuk memberantas nyamuk
dewasa melalui pengasapan. Kemudian strategi dikembangkan dengan
penggunaan larvasida untuk memberantas jentik nyamuk yang ditaburkan di
tempat penampungan air (TPA). Akan tetapi strategi ini juga masih belum
berhasil yang dibuktikan dengan adanya peningkatan kasus dan meluasnya
wilayah yang terjangkit DBD.
Selain itu, penemuan mengenai obat dan vaksin untuk membunuh virus
dengue sampai saat ini masih belum ada, maka pemerintah berupaya untuk
mengatasi masalah DBD ini melalui pencegahan yang terbukti efektif untuk
memberantas sarang nyamuk, yaitu dengan membentuk program P2DBD, yaitu
Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN). Program PSN ini merupakan program
prioritas pemerintah yang berbasis masyarakat dan dilaksanakan oleh
masyarakat/keluarga secara teratur setiap seminggu sekali. Hal ini dikarenakan
14
wabah DBD dipengaruhi oleh lingkungan sehingga pelibatan masyarakat dalam
pemberantasan sarang nyamuk diharapkan dapat menurunkan kasus DBD.
Program PSN ini awalnya direncanakan untuk periode 2005-2010 melalui
Gerakan Serentak Pemberantasan Sarang Nyamuk (Gertak PSN). Tujuan dari
pembentukan PSN ini yaitu meningkatkan kesadaran dan kemauan hidup sehat
bagi setiap masyarakat agar terhindar dari penyakit DBD melalui terciptanya
masyarakat yang hidup dengan perilaku dan lingkungan yang sehat terbebas dari
penyakit DBD, serta memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan
kesehatan yang bermutu dan merata (Depkes RI, 2004). Tujuan khusus yang
ditetapkan oleh Depkes RI (2004), yaitu:
1. Menurunnya angka insiden kasus DBD sebesar 20/100.000 penduduk di
daerah endemis
2. Dicapainya penurunan insiden kasus DBD sebesar 5/100.000 penduduk pada
tahun 2010.
3. Tercapainya angka bebas jentik > 95%
4. Tercapainya angka kematian DBD < 1%
5. Daerah KLB DBD < 5%
Namun, ditinjau dari insiden kasus pada tahun 2011, Jawa Timur
mengalami pencapaian angka bebas jentik dibawah standar pemerintah. Hal ini
mengartikan bahwa masyarakat masih belum memiliki kesadaran tinggi akan
kemamuan hidup sehat bebas dari DBD. Perilaku masyarakat yang meningkatkan
lingkungan yang kurang sehat, terutama yang dapat menimbulkan pembentukan
sarang nyamuk baru perlu dibenahi dan masyarakat perlu diberdayakan agar kasus
DBD menjadi menurun.
Oleh karena itu, perpanjangan program perlu dilakukan mengingat
pencapaian indikator masih belum optimal. Strategi yang dapat dilakukan untuk
penanggulangan DBD menggunakan srtategi yang pernah dibentuk oleh Depkes
RI (2004), yaitu:
1. Pemberdayaan masyarakat
2. Peningkatan kemitraan berwawasan bebas dari penyakit DBD
3. Peningkatan profesionalisme pengelola program
15
4. Desentralisasi
5. Pembangunan berwawasan kesehatan lingkungan
Kegiatan PSN yang dapat dilakukan meliputi gerakan 3M plus,
pemeriksaan jentik berkala oleh petugas jumantik, dan abatisasi. Contoh anggaran
yang ditulis oleh Depkes RI (2005) untuk sasaran per desa/kelurahan per 100
sampel, yaitu:
Tabel 3. Contoh analisis satuan harga tahun 2005
Kegiatan Pemeriksaan Jentik Berkala (PJB)
No. Uraian volume Satuan Satuan
harga
(Rp)
Jumlah
biaya
(Rp)
1. Pemeriksaan jentik
berkala:
1. Gaji/upah
a. Petugas: 100/20 rmh x 4
kl
b. Kepala regu: 100/100
rmh x 4 kl
2. Bahan
3. Perj. Pengawasan
teknis ops. Kab.
