Kebijakan Dan Prosedur Managemen Nyeri Di Rumah Sakit ( Lidya Fitriana, SKep )
Pilihan Utama Anti Nyeri Untuk Managemen Nyeri
-
Upload
irma-aurora -
Category
Documents
-
view
149 -
download
4
Transcript of Pilihan Utama Anti Nyeri Untuk Managemen Nyeri
PILIHAN UTAMA ANTI NYERI UNTUK MANAGEMEN NYERI AKUT
ABDOMEN
PENDAHULUAN
Nyeri adalah bentuk pengalaman sensorik dan emosional yang tidak
menyenangkan yang berhubungan dengan adanya kerusakan jaringan atau suatu
keadaan yang menunjukkan kerusakan jaringan.
Berdasarkan batasan tersebut di atas, terdapat dua asumsi perihal nyeri, yaitu :
Pertama, bahwa persepsi nyeri merupakan sensasi yang tidak
menyenangkan, berkaitan dengan pengalaman emosional menyusul adanya
kerusakan jaringan yang nyata (pain with nociception). Keadaan nyeri
seperti ini disebut sebagai nyeri akut.
Kedua, bahwa perasaan yang sama dapat juga terjadi tanpa disertai dengan kerusakan jaringan yang nyata (pain without nociception). Keadaan nyeri seperti ini disebut sebagai nyeri kronis.
Nyeri juga dapat berperan sebagai penuntun diagnostik, karena dengan
adanya nyeri pada daerah tertentu, proses yang terjadi pada seorang pasien dapat
diketahui, misalnya, nyeri aabdomen yang dirasakan oleh seorang pada daerah
perut kanan bawah, kemungkinan pasien tersebut menderita radang usus buntu.
Akut abdomen merupakan sebuah terminologi yang menunjukkan adanya keadaan
darurat dalam abdomen yang dapat berakhir dengan kematian bila tidak
ditanggulangi dengan pembedahan. Keadaan darurat dalam abdomen dapat
disebabkan karena perdarahan, peradangan, perforasi atau obstruksi pada alat
pencemaan. Peradangan bisa primer karena peradangan alat pencernaan seperti
pada apendisitis atau sekunder melalui suatu peritonitis karena perforasi tukak
lambung, perforasi dari Payer’s patch,pada typhus abdominalis atau perforasi
akibat trauma (Dombal and Margulies, 1996).
Akut abdomen meliputi 20-40% dari pasien rawat inap, dan 50-65% dari kasus
akut abdomen tidak memiliki diagnosis awal yang akurat (Dombal and Margulies,
1996). Dalam sebuah penelitian, diperoleh data bahwa penyebab terbanyak akut
abdomen adalah nyeri abdomen non spesifik (33,0%), diikuti dengan apendisitis
akut (23,3%) dan kolik bilier (8,8%). Nyeri abdomen non spesifik banyak terdapat
pada wanita muda, sedangkan apendisitis akut banyak pada pria muda, dan kolik
bilier pada wanita tua. Hampir separuh kasus akut abdomen memerlukan tindakan
operatif (Miettinen, et al, 1996).
Pada akut abdomen, apapun penyebabnya, gejala utama yang menonjol adalah
nyeri akut pada daerah abdomen. Kadang-kadang penyebab utama sudah jelas
seperti pada trauma abdomen berupa vulnus abdominis penetrans namun kadang-
kadang diagnosis akut abdomen baru dapat ditegakkan setelah pemeriksaan fisik
serta pemeriksaan tambahan berupa pemeriksaan laboratorium serta pemeriksaan
radiologi yang lengkap dan masa observasi yang ketat (Dombal and Margulies,
1996).
Pasien akut abdomen dapat jatuh pada kondisi yang mengancam nyawa. Oleh
karena itu, dalam penanganannya diperlukan diagnosis awal, pemeriksaan
penunjang, dan penatalaksanaan yang tepat.
Nyeri akut abdomen adalah salah satu keluhan utama pasien yang paling
umum di bagian gawat darurat dan merupakan 6,4% dari 100 juta pasien yang
berkunjung ke unit gawat darurat setiap tahun. 25% dari bedah umum.
sebagai keluhan utama, nyeri abdominal. Dalam banyak perawatan akut,
analgesik sering ditahan pada pasien dengan nyeri abdomen akut karena takut
bahwa hal itu dapat mengubah temuan pemeriksaan fisik, menunda diagnosis dan
pengobatan. Kepentingan komunitas medis dan pemahaman rasa sakit yang
berkembang dan ke banyak, sekarang adalah tanda vital kelima. Kemajuan dalam
pengelolaan nyeri kronis dan akhir dari masalah kehidupan juga telah
memfokuskan perhatian pada efek samping nyeri yang tidak hilang.
Garis besar strategi terapi farmakologi mengikuti WHO Three-step
Analgesic Ladder. Tiga langkah tangga analgesik meurut WHO untuk pengobatan
nyeri itu terdiri dari :
1. Pada mulanya, langkah pertama, hendaknya menggunakan obat analgesik non opiat.
2. Apabila masih tetap nyeri naik ke tangga/langkah kedua, yaitu ditambahkan obat opioid lemah misalnya kodein.
3. Apabila ternyata masih belum reda atau menetap maka, sebagai langkah ketiga, disarankan untuk menggunakan opioid keras yaitu morfin.
Pada dasarnya prinsip Three Step Analgesic Ladder dapat diterapkan
untuk nyeri kronik maupun nyeri akut, yaitu :
1. Pada nyeri kronik mengikuti langkah tangga ke atas 1-2-3
2. Pada nyeri akut, sebaliknya, mengikuti langkah tangga ke bawah 3-2-1
Pada setiap langkah, apabila perlu dapat ditambahkan adjuvan atau obat
pembantu. Berbagai obat pembantu (adjuvant) dapat bermanfaat dalam masing-
masing taraf penaggulangan nyeri, khususnya untuk lebih meningkatkan
efektivitas analgesik, memberantas gejala-gejala yang menyertai, dan kemampuan
untuk bertindak sebagai obat tersendiri terhadap tipe-tipe nyeri tertentu.
Obat adalah bentuk pengendalian nyeri yang paling sering digunakan.
Terdapat tiga kelompok obat nyeri yaitu analgesik non opioid, analgesik opioid
dan antagonis dan agonis-antagonis opioid. Kelompok keempat obat disebut
adjuvan atau koanalgesik. Penatalaksanaan farmakologik dengan obat-obat
analgesik harus digunakan dengan menerapkan pendekatan bertahap. Ada pula
mengatasi nyeri secara terpadu yaitu bila pada proses transduksi diberikan
NSAID, bila pada proses transmisi diberikan anestesi lokal, dan bila pada proses
modulasi diberikan narkotik.
1. Analgesik non-opioid (obat anti inflamasi non steroid/OAINS)
Langkah pertama, sering efektif untuk penatalaksanaan nyeri ringan
sampai sedang, menggunakan analgesik nonopioid, terutama asetaminofen
(tylenol) dan OAINS. Tersedia bermacam-macam OAINS dengan efek
antipiretik, analgesik, dan anti inflamasi (kecuali asetaminofen). OAINS yang
sering digunakan adalah asam asetil salisilat (aspirin) dan ibuprofen (advil).
OAINS sangat efektif untuk mengatasi nyeri akut derajat ringan, penyakit
meradang yang kronik seperti artritis, dan nyeri akibat kanker ringan.