a. Petugas puskesmas: 1 or
x 1 kl
b. Petugas kabupaten: 1 or
x 1 kl
20
4
1
1
1
OH
OH
PT
OH
OH
20.000
25.000
75.000
50.000
75.000
400.000
100.000
75.000
50.000
75.000
Jumlah 700.000
Untuk di wilayah Jember sendiri, penggalakan program PSN melalui
penyebaran JUMANTIK sebanyak 2.819 relawan selama musim hujan (Antara
News, 2009). Penyebaran jumantik ini bertujuan untuk mengajak masyarakat
melakukan gerakan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) di setiap wilayah
16
RT/RW dengan membentuk kegiatan “Jumat Bersih”. Meskipun demikian,
penyebaran petugas jumantik belum dapat memberikan hasil yang optimal. Hal ini
diakibatkan oleh kurangnya partisipasi masyarakat dalam melakukan PSN.
Terbukti dengan adanya sanitasi lingkungan yang buruk sehingga menyebabkan
peningkatan sarang nyamuk. Program selama ini yang sebenarnya ditujukan untuk
memberdayakan masyarakat justru belum berjalan dengan optimal akibat
kurangnya kesadaran masyarakat mengenai lingkungan sehat.
2) Pengorganisasian
Sistem administratif dalam upaya pengendalian DBD di Indonesia berada
di bawah Badan Perencanaan Pembangunan Nasiona (Bappenas) yang bekerja
sama dengan Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan (Ditjen P2PL) dan Departemen Kesehatan RI (Depkes RI).
Penanggulangan wabah DBD ini dimonitoring langsung oleh sub unit Ditjen
P2PL, yaitu unit penanggulangan penyakit menular akibat binatang. Unit ini akan
bekerjasama dengan perusahaan pemberantasan hama untuk memberantas hama
dengan menggunakan pestisida hygiene lingkungan.
Untuk di Dinas Kesehatan Kabupaten Jember, program pengendalian
DBD dipegang oleh bagian Bidang Pengendalian Penyakit dan Kesehatan
Lingkungan yang menaungi Puskesmas pada sub unit Pemberantasan Penyakit
Menular (P2M). Selain itu, Dinkes Kabupaten Jember juga membawahi rumah
sakit pemerintah dan rumah sakit swasta dalam rangka pengendalian DBD, serta
unit pelayanan kesehatan lain, seperti Balai Pengobatan, Poliklinik, dokter praktek
swasta, dan lain sebagainya.
Akan tetapi, pengorganisasian untuk penanggulangan DBD selama ini
kurang melibatkan TOGA dan TOMA. Selama ini, penjalanan program hanya
melibatkan sektor swasta/dunia usaha, LSM, dan organisasi kemasyarakatan yang
memiliki komitmen dalam penanggulangan penyakit. Masyarakat Jember yang
cenderung lebih menghormati TOGA dan TOMA seharusnya dapat terlibat dalam
program P2-DBD ini. Kemitraan bersama TOGA dan TOMA diharapkan mampu
17
menggerakkan masyarakat dalam penyehatan lingkungan, khususnya untuk
menanggulangi wabah DBD.
3) Pengarahan
Pengorganisasian mengenai upaya pengendalian DBD di Indonesia
berfokus pada sistem desentralisasi. Optimalisasi pendelegasian wewenang
pengelola program kepada kabupaten/kota karena angka kesakitan akibat DBD
bervariasi antar daerah masing-masing akibat perbedaan situasi dan kondisi
wilayah. Pengoordinasian pengendalian DBD meliputi koordinasi antar
pemerintah daerah karena penyebaran DBD tidak mengenal batas daerah. Bentuk
koordinasi antar pemerintah daerah meliputi pencegahan dan penanggulangan,
serta tular-menukar informasi (cross notification).
Selain berfokus pada pemerintah daerah dan instansi kesehatan daerah,
pemberdayaan masyarakat untuk meningkatkan peran aktif masyarakat dalam
pencegahan dan penanggulangan DBD merupakan kunci keberhasilan program.
Untuk itu, pemberdayaan masyarakat dalam dilakukan melalui KIE, sosial
marketing, advokasi, dan berbagai upaya penyuluhan kesehatan lainnya yang
dilakukan secara intensif dan berkesinambungan melalui berbagai sarana dan
media massa. Namun upaya pemberantasan DBD tidak hanya berfokus pada
sektor kesehatan, tetapi juga perlu melibatkan kemitraan melalui identifikasi
stake-holder untuk memadukan berbagai sumber daya yang tersedia.
Selain itu, perlunya pengadaan kemitraan bersama sektor terkait, yaitu
swasta/dunia usaha, LSM, dan organisasi kemasyarakatan yang komitmen dalam
penanggulangan DBD bersama kepala wilayah/pemerintah daerah untuk
menerapkan pembangunan yang berwawasan bebas penularan penyakit. Hal ini
juga perlu pemberdayaan SDM bidang kesehatan, berupa tenaga kesehatan RS
dan Puskesmas untuk mampu meningkatkan mutu pelayanan kesehatan dalam
rangka penurunan angka kematian akibat DBD.
18
4) Pengawasan
Pengawasan terhadap kegiatan pengendalian penyakit DBD dilakukan
secarta bertingkat, yaitu tingkat kota/kabupaten oleh wali kota/bupati, tingkat
kecamatan oleh camat, dan tingkat kelurahan oleh lurah.
Sistem pencatatan dan pelaporan kasus DBD berawal dari unit pelayanan
kesehatan selain puskesmas yang menemukan tersangka atau pasien DBD.
Pelaporan ke dinas kesehatan kabupaten/kota harus dilakukan sesegera mungkin
selambat-lambatnya 24 jam dengan tembusan ke puskesmas wilayah setempat.
Hal ini dilakukan untuk tindakan kewaspadaan dan perencanaan tindak lanjut
penanggulangannya. Puskesmas setempat juga wajib lapor kepada dinas kesehatan
kabupaten/kota sehingga pelaporan dapat dilakukan secara berjenjang ke dinas
kesehatan provinsi dan pusat. Untuk situasi Kejadian Luar Biasa (KLB),
pelaporan juga dilakukan berjenjang mulai dari unit pelayanan kesehatan selain
puskesmas hingga ke Ditjen PPM dan PL. Setelah dilakukan pengolahan laporan,
maka umpan balik pelaporan perlu dilaksanakan guna meningkatkan kualiatas dan
memelihara kesinambungan pelaporan, kelengkapan, dan ketepatan waktu
pelaporan, serta analisis terhadap laporan (Dinkes, 2006). Frekuensi umpan balik
oleh masing-masing tingkat administrasi dilaksanakan setiap tiga bulan, minimal
dua kali dalam setahun (Dinkes, 2006).
Namun kendala utama yang dihadapi dalam implementasi kebijakan
penanggulangan wabah penyakit menular dalam kasus DBD, yaitu:
a) Koordinasi antar instansi dan antar unit yang bertanggung jawab dalam
penanganan DBD masih belum optimal, khususnya dalam pelaksanaan
surveilans dan penanggulangan DBD
b) Koordinasi antara pusat dan daerah belum dilandasi suatu kebijakan
operasional yang jelas tentang kewenangan dan tanggung jawab masing-
masing
c) Sistem pengelolaan program penanganan penyakit menular masih didominasi
pusat
19
d) Tingginya beban puskesmas sebagai unit operasional utama di lapangan
dalam implementasi kebijakan penanggulangan wabah penyakit menular
(Bappenas, 2006).
20
BAB 3. MASALAH PROGRAM MANAJEMEN PELAYANAN KESEHATAN
3.1 Analisis Masalah Fish Bone
21
Kurangnya pelibatan TOGA dan TOMA dalam pelaksanaan program
Masalah Manajemen:
1. Sistem pelaporan belum terintegrasi dan belum ada mekanisme tukar menukar (sinkronisasi) antara data Puskesmas dan data RS di Kab/Kota.