Pembagian Obat Anti Inflamasi Non Steroid
OAINS mengahasilkan analgesia dengan bekerja di tempat cedera
melalui inhibisi sintesis prostaglandin dari prekursor asam arakidonat.
Prostaglandin mensensitisasi nosiseptor dan bekerja secara sinergis dengan
produk inflamatorik lain di tempat cedera, misalnya bradikinin dan histamin,
untuk menimbulkan hiperalgesia. Dengan demikian, OAINS mengganggu
mekanisme transduksi di nosiseptor dengan menghambat sintesis
prostaglandin.
Berbeda dengan opioid, OAINS tidak menimbulkan ketergantungan atau
toleransi fisik. Semua memiliki ceiling effect yaitu peningkatan dosis
melebihi kadar tertentu tidak menambah efek analgesik. Penyulit yang
tersering berkaitan dengan pemberian OAINS adalah gangguan saluran cerna,
meningkatnya waktu pendarahan, pengelihatan kabur, perubahan minor uji
fungsi hati, dan berkurangnya fungsi hati, dan berkurangnya fungsi ginjal.
2. Analgesik opioid
Opioid saat ini adalah analgesik paling kuat yang tersedia dan
digunakan dalam pengobatan nyeri sedang sampai berat. Obat-obat ini
merupakan patokan dalam pengobatan nyeri pasca operasi dan nyeri terkait
kanker. Morfin adalah suatu alkaloid yang berasal dari getah tumbuhan
opium poppy yang telah dikeringkan dan telah digunakan sejak berabad-abad
yang lalu karena efek analgesik, sedatif dan euforiknya. Morfin adalah salah
satu obat yang paling luas digunakan untuk mengobati nyeri berat dan masih
standar pembanding untuk menilai obat analgesik lain.
Berbeda dengan OAINS, yang bekerja di perifer, morfin
menimbulkan efek analgesiknya di sentral. Mekanisme pasti kerja opioid
telah semakin jelas sejak penemuan resptor-reseptor opioid endogen di sistem
limbik, talamus, PAG, substansia gelatinosa, kornu dorsalis dan usus. Opioid
endogen seperti morfin menimbulkan efek dengan mengikat reseptor opioid
dengan cara serupa dengan opioid endogen (endorfin-enkefalin); yaitu morfin
memiliki efek agonis (meningkatkan kerja reseptor). Dengan mengikat
reseptor opioid di nukleus modulasi-nyeri di batang otak, morfin
menimbulkan efek pada sistem-sistem desenden yang menghambat nyeri.
Obat-obat golongan opioid memiliki pola efek samping yang sangat
mirip termasuk depresi pernafasan, mual, muntah, sedasi, dan konstipasi.
Selain itu, semua opioid berpotensi menimbulkan toleransi, ketergantungan
dan ketagihan (adiksi). Toleransi adalah kebutuhan fisiologik untuk dosis
yang lebih tinggi untuk mempertahankan efek analgesik obat. Toleransi
terhadap opioid tersebut diberikan dalam jangka panjang, misalnya pada
terapi kanker. Walaupun terdapat toleransi silang yang cukup luas diantara
obat-obat opioid, hal tersebut tidaklah komplete. Misalnya codein, tramadol,
morfin solutio.
Mekanisme kerja obat untuk nyeri
3. Antagonis dan agonis-antagonis opioid
Antagonis opioid adalah obat yang melawan efek obat opioid dengan
mengikat reseptor opioid dan menghambat pengaktifannya. Nalokson, suatu
antagonis opioid murni, menghilangkan analgesia dan efek samping opioid.
Nalokson digunakan untuk melawan efek kelebihan dosis narkotik, yaitu
yang paling serius adalah depresi nafas dan sedasi.
Obat opioid lain adalah kombinasi agonis dan anatagonis, seperti
pentazosin (talwin) dan butorfanol (stadol). Apabila diberikan kepada pasien
yang bergantung pada narkotik, maka obat-obat ini dapat memicu gejala-
gejala putus obat. Agonis-antagonis opioid adalah analgetik efektif apabila
diberikan tersendiri dan lebih kecil kemungkinannya menimbulkan efek
samping yang tidak diinginkan (misalnya depresi pernafasan) dibandingkan
dengan antagonis opioid murni.
4. Adjuvan atau koanalgesik
Obat adjuvan atau koanalgetik adalah obat yang semula
dikembangkan untuk tujuan selain menghilangkan nyeri tetapi kemudian
ditemukan memilki sifat analgetik atau efek komplementer dalam
penatalaksanaan pasien dengan nyeri. Sebagian dari obat ini sangat efektif
dalam mengendalikan nyeri neuropatik yang mungkin tidak berespon
terhadap opioid.
Anti kejang, seperti karbamazepin atau fenitoin (dilantin), telah
terbukti efektif untuk mengatasi nyeri menyayat yang berkaitan dengan
kerusakan saraf. Anti kejang ini efektif untuk nyeri neuropatik karena obat
golongan ini menstabilkan membran sel saraf dan menekan respon akhir di
saraf.
Antidepresan trisiklik, seperti amitriptilin atau imipramin, adalah
analgetik yang sangat efektif untuk nyeri neuropatik serta berbagai penyakit
lain yang menimbulkan nyeri. Aplikasi-aplikasi spesifik adalah terapi untuk
neuralgia pasca herpes, invasi struktur saraf karena karsinoma, nyeri pasca
bedah, dan artritis reumatoid. Pada pengobatan untuk nyeri, antidepresan
trisiklik tampaknya memiliki efek analgetik yang independen dari aktivitas
antidepresan.
Obat adjuvan lain yang bermanfaat dalam pengobatan nyeri adalah
hidroksizin (vistaril), yang memiliki efek analgetik pada beberapa penyakit
dan efek aditif apabila diberikan bersama morfin; pelemas otot misalnya
diazepam (valium), yang digunakan untuk mengobati kejang otot yang
berkaitan dengan nyeri; dan steroid misalnya dexametason, yang telah
digunakan untuk mengendalikan gejala yang berkaitan dengan kompresi
medula spinalis atau metastasis tulang pada pasien kanker.
Adjuvan lain untuk analgesia adalah agonis reseptor adrenergik-alfa
(misalnya, agonis alfa-2, klonidin), yang sering diberikan secara intraspinal
bersama dengan opioid atau anestetik lokal; obat ini juga memiliki efek
analgetik apabila diberikan secara sistemis karena memulihkan respons
adrenergik simpatis yang berlebihan di reseptor sentral dan perifer. Antagonis
alfa-1, prazosin, juga pernah digunakan dalam penatalaksanaan nyeri yang
disebabkan oleh sistem simpatis. Efek samping utama dari obat-obat ini
adalah hipotensi dan potensial depresi pernafasan yang diinduksi oleh opioid.
TINJAUAN NYERI SECARA UMUM
Definisi
Walaupun nyeri sudah seumur dengan keberadaan manusia di dunia ini
namun definisi nyeri baru dapat disepakati pada tahun 1979 yang dikemukakan
oleh IASP. Oleh IASP (International Association For the Study of Pain), nyeri
didefinisikan sebagai “unplesant sensory and emotional experience associated
with actual or potential tissue damage or described term of such damage”.
Nyeri adalah perasaan yang tidak menyenangkan dan pengalaman
emosional akibat adanya kerusakan jaringan yang nyata atau berorientasi rusak
atau tergambar sebagai adanya kerusakan itu. Dari definisi ini dapat ditarik dua
kesimpulan, yang pertama bahwa persepsi nyeri merupakan sensasi yang tidak
menyenangkan dan pengalaman emosional menyusul adanya kerusakan jaringan
yang nyata (pain with nociception). Yang kedua, perasaan yang sama juga timbul
tanpa adanya kerusakan jaringan yang nyata. (pain without nociception).