2. Koordinasi antar instansi dan antar unit yang bertanggung jawab dalam penanganan DBD masih belum optimal, khususnya dalam pelaksanaan surveilans dan penanggulangan DBD
3. Koordinasi antara pusat dan daerah belum dilandasi suatu kebijakan operasional yang jelas tentang kewenangan dan tanggung jawab masing-masing
4. Sistem pengelolaan program penanganan penyakit menular masih didominasi pusat
5. Tingginya beban puskesmas sebagai unit operasional utama di lapangan dalam implementasi kebijakan penanggulangan wabah penyakit menular
planning organizing
Kurangnya pelibatan kemitraan untuk penanggulangan DBD
Belum optimalnya program P2-DBD
Belum adanya kejelasan koordinasi jumantik
Belum adanya kejelasan kebijakan daerah mengenai P2-DBD
Keterbatasan dana untuk pelaksanaan program
Belum adanya kejelasan pembagian wewenang dalam pelaksanaan program
Kurang optimalnya program pemberdayaan masyarakat
Kurangnya motivasi masyarakat untuk melakukan PSN
Kurang optimalnya program pemberdayaan SDM bidang kesehatan
Keterlambatan pelaporan kasus
Kurangnya koordinasi antar pemerintah daerah
Belum optimal kegiatan supervisi program P2-DBD
actuatingcontrolling
3.2 Daftar Masalah Manajemen Pelayanan Kesehatan
1. Belum efektifnya program P2-DBD berhubungan dengan program
pemberdayaan masyarakat tidak efektif
2. Kurangnya pelibatan kemitraan untuk penanggulangan DBD berhubungan
dengan belum adanya kejelasan pembagian wewenang dalam pelaksanaan
program
3.3 Prioritas masalah
Tabel 4. Penentuan Peringkat Masalah
No Masal
ah
Besarnya
Masalah
Tingkat
Kegawata
n Masalah
Kemudahan
Penanggulang
an Masalah
P E A R L
0-10 0-10 0,5-1,5 0/1 0/1 0/1 0/1 0/1
1 1 8 8 1 1 1 1 1 1
2 2 7 5 1 1 1 1 1 1
22
BAB 4. PERENCANAAN
4.1 Perencanaan
Tabel 5. Rencana Program Manajemen Pelayanan Kesehatan Penyakit Global
No Diagnosa Tujuan Rencana Kegiatan Aktivitas Evaluasi
Indikator Evaluator
1. Belum efektifnya
program P2-DBD di RW
X berhubungan dengan
program pemberdayaan
masyarakat tidak efektif
ditandai dengan:
kesadaran dan kemauan
masyarakat akan hidup
sehat masih rendah,
pengetahuan masyarakat
tentang pertolongan
pertama pasien DBD
kurang, dan supervisi
TUM:
Program P2-DBD di RW X berjalan efektif setelah dilakukan pembinaan selama 1 minggu
TUK:
Tersedianya layanan kesehatan DBD di komunitas
1. Pembentukan mini organisasi (minor) P2-DBD melalui Pos DBD Desa (Pos DeDe) dan kader DBD
1.1 Membentuk mini organisasi (minor) P2-DBD beserta struktur dan pembagian kerjanya
1.2 Menyusun program kerja minor P2-DBD
1.1.1 Terdapatnya struktur minor P2-DBD di RW X
1.1.2 terdapatmya pembagian kerja dan penanggung jawab program
1.1.3 terdapatnya struktur pengurus minor P2-DBD di RW
1.1.4 terdapatnya pembagian kerja kader di RW
1.2.1 terbentuknya rencana kegiatan minor
Mahasiswa
Masyarakat
Petugas puskesmas
Mahasiswa
23
program kurang optimal. yang terhimpun dalam program P2-DBD dan difasilitasi oleh tenaga kesehatan dan TOMA
P2-DBD di tingkat RW
1.2.2 Tersedianya pelayanan DBD melalui Pos DBD Desa (Pos DeDe) dan Kader DBD
Masyarakat
Petugas puskesmas
2. Kurangnya pelibatan
kemitraan untuk
penanggulangan DBD di
RW X berhubungan
dengan belum adanya
kejelasan pembagian
wewenang dalam
pelaksanaan program