Dengan kata lain nyeri pada umumnya terjadi akibat adanya kerusakan
jaringan yang nyata, keadaan mana tersebut sebagai nyeri akut. Namun terdapat
juga suatu keadaan dimana timbul keluhan nyeri tanpa adanya kerusakan
jarinagan yang nyata atau nyeri timbul setelah proses penyembuhan usai, keadaan
mana tersebut sebagai nyeri kronik misalnya nyeri kronik.
fisiologi nyeri
Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima
rangsang nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung
syaraf bebas dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secara
potensial merusak. Reseptor nyeri disebut juga nosireceptor, secara anatomis
reseptor nyeri (nosireceptor) ada yang bermielien dan ada juga yang tidak
bermielin dari syaraf perifer.
Berdasarkan letaknya, nosireseptor dapat dikelompokkan dalam beberapa
bagian tubuh yaitu pada kulit (Kutaneus), somatik dalam (deep somatic), dan pada
daerah viseral, karena letaknya yang berbeda-beda inilah, nyeri yang timbul juga
memiliki sensasi yang berbeda.
Nosireceptor kutaneus berasal dari kulit dan sub kutan, nyeri yang berasal
dari daerah ini biasanya mudah untuk dialokasi dan didefinisikan. Reseptor
jaringan kulit (kutaneus) terbagi dalam dua komponen yaitu :
a. Serabut A delta
Merupakan serabut komponen cepat (kecepatan transmisi 6-30 m/det)
yang memungkinkan timbulnya nyeri tajam yang akan cepat hilang apabila
penyebab nyeri dihilangkan
b. Serabut C
Merupakan serabut komponen lambat (kecepatan tranmisi 0,5 m/det)
yang terdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya bersifat tumpul
dan sulit dilokalisasi.
Struktur reseptor nyeri somatik (deep somatic) dalam meliputi reseptor
nyeri yang terdapat pada tulang, pembuluh darah, syaraf, otot, dan jaringan
penyangga lainnya. Karena struktur reseptornya komplek, nyeri yang timbul
merupakan nyeri yang tumpul dan sulit dilokalisasi.
Reseptor nyeri jenis ketiga adalah reseptor viseral, reseptor ini meliputi
organ-organ viseral seperti jantung, hati, usus, ginjal dan sebagainya. Nyeri yang
timbul pada reseptor ini biasanya tidak sensitif terhadap pemotongan organ, tetapi
sangat sensitif terhadap penekanan, iskemia dan inflamasi.
Seperti halnya berbagai stimulus yang disadari lainnya, persepsi nyeri
dihantarkan oleh neuron khusus yang bertindak sebagai reseptor, pendeteksi
stimulus, penguat dan penghantar menuju sistem saraf pusat. Sensasi tersebut
sering didekripsikan sebagai protopatik (noxious) dan epikritik (non-noxious).
Sensasi epiritik (sentuhan ringan, tekanan, propriosepsi, dan perbedaan
temperatur) ditandai dengan reseptor ambang rendah yang secara umum
dihantarkan oleh serabut saraf besar bermielin. Sebaliknya, sensasi protopatik
(nyeri) ditandai dengan reseptor ambang tinggi yang dihantarkan oleh serabut
saraf bermielin yang lebih kecil (A delta) serta serabut saraf tak bermielin
(serabut C).
Stimulus ini melalui empat proses tersendiri yaitu :
1. Transduksi
Proses rangsangan yang mengganggu sehingga menimbulkan aktivitas listrik
di reseptor nyeri. Terjadi karena pelepasan mediator kimia seperti
prostaglandin dari sel rusak, bradikinin dari plasma, histamin dari sel mast,
serotonin dari trombosit dan substansi P dari ujung saraf. Stimuli ini dapat
berupa stimuli fisik (tekanan), suhu (panas) atau kimia (substansi nyeri).
2. Transmisi
Proses penerusan impuls nyeri dari tempat transduksi melalui nosiseptor saraf
perifer. Impuls ini akan disalurkan oleh serabut saraf A delta dan serabut C
sebagai neuron pertama, dari perifer ke medulla spinalis dimana impuls
tersebut mengalami modulasi sebelum diteruskan ke thalamus oleh traktus
sphinotalamikus sebagai neuron kedua. Dari thalamus selanjutnya impuls
disalurkan ke daerah somato sensoris di korteks serebri melalui neuron ketiga,
dimana impuls tersebut diterjemahkan dan dirasakan sebagai persepsi nyeri.
3. Modulasi
Melibatkan aktivitas saraf melalui jalur-jalur saraf desenden dari otak yang
dapat mempengaruhi transmisi nyeri setinggi medula spinalis. Modulasi ini
juga melibatkan faktor-faktor kimiawi yang menimbulkan atau
meningkatkan aktifitas di reseptor nyeri.
4. Persepsi
Hasil akhir dari proses interaksi yang kompleks dan unik yang dimulai dari
proses transduksi, transmisi, dan modulasi yang pada gilirannya
menghasilkan suatu perasaan yang subyektif yang dikenal sebagai persepsi
nyeri.
Jalur Nyeri Di Sistem Saraf Pusat
1. Jalur Asenden (transduksi dan transmisi)
Serat saraf C dan A-δ aferen yang menyalurkan impuls nyeri masuk ke
dalam medula spinalis di akar saraf dorsal. Serat-serat memisah sewaktu
masuk ke korda dan kemudian kembali menyatu di kornu dorsalis (posterior)
medula spinalis. Daerah ini menerima, menyalurkan, dan memproses impuls
sensorik. Kornu dorsalis medula spinalis dibagi menjadi lapisan-lapisan sel
yang disebut lamina. Dua dari lapisan ini (lapisan 2 dan 3), yang disebut
substansia gelatinosa, yang sangat penting dalam transmisi dan modulasi
nyeri.
Dari kornu dorsalis, impuls nyeri dikirim ke neuro-neuron yang
menyalurkan informasi ke sisi berlawanan medula spinalis di komisura
anterior dan kemudian menyatu di traktus spinothalamikus antero-lateralis,
yang naik ke thalamus dan struktur otak lainnya. Dengan demikian, transmisi
impuls nyeri di medula spinalis bersifat kontra lateral terhadap sisi tubuh
tempat impuls itu berasal.
Jalur Ascendens Impuls Nyeri
2. Jalur Desenden (modulasi dan persepsi)
Daerah-daerah tertentu di otak itu sendiri mengendalikan atau
mempengaruhi persepsi nyeri, hipotalamus dan struktur limbik berfungsi
sebagai pusat emosional persepsi nyeri, dan korteks frontalis menghasilkan
interpretasi dan respon rasional terhadap nyeri. Namun, terdapat variasi yang
luas dalam cara individu mempersepsikan nyeri. Salah satu penyebab variasi
ini adalah karena sistem saraf pusat (SSP) memiliki beragam mekanisme
untuk memodulasi dan menekan rangsangan nosiseptif.