ditandai dengan: tidak
adanya pelibatan
TOMA/TOGA dalam
implementasi program
TUM:
Pembentukan kemitraan TOGA/TOMA terkait program P2-DBD di RW X berjalan efektif setelah dilakukan pembinaan selama 1 minggu
TUK:
Tersedianya layanan
2. Pembentukan kemitraan melalui pemberdayaan TOGA/TOMA
2.1 Membentuk pelatihan TOGA/TOMA terkait program P2-DBD
2.1.1 terlaksanakannya pelatihan TOMA/TOGA
2.1.2 terdapat pembagian kerja dan tanggung jawab pada TOMA/TOGA dan kader DBD
2.1.3 terdapatnya kerjasama antara TOGA/TOMA dan kader DBD
Mahasiswa
Masyarakat
Kader
24
kesehatan DBD di komunitas yang terhimpun dalam program P2-DBD dan difasilitasi oleh kader DBD
4.2 POA (Plan of Action)
Tabel 6. Plan of Action (PoA)
No Rencana Kegiatan Tujuan Kegiatan Sumberdaya
Penanggung Jawab Waktu Pelaksanaan
Alokasi Dana Tempat Pelaksanaan
1 Pembentukan mini organisasi (minor) P2-DBD melalui Pos DBD Desa (Pos DeDe) dan kader DBD
1. Terbentuknya kader DBD
2. Melaksanakan pelatihan
kader oleh
dinkes/puskesmas secara
berkala
Mahasiswa
Masyarakat
Pihak Puskesmas
Minggu I s/d minggu II
Swadana Masyarakat
Donatur
RW X
25
3. Terbentuknya Pos DBD
Desa (Pos DeDe)
4. Kader terlatih mampu
memberikan pelayanan
secara mandiri
2. Pembentukan kemitraan melalui pemberdayaan TOGA/TOMA
1. Terselenggaranya
program P2-DBD
2. Peningkatan partisipasi
masyarakat untuk
menjalankan program
akibat adanya motivasi
dari TOMA/TOGA
Mahasiswa
Masyarakat
Pihak swasta
Puskesmas
Minggu I s/d minggu II
Swadana masyarakat
Donatur
RW X
26
BAB 5. IMPLEMENTASI
5.1 Pilot Project
a. Judul Program: Pembentukan Kader DBD
b. Desripsi Komunitas:
Komunitas di RW X merupakan masyarakat yang memiliki
kemauan rendah dalam program hidup sehat. Padahal, RW X merupakan
desar yang setiap tahunnya memiliki pasien DBD. Masyarakat juga kurang
mengerti mengenai pencegahan DBD dan pembentukan lingkungan sehat
agar terhindar dari wabah DBD. Program DBD yang dijalankan
pemerintah kurang mendapat respon positif dari masyarakat sehingga
perlu adanya pembentukan kader DBD untuk membantu mengendalikan
wabah DBD di RW X.
c. Diagnosis Manajemen Pelayanan Kesehatan Komunitas:
Belum efektifnya program P2-DBD di RW X berhubungan dengan
program pemberdayaan masyarakat tidak efektif
d. Deskripsi Populasi Target
Masyarakat RW X belum menyadari program penanggulangan
DBD. Adanya ketidakmauan dan ketidaktahuan dalam penanggulangan
DBD menjadi masalah utama bagi komunitas di RW X.
e. Model Program Perencanaan
Gambar 1. Model program Perencanaan
27
puskesmas mahasiswa
Pos DBD Desa
TOMA/TOGAKader DBD
Kelompok Resiko/kasus
f. Deskripsi program
Program ini dilaksanakan sebagai salah satu bentuk strategi pemerintah
dalam penanggulangan DBD yang berbasis masyarakat sesuai program P2-DBD.
Program ini diadop dari program pemberantasan malaria melalui Pos Malaria
Desa dan Kader Malaria. Pelaksanaan program ini perlu membangun kemitraan
antara Puskesmas sebagai pemegram program pemberdayaan masyarakat dan
P2M bersama tokoh masyarakat atau tokoh agama untuk membentuk kader DBD
dan memberdayakan komunitas yang merupakan kelompok resiko atau kasus
DBD. Peran mahasiswa di sini adalah sebagai fasilitator dan advokasi program
antara pemerintah dan masyarakat.