Jalur-jalur desenden serat eferen yang berjalan dari korteks serebrum ke
bawah ke medula spinalis dapat menghambat atau memodifikasi rangsangan
nyeri yang datang melalui suatu mekanisme umpan balik yang melibatkan
substansia gelatinosa dan lapisan lain kornu dorsalis. Salah jalur desenden
yang telah diidentifikasi sebagai jalur penting dalam sistem modulasi-nyeri
atau analgesik adalah jalur yang mencakup tiga komponen berikut :
1. Bagian pertama adalah substansia grisea periakuaduktus (PAG) dan substansia grisea periventrikel (PVG) mesensefalon dan pons bagian atas yang mengelilingi akuaduktus Sylvius.
2. Neuron-neuron dari daerah daerah satu mengirim impuls ke nukleus rafe magnus (NRM) yang terletak di pons bagian bawah dan medula bagian atas dan nukleus retikularis paragigantoselularis (PGL) di medula lateralis.
3. Impuls ditransmisikan dari nukleus ke bawah ke kolumna dorsalis medula spinalis ke suatu kompleks inhibitorik nyeri yang terletak di kornu dorsalis medula spinalis.
Zat-zat kimia yang disebut neuroregulator, juga mungkin
mempengaruhi masukan sensorik ke medula spinalis. Neuroregulator ini
dikenal sebagai neurotransmiter atau neuromodulator. Neurotransmiter adalah
neurokimia yang menghambat atau merangsang aktifitas di membran
pascasinaps. Zat P (suatu neuropeptida) adalah neurotransmiter spesifik-nyeri
yang terdapat di kornu dorsalis medula spinalis. Neurotransmiter SSP lain
yang terlibat dalam transmisi nyeri adalah asetilkolin, norepinefrin, epinefrin,
dopamin dan serotonin.
Respon Fisiologis Terhadap Nyeri
Respons tubuh terhadap trauma atau nyeri adalah terjadinya reaksi
endokrin berupa mobilisasi hormon-hormon katabolik dan terjadinya reaksi
imunologik, yang secara umum disebut sebagai respons stres. Respons stres ini
sangat merugikan pasien, karena selain akan menurunkan cadangan dan daya
tahan tubuh, juga meningkatkan kebutuhan oksigen jantung, mengganggu fungsi
respirasi dengan segala konsekuensinya, serta akan mengundang resiko terjadinya
tromboemboli, yang pada gilirannya meningkatkan morbiditas dan mortalitas.
Respon endokrin
Rangsang nosiseptif menyebabkan respons hormonal bifasik, artinya
terjadi pelepasan hormon katabolik seperti katekolamin, kortisol, angiotensin II,
ADH, ACTH, GH dan glukagon, sebaliknya terjadi penekanan sekresi hormon
anabolik seperti insulin. Hormon katabolik akan menyebabkan hiperglikemia
melalui mekanisme resistensi terhadap insulin dan proses glukoneogenesis,
selanjutnya terjadi katabolisme protein dan lipolisis. Kejadian ini akan
menimbulkan balans nitrogen negatif. Aldosteron, kortisol, ADH menyebabkan
terjadinya retensi Na dan air. Katekolamin merangsang reseptor nyeri sehingga
intensitas nyeri bertambah. Dengan demikian terjadilah siklus vitriosus.
Efek Nyeri Terhadap Kardiovaskular dan Respirasi
Pelepasan Katekolamin, Aldosteron, Kortisol, ADH dan aktifasi
Angiotensin II akan menimbulkan efek pada kardiovaskular. Hormon-hormon ini
mempunyai efek langsung pada miokardium atau pembuluh darah dan
meningkatkan retensi Na dan air. Angiotensin II menimbulkan vasokonstriksi.
Katekolamin menimbulkan takikardia, meningkatkan kontraktilitas otot jantung
dan resistensi vaskular perifer, sehingga terjadilah hipertensi. Takikardia serta
disritmia dapat menimbulkan iskemia miokard. Ditambah dengan retensi Na dan
air, maka timbullah resiko gagal jantung kongesti.
Bertambahnya cairan ekstraselluler di paru-paru akan menimbulkan
kelainan ventilasi perfusi. Nyeri di daerah dada atau abdomen akan menimbulkan
peningkatan tonus otot di daerah tersebut sehingga dapat muncul resiko
hipoventilasi, kesulitan bernafas dalam dan mengeluarkan sputum, sehingga
penderita mudah mengalami penyulit atelektasis dan hipoksemia.
Efek Nyeri Terhadap sistem Organ Yang Lain
Peningkatan aktivitas simpatis akibat nyeri menimbulkan inhibisi fungsi
saluran cerna. Gangguan pasase usus sering terjadi pada penderita nyeri. Terhadap
fungsi immunlogik, nyeri akan menimbulkan limfopenia, leukositosis, dan depresi
RES. Akibatnya resistensi terhadap kuman patogen menurun, Kemudian, terhadap
fungsi koagulasi, nyeri akan menimbulkan perubahan viskositas darah, fungsi
platelet. Terjadi peningkatan adesivitas trombosit. Ditambah dengan efek
katekolamin yang menimbulkan vasokonstriksi dan immobilisasi akibat nyeri,
maka akan mudah terjadi komplikasi trombosis.
Efek Nyeri Terhadap Mutu Kehidupan
Nyeri, menyebabkan pasien sangat menderita, tidak mampu bergerak,
tidak mampu bernafas dan batuk dengan baik, susah tidur, tidak enak makan/dan
minum, cemas, gelisah, perasaan tidak akan tertolong dan putus asa. Keadaan
seperti ini sangat mengganggu kehidupan normal penderita sehari-hari. Mutu
kehidupannya sangat rendah, bahkan sampai tidak mampu untuk hidup mandiri
layaknya orang sehat. Oleh karena itu penatalaksanaan nyeri pada hakikatnya
tidak saja tertuju kepada mengurangi atau memberantas rasa nyeri itu, melainkan
bermaksud menjangkau peningkatan mutu kehidupan pasien, sehingga ia dapat
kembali menikmati kehidupan yang normal dalam keluarga maupun
lingkungannya.
NYERI AKUT ABDOMEN
Definisi dan Epidemiologi
Istilah akut abdomen merupakan tanda dan gejala yang disebabkan
penyakit intra abdominal dengan nyeri sebagai keluhan utama, timbul mendadak,
dan biasanya membutuhkan terapi pembedahan. Banyak penyakit yang
menimbulkan gejala di perut, beberapa di antaranya tidak memerlukan terapi
pembedahan, sehingga evaluasi pasien dengan nyeri abdomen harus cermat.
Manajemen yang benar dari pasien dengan akut abdomen memerlukan keputusan
yang tepat terkait dengan waktu tentang perlunya untuk melakukan operasi
pembedahan. Keputusan ini membutuhkan evaluasi dari riwayat pasien dan
pemeriksaan fisik, data laboratorium, dan tes pencitraan. Sindrom acute
abdominal pain menyebabkan sejumlah besar kunjungan ke rumah sakit dan dapat
terjadi pada mereka yang sangat muda, sangat tua, laki-laki maupun perempuan,
dan semua tingkatan sosioekonomi (Brewer BJ, Golden GT,1999). Semua pasien
dengan nyeri abdomen harus menjalani evaluasi untuk menegakkan diagnosis
sehingga pengobatan tepat waktu dan dapat mengurangi morbiditas dan
mortalitas. Kasus abdominal pain tercatat 5% sampai 10% dari semua kunjungan
gawat darurat atau 5 sampai 10 juta pasien di Amerika Serikat (Graff LG,
Robinson D, 2001). Studi lain menunjukkan bahwa 25% dari pasien yang datang
ke gawat darurat mengeluh nyeri perut (Cordell WH et all, 2002). Diagnosis
bervariasi sesuai untuk kelompok usia, yaitu anak dan geriatri. Sebagai contoh
nyeri perut pada anak-anak lebih sering disebabkan oleh apendisitis , sedangkan
penyakit empedu, usus diverticulitis, dan infark usus lebih umum terjadi pada
bayi (Graff LG, Robinson D, 2001).
Nyeri akut abdomen adalah salah satu keluhan utama pasien yang paling
umum di bagian gawat darurat dan merupakan 6,4% dari 100 juta pasien yang
berkunjung ke unit gawat darurat setiap tahun. 25% dari bedah umum.
sebagai keluhan utama, nyeri abdominal. Dalam banyak perawatan akut,
analgesik sering ditahan pada pasien dengan nyeri abdomen akut karena takut
bahwa hal itu dapat mengubah temuan pemeriksaan fisik, menunda diagnosis dan
pengobatan. Kepentingan komunitas medis dan pemahaman rasa sakit yang
berkembang dan ke banyak, sekarang adalah tanda vital kelima. Kemajuan dalam
pengelolaan nyeri kronis dan akhir dari masalah kehidupan juga telah
memfokuskan perhatian pada efek samping nyeri yang tidak hilang.
Tanda dan Gejala
Keluhan yang paling menonjol pada gawat perut adalah nyeri. Nyeri perut ini
dapat berupa nyeri viseral maupun nyeri somatik, dan dapat berasal dari berbagai
proses pada berbagai organ di rongga perut atau diluar rongga perut, misalnya di
rongga dada
Jenis Nyeri Perut
Nyeri viseral
Nyeri viseral terjadi bila terdapat rangsangan pada organ atau struktur dalam
rongga perut, misalnya cedera atau radang. Peritoneum viserale yang menyelimuti
organ perut dipersarafi oleh sistem saraf otonom dan tidak peka terhadap
perabaan, atau pemotongan. Dengan demikian sayatan atau penjahitan pada usus
dapat dilakukan tanpa rasa nyeri pada pasien. Akan tetapi bila dilakukan
penarikan atau peregangan organ atau terjadi kontraksi yang berlebihan pada otot
sehingga menimbulkan iskemik, misalnya pada kolik atau radang pada
appendisitis maka akan timbul nyeri. Pasien yang mengalami nyeri viseral
biasanya tidak dapat menunjukkan secara tepat letak nyeri sehingga biasanya ia
menggunakan seluruh telapak tangannya untuk menunjuk daerah yang nyeri.
Nyeri viseral kadang disebut juga nyeri sentral (Sjamsuhidajat et all,2004).
Nyeri somatik
Nyeri somatik terjadi karena rangsangan pada bagian yang dipersarafi saraf
tepi, misalnya regangan pada peritoneum parietalis, dan luka pada dinding perut.
Nyeri dirasakan seperti disayat atau ditusuk, dan pasien dapat menunjuk dengan
tepat dengan jari lokasi nyeri. Rangsang yang menimbulkan nyeri dapat berupa
tekanan, rangsang kimiawi atau proses radang (Sjamsuhidajat dkk., 2004).
Gesekan antara visera yang meradang akan menimbulkan rangsang peritoneum
dan dapat menimbulkan nyeri. Perdangannya sendiri maupun gesekan antara
kedua peritoneum dapat menyebabkan perubahan intensitas nyeri. Gesekan inilah
yang menjelaskan nyeri kontralateral pada appendisitis akut. Setiap gerakan
penderita, baik gerakan tubuh maupun gerakan nafas yang dalam atau batuk, juga
akan menambah intensitas nyeri sehingga penderita pada akut abdomen berusaha
untuk tidak bergerak, bernafas dangkal dan menahan batuk (Sjamsuhidajat, dkk.,
2004).
Letak nyeri perut
Nyeri viseral dari suatu organ biasanya sesuai letaknya sama dengan asal
organ tersebut pada masa embrional, sedangkan letak nyeri somatik biasanya
dekat dengan organ sumber nyeri sehingga relatif mudah menentukan
penyebabnya. Nyeri pada anak presekolah sulit ditentukan letaknya karena
mereka selalu menunjuk daerah sekitar pusat bila ditanya tentang nyerinya. Anak
yang lebih besar baru dapat menentukan letak nyeri (Sjamsuhidajat, dkk., 2004).
Sifat nyeri
Berdasarkan letak atau penyebarannya nyeri dapat bersifat nyeri alih, dan
nyeri yang diproyeksikan. Untuk penyakit tertentu, meluasnya rasa nyeri dapat
membantu menegakkan diagnosis. Nyeri bilier khas menjalar ke pinggang dan ke
arah belikat, nyeri pankreatitis dirasakan menembus ke bagian pinggang. Nyeri
pada bahu kemungkinan terdapat rangsangan pada diafragma (Sjamsuhidajat,
dkk., 2004).
Nyeri alih
Nyeri alih terjadi jika suatu segmen persarafan melayani lebih dari satu daerah.
Misalnya diafragma yang berasal dari regio leher C3-C5 pindah ke bawah pada
masa embrional sehingga rangsangan pada diafragma oleh perdarahan atau
peradangan akan dirasakan di bahu. Demikian juga pada kolestitis akut, nyeri
dirasakan pada daerah ujung belikat. Abses dibawah diafragma atau rangsangan
karena radang atau trauma pada permukaan limpa atau hati juga dapat
menyebabkan nyeri di bahu. Kolik ureter atau kolik pielum ginjal, biasanya
dirasakan sampai ke alat kelamin luar seperti labia mayora pada wanita atau testis
pada pria (Sjamsuhidajat, dkk., 2004).
Nyeri proyeksi
Nyeri proyeksi adalah nyeri yang disebabkan oleh rangsangan saraf sensoris
akibat cedera atau peradangan saraf. Contoh yang terkenal adalah
nyeri phantom setelah amputasi, atau nyeri perifer setempat akibat herpes zooster.
Radang saraf pada herpes zooster dapat menyebabkan nyeri yang hebat di dinding
perut sebelum gejala tau tanda herpes menjadi jelas (Sjamsuhidajat, dkk.,
Hiperestesia
Hiperestesia atau hiperalgesia sering ditemukan di kulit jika ada peradangan pada
rongga di bawahnya. Pada gawat perut, tanda ini sering ditemukan pada
peritonitis setempat maupun peritonitis umum. Nyeri peritoneum parietalis
dirasakan tepat pada tempat terangsangnya peritoneum sehingga penderita dapat
menunjuk dengan tepat lokasi nyerinya, dan pada tempat itu terdapat nyeri tekan,
nyeri gerak, nyeri batuk serta tanpa rangsangan peritoneum lain dan defans
muskuler yang sering disertai hipersetesi kulit setempat. Nyeri yang timbul pada
pasien akut abdomen dapat berupa nyeri kontinyu atau nyeri kolik (Sjamsuhidajat,
dkk., 2004).
Nyeri kontinyu
Nyeri akibat rangsangan pada peritoneum parietal akan dirasakan terus menerus
karena berlangsung terus menerus, misalnya pada reaksi radang. Pada saat
pemeriksaan penderita peritonitis, ditemukan nyeri tekan setempat. Otot dinding
perut menunjukkan defans muskuler secara refleks untuk melindungi bagian yang
meraadang dan menghindari gerakan atau tekanan setempat (Sjamsuhidaja, dkk.,
2004).