Program pemberdayaan kader DBD ini memiliki alur seperti gambar
diatas (gambar 1) tersebut. Mahasiswa berperan dalam membentuk koordinasi
dengan puskesmas terkait program yang telah direncanakan. Hasil koordinasi
antara mahasiswa dan puskesmas yaitu pembentukan kader DBD di RW X yang
didukung oleh tokoh masyarakat atau tokoh agama setempat sehingga dibentuk
sub unit Pos DBD Desa (Pos DeDe) di wilayah tersebut.
Rasionalisasi pembentukan Pos DBD Desa ini adalah untuk memberikan
pelayanan kesehatan dasar, berupa penanggulangan wabah dan pertolongan
pertama pada pasien DBD pada wilayah endemis DBD yang termasuk dalam desa
terpencil dengan akses pelayanan kesehatan dan sosial-ekonomi masyarakat
tergolong rendah. Hal ini berguna dalam menurunkan beban kerja Puskesmas
dalam penanggulangan wabah penyakit menular.
Pemberdayaan kader desa ini dilakukan melalui pelatihan kader untuk
memberikan KIE, menggalakkan PSN, dan memberikan pertolongan pertama
pada pasien DBD sesuai dengan program Depkes RI. Pelaksanaan program ini
akan difasilitasi dalam pembentukan jadwal rutin kunjungan dan struktur
organisasinya sehingga diharapkan program pemerintah mengenai P2-DBD dapat
berjalan optimal dan dapat menekan jumlah kasus DBD.
28
g. Tujuan program
Adapun tujuan dari pembentukan kader DBD, yaitu untuk
mengembangkan pelayanan Pos DBD Desa sesuai dengan tugas kader, yaitu
menemukan kasus, merujuk masien, melakukan penyuluhan dan upaya PSN
bersama masyarakat desa, dan memberikan pertolongan pertama pada pasien
DBD. Selain itu, Pos DBD Desa memiliki tujuan, yaitu:
a) Meningkatkan jangkauan penemuan kasus DBD melalui peran aktif
masyarakat dan dirujuk ke fasilitas kesehatan setempat
b) Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pencegahan DBD
h. Kriteria evaluasi
Kriteria evaluasi yang disusun adalah sebagai berikut.
1) Terdapatnya struktur minor P2-DBD di RW X
2) terdapatmya pembagian kerja dan penanggung jawab program
3) Terdapatnya struktur pengurus minor P2-DBD di RW
4) Terdapatnya pembagian kerja kader di RW
5) terbentuknya rencana kegiatan minor P2-DBD di tingkat RW
6) Tersedianya pelayanan DBD melalui Pos DBD Desa (Pos DeDe) dan Kader
DBD
i. Aktivitas intervensi program
Aktivitas yang dilakukan untuk mencapai tujuan program, yaitu memberikan
pengarahan kepada calon kader DBD terkait penanggulangan DBD melalui
pembentukan Pos DBD Desa bersama tokoh masyararakat maupun tokoh agama
setempat.
j. Sumber-sumber dan keterbatasan
Sumber-sumber yang dapat menjadi pendukung dalam pelaksanaan
program, yaitu adanya kegiatan perkumpulan masyarakat dan sistem gotong
royong yang diterapkan pada masyarakat desa. Adanya kegiatan perkumpulan
29
masyarakat dapat menjadi sarana untuk implementasi program. Selain itu,
masyarakat desa yang masih memiliki rasa gotong royong yang tinggi tidak
terlalu menjadi persoalan yang sulit untuk mencapai tujuan program ini.