Nyeri kolik
Kolik merupakan nyeri viseral akibat spasme otot polos organ berongga dan
biasanya diakibatkan oleh hambatan pasase dalam organ tersebut (obstruksi usus,
batu ureter, batu empedu, peningkatan tekanan intraluminer). Nyeri ini timbul
karena hipoksia yang dialami oleh jaringan dinding saluran. Karena kontraksi
berbeda maka kolik dirasakan hilang timbul (Sjamsuhidajat, dkk., 2004).
Kolik biasanya disertai dengan gejala mual sampai muntah. Dalam serangan,
penderita sangat gelisah. Yang khas ialah trias kolik yang terdiri dari serangan
nyeri perut yang hilang timbul mual atau muntah dan gerak paksa.
Nyeri iskemik
Nyeri perut juga dapat berupa nyeri iskemik yang sangat hebat, menetap, dan
tidak mereda. Nyeri merupakan tanda adanya jaringan yang terancam nekrosis.
Lebih lanjut akan tampak tanda intoksikasi umum seperti takikardia, keadaan
umum yang jelek dan syok karena resorbsi toksin dari jaringan nekrosis
Nyeri pindah
Nyeri dapat berubah sesuai dengan perkembangan patologi. Misalnya pada tahap
awal appendisitis, sebelum radang mencapai permukaan peritoneum, nyeri viseral
dirasakan di sekitar pusat disertai rasa mual. Setelah radang mencapai diseluruh
dinding termasuk peritoneum viserale, terjadi nyeri akibat rangsangan yang
merupakan nyeri somatik. Nyeri pada saat itu dirasakan tepat pada peritoneum
yang meradang, yaitu perut kuadran kanan bawah. Jika appendiks mengalami
nekrosis dan ganggren nyeri berubah lagi menjadi nyeri yang hebat menetap dan
tidak mereda. Penderita dapat jatuh pada keadaan yang toksis.
Pada perforasi tukak peptikduodenum, isi duodenum yang terdiri dari cairan asam
garam empedu masuk ke rongga abdomen sehingga merangsang peritoneum
setempat. Pasien akan merasakan nyeri pada bagian epigastrium. Setelah beberapa
saat cairan duodenum mengalir ke kanan bawah, melalui jalan di sebelah lateral
kolon ascendens sampai sekitar caecum. Nyeri akan berkurang karena terjadi
pengenceran. Pasien sering mengeluh nyeri berpindah dari ulu hati pindah ke
kanan bawah.proses ini berbeda dengan yang terjadi pada appendisitis akut. Akan
tetapi kedua keadaan ini, appendisitis akut maupun perforasi duodeum akan
mengakibatkan general peritonitis jika tidak segera ditangani dengan baik.
PIIIHAN ANALGESIK UNTUK MANAGEMEN NYERI AKUT ABDOMEN
Sejarah "Oligoanalgesia"
Wilson dan Pendleton menciptakan kata "oligoanalgesia," untuk mewakili
kegagalan untuk mengenali atau tepat mengobati rasa nyeri. Sir. Zachary Cope,
salah satu dari lusinan operasi, dalam bukunya Awal Diagnosis akut Abdomen
menyarankan bahwa "Meskipun mungkin terlihat kejam, itu benar-benar baik
untuk terus menggunakan morfin sampai seseorang tertentu atau interferensi
bedah diperlukan, yaitu sampai diagnosis yang wajar telah dibuat. sentimen ini
telah menyusupi praktek medis hingga beberapa kali. Secara historis, dan sampai
batas tertentu hari, nyeri abdomen adalah diagnosis klinis, penyebab pasti sering
mengaburkan di lebih dari 40 persen kasus.
Analgesik dianggap menghambat kemampuan untuk mencapai diagnosis,
menyebabkan sejumlah besar negatif kerja-up dan operasi yang tidak perlu.
Menahan pemberian analgesik dianggap untuk meminimalkan beban yang
meningkat pada pasien dan sumber daya rumah sakit, akibat keterlambatan dalam
diagnosis dan pengobatan yang tidak pantas. Seperti pada tahun 1996, mayoritas
ahli bedah menganggap bahwa analgesik mengganggu pasien menandatangani
informed consent yang valid dan berdampak pada keakuratan diagnostik, sehingga
mempengaruhi keputusan mereka untuk menahan nyeri
Perilaku sehubungan pengobatan nyeri bergeser, namun secara perlahan.
Suatu studi propektif dari 100 rawat darurat untuk nyeri akut abdomen oleh Tait et
al menunjukkan bahwa sebagian besar staf bedah yang terlatih (88%) menyukai
penanganan awal dengan analgesik di UGD dan mayoritas (79%) akan mengelola
analgesik tanpa adanya suatu diagnosis. perusahaan studi Tait, bagaimanapun,
juga menunjukkan bahwa rata-rata "pintu ke analgesik" waktu di unit gawat
darurat adalah 2,3 jam untuk pasien dengan sakit parah dan 6,3 jam untuk nyeri
sedang, meskipun semua pasien harus dinilai segera (dalam waktu 20 menit) oleh
dokter terlatih. Hampir setengah dari pasien dalam penelitian ini dipindahkan ke
lantai tanpa diberikan analgesik (berarti menunggu 5,7 jam) . Diagnosis klinis
tidak mempengaruhi kecepatan atau urgensi pasien yang menerima analgesik.
Dalam studi tersebut, hampir setengah peserta pelatihan bedah percaya bahwa
analgesik akan menutupi fitur diagnostik dan menunda manajemen yang tepat. Ini
perbedaan antara pendapat para ahli bedah dan peserta pelatihan menjelaskan
kejanggalan antara sentimen staf bedah dan praktek yang sebenarnya
Efek samping nyeri akut
Nyeri adalah sensasi fundamental berbahaya. Nyeri akut tak henti-hentinya
memiliki konsekuensi fisik, psikologis dan ekonomi yang merugikan. Hal ini
menyebabkan gangguan otot pernafasan sehingga menghasilkan sekret yang
berkembang menjadi pneumonia, atelektasis, dan kelainan ventilasi-perfusi.
Peningkatan kadar serum hormon neuroendokrin menyebabkan hiperalgesia,
meningkatkan glikogenolisis, oksidasi asam lemak bebas, katabolisme protein,
natrium dan retensi air dan kalium (menyebabkan hipertensi, takikardia dan
memberatkan gagal jantung kongestif), dan memodifikasi koagulasi dan aktivitas
fibrinolitik.
Nyeri dan kecemasan juga menyebabkan anoreksia, insomnia, depresi dan
perasaan putus asa dan tidak berdaya. Kombinasi rasa sakit dan stres emosional
disebut penderitaan. Persepsi nyeri oleh pasien mungkin lebih tinggi jika
mengalami stimulus berbahaya yang sama untuk kedua kalinya. Hasil nyeri tak
henti-hentinya di rawat inap yang lebih lama, tingkat peningkatan re-rawat inap,
peningkatan kunjungan rawat jalan dan penurunan tingkat fungsi, yang
menyebabkan hilangnya pendapatan
Bukti dari beberapa studi menunjukkan bahwa pemberian analgesik tidak
menghalangi diagnosis yang akurat dan pengobatan, dan bahkan mungkin
membantu (Tabel 1).
Figure 1Table 1: Controlled trials of analgesia in acute abdominal pain
Wolfe dan rekan meneliti pola praktek saat pemberian analgesik untuk nyeri
abdomen akut antara dokter gawat darurat. Dari mereka yang menjawab 85 persen
merasa bahwa obat sakit opiat tidak mengubah temuan klinis yang penting.