Namun ada beberapa kendala yng harus dihadapi, yaitu pada waktu
sosialisasi karena umumnya masyarakat desa bekerja sepanjang hari sehingga
koorninasi warga untuk berkumpul pada jam dinas (siang hari) juga sedikit
menemui kendala. Selain itu, jumlah TOMA/TOGA juga tidak selalu mencukupi
jika pelaksanaan program harus dilakukan dalam wilayah yang lebih luas. Selain
itu, melibatkan TOMA/TOGA juga harus disesuaikan dengan keseragaman
jadwal. Kendala lain yang akan dihadapi, yaitu masalah keterbatasan dana karena
umumnya wilayah endemis yang terpencil memiliki masyarakat yang berstatus
ekonomi ke bawah, terutama dalam hal pembiayaan transportasi dan pendirian
Pos DBD Desa, kecuali jika ada yang memberikan tempat/ruang untuk pendirian
Pos DBD Desa tersebut.
k. Rencana dana
Tabel 7. Rancangan Dana Kegiatan
No. Kriteria rincian Biaya
1. Persediaan ATK
Konsumsi peserta dan tamu
Transportasi petugas
5 or x 1 kl
12 or x 1 kl
2 or x 1 kl
25.000
120.000
40.000
jumlah 185.000
Sampel: 1 RW dan 3 RT
5.2 Tingkat Kegiatan Implementasi di KomunitasTabel 8. Tingkat Kegiatan Implementasi
No Level Target Intervensi
1 Downstream Individu Pendidikan kesehatan
Konseling
30
2 Midstream Komunitas Kemitraan dengan masyarakat
Pembentukan Kader DBD
3 Upstream Pemerintah Koordinasi dengan Puskesmas terkait keberlangsungan Program
31
BAB 6. EVALUASI
Kriteria evaluasi yang disusun adalah sebagai berikut.
1) Terdapatnya struktur minor P2-DBD di RW X
2) terdapatmya pembagian kerja dan penanggung jawab program
3) Terdapatnya struktur pengurus minor P2-DBD di RW
4) Terdapatnya pembagian kerja kader di RW
5) terbentuknya rencana kegiatan minor P2-DBD di tingkat RW
6) Tersedianya pelayanan DBD melalui Pos DBD Desa (Pos DeDe) dan Kader
DBD
6.1 Evaluasi Formatif
Program ini dikembangkan berdasarkan strategi pemerintah melalui
pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan peran masyarakat dilakukan dengan
pemanfaatan sumber daya yang ada untuk mendukung pencapaian tujuan
program. Pencapaian program perlu didukung dengan adanya kemitraan antar
sektor, baik pemerintah maupun swasta bersama dengan masyarakat setempat
sebagai sasaran utama pelaksanaan program ini. Pembentukan program ini tidak
terlepas dari hasil identifikasi data pengkajian yang didapat dari data statistik dan
wawancara pada pihak terkait, yaitu puskesmas, pemerintah daerah, dan tokoh
masyarakat atau tokoh agama setempat. Hal ini berguna dalam pemberian
dukungan untuk menekan penyebaran penyakit menular melalui pemberdayaan
masyarakat dan pembentukan kader DBD sebagai langkah awal untuk menekan
krisis akibat penyakit DBD.
6.2 Evaluasi Proses
Implementasi dari program yang akan dijalankan berupa pemberian
pengarahan kepada calon kader DBD yang berasal dari masyarakat setempat
untuk membentuk struktur organisasi mini P2-DBD dan pembentukan Pos DBD
Desa dengan didukung oleh TOMA/TOGA. Pengarahan kader DBD berguna
untuk melatih kader dalam pemberian KIE dan penggalakan program PSN, serta
32
pemberian pertolongan pertama untuk suspek DBD. Pembentukan Pos DBD Desa
sebagai wadah masyarakat untuk menjalankan program penanggulangan DBD
secara berkesinambungan sesuai dengan tujuan dari Pos DBD Desa tersebut.
6.3 Evaluasi Sumatif
Pembentukan kader DBD yang didukung oleh TOMA/TOGA setempat
dapat memberikan motivasi kepada masyarakat untuk menumbuhkan kesadaran
akan kepedulian dalam penanggulangan wabah DBD. Adanya pembentukan
kesadaran pada masyarakat diharapkan masyarakat peduli dan mampu mengubah
perilaku menjadi adaptif melalui partisipasi masyarakat dalam penanggulangan
DBD sehingga diharapkan masyarakat menjadi bebas DBD dan wilayah tersebut
siap menjadi salah satu Desa Siaga.
33
BAB 7. PENUTUP
7.1 Kesimpulan
Penyakit demam berdarah (DBD) merupakan penyakit menular yang
menyebabkan jumlah pasien demam berdarah dengue di Jawa Timur mencapai
26.059 orang dengan angka kesakitan (IR) sebesar 68,53/100.000 penduduk
sehingga pemerintah berupaya membentuk program untuk memberantas wabah
DBD melalui pencegahan yang terbukti efektif untuk memberantas sarang
nyamuk, yaitu dengan membentuk program P2DBD. Strategi yang dapat
dilakukan untuk penanggulangan DBD menggunakan srtategi yang pernah
dibentuk oleh Depkes RI (2004), yaitu pemberdayaan masyarakat, peningkatan
kemitraan berwawasan bebas dari penyakit DBD, peningkatan profesionalisme
pengelola program, desentralisasi, dan pembangunan berwawasan kesehatan
lingkungan
Namun salah satu kendala utama yang dihadapi dalam implementasi
kebijakan penanggulangan wabah penyakit menular dalam kasus DBD, yaitu
tingginya beban puskesmas sebagai unit operasional utama di lapangan dalam
implementasi kebijakan penanggulangan wabah penyakit menular. Oleh karena
itu, pembentukan mino organisasi P2-DBD melalui pembentukan Kader DBD dan
Pos DBD Desa diharapkan mampu menekan angka insiden kasus DBD.
7.2 Saran
Kemitraan merupakan sarana penting dalam pelaksanaan program. Hal ini
tentunya memerlukan sistem koordinasi yang baik antara petugas pelayanan
kesehatan, khususnya puskesmas dengan sektor lain yang terkait, baik pemerintah
maupun swasta bersama masyarakat untuk mencapai hasil pencapaian program
secara optimal.
34
DAFTAR PUSTAKA
Antara News. 2011. Dinkes Jember Siagakan 2.819 Jumantik Antisipasi DB.
http://jatim.antaranews.com/lihat/berita/75422/dinkes-jember-siagakan-
2819-jumantik-antisipasi-db [3 Maret 2013].
Bappenas. 2006. Laporan Kajian Kebijakan Penanggulangan (Wabah) Penyakit
Menular: Studi Kasus DBD. Jakarta: Bappenas.
BPS. 2013. Pertumbuhan Ekonomi Jawa Timur Triwulan II Tahun 2012 (y-on-y)
mencapai 7, 24 persen. Surabaya: BPS Provinsi Jawa Timur [serial on
line]. http://jatim.bps.go.id/index.php/pelayanan-statistik/brs-jawa-timur/
brs-pdrb-jatim/241-pertumbuhan-ekonomi-jawa-timur-triwulan-iii-tahun-
2012-y-on-y-mencapai-724-persen [1 Maret 2013].
BPS. 2010. Sensus Penduduk 2010. Badan Pusat Statistik Indonesia [serial
online]. http://sp2010.bps.go.id/ [26 Februari 2013].
Depkes. Tanpa tahun. Database Kesehatan Per Kabupaten. Kemenkes RI [serial
on line]. http://www.bankdata.depkes.go.id/propinsi/public/report/ [1
Maret 2013].
Depkes. 2005. Pencegahan Dan pemberantasan Demam Berdarah Dengue di
Indonesia. Jakarta: Ditjen P2PL.
Depkes. 2004. Kebijakan Program P2-DBD Dan Situasi terkini DBD Di
Indonesia. Jakarta: Dirjen P2M PL.
Kemenkes RI. 2010. Buletin Jendela Epidemiologi. Jakarta: Kemenkes RI.
Kemenko RI. 2011. Indonesia Economy Observation 2011-2012: Membangun
Sinergi Untuk Menghadapi Gejolak Ekonomi. Jakarta: Kementrian
Koordinator Bidang Ekonomi Republik Indonesia.
Pemda Depok. Tanpa tahun. Strategi pengendalian demam berdarah dengue
(DBD) [serial on line]. http://www.depok.go.id/02/04/2011/03-kesehatan-
kota-depok/strategi-pengendalian-demam-berdarah-dengue-dbd [1 Maret
2013].
35