Namun, jumlah yang sama responden memilih untuk mengelola analgesik hanya
setelah evaluasi bedah selesai.
Penelitian Prospektif, studi plasebo-terkontrol double-blind, menunjukkan bahwa
pemberian morfin tidak mempengaruhi kemampuan diagnostik, dan nyeri lega
tanpa mengubah kemampuan dokter untuk secara akurat mengevaluasi dan
mengobati pasien (LOE-1b). 15,16,17 Wolfe et al menunjukkan bahwa pasien
dengan fitur yang menunjukkan usus buntu mengalami nyeri yang signifikan
setelah pemberian morfin tanpa perubahan pada temuan pemeriksaan. Sebuah uji
klinis yang sama pada anak-anak menunjukkan bahwa morfin intravena diberikan
pengurangan rasa sakit yang signifikan tanpa merugikan mempengaruhi temuan
pemeriksaan, atau kemampuan untuk mengidentifikasi anak-anak yang
membutuhkan pembedahan
ada komunikasi yang erat dengan ahli bedah yang bertanggung jawab.
Laporan diri pasien adalah indikator yang paling dapat diandalkan dari kehadiran
dan intensitas nyeri. Dokter harus percaya laporan subjektif pasien nyeri kecuali
ada bukti sebaliknya. Usia, jenis kelamin, etnis, dan fungsi kognitif dari pengaruh
pasien penilaian dan pengobatan pain.26, 27,28,29,30,31,32 Anak-anak, orang
tua, orang gangguan kognitif, dan orang-orang dengan masalah komunikasi sering
lebih sulit untuk menilai dan memerlukan perhatian khusus untuk memastikan
kecukupan analgesik. Alat penilaian nyeri (misalnya A visual analog scale) harus
tersedia di UGD dan harus digunakan dengan tepat. Derajat nyeri, patologi yang
mendasari dugaan, respon rasa sakit untuk titrasi obat, dan efek samping harus
menentukan analgesik, dosis dan frekuensi penggunaan. Prinsip-prinsip "tangga
analgesik" (analgesik non-opioid untuk nyeri ringan sampai sedang,
oksikodon untuk nyeri sedang sampai berat dan opioid parenteral untuk sakit
parah), dapat digunakan untuk memandu pilihan analgesic.33 yang Beberapa
hambatan untuk manajemen nyeri yang efektif termasuk keengganan pada bagian
dari pasien untuk melaporkan nyeri atau penggunaan analgesik, negara federal dan
kebijakan mengenai penggunaan analgesik opioid, pengetahuan penyedia terbatas
tentang penilaian nyeri dan pengobatan, dan underuse analgesik karena
kesalahpahaman sehubungan penyedia addiction.34, 35,36 U-pengobatan juga
mungkin timbul dari kegagalan untuk menanyakan tentang rasa sakit,
mendiskreditkan laporan nyeri (nyeri dinilai tidak kurang dari yang dilaporkan),
dan hambatan pendidikan atau psikologis pada bagian dari dokter.
Pseudoaddiction (manajemen nyeri yang tidak memadai memproduksi perilaku
manipulatif pada bagian dari pasien) mungkin jauh lebih umum daripada
kecanduan. Sebuah tinjauan retrospektif terhadap lebih dari 12.000 pasien rawat
inap diberikan opioid untuk menghilangkan rasa sakit yang diidentifikasi hanya
empat yang potensial addicts.41 Penyalahgunaan alkohol atau kecanduan obat
tidak mengganggu kemampuan pasien untuk mengidentifikasi rangsangan yang
menyakitkan dan tidak boleh bar memberikan bantuan nyeri yang memadai,
pasien ini mungkin manfaat dari hati-hati diawasi, bijaksana penggunaan
analgesik. Toleransi juga dapat menentukan frekuensi yang lebih besar dalam
penggunaan analgesik, meskipun toleransi farmakologis benar membutuhkan
meningkatnya dosis analgesik jarang.
penunjuk untuk analgesik nyeri perut akut
penilaian awal
Pasien dengan sakit parah harus diprioritaskan sebagai prioritas, memastikan
kontrol nyeri yang cepat dengan mengurangi "door-to-analgesik" waktu. The
Canadian Association of Emergency Physicians telah mengembangkan Triage dan
ketajaman Skala Nasional yang menggabungkan skala nyeri ke grading dari triase
level.43 penilaian nyeri awal juga harus digunakan sebagai panduan untuk
membantu memilih jenis dan rute obat.
alam pemberian analgesik sebelum disposisi pasien dengan patologi abdomen
akut, ABC resusitasi tidak boleh diabaikan sebagai analgesik memiliki potensi
untuk menyebabkan depresi baik jantung dan pernapasan. Pasien napas,
oksigenasi dan sirkulasi harus dianggap stabil sebelum manajemen rasa sakit.
Ketidakstabilan hemodinamik mungkin terjadi dengan penggunaan dosis gegabah
analgesik (blok menyelamatkan jiwa respon simpatik sakit-induced), sampai
resusitasi dengan penggantian volume yang intra-vaskular yang memadai terjadi
Tindakan / intervensi nyeri memperburuk
Modalitas pengobatan muncul awal seperti nasogastric (NG) tabung penyisipan
dan kateterisasi kandung kemih dapat secara signifikan meningkatkan
discomfort.45 pasien, 46 teknik Diagnostik (US, CT abdomen, arteriografi)
mungkin memakan waktu (penggunaan kontras oral membutuhkan beberapa jam
untuk transit gut), dan mungkin melibatkan compression.47 perut Oleh karena itu
mungkin ada kebutuhan untuk menawarkan nyeri terus untuk mengimbangi
intervensi ini.
Pilihan pengobatan yang efektif
Nonsteroidals ( NSAID ) yang sangat berguna pada pasien dengan ginjal atau
kolik ureter . Rasa sakit ureter kolik muncul dari peningkatan mendadak dalam
ureter ketegangan otot polos disebabkan oleh tekanan intraluminal ditingkatkan .
Tindakan ini , langsung dimediasi oleh prostaglandin , dapat dicegah atau
dihentikan oleh NSAID ( Ketorolac IM atau IV setiap 6 - 8 jam - - Tabel
2 ) .48,49 Perawatan harus diambil dan dosis Ketorolac berkurang pada pasien di
atas 65 tahun usia , berat kurang dari 50 kg , dan pada mereka dengan bahkan
cukup kadar serum kreatinin . Selain itu, Ketorolac dapat menyebabkan
perdarahan , terutama bila diberikan pada dosis yang lebih tinggi , pada pasien
yang lebih tua , atau lebih dari lima days.50Indocin 100 mg . sebagai supositoria
dibatalkan rasa sakit kolik ginjal dalam 30 menit . Hal ini dapat dikombinasikan
dengan pemberian morfin awal untuk segera dan terus relief.47 nyeri Pada pasien
dengan potensi yang signifikan untuk kompromi ginjal , kelainan pembekuan ,
atau pembentukan ulkus stres , penggunaan NSAID mungkin harus
ditangguhkan .
Figure 2Table 2: Analgesics in acute abdominal pain
Figure 3
Hampir semua opioid ( terutama morfin ) dapat diberikan secara intravena . Dosis
loading dititrasi untuk efek analgesik yang diinginkan dan harus tetap menjadi
standar perawatan untuk nyeri akut parah. Protokol keperawatan dapat ditetapkan
yang memungkinkan untuk titrasi ini tanpa memerlukan berulang ketidakstabilan
dokter contact.51 hemodinamik , usia , obat-obatan lain , kekhawatiran status
mental , dan paparan sebelumnya terhadap opioid , semua mempengaruhi dosis .
Pada pasien yang stabil yang dapat dipantau , intravena pasien - dikendalikan -
analgesia ( IV - PCA ) adalah pilihan yang menyajikan alternatif yang diinginkan
dengan berbagai advantages.52 Ini termasuk tingkat obat darah stabil dengan
analgesia yang baik dan kurang sedasi , kurang konsumsi opioid , kepuasan pasien
meningkat , dan meningkatkan fungsi paru bila dibandingkan dengan analgesik
perawat diberikan . Penggunaan infus basal ( disesuaikan setiap 8 -24- jam) ,
meminimalkan kebutuhan pasien untuk meminta dosis bolus . Hambatan untuk
menggunakan PCA termasuk kurangnya ketersediaan dalam situasi darurat , staf
pahaman dengan peralatan , pengalaman dengan rejimen dosis dan ketahanan
terhadap merangkul practices.53 baru
Buprenorfin adalah agonis opioid parsial menghasilkan kurang euforia dan
depresi pernafasan daripada agonis lainnya, dan terutama bermanfaat pada anak-
anak memberikan aman, cepat dan long-acting analgesia. Sublingual buprenorfin
200-400 mcg (bio-ketersediaan 55%, 400 mg sublingually setara dengan 250 mg
diberikan secara parenteral) memberikan pereda nyeri yang baik
Pilihan analgesik sub-optimal
Meperidin (Demerol) memiliki waktu paruh pendek dan membutuhkan dosis
sering untuk mempertahankan tingkat serum yang memadai. Penggunaannya telah
berkecil hati karena dosis berulang mengarah ke akumulasi dari normeperidine
metabolit yang menyebabkan iritasi neuromuskular dan kejang.
Intra - otot atau subkutan rute menawarkan penyerapan tidak menentu dan tidak
memungkinkan titration.57 opioid akurat Tidak ada bukti untuk mendukung
bahwa mereka lebih aman . Onset aksi ini berlangsung sekitar sama dengan
pemberian oral . Jika pasien tidak dapat mentolerir obat-obat oral atau jika sakit
parah , mereka mungkin memerlukan dosis intravena dan titrasi . Patologi
abdomen akut sering dikaitkan dengan stasis lambung , mual dan / atau muntah .
Ini masalah yang terkait dan kebutuhan untuk menghilangkan rasa sakit langsung
berarti bahwa rute oral tidak dapat diterima . Satu studi , bagaimanapun,
menemukan bahwa injeksi intra - otot hingga 20 mg papaveretum untuk menjadi
aman dan efektif bila diberikan lebih awal untuk pasien dengan pain.20 perut akut
administrasi Trans - dermal analgesik tidak diindikasikan untuk menghilangkan
rasa sakit akut . Opioid dapat disampaikan dengan sukses oleh supositoria tetapi
tidak ideal untuk bantuan segera dari nyeri akut karena penyerapan lambat dan
kadang-kadang tidak menentu . Dosis rektal untuk sebagian besar opioid yang
kuat sekitar setengah yang dibutuhkan melalui rute oral.
Efek samping dari administrasi dan manajemen analgesik
Sedasi disebabkan oleh analgesik dapat mengganggu evaluasi diagnostik yang
berhubungan dengan fungsi sistem saraf pusat. Dalam rangka untuk mengobati
rasa sakit, sementara pada saat yang sama menjaga stabilitas fisiologis, pemberian
dosis kecil, tapi sering diulang, dititrasi dengan analgesik yang diinginkan dan
efek fisiologis, merupakan pilihan pengobatan utama
Opioid parenteral dapat menyebabkan hipotensi dalam beberapa cara: dilatasi
pembuluh darah langsung, penurunan outflow simpatik, dan dengan
menumpulkan refleks kardiovaskular postural dengan konsekuen berkurang
Opioid return.44 vena menghambat motilitas gastrointestinal, menyebabkan ileus
dan tertunda dukungan nutrisi enteral. Mereka juga memproduksi mual dan obat
penenang, dan dapat mengaburkan evaluasi status mental. Opioid-induced emesis
terkait dengan pelepasan histamin berumur pendek atau gastroparesis, terjadi pada
sekitar 20 persen dari patients.59 Bertindak di situs batang otak, opioid
menurunkan ventilasi menit, kadang-kadang menyebabkan hipoksemia dan retensi
karbon dioksida yang berlebihan.
Antihistamin atau Ondansetron (Zofran) biasanya membalikkan opioid terkait
emesis.60 emesis Persistent disebabkan oleh gastroparesis terkait dengan patologi
abdomen dapat dikendalikan dengan agen pro-motilitas lambung
(metoclopramide). Profilaksis rutin dengan metoclopramide harus Namun, harus
dihindari pada pasien yang menerima morfin parenteral atau meperidine, karena
tingginya insiden Fenotiazin sisi effects.61 (proklorperazin, trimethobenzamide,
dan prometazin), melalui dopamin antagonis, juga mengontrol gastroparesis,
tetapi terkait sedasi dan ekstra -piramidal efek samping mendikte bahwa mereka
mungkin harus digunakan hanya ketika langkah-langkah lain gagal.
Kebijaksanaan konvensional sehubungan pilihan analgesik pada penyakit kandung
empedu / pankreatitis.
Meskipun penelitian pada manusia menunjukkan bahwa morfin meningkatkan
sfingter Oddi tekanan, bukti klinis tidak link morfin dengan peningkatan risiko
lebih opioid lainnya dalam menyebabkan atau memperburuk pankreatitis atau
cholecystitis.62 Dalam sebuah penelitian yang membandingkan dosis
equianalgesic morfin dan meperidin pada 40 pasien yang menjalani
kolesistektomi, meperidine mengangkat tekanan saluran empedu 14 persen lebih
dari morfin
esimpulan
Hal ini juga ditetapkan bahwa "oligoanalgesia" menyebabkan konsekuensi yang
tidak perlu dan merugikan. Keengganan untuk memberikan bantuan nyeri yang
memadai dalam nyeri abdomen akut berasal dari era keterbelakangan medis
relatif, ketika perut masih dianggap sebagai "Kotak Pandora". Ketersediaan
pemantauan pasien terkomputerisasi, kemajuan terbaru dalam teknik pencitraan
pasien dan meningkatkan pengakuan yang terus observasi akan meminimalkan
intervensi bedah yang tidak perlu, telah menghasilkan kesiapan yang lebih besar
pada bagian dari responden pertama untuk memberikan bantuan nyeri yang
memadai. Beberapa studi telah menunjukkan bahwa pemberian analgesik pada
pasien stabil dengan nyeri abdomen aman, dan memiliki dampak minimal di
kedua kemampuan diagnostik atau bedah pengambilan keputusan.
Hal ini mungkin paling baik dilakukan dengan sepengetahuan dan persetujuan
selanjutnya memperlakukan dokter untuk meminimalkan misdiagnosis potensial
atau salah urus, meskipun ini menciptakan potensi untuk menunda nyeri.
Langkah-langkah penilaian dan resusitasi seperti kateterisasi urin, penyisipan
naso-lambung tabung, pencitraan dan akses vena dapat semua penyebab atau
memperburuk rasa sakit, dan langkah-langkah harus diambil untuk meminimalkan
ini